i
PROSIDING SEMINAR INTERNASIONAL BIMBINGAN DAN KONSELING 2015 “COUNSELOR-PRENEURSHIP : DEVELOPING COUNSELOR’S NON FORMAL COMPETENCE”
TIM EDITOR Dr. H. Parji, M.Pd (IKIP PGRI Madiun) Dr. Muhammad Hanif, M.M., M.Pd (IKIP PGRI Madiun) Dr. V. Teguh Suharto, M.Pd (IKIP PGRI Madiun) Drs. Vitalis Djarot Sumarwoto, M.Pd (IKIP PGRI Madiun) Drs. H. Ibnu Mahmudi, M.M (IKIP PGRI Madiun) Dr. William Ola Rongan, M.S (Akademi Kateketik Indonesia) Madiun
ii
KATA PENGANTAR Entrepreneurship merupakan jiwa keberanian dan kemampuan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema tersebut, jiwa mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Saat ini wirausaha di Indonesia masih berjumlah 570.339 orang. Jumlah ini hanya mencapai 0,24% dari jumlah penduduk Indonesia sejumlah 237,64 juta orang. Sebuah bangsa akan maju dan sejahtera apabila minimal 2% jumlah penduduk menjadi entrepreneurship. Untuk mencapai jumlah ideal, kita masih butuh tambahan sekitar 4.18 juta wirausaha, sehingga target ideal jumlah wirausaha sebanyak 4,75 juta wirausaha dapat tercapai dalam waktu tidak terlalu lama. Informasi yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukan data tingkat pengangguran di Indonesia per Agustus 2014 berjumlah 7,24 juta orang (5,94 persen) dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,87 juta orang. Mayoritas pengangguran merupakan angkatan kerja terdidik. Laju peningkatan angka pengangguran lulusan Universitas berada di tingkat kedua setelah SMK. Jumlah eks-mahasiswa yang tak bekerja naik 1,34 persen dari 4,31
pada
Februari
menjadi
5,65
persen
pada
Agustus
2014
(http://news.republika.co.id). Lulusan mahasiswa di Indonesia khususnya dari Program Studi Bimbingan dan Konseling tidak semuanya terserap di dunia pendidikan. Bimbingan dan Konseling diposisikan sebagai profesi yang terintegrasikan sepenuhnya dalam bidang pendidikan, yaitu ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa konselor adalah pendidik professional, sebagaimana juga guru, dosen dan pendidik lainya. Secara implisit, peran konselor di Indonesia terbatas pada dunia pendidikan, padahal konselor bisa mengembangkan kompetensinya untuk menjadi entrepreneurship dengan bekal ilmu yang telah mereka dapatkan di bangku kuliah. Seminar internasional dan workshop yang masing-masing dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 11 dan 12 April 2015 merupakan perwujudan upaya panjang tersebut. Problematika yang muncul dalam praktek kependidikan
iii
baik problem yang sering terjadi sejak waktu yang lewat maupun problemproblem yang muncul akhir-akhir ini dapat ditemukan solusi ilmiah, komprehensip dan dapat diterapkan secara memadai. Sejumlah solusi yang ditawarkan, baik berupa hasil penelitian maupun kajian ilmiah mendalam dapat terangkum dalam seminar internasional dan workshop ini.
Madiun, 12 April 2015 Ketua Panitia
Asroful Kadafi, S.Pd
iv
DAFTAR ISI PROSIDING
No 1.
2.
3
4.
5
6.
7.
8.
9.
10.
Judul Profesi Konselor Masa Depan Prof. Dr. Mungin Edi Wibowo, M.Pd., Kons (Ketua ABKIN) Konselor pada Jalur Non-Formal Prof.Madya. Dr. Abd Halim bin Mohd Hussin (Pengarah Jabatan Perkhidmatan Awan Malaysia) Peningkatan Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Melalui Layanan Informasi Berbasis Multimedia Pada Siswa Kelas X IIS 3 SMA 1 Bae Kudus Semester Gasal Tahun Pelajaran 2014/2015 Affiyani Pramono (
[email protected]) SMA 1 Bae Kudus Meningkatkan Rasa Percaya Diri Siswa dalam Menghadapi Ujian Sekolah Melalui Layanan Bimbingan Kelompok KUNIRAH (
[email protected]) SMP Negeri 2 Parang Kabupaten Magetan Konseling Krisis Untuk Membantu Individu Pasca Trauma Korban Bencana Alam Tanah Longsor Di Banjarnegara Ellya Rakhmawati dan M.A. Primaningrum Dian M (
[email protected] dan
[email protected]) Universitas PGRI Semarang Learning Media To Form The Independent Characters For Young Learners Indah Lestari (
[email protected]) Universitas Muria Kudus Pengembangan Model Konseling Individual Dengan Teknik Behavior Contract dan Reinforcement Untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pada Siswa SMP Negeri Kota Madiun Ratih Christiana (
[email protected]) IKIP PGRI MADIUN Prokrastinasi Akademik Mahasiswa Ditinjau Dari Perspektif Multibudaya Dahlia Novarianing Asri IKIP PGRI MADIUN Pengaruh Layanan Bimbingan Pribadi Sosial dan Kematangan Emosi Terhadap Agresivitas Remaja Diana Ariswanti Triningtyas (
[email protected]) Tita Maela Margawati (
[email protected]) IKIP PGRI MADIUN The Influence of Work Family Conflict on Job Performance of Female Lecturers Tyas Martika Anggriana IKIP PGRI MADIUN
v
Hal 1 - 52 53 – 61
62 - 80
81 – 90
91 - 99
100 - 105
106 - 117
118 – 134
135 - 151
152 – 161
11
12
13
14
15
16
17
18
Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Pancasila dan Islam (
[email protected]) IKIP PGRI MADIUN Efektifitas Bimbingan Kelompok Berbasis Budaya Jawa Untuk Meningkatkan Perilaku Prososial siswa SMP Negeri 1 Dagangan Rischa Pramudya dan Asroful Kadafi IKIP PGRI MADIUN Konseling Krisis Sebagai Intervensi Psikologis Pada Pasien Paliatif Dian Ratnaningtyas (
[email protected]) IKIP PGRI MADIUN Cybercounseling: Pemanfaatan Sosial Media Sebagai Pusat Informasi dan Konseling Remaja. Noviyanti Kartika Dewi (
[email protected]) Penerapan Konseling Kelompok Behavioral Untuk Meningkatkan Kontrol Diri Pada Remaja (Studi Pada Komunitas Remaja yang Orangtuanya Bekerja Sebagai TKI) Desi Maulia, Tri Suyati, Anik Rukhayati IKIP PGRI Semarang Pelatihan Asertivitas Sebagai Upaya Mereduksi Frekuensi Peristiwa Bullying di Sekolah Padmi Dyah Yulianti, Chr. Argo Widiharto IKIP PGRI Semarang Efektifitas Bimbingan Kelompok terhadap Konsep Diri Siswa Silvia Yula Wardani (
[email protected]) IKIP PGRI Madiun Pengembangan Model Bimbingan Kelompok dengan Teknik Sosiodrama untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa Nur Aini
[email protected] IKIP PGRI Madiun
vi
162 - 171
172 - 189
190 – 195 196 – 208 209 – 224
225 - 241
242 – 254 255 – 262
Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat terbatas, dan oleh sebab itu dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Manusia modern dewasa ini menembus kehidupan tanpa batas, tanpa waktu, dan tanpa batas-batas geografis. Namun kesadaran manusia modern atas kehidupan yang berubah dengan cepat juga membawanya kepada rasa keterasingan, dan mungkin kegelisahan, menghadapi perubahan-perubahan yang begitu cepat. Keberadaan manusia modern ialah keberadaan di dalam suatu masyarakat yang penuh risiko, demikian pendapat Ulrich Beck. Indonesia menghadapi tantangan persaingan bangsa di era global dan era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menuntut peningkatan mutu dan produktivitas manusia terdidik. Berbagai kebijakan pendidikan nasional telah dilahirkan,antara lain melalui sebuah lompatan besar dalam legilasi anggaran pendidikan hinga mencapai sedikitnya 20% dari APBN. Besarnya anggaran pendidikan bukanlah sebuah jaminan untuk mencapai pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, Indonesia masih harus bekerja keras mewujudkan efisiensi pengelolaan, pengalokasian, dan pendayagunaan anggaran pendidikan agar efektif dalam mencapai tujuan yang dimaksud. Daya saing hanya dapat diwujudkan oleh sebuah bangsa yang mandiri, yaitu bangsa yang mampu
PROFESI KONSELOR MASA DEPAN YANG BERMARTABAT (Oleh: Prof.Dr.Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.,Kons., Guru Besar Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang, Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) A. PENGANTAR Dunia abad ke-21 milenium ketiga mengalami akselerasi perubahan yang sangat besar. Perubahan global yang terjadi dimulai pada abad ke-20 silam begitu besar, begitu dahsyat, dan begitu mengglobal. Indonesia adalah bagian dari perubahan global itu. Manusia yang hidup di dalam abad ke-21 milenium ketiga berada di dalam dunia yang jauh berbeda dengan masa sebelumnya, memasuki fase baru dalam kehidupan umat manusia,dimana kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi, telah terjadi perubahan dalam berbagai kehidupan. Dunia berubah dengan sangat cepat dan sangat dahsyat sehingga munculah suatu proses penyadaran diri dari setiap insan yang hidup di bumi ini, bahwa dia adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar yaitu kehidupan umat manusia yang mempunyai tujuan, cita-cita, rasa kebersamaan dalam suatu kelompok ataupun dalam ikatan-ikatan suatu negara-bangsa.
1
melaksanakan kebijakan dan program pembangunan dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Indonesia menghadapi tantangan persaingan global dan MEA yang menuntut pembangunan sistem pendidikan nasional untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, maju,mandiri,dan tanggap terhadap tuntutan zaman yang berubah.tantangan ini telah mendorong Indonesia untuk memperluas wawasan konsep mutu manusia Indonesia bukan hanya dalam aspek material (penguasaan iptek), tetapi juga manusia dalam dimensi sosial-budaya, nilai karakter, dan kreativitas agar menjadi sumber penggerak untuk mengembangkan produktivitas dan kemakmuran masyarakat. Kita sebagai bangsa, warga negara dan masyarakat Indonesia, sekarang hidup dalam dunia yang kompleks, sibuk, terus berubah, dan penuh tantangan dalam upaya untuk mencapai perkembangan diri yang optimal, kemandirian, dan kebahagiaan dalam kehidupan. Di dunia ini, ada banyak pengalaman yang sulit dihadapi oleh seseorang dalam kehidupannya, namun terus menjalani hidup ini, meskipun ada saatnya terhenti oleh sebuah peristiwa atau situasi yang tidak dapat dipecahkan pada saat itu. Biasanya, dalam menghadapi masalah seperti ini, seseorang akan membicarakannya dengan keluarga, teman, tetangga, atau dokter
keluarga. Sayangnya, seringkali saran mereka tidak cukup memuaskan, atau kita terlalu malu dan segan untuk memberitahukan kepada mereka apa yang mengganggu, atau bisa saja kita memang tidak memiliki orang yang tepat untuk membicarakannya. Pada saat itulah, profesi konselor merupakan pilihan yang tepat dan sangat berguna dalam memenuhi kebutuhan individu dalam mencapai perkembangan optimal, kemandirian, dan kebahagiaan dalam kehidupan, sehingga dapat diwujudkan kehidupan efektif dan normatif dalam keseharian. Konselor berada di banyak tempat baik dalam setting pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal yang murah biayanya, bahkan terkadang gratis. Konselor sebagai pendidik profesional melakukan pelayanan konseling sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan. Konseling sebagai profesi bantuan diperuntukan bagi individu-individu normal yang sedang menjalani proses perkembangan sesuai dengan tahaptahap perkembangan agar mencapai perkembangan optimal, kemandirian dan kebahagiaan dalam menjalani berbagai kehidupan. Konseling membantu individu mengaktualisasikan dirinya secara
2
optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan kinestetik, sehingga akan dapat diwujudkannya manusia yang berhasil sebagai pribadi mandiri (mahluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain (mahluk sosial), dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (mahluk Tuhan). Konseling sebagai profesi bantuan (helping profession) adalah konsep yang melandasi peran dan fungsi konselor di masyarakat dewasa ini. Pelayanan bimbingan dan konseling di satuan pendidikan akan dapat diwujudkan oleh Kinerja Guru BK atau konselor profesional, bermartabat dan berwawasan masa depan. Guru BK atau Konselor dalam kinerjanya harus dapat menjamin tumbuh suburnya profesi dan menjadikan profesi konseling menjadi profesi yang bermartabat, yaitu pelayanan yang diberikan benar-benar bermanfaat, pelaksana bermandat, dan diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Guru BK atau konselor harus berusaha memenuhi standar profesi guru BK atau konselor agar pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh Guru BK atau konselor dapat merebut kepercayaan publik (public trust) melalui peningkatan kinerja Guru BK atau
konselor dalam pelayanan bimbingan dan konseling bermartabat. B. PROFESI KONSELOR Konseling adalah sebuah pekerjaan, disiplin keilmuan, atau profesi bantuan yang dilakukan oleh konselor. Konseling sebagai profesi yaitu pekerjaan atau karier yang bersifat pelayanan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna. Konseling sebagai profesi yang bersifat membantu memiliki landasan ilmu dan teknologi serta wilayah praktek yang jelas dan dapat dibedakan dengan profesi-profesi lain yang bersifat membantu. Konseling merupakan profesi yang dinamis, selalu berkembang dan menyenangkan, yang berhubungan dengan tragedi manusia dan kemungkinan dalam cara yang intensif, personal dan perhatian. Konselor merupakan profesi yang diperuntukan bagi setiap individu yang sedang berkembang dalam upaya pencegahan, pengembangan, eksplorasi, pemberdayaan, perubahan, kemandirian dan remediasi dalam kehidupan di dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Konselor dalam melaksanakan konseling tidak akan mendiagnosa atau memberikan cap kepada klien, konselor berusaha sebaik mungkin mendengarkan dan kemudian bekerja sama dengan klien untuk memahami dan menemukan cara terbaik dalam
3
membantu memenuhi kebutuhan, memenuhi harapan, mengembangkan diri , mencapai kemandirian dan memecahkan masalah klien. Konselor melalui konseling membantu individu untuk mengubah dan membuat perbedaan nyata antara sebelum konseling dan sesudah konseling berkaitan dengan hal pemenuhan kebutuhan, pemenuhan harapan, pencapaian kemandirian, pengembangan diri serta permasalahan yang mengganggu seseorang dalam kehidupannya. Perubahan akan sangat bergantung pada diri seseorang yang dibantu untuk berubah, sebab perubahan perilaku dalam konseling sangat tergantung pada kesiapan, kemauan, dan kemampuan orang yang dibantu atau dilayani melalui konseling oleh konselor. Konseling sebagai profesi bantuan (helping profession) adalah konsep yang melandasi peran dan fungsi konselor di masyarakat dewasa ini. Profesi konselor sebagai profesi bantuan adalah profesi yang anggota-anggotanya dilatih khusus dan memiliki lisensi atau sertifikat untuk melakukan sebuah layanan unik dan dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu layanan konseling. Konselor adalah tenaga spesialis yang terlatih dan terakreditasi dalam bidang konseling. Konselor adalah pendidik profesional yang berkualifikasi akademik minimal Sarjana Pendidikan (S-1) dalam
bidang Bimbingan dan Konseling dan telah lulus Pendidikan Profesi Guru Bimbingan dan Konseling/ Konselor. Profesi bantuan bukan hanya konselor, tetapi juga seperti dokter, advokat, guru, psikolog dan pekerja sosial. Akar setiap profesi bantuan terletak di dalam hakikat kemanusiaan dan kemasyarakatan itu sendiri, entah di masa lalu maupun masa kini. Konselor melaksanakan konseling untuk membantu individuindividu normal yang sedang menjalani proses perkembangan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan agar mencapai perkembangan optimal, kemandirian dan kebahagiaan dalam menjalani berbagai kehidupan. Konselor menggunakan keterampilan konseling dengan maksud dan tujuan utama membantu individu-indivudu (klien) mengembangkan keterampilan pribadi dan kekuatan batin (inner strength) agar mereka dapat menciptakan kebahagiaan di dalam kehidupannya sendiri dan orang lain (Nelson-Jones,2003). Konselor membantu klien untuk menolong dirinya sendiri dengan menggunakan keterampilan konseling untuk mengembangkan kapasitas klien dalam menggunakan potensi manusianya, baik sekarang maupun di masa datang.Konselor sebagai profesi bantuan bertugas membantu manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi atau optimal, dan mewujudkan suasana
4
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Manusia adalah segala-galanya bagi pelayanan konseling. Ini berarti bahwa hakikat tujuan konseling harus bertolak dari sistem nilai dan kehidupan yang menjadi rujukan manusia yang ada dalam sistem kehidupan tersebut. Teori dan konsep konseling yang dikuasai konselor didasarkan pada sistem kehidupan sosial dan budaya tertentu belum tentu berlaku bagi sistem kehidupan sosial dan budaya lain, untuk itu diperlukan perspektif sosiologis tentang hakikat tujuan konseling dan kehidupan individu yang hendak dilayani. Konselor sebagai profesi yang bersifat membantu memiliki landasan ilmu dan teknologi serta wilayah praktek yang jelas yang dapat dibedakan dengan profesiprofesi lain yang bersifat membantu. Ilmu dan teknologi merupakan dasar dan andalan bagi konselor untuk terselenggaranya pelayanan profesi konseling, yang diarahkan, dibimbing dan dijaga oleh kode etik yang secara khusus disusun untuk profesi tersebut. Konselor sebagai profesi bantuan, fondasi bagi konselor sebagai disiplin ilmu diperoleh dari disiplin keilmuan
psikologi. Kontribusi psikologi meliputi teori dan proses konseling, asesmen standar, teknik konseling individu dan kelompok, dan pengembangan karier serta teori-teori pengambilan keputusan. Wilayah spesialisasi bidang psikologi memiliki kontribusi lebih jauh untuk bangunan pengetahuan yang diatasnya para konselor bekerja. Utamanya, bangunan ini dibentuk oleh psikologi pendidikan dan studi-studinya tentang teori belajar, pertumbuhan dan perkembangan manusia dan implikasinya bagi lingkup pendidikan. Psikologi sosial membantu konselor mengerti pengaruh-pengaruh situasi sosial bagi individu,termasuk pengaruh lingkungan dan perilaku tertentu. Psikologi ekologis menyoroti studi lingkungan dan bagaimana individu mencerap, dibentuk dan mempengaruhi lingkungannya. Psikologi perkembangan membantu konselor memahami mengapa dan bagaimana individu tumbuh dan berubah sepanjang hidup mereka. Kita harus mengakui jika ikatan disipliner terkuat bagi profesi konselor adalah dengan bidang psikologi, namun kita juga harus mengakui kontribusi penting ilmuilmu lain bagi profesi konseling, sebagai contoh, sosiologi memberi kontribusi bagi pengertian tentang kelompok-kelompok manusia dajn pengaruhnya terhadap pranata dan perubahan sosial. Antropologi
5
menyediakan bagi para konselor pemahaman tentang budaya-budaya manusia, yang pada gilirannya menyediakan rambu-rambu bagi cara bersikap dan memandang anggotaanggotanya. Biologi membantu konselor memahami organisme manusia dan keunikannya. Sedangkan profesi kesehatan membuat kita sadar pentingnya kesejahteraan hidup dan pencegahan dari penyakit, penyimpangan dan gangguan baik mental maupun fisik (Gibson & Mitchel1995: 29).
menghadapi sesuatu (BAC,1984). Konseling didesain oleh konselor untuk menolong klien memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (Burk dan Steffre,1979:14). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkembang, yaitu berada dalam masa transisi dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern. Masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh arus globalisasi dan perkembangan teknologi dan informasi, sehingga kemungkinan bertemunya orangorang dari berbagai belahan dunia semakin besar pula. Pertemuan yang bukan hanya antar orang-perorang semata, melainkan sesungguhnya juga antar budaya dengan berbagai keragamannya. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural yang kesadaran akan kehidupan sangat terbatas dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Dengan pengaruh arus globalisasi masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang dapat menembus kehidupan tanpa batas, tanpa waktu, dan tanpa batas geografis. Namun, ketermelekan masyarakat modern atas kehidupan
C. KONSELOR MASA DEPAN YANG BERMARTABAT Konseling merupakan profesi yang dinamis, selalu berkembang, dan menyenangkan yang berhubungan dengan tragedi manusia dan kemungkinan dalam cara yang intensif, personal dan perhatian. Konseling merupakan profesi yang didedikasikan terhadap pencegahan, perkembangan, eksplorasi, pemberdayaan, perubahan dan remidiasi di dunia yang semaklin kompleks dan penuh tantangan. “Konseling” mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikotherapis, bimbingan dan pemecahan masalah. Tugas konselor adalah memberikan kesempatan kepada “klien” untuk mengeksplorasi, menemukan, dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam
6
yang berubah cepat juga membawanya pada rasa keterasingan, dan mungkin kegelisahan menghadapi perubahanperubahan yang begitu cepat. Keberadaan manusia modern ialah keberadaan di dalam suatu masyarakat yang penuh risiko, masyarakat yang berubah dengan cepat meminta manusia mengambil sikap, mengadakan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau dia hanyut bersama-sama dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya konselor masa depan yang bermartabat. Masa depan ialah suatu masa atau kondisi yang berada di depan manusia, akan tetapi kondisi tersebut biasanya digunakan untuk waktu yang panjang, mungkin juga tidak terbatas dan kadang-kadang masih bersifat abstrak. Masa depan untuk jangka pendek biasanya digunakan istilah besok, besok lusa, bulan depan atau tahun depan. Masa depan adalah masa yang penuh perubahan, penuh risiko, sangat kompleks, penuh tantangan, dan penuh peluang yang harus kita hadapi dengan kualitas dirinya dan mampu berkompetisi. Konselor masa depan, adalah konselor yang menatap masa depan, konselor yang mampu mengantisipasi masa depan, yaitu melihat jauh kedepan dan siap mengarungi kehidupan masa depan sehingga akan tetap eksis di dalam menjalankan profesi konseling.
Antisipasi jauh ke depan sangat penting mengingat bahwa dalam zaman modern ini perubahan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik terjadi dengan sangat cepat. Ini akibat dari cepatnya perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Konselor masa depan yang bermartabat sangat dibutuhkan untuk dapat melaksanakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku. Kekuatan eksistensi profesi konselor muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja konselor bermartabat dengan kepercayaan publik (public trust). Masyarakat percaya bahwa pelayanan konseling yang diperlukan itu hanya dapat diperoleh dari konselor yang dipersepsikan sebagai seorang yang kompeten dan bermartabat untuk memberikan pelayanan konseling yang bermartabat. Konselor masa depan yang bermartabat adalah konselor yang: (1) memiliki komitmen dan bertanggungjawab dalam menjalankan profesi konseling, (2) memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, (3) memiliki keterampilan dan kualitas pribadi yang efektif, ( 4) mampu menyelenggarakan konseling multikultural, (5) mampu menggunakan teknologi dalam
7
konseling, (6) menyelenggarakan konseling bagi populasi beragam, (7) mampu memberdayakan diri, (8) mampu belajar sepanjang hayat dan terlibat dalam organisasi profesi, (9) bermartabat dalam menjalankan profesi konseling.
dengan dengan orang yang akan dilayani dengan latar belakang ragam budaya (multikultural). Terdapat banyak konselor yang bekerja sebagai staf tetap yang digaji, namun ada pula sebagian lain yang bekerja sukarela sore harinya untuk agen swadaya. Ada pula pekerjaan yang sangat memungkinkan mereka untuk memberikan konseling seperti perawat, dokter, pekerja sosial, dan guru. Seseorang sebelum dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan diri sendiri sebagai seorang konselor yang profesional, seseorang hendaklah dengan kritis dan jujur memahami dan menilai dirinya, terutama tentang apakah memang kemauannya cukup kuat untuk secara bertanggung jawab membantu orang lain. Dengan amat bersahaja dia mungkin menanyakan kepada dirinya, “Apakah yang saya harapkan dari hubungan ini?” Kepuasan dan imbalan apakah yang mungkin saya peroleh dalam membantu orang lain?” Meskipun alasan-alasan konselor untuk membantu orang lain tidak selamanya murni dan benar-benar bersifat menguntungkan orang lain, tetapi setiap konselor hendaknya selalu terbuka dan menyadari dorongan-dorongan yang mendasari tindakan-tindakannya. Menjadi seorang konselor hendaknya mempunyai dorongan untuk membantu orang lain menjadi lebih baik, lebih bahagia, dan menjadi
1. KONSELOR : Berkomitmen dan Bertanggung Jawab Menjalankan Profesi Konseling Menjadi seorang konselor merupakan peran yang memberikan kepuasan dan kebahagiaan, serta mewujudkan perkembangan optimal dan kemandirian bagi individu yang dilayani. Ketika menjadi seorang konselor, akan ada saat di mana konselor tahu bahwa konselor telah membuat perbedaan besar dalam hidup orang lain. Kesempatan untuk menjadi saksi sekaligus pendamping seseorang yang ingin memenuhi kebutuhan, memenuhi harapan, mengembangkan dirinya, menuju kemandirian, serta menghadapi rasa takut terdalam dan dilema, selalu merupakan hak istimewa. Menjadi seorang konselor merupakan tantangan besar, akan selalu ada hal baru di sana, unik, dan merupakan pekerjaan yang mulia, serta ibadah, karena akan berurusan dengan harkat dan martabat manusia yang sedang berkembang untuk dapat menjalani kehidupan keseharian yang efektif berdasarkan norma-norma yang berlaku. Peran konselor memungkinkan jadwal kerja fleksibel, dan harus menyesuaikan
8
mandiri. Dorongan ini yang menjadi motto “saya akan lebih berbahagia jika saya melihat orang lain berbahagia” dan “saya akan lebih berbahagia jika saya bisa membantu orang lain berbahagia” Dorongan ini akan mempengaruhi keberhasilan pekerjaan konselor dalam menjalankan tugas profesional, untuk menjadikan profesi konselor sebagai profesi yang bermartabat, yaitu pelayanan yang diberikan oleh konselor benar-benar akan bermanfaat bagi orang yang mendapat pelayanan dan pihak-pihak yang terkait dengan orang yang dilayani. Alasan pertama (untuk membantu orang lain) yang timbul dalam pikiran konselor mungkin bukanlah yang paling murni dan paling tepat. Penipuan diri dalam hal ini akan menghambat kefektifan konseling. Niat dorongan yang dimiliki oleh konselor itu akan segera diketahui oleh klien. Para remaja pada umumnya cepat sekali dapat menagkap kepura-puraan orang dewasa dan mengetahui maksud konselor dengan cara-cara yang agak lunak ingin memaksakan peraturan-peraturan sekolah kepada mereka. Usaha untuk menyadari kebutuhan-kebutuhan dan dorongandorongannya sendiri mengharuskan konselor untuk senantiasa mengungkapkan pandangannya tenatng dirinya sendiri dan tentang orang lain,serta untuk terus menerus lebih dalam lagi mempelajari diri
sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh konselor (tentang diri sendiri) adalah: a. Siapakah saya? b. Apakah kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan saya? c. Apakah yang saya perlukan dari orang lain? d. Bantuan apakah yang perlu saya tawarkan kepada orang lain? e. Apakah yang saya yakini baik untuk orang lain? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering sulit dijawab dan mungkin jawabannya dapat memedihkan hati sendiri. Bagaimanapun juga konselor yang efektif hendaknya terus menerus berusaha mengenal diri sendiri. Konselor harus bertekad untuk terus menerus memperkembangkan dirinya baik melalui latihan maupun dalam kehidupan nyata sehari-hari, serta harus pula mempunyai keberanian dan keteguhan hati untuk melakukan analisis pribadi yang mendalam tentang dorongan-dorongannya mengapa ia ingin membantu klien. Hal ini perlu ditekankan mengingat perkembangan pribadi adalah suatu proses tanpa henti. Sehubungan dengan hal itu, maka pertanyaanpertanyaan tersebut memerlukan jawaban baru (tidak selalu tetap sama), sehingga memungkinkan konselor untuk secara berkala menjawab pertanyaan-pertanyaan: ”Seharunyakah saya menjadi konselor?” Mengapa?”; dan juga
9
untuk menyadari bahwa kesiapan dan kelayakannya sebagai konselor berubah sesuai dengan perubahanperubahan yang terjadi pada diri pribadinya. Konselor perlu melakukan hal ini berkali-kali bila dia ingin mengenali dan menghindarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sebelum dia berusaha lagi melakukan konseling terhadap orang lain. Yang penting diingat ialah bahwa peningkatan pengenalan tentang diri sendiri dan dorongan-dorongan yang ada pada dirinya akan memungkinkan konselor dapat bekerja lebih efektif dengan orang lain. Untuk menjadi konselor, harus membuat komitmen teguh untuk mempersiapkan diri memasuki profesi konseling dengan penuh tanggung jawab. Keanggotaan dalam profesi konseling menuntut anggotanya memiliki harapan yang kuat akan pentingnya peran konselor dan menguasai betul karakteristiknya. Jadilah konselor profesional yang mampu menerima tanggungjawab akan sebuah profesionalisme. Gibson dan Mitschel (2008) menyatakan bahwa untuk para konselor profesional harus mempunyai tanggungjawab akan sebuah profesionalisme meliputi halhal sebagai berikut. 1. Para konselor profesional harus terlatih sepenuhnya dan berkualifikasi agar sanggup memenuhi kebutuhan
populasi klien yang mereka tangani atau yang dipercayakan kepadanya. Pelatihan mensyaratkan tingkat pendidikan yang memadai (minimal master atau sarjana strata dua lain) yang akan memampukan calon konselor profesional memahami dan menyadari betul teori sistematik yang menuntun praktik profesionalnya. 2. Para konselor profesional secara aktif harus mencari dan mendapatkan sertifikasi atau lisensi yang tepat sesuai dengan pelatihan, latar belakang dan lingkup praktiknya. 3. Para konselor profesional perlu berkomitmen secara pribadi dan profesional untuk terus menerus memperbarui dan meningkatkan keahlian dan pengetahuan mereka sebagai cerminan dan representasi kemajuan terbaru bidang profesi mereka. 4. Para konselor profesional menyadari dan berkontribusi bagi pengembangan profesi dengan melakukan dan berpartisipasi dalam studistudi riset yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan tentang profesinya. Sebagai tambahannya, mereka memastikan penyebaran
10
studi-studi semacam itu bagi profesi melalui tulisan-tulisan dan presentasi program di pertemuan-pertemuan profesional. 5. Para konselor profesional adalah anggota-anggota yang berpartisipasi aktif di dalam organisasi profesi yang tepat disemua tingkatan (lokal,nasional, regional, dan internasional). 6. Para konselor profesional sadar betul dan taat kepada rambu-rambu legal dan etis profesional dan praktik konseling. Karena itu di mayoritas negara bagian AS, seseorang yang menggunakan istilah “konselor” sebagai profesi berarti dilindungi oleh hukum.
Siapapun yang menjadi konselor harus mempunyai alasan yang masuk akal, dan menganggap bahwa menjadi konselor sebagai “panggilan hati” (Foster,1996). Seorang konselor dan yang masih berada dalam masa pendidikan dean pelatihan harus selalu mempertanyakan siapa diri mereka, dan apa yang mereka lakukan. Pertanyaan tersebut bisa mencakup pertanyaan yang menelusuri perkembangan sejarah mereka, kualitas terbaik dan terburuk mereka, serta tujuan atau target pribadi/profesional mereka.
2. KONSELOR : Memenuhi Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Di Indonesia konselor sebagai pendidik profesional melakukan pelayanan konseling sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan. Konseling membantu individu mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan kinestetik, sehingga akan dapat diwujudkannya manusia yang berhasil sebagai pribadi mandiri (mahluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling
Konselor yang membantu orang lain tetapi dengan maksud agar konselor itu dapat menghindarkan diri dari masalah-masalahnya sendiri, akan kurang efektif. Bahkan, jika klien tidak berhasil menghayati secara baik pribadi konselor (dan jika konselor tiedak membuka dirinya seterbuka mungkin), maka klien tidak akan pernah memperkembangkan sikap mempercayai secara penuh dan mantap terhadap konselor, padahal kepercayaan yang penuh dan mantap ini amat diperlukan untuk suatu konseling yang efektif.
11
berinteraksi dan mendukung satu sama lain (mahluk sosial), dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (mahluk Tuhan). Untuk memenuhi kualifikasi sebagai seorang konselor, seseorang harus menyelesaikan pendidikan dan pelatihan yang terakreditasi, menjalani pengawasan yang berkelanjutan, dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) atau badan konseling profesional di negara dimana ia tinggal. Konselor harus memeiliki komptensi dan keahlian yang disispkan melalui pendidikan dan latihan khusus dalam standar kecakapan yang tinggi. Kompetensi ini dikembangkan melalui pendidikan formal dan/atau khusus sebelum memasuki dunia praktik profesional. Konselor dipersyaratkan untuk menunjukkan kemampuan yang dibuktikan melalui uji kompetensi yang dilaksanakan secara periodik. Konselor harus memiliki perangkat ketentuan yang mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik. Aspek penting dalam hal ini adalah kepercayaan: (a) adanya kodifikasi perilaku profesional sebagai aturan yang mengandung nilai keadilan dan kaidah-kaidah perilaku profesional yang tidak semata-mata melindungi anggota profesi, tetapi juga melindungi kesejahteraan publik.(b)
bahwa anggota profesi (konselor) mengorganisasikan pelayanannya dan bekerja dengan berpegang kepada standar perilaku profesional. Diyakini bahwa seorang konselor akan menerima tanggung jawab mengawasi dirinya sendiri (self regulation). Aspek yang penting dari self regulation adalah komitmen terhadap kode etik dan standar praktik. Konselor sebagai anggota suatu profesi konseling termotivasi untuk melayani pengguna dan pihak-pihak terkait dengan cara terbaik. Konselor tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan finansial tetapi mengutamakan kepentingan pengguna dan pihak-pihak yang dilayani (konseli). Konselor harus memiliki ilmu dan teknologi, yang merupakan dasar dan andalan bagi terselanggaranya pelayanan profesi konseling. Penguasaan ilmu dan teknologi diperoleh di perguruan tinggi, yang memerlukan waktu cukup lama. Agar penerapan dasardasar keilmuan dan teknologi itu disertai aspek-aspek nilai dan sikap profesional benar-benar terlaksana, pelayanan ini diarahkan, dibimbing dan dijaga oleh kode etik yang secara khusus disusun untuk profesi konseling. Konselor harus memiliki basis keilmuan ilmu pendidikan yang dibantu oleh perangkat ilmu-ilmu lain yang relevan,yaitu psikologi, budaya, dan proses perubahan. Basis keilmuan ini dilengkapi dengan wawasan, keterampilan, nilai dan
12
sikap yang didasarkan pada hakikat kemanusiaan yang menyeluruh akan memebntuk sosok konselor profesional yang holistik. Pada diri konselor tergabung antara nilai-nilai kemanusiaan yang membahagiaan dengan wawasan, keterampilan,dan sikap yang ditampilkan secara serasi, harmonis dan dinamis, bukan hanya dalam penyelenggaraan pelayanan profesional konseling melainkan juga dalam kehidupannya sehari-hari. Konselor dengan kualifikasi ini terlatih untuk menggunakan keterampilan-keterampilan konseling tingkat lanjut dalam konteks pendekatan konseling tertentu sesuai dengan pilihan mereka. Seorang konselor di Indonesia harus memenuhi standar minimal yang merupakan standar nasional pendidikan, untuk profesi konseling yaitu yang telah dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan telah menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 76 ayat (2) dinyatakan bahwa Standar yang telah dikembangkan oleh BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasional setelah ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Konselor tidak cukup hanya menempuh pendidikan dan pelatihan
akademis. Pelatihan konselor perlu juga mencakup pelatihan praktik yang dapat diperoleh melalui pendidikan profesi konselor (PPK) yang meliputi praktik konseling indiividual, konseling kelompok, konseling karir, konseling perkawinan, konseling agama, konseling lintas budaya, konseling populasi khusus, kerja kelompok eksperiensial, aplikasi instrumentasi konseling, pengalaman-pengalaman pengembangan diri, dan partisipasi dalam workshop-workshop konseling terkait. Baik selama periode pelatihan maupun periode setelah pelatihan, semua konselor memerlukan pengawasan yang berkelanjutan sehingga mereka dapat mengadakan tanya jawab, mendiskusikan hasil kerja mereka, meningkatkan keterampilanketerampilan mereka, dan membicarakan problem-problem pribadi yang mungkin muncul sebagai konsekuensi dari kegiatan pemberian konseling kepada orang lain. Konselor juga bisa jadi sering ada dalam posisi konseli dalam sebuah sesi pengawasan ketika berupaya memecahkan problemproblem pribadi mereka sendiri yang dipicu oleh pekerjaan menghadapi konseli-konseli mereka. Konselor harus memperhatikan akreditasi yang telah mereka capai dengan menjalani aktivitas-aktivitas pengembangan profesi untuk menunjukkan sebuah komitmen terhadap pelatihan dan
13
pengembangan yang berkelanjutan.Yang paling penting adalah konselor dituntut untuk berpraktik sesuai dengan kode etik profesi konselor. Setelah menempuh pendidikan dan pelatihan terakreditasi, cara terbaik untuk memulai praktik sebagai konselor adalah menjalani pekerjaan menangani konseli-konseli dewasa dibawah pengawasan ketat. Setelah mendapat pengalaman bekerja menangani konseli-konseli dewasa, banyak konselor mempelajari keterampilan-keterampilan tambahan yang dapat membantu mereka memberikan layanan konsultasi kepada pasangan, keluarga, dan anak-anak. Konselor harus memenuhi standar nasional dan standar internasional, sehingga akan mengokohkan dan mempromosikan identitas, kelayakan, dan akuntabilitas konselor profesional secara nasional maupun internasional. Profesi konseling di Indonesia tidak hanya terkait dengan berbagai aspek yang bersifat nasional, melainkan juga bersifat internasional. Disisi lain dalam era globalisasi persaingan begitu ketat, dimungkinan tenaga konselor dari luar negeri masuk ke Indonesia dan sebaliknya konselor Indonesia bekerja di luar negeri maka dituntut terpenuhinya standar internasional, jika tidak maka konselor Indonesia akan tergilas, tidak layak dan akuntabilitas profesional rendah.
Pelayanan konseling proporsional-profesional yang mendunia menuntut konselor yang memenuhi persyaratan nasional dan internasional. Untuk itu pendidikan profesi konselor harus didasarkan pada standar profesi konseling yang tidak hanya memperoleh pengakuan nasional tetapi juga internasional. “Internasionalisasi” profesi konseling ini memiliki dua arah, yaitu kemampuan membawa profesi konseling Indonesia ke kancah percaturan profesi konseling internasional pada satu arah, dan kemampuan merespon secara proporsional-profesional rangsangan dan pengaruh yang datang dari luar negeri terhadap profesi konseling di Indonesia .Profesi konseling di Indonesia dituntut untuk memenuhi standar persyaratan profesi konseling internasional, dan para konselor sebagai tenaga profesional konseling dapat bersaing dengan konselor dari negara-negara lain. Konselor yang bekerja dalam lembaga tertentu, baik pada setting persekolahan maupun di luar sekolah diperlukan adanya sertifikasi dan lisensi. Sertifikasi memberikan pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan konseling pada jenjang dan jenis setting tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga profesi konseling (konselor) yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Lisensi
14
memberikan izin kepada tenaga profesi konseling (konselor) untuk melaksanakan praktik pelayanan konseling pada jenjang dan setting tertentu, khususnya untuk praktik manidiri (privat).
ekspresi emosi,pengambilanalihan, menstruktur waktu, menggunakan bahasa. b. Keyakinan dan sikap personal. Kapasitas untuk menerima klien, yakin adanya potensi untuk berubah, kesadaran terhadap pilihan etika dan moral. Sensitivitas terhadap nilai yang dipegang oleh konseli dan diri. c. Kemampuan konseptual. Kemampuan untuk memahami dan menilai masalah konseli, mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan, memahami proses kilat dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas, mengingat informasi yang berkenaan dengan konseli. Fleksibelitas kognitif, dan keterampilan dalam memecahkan masalah. d. Ketegaran personal. Tidak ada kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang sangat merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk mentolerasi perasaan yang kuat atau tak nyaman dalam hudungan dengan konseli, batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi konseli. Tidak mempunyai prasangka sosial, etnosentrisme, dan autoritarianisme.
