Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN
KABUPATEN BLORA PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2002 – 2004=
Oleh : Dr. M. Suparmoko., M.A. Gathot Widyantara., S.E., M.M. Dosen tetap
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PUTRA PERDANA INDONESIA
Abstraction
STIE Putra Perdana Indonesia The forestry sector is a sector that contributes greatly to the development of both national and local levels. Forests in addition to produce timber and other byproducts such as resin, rattan, pharmaceuticals, forests also provide environmental services such as hold water, prevent flooding, reduce erosion and sedimentation, a source of biodiversity and forests also absorb carbon, thereby reducing air pollution. Therefore, the forest is very useful to support the life and development of all sectors of the economy such as agriculture, plantation and fisheries, industry, transport sector, the tourism sector, housing sector, and service sectors. The value of the contribution of the forestry sector in the Green GRDP Blora can be determined by subtracting the value of the depreciation of the value of the contribution of the forestry sector to the GRDP Blora conventional. In a row from 2002 to 2004, the value of the contribution of the forest sector in the green Blora GRDP respectively are: (2002: Rp 235.48 billion), (2003: Rp 300.69 billion), and (Year 2004 : USD 288.50 billion).
STIE Putra Perdana Indonesia Abstraksi
Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan baik nasional maupun daerah. Hutan di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya seperti damar, rotan, bahan obatobatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan semua sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan sektor-sektor jasa. Nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Blora dapat diketahui dengan mengurangkan nilai depresiasi sektor kehutanan dari nilai kontribusi konvensional pada PDRB Kabupaten Blora. Secara berturut-turut dari tahun 2002 hingga tahun 2004 nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 9: April 2014
Page 322
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Blora secara berturut-turut adalah: (Tahun 2002: Rp 235,48 milyar), (Tahun 2003: Rp 300,69 milyar), dan (Tahun 2004: Rp 288,50 milyar). I. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan terluas nomor 3 (tiga) di
dunia setelah Brazil dan Kongo. Pada tahun 1977 luas tutupan hutan Indonesia diperkirakan sekitar 100 juta hektar. Perkiraan rendah (modest estimate ) ada sekitar 20 juta orang yang mengandalkan kehidupannya langsung pada hutan. Sektor kehutanan juga merupakan penghasil devisa negara nomor 2 (dua) setelah minyak bumi dan gas alam pada periode tahun 1970-1980an. 1
STIE Putra Perdana Indonesia Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar
terhadap pembangunan baik nasional maupun daerah.
Hutan di samping
menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya seperti damar, rotan, bahan obatobatan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan
banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan
hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara. Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan perkembangan
semua sektor-sektor ekonomi yang lain seperti sektor pertanian, perkebunan dan perikanan,
sektor
industri,
sektor
perhubungan,
sektor
pariwisata,
sektor
pemukiman, dan sektor-sektor jasa.
STIE Putra Perdana Indonesia Namun kondisi hutan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan karena
tingkat deforestasi hutan sangat tinggi sekitar 1,6 juta Ha/tahun antara 1985-1997, meningkat menjadi 2,1 ha/tahun antara 1997-2001, dan meningkat lagi menjadi 2,8 juta ha/tahun antara 2001-2004.2 Sebagian besar kawasan hutan yang dinyatakan sebagai hutan lindung dan hutan konservasi justru banyak yang ditebang,
sedangkan hutan produksi dan hutan konversi karena sudah menipis cadangan kayunya, justru boleh dikatakan hanya sebagian kecil saja yang
diusahakan.
Tampaknya juga ada motivasi lain bahwa para pemegang hak UPK yang akan mengkonversi hutan menjadi lahan perkebunan lebih senang memanen kayu hutan daripada memulai usaha perkebunan. Hasil diskusi dalam Rapat Koordinasi
STIE Putra Perdana Indonesia 1
Krystof Obidzinki and Christopher Barr, The Effects of Decentralization on Forests and Forest Industires in Berau District, East Kalimantan, CIFOR, Jakarta, 2003, 2 Bahan Pidato Kenegaraan Presiden Sektor Kehutanan (Draft Masukan Pusrentikhut) tak diterbitkan, 2004, hal 3; dan Dedi M. Riyadi, Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup Indonesia: Antara Krisis dan Peluang, BAPPENAS, 2004, halaman 5.
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 323
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Departemen Kehutanan di Palangkaraya mencatat bahwa ada sekitar 600 ijin pembukaan hutan yang akan dikonversikan menjadi kebun kelapa sawit. Sementara baru ada sekitar 8 ijin yang merealisasikan pembukaan kebun kelapa sawit tesebut.3
Disamping itu penebangan liar (illegal logging) semakin marak pula. Salah
satu sebab dari penebangan liar tersebut adalah adanya kelebihan kapasitas industri pengolahan kayu di atas produksi kayu yang legal. Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an industri kayu gergajian, industri kayu lapis dan industri bubur kayu bersama-sama diperkirakan mengkonsumsi 60-80juta m3 kayu bulat per tahun. Sedangkan berdasarkan pengelolaan hutan berkelanjutan yang dicanangkan
STIE Putra Perdana Indonesia Pemerintah Indonesia produksi kayu hutan hanya sebesar 25 m3 per tahun. Jadi dengan permintaan akan kayu bulat yang lebih tinggi dibanding penawarannya yang
secara legal diijinkan pemerintah, maka mau tidak mau kekurangan pasokan kayu
dipenuhi dari penebangan liar. Belum lagi ada sejumlah besar kayu bulat yang diekspor ke Serawak melalui pelabuhan Entikong misalnya yang diperkirakan cukup besar jumlahnya.4
Seperti telah disinggung bahwa ada motivasi lain bahwa para pemegang hak UPK yang akan mengkonversi hutan
menjadi lahan perkebunan lebih senang
memanen kayu hutan daripada memulai usaha perkebunan. Disamping itu penebangan liar semakin marak pula. Hingga tahun 2002 laju deforestasi hutan
STIE Putra Perdana Indonesia selama sepuluh tahun terakhir diperkirakan sebesar 1,6 juta ha/tahun (Renstra
Dephut 2001-2005). Sebagian besar kerusakan hutan disebabkan oleh pembalakan liar. Pembalakan liar disebabkan oleh peningkatan kebutuhan kayu bulat sebagai bahan baku industri pengolahan kayu dan mebel, baik di dalam negeri maupun
permintaan dari luar negeri seperti Cina dan India. Selain itu penegakan hukum yang tidak efektif juga menyebabkan pembalakan lilar semakin marak.
Sekali lagi ditegaskan bahwa peranan hutan dalam perekonomian sangatlah besar yaitu di samping menghasilkan kayu dan hasil ikutan lainnya sebagai produk primer kehutanan, hutan juga memberikan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman
STIE Putra Perdana Indonesia hayati dan hutan juga menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara.
