STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN DAN GAYA KEPEMPIMPINAN DALAM MENGANTISIPASI DINAMIKA PERUBAHAN EKSTERNAL SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBENTUKAN BUDAYA ORGANISASI Oleh Rezi Erdiansyah (Dosen Universitas Tarumanegara) Abstraksi
Tulisan ini bertujuan untuk membahas pengaruh penerapan sistem manajemen dan gaya kepemimpinan terhadap pembentukan budaya organisasi. Pembahasan mengenai hal tersebut penting karena adanya dinamika perubahan eksternal yang tidak dapat dihindari dalam menjaga kelangsungan perusahaan-perusahaan bisnis di Indonesia dewasa ini. Sistem manajemen diperlukan dalam upaya menjamin proses kegiatan guna mencapai dan mengembangkan standar mutu serta mengintegrasikan seluruh sumber daya secara optimal, selanjutnya gaya kepemimpinan diperlukan agar sistem manajemen dapat digerakkan menjadi kebiasaan yang berlangsung terus menerus sehingga secara bertahap dapat menjadi budaya organisasi. Namun demikian, tulisan ini masih merupakan kajian kepustakaan sehingga sangat diperlukan penelitian-penelitian lapangan yang secara empiris diharapkan dapat membuktikan pengaruh dari sistem manajemen dan gaya kepemimpinan terhadap pembentukan budaya organisasi. Kata kunci : sistem manajemen, gaya kepemimpinan, dinamika eksternal, perubahan organisasi, budaya organisasi.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian-kajian yang berhubungan dengan dinamika perubahan organisasi yang diakibatkan oleh dinamika kekuatan eksternal dan kekuatan internal telah banyak dikemukakan oleh para ahli organisasi dan manajemen. Dalam arti yang positif, perubahan organisasi merupakan upaya pengembangan organisasi. Dengan kata lain, bahwa perubahan organisasi merupakan salah kunci dalam mencapai upaya pengembangan organisasi. Organisasi yang adaptiv akan terus berubah karena organisasi merupakan sistem yang terbuka, dan akan selalu berinteraksi dengan proses-proses yang terjadi dengan lingkungannya. Faktor penyebab perubahan organisasi secara eksplisit dikemukakan oleh Danang Sunyoto (2012) yang menyatakan adanya faktor kekuatan internal yang berasal dari dalam organisasi dan kekuatan eksternal yang berasal dari luar organisasi. Kekuatan internal umumnya berasal dari sumberdaya manusia dan perilaku atau keputusan manajerial yang bersumber dari masalah-masalah
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 1
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
kebutuhan karyawan, ketidakpuasan kerja, absensi dan perputaran karyawan yang rendah, rendahnya produktivitas, serta partisipasi dan saran. Masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku atau keputusan manajerial mencakup munculnya konflikkonflik internal,kepemimpinan, sistem penghargaan dan reorganisasi struktural. Sedangkan kekuatan eksternal yang memiliki pengaruh untuk melakukan perubahan meliputi, karakteristik demografi, Kemajuan teknologi terutama teknologi informasi merupakan salah satu faktor yang mendorong perubahan pada berbagai organisasi di seluruh dunia, perubahan pasar, yaitu munculnya perubahan ekonomi global yang menuntut setiap perusahaan untuk mengubah strategi mereka, tekanan sosial dan politik, yaitu tekanan-tekanan yang diciptakan oleh peristiwa sosial dan politik. Pandangan di atas menjelaskan bahwa dua faktor penting yang mendorong terjadinya keinginan untuk melakukan perubahan organisasi akan meliputi fungsifungsi kepemimpinan yang bergerak untuk melakukan tindakan perbaikan terhadap organisasi, dan adanya tekanan eksternal yang seringkali tidak dapat dihindari oleh perusahaan, kecuali melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Sejalan dengan pendapat di atas Winardi (2007) menyebutkan perubahan organisasi sering kali distimulasi oleh perubahanperubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Lingkungan umum di mana organisasi-organisasi sebagai sistem terbuka berada, meliputi teknologikal, ekonomi, hukum, politik, demografik dan ekologikal dengan kecepatan yang makin meningkat. Dalam skala global sejak awal dikatakan bahwa dua kekuatan besar dunia dalam bidang ekonomi yaitu Amerika Serikat dan Jepang banyak mempengaruhi pola pengelolaan organisasi di seluruh dunia, perusahaan yang berasal dari kedua negara tersebut seakan menjadi contoh bagi perusahaan lain di banyak negara (Ahmad Sobirin, 2009). Dalam praktiknya, memang dapat dilihat prinsip-prinsip manajemen perusahaan dari kedua negara tersebut banyak diadopsi oleh berbagai perusahaan di seluruh dunia. Praktik ini mempertegas bahwa lingkungan eksternal merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi perubahan organisasi. Keberhasilan banyak perusahaan besar pada skala internasional didukung dengan kemampuan perusahaan tersebut dalam membangun budaya perusahaan. Jefrey K. Liker (2012) menuliskan mengenai keberhasilan Toyota dalam mengembangkan bisnisnya serta dapat bertahan dalam goncangan-goncangan ekonomi dunia, karena Toyota memiliki fondasi kuat secara kultural, yang dikenal dengan sebutan Toyota Culture. Toyota Culture adalah upaya perusahaan otomotif tersebut untuk mengembangkan nilai-nilai inti organisasi yang berlaku bagi seluruh pekerja yang tersebar di banyak negara. Penelitian yang dilakukan oleh Raduan Che Rose (2008) membahas hubungan antara budaya organisasi dengan keberhasilan perusahaan Multinasional dalam mengembangkan bisnisnya di Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Multinational Corporations
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 2
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
(MNc) yang beroperasi di Malaysia ternyata mengembangkan budaya kerja yang berasal dari negara induk dimana MNc tersebut berasal. Perusahaan seperti Petronas, OYL, Pensonic, dan FCS System mengembangkan budaya kerja yang sejalan dengan budaya asal dimana para pimpinan dan pemilik perusahaan tersebut berasal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan mulitinasional Amerika dan Eropa lebih condong ke arah individualisme, low power distance, low uncertainty avoidance dan feminity. Sebaliknya MNCs Jepang dan Malaysia lebih condong ke arah kolektivisme, high power distance, high uncertainty avoidance, dan masculinity. Studi ini, menyimpulkan bahwa para pimpinan asing dalam mengelola perusahaannya menambahkan proses adaptasi budaya negara-negara mereka, dan cenderung menanamkan nilai-nilai budaya mereka sehingga terjadi suatu proses transformasi budaya. Transformasi budaya merupakan suatu perubahan organisasi yang direncanakan, suatu strategi jangka panjang, dengan tujuan menjaga keberlanjutan dan daya saing bisnis, dengan cara menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sejalan dengan kebutuhan organisasi baik secara internal maupun eksternal. Di Indonesia perubahan organisasi seringkali juga merupakan suatu permasalahan. Oleh karena itu, proses perubahan organisasi tidak mudah dilakukan, dan jika pun dapat dilakukan memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Perubahan yang terjadi mengandung kompleksitas permasalahan, mulai dari masalah tekanan populasi dan angkatan kerja yang semakin besar, sehingga banyak perusahaan yang dihadapi oleh pilihan kebijakan antara perusahaan padat karya atau padat teknologi. Padat karya masih merupakan kebijakan nasional agar setiap dunia usaha dapat berkontribusi dalam menyediakan lapangan kerja. Namun pilihan padat karya juga dihadapkan oleh persoalan-persoalan yang tidak mudah, misalnya dinamika perburuhan yang terjadi dewasa ini, dimana buruh menjadi kekuatan yang cukup siginifikan sebagai kelompok penekan terutama dalam hal kesejahteraan yang mereka peroleh. Selain masih menghadapi masalah yang berhubungan dengan tuntutan kesejahteraan para buruh, perusahaan juga banyak menghadapi permasalahan dengan budaya kerja dari para buruh yang belum sepenuhnya mendukung kebutuhan perusahaan modern. Persoalan motivasi kerja, kemampuan dan kompetensi kerja yang rendah, kemampuan beradaptasi dengan perkembangan teknologi modern dan sebagainya adalah masalah-masalah yang cukup pelik dihadapi oleh banyak kalangan industri di Indonesia. Oleh karena itu, dalam konteks yang lebih luas perubahan organisasi di Indonesia, pada dasarnya merupakan perubahan budaya organisasi. Menurut Asri L Riani (2011) perubahan budaya organisasi mutlak diperlukan dengan alasan, pertama organisasi yang bertahan dengan cara-cara lama maka tidak akan dapat bertahan, kedua perubahan selalu membawa pembaharuan, dengan merubah diri sendiri maka organisasi tidak akan terasing dari dunia luar, dan ketiga pembaharuan selalu memberikan harapan.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 3