3. KONSELOR : Memiliki Keterampilan dan Kualitas Pribadi Yang Efektif Konselor dan proses konseling mempunyai efek yang dinamis terhadap orang lain; kalau tidak bermanfaat, kemungkinan besar justru memberikan dampak yang tidak diinginkan (Carkhuff, 1969; Ellis,1984; Mayss & Franks,1980). Oleh karena itu kepribadian konselor adalah suatu hal yang sangat penting dalam konseling. Seorang konselor haruslah dewasa, ramah, dan bisa berempati. Konselor harus altruistik (peduli pada kepentingan orang lain) dan tidak mudah marah atau frustasi (Gladding,2009). Konselor harus berpandangan bahwa konseling yang efektif sangat bergantung pada kualitas hubungan antara konseli dan konselor. Hubungan antara konselor dan konseli tergantung pada : a. Keterampilan Interpersonal. Konselor yang efektif mampu mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomununikasi, empati, kehadiran, kesadaran komunikasi non verbal, sensitivitas terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap
15
sebuah hubungan konseling. Rogers menjelaskan mengenai hal ini dalam bukunya Client-Centered Therapy yang diterbitkan tahun 1955, dan lebih lanjut Rogers mengembangkan gagasan-gagasannya dalam terbitanterbitan berikutnya. Rogers setelah menulis Client-Centered Therapy Rogers memilih untuk menyebut pendekatannya dengan Konseling Berorientasi Individu ( PersonCentered Counseling), karena ia memberikan banyak penekanan pada keharusan konselor untuk berpikir tentang kliennya sebagai seorang individu, bukan sebagai seorang entitas. Rogers memandang hubungan konselor dengan klien sebagai hubungan orang dengan orang di mana orang yang mencari bantuan (konseli) dihargai dan dihormati. Gagasan-gagasan Rogers masih relevan sampai sekarang dan secara khusus pemahamannya tentang apa yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan konseling sangat berpengaruh dan bermanfaat. Rogers mengidentifikasi sejumlah karakteristik penting dari hubungan konseling yang diyakini dibutuhkan untuk mendapatkan hasil-hasil konseling yang efektif (Rogers,1957). Setelah itu, pada tahun 1961 Rogers menerbitkan bukunya yang berjudul “On Becaming a Person”, dimana Rogers menitikberatkan pembahasan pada tiga karakteristik-karakteristik tersebut sebagai faktor yang harus dimiliki untuk mendapatkan hasil-
e. Menguasai teknik. Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana melaksanakan intervensi tertentu, kemampuan untuk menilai efektivitas intervensi, memahami dasar pemikiran di belakang teknik, memiliki simpanan intervensi yang cukup. f. Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial. Termasuk kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja dengan konseli, pengaruh agensi terhadap konseli, kapasitas untuk mendukung jaringan dan supervisi. Sensitivitas terhadap dunia sosial klien yang mungkin bersumber dari perbedaan gender, etnis, orientasi seks, atau kelompok umur. g. Terbuka untuk belajar dan bertanya. Kemampuan untuk waspada terhadap latar belakang dan masalah konseli. Terbuka terhadap pengetahuan baru. Menggunakan riset untuk menginformasikan praktik. Karakteristik-karakteristik pribadi konselor akan sangat mempengaruhi hubungan yang konselor ciptakan dengan konselinya. Carl Rogers mengidentifikasikan sejumlah karakteristik konselor yang menurut Rogers penting dalam
16
hasil yang efektif. Tiga karakteristik tersebut terdiri dari ketulusan (congruence), pengertian berdasarkan empati (emphatic understanding) sekarang umumnya disebut “empati” saja, dan penerimaan positif tanpa bersyarat (unconditional positive regard). Rogers juga berpendapat bahwa di dalam dirinya orang memiliki kemampuan untuk menemukan solusi problem mereka sendiri. Pendapat ini menuntut konselor untuk menunjukkan penghargaan terhadap kompetensi klien. David Howe (1999) menggambarkan hubungan konseling sebagai aktivitas menjalani sesuatu secara bersama-sama dengan apa yang disebutnya dengan “perserikatan terapeutik” (therapeutic alliance). David Howe menjabarkan bahwa peserikatan ini melibatkan sesuatu yang lebih dari kehadiran tiga inti persyaratan Rogers. Menurut David Howe, perserikatan ini mencakup kerjasama atau kolaborasi yang saling menguntungkan antara klien dengan konselor. Perserikatan ini merupakan sebuah ekspresi dari ikatan positif antara klien dan konselor dipandang sebagai orang yang memberikan dukungan (Luborsky,1994). Menurut David Howe, kualitas-kualitas dan karakeristik-karakteristik konselor yang dibutuhkan dalam sebuah rekanan yang efektif meliputi sikapsikap hangat, mendukung, penuh perhatian, berempati , pengertian,
klarifikatif, membantu, bertujuan , menunjukkan , keterlibatan , kolaboratif, peka, dan menciptakan keselarasan hubungan. Hubungan baik antara konselor dan klien belum cukup kuat untuk dapat memberikan hasil-hasil konseling. Gerard Egan (1994) menyatakan bahwa keterampilan dan sebuah pendekatan aktif, metodis,dan pragmatis juga diperlukan bagi konselor. Hubungan konseling adalah kompkleks serta dipengaruhi oleh kualitas pribadi konselor dan bagaimana konselor tersebut berperilaku ketika berinteraksi dengan klien. Kualitas yang diharapkan dari seorang konselor ketika menggunakan pendekatan terpadu agar sebuah hubungan konseling efektif dapat dicapai, konselor harus berusaha untuk: (1) bersikap tulus (kongruen); (2) berempati,bersikap hangat,dan menunjukkan kepekaan dalam hubungan harmonis yang dilandasi saling pengertian: (3) tidak menghakimi dengan penerimaan positif tanpa syarat: (4) menunjukkan perhatian, pengertian,dan dukungan: (5) bersikap kolaboratif di samping juga menunjukkan penghargaan terhadap kompetensi klien; dan (6) menunjukkan kemampuan dalam menggunakan keterampilanketerampilan konseling sesuai dengan maksud dan tujuannya (Kathryn & Geldard, 2005) Bersikap tulus (kongruen), yaitu konselor harus menampilkan diri apa
17
adanya sebagai seorang individu yang tampil seutuhnya sebagai dirinya. Segala sesuatu tentang konselor sebagai seorang pribadi harus sejatinya. Agar klien merasa dihargai, sebagai konselor harus bersikap tulus dalam menampilkan dirinya, menampilkan diri apa adanya dalam segala hal. Jika ini bisa dilakukan, hubungan yang tercipta akan meningkat dan proses konseling akan lebih efektif. Dalam sebuah hubungan konseling,konselor menfokuskan diri pada kepentingan klien diatas kepentingannya sendiri. Bagaimanapun, situasi konseling bukan tempat yang tepat bagi seorang konselor untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mereka sendiri; situasi konseling merupakan tempat di mana fokus utamanya adalah klien. Bersikap empatik, hangat, dan peka dalam hubungan harmonis yang dilandasi saling pengertian. Kathryn dan Geldard (2005) menyatakan bahwa sebagai seorang konselor kita tidak melulu menjadi pengikut ataupun pemimpin, meskipun ada saat-saat ketika kita mengikuti dan ada saat-saat ketika kita memimpin. Yang paling sering kita lakukan adalah mencoba berjalan bersama klien; pergi ke arah yang ia pilih, menjelajah hal-hal yang dipilih oleh klien, dan berikap hangat, terbuka , ramah, penuh perhatian, peduli, apa adanya, dan tulus. Dengan cara ini, kepercyaaan akan terbangun antara klien dan konselor, dan konselor
memandang dunia dengan cara yang hampir sama dnegan cara klien memandang dunia. Konselor mencoba untuk berpikir dan merasakan seperti apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh klien sehingga konselor dapat berbagi dengan klien tentang apa yang ia temukan tentang dirinya sendiri. Konselor membangun keselarasan dengan menempuh sebuah perjalanan bersamanya, mendengarkan segala sesuatu yang ia ceritakan dengan kepekaan tinggi, menyesuaikan diri dengan tiap tindakannya, dan menempatkan diri di sisinya. Inilah yang dinamakan empati. Bersikap empatik artinya memiliki sebuah kebersamaan dengan klien sehingga terciptalah sebuah kondisi kepercayaan di mana klien merasa diperhatikan dan aman. Dalam kondisi yang demikian itu, klien akan dapat membicarakan tentang rahasia-rahasianya terdalam sekalipun, perasaan-perasaan yang tersembunyi, dan hal-hal yang menurutnya sangat buruk atau sangat pribadi yang mereka belum pernah berani mengungkapkannya pada orang lain sebelumnya. Bersikap tidak menghakimi dengan penerimaan positif tanpa syarat, berarti penerimaan terhadap klien secara utuh, dengan cara yang tidak menghakimi, sebagai apa adanya dengan segala kerapuhan dan kelemahan yang ia miliki, dan juga dengan segala kelebihan dan sifatsifat positif mereka. Konselor
18
menunjukkan penerimaan positif tanpa syarat bukan berarti bahwa konselor setuju dengan atau menerima standar nilai yang dimiliki oleh klien, tetapi sikap ini mempunyai arti bahwa konselor menerima klien seperti apa adanya sekarang. Konselor menghargainya sebagai seorang individu, konselor tidak akan menghakimi perilakunya, dan konselor tidak akan menerapkan standar nilai konselor terhadap klien. Dengan demikian konselor membantunya merasa bebas untuk bersikap terbuka dalam menelusuri proses-proses internalnya tanpa menghambatnya dengan rasa takut atau kritik. Hal ini akan memberi klien sebuah kesempatan baik untuk meningkatkan kesadaran personal mereka dan pengembangan pribadi yang menyertainya. Langkah pertama dalam mengusahakan penerimaan positif tanpa syarat adalah memandang dunia konseli dari kacamata konseli. Dengan melakukan hal ini, konselor akan dapat memahami motivasimotivasi konseli dengan lebih baik dan konselor akan lebih dapat menerima perilakunya. Makin lama bekerja sebagai konselor makin yakinlah bahwa perilaku yang paling buruk sekalipun sering dapat dimengerti jika konselor sebelumnya telah mencoba memahami dunia di mana konseli berada dan pernah berada. Konselor mencoba untuk mengambil sudut pandang bahwa di dalam diri setiap individu, di balik
tampilan permukaan yang terlihat oleh mata, terdapat seseorang yang memiliki potensi untuk menjadi orang baik, kreatif, dan penyayang. Konselor dengan bersikap peduli kepada konseli yang berbicara kepada konselor dengan cara yang serupa dengan bagaimana konselor ingin dipedulikan oleh konseli, konselor akan bisa lebih menerima konseli dan tidak bersikap menghakimi. Konselor tidak akan berpura-pura mengatakan bahwa pelaksanaannya mudah, karena kadang-kadang hal ini sulit dilakukan. Pada beberapa situasi sesi-sesi konseling, konseli akan membicarakan perilaku, keyakinan atau sikap yang kebetulan tidak sesuai atau bertentangan dengan sistem-sistem nilai konselor. Ketika situasi semacam ini terjadi, sulit sekali bagi konselor untuk bersikap tidak menghakimi atau menilai dan juga untuk tetap bersikap tulus, tetapi ini merupakan tujuan yang harus diperjuangkan. Jika konselor dapat memandang dunia dari sudut pandang konseli tanpa memberikan penilaian, konseli akan merasa lebih aman untuk bersikap terbuka dan jujur, sementara konselor mendiskusikan hal-hal yang menjadi persoalan konseli. Konselor harus yakin, bahwa dengan bersikap netral atau tidak menilai semaksimal mungkin, konselor dapat membuka kemungkinan bahwa konseli akan akan merasa bebas untuk sepenuhnya mengungkapkan informasi-informasi
19
penting dan konselor dapat berharap mendapatkan kepercayaan penuh dari konseli dan benar-benar dapat memandang dunia dari sudut pandang konseli. Sayangnya, tidak semua konselor mampu melakukan hal tersebut, dan memang kadangkadang tidak bisa, bisa jadi konselor gagal menfasilitasi perubahan secara efektif karena konseli akan memandang konselor kurang bersikap menerima dan pengertian. Untuk dapat memahami standarstandar nilai konselor secara lebih baik, konselor harus mencermati, menelusuri, dan mempertanyakannya. Konselor harus mempertimbangkan sistem-sistem nilai yang berbeda-beda dari diri konselor sendiri terhadap nilai-nilai yang berbeda berasal. Hal ini merupakan proses yang berjalan terus-menerus dan tidak akan pernah selesai. Dengan mengolah sistem nilai konselor sendiri, memahami diri sendiri dengan lebih baik, dan pada gilirannya menjadi tidak takut lagi pada pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pandanganpandangan konselor, konselor akan lebih mampu bersikap tidak menilai atau menghakimi terhadap konselikonseli yang memiliki sistem nilai yang sangat berbeda dengan sistem nilai konselor. Konselor harus bersikap penuh perhatian, pengertian,dan mendukung terhadap konseli. Salah satu cara bagaimana seorang konselor bisa menjadi aktif adalah
dengan bersikap penuh perhatian. Sikap ini mencakup tindakan menyimak apa saja yang dikatakan oleh konseli dengan serius. Konselor harus menempatkan diri pada jalan pikiran yang sama dengan konseli; tidak hanya mendengarkan kata-kata yang diucapkannya, tetapi juga secara mendalam memahami cerita konseli dan pandangannya terhadap dunianya. Selagi konselor secara aktif mendengarkan, konselor harus mampu menunjukkan pada konselinya bahwa ia memahami apa yang diaungkapkan oleh konseli. Kapan pun dianggap mungkin dan tepat, konselor perlu memperlihatkan dan mengkomunikasikan pemahaman dan dukungannya terhadap konseli sehingga konseli akan benar-benar merasa bahwa konselornya telah berjalan bersama konseli alam proses eksplorasi. Konseling adalah sebuah “profesi yang mulia dan altruistik”. Pada umumnya profesi ini menarik orang-orang yang peduli terhadap orang lain, ramah, bersahabat, dan sensitif (Myrick,1997:4), namun seseorang bercita-cita menjadi seorang konselor berdasar beberapa alasan. Orang yang bercita-cita menjadi seorang konselor sebaiknya mengamati diri sendiri dulu, sebelum benar-benar berkomitmen terhadap profesi ini. Baik mereka memilih konseling sebagai karier utama atau tidak,mempelajari hidup sendiri dan hal-hal yang termasuk dalam ruang lingkup konseling akan membantu
20
hidup mereka. Dengan mempelajari hal tersebut mereka dapat menambah wawasan mengenai pikiran,perasaan,dan tindakan mereka,mempelajari bagaimana cara berinteraksi terhadap sesama dengan baik,dan mempelajari bagaimana proses konseling berlangsung. Mereka juga dapat meningkatkan dan mengembangkan moral dan kemampuan berempati. Setiap orang yang mengambil peranan sebagai konselor hendaklah mempersiapkan dirinya untuk mampu menampilkan pribadinya tanpa topeng dalam suasana berhubungan dengan klienkleinnya,dan berusaha keras untuk menyadari faktor-faktor yang ikut mempengaruhi proses konseling. Adalah suatu hal yang mustahil bagi konselor untuk dapat sepenuhnya obyektif dan rasional, dan apabila dia berusaha untuk berbuat sepenuhnya obyektif dan rasional,sebenarnya dia mengingkari dirinya sendiri sebagai sumber informasi konseling yang paling bernilai,yaitu yang berupa perasaanperasaannya,penghayatannya,kecend erungannya dan ide-idenya. Konselor dan proses konseling mempunyai efek yang dinamis terhadap orang lain; kalau tidak bermanfaat,kemungkinan besar justru memberikan dampak yang tidak diinginkan (Carkhuff,1969;Ellis,1984; Mays & Franks,1980). Kepribadian konselor adalah suatu hal yang sangat penting
dalam konseling. Seorang konselor haruslah dewasa,ramah,dan berempati. Mereka harus altruistik dan tidak mudah marah atau frustasi. Sayangnya masih ada saja beberapa orang yang ingin terlibat dalam profesi konseling dengan alasan yang salah. Dari sekian banyak faktor fungsional dan positif yang memotivasi seorang individu untuk mengejar karier dalam bidang konseling dan membuat mereka pas dalam profesi tersebut,ada beberapa kualitas berikut diuraikan oleh Foster (1996) dan Guy (1997). Meskipun daftar ini tidak sepenuhnya mendalam,daftar ini menjelaskan aspek-aspek dari kehidupan pribadi seseorang yang membuat dia cocok berperan sebagai seorang konselor. a. Keingin-tahuan dan kepedulian. b. Kemampuan mendengarkan. c. Suka berbincang. d. Empati dan pengertian. e. Menahan emosi. f. Introspeksi. g. Kapasitas menyangkal diri. h. Toleransi keakraban. i. Mampu berkuasa. j. Mampu tertawa. Selain kualitas pribadi yang berhubungan dengan usaha memasuki profesi konseling,terdapat beberapa karakteristik pribadi yang berhubungan dengan cara untuk terus menjadi konselor yang efektif. Hal tersebut meliputi stabilitas,
21
harmoni,kesetiaan, dan tujuan. Secara keseluruhan potensi konseling berhubungan dengan keutuhan pribadi konselor (Carkhuff&Berenson,1967;Glading,2 002; Kottler,1993). Kepribadian dari seorang konselor juga penting bahkan sangat krusial dalam menciptakan perubahan pada klien dibanding kemampuan mereka dalam menguasai pengetahuan,keahlian,atau teknik. Pedidikan tidak dapat mengubah karakteristik dasar seseorang. Konselor yang efektif bertumbuh sebagai seorang manusia dan menolong yang lain untuk melakukan hal yang sama,baik secara personal maupun global. Dengan kata lain,konselor yang efektif peka terhadap diri mereka dan orang lain. Mereka memonitor praqsangka mereka,mendengarkan,mencari klarifikasi, mengeksplorasi perbedaan kultural dan rasial secara terbuka dan positif (Ford,Harris,& Schuerger,1993). Terkait dengan kualitas peka dan pertumbuhan dari konselor yang efektif adalah fungsi atau kegunaan mereka sebagai instrumen dalam proses konseling. Konselor yang efektif mampu bersikap spontan, kreatif dan berempati. “Ada unsur seni tertentu dalam pilihan dan waktu dari intervensi konseling. Konselor efektif memilih dan mengatur waktu tindakan mereka secar intuitif,dan didasarkan kepada apa yang menurut
hasil pengamatan adalah yang terbaik. Akan sangat membantu bila selama hidupnya konselor tersebut sudah mengalami berbagai macam pengalaman hidup yang memungkinkan mereka menyadari apa yang akan atau tengah dialami klien mereka sehingga waspada dan bertindak tepat. Kemampuan konselor untuk bekerja dari perspektif pengalaman emosional yang sudah teratasi,yang membuat seseorang peka terhadap diri sendiri dan orang lain adalah karakter yang disebut Rollo May sebagai penyembuh luka (May,Berland,1985). Hal ini merupakan fenomena paradoks. Individu yang pernah tersakiti dan mampu mengatasi rasa sakit tersebut serta memperoleh wawasan tentang diri sendiri dan dunia,akan mampu menolong orang lain yang berjuang untuk mengatasi masalah emosionalnya. (Miller,Wagner,Britton,&Gridley,19 98). Mereka telah merasakan apa yang klien mereka rasakan. Jadi, ”konselor yang mempunyai pengalaman hidup menyakitkan dan mampu menanganinya,biasanya mampu berkomunikasi dan bersikap jujur dengan klien yang mempunyai masalah (Foster,1996:21). Persamaan pribadi merupakan hal yang penting di dalam konseling karena konselor hanya dapat bekerja melalui diri mereka sendiri. Dengan demikian sangat penting dan esensial bagi konselor bahwa dirinya (self)
22
dapat menjadi instrumen yang efektif. Semua konselor,akanj mendukung pernyataan Adler” bahwa bagi konselor “teknik perlakuan (treatmen) harus berada di dalam diri”. Kualitas lahiriah dari seorang konselor yang baik kiranya sudah jelas dengan sendirinya : menawan hati, memiliki kemampuan bersikap tenang ketika bersama orang lain, memiliki kapasitas untuk berempati,ditambah karakteristikkarakteristik lain yang memilikii makna yang sama. Kualitas-lualitas tersebut tidak seluruhnya merupakan kualitas bawaan. Kualitas tersebut dapat pula dicapai dan diusahakan sampai ke baatas-batas tertentu. Pengembangan kualitas akan terjadi sebagai konsekuensi dari pencerahan yang telah didapatkan oleh konselor, minat,dan ketertarikannya kepada orang lain. Secara gamblang,dapat dinyatakan bahwa jika konselor menikmati kebersamaannya dengan orang lain dengan tulus dan memiliki niat baik terhadap mereka,maka secara otomatis pula konselor akan menjadi orang yang menarik bagi orang lain. Seringkali kita temui orang-orang yang tidak disukai orang lain adalah orang-orang yang secara tidak sadar tidak ingin disukai,baik karena tuntutan-tuntutan yang muncul karena perasaan-perasaan suka dari orang lain terhadap orang tersebut,atau keinginan untuk menyendiri. “daya tarik personal” merupakan istilah yang seringkali
dipakai untuk menggambarkan hal ini,tetapi jarang sekali didefinisikan. Sekarang kita dapat mendefinisikan daya tarik personal sebagai sisi kebalikan dari minat dan kesenangan seseorang terhadap orang lain. Tetapi guna membahas lebih dalam permasalahan yang utama,kita dapat bertanya,apakah yang membedakan konselor yang baik dengan konselor yang tidak baik? Apakah pelatihan? Tampaknya memang diperlukan beberapa pelatihan. Tetapi mudah dilihat bahwa karya dan kerja kesarjanaan,seperti yang diajarkan sekarang,belum tentu cocok bagi seseorang untuk melakukan konseling secara efektif. Bahkan bisa jadi tidak cocok. Freud mengekspresikan secara klasik bahwa latihan medis tidak harus menjadi prasyarat bagi seorang psikoanalis. Menurut Freud, kualitas yang esensial ialah pandangan inheren terhadap jiwa manusia, pertama-tama dan utama terhadap lapisan ketidaksadaran jiwanya sendiri,dan ditambah latihan praktis. Konselor yang efektif juga konselor yang mampu mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan ilmiah ke dalam kehidupan mereka. Dengan demikian,konselor mampu mencapai keseimbangan interpersonal dan kompetensi teknis (Cormier & Cormier,1998). Kualitas tambahan dari konselor yang efektif,meliputi: (a) kompetensi intelektual, yaitu
23
keinginan dan kemampuan untuk belajar sekaligus berpikir cepat dan kreatif; (b) Energi, yaitu kemampuan untuk aktif dan tetap aktif dalam sessi konseling meskipun melihat jumlah antrian klien cukup banyak; (c) keluwesan, yaitu kemampuan beradaptasi dengan apa yang dilakukan klien guna memenuhi kebutuhan klien; (d) dukungan, yaitu kemampuan untuk mendorong klien mengambil keputusan sementara membantu menaikkan harapan mereka; (e) niat baik, yaitu keinginan untuk membantu klien secara konstruktif, dengan etika meningkatkan kemandirian mereka; (f) kesadaran diri, yaitu mengetahui diri sendiri, termasuk perilaku, nilai, dan perasaan serta kemampuan untuk mengenali bagaimana dan faktor apa yang saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Holland (1977), beberapa tipe kepribadian spesifik berperan dengan baik pada lingkungan kerja tertentu. Lingkungan di mana konselor dapat bekerja dengan baik biasanya berorientasi sosial dan masalah. Dibutuhkan keterampilan membangun hubungan interpersonal dan kreativitas. Tindakan kreatif membutuhkan keberanian (Cohen,2000; May,1975) dan melibatkan upaya menjual ide dan cara-cara baru dalam bekerja yang meningkatkan hubungan intrapersonal dan interpersonal (Gladding,2004 ). Semakin sesuai
kepribadian dengan lingkungannya, semakin efektif dan memuaskan kerja mereka. Konselor efektif yaitu konselor yang dapat menjaga kesehatan dan kesejahterannya adalah dengan melakukan tindakan preventif untuk menghindari masalah perilaku seperti burnout (Grosch & Olsen,1994). Burnout adalah terkurasnya kondisi jasmani atau rohani seseorang, sehingga tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam kondisi terkuras, seorang konselor akan memiliki konsep diri yang negatif, perilaku kerja yang negatif, dan bahkan kehilangan kepedulian, perasaan dan perhatian terhadap orang lain (Lambie,2007). Untuk menghindari burnout, konselor perlu mengubah lingkungan di sekitarnya, termasuk faktor-faktor individual dan interpersonal yang terdapat di dalamnya.Misalnya perlu penyegaran diri ,mereka kembali dengan melakukan langkah-langkah kecil tetapi berarti, seperti mengubah tata perabotan ruangan kerja setiap beberapa tahun sekali; membuang, meringkas, dan membuat arsip baru; mengevaluasi materi materi terbaru; dan memebrikan kontribusi terhadap profesi konseling dengan menulis atau memberi presentasi tentang halhal yang mereka sukai (McCormick,1998). 4. KONSELOR : menyelenggarakan multikultural
24
Mampu konseling
Konselor harus menyadari bahwa di Indonesia, juga pada tingkat global, konseling dan penyadaran paham multikultural amat urgen dilakukan bersamaan dengan derasnya arus globalisasi informasi dan mobilitas penduduk sehingga perjumpaan dengan orang lain (encounter with the others) semakin intens. Untuk bisa menghargai semua keragaman etnis,budaya, dan agama tentu diperlukan beberapa prasyarat. Pertama, secara teologis-filosofis diperlukan kesadaran dan keyakinan bahwa setiap individu dan kelompok etnis itu unik,namun dalam keunikannya,masing-masing memiliki kebenaran dan kebaikan universal, hanya saja terbungkus dalam wadah budaya,bahasa,dan agama yang beragam dan bersifat lokal. Kedua,secara psikologis memerlukan pengkondisian terhadap orang lain atau kelompok berbeda. Cara paling mudah untuk menumbuhkan sikap demikian adalah melalui contoh keseharian yang ditampilkan orang tua, guru,konselor di sekolah dan pengajaran agama. Ketiga,desain kurikulum pendidikan,program konseling, dan kultur sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik mengalami secara langsung makna multikultural dengan panduan guru dan konselor yang memang sudah disiapkan secara matang. Keempat,pada tahap awal hendaknya diutamakan untuk
mencari persamaan dan nilai-nilai universal dari keragaman budaya dan agama yang ada sehingga aspekaspek yang dianggap sensitif dan mudah menimbulkan konflik tidak menjadi isu dominan. Kelima, dengan berbagai metode yang kreatif dan inovatif hendaknya nilai-nilai luhur Pancasila ditegakkan kembali dan ditanamkanpada peserta didik khususnya konseli agar sense of citizenship dari sebuah negara,bangsa semakin kuat. Asumsi utama dalam mewujudkan efektivitas konseling yang berorientasi budaya adalah mengakui adanya kecenderungan dasar yang kita miliki, sebagai cara untuk memahami budaya orang lain dan memahami keterbatasan budaya sendiri. Hal ini penting untuk memahami pandangan orang lain (dunia) dan memahami warisan budaya sendiri sebelum memahami dan membantu orang lain (BoltonBrownlee,1987). Pendapat ini menegaskan bahwa dalam proses konseling, intervensi budaya sangatlah menentukan keberhasilan konseling. Konseling aalah “perjumpaan budaya” antara konselor dan klien dari latar budaya yang beragam. Oleh karena itu, konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhineka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman (Surya,2003). Orientasi dan aksentuasi budaya dalam konseling harus mendapat perhatian dari konselor. Nilai-nilai
25
budaya, utamanya budaya lokal penting untuk diaplikasikan dalam proses konseling sehingga dapat memberi “warna”. Proses konseling adalah proses “rasup budaya” yang dilakukan dengan keragaman budaya konselor dan klien tanpa perlakuan yang diskriminatif. Proses konseling haruslah menjadi model perlakuan yang mencerminkan diversitas budaya yang ada, bukan proses “pengasingan budaya”. Konselor harus ingat bahwa konseli adalah multikultural dalam perasaan dan pikiran (sense) mereka yang telah dipengaruhi oleh sedikitnya lima kultural. Agaknya orang-orang bukannya tinggal di satu kultur,tetapi hidup dalam lima kultur yang saling terjalin satu sama lain (Vontress,1986 ): a. Universal : manusia di seluruh penjuru dunia ini secara biologis mirip;misal: pria dan wanita adalah mempu untuk memproduksi keturunan dan melindungi serta menjamin berlangsungnya keturunan. b. Ekologis : lokasi atau tempat manusia di atas bumi menentukan bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan yang alami itu. c. Nasional : manusia ditandai oleh bahasa mereka,politik mereka, dan pandangan dunia mereka. d. Regional : manusia cenderung untuk menempati
suatu daerah,dengan begitu menciptakan kultur areaspecific. e. Racial-Ethnic : manusia mempunyai perbedaan kesukuan dan rasial tertentu;sehingga semua orang mencerminkan latar belakang kesukuan dan rasial mereka. Lima kultur ini menurut Vontress,membentuk kekuatankekuatan sosial yang mempengaruhi cara konseli mempersepsi permasalahan mereka,kemungkinan pemecahan masalah,dan proses konseling. Dipandang dari perspektif budaya, situasi konseling adalah sebuah “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dengan konseli. Sundberg (1981:305) melukiskan konseling sebagai “a cultural solution to personal problem solving”. Dalam konseling terjadi proses belajar,transferensi dan kaunter-transferensi,serta saling menilai. Pada keduanya juga terjadi saling menarik inferensi. Bukan hanya konselor yang menarik inferensi,melainkan juga sebaliknya. Dari segi konselor,ketepatan inferensi yang kemudian mendasari tindakannya dalam konseling tergantung pada kemampuan pemahaman secara utuh terhadap konseli. Dari segi konseli, ketepatan inferensi merujuk pada pola-pola perilaku yang dimiliki sebelumnya. Masalah timbul manakala ada
26
inkongruensi antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi inferensi kedua belah pihak,dan sumber terjadinya distorsi yang sangat besar adalah ketidakpekaan konselo terhadap latar belakang budaya konseli. Penguasaan konselor atas teori-teori dan teknik-teknik konseling yang standar saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya distorsi dan mengatasi kecenderungan orientasi pseudoetik pada konselor. Oleh karena itu konselor perlu memiliki kepekaan budaya dan memperhitungkan aspek-aspek budaya dalam praktik profesionalnya untuk memahami dan membantu konseli secara efektif. Untuk memiliki kepekaan budaya,konselor dituntut untuk mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya di luar budayanya sendiri,khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya konselinya. Dalam diri konselor, ada semacam “a set of reportoire on various cultures” yang mencegah dirinya dari “kekagetan budaya” manakala dihadapkan pada konseli yang berbeda-beda.Konselor yang demikian adalah yang menyadari benar bahwa secara kultural,individu-individu memiliki karakteristik yang unik dan ke dalam proses konseling konseli membawa serta karakteristik tersebut. Dengan kesadaran budaya ini,maka konselor akan terhindar dari kecenderungan untuk menganggap sama semua
individu yang ditanganinya yang notabene berasal dari lingkungan sosial budaya yang berbeda-beda. Dalam menerapkan teknik-teknik konseling,konselor yang sadar budaya akan secara kritis menguji manakakah di antara teknik-teknik tersebut yang culturally unique dan universally applicable. Konselor juga akan selalu berusaha untuk menghindar dari perangkap “counseling as usual” yang didasari sikap yang tidak peka budaya. Praktik konseling multikultural mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keberagaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok konseli yang satu dengan kelompok konseli yang lainnya,dan antara konselor sendiri dan konselinya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling akan dengan sungguhsungguh memperhitungkan diversitas budaya tersebut beserta berbagai dinamika yang terjadi di dalam dan antara budaya-budaya yang beragam di Indonesia (atau dimana konselor bekerja). Konselor dituntut lebih profesional dengan kualitas kepribadian yang mantap, dilandasi nilai-nilai spiritual yang kokoh (keimanan dan ketakwaan),ditunjang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,serta memiliki kepekaan budaya (Mungin Eddy Wibowo,2002). Hanna et al. (1999) menyatakan bahwa dalam kecenderungan dewasa ini
27
keefektifan seorang konselor tidak hanya cukup dengan menguasai konsep,teori,dan teknik konseling,akan tetapi yang paling mendasar adalah kualititas kepribadian dengan “kearifan”. Kearifan sangat diperlukan oleh para konselor terutama dalam konseling multikultural dalam upaya menciptakan suasana hubungan yang akrab dengan konseli. Konselor multikultural yang arif memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) sangat empatik dan merasa iba yang besar, (b) tidak menggunakan pendekatan atau keterampilan yang bersifatotomatis, (c) memiliki tilikan secara mendalam, (d) tidak mudah mengelabuhi dan menipu, (e) memiliki pengetahuan diri dan kesadaran diri secara kestensif, (f) belajar dari kesalahan-kesalahan, (g) siap melakukan penataan ulang konteks kultural, (h) mengetahui rentangan strategi mengatasi masalah, (i) dapat memotong langsung kepada esensi situasi dan kondisi, (j) memahami kerangka masalah secara tepat, (k) melihat saling ketergantungan antara orang dan benda, (l) secara ekstrim toleran dan mau menerima, dan (m) seorang ahli dalam transendensi diri (Hanna & Otten,1995). Konselor multikultural harus memiliki sensitivitas terhadap budaya secara umum dan khusus. Pedersen (1982) percaya bahwa sangat penting bagi konselor untuk
sensitif terhadap tiga area berikut dalam isu budaya: (1) pengetahuan akan cara pandang konseli yang berbeda budaya; (2) kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang dan bagaimana seseorang merupakan produk dari pengkondisian budaya;dan (3) keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan konseli yang berbeda budaya. Pedersen (1977,1978) telah terlebih dahulu mengembangkan model segitiga untuk membantu konselor mencapai pengertian yang lebih dalam terhadap budaya secara umum. Empat area dalam model tersebut adalah (1) memandang masalah dari perspektif budaya konseli; (2) mengantisipasi perlawanan dari konseli yang berbeda budaya; (3) mereduksi sikap melawan dengan cara mempelajari respons perlawanan pribadi; dan (4) mempelajari kemampuan untuk memulihkan,untuk keluar dari kesulitan ketika mengkonseling orang yang berbeda budaya (1978:481). Konselor multikultural harus memahami cara kerja sistem budaya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku. Konselor yang memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang sistem budaya biasanya akan lebih ahli dalam membantu anggota dari kelompok budaya tertentu. Konselor semacam ini mampu berbagai cara pandang yang sama dengan konseli,membuat intervensi yang lebih baik dan pantas,tapi tetap
28
mempertahankan integritas personal. Tipe sensitivitas budaya semacam ini membutuhkan partisipasi aktif dari pihak praktisi,termasuk kesadaran diri . Konselor multikultural harus menyediakan layanan konseling lintas budaya yang efektif. Sue (1978) membuat lima panduan untuk konseling lintas budaya yang efektif, yang masih aplikatif hingga sekarang: a. Konselor mengenali nilainilai dan kepercayaan yang mereka pegang sehubungan dengan tingkah laku manusia yang diinginkan dan diterima. Mereka kemudian akan dapat mengintegrasikan pengertian ini kedalam tingkah laku dan perasaan yang tepat. b. Konselor menyadari kualitas dan tradisi dari teori konseling yang umum dan bersifat kultural. Tidak ada metode konseling yang bebas dari pengaruh budaya. c. Konselor mengerti lingkungan sosial politik yang telah mempengaruhi kehidupan para anggota kelompok minoritas.Manusia adalah produk dari keadaan di mana mereka hidup. d. Konselor mampu berbagi cara pandang dari klien dan tidak menanyakan keabsahannya. e. Konselor benar-benar kreatif dalam praktik konseling.Mereka dapat
menggunakan beragam keahlian konseling dan menerapkan teknik konseling tertentu pada gaya hidup dan pengalaman tertentu. Praktik konseling multikultural di Indonesia mempunyai dimensidimensi sebagai berikut: 1. ”Right to culture” dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Gelombang global telah membawa suatu kekuatan baik yang melawan arus menyamaratakan manusia. Secara kasar arus globalisasi membawa akibat komersialisasi serta pendangkalan budaya. Untuk melawan arus ini orang mulai timbul kesadaran akan pertanyaan : Siapakah sebenarnya saya ini? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar terhadap indentitas seseorang yang memiliki budaya sendiri, selanjutnya mempertanyakan dimanakah tempat seseorang di dalam budaya global (makro, budaya mainstream). Inilah pertanyaan terhadap identitas seseorang, identitas suatu komunitas, dan identitas suatu bangsa. Sungguhpun globalisasi merontokkan batas-batas negara,
29
bukan berarti hancurnya konsep negara-bangsa. Ada anggapan bahwa negara-bangsa justru diperkuaet oleh gelombang globalisasi dewasa ini. Demikian pula halnya dengan negara-bangsa Indonesia. Dengan gerakan reformasi serta lahir dan berkembangnya identitas suatu komunitas, memang dikhawatirkan muncul identitas suku bangsa yang akan membahayakan perkembangan rasa ke-Indonesiaan. Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro Indonesia, memang memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut budaya Indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua. Apakah yang dimaksud dnegan kebudayaan Indonesia? Apakah yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan suku bangsa yang ada di Nusantara ini? Semua hal tersebut memang diakui belum kita miliki. Identitas budaya makro, yaitu budaya Indonesia yang sedang menjadi memang harus terus-menerus kita bangun atau merupakan sesuatu yang harus diwujudkan oleh setiap insan Indonesia dari generasi ke generasi. Inilah upaya untuk membangun suatu masyarakat madani Indonesia yang
berdasarkan kebudayaan Indonesia. Konseling multikultural di Indonesia haruslah memperhatikan masyarakat madani di tengahtengah kekuatan kebudayaan global. 2. Kebudayaan Indonesia yang menjadi. Kebudayaan Indonesia yang menjadi adalah suatu Weltanschauung,artinya merupakan pegangan dari setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Sebagai suatu Weltanschauung, hal tersebut merupakan suatu sistem nilai yang baru (value system). Sebagai suatu sistem nilai yang beru memerlukan suatu proses perwujudannya antara lain melalui proses dalam konseling. Oleh karena itu di tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus perlu ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujudkan, yaitu sistem nilai keIndonesiaan.Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan paradigm shift di dalam proses pendidikan bangsa Indonesia. Sebagai suatu paradigma baru di dalam sistem konseling di Indonesia, maka perlu dirumuskan bagaimana konseling diarahkan kepada pemeliharan dan pengembangan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di
30
Indonesia. Sebagai suatu proses kebudayaan ke arah perwujudan identitas manusia dan budaya Indonesia, maka proses tersebut bukannya menghilangkan pluralitas budaya mikro di Indonesai tetapi merupakan suatu proses mozaikisasi budaya Indonesia. 3. Konseling multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial. Suatu rekonstruksi sosial artinya upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, the right culture dari perorangan maupuan suatu suku bangsa Indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang berlebihan dan tidak jarang menyebabkan pergeseranpergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya. Rasa kesukuan yang berlebihan dapat melahirkan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bangsa yang pluralis. Konflik horizontal yang muncul di beberapa daerah bukan saja mempunyai latar belakang ekonomi, juga sosial-budaya, agama,dan adat-istiadat. Masingmasing komunitas menutup dirinya sendiri dan mempunyai suatu persatuan semu yang dipaksakan dari atas. Kita lihat sebenarnya dalam konseling multikultural tidak ada pengelompokkan komunitas yang
mengagungkan nilai-nilai kelompok sendiri tetapi yang mengenal akan nilai-nilai hidup budaya suku/komunitas yang lain. Oleh sebab itu konseling multikultural tidak akan dikenal adanya fantasisme atau fundamentalisme sosio-budaya termasuk agama, karena masingmasing komunitas mengenal dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Demikian juga dalam konseling multikultural tidak mengenal adanya xenophobia. Konseling multikultural mempunyai tugas untuk memperdalam akan rasa identitas kesukuan yang kemudian secara terbuka mengenal dan mengerti akan nilai-nilai sosial-budaya dan agama dari suku-suku lain. Pada tahap berikutnya adalah penghargaan yang sama terhadap sistem nilai dari masing-masing suku, mengetahui dan menghargai kelebihan-kelebihannya, dan membatasi diri dari kemungkinan clash dari sistem nilai yang berbeda. Akhirnya konseling multikultural sebagai suatu strategi rekonstruksi sosial mempunyai tugas dalam mewujudkan kebudayaan Indonesia yang sedang menjadi atau konsep keindonesiaan yang bersatu di atas pluralitas sukusuku yang beragam. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
31
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia,sehat,berilmu,cakap,kreatif,ma ndiri,dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003,Pasal 2 dan Pasal 3). Tujuan tersebut bersisi pribadi dan kemasyarakatan yang dalam pencapaiannya pelayanan konseling mempunyai peranan. Konseling suatu teknologi, suatu kerangka berpikir dan kerangka bertindak yang dalam pelaksanaannya syarat dengan muatan budaya,maka konseling yang diterapkan untuk orang Indonesia harus sesuai dengan lingkungan budaya Indonesia,harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, dan juga harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam implementasinya. Oleh karena itu konselor masa depan adalah konselor yang mampu menjadi pembelajar seumur hidup dan mengimplementasikan teori, pendekatan,teknik dan metode bekerja dalam konseling dengan orang-orang yang multikultural
secara efektif. Keefektifan konselor dalam menjalankan konseling sangat tergantung pada kesadaran, pemahaman budaya, relasi konselor dengan klien, dan saling memahami antara konselor dan klien. Untuk itu, konselor harus peka terhadap latar belakang klien dan kebutuhan khususnya serta secara seimbang menyesuaikan diri dengan konsep nilai, bias, budaya dan kemampuan klien. Konselor juga harus memiliki pengetahuan tentang klien secara kolektif, dalam sub-kelompok, dan secara individual. 5. KONSELOR: Mampu Menggunakan Teknologi dalam Konseling Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi dari waktu ke waktu semakin berkembang. Munculnya teknologi informasi dan komunikasi telah membuka era baru dalam proses konseling. Kondisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi konselor untuk berperan serta dan dapat menguasai berbagai keterampilan di dalamnya. Kemajuan teknologi pada saat ini menuntut setiap bidang berbasis teknologi untuk dapat menyesuaikan terhadap kemajuan tersebut, termasuk konseling sebagai profesi yang sedang berkembang di Indonesia untuk menggunakan teknologi informasi sebagai media mempermudah dalam melakukan kegiatan profesinya. Bertambahnya
32
kemajuan teknologi ini mempermudah akses klien dalam melakukan konseling. Penggunaan teknologi dalam konseling telah tumbuh dengan sangat cepat (Shaw $ Shaw,2006). Apa yang semula hanya janji, telah menjadi kenyataan, dan “teknologi” telah memberikan dampak yang kuat pada hampir semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan, bisnis, sains, agama,pemerintahan, pengobatan, termasuk konseling. Semula, teknologi digunakan dalam konseling untuk mempermudah penyimpanan data, dan mengolahan data.Kini faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi teknologi-klien semakin mendapat perhatian, khususnya internet dan tepeon (Reese,Conoley & Brossart,2006). Jumlah aplikasi komputer berbasis jaringan dalam konseling meningkat sangat cepat. Di negara Barat, sejumlah konselor dan orgnasisasi terkait konseling menawarkan pelayanan melalui internet. Tren ini bisa dipahami mengingat fakta bahwa manusia memiliki waktu terbatas, pelayanan telepon sudah tersedia, demikian juga penggunaan internet. Melalui konseling online atau cyber counseling, klien lebih mau terbuka berbicara,serta konselor pun dapat menyesuaikan terhadap kesiapan klien dalam mengambil tindakan yang diperlukan. Di negara maju konseling sudah menggunakan fasilitas/sarana elektronik yang biasa kita sebut dengan konseling online,
yang memungkinkan kurangnya tatap muka antara konselor dan klien. Sehingga muncullah beberapa isu etik yang terjadi dlaam konseling online yang perlu dipahami oleh konselor yang akan menggunakan konseling online.Kondisi tersebut mengharuskan konselor untuk menguasainya.Jika tidak, maka konselor dipandang gagap teknologi dan tidak mau berkembang. Praktik konseling online tidak dapat dipisahkan dari teknologi.Maksudnya bahwa praktik konseling online tidak dapat ditolak dari teknologi. Konseling online tetap akan terikat oleh teknologi, dan perangkat keras atau perangkat lunak yang dipilihomputer, koneksi internet akan memiliki dampak penting bagi pekerjaan konselor. Ada beberapa perangkat yang perlu disiapkan dalam praktik konseling online, yaitu komputer, koneksi internet (idealnya yang memiliki kecepatan tinggi) dan web browser.Selain itu juga jaringan wireles, akun email, program email,program obrolan (chat), program video konferensi dan webcam, situs web (website), nama domain, layanan webhosting, pengaman perangkat lunak dan perangkat keras, jejaring sosial, dunia maya. Konselor harus memahami internet, memahami web, memahami email (standar email, webmail, dan peasn pencegahan), memahami text chat (obrolan teks), memahami video konferensi, memahami formulir dan
33
dokumen sharing, memahami keamanan (poin-poin risiko,penanggulangan dan praktik terbaik).Kompetensi konselor dalam menggunakan teknologi dali konselor am konseling harus selalu ditingkatkan mengikuti perkembangan teknologi. Kompetensi yang harus dikuasai konselor misalnya dapat menggunakan program pengolah kata, peralatan audio-visual, e-mail, internet. Konselor online harus mengikuti tren teknologi dalam konseling online. Teknologi selalu berubah, oleh karena itu konselor harus melakukan tindakan bijak untuk mengikuti inovasi teknologi terbaru. Semakin portabel, komputer yang cepat dan koneksi internet yang lebih cepat akan memungkinkan konselor online untuk menawarkan layanan vodeo konferensi dengan mudah, dan generasi baru akses internet nirkabel akan menghapus keterbatasan aksesibilitas. Meskipun kita yang menjalankan profesi konselor juga harus menyadari bahwa internet,telepon, dan teknologi lain tidak akan pernah dapat menggantikan konseling tatap-muka, teknologi tersebut jelas tetap dibutuhkan. Teknologi menawarkan pengalaman unik dengan keunggulan dan keterbatasan yang akan mempengaruhi kerja konselor di masa depan. Konselor selayaknya mempelajari masalah etik dalam
arena baru ini. Oleh karena itu konselor dituntut untuk dapat menggunakan teknologi konseling secara bijak dan efektif. Mallen dan Vogel (2005:761) menunjukkan bahwa konseling online bukan lagi sesuatu yang perlu dibentuk di masa depan. Saat ini terbuka kemungkinan bagi siapapun untuk mengakses informasi apa- pun di internet, menemukan seorang konselor profesional dan memiliki sebuah sesi konseling tanpa harus capek-capek bertemu. Para konselor akan sanggup tampil online bukan hanya sesuai kualifikasi mereka,tetapi juga belajar kualifikasi lain karena harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan klien dan potensi pasar. Perlu diingat para konselor yang mempraktikan menggunakan konseling onlie harus melaporkan ke organisasi profesi ABKIN dan lembaga teknologi dan informasi terkait dengan masalah etika konseling dan etika TIK.Penggunaaan komputer dan teknologi dalam konseling yang dikenal dengan online counseling atau cyber counseling atau webcounseling sangat berpotensi menimbulkan permasalahan etik. Oleh karena itulah, organisasi profesi ABKIN perlu mengeluarkan batasan etik, tentang tingkah laku konselor dalam penggunaan komputer dan teknologi dalam konseling.
34
konseling. Keanggotaan dalam profesi ini menuntut anggotanya memiliki harapan yang kuat akan pentingnya peranan konselor dan menguasai betul karakteristiknya.. Konselor yang bekerja di bidang terkait dengan klien usia tua, korban pelecehan seksual, korban kekerasan, penyandang cacat, pecandu narkoba, pecandu tembakau, pecandu alkohol, manula, pasien AIDS, bisnis dan industri, warga miskin, trauma dan krisis, kecanduan kerja, penjudi, dan jenis populasi khusus lainnya membutuhkan pelatihan khusus untuk dapat membantu orang-orang tersebut. Para konselor profesional harus terlatih sepenuhnya dan berkualifikasi agar sanggup memenuhi kebutuhan populasi klien yang mereka tangani atau yang dipercayakan kepadanya .Para konselor profesional perlu berkomitmen secara pribadi dan profesional untuk terus memperbaharui dan meningkatkan keahlian dan pengetahuan mereka sebagai cerminan dan representasi kemajuan terbaru bidang profesi mereka. Tantangan konselor yang dihadapi konselor masa depan adalah menemukan cara untuk bekerja secara efektif dalam membantu menangani klien yang memiliki masalah khusus tersebut. Konselor yang merupakan ahli dalam bidang konseling populasi khusus ini memusatkan diri pada sejumlah bidang, termasuk meningkatkan gaya
6. KONSELOR : Mampu Menyelenggarakan Konseling bagi Populasi Beragam Konselor harus memahami bahwa keragaman merupakan aspek utama dari kehidupan manusia. Manusia berbeda dalam berbagai hal sehingga diperlukan adanya diversitas dalam konseling. Konselor harus mampu menyelenggarakan konseling untuk berbagai kelompok atau jenis populasi yang berbeda berdasarkan usia, jenis kelamin, orientasi seksual, kerohanian, para pecandu narkoba, pecandu alkohol, pecandu tembakau, manula, korban kekerasan, korban pelecehan seksual, penyandang cacat, warga miskin, trauma, krisis dan sebagainya. Konseling adalah jantung aktivitas konselor, oleh karena agar konselor dapat menjalankan tugas dan tanggungjawab profesinya diperlukan pelatihan khusus agar bisa melaksanakan konseling secara profesional terhadap ragam kebutuhan populasi dan permasalahan khusus. Keeefktifan konselor dalam menjalankan tugas profesi konseling sangat tergantung pada kompetensi yang dimilikinya melalui pendidikan dan pelatihan khusus yang didasarkan kepada yang tinggi untuk memartabatkan profesi konseling. Sebagai konselor yang menjalankan tugas profesional harus membuat komitmen teguh untuk mempersiapkan diri dalam melaksanakan tugas profesi
35
hidup sehat, identifikasi dan penghilangan penyebab stres, modifikasi lingkungan yang tercemar, memelihara dan merestorasi kesehatan fisik dan mental. Cara-cara khusus untuk menangani klien ditentukan bergantung kepada kemampuan konselor dan kebutuhan populasi khusus klien. Konselor harus menghormati perbedaan dalam berbagai bentuk layanan konseling dan individu yang dilayani, ini adalah pokok dari konseling. Tanpa pendirian seperti ini, kesejahteraan dari klien terancam dan rasa hormat dan martabat yang seharusnya dimiliki setiap orang menjadi terabaikan.
yaitu mewujudkan pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan. Pertama, konselor membangun power-to, yaitu daya kekuatan yang kreatif, yang membuat dirinya sebagai konselor mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek individual dari pemberdayaan, yaitu mengembangkan diri agar memiliki kemampuan berpikir, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Kedua, pemberdayaan adalah usaha untuk membangun power-with, kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi konselor dalam menjalankan tugas dan menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, konselor membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia. Ketiga, pemberdayaan bertujuan untuk membangun powerwithin, daya kekuatan batin dalam diri konselor, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan sebagai konselor profesional dan bermartabat. Tanpa adanya harga diri, tidak mungkin konselor sebagai manusia membangun kemampuan kreativitasnya dalam berbagai bidang. Melalui pemberdayaan diri, perkembangan intelektual, moral, dan emosional akan terwujud dengan membangun harga diri, kepercayaan,
7.
KONSELOR : Mampu Memberdayakan Diri Istilah “pemberdayaan” atau empowerment, yang akhir-akhir ini banyak digunakan, tepat dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Istilah empowerment berhubungan dengan istilah power. Power dapat berarti “kekuasaan terhadap” atau dominasi terhadap (powerover). Dalam pembahasan ini yang dimaksud power dalam pengertian power to, yaitu daya kekuatan untuk berbuat; power-with, yaitu daya kekuatan untuk membangun kerja sama, dan power-within, yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia. Profesionalisasi Konselor dapat dilihat sebagai empowerment atau pemberdayaan,
36
dan harapan masa depan yang harus ditanamkan sejak dini. Pengembangan ketiga kemampuan dalam pemberdayaan akan memungkinkan konselor mampu menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, dan dapat menjalankan tugas profesional dengan penuh kepercayaan publik. Revolusi mental pada dasarnya harus dilakukan oleh konselor untuk dapat menjadi konselor yang bermartabat.. Konselor sebagai pendidik harus memberdayakan dirinya untuk menjadi konselor yang bermartabat, berbudaya dan berperilaku baik dalam kehidupannya bersama orang lain, khususnya dalam membantu individu-individu yang menjadi kelompok sasaran dalam profesi konseling. Konselor melakukan revolusi mental dan perilaku pada dirinya yang sedang berkembang harus dilakukan secara terencana, bertahap, dan terstruktur, yang secara sinergis mentransformasikan mentalitas-karakter bangsa menuju kemandirian pribadi dan berkepribadian dalam kebudayaan yang kuat. Lemahnya mentalitas kepribadian individu membuat kebudayaan bangsa kita tidak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa yang besar namun masih bermental kecil; bangsa besar masih mengidap perasaan rendah diri. Bangsa yang selalu melihat dunia luar sebagai pusat teladan,
tanpa menyadari dan menghargai kelebihan-kelebihan bangsa sendiri. Atau, sebaliknya, melakukan kompensasi berlebihan dengan mengembangkan mentalitas jago kandang yang menolak belajar dari kelebihan-kelebihan bangsa lain. Tanpa kekuatan karakter, kita sulit menjadi pemenang dalam era persaingan global. Napoleon Bonaparte menyatakan “Dalam pertempuran (baca persaingan), tiga perempat faktor kemenangan ditentukan kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperempat lagi oleh keseimbangan anatara keterampilan manusia dan sumber daya material.” Krisis mentalitas merupakan akar tunjang dari kirisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih mendahulukan pembangunan jiwa daripada raga. Dunia pendidikan yang biasanya dijadikan sandaran terakhir bagi transformasi sosial bukannya memberi harapan, malah menjadi bagian dari krisis itu sendiri. Lembaga pendidikan sebagai benteng kebudayaan mengalami proses pengerdilan, tergerus dominasi etos instrumentalisme; suatu etos yang mengharagi seni, budaya dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Suatu usaha national healing perlu dilakukan dengan melakukan gerakan revolusi mental, yang wahana utamanya melalui proses persemaian dan pembudayaan dalam
37
profesionalisasi diri konselor. Proses profesionalisasi diri sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan konselor sebagai manusia baru Indonesia dengan mentalkarakter yang sehat, kuat dan bermartabat. Untuk itu perlu adanya reorientasi dalam dunia pendidikan konselor dengan menempatkan proses kebudayaan (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan harus dipandang sebagai proses kreatif yang tak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Profesionalisasi diri konselor sebagai proses belajar menjadi konselor berkebudayaan berorientasi ganda :memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Konselor harus mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan khusus” (“diferensial”) dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam, setiap konselor memiliki keistimewaan kecerdasan masing-masing. Proses profesionalisasi diri konselor sebagai upaya untuk menemukenali kekhasan potensi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dari keberlangsungan jagat besar yang menuntut profesi
konselor menyesuaikan diri dan memasukinya secara bermartabat. Aktualisasi dari kesadaran ini konselor adalah pemupukan keandalan khusus seorang konselor yang memungkinkan memiliki kepercayaan diri, daya tahan, daya emban, dan daya saing dalam perjuangan hidup, dengan tetap memiliki sensitivitasnya terhadap nilai-nilai kebudayaan yang baik, benar, dan indah. Pengenalan terhadap kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap kebersamaan nilai-nilai kebudayaan itulah yang menjadi dasar pembentukan karakter. “Karakter” dalam arti ini adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kerpribadian moral konselor bermartabat. Konselor harus mampu mengembangkan kekuatan pribadi, yaitu dapat mengatakan sesuatu yang sulit dan membuat keputusan yang tidak populer, fleksibel dalam melakukan pendekatan dalam konseling, mampu menetapkan batasan yang beralasan dan mematuhinya untuk menetapkan hubungan yang baik dan menggunakan waktu dan tenaga secara efisien, dapat tetap menjaga jarak dengan klien, untuk tidak terbawa emosi yang timbul pada waktu konseling, konselor harus mampu mengembangkan pribadi yang hangat, kehangatan mempunyai makna sebagi satu kondisi yang mampu menjadi pihak yang ramah, peduli, dan dapat menghibur orang
38
lain, mendapatkan kehangatan yang cukup dalam kehidupan pribadinya, sehingga mampu berbagi dengan orang lain, mampu membedakan antara kehangatan dan kelembaban, tidak menakutkan dan membiarkan orang merasa nyaman dengan kehadirannya, memiliki sentuhan manusiawi yang mendalam terhadap kemanusiaan dirinya. Salah satu elemen penting dalam perkembangan konselor, bukan hanya pada masa pendidikan, tetapi juga sepanjang karir konselor,adalah penggunaan supervisi yang efektif dan tepat. Adalah syarat bagi sebagian besar asosiasi profesional bahwa konselor yang mereka akreditasi harus menerima supervisi reguler dari seseorang yang cakap dalam melakukan konseling. Supervisi adalah salah satu cara untuk meningkatkan keahlian konseling profesional. Supervisi adalah proses interaktif dan evaluatif, di mana seseorang dengan kemampuan dan pengalaman yang lebih baik mengawasi orang dengan pengetahuan dan keahlian yang lebih rendah, untuk meningkatkan kemampuan profesional dari yunior ini (Bernard & Goodyear,2004). Supervisi adalah sebuah pengalaman fasilitatif yang menggabungkan belajar secara didaktik, dengan pengalaman dalam konteks hubungan pengembangan. Kualitas dan perilaku konselor yang efektif diharapkan akan selalu meningkat, sejalan dengan
perkembangan konseling sebagai profesi. Konselor yang efektif biasanya mempunyai karakteristik hangat, bersahabat, terbuka, peka, sabar,dan kreatif. Konselor secara konsisten menjaga kesehatan mental sendiri, dan berusaha agar tidak mengalami kelelahan maupun ketidak efektifan. Pendidikan merupakan efektifitas kedua yang terkait dengan keefektivitas konselor. Ketiga yang terkait dengan keefektivitas konselor dalam konseling adalah teori dan sistem. Konselor yang efektif mengetahui bahwa teori adalah “mengapa” di balik “bagaimana” dari teknik dan praktik, dan bahwa tidak ada yang lebih praktis dibanding dengan menguasai pendekatan teoritis utama dalam konseling. Konselor yang efektif tahu bagaimana individu berkembang sepanjang masa kehidupan, dan juga tahu terminologi serta manfaat dari pelayanan konseling yang bermartabat.Konselor yang efektif juga aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan konseling. Konselor menyadari pentingnya menjaga kemutakhiran pengetahuan mereka dengan mengikuti program pendidikan berkelanjutan dan kegiatan-kegiatan ilmiah terkait dengan teori dan praktik konseling. 8.