3
2006
Rapat Koordinasi Departemen Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Mei
4
Tesis Tidak Diterbitkan, kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta, 2003
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 324
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Oleh karena itu hutan sangat bermanfaat untuk mendukung kehidupan dan
perkembangan semua sektor-sektor ekonomi lainnya mulai dari sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, sektor industri, sektor perhubungan, sektor pariwisata, sektor pemukiman, dan bahkan sektor jasa sekalipun. Sektor kehutanan di sini telah
mencakup sub-sektor hutan yang
menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya dan sub-sektor industri pengolahan hasil hutan. Sub-sektor
hutan yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya
merupakan sektor unik dalam dalam perannya bagi pembangunan. Kontribusi subsektor hutan tersebut tidak boleh hanya dihitung dari kontribusinya terhadap
STIE Putra Perdana Indonesia pembentukan PDB atau PDRB, karena PDB dan PDRB adalah suatu konsep yang
hanya menghitung nilai produksi yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi. Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDB dan PDRB itu sama dengan nilai
tambah (value added) dari sektor hutan. Nilai tambah itu merupakan jumlah semua
jenis penghasilan (upah, gaji, sewa, bunga, laba) yang diciptakan dalam setiap kegiatan eksploitasi hasil hutan, sedangkan sumberdaya hutannya sendiri (kayu,
damar, rotan, madu, dan gaharu, misalnya) yang benar-benar diekstraksi dari hutan tidak muncul dalam bentuk nilai tambah. Karena itu perhitungan kontribusi pada PDB dan PDRB yang diterapkan bagi sektor-sektor yang mengelola sumberdaya alam sebenarnya kurang tepat dan bersifat misleading dalam penghitungan
STIE Putra Perdana Indonesia kontribusinya bagi pembangunan nasional.
Nilai tambah sektor kehutanan (kontribusi pada PDB) terjadi bila terdapat
penebangan hutan, pengambilan rotan, damar, madu, hewan liar, bunga-bungaan dan pengambilan produk-produk kehutanan lainnya yang selanjutnya diolah oleh sekor industri pengolahan produk primer hutan. Sebenarnya dapat pula nilai tambah
sektor kehutanan tercipta jika terjadi reboisasi, penghijauan lahan kritis, dan sebagainya.Jadi jika sektor kehutanan ingin meningkatkan kontribusinya kepada PDB Indonesia, harus ada kegiatan hutan lainnya
penebangan hutan,
maupun kegiatan reboisasi
ekstraksi sumberdaya
serta penghijauan lahan kritis, atau
peningkatan dalam kegiatan pengolahan hasil hutan di sektor industri. Namun PDB
STIE Putra Perdana Indonesia itu tidak akan besar (kecil) karena nilai tambah yang diciptakan oleh produk sektor
kehutanan (hutan dan indsutri pengolahan hasil hutan) lebih banyak terjadi di luar
sektor kehutanan dan dihitung sebagai kontribui sektor-sektor non-kehutanan. Jadi
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 325
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia nilai tambah tersebut dicatat sebagai kontribusi sektor lain di luar sektor kehutanan terhadap PDB Indonesia.
Sebagai contoh peghitungan nilai tambah sektor kehutanan saat ini hanya
terbatas pada kegiatan di hutan dan pengolahan bahan primer hasil hutan saja.
Padahal seperti industri kertas, industri kapal, industri mebel, industri rumah dan bangunan, industri transportasi darat (truk, kereta api, maupun trasnportasi air) banyak menggunakan bahan dari kayu. Industri farmasi dan obat-obatan banyak menggunakan produk hasil hutan seperti daun-daunan, akar-akaran, binatang liar dan sebagainya. Demikian juga industri perdagangan dan perhotelan tidak mungkin
STIE Putra Perdana Indonesia tidak menggunakan produk hutan seperti kayu, rotan, bunga-bungaan dan lain sebagimnya. Tetapi semua nilai tambah dari kegiatan yang menggunakan bahan
hasil hutan tidak dihitung sebagian atau seluruhnya sebagai kontribusi sektor
kehutanan pada PDB dan PDRB, melainkan dihitung sebagai nilai tambah masingmasing sektor yang melakukan kegiatan yang memanfaatkan hasil produksi kehutanan tersebut.
Menurut harga berlaku sektor kehutanan (hutan dan industri pengolah hasil hutan) menciptakan kontribusi dalam arti absolut (rupiah) yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata setinggi 18,73% per tahun. Laju pertumbuhan setinggi itu terbentuk dari laju pertumbuhan sektor hutan murnisetinggi 13,29% per
STIE Putra Perdana Indonesia tahun dan laju pertumbuhan sektor industri pengolah hasil hutansetinggi 28,36% per tahun. Dengan perhitungan laju inflasi rata-rata setinggi 14,23% per tahun antara 1993 sampai dengan 2004, maka dapat diperkirakan sektor kehutanan murni tanpa
industri pengolahan hasil hutan mengalami laju pertumbuhan negatif (-0,94% per tahun) untuk periode waktu yang sama. Sektor
industri pengolahan hasil hutan
secara riel mengalami pertumbuhan sebesar 14,23% per tahun untuk periode waktu
1993 – 2004. Dan secara keseluruhan untuk sektor kehutanan (hutan dan indsutri pengolah hasil hutan) mengalami pertumbuhan riel setinggi 4,5% per tahun antara tahun1993 -4004. Peningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada PDB Indonesia hanya akan
STIE Putra Perdana Indonesia terjadi bila nilai tambah sektor kehutanan meningkat lebih cepat daripada peningkatan nilai tambah
sektor-sektor lain, karena sektor-sektor
lain juga
berusaha meningkatkan produksinya. Oleh karena itu kontribusi (share) dalam arti persentase tidak harus meningkat, karena meningkatnya kontribusi suatu sektor InoVasi Volume 9: April 2014
Page 326
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia (dalam %) akan selalu diimbangi oleh menurunnya kontribusi (dalam%) oleh sektorsektor lain.
Kontribusi sektor kehutanan di Kabupaten Blora tidak boleh hanya dihitung
dari kontribusinya terhadap pembentukan PDRB saja, karena PDRB merupakan
suatu konsep yang hanya menghitung nilai produksi yang dihasilkan oleh semua kegiatan dalam suatu perekonomian secara regional. Seperti telah diketahui bersama bahwa kontribusi sektor kehutanan yang mencakup produksi hasil-hasil hutan dan industri pengolahan produk primer kehutanan, relatif kecil dan mulai menurun dari tahun ke tahun sejak 1998.
STIE Putra Perdana Indonesia Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di
bidang lingkungan hidup yang tertuang dalam PP No. 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, khususnya dalam kerangka Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, telah
diarahkan untuk disusun dan diterapkan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Hijau sebagai salah satu instrumen perencanaan.
Penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan (sektor produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta industri pengolahan hasil hutan primer) terhadap PDRB sebelumnya telah diujicobakan di Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB di Kab.
STIE Putra Perdana Indonesia Berau menghasilkan angka negatif. Hal ini karena Kabupaten Berau memang masih memiliki hutan alam yang cukup luas dengan tingkat penebangan hutan yang tinggi
pula. Namun bila dinilai dari besarnya kontribusi sektor kehutanan pada
pembangunan daerah dan pembangunan nasional maka nilai yang dihasilkan positif dan cukup besar yaitu berupa nilai tambah yang diciptakan seperti yang tercantum
pada Laporan PDRB yang selanjutnya ditambah dengan nilai deplisi sumberdaya hutan dan nilai degradasi lingkungan yang ditimbulkannya.