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
Berdasarkan kondisi riel dan permasalahan yang terjadi di atas maka dinamika organisasi dalam menghadapi perubahan organisasi memerlukan upayaupaya pengendalian perubahan agar setiap perubahan dapat berdampak terhadap organisasi secara positif. Ada beberapa faktor yang diprediksi dominan dalam menghadapi perubahan organisasi dan sekaligus dapat mendorong terjadinya perubahan yaitu pertama faktor eksternal yang menghendaki setiap organisasi mengadaptasi perubahan agar tidak tertinggal dalam dinamika pasar terutama bagi organisasi atau perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, dan kedua adalah faktor kepemimpinan yaitu kemampuan pimpinan perusahaan menjalankan fungsifungsi kepemimpinan dan manajerial untuk melakukan pengendalian perubahan secara internal guna mencapai tujuan organisasi. Faktor kepemimpinan bersifat strategis karena dapat mengarahkan organisasi agar selalu adaptiv terhadap tuntutan perubahan. Menurut Harry Tjahjono (2011) dalam dinamika perubahan organisasi kepemimpinan menjadi sangat sentral, bahkan dalam situasi krisis kepemimpinan selalu menjadi target keberhasilan atau kegagalan perusahaan. Tidak jarang akan selalu ada pernyataan, bahwa bagi perusahaan yang gagal maka pemimpinnya perlu diganti. Sejalan dengan pendapat tersebut Wibowo (2011) mengatakan bahwa pendiri dalam hal ini yang bertindak sebagai pemimpin memainkan peranan penting pada awal pembentukan budaya. Pendiri bekerja sebagai strong leaders yang akan berdampak terhadap seluruh organisasi. Lebih jauh Wibowo (2011) mengatakan bahwa setiap langkah kecil seorang pemimpin dalam budaya organisasi, seperti halnya dalam memimpin komponen bisnis lain, adalah penting bagi sukses organisasi. Kesalahan langkah dalam budaya organisasi dapat menyebabkan kegagalan. Dengan kata lain, dalam jangka panjang kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang dapat membangun budaya organisasi. Namun demikian, setiap pemimpin memiliki gaya atau cara sendiri-sendiri dalam menjalankan kepemimpinannya. Pilihan yang tepat terhadap gaya kepemimpinan bukanlah suatu pilihan yang mudah dilakukan, karena kepemimpinan juga terkait dengan persoalan habits dan personality. Pada sisi lain organisasi modern identik dengan sistem manajemen, bukan individu. Oleh karena itu, peranan individu termasuk kepemimpinan tidak sepenuhnya dominan dalam membangun budaya organisasi. Misalnya sistem manajemen mutu yang disusun pada konsep ISO bertujuan agar organisasi modern mengembangkan sistem manajemen dalam mengoperasikan kegiatannya, serta sekaligus melakukan pembentukan budaya organisasi. Hal yang sama sebagaimana Toyota Corporation yang mengembangkan sistem kerja dalam konsep Toyota Way, yang kemudian berkembang menjadi Toyota Culture. Perubahan di atas menunjukkan bahwa upaya untuk membangun budaya organisasi yang modern terjadi dibanyak negara saat ini. Sistem manajemen mutu seringkali dijadikan persyaratan oleh pasar internasional dalam menerima produk
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 4
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
dari berbagai negara. Dengan kata lain, sadar atau tidak sadar hal ini semakin memperkuat bahwa faktor eksternal dalam hal ini globalisasi menghendaki perubahan budaya organisasi, budaya yang mendukung organisasi dalam menghadapi persaingan dan keunggulan kompetitif. Dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi persaingan bisnis saat ini, agar dapat bertahan, perusahaan-perusahaan dihadapkan oleh keharusan untuk mengembangkan budaya perusahaan yang berorientasi pada kemajuan dan keunggulan kompetitif. Tulisan ini akan membahas dua aspek yang penulis anggap penting dalam mengembangkan budaya organisasi pada perusahaan modern yaitu sistem manajemen dan gaya kepemimpinan. Kedua faktor yang dimaksud pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Sistem manajemen agar dapat berjalan memerlukan kepemimpinan, sebaliknya kepemimpinan tanpa didukung oleh sistem manajemen juga tidak dapat berjalan secara efektif.
STIE Putra Perdana Indonesia II. KAJIAN TEORITIS A. Umum
Sebelum membahas keterkaitan serta pengaruh gaya kepemimpinan dan sistem manajemen terhadap pembentukan budaya organisasi, dalam perspektif teoritis tulisan ini digambarkan sebagai berikut : Pe ru b ah an K e bu tu ha n Gl ob a lis asi d an M an aj em e n Mo de r n
STIE Putra Perdana Indonesia S um b e rd aya I nt er na l
Bu d aya Or ga n isa si
T u nt uta n da n K eb ut uh an P asa r
G a ya k ep em i m pi na n
Gambar di atas menjelaskan bahwa budaya organisasi akan dipengaruhi oleh banyak faktor meliputi faktor eksternal yaitu perubahan globalisasi dan perubahan manajemen modern serta tuntutan dan kebutuhan pasar, sedangkan dari faktor internal meliputi ketersediaan sumberdaya internal (sistem manajemen, manusia, alat dan teknologi) dan gaya kepemimpinan yang dijalankan. Kajian teoritis ini hanya akan membahas dari faktor internal yang mempengaruhi pembentukan budaya organisasi yaitu sistem manajemen dan gaya kepemimpinan.
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 5
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
B. Budaya Organisasi 1.
Pengertian Budaya Organisasi
Konsep mengenai budaya organisasi (BO) pertama kali muncul pada tahun 1970an dan 1980an (Hofstede,1981), konsep yang ada telah menimbulkan berbagai intrepretasi dan ketidaksepakatan mengenai istilah tersebut. Teori-teori budaya memiliki bermacam definisi mulai idea-idea yang diterima sebagai dasar perilaku, norma dan ritual-ritual, nilai-nilai, ideologi dan kepercayaan (e.g. Schwartz & Davis, 1981), dan pada tataran pokok mengenai pola-pola (pattern of meaning) untuk memahami atau mengerti (e.g. Louis, 1985; Smircich, 1983). Meskipun intrepretasi yang berbeda mengenai budaya dari berbagai dimensi, tema umum yang sama dapat diidentifikasi dalam penelitian budaya organisasi (Parker & Bradley, 2000). Pertama, konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mendifinisikan Budaya organisasi (BO) cenderung tumpang tindih antar bidang studi, karenanya beberapa ahli berupaya mengembangkan kerangka dimensi katagoris sebagai konsep dasar studi BO, kedua meliputi nilainilai, ideologi dan kepercayaan dipertimbangkan menjadi bagian khusus untuk memahami suatu BO dan mewakili realitas yang ada (Howard, 1998; Ott, 1989). Penilaian dan pengukuran BO karena itu terfokus pada nilai-nilai organisasi. Salah satu aspek yang penting dalam penelitian budaya adalah peranan BO (utamanya mengenai pengelolaan nilai-nilai dan ideologi) dalam menghambat atau mendorong implementasi manajemen inovasi (misalnya rekayasa, TQM) atau inovasi teknologi (misalnya fleksibilitas teknologi manufaktur, sistem perencanaan sumber daya perusahaan) BO sering dikutip sebagai alasan utama kegagalan mengimplementasikan program-program perubahan. Beberapa peneliti menyarankan jalan , teknik, dan strategi perubahan yang dapat dihadirkan, kegagalan yang terjadi dikarenakan fundamental budaya yang ada dari organisasi memiliki kesamaan ( (Cameron & Quinn, 2006). Competing Values Framework (CVF) dari BO (Quinn & Kimberly, 1984; Quinn Rohrbaugh, 1983) merupakan salah satu perspektif teoritis menganai BO. Tidak ada kerangka budaya yang lengkap dan ditangkap pada setiap aspek yang relevan, pada dasarnya CVF sebagai derivasi empiris yang telah divalidasi pada penelitian sebelumnya, dan sebagian besar mengusulkan tentang dimensi-dimensi BO (Cameron & Quinn, 2006; Howard, 1998). Selanjutnya CVF telah digunakan pada studi tentang perubahan budaya (e.g. Zammuto et.al 2000), dan meluruskan dengan baik dan diterima sebagai skema katagorik mengenai bagaimana pemikiran manusia, bagaimana mengorganisasi nilia-nilai dan ideologi dan bagaimana mereka memproses informasi (Barley & Kunda, 1992; Cameron & Quinn, 2006; Quinn, 1998).