39
KONSELOR : Belajar Sepanjang Hayat dan Terlibat dalam Kegiatan Organisasi Profesi
Menjadi konselor adalah sebuah proses seumur hidup (Gladding,2002). Proses ini terus berlangsung melampaui pendidikan formal dan termasuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang terkait dengan bidang konseling dan kegiatan organisasi profesi. Konselor harus terus belajar untuk mendapatkan Continuing Educational Units agar terus mendapatkan pembaharuan informasi mengenai konseling, mendapatkan supervisi untuk memastikan pelayanan konseling yang sempurna. Studi lanjut merupakan sebuah kebutuhan bagi semua konselor terutama setelah lulus program sarjana dan pendidikan profesi, meneruskan ke program master dan program doktor konseling. dasar pertimbangannya adalah karena ideide baru dalam konseling dan praktik dalam konseling terhadap individu atau masyarakat dalam berbagai jenis populasi layanan konseling terus berubah dari waktu ke waktu dan harus terus dievaluasi, digabungkan, dan apabila perlu, dikuasai. Konselor yang berhenti membaca buku-buku konseling atau berhenti/jarang menghadiri seminar, workshop,konvensi mengenai konseling, akan cepat ketinggalan zaman dalam memberikan layanan keahlian konseling. Konselor harus mampu mengembangkan kekuatan pribadi, yaitu dapat mengatakan sesuatu yang sulit dan membuat keputusan yang
tidak populer, fleksibel dalam melakukan pendekatan dalam konseling, mampu menetapkan batasan yang beralasan dan mematuhinya untuk menetapkan hubungan yang baik dan menggunakan waktu dan tenaga secara efisien, dapat tetap menjaga jarak dengan klien, untuk tidak terbawa emosi yang timbul pada waktu konseling, konselor harus mampu mengembangkan pribadi yang hangat, kehangatan mempunyai makna sebagi satu kondisi yang mampu menjadi pihak yang ramah, peduli, dan dapat menghibur orang lain, mendapatkan kehangatan yang cukup dalam kehidupan pribadinya, sehingga mampu berbagi dengan orang lain, mampu membedakan antara kehangatan dan kelembaban, tidak menakutkan dan membiarkan orang merasa nyaman dengan kehadirannya, memiliki sentuhan manusiawi yang mendalam terhadap kemanusiaan dirinya. Salah satu elemen penting dalam perkembangan konselor, bukan hanya pada masa pendidikan, tetapi juga sepanjang karir konselor,adalah penggunaan supervisi yang efektif dan tepat. Adalah syarat bagi sebagian besar asosiasi profesional bahwa konselor yang mereka akreditasi harus menerima supervisi reguler dari seseorang yang cakap dalam melakukan konseling. Supervisi adalah salah satu cara untuk meningkatkan keahlian konseling profesional. Supervisi
40
adalah proses interaktif dan evaluatif, di mana seseorang dengan kemampuan dan pengalaman yang lebih baik mengawasi orang dengan pengetahuan dan keahlian yang lebih rendah, untuk meningkatkan kemampuan profesional dari yunior ini (Bernard & Goodyear,2004). Supervisi adalah sebuah pengalaman fasilitatif yang menggabungkan belajar secara didaktik, dengan pengalaman dalam konteks hubungan pengembangan. Kualitas dan perilaku konselor yang efektif diharapkan akan selalu meningkat, sejalan dengan perkembangan konseling sebagai profesi. Konselor yang efektif biasanya mempunyai karakteristik hangat, bersahabat, terbuka, peka, sabar,dan kreatif. Konselor secara konsisten menjaga kesehatan mental sendiri, dan berusaha agar tidak mengalami kelelahan maupun ketidak efektifan. Pendidikan merupakan efektifitas kedua yang terkait dengan keefektivitas konselor. Ketiga yang terkait dengan keefektivitas konselor dalam konseling adalah teori dan sistem. Konselor yang efektif mengetahui bahwa teori adalah “mengapa” di balik “bagaimana” dari teknik dan praktik, dan bahwa tidak ada yang lebih praktis dibanding dengan menguasai pendekatan teoritis utama dalam konseling. Konselor yang efektif tahu bagaimana individu berkembang sepanjang masa kehidupan, dan juga tahu terminologi
serta manfaat dari pelayanan konseling yang bermartabat.Konselor yang efektif juga aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan konseling.Konselor menyadari pentingnya menjaga kemutakhiran pengetahuan mereka dengan mengikuti program pendidikan berkelanjutan dan kegiatan-kegiatan ilmiah terkait dengan teori dan praktik konseling. Untuk menjadi konselor depan yaitu konselor yang efektif, harus memiliki profesionalisme didalam menjalankan profesinya. Profesionalisme menunjuk kepada komitmen konselor sebagai anggota profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategistrategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Wujud dari profesionalisme konselor yaitu melakukan profesionalisasi diri untuk dapat melaksanakan kinerja yang bermutu sesuai dengan sifat, tugas dan kegiatannya di berbagai latar kerja. Profesionalisasi menunjuk kepada proses peningkatan kualifikasi dan kompetensi konselor sebagai anggota profesi dalam mencapai kriteria standar dan dalam kinerjanya menjalankan tugas utama profesi. Profesionalisasi merupakan proses yang berlangsung: sepanjang hayat, dan tanpa henti. Profesionalisasi pada dasarnya
41
merupakan serangkaian proses pengembangan keprofesionalan berkelanjutan, baik dilakukan melalui: pendidikan/latihan prajabatan (pre-service training); maupun pendidikan/latihan dalam jabatan (in-service training). Profesionalisasi merupakan keharusan bagi setiap orang yang menjalankan profesi, agar dapat memenuhi tuntutan standar profesi. Oleh karena itu konselor harus mempunyai komitmen yang tinggi dalam upaya untuk meningkatkan kualifikasi dan kemampuan profesionalnya untuk mencapai standar profesi yang ditetapkan. Pengembangan diri berkelanjutan (self-development) adalah penyemaian potensi diri sendiri secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional. Pengembangan diri ibarat bibit yang perlu disemaikan dulu baru bisa ditanam. Guru BK atau konselor, memiliki potensi dasar untuk dikembangkan, seperti potensi: fisik, intelektual, emosional, empati, spiritual, moral, kata hati, dan lainlain. Pengembangan diri diawali dengan pengenalan siapa diri sendiri yang sesungguhnya. Kita harus tahu apa yang tidak diketahui. Disinilah mulai kebangkitan rasa ingin tahu, sebagai awal dari pengetahuan. Pengembangan diri merupakan petualangan penemuan oleh diri sendiri, kemauan pribadi keluar dari tradisi antiperubahan dan memasuki
zona kehidupan baru untuk tumbuh dan berkembang secara individual. Jadi ada dimensi: harga diri, kemauan bangkit, dan integritas dalam kerangka perbaikan diri. Konselor profesional merupakan sosok manusia yang selalu berupaya mengembangkan diri. Konselor harus selalu menjadi pembelajar dan pengembang diri yang taat asas pada perbaikan kemampuan dan keterampilan, demi memenuhi panggilan tugas-tugas profesional.Pengembangan diri dilakukan secara bertahap dan kontinyu untuk mengoptimalisasi pengembangan dirinya. Tahap-tahap pengembangan diri yang dilakukan oleh Konselor yaitu: mengenali diri sendiri;memposisikan diri; mendobrak diri; dan aktualisasi diri.Pengembangan diri secara berkelanjutan merupakan ciri:manusia normal, dan manusia sukses. Manusia mampu mengukir prestasi besar memiliki kemauan mengembangkan diri yang luar biasa.Pengembangan diri merupakan:proses pembaruan, dan produknya memiliki nilai kebaruan. Tenaga profesional dalam profesi yang sama (konselor) membentuk suatu organisasi profesi (ABKIN) untuk mengawal pelaksanaan tugas-tugas profesional mereka, melalui tridarma organisasi profesi ABKIN,yaitu: (1) ikut serta mengembangkan ilmu dan teknologi profesi; (2) meningkatkan mutu praktik pelayanan profesi; dan (3)
42
menjaga kode etik profesi. Organisasi profesi ini secara langsung peduli atas realisasi sisi-sisi objek praktik spesifik profesi, keintelktualan, kompetensi dan praktik pelayanan, komunikasi, kode etik, serta perlindungan atas para anggotanya. Organisasi profesi membina para anggotanya untuk memiliki kualitas tinggi dalam mengembangkan dan mempertahankan kemartabatan profesi. Organisasi profesi disamping membesarkan profesi itu sendiri, juga sangat berkepentingan untuk ikut serta memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan umum masyarakat luas. Konselor yang terlibat dalam organisasi profesi akan mendapat manfaat yang banyak. Karena organisasi profesi ABKIN bersifat keilmuan, profesional, dan mandiri. Fungsi ABKIN, yaitu : (1) sebagai wadah persatuan, pembinaan dan pengembangan anggota dalam upaya mencapai tujuan organisasi; (2) sebagai wadah peran serta profesional bimbingan dan konseling dalam usaha mensukseskan pembangunan nasional; (3) sebagai sarana penyalur aspirasi anggota serta sanara komunikasi sosial timbal balik antar organisasi kemasyarakatan dan pemerintah. Untuk melaksanakan fungsinya, organisasi profesi ABKIN melakukan kegiatan-kegiatan yang meliputi: (a) penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi
dalam bidang bimbingan dan konseling, (b) peningkatan mutu layanan bimbingan dan konseling, (c) penegakkan kode etik bimbingan dan konseling Indonesia, (d) pendidikan dan latihan profesional, (e) pengembangan dan pembinaan organisasi, (f) pertemuan organisasi dan pertemuan-pertemuan ilmiah, (g) publikasi dan pengabdian kepada masyarakat, dan (h) advokasi layanan profesi. Disinilah konselor akan dapat mengembangkan dirinya secara baik untuk dapat menjadi konselor masa depan yang bermartabat. 9. KONSELOR : Bermartabat dalam Menjalankan Profesi Konseling Perkembangan pendidikan dan kehidupan masyarakat yang semakin mendunia yang diiringi dengan berbagai perubahan dan kemajuan serta masalah-masalah yang melekat di dalamnya menimbulkan berbagai tantangan dan sekaligus menumbuhkan harapan bagi seluruh warga masyarakat. Tantangan,harapan,kesenjangan, dan persaingan yang terus menerus sebagai suatu kenyataan yang dihadapi manusia dalam berbagai setting kehidupan, yaitu keluarga, sekolah, lembaga formal dan nonformal, dunia usaha dan industri, organisasi pemuda dan kemasyarakatan, menjadi potensi timbulnya berbagai permasalahanan. Kondisi semacam ini menjadikan
43
fokus, perhatian serta medan pelayanan konseling semakin lebar, tidak hanya terbatas pada lingkungan persekolahan, melainkan juga memasuki lingkungan masyarakat luas. Konseling untuk semua (counseling for all) dan konseling sepanjang hayat (lifelong counseling) menjadi sangat relevan dan sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan dan peningkatkan kondisi kehidupan masyarakat yang mendunia. Dalam lingkup lebih luas itu, profesi konseling di Indonesia tidak hanya terkait dengan berbagai aspek yang bersifat nasional, melainkan juga yang bersifat internasional. Konselor yang bermartabat dalam menjalankan profesi yaitu konselor yang mampu menjalankan tugas pelayanan konseling di sekolah mantap, di luar sekolah sigap, dan dimana-mana siap. Konselor harus mampu menjalankan peran,fungsi dan tugasnya secara profesional dalam berbagai setting kehidupan, yaitu keluarga, sekolah, lembaga formal dan nonformal, dunia usaha dan industri, organisasi pemuda dan kemasyarakatan. Konselor mampu melaksanakan konseling konvensioanl, online konseling atau cyber counseling, konseling multikultural, konseling pada populasi umum dan konseling populasi khusus, dalam masyarakat multikulural, masyarakat modern dengan ragam kebutuhan dan problem khusus yang dihadapi
individu maupun masyarakat dalam berbagai kehidupan. Konselor bermartabat harus mampu menunjukan kepada masyarakat luas bahwa konseling memiliki kekuatan yang dahyat untuk membantu individu-individu yang sedang berkembang dalam berbagai latar kehidupan dengan ragam kebutuhan dan problem untuk mencapai perkembangan optimal, kemandirian dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Konseling diabdikan bagi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara menfasilitasi perkembangan individu atau kelompok individu sesuai dengan kekuatan, kemampuan potensial dan aktual serta peluangpeluang yang dimilikinya, dan membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta kendala yang dihadapi dalam perkembangan dirinya. Pandangan terhadap manusia dari segi potensinya yang positif adalah sesuatu yang menjadikan kekuatan konseling yang membedakan dari pelayanan medis/klinis yang cenderung melihat dari sudut patologis.prinsip konseling yaitu memberdayakan dan membudayakan individu atau kelompok individu yang menjadi pengguna pelayanan konseling. Konselor bermartabat harus dapat membuktikan bahwa profesi konselor merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan
44
pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku. Konselor bermartabat melakukan pelayanan konseling sebagai pelayanan keahlian. Pelayanan adalah tindakan yang sifat dan arahnya menuju kepada kondisi: lebih baik, dan membahagiakan bagi pihak yang dilayani. Konselor sebagai pelayanan ahli pastilah berkehendak agar individu yang dilayani (klien) itu: mengarah atau menjadi lebih baik,dan bahagia dari pada kondisi sebelumnya. Individu yang dilayani memiliki prospek untuk menjadi lebih baik, dan lebih bahagia. Kekuatan eksistensi profesi muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja konselor profesional dengan kepercayaan publik (public trust). Masyarakat percaya bahwa pelayanan konseling yang diperlukan itu hanya dapat diperoleh dari konselor yang dipersepsikan sebagai seorang yang kompeten untuk memberikan pelayanan konseling yang bermartabat. Konselor melalui pelayanan konseling membantu individu atau kelompok individu untuk mengembangkan pribadi dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan, penanganan problem yang dihadapinya dan kebahagiaan sesuai dengan martabat, nilai, potensi, dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi
yang dikemas dalam kaji-terapan konseling yang diwarnai oleh budaya pihak-pihak terkait. Konselor bermartabat harus memiliki visi dan misi secara luas dan mendalam dalam bidang konseling, dapat melakukan aksi pelayanan secara tepat dan akurat, disertai dedikasi yang tinggi untuk kepentingan pengguna atau pihakpihak terkait. Visi, misi, aksi dan dedikasi, akan menjamin terlaksananya pelayanan profesi konseling secara terarah, konsisten dan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan pengguna.Konselor harus ikut berperan aktif dalam organisasi profesi konseling (ABKIN) yang mewadahi seluruh anggota yang ada dalam profesi konseling. Konselor bermartabat harus memandang bahwa konseling tidak hanya dipelajari sebagai perangkat teknik, melainkan sebagai kerangka berpikir dan bertindak yang bernuansa kemanusiaan dan keindividuan. Nuansa dimaksud akan lebih tampak dalam masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) yang menempatkan orientasi kemanusiaan dan belajar sepanjang hayat sebagai central feature kehidupan masyarakat masa kini dan yang akan datang. Proses pembelajaran mencakup usaha yang secara sadar dan intensional bertujuan untuk secara terus menerus meningkatkan dan/atau memperbaiki kondisi sasaran pendidikan untuk bertindak sesuai dnegan norma yang
45
berlaku. Kerangka konseling seperti ini bersifat holistik yang menyatupadukan hakikat kemanusiaan, wawasan dan keilmuan, keterampilan, nilai serta sikap dalam pelayanan. Konselor bermartabat harus menguasai dan memenuhi ketiga komponen trilogi profesi konselor, yaitu (1) komponen dasar keilmuan, (2) komponen substansi profesi, dan (3) komponen praktik profesi. Praktik Profesi Trilogi Profesi Konselor
Dasar Keilmuan
Substansi Profesi
Komponen Dasar Keilmuan memberikan landasan bagi calon tenaga profesional konseling dalam wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap (WPKNS) berkenaan dengan profesi konseling. Konselor diwajibkan menguasai ilmu pendidikan sebagai dasar dari keseluruhan kinerja profesional dalam bidang pelayanan konseling,karena konselor termasuk ke dalam kualifikasi pendidik. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 6 “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, KONSELOR, pamong belajar, widyaiswara, tutor,
46
instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartrisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan keilmuan inilah konselor akan menguasai dengan baik kaidah-kaidah keilmuan pendidikan sebagai dasar dalam memahami peserta didik (sebagai sasaran pelayanan konseling) dan memahami seluk beluk proses pembelajaran yang akan dijalani peserta didik (dalam hal ini klien) melalui modus pelayanan konseling. Dalam hal ini proses pelayanan konseling tidak lain adalah proses pembelajaran yang dijalani oleh sasaran layanan (klien) bersama konselornya. Dalam arti yang demikian pulalah,konselor sebagai pendidik diberi label juga sebagai agen pembelajaran. Substansi Profesi Konseling memberikan modal tentang apa yang menjadi fokus dan obyek praktik spesifik profesi dengan bidang kajiannya, aspek kompetensi,sarana operasional dan manajemen, kode etik serta landasan praktik operasional pekerjaan konseling. Di atas kaidah-kaidah ilmu pendidikan itu konselor membangun substansi profesi konseling yang meliputi obyek praktis spesifik profesi konseling,pendekatan,dan teknologi pelayanan, pengelolaan dan evaluasi, serta kaidah-kaidah pendukung yang diambil dari bidang keilmuan lain. Semua substansi tersebut menjadi isi dan sekaligus fokus pelayanan
konseling. Secara keseluruhan substansi tersebut sebagai modus pelayanan konseling Obyek praktis spesifik yang menjadi fokus pelayanan konseling adalah kehidupan efektif sehari-hari (KES).Dalam hal ini,sasaran pelayanan konseling adalah kondisi KES yang dikehendaki untukl dikembangkan dan kondisi kehidupan efektif sehari-hari yang terganggung (KES-T). Dengan demikian,pelayanan konseling pada dasarnya adalah upaya pelayanan dalam pengembangan KES dan penanganan KES-T. Berkenaan dengan pendekatan dan teknologi,pengelolaan dan evaluasi pelayanan konseling,konselor wajib menguasai berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukungnya dengan landasan teori,acuan praksis, standar prosedur operasional pelayanan konseling, serta implementasinya dalam praktik konseling. Pendekatan dan teknologi, pengelolaan dan evaluasi pelayanan itu perlu didukung oleh kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi seperti psikologi,sosiologi,antropologi,tekno logi dan informasi komunikasi sebagai “alat” untuk lebih bertepatguna dan berdayaguna dalam pelayanan konseling. Kita harus mengakui jika ikatan disipliner terkuat bagi profesi konselor adalah dengan bidang psikologi,namun juga harus mengakui kontribusi penting ilmuilmu lain bagiprofesi konseling,
sebagai contoh,sosiologi memberi kontribusi bagi pengertian tentang kelompok-kelompok manusia dan pengaruhnya terhadap pranata dan perubahan sosial. Antropologi menyediakan bagi para konselor pemahaman tentang budaya-budaya manusia, yang pada gilirannya menyediakan rambu-rambu bagi cara bersikap dan memandang anggotaanggotanya. Biologi membantu konselor memahami organisme manusia dan keunikannya. Sedangkan profesi kesehatan membuat kita sadar pentingnya kesejahteraan hidup dan pencegahan dari penyakit, penyimpangan dan gangguan baik mental maupun fisik (Gibson & Mitschel, 1995: 29). Praktik Pelayanan Konseling merupakan realisasi pelaksanaan pelayanan profesi konseling setelah kedua komponen profesi (dasar keilmuan dan substansi profesi) dikuasai. Praktik konseling terhadap sasaran pelayanan merupakan puncak dari keberadaan bidang konseling dalam setting pendidikan formal,pendidikan nonformal, keluarga,instansi negeri maupun swasta, dunia usaha/industri,organisasi pemuda,organisasi kemasyarakatan, maupun parktik pribadi (privat). Mutu pelayanan konseling diukur dari penampilan (unjuk kerja,kinerja,performance) praktik pelayanan konseling oleh konselor terhadap sasaran layanan. Pada setting satuan
47
pendidikan,misalnya,mutu kinerja konselor di sekolah/madrasah dihitung dari penampilannya dalam praktik pelayanan konseling terhadap peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya. Memperhatikan ketiga komponen trilogi profesi konselor tersebut, dapatlah dikatakan bahwa suatu ”profesi konselor” tanpa dasar keilmuan yang tepat akan mewujudkan kegiatan “profesional konselor” yang tanpa arah dan/atau bahkan malpraktik; tanpa substansi profesi, suatu ”profesi konselor” itu akan kerdil,mandul dan dipertanyakan isi dan manfaatnya; dan tanpa praktik profesi,maka “profesi konselor” menjadi tidak terwujud,dipertanyakan eksistensinya,dan tenaga “profesional konselor” tidak berarti apa-apa bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Ini berarti profesi konseling menjadi tidak bermartabat dan tidak dipercaya oleh masyarakat. Dalam kaitan itu semua,ketiga komponen Trilogi Profesi Konselor merupakan satu kesatuan tak terpisahkan,ketiganya merupakan kesatuan,dan dipelajari dalam program pendidikan sarjana dan Pendidikan Profesi untuk mewujudkan public trust profesi konseling di negara kita tercinta Indonesia. Kemartabatan konselor dalam menjalankan profesi konseling sangat tergantung pada konselor yang mempersiapkan diri untuk
pemegang profesi konselor. Kemartabatan konselor dalam menjalankan profesi konseling akan dapat diwujudkan oleh: 1. Konselor yang memberikan pelayanan bermanfaat, yaitu pelayanan profesional yang diselenggarakan haruslah benarbenar bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan secara luas. Upaya pelayanan yang diaplikasikan oleh para pemegang suatu profesi, apalagi profesi yang bersifat formal dan diselenggarakan berdasarkan perundangan seperti profesi pendidik harus bermanfaat.Oleh karena itu, upaya pelayanan konseling tidak boleh sia-sia atau terselenggara dengan cara-cara yang salah (malpraktik), melainkan terlaksana dengan manfaat yang setinggi-tingginya bagi sasaran pelayanan dan pihakpihak lain yang terkait. 2. Konselor bermandat, yaitu pelayanan profesional konseling diselenggarakan oleh konselor yang bermandat. Sesuai dengan sifatnya yang profesional itu,maka pelayanan konseling harus dilakukan oleh konselor yang benar-benar dipercaya untuk menghasilkan tindakan dan produk-produk pelayanan dalam mutu yang tinggi. Program pendidikan sarjana dan pendidikan profesi yang terpadu dan sinambung merupakan sarana dasar dan esensial untuk
48
menyiapkan konselor bermandat. Lulusan pendidikan profesi dalam hal ini pendidikan profesi konselor diharapkan benar-benar menjadi tenaga profesional handal yang layak memperoleh kualifikasi bermandat, baik dalam arti akademik, kompetensi, maupun posisi pekerjaannya. 3. Konselor yang dipercaya (public trust) yaitu pelayanan profesional konseling diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Dengan kemanfaatan yang tinggi dan dilaksanakan oleh konselor yang bermandat, pemerintah dan masyarakat tidak ragu-ragu mengakui dan memanfaatkan pelayanan konseling. Pengakuan ini terus mendorong perlunya konselor profesional yang secara khusus dipersiapkan untuk menyelenggarakan layanan konseling. Peraturan perundangundangan telah secara eksplisit menyatakan pentingnya keprofesionalan konselor,yang selanjutnya tentunya disertai pengakuan yang sehat atas lulusan pendidikan profesi konseling dan pelayanan yang mereka lakukan. Demikian juga masyarakat diharapkan memberikan pengakuan secara sehat dan terbuka melalui pemanfaatan dan penghargaan yang tinggi atas profesi konselor. Ketiga hal tersebut dapat menjamin tumbuh suburnya profesi dan menjadikan profesi konseling
menjadi profesi yang bermartabat. Konseling sebagai suatu profesi yang sedang berkembang, para anggota profesi konseling harus berusaha memenuhi standar profesi konselor agar konseling dapat merebut kepercayaan publik (public trust) melalui peningkatan kinerja konselor dalam pelayanan konseling bermartabat. Kekuatan eksistensi suatu profesi bergantung kepada public trust (Brigg & Blocher,1986). Masyarakat percaya bahwa layanan diperlukannya itu hanya dapat diperoleh dari konselor yang memiliki kompetensi dan keahlian yang terandalkan untuk memberikan pelayanan konseling. Public trust akan mempengaruhi konsep profesi dan memungkinkan anggota profesi berfungsi dengan cara-cara profesional. Public trust akan melanggengkan profesi konseling, karena dalam public trust terkandung keyakinan publik bahwa profesi dan para anggotanya berada dalam kondisi : (a) memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus dalam standar kecakapan yang tinggi; (b) memiliki perangkat ketentuan yang mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik; (c) anggota profesi dimotivasi untuk melayani pengguna dan pihak-pihak terkait dengan cara terbaik, dan memiliki komitmen untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan finansial.
49
dan kesabaran. Jadi pelayanan yang diberikan oleh konselor secara tulus dengan mencurahkan segenap daya dan kemampuan yang ada demi keberhasilan dan kebahagiaan klien;(2) Pelayanan yang ditampilkan unik. Konselor harus mampu mengidentifikasi individu (klien) yang pemenuhannya perlu dilakukan melalui pelayanan konseling;dan dalam penanganannya menggunakan cara-cara yang berbeda dengan ahli lain seandainya ahli lain menangani juga masalah yang sama. Penanganan konselor terhadap individu yang mencuri misalnya, harus berbeda cara penanganannya dengan guru mata pelajaran,psikolog,dan sebagainya;(3) Penampilan layanan atas dasar kaidah-kaidah intelektual. Pelayanan konseling pada penyikapan altruistik lebih dapat diharapkan untuk menerapkan kaidah-kaidah intelektual dibanding dengan penanganan pada penyikapan negatif antagonistik; (4) Menjalankan kode etik profesional. Kode etik sangat penting bagi mutu layanan dan penerimaan klien serta masyarakat atas layanan tersebut. Dengan kode etik yang mantap klien dan masyarakat akan meningkatkan persepsi mereka terhadap pelayanan konseling dan akan mempercayakan dengan sepenuh hati penanganan masalah mereka kepada konselor. Sebaliknya bila pelaksanaan kode etik kedodoran,konselor dijauhi oleh (calon) klien dan masyarakat akan
D. PENUTUP Konselor masa depan yaitu konselor yang komitmen terhadap profesi konseling, konselor yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor, konselor memiliki keterampilan dan kualitas pribadi yang efektif, konselor mampu menyelenggarakan konseling multikultural, konselor yang mampu menggunakan teknologi dalam konseling, konselor mampu menyelenggarakan konseling bagi populasi beragam, konselor yang mampu memberdayakan diri, konselor yang mampu belajar sepanjang hayat dan terlibat dalam kegiatan organisasi profesi, dan konselor bermartabat dalam menjalankan profesi konseling, Konselor masa depan yaitu konselor yang memiliki citra dan mutu kinerja profesional dalam melaksanakan tugas profesionalnya telah dapat mewujudkan hal-hal berikut: (1) Pelayanan konseling sebagai pelayanan sosial. Konselor dalam menangani masalah tidak disertai oleh penyikapan “negative antagonistic”,yaitu cenderung memandang masalah sebagai sesuatu yang tidak boleh ada,harus diberantas dengan segera,jika perlu dengan kekerasan. Melainkan disertai oleh penyikapan “sosial altruistik”,yaitu memandang bahwa adanya masalah itu adalah wajar dan manusiawi serta penanganannya harus dilakukan secara lembut, teliti, hati-hati,serta penuh pertimbangan
50
mengecam serta melontarkan predikat yang pasti merugikan konselor dengan profesi konseling; (5) Wawasan terhadap body of knowledge konseling. Dalam menjalankan tugas profesionalnya,konselor telah memiliki konsep yang jelas tentang “apa,mengapa, dan bagaimana” konseling itu. Dalam kajian konseling tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia,perkembangannya,tujuan hidupnya. Konselor harus memiliki pendidikan profesi konseling, cukup matang,pengalaman yang luas,pengembangan diri yang terus menerus dan intensif dengan disertai riset akan lebih memantapkan keilmuan konseling khususnya yang khas budaya Indonesia. Oleh karena itu marilah kita menjadi konselor masa depan yang bermartabat,yaitu dalam menjalankan tugas profesional konseling bermanfaat bagi kemaslahatan manusia,didasarkan pada mandat yang dipercaya telah memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang dipersyaratan dalam standar nasional dan lebih jauh standar internasional, serta mendapat pengakuan yang sehat (public trust) dari pemerintah dan masyarakat. Konselor yang bermartabat yang bekerja di sekolah mantap, bekerja di luar sekolah sigap, dan bekerja dimana-mana siap. Inilah yang menjadi harapan kita semua baik masyarakat profesi
konseling maupun masyarakat pengguna konseling dan juga pemerintah . Di Indonesia masa depan yang ingin diciptakan melalui pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Nomor 20 Tahun 2005 tentang Sisdiknas). DAFTAR PUSTAKA Blocher,Donald H. (1974). Developmental Counseling. New York: John Wiley & Sons, Inc. Blocher,Donald H (1987) The Profession Counselor. New York: Macmillan Publishing Company. Bradley T.Erford. (2004). Professional School Counseling A Handbook of Theories, Programs & Practices. Texas: PRO-ED An International Publisher. Brown,Steven D. & Lent,Robert W. (1984). Handbook of Counseling Psychology. New York: John Wiley & Sons. Coffone,R.Rocco & Tarvydas, Vilia M. (1998). Ethical and
51
Professional Issues in Counseling. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Jakarta: Depdiknas
Corey, Gerald & Corey, M. Schneider. (1984) Issues & Ethics in the Helping Profession. Menterey. California: Brooks/Cole Publishing Co.
Ron
Ed Neukrug (2007). The Word of The Counselor,An Introduction to the Counseling Professional.USA: Thomson Brooks/Cole
Kraus,George Stricker,and Cedric Speyer (2011). Online Counseling: A handbook for Mental Health Professionals. London: Elsevier Inc.
Samuel.T.Glading.(2012) Konseling:Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: INDEKS.
Gibson R.L & Mitchell M.H. (2008). Introduction to Counceling and Guidance. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: Depdiknas.
John McLeod.(2009). An Introduction to Counselling.England: McGrawHill Education.
Whiteley, John M. & Fretz, Bruce R. (1980). The Present and Future of Counseling Psychology. Monterey,California: Brooks/Cole Publishing Co.
Lewis,Michael D. et.al (1986). An Introduction to the Counseling Profession. Illinois: F.E. Peacock Publisher,Inc. Nelson R. & Jones. (2010). Practical Counseling and Helping Skills.London: SAGE Publications.Ltd. Parker, Clyde A. et.al eds. (1978). New Direcitiona for Student Service. San Francisco: JoseeyBass. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.Jakarta:Depdiknas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2007 tentang Guru.Jakarta: Depdiknas
52
ADAKAH
SAYA
SEORANG
PROFESIONAL
KAUNSELOR PROFESIONAL?
Terdapat 4 elemen utama dalam menentukan keprofesionalan kaunselor iaitu :
PENDAHULUAN
1. Pengetahuan
Persoalan yang perlu dikemukakan oleh seorang pengamal dan bakal pengamal kaunseling bagi menyaingi keyakinan dan kepercayaan yang akhirnya membentuk efikasi kendiri ialah adakah kita ini seorang kaunselor yang professional. Seterusnya ialah apakah kita memiliki ciri-ciri kaunselor professional. Antara Ciri-Ciri Kaunselor Profesional 1. Terlatih
dalam
a. Pengetahuan tentang bidang dan disiplin ilmu kaunseling b. Kefahaman tentang model dan teori-teori dan masalah-masalah lain
politik, ekonomi dan sistem budaya di mana klien berada dan bagaimana
yang ditawarkan. e. Aplikasi model yang bersesuaian
3. Mempunyai perakuan amalan
f. Mengakses
serta diiktiraf akan amalannya
berkaitan
melalui proses pendaftaran yang oleh
memperihalkan
kumpulan sasar perkhidmatan
oleh badan profesional
literatur
yang
dengan
bidang
literatur
secara
kepakaran.
badan
g. Menaakul
profesional ciri-ciri
perkembangan
d. Keupayaan
latihan
sebagaimana yang disyaratkan
4. Memiliki
ini
mereka.
keperluan
diperakukan
persekitaran
mempengaruhi
oleh
badan profesional 2. Memenuhi
dengan
c. Mengenal faktor-faktor social,
bidang
pengiktirafan
berkaitan
bidang.
kaunseling dari institusi yang mendapat
yang
kritikal
personaliti
dan
menterjemahkan
dalam bentuk penambahbaikan
yang sesuai dan memenuhi ciri-
kepada amalan
ciri profesyen menolong 5. Mempunyai kecekapan dalam
2. Sikap
bidang tugas
a. Keterbukaan
53
b. Apresiasi kepada kompleksiti
e. Menggunakan bateri sokongan
c. Nilai
f. Menganalisis secara kritis
terhadap
konsep
kepelbagaian dalam model dan
g. Membuat keputusan
teori
4. Kemahiran Penilaian Klinikal
d. Kesediaan konsep
untuk
membina
personal
melalui
a. Penyaringan (Screening) b. Penilaian (Assessment)
pemikiran kritikal e. Apresiasi
c. Rancangan Rawatan Klien (
terhadap perbezaan
Client Treatment Plan)
antara budayaSensitiviti kepada
d. Penyelarasan
pengaruh
(Service co-ordination
2. berganda ke atas perkembangan
e. Perundingan (Consultation)
klien
f. Pengurusan Sumber (Resource
a. Minat dalam dapatan kajian
management)
saintifik
g. Perkhidmatan Rujukan (Referral
b. Kesediaan
menangguhkan
services)
pengadilan sehingga penilaian
Penyampaian perkhidmatan kaunseling professional yang dilaksanakan berasaskan kepada 4 elemen di atas dapat diperjelaskan secara lanjutan melalui ciri-ciri berikut:
selesai. c. Bersedia
mengamalkan
tolenrensi tahap tinggi d. Kesediaan
bekerja
dengan
mereka yang akan memaparkan
1. Berasaskan
kecelaruan psikolojikal
kepada
teori
dan
pengalaman ikhtisas
e. Kesediaan merujuk f. Aprisiasi
Perkhidmatan
2. Kompeten sumbangan
3. Pengurusan yang mantap
dari disiplin lain
4. Iklim memberansangkan
3. Kemahiran
5. Mencetuskan perkembangan dan
a. Kemahiran asas melayan
motivasi
b. Keupayaan aplikasi teori dalam
6. Diagnos dan penyeleraian yang
rawatan
pragmatik
c. Mendiagnos secara tepat
7. Dokumentasi yang baik
d. Rancangan Rawatan Klien
54
8. Penggunaan
teknologi
dalam
6. Penghormatan
pengurusan
penghargaan
9. Berpesonaliti kaunselor……..
8. Mengaku keatas kesilapan yang dilakukan 9. Berorientasikan perkembangan 10. Memiliki daya jenaka Kaunselor yang efektif Untuk memperkukuhkan lagi martabat kaunseling dari segi pengamalannya, maka aspek-aspek keberkesanan penyampaian perlu dilihat secara jelas. Keberkesanan penyampaian tentunya begitu subjektif namun usaha untuk menjadi seorang kaunselor yang efektif boleh dicapai melalui usaha-usaha berikut:
KUALITI PERIBADI KAUNSELOR 1. Keupayaan dan kesediaan untuk hadir bersama dalam keriangan
1. Kesedaran kendiri:
dan kepedihan klien ikhlas
Mempunyai kesedaran kendiri yang boleh diperolehi melalui proses pemukukan dan muhasabah kendiri. Walau bagaimanapun seseorang yang ingin mengetahui kesedaran kendirinya perlu melalui proses yang sama dilalui oleh kliennya. Oleh yang demikian adalah penting untuk seseorang yang ingin menjadi kaunselor telah melalui proses kaunseling yang secukupnya melalui kaunselor lain. 2. Kesihatan psikologikal
terhadap
kebajikan orang lain 3. Pengiktirafan dan penerimaan terhadap
kekuatan
dan
kepentingan orang lain tanda mengurangkan
keupayaan
tersebut 4. Memiliki gaya kaunseling yang tersendiri. 5. Bersedia
untuk
dan
7. Sebagai model untuk klien
“ untuk menjadi seorang kaunselor yang profesional, kita perlu meningkatkan tahap kecekapan dengan melihat kepada pelbagai bidang kecekapan selaras dengan tuntutan perkhidmatan kita. Pengalaman adalah modal utama kita, namun penimbaan ilmu adalah keperluan kepada kecakapan” halim:2007
yang
kendiri
keyakinan diri yang tinggi
KOMPETENSI KAUNSELOR DAN PETANDA KECEKAPAN.
2. Minat
kendiri,
mengambil
risiko
Merupakan aspek penting yang perlu ada pada seseorang
55
kaunselor. Kaunselor yang sihat secara psikologinya mempunyai keseimbangan diri yang baik serta bebas dari masalah yang keterlaluan. Kaunselor yang memiliki kesihatan psikologikal juga dapat mengenali dan menguruskan isu-isu peribadi. Dengan kesihatan psikologi ini kaunselor akan dapat bertindak dengan baik secara beretika seperti merujuk klien yang mempunyai masalah yang sama dengan masalah yang dihadapinya kepada kaunselor lain. Sekiranya anda merasakan bahawa anda mempunyai cabaran berhubung dengan kesihatan psikologi anda , segeralah dapatkan perkhidmatan kaunselor untuk diri anda jika diperlukan. 3. Sensitif kepada faktor ras,
mengambilkira kefahamann yang lebih mendalam terhadap impak budayanya. Kompetensi Budaya dengan itu memerlukan seseorang kaunselor itu agar berhati hati dengan warisan budaya anda sendiri. Kaunselor juga perlu mengembangkan pengalaman budayanya sendiri. Selain itu kaunselor perlu berusaha untuk mendapat peluang berinteraksi dengan orang lain yang berbeza dengan anda.Akhirnya kaunselor perlu memunyai sikap terbuka untuk terus belajar tentang kumpulan lain yang berbeza budaya 4. Keterbukaan minda seseorang yang ingin menjadi seorang kaunselor yang professional perlu memiliki keterbukaan minda yang positif kerana kaunselor akan berhadapan dengan pelbagai klien yang memiliki sub budaya yang berbeza. Budaya klien boleh dilihat dari segi nilainya, kepercayaannya, gaya berfikiran, persepsi terhadap dunianya dan pandangan hidupnya. Tanpa keterbukaan minda yang positif, kaunselor akan berhadapan dengan masalah-masalah professional seperti keselarasan, keupayaan memahami, serta pembinaan tanggapan-tanggapan yang tidak menepati andaian. 5. Objektiviti
etnik, dan budaya - Kaunselor yang efekti boleh memahami budaya khusus dan budaya umum. Dalam konteks kaunseling, elemen kaunseling silang budaya dilihat sebagai komponen penting kerana seorang kaunselor mesti memahami keunika budayanya dan budaya orang lain . Keupayaan memahami budaya Universal adalah menjadi kelebihan kepada seorang kaunselor professional kerana beliau akan dapat bekerja dengan selesa merentas budaya. Antara usaha lain yang perlu diamalkan oleh kaunselor ialah meluaskan definisi minoriti dengan
Objektiviti lebih bersifat ketrampilan dan keupayaan
56
kaunselor melihat sesuatu isu secara rasional dan adil. Oleh yang demikian obektiviti adalah pentign dimiliki oleh kaunselor kerana cabaran utama yang sering menghantui seorang kaunselor ialah pertembungan arah tujuan dan pemikiran klien dengan nilai yang dibawa oleh kaunselor. Oleh itu objektiviti amat penting kerana ia membantu kaunselor untuk melihat sesuati isu secara terbuka dan rasional. 6. Kebolehpercayaan-
c. Bertanggungjawab (responsibility) d. Piawai etika (ethical standards.) Kaunselor tidak boleh menunjukkan dan bertindak supaya boleh dipercayai tetapi Kaunselor mestilah boleh dipercayaai 5. Daya tarikan Interpersonal Seorang kaunselor yang ingin meletakkan
dan
menjadikan
dirinya sebagai seorang yang professional perly mempunya daya penampilan diri serta daya
Jangan berjanji lebih dari apa yang anda boleh lakukan, dan pastikan anda melakukan apa yang anda telah janjikan. Kebolehpercayaan kaunselor juga merangkumi keupayaan kaunselor mengotakan apa yang dikata, memaparkan tingkahlaku unggul serta memiliki sahsiah diri dan peribadi diri yang unggul lafgi mulia. Dalam konteks agama pula kaunselor mempunyai pegangan agama yang kukuh dan mantap untuk dijadikan role model kepada klien dan rakan sejawat. Sesungguhnya kepercayaan itu sukar untuk dibena tetapi mudah untuk dimusnahkan. Kepercayaan mempunyai dokongan konsep kepada kekuatan dan keluhurannya iaitu : a. Jangkaan (predictability)
tarikan sesuai
yang
tersendiri
dan
dengan
tahap
keprofesionalannya.
Antara
perkara
penting
yang
mempengaruhi gaya penampilan diri ialah pakaian dan gaya penampilan. Selain itu gaya amat berhubung kait dengan keyakinan orang lain. Gaya merangkumi gaya bercakap, gaya berjalan, gaya berinteraksi, gaya berpakaian dan gaya berfesyen. Daya tarikan interpersonal juga banyak dipengaruhi oleh keupayaan serta kekuatan berkomunikasi. Kaunselor yang professional juga memiliki kemahiran social yang tinggi. Ini dapat dilihat melalui interaksi sosialnya yang bersahaja dan berkeperibadian. Etika social
b. Boleh diharap (reliability) 57
merupakan sebuah domain interpersonal yang sangat berpengaruh kerana dengan adanya etika social maka dengan sendirinya kaunselor dapat memaparkan personality profesional
Kompetensi 2. Menyediakan perkhidmatan kaunseling individu kepada seluruh kumpulan sasar dalam organisasi. Petunjuk Kecekapan:
KOMPETENSI KAUNSELOR DAN PETANDA KECEKAPAN
a. Penjadualan
Kompetensi 1 :
b. Menyediakan
temujanji
untuk
kaunseling perkembangan. masa
untuk
kaunseling rujukan sendiri, klien
Mengurus dan mentadbir program Kaunseling untuk klien. Menggunakan pendekatan kaunseling secara efektif dengan meletakkan sasaran perkhidmatan secara objekti. Memperuntukkan masa yang sesuai dan mencukupi untuk kerja-kerja klinikal.
berisiko, kaunseling krisis. c. Menjalankan temu bicara dan penapisan awalan dengan klien bekeperluan tinggi d. Menjalankan tindakan susulan kepada klien yang bekeperluan.
Petunjuk Kecekapan :
Kompetensi 3
a. Keupayaan mentadbir penilaian
Menyediakan perkhidmatan Kaunseling Kelompok kepada klien dalam organisasi.
keperluan klien. b. Menubuhkan
Jawatankuasa
Kaunseling yang berfungsi.
Petanda Kecekapan
c. Merancang aktiviti Kaunseling
a. Membena perancangan untuk
untuk jangka panjang dan jangka pendik
dengan
aktiviti kaunseling kelompok.
menunjukkan
b. Melaksanakan
peruntukkan masa yang sesuai untuk
setiap
aktiviti
bimbingan
yang
dan
kaunseling
kelompok berasaskan keperluan
dirancang.
klien dan organisasi
d. Mendemonstrasikan perwatakan pengurusan
aktiviti
Kompetensi 4 tentang
kendiri
Menyelaraskan penilaian klien. Proses penilaian adalah dilakukan secara profesional dan berasaskan
yang
disegani dan dicontohi
58
penilaian yang tepat dengan jangkaan kemajuan dan perkembangan diri klien
Kompetensi 6. Menyediakan klien dengan perancangan perkembangan yang bersistematik
Petanda Kecekapan a. Menyelaraskan
proses
Petanda kecekapan
penyelenggaran rekod klien. b. Menyelaras
dan
a. Mengendalikan sesi INDIVIDU
membantu
DAN
KELOMPOK
individu atau kumpulan untuk
maklumat
menjalankan ujian-ujian piawai.
perkembangan.
c. Mentafsir maklumat klien d. Mengenalpasti
klien
penting
berkeperluan istimewa
setiap
sesi
dengan orang
bagi
kemajuan
e. Menyemak kemajuan klien di akhir
perancangan
b. Berkomunikasi yang
untuk
klien
dan
tentang
perkembangan
penghuni.
lengkap
c. Membantu
klien
yang
kaunseling.
berkeperluan untuk perancangan
Kompetensi 5.
kehidupan dan perkembangan
Membantu klien dari segi perkembangan kognitif, emosi, sosial, kefungsian diri dan perkembangan kerjaya.
diri
klien berisiko
tinggi. Kompetensi 7. Menguruskan kes-kes rujukan
Petanda Kecekapan.
Petunjuk Kecekapan.
a. Mentadbir ujian psikologi dan laporan
termasuk
a. Bertindak
perkembangan
rujukan
personaliti penghuni
ke
atas
daripada,
kes-kes pegawai-
pegawai, ibubapa, agensi luar
b. Menyediakan maklumat yang
dan lain-lain profesional.
bersesuaian.
b. Mengemblingkan
c. Membantu klien meningkatkan
sumber-
kesedaran kendiri menggunakan
sumber organisasi, komuniti dan
alat-alat perkembangan diri.
agensi lain dalam menyediakan perkhidmatan.
d. Meneroka perancangan jangka panjang dan pendidikan kerjaya
59
c. Membantu klien, pegawai dan ibubapa
dalam
Petunjuk Kecekapan.
menggunakan
a. Bekerjasama dengan keluarga
sumber-sumber organisasi dan
berkaitan dengan keadaan rumah
komuniti.
yang
berhubungkait
dengan
Kompetensi 8.
masalah penghuni serta sikap
Membantu proses penempatan , penstrukturan dan pendidikan kerjaya dan pekerjaan yang sesuai
penghuni terhadap kehidupan dan masa depannya. b. Bekerjasama
dengan
rakan
bagi klien.
sekerja , pentadbir dan staf lain
Petunjuk Kecekapan.
berhubung dengan isu-isu sikap
a. Membantu
KLIEN
penghuni, kemajuan penghuni
yang
dan penglibatan penghuni.
berkeperluan khas dalam urusan
Kompetensi 10
penempatan dan pekerjaan. b. Menyediakan
Menyelaraskan penilaian program
perkhidmatan
bimbingan dan kaunseling bagi KLIEN
melalui
kursus
Petunjuk Kecekapan.
dan
a. Mengendalikan program susulan
aktiviti yang sesuai. b. Membantu KLIEN
b. Menilai program perkhidmatan
mengelompokkan dalam
bimbingan dan kaunseling yang
masalah
disediakan.
perkembangan dan perubahan
c. Menyemak
sikap.
perkhidmatan
c. Menyelaraskan berkaitan KLIEN
aktiviti
dengan dengan
yang
dalam
secara
dan berkala
mengikut keperluan.
persediaan dunia
dan
persekitaran d. pekerjaan
program
Kompetensi 11.
organisasi
Memaparkan keprofesionalan dalam menjalankan tugas
dalam dan luar. Kompetensi 9.
Petunjuk Kecekapan
Konsultasi dengan penghuni, ibubapa, pegawai, pentadbir dan individu lain yang bersesuaian. 60
a. Menggunakan komunikasi lisan dan bukan lisan dengan baik b. Akur
kepada
peraturan
dan
polisi organisasi c. Bertindak secara beretika selaras dengan PERKAMA
keperluan
etika
DAN
Etika
Organisasi. Penutup : Akhir bicara , saya ingin mengingatkan diri saya dan juga semua pengamal dan bakal pengamal kaunseling agar sentiasa berusaha untuk memartabatkan profesion kaunseling dengan melaksanakan tugas serta penyampaian perkhidmatan secara profesional dan penuh beretika. Selain itu semua kaunselor mesti mencari indentitinya yang memenuhi ciri ciri kaunselor professional. Kita kaunselor boleh melakukan perubahan yang boleh membangunkan agama, bangsa dan Negara.
61
Peningkatan Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Melalui Layanan Informasi Berbasis Multimedia Pada Siswa Kelas X IIS 3 SMA 1 Bae Kudus Semester Gasal Tahun Pelajaran 2014/2015 Affiyani Pramono*)
[email protected]
Kata Kunci: Nilai pendidikan karakter, layanan informasi, multimedia Abstract: The formulation of problem in this research is how the process and increase to understanding value of character education through based on multimedia information services for students class X IIS 3 SMA 1 Bae Kudus academic year 2014/2015. This research is action research Guidance and Counseling was designed two cycles. Each cycle of the two meetings consists of four steps: 1) planning, 2) action, 3) observation, and 4) reflection. This is evidenced by the second cycle to obtain the percentage of 59% with a very high category and 41% of the high category. The results of this research in general is based on multimedia information services can improve the understanding of the value of character education. This is evidenced by the second cycle to obtain the percentage of 59% with a very high category and 41% of the high category This shows an increase when compared with the first cycle that only 32.3% scored very high category, 8.9% higher category, 55.8% moderate category and 3% lower categories. Keyword: Value of character education, information service, multimedia *) Guru Bimbingan Konseling SMA 1 Bae Kudus University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
PENDAHULUAN Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard 62
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilainilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. SMA N 1 Bae Kudus adalah sekolah yang memiliki visi dan misi yaitu unggul dalam prestasi serta santun dalam berperilaku. Untuk mewujudkan visi misi tersebut perlu adanya pengoptimalan dalam mendidik, mengarahkan serta membimbing siswa agar terbentuk karakter-karakter positif dalam siswa. Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, pendidikan formal di sekolah
dapat diptimalkan dalam jam Bimbingan Konseling dengan menggunakan layanan-layanan yang ada dalam jam tersebut. Sebelum melaksanakan Penelitian Tindakan Bimbingan Konseling ini, peneliti terlebih dahulu melakukan penelitian yang hampir sama yakni menggunakan layanan informasi, namun hasilnya kurang maksimal. Pendidikan karakter belum membentuk dan tertanam di jiwa siswa. Maka dari itu, lebih lanjut peneliti menggunakan layanan informasi berbasis multimedia untuk penelitian ini. Layanan informasi berbasis multimedia merupakan inovasi baru dalam dunia bimbingan konseling. Yakni memberikan sebuah informasi melalui perantara media audio visual (video). Dengan berbasis multimedia diharapkan siswa lebih tertarik serta dapat mendalami makna serta pesan dari penerapan pendidikan karakter. Melalui multimedia, siswa dihadapkan langsung dengan fenomena-fenomena penerapan nilai pendidikan karakter bangsa. Diberikan gambaran nyata contoh sikap dalam mewujudkan pedidikan karakter. LANDASAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN LANDASAN TEORETIS Pengertian Layanan Informasi Diperlukannya informasi bagi individu semakin penting mengingat
63
kegunaan informasi sebagai acuan untuk bersikap dan bertingkah laku sehari-hari, sebagai pertimbangan bagi arah pengembangan diri, dan sebagai dasar pengambilan keputusan. Kegunaan yang dimaksud terkait pula dengan adanya berbagai kesempatan di masyarakat sekitar, masyarakat yang lebih kuat, maupun masyarakat global. Tanpa informasi yang cukup individu akan tidak mampu mengisi kesempatan yang ada itu. Salah pilih sekolah, salah pilih teman, seringkali menjadi akibat dari kurangnya informasi. Layanan informasi berusaha memnuhi kekurangan individu akan informasi yang mereka perlukan. Dalam layanan ini, kepada peserta layanan disampaikan berbagi informasi.
berarti banyak dan katamedia (Bahasa Latin) yang berarti sesuatu yang dipakai untuk menyampaikan sesuatu. Media merupakan salah isu penting dalam proses pembelajaran. Media juga merupakan perantara utama dalam menjembatani pebelajar dengan pusat serta sumber belajar. Media seringkali menjadi sandaran utama dalam proses pembelajaran maupun pembimbingan. Dimana dalam proses pembelajaran serta pembimbingan, strategi pembelajaran langsung berpusat pada seorang guru didepan siswa dimana guru ini menjadi sumber dan sekaligus menjadi pusat dalam pembelajaran. Menurut Risqidah, http://tmultimedia-risqidiah.blogspot.com/ yang diunduh pada tanggal 15 Oktober 2014, Multimedia dapat di definisikan menjadi 2 kategori, yaitu multimedia content production dan multimedia communication dengan definisi sebagai berikut : A. Multimedia Content Production adalah penggunaan dan pemrosesan beberapa media (teks, audio, graphics, animation, video dan interactivity) yang berbeda untuk menyampaikan informasi atau menghasilkan produk multimedia (music, video, film, game, intertaintment, dll.) Atau penggunaan sejumlah teknologi yang berbeda yang memungkinkan untuk
Hakikat Multimedia Menurut sumber dari blogspot Hartina yang diunduh pada tanggal 15 Oktober 2014, Multimedia adalah adalah suatu sarana (media) yang didalamnya terdapat perpaduan (kombinasi) berbagai bentuk elemen informasi, seperti teks, graphics, animasi, video, interaktif maupun suara sebagai pendukung untuk mencapai tujuannya yaitu menyampaikan informasi atau sekedar memberikan hiburan bagi target audiens-nya. Multimedia sering digunakan dalam dunia hiburan seperti game. Kata multimedia itu sendiri berasal dari kata multi (Bahasa Latin) yang
64
temperamen, watak.” Sementara berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak.” Bagi Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan. Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi „positif‟, bukan netral. Jadi, „”orang berkarakter” adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif, bukan yang negatif. Gagasan ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung “character strength” dengan
menggabungkan media (teks, audio, graphics, animation, video, dan interactivity) dengan cara yang baru untuk tujuan komunikasi. Dalam kategori ini media yang digunakan adalah : media teks, media audio, media video, media animasi, media image, media interactivity, serta media spesial effect. B. Multimedia Comunication adalah penggunaan media (massa), seperti televisi, radio, media cetak dan internet untuk mengkomunikasikan material advertising, publicity, entertaintment, news, education, dll. Dalam kategori ini media yang digunakan adalah : TV, Film, Media cetak, Radio, Internet, Game, serta Entertainment. Dalam penelitian tindakan bimbingan konseling, peneliti lebih menekankan pada penggunaan media dengan jenis Multimedia Content Production berupa media video. Karena dengan media video ini, siswa tidak hanya melihat gambar atau visualisasi saja namun bisa lebih mendengarkan dari tayangan. Dengan video, siswa lebih memahami serta menghayati pesan dari nilai pendidikan karakter ini. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Karakter adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
65
kebajikan. „Character strength‟ dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari „character strength‟ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.
penting mengingat kegunaan informasi sebagai acuan untuk bersikap dan bertingkah laku seharihari, sebagai pertimbangan bagi arah pengembangan diri dan sebagai dasar pembentukan sikap serta perilaku siswa kearah yang lebih baik. Layanan informasi berbasis multimedia merupakan inovasi baru dalam dunia bimbingan konseling. Yakni memberikan sebuah informasi melalui perantara media audio visual (video). Dengan berbasis multimedia diharapkan siswa lebih tertarik serta dapat mendalami makna serta pesan dari penerapan pendidikan karakter. Melalui multimedia, siswa dihadapkan langsung dengan fenomena-fenomena penerapan nilai pendidikan karakter bangsa. Diberikan gambaran nyata contoh sikap dalam mewujudkan pedidikan karakter. HIPOTESIS TINDAKAN Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah layanan informasi berbasis multimedia diduga dapat meningkatkan pemahaman nilai pendidikan karakter bagi siswa kelas X IIS 3 SMA N 1 Bae Kudus.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) sebagai pengejawantahan nilai-nilai agama
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab (Puskur. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:910). yang biasa disebut the golden rule.