Perhitungan kontribusi hijau sektor kehutanan yang dilakukan di Kabupaten Berau belum tentu sama dengan kontribusi hijau sektor kehutanan yang terjadi di daerah/kabupaten lain. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran yang lebih
STIE Putra Perdana Indonesia lengkap mengenai kontribusi sektor kehutanan kepada pembangunan daerah pada umumnya, dirasa perlu dilakukan penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan
pada PDRB di beberapa daerah/kabupaten lain. Untuk mempermudah para
peminat/petugas di daerah untuk menyusun Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan InoVasi Volume 9: April 2014
Page 327
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia dalam PDRB atau dalam pembangunan di daerah, maka telah disusun pula sebuah
panduan dalam bentuk Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan5.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) disusun tiap tahun dan diterapkan
untuk tingkat regional atau daerah, seperti Propinsi, Kabupaten dan Kota. PDRB yang selama ini dihitung atau disebut sebagai PDRB Konvensional (Coklat) hanya mengukur hasil kegiatan ekonomi tanpa memasukkan dimensi lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, PDRB harus dikembangkan dengan memasukkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang baru atau yang
STIE Putra Perdana Indonesia disebut sebagai PDRB Hijau, karena PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan
ekonomi dan sekaligus menampilkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau dapat dimanfaatkan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan
regional yang lebih baik, karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara lebih lengkap.
Kesadaran atas perlunya pemahaman tentang PDRB Hijau telah mendorong Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia untuk menghitung secara lengkap kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di beberapa kabupaten, sehingga peranan dan kontribusi sektor kehutanan
STIE Putra Perdana Indonesia pada pembangunan daerah dan pembangunan nasional akan tampak lebih realistis. Selanjutnya hasil perkiraan nilai kontribusi hijau yang lebih lengkap itu dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen perencanaan pengelolaan dan pengembangan sektor kehutanan dengan lebih baik dan sempurna.
Kegiatan studi yang akan dilakukan adalah menghitung secara lengkap
kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB di Kabupaten Blora, dengan harapan
agar peranan dan kontribusi sektor kehutanan pada pembangunan daerah di Kabupaten tersebut akan tampak lebih realistissehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah yang bersangkutan akan dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan.
STIE Putra Perdana Indonesia Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan perencanaan
dan pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor 5
Toni Suhartono, dkk, Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan, Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2005.
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 328
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia kehutanan, tetapi juga bagi para pelaksana pemerintahan maupun anggota DPRD
yang bersangkutan. Lokasi sebagai penerapan studi mengenai kontribusi hijau oleh
sektor kehutanan pada PDRB telah ditentukan yaitu di Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah.
II. Metodologi Secara
konvensional
PDRB
merupakan
ukuran
keberhasilan
kinerja
pembangunan suatu daerah apakah itu kabupaten, kota maupun propinsi. Karena PDRB sudah menjadi wacana nasional dan perwilayahan sejak pemerintahan Orde
STIE Putra Perdana Indonesia Baru, maka setiap daerah tingkat satu dan tingkat dua pada waktu itu sudah mampu secara rutin menyajikan data atau hasil perhitungan PDRB untuk setiap tahunnya.
Budaya demikian berlanjut sampai sekarang baik untuk daerah kabupaten, kota
maupun propinsi.Apa yang dimaksud dengan PDRB? Pada dasarnya PDRB
merupakan seluruh jumlah barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perekonomian
atau pembangunan regional (daerah): kabupaten,
kota, maupun propinsi, dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam nilai rupiah. Dalam konsep PDRB yang konvensional tidak diperhitungkan dimensi lingkungan, artinya hilangnya nilai sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan tidak diperhitungkan dalam penghitungan PDRB sebagai bagian dari angka penyusutan
STIE Putra Perdana Indonesia modal, maka nilai PDRB yang diperoleh hanya mencerminkan hasil kegiatan ekonomi suatu kabupaten, kota atau propinsi tertentu. Karenanya PDRB yang konvensional
itu
penghitungannya
kita
sebut
belum
dengan
memasukkan
istilah
PDRB
penyusutan
Coklat
nilai
karena
modal
alami
dalam yaitu
sumberdaya alam dan lingkungan.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau merupakan pengembangan dari PDRB Coklat. PDRB Coklat sendiri merupakan
catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) dalam waktu satu tahun. Nilai PDRB suatu daerah sebenarnya adalah nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor usaha di daerah tersebut.
STIE Putra Perdana Indonesia Untuk keperluan analisis ekonomi
serta perencanaan pembangunan di
daerah, PDRB dan pendapatan regional6ditampilkan menurut sektor kegiatan 6
Yang dimaksud dengan pendapatan regional adalah nilai PDRB setelah dikurangi dengan nilai penyusutan barang modal dan nilai pajak tidak langsung. Adapun yang dimaksud dengan pajak tidak
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 329
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia ekonomi atau lapangan usaha. PDRB banyak digunakan sebagai instrumen untuk
menilai keberhasilan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Dengan mengetahui kontribusi maupun laju pertumbuhan masing-masing sektor terhadap PDRB, maka hasil-hasil pembangunan per sektor dapat diketahui dengan jelas dan rencana pembangunan daerah karenanya dapat disusun secara lebih akurat. Namun demikian, penghitungan PDRB yang sudah dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa (final product) yang dihasilkan selama
satu tahun dan dinyatakan dalam nilai rupiah. Nilai yang dihasilkan seolah-olah memberikan gambaran tentang struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi
STIE Putra Perdana Indonesia yang dialami oleh suatu daerah, baik secara total maupun secara sektoral, sehingga
dianggap mencerminkan kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan. Tetapi
sesungguhnya tidak demikian karena nilai sumberdaya alam yang hilang (dieksploitasi) dan kerusakan (degradasi) lingkungan akibat kegiatan ekploitasi itu sendiri belum diperhitungkan sebagai nilai kehilangan dan kerusakan yang
seharusnya dibayar, sehingga nilai-nilai yang tercantum dalam PDRB yang konvensional
itu
belum
menunjukkan
nilai
kemajuan
pembangunan
ataukesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.7 Oleh karena itu, untuk membuat agar nilai-nilai yang ada di dalam PDRB mencerminkan
nilai
kesejahteraan
yang
perekonomian
atau
pembangunan
suatu
sebenarnya
dari
hasil
kegiatan
STIE Putra Perdana Indonesia daerah,
maka
perlu
dilakukan
penghitungan PDRB yang disesuaikan (adjusted gross regional domestic bruto /
GRDP) yang disebut juga sebagai PDRB Hijau yaitu dengan memasukkan ke dalam
penghitungan PDRB (Coklat) nilai deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan
(undesirable outputs). Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan acuan dasar yang lebih komperhensif
bagi perencanaan
pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan memperhatikan keberadaan faktor sumberdaya alam dan lingkungan di samping faktor-faktor lainnya.
STIE Putra Perdana Indonesia langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeserkan pada pihak lain, seperti PPN, pajak penjualan barang mewah, maupun cukai. 7 PDRB yang sekarang ada disusun secara konvensional dan disebut sebagai PDRB Coklat. Istilah PDRB coklat sebenarnya karena disejajarkan dengan adanya istilah Green GDP dan Brown GDP yang dikeluarkan oleh United Nations Statistical Office (UNSO, System of Integrated Economic and Environmental Account, New York, 1993.
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 330
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Dalam penghitungan nilai PDRB ada (3) tiga pendekatan utama dalam
menghitung yaitu: a) dengan menjumlahkan seluruh nilai tambah dari setiap sektor kegiatan ekonomi, b) dengan menjumlahkan semua jenis pendapatan yang diperoleh oleh para pemilik faktor produksi, seperti:
tenaga kerja; modal; alat,
perlengkapan dan sumberdaya alam; serta keahlian; dan c) dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran setiap kegiatan di masing-masing sektor. Dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, maka lebih banyak digunakan pendekatan nilai tambah atau pendekatan produksi. Untuk setiap sektor kegiatan ekonomi dihitung kontribusinya terhadap angka PDRB dengan cara seperti pada
STIE Putra Perdana Indonesia Gambar 1.