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 6
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
2. Orientasi Budaya Organisasi
CVF digambarkan sebagai berikut :
Flexibility
Human Relation Model
Open System Model
Ends : Cohesion and morale
Ends : Growth, resouces acquisition
Means : Training and development Open communication Participative decision making
Means : Adaptability and change Visionary communication Flexible decision making
Internal
External
Internal Process Model
Rational Goal Model
STIE Putra Perdana Indonesia Ends : Stability and control
Ends : Efficiency and productivity
Means : Information Management Precise Communication Data based decision making
Means : Goal-setting and planning Instructional communication Cenrtralized desicion making
Control
Gb.. 2. Competing Values Framework. Source : Adapted from Jones et.al (2005)., Linnenluecke et al. (in press) and Zammuto et al (2000)
Empat bagian CVF digambarkan sebagai kebutuhan bersaing dalam organisasi pada dua dimensi bersaing yang berbeda (Quinn & Kimebrly, 1984). Dimensi internal-eksternal mencerminkan baik organisasi yang berfokus pada dinamika internal maupun yang berfokus pada dinamika lingkungan eksternal. Dimensi flexibilitas-kontrol mencerminkan pilihan atau keinginan organisasi melakukan penataan, koordinasi dan kontrol atau untuk fleksibilitas. Organisasi yang menekankan kontrol akhir cenderung mengandalkan mekanisme formal dari koordinasi dan kontrol, misalnya aturan-aturan, kebijakan, pengawasan langsung, perencanaan keuangan, dan anggaran untuk melayani pemenuhan dengan normanorma perilaku. Berbeda dengan hal itu, organisasi yang menekankan pada Flexibility cenderung mengandalkan pada koordinasi sosial dan pengawasan melalui internalisasi nilai-nilai dasar (beliefs), pelatihan, partisipasi, komitmen, sosialisasi dan kelompok penekan (peer presure), untuk mencapai tujuan dan perilaku yang diinginkan (Zammuto, 2005; Zammuto et al.,2000). Hasil dari dua dimensi kompetisi tersebut adalah terbentuk empat tipe budaya. BO yang didominasi Model Hubungan antar Manusia (Human Relation Model) (kuadran bagian kiri atas) mengembangkan kohesi, partisipasi dan moral diantara para pekerja. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pelatihan, pengembangan sumberdaya manusia, keterbukaan komunikasi, keterlibatan dan partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan (Jones, Jimmieson & Griffith, 2005; Zammuto et.al 2000). Koordinasi dan pengawasan mendorong desentralisasi pengambilan keputusan dan kerjasama, kepatuhan karyawan terhadap organisasi merupakan amanah yang muncul atas dasar kepercayaan, tradisi dan komitmen jangka panjang terhadap organisasi. BO yang didominasi oleh Sistem Model Terbuka (Open System Model) (kuadran bagian kanan) lebih menekankan pada
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 7
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
pertumbuhan dan akuisisi dengan mendorong peningkatan yang adaptif, perubahan dan kesiapan, komunikasi yang visioner, dan mekanisme pengambilan keputusan yang fleksibel. Secara struktural cara ini menekankan pada koordinasi dan kontrol yang bersifat informal, komunikasi horisontal, individu-individu dimotivasi secara signifikan secara ideologis mengenai tugas mereka (Linnenluecke et.al., in press: Zammuto et.al 2000; Zammuto & Krakower, 1991). BO yang didominasi oleh Model Proses Internal (Internal Process Model) (kuadran kiri bawah) menekankan pada stabilitas dan kontrol melalui pendekatan formal misalnya manajemen informasi, komunikasi yang tepat atau akurat, dan pengambilan keputusan berbasis data (Jones et.al 2000). Tipe budaya ini juga dapat disebut sebagai “Budaya Hirarkhis”, melibatkan kesesuaian dalam penegakan aturan, perhatian terhadap hal-hal yang bersifat teknis (Denison & Spreitzer, 1991; Kerr & Slocum, 1987; Parker & Bradley, 2000). Koordinasi dan kontrol didorong melalui komunikasi vertikal, kebijakan dan prosedur. Kepatuhan individu dijalankan melalui aturan dan regulasi. BO yang didominasi Model Tujuan Rasional (Rational Goals Values/Model) (kuadran kiri bawah) mengembangkan efisiensi dan produktivitas, yang merupakan realisasi tujuan yang telah ditetapkan melalui perencanaan, komunikasi instruksional dan sentralisasi dalam pengambilan keputusan (Jones et.al, 2005). Secara struktural, budaya organisasi dengan model rasional ini berhubungan dengan sentralisasi dalam hal pengambilan keputusan. Individu-individu didorong dengan kepercayaan bahwa mereka memperoleh reward untuk setiap kinerja yang kompeten sesuai tujuan organisasi (Linnenluecke, et al.,inpress: Zammuto et al.,2000; Zammuto & Krakower, 1991). Meskipun keempat tipe budaya berbeda-beda dan bergantian secara khusus, tetapi satu sama lain saling melengkapi dalam suatu organisasi (Jones, et al.,2005; Zammuto et al.,2000). Meskipun demikian terdapat beberapa nilai-nilai tertentu yang terdapat dalam suatu model lebih dominan dari dibandingkan model lainnya (Quinn & Kimberly, 1984). Setiap kuadran menekankan aspek-aspek yang berbeda dari organisasi; manusia, adaptasi, stabilitas, dan prestasi dalam pelaksanaan tugas. Terdapat isu-isu penting pada setiap organisasi, dan masalah yang berlawanan pada kuadran merupakan tantangan bagi pimpinan organisasi untuk mendorong suatu keseimbangan dalam model-model yang dikembangkan (Zammuto, et al.,2000). Namun demikian, penelitian terdahulu menemukan bahwa dalam organisasi yang besar akan mengembangkan suatu tipe budaya dominan yang dijalankan (Cameron & Quinn, 2006). Suatu organisasi yang birokratik, misalnya, sangat dominan menjalankan BO dengan model proses internal dan akan menekankan pada prosedur-prosedur formal dan regulasi. Organisasi sejenis ini akan mengurangi ruang bagi peningkatan kemampuan dalam hal adaptasi dan perubahan. Organisasi menampilkan peningkatan secara berlebihan pada suatu tipe budaya yang diinginkan yang sesungguhnya tidak fungsional (Quinn, 1988).
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 8
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
Misalnya orientasi pada model proses internal yang kuat (kuadran kiri bawah) mungkin dihasilkan dari birokrasi yang ketat yang memiliki resistensi yang tinggi pada setiap perubahan (Kerr & Slocum, 1987; Zammuto et al.2000). C. Sistem Manajemen 1.
Pengertian Sistem Manajemen
Sistem manajemen mutu, secara filosofis berhubungan dengan pengertian manajemen mutu yaitu suatu upaya bagaimana produk dan jasa mempunyai daya tarik dan mempunyai mutu yang baik sehingga dapat memberikan kepuasan bagi pengguna produk. Menurut American Society for Quality Control (ASQC) yang dimaksud dengan mutu adalah totalitas bentuk dan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan - kebutuhan yang tampak jelas maupun yang tersembunyi. David A Garvin (1984) dengan jelas mengartikan mutu adalah sebagai berikut: (a) berorientasi kepada pengguna/pemakainya; (b) berorientasi kepada proses; (c) berorientasi kepada produk; (d) mutu harus diidentifikasi melalui penelitian; (e) mutu diterjemahkan kedalam atribut produk yang spesifik (pendekatan yang berorientasi kepada produk); (f) produk bermutu jika dibuat persis dengan spesifikasi yang telah ditetapkan (pendekatan yang berorientasi kepada pengerjaan). Program mengenai kualitas pada dasarnya menjelaskan tentang upaya yang akan ditempuh oleh perusahaan agar mendapatkan keuntungan. Untuk mewujudkan hal tersebut pihak manajemen harus mengenal berbagai aspek yang berkaitan dengan kualitas. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas menentukan dalam persaingan baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu selain mewujudkan kualitas berdasarkan uraian tersebut juga perlu diperhatikan tentang tanggung jawab pekerjaan, tanggapan pekerjaan terhadap metode dan prosedur pengawasan, pemberian insentif, keberadaan persediaan dan waktu tunggu datangnya material. Dalam manajemen modern rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu secara berkelanjutan disebut dengan istilah Sistem Manajemen Mutu. Contoh sistem manajemen mutu yang diakui secara internasional antara lain ISO, Malcom Baldrige dan lain-lain. Namun demikian, secara umum penerapan sistem manajemen mutu merupakan penerapan dari unsur plan, do, check dan action (PDCA) yang dilaksanakan secara kontinu dan berkelanjutan dengan tujuan bahwa seluruh proses sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 9
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
2. Perkembangan Sistem Manajemen Mutu
Berbagai masalah yang dihadapi sebagaimana dikemukakan di atas menuntut perkembangan baru ilmu manajemen yang berhubungan dengan masalah mutu dan proses kerja. Dalam catatan perkembangan manajemen mutu ada beberapa tahap pertumbuhan meliputi (a) Inspeksi (Inspection), konsep mutu modern dimulai pada tahun 1920-an kelompok mutu utama adalah inspector yang mengukur hasil produksi berdasarkan spesifikasi k e m u d i a n melapor ke pabrik. Tokoh nya : Walter A.sewhart ( 1 9 2 4 ) , H.P.Dodge & H.G. Romig (1920), (b) Pengendalian mutu (Quality Control), tahun 1940-an kelompok inspeksi berkem bang manjadi pengendalian mutu yang pertama berkembang di dunia militer, dimana tanggung jawab mutu dialihkan kebagian QC yang independen dan dibekali dengan perangkat statitistik seperti diagram kendali dan penarikan sample. Tokohnya Feigenbaum (1983) dengan total quality control (1960) yang berkembang menjadi total quality control organization wide (1970) dan kemudian menjadi konsep total quality system, (c) pemastian mutu (Quality Assurance), rekomendasi bersumber dari data-data statistik sering kali tidak dilayani struktur pengambil an keputusan. Oleh karena itu, diperlukan penjaminan mutu yang bertugas memastikan proses dan mutu produk melalui audit, pelatihan, d a n e v a l u a s i u n t u k peningkatan mutu, (d) manajemen mutu (Quality Management), evaluasi yang berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan daya saing, melalui perbaikan secara terus menerus. Dalam upaya ini diperlukan pengembangan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management) y a n g m e n g a r a h p a d a f u n g s i p r o d u k s i y a n g mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap mutu dan tanggung jawab m u t u t i d a k c u k u p h a n ya d i b e b a n k a n k e p a d a b a g i a n t e r t e n t u , t e t a p i menjadi tanggung jawab seluruh individu di perusahaan.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Selanjutnya perkembangan sistem manajemen mutu jika dilihat dari beberapa tokoh yang mengembangkan sistem tersebut adalah sebagai berikut : (a) W. Edwards Demings memiliki Filosofi Deming’s 14 Points yaitu merumuskan dan umumkan kepada semua karyawan, maksud dan tujuan organisasi, mempelajari dan melaksanakan filosofi baru, baik oleh manajer maupun karyawan, memahami tujuan inspeksi yaitu untuk memperbaiki proses danmengurangi biaya, mengakhiri praktik bisnis yang menggunakan perngahargaan berdasarkan angka atau uang saja, memperbaiki secara konstan dan kontinyu, kapanpun sistem produksi dan pelayanan, membudayakan dan melembagakan pendidikan dan pelatihan, mengajarkan dan melembagakan kepemimpinan, menjauhkan rasa ketakutan, ciptakan kepercayaan.Ciptakan iklim yangmendukung inovasi, mengoptimalkan tujuan perusahaan, tim atau kelompok, m enghilangkan
STIE Putra Perdana Indonesia Page 10
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