METODE PENELITIAN Penelitian ini berjudul “Meningkatkan Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Melalui Layanan Informasi Berbasis Multimedia (Penelitian Tindakan Bimbingan Konseling pada Siswa Kelas X IIS 3 SMA N 1 Bae Kudus
Kerangka Berfikir Layanan informasi bagi individu, khususnya siswa semakin
66
Tahun Pelajaran 2014/2015)”, maka tempat penelitiannya adalah di SMA Negeri 1 Bae Kudus yang beralamat di Jalan Jendral Sudirman Km 4 Kudus. Dan waktu pelaksanaannya dilakukan selama tiga bulan, dimulai bulan Oktober sampai Desember. Subyek penelitian ini adalah 32 siswa yakni siswa kelas X IIS 3 SMA N 1 Bae Kudus Tahun Pelajaran 2014/2015. Ke-32 siswa ini akan diberikan layanan informasi berbasis multimedia untuk meningkatkan pemahaman nilai pendidikan karakter. Metode pengumpulan data merupakan metode yang digunakan dalam pencarian data-data yang terkait dengan subjek penelitian yang dapat digunakan untuk menganalisis hasil penelitian. Adapun alat dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Observasi dan Dokumentasi. Analisis data kualitatif dilakukan melalui tiga tahap menurut Sugiyono (2012: 247) antara lain: A) Reduksi data, adalah proses penyederhanaan yang dilakukan melalui seleksi, pemfokuskan, dan
Skor Kategori 4 Sangat Tinggi
Interval 97,50 – 120
pengabstraksian data mentah menjadi informasi yang bermakna. B) Paparan data, adalah proses penampilan data secara lebih sederhana dalam bentuk paparan naratif, representasi tabulasi termasuk dalam format matriks, representasi grafis dan sebagainya. C) Penyimpulan, adalah proses pengambilan intisari sajian data yang telah terorganisir tersebut dalam bentuk pernyataan kalimat atau format yang singkat dan pada tetapi mengandung pengertian luas. Adapun analisis data diperoleh dari data kualitatif yang dapat dianalisis secara deskriptif. Analisis data pada penelitian ini adalah deskriptif komparatif, karena membandingkan pemahaman nilai pendidikan karakter antara kondisi awal pada siswa dari siklus I, dibandingkan dengan siklus II. Pada penelitian ini peneliti memberikan batas prosentase keberhasilan yaitu minimal 70% pada tiap indikatornya.
Prosentase 81,26 – 100,00%
67
Deskriptif Kualitatif Siswa sudah sangat baik dalam memahami nilai pendidikan karakter bangsa. Hal itu dibuktikan dengan mewujudkan 18 nilai pendidikan karakter di lingkungan sekolah maupun lingkungan sekitar.
3
Tinggi
2
Sedang
1
Rendah
74,99 – 97,49
Penelitian
62,51 – 81,25%
Siswa sudah baik dalam memahami nilai pendidikan karakter bangsa, dibuktikan dengan siswa tersebut bersemangat dan mau berusaha untuk mewujudkan 18 nilai pendidikan karakter bangsa baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan sekitar 52,48 – 74,98 43,76 – 62,50% Pemahaman nilai pendidikan karakter siswa cukup baik, namun masih ada beberapa siswa yang belum berantusias dalam menjalankan ke 18 nilai pendidikan karakter. 29,97 – 52,47 25,00 – 43, 75% Pemahaman nilai pendidikan karakter siswa kurang baik, karena siswa belum memahami sama sekali hakikat nilai pendidikan karakter bangsa. ini menggunakan yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan,
PTBK (Penelitian Tindakan Bimbingan Konseling)
untuk
dan refleksi.
meningkatkan
pemahaman nilai pendidikan karakter. Penelitian ini menggunakan desain PTBK yang bersifat refleksi dengan dua siklus. Tiap siklus terdiri atas empat langkah Perencanaan Refleksi
SIKLUS I
Pelaksanaan
Pengamatan Perencanaan Refleksi
SIKLUS II Pengamatan
?68
Pelaksanaan
Gambar 01. Siklus Penelitian Tindakan Bimbingan Konseling HASIL
PENELITIAN
masih berusaha untuk mewujudkan
DAN
PEMBAHASANNYA
18 nilai pendidikan karakter tersebut
HASIL PENELITIAN
di
Siklus I
sekitarnya, 19 siswa dengan kategori
lingkungan
sekolah
dan
Dari hasil layanan informasi
sedang yang berarti siswa tersebut
pada siklus I dapat diketahui bahwa
sudah agak memahami makna nilai
ada
pendidikan karakter namun masih
11
siswa
pemahaman karakter
yang
nilai
dengan
memiliki pendidikan
kategori
belum
memiliki
antusias
dalam
sangat
mewujudkan, dan 1 siswa dengan
tinggi yakni siswa tersebut sudah
kategori rendah yang berarti siswa
sangat baik dalam memahami nilai
masih belum memahami sama sekali
pendidikan
itu
dan bahkan belum memiliki motivasi
dibuktikan dengan menerapkan 18
serta antusias untuk mewjudkan nilai
nilai karakter itu di lingkungan
pendidikan karakter baik disekolah
sekolah maupun sekitarnya. 3 siswa
maupun
dengan kategori tinggi yang berarti
prosentase seluruh responden dapat
siswa sudah memahami 18 nilai
dilihat
karakter.
Hal
disekitar.
pada
Adapun
tabel
hasil
berikut:
pendidikan karakter, namun mereka
Tabel 01 Hasil Prosentase Seluruh Responden Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Siswa Kelas X IIS 3 SMA 1 Bae Kudus Tahun Pelajaran 2014/ 2015 Siklus I NO
Skor
Interval
Frekuensi
%
Kriteria
1
81,26<Skor≤100
97,50-120
11
32,3%
Sangat Tinggi
2
62,51 <Skor≤81,25
74,99-97,49
3
8,9%
Tinggi
3
43,76 <Skor≤ 62,50
52,48-74,98
19
55,8%
Sedang
4
25,00 <Skor≤43,75
29,97-52,47
1
3%
Rendah
69
Dari tabel di atas dapat dilihat banyaknya
anak
yang tinggi
memiliki
sebanyak 3 anak atau sekitar 8,9%
pendidikan
yang berarti siswa sudah memahami
karakter yang rendah sebanyak 1
18 nilai pendidikan karakter, namun
anak atau sekitar 3% yang berarti
mereka
siswa masih belum memahami sama
mewujudkan 18 nilai pendidikan
sekali dan bahkan belum memiliki
karakter
motivasi
untuk
sekolah dan sekitarnya, dan anak
mewjudkan nilai pendidikan karakter
yang memiliki pemahaman nilai
baik disekolah maupun disekitar.
pendidikan karakter
Sedangkan
memiliki
tinggi sebanyak 11 anak atau sekitar
pendidikan
32,3% yakni siswa tersebut sudah
karakter yang sedang sebanyak 19
sangat baik dalam memahami nilai
anak atau sekitar 55,8% yang berarti
pendidikan
siswa tersebut sudah agak memahami
dibuktikan dengan menerapkan 18
makna nilai pendidikan karakter
nilai karakter itu di lingkungan
namun
sekolah
pemahaman
yang
pendidikan karakter
nilai
serta
antusias
anak
pemahaman
yang
nilai
masih
belum
memiliki
antusias dalam mewujudkan. Anak
masih
Perhatikan
berusaha
tersebut
di
untuk
lingkungan
yang sangat
karakter.
Hal
maupun
itu
sekitarnya.
grafik
berikut
yang memiliki pemahaman nilai : Diagram 01 Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Siswa Siklus I
Dari siklus I tersebut dapat
peneliti
memberikan
dilihat pemahaman nilai pendidikan
informasi
karakter
walaupun hasilnya belum maksimal.
siswa
lebih
meningkat
dengan kondisi awal. Untuk itulah
Berikut 70
berbasis
layanan
tabel
multimedia
perbandingan
pemahaman
nilai
pendidikan
dengan siklus I.
karakter siswa pada kondisi awal Tabel 02 Perbandingan pemahaman nilai pendidikan karakter siswa pada kondisi awal dengan Siklus I Skor
Interval
Kriteria
Kondisi Awal
Siklus I
81,26<Skor≤100
97,50-120
Sangat Tinggi
20,6%
32,3%
62,51 <Skor≤81,25
74,99-97,49
Tinggi
14,7%
8,9%
43,76 <Skor≤ 62,50
52,48-74,98
Sedang
11,7%
55,8%
25,00 <Skor≤43,75
29,97-52,47
Rendah
53%
3%
Dari
Tabel
di
disimpulkan bahwa peningkatan
atas
dapat
informasi menggunakan multimedia
telah terjadi
sebelumnya yaitu pada siklus I dapat
pemahaman
nilai
direncanakan pembaharuan tindakan.
pendidikan karakter siswa melalui
Untuk
hasil
observasi
kegiatan layanan informasi berbasis
kolaborator terhadap peneliti pada
multimedia,
pelaksanaan
maksimal.
walaupun Dengan
belum
mengetahui
layanan
informasi
berbasis multimedia di Siklus I ini
kekurangan pada tindakan layanan
yakni:
Tabel 03 Hasil Observasi kolaborator terhadap Peneliti pada saat Pelaksanaan Layanan Informasi Berbasis Multimedia Di Siklus I Pertemuan KeNo. Kegiatan Peneliti Hasil Maksimal I II 1. Persiapan 8 10 15 2. Pelaksanaan 12 16 24 3. Penutup 4 4 6 Jumlah 24 30 45 Mean 27(Cukup)
71
Berdasarkan pada tabel 03 diatas dapat
disimpulkan
observasi
bahwa
hasil
pendidikan karakter, namun mereka
terhadap
masih berusaha untuk mewujudkan
informasi
18 nilai pendidikan karakter tersebut
kolaborator
pelaksanaan
layanan
siswa sudah memahami 18 nilai
berbasis multimedia yang diberikan
di
oleh peneliti masuk dalam kriteria
sekitarnya. 0 siswa dengan kategori
cukup.
peneliti
sedang yang berarti sudah tidak
melanjutkan penelitian kembali pada
terdapat siswa yang tidak memahami
siklus II untuk mendapatkan hasil
makna nilai pendidikan karakter dan
penelitian yang lebih memuaskan.
tidak
Untuk
itulah
lingkungan
sekolah
memiliki
antusias
dan
dalam
Siklus II
mewujudkan. Dan 0 siswa dengan
Dari hasil layanan informasi
kategori rendah yang berarti sudah
pada siklus II dapat diketahui bahwa
tidak
ada
memahami sama sekali dan bahkan
20
siswa
pemahaman karakter
yang
nilai
dengan
memiliki pendidikan
kategori
belum
sangat
ada
siswa
memiliki
antusias
untuk
yang
belum
motivasi mewjudkan
serta nilai
tinggi yakni siswa tersebut sudah
pendidikan karakter baik disekolah
sangat baik dalam memahami nilai
maupun
pendidikan
prosentase seluruh responden dapat
karakter.
Hal
itu
dibuktikan dengan menerapkan 18
disekitar.
Adapun
hasil
dilihat pada tabel berikut:
nilai karakter itu di lingkungan sekolah maupun sekitarnya. 14 siswa dengan kategori tinggi yang berarti Tabel 04 Hasil Prosentase Seluruh Responden Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Siswa Kelas X IIS 3 SMA 1 Bae Kudus Tahun Pelajaran 2014/ 2015 Siklus II NO
Skor
Interval
Frekuensi
%
Kriteria
1
81,26<Skor≤100
97,50-120
20
59%
Sangat Tinggi
2
62,51 <Skor≤81,25
74,99-97,49
14
41%
Tinggi
72
3
43,76 <Skor≤ 62,50
52,48-74,98
0
0%
Sedang
4
25,00 <Skor≤43,75
29,97-52,47
0
0%
Rendah
nilai
pendidikan
Dari tabel di atas dapat dilihat banyaknya
anak
memiliki
karakter yang tinggi sebanyak 14
pendidikan
anak atau sekitar 41% yang berarti
karakter yang rendah sebanyak 0
siswa sudah memahami 18 nilai
anak atau sekitar 0% berarti sudah
pendidikan karakter, namun mereka
tidak
belum
masih berusaha untuk mewujudkan
memahami sama sekali dan bahkan
18 nilai pendidikan karakter tersebut
belum
serta
di
nilai
sekitarnya. Dan anak yang memiliki
pemahaman
ada
antusias
yang
pemahaman
nilai
siswa
memiliki untuk
yang
motivasi mewjudkan
lingkungan
sekolah
pendidikan karakter baik disekolah
pemahaman
maupun disekitar. Sedangkan anak
karakter yang sangat tinggi sebanyak
yang memiliki pemahaman nilai
20 anak atau sekitar 59% yakni siswa
pendidikan karakter yang sedang
tersebut sudah sangat baik dalam
sebanyak 0 anak atau sekitar 0%
memahami nilai pendidikan karakter.
yang berarti sudah tidak terdapat
Hal
siswa yang tidak memahami makna
menerapkan 18 nilai karakter itu di
nilai pendidikan karakter dan tidak
lingkungan
memiliki
sekitarnya. Perhatikan grafik awal
antusias
dalam
mewujudkan. Anak yang memiliki
itu
nilai
dan
dibuktikan
sekolah
pendidikan
dengan
maupun
berikut
: Diagram 02 Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Siswa Siklus II Dari siklus II tersebut dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pemahaman nilai pendidikan karakter siswa dengan hasil yang sangat memuaskan.
73
PEMBAHASAN Berikut dapat dilihat tabel perbandingan pemahaman nilai pendidikan karakter siswa pada kondisi awal dengan siklus I dan siklus II. Tabel 05 Perbandingan pemahaman nilai pendidikan karakter siswa pada kondisi awal dengan Siklus I dan Siklus II Interval
Kriteria
Kondisi Awal
Siklus I
Siklus II
97,50-120
Sangat Tinggi
20,6%
32,3%
59%
62,51 <Skor≤81,25
74,99-97,49
Tinggi
14,7%
8,9%
41%
43,76 <Skor≤ 62,50
52,48-74,98
Sedang
11,7%
55,8%
0%
25,00 <Skor≤43,75
29,97-52,47
Rendah
53%
3%
0%
Skor 81,26<Skor≤100
Adapun untuk hasil observasi kolaborator terhadap peneliti pada pelaksanaan layanan informasi berbasis multimedia di Siklus II ini yakni: Tabel 06 Hasil Observasi kolaborator terhadap Peneliti pada saat Pelaksanaan Layanan Informasi Berbasis Multimedia Di Siklus II Pertemuan KeHasil Maksimal I II 1. Persiapan 12 14 15 2. Pelaksanaan 20 24 24 3. Penutup 4 5 6 Jumlah 36 43 45 Mean 40 (Baik) Berdasarkan pada tabel 06 diatas layanan informasi berbasis No. Kegiatan Peneliti
dapat
disimpulkan
observasi peneliti
bahwa
kolaborator mengenai
hasil
multimedia
terhadap
yang diberikan
oleh
peneliti masuk dalam kriteria baik.
pelaksanaan
Dilihat
74
dari
aspek
persiapan,
pelaksanaan
serta
penutup,
pendidikan karakter yang tinggi dari
pelaksanaan
layanan
informasi
tahap awal sampai ke siklus II
berbasis multimedia sudah berjalan
hasilnya memuaskan, sehingga tidak
dengan baik. dilihat dari tabel di atas
diperlukan
dapat
lanjut.
diketahui
peningkatan
bahwa
pemahaman
terjadi
lagi
penelitian
lebih
nilai
Grafik 01 Rekap Hasil Perbandingan Pemahaman Nilai Pendidikan Karakter Pada Siswa kelas X IIS 3 SMA 1 Bae Kudus Th.Pelajaran 2014/2015
Dari grafik tersebut, terlihat
dengan kategori tinggi.
bahwa adanya kenaikan pemahaman
Hasil Pembahasan Siklus I
tentang nilai pendidikan karakter
Dalam pelaksanaan layanan
siswa yang semula di kondisi awal,
informasi berbasis multimedia, pada
terdapat 20,6% siswa yang sangat
siklus ini dilaksanakan bukan halnya
tinggi pemahaman nilai pendidikan
dengan
karakternya, menjadi 32,3% di siklus
pengoptimalan
I. Tidak puas dengan kenaikan di
multimedia dalam layanan informasi
siklus I, maka peneliti meneliti
yang diberikan. Peneliti memberikan
kembali
gambaran-gambaran mengenai 18
dengan
memperbaiki
ceramah
pada
pendidikan
Namun, perangkat
kelemahan-kelamahan di siklus I ke
aspek
siklus II. Di siklus II ini, sudah
bangsa
terdapat 59% sangat tinggi dan 41%
dengan paparan berbentuk power
75
nilai
saja.
kemudian
karakter
menyampaikan
point.
Hasil
memberikan Hartina
penelitian dukungan
(2013)
bahwa
ini
nilai pendidikan karakter yang tinggi
kepada
sebanyak 3 anak atau sekitar 8,9%,
media
dan anak yang memiliki kematangan
merupakan perantara utama dalam
pilihan karir
menjembatani
sebanyak 11 anak atau sekitar 32,3%.
pebelajar
dengan
pusat serta sumber belajar. Pada
siklus
yang sangat tinggi
Jadi bisa dikatakan dalam kategori I
yang
sedang.
dilaksanakan dua kali pertemuan,
Ada
peningkatan
yang
hasil observasi kolaborator terhadap
signifikan dari kondisi awal siswa
aktifitas
dalam
dengan
menyampaikan layanan informasi
layanan
berbasis
memperoleh
multimedia di siklus I ini. Namun,
skor 27 yang dapat dikategorikan
belum mencapai maksimal yakni
cukup,
70% indikator keberhasilan pada
peneliti
multimedia
karena
peneliti
sudah
sesudah
dilaksanakan
informasi
dianggap cukup dalam menguasai
penelitian
tahapan-tahapan layanan informasi.
dikarenakan dari dua faktor. Faktor
Namun masih harus ditingkatkan
pertama dari penelitinya yang belum
lagi,
bisa melaksanakan tahapan-tahapan
karena
hasilnya
belum
memuaskan.
ini.
Hal
berbasis
ini
bisa
penelitian secara maksimal, yang
Sedangkan
observasi
dikarenakan waktu yang tersedia
terhadap tingkat pemahaman siswa
sangat sedikit, serta peneliti belum
mengenai nilai pendidikan karakter
memiliki tujuan operasional yang
bangsa pada siklus I ini terlihat
jelas dalam pelaksanaan penelitian
banyaknya
memiliki
ini. Faktor kedua adalah siswa yang
pendidikan
diteliti. Siswa masih belum bisa
karakter yang rendah sebanyak 1
antusias mengenai 18 aspek nilai
anak atau sekitar 3%, sedangkan
pendidikan karakter, siswa masih
anak yang memiliki pemahaman nilai
malu
pendidikan karakter yang sedang
menjawab pertanyaan tentang 18
sebanyak 19 anak atau sekitar 55,8%,
aspek nilai pendidikan karakter, serta
dan anak yang memiliki pemahaman
siswa tampak bosan dengan materi
pemahaman
anak
hasil
yang
nilai
76
ketika
berpendapat
atau
yang hanya disajikan berupa paparan
Yakni dengan memperbaiki segala
power
kelemahan di siklus I, salah satunya
point
serta
gambaran-
gambaran.
menggunakan
Untuk
itulah
peneliti
video
menyampaikan
18
dalam
aspek
nilai
melanjutkan penelitian kembali pada
pendidikan karakter yang dikemas
siklus II untuk mendapatkan hasil
secara sederhana dan bermakna.
penelitian yang lebih memuaskan. meningkatkan kecerdasan emosi dan
Hasil Pembahasan Siklus II Peneliti
memperbaiki
kelemahan-kelemahan
ketrampilan
berfikir
kreatif.
yang
Multimedia berupa video interaktif
ditemukan di siklus I, baik dari
yang digunakan menarik dan sarat
kelemahan
pesan moral yang mudah dipahami
peneliti
kelemahan Peneliti
siswa
maupun
yang
diteliti.
melaksanakan
oleh siswa.
layanan
Pada siklus II ini dilakukan
informasi berbasis multimedia secara
dua kali pertemuan pada minggu ke
serius
III dan ke IV bulan Nopember 2014.
dan
terstruktur
tujuan
operasional penelitiannya.
Hasil observasi kolaborator terhadap
Pada siklus II ini, layanan
aktifitas
peneliti
informasi berbasis multimedia lebih
melaksanakan
ditekankan pada video yang dikemas
berbasis multimedia ini memperoleh
secara
bermakna
skor 40 dengan kategori baik. Karena
sehingga siswa lebih memahami
siswa sudah sangat baik dalam
pesan yang hendak disampaikan
memahami 18 aspek nilai pendidikan
dalam penelitian ini. Penelitian ini
karakter. Hal tersebut diwujudkan
juga memberikan dukungan kepada
dengan siswa mampu menerapkan 18
Ratna Saraswati (2014) dalam e-
aspek nilai pendidikan karakter baik
journal
di
sederhana
volume
dan
ke-4
Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
layanan
dalam
lingkungan
sekolah
informasi
maupun
lingkungan sekitarnya.
Ganesha, yakni pemanfaatan dalam
Sedangkan
hasil
observasi
implementasi multimedia bermuatan
terhadap tingkat pemahaman siswa
pendidikan
mengenai nilai pendidikan karakter
karakter
ini
dapat
77
bangsa pada siklus II ini terlihat banyaknya
anak
pemahaman
yang
nilai
Hasil dari siklus II tersebut
memiliki
dapat
pendidikan
diketahui
peningkatan
bahwa
terjadi
pemahaman
nilai
karakter yang rendah sebanyak 0
pendidikan karakter yang tinggi dari
anak atau sekitar 0%, sedangkan
tahap awal sampai ke siklus II
anak yang memiliki kematangan
hasilnya memuaskan, sehingga tidak
pilihan karir yang sedang sebanyak
diperlukan
0 anak atau sekitar 0%, dan anak
lanjut.
yang memiliki kematangan pilihan
lagi
Penelitian
penelitian
ini
lebih
memberikan
karir yang tinggi sebanyak 14 anak
keyakinan bahwa layanan informasi
atau sekitar 41%, dan anak yang
berbasis
memiliki kematangan pilihan karir
meningkatkan
yang sangat tinggi sebanyak 20 anak
pendidikan karakter siswa kelas X
atau sekitar 59%.
IIS 3 Tahun Pelajaran 2014/2015
dapat
pemahaman
nilai
Pemahaman nilai pendidikan
SIMPULAN Aktifitas peneliti mengalami kenaikan
mutimedia
mulai
dari
siswa
melalui
layanan
I
informasi berbasis multimedia pada
pertemuan I dan pertemuan II,
siklus II memperoleh persentase 59%
hingga siklus II pertemuan I dan
dengan kategori sangat tinggi serta
pertemuan II. Pada siklus I, peneliti
41%
memperoleh skor 27 dengan kategori
tersebut
cukup, meningkat menjadi skor 40
peningkatan
dengan kategori baik di siklus II.
dengan
Peningkatan
dari
kategori
tinggi.
menunjukkan bila
siklus
I
Hal
adanya
dibandingkan yang
hanya
sebagai
upaya
memperoleh nilai 32,3% kategori
baru
untuk
sangat tinggi, 8,9% kategori tinggi,
menerapkan metode
baru dalam
55,8% kategori sedang serta 3%
layanan
Peningkatan
kategori rendah. Karena di siklus II
aktifitas peneliti tidak terlepas dari
ini meperbaiki kelemahan-kelemahan
masukan dan saran perbaikan dari
yang ada pada siklus I. Sehingga di
pemberian
ini
siklus
karakter
inovasi
informasi.
analisis kolaborator.
78
siklus II ini mencapai hasil yang
positif kedalam dirinya, sehingga
maksimal dan memuaskan.
akan dapat menerapkan 18 aspek
Uji hipotesis tindakan yang
nilai pendidikan karakter bangsa,
menyatakan
“terjadi
peningkatan
pemahaman
nilai
pendidikan
apabila akan meneliti hal sejenis
karakter siswa kelas X IIS 3 SMA 1
dengan penelitian ini, disarankan
Bae
Pelajaran
untuk memberikan perhatian serius
layanan
terhadap siswa mengenai pemberian
multimedia”
multimedia yang lebih interaktif dan
Kudus
Tahun
2014/2015
melalui
informasi
berbasis
4)Kepada
diterima karena teruji kebenarannya.
Peneliti
Berikutnya,
inovatif.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
tersebut, maka dapat diajukan saransaran sebagai berikut: 1)Kepada
Akbar, Ali Ibrahim. 2000. Tentang
Pihak Sekolah, senantiasa memantau
Pendidikan
perkembangan konselor sekolah/guru
Jakarta: PT Rajawali.
Karakter.
bimbingan dan konseling dalam Arikunto,
memberikan pelayanan kepada siswa secara
sesuai
siswa,
dengan
kebutuhan
2)Kepada
Konselor
Sekolah/Guru Bimbingan Konseling,
Doni Koesoema. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Grasindo.
seyogyanya selalu berinovasi dalam memberikan metode atau teknik dalam
pelayanan
kepada
siswa.
Dengan cara mengikuti kegiatan MGBK
atau
Gede Raka. 2007. Makalah Seminar Nasional Pendidikan Karakter di Universitas Negeri Yoyakarta. Pendidikan Membangun karakter. Guru Besar, Fakultas Teknologi Industri,
seminar-seminar.
Sehingga selalu up to date dalam memberikan
bimbingan
serta
pelayanan konseling pada siswa, 3)Kepada mewujudkan
Siswa,
senantiasa
energi-energi
S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
yang
79
Hartina.
Musfiroh,
Institut Teknologi Bandung 2013. [online] . (http://hartina129b.blog spot.com/2013/04/peng ertian-multimedia-dancontohnya.html, diakses tanggal 02 Oktober 2014 Pukul 10.45)
PT. Gramedia Widia Asmara Indonesia
Tadkiroatun. 2008. Memilih, Menyusun, dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Prayitno. 2004. Seri Layanan L.2 Layanan Informasi. Padang: Jurusan BK FIP UNP. Prayitno
dan Erman Amti. 1999.Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Risqidah. 2013. [online] . (http://tmultimediarisqidiah.blogspot.com/, diakses tanggal 02 Oktober 2014 Pukul 10.30). Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: PT Alfabeta. Winkel, WS. 1991. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta:
80
Meningkatkan Rasa Percaya Diri Siswa dalam Menghadapi Ujian Sekolah Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Oleh: KUNIRAH SMP NEGERI 2 PARANG KABUPATEN MAGETAN Jl. Raya Parang – Magetan Desa Krajan Kec. Parang Kab. Magetan Telp. (0351) 894557 Kode POS 63371 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Kunirah. 2015. Meningkatkan Rasa Percaya Diri Siswa dalam Menghadapi Ujian Sekolah Melalui Layanan Bimbingan Kelompok. Kata Kunci: Rasa percaya diri, ujian sekolah, layanan bimbingan kelompok Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh siswa ketika menghadapi ujian adalah rasa percaya diri. Perilaku tidak percaya diri siswa dalam menghadapi ujian harus ditangani agar siswa memiliki kemandirian. Siswa yang mandiri merupakan salah satu indikator dari siswa yang memiliki percaya diri. siswa yang diindikasi memiliki rasa tidak percaya diri saat menghadapi ujian dapat dikatakan memiliki perasaan inferioritas. Inferioritas pada diri seseorang muncul karena ia merasa tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya. Permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimana layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan percaya diri siswa dalam menghadapi ujian. Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan percaya diri siswa dalam menghadapi ujian. Layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menghadapi ujian sekolah, karena melalui layanan bimbingan kelompok terdapat beberapa aspek dari luar siswa yang berpengaruh, yaitu: (1) cinta; (2) rasa aman; (3) model peran; (4) hubungan; dan (5) dukungan. Selain itu melalui layanan bimbingan kelompok terjadi proses penerimaan dan pengertian dari teman dalam kelompok yang menghasilkan rasa aman dan rasa bersatu yang akan mendukung proses introspeksi dan ekspresi perasaan-perasaan mendalam sehingga akan menciptakan penerimaan dan pengalaman-pengalaman serta perubahan sikap yang dicobakan akan memperkuat kemandirian untuk mengadakan perubahan pada dirinya.
81
harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan peserta didik untuk menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya. Kemampuan seperti yang diuraikan di atas tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual, sistem nilai (Yusuf dan Nurihsan, 2006: 2). Pembelajaran merupakan sebuah proses yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait antara satu dengan komponen yang lain. Komponenkomponen tersebut berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.Menurut (Sudjana, 2005:20),komponen-komponen yang saling terkait tersebut meliputi: (1) Tujuan Pembelajaran; (2) Bahan; (3) Metode dan Alat; dan (4) Penilaian. Berdasar pada komponen belajar sebagaimana diuraikan di atas, untuk mengukur keberhasilan siswa pada proses pembelajaran salah satunya dengan melaksanakan evaluasi pembelajaran. pelaksanaan evaluasi pembelajaran dapat dilakukan melalui tes dan non tes. Kedua bentuk tes tersebut merupakan bentuk ujian bagi siswa dalam mengukur kemampuan diri dalam pembelajaran.Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanan ujian adalah rasa percaya diri siswa. Percaya diri merupakan perasaan yang ada dalam diri siswa yang diakibatkan adanya respon dari luar untuk berani bertindak. Percaya diri siswa sangat berpotensi dalam keberhasilan belajar, hal ini dapat dilihat dari kegiatan
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk memperoleh suatu output pendidikan yang baik dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, sekolah merupakan tempat terjadinya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan siswa. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang berbeda yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lain. Belajar mengacu kepada kegiatan siswa, sementara mengajar itu sendiri mengacu kepada kegiatan guru. Fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas merupakan tanggung jawab yang luhur, namun juga sangat berat bagi lembaga pendidikan, dalam membentuk kepribadian anak. Hal ini karena pendidikan khususnya pendidikan dasar memegang peranan yang sangat penting bagi perkembangan masa depan siswa. Pemahaman tersebut akhirnya menjadikan peserta didik memandang bahwa sekolah sebagai lembaga formal yang dapat mewujudkan cita-cita anak. Pendidikan yang bermutu disamping pelaksanaan melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga 82
pembelajaran sehari-hari bahwa siswa yang memiliki kemampuan atau pintar akan menjadi tidak mampu untuk atau salah untuk melakukan sesuatu pekerjaan karena dipengaruhi rendahnya percaya diri siswa tersebut. Percaya diri merupakan hal yang penting untuk dibangun dan dikembangkan. Kepercayaan diri diperlukan oleh seseorang untuk menghadapi tantangan dalam setiap tahap kehidupannya. Kepercayaan diri sering menjadi masalah yang dialami oleh remaja, baik percaya diri yang berhubungan dengan aspek sosial, maupun percaya diri yang berhubungan dengan proses belajar di sekolah. Perilaku tidak percaya diri siswa dalam menghadapi ujian harus ditangani agar siswa memiliki kemandirian. Siswa yang mandiri merupakan salah satu indikator dari siswa yang memiliki percaya diri. siswa yang diindikasi memiliki rasa tidak percaya diri saat menghadapi ujian dapat dikatakan memiliki perasaan inferioritas. Inferioritas pada diri seseorang muncul karena ia merasa tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya meningkatkan percaya diri siswa dalam menghadapi ujian? 2. Bagaimana layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan percaya diri siswa dalam menghadapi ujian? Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui upaya meningkatkan percaya diri siswa dalam menghadapi ujian 2. Untuk mengetahui layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan percaya diri siswa dalam menghadapi ujian Hakikat Percaya Diri Kamus besar Bahasa Indonesia (1991:11), menyatakan bahwa “Percaya diri adalah yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang”. Percaya diri merupakan sikap yakin terhadap sesuatu, hal ini sangat bermanfaat dalam setiap keadaan. Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang mampu untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Menurut Hakim (2002: 6), percaya diri yaitu suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya. Gejala dari kurang percaya diri adalah mudah cemas dalam menghadapi persoalan dengan tingkat kesulitan tertentu, memiliki kelemahan atau kekurangan dari segi mental fisik, sosial, atau ekonomi, mudah putus asa, dan cenderung bergantung pada orang lain dalam mengatasi masalah (Hakim, 2002:8).Percaya Diri atau self Confidence adalah sebuah sikap mental berkenaan dengan keyakinan dan kepercayaan diri terhadap kemampuannya. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanyabeberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, 83
mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap dirisendiri. Rasa kurang percaya diri pada individu dapat dilihat dengan gejalagejala tertentu yang dapat ditunjukkan dalam berbagai perilaku. Nasution, (2000 : 73) menjelaskan gejala-gejala perilaku kurang percaya diri yaitu suka melamun, kelakuan tidak baik, berlebihan untuk menunjukkan kebaikan, keadaan emosi, keadaan seperti gagap dan ngompol serta gejala lainnya. Kurang percaya diri ini dengan berbagai faktor menyebabkan mungkin timbul kelakuan menarik diri atau negatif, seperti malas, menyendiri, pengecut dan sebagainya. Menurut Anita Lie (2003:4) ciri-ciri orang yang tidak mencerminkan percaya diri adalah tidak yakin kepada diri sendiri, bergantung pada orang lain, raguragu, merasa diri tidak berharga, dan tidak memiliki keberanian untuk bertindak. Rendahnya rasa percaya diri pada siswa SMP tidak bisa diabaikan begitu saja, karena hal ini akan berdampak buruk pada hasil belajar siswa. Siswa yang memiliki kepercayaan diri rendah tidak akan mencapai hasil yang optimal dalam belajarnya. Secara umum sikap-sikap seseorang yang tidak memiliki kepercayaan diri atau telah kehilangan kepercayaan cenderung merasa/ bersikap sebagai berikut: 1. Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh-sungguh. 2. Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (ngambang).
3. Mudah frustasi ketika menghadapi masalah atau kesulitan. 4. Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengahsetengah. 5. Sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal). 6. Canggung dalam menghadapi orang. 7. Tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan yang meyakinkan. 8. Sering memiliki harapan yang tidak realistis. 9. Terlalu perfeksionis 10. Terlalu sensitif (perasa) Beberapa faktor yang memengaruhi percaya diri berasal dari keluarga. Hakim (2002:26) mengatakan bahwa keadaan keluarga, sebagai lingkungan hidup yang pertama dan utama dalam kehidupan setiap orang, sangat mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri. Rasa percaya diri bisa tumbuh dan berkembang baik sejak kecil jika seseorang berada di dalam keluarga yang baik. Menurut Lindenfield (1997: 14) faktor penunjang percaya diri adalah memberikan kesempatan pada anak untuk mencoba sesuatu, memberikan pujian, tidak diejek dan dicemooh, memberi kepercayaan pada anak, adanya peran serta orang tua dalam proses pengembangan, adanya lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang dapat memberikan dorongan untuk perkembangan anak, serta adanya rasa cinta kasih dan rasa aman. Lindenfield (1997 : 14) menjelaskan ada beberapa hal yang harus
84
diperhatikan dalam meningkatkan rasa percaya diri diantaranya sebagai berikut: 1. Cinta Yang penting bukan besarnya jumlah cinta yang diberikan, tetapi mutunya. Individu perlu terus merasa dicintai tanpa syarat. Untuk perkembangan harga diri yang sehat dan langgeng, mereka harus merasa bahwa mereka dihargai karena keadaan mereka sesungguhnya, bukan keadaan mereka yang seharusnya, atau seperti yang diinginkan orang lain. 2. Rasa aman Ketakutan dan kekhawatiran merupakan hal yang berpengaruh terhadap percaya diri individu. Individu yang selalu khawatir bahwa kebutuhan dasar mereka tidak akan terpenuhi, atau bahwa dunia lahiriah atau batiniah mereka setiap saat dapat hancur, akan sulit mengembangkan pandangan positif tentang diri mereka, orang lain, dan dunia pada umumnya. Bila individu merasa aman, mereka secara tidak langsung akan mencoba mengembangkan kemampuan mereka dengan menjawab tantangan serta berani mengambil resiko. 3. Model peran Mengajar lewat contoh adalah cara paling efektif agar anak mengembangkan sikap dan ketrampilan sosial yang diperlukan untuk percaya diri. Dalam hal ini peran orang lain sangat dibutuhkan untuk dijadikan contoh bagi individu untuk dapat meningkatkan kepercayaan dirinya. 4. Hubungan
Untuk mengembangkan rasa percaya diri terhadap “segala macam hal”, individu jelas perlu mengalami dan bereksperimen dengan beraneka hubungan, dari yang dekat dan akrab di rumah, teman sebaya, maupun yang lebih asing. Melalui hubungan, individu juga membangun rasa sadar diri dan pengenalan diri, yang merupakan unsur penting dari rasa percaya diri batin. 5. Kesehatan Untuk bisa menggunakan sebaik-baiknya kekuatan dan bakat kita, kita membutuhkan energi. Jika mereka dalam keadaan sehat, dalam masyarakat bisa dipastikan biasanya mendapatkan lebih banyak perhatian, dorongan moral, dan bahkan kesempatan. 6. Sumber daya Sumber daya mempunyai dorongan yang kuat karena dengan perkembangan kemampuan anak memungkinkan mereka memakai kekuatan tersebut untuk menutupi kelemahan yang mereka miliki. 7. Dukungan Anak membutuhkan dorongan dan pembinaan bagaimana menggunakan sumber daya yang mereka miliki. Mereka membutuhkan orang yang menjadi “akar” bagi mereka, agar mereka lebih percaya diri dan terampil, orang yang memberi mereka umpan balik yang jujur dan membangun, baik mereka berhasil maupun gagal. Dukungan juga merupakan faktor utama dalam membantu anak sembuh dari pukulan terhadap rasa percaya diri yang disebabkan oleh trauma, luka dan kekecewaan. 85
8. Upah dan hadiah Meskipun proses mengembangkan rasa percaya diri (seperti setiap belajar lainnya) itu sendiri bisa menyenangkan, tetapi kadang-kadang hal itu tidak demikian. “Hadiah-hadiah” untuk usaha yang telah dilakukan. Layanan Bimbingan Kelompok Menurut Dewa Ketut Sukardi dkk (2008 : 78)Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan dan memungkinkan sejumlah peserta didik (Konseli) secara besama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu (Terutama guru pembimbing/ konselor) dan membahas secara bersama-sama pokok bahasan (Topik) tertentu yang berguna untuk menunjang pemahaman dan kehidupan sehari-hari serta untuk pemahaman dan kehidupan sehari-hari atau untuk pertimbangan dalam mengambil keputusan dan tindakan tertentu. Sedangkan Natawidjaya (2003: 64)mengemukakanbimbingan kelompok adalah layanan yang diberikan pada sekelompok individu guna mengatasi masalah yang relative sama sehingga mereka tidak mengalami hambatan untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Sementara itu, Raharjo (2004: 12)bimbingan kelompok adalah proses bantuan yang diberikan oleh guru pembimbing kepada sekelompok individu (siswa/klien) melalui prosedur dengan memanfaatkan kelompok dan dinimika kelompok. Hasen dkk dalam Larabee dan Terres (1984) menegaskan lebih lanjut bahwa layanan konseling kelompok merupakan cara yang amat baik untuk menangani
konflik-konflik antar pribadi dan membatu individu dalam mengembangkan kemampuan pribadi mereka (misalnya pengendalian diri & tenggang rasa) dalam kaitan itu semua sebagaimana konseling perorangan, konseling kelompok berorientasi pada pengembangan individu, pemecahan masalah dan pengentasan masalah. Menurut Winkel (1991:485) konseling kelompok merupakan merupakan bentukkhusus dari layanan konseling, yaitu wawancara konseling antara konselorprofesional dengan beberapa orang sekaligus yang tergabung dalam suatukelompok kecil. Menurut Prayitno (1995) Keterampilan berkomunikasi secara efektif, sikapbertenggang rasa, memberi dan menerima, toleran, mementingkan musyawarahuntuk mencapai mufakat seiring dengan sikap demokratis, memiliki sikaptanggung jawab sosial seiring dengan kemandiriannya yang kuat, merupakan arahpengembangan pribadi yang dapat dijangkau melalui keaktifannya dinamikakelompok. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konselingkelompok merupakan bantuan yang diberikan oleh konselor dalam upayapemecahan masalah individu kearah pengentasan permasalahan kepada beberapaklien yang tergabung dalam kelompok kecil. Meningkatkan Percaya Diri Siswa dalam Menghadapi Ujian melalui Layanan Bimbingan Kelompok Konseling kelompok adalah suatu upaya bantuan kepada peserta didik dalm suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian kemudian 86
dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya. Konseling kelompok bersifat pencegahan, bahwa arti klienklien (siswa) yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk berfungsi secara wajar dalm masyarakat, tetapi mungkin memiliki sesuatu titik lemah dalam kehidupannya sehingga menggangu kelancaran berkomunikasi dengan orang lain. Konseling kelompok bersifat pemberian kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa konseling kelompok menyajikan dan memberikan dorongan kepada individu-individu yang bersangkutan untuk mengubah dirinya selaras dengan minatnya sendiri. Konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi terapi seperti sifat permisif, orientasi pada kenyataan, katarsis, saling mempercayai, saling memperlakukan dengan mesra, saling pengertian, saling menerima dan saling mendukung (Achmad Juntika 2005 : 22). Dalam kegiatan layanan konseling kelompok terjadi proses penerimaan dan pengertian dari teman dalam kelompok yang menghasilkan rasa aman dan rasabersatu yang akan mendukung proses introspeksi dan ekspresi perasaanperasaanmendalam sehingga akan menciptakan penerimaan dan pengalaman-pengalamanserta perubahan sikap yang dicobakan akan memperkuat kemandirian untukmengadakan perubahan pada dirinya. Pengalaman kelompok juga akan meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan orang lain dan akanberkembang
hubungan antar pribadi yang secara alami, serta memperkembangkan keberanian untuk mencoba memecahkan masalah-masalah pribadi dan konflikemosional. Didalam konseling kelompok ada tujuan yang ingin dicapai di antaranya: 1. Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan orang banyak 2. Melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap teman sebayanya 3. Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok 4. Mengentaskan permasalahanpermasalahan kelompok. 5. Membantu peserta didik untuk memperoleh kesempatan untuk pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok. Sementara itu, proses pelaksanaan konseling kelompok dilaksanakan melalui tahap-tahap berikut : 1. Tahap I (Pembentukan) Pada tahap ini para peserta yang baru pertama bertemu itu benar-benar dibentuk menjadi kelompok yang cukup solid sehingga dinamika kelompok yang berkembang di antara mereka selanjutnya akan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan bimbingan dan konseling. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup lama dengan kegiatan yang bervariasi. Waktu yang cukup lama itu jangan sampai menimbulkan kesan seakanakan kegiatan itu hanya sekedar beramai-ramai atau bersantai-santai saja, membuang-buang waktu, membosankan. Dalam hal ini guru pembimbing sebagai pemimpin 87
kelompok menimbang-nimbang antara efisiensi waktu, efektivitas pengembangan dinamika kelompok dan kondisi positif metal fisik seluruh peserta. 2. Tahap II (Peralihan) Tahap II merupakan jembatan antara tahap I dan tahap III. Berapa lama tahap II berlangsung banyak tergantung pada keberhasilan tahap I. Apabila tahap I sudah berhasil dengan baik, tahap II seringkali hanya sekedar mengulangi dan memantapkan penjelasan tentang aspek pokok yang ada dalam Tahap III. 3. Tahap III (Kegiatan Inti) Tahap ini seringkali disebut juga tahap kerja. Dari tahap inilah akan diperoleh hasil-hasil yang diharapkan, yaitu mengembangkan pribadi dan perolehan kerja yang mencakup aspekaspek kognitif, afektif dan berbagai pengalaman serta alternatif pemecahan masalah. Dalam tahap inilah seluruh peserta benar-benar diminta untuk “bekerja”, mengembangkan pikiran, memberikan dorongan, bertanya dan bahkan memberikan nasehat dan alternatif jalan keluar untuk pemecahan suatu masalah. Waktu yang dipergunakan untuk tahap ini tergantung pada jumlah topik atau masalah yang dibahas. Apabila para peserta sangat antusias dalam kegiatan pada tahap III ini, biasanya para peserta meminta agar lebih banyak topik atau masalah dapat dibahas dalam pertemuan mereka itu. 4. Tahap IV (Pengakhiran) Tahap ini merupakan anti klimaks dari seluruh kegiatan, pada tahap ini kegiatan menyorot. Semangat yang tadinya menggebu-gebu sekarang
mengendor. Segala sesuatu menuju kepada pengakhiran kegiatan. Pada tahap ini pemimpin kelompok meminta kesan-kesan dari para peserta, dan akhirnya kesan-kesan ini dikaitkan dengan kemungkinan pertemuan berikutnya. Usul-usul peserta yang menghendaki segera adanya pertemuan lagi, apalagi kalau pertemuan kembali itu dikehendaki supaya lebih cepat, menunjukkan betapa kegiatan konseling kelompok telah membuahkan sesuatu yang berharga bagi peserta yang bersangkutan. Adapun indikator perubahan perilaku sebagai hasil layanan konselingkelompok adalah sebagai berikut: 1. Adanya perubahan prilaku yang yang dirasakan oleh siswa yaitu siswa lebihpercaya diri dalam mengungkapkan pendapat, berkomunikasi dengan orangyang dikenalnya, mampu menampilkan bakat dan kemampuan yang dimilikinya, berani dalam menyelesaikan masalah, serta berani mengambilkeputusan yang tepat untuk dirinya sendiri. 2. Peningkatan percaya diri siswa pun terlihat pada saat konseling berlangsung, siswa sudah mulai berani bertanya, mengungkapkan pendapat sertamemberikan umpan balik saat proses konseling berlangsung. Siswa pun tampakantusias dalam pelaksanaan konseling dan mampu menyampaikan pesan dankesan dari pelaksanaan konseling yang berlangsung. Simpulan Dari pembahasan yang dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 88
1. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menghadapi ujian sekolah, meliputi: (1) cinta; (2) rasa aman; (3) model peran; (4) hubungan; (5) kesehatan; (6) sumber daya; (7) dukungan; dan (8) upah dan hadiah. 2. Layanan bimbingan kelompok dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menghadapi ujian sekolah, karena melalui layanan bimbingan kelompok terdapat beberapa aspek dari luar siswa yang berpengaruh, yaitu: (1) cinta; (2) rasa aman; (3) model peran; (4) hubungan; dan (5) dukungan. Selain itu melalui layanan bimbingan kelompok terjadi proses penerimaan dan pengertian dari teman dalam kelompok yang menghasilkan rasa aman dan rasa bersatu yang akan mendukung proses introspeksi dan ekspresi perasaan-perasaan mendalam sehingga akan menciptakan penerimaan dan pengalaman-pengalaman serta perubahan sikap yang dicobakan akan memperkuat kemandirian untuk mengadakan perubahan pada dirinya Saran Berdasarkan simpulan di atas maka dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, dalam menghadapi ujian hendaknya perlu adanya layanan bimbingan konseling kelompok di sekolah untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa. 2. Hendaknya rasa percaya diri siswa perlu terus dipupuk dan ditingkatkan dan tidak hanya ketika menghadapi
ujian saja. Hal ini karena rasa percaya diri sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak khusus pada usia SMP maupun SMA. DAFTAR PUSTAKA http://lulucuwheiwa.blogspot.com/2012/0 7/penerapan-layanan-konselingkelompok.html http://repository.unri.ac.id/bitstream/1234 56789/3145/1/JURNAL%20AFRI NA.pdf Nana Sudjana. 2000. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo. Nurihsan, Achmad Juntika. 2009. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama. Syamsu Yusuf. 2006.Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:PT. Remaja Rosda Karya.
Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan. 2006. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
89
90
KONSELING KRISIS UNTUK MEMBANTU INDIVIDU PASCA TRAUMA KORBAN BENCANA ALAM TANAH LONGSOR DI BANJARNEGARA
Oleh: Ellya Rakhmawati dan M.A. Primaningrum Dian M
[email protected] dan
[email protected] Dosen Pendidikan Anak Usia Dini dan Dosen Bimbingan Konseling Universitas PGRI Semarang Abstract In recent years, often there is news to review war, accidents and various types of natural disasters. As a result of these natural disasters, particularly natural disasters landslides in Banjarnegara, can no longer count the number of victims who died, and the survivors among the rubble of collapsed buildings. Survivors of catastrophic events will gradually slow landslides experiencing post-traumatic stress and left her/he beloved family members to go on forever. The aid, consisting counselor or psychologist helping victims of post-traumatic landslide victims of natural disasters by providing crisis counseling. Crisis counseling can help clients cope with life situations, such as accepting the departure of a loved one forever, lost jobs and others. Keywords: Events Landslide Disaster, Trauma and Crisis Counseling
dicintainya untuk pergi selamanya.
PENDAHULUAN Dalam
tahun
Bentuk bencana alam, seperti: gempa
digemparkan
bumi, banjir bandang, banjir lokal,
dengan banyak berita yang mengulas
tsunami, gunung meletus dan tanah
perang, kecelakaan serta berbagai
longsor
jenis
terakhir
ini,
beberapa dunia
peristiwa
yang
dapat
membuat
bencana
alam,
peristiwa traumatik tersendiri bagi
terhitung
jumlah
para korban bencana. Bencana ini
korban yang meninggal atau masih
seolah memperlihatkan bahwa alam
hidup. Korban yang selamat dari
sedang berusaha
peristiwa bencana alam lambat laun
kepada
akan mengalami traumatik atau stres
ketidakpedulian
pasca
menjaga
sehingga
tidak
ditinggal
keluarga
yang 91
memberitahukan
manusia
tentang
manusia
dalam
keseimbangan
alam,
contohnya: penebangan liar di hutan
dari bahan rombakan gunung api,
yang
aliran lava dan breksi, dengan batuan
tanpa
memikirkan
akibat
selanjutnya seperti banjir dan pada
dasar
akhirnya bencana longsor tersebut
bersusunan andesit, lava
tidak dapat dihindari oleh manusia.
hornblenda dan tuf, (c). Curah hujan
Seperti halnya yang terjadi di
yang
berupa
aglomerat andesit
yang tinggi dan lama pada saat dan
Indonesia, bencana longsor yang
sebelum
terjadi di Dusun Jemblungan, Desa
(Badan
Sampang, Kecamatan Karangkobar,
http://pvmbg.bgl.esdm.go.id/12.12.2
Kabupaten
014).