Nilai produksi Intermediate inputs (bahan-bahan)
Rp ………… - …………
(-)
Nilai tambah(PDRB) Coklat
Rp ………...
Gambar 1 Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB Coklat
STIE Putra Perdana Indonesia Yang dimaksud dengan intermediate inputs adalah semua bahan yang
digunakan dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja.Kalau suatu sektor tidak memiliki produk yang dapat dijual di pasar seperti sektor pemerintahan dan
pendidikan, biasanya dipakai pendekatan pendapatan yaitu balas jasa terhadap faktor produksi dalam bentuk upah/gaji, sewa, bunga dan laba. Kalau pendekatan ini yang dipakai, angka atau nilai yang diperoleh bukannya PDRB, tetapi Pendapatan
Regional. Untuk sampai pada nilai kontribusi hijau harus ditambahkan penyusutan barang modal buatan manusia, baru kemudian dikurangi dengan nilai deplesi dan nilai degradasi lingkungan. Selanjutnya cara menghitung nilai PDRB semi Hijau. PDRB Semi Hijau adalah
STIE Putra Perdana Indonesia hasil
pengembangan
konsep
PDRB
Coklat
dengan memasukkan
dimensi
lingkungan (deplesi SDA dan kerusakan lingkungan) ke dalam perhitungan PDRB
konvensional. PDRB konvensional ini, yang kita sebut juga dengan PDRB COKLAT
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 331
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan hasil yang didapatkan baru sampai pada PDRB Semi Hijau. Perhatikan Gambar 2 di bawah ini.
Nilai produksi hutan Rp ………… Intermediate inputs (bahan-bahan) Rp ………… (-) Nilai tambah atau Rp ………... (PDRB Coklat) Deplesi SDA
Rp ………...
PDRB Semi Hijau
Rp …………
STIE Putra Perdana Indonesia (-)
Gambar 2. Perhitungan Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi Semi Hijau terhadap PDRB
Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau, maka selanjutnya nilai-nilai kontribusi pada PDRB Semi Hijau masih harus dikurangkan lagi nilai kerusakan atau degradasi lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh nilai PDRB Hijau yang sebenarnya. Jadi untuk dikembangkan menjadi PDRB Hijau langkah perhitungannya adalah
STIE Putra Perdana Indonesia sebagaimana tampak pada Gambar 3 di bawah ini.
PDRB semi hijau
Rp …………
Degradasi lingkungan
Rp …………
PDRB HIJAU
Rp …………
(-)
Gambar 3.3 Kontribusi Sektor Kegiatan Ekonomi terhadap PDRB Hijau Dalam hal ini sektor yang diamati atau dikaji adalah sektor kehutanan yang
STIE Putra Perdana Indonesia berkaitan dengan deplesi dan degradasi sumberdaya hutan di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Secara singkat tahapan studi ini mencakup:
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 332
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia 1. Mengidentifikasi jenis dan volume sumberdaya hutan yang digunakan dan
diambil langsung dari hutan. Untuk ini informasi diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Kantor Badan Statistik Daerah, serta wawancara langsung
dengan beberapa perusahaan dan industri yang menggunakan bahan baku dari hutan.
2. Melakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya hutan yang digunakan atau diambil. Valuasi dilakukan dengan pendekatan nilai pasar untuk produkproduk yang memiliki nilai pasar dan dipasarkan, atau menggunakan nilai barang pengganti dan barang pelengkapnya, maupun dengan contingent
STIE Putra Perdana Indonesia valuation
dengan
kesediaan
membayar
atau
kesediaan
menerima
pembayaranuntuk produk yang tidak memiliki harga pasar atau untuk tidak
dipasarkan khususnya untuk menaksir nilai kerusakan lingkungan. Data harga diperoleh baik dari data sekunder ataupun data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan penggunaan sumberdaya hutan.
3. Menghitung volume kerusakan atau pencemaran karena pengambilan
sumberdaya hutan dan proses produksi industri pada sektor kehutanan. Untuk ini digunakan beberapa metode pendekatan seperti metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefits transfer. Kemudian valuasi ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti
STIE Putra Perdana Indonesia (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang (forgone income). Untuk menghitung degradasi atau dampak negatif yang ditimbulkan karena adanya kegiatan industri pengolahan hasil hutan digunakan pendekatan
penghitungan biaya pengolahan limbah dari industri pengolahan hasil hutan misalnya prevention cost.
4. Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi industri pengolahan
hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya nilai-nilai tersebut dikurangkan dengan nilai kontribusi sektor kehutanan, sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. 5. Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan dapat diperoleh dengan
STIE Putra Perdana Indonesia cara
menambahkan
kontribusi
sektor
kehutanan
dengan
depresiasi
lingkungan dan dikurangi degradasi industri pengolahan hasil hutan.
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 333
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia III. Hasil dan Pembahasan
Nilai Kontribusi sektor kehutanan Kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga
tahun 2004 tampak terus meningkat dari waktu ke waktu walaupun secara
persentase Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora mengalami fluktuasi.
Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Blora
selain berasal dari nilai tambah karena kegiatan produksi kehutanan juga berasal dari nilai tambah kegiatan industri yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu
STIE Putra Perdana Indonesia gergajian, industri rotan, serta industri lainnya yang menggunakan bahan dasar kayu
dan hasil hutan lain, tetapi karena keterbatasan data nilai kontribusi industri
pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya tidak dapat ditampilkan karena nilai
kontribusi sektor industri pengolahan tidak dirinci secara detail. Hal tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1. yang menyajikan nilai-nilai kontribusi sektor kehutanan dan sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya. Pada kolom terakhir disajikan nilai PDRB absolut Kabupaten Blora sebagai referensi untuk mengetahui
STIE Putra Perdana Indonesia berapa sesungguhnya nilai PDRB Kabupaten Blora dalam nilai rupiah.
Dari Tabel 1. tampak bahwa kontribusi kayu dan hasil hutan lain pada PDRB
Coklat dari tahun 2002 hingga tahun 2004 pada awalnya meningkat dari 15,86% pada tahun 2002 menjadi 16,62% pada tahun 2003. Namun setelah itu menurun
menjadi 16,56% pada tahun 2004. Sedangkan untuk kontribusi industri pengolahan kayu dan hasil hutan di Kabupaten Blora tidak ada data. Tabel 1.Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat Kabupaten Blora 2002 - 2004 Industri Pengolahan Kayu & Hasil Hutan Lain Rp (milyar) (%)
STIE Putra Perdana Indonesia Tahun
Kayu & Hasil Hutan Lain
Rp (milyar)
(%)
InoVasi Volume 9: April 2014
Sektor Kehutanan
Rp (milyar)
PDRB Coklat Rp (milyar)
(%)
Page 334
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia 1 2002 2003 2004
2 324,73 378,65 426,66
3 15,86 16,62 16,56
4 -
5 -
2+4 324,73 378,65 426,66
3+5 15,86 16,62 16,56
6 2.047,13 2.278,57 2.576,35
Sumber : BPS, Kabupaten Blora, 2005
Deplesi kayu hutan adalah hilangnya kayu hutan akibat penebangan yang tercermin dari jumlah kayu yang ditebang di hutan. Tabel 2. menunjukkan luas areal tebangan dan volume kayu yang ditebang di Kabupaten Blora antara tahun 2002 hingga 2004 menurut Kesatuan Pemangkuan Hutan yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Blora.