desakan atau tekanan-tekanan yang menghambat perkembangan karyawan, menghilangkan kuota berdasarkan angka-angka, tetapi secara terus-menerus melembagakan metode perbaikan, menghilangkan manajemen berdasarkan sasaran ( management by objective ), tetapi mempelajari kemampuan proses dan bagaimana memperbaikinya, menghilangkan hambatan yang membuat karyawan tidak merasa bangga akan pekerjaan atau tugasnya, mendukung pendidikan dan perbaikan atau peningkatan prestasi setiap orang, melaksanakan tindakan atau kegiatan untuk mencapai semua tujuan atau sasaran itu, (b) Philip B. Crosby memperkenalkan empat dimensi manajemen mutu dimana mutu diartikan sebagai kesesuaian dengan kebutuhan. Sistem pencapaian mutu merupakan pendekatan rasional untuk mencegah cacat atau kesalahan, standar performansi : standar performansi perusahaan atau organisasi yang mempunyai orientasi mutu adalah tidak ada kesalahan (zerodepect), pengukuran performansi yang digunakan adalah biaya mutu (biaya pemuangan dan pekerjaan ulang produk cacat, biaya persediaan, biaya inspeksi dan pengujian), (c) Joseph M. Juran, Ph.D memperkenalkan tiga proses mutu yang meliputi, pertama perencanaan mutu (Quality planning) yaitu identifikasi pelanggan, menentukan kebutuhan pelanggan, mengembangkan karakteristik produk, menyusun sasaran mutu, mngembangkan proses meenghasilkan produk sesuai karakteristik; kedua, pengendalian mutu (Quality control) yaitu memilih subjek atau dasar pengendalian, memilih unit pengukuran, menyusun pengukuran, menyusun standar performansi, mengukur performansi yang sesungguhnya, menginterpretasikan perbedaan antara standar dengan data nyata, mengambil tindakan atas perbedaan tersebut, dan ketiga perbaikan atau peningkatan mutu (Quality Improvement) meliputi peningkatan kebutuhan untuk mengadakan perbaikan, mengidentifikasikan proyek-proyek perbaikan khusus, mengorganisir proyek, mengorganisisr untuk mengdiagnosis penyebab kesalahan, menemukan penyebab kesalahan, mengadakan perbaikan-perbaikan, proses yang telah diperbaiki ada dalam kondisi operasional yang efektif , menyediakan pengendalian untuk mempertahankan perbaikan atau peningkatan yang telah dicapai.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia D. Gaya Kepemimpinan 1. Arti dan Fungsi Kepemimpinan Perilaku kepemimpinan mempengaruhi kinerja dan produktivitas (performance) dapat dijelaskan dengan dengan Path-goal theory (Viccio, 2006) sebagai berikut: “Path-goal theory suggest that leader can affect satisfaction, motivation, and performadance by basing rewards on the accomplishment of performance goals and by clarifying the path to these goals and removing obstacles to
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 11
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
performance. Depending on situation, the leader does this by choosing one of four types of leader behavior.” Sedangkan Paul J. Peter et al, (dalam Rangkuti, 2002) mengemukakan perilaku adalah interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, kejadian sekitar dimana manusia melakukan pertukaran di dalam hidup mereka. Perilaku organisasi seringkali mengikuti prinsip perilaku manusia. Keefektifan setiap organisasi sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Manusia merupakan sumber daya yang umum bagi semua organisasi. Pekerja sekarang tidak melihat, berpikir, atau bertindak seperti pekerja masa lalu. Untuk menjadi efektif, manajer suatu organisasi harus memandang masing-masing karyawan atau anggota sebagai sosok yang memiliki keunikan perilaku dan kultur. Banyak kultur kelompok yang berbeda di seluruh dunia terdapat pada pekerja. Sementara itu (Greenberg, 2005:49) berpendapat bahwa perilaku etika yang baik dari pegawai akan mencerminkan kebaikan dari organisasi. Perilaku etika yang baik akan memberi keuntungan antara lain meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi biaya operasional, mempertinggi reputasi organisasi dan meningkatkan kemampuan untuk menarik dan menahan pegawai. Perilaku pemimpin disebut leader attitude, yang akar katanya adalah to lead. Dalam kata itu terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan: bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntut, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya dengan demikian seorang pemimpin adalah orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntun dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya (Mangunharjana, 2001). Kepemimpinan dalam pandangan Mangunharjana (2001), terdiri atas beberapa beberapa pengertian, yakni sebagai berikut: ”Pemimpin pada intinya adalah tugas pengabdian. Dia ada bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi orang lain. Dia dipanggil bukan untuk memuaskan hobby pribadi, melainkan demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama. Dia ada bukan demi kepentingan sendiri, melainkan demi kepentingan umum. Pemimpin adalah orang yang tahu apa yang mau dicapai, mengerti jalan menuju ke sana, dapat menunjukkan tujuan dan jalan yang harus ditempuh itu kepada orang lain dan bersedia menempuh jalan itu bersama mereka yang dipimpinnya. Pemimpin dibebani tugas membaw/a mereka yang dipimpin menuju ke tujuan dan cita-cita bersama”. Selanjutnya, kepemimpinan didefinisikan oleh Horner (Horner, Melissa, 1997:270) sebagai suatu sifat, kualitas dan perilaku dari seorang pemimpin, di mana banyak orang memiliki kecenderungan untuk menerima saja sebuah keadaan
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 12
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
seperti apa adanya sekarang sebagai suatu cara hidup yang cukup nyaman, tanpa berupaya untuk merubahnya menjadi lebih baik. Fungsi kepemimpinan dibutuhkan untuk merubah suatu keadaan menjadi lebih baik, yang dalam pandangan Bagshaw (1999) kepemimpinan dapat menciptakan sebuah keadaan yang pada akhirnya mendorong orang untuk berfikir bahwa ia harus berubah dari keadaan tersebut, dan berupaya menjadi lebih baik dari sebelumnya meskipun terkadang mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya untuk memperbaiki keadaannya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan seorang pemimpin untuk dapat menjabarkan hambatan-hambatan yang ada, kemudian merubahnya menjadi sebuah kreativitas dan mendorong pertumbuhan setiap orang. Kepemimpinan memerlukan sebuah pemahaman yang tajam dari tabiat seseorang, seperti kebutuhan dasar, keinginan, dan kemampuan seseorang. Agar menjadi lebih efektif, seorang pemimpin menurut Besterfield, et al. (1995) perlu untuk mengenal dan memahami hal-hal sebagai berikut: (a) Seseorang memerlukan keamanan dan kebebasan pada saat yang bersamaan, (b) Seseorang akan sangat sensitif terhadap kebijakan reward and punishment, meskipun memiliki motivasi diri yang kuat; (c) Seseorang suka mendengar kata-kata pujian, (d) Seseorang akan tidak percaya pada retorika seorang pemimpin, jika katakatanya tidak konsisten dengan perbuatannya, (d) seseorang hanya dapat mengerjakan sedikit pekerjaan, seorang pemimpin perlu untuk memberikan contoh yang sederhana dalam menyelesaikan pekerjaannya, (e) kepemimpinan bukanlah fungsi dari kharisma. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan kharisma yang ia miliki semata dalam usaha memimpin suatu kelompok tertentu. Bila seorang pemimpin mencoba menggunakan citra dan kharismanya semata untuk memimpin suatu organisasi, maka ia bukanlah seorang pemimpin, tetapi misleader. Ada beberapa karakteristik yang membedakan seorang pemimpin dengan misleader. Nasution (2001), mengemukakan sebagai berikut: (a) pemimpin menentukan dan mengungkapkan misi organisasi secara jelas, (b) pemimpin menetapkan tujuan, prioritas dan standar, (c) pemimpin lebih memandang kepemimpinan sebagai tanggung jawab daripada suatu hak istimewa dari suatu kedudukan, (d) pemimpin bekerja dengan orang-orang yang berpengetahuan dan tangguh, serta dapat memberikan kontribusi kepada organisasi, (e) pemimpin memperoleh kepercayaan, rasa hormat dan integritas. Menurut pandangan tersebut, setiap anggota dari sebuah sistem sosial dapat memperlihatkan kepemimpinanya setiap saat, dan tidak ada perbedaan yang jelas antara para pemimpin dan para pengikutnya. Berbagai fungsi kepemimpinan dapat dilakukan oleh orang-orang yang berbeda yang mempengaruhi apa yang dilakukan kelompok tersebut, bagaimana dilakukannya, dan bagaimana cara orang di dalam kelompok tersebut saling berhubungan.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 13
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
Kepemimpinan memainkan peran yang dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja baik pada tingkat individu, pada tingkat kelompok dan pada tingkat organisasi. Seorang yang menduduki jabatan pimpinan dalam suatu organisasi memainkan peran penting tidak hanya secara internal bagi organisasi yang bersangkutan akan tetapi juga dalam menghadapi berbagai pihak dari luar organisasi yang kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan organisasi mencapai tujuannya. Peran tersebut dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu bersifat (a) interpersonal, (b) informasional, dan (c) dalam kancah pengambilan keputusan (Siagian, 2002). Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Yukl, 1994). Kepemimpinan merupakan bagian integral dalam manajemen yang harus dilakukan dalam rangka mempengaruhi orang lain atau bawahan untuk tidak melakukan hal-hal yang salah melainkan sebaliknya diarahkan untuk melakukan aktivitas yang mendukung tercapainya tujuan organisasi. Davis and Newstrom (1985) mendefinisikan pemimpin sebagai kemampuan untuk membujuk orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara antusias. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan kecakapan atau kemampuan seseorang untuk membujuk orang lain agar bersedia bekerja keras dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sedangkan Terry dan Frankin dalam (Robbin, 2003) mendefinisikan kepemimpinan kaitannya dengan hubungan seseorang (pemimpin) mempengaruhi orang lain untuk mau bekerjasama melaksanakan tugas-tugas yang saling berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin dan atau kelompok. Definisi tersebut menekankan pada permasalahan hubungan antara orang yang mempengaruhi (pemimpin) dengan orang yang dipengaruhi (bawahan). Dalam menggerakkan orang lain, seorang memiliki teknik dan seni yang berbeda satu sama lain, ada yang berorientasi pada pegawai dan ada pula yang berorientasi pada job kerja, dilakukan secara demokratis bahkan ada pula dengan sikap otoriter. Hal demikian merupakan gaya bagi setiap pemimpin dalam melakukan tugas kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi dapat tercapai (Timpe,1992) Sedangkan pendapat lain bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pimpinan. (Castetter, 1996) menjelaskan bahwa “Leadership is a very personal process between two people, in which the one attempts to guide and motivates the other to make plans for achieving aims of the school system”.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 14
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
Atas dasar pengertian tersebut dapat diungkapkan bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam kepemimpinan adalah orang yang dapat mempengaruhi orang lain, orang yang berpengaruh, adanya maksud-maksud tertentu yang hendak dicapai, adanya serangkaian tindakan tertentu untuk mempengaruhi dan untuk mencapai tujuan tertentu. 2.