Banjarnegara,
Jawa
kejadian gerakan tanah Geologi,
dikutip
Tengah, pada Jumat 12 Desember
Berbagai jenis peristiwa yang
2014, sekitar pukul 17.30 WIB
dialami oleh para korban bencana
(Zakaria,
dikutip
tanah longsor ini membuat mereka
satunya
menjadi stres. Dalam pengertian
adalah akibat dari penggundulan
umum, stres terjadi bila seseorang
hutan
dihadapkan pada ancaman kesehatan
2014:1
www.tempo.co.id)
sehingga
salah
daerah-daerah
tertentu yang sebenarnya menjadi
fisik
tempat resapan air itu hilang secara
peristiwanya dinamakan stresor dan
bertahap dan daerah tersebut tidak
reaksi
dapat lagi menahan laju air yang
tersebut dinamakan respon stres.
datang
Salah satu ciri yang paling jelas
begitu
cepat
sehingga
dan
psikologis.
orang
terhadap
peristiwa
menimbulkan musibah tanah longsor.
tentang
Faktor penyebab terjadinya tanah
korban bencana tanah longsor adalah
longsor diperkirakan, karena: (a).
kuatnya
Morfologi
dan
mempengaruhi. Para korban bencana
sekitarnya yang secara umum berupa
tanah longsor mengalami penderitaan
perbukitan dengan kemiringan landai
atau
hingga terjal, (b). Litologi yang
reaksi
diperkirakan bersifat sarang dengan
masing-masing
daya resap air yang tinggi, yaitu
dihadapinya.
berupa lahar dan endapan alluvium
seperti: sakit kepala, sakit perut,
daerah
bencana
92
pengalaman
Sumber
faktor
setiap yang
stres
psikologis
orang
yang
menunjukkan
berbeda stresor Respon
para
terhadap yang fisiologis,
muntah dan kaki yang tidak dapat
menempatkan
digerakkan akibat faktor psikologis.
dimana sewaktu-waktu tanah longsor
Dapat
sudut
di daerah tersebut. Korban bencana
korban
masih sangat pasif atau bahkan
cara
mereka belum bisa melakukan tugas
menghadapi suatu peristiwa dan
sederhana sekalipun, seperti makan
dukungan
sekitarnya
dan minum. Mereka butuh seseorang
sangat berpengaruh pada reaksi yang
yang ada di sekitar agar dapat
akan
membantu mereka atau mendorong
dikatakan
bahwa
pandang
masing-masing
bencana
tanah
longsor,
sosial
dari
ditunjukkan
para
korban
bencana tanah longsor.
bencana
pada
posisi
mereka untuk melakukan aktivitas
Walaupun reaksi dari para korban
diri
tanah
makan dan minum. Korban bencana
longsor
tanah
longsor
akan
mengalami
bersifat individual terhadap kejadian
kecemasan atau ketakutan sehingga
traumatik yang dihadapi, namun
kurang mampu dalam berkonsentrasi,
terdapat pola perilaku umum yang
mereka akan menjadi gelisah saat
dialami oleh para korban bencana
berdekatan dengan lokasi kejadian
tanah
kejadian
tanah longsor
(disaster
besar
longsor
setelah
bencana
tersebut
syndrome).
Pertama
kali
orang
korban
dan
kemungkinan
bencana
akan
mengulang cerita tentang bencana
selamat dari bencana tanah longsor,
yang dialaminya.
mereka akan menjadi bingung dan
Ditambah
lagi
anak-anak
tampak tidak peduli dengan luka-
ataupun remaja hingga dewasa yang
luka
masih
berada pada posisi korban bencana
menghantui pikiran mereka. Mereka
tanah longsor, pastinya mereka akan
akan berjalan kian kemari seperti
mengalami suatu peristiwa trauma
terjadi
atau
yang tidak akan bisa mereka lupa
bahwa sewaktu-waktu bahaya tanah
dalam seumur hidupnya. Bahaya
yang longsor akan terjadi lagi.
sejati dari sebuah trauma menurut
Mereka tampak bingung dan tidak
Paul (2008:47) adalah anak-anak
tahu apa yang harus mereka perbuat,
ataupun remaja hingga dewasa tidak
sehingga kemungkinan mereka akan
mampu atau tidak didorong untuk
atau
bahaya
disorientasi
yang
waktu,
93
mengatasi pengaruh dari sebuah
orang-orang yang dicintainya secara
trauma
setelah
mendadak, seperti kematian akibat
kemunculannya atau sangat mungkin
pembunuhan, bencana alam atau
akan
kehilangan yang tidak ditemukan
segera
mengalami
kerusakan
psikologis seumur hidup mereka.
keberadaannya,
Anak atau remaja hingga dewasa
melakukan
akan mudah tersinggung dan mudah
kenyataan
marah serta akan melakukan reaksi
Mereka akan menganggap bahwa
yang berlebihan terhadap frustasi
orang-orang tercintanya masih hidup.
dengan menunjukkan sikap agresif,
Ketika hal tersebut terjadi dan
menderita masalah tidur dan secara
tidak mendapatkan pertolongan baik
awas
psikis
akan
melindungi
„wilayah
mereka
akan
penyangkalan
bahwa
tersebut
maupun
tidak terjadi.
mental,
akan
kekuasaan‟ mereka atau mengamati
berdampak secara psikologis bagi
lingkungan sekitar mereka dengan
mereka yang kehilangan orang-orang
cara yang amat sangat seksama untuk
tercinta. Mereka akan mengalami
memastikan
trauma. Di sini pentingnya mengkaji
bahwa
lingkungan
tersebut aman bagi mereka.
permasalahan tersebut. Bantuan yang
Di sisi lain, mereka sebagai
diberikan secara umum asalnya dapat
korban selamat dari bencana alam
darimana saja, sedangkan secara
tanah longsor, kemungkinan besar
khusus, berkaitan dengan pemulihan
akan
pasca trauma, berasal dari orang-
memunculkan
mekanisme
pertahanan diri, dengan tujuan untuk
orang
melindungi
dari
konselor atau psikolog.
sesuatu
yang
Bantuan
Salah
satu
psikolog, secara umum bertujuan
mekanisme pertahanan diri yang
sebagai tempat untuk menyalurkan
sering dimunculkan dalam bentuk
apapun emosi yang dirasakan para
penyangkalan atau denial. Freud
korban bencana alam terutama bagi
dalam
mereka
ancaman
“diri” atau
membahayakan.
Corey
menyebutkan seseorang
mereka
bahwa
mengalami
(2005:254)
yang
yang
berprofesi
konselor
selamat,
sebagai
atau
dalam
ketika
menghadapi bencana itu sendiri atau
kehilangan
ada juga kenyataan bahwa telah 94
kehilangan orang-orang tercinta, dan
atau
memulihkan kondisi “diri” akibat
menggambar, antara lain: (a). dapat
trauma.
digunakan
Bantuan
konselor
lebih);
(2).
untuk
Bermain
perkembangan,
atau
pencegahan dan penyembuhan, (b).
psikolog yang diberikan kepada klien
sasaran kepada kehilangan orangtua
menggunakan
atau
konseling
krisis.
saudara
kandung.
Adapun
Konselor perlu menerima situasi dan
kesesuaian antara media dan aktivitas
menciptakan keseimbangan pribadi
bagi beragam kelompok usia, antara
dan penguasaan diri, selanjutnya,
lain: Pra-sekolah ke remaja akhir
konselor
dengan menggunakan tanah liat,
dapat
kecemasan
klien
menunjukkan
meredakan dan
konselor
tanggung
gambar,
jawab
bak pasir, simbol atau patung.
Pemberian bantuan dari konselor psikolog
dapat
perjalanan
imajinatif, hewan miniatur, lukisan,
terhadap klien (Mappiare, 2006:24).
ataupun
games,
Berbagai macam peristiwa
juga
yang terjadi pada anak-anak atau
menggunakan media atau terapi yang
remaja hingga dewasa pada korban
dapat
bencana
digunakan
untuk
tanah
longsor,
banyak
bantuan
dan
menghilangkan trauma, stres dengan
membutuhkan
cara terapi bermain.
dukungan, baik secara fisik maupun
Dengan
terapi
bermain,
psikologis dari pihak luar serta para
diharapkan anak atau remaja sebagai
psikolog dan para konselor. Dengan
korban bencana alam dapat mampu
pemberian
berinterakasi dengan cara bermain
diharapkan agar kesehatan mental
dan belajar atau kegiatan yang
korban-korban
dilakukan bersama. Terapi bermain,
longsor dapat terjaga dengan baik
berupa: (1). Bercerita, antara lain:
dan mereka dapat mengelola stresor
(a). mengembangkan imajinasi pada
yang ada di dalam diri masing-
anak, (b). anak bercerita yang ditulis
masing
sendiri atau orang lain, (c). terapis
bergerak maju dan berjuang untuk
merespon
kehidupan mereka selanjutnya.
alternatif
pemecahan
terhadap masalah (anak usia 5 tahun
trauma
sehingga
PEMBAHASAN 95
healing
bencana
mampu
ini,
tanah
untuk
1.
Korban
lava andesit hornblenda dan tuf, dan
Bencana Alam Tanah Longsor
(c). Curah hujan yang tinggi dan
Di Banjarnegara
lama pada saat dan sebelum kejadian
Pasca
Trauma
Bencana longsor yang terjadi di
Dusun
Jemblungan,
gerakan
Desa
tanah
(Badan
Geologi,
dikutip
dalam
Sampang, Kecamatan Karangkobar,
http://pvmbg.bgl.esdm.go.id/12.12.2
Kabupaten
014).
Banjarnegara,
Jawa
Tengah, pada Jumat 12 Desember
Berbagai jenis peristiwa yang
2014, sekitar pukul 17.30 WIB
dialami oleh para korban bencana,
(Zakaria,
dikutip
khususnya bencana tanah longsor
www.tempo.co.id) adalah akibat dari
dapat membuat mereka menjadi stres
penggundulan
sehingga
atau trauma atau bahkan korban
yang
bencana tanah longsor mengalami
sebenarnya menjadi tempat resapan
kecemasan atau ketakutan sehingga
air itu hilang secara bertahap dan
kurang mampu dalam berkonsentrasi,
daerah tersebut tidak dapat lagi
korban bencana tanah longsor akan
menahan laju air yang datang begitu
menjadi
cepat
dengan lokasi kejadian tanah longsor
2014:1
hutan
daerah-daerah
musibah
tertentu
sehingga tanah
menimbulkan longsor.
Faktor
dan
gelisah
saat
kemungkinan
besar
korban
penyebab terjadinya tanah longsor
bencana
diperkirakan, karena: (a). Morfologi
tentang bencana yang dialaminya.
daerah bencana dan sekitarnya yang secara
umum
berupa
akan
berdekatan
mengulang
cerita
Dalam pengertian umum, stres
perbukitan
terjadi bila seseorang dihadapkan
dengan kemiringan landai hingga
pada ancaman kesehatan fisik dan
terjal, (b). Litologi yang diperkirakan
psikologis.
bersifat sarang dengan daya resap air
dinamakan stressor, dan reaksi orang
yang tinggi, yaitu berupa lahar dan
terhadap
endapan
dinamakan respon stres (Siswanto,
alluvium
dari
bahan
rombakan gunung api, aliran lava
Sumber
peristiwa
peristiwanya
tersebut
2005:52).
dan breksi, dengan batuan dasar yang
Salah satu ciri yang paling jelas
berupa aglomerat bersusunan andesit,
tentang 96
pengalaman
stres
para
korban bencana tanah longsor adalah
akan
kuatnya
bencana tanah longsor.
faktor
psikologis
yang
ditunjukkan
para
korban
mempengaruhi. Para korban bencana tanah
longsor
penderitaan
yang
2.
Konseling Krisis
setiap
korban
Krisis dapat diartikan sebagai
longsor
dapat
suatu keadaan disorganisasi di mana
menunjukkan reaksi yang berbeda
klien menghadapi frustasi dalam
terhadap masing-masing stresor yang
upaya
dihadapinya.
fisiologis,
hidupnya atau mengalami gangguan
seperti: sakit kepala, sakit perut,
dalam perjalanan hidup, dan hal itu
muntah dan kaki yang tidak dapat
ditanggapinya dengan stres. Situasi
digerakkan
faktor
demikian itu sering memerlukan
psikologis. Hal ini sesuai fakta dari
respon-respon khusus dari konselor
para peneliti di American Institute of
guna membantu konseli atau klien
Stress (Pomerantz, 2013:553) yang
yang tidak berdaya. Ada beberapa
memperkirakan 75% hingga 90%
jenis masalah yang mengandung
dari seluruh kunjungan ke penyedia
krisis menurut Belkin (Mappiare,
pelayanan
2006:24),
bencana
atau
mengalami
tanah
Respon
adalah
akibat
kesehatan
merupakan
mencapai
berupa:
tujuan
(1).
penting
Pernah
hasil dari gangguan terkait stres dan
menyaksikan atau mengalami situasi
bahwa mereka yang stres enam kali
krisis seperti kehilangan orang yang
lebih berkemungkinan untuk di bawa
kita cintai, (2). Kehilangan pekerjaan
ke rumah sakit karena sakit fisik
dan rumah, (3). Ketidakmampuan
dibandingkan mereka yang tidak
mengatasi situasi hidup dan lain-lain.
stres.
Berdasarkan Dapat dikatakan bahwa sudut
pandang
masing-masing
sifat
situasi
krisis,
konselor perlu menerima situasi,
korban
menciptakan keseimbangan pribadi
bencana tanah longsor atau cara
dan penguasaan diri. Konseling krisis
menghadapi suatu peristiwa dan
dapat meredakan kecemasan pada
dukungan
diri klien dan konselor menunjukkan
sosial
dari
sekitarnya
sangat berpengaruh pada reaksi yang
tanggung
jawab
terhadap
klien.
Melalui dukungan dan ekspresi “ada 97
harapan” terhadap klien, konselor
stres setelah mengetahui dampak-
dapat mengatasi situasi sementara
dampak yang klien terima dari
dan selanjutnya membantu klien
peristiwa bencana tanah longsor.
dalam kancah developmental yakni
Adapun
membantu
masalah yang ada di lokasi bencana
klien
mencapai
beberapa
kendala
pertumbuhan pribadi yang positif
tanah longsor, sebagai berikut:
dalam berbagai tahap kehidupan
1.
klien (Mappiare, 2006:27). Berkaitan tanah
longsor
krisis
ini
yaitu
Manajemen stres dari masingmasing korban bencana tanah
korban dengan
atau
bencana
longsor
konseling
konselor
sangat
sehingga
dapat
beragam
membutuhkan
penanganan yang sesuai, bukan
membantu klien dalam menghadapi
hanya
tingkat
perkembangan
sedih, stres, kecemasan dan frustasi
yang ada pada anak dan remaja,
saat mengetahui orang-orang yang
tetapi juga perlu memperhatikan
dicintai pergi untuk selamanya, serta
perbedaan gender, permasalahan
barang-barang berharga milik klien
yang dialami, usia dan juga
hilang bersamaan dengan kejadian
gejala-gejala yang tampak serta
tanah longsor yang datangnya begitu
sumber penyebab stres yang
cepat.
dialami korban bencana tanah longsor. 2.
PENUTUP
Dampak
langsung
maupun
Konseling krisis merupakan
dampak tidak langsung yang
suatu proses yang terjadi atas dasar
dialami korban bencana tanah
hubungan konselor dengan klien
longsor
yang berkaitan dengan situasi-situasi
penanggulangan dengan segera
krisis yang dialami klien, seperti
dan berkesinambungan.
klien kehilangan orang-orang yang dicintai
untuk
selamanya,
3.
klien
Dalam
juga
membutuhkan
proses
penanganan
selanjutnya,
korban
bencana
kehilangan barang-barang berharga
tanah longsor pasca bencana
saat
tanah
terjadinya
bencana
tanah
longsor, klien merasa frustasi dan
longsor
mendapatkan 98
juga perhatian
perlu dan
penanganan
guna
Persada
perbaikan
mental bagi korban bencana
Geldard, Kathryn. 2012. Konseling Anak-anak. Edisi ketiga. Jakarta : PT. Indeks.
tanah longsor secara psikologis sehingga kedepannya, mereka mampu kehidupannya
----------------------. 2011. Konseling Remaja : Pendekatan Proaktif untuk Anak Muda. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
melanjutkan dengan
penuh
kemandirian dan percaya diri, serta mereka dapat berguna bagi
Paul, H.A. 2008. Konseling dan Psikoterapi Anak: Panduan Lengkap Memahami Karakter, Perasaan, dan Emosi Anak Disertai Langkah-Langkah Mengatasi Masalah dan Perilaku Negatif Anak. Yogyakarta: Idea Publishing
pembangunan di daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA Badan Geologi. 2014. Tanggapan Bencana Gerakan Tanah Di Kecamatan Sigaluh, Kecamatan Pejawaran, Dan Kecamatan Karang Kobar, KabupatenBanjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Dikutip:www.google.do.id/pv mbg.bgl.esdm.go.id/gerakantanah-kejadian-gerakantanahtanggapan-bencana-gerakantanah-di-kecamatan-sigaluhkecamatan pejawaran-dankecamatan-karang-kobarkabupaten-banjarnegaraprovinsi jawatengah/2014/12/12
Pomerantz, A.M. 2013. Psikologi Klinis: Ilmu Pengetahuan, Praktik dan Budaya. Alih Bahasa: Soetjipto, H.P dan Soetjipto, S.M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Siswanto. 2007. Kesehatan Mental: Konsep, Cakupan dan Perkembangannya. Yogyakarta: Andi Zakaria, I. 2014. Longsor Banjarnegara Ada Ledakan Sampai Air Terjun. Dikutip: www.http://www.tempo.co/read/ne ws/2014/12/13/058628326/Lo ngsorBanjarnegaraAda-LedakanSampai-Air-Terjun
Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama Mappiare, A. 2006. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Raja Grafindo
99
LEARNING MEDIA TO FORM THE INDEPENDENT CHARACTERS FOR YOUNG LEARNERS Indah Lestari Universitas Muria Kudus
[email protected]
ABSTRACT Teaching is a process of implementing the curriculum in educational institutions in order to make a good influence to the learners in achieving the educational goals that have been set, to achieve effective learning, we need an innovative media to enhance the quality of learning, especially for young learners. Value-based media is very necessary to create due to the sophisticated games which are widely spread in this modern era, they provide less morality implementation to young learners. As we all know that education for young learners is an educational vehicle that is very fundamental in providing the basic framework of the implementation of their characters, especially the child's independence so that they can accomplish something in which they should be responsible to and establish self-confidence. Therefore, it is necessary to create an innovative media in early childhood learning process in forming the character of independence. Keywords: Learning Media, Independence and Smart Characters *) Muria Kudus University – Central Java
PENDAHULUAN belajar yang di atur pendidik melalui proses pembelajaran.
Pembelajaran merupakan suatu proses
kegiatan
melaksanakan
Media dalam proses pembelajaran
kurikulum dalam suatu lembaga
dapat mempertinggi proses belajar
pendidikan
peserta didik yang pada gilirannya
agar
dapat
mempengaruhi para peserta didik
diharapakan
untuk mencapai tujuan pendidikan
hasil
yang
Media memiliki kedudukan yang
telah
ditetapkan,
dalam
dapat
belajar
yang
mempertinggi dicapaianya.
mencapai tujuan tersebut peserta
sangat
didik berinteraksi dengan lingkungan
tujuan pembelajaran secara efektif,
penting
dalam
mencapai
oleh karena itu penggunaan media
100
pembelajaran
harus
disesuaikan
anak usia dini yang menarik serta
dengan karakteristik peserta didik
mudah di ikuti anak-anak.
dan tujuan pembelajaran itu sendiri.
Melalu
Perkembangan media yang sarat
media
yang
inovatif,
pendidik dapat memberikan yang
akan nilai sangat diperlukan untuk
terbaik
menyeimbangkan permainan yang
mengupayakan anak menjadi pribadi
sekarang sudah marak beredar di
yang mandiri, anak yang mandiri
zaman serba teknologi ini yang
akan
kurang
penanaman
menyelesaikan tugas yang menjadi
usia
tanggung jawabnya serta anak akan
moral
memberikan pada
anak
dini.
untuk
memiliki
Menginggat bahwa pendidikan anak
tumbuh
usia
percaya diri.
dini
merupakan
wahana
pendidikan yang sangat fundamental
pertumbuhan,
menjadi
dan
komitmen
pribadi
yang
Membentuk karakter mandiri anak
peletak dasar kearah perkembangan dan
anak
usia dini tentunya tidaklah mudah,
sehingga
banyak anak usia dini yang masih
penentuan media pembelajaran harus
minta ditemani oleh ibunya di dalam
disinergikan dengan kebutuhan anak
ruang belajar. Kebiasaan seperti ini
yaitu dunia bermain.
tentunya tidak boleh dibiarkan begitu
Dengan bermain anak-anak akan
saja,
menggunakan
mental anak, untuk itu merasa perlu
otot
tubuhnya,
karena
akan
menstimulasi indra-indra tubuhnya,
memunculkan
mengeksplorasi
mengembangkan
menemukan
dunia
untuk media
pembelajaran anak usia dini dalam
mereka sendiri, lewat bermain fisik
membentuk karakter mandiri mereka.
akan
terlatih,
apa
gagasan
dunia
anak
seperti
sekitarnya,
melemahkan
kemampuan
PEMBAHASAN
kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.
Menggunakan media dalam proses
Ketika bermanin anak membangun
pembelajaran
pengertian yang berkaiatan dengan
filosofi atau alasan teoritis yang
pengalamannya. Untuk itu perlu di
benar. istilah media berasal dari
persiapkan media permainan untuk
bahasa latin dan berupa bentuk
101
harus
di
dasarkan
jamak dari kata medium yang secara
sesuai dengan tujuan yang akan di
harfiah berarti “perantara”
capai. Oleh karena itu dalam memilih
yaitu
perantara dari sumber pesan kepada
suatu
penerima
memiliki
pertimbangan,
misalnya
bentuknya apabila dapat digunakan
materi
pembelajaran,
tingkat
untuk
dapat
perkembangan kognitif siswa, dan
dikatakan sebagai media, sehingga
sarana atau fasilitas yang tersedia,
media
pembelajaran
sehingga tujuan pembelajran yang
yang
telah
pesan.
Jadi
menyalurkan
dalam
arti
apapun
pesan
merupakan
sesuatu
dapat
digunakan
untuk menyampaikan
media
permbelajran
ditetapkan
dapat
harus
tercapai.
Untuk itulah diperlukan pula media
pesan dari pengirim pesan kepada
pembelajaran
penerima
dikembangkan untuk memperkarya
pesan
sehingga
dapat
yang
merangsang pikiran, perasaan dan
pelaksanaan
perhatian
anak usia dini.
anak
didik
untuk
tercapaianya tujuan pendidikan.
selalu
pembelajaran
untuk
Pengertian media memiliki multi
Pengembangan media pembelajaran
makna, baik di lihat secara terbatas
untuk anak usia dini sangatlah
maupun
penting dilakukan karena disamping
berbagai macam definisi disebabkan
anak-anak mulai belajar dari hal-hal
karena
yang kongkrit, tersedianya media
sudut pandang, maksud dan tujuan.
pendidikan tersebut memungkinkan
Sehingga banyak orang membedakan
dapat
pengertian media dan alat peraga.
ditumbuhkanya
mandiri,
dasar
budaya pembiasaan
Suatu
secara
adanya
sumber
luas,
munculnya
perbedaan dalam
belajar
dikatakan
kehidupan dikemudian hari. Oleh
sebagai alat peraga manakala hanya
karena itu pada bab ini menyajikan
berfungsi
tentang gagasan media pembelajaran
pembelajaran saja dan sumber belajar
dalam membentuk karakter mandiri
dikatakan
sebagai
media
bila
anak usia dini,
merupakan
bagian
integral
dari
seluruh
Dalam mengajarkan suatu pokok
sebagai
proses
pembelajran.
bahasan materi tertentu harus di pilih media pembelajaran yang paling
102
alat
atau
bantu
kegiatan
Menurut
Sadiman
menjelaskan
media
yaitu
(1986)
seseorang itu akan lebih mudah
segala
dibentuk ketika seseorang masih
sesuatu yang dapat digunakan untuk
berada
menyalurkan pesan dari pengirim
Kemandirian anak usia dini dapat
kepada penerima sehingga dapat
diukur dengan indikator-indikator
merangsang pikiran, perasaan, minat,
yang telah dikemukakan oleh para
serta perhatian siswa sedemikian
ahli,
rupa sehingga proses belajar terjadi.
merupakan pedoman atau acuan
Selanjutnya
menurut
dalam
perkembangan
setidaknya
a.
Setelah mencermati pengertian
peralatan
atau
perangkat
keras
pertumbuhan
ada
tujuh
indikator
Kemampuan Fisik
Dalam hal ini mencakup kemampuan
di atas, bahwa media itu terdiri dari unsur
dan
berikut :
tema atau topik pembelajaran.
yaitu
tersebut
sanan (2010: 103) yaitu sebagai
tersebut biasanya merupakan isi dari
penting
indikator
kemandirian anak usia dini menurut
yang harus dikomunikasikan. Pesan
unsur
kanak-kanak.
anak. Hal ini dapat dilihat dari
situasi
pembelajaran terdapat pesan-pesan
dua
dimana
usia
dalam melihat dan mengevaluasi
Heinich
(2002) media merupakan alat saluran komunikasi.
pada
anak
dalam
hal
memenuhi
kebutuhannya sendiri. Misalnya anak butuh makan, maka secara mandiri
(hardware) dan unsur pesan di
anak harus bisa makan sendiri. Anak
bawanya (software) yang berbentuk
belajar untuk mengenakan pakaian
informasi atau bahan ajar dalam tema
sendiri, membiasakan membersihkan
tertentu yang akan disampaikan atau
diri (mandi atau buang air) sendiri,
dipelajari anak dengan peralatan
dll.
yang digunakan untuk menyajikan
b.
pesan tersebut.
Percaya diri
Kepercayaan diri merupakan sikap
Salah satu karakter dasar yang
individu
yang
dibutuhkan oleh setiap individu agar
keyakinan
bahwa
dapat menjalani kehidupan dengan
mengembangkan
baik adalah karakter mandiri, dan
Perwujudan kemandirian anak dapat
dimana karakter mandiri dalam diri
dilihat dalam kemampuan untuk
103
menunjukkan dirinya rasa
dapat
dihargai.
berani
memilih,
percaya
kemampuannya mengorganisasikan
akan
kemandirian bagi anak usia dini
dalam
dalam rangka peningkatan kualitas
diri
dan
belajar dan kehidupannya.
menghasilkan sesuatu yang baik. c.
Melalui
Bertanggung jawab
yang
beberapa
digunakan
permainan
sebagai
Dalam hal ini ditunjukkan dengan
pembelajaran
kemampuan seseorang untuk berani
masukkan basis bimbingan untuk
menanggung resiko atas konsekuensi
anak usia dini dapat mengeksplor
dari keputusan yang telah diambil.
kemampuan
d.
kemampuan mereka agar bisa hidup
Disiplin
Yaitu
kemampuan
yang
media
dapat
mereka
di
terutama
untuk
mandiri. Dengan aktivitas-aktivitas
mengendalikan diri, karakter dan
yang dapat dilakukan oleh anak
keadaan secara tertib serta efisien.
dalam
e.
diharapkan
Pandai bergaul
sebuah
permainan, anak-anak
maka dapat
Yaitu kemampuan menempatkan diri
mengkonstruksi kegiatan belajarnya
dalam
secara
berinteraksi
dengan
mandiri
dalam
sesamanya (teman sebayanya).
pembentukan
f.
mereka yang akan sangat berguna
Saling berbagi
karakter
upaya
Dalam hal ini ditunjukkan dengan
dalam
kemampuan memahami kebutuhan
dewasa nanti.
orang lain dan bersedia memberikan
Dengan demikian anak-anak akan
apa yang dimiliki untuk memenuhi
dapat belajar sambil bermain yang
kebutuhan orang lain.
dimana
g.
mereka itu memiliki manfaat yang
Mengendalikan emosi
aktivitas bermain
merasa terbebani karena media yang
kejadian yang tidak sesuai dengan
digunakan
keingingannya.
upaya
ketika
mereka sadari sehingga anak tidak
rasa tidak puas pada saat mengalami
menunjukkan
dalam
mereka
sangat besar bagi mereka tanpa
Yaitu kemampuan untuk mengatasi
Melalui
kehidupan
mandiri
disesuaikan
dengan
aktivitas yang sangat identik dengan uraian betapa
pembentukan
di
atas
dunia
pentingnya
anak-anak
bermain.
karakter
104
yaitu
aktivitas
Heinich (2002). Instructional Media
PENUTUP Kemandirian
merupakan
and
potensi
Tecnologies
Learning.
yang harus dikembangkan kepada
Prentice
tidak akan tergantung kepada orang
Sadiman.(1986). Media Pendidikan,
lain, sebab ketergantungan kepada
Pengertian,
orang lain akan menjadi hambatan
dan
dalam mengembangan potensi pada
Jakarta: CV Rajawali.
dirinya. pembahasan
menunjukkan upaya
betapa
di
atas
pentingnya
pembentukan
karakter
kemandirian bagi anak usia dini dalam rangka peningkatan kualitas belajar
dan
kehidupannya
yang
disesuaikan dengan aktivitas yang sangat identik dengan dunia anakanak yaitu aktivitas bermain. DAFTAR PUSTAKA Sanan, Sabri Jamilah, dan Yamin, H Martinis.
2010.
Panduan
Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: GP Press Trianto.
2011.
Hall.
Enggelwood. New Jersey
anak usia dini, anak yang mandiri
Melalui
For
Desain
pengembangan pembelajaran tematik bagi anak usia dini. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
105
Pengembangan Pemanfaatannya.
Pengembangan Model Konseling Individual Dengan Teknik Behavior Contract dan Reinforcement Untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pada Siswa SMP Negeri Kota Madiun Ratih Christiana, Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP PGRI Madiun, Email:
[email protected]
Abstract Self-efficacy is the belief that he is able to organize and take action to fulfill a task.. This study aims to (1) To investigate the implementation of the existing individual counseling at this time. (2) To Know self-efficacy students at SMP Negeri 3 Madiun. (3) Find the model contract engineering individual counseling with the behavior and the strengthening of the self which is effective to increase self-efficacy students (4) Determine the effectiveness of the model contract engineering individual counseling with the behavior and the strengthening of self can increase self-efficacy students. This study is a research and development. This model ,validated by 4 expert guidance and counseling and 3 through the sheet valiadasi expert practitioners and practitioners. The results showed that the model‟s show that the model deserves to be implemented in accordance with the test results This is indicated by changes in the level of self-efficacy of students, before 91 score being given treatment and after, increase 154 score a given treatment and then progress 63 score or increase 25,71%, which is low of 4,54%, enough 56,81%, high 36,36%, and very high 2,27%, which means that there are significant differences in self-efficacy students between before given treatment and after a given treatment. Keywords: model contract engineering individual counseling with the behavior and the strengthening, self-efficacy students.
1.
PENDAHULUAN
kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku kita di masa depan, tanpa self efficacy, individu akan enggan mencoba melakukan suatu perilaku. Self efficacy merupakan karakteristis internal yang mempengaruhi perilaku dan reaksi individu dalam cara yang relatif konstan dan dapat diprediksi serta ditentukan oleh situasi. Self efficacy juga dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari interaksi tentang
Fenomena yang terjadi di masyarakat sikap efikasi diri (self efficacy) merupakan mediator yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan dalam bidang pendidikan. Menurut Bandura (1997), self efficacy menentukan apakah kita akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa kita dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan dan 106
apa yang diketahui orang tentang dirinya dan lingkungannya dan proses dimana seseorang terus menerus mengevaluasi situasinya (Bandura,1997:6). Informasi dari konselor, beberapa siswa ada yang kurang optimal dalam pemenuhan standart pendidikan, tidak mampu belajar dengan baik, berdaya kompetitif yang rendah. Siswa yang kurang memiliki keyakinan dalam mencapai sebuah cita-cita atau tujuan, padahal dalam efikasi diri siswa dituntut untuk yakin dalam pengambilan sebuah keputusan yang tepat dan mampu mengatasi segala tantangan yang ada agar cita-citanya dapat tercapai. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dan data tingkat efikasi diri dari konselor yang dilakukan peneliti kepada pihak kepala sekolah, jika ditinjau tiga tahun terakhir dari tahun 2010 hingga tahun 2013, efikasi diri siswa mengalami penurunan, terbukti siswa lulusan tahun 2013 banyak yang bersekolah di Sekolah Menengah yang dirasa bukan sekolah unggulan. Sekolah yang akan diteliti, dari jumlah 250 siswa yang memiliki efikasi diri tinggi hanya sekitar 111 siswa, sedangkan di sekolah lain dari 198 siswa yang memiliki efikasi diri tinggi sekitar 152 siswa, jadi total siswa yang memiliki efikasi diri rendah adalah 46 siswa, dapat
dikatakan sekolah lain hampir separuh lebih siswa yang mempunyai efikasi diri tinggi, sedangkan sekolah yang akan diteliti belum ada separuh siswa yang memiliki efikasi diri tinggi. Menurut Karneli (2013:369) mengemukakan bahwa ciri-ciri individu dengan self efficacy tinggi, adalah: 1. Individu merasa yakin akan berhasil (mampu), 2. Kinerja tinggi dalam mengerjakan tugas (hasil cepat didapat), 3. Gigih sampai tujuan tercapai, 4. Memikul tanggung jawab secara pribadi dan menginginkan hasil dari kemampuan yang optimal (mandiri), 5. Mampu mengontrol stress dan kecemasan (tidak tertekan), 6. Menganggap tugas sebagai pekerjaan yang menarik, 7. Kreatif dan inovatif. Permasalahan terjadi ketika siswa menunjukkan efikasi diri yang rendah dengan ciri-ciri menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan tugas rumah dari guru, menghindari tugas-tugas sulit dan meragukan kemampuan dirinya maka ketika menghadapi tugas yang sulit, ia akan melarikan diri dari tugas tersebut dan menganggapnya sebagai ancaman pribadi serta menunjukkan ketidakmampuannya
107
menghadapi segala rintangan selama melaksanakan tugas.
perjanjian atau lebih tepatnya dengan kontrak tingkah laku dengan bersikap tidak meragukan kemampuan dirinya, mampu berlatih dan mengontrol diri dari situasi tersebut, dapat mengurangi stress dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang mengancam serta menunjukkan kekuatan serta kegigihannya dalam melakukan suatu tugas sehingga membuat individu tersebut lebih percaya dan lebih yakin dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Kenyataannya pelayanan konseling individu yang selama ini di SMP kota Madiun belum mampu meningkatkan efikasi diri siswa di sekolah, maka dari itulah sebabnya perlu dilakukan pengembangan atau inovasi terhadap konseling individu dengan teknik kontrak tingkah laku (behavior contract) dan penguatan diri (reinforcement), inilah bukti bahwa teknik kontrak tingkah laku (behavior contract) dan penguatan diri (reinforcement) dirasa cukup mampu untuk meningkatkan efikasi diri (self efficacy) siswa. Wilis (2011:6) berpendapat konseling individual adalah bahwa bagaimana seseorang berbicara dengan orang lain dengan tujuan membantu agar terjadi perubahan perilaku kearah positif dari orang yang dibantu.
Tanda perilaku dari siswa dengan efikasi diri rendah adalah : 1. Tidak mampu melakukan aktivitas yang menantang. 2. Tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik. 3. Mengalami trauma akan kegagalan dirinya. 4. Tidak yakin bahwa dirinya bisa berhasil. 5. Kurang mantap dalam melakukan hal yang akan dilakukan. 6. Tidak menunjukkan sikap ulet dan pantang menyerah. 7. Tidak mampu memotivasi dirinya sendiri. 8. Bersikap apatis ketika melihat orang lain berhasil. 9. Tidak mampu mengatasi segala rintangan. 10. Mempunyai pemikiran yang negatif terhadap kemampuan yang dimiliki. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konseling individual adalah bantuan pelayanan ketika siswa menunjukkan efikasi diri yang rendah. Padahal Efikasi merupakan sarana yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan belajar. Persoalan dalam hal ini adalah ketika siswa dan konselor bersepakat untuk meningkatkan efikasi dirinya dengan mentaati 108
Menurut Sutarno (2003:9) Behavior contract yaitu kontrak dari klien dalam proses konseling tentang tingkah laku yang akan diubah dalam bentuk kesediaan klien melakukan sesuatu tingkah laku yang sesuai arah pengubahan tingkah laku. Menurut Edi Purwanta (2012:32) Penguatan diri atau Reinforcement adalah suatu peristiwa yang dihadirkan dengan segera yang mengikuti perilaku, yang menyebabkan perilaku tersebut meningkat frekuensinya. Sekali kejadian yang telah ditentukan fungsinya sebagai pengukuh positif untuk individu tertentu pada situasi tertentu, peristiwa dapat digunakan untuk memperkuat perilaku individu lain pada situasi yang lain Sebagaimana halnya dengan beberapa kontrak pada umumya, Komalasari (2011:174) konrak yang dibuat dalam kelas seharusnya merupakan perjanjian yang didasari oleh alasan yang tepat dan masuk akal, tidak berbelitbelit, serta dapat dilaksanakan bersama antara guru sebagai penyaji reinforcement dan siswa. Menurut Albert Bandura (1997:3) efikasi diri adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu mengatur dan melakukan tindakan untuk memenuhi suatu tugas. Definisi lain dikemukakan oleh Baron
dan Byrne (1997) yang menyatakan bahwa efikasi diri merupakan evaluasi individu mengenai kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi segala rintangan. Teknik ini dipandang sesuai dengan kondisi efikasi diri siswa sebelum diteliti. Adanya teknik ini diharapkan siswa mampu meningkatkan efikasi dirinya jika kelak siswa tersebut dinyatakan siap untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Selain itu, siswa diharapkan memiliki keyakinan baik afektif maupun kognitif guna meningkatkan efikasi diri sehingga mencapai tujuan yang diharapkan yaitu sukses berkelajutan dalam hal akademik. Hal lain yang mendukung penelitian ini adalah belum adanya penelitian sejenis yang mengkaji masalah tersebut, sehingga peneliti memandang topik ini layak dan perlu untuk direalisasikan. 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan atau research and development (R&D), yang proses atau langkah-langkahnya untuk mengembangkan suatu produk atau menyempurnakannya, yang dapat dipertanggungjawabkan (Sukmadinata, 2007:164). Penelitian ini cocok untuk 109
menghasilkan produk berupa produk pelatihan dan bimbingan. Menurut Borg dan Gall (dalam Sukmadinata, 2007:169170), yang meliputi langkahlangkah penelitian pengembangan sebagai berikut: (1). Penelitian dan pengumpulan data, (2). Merencanakan, (3). Mengembangan draf produk awal, (4). Melakukan uji coba lapangan awal, (5). Merevisi hasil uji coba, (6). Melakukan uji coba lapangan, (7). Melakukan revisi terhadap produk operasional, (8). Melaksanakan uji coba lapangan operasional, (9). Melakukan revisi produk akhir, (10). Melakukan diseminasi dan implementasi. Namun penelitian ini hanya sampai langkah ke sembilan, yaitu melakukan revisi produk akhir saja, belum sampai ke tahap deseminasi dan implementasi. Peneliti menggunakan model prosedural yang bersifat mix method atau perpaduan antara kualitatif guna memaknai deskripsi kondisi objektif tentang pelaksanaan layanan konseling individual dengan tekhnik kontrak tingkah laku (contract behavior) dan penguatan diri (reinforcement) untuk meningkatkan efikasi diri pada siswa. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa kelas IX A SMP Negeri 3 Madiun tahun ajaran 2013/2014 yang berjumlah 44 siswa.
Metode eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah single subject design. Hal ini sejalan dengan pendapat Berdasarkan Sukmadinata (2008:23) yang menjelaskan bahwa, “pendekatan dasar dalam eksperimen subjek tunggal adalah meneliti individu dalam kondisi tanpa perlakuan dan kemudian dengan perlakuan dan akibatnya terhadap variabel akibat diukur dalam kedua kondisi tersebut.” Menurut Creswell (2010:244) uraian yang telah dikemukakan maka desain penelitian single subject design dengan tampilan desain A B A yang digunakan dapat digambarkan sebagai berikut: Baseline A 1 Treatment B Baseline A 2 O - O - O - O - X – X – X - O- O - O-O
Keterangan : A1 (X) : Nilai pretest (sebelum diberi model konseling individual dengan teknik kontrak tingkah laku (contract behavior) dan penguatan diri (reinforcement))
A2 (X) : Nilai posttest (setelah diberi model konseling individual dengan teknik kontrak tingkah laku (contract behavior) dan penguatan diri (reinforcement))
B (O) : Intervensi yang di lakukan 110
3.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan pedoman wawancara yang digunakan dalam mencari informasi tentang pelaksanaan layanan konseling individual terkait dengan peningkatan efikasi diri (self efficacy), selanjutnya dengan angket penilaian produk yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari penilaian ahli dan pengguna produk. Angket penilaian produk mengungkap data berupa kritik dan saran tentang kekurangan produk. Data yang diperoleh kemudian melandasi revisi produk, dan yang terakhir dengan skala keefektifan produk digunakan untuk melihat sejauh mana keefektifan konseling individual dengan teknik. Analisis data dilakukan melalui pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menganalisis data yang diperoleh dari penilaian atau pertimbangan ahli (professional judgment), serta subjek uji coba. Data yang bersifat kualitatif adalah deskripsi masukan atau saran serta kritik terhadap produk yang sedang dikembangkan untuk kemudian direvisi kembali oleh peneliti. Sedangkan pendekatan analisis kuantitif menggunakan uji keefekifan produk yang bertujuan untuk uji efektifitas penelitian, setelah semua data diperoleh pada baseline A1, intervensi, dan baseline A2 maka dibuat analisis data. Pada penelitian dengan subjek tunggal ini, data disajikan dengan menggunakan tabel dan grafik.
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
3.1 Hasil Penyajian Data Penelitian Untuk mengungkapkan efikasi diri (self efficacy) siswa pada subjek penelitian. Peneliti menggunakan skala efikasi diri (self efficacy scale) yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya. Skala efikasi diri (self efficacy scale) yang terdiri dari 22 Item pernyataan diberikan kepada sampel penelitian yang berjumlah 44 siswa. Untuk mengetahui profil masing-masing variabel dan sub variabel efikasi diri (self efficacy), dapat diketahui melalui prosentase perolehan skor efikasi diri (self efficacy) siswa, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: Tabel 3.1 Persentase Skor efikasi diri (self efficacy) SMP Negeri 3 Kota Madiun No Klasifikasi Jumlah Siswa Prosentase 1 Rendah 2 4,54 % 2 Cukup 25 56,81 % 3 Tinggi 16 36,36% 4 Sangat Tinggi 1 2,27% Total 44 100 %
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas, peneliti paparkan dalam bentuk diagram batang grafik hasil perolehan skor efikasi diri (self efficacy), sebagaimana tertera pada bagan di bawah ini:
111
Gambar 3.1
Berikut ini di uraikan tentang rangkuman hasil penyajian data model konseling individual dengan kontrak tingkah laku (behavior contract) dan penguatan diri (reinforcement) untuk meningkatkan efikasi diri (self efficacy) siswa, ditinjau dari konsep sumatif. Paparan lebih jelasnya disajikan dalam tabel berikut ini:
Sebaran Tingkat Efikasi Diri (Self Efficacy) Siswa Kelas IX
Tabel 3.2 Hasil Uji Efektivitas Skor Sebelum Perlakuan (Pretest) dan Sesudah Perlakuan (Posttest) Model Konseling Individual Dengan Kontrak Tingkah Laku (Behavior Contract) Dan Penguatan Diri (Reinforcement) Untuk Meningkatkan Efikasi Diri (Self Efficacy) Siswa.
Selanjutnya peneliti paparkan gambaran masing-masing sub indikator efikasi diri (self efficacy) yaitu sikap, perasaan, keyakinan, dan pikiran. Jumlah item pada sub variable Efikasi Diri (Self Efficacy), sikap adalah 5 item, dalam tabel pengolahan skor diperoleh skor total untuk sub variabel aspek memikul tanggung jawab secara pribadi dan gigih sampai tujuan tercapai, yaitu: 605.
Sebelum Perlakuan Skor Ket Tidak 1. VT 43 mampu Tidak 2. AR 48 mampu Rata2 91 Keterangan :
No Res
No. Hasil Uji Efektivitas Penerapan Pengembangan Model Konseling Individual Dengan Kontrak Tingkah Laku (Behavior Contract) dan Penguatan Diri (Reinforcement) 3.2 Pembahasan Hasil Penyajian Data Penelitian
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
112
Sesudah Perlakuan Skor Ket
Kriteria Sangat mampu sekali Sangat mampu Mampu Cukup mampu Kurang mampu Tidak mampu Tidak mampu sama sekali
Skor
74 Mampu 31 Sangat 32 mampu 154 63
80
Rentang Skor 92 – 84 83 – 75 74 – 66 65 – 57 56 – 48 47 – 39 38 – 30
Pro gres 26,49% 25% 25,71%
Peningkatan Efikasi Diri (Self Efficacy) pada siswa kelas IX SMP Negeri 3 Madiun semakin terlihat melaui grafik berikut ini: 1. Siswa VT Tabel 3.3 Rangkuman Hasil Skor Sebelum Perlakuan (Pretest) dan Sesudah Perlakuan (Posttest) Model Konseling Individual Dengan Kontrak Tingkah Laku (Behavior Contract) Dan Penguatan Diri (Reinforcement) Untuk Meningkatkan Efikasi Diri (Self Efficacy) Siswa VT. No 1
Pretest
Posttest
x 100% = 30%
x 100% = 70%
2.
x 100 % = 50%
x 100% = 83,3%
3.
x 100% = 47,36%
4.
x
100%
x
100%
2. Siswa AR Tabel 3.4 Rangkuman Hasil Skor Sebelum Perlakuan (Pretest) dan Sesudah Perlakuan (Posttest) Model Konseling Individual Dengan Kontrak Tingkah Laku (Behavior Contract) Dan Penguatan Diri (Reinforcement) Untuk Meningkatkan Efikasi Diri (Self Efficacy) Siswa AR.
=
78,94% = 79% =
x 100% = 64,6%
44,61% Rt
x 100% = 42,99= 43
x 100% = 74,2%
Gambar 3.2 Rangkuman Hasil Skor Sebelum Perlakuan (Pretest) dan Sesudah Perlakuan (Posttest) Model Konseling Individual Dengan Kontrak Tingkah Laku (Behavior Contract) Dan Penguatan Diri (Reinforcement) Untuk Meningkatkan Efikasi Diri (Self Efficacy) Siswa VT.
No 1.
Pretest x 100% =
Posttest x 100% = 90%
50% 2.
x 100 % = 50%
x 100% = 83,3%
3.
x 100% =
x 100% =
42% 4.
x 100% = 49%
78,94% = 79% x 100% = 64,6%
Rt2
x 100% = 47,75= 48
113
x 100% = 80,3%
Gambar 3.3 Rangkuman Hasil Skor Sebelum Perlakuan (Pretest) dan Sesudah Perlakuan (Posttest) Model Konseling Individual Dengan Kontrak Tingkah Laku (Behavior Contract) Dan Penguatan Diri (Reinforcement) Untuk Meningkatkan Efikasi Diri (Self Efficacy) Siswa AR.
dan Sesudah Perlakuan (Posttest) Model Konseling Individual Dengan Kontrak Tingkah Laku (Behavior Contract) Dan Penguatan Diri (Reinforcement) Untuk Meningkatkan Efikasi Diri (Self Efficacy) Siswa VT dan siswa AR.
Berdasarkan pada tabel 3.4 dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan Efikasi Diri (Self Efficacy) pada siswa. Rata-rata perubahan yang terjadi adalah sebesar 63 atau 25,71% dari data awal 91 menjadi 154. Dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi peningkatan Efikasi Diri (Self Efficacy) pada siswa antara sebelum dan sesudah diberikan konseling individual dengan kontrak tingkah laku (behavior contract) dan penguatan diri (reinforcement).
Berdasarkan paparan gambar 3.4 menunjukkan bahwa kecenderungan efikasi diri siswa kelas IX SMP Negeri 3 Madiun tahun ajaran 2013/2014 dilihat dari delegasi terendah siswa berada pada kategori mampu dengan presentasi kenaikan 63 skor, hal tersebut dapat diartikan bahwa siswa sudah mampu dalam mengembangkan efikasi dirinya, yang artinya siswa sudah memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai kesuksesan dan menghadapi rintangan dalam hal
Gambar 3.4 Diagram Batang Rangkuman Hasil Skor Sebelum Perlakuan (Pretest) 114
Theory and Research 10th, Ed. Alih Bahasa Aliya, dkk. Jakarta: Salemba Humanika
kognitif dan afektif serta sukses akademik berkelanjutan. 4
REFERENSI Ahmad Nor Mutaqin. 2010. “Konseling Individual Bagi Siswa yang Tidak Lulus UN Di SMK Muhammadiyah 1 Moyudan Sleman”. Jurnal Counselia, Volume 2 No.2.Hal 36-42.
Creswell, John W. 2010. Research Design and Mixed Methods Approach- Third Edition. Alih Bahasa Achmad Fawaid. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Dahlia Novarianing Asri. 2006. “Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Ditinjaudari Efikasi Diri, Persepsi Dukungan Social Dan Strategi Mengatasi Masalah Aktif “. Tesis. Yogyakarta : Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Gadjah Mada.
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Ayu Nuzulia Rahma. 2011. ““Hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan”. Jurnal Psikologi Islam, Volume 8 N0.2.Hal 231-246
Diana Ariswanti Triningtyas. 2013. “Studi Kasus Tentang Rasa Percaya Diri, Faktor Penyebabnya dan Upaya Memperbaiki dengan Menggunakan Konseling Individual”. Jurnal Counselia, Volume 3 No.1.Hal 48-55.
Azwar, Saifuddin. 2003. Reliabilitas dan Validitas (Edisi III). Yogyakarta: Pustaka Pelajar ______________ . 2011. Tes PrestasiFungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Edi Purwanta. 2012. Modifikasi Perilaku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baron, R.A. & Byrne, D. 1997. Social Psychology : Understanding Human Interaction. Sixth Edition. Boston : Allyn & Bacon
Fauziah J.P & Endang . 2012. “Hubungan Antara Efikasi Diri dengan Perilaku Mencari Pengobatan pada Penderita Kanker Payudara di RSUD Ibnu Sina Gresik”. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental , Vol. 1 No. 02, Juni. Hal 138144.
Bandura, A. 1997. Self-Efficacy. The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company. Cervone, D & Pervin, A, Lawrence. 2012. Personality:
115
Feist, J. & Feist, G.J. 1998. Theories of Personality. Boston: McGraw-Hill, Inc.
Mungin Eddy Wibowo. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang : UNNES PRESS
Friedman, S, Howard & Schustack, W, Miriam. 2008. PERSONALITY Classic Theories and Modern Research. Alih Bahasa Fransisca, Maria, & Andreas. Jakarta: Erlangga
Nurihsan, Ahmad Juntika. 2010. Strategi Layanan Bimbingan & Konseling. Bandung : PT Refika Aditama.