STIE Putra Perdana Indonesia Tabel 2.Luas Tebangan dan Produksi Kayu Jati di Kabupaten Blora Tahun 2002– 2004
2002 2003 2004 Luas Luas Luas 3 3 3 No. KPH Tebangan M Tebangan M Tebangan M 1 Blora 114,60 8.593,00 165,50 5.006,00 161,70 5.453,00 2 Randublatung 249,00 57.376,00 303,90 33.466,00 428,70 57.130,00 3 Cepu 1.681,10 20.200,00 1.494,40 26.405,00 2.474,50 41.189,00 4 Mantingan 5 Kebonharjo 209,90 213,00 115,10 601,00 143,50 1.653,00 6 Ngawi Jumlah 2.254,60 86.382,00 2.078,90 65.478,00 3.208,40 105.425,00 Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan)
STIE Putra Perdana Indonesia Jenis kayu di Kabupaten Blora dibedakan menjadi dua yaitu jenis kayu jati
dan jenis kayu mahoni. Dari Tabel 2. tampak bahwa antara tahun 2001 hingga 2004
terjadi penurunan volume produksi kayu jati pada tahun 2003 yaitu dari 86.382 m 3 pada tahun 2002 menjadi 65.478 m3 pada tahun 2003. Pada tahun berikutnya, volume penebangan kayu mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 105.425 m3 pada tahun 2004. Sedangkan untuk kayu mahoni terjadi penurunan yang cukup drastis kurang lebih 50% dari tahun ke tahun yaitu sebanyak 2.934 m3 pada tahun 2002 menjadi 1.410,84 m3 pada tahun 2003 dan selanjutnya menjadi 672,96 m3. Untuk data luas tabangan kayu Mahoni tidak ada dikarenakan untuk produksi kayu
STIE Putra Perdana Indonesia tersebut merupakan hasil ikutan produksi kayu Jati.
Tabel 3.Luas Tebangan dan Produksi Kayu Mahoni di Kabupaten Blora Tahun 2002– 2004
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 335
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia 2002
No. 1 2 3 4 5 6
KPH
Blora Randublatung Cepu Mantingan Kebonharjo Ngawi Jumlah
Luas Tebangan -
2003
M3 43,00 2.891,00 2.934,00
Luas Tebangan -
2004
Luas Tebangan -
M3 5,00 910,00 495,84 1.410,84
M3 18,00 648,00 6,96 672,96
Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan) Catatan : Merupakan Hasil Ikutan Tebangan Kayu Jati
STIE Putra Perdana Indonesia Tabel 4. Produksi Kayu Bakar di Kabupaten Blora Tahun 2002– 2004
No. 1 2 3 4 5 6
KPH Blora Randublatung Cepu Mantingan Kebonharjo Ngawi Jumlah
2002 m3 1.911,00 1.922,00 793,70 4.626,70
2003 m3 819,00 1.494,00 476,50 2.789,50
2004 m3 61,00 1.259,00 592,00 1.912,00
Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan)
STIE Putra Perdana Indonesia Setelah volume penebangan kayu dan produksi kayu bakar diketahui, maka dapat dihitung nilai deplesinya. Untuk melakukan penghitungan tersebut diperlukan nilai rente per unit (unit rent atau unit price) untuk menghitung nilai sumberdaya alam yang dideplesi. Data rente per unit untuk kayu di Kabupaten Blora belum ada
sehingga perlu dihitung dengan menggunakan pendekatan harga pasar. Selanjutnya
setelah didapatkan maka akan diperoleh laba kotor perusahaan diperoleh dengan mengurangkan seluruh biaya produksi dari harga kayu. Laba kotor ini masih dikurangi lagi dengan laba layak (normal profit) perusahaan yang dalam hal ini dicerminkan sebesar suku bunga bank sebagai alternatif investasi yang dapat dilakukan oleh pemilik modal atau dalam perum perhutani itu sendiri sehingga
STIE Putra Perdana Indonesia diperoleh nilai unit rent. Besarnya suku bunga bank dalam studi ini adalah sebesar suku bunga SBI yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Adapun penghitungan unit rent untuk masing-masing komoditi adalah sebagai berikut: InoVasi Volume 9: April 2014
Page 336
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Tabel 5.Penghitungan Unit Rent Kayu Jati Kabupaten Blora Tahun 2002 - 2004 (Rp/m3)
Keterangan
Harga Kayu Jati
2002
2003
2004
2.516.000,00
2.668.721,20
2.828.310,73
Biaya Umum
503.952,41
534.542,32
566.507,95
Biaya Pembinaan Hutan
539.952,16
572.727,26
606.976,35
95.007,48
100.774,44
106.800,75
270.799,09
287.236,60
304.413,35
Biaya Pemasaran
70.876,98
75.179,21
79.674,93
Biaya Penyusutan
20.377,78
21.614,71
22.907,27
3.474,18
3.685,06
3.905,43
Total Biaya
1.500.965,90
1.595.759,60
1.691.186,02
Laba Kotor
1.015.034,10
1.072.961,60
1.137.124,71
Laba Layak
229.347,59
165.799,42
119.566,85
STIE Putra Perdana Indonesia Biaya Sarana dan Prasarana Biaya Eksploitasi Hutan
Biaya Lain-lain
STIE Putra Perdana Indonesia Unit rent
785.686,51
907.162,18
1.017.557,86
Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi.(Suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = 10,39% tahun 2002 = 7,07%)
Tabel 6. Penghitungan Unit Rent Kayu Mahoni Kabupaten Blora Tahun 2002 - 2004 (Rp/m3)
Keterangan
2002
2003
2004
Harga Kayu Mahoni
747.343,75
792.707,52
840.111,43
Biaya Umum
149.692,24
158.778,56
168.273,52
Biaya Pembinaan Hutan
160.385,48
170.120,88
180.294,11
Biaya Sarana dan Prasarana
28.220,69
29.933,68
31.723,72
Biaya Eksploitasi Hutan
80.437,21
85.319,74
90.421,86
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 9: April 2014
Page 337
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Biaya Pemasaran
21.053,05
22.330,97
23.666,36
Biaya Penyusutan
6.052,94
6.420,36
6.804,29
Biaya Lain-lain
1.031,96
1.094,60
1.160,06
Total Biaya
(446.873,57)
(473.998,79)
(502.343,92)
Laba Kotor
300.470,18
318.708,72
337.767,51
Laba Layak
68.282,28
49.248,47
35.515,72
232.187,90
269.460,25
302.251,79
Unit rent
STIE Putra Perdana Indonesia Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi.(Suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = 10,39% tahun 2002 = 7,07%)
Tabel 7. Penghitungan Unit Rent Kayu Bakar Kabupaten Blora Tahun 2002 - 2004 (Rp/SM)
Keterangan Harga Kayu Bakar
2002
2003
2004
61.733,30
63.059,59
69.118,75
Biaya Pengangkutan
9.145,67
9.342,16
10.239,81
Biaya Lain-lain
6.859,26
7.006,62
7.679,86
Total Biaya
16.004,93
16.348,78
17.919,68
Laba Kotor
45.728,37
46.710,81
51.199,07
Laba Layak
2.445,55
1.698,64
1.266,92
STIE Putra Perdana Indonesia Unit rent 43.282,82 45.012,17 49.932,15 Sumber : Perum Perhutani Jawa Tengah (KPH Blora) data diolah Catatan : Laba layak atau balas jasa investasi diperhitungkan atas dasar suku bunga SBI dikalikan dengan seluruh biaya produksi. (Suku bunga SBI : tahun 2002 = 15,28% ; tahun 2003 = 10,39% tahun 2002 = 7,07%)
STIE Putra Perdana Indonesia Hasil penghitungan unit rent untuk kayu Jati, kayu Mahoni serta kayu bakar dari tahun 2002 hingga tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 8. berikut:
Tabel 8. Unit Rent Kayu dan Hasil-hasil hutan lainnya di Kabupaten Blora
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 338
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Tahun 2002 – 2004
Hasil Hutan Jati
Rp/unit Rp/M3
2002 785.686,51
2003 907.162,18
2004 1.017.557,86
Mahoni
Rp/M3
232.187,90
269.460,25
302.251,79
Kayu Bakar
Rp/SM
43.282,82
45.012,17
49.932,15
Sumber : Tabel 5., Tabel 6., dan Tabel 7.