Gaya Kepemimpinan
Menurut Hersey & Blanchard (1993) pada dasarnya gaya kepemimpinan seseorang terbagi pada dua kecenderungan, yaitu berorientasi pada tugas (task behavior) dan berorientasi pada hubungan (relationship behavior) seperti nampak pada gambar di bawah ini. Gaya yang pertama ditandai dengan adanya beberapa hal seperti : pemimpin memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahan, selalu mengadakan pengawasan secara ketat, meyakinkan kepada bawahan bahwa tugastugas harus dapat dilaksanakan sesuai dengan keinginanan pemimpin dan pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Gb. Gaya Kepemimpinan Situasional
Sedangkan gaya kepemimpinan yang kedua, sebaliknya ditandai dengan beberapa gejala sebagai berikut: pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan terhadap bawahan, pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan, pemimpin lebih bersikap penuh kekeluargaan, percaya, hubungan kerjasama yang saling hormat menghormati diantara sesama anggota kelompok. Selanjutnya Hersey dan Blanchard membedakan dua kecenderungan tersebut ke dalam empat gaya kepemimpinan, yaitu: telling, selling, participating
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 15
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
dan delegating. Gaya kepemimpinan telling, ditandai dengan ciri-ciri : tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan perintah khusus, pengawasan dilakukan secara ketat, pemimpin menerangkan kepada bawahan apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakan, kapan harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana pekerjasan itu harus dilakukan. Gaya kepemimpinan selling, ditandai dengan ciri-ciri: tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menerangkan keputusan, pemimpin memberikan kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih banyak melakukan banyak pengarahan, pemimpin melakukan komunikasi dua arah. Gaya kepemimpinan participating ditandai dengan ciri-ciri tinggi hubungan dan rendah tugas, di mana pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan delegating merupakan gaya kepemimpinan yang ditandai dengan ciri-ciri : hubungan dan tugas rendah, pemimpin melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kepada bawahan. Menurut pendekatan behavior, gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan juga menunjukkan secara langsung dan tidak langsung, keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya (Newstrom, 1997).
STIE Putra Perdana Indonesia Beberapa perspektif lain dalam menganalisi gaya kepemipinan, di dalam teori-teori manajemen antara lain meliputi : (a) Gaya Kepemimpinan Transformasional. Menurut Daft (2008), Transformational leaders have the ability to lead changes in the organization’s vision, strategy, and cultureas well as promote innovation in products and technologies. Artinya pemimpin transformasional mempunyai kemampuan untuk memimpin perubahan dalam visi organisasi, strategi, dan budaya sama seperti memperbaharui promosi dalam produk dan teknologi. Hughes, Ginnet, Curphy (2002) mendefinisikan pemimpin tranformasional adalah Transformation leaders possess good visioning, rhetorical (heighten followers emotional levels and inspire them to embrace the vision), impression management skills, and they use these skills to develop strong emotional bonds with followers.
STIE Putra Perdana Indonesia Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa pemimpin transformasional memiliki pandangan ke depan yang baik, gaya retoris (mempertinggi level emosi karyawan dan menginspirasi mereka untuk selalu memiliki visi kedepan), memberikan kesan yang baik pada keterampilan manajemen, dan mereka menggunakan keterampilan ini untuk mengembangkan ikatan emosi yang kuat dengan para karyawan. Robins (2006) menyatakan bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para karyawan untuk melampaui kepentingan pribadi mereka dan yang mampu membawa dampak
STIE Putra Perdana Indonesia Page 16
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
mendalam dan luar biasa pada para karyawan. Dari beberapa pendapat para ahli di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa pemimpin transformasional merupakan seorang pemimpin yang mengkonsentrasikan usaha mereka pada tujuan jangka panjang dan pengembangan visi, membangun kepercayaan diri karyawan, serta berusaha untuk menciptakan suatu hubungan yang erat dengan pada karyawan. Yukl (2005), menyatakan bahwa seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan terhadap pemimpin, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan dari mereka. Pemimpin transformasional mengubah dan memotivasi para pengikut dengan: pertama membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas, kedua membujuk mereka untuk mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka dibandingkan dengan kepentingan pribadi, dan ketiga mengaktifkan kebutuhan mereka pada tingkat yang lebih tinggi. Bass dan Riggio (2006) mengemukakan empat dimensi dalam gaya kepemimpinan transformasional, antara lain: Dimensi pertama pengaruh Idealis (Idelaized Influence), pemimpin berperilaku dalam cara-cara yang mengijinkan mereka untuk bertindak sebagai contoh bagi para karyawan. Pemimpin dapat menciptakan rasa kagum (admire), rasa hormat (respect), dan rasa percaya diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Pemimpin berupaya mempengaruhi karyawan melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai moral, komitmen, dan keyakinan dalam memiliki tekad untuk mencapai tujuan serta mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang diambil. Motivasi Inspirasional (Inspirational Motivation). Dimensi kedua, pemimpin berperilaku dalam cara-cara yang dapat memotivasi dan menginspirasi para karyawan dengan menyediakan tantangan dalam pekerjaan mereka. Pemimpin dapat mengkomunikasikan visinya dengan penuh keyakinan diri, mereka mendemonstrasikan keteguhan dan komitmen untuk mencapai tujuan dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Gaya kepemimpinan ini dapat memperbesar optimisme dan membangkitkan gairah karyawan dalam bekerja. Dimana hal ini dapat menimbulkan perasaan pada karyawan bahwa mereka mampu melakukan pekerjaan dan mampu untuk menyelesaikan tugas yang berisiko tinggi dengan hasil yang memuaskan. Rangsangan Intelektual (Intellectual Stimulation). Dimensi ketiga, pemimpin merangsang usaha para karyawan untuk bertindak secara inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, meninjau ulang masalah, dan menangani permasalahan dalam cara-cara yang baru. Pemimpin mengajak para karyawan untuk berpikir secara rasional serta menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Para karyawan juga didorong untuk berpikir dengan cara mereka sendiri dalam menghadapi tantangan dan mempertimbangkan cara-cara yang kreatif untuk mengembangkan diri mereka
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 17
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
sendiri. Dimensi keempat, pertimbangan Pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin memperlakukan setiap karyawannya sebagai pribadi yang unik, yang memiliki kecakapan, kebutuhan dan keinginan yang berbeda satu sama lain. Pemimpin memberikan perhatian yang khusus kepada setiap karyawan dalam usaha untuk meningkatkan prestasi dan mengembangkan kemampuan mereka, dengan bertindak sebagai palatih atau penasehat. Pemimpin tidak hanya mengenali kebutuhan mereka dan meningkatkan perspektif mereka, tetapi pemimpin juga menyediakan sarana untuk mencapai tujuan secara lebih efektif. Kepemimpinan transformasional menjawab tantangan zaman yang penuh dengan perubahan. Zaman yang dihadapi saat ini bukan zaman ketika manusia menerima segala apa yang menimpanya, tetapi zaman di mana manusia dapat mengkritik dan meminta yang layak dari apa yang diberikannya secara kemanusiaan. Bahkan dalam terminologi motivasi Maslow, manusia di era ini adalah manusia yang memiliki keinginan mengaktualisasikan dirinya, yang berimplikasi pada bentuk pelayanan dan penghargaan terhadap manusia itu sendiri. Kepemimpinan tranformasional tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan diri, tetapi menumbuhkan kesadaran pada pemimpin untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian perkembangan manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja, dan pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh. Kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses yang pada dasarnya para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin adalah seorang yang sadar akan prinsip perkembangan oganisasi dan kinerja manusia sehingga ia berupaya mengembangkan segi kepemimpinannya secara utuh melalui pemotivasian terhadap staf dan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan, atau kebencian. Pemimpin transformasional adalah agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator, yaitu memberi peran mengubah sistem kearah yang lebih baik. Katalisator adalah sebutan lain untuk pemimpin transformasional karena ia berperan meningkatkan segala sumber daya manusia yang ada. Berusaha memberikan reaksi yang menimbulkan semangat dan daya kerja cepat semaksimal mungkin, selalu tampil sebagai pelopor dan pembawa perubahan. Menurut Covey (1989) dan Peters (1992), seorang pemimpin transformasional memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistis tentang bagaimana organisasi dimasa depan ketika semua tujuan dan sasarnnya telah tercapai. Inilah yang menegaskan bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mendasarkan dirinya pada cita-cita di masa depan, terlepas apakah visinya itu visioner dalam arti diakui atau tidak diakui oleh semua orang sebagai visi yang hebat dan mendasar (Komariah dan Triatna,2005:78).