Gibson, L, R & Mitchel, H, M. 2011. Introduction to Counseling and Guidance. Alih Bahasa Yudi Santoso. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
O‟Banion, D. R., & Whaley, D. L. (1981). Behavioral Contracting: Arranging Contingencies of Reinforcement. New York, New York: Springer.
Kirschenbaum, D. S., & Flanery, R. C. (1983). Behavioral Contracting: Outcomes and Elements. In M. Hersen, R. M. Eisler, & P. M. Miller (Eds.) Progress in Behavior Modification (pp. 217-275). New York: Academic Press.
Pervin, L.A. & Oliver, J.P. 2001. Personality : Theory and Research. John Wiley & Sons. Samuel, T, Gladding. 2012. Counseling : a Comprehensive Profession, Sixth Edition. Alih Bahasa Winarno & Lilian. Jakarta : PT. Indeks
Komalasari, Gantina. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. Indeks Luthfi Fauzan. 2012. Teknik Kontrak Perilaku. Jakarta : PT. Indeks
Sukardi, D.K dan D. Nila Kusumawati. 2008. Proses Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta.
Martin, Garry & Pear, Joseph. 1983. Behavior Modification. New Jersey : Prentice-Hall. Inc, Englewood Cliffs.
Sukmadinata, N, S. 2007. Bimbingan Konseling dalam Praktek. Bandung: Maestro
Muh Chotim. 2013. “Penerapan Teknik Reinforcement Untuk Meningkakan Penyelesaian Tugas Anak TK Kartika IV21 Madiun”. Jurnal Counselia, Volume 2 No.1.Hal 34-39.
Sunanto, Juang, dkk. 2005. Pengantar Penelitian dengan Subyek Tunggal. CRIED :University of Tsukuba
116
Septi, R. Henny, I. , dan M, Ramli. 2011. Paket Pelatihan Efikasi Diri Untuk Mengatasi Kecemasan Siswa Dalam Mengahadapi Ujian. Malang: UNM FIP Laboratorium BK.
Willis, Sofyan. 2012. Psikologi Pendidikan. Bandung:Alfabeta ____________.2011. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Winkel,.W.S. 2004. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Yeni Karneli. 2013. “Keefektifan Konseling Modifikasi Kogintif Perilaku Untuk Meningkatkan Efikasi Diri Akademik Siswa”. Prosiding Seminar Internasional Malindo-3 „The Heart and Soul of Counseling : A Reflection‟. Hal 367-372
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:Alfabeta ________ . 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung : Alfabeta Sutarno. 2003. Garis Besar Bahan Ajar Model-Model Konseling. Surakarta: UNS FKIP Program Studi BK
117
PROKRASTINASI AKADEMIK MAHASISWA DITINJAU DARI PERSPEKTIF MULTIBUDAYA Dahlia Novarianing Asri
ABSTRAK Prokrastinasi merupakan masalah umum yang terjadi di bidang akademik dan menjadi sesuatu yang mengancam bagi pelakunya. Prokrastinasi akademik seringkali terjadi pada siswa sekolah, bahkan mahasiswa yang cenderung menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan.Kegagalan dalam mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan untuk mencapai suatu tujuan merupakan ciri khas dari prokrastinasi. Di berbagai negara dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda, prokrastinasi akademik khususnya pada mahasiswa telah banyak diteliti. Berdasarkan hasil penelitian tentang prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang banyak terjadi di negara-negara Timur, serta hasil penelitian tentang keseriusan belajar yang berkaitan dengan variabel motivasi belajar, dengan membandingkan pada budaya yang berbeda yang dinilai cukup mewakili antara Budaya Barat dan Budaya Timur, maka dapat disimpulkan bahwa dibandingkan dengan pelajar atau mahasiswa di Budaya Timur, mahasiswa di Budaya Barat lebih serius dalam mengikuti proses belajar sehingga mengurangi kecenderungan untuk melakukan prokrastinasi akademik. Kata kunci: prokrastinasi akademik, dan perspektif multibudaya
guru. Perilaku menunda pekerjaan
A. PENDAHULUAN Di bidang akademik, siswa
atau menyelesaikan tugas dikenal
dituntut untuk memiliki kompetensi
dengan
belajar, kedisiplinan belajar, dan
Prokrastinasi
motivasi belajar yang tinggi sehingga
lingkungan akademik dikenal dengan
dapat mencapai prestasi belajar, dan
istilah prokrastinasi akademik.
dapat menyelesaikan proses belajar
Prokrastinasi
dengan
tepat
waktu.
Namun
istilah
perilaku
prokrastinasi.
yang
yang
terjadi
di
merupakan
umum
terjadi,
kenyataannya, masih banyak siswa
khususnya dalam bidang pendidikan.
yang
memenuhi
Prokrastinasi merupakan kegagalan
Hal
dalam
belum
tuntutan
mampu
tersebut.
ini
mengerjakan
dikarenakan masih banyak siswa
seharusnya
yang tidak disiplin dalam belajar
mencapai
termasuk menunda pekerjaan atau
Dibandingkan
tugas akademik yang diberikan oleh
mempersiapkan
118
apa
dikerjakan suatu dengan ujian
yang untuk tujuan. belajar dan
mengerjakan tugas, prokrastinator
terjadi di bidang akademik sehingga
cenderung
perlu
menghabiskan
waktu
dipahami
untuk kegiatan yang menyenangkan
pencetus
seperti menonton televisi, film, atau
bentuk-bentuk
pergi
temannya(Asikhia,
akademik, serta pola-pola perilaku
dkk.
prokrastinasi akademik mahasiswa di
bahwa
berbagai negara dengan budaya yang
bersama
2010).Dietz (2007)mengungkapkan prokrastinasi
akademik
yang
terjadinya
faktor-faktor prokrastinasi, prokrastinasi
berbeda-beda.
dilakukan oleh pelajar tergantung pada orientasi nilai yang dimiliki.
B. PEMBAHASAN
Orientasi nilai modern cenderung
Dinamika
psikologis
lebih memfokuskan pada materi-
munculnya
materi akademik yang dipelajari,
ketika
prokrastinasi
memiliki tujuan di masa depan, dan
sebagai
usaha
bekerja lebih giat, sedangkan nilai
menghindari
ancaman,
dan
postmodern
mendapatkan
kenyamanan
dalam
dikarakteristikkan
prokrastinasi
terjadi
dipandang
sementara
untuk
dengan lebih menyukai aktivitas
waktu sesaat. Ancaman ini direspon
sosial
dan
dengan
untuk
kegiatan.
menghabiskan
penghindaran
sehingga
penelitian
melakukan penundaan dalam bentuk
menunjukkan bahwa pelajar yang
tindakan. Menurut Milgram dkk.
memiliki nilai postmodern cenderung
(1998) penjelasan prokrastinasi ini
menunda aktivitas belajar dan lebih
konsisten
banyak menghabiskan waktu untuk
prokrastinasi
aktivitas yang menyenangkan.
avoindance, yang menyatakan bahwa
Prokrastinasi
orang akan menilai apakah situasi
khususnya
yang
Hasil
waktu
akademik, dialami
dengan
model
appraisal-anxiety-
oleh
tertentu menimbulkan ancaman bagi
mahasiswa tidak hanya terjadi di
siswa, dan apakah siswa memiliki
Indonesia, namun juga terjadi di
sumber daya yang efektif untuk
berbagai negara dengan budaya yang
menghadapi ancaman tersebut. Jika
berbeda-beda. Melihat fenomena ini,
siswa memandang usahanya tidak
dapat diartikan bahwa prokrastinasi
efektif, maka akan menimbulkan
merupakan masalah yang umum
stress
119
atau
reaksi
kecemasan.
Meskipun siswa mencoba untuk
yang
menghentikan,
digolongkan sebagai prokrastinasi.
namun
seringkali
lebih
siswa tidak belajar dari pengalaman
buruk
Dari
saja
sudut
yang
pandang
sebelumnya. Hal ini dikarenakan
psikologi, terdapat sejumlah teori
penguatan negatif memainkan peran
besar yang mendasari pemikiran
penting
mengulangi
mengenai prokrastinasi akademik.
penundaan sehingga ketika tidak ada
Mendefinisikan prokrastinasi dapat
konsekuensi atau hukuman yang
ditinjau
diterimanya maka siswa cenderung
Psikodinamika, Behaviorisme, dan
akan mengulangi penundaan. Dengan
Cognitive-Behavioral.
menunda dapat meredakan stres yang
a. Psikodinamika.
dalam
dari
bersifat sementara. Menurut
perspektif
Penganut Siaputra
(Ursia
beranggapan
psikodinamika
bahwa
pengalaman
dkk., 2013), dari segi karakteristik
masa
individual,
kesibukan
mempengaruhi perkembangan proses
individu yang tercermin dari jumlah
kognitif seseorang ketika dewasa,
jam kerja, jumlah tugas yang harus
terutama trauma. Seseorang yang
diselesaikan, serta jumlah waktu
pernah mengalami trauma akan suatu
luang, sedikit banyak berperan dalam
tugas
menentukan terjadinya prokrastinasi
menyelesaikan
akademik. Oleh karena itu, semakin
akan
banyak tugas yang menjadi tanggung
prokrastinasi ketika ia dihadapkan
jawab individu, semakin besar pula
lagi pada suatu tugas yang sama.
kemungkinan
Orang tersebut akan teringat pada
tingkat
individu
akan
kanak-kanak
tertentu,
pengalaman
kasus
penundaan
yang
misalnya tugas
gagal
sekolahnya,
cenderung
melakukan penundaan tugas. Dalam demikian,
akan
kegagalan
melakukan
maupun
tidak
semua
perasaan tidak menyenangkan yang
terjadi
dapat
pernah dialami pada masa lalu,
dikategorikan sebagai prokrastinasi.
sehingga
Hanya penundaan yang berakhir
mengerjakan tugas sekolah, yang
dengan
dipersepsikannya
dampak
negatif
atau
setidaknya mengakibatkan hasil kerja
individu
menunda
akan
mendatangkan perasaan seperti masa lalu (Ferrari dkk, 1995).
120
Berkaitan dengan konsep
anak terlalu cemas dalam memenuhi
tentang penghindaran tugas, Freud
tuntutan
(Ferrari
menyatakan
dirinya sendiri di masa yang akan
bahwa seseorang yang dihadapkan
datang. Orang tua yang terlalu keras,
pada tugas yang mengancam ego
atau otoriter harus bertanggungjawab
pada
dalam
dkk,
alam
1995)
bawah
menimbulkan
sadar
akan
ketakutan
yang
dibebankan
menghasilkan
anak
pada
yang
dan
underachiever yang menginginkan
kecemasan. Perilaku penundaan atau
kebebasan dari orang tuanya dengan
prokrastinasi merupakan akibat dari
cara
penghindaran
kewajiban yang harus dilakukan
tugas
mekanisme
dan
sebagai
pertahanan
diri.
penundaan
untuk
penilaian
yang
menghindari dirasakan
akan
kewajiban-
sesuai dengan tuntutan orang tua.
Seseorang bisa secara tidak sadar melakukan
mengabaikan
b. Behaviorisme. Penganut
aliran
Behaviorisme beranggapan bahwa
mengancam
perilaku
prokrastinasi
akademik
keberadaan ego atau harga dirinya.
muncul akibat proses pembelajaran.
Akibatnya, tugas yang cenderung
Seseorang yang pernah merasakan
dihindari
sukses
atau
yang
tidak
dalam
diselesaikan adalah jenis tugas yang
sekolah
mengancam ego seseorang, seperti
penundaan,
menghindari
tugas-tugas
sekolah
mengulangi
sebagaimana
tercermin
dalam
melakukan
cenderung lagi
akan
perbuatannya.
dijadikan hadiah (reward) untuk dkk,
mengulangi perilaku yang sama di
1995) menegaskan bahwa dalam
masa yang akan datang (Bijou dkk,
membesarkan anak dengan cara yang
dalam
salah
mengakibatkan
Sebaliknya, prokrastinasi yang sering
prokrastinasi
dilakukan oleh banyak siswa, belum
dapat
munculnya
(Ferrari
dengan
tugas
Sukses yang pernah dia rasakan akan
perilaku prokrastinasi akademik. MacIntyre
melakukan
perilaku
Ferrari
1995).
pada saat anak sudah dewasa. Orang
cukup
tua
akan
punishment. Mengenai reward dalam
“nervous
prokrastinasi, McCown & Johnson
menjadikan
(Ferrari, 1995) menguji teori-teori
yang
terlalu
permisif
menghasilkan underachiever”
yang
121
banyak
dkk,
mendapatkan
reinforcement pada siswa dengan
semester
melihat apa yang dilakukan siswa
mengerjakan
ketika
mingguan,
melakukan
prokrastinasi.
atau
menunda
untuk
pekerjaan maka
rumah
kencederungan
Diperoleh hasil bahwa siswa banyak
untuk menunda belajar untuk ujian
terlibat dalam kegiatan yang lebih
semester
lebih
besar
daripada
menyenangkan
menunda
mengerjakan
pekerjaan
daripada
belajar.
Dibandingkan siswa yang introvert,
rumah minggguan. Kecenderungan
siswa
cenderung
tersebut timbul karena resiko nyata
melakukan kegiatan dengan banyak
akibat menunda pekerjaan rumah
orang. Terlepas dari hal tersebut,
mingguan
siswa cenderung melakukan kegiatan
dihadapi/diterima
yang
akibat menunda belajar untuk ujian
yang
extrovert
dipandang
menyenangkan
lebih daripada
daripada melakukan kegiatan belajar.
semester.
Selain itu, siswa yang melakukan
c. Cognitive-Behavioral.
prokrastinasi
cepat resiko
cenderung
Ellis dan Knaus (Ferrari
menganggap bahwa tugas yang harus
dkk, 1995) memberikan penjelasan
dikerjakan
tidak
tentang prokrastinasi akademik dari
menyenangkan. Hal ini menunjukkan
sudut pandang Cognitive-Behavioral.
utilitas dari paradigma behavioral
Prokrastinasi
dalam
karena adanya keyakinan irrasional
bersifat
menguraikan
penyebab
terjadinya prokrastinasi. Prokrastinasi
yang
akademik
dimiliki
oleh
terjadi
seseorang.
akademik
Keyakinan irrasional tersebut dapat
cenderung dilakukan pada jenis tugas
disebabkan karena memiliki standar
sekolah yang memiliki konsekuensi
yang terlalu tinggi, dan adanya
hukuman (punishment) dalam jangka
kesalahan dalam mempersepsikan
waktu yang lama. Hal itu bisa terjadi
tugas sekolah, seperti memandang
karena konsekuensi hukuman yang
tugas sebagai beban yang berat dan
akan dihadapi kurang begitu kuat
tidak menyenangkan (aversiveness of
untuk
the task) serta takut mengalami
menghentikan
prokrastinasi.
kegagalan
(fear
seseorang terpaksa harus memilih
Akibatnya,
siswa
untuk
mampu
menunda
Misalnya,
perilaku
belajar
jika
ujian
122
untuk
of
failure).
merasa
tidak
menyelesaikan
tugasnya secara memadai, dan pada
inginmenyelesaikan
akhirnya
tetapigagaluntuk melakukan aktivitas
menunda
penyelesaian
tugasakademis
tugas tersebut. Untuk menghindari
yang
konsekuensi
waktuyang diharapkan.
emosional
dari
diinginkandalam
kegagalan ini, prokrastinator mulai
Menurut
menunda tugas hingga siswa tidak
(2007)
dapat
adalah
menyelesaikan
secara
jangka
Schraw
prokrastinasi perilaku
dkk.
akademik
yang
sengaja
memuaskan. Pengerjaan tugas yang
menunda atau menunda pekerjaan
buruk
yang harus diselesaikan. Siswa yang
oleh
prokrastinator
dapat
menyalahkan waktu karena adanya
prokrastinasi
keterbatasan waktu, atau rasa malas,
sejumlah stimulus untuk melakukan
daripada memberikan alasan karena
aktivitas yang harus dilakukan dalam
ketidakmampuannya
suatu waktu. Solomon dan Rothblum
dalam
menyelesaikan tugas. Dari
tidak
memiliki
(1984) mendefinisikan prokrastinasi
pengertian
dasar
akademik
sebagai
kecenderungan
mengenai prokrastinasi, selanjutnya
untuk: 1) selalu atau hampir selalu
beberapa
menunda tugas akademik, 2) selalu
ahli
memberikan
pengertian prokrastinasi akademik.
atau
Menurut Rothblum dkk. (Ferrari dkk,
problema
1995)
diasosiasikan dengan prokrastinasi.
prokrastinasi
didefinisikan
akademik
sebagai
suatu
hampir
Steel
selalu
mengalami
kecemasan
(2007)
yang
menyatakan
kecenderungan untuk selalu atau
prokrastinasi merupakan salah satu
hampir
selalu
akademik,
menunda
tugas
masalah dalam kehidupan sehari-hari
kecenderungan
untuk
dan dalam seting pendidikan, serta
selalu atau hampir selalu mengalami
dianggap
problema
merusak/mengganggu
kecemasan
yang
diasosiasikan dengan prokrastinasi.
akademik.
Lebih lanjut, Senecal dkk. (1995)
Tipe
sebagai
perilaku
yang
prestasi
prokrastinasi
dapat
menyatakan prokrastinasi akademik
dibedakan berdasarkan karakteristik
dapat
yang dimiliki siswa yang melakukan
dipahami
sebagai
suatu
keadaan seseorang yang mungkin
prokrastinasi.
bahkan
menguraikan
seharusnya
123
Asikhia tipe
(2010)
prokrastinasi
menjadi dua, yaitu: 1) implosive
kemampuan dalam memenuhi tugas
prokrastinator,
sesuai
ditandai
dengan
dengan
deadlines. aktif
dan
Baik
kurangnya kontrol diri, kurangnya
prokrastinator
pasif,
motivasi dalam mencapai tujuan,
berbeda dalam dimensi kognitif,
kurangnya usaha dan kemampuan
afektif, dan behavioral.
mengorganisir. Tipe prokrastinasi ini
Bentuk-bentuk prokrastinasi
sering dikaitkan dengan masalah
akademik dibedakan menjadi enam,
dalam
yaitu:
mempersepsikan
dan
1)
penundaan
dalam
mengestimasi waktu; 2) perfectionist
melaksanakan kewajiban atau tugas-
procrastinator,tipe dengan
kesiapan
ini
ditandai
tugas menulis (laporan, makalah);2)
untuk
bekerja
penundaan
belajar
untuk
namun menghindari aktivitas. Tipe
menghadapi ujian; 3)
prokrastinasi ini ditandai dengan
untuk membaca buku atau referensi
adanya
yang
distorsi
kognitif
atau
pemikiran
tentang
kegagalan.
Berbeda
dengan
Asikhia,
Seo(2013)menyatakan
bahwa
berkaitan
penundaan
dengan
tugas
akademik; 4)penundaan tugas-tugas administrasi
(menyalin
catatan,
mengisi daftar hadir kegiatan); 5)
prokrastinasi dibedakan menjadi dua
penundaan
yaitu
kegiatan
active
procrastinatordanpassive
untuk
menghadiri
pembelajaran;
dan
6)
penundaan kinerja akademik secara
procrastinator.Yang
dimaksud
keseluruhan (menunda mengerjakan
active procrastinator adalah sengaja
atau
membuat keputusan untuk menunda,
akademik
lebih termotivasi untuk bekerja di
Semua
bawah tekanan dalam mencapai hasil
tersebut menjadikan pelajar tidak
yang memuaskan, sedangkan passive
dapat
procrastinator
dengan
adalah
penundaan
dalam menyelesaikan tugas hingga waktu-waktu perasaan
terakhir
bersalah
dan
menyelesaikan
tugas-tugas
secara
keseluruhan).
kegiatan
prokrastinasi
meraih
prestasi
baik
akademik
(Solomon
dan
Rothblum, dalam Ferrari dkk., 1995).
dengan
Mahasiswa prokrastinator di
disertai
berbagai
negara
dengan
latar
depresi. Perbedaan utama dalam dua
belakang budaya yang berbeda-beda
tipe
memiliki bentuk-bentuk prokrastinasi
prokrastinasi
terletak
pada
124
akademik yang berbeda pula. Hal ini
Hasil
penelitian
yang
diungkap dari hasil-hasil penelitian
dilakukan Azure (2011)menunjukkan
tentang
bahwa
prokrastinasi
akademik,
prevalensi
seperti yang dilakukan oleh Ellis dan
prokrastinasi
Knaus (dalam Ferrari dkk., 1995)
mahasiswa
menunjukkan 95% mahasiswa di
University of Education Winneba
Amerika melakukan prokrastinasi.
Ghana adalah menulis paper, diikuti
Solomon
(1984)
dengan prokrastinasi dalam belajar
melakukan penelitian dengan hasil
menghadapi ujian, tugas membaca
50% siswa mengalami prokrastinasi
rutin, menunda tugas administrasi,
akademik
prokrastinasi
dan
pada
Rothblum
separuh
waktu
yang
tertinggi dialami
pascasarjana
dalam
oleh di
kehadiran
terakhir, dan 38% kadang-kadang
akademik, dan prevalensi terendah
mengalami prokrastinasi. Studi yang
adalah menunda kegiatan akademik
dilakukan
secara umum. Penelitian lain yang
oleh
Yakub
(dalam
Zeenath dkk., 2012) menemukan dari
dilakukan
287 mahasiswa di Malaysia yang
menunjukkan
akan menghadapi ujian, 80% siswa
sejumlah 261 mahasiswa Jurusan
mengalami
dengan
Psikologi Pendidikan di universitas
rincian 32,5% mempersiapkan ujian
di Canada Barat yang sebagian besar
dua minggu sebelum ujian, 20%
(239 atau 92%) mahasiswa asli orang
mempersiapkan ujian pada menit-
Canada, dan (16 atau 6%) mahasiswa
menit
setelah
berasal dari kawasan Asia Timur dan
dan
Asia Utara, memiliki kecenderungan prokrastinasi yang terdapat pada lima
prokrastinasi,
terakhir,
menyelesaikan
tugas,
Klassen
dkk.
bahwa
(2008)
responden
mempersiapkan
ujian
tergantung
pada
siswa,
sehingga
domain
akademik,
yaitu
mengalami
menulis
merupakan
prokrastinasi
mood
mayoritas
mahasiswa
tugas
prokrastinasi dalam mempersiapkan
yang paling besar dialami, diikuti
menghadapi ujian. Haycock dkk.
dengan prokrastinasi tugas untuk
(1998)
belajar,
menemukan
prokrastinasi
tugas
untuk
meneliti,
terjadi pada mahasiswa strata tiga
membaca materi, dan bertanya lebih
yang gagal dalam menyelesaikan
lanjut
disertasi.
materi yang diajarkan.
125
kepada
instruktur
tentang
Penelitian
di
Indonesia,
mengkaitkan prokrastinasi dengan
bentuk prokrastinasi akademik yang
karakteristik
dilakukan siswa ditunjukkan dari
seperti
hasil penelitian Safira dan Suharsono
jenjang pendidikan, dan pekerjaan.
(2013).
Hasil
Hasil
penelitian
demografis
usia,
status
penelitian
sampel,
perkawinan,
menunjukkan
menunjukkan bahwa siswa kelas IX
bahwa: 1) Usia tidak berpengaruh
program akselerasi di SMA Kota
terhadap tiga
Malang
(arousal, decisional, dan avoidant)
menunjukkan
52,1%
prokrastinasi
menunjukkan prokrastinasi akademik
2)
tinggi, artinya siswa menunda-nunda
terhadap tiga jenis prokrastinasi.
mengerjakan
Wanita
mengerjakan
tugas, tugas,
terlambat tidak
sesuai
lebih
Jenis
jenis
kelamin
memiliki tinggi
berpengaruh
kecenderungan
dalam
melakukan
deadline yang telah ditentukan, dan
prokrastinasi, dalam arti wanita lebih
mendahulukan aktivitas lain saat
ragu-ragu daripada pria; 3) Tidak ada
mengerjakan
sedangkan
perbedaan yang signifikan antara
prokrastinasi
prokrastinasi dengan jumlah anak
tugas,
47,9%
tergolong
rendah,
artinya
mengerjakan
siswa
tugas,
segera
yang dimiliki partisipan; 4) Tidak
waktu
ada perbedaan yang signifikan antara
tepat
mengerjakan tugas, antara rencana
prokrastinasi
dan aktulisasi sesuai, serta fokus
perkawinan;
terhadap
menikah
dilaporkan
memiliki
decision
procrastination
daripada
tugas
yang
ingin
diselesaikan. Dalam
situasi
dengan 6)
status
Partisipan
yang
personal,
partisipan yang belum menikah atau
individu dewasa Spanyol memiliki
berpisah; 7) Ada perbedaan antara
karakteristik
tertentu
white-collar workers (administrasi,
yang dikaitkan dengan prokrastinasi.
guru, dokter, dll) dan blue-collar
Diaz-Morales dkk. (2006) melakukan
workers (ibu rumah tangga, sales,
penelitian dengan
atau
demografis
membagi
tiga
pekerja
yang
tidak
bentuk prokrastinasi kronis yaitu
membutuhkan ketrampilan) dengan
avoidant procrastination, decisional
pendidikan dasar.
procrastination,
dan
procrastination.
Peneliti
arousal
Dalam
akan
beberapa
126
situasi hasil
akademik, penelitian
menunjukkan prokrastinasi akademik
dibandingkan partisipan dari Canada,
dapat terjadi pada mahasiswa di
di
berbagai negara. Ferrari dkk. (1995)
menunjukkan
melakukan
dengan
dan efikasi diri dalam regulasi diri
yang
yang lebih tinggi. Peneliti menduga
melakukan prokrastinasi akademik di
hasil penelitian ini dipengaruhi oleh
beberapa negara yaitu Australia,
pola
Peru, Spanyol, United Kingdom,
ditunjukkan partisipan Asia Timur
United States, dan Venezuela. Hasil
dan Amerika Utara, di mana secara
penelitian
budaya,
menggali
penelitian individu
dewasa
menunjukkan
prokrastinasi
bahwa
mana
orang
Canada
positive
merespon
lebih
self-image,
yang
sering
dibandingkan
dengan
merupakan
partisipan Asia Timur, partisipan dari
permasalahan umum yang dialami
Amerika Utara lebih sering menilai
oleh
positif atribut pribadi.
mahasiswa,
dan
jenis
prokrastinasi akademik yaitu arousal dan
avoidant
Ferrari dkk. (2006) meneliti
procrastination
120 mahasiswa perguruan tinggi di
ditunjukkan pada semua partisipan
Timur
lintas budaya. Klassen dkk. (2009)
menunjukkan bahwa prokrastinator
melakukan
penelitian
melakukan
prokrastinasi
yang
tentang
dikorelasikan
karena
regulasi
dihadapi
dan
kecemasan
Hasil
penelitian
penundaan
menyelesaikan
dengan harga diri, efikasi diri dalam diri,
Tengah.
tugas
memandang
dalam akademik
tugas
bersifat
yang tidak
menghadapi ujian pada individu
menyenangkan, dipandang sulit, dan
dewasa di Canada, dan Singapore.
membutuhkan tenaga dan pikiran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
yang besar untuk menyelesaikan
ada perbedaan tingkat prokrastinasi
tugas tersebut.
dan variabel motivasi, serta gender
Ferrari
dkk.
(2005)
penelitian
tentang
pada partisipan dari Canada, dan
melakukan
Singapore. Individu dewasa dari
prokrastinasi kronis yang mengambil
Singapore
sampel dari United States, the United
tingkat
dilaporkan
prokrastinasi,
memiliki kecemasan
Kingdom,
dan
menghadapi ujian, dan memiliki
penelitian
menunjukkan
bahwa
negative self-image yang lebih tinggi
partisipan
dikategorikan
menjadi
127
Australia.
Hasil
arousal procrastination (termotivasi
akademik pada mahasiswa dengan
untuk menunda pekerjaan dengan
budaya Barat.
mengerjakan tugas pada menit-menit terakhir),
dan
procrastination
Zeenath dan Orcullo (2012)
avoidance
(menunda
melakukan penelitian kualitatif untuk
karena
menggali
prokrastinasi
takut gagal atau ketakutan akan
secara
kesuksesan).
memfokuskan
Antara
kedua
tipe
akademik
mendalam
dengan
pada
alasan,
tersebut, tidak ada perbedaan yang
konsekuensi, dan strategi coping
signifikan pada negara yang berbeda
yang digunakan oleh mahasiswa di
(11,5% diidentifikasi sebagai arousal
salah
procrastination dan 9,9% adalah tipe
Malaysia.
avoidant procrastination). Hasil ini
menunjukkan bahwa ditemukan 12
mengindikasikan
faktor
bahwa
satu
perguruan
tinggi
Hasil
yang
di
penelitian
mempengaruhi
prokrastinasi kronis terjadi pada
terjadinya prokrastinasi akademik,
negara-negara barat, negara-negara
yaitu karakteristik personal, faktor
yang menggunakan bahasa Inggris,
kesehatan, mengalami kebosanan,
dan bersifat individualistik. Lebih
kurang memiliki
lanjut, Milgram dan Taubiana (1999)
keterampilan manajemen waktu yang
melakukan
penelitian
pada
buruk, rendahnya motivasi internal,
mahasiswa
yang
cenderung
adanya konsekuensi afektif (negative
melakukan
prokrastinasi
tingkat
skala
prioritas,
feelings, rasa bersalah), persepsi
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
terhadap
bahwa
akademik, dan pemilihan strategi
bentuk
akademik
yang
mahasiswa
prokrastinasi dialami
adalah
karakteristik
tugas
oleh
coping yang digunakan. Sedangkan
kecemasan
faktor eksternal yang mempengaruhi
menghadapi ujian. Mahasiswa yang
adalah
melakukan
kondisi eksternal sekolah/kampus,
prokrastinasi
menunjukkan harga diri yang rendah,
pengaruh
teman
sebaya,
dan gaya mengajar dosen.
dan mengalami kecemasan akademik
Pemilihan strategi coping
karena memiliki regulasi diri yang
yang digunakan mahasiswa yang
buruk.
memberikan
melakukan prokrastinasi diteliti oleh
penyebab prokrastinasi
Seperiah dan Loft (2011). Hasil
kontribusi
Hal
ini
128
penelitian
menunjukkan
bahwa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
strategi coping yang digunakan oleh
mahasiswa Taiwan lebih senang
sebagian besar mahasiswa jurusan
mengikuti kegiatan ektrakurikuler,
Sastra,
Teknik
sedangkan
adalah
cenderung lebih mengikuti materi
strategi coping yang berorientasi
yang diajarkan di bawah kontrol
emosi, dan hanya
yang
pendidik. Mahasiswa Taiwan tidak
menggunakan strategi task-oriented
memandang pentingnya peringkat
coping.
nilai
dan
Universitas
jurusan
Mashad
Stategi
Iran
sedikit
coping
yang
mahasiswa
yang bagus,
digunakan oleh prokrastinator masuk
mementingkan
dalam 3 kelompok yang berbeda,
yang
yaitu
mahasiswa
pada
berorientasi
strategi tugas,
coping
berorientasi
Norwegia
namun lebih
lingkungan
menyenangkan,
siswa
sedangkan
Norwegia
lebih
mengutamakan peringkat nilai yang
penghindaran, dan berorientasi pada
baik,
emosi.
dipandang tidak terlalu penting. Beberapa
dan
lingkungan
siswa
penelitian
Hasil
menunjukkan bahwa prokrastinasi
menunjukkan
akademik berkaitan dengan variabel
Taiwan lebih senang menghabiskan
motivasi dalam menghadapi proses
waktu
belajar. Jian dkk. (2010) meneliti
dengan teman dinilai penting dan
perbedaan tingkat keseriusan belajar
menduduki
mahasiswa jurusan teknik pada dua
sebaliknya
budaya yang berbeda, yaitu Taiwan
tidak
dan Norwegia. Dua budaya yang
menghabiskan waktu dengan teman.
berbeda dianggap cukup representatif
Dalam menghadapi ujian, mahasiswa
dalam menggambarkan mahasiswa
Taiwan kurang menganggap ujian
dengan budaya Timur, dan budaya
sebagai hal yang perlu dipersiapkan
Barat. Dalam bidang sosial, orang
dengan baik, sedangkan mahasiswa
Norwegia
Norwegia menganggap bahwa ujian
dengan sedangkan
memiliki budaya
kemiripan
Eropa
Taiwan
Utara,
dibandingkan
129
teman.
Aktivitas
kedua,
mahasiswa
Norwegia
menyukai
hal Dalam
juga
mahasiswa
rangking
begitu
disiapkan.
kemiripan budaya di Asia Tenggara.
bahwa
dengan
merupakan
memiliki
penelitian
aktivitas
penting hal
dengan
untuk belajar,
mahasiswa
Norwegia, mahasiswa Taiwan lebih
menunjukkan
menyukai
Jurusan Psikologi Universitas Bina
untuk
belajar
sendiri.
bahwa
mahasiswa
Untuk mengikuti proses perkuliahan
Nusantara
Jakarta
melakukan
dengan dosen di kelas, mahasiswa
penundaan
akademis.
Mahasiswa
Taiwan diwajibkan untuk mengikuti
merasakan cemas, tidak tenang, dan
perkuliahan di kelas, sedangkan pada
hampir tidak sanggup menyelesaikan
mahasiswa
tugas
Norwegia,
memiliki
saat
deadline
depan
mata.
tersebut
perkuliahan di kelas. Kebebasan ini
Walaupun
mengartikan
dosen
melakukan prokrastinasi akademik
meletakkan sikap yang lebih positif
setuju bahwa perilaku menunda ini
kepada
banyak memberikan dampak buruk
mahasiswa
sehingga
Norwegia
menjadikan
motivasi
bagi
di
tugas
kebebasan untuk menghadiri proses
bahwa
sudah
dari
mahasiswa
mereka,
yang
namun
mereka
intrinsik bagi mahasiswa, sedangkan
mengaku bahwa perilaku tersebut
mahasiswa Taiwan lebih termotivasi
sulit
ekstrinsik
menjadi
untuk
menghadiri
dihilangkan
karena
kebiasaan bagi
sudah mereka.
perkuliahan dengan dosen di kelas.
Lebih lanjut, Rahayu menguraikan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
bahwa prokrastinator menunjukkan
Jian dkk. (2010) dapat disimpulkan
keadaan yang disonan dalam elemen
bahwa mahasiswa di budaya Barat
kognitif. Dari 47 subjek penelitian
lebih termotivasi untuk memperoleh
yang mengalami disonansi kognitif,
grades yang baik di universitasnya,
enam diantaranya memiliki disonansi
sedangkan mahasiswa di budaya
kognitif yang bersumber pada nilai-
Timur
nilai budaya.
lebih
lingkungan
tertarik siswa
dengan yang
Rizki
menyenangkan dan lebih menyukai
meneliti
untuk
akademik
mengikuti
kegiatan
ekstrakurikuler. Di
Kurniawan
perilaku
(2013)
prokrastinasi
mahasiswa
Jurusan
Psikologi di salah satu universitas di Indonesia
sendiri,
Semarang.
Hasil
penelitian
prokrastinasi akademik juga banyak
menunjukkan bahwa secara umum,
dilakukan oleh mahasiswa. Hasil
prokrastinasi akademik mahasiswa
penelitian
Jurusan
Rahayu
(2013)
130
Psikologi
berada
pada
kategori sedang dengan persentase
tugas yang dengan mudah atau
72%. Hasil ini berarti bahwa subjek
memiliki kecenderungan tinggi untuk
masih melakukan penundaan pada
ditunda. Apabila penyelesaian tugas
tugas
secara
akademik
melakukan
dengan
aktivitas
beralih
lain
yang
lebih
cepat,
terlambat
tidak
tepat,
atau
memberikan
menyenangkan dan tidak penting,
konsekuensi yang jelas berbeda,
tidak
sangatlah besar kemungkinan tugas
bertujuan,
memperhatikan
dan
waktu
tidak sehingga
tersebut
pelaku mendapatkan akibat negatif
akan
ditunda
bahkan
mungkin diabaikan sama sekali.
atau merasa rugi atas perbuatannya itu. Meskipun mahasiswa tersebut
C. PENUTUP
memiliki self-regulated learningyang
Berdasarkan hasil penelitian
tinggi tetapi juga masih melakukan
tentang prokrastinasi akademik pada
prokrastinasi
ini
mahasiswa yang banyak terjadi di
dikarenakan mahasiswa malas untuk
negara-negara Timur, serta hasil
mengulang dan mengingat materi
penelitian tentang keseriusan belajar
perkuliahan
yang
akademik,
hal
(rehearshing
and
memorizing).
berkaitan
motivasi
Penelitian
lain
dengan
variabel
belajar
dengan
dilakukan
membandingkan pada budaya yang
oleh Ursia dkk. (2013) yang meneliti
berbeda yang dinilai cukup mewakili
prokrastinasi
antara Budaya Barat dan Budaya
dalam
pengerjaan
skripsi pada mahasiswa Fakultas
Timur, maka
Psikologi
Surabaya.
bahwa dibandingkan dengan pelajar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
atau mahasiswa di Budaya Timur,
karakteristik tugas merupakan faktor
mahasiswa di Budaya Barat lebih
lingkungan
serius
Universitas
yang
berpotensi
dalam
memunculkan prokrastinasi. Tugas-
belajar
tugas
kecenderungan
yang
membutuhkan
kemandirian, menuntut penyediaan sumber
daya
(waktu,
dapat
disimpulkan
mengikuti
sehingga
proses
mengurangi
untuk
melakukan
prokrastinasi akademik.
tenaga,
Oleh
karena
itu,
pikiran), serta tidak memberikan
rekomendasi yang dapat diajukan
imbalan seketika merupakan tugas-
berdasarkan
131
hasil-hasil
penelitian
yang telah dikemukakan di atas,perlu
pembelajaran yang tepat, pelatihan
diberikan strategi atau intervensi
keterampilan
manajemen
yang
mengajarkan
keterampilan
dapat
diterapkan
untuk
waktu, self-
menurunkan atau mereduksi perilaku
regulated learning pada pelajar atau
prokrastinasi akademik, baik kepada
mahasiswa sesuai dengan karakter
siswa maupun mahasiswa. Strategi
budaya
atau intervensi yang dapat diberikan
diharapkan dapat menurunkan atau
antara
mereduksi prokrastinasi akademik.
lain
pemberian
strategi
masing-masing
sehingga
Dietz, F., Hofer, M., & Fries, S. 2007. Individual values, learning routines and academic procrastination. British Journal of Educational Psychology, 77: 893-906.
DAFTAR RUJUKAN
Asikhia, Olubusayo. 2010. Academic Procrastination in Mathematics: Causes, Dangers, and Implications of Counselling for Effective Learning. International Education Studies, (Online),3 (3): 205-210, (http://www.cesenet.org/ics) , diakses 10 Pebruari 2014.
Ferrari,
Azure, J.A. 2011. Correlates of Course Anxiety and Academic Procrastination in Higher Education. Global Journal of Education Research, (Online), 10 (1): 55-65, (http://www.globaljournalse ries.com), diakses 3 Maret 2014.
J.R., Johnson, J.L. & McCown, W.G. 1995. Procrastination and Task Avoidance. Theory, Research, and Treatment. (Snyder, C.R., Ed). New York: Plenum Press.
Ferrari, J., Mason, C. & Hammer, C. 2006. Procrastination as a predictor of task perceptions: Examining delayed and non-delayed tasks across varied deadlines. Individual Differences Research, 4 (1): 28-36.
Diaz-Morales, J.F., Ferrari, J.R., & Argumedo, D. 2006. Procrastination and Demographic Characteristics in Spanish Adults: Further Evidence. Journal of Social Psychology, 146 (5): 629633.
Haycock, L.A., McCarthy, P. & Skay, C.L. 1998. Procrastination in College Students: The Role of SelfEfficacy and Anxiety. Journal of Counseling and Development, 76 (3): 317324.
132
Jian, H. L., Sandnes, F. E., Huang, Y. P. & Hagen, S. 2010. Studies or Leisure? A Cross-cultural Comparison of Taiwanese and Norwegian Engineering Students‟ Preferences for University Life. International Journal Engineering Education, 26 (1): 227-235.
Universias Bina Nusantara. (online). (http://thesis.binus.ac.id), diakses 7 Mei 2014. Rizki Kurniawan. 2013. Hubungan Antara Self-Regulated Learning Dengan Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Klassen, R.M., Krawchuck, L.L. & Rajani, S. 2008. Academic procrastination of undergraduates: Low selfefficacy to self-regulate predicts higher levels of procrastination. Contemporary Educational Psychology, (Online), 33: 915-931, (http://www.elsevier.com/lo cate/cedpsych), diakses 22 Maret 2014.
Safira, F., & Suharsono, Y. 2013. SelfRegulated Learning (SRL) dan Prokrastinasi Akademik pada Siswa Akselerasi. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(1):61-74.
Seo, E.H. 2013. A Comparison of Active and Passive Procrastination in Relation to Academic Motivation. Social Behavior and Personality, 41 (5): 777786. (Online), (http://dx.doi.org/10.222/sb p.2013.41.5.777), diakses 10 Maret 2013.
Klassen, R. M., Ang, R. P., Chong, W. H., Krawchuk, L. L., & Huan, V.S. 2009. A CrossCultural Study of Adolescent Procrastination. Journal of Research on Adolescence, 19 (4): 799811.
Seperiah, F. & Lotf, J.J. 2011. The Effects of Coping Styles and Gender on Academic Procrastination among University Students. Journal of Basic and Applied Scientific Research, (Online), 1 (12): 2987-2993, (http://textroad.com), diakses 28 Januari 2014.
Milgram, N. & Toubiana, Y. 1999. Academic anxiety, academic procrastination, and parental involvement in students and their parents. British Journal of Educational Psychology, 69: 345-361.
Solomon, L.J., & Rothblum, E. 1984. Academic Procrastination: Frequency and CognitiveBehavioral Correlates.
Rahayu, A. F. 2013. Gambaran Disonansi Kognitif pada Mahasiswa Pelaku Prokrastinasi Akademik di
133
Journal of Counseling Psychology. 31(4), 503-509.
Surabaya. Makara Seri Sosial Humaniora, 17 (1): 1-18.
Ursia, N.R., Siaputra, I. B. & Sutanto, N. 2013. Prokrastinasi Akademik dan Self-Control pada Mahasiswa Skripsi Fakultas Psikologi Universitas
Zeenath, S., & Orcullo, D.J.C. 2012. Exploring Academic Procrastination among Undergraduates. DOI: 10.7763/IPEDR. V47.9.
134
INFLUENCE OF SOCIAL AND PERSONAL COUNSELING AND EMOTIONAL MATURITY OF YOUTH AGGRESSIVENESS Diana Ariswanti Triningtyas
[email protected] Tita Maela Margawati
[email protected] IKIP PGRI MADIUN
Abstract The purpose of this study was to determine the effect of personal-social counseling services and emotional maturity of the adolescent aggressiveness. The research method is an ex-post facto. The study population was a student of Guidance and Counselling IKIP PGRI Madiun. These samples included 54 sampling technique or sampling technique used in this study is simple random sampling technique. Data was collected by questionnaire, and the data were analyzed using statistical methods with the formula product moment correlation. Mechanical analysis using regression analysis to determine whether there is influence between variables. The results showed that the value of the significance level of 0.000 (p <0.05; significant), means that there is a significant effect of personal-social counseling and emotional maturity of the aggressiveness.
Keywords: Personal Guidance Social, Emotional Maturity, Aggressiveness.
dimana remaja memiliki dunia tersendiri. Selain itu masa remaja juga merupakan waktu yang paling berkesan dalam kehidupan individu (Fatimah, 2006). Kehidupan remaja merupakan masa transisi antara kehidupan anakanak menuju ke kehidupan dewasa. Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah bergaul dengan kelompok pria dan wanita yang sebaya (Havighurst dalam Hurlock, 1996). Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku
A. PENDAHULUAN Setiap manusia sebagai makhluk pribadi mengalami beberapa proses perkembangan dalam hidupnya, baik secara fisik maupun psikologis. Mulai dari masa kanak-kanak, remaja sampai pada masa dewasa dan usia tua. Pada setiap masanya individu akan menemukan hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman baru yang akan menuntunnya ke masa selanjutnya. Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi lebih diperhatikan, karena masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak
135
kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa (Ali & Asrori, 2005). Tugas-tugas perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosio-psikologis manusia pada posisi yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks. Proses tersebut merupakan tugas-tugas perkembangan fisik dan psikis yang harus dipelajari, dijalani dan dikuasai oleh setiap individu (Fatimah, 2006). Globalisasi telah membawa dampak luas di belahan dunia manapun, tak terkecuali di negeri ini. Dampak globalisasi ini ada yang positif, namun ada pula yang negatif. Ketika jaman berubah dengan cepat, remaja adalah salah satu kelompok yang rentan untuk ikut terbawa arus, tak lain karena mereka memiliki karakteristik tersendiri yang unik, labil, sedang pada taraf mencari identitas, mengalami masa transisi dari remaja menuju status dewasa dan sebagainya. Secara sosiologis, remaja umumnya memang amat rentan terhadap pengaruh-pengaruh eksternal. Karena proses pencarian jati diri itu, mereka mudah sekali terombang-ambing dan masih merasa sulit menentukan tokoh panutannya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat disekitarnya. Karena kondisi kejiwaan yang labil juga remaja mudah terpengaruh. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dan tidak mau pusing-pusing memikirkan dampak negatifnya (Suyatno, 2007). Pada dasarnya setiap manusia dalam kehidupannya selalu bertingkah
laku, salah satunya adalah tingkah laku agresif. Perilaku yang dilakukan individu dapat diobservasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku dapat diukur dengan melihat apa yang dilakukan seorang individu, atau mendengarkan apa yang dikatakannya, sehingga dapat dibuat suatu kesimpulan mengenai perasaan, sikap, pemikiran dan proses mental yang melatar-belakangi dan yang sedang terjadi. Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri maupun lingkungan di mana individu itu berada. Perilaku manusia itu didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku. Azwar (1997), mengatakan bahwa perilaku merupakan reaksi yang dapat bersifat sederhana atau kompleks, artinya stimulus yang sama belum tentu menimbulkan reaksi yang sama. Perilaku yang dilakukan oleh beberapa orang belum tentu bermakna satu, tetapi mungkin memiliki dua makna atau lebih. Bouree (1998), mengemukakan bahwa faktor lingkungan turut berperan dalam mempengaruhi munculnya perilaku marah pada diri seseorang. Situasi yang penuh ketidak-pastian, ricuh atau penuh gejolak emosi (exciting) merupakan contoh kondisi yang mendukung munculnya perilaku marah. Situasi yang penuh gejolak emosi menimbulkan peningkatan sensitivitas emosional pada individu yang terlibat di dalamnya. Salah satu hal yang berpengaruh pada perilaku agresif individu adalah belum mampu mengontrol emosi yang ada pada dirinya. Hal ini dikarenakan individu belum memperoleh wawasan 136
dan pengetahuan yang cukup untuk mengontrol emosi serta belum mengetahui efek apabila emosi tak terkendali. Kematangan emosional seringkali berhubungan dengan kontrol emosi. Seseorang yang telah matang emosinya memiliki kekayaan dan keanekaragaman ekspresi emosi, ketepatan emosi dan kontrol emosi. Masih banyak individu yang belum matang emosinya. Individu (remaja) yang belum matang emosinya antara lain seperti, tidak bisa mengontrol emosi dan berpikir secara realistik sehingga mudah terpengaruh pergaulan disekitar. Individu tidak bisa mempertimbangkan baik buruknya akibat yang ditimbulkan dari perilaku agresif. Apabila hal tersebut berlangsung secara terus menerus akan menimbulkan masalah dan perlu untuk segera diatasi. Salah satu cara untuk mengurangi perilaku agresif adalah dengan menerapkan layanan bimbingan pribadi-sosial. Untuk itulah, urgensi layanan bimbingan konseling pribadi sosial mutlak sangat diperlukan. Layanan bimbingan pribadisosial membantu individu untuk memantapkan kepribadian dan mengembangkan kematangan emosi serta mengurangi perilaku agresif, sehingga individu terhindar dari halhal yang negatif, dan mempunyai sikap disiplin yang baik. Proses pendidikan termasuk layanan bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya menempuh dua sisi yang saling melengkapi. Satu sisi, layanan bimbingan dan konseling harus memfasilitasi individu dalam memahami dirinya, orang lain dan
lingkungannya. Pada sisi yang lain harus memfasilitasi pengalamanpengalaman individu dalam bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama sepanjang hayat. Proses bimbingan dan konseling seperti ini di dalamnya harus menyentuh kebutuhan pribadi dan sosial individu dalam bentuk layanan bimbingan dan konseling pribadi sosial. Menurut Winkel & Hastuti (2012), bimbingan pribadi sosial berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi berbagai pergumulan dalam batinnya sendiri; dalam mengatur diri sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya; serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan (pergaulan sosial). Berdasarkan adanya permasalahan tersebut dibutuhkan sebuah layanan bimbingan pribadisosial, agar dapat memberikan pengertian pada remaja bahwa perilaku agresif dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Dengan memiliki kematangan emosi, individu mampu mengendalikan atau mengontrol perasaan atau emosinya, sehingga perilaku agresif dapat diminimalisir dan menanamkan kedisiplinan dalam diri remaja. Oleh karena itu peneliti mengkaji secara mendalam berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik memberi judul “Pengaruh Layanan Bimbingan Pribadi-Sosial dan Kematangan Emosi Terhadap Agresivitas Remaja”. 137
B. Kajian Pustaka 1. Layanan Bimbingan Pribadi Sosial a. Pengertian Bimbingan Pribadi Sosial Achmad Juntika Nurihsan (2011), bimbingan pribadi-sosial merupakan bimbingan untuk membantu para individu dalam menyelesaikan masalah-masalah pribadi-sosial. Dewa Ketut Sukardi (2008), bimbingan pribadi-sosial adalah bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi pergumulan-pergumulan dalam hatinya sendiri dalam mengatur dirinya sendiri. Bertolak dari pendapat diatas maka peneliti berpendapat bahwa bimbingan pribadi-sosial adalah membantu siswa menemukan dan mengembangkan pribadi yang beriman dalam mengatur dirinya sendiri. b. Bentuk-bentuk layanan bimbingan pribadi-sosial Tohirin (2007) adapun beberapa macam bentuk-bentuk layanan bimbingan pribadi-sosial yaitu: 1) Layanan informasi yang mencakup: fisik, motorik, bicara, emosi, sosial, penyesuaian sosial, bermain, kreativitas, perkembangan kepribadian, ciri-ciri masyarakat maju, makna ilmu pengetahuan, dan pentingnya IPTEK bagi kehidupan manusia. 2) Pengumpulan data yang mencakup: identitas individu, kejasmanian dan kesehatan,
3)
2.
138
riwatyat pendidikan, prestasi, bakat, dan minat. Layanan orientasi yang mencakup: suasana, lembaga dan objek pengembangan pribadi-sosial seperti lembaga pengembangan bakat, pusat kebugaran dan latihan pengembangan kemampuan diri, dan tempat rekreasi.