Dengan diketahuinya nilai unit rent dari masing-masing jenis kayu dan kayu bakar, maka dapat dihitung nilai deplesi kayu Jati, kayu Mahoni dan kayu bakar yaitu
STIE Putra Perdana Indonesia dengan cara mengalikan antara jumlah produksi dengan nilai unit rent untuk masingmasing komoditi. Penghitungan ini bertujuan untuk menunjukkan nilai kekayaan alam atau aset alam yang hilang akibat penebangan kayu hutan yang tidak diperhitungkan sebagai biaya atau modal alam. Oleh karena itu, nilai atau hasil dari
sektor kehutanan belum mencerminkan nilai yang sesungguhnya dari hasil hutan karena modal alam belum diperhitungkan seperti halnya modal kapital dalam sebuah
investasi. Adapun hasil penghitungan deplesi tampak seperti dalam Tabel 9. berikut:
Tabel 9. Nilai Deplesi dan Hasil-hasil hutan lainnya di Kabupaten Blora Tahun 2002 – 2004(Rp. Juta)
STIE Putra Perdana Indonesia 2002 67.869,17
2003 59.399,17
2004 107.276,04
Mahoni
681,24
380,17
203,40
Kayu Bakar
200,26
125,56
95,47
68.750,67
59.904,89
107.574,91
Jati
Jumlah
Sumber : data diolah
Salah satu sektor andalan di Kabupaten Blora yang terus mendapat perhatian hingga saat ini adalah sektor pertambangan. Dari tahun 2002 ke tahun 2003 kontribusi sektor mengalami peningkatan dari 15,86 % menjadi 16,56 %. Seperti telah
diketahui
bahwa
kegiatan
penebangan
hutan
selain
mengakibatkan
STIE Putra Perdana Indonesia berkurangnya cadangan atau stock kayu di hutan, juga menyebabkan terjadinya degradasi tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Hutan memiliki
fungsi lingkungan yang sangat beragam, namun hingga kini penghitungan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian tidak pernah memasukkan nilai fungsi InoVasi Volume 9: April 2014
Page 339
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia lingkungan yang dihasilkan oleh hutan. Oleh karenanya kontribusi sektor kehutanan
dalam perekonomian memiliki prosentase yang sangat kecil yaitu rata-rata 16% per tahun khususnya di kabupaten Blora.
Untuk menunjukkan nilai yang sesungguhnya dari sumberdaya hutan, maka
selain nilai kayu yang dihasilkan juga harus dihitung nilai jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan apabila hutan dipelihara dengan memperhatikan konsep kelestarian atau bahkan dengan kaidah konservasi. Mengingat data yang tersedia tentang macam dan besaran serta dampak degradasi lingkungan masih sangat terbatas, maka pendekatan penghitungan degradasi lingkungan akibat penebangan
STIE Putra Perdana Indonesia hutan atau eksploitasi kayu di Kabupaten Blora dilakukan dengan menggunakan
hasil perhitungan yang telah dilakukan dalam studi-studi sejenis (benefit transfer approach).
Seperti telah diketahui bahwa hutan memiliki fungsi sebagai pencegah banjir,
penyerap karbon (carbon sink), konservasi air dan tanah, keanekaragaman hayati, transportasi air, pencegah erosi dan sedimentasi. Dengan adanya kegiatan penebangan di hutan, maka dapat dipastikan terjadi degradasi lingkungan yang
ditunjukkan dengan hilangnya fungsi hutan seperti yang telah disebutkan di atas. Dalam studi ini, penghitungan degradasi lingkungan dihitung dengan menggunakan pendekatan hasil studi yang sudah dilakukan oleh peneliti lain untuk mengestimasi
STIE Putra Perdana Indonesia biaya per jenis kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penebangan kayu hutan (indirect used value). Dengan menggunakan data luas hutan yang ditebang di
Kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga tahun 2004 pada Tabel 11. dan mengalikannya dengan nilai jasa hutan pada Tabel 10. maka akan diperoleh nilai degradasi sektor kehutanan kabupaten Blora.
Tabel 10. Persentase dan Nilai Jasa Hutan
Jenis Nilai Jasa yang Dihasilkan Nilai penggunaan tak langsung Konservasi air dan tanah Penyerap karbon Pencegah banjir Transportasi air Keanekaragaman hayati
Nilai (US$/ha/thn) 1.835,83 847,12 133,85 525,92 123,81 210,79
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 9: April 2014
Page 340
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Atas dasar bukan penggunaan Nilai opsi Nilai keberadaan
195,34 69,28 126,05
Sumber : Suparmoko dan NRM Catatan : Nilai degradasi ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan.
Tabel 11. Luas hutan yang ditebang menurut Jenis kayu di Kabupaten Blora Tahun 2002 – 2004 (ha)
STIE Putra Perdana Indonesia 2002
Jati
2003
2004
Mahoni
2.254,60 -
2.078,90 -
3.208,40 -
Total Area
2.254,60
2.078,90
3.208,40
Sumber : Perum Perhutani (KPH Blora, Randublatung, Cepu, Ngawi, Kebon Harjo, Mantingan)
Nilai degradasi yang ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan. Adapun hasil penghitungan
STIE Putra Perdana Indonesia nilai degradasi hutan yang telah disesuaikan dengan nilai kurs yang berlaku di
Kabupaten Blora dilakukan pada dua skenario dan dapat dilihat pada Tabel 12. dan Tabel 13. Untuk skenario yang pertama diasumsikan bahwa dari luas hutan yang ditebang akan berakibat
rusak atau hilangnya fungsi hutan sebesar 100 %,
sedangkan skenario yang ke kedua disamusikan dari luas hutan yang ditebang maka fungsi atau jasa hutan akan rusak sebesar 50% hal ini dikarenakan walaupun
terjadi penebangan hutan akan tetapi pada areal penebangan tersebut masih tersisa pohonnya.