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 18
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
(b) Gaya Kepemimpinan Situasional. McNamara (2000) menyatakan bahwa “Gaya kepemimpinan tergantung pada situasi, bersamaan dengan perputaran kehidupan organisasi. Contigency Theory Leadership adalah teori yang menguatkan bahwa ada kaitan antara kepemimpinan dengan situasi tertentu yang dipersyaratkan. Seorang pemimpin akan efektif jika gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang terjadi (Bednar, 1991). Pendapat lain yang mendukung teori kepemimpinan situasional juga disampaikan oleh Hersey dan Blanchard, yang mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif itu berbeda-beda sesuai dengan “kematangan” bawahan. Kematangan atau kedewasaan bawahan bukan sebatas usia atau stabilitas emosional, melainkan keinginan untuk berprestasi dan menerima tanggung jawab, dan kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas. (c) Gaya Kepemimpinan Transaksional . Menurut Shriberg dan lloyd (2002) Transactional leadership is a berter, an exchange of wants batween leader and follower. The transactional leader satisfies followers’ needs by ebtering into a relationship of mutual dependece in which the contributions of both sides are recognized and rewarded. Artinya kepemimpinan transaksional adalah barter, yang merupakan pertukaran dari kebutuhan antara pemimpin dan karyawan. Pemimpin transaksional memusatkan kebutuhan para karyawan dengan memasuki hubungan saling ketergantungan, dimana kontribusi dari kedua sisi diakui dan dihargai. Daft (2008) mendefinisikan pemimpin transaksional sebagai The transactional leader recognizes specific follower desires and provides goods that meet those desires in exchange for followers meeting specified ebjectives or performing certain duties. Artinya pemimpin transasksional mengakui apa yang diinginkan karyawan dan menyediakan semua kebutuhan itu untuk meningkatkan tujan dan prestasi karyawan dalam menjalankan setiap tugas. Sedangkan menurut Robbins (2006) definisi pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi para karyawan menuju ke sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas mereka. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemimpin transaksional adalah pemimpin yang menekankan proses transaksi antara atasan dan karyawan, di mana karyawan akan memperoleh penghargaan atas kinerja terbaiknya dan atasan memperoleh keuntungan dai kinerja terbaik tersebut. Bass dan Riggio (2006) mengemukakan beberapa dimensi atau ciri dalam gaya kepemimpinan transaksional, antara lain; pertama pemberian Imbalan (Contingent Reward), kedua pemimpin melakukan transaksi dengan karyawan atas pencapaian kinerjanya. Karyawan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, ketiga manajemen aktif dengan pengecualian (Active
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 19
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
Management by Exception), keempat pemimpin memonitor terus kinerja karyawan untuk mengantisipasi kesalahan. Pemimpin secara aktif dan terus menerus mencari permasalahannya dan penyimpangan serta menjelaskan standar kerja sejak permulaan. Pada umumnya pemimpin dapat mendorong kinerja karyawannya dengan menjelaskan standar kerja atau memodifikasi kinerja yang kurang baik dengan cara-cara yang dapat diterima, kelima manajemen pasif dengan pengecualian (Passive Management by Exception) Pemimpin melakukan intervensi dengan kritik serta mengoreksi setelah terjadi kesalahan. Pemimpin menunggu setelah tugas selesai dikerjakan dan menjelaskan standarnya setelah terjadi kesalahan. Pada umumnya pemimpin mengandalkan kritik dan teguran sebagai pernyataan ketidaksetujuannya. (d) Gaya Kepemimpinan Visioner. Kepemimpinan memiliki kedudukan yang menentukan dalam organisasi. Pemimpin yang melaksanakan kepemimpinannya secara efektif dapat menggerakkan orang/personel kearah tujuan yang dicita-citakan, sebaliknya pemimpin yang keberadaannya hanya sebagai figure, tidak memiliki pengaruh, kepemimpinannya dapat mengakibatkan lemahnya kinerja organisasi, yang pada akhirnya dapat menciptakan keterpurukan. Kepemimpinan begitu kuat mempengaruhi kinerja organisasi sehingga rasional apabila keterpurukan usaha atau bisnis salah satunya disebabkan karena kinerja kepemimpinan yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan juga tidak membuat strategi yang adaptif terhadap perubahan. Keterpurukan bidang ekonomi dan bisnis adalah salah satunya disebabkan karena belum adanya visi strategis yang menempatkan industri sebagai leading sector. Hal ini memberikan makna betapa kuatnya visi diperlukan dalam membangun suatu kekuatan bisnis . Visi menjadi pemicu (trigger) semangat meraih kemenangan, dapat mengisi kehampaan, membangkitkan semangat dan meningkatkan kinerja. Seorang yang bertanggungjawab merumuskan visi adalah pemimpin melalui kinerja kepemimpinannya. Visi dirumuskan bukan semata-mata untuk menciptakan kinerja tetapi dapat mengakomodasi kepentingan hubungan baik di antara personel dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta dalam meniti kariernya. Kepemimpinan visioner salah satunya ditandai oleh kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sehingga dari rumusan visinya tersebut akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai dari pengembangan lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan, mengomunikasikan, mensosialisasikan / mentransformasikan, dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi social di antara anggota organisasi dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa yang harus diraih atau diwujudkan melalui komitmen semua personel (Komariah dan Triatna, 2005).
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 20
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
III. PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Sistem Manajemen dengan Budaya Organisasi
Organisasi modern abad ke 21 merupakan tipikal organisasi yang berbasis pendekatan sistem, bukan berbasis individual. Dalam pendekatan ini, sistem manajemen bertumpu pada proses yang komprehensif antar sub-sub sistem keorganisasian yang tidak bersifat parsial. Misalnya dari aspek sumberdaya manusia, organisasi yang sehat dimulai sub sistem rekruitmen yang kemudian terkait banyak faktor lain misalnya pelatihan dan pengembangan, kompensasi dan penghargaan, karier sampai pada pengakhiran hubungan kerja. Hubungan antar sub-sistem tersebut, dapat dikelompokkan menjadi sistem manajemen pengelolaan sumberdaya manusia. Kusdi (2011) menyebutkan mengenai mengenai praktik-praktik utama dalam organisasi modern yang meliputi sistem rekruitmen, sistem kompensasi, struktur atau desain organisasi dan standar pengukuran kinerja. Dalam konteks ini, organisasi harus dapat menterjemahkan programnya secara sistematis melalui kejelasan program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam pelaksanaan setiap kegiatan, harus terdapat kejelasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta tindakan-tindakan perbaikan yang dilakukan secara terus menerus (continously improvement). Kaplan dan Norton (dalam Kusdi, 2011) menjelaskan pendekatan sistem ini mulai dari penetapan visi organisasi sampai menjadi outcomes yang digambarkan sebagai berikut :
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia MISI
• MENGAPA KITA HADIR
NILAI-NILAI INTI
• APA YANG KITA YAKINI
VISI
• APA YANG KITA CAPAI
STRATEGI
BALANCED SCORECARD
• RENCANA KITA
• IMPLEMENTASI & FOKUS
INISIATIF STRATEGI
• APA YANG PERLU KITA LAKUKAN
SASARAN PRIBADI
• APA YANG PERLU SAYA LAKUKAN
HASIL STATEGIS
• • • •
KEPUASAN PEMEGANG SAHAM PELANGGAN YANG SENANG PROSES YANG EFEKTIF TENAGA KERJA YANG TERMOTIVASI DAN SIAP
Gambar di atas menjelaskan bagaimana sistem manajemen yang terkait mulai dari kebijakan-kebijakan strategis (visi, misi, nilai-nilai, strategi ) sampai tahap implementasi dan pencapaian hasil merupakan rangkaian kegiatan yang tidak berdiri sendiri. Gambar di atas sekaligus juga menjelaskan adanya
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 21
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