Kematangan Emosi a. Pengertian Kematangan emosi menurut Piaget (dalam Haditono, 1987) adalah satu kondisi yang dimiliki oleh individu untuk menunjukkan suatu kesiapan bertindak atau bersifat biologis. Kemasakan fisik ini dasarnya atau munculnya secara alami atau merupakan bawaan. Sanford (1965) menambahkan bahwa orang yang matang emosinya memiliki kekayaan dan keanekaragaman ekspresi emosi, ketepatan emosi dan kontrol emosi. Hal ini berarti respon-respon emosional seseorang hendaknya disesuaikan dengan situasi stimulus, namun ekspresinya tetap memperhatikan kesopanan sosial. Seseorang dapat dikatakan telah matang emosinya, bila dapat berpikir secara objektif (Walgito, 1984). Kematangan emosi juga dapat ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk menampakkan emosi disaat dan ditempat yang tepat. Seseorang seharusnya tidak hanya belajar kapan tertawa dan kapan menangis (Warga, 1983). Gorlow (1976) menjelaskan bahwa kematangan emosi
merupakan suatu proses dimana perkembangan terus menerus berusaha untuk mencapai tingkat emosi yang sehat secara intrapsikis maupun interpersonal. Menurut Jersild (1974) untuk memahami kematangan emosi dapat dilakukan dengan cara memahami perubahan perilaku emosional yang kontras dari anak ke dewasa, untuk itu beberapa kriteria orang yang matang emosinya sebagai berikut: 1) mampu memberikan derajat respon emosional. Maksudnya individu tersebut tidak merespon dalam bentuk-bentuk yang ekstrim, tetapi dalam bentuk-bentuk yang teratur dan dalam batas-batas tertentu. Misalnya, seseorang yang matang emosinya tidak akan berteriakteriak ataupun menendang kesana kemari hanya karena tidak mau melakukan sesuatu yang diminta orang lain; 2). Mampu mengurangi frekuensi dan derajat kekacauan emosional atau disebut dengan upset. Individu yang matang emosinya tidak lekas marah ataupun tersinggung apabila menghadapi setiap permasalahan, tidak mudah meledakkan emosinya seperti yang terjadi pada sikap anak-anak; 3) mampu menunda respon. Respon yang diberikan tidak impulsive atau meledak-ledak sebagaimana respon emosionil anak-anak, misalnya seorang remaja tidak langsung memukul temannya hanya karena diejek bertubuh pendek, mata sipit dan berjerawat; 4) mampu mengendalikan self-pity (mengasihani diri sendiri). Ego
b.
139
manusia akan membangkitkan rasa kasihan terhadap diri sendiri, dimana pada anak-anak perasaan ini tidak terbatas. Akan tetapi individu yang matang emosinya tidak tenggelam dalam perasaan ini; 5) mampu menghambat manifestasi emosi atau tidak terlalu berlebihan dalam menunjukkan emosinya dapat mengontrol perasaan emosi terhadap orang lain; 6) kemampuan menggunakan mental kritis. Remaja yang matang emosinya tidak menunjukkan frekuensi yang tinggi dalam mengeluarkan ledakan emosinya. Karena ia dapat belajar untuk menganalisa dan mengukur situasi dan membedakan kejadian tertentu yang dapat membedakan resikonya terlebih dahulu sebelum mengeluarkan respon emosinya dengan menunjukkan kesadaran kesopanan sosial. Disamping itu remaja dapat belajar mengendalikan emosinya pada situasi yang terjadi. Jadi, kematangan emosi ditinjau dari makna psikologis adalah kemampuan individu dalam menghambat manifestasi emosi, mengendalikan self-pity dan mempertimbangkan resiko kembali sebelum mengeluarkan respon emosinya. Dari konsep-konsep diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu kesiapan bertindak dan cenderung untuk mengadakan tanggapan emosional yang matang. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi Menurut Young (1975), kematangan emosi pada individu
tidak diperoleh begitu saja, melainkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan emosi antara lain: 1) Faktor lingkungan. Lingkungan tempat individu hidup, termasuk didalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Keadaan yang tidak harmonis, tidak ada ketentraman atau ketenangan, lingkungan sosial yang tidak dapat memberikan perasaan aman dapat mempengaruhi kematangan emosi individu. 2) Faktor individu. Faktor individu adalah kepribadian individu yang memiliki ketahanan mental yang kuat apabila menghadapi suatu permasalahan, sehingga mempengaruhi kematangan emosi. Demikian pula sebaliknya, individu yang memiliki ketahanan mental yang lemah akan mudah putus asa, mudah tersinggung, kecil hati, dan hal ini mempengaruhi kematangan emosi. 3) Pengalaman. Pengalaman yang diperoleh individu meliputi pengalaman yang tidak menyenangkan. Pengalaman yang tidak menyenangkan akan memberikan pengaruh positif terhadap individu, sedangkan pengalaman yang tidak menyenangkan bila terulang akan memberikan pengaruh negatif terhadap kematangan emosinya. Jadi faktor yang mempengaruhi kematangan emosi pada dasarnya berasal dari keadaan kepribadian individu dan dapat pula dari faktor lingkungan serta pengalaman. Kedua hal tersebut saling berhubungan di dalam menentukan kematangan individu.
c.
Ciri-Ciri Kematangan Emosi Syamsu Yusuf (2011), emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut. 1) Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir. 2) Bersifat fluktuatif (tidak tetap). 3) Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
3. Agresivitas a. Pengertian agresivitas Secara umum agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap organisme lain, objek lain atau bahkan pada dirinya sendiri. Definisi ini berlaku bagi semua makhluk vertebrata, sementara pada tingkat manusia masalah agresi sangat kompleks karena adanya peranan perasaan dan proses-proses simbolik. Sarason (dalam Hudaniah & Dayakisni, 2006). Agresi secara tipikal didefinisikan oleh para ahli psikolog sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu. Ini berarti bahwa menyakiti orang lain secara sengaja bukanlah agresi jika pihak yang dirugikan menghendaki hal ini terjadi. Misalnya, ketika seorang remaja bergurau dengan temannya sambil memukul punggungnya dengan keras dan 140
yang bersangkutan tidak merasa tersakiti maka tindakan ini tidak akan dianggap agresif sebab tindakan itu memang dikehendaki. Agresi melibatkan segala bentuk penyiksaan psikologis atau emosional. Karena itu, misalnya mempermalukan, menakut-nakuti, atau mengancam seseorang adalah agresi (Breakwell, 1998). Lorenz, ahli perilaku (Wicaksana, 1997) memandang agresivitas sebagai suatu dorongan yang secara biologik terbentuk karena evolusi yang melindungi eksistensi individu. Selanjutnya, Lorenz (Gunarsa, 1989) mengatakan bahwa agresi merupakan dorongan alami yang wajar dan perlu penyaluran untuk mencegah timbulnya kecenderungan bermusuhan. Hartuti (2000) mengemukakan bahwa agresi adalah tindakan merusak yang ditujukan kepada orang lain atau lingkungan. Ketika dia disalahkan oleh orang lain, dia berusaha menutupi perilakunya dengan cara menyerang balik orang lain itu, misalnya dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan orang tersebut atau merusak apa saja yang ia rasa membuat orang tersebut merugi. Sarwono (1999) berpendapat bahwa perilaku agresif itu banyak ragamnya. Yang lebih membuat rumit adalah bahwa satu perilaku yang sama (misalnya, menginjak kaki) dapat dianggap tidak agresif (jika terjadi di bus yang penuh sesak), tetapi dapat juga dianggap agresif (jika terjadi di bus yang lengang). Dengan
demikian, peran kognisi sangat besar menentukan apakah suatu perbuatan dianggap agresif (jika diberi atribusi internal) atau tidak agresif (dalam hal atribusi eksternal). Dengan atribusi internal yang dimaksud adalah adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan atau menyakiti orang lain. Dalam atribusi eksternal, perbuatan dilakukan karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau tidak disengaja. Dengan demikian yang dimaksud dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam penelitian ini, perilaku agresif didefinisikan sebagai perilaku kekerasan secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara terbuka (overt) yang melukai orang lain secara fisik atau psikis dan orang yang dikenai tersebut tidak menginginkan serta berusaha untuk menghindarinya. Tingkah laku agresi pada dasarnya merupakan sikap atau tindakan yang ditujukan seseorang terhadap orang lain, objek lain, atau juga terhadap dirinya sendiri. Agresivitas itu sendiri adalah tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau masih berupa ancaman yang disertai dengan permusuhan. Menurut Hurlock, agresivitas adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang dan menyakiti orang lain secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara sengaja disebabkan oleh rasa marah sehingga muncullah perilaku 141
menyerang, melukai, dan sebagainya yang merugikan orang lain. Para tokoh Behaviorisme beranggapan meningkatnya agresivitas karena adanya faktorfaktor “penguat” pada keluarga maupun masyarakat. Penguat ini bisa berupa pujian, sanjungan, membiarkan atau sikap membolehkan. Sementara itu Pohan (1986) mengatakan bahwa agresi merupakan salah satu bentuk dalam pelampiasan emosi anak. Tujuannya ialah untuk menguasai keadaan di dalam kelompok atau untuk mengatasi halanganhalangan yang dihadapi. Berdasarkan uraian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa agresi merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan pelampiasan emosi baik secara fisik maupun verbal, yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Kondisi ini terpelihara karena mendapat penguat dari lingkungan atau masyarakat. Perbuatan agresi lebih bersifat merugikan pihak yang mendapatkannya, yang dapat berupa kerugian fisik ataupun psikologis. b. Manifestasi agresivitas Setiap manusia memiliki kecenderungan agresif. Tingkah laku agresif akan muncul dalam setiap tahap perkembangan manusia. Breakwell (1997), menyatakan bahwa dorongan agresi merupakan aspek kepribadian yang ada sejak manusia lahir. Tingkah laku agresi respon yang ada pada semua budaya manusia, meskipun
mempunyai tingkatan yang berbeda. Agresi dapat dimanifestasikan dalam beragam corak perilaku, Glynis M. Breakweal (1997) mengelompokkan menjadi lima kategori, yaitu: 1). Keji secara verbal, seperti mengumpat, menghina, menjelek-jelekkan orang lain, memarahi. 2). Perilaku non-verbal, yang dimaksud disini adalah mencederai orang lain, memukul, menendang, mendorong, menggigit, dan membunuh. Menyerang suatu objek, yang dimaksud disini adalah menyerang benda mati atau binatang. 3). Menyakiti diri sendiri, jengkel pada diri sendiri, merasa sangat bersalah, membiarkan kemarahan tampil dalam bentuk perangai yang tak enak secara umum. 4). Diam, menyembunyikan perasaan dan melampiaskannya. 5). Melanggar hak milik orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agresi dapat dimanifestasikan secara fisik maupun verbal, serta ditujukan kepada objek-objek atau individu lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Bentuk-bentuk agresivitas Perilaku agresi sebenarnya sudah terlihat pada masa bayi, ketika sang bayi sedang mengalami perasaan tidak senang. Menurut Bolman (Herbert, 1974) dalam usia 0 – 6 bulan individu sudah memperlihatkan agresinya meskipun belum dapat dibedakan bentuknya, perilaku mereka bertujuan mengurangi ketegangan. 142
Selanjutnya, dalam tahap-tahap berikutnya terdapat perbedaan tipe perilaku, objek maupun tujuannya. Hartub berpendapat bahwa agresi pada mulanya dijadikan alat untuk memperoleh sesuatu. Anakanak usia sekolah Taman kanakkanak bertengkar dan berkelahi untuk memperebutkan permainan. Kemudian pada usia yang lebih tua, anak lebih mengarahkan agresinya pada orang lain yang diwujudkan dalam bentuk mengejek, mencela, menggoda, dan sebagainya. Agresi pada remaja memiliki tipe tertentu pula walau tidak dapat dipisahkan secara jelas dengan agresi pada anak-anak dan orang dewasa. Menurut Bolman, perilaku agresi yang timbul pada usia 6 – 14 tahun adalah berupa kemarahan, kejengkelan, rasa iri, tamak, cemburu dan suka mengkritik. Mereka mengarahkan perilakunya kepada teman sebaya, saudara sekandung, dan juga kepada dirinya sendiri. Perilaku ini dilatarbelakangi adanya keinginan untuk menang, bersaing, meyakinkan diri, menuntut keadilan, dan memuaskan perasaan. Selain itu, mereka juga senang berkelahi secara fisik untuk anak laki-laki dan perang mulut untuk wanita. Setelah itu pada usia 14 tahun sampai dewasa, mereka sudah mulai memodifikasi perasaan agresif, misalnya dalam bentuk aktivitas kerja dan olah raga. Kali ini perilaku tersebut terutama bertujuan untuk keseimbangan emosi, khususnya harga diri. Bentuk-bentuk perilaku ini kemudian diperjelas oleh Delut
(Hudaniah & Dayakisni, 2006). Dalam penelitiannya ia menggunakan bentuk perilaku agresi yang umum, yang digambarkan dalam bentuk itemitem dari factor analysis of behavioral cheklist, yang terdiri dari: 1) Menyerang secara fisik (memukul, merusak, mendorong); 2) Menyerang dengan kata-kata; 3) Mencela orang lain; 4) Menyerbu daerah orang lain; 5) Mengancam melukai orang lain; 6) Main perintah; 7) Melanggar milik orang lain; 8) Tidak mentaati perintah; 9) Membuat permintaan yang tidak pantas dan tidak perlu; 10) Bersorak-sorak, berteriak, atau berbicara keras pada saat yang tidak pantas; 11) Menyerang tingkah laku yang dibenci. Sementara Buss (Hudaniah & Dayakisni, 2006), mengelompokkan agresi manusia dalam delapan jenis, yaitu: 1) Agresi fisik aktif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti memukul, mendorong, menembak, dll. 2) Agresi fisik pasif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara 143
3)
4)
5)
6)
berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam. Agresi fisik aktif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dll. Agresi fisik pasif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh. Agresi verbal aktif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain, seperti menghina, memaki, marah, mengumpat. Agresi verbal pasif langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam.
7) Agresi verbal aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba. 8) Agresi verbal pasif tidak langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak menggunakan hak suara. d. Macam-macam agresivitas Lindgren (dalam Djalali, 1988), menyatakan bahwa perilaku agresif meliputi tindakan penyerangan terhadap orang lain, keinginan untuk melukai orang lain; dalam hal ini termasuk pula perilaku yang masih dalam anganangan dan tindakan untuk merusak objek benda-benda selain manusia. Murray dan Bellak (dalam Sukadji, 1982; dalam Djalali, 1988) mengelompokkan macam-macam bentuk agresivitas menjadi: emosional verbal, fisik sosial, fisik asosial, dan destruktif. Pengelompokkan macammacam bentuk agresivitas menurut pendapat Murray dan Bellak seperti disebut diatas, sudah meliputi aspek-aspek agresivitas. Dalam hal ini Sukadji (1982), menjabarkan bentuk agresivitas menjadi: 144
agresivitas emosional verbal meliputi marah atau membenci orang lain, sekalipun perasaan tersebut tidak dinyatakan dalam bentuk kata-kata, bertengkar, mengutuk, mengkritik, menghina, memperingatkan, menyalahkan dan menertawakan. Pencetusan ide untuk agresi melawan seseorang atau suatu kelompok masyarakat dengan kritik-kritik sosial. Agresivitas fisik sosial mencakup: berkelahi atau membunuh dalam membela diri atau membela seseorang yang dicintai. Membalas dendam terhadap penghinaan dan suatu ketidak-adilan tanpa pancingan, serta menghukum orang yang melakukan tindakan tercela. Berjuang untuk negaranya sendiri atau untuk negara sahabat dalam suatu perang. Agresivitas fisik asosial meliputi perbuatan menodong, menyerang, melukai atau membunuh orang lain dengan cara melawan hukum. Melakukan tindak kejahatan, memulai berkelahi tanpa alasan yang pantas, membalas sakit hatinya dengan kekejaman dan pengrusakan yang berlebihan. Berjuang melawan wewenang yang syah, misalnya orang tua, atasan, guru atau pemerintah. Melakukan tindakan sadisme, mengkhianati dan berusaha melawan negaranya sendiri. Agresivitas destruktif meliputi tindakan menyerang atau membunuh binatang, memecah, menghancurkan, membakar atau merusak sesuatu, melukai atau
menyakiti diri sendiri dan melakukan tindakan bunuh diri. C. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatifnon eksperimental. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel lain. Hubungan antara satu variabel dengan beberapa variabel lain dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi dan keberartian (signifikansi) secara statistik (Sukmadinata, 2009). Penelitian ini akan meneliti hubungan sebab-akibat yang tidak dimanipulasi atau diberi perlakuan oleh peneliti maka jenis penelitian ini termasuk penelitian expost-facto (Sukmadinata, 2009). Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Menurut Hadi (2000), populasi adalah tempat generalisasi hasil suatu penelitian, yaitu semua individu yang akan dikenai kesimpulan dari suatu penelitian. Populasi yang menjadi sasaran penelitian adalah mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP PGRI Madiun. Sampel merupakan bagian dari populasi. Sampel harus memiliki ciriciri populasi. Sampel penelitian dimaksudkan untuk menyederhanakan subjek yang harus diteliti, tetapi hasil penelitiannya terhadap subjek akan digeneralisasikan pada populasi (Hadi, 1990). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 54 orang. Teknik sampling atau teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simple random sampling. 145
pernyataan; 3) TS bila subjek menjawab Tidak Sesuai dengan pernyataan; 4) STS bila subjek menjawab Sangat Tidak Sesuai dengan pernyataan. Skoring jawaban aitem-aitem favourabel adalah SS skor 4, S skor 3, TS skor 2, STS skor 1. Skoring jawaban aitem-aitem unfavourabel adalah SS skor 1, TS skor 2, TS skor 3, STS skor 4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan skala Likert. Aitem-aitem skala diberikan dengan empat alternatif respon dan diskor dalam 4 poin skala, yaitu: 1) SS bila subjek menjawab Sangat Sesuai dengan pernyataan; 2) S bila subjek menjawab Sesuai dengan
No 1. 2.
3. 4.
No. 1. 2. 3. 4.
Tabel. 1 Blue-print skala Bimbingan Pribadi Sosial Nomor Aitem Indikator Item Favourable Unfavourable Manfaat siswa mengikuti kegiatan 1,3,5 2,4,6 pembelajaran dan permainan. Ikut serta siswa ketika mengikuti 7,9 8,10 pembelajaran dan permainan di dalam kelas. Kepuasan siswa mengikuti pem11,13 12,14 belajaran dan permainan. Ketepatan materi dalam pembelajaran 15,17,19 16,18,20 dan permainan terhadap masalah dan kebutuhan siswa. Jumlah 10 10 Tabel 2. Blue-print skala Kematangan Emosi Nomor Aitem Indikator Item Favourable Unfavourable Kemampuan menjaga kestabilan 1, 3, 5 2, 4, 6 perasaan dan perilaku. Kemampuan menampilkan perilaku 7, 9, 11 8, 10, 12 secara dewasa. Kemampuan penilaian pada diri sendiri 13, 15 14, 16 dan orang lain. Kemampuan menunjukkan reaksi 17, 19 18, 20 perasaan seperti dewasa. Jumlah 10 10
146
Jumlah 6 4
4 6
20
Jumlah 6 6 4 4 20
Tabel 3. Blue-print skala Agresivitas No. 1. 2. 3. 4. 5.
Aspek-aspek Keji secara verbal Perilaku non-verbal Menyakiti diri sendiri Diam, menyembunyikan perasaan dan melampiaskannya Melanggar hak milik orang lain Jumlah
Teknik Analisis Data Data yang terkumpul dari lapangan, akan di analisis menggunakan analisis regresi untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antar variabel. Analisis regresi adalah analisis statistika yang memanfaatkan hubungan antara dua atau lebih peubah kuantitatif sehingga salah satu peubah dapat diramalkan dari peubah lainnya. Untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung dan memprediksi variabel tergantung dengan menggunakan variabel bebas. Kerlinger (2004) mendefinisikan analisis regresi adalah suatu metode untuk mengkaji akibat-akibat dan besarnya akibat dari lebih dari satu variabel bebas terhadap satu variabel terikat, dengan menggunakan prinsipprinsip korelasi dan regresi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2014) bahwa analisis regresi digunakan untuk melakukan prediksi, bagaimana perubahan nilai variabel dependen bila nilai variabel independen dinaikkan atau diturunkan nilainya (dimanipulasi), serta datanya berbentuk interval atau ratio.
Nomor Aitem Jumlah Favourable Unfavourable 1, 3 2, 4 4 5, 7 6, 8 4 9, 11 10, 12 4 13, 15 14, 16 4 17, 19 10
18, 20 10
4 20
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Proses pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner penelitian. Angket penelitian dibagikan kepada subjek penelitian pada tanggal 17 Juli 2014. Dalam penelitian ini penyebaran angket dilakukan sebanyak satu kali untuk keperluan uji validitas, uji reliabilitas dan uji hipotesis Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas Berdasarkan hasil uji validitas diperoleh data sebagai berikut: a) Bimbingan Pribadi Sosial Berdasarkan perhitungan uji validitas yang dilakukan pada data angket bimbingan pribadi sosial diperoleh hasil 2 aitem gugur, dan 18 aitem sahih dengan nilai r hitung 0,268 (taraf signifikansi 5%). b) Kematangan Emosi Berdasarkan perhitungan uji validitas yang dilakukan pada data angket kematangan emosi diperoleh hasil 1 aitem gugur, dan 19 aitem sahih dengan nilai
147
r hitung 0,268 (taraf signifikansi 5%). c) Agresivitas Berdasarkan perhitungan uji validitas yang dilakukan pada skala agresivitas diperoleh hasil 2 aitem gugur, dan 18 aitem sahih dengan nilai r hitung 0,268 (taraf signifikansi 5%).
No 1 2 3
2. Uji Reliabilitas Setelah dilakukan uji validitas, langkah selanjutnya adalah dilakukan uji reliabilitas. Hasil dari uji reliabilitas dinyatakan bahwa semua angket penelitian reliabel. Adapun rincian hasil uji reliabilitas dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil Uji Reliabilitas Angket Penelitian Angket Skor Alpha Bimbingan Pribadi Sosial 0,897 Kematangan Emosi 0,920 Agresivitas 0,943
Deskripsi Data Berdasarkan hasil penelitian diperoleh deskripsi data mengenai skor sebagai berikut:
Keterangan Reliabel Reliabel Reliabel
maksimum, skor minimum, mean dan standar deviasi
Tabel 5. Deskripsi Data Angket Penelitian Bimbingan Pribadi Sosial
Kematangan Emosi
Agresivitas
Mean
57.41
60.93
53.35
Std. Deviation
9.017
9.676
11.010
Minimum
34
39
30
Maximum
74
74
65
Berdasarkan analisis deskriptif terhadap data penelitian diketahui tingkat pribadi-sosial, kematangan emosi dan agresivitas berada pada
kategori sedang. Adapun distribusi frekuensi data pribadi-sosial adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Tabel Distribusi Frekuensi Pribadi-Sosial Kategori Interval Frekuensi Tinggi 62-80 24 Sedang 41-61 27 Rendah 20-40 3
148
Persentase 44,44% 50,00% 5,55%
Analisis deskriptif yang dilakukan terhadap angket kematangan emosi diketahui bahwa subjek penelitian memiliki tingkat kematangan emosi
dalam kategori sedang. Distribusi frekuensi data angket kematangan emosi adalah sebagai berikut:
Tabel7. Tabel Distribusi Frekuensi kematangan emosi Kategori Interval Frekuensi Persentase Tinggi 62-80 6 11.11% Sedang 41-61 41 75,92% Rendah 20-40 7 12,96% Analisis deskriptif yang dilakukan terhadap angket agresivitas diketahui bahwa subjek penelitian memiliki
tingkat agresivitas dalam kategori sedang. Distribusi frekuensi angket agresivitas adalah sebagai berikut:
Tabel 8. Tabel Distribusi Frekuensi Agresivitas Kategori Interval Frekuensi Tinggi 62-80 6 Sedang 41-61 35 Rendah 20-40 13
3.
Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, tahap selanjutnya adalah dilakukan uji hipotesis, dalam penelitian ini proses penyebaran angket penelitian hanya dilakukan satu kali. Data hasil penyebaran angket penelitian tersebut setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, kemudian aitem yang gugur dihilangkan dan aitem yang sahih digunakan untuk melakukan uji hipotesis. a) Pengaruh Bimbingan PribadiSosial Terhadap Agresivitas Berdasarkan uji analisis regresi diperoleh nilai taraf signifikansi 0,000 (p<0,05;
Persentase 11,11% 64,81% 24,07%
signifikan), berarti ada pengaruh signifikan pribadi-sosial terhadap agresivitas. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,480 yang berarti 48% agresivitas dipengaruhi oleh pribadi-sosial. b) Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Agresivitas Berdasarkan uji analisis regresi diperoleh nilai taraf signifikansi 0,000 (p<0,05; signifikan), berarti ada pengaruh signifikan kematangan emosi terhadap agresivitas. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,378 yang berarti 37,8% agresivitas
149
dipengaruhi oleh kematangan emosi. c) Pengaruh Bimbingan PribadiSosial dan Kematangan Emosi Terhadap Agresivitas Berdasarkan uji analisis regresi diperoleh nilai taraf signifikansi 0,000 (p<0,05; signifikan), berarti ada pengaruh signifikan bimbingan pribadi-sosial dan kematangan emosi terhadap agresivitas. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,504 yang berarti 50,4% agresivitas dipengaruhi oleh pribadi-sosial dan kematangan emosi.
IKIP PGRI MADIUN untuk itu berikut dikemukakan beberapa saran yaitu: 1. Bagi Konselor Konselor melaksanakan layanan peningkatan kualitas pribadi agar kebutuhan psikologis terpenuhi secara optimal. 2. Bagi Mahasiswa Mahasiswa memiliki kematangan emosi, ini merupakan modal yang sangat penting, oleh sebab itu disarankan agar mahasiswa memahami fungsi layanan bimbingan pribadi-sosial yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan. DAFTAR PUSTAKA Achmad Juntika Nurihsan. 2011. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama. Dewa Ketut Sukardi. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta. Gorlow. 1976. The Psychology of Adjusment Current Consept and Aplication. New York : Mc. Graw Hill Co. Haditono. 1987. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Diterjemahkan oleh istiwidayanti dan soedjarwo. 2010. akarta: Erlangga. Mohammad Ali dan Mohammad Asrori. 2005. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara. Pradwana Paramita. 2007. Harga Diri, Kematangan Emosi dan Agresivitas Remaja. Tesis, tidak diterbitkan,
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis data dari penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Adanya pengaruh layanan bimbingan pribadi sosial terhadap perilaku agresivitas remaja pada mahasiswa IKIP PGRI MADIUN. 2. Adanya pengaruh kematangan emosi terhadap perilaku agresivitas remaja pada mahasiswa IKIP PGRI MADIUN. 3. Adanya pengaruh layanan bimbingan pribadi sosial dan kematangan emosi terhadap perilaku agresivitas remaja pada mahasiswa IKIP PGRI MADIUN. Saran Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa pengaruh layanan bimbingan pribadi-sosial dan kematangan emosi terhadap perilaku agresivitas remaja pada mahasiswa 150
Universitas 17 Agustus 1945. Surabaya. Sanford, F.H. 1965. Psychology A Scientific Study of Men. California : Wodsworth Publishing. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tohirin, M.2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Warga and Richard G. 1983. Personal Awareness : A Psychology of Adjusment. 3rd ed. Boston : Houghton Mifflin Co. Young, P.T. 1975. Understanding Your Feelings and Emotions, RenticeHall. Inc, New Jersey.
151
THE INFLUENCE OF WORK-FAMILY CONFLICT ON JOB PERFORMANCE OF FEMALE LECTURERS Tyas Martika Anggriana Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP PGRI MADIUN email:
[email protected]
Abstract Work is one of the most important aspects in the life of an adult individual. The tendency of women to work cause problems. When at work, women are faced with the demands of work, whereas when it came home, the women will be exposed to domestic roles. Conditions of discomfort experienced by individuals in living their daily activities can lead to the emergence of stress. Stress experienced by individuals who work directly with the human face as a recipient of the service referred to as burnout. To face of stressful events, individuals need a social support. This study aims to determine the influence of work-family conflict, burnout and families support to job performance. This research was conducted in Institute of Teacher Training and Education PGRI Madiun. The study was conducted by using a quantitative approach non-experimental ex post-facto. Data collection techniques used is by using a questionnaire. The data analysis technique used is the regression analysis. The results of the analysis of research data shows that there is a significant influence work-family conflict to job performance.
Keywords: Job Performance, Work-Family Conflict
mengaktualisasikan dirinya dan
1. PENDAHULUAN
diarahkan pada pencapaian tujuan Bekerja sebagai
dapat
suatu
diartikan
upaya
tertentu. Individu bekerja karena
yang
dilandasi oleh dorongan untuk
dilakukan oleh individu dengan mengerahkan pikirannya
tenaga
memenuhi
dan untuk
152
kebutuhan,
baik
kebutuhan
fisiologis
maupun
karyawan sesuai dengan posisinya
psikologis.
dibandingkan
dilihat
masyarakat pada era globalisasi semakin
standar
yang dibuat. Selain itu dapat juga
Fenomena yang terjadi di
adalah
dengan
kinerja
tersebut
banyaknya
dari
karyawan
terhadap
karyawan
lainnya (Dessler, 2009).
perempuan yang bekerja di luar rumah. Motivasi yang mendorong
Job performance merupakan
perempuan bekerja tidak hanya
cerminan hasil yang dicapai oleh
didorong oleh kebutuhan ekonomi
seseorang atau sekelompok orang.
keluarga, melainkan juga ada
Kinerja
dorongan untuk mengaplikasikan
performance)
keterampilan
lembaga
dan
pengetahuan
perorangan (individual dengan
kinerja
(institutional
yang dimiliki, mengekspresikan
performance)
diri di tengah-tengah keluarga dan
perusahaan
masyarakat,
performance) terdapat hubungan
potensi
mengembangkan
yang
dimiliki
serta
tempat kerja, perempuan juga
karyawan
maka
kemungkinan
besar
kinerja (corporate
2010).
dengan job performance. Job
aktual
baik
performance) juga baik (Hendry,
Produktifitas berhubungan erat
adalah
performance)
perusahaan
memiliki
produktifitas kerja yang baik.
performance
(corporate
bila kinerja karyawan (individual
Sebagai seorang karyawan di
untuk
kinerja
yang erat. Dengan perkataan lain
mengaktualisasikan diri.
dituntut
atau
Menurut
prestasi
Simamora
dalam
(2006)
job
Mangkunegara
dibandingkan
performance dipengaruhi oleh tiga
dengan prestasi yang diharapkan
faktor, yaitu: (a) Faktor Individual
dari karyawan. Prestasi kerja yang
yang
diharapkan adalah prestasi standar
keahlian,
yang
demografi; (b) Faktor Psikologis
disusun
sebagai
acuan
sehingga dapat melihat kinerja
terdiri
153
mencakup latar
dari
kemampuan, belakang
persepsi,
dan
attitude,
personality,
pembelajaran
dan
keluarga dan sebaliknya, sehingga
motivasi; (c) Faktor Organisasi
kedua komponen konflik peran
terdiri
ganda dapat dijelaskan sebagai
dari
sumber
kepemimpinan,
daya,
penghargaan,
berikut:
struktur dan job design. Kecenderungan untuk
bekerja
tuntutan
urusan
menimbulkan
pekerjaan,
konflik
pada
sesuai
urusan
pekerjaan
mengganggu
urusan keluarga, artinya bentuk konflik
misalnya
antar
peran
dimana
tuntutan yang muncul didalam pekerjaan
tenaga yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan
menyelesaikan pekerjaan rumah
mengganggu tanggung
jawab
dalam keluarga.
tangga, mengatur waktu dengan anak
jawab
peran ganda dapat muncul akibat
berhubungan dengan waktu dan
dan
tanggung
interference with family). Konflik
dengan
perempuan akan dihadapkan pada
suami
dimana
dalam pekerjaan. (b) WIF (work
segera
kerja dan pulang ke rumah,
keluarga,
peran
mengganggu
pelaksanaan
deadline. Setelah melewati jam
tuntutan
antar
keluarga
beban kerja yang berlebihan dan
diselesaikan
mengganggu
tuntutan yang muncul di dalam
misalnya
harus
keluarga
urusan pekerjaan, artinya bentuk
tekanan kerja yang berasal dari
yang
(family
peran ganda dapat muncul akibat
perempuan
dihadapkan
pekerjaan
FIW
interference with work). Konflik
persoalan. Ketika di tempat kerja, perempuan
(a)
serta
Penelitian
Bachrach
dkk,
menyelesaikan urusan domestik
Cooked dan Rousseau, Greenhaus
lainnya dengan baik.
dan Beutell (dalam Netemeyer dkk, 1996) mengidentifikasikan
Penelitian Netemeyer (1996) menyatakan
bahwa
tiga elemen konflik peran ganda,
hubungan
yaitu: (a) Konflik berdasarkan
antara keluarga dan pekerjaan ini
waktu
bersifat dua arah, oleh karena itu
(Time-based
conflict).
Waktu yang dicurahkan untuk
pekerjaan dapat berpengaruh pada
154
menjalankan salah satu peran
masyarakat. Dalam melaksanakan
(keluarga atau pekerjaan) dapat
tugas
mengganggu
berkewajiban
atau
mencampuri
keprofesionalan,
dosen
melaksanakan
pemenuhan tanggung jawab pada
pendidikan,
peran
Konflik
pengabdian kepada masyarakat;
(Strain-
merencanakan,
lain.
berdasarkan
(b) tekanan
penelitian
dan
melaksanakan
based conflict). Terjadi pada saat
proses pembelajaran, serta menilai
tekanan dari salah satu peran
dan
mempengaruhi kinerja peran yang
pembelajaran; meningkatkan dan
lainnya. (c) Konflik berdasarkan
mengembangkan
perilaku
akademik dan kompetensi secara
(Behavior-based
conflict).Berhubungan ketidaksesuaian
dengan
berkelanjutan
hasil
kualifikasi
sejalan
dengan
pola
perkembangan ilmu pengetahuan,
perilaku dengan yang diinginkan
teknologi, dan seni. Hal tersebut
oleh kedua peran. Tuntutan umum
menunjukkan bahwa kewajiban
peran, seperti tanggung jawab,
yang
kebutuhan, harapan, tugas, dan
seorang
komitmen yang berkaitan dengan
terbatas pada kegiatan mengajar
peran tersebut.
di dalam ruang kuliah, namun
Menurut
antara
mengevaluasi
Berbagai
ilmu
kewajiban
dosen
waktu dan pikiran yang harus bisa
tugas utama mentransformasikan,
menyebarluaskan
hanya
tersebut menuntut curahan tenaga,
profesional dan ilmuwan dengan
dan
tidak
dosen di luar jam mengajar.
pendidik
mengembangkan,
dosen
oleh
harus dilakukan oleh seorang
Guru dan Dosen mendefinisikan adalah
dilakukan
masih banyak kewajiban lain yang
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Dosen
harus
diatur dengan baik. Berdasarkan
uraian
latar
pengetahuan, teknologi, dan seni
belakang masalah, peneliti tertarik
melalui
pendidikan, penelitian,
untuk
dan
pengabdian
konflik peran ganda terhadap job
kepada
155
mengetahui
pengaruh
performance
pada
dosen
Penelitian ini dilakukan di
perempuan IKIP PGRI Madiun.
IKIP PGRI Madiun. IKIP PGRI Madiun adalah sebuah LPTK
2. METODE PENELITIAN
(Lembaga
Berdasarkan pada kerangka berpikir
yang
ada,
Jl. Setia Budi No. 85 Madiun.
ditujukan
IKIP PGRI Madiun memiliki 13
kuantitatif-non
eksperimental.
Penelitian
untuk
Tenaga
Kependidikan) yang beralamat di
penelitian
dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Pendidikan
program
ini
studi
terakreditasi
mengetahui
yang
oleh
sudah BAN-PT
Kemendikbud.
hubungan suatu variabel dengan IKIP PGRI Madiun memiliki
variabel lain. Hubungan antara satu variabel dengan beberapa
196
variabel lain dinyatakan dengan
memiliki
besarnya koefisien korelasi dan
sesuai dengan program studinya
keberartian (signifikansi) secara
masing-masing. Dari 196 tenaga
statistik
pengajar
(Sukmadinata,
2009).
tenaga
pengajar
kualifikasi
tersebut,
yang
akademik
87
orang
diantaranya adalah perempuan.
Penelitian ini akan membuktikan pengaruh konflik peran ganda
Populasi dalam penelitian ini
terhadap job performance.
dibatasi pada dosen perempuan yang telah menikah, berjumlah 69
Konflik peran ganda adalah muncul
akibat
orang. Hal ini didasarkan pada
pertentangan
antara
kesesuaian dengan karakteristik
peran individu di dalam keluarga
penelitian. Berdasarkan jumlah
dan
populasi
konflik
yang
terjadinya
di
tempat
kerja.
Job
tersebut,
dilakukan
performance adalah hasil kerja
pengambilan
secara kualitas dan kuantitas yang
menggunakan
dicapai oleh seorang karyawan
Yamane,
dalam melaksanakaan pekerjaan
sampel sejumlah 59 orang. Teknik
yang
pengambilan sampel dilakukan
terkait
dengan
tujuan
organisasi.
156
sampel rumus
sehingga
dengan Taro diperoleh
dengan
menggunakan
random
dengan
sampling. pengumpulan
penelitian
menggunakan
data
ini
dengan
metode
angket.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis
Angket (kuesioner) merupakan
dilakukan
dengan
cara
memberi seperangkat pertanyaan
untuk
dijawabnya
(Sugiyono, 2012).
performance
diketahui
bahwa
frekuensi
tertinggi
job
sedang.
Adapun
frekuensi
data
performance Data yang terkumpul dari lapangan,
akan
menggunakan
di
yang
performance berada pada kategori
atau pernyataan tertulis kepada responden
deskriptif
dilakukan terhadap angket job
suatu teknik pengumpulan data yang
prinsip-
prinsip korelasi dan regresi.
Teknik pada
menggunakan
distribusi angket
adalah
job
sebagai
berikut:
analisis
analisis
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Angket Job Performance
regresi
untuk mengetahui ada tidaknya Kategor i
Interv al
Frekuens i
Persentas e
Tinggi
39-42
14
23,72%
antara dua atau lebih peubah
Sedang
35-38
24
40,68%
kuantitatif sehingga salah satu
Rendah
30-34
21
35,60%
pengaruh antar variabel. Analisis regresi adalah analisis statistika yang
memanfaatkan
hubungan
peubah dapat diramalkan dari peubah
lainnya
(http://web.ipb.ac.id). (2004:
929)
analisis
regresi
Kerlinger
Analisis
mendefinisikan adalah
deskriptif
yang
dilakukan terhadap angket konflik
suatu
peran ganda diketahui bahwa
metode untuk mengkaji akibat-
frekuensi
tertinggi
akibat dan besarnya akibat dari
penelitian
yang
lebih dari satu variabel bebas
konflik peran ganda berada pada
terhadap satu variabel terikat,
kategori
157
sedang.
subjek mengalami
Distribusi
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Pengaruh Konflik Peran Ganda terhadap Job Performance Variabel SSig R2 Ket. Beta Konflik -0,230 0,08 0,05 Tida peran 0 3 k ganda ada dan Job peng Perform aruh ance signi fika n
frekuensi data angket konflik peran
ganda
adalah
sebagai
berikut: Tabel 2. Distribusi Frekuensi Angket Konflik Peran Ganda Kateg ori
Inter val
Frekue nsi
Persent ase
Sanga t Tingg i
3135
3
5,08%
Tingg i
2630
23
Sedan g
2125
26
Rend ah
1520
7
Job performance perempuan 38,98 %
yang
44,07 %
sebagai
11,87 %
akan menjalankan peran domestik
sudah
dipengaruhi
menikah oleh
ibu
akan
statusnya
rumah
tangga.
Perempuan yang sudah menikah
sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung
jawab
atas
pengelolaan rumah tangga. Di sisi Berdasarkan regresi
uji
untuk
analisis
lain, perempuan yang bekerja
mengetahui
dituntut memiliki dedikasi yang
pengaruh konflik peran ganda terhadap
job
tinggi di tempat kerja, memiliki
performance
motivasi kerja yang tinggi, ulet
diperoleh nilai Standarized Beta sebesar
-0,230
signifikansi signifikan),
dengan
0,080 berarti
dan mampu menyelesaikan beban
taraf
kerja
(p<0,05; tidak
dengan
baik.
Artinya,
perempuan bekerja yang telah
ada
menikah harus mampu membagi
pengaruh signifikan konflik peran
waktu dan perhatiannya dengan
ganda terhadap job performance.
baik
dalam
pekerjaan
158
dan
menyelesaikan menjalankan
kewajibannya sebagai ibu rumah
kondisi kerja yang tidak terlalu
tangga.
menekan
Jika
terdapat
juga
dimungkinkan
ketidakseimbangan waktu untuk
menjadikan subjek memiliki job
keluarga dengan pekerjaan maka
performance
konflik akan muncul dan akan
Hubungan kekerabatan yang erat
menghambat job performance-
dalam keluarga serta dukungan
nya.
suami menyebabkan ringannya
dialami oleh perempuan yang
penelitian yang dilakukan oleh
berperan ganda.
Astrani Maherani (2008) yang bahwa
baik.
tekanan dalam keluarga yang
Hal ini sejalan dengan hasil
menyebutkan
yang
tidak
4. KESIMPULAN Berdasarkan
terdapat korelasi positif konflik
data
lanjut
pembahasannya
disimpulkan bahwa: Tidak ada
disampaikan bahwa hal tersebut
pengaruh konflik peran ganda
dapat
terhadap job performance Dosen
dikarenakan
para
ibu
konflik peran ganda yang terjadi dapat
5. REFERENSI
memenuhi
kebutuhan
keluarga
dan
pekerjaan,
meningkatan
karir
Analisis Regresi. http://web.ipb.ac.id Anwar Prabu Mangkunegara. 2006. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama Astrani Maherani. 2008. Pengaruh Konflik Peran Ganda dan Fear Of Success terhadap Kinerja Wanita Berperan Ganda. Jakarta: Universitas Gunadarma
dalam pekerjaan. Menurut peneliti, hal ini juga dapat terjadi karena ditunjang oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan
dapat
Perempuan IKIP PGRI Madiun.
bekerja telah dapat mengatasi
sehingga
pembahasan
analisis
peran ganda dan kinerja. Lebih dalam
dan
hasil
subjek
melimpakan tugas dan tanggung
Baron, R.A. & Byrne, D. 2000. Social Psychology. USA: Allyn & Bacon
jawab mengurus rumah tangga kepada pembantu rumah tangga atau kepada kerabat. Selain itu,
159
Baron, R.A. & J. Greenberg. 1997. Behavior in Organization Understanding and Managing The Human Side of Work. 5th Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Kerlinger, F. N. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press M. As‟ad. 2003. Psikologi Industri: Seri Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Liberty
Dessler, G. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Indeks
Netemeyer, R.G., J.S.Boles , R.Mc. Murrian. 1996. Development and Validation of Work-Family Conflict Scales. Journal of Applied Psychology, Vol. 81 No. 4, pp. 400-410
Gibson. 2003. Organisasi: Perilaku, Struktur, dan Proses. Jakarta: Erlangga. Greenhaus, J.H. & Beutell, N.J. 1985. Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review, 10 (1), 76-88.
Pines, A & E.Aronson. 1989. Career Burnout: Causes and Cures. New York: A Divition of Macmillan.Inc.
Hendry. 2010. Teori Kinerja. https://teorionline.wordpress.c om/2010/01/25/teori-kinerja/
Santrock, J. W. 2002. Life Span Development. Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Hennessy, K. D. 2005. Work-family conflict self-efficacy: Ascale validationstudy. http://drum.umd.edu/dspace/bit stream/1903/2526/1/umi-umd2410.pdf
Simon, T. L. .2002. The exploration of the working mother‟s plight through psychoanalytic, feminist and intersubjective approach. San Francisco Bay Campus Alliant International University. http://www.proquest.com.
Irwanto. 2002. Psikologi Umum. Jakarta: PT Prenhallindo Johana Purba, Aries Yulianto, dan Ervy Widyanti. 2007. Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Burnout Pada Guru. Jurnal Psikologi Vol. 5 No. 1, 77-87
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Kartini Kartono. 1994. Psikologi untuk Manajemen, Perusahaan dan Industri. Jakarta: PT. Grafindo Persada
Sukmadinata, N.S. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. 160
Bandung: Rosdakarya
PT.
Remaja
Taylor, S.E., Peplau, L.A., Sears, D.O. 2000. Social Psychology. New Jersey: Prentice-Hall
161
Indonesian Teen profile in the Pancasila and Islamic Guidance Siti Muhayati Guidance and Counseling FIP PGRI Madiun Teachers' Training College
[email protected]. Abstract The purpose of this paper is to determine the profile of Indonesian teenagers in guidance Pancasila, Islam, Pancasila and Islam. The purpose of writing is achieved by conducting research or library liteler PGRI Madiun Teachers' Training College This is a qualitative research method, data source documentation, data collection with documents, with inductive data analysis. Discussion are the benefits for Teens. Teens in undergoing development tasks have guidelines so that they are able to both to achieve his or her identity. Parents. Parents in assisting son / daughter teens have guidelines that your son / daughter well able to achieve his or her identity. The School. Educators at the level of the First School and High School students also have guidelines in order to achieve his or her identity as it should be. Uli Amri. Uli Amri also need not have guidelines that teenagers are well able to achieve his or her identity by creating a community environment conducive. Issuesin this discussion is how the Indonesian Teen profile in Guidance Pancasila; How Teens Profile Indonesia in Islamic Guidance; How Teens Profile Indonesia in Pancasila and Islamic Guidance. The result of the discussion showed that the profile of Indonesian teenagers in Pancasila guidance is appropriate agreed value of Indonesia, Indonesian teenagers profile in Islamic guidance is godless Tawhid (God); obediently law (God, Apostle and Uli Amri), Recognizing, respecting, protecting Human Rights Syar'i, high tolerance; Akhlaqul Karimah (istigfar, ascetic, qona'ah, iffah, hilmun, patience, resignation, ridlo) love and develop science, technology and art fit his chosen profession; Indonesian teenager profile in Pancasila and Islamic guidance is in accordance with the guidance of youth in Islam Keywords: Profile, Teen, Pancasila, Islam A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila, Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Sila Ketiga Persatuan Indonesia, Sila
Keempat Permusyawaratan Rakyat Yang Dipimpin Oleh Kebijaksanaan dan Perwakilan, Sila Kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Didasarkan pada falsafah tersebut maka bangsa Indonesia memiliki profil 162
Bertuhan, Mengakui, menghormati, melindungi hak asasi manusia, Bersifat adil, Beretika, Suka Damai, Suka musyawarah untuk mencari hikmah, Suka diwakili, adil dalam sosial. Jika bangsa Indonesia dewasa memiliki profil maka profil tersebut diestafetkan pada generasi berikutnya dalam hal ini adalah remaja. Islam sebagai falsafah manusia termasuk bangsa Indonesia dan remajanya maka Islam membimbing manusia untuk bertuhan (syahadatain, sholat, shiam, zakat dan haji), taat hukum( thaharoh, adhiya‟, aqiqoh, walimtul „ursy, hibah, wakaf, washiat, perkawinan, kewarisan, “pengakuan penghormatan perlindungan hak syari manusia”: ruh, akal, harta, silsilah, agama, nama baik), akhlaq(zuhud, qona‟ah, iffah, hilmun, syaja‟ah, sabar, tawakkal, dan ridlo). Didasarkan pada falsafah tersebut maka bangsa Indonesia memiliki profil Bertuhan, Mengakui, menghormati, melindungi hak syar‟i manusia, beraklaqul karimah. Remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa
dewasa. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. (http://belajarpsikologi.com/perkem bangan-psikologis-remaja/).
Remaja mempunyai tugas perkembangan, oleh karena itu membutuhkan bimbingan dari Pancasialis dan Islamis dengan materi Pancasila dan Islam. Uraian diatas menjadi alasan penulis membuat pembahasan ini ini dengan judul Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Pancasila dan Islam. 2. Manfa‟at Pembahasan Remaja Remaja dalam menjalani tugas perkembangannya mempunyai pedoman agar mereka mampu dengan baik untuk mencapai identitas dirinya. Orang Tua Orang tua dalam mendampingi putra/putrinya yang remaja mempunyai pedoman agar putra/putrinya mampu dengan baik untuk mencapai identitas dirinya Sekolah Pendidik di jenjang Sekolah Pertama dan Sekolah Menengah juga mempunyai pedoman agar siswanya
163
mencapai identitas dirinya sesuai dengan yang seharusnya Uli Amri Uli Amri juga tidak ketinggalan mempunyai pedoman agar para remaja mampu dengan baik untuk mencapai identitas dirinya dengan membuat lingkungan masyarakat kondusif. 3. Perumusan Masalah Masalah pembahasan ini adalah Bagaimana Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Pancasila. Bagaimana Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Islam Bagaimana Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Pancasila dan Islam 4. Tinjauan Pustaka a. Profil
(Kamus
menjadi
perhatian Bahasa Indonesia.org)
b. Remaja Pengertian Remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. (http://belajarpsikologi.com/perkem bangan-psikologis-remaja/).
Tugas Perkembangan Fisik Perkembangan fisik Perkembangan fisik pada remaja meliputi perkembangan seksualitas.