Skenario I
STIE Putra Perdana Indonesia Tabel 12. Nilai Degradasi hutan Skenario I di Kabupaten Blora Tahun 2002 – 2004(Rp juta)
Fungsi Lingkungan
InoVasi Volume 9: April 2014
2002
2003
2004
Page 341
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia I. Nilai penggunaan tak langsung
37.071,79
32.647,65
55.307,24
Konservasi air dan tanah
17.053,60
15.018,43
25.442,19
Penyerap karbon
2.694,64
2.373,07
4.020,13
Pencegah banjir
10.587,47
9.323,96
15.795,39
Transportasi air
2.492,55
2.195,09
3.718,62
Keanekaragaman hayati
4.243,53
3.737,11
6.330,90
II. Atas dasar bukan penggunaan
3.932,36
3.463,08
5.866,68
STIE Putra Perdana Indonesia Nilai opsi
1.394,72
1.228,28
2.080,78
Nilai keberadaan
2.537,64
2.234,80
3.785,90
41.004,15
36.110,73
61.173,91
Total Degradasi I + II
Sumber : data diolah
Skenario II
Tabel 13. Nilai Degradasi hutan Skenario IIdi Kabupaten Blora Tahun 2002 – 2004(Rp juta)
Fungsi Lingkungan I. Nilai penggunaan tak langsung
2002
2003
2004
18.535,89
16.323,83
27.653,62
Konservasi air dan tanah
8.526,80
7.509,22
12.721,10
Penyerap karbon
1.347,32
1.186,53
2.010,06
Pencegah banjir
5.293,73
4.661,98
7.897,70
Transportasi air
1.246,27
1.097,54
1.859,31
Keanekaragaman hayati
2.121,76
1.868,55
3.165,45
II. Atas dasar bukan penggunaan
1.966,18
1.731,54
2.933,34
697,36
614,14
1.040,39
1.268,82
1.117,40
1.892,95
20.502,08
18.055,37
30.586,96
STIE Putra Perdana Indonesia Nilai opsi Nilai keberadaan Total Degradasi I + II Sumber : data diolah
STIE Putra Perdana Indonesia Dari Tabel 12. dan Tabel 13. di atas tampak bahwa nilai degradasi terbesar
terjadi pada fungsi hutan untuk konservasi air dan tanah, kemudian diikuti dengan fungsi hutan sebagai pencegah banjir, fungsi hutan sebagai tempat berkembangnya InoVasi Volume 9: April 2014
Page 342
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia keanekaragaman hayati, diikuti dengan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dan fungsi menjaga kelangsungan transportasi air. Sedangkan untuk nilai atas dasar bukan penggunaan terbesar adalah fungsi keberadaan hutan yaitu penilaian
masyarakat akan pentingnya hutan, dan nilai opsi yaitu nilai pilihan untuk memanfaatkan hutan di masa mendatang. Dari hasil perhitungan nilai deplisi dan degradasi tampak bahwa nilainya selalu lebih besar dibandingkan dengan jumlah retribusi atau pungutan (PSDH) yang dikenakan untuk setiap m3 kayu yang besarnya pada tahun 2004 hanya sebesar Rp. 74.500,- per m3 atau apabila kita bandingkan antara nilai deplisi dan jumlah
STIE Putra Perdana Indonesia penerimaan PSDH di kabupaten Blora maka nilainya sangat jauh selisihnya yaitu Rp
107,6 milyar untuk nilai deplisi pada tahun 2004 dan Rp 6,6 milyar untuk penerimaan pembayaran PSDH kabupaten Blora tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya pungutan atau retribusi yang dikenakan masih terlalu rendah karena tidak memperhitungkan nilai atau aset alam.
Tabel 14. Pembayaran PSDH Di Kabupaten Blora Tahun 2004 (Rp Juta) No. KPH 1 KPH Blora
2004 421,32
STIE Putra Perdana Indonesia 2
KPH Randu Blatung
3.337,50
3
KPH Cepu
2.297,34
4
KPH Mantingan
359,58
5
KPH Kebonharjo
155,00
6
KPH Ngawi
43,60
Total
6.614,33
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Blora
Dengan diperolehnya nilai produksi hutan yang tercermin dalam besarnya kontribusi Coklat sektor kehutanan dalam PDRB, nilai deplesi kayu hutan, dan niai degradasi lingkungan sebagai akibat penebangan kayu hutan, maka dapat dilihat bahwa total nilai deplesi dan degradasi hutan kurang lebih sekitar 30 % dari nilai kontribusi
STIE Putra Perdana Indonesia Coklat sektor kehutanan dalam PDRB. Hal ini berarti bahwa nilai atau harga yang
selama ini digunakan untuk menilai kayu hutan masih jauh lebih rendah dari nilai
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 343
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia atau fungsi hutan yang terkandung dalam kayu. Dengan kata lain, fungsi hutan sebagai suatu ekosistem diabaikan dan dianggap tidak memiliki nilai.
Kegiatan sektor kehutanan di Kabupaten Blora terutama dilakukan dalam
bentuk penebangan pohon kayu jati kalaupun ada penebangan kayu rimba jenis kayu lainnya hal itu sifatnya hanya kayu ikutan. Seperti telah dibahas di Bab III bahwa hutan selain menghasilkan kayu juga mempunyai nilai fungsi lingkungan yang lain yaitu fungsi penyerap karbon, pencegah banjir, konservasi air dan tanah, transportasi air, keanekaragaman hayati, serta memiliki nilai lainnya yaitu nilai opsi dan nilai keberadaan, dengan melihat hal tersebut maka selanjutnya dilakukan
STIE Putra Perdana Indonesia penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB. Kontribusi hijau sektor
kehutanan adalah besarnya nilai tambah sektor kehutanan dari kegiatan produksi yang dihitung dengan memasukkan nilai deplesi dan degradasi sumberdaya alam
dan lingkungan yang ditimbulkan oleh karena adanya kegiatan di sektor kehutanan dan kegiatan sektor industri pengolahan kayu dan hasil hutan lain.
Adapun
besarnya nilai kontribusi hijau maupun kontribusi riil sektor kehutanan tampak
seperti pada Tabel 15. dan Tabel 16. Dalam penghitungan nilai kontribusi hijau maupun kontribusi riil sektor kehutanan dilakukan dengan dua skenario yaitu skenario yang pertama diasumsikan bahwa dari luas areal tebangan hutan terjadi kerusakan fungsi lingkungan sebesar 100% sedangkan untuk skenario yang ke dua
STIE Putra Perdana Indonesia diasumsikan bahwa dari luas areal penebangan tersebut fungsi lingkungannya
hanya rusak 50% karena dari areal penebangan kayu yang ada tidak ditebang semua kayunya. Skenario I
Tabel 15. Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB, Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada PDRB di Kabupaten Blora(Rp. Milyar)
No. 1.
URAIAN Kontribusi sub sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi Industri pengolahan kayu dan hasil hutan pada PDRB Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB
2002
2003
324,73
2004
378,65
426,66
STIE Putra Perdana Indonesia 2. 3.
InoVasi Volume 9: April 2014
-
-
-
324,73
378,65
426,66
Page 344
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia 4. 5. 6. 7.
Nilai Deplisi Sektor kehutanan Kontribusi Semi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Degradasi Sub Sektor Kehutanan Degradasi Industri Pengolahan Kayu
68,75
59,90
107,57
255,98
318,75
319,09
41,00
36,11
61,17
-
-
-
8.
Degradasi
41,00
36,11
61,17
9.
Depresiasi
109,75
96,02
168,75
214,98
282,64
257,91
434,49
474,67
595,41
Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi riil sektor 11. kehutanan Sumber : data diolah 10.
STIE Putra Perdana Indonesia Skenario II
Tabel 16. Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB, Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada PDRB di Kabupaten Blora(Rp. Milyar) No. 1.