pendekatan sistem manajemen dalam pengelolaan organisasi, dimana setiap kebijakan berhubungan satu sama lain. Dalam tahap implementasi, Kaplan menawarkan pengelolaan yang berbasis Balanced Scorecard (BSC), dimana implementasi dengan menggunakan pendekatan ini akan mengintegrasikan seluruh proses kerja yang terkait satu sama lain. Kotter dan Heskett (dalam Tika, 2008) melakukan penelitian pada beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat yang membuktikan bahwa budaya organisasi dapat mendorong kemajuan perusahaan meliputi : Pertama perusahaan Tandem Computer. Perusahaan ini didirikan atas dasar seperangkat keyakinan dan praktik manajemen yang tertata baik. Sekalipun perusahaan ini tidak banyak memiliki aturan yang tertulis dan formal, namun seluruh karyawan dapat bekerja secara produktif dalam arah yang sama karena adanya kesepakatan mengenai aturan-aturan yang tidak tertulis. Manajemen puncak perusahaan secara terus menerus melatih dan mengkomunikasikan filosofi manajemen dan esensi perusahaan. Acara-acara yang dijalankan manajemen puncak bagi seluruh karyawan adalah upaya untuk membangun budaya perusahaan. Hasilnya kebanyakan karyawan mengembangkan rasa hormat, kesetiaan yang beralih menjadi kerja keras dan produktif. Kedua perusahaan Northwesthern Mutual, setiap tahun perusahaan ini mengadakan pertemuan dengan seluruh staff yang terlibat dalam kegiatan perusahaan yang bertujuan menekankan nilai-nilai inti perusahaan. Dalam acara ini juga diberikan pengakuan terhadap para individu yang berhasil menjunjung tinggi nilai-nilai perusahaan, ketiga perusahaan IBM. Perusahaan ini sejak lama memiliki karyawan yang reputasi kesetiaan dan motivasi kerja yang tinggi, karena adanya sejumlah konsensus dan filosofi perusahaan yang tertanam baik. Pemilik perusahaan sangat meyakini bahwa filosofi, semangat dan keinginan dari sebuah organisasi lebih banyak berpengaruh terhadap pencapaian prestasi relatif, dibandingkan dengan sumber daya teknologi atau ekonomi, struktur organisasi, inovasi dan ketepatan waktu, keempat perusahaan Wal-Mart. Perusahaan ini menekankan kesederhanaan, kerja keras, dedikasi dan mewarisi pendiri perusahaan yang tidak boros, produktif dengan cara memanfaatkan teknologi. Hasil kerja perusahaan ini cukup spektakuler yang menyebar diseluruh dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Kotter dan Heskett di atas, menekankan bagaimana nilai-nilai inti dan filosofi perusahaan berpengaruh terhadap hal-hal yang positif bagi kelangsungan dan kemajuan suatu perusahaan. Bahkan nilai-nilai inti tersebut jauh lebih penting dari pada aturan formal, struktur dan desain organisasi secara tertulis. Namun demikian, dalam sistem manajemen organisasi modern, desain organisasi yang tidak formal dan tidak tertulis tidak cukup untuk mengembangkan suatu budaya organisasi. Penanaman nilai-nilai inti dan filosofi perusahaan dalam dinamika masyarakat saat ini, tidak semudah yang dilakukan oleh perusahaan besar yang telah berdiri dalam kurun waktu yang panjang.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 22
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
Erni R Ernawan (2011) mengatakan bahwa filosofi pendiri perusahaan akan berkembang bila para pendiri adalah individu yang berorientasi pada prestasi menuju sukses. Perilaku organisasi dalam menanamkan budaya organisasi melalui proses belajar yang dilengkapi dengan satu atau lebih mekanisme sebagai berikut : (a) pernyataan filosofi formal, misi, visi, nilai dan material yang akan digunakan untuk rekruitmen, seleksi dan sosialisasi. Daftar ini yang disosilisasikan bagi seluruh karyawan, (b) desain secara baik ruangan fisik, lingkungan kerja, dan bangunan, (c) slogan, bahasa, akronim dan perkataan untuk layanan klien yang baik, (d) pembentukan peranan, program pelatihan, pengajaran oleh para manajer dan supervisor, (e) penghargaan eksplisit, simbol status, kriteria promosi, (f) Cerita, legenda dan mitos mengenai suatu peristiwa dan orang-orang penting, (g) aktivitas, proses, atau hasil organisasi diperhatikan, diukur dan dikendalikan pimpinan, (h) reaksi pimpinan terhadap insiden yang kritis dan krisis organisasi, (i) struktur organisasi dan aliran kerja, (j) sistem dan prosedur organisasi, (k) tujuan organisasi dan kriteria gabungan yang digunakan untuk rekruitmen, seleksi, pengembangan, promosi, pemberhentian, dan pengunduran diri karyawan.
STIE Putra Perdana Indonesia Pendapat Erni R Ernawan di atas melengkapi pandangan yang dikemukakan oleh Kotter dan Heskett. Dalam pembentukan budaya organisasi, selain penanaman filosofi dan nilai-nilai inti organisasi, juga harus dilengkapi dengan seperangkat sistem manajemen sehingga dapat diimplementasikan dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku karyawan. Sejalan dengan pendapat di atas, Nevizon Chatab (2007) menyampaikan tuntutan praktis mengubah budaya organisasi meliputi formulasikan visi stratejik yang jelas, peragakan komitmen manajemen puncak, praktik teladan kepemimpinan, modifikasi perubahan organisasi (penataan organisasi, implementasi sistem yang meliputi metode, keterlibatan dan kompetensi dan imbalan, sistem kepemimpinan, alokasi sumberdaya, mekanisme organisasi, sistem informasi dan pengawasan), rekrut, seleksi dan sosialisasi anggota baru dan pemberhentian orang yang menyimpang, kembangkan kepekaan hukum dan etis. McKenzie (dalam Achmad Sobirin, 2009) mengembangkan konsep 7S yang menyatakan bahwa tiga hal penting dalam pembentukan budaya organisasi yaitu strategi, struktur dan sistem. Strategi merupakan alat manajemen yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan jangka panjang organisasi sebagai bagian untuk mencapai visi, misi organisasi dan harus dituangkan dalam process of strategy (formulasi strategi) dan content of strategy (implementasi strategi). Menurut Alfred D. Chanders, Terry Amburgey dan Tina Dacin sebagaimana dikutip oleh Acmad Sobirin (ibid) bahwa formulasi strategi dan implementasi strategi harus diikuti dengan penyusunan struktur organisasi yang tepat. Jika tidak maka formulasi strategi hanya menjadi wacana. Begitu juga dengan sistem, Phesey (ibid) mengatakan adanya control system sebagai bentuk pengedalian organisasi
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 23
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
yang meliputi regulative dan appreciative control. Regulative control pada dasarnya merupakan mekanisme pengendalian yang berusaha untuk mengurangi atau minimalisasi penyimpangan dengan menetapkan aturan, pedoman atau standar yang harus dipatuhi oleh siapapun yang melakukan kegiatan organisasi. Sedangkan appreciative control, memberikan otonomi kepada lebih luas kepada pelaku kegiatan atau kelompoknya untuk mengontrol diri dan membuat judgement yang tepat untuk kepentingan organisasi. Appreciative control dalam istilah lain seringkali juga disebut dengan self control atau pengawasan melekat. Strategi, struktur dan sistem sebagaimana dikemukakan di atas merupakan sistem manajemen yang komprehensif dalam membangun suatu organisasi. Achmad Sobirin (ibid) menyebutkan tentang Total Quality Control (TQS) dan Total Quality Management (TQM) yang akan berdampak secara timbal balik dengan budaya organisasi. Sekalipun ada perbedaan antara TQS dan TQM, dimana TQS lebih condong ke regulative control sedangkan TQM condong appreciative control. Namun pandangan ini setidaknya mengakui bahwa TQM dan TQS merupakan wujud dari sistem manajemen yang dapat mengembangkan budaya organisasi. Perusahaan Toyota membuktikan bagaimana perusahaan tersebut membangun budaya organisasi. Jefrey K Liker (2008) menerbitkan buku mengenai Toyota Culture yang menjelaskan perusahaan tersebut membangun dan mengembangkan nilai-nilai dan sistem kerja yang lengkap dan jelas bagi seluruh staffnya diberbagai negara, sehingga menjadikan Toyota dengan prestasi yang tidak diragukan lagi hingga saat ini.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia B. Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan dengan Budaya Organisasi
Schein (dalam Wibowo, 2011) mengatakan bahwa budaya biasanya tumbuh dari tiga sumber yaitu (a) keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi dari pendiri organisasi, (b) pengalaman pembelajaran anggota kelompok ketika organisasi berkembang, dan (c) keyakinan, nilai-nilai dan asumsi baru yang dibawa oleh anggota dan pemimpin baru. Pandangan Schein menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan salah faktor yang mendorong tumbuhnya budaya organisasi. Secara terperinci Jerome Want (dalam Wibowo, 2011) menyebutkan bahwa prinsip-prinsip kepemimpinan yang benar meliputi (a) decision making, (b) leadership, (c) communication, (d) aprreciating differences, (e) personal excellence, (f) business success, (g) continuous learning, (i) vibrant workplace, (j) ethics, (k) partnerships, (l) passion for coffee, (m) shared ownership, (n) sustainability. Sejalan dengan pandangan di atas secara lebih operasional kepemimpinan dalam organisasi yang mendorong tumbuhnya budaya organisasi menurut Erni R Ernawan (2011) adalah kepemimpinan ditekankan pada seberapa jauh seorang
STIE Putra Perdana Indonesia Page 24
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