Pengertian Kognitif Perkembangan meliputi inteleginsia
Profil adalah pandangan dr samping (tt wajah orang; lukisan (gambar) orang dr samping; sketsa biografis; ) penampang (tanah, gunung, dsb); grafik atau ikhtisar yg memberikan fakta tentang halhal khusus. Sinonimnya adalah bentuk, biografi, figur, kontur, memoar, potret, raut, riwayat hidup, siluet. Dalam pembahasan ini profil diartikan figur yaitu pusat sentral yg
kognitif
Sosial Perkembangan sosial meliputi dorongan untuk berdiri sendiri, konformitas kelompok, remaja dalam waktu luang, remja dalam sekolah. Moral Agama Perkembangan tingkah laku moral meliputi kesadaran mentaati peraturan moral, 164
Menghayati nilai nilai moral, sikap moral
diberi kalung yang berupa rangkaian bunga. Jika remaja memilih konsep tuhannya dinamisme/ polytheisme/ maka mereka menuhankan para dewa, dewa langit, dewa bumi, dewa angin, dewa hujan dan lainnya, dewa brahma, dewa wisnu dewa syiwa , ritualnya menyembah para dewa yang divisualkan dengan patung para dewa tersebut. Jika remaja memilih konsep tuhannya kultus individu maka mereka menuhankan Sidharta Gautama( Budha Gautama), Yesus Kristus, Trinitas( tuhan bapa, tuhan anak, tuhan bunda/ ruh kudus), ritualnya menyembah Budha Gautama, Yesus Kristus, tuhan bapa, tuhan anak, tuhan bunda/ ruh kudus yang divisualkan dengan patung. Jika remaja memilih konsep tuhan tauhid maka mereka menuhankan Allh, ritual hablum minallahnya dengan sholat, puasa, zakat, hajji. 2) Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil
Hubungan Keluarga Perkembangan hubungan keluarga meliputi standar perilaku, metode disiplin, hubungan dengan saudara kandung, besarnya keluarga Kepribadian Perkembangan kepribadian meliputi sikap idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan c. Pancasila Materi Bimbingan: 1) Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Intinya adalah bertuhan. Makshud bertuhan yaitu remaja Indonesia wajib bertuhan, sedang konsep tuhannya boleh memilih antara konsep tuhan animisme, dinamisme/ polytheisme/trimurti, kultus individu/ trinitas atau tauhid. Jika remaja memilih konsep tuhan animisme maka mereka menuhankan ruh nenek moyang, ritualnya menyembah ruh nenek moyang yang divisualkan dengan foto orang yang telah meninggal dunia yang didepannya diberi dupa-dupa atau lehernya
165
dan Beadab. Intinya adalah Mengakui, menghormati, melindungi hak asasi manusia, Bersifat adil, Beretika. Maksudnya yaitu remaja Indonesia wajib mengakui, menghormati, melindungi hak asasi manusia lain sebagaimana yang direkomendasikn oleh Declaration of Humans Right. Bersifat adil makshudnya yaitu remaja Indonesia wajib bersifat adil dengan standar nilai yang terkandung dalam perundang undangan yang berlaku di Indonesia. Beretika, maksudnya yaitu perkataan dan perbuatannya harus berdasarkan peraturan yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sila Kedua ini berlaku pada remaja yang beragama apapun. 3) Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Intinya suka damai. Maksudnya yaitu remaja Indonesia wajib suka damai dengan mnusia yang lain baik skala nasional maupun internasional. Sila Ketiga
ini berlaku pada remaja yang beragama apapun. 4) Sila Keempat: Kerkyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Intinya adalah Suka musyawarah untuk mencari hikmah, Suka diwakili. Maksudnya remaja Indonesia jika ada masalah wajib dimusyawarahkan untuk mencari kebenaran baik mereka hadir sendiri atau diwakilkan. 5) Sila Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Intinya adalah adil dalam sosial. Maksudnya yaitu remaja Indonesia wajib berbuat adil dalam masyarakat terutama dalam pemerataan pendapatan. d. Islam Materi Bimbingan Islam: 1) Aqidah Konsep tuhannya adalah Tauhid, yang disembah adalah Allah, dengan ritual sholat lima waktu, puasa di bulam Romadhon, mengeluarkan zakat fithrah/maal, hajji. 2) Hukum Islam a) Pengertian
166
Hukum Islam adalah peraturan Allah yang dibuat oleh Allah yang mengatur hubungan manusia degan Allah, dengan manusia dan dengan alam. b) Ruang Lingkup Hukum Thoharoh Inti dari materi thoharoh adalah manusia diwajibkan menjaga kebersihan dan kesucian lahiriah untuk terbiasa hidup bersih dan suci agar senantiasa hidup sehat dan indah. Materi bimbingannya adalah cara bersuci dari hadats kecil dan besar, benda benda najis dan cara mensucikannya, alat bersuci, dan perbuatan yang dilarang dilakukan selama manusia dalam keadaan hadats. Hukum Ibadah Inti Ibadah adalah membimbing manusia agar ruhnya tenang dan gejala yang nampak kepada manusia tidak membuat orang lain sedih dan merasa terancam. Materi bimbingannya adalah tentang sholat(
menahan perbuatan keji dan munkar), shiam( melatih ruh manusia berempati dan menahan perbuatan insosial), zakat( berempati, persamaan hak, pemerataan pendapatan), hajji( pembiasaan ruh berpisah dengan orang/benda /domisili yang dicintai ). Hukum Perkawinan Inti hukum perkawinan adalah pembiasaan ruh manusia untuk menjauhi zina, pacaran, mana mahram dan mana yang bukan mahram, pembiasaan melaksanakan kewajiban sebagai suami/istri, pembiasaan melaksanakan sebagai anak / orang tua. Hukum Kewarisan Inti hukum kewarisan adalah pembiasaan manusia untuk melaksanakan kewajiban pemerataan pendapatan, pembiasaan prioritas pada orang yang memiliki tanggung
167
jawab yang lebih besar. Hukum Kewarganegaraan Inti hukum kewarganegaan adalah pembiasaan warga negara yang baik dalam mentaati peraturan uli amri tentang segala aspek kehidupan. Hukum Ekonomi Inti hukum ekonomi adalah pembiasaan manusia makan hak orang dengan halal/ dibenarkan oleh Allah, pembiasaan tidak mengeksplorasi manusia, pembiasaan memanfaatkan rezki dari Allah sesuai dengan proporsinya, pembiasaan pemerataan pendapatan. Hukum Politik Inti Hukum politik adalah pembiasaan manusia untuk melaksanakan kewajiban dalam peran sertanya mengelola negara. Materinya adalah kewajiban warga nagara dan pemimpin negara, suksesi kepemimpinan,
pengelolaan uang negara. Hukum Pidana Islam/ Keamanan/ Pertahanan Inti Hukum Pidana Islam/Keamanan/Perta hanan mengakui, menghormati, melindungi Hak Syar‟i Manusia. Materinya adalah Hukum Pidana Islam. 3) Akhlaq a) Pengertian Standart baik dan buruk perkataan dan perbuatan manusia AlQur‟an dan Al-Hadits b) Cara Mencapai Akhlaqul Karimah Istigfar Minta ma‟af pada Allah karena berkata dan berbuat yang merugikan diri sendiri dan orang lain Zuhud Hidup sederhana sesuai dengan kemampuan Qona‟ah Mencukupkan diri dari apa yang diterima tanpa mengurangi usaha dengan keras Iffah
168
Menahan diri dari marah Hilmun Menahan diri dari berbuat mashiat Syaja‟ah Berani berkata dan membela kebenaran Sabar Bertahan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah dimana, kapan dan dalam keadaan apapun Tawakkal Segala usaha dan hasil akhir diserahkan kepada Allah Ridlo Menerima apapun keputusan Allah( takdir baik atau buruk) setelah berusaha dan tawakkal 5. Tujuan Pembahasan Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Pancasila Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Islam
Profil Remaja Indonesia dalam Bimbingan Pancasila dan Islam B. PEMBAHASAN 1. Bimbingan Pancasila a. Fisik Fisik Remaja dibimbing Pancasila dengan cara diserahkan ke masingmasing ajaran agamanya dan hasil penemuan ilmiah. b. Kognitif Kognitif Remaja dibimbing Pancasila dengan cara diserahkan ke masingmasing ajaran agamanya dan hasil penemuan ilmiah. c. Sosiaosial remaja dibimbing Pancasila dengan cara diserahkan ke masingmasing ajaran agamanya dan hasil penemuan ilmiah d. Moral Agama Standar baik buruk perkataan dan perbuatan dibimbing Pancasila dengan cara diserahkan ke masingmasing ajaran agamanya dan nilai yang disepakati masyarakat atau hasilfikian manusia. e. Hubungan Keluarga Hubungan Keluarga diserahkan pada kesepakatan masyarakat f. Kepribadian Kepridian terbentuk didasarkaan pada kesepakatan masyarakat
169
b. Ta‟at hukum Allah, Rasul dan uli amri c. Aklaqul Mahmudah d. Cinta dan menembangkan ilmu, teknologi dan seni e. Toleransi yang tinggi f. Sederhana g. Bekerja keras
2. Bimbingan Islam a. Fisik Fisik dilatih berenang, memanah, berkuda dan wajib bersih dari semua hadats dan semua najis. b. Kognitif Kognitif wajib diisi ilmu tanjiliah dan ilmu kauniyah sesuai profesinya c. Sosial Sosial dibimbing dengan selain hablum minalloh juga hablum minnaas dalam lingkup sempit dan luas d. Moral Agama Standar moral agamadibimbing sesuai dengan Al Qur‟an dan AlHadits e. Hubungan Keluarga Hubungan keluarga dibimbing dengan munakahat f. Kepribadian Kepribadian dibimbing dengan semua peraturan Islam yang tertera dalam AlQur‟an, Al-Hadits dan hasil ijtihad mujtahid.
C. Penutup 1. Simpulan Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa a. Profil Remaja Indonesia yang dibimbing Pancasila adalah sesuai dengan profil yang disepakati masyarakat b. Profil Remaja Indonesia yang dibimbing Islam seperti berikut: 1) Iman Islam yaitu mengimani Allah dan PeraturanNya 2) Ta‟at hukum Allah, Rasul dan uli amri 3) Aklaqul Mahmudah 4) Cinta dan menembangkan ilmu, teknologi dan seni 5) Toleransi yang tinggi 6) Sederhana 7) Bekerja keras
3. Bimbingan Pancasila dan Bimbingan Islam Profil Remaja Indonesia yang dibimbing Pancasila dan Islam seperti berikut: a. Iman Islam yaitu mengimani Allah dan PeraturanNya
c. Profil Remaja Indonesia yang dibimbing Pancasila dan Islam seperti berikut: 1) Iman Islam yaitu mengimani Allah dan PeraturanNya
170
2) Ta‟at hukum Allah, Rasul dan uli amri 3) Aklaqul Mahmudah 4) Cinta dan menembangkan ilmu, teknologi dan seni 5) Toleransi yang tinggi 6) Sederhana 7) Bekerja keras
mencapai identitas dirinya dengan membuat lingkungan masyarakat kondusif. DAFTAR PUSTAKA Elisabeth S Hurlock, 1980, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta : Erlangga
2. Saran a. Remaja Remaja dalam menjalani tugas perkembangannya mempunyai pedoman agar mereka mampu dengan baik untuk mencapai identitas dirinya. b. Orang Tua Orang tua dalam mendampingi putra/putrinya yang remaja mempunyai pedoman agar putra/putrinya mampu dengan baik untuk mencapai identitas dirinya c. Sekolah Pendidik di jenjang Sekolah Pertama dan Sekolah Menengah juga mempunyai pedoman agar siswanya mencapai identitas dirinya sesuai dengan yang seharusnya d. Uli Amri Uli Amri juga tidak ketinggalan mempunyai pedoman agar para remaja mampu dengan baik untuk
F.J. Monks, A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditomo, 2004, Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Pres http://kamusbahasaindonesia.org/figur /mirip
Jammal
Sri
„Abdur Rahman, 2005, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasululloh SAW, Bandung: Irsyad Baitus Salam
Ruini, Siti Sundari, 2004, Perkembangan Anak &Remaja, Jakarta: Rineka Cipta
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kombinasi(Mixed Methods), Bandung: Alfabeta Sulaiman Rasyid, 2008, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo
171
EFEKTIVITAS MODEL BIMBINGAN KELOMPOK BERBASIS BUDAYA JAWA UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL SISWA SMP NEGERI 1 DAGANGAN KABUPATEN MADIUN Rischa Pramudia Trisnani*) Asroful Kadafi*)
[email protected] [email protected] ABSTRACT The purpose of this study is The objective of this research resulted in a model-based group counseling Javanese culture that effectively improve student prosocial behavior. This study uses the method experiment with test subjects selected 8 students are purpusive sampling. The results showed that the modelbased group counseling Javanese culture effectively to improve student prosocial behavior. Levels of prosocial behavior prior guidance was 46% and the group after group guidance increased to 76%. An increase of 31%. This increase occurred in all indicators of prosocial behavior. T-test results show the value Asymp.Sig. (2-tailed / asymptotic significance for two-sided test is 0.001, this means that the Javanese culture-based group counseling is effective to improve students' prosocial behavior. Suggested: Group gudance model based on Java culture that was developed in this study can be used by teachers or counselor as one of alternative services in helping students to improve their prosocial behaviors to improve their. Keywords: Prosocial behavior, group guidance model based on Java cultural
PENDAHULUAN
perilaku yang memberi manfaat pada sehari-hari
orang lain. Tingkah laku prososial
manusia tidak bisa lepas dari tolong
(Prosocial Behavior) dapat diartikan
menolong
serta
juga sebagai segala tindakan apapun
kepedulian
terhadap
Dalam
kehidupan
mempunyai orang
yang
lain.
menguntungkan
orang
lain.
(2009:14)
Secara umum istilah ini diaplikasikan
kemandirian
pada tindakan yang tidak menyediakan
seseorang pada saat-saat tertentu dia
keuntungan langsung pada orang yang
akan
lain.
melakukan tindakan tersebut, dan
tolong
bahkan mengandung derajat resiko
Menurut setinggi
Faturrohman apapun
membutuhkan
Perilaku
prososial
orang atau
tertentu (Baron & Byrne, 2005 : 120).
menolong dalam kehidupan sehari-hari dapat
dipahami
sebagai
segala 172
Rahman
Seseorang
sekolah, maka keberadaan bimbingan
prososial
dan konseling di sekolah sangat
memberikan
diperlukan sejak pada jenjang taman
keuntungan pada satu atau banyak
kanak-kanak hingga jenjang perguruan
orang, sedangkan seseorang yang
tinggi.
memiliki perilaku prososial rendah
bahwa ketercapaian pendidikan bukan
cenderung tidak memiliki kepedulian
hanya ditentukan oleh faktor akademis
untuk menolong, tidak mau berbagi,
saja, namun menyangkut semua aspek
sulit bekerja sama, serta cenderung
kepribadian siswa. Nurihsan (2006:4)
tidak
tidak
berpendapat bahwa dalam pencapaian
memperhatikan hak dan kesejahteraan
standar kemampuan akademis dan
orang lain. Sementara dengan orang
tugas-tugas
yang
didik memerlukan kerjasama yang
yang
(2013:220)
memiliki
cenderung
perilaku
untuk
disiplin
memiliki
dan
perilaku
prososial
Sesuai
dengan
kurikulum
perkembangan
peserta
tinggi akan melakukan tindakan secara
harmonis
antara
sukarela dan menghasilkan kebaikan
pelaksana
manajemen
bagi orang lain.
(kepala sekolah), pengajaran (guru
Berdasarkan uraian diatas dapat
mata
pelajaran),
pengelola
dan
pendidikan
dan
bimbingan,
disimpulkan bahwa perilaku prososial
karena ketiganya merupakan bidang-
disamaartikan
bidang
menolong.
dengan Perilaku
perilaku menolong
utama
dalam
pencapaian
pendidikan.
memang menjadi bagian utama dalam
Guru bimbingan dan konseling
perilaku prososial. Namun, perilaku
merupakan salah satu pendidik di
prososial
sekolah yang memberikan pelayanan
sendiri
dapat
terbentuk
melalui beragam cara. Perilaku ini
bimbingan
mencakup
melakukan
perannya
membagi, kerjasama, menyumbang,
memberikan
layanan
bimbingan
menolong, kejujuran, kedermawanan,
kelompok.
Layanan
bimbingan
serta
kelompok
merupakan
tindakan-tindakan:
mempertimbangkan
kesejahteraan orang lain. Bimbingan
dan
dan
konseling
dapat dengan
layanan
primadona karena melibatkan banyak konseling
siswa dan dapat memunculkan topik
merupakan bagian yang terintegral dan
yang
terpadu dalam proses pembelajaran di
memberikan 173
aktual.
Selain solusi
itu
dapat
tepat
bagi
pembahasan topik yang dimunculkan
ada banyak potensi budaya yang dapat
siswa atau topik yang diangkat oleh
digunakan sebagai kekuatan dalam
pemimpin
melaksanakan
studi
kelompok.
pendahuluan
Berdasarkan
bimbingan.
peneliti
Budaya dapat dilihat sebagai jalan
wawancara
keluar atas solusi bagi masalah secara
kepada guru bimbingan dan konseling
pribadi maupun kelompok, karena apa
di
Dagangan
yang dipikirkan, diinginkan, dirasakan
diperoleh
dan dikerjakan banyak ditentukan oleh
informasi bahwa layanan bimbingan
budaya setempat (Mar‟at dan Kartono,
kelompok sudah dilaksanakan. Namun
2006:82). Namun layanan bimbingan
pelaksanaanya belum maksimal, hal
kelompok yang dilaksanakan konselor
ini terlihat dari program bimbingan
saat ini belum memperhatikan budaya
dan konseling yang disusun bahwa
setempat yaitu sesuai dengan tempat
layanan
tinggal peneliti di daerah Madiun yang
lakukan
yaitu
SMP
yang
layanan
dengan
Negeri
Kabupaten
1
Madiun
bimbingan
kelompok
dilaksanakan hanya sekitar 20%, guru
dapat
pembimbing lebih sering memberikan
efektif dalam memberikan bantuan
konseling
kepada siswa. Atas dasar itulah maka
individuual
layanan
dari
secara
pemanfaatan kelompok
layanan juga
pada
kelompok,
timbul
bimbingan
mengembangkan
belum
optimal
strategi
pemikiran model
untuk bimbingan
Selain permasalahan tentang tata
bimbingan
tertib tersebut beberapa guru sempat
kelompok yang dilakukan lebih mirip
mengeluhkan tentang perilaku siswa
seperti
diskusi
kejelasan
dari
waktu,
sebagai
kelompok berbasis budaya jawa.
dikarenakan berbagai hal terutama keterbatasan
digunakan
karena
tidak
ada
yang kurang memperhatikan sopan
setiap
tahapannya
santun terhadap sesama, baik berbicara
sehingga siswa kurang berminat untuk
dalam
menikuti kegiatan kelompok.
ataupun dalam perilakunya. Masalah
Bimbingan
kelompok
sebagai
berbicara
dengan
gurunya
sopan santun dengan sesama yang
salah satu bentuk intervensi langsung
sangat
kepada siswa seharusnya terbuka pada
masyarakat
berbagai potensi budaya yang dimiliki
terlalu dipedulikan lagi oleh siswa.
oleh masing-masing daerah, karena
Hal inilah yang menjadi keprihatinan 174
dijunjung Jawa
tinggo
oleh
sekarang
tidak
semua pihak. Berdasarkan informasi
karakter pada diri siswa tersebut yang
tersebut peneliti berasumsi bahwa
akan membedakannya dengan orang
salah satu faktor yang menyebabkan
lain dan membantu siswa tersebut
banyaknya
mengatasi semua permasalahan yang
perilaku
yang
tidak
diinginkan muncul karena kurangnya
akan ia temui nantinya.
perilaku prososial yang dimiliki oleh
Dengan
siswa.
kelompok
Semua
permasalahan
tersebut
demikian berbasis
bimbingan
budaya
Jawa
merupakan salah satu intervensi yang
perlu untuk segera ditanggulangi baik
direncanakan
secara
kuratif.
individu-individu melalui proses antar
kelompok
pribadi yang dinamis yang berorientasi
preventif
Layanan
ataupun
bimbingan
dipandang tepat dalam membantu
pencegahan
siswa
dan
Melalaui
dalam
berbasis
mengembangkan
memahami
diri
dirinya, karena
bimbingan kelompok siswa memanfaatkan untuk
dinamika
mencapai
dapat
dan
membantu
pengembangan.
bimbingan budaya
kelompok
Jawa
diharapkan
peserta didik mampu secara mandiri
kelompok
tujuan
untuk
meningkatkan
bersama.
dan
pengetahuannya,
menggunakan mengkaji
dan
Dengan layanan bimbingan kelompok
menginternalisasi
siswa dapat saling berinterkasi antar
mempersonalisasi nilai-nilai budaya
anggota kelompok dengan berbagai
yang ada sehingga terwujud dalam
pengalaman,
perilaku sehari-hari.
pengetahuan,
gagasan
atau ide-ide, dan diharapkan dapat
serta
Berdasarkan permasalahan di atas
memberikan pemahaman kepada siswa
dan
potensi
budaya
yang
dapat
mengenai diri dan lingkungannya.
diintegrasikan sebagai kekuatan dalam
Tujuan bimbingan kelompok ini
pelayanan bimbingan dan konseling,
tidak lepas dari unsur etis normatif.
karena itu peneliti mengangkat judul
Dimana dalam layanan bimbingan
dalam
kelompok yang diberikan tersebut
“Bimbingan
siswa
menemukan
Budaya Jawa untuk Meningkatkan
makna nilai kehidupannya. Nilai-nilai
Perilaku Prososial Siswa Kelas VII
positif yang diyakini kebenarannya
SMP Negeri 1 Dagangan Kabupaten
oleh siswa akan membentuk sebuah
Madiun ” dengan satu harapan bahwa
dibantu
untuk
175
penelitian
ini
Kelompok
adalah Berbasis
dengan model bimbingan kelompok
pengertian
ini dapat membantu siswa dalam
kelompok adalah layanan bantuan
meningkatkan perilaku prososialnya.
yang diberikan kepada individu dalam
LANDASAN TEORI
situasi kelompok sebagai aktivitas-
Hakikat Bimbingan Kelompok Bimbingan kelompok
aktivitas kelompok, dimana layanan
merupakan bimbingan yang dilakukan
layanan informasi yang terencana dan
secara kelompok terhadap sejumlah
terorganisasi
individu untuk mencegah timbulnya
mengembangkan pemahaman diri dan
masalah dan mengembangkan potensi
pemahaman
individu. Menurut Romlah (2006: 3)
untuk
bimbingan kelompok adalah proses
masalah atau kesulitan pada diri
pemberian bantuan yang diberikan
individu.
kepada
Tujuan Bimbingan Kelompok
individu
dalam
bantuan
situasi
bahwa
yang
bimbingan
diberikan
untuk
memperbaiki,
mengenai
mencegah
berupa
orang
lain
berkembangnya
kelompok. Artinya bahwa kegiatan
Tujuan Bimbingan kelompok menurut
bimbingan
Winkel & Sri Hastuti (2010: 547)
kelompok
merupakan
proses bantuan yang diberikan kepada
“adalah
menunjang
sekolompok individu yang mengalami
pribadi
dan
permasalahan yang sama.
masing-masing
Menurut Natawijaya (2009: 3637),
bimbingan
dimaksudkan
untuk
berkembangnya
perkembangan
perkembangan anggota
sosial
kelompok
serta meningkatkan mutu kerja sama
kelompok
dalam kelompok guna aneka tujuan
mencegah
yang bermakna bagi para partisipan”.
masalah
atau
Prayitno
(2012;150)
menjelaskan
kesulitan pada diri klien, isi kegiatan
“tujuan bimbingan kelompok secara
bimbingan
umum
penyampaian berkenaan
kelompok
terdiri
informasi dengan
atas yang
adalah
kemampuan
masalah
berkembangnya
sosialisasi
siswa,
khususnya kemampuan komunikasi
pendidikan, pekerjaan, pribadi dan
peserta layanan”.
masalah sosial yang tidak disajikan
Dari
dalam bentuk pelajaran.
disimpulkan
Berdasarkan beberapa pendapat
pendapat
kelompok
ahli tersebut dapat ditarik sebuah
di bahwa
memiliki
atas
dapat
bimbingan tujuan
untuk
menunjang perkembangan pribadi dan 176
sosial,
meningkatnya
kerja
sama,
kemampuan
kemampuan
kelompok dan wujudnya sendiri tidak
berkembangnya
hanya berbentuk fisik tetapi juga non
bersosialisasi
berkomunikasi
anggota
dan
fisik.
kelompok
Sedangkan menurut Mulyana
sehingga terhindar dari permasalahan
dan Jalaluddin (2006:18) budaya itu
yang berkaitan dengan topik atau
sendiri merupakan: Suatu konsep yang membangkitkan minat. Tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan dirinya dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Dari penjelasan mengenai
masalah yang dibahas. Budaya Jawa Konsep Budaya Sulasman
(2013
:20)
mendifinisikan budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oelh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena telah diakui secara luas bahwa budaya membawa pengaruh bagi karakteristik individu
dan
kelompok
individu.
Prosser (dalam Supriadi, 2001: 5) menyatakan bahwa budaya meliputi berbagai
hal,
mulai
dari
tradisi,
kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan, dan berpikir yang telah
budaya di atas maka, dapat dipahami
terpola dalam suatu masyarakat dan
bahwa budaya adalah suatu pola hidup
diwariskan dari generasi ke generasi serta
memberikan
identitas
menyeluruh,
pada
budaya
bersifat
kompleks, abstrak, dan luas. Budaya
komunitas pendukungnya. Dari uraian
itu terbentuk dari unsur yang rumit,
tersebut jelaslah bahwa yang menjadi
termasuk sistem agama, politik, adat
subyek sekaligus obyek budaya adalah
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
manusia baik secara individu maupun
bangunan
177
dan
karya
seni.
Tabel. 1. Nilai dan Ajaran Budaya Jawa No
Nilai
Ajaran
Perilaku
1.
Toleransi
Wong jowo Nggone Sewu yang artinya Orang jawa itu peka terhadap bahasa lambang. Dalam pergaulan orang jawa selalu menyatakan semua keinginan, pendapat, tujuan dan tindakannya tidak secara terbuka secara simbolis kepada orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari “menganggukkan kepala ketika mengatakan “iya” atau “mau” terhadap sesuatu hal, Marah sekalipun, tetap disampaikan dengan semu. Dengan cara semacam ini, diharapkan jarak sosial tetap terjaga, keretakan sosial akan terjaga melalui budaya semu halus karena orang jawa cenderung menjalankan hidupnya untuk membahagiakan sesama.
2.
Kesopanan
Dhupak bujang esem mantra, Semu bupati, Sasmita narendra yang artinya Dalam menyampaikan segala sesuatu orang jawa selalu memperhatikan siapa yang dituju
Berbicara santun terhadap orang yang lebih tua dengan kata “panjenengan”, kepada sesame dengan kata “sampeyan” dan kepada orang yang lebih muda juga dengan kata “sampeyan”.
3.
Demokratis
Nguwongké lan diuwongké yang artinya Bersedia memanusiakan orang lain dan dari lain pihak dirinya juga merasa dimanusiakan oleh orang lain
Tidak memaksakan pendapat, bila terjadi konflik biasanya meminta untuk dimusyawarahkan dengan mengeluarkan kalimat pendek “nyuwun sewu”
4.
Kebersamaan
Cacah Agawe Bubrah-Rukun agawe santosa yang artinya Orang jawa menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir saling menghormati.
Bekerja sama dan menjalin hubungan dengan rendah hati sehingga tidak menimbulkan perpecahan serta “tepa sliro” individu berusaha selalu bersimpati terhadap orang lain, “Empan mapan” tahu kondisi dan situasi sehingga tolerlansi dapat selalu terjaga.
178
5.
Kepedulian
Rasa pangrasa yang artinya Rasa rumangsa
Perilaku Prososial Hakekat Perilaku Prososial Baron dan Byrne (2005:120),
beberapa kasus bisa saja tidak dapat mencapai tujuannya. Hal ini dapat disebabkan karena penolong tidak
menyatakan bahwa perilaku prososial
mengetahui kesulitan korban yang
adalah suatu tindakan menolong yang
sesungguhnya.
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan
suatu
tersebut,
dan
Holander
(dalam
Sarlito dan Eko, 2012:123) atau
keuntungan
karena penolong tidak mempunyai
langsung pada orang yang melakukan tindakan
Bergaul tidak memandang harkat, martabat, kekayaan dan sebagainya. Tenggang rasa, bepergian selalu bersama-sama, kemana-mana bersama, sering makan bersama, saling memperhatikan,”eling/sadar”, bahwa individu senantiasa sadar siapa dirinya, “rila” melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan “narima” tidak memaksakan kehendak, “Andhap Asor” selalu menghargai orang lain dan “berbudi luhur”.
keterampilan yang dibutuhkan untuk
mungkin
menolong
bahkan melibatkan suatu resiko bagi
korban
sehingga
dapat
berakibat fatal, baik bagi penolong
orang yang menolong.
maupun yang ditolong. Menurut
Sarlito
dan
Eko Berdasarkan
(2012: 123) Tingkah laku menolong,
beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh
atau dalam psikologi sosial dikenal
para
dengan tingkah laku prososial adalah
ahli
diatas
dapat
peneliti
memahami bahwa perilaku prososial
tindakan individu untuk menolong
adalah suatu tindakan menolong orang
orang lain tanpa adanya keuntungan
lain
langsung bagi penolong. Menolong
tanpa
adanya
keuntungan
langsung bagi penolong. Diharapkan
sebagai tingkah laku yang ditujukan
dengan adamya perilaku prososial ini
untuk membantu orang lain, dalam 179
memungkinkan individu untuk dapat
lain. Secara umum, perilaku prososial
memiliki tenggang rasa, solidaritas
disamaartikan
yang tinggi serta dapat bermanfaat
menolong. Namun disini, kita harus
bagi orang lain.
membedakan
dengan
kedua
perilaku
hal
tersebut.
Perilaku menolong memang menjadi Model Bimbingan Kelompok Berbasis Budaya Jawa Untuk Meningkatkan Perilaku Prososial Siswa
bagian
utama
dalam
perilaku
prososial. Namun, perilaku prososial sendiri
Bimbingan kelompok berbasis
dapat
terbentuk
melalui
beragam cara. Perilaku ini mencakup
budaya Jawa adalah layanan bantuan
tindakan-tindakan:
yang diberikan kepada individu dalam
kerjasama, menyumbang, menolong,
situasi kelompok sebagai aktivitas-
kejujuran,
aktivitas kelompok, dimana layanan
mempertimbangkan
bantuan
orang lain.
yang
diberikan
berupa
membagi,
kedermawanan,
serta
kesejahteraan
layanan informasi yang terencana dan terorganisasi
untuk
memperbaiki,
KERANGKA BERFIKIR
mengembangkan pemahaman diri dan pemahaman untuk
mengenai
mencegah
orang
Bimbingan kelompok dengan
lain
budaya
berkembangnya
Jawa
meningkatkan
dipandang perilaku
dapat prososial
masalah atau kesulitan pada diri
individu
individu melalui nilai budaya Jawa
kelompok terciptanya dinamika sangat
yang sesuai dengan realita kehidupan
diutamakan.
sehari-sehari
tingkah laku yang ditujukan untuk
kelompok
siswa.
yang
Bimbingan
didalamnya
karena
dalam
kegiatan
Menolong
sebagai
sarat
membantu orang lain, dalam beberapa
muatan berbagai informasi perilaku
kasus bisa saja tidak dapat mencapai
prososial sangat dibutuhkan bagi para
tujuannya. Hal ini dapat disebabkan
peserta didik khususnya usia remaja di
karena penolong tidak mengetahui
Sekolah Menengah Pertama (SMP).
kesulitan korban yang sesungguhnya.
Perilaku prososial merupakan salah
Proses kelompok dapat membantu
satu dinamika dalam kehidupan sosial.
mempercepat
Ketika satu individu bertindak untuk
pemahaman
terhadap
orang
lain.
kepentingan individu atau kelompok
Bimbingan
kelompok
yang
akan
180
meningkatkan
dilaksanankan
diharapkan
perasaan, sikap dan perilaku yang dapat membantu untuk meningkatkan perilaku prososial siswa (1 Mempunyai kepedulian dan kecenderungan untuk menolong, (2) Bersedia berbabgi dan menyumbang, (3) Mudah bekerjasama, (4) Cenderung disiplin dan bertindah
mampu
dijadikan sebagai tempat berinteraksi sosial dengan individu lain. Kelompok disini berfungsi sebagai laboratorium bagi individu untuk mempraktikkan dan mencoba perilaku baru. Bimbingan kelompok berbasis budaya
Jawa
dipandang
jujur, (5) Memperhatikan hak dan kepentingan orang lain, (6) Kepercayaan pada Tuhan yang adil, (7) Beramal.
efektif
meningkatkan perilaku prososial siswa karena didalam pelaksanaanya siswa dibawa untuk memahami budaya Jawa
HIPOTESIS TINDAKAN
yang setiap waktunya selalu berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Hipotesis
tindakan
Ajaran budaya Jawa seperti: “Wong
penelitian
ini
jowo Nggone Sewu, Dhupak bujang
kelompok
berbasis
esem mantra, Semu bupati, Sasmita
efektif
meningkatkan
narendra, Nguwongké lan diuwongké,
prososial
siswa
Cacah Agawe Bubrah-Rukun agawe
Dagangan Kabupaten Madiun.
santosa,
Rasa
pangrasa”
dapat
adalah
dalam
Bimbingan
budaya
SMP
Jawa
perilaku Negeri
1
METODE PENELITIAN
diwujudkan dalam layanan bimbingan Penelitian
kelompok ini. Nilai-nilai budaya itulah
meningkatkan perilaku prososial siswa
rangkaian bimbingan dan kelompok sehingga
anggota
Bimbingan
kelompok berbasis budaya Jawa untuk
yang nantinya akan digunakan pada
ini,
berjudul
SMP Negeri 1 Dagangan Kabupaten
kelompok
Madiun
menyadari dan memahami serta dapat
menggunakan
pendekatan
kuantitatif eksperimen. Untuk menguji
berperilaku sesuai dengan budaya
keefektifan
dimana mereka tinggal.
berbasis
Perilaku Prososial yang dikembangkan melalui bimbingan kelompok berbasis budaya Jawa ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
bimbingan
budaya
jawa
kelompok digunakan
desain eksperimen one group pretestpostest. Analisis pada uji keefektifan ini dilakukan dengan membandingkan hasil pretest-postest. Teknik analisis
181
yang digunakan adalah uji-t dengan
diberikan
menggunakan
kelompok berbasis budaya Jawa.
bantuan
perangkat
layanan
bimbingan
lunak (software) SPSS 16.00 for
Teknik Analisis data
Windows
Analisis data kualitatif Analisis kualtatif digunakan
Instrumen Pengumpul data Pedoman wawancara
untuk
Pedoman wawancara digunakan dalam
diperoleh
mencari informasi tentang pelaksanaan
pertimbangan
layanan bimbingan kelompok terkait
judgment), serta subjek uji coba. Data
dengan
yang
peningkatan
perilaku
menganilisis dari
data
yang
penilaian
atau
ahli
bersifat
(professional
kualitatif
adalah
prososial. Dari data tersebut kemudian
deskripsi masukan atau saran serta
didapatkan hasil mendasari pemilihan
kritik terhadap produk yang sedang
produk yang akan dikembangkan.
dikembangkan
Angket Penilaian Produk
direvisi kembali oleh peneliti.
Angket
penilaian
produk
yang
untuk
kemudian
Analisis data Kuantitatif
digunakan dalam penelitian ini terdiri Uji Normalitas
dari penilaian ahli dan pengguna produk
Ada beberapa cara dalam melakukan
mengungkap data berupa kritik dan
uji normalitas, diantaranya adalah
saran tentang kekurangan produk.
dengan mennggunakan rumus chi-
Data
kuadrat, menggunakan kertas normal
produk.
Angket
yang
penilaian
diperoleh
kemudian
atau
melandasi revisi produk. Skala
Keefektifan
dengan
cara
yaitu
dengan
menggunakan bantuan program SPSS.
Perilaku
Prososial
Dalam
Skala keefektifan produk digunakan
dilakukan untuk uji normalitas dengan
untuk melihat sejauh mana keefektifan
menggunakan program SPSS.
layanan bimbingan kelompok berbasis
Uji Homogenitas
budaya Jawa dalam meningkatkan
Uji
perilaku prososial siswa. Skala ini
ini
cara
yang
Homogenitas bertujuan untuk
melihat
berupa skala perilaku prososial yang
penelitian
apakah
distribusi
data
memiliki varian yang sama atau tidak.
digunakan untuk mengukur perilaku
Dalam
prososial siswa sebelum dan sesudah 182
uji
homogenitas
dapat
menggunakan cara uji F. Dalam
tahapan
penelitian
kelompok,
ini
uji
homogenitas
menggunakan program SPSS. .
pelaksanaan faktor
bimbingan
pendukung
dan
penghambat pelaksanaan bimbingan kelompok serta evaluasi dan tindak lanjut
Hasil Penelitian
pelaksanaan
bimbingan
kelompok.
Gambaran Pelaksanaan Layanan Bimbingan Kelompok di SMP Negeri 1 Dagangan Kabupaten Madiun
Gambaran Perilaku Prososial Siswa kelas VII SMP Negeri 1 Dagangan Kabupaten Madiun Untuk memperoleh gambaran
Peneliti melakukan studi pendahuluan
mengenai perilaku prososial siswa,
yang bertujuan untuk memperoleh
peneliti menggunakan skala perilaku
gambaran
layanan
prososial yang terdiri dari 45 item
bimbingan kelompok di SMP Negeri 1
pertanyaan yang telah diuji validitas
Dagangan Kabupaten Madiun. Hasil
dan reliabilitasnya. Skala perilaku
dari penelitian ini yang menjadi dasar
prososial ini diberikan kepada 168
pertimbangan dalam pengembangan
siswa kelas VII yang terbagi atas 8
model bimbingan kelompok berbasis
kelas. Data awal perilaku prososial
budaya Jawa untuk meningkatkan
siswa ini dijadikan sebagai dasar
Perilaku Prososial siswa.
dalam
pelaksanaan
Hasil studi pendahuluan untuk mengetahui layanan
gambaran
pelaksanaan
bimbingan
kelompok
pengembangan
model
bimbingan kelompok berbasis budaya jawa untuk meningkatkan perilaku prososial siswa.
dilakukan dengan instrumen berupa pedoman
wawancara.
Dari
Wawancara
diketahui bahwa gambaran perilaku
bimbingan dan konseling yang ada di
prososial
sekolah tersebut. Hasil wawancara
beberapa
dapat aspek
perencanaan, bimbingan kelompok,
dipaparkan yang
pemimpin
siswa
SMP
Negeri
1
Dagangan Kabupaten Madiun berada
dalam
pada kategori cukup. Diperkuat lagi
meliputi:
dengan hasil wawancara dengan guru
keterlaksanaan kelompok,
skor
keseluruhan perilaku prososial di atas,
dilakukan terhadap 4 orang guru
tersebut
perhitungan
bimbingan
anggota
konseling menunjukkan
bahwa ada beberapa siswa yang
kelompok, 183
mengalami
gangguan
dalam
bimbingan kelompok yang efektif dan
bersosialisai di sekolah. Gangguan
sesuai untuk dapat membantu siswa
bersosialisai itu seperti kurang mampu
meningkatkan
bersosialiasi
orang
karena itu agar layanan bimbingan
disekitarnya, kurang peka terhadap
kelompok di SMP Negeri 1 Dagangan
situasi dan kondisi lingkungan, kurang
Kabupaten Madiun dapat membantu
peduli terhadap keadaan orang lain
siswa
yang membutuhkan, hanya sekitar 2-3
prososial, maka dibuatlah inovasi yaitu
orang siswa saja yang dapat dikatakan
sebuah model bimbingan kelompok
peduli dan mau menolong, selain itu
berbasis budaya Jawa, dengan harapan
juga masih rendahnya tingkat kerja
bahwa dengan tersusunnya model
sama siswa, hal ini dapat terlihat
bimbingan kelompok berbasis budaya
dalam mengerjakan tugas kelompok
Jawa
yang diberikan oleh guru, belum
bimbingan konseling di SMP Negeri 1
sepenuhnya keterlibatan mereka dalam
Dagangan Kabupaten Madiun dan
diskusi, ada yang tidak mengikuti
juga sekolah-sekolah
diskusi dengan alasan yang tidak jelas,
ada di Madiun dalam melaksanakan
serta kurangnya kemampuan dalam
bimbingan
menghargai kepentingan orang lain.
meningkatkan
Apabila
siswa.
dengan
dikaitkan dengan budaya
Jawa dapat dikatakan siswa tersebut Terjadinya
perilaku-
perilaku seperti di atas merupakan hal yang
diasumsikan
memiliki
perilaku
bahwa
siswa
prososial
yang
meningkatkan
ini
dapat
prososial,
perilaku
membantu
guru
lainnya yang
kelompok perilaku
untuk prososial
Uji Keefektifan Model Bimbingan Kelompok Berbasis Budaya Jawa Untuk Meningkatkan Perilaku Prososial Berdasarkan hasil analisis
sebagai siswa yang “Nguwongké lan diuwongké”.
perilaku
menunjukkan
terjadinya
perubahan
pada kondisi awal Perilaku prososial siswa,
kurang. Pada situasi seperti inilah
ditandai
peningkatan
peran bimbingan dan konseling sangat
skor
dengan
adanya
skala
Perilaku
prososial siswa baik pada skor total
dibutuhkan dalam mencegah maupun
maupun skor setiap indikator. Adapun
mengatasinya.
peningkatan Perilaku prososial siswa
Untuk itu guru pembimbing memerlukan sebuah model layanan 184
antara kondisi awal dan kondisi akhir
dapat
dilihat
pada
tabel berikut:
Tabel. 2. Perubahan perilaku prososial siswa antara pretest dan post-test Anggota Sebelum BKp Sesudah BKp Perubahan Skor Pretest
%
Skor Posttest
%
Skor
%
1
68
30
177
79
109
48
2
94
42
174
77
80
36
3
93
41
180
80
87
39
4
68
30
173
77
105
47
5
144
64
171
76
27
12
6
121
54
163
72
42
19
7
136
60
161
72
27
12
8
100
44
173
77
73
32
∑
103
46
171,5
76
69
31
Agar lebih mudah dalam melihat perubahan kondisi awal dan kondisi akhir perilaku prososial siswa dapat dilihat pada grafik sebagai berikut: Grafik. 1. Perubahan Kondisi Awal dan Kondisi Akhir Perilaku Prososial Siswa
Dari
grafik
diatas
dapat
sebelum
dan
sesudah
diberikan
dijelaskan bahwa terjadi peningkatan
layanan bimbingan kelompok berbasis
Perilaku
budaya Banjar. Rata-rata perubahan
prososial
siswa
antara
185
menunjukkan bahwa tujuan dari model bimbingan kelompok berbasis budaya Jawa untuk meningkatkan Perilaku prososial siswa telah tercapai, yakni dengan adanya perubahan dari hasil pretest dan hasil posttest pada Perilaku prososial siswa kelas VII SMP Negeri 1 Dagangan. Untuk membuktikan
yang terjadi adalah sebesar 69 atau 31 % dari data awal 103 atau 46 % setelah diberikan layanan bimbingan kelompok
berbasis
budaya
terjadi peningkatan atau 76%. Perilaku
Jawa
menjadi 171,5
Rata-rata setiap aspek
prososial
siswa
sebelum
adanya perubahan atau peningkatan, perlu dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji-t. Dari hasil uji T-Test diketahui
diberi layanan berada pada kategori sedang, setelah diberikan layanan bimbingan kelompok berbasis budaya Jawa terjadi
peningkatan menjadi
bahwa angka t hitung │-5│= 5,810
kategori tinggi. Ini berarti bahwa
dengan derajat kebebasan 7 pada
model bimbingan kelompok berbasis budaya
Jawa
efektif
peluang kesalahan 0,001 (signifikan).
untuk
Kaidah
yang
digunakan
adalah
meningkatkan Perilaku prososial siswa
menguji hipotesis alternatif (Ha) yang
SMP Negeri 1 Dagangan Kabupaten
berbunyi model bimbingan kelompok
Madiun.
berbasis
meningkatkan
Hasil Analisis Untuk Keefektifan Model Berbasis
Bimbingan Budaya
Meningkatkan
Jawa
perilaku
efektif prososial
siswa, dikatakan efektif jika peluang
Kelompok Jawa
budaya
kesalahan (p) < 0,05, sedang untuk
untuk
hipotesis nihil (Ho) model bimbingan
Perilaku Prososial
kelompok
berbasis
budaya
Jawa
Siswa
dikatakan tidak efektif meningkatkan
Untuk menguji keefektifan model bimbingan kelompok berbasis budaya Jawa dilakukan dengan menggunakan uji-t. Uji-t dapat dilaksanakan apabila data yang akan di analisis memiliki
perilaku prososial siswa, jika peluang kesalahan (p) > 0,05. Selanjutnya uji beda menunjukkan bahwa skor total post test lebih besar dengan nilai 1715 dibanding dengan skor total hasil pre
distibusi normal (Sugiyono, 2009:150), sementara itu dasar pengujian dari uji-t bukan dilihat dari
test sebesar 103. Dengan demikian, hipotesis alternatif yang berbunyi model bimbingan kelompok berbasis
banyaknya sampel, uji-t. Berdasarkan hasil analisis data dengan uji-t
budaya Jawa efektif meningkatkan
186
Perilaku
prososial
siswa
dapat
konseling
dalam
memberikan
diterima.
bimbingan kelompok yang efektif
SIMPULAN DAN SARAN
bagi siswa nya.
Simpulan
2. Bagi
guru
bimbingan
dan
1. Bimbingan kelompok di SMP
konseling dapat mempergunakan
Negeri 1 Dagangan Kabupaten
model bimbingan kelompok ini
Madiun
begitu
efektif
sebagai
pelaksanaannya
karena
dalam membantu meningkatkan
nilai-nilai jawa belum dimasukkan
perilaku prososial siswa melalui
kedalan
bimbingan
dalam
belum
materi
bimbingan
kelompok.. 2. Kondisi
pendekatan
alternatif
kelompok
berbasis
budaya Jawa. perilaku
3. Bagi sekolah lebih memberikan
prososial siswa kelas VII SMP
tempat untuk guru BK dalam
Negeri
rata-rata
memberikan layanan bimbingan
berada pada kategori sedang. Hal
konseling kepada para siswa yang
ini disebabkan karena nilai-nilai
sesuai dengan need assesment.
budaya yang ada pada diri siswa
4. Hasil penelitian model bimbingan
belum tertanam dalam diri tiap
kelompok berbasis budaya Jawa
siswa.
dapat dipergunakan sebagai bahan
3. Model berbasis untuk
objektif
1
Dagangan
bimbingan budaya
kelompok
Jawa
meningkatkan
acuan
penelitian
di
bidang
efektif
bimbingan dan konseling serta
perilaku
sebagai salah satu kajian dan
prososial siswa kelas VII SMP
pertimbangan
untuk
Negeri 1 Dagangan
lebih
khususnya
lanjut
penelitian yang
Saran
berkaitan dengan pengembangan
Berdasarkan hasil penelitian, penulis
model
mengemukakan
berbasis budaya.
beberapa
saran
bimbingan
kelompok
sebagai berikut: 1. Hasil penelitian model bimbingan
DAFTAR PUSTAKA
kelompok berbasis budaya Jawa Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
dapat dipergunakan sebagai bahan acuan bagi guru bimbingan dan 187
Baron, R. A. dan Byrne. D.(2005). Psikolog sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Edisi kesepuluh. Jakarta: Erlangga.
Natawidjaja, Rochman. 2009. Konseling Kelompok. Konsep Dasar dan Pendekatan. Bandung: Rizqi Press
Bimo Walgito, 2001:Psikologi Sosial, Andi Yogyakarta
Nurihsan, Juntika. 2006. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: PT Refika Aditama Petrus, Jerizal. 2012. Model Bimbingan Kelompok Berbasis Nilai-Nilai Budaya Hibua Lamo Untuk Meningkatkan Kecerdasan Sosial Siswa. Unnes Semarang.
Endraswara, Suwardi. 2012. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala Faturrohman, 2009:Pengantar Psikologi sosial. Pustaka:Yogyakarta Frismawati, Awaliya. 2012. Hubungan antara intensitas menonton reality show dengan kecenderungan perilaku prososial pada remaja . UAD Yogjakarta
Prayitno & Amti, E. 2004. DasarDasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka cipta. Purwadhani, Mei. 2012. Pengembangan Model Konseling Kelompok Berbasis NIlai-Nilai Budaya Jawa untuk Meningkatkan Sikap Kreatif Siswa. Unnes.Semarang
Fitriyanti, Amalia. 2010. Peningkatan Perilaku Prososial Siswa Melalui Layanan Penguasaan Konten Dengan Menggunakan Permainan Pada Siswa Kelas VIII SMP Teuku Umar Semarang Tahun Ajaran 2009/2010. UNNES Semarang
Romlah, Tatiek. 2006. Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang : Universitas Negeri Malang
Gibson, L,R & Mitchell, M.H. 2011. Introduction to Counseling abd Guidance. .Alih Bahasa Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi Sosial, Rajagrafindo Persada: Jakarta
Mar‟at S, dan Kartono L.I.2006. Perilaku Manusia: Pengantar Singkat Tentang Psikologi. Bandung:Refika Aditama.
Sarlito dkk, 2012: Psikologi Sosial. Salemba Humanika:Jakarta Shelley E Taylor,et al, 2009: Psikologi Sosial. Kencana Prenada Media Group:Jakarta Singgih
Mulyana, D, dan J, Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya.
Sukmadinata, N, S. 2007. Bimbingan Konseling dalam Praktek. Bandung: Maestro
188
Sulasman & Setia Gumilar. 2013: Teori-teori Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setia Sugiyono. 2009. Metode Kuantitatif, Kualitatif Bandung: Alfabeta . 2009. Metode Kuantitatif, Kualitatif Bandung: Alfabeta
Penelitian dan R&D. Penelitian dan R&D.
Supriadi, Dedi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. Bandung:UPI Syaodih, Nana. 2007. Bimbingan dan Konseling dalam Praktek. Bandung: Maestro. Wibowo, Mungin Eddy. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang. UPT UNNES Press Winkel, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta Yana. M.H. 2010. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Absolut
189
Bu Dian
190
191
192
193
194
195
196
CYBERCOUNSELING: PEMANFAATAN SOSIAL MEDIA SEBAGAI PUSAT INFORMASI DAN KONSELING REMAJA
Noviyanti Kartika Dewi Dosen BK IKIP PGRI MADIUN
[email protected] ABSTRAK Perkembangan internet juga sudah mulai merambah Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 38 juta orang dan 30 juta anak-anak dan remaja Indonesia merupakan pengguna internet aktif. Kondisi ini tentu saja memerlukan perhatian dan tindak lanjut dari berbagai pihak yang terkait. Hal ini bisa menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan bagi para professional dalam bidang apapun untuk mampu melebarkan sayap jaringan pelayanannya seluas-luasnya dengan berbagai kemudahan yang ada saat ini. Konselor dapat memanfaatkan media social yang ada saat ini sebagai pusat informasi layanan bimbingan dan konseling serta sebagai sarana untuk memberikan bantuan dalam bentuk konseling individu maupun kelompok. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih social media sebagai pusat informasi dan konseling remaja adalah kemudahan mengakses, kemudahan untuk melakukan interaksi dan popularitas dari media social yang digunakan. Kata kunci : social media, pusat informasi, konseling remaja biasa
Pendahuluan Saat ini teknologi internet
disingkat
merupakan salah satu hasil teknologi
dan mobile phone sudah semakin
komunikasi
maju.
dengan sangat pesat.
Perkembangan
“Sosmed”,
teknologi
khususnya perkembangan internet
yang
Keunggulan
berkembang
internet
yang
begitu cepat dirasakan dikehidupan
menawarkan
masyarakat Indonesia, bahkan sudah
berkomunikasi setiap saat, kapan dan
menjadi sebuah kebutuhan yang
dimana
tidak bisa ditinggalkan. Kemunculan
membengkaknya pengguna internet.
berbagai media hasil teknologi dalam
Internet akan menjadi sebuah media
komunikasi
antar
manusia
telah
pelayanan yang tanpa batas ruang
membawa
variasi
pada
proses
dan waktu, mudah dan cepat diakses
hubungan
siapapun. Pada awalnya pertemuan
interpersonal. Sosial media atau yang
tatap muka menjadi syarat bagi
berlangsungnya
197
kemudahan
saja
menyebabkan
terbentuknya relasi antar personal.
Society
Hal ini berarti kedua belah pihak
menemukan fakta bahwa 30 juta
terlibat hubungan secara fisik harus
anak-anak dan remaja Indonesia
berada pada situasi dan tempat yang
merupakan pengguna internet aktif
sama.
media
(Irman, 2015). Kondisi ini tentu saja
komunikasi seperti telepon, sms dan
memerlukan perhatian dan tindak
internet memungkinkan seseorang
lanjut dari berbagai pihak yang
melakukan kontak komunikasi dan
terkait. Hal ini bisa menjadi sebuah
menjalin hubungan tanpa terjadinya
peluang sekaligus tantangan bagi
pertemuan secara langsung atau tatap
para
muka.
apapun untuk mampu melebarkan
Namun
kehadiran
dan
Harvard
professional
university
dalam
bidang
Indonesia merupakan negara
sayap jaringan pelayanannya seluas-
yang mempunyai pengguna social
luasnya dengan berbagai