URAIAN Kontribusi sub sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi Industri pengolahan kayu dan hasil hutan pada PDRB Kontribusi sektor kehutanan pada PDRB Nilai Deplisi Sektor kehutanan Kontribusi Semi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Degradasi Sub Sektor Kehutanan Degradasi Industri Pengolahan Kayu
2002
2003
324,73
2004
378,65
426,66
STIE Putra Perdana Indonesia 2. 3. 4. 5. 6. 7.
-
-
-
324,73
378,65
426,66
68,75
59,90
107,57
255,98
318,75
319,09
20,50
18,06
30,59
-
-
-
8.
Degradasi
20,50
18,06
30,59
9.
Depresiasi
89,25
77,96
138,16
STIE Putra Perdana Indonesia Kontribusi Hijau sektor kehutanan pada PDRB Kontribusi riil sektor 11. kehutanan Sumber : data diolah 10.
InoVasi Volume 9: April 2014
235,48
300,69
288,50
413,99
456,61
564,82
Page 345
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Seperti kita ketahui bahwa sumberdaya hutan dianggap sebagai salah satu
sumber pendapatan negara yang nilainya dihitung sebagai nilai tambah dalam
penghitungan PDB Coklat maupun PDRB Coklat. Besarnya kontribusi Coklat sektor kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS hanya menyajikan nilai produksi dari kayu hutan yang diambil saja. Cara pandang yang selama ini hanya menilai hutan dari sisi ekonomi saja akan membawa pada arah kebijakan yang keliru. Dengan menghitung nilai deplesi atas berkurangnya modal alam akibat adanya penebangan di mana penghitungannya dilakukan dengan mencari nilai unit
STIE Putra Perdana Indonesia rent untuk masing-masing jenis kayu, maka pada tahun 2002 diperoleh nilai deplisi sebesar Rp. 68,75 milyar, Rp. 59,90 milyar untuk tahun 2003, dan Rp. 107,57 milyar
untuk tahun 2004 (lihat Tabel 15. dan Tabel 16.) yang besarnya sama antara skenario I dan skenario II. Di samping nilai deplisi tersebut juga terdapat nilai
degradasi lingkungan yang timbul akibat adanya kegiatan penebangan kayu juga dihitung dan hasilnya dari tahun 2002 hingga 2004 berturut-turut adalah Rp. 41,00 milyar, Rp. 36,11 milyar, Rp. 61,77 milyar untuk skenario I sedangkan skenario II
adalah sebesar Rp. 20,50 milyar, Rp. 18,06 milyar, dan Rp. 30,59 milyar. Sedangkan nilai degradasi yang diakibatkan dari kegiatan industri pengolahan kayu dan hail hutan lain belum muncul dikarenakan di Kabupaten Blora kegiatan yang ada
STIE Putra Perdana Indonesia adalah industri kayu mebel (funiture) yang kegiataannya relatif belum mencemari
lingkungan. Untuk mendapatkan nilai kontribusi semi hijau sektor kehutanan maka nilai deplesi yang diperoleh harus dikurangkan dari nilai tambah sektor kehutanan.
Sedangkan untuk memperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan maka nilai
kontribusi semi hijau harus dikurangi lagi dengan nilai degradasi lingkungan yang tercipta.
Tampak pada Tabel 15. maupun Tabel 16. bahwa hasil penghitungan
tersebut menciptakan nilai yang lebih kecil apabila dibandingkan kontribusi coklat sektor kehutanan yang selama ini dihitung dalam PDRB Kabupaten Blora. Apabila nilai deplesi dan degradasi lingkungan dimasukkan dalam penghitungan, maka kontribusi hijau sektor kehutanan dari tahun 2000 hingga 2003 menjadi sebesar berturut-turut sebesar (Rp. 214,98 milyar), (Rp. 282,64 milyar), dan (Rp 257,91
STIE Putra Perdana Indonesia milyar) untuk skenario I dan sebesar (Rp. 235,48 milyar), (Rp. 300,69 milyar), dan (Rp 288,50 milyar) untuk skenario II.
InoVasi Volume 9: April 2014
Page 346
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Apabila nilai kontribusi coklat, deplisi dan degradasi (depresiasi) sektor
kehutanan digabungkan atau dijumlahkan maka dapat dilihat pada Tabel 15. dan Tabel 16. bahwa sesungguhya kontribusi riil sektor kehutanan dan industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya pada pembangunan kabupaten Blora dari tahun 2002 hingga 2004 berturut-turut adalah sebesar Rp. 434,49 milyar,
Rp.
474,67 milyar, dan Rp. 595,41 milyar untuk skenario I dan Rp. 413,99 milyar, Rp. 456,61 milyar, dan Rp. 564,82 milyar untuk skenario II. Oleh karena itu, cara pandang bagi penentu kebijakan harus segera diubah yaitu tidak hanya menilai sumberdaya hutan dari sisi ekonomi saja yang tercermin
STIE Putra Perdana Indonesia dari nilai tambah yang tercipta dari kegiatan produksi baik penebangan maupun pengolahan industri berbahan dasar kayu, tetapi
harus menghitung bahwa
kontribusi sektor kehutanan terdiri dari nilai tambah dari kegiatan produksi ditambah nilai penyusutan modal alam (deplesi) dan nilai kemampuan hutan mencegah
kerusakan lingkungan (degradasi) dikurangi nilai pencemaran yang diakibatkan dari kegiatan industri pengolahan kayu dan hasil hutan.
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 9: April 2014
Page 347
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora, Blora Dalam Angka 2004, BPS Kabupaten Blora, 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Blora Menurut Lapangan Usaha, 2004, BPS, Kabupaten Blora, 2005. Badan
Pusat Statistik, Pedoman Praktis Penghitungan Kabupaten/Kotamadya (Pengertian Dasar), Buku I, Jakarta, 1998
PDRB
STIE Putra Perdana Indonesia Badan Pusat Statistik, Pedoman Praktis Penghitungan PDRB Kabupaten/Kota, Tatacara Penghitungan Menurut Lapangan Usaha, Buku 2, Jakarta, 2000. Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2004, Jakarta, 2005.
Centre for Political Studies Soegeng Suryadi Syndicated, OTONOMI Potensi Masa Depan Republik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Djajadiningrat, Surna T. , M. Suparmoko, M. Ratnaningsih, Natural Resource Accounting for Sustainable Development, Ministry of Enviroment and EMDI, 1992 Emma Rachmawaty dkk, Panduan Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau,, Kementerian Lingkungan Hidup, 2004
STIE Putra Perdana Indonesia Herman Haeruman Js, “Natural Resource and Environmental Accounting in Natural Development Planning Policy Making in Indonesia”, Jurnal Ekonomi Lingkungan , Edisi Keenam, Juni 1994. Kementerian Lingkungan Hidup, Draft Laporan Penghitungan Pendapatan Regional Hijau, Studi Kasus: Kabupaten Kutai Kertanegara, Jakarta, 2002
M. Suparmoko dan Maria R. Suparmoko, Ekonomika Lingkungan, BPFE, Yogyakarta, 2000
M. Suparmoko, “The Impact of Natural Resource and Environmental Accounting on Policy Decision Making in Indonesia,” Jurnal Ekonomi Lingkungan, Edisi Keenam, Juli 1994 M. Suparmoko, Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumber daya Alam dan Lingkunggan, BPFE, 2002.
STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 9: April 2014
Page 348
Jurnal Penelitian, Pengembangan Ilmu Manajemen dan Akuntansi STIE Putra Perdana Indonesia
April 14
STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia STIE Putra Perdana Indonesia InoVasi Volume 9: April 2014
Page 349