pemimpin merumuskan tujuan organisasi, penerjemahan tujuan ke dalam program dan kegiatan, menangani konflik yang ada serta menjaga integritas organisasi yang dipimpinnya. Menurut Kusdi (2011) keterampilan yang diperlukan dalam perubahan budaya organisasi meliputi (a) kepemimpinan, (b) komunikasi, (c) manajemen perubahan, dan (d) keahlian teknis. Pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Schein, Jerome Want Erni dan Kusdi di atas dapat memberikan kesimpulan bahwa kepemimpinan yang diperlukan dalam pembentukan budaya organisasi dapat dibedakan dalam dua hal yaitu: (a) kepemimpinan yang berorientasi kepada nilai-nilai strategis organisasi yaitu kemampuan untuk membangun dan mengintegrasikan visi, misi, nilai-nilai dan etika organisasi, dan (b) kemampuan untuk mengimplementasikan program dan kegiatan dalam praktik organisasi sehari-hari. Oleh karena itu, tantangan kepemimpinan dalam membangun budaya organisasi harus memahami keadaan organisasi secara menyeluruh, sekalipun terdapat level kepemimpinan yang berbeda berdasarkan struktur organisasi, misalnya level yang paling tinggi (top management), namun dalam praktiknya juga harus memahami esensi kerja yang dilaksanakan pada level di bawahnya, sebaliknya kepemimpinan pada level yang lebih rendah, misalnya pimpinan pada tingkat operasional organisasi juga harus memahami esensi kepemimpinan yang diharapkan dari level kepemimpinan puncak. Keterkaitan antar level kepemimpinan sangat diperlukan dalam suatu organisasi agar tidak terjadi kesenjangan antar unit, baik yang berisifat vertikal maupun yang bersifat horisontal. Kesenjangan antar level kepemimpinan dalam organisasi, akan menimbulkan stagnasi dalam membangun budaya organisasi, bahkan dapat menimbulkan krisis organisasi dalam jangka panjang. Dalam praktik kepemimpinan, seorang pemimpin akan berhubungan dengan bawahan atau sumberdaya manusia lainnya. Oleh karena itu, komunikasi dan hubungan sosial antara pemimpin dan bawahan tidak dapat diabaikan dalam menunjang keberhasilan organisasi. Menurut Suwatno dan Donni J Priansa (2011) kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu mengintegrasikan antara antara gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia. Dengan demikian, pendapat tersebut menegaskan bahwa kepemimpinan tidak dapat mengabaikan aspek-aspek personal dan hubungan sosial antara pemimpin dan bawahannya. Dalam konteks pengembangan budaya organisasi, kapabilitas manajerial yang diperlukan menurut Cameron dan Quinn (dalam Kusdi, 2011) dapat berbedabeda tergantung pola budaya yang berkembang, yaitu : (a) keahlian manajerial kultur klan meliputi mengelola tim, mengelola hubungan interpersonal, mengelola pengembangan diri karyawan, (b) keahlian manajerial kultur adhokrasi meliputi mengelola inovasi, mengelola masa depan, mengelola perbaikan terus menerus, (c) keahlian manajerial kultur market meliputi mengelola daya saing, membangkitkan
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 25
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
semangat karyawan, mengelola fokus konsumen, (d) keahlian manajerial kultur hirarkhi meliputi mengelola akulturasi, mengelola sistem kontrol dan mengelola koordinasi. Lebih lanjut Kusdi (2011) perubahan kultur dapat dikelola jika sudah terjadi tanda-tanda perubahan, dan harus segera dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisasi. Dengan kata lain, perubahan harus dimulai dari hal-hal yang bersifat konkret yang harus diatasi organisasi, karena hal-hal ini akan memberikan tanda yang jelas kepada para anggota kemana organisasi akan dibawa. Streere Jr (dalam Asri L Riani, 2011) mengatakan bahwa bagian terpenting dari tugas seorang pemimpin adalah bertanggung jawab dalam pembentukan dan pengembangan budaya perusahaan, yang dilakukan dengan jalan mengidentifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai dan prinsip dasar yang memandu jalannya perusahaan dan pembentukan keputusan organisasi. Lebih lanjut Susanto (dalam Asri L Riani, 2011) mengatakan syarat agar budaya organisasi dapat dipelihara dengan baik adalah : (a) pemimpin harus memberikan dorongan kepada para manajer dan karyawan untuk mengimplementasikan budaya perusahaannya dalam setiap penting, terutama yang berupa ritual/kebiasaan, (b) pemimpin harus dapat memberikan keteladanan, terutama dalam lingkungan yang bersifat paternalistik yang menempatkan seorang pemimpin sebagai figur sentra, (c) perusahaan atau organisasi harus mampu beradaptasi dengan sub-kultur yang ada (yang tidak bertentangan budaya perusahaan) dan ikut memperkaya main culture atau dominant culture di perusahaan tersebut, (d) pemimpin dan manajer memberikan bimbingan agar kelompok yang memiliki subkultur tertentu dapat memahami dan menoleransi kelompok lain dengan subkultur yang berbeda, bahkan berusaha untuk membentunya dalam memecahkan masalah yang dihadapi, (e) pemimpin dan para manajer senantiasa memberikan penjelasan dan menekankan bahwa perusahaan akan semakin kaya dan kuat, karena dibangun dengan beberapa subkultur yang ada di perusahaan. Pandangan yang dikemukakan di atas menyimpulkan bahwa kepemimpinan memiliki pengaruh yang kuat dalam membangun budaya perusahaan, dalam pengertian pemimpin yang memiliki integritas tinggi yang dapat ditunjukan dengan orientasi dan wawasan kepemimpinan yang luas, mampu memahami tujuan dan kebutuhan organisasi secara komprehensif, mampu mengintegrasikan setiap level organisasi secara menyeluruh, dan memahami jenisjenis pekerjaan baik yang bersifat stratejik maupun teknis. Perusahaan yang memiliki pemimpin dengan kemampuan tersebut, akan mampu membangun budaya perusahaan dan kelangsungan perusahaannya untuk masa depan. Namun demikian, pembentukan budaya organisasi bukan suatu proses yang mudah karena akan meliputi pembentukan perilaku dan merubah kebiasaan sumberdaya yang ada di dalam perusahaan atau organisasi, pembentukan budaya organisasi
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 26
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
memerlukan waktu dan daya tahan kepemimpinan yang berlangsung. Pentingnya pembentukan budaya organisasi untuk kelangsungan sebagaimana dikatakan Kotter (1997), perubahan kultur bukan langkah terakhir melainkan langkah pertama. IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan
Kajian yang dibahas dalam tulisan ini, belum merupakan hasil suatu penelitian yang dapat dijadikan referensi dalam melakukan pengujian terhadap suatu teori. Pembahasan lebih banyak didasari oleh pandanganpandangan para ahli terdahulu, sehingga belum dapat dipastikan terbukti jika dilakukan penelitian pada waktu dan tempat yang berbeda. Namun demikian, kajian kepustakaan ini dapat membuktikan bahwa : 1. Sistem manajemen berpengaruh terhadap pembentukan budaya organisasi. Sistem manajemen akan mengintegrasikan seluruh proses yang diperlukan dalam suatu organisasi atau perusahaan, sehingga memudahkan pembentukan budaya oragnisasi terutama meliputi visi, misi, strategi dan nilai-nilai inti yang akan dikembangkan. 2. Gaya kepemimpinan yang komprehensif dalam arti mampu menyatukan pendekatan kepada seluruh staf dalam pelaksanaan tugas, dan menjaga hubungan sosial dan personal merupakan gaya kepemimpinan yang diperlukan dalam pembentukan budaya organisasi. Selain itu, diperlukan juga kepemimpinan yang mampu memahami seluruh proses kerja organisasi secara menyeluruh sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antar bagian kerja baik yang bersifat vertikal maupun horisontal. Sehingga kepemimpinan visioner dan transformasional sangat diperlukan dalam mengembangkan budaya organisasi.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia B. Rekomendasi
1. Pengembangan budaya organisasi yang berorientasi pada budaya organisasi modern diperlukan dalam pembentukan budaya organisasi atau perusahaan nasional saat ini. Hal ini menjadi penting untuk meningkatkan daya saing dan keunggulan perusahaan nasional. Oleh karena itu, diperlukan penguatan dalam sistem manajemen dan kepemimpinan organisasi atau perusahaan saat ini. 2. Mengingat tulisan ini masih merupakan studi kepustakaan, maka perlu dilakukan penelitian lapangan secara mendalam mengenai masalahmasalah yang berhubungan dengan budaya organisasi atau perusahaan di
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 6; Nopember 2012
Page 27
STIE Putra Perdana Indonesia Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
Nopember 12
Indonesia, serta hubungannya dengan sistem manajemen dan gaya kepemimpinan yang diamskud. DAFTAR PUSTAKA
Bagshaw, Mike and Caroline Bagshaw.1999. Leadership in the Twenty-first Century” (Industrial and Commercial Training, Volume 3 – Number 6, MCB University Press). Che Rose, Raduan,2008. Organizational Culture as Root of Performance Improvement : Research and Recomendation. Contemparary Management Research pages 43-56. Vol. 1. March 2008. Fandy Tjiptono dan Anastasia Dina.1998. Total Quality Management. Edisi 2 Cet 2. Yogyakarta: Andi Offset Fandy Tjiptono, 2001. Prinsip-prinsip Total Quality Service (TQS). Edisi 2 Cet 2. Yokyakarta:Andi Offset Hofstede. G. 1991. Culture and Organization. Software of The Mind. New York McGraw Hill. Kameron, Kim S. & Robert E Quinn. 2006. Diagnosing and Changing Organizational Culture. Based on The Competing Values Framework. The Jossey Bass Business & Management Series. Revised edition. Hofstede. G. 1991. Culture and Organization. Software of The Mind. New York McGraw Hill. Kameron, Kim S. & Robert E Quinn. 2006. Diagnosing and Changing Organizational Culture. Based on The Competing Values Framework. The Jossey Bass Business & Management Series. Revised edition. Kusdi. 2011. Budaya Organisasi. Teori, Penelitian dan Praktik. Jakarta, Penerbit salemba Empat. Liker, Jeffrey K. Et.al.2008. Toyota Culture. Jantung dan Jiwa Toyota Way. Indonesia, Penerbit Erlangga. Nevizon Chatab. 2007. Profil Budaya Organisasi. Mendiagnosis Budaya dan Merangsang perubahannya. Bandung, Penerbit Alfabeta. Tika, Moh. Pabundu. 2008. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja perusahaan. Jakarta, PT. Bumi Aksara. Wibowo. Prof.Dr.S.E.M.Phil. 2007. Manajemen Kinerja. Jakarta, Edisi Ketiga, Rajawali Press. Wu, Kevin. 2011. Quality Implementation. Kunci Meningkatkan Komitmen Tim, Mengimplementasikan Strategi dan Melipatkangandakan Hasil. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia Page 28
InoVasi Volume 6 ; Nopember 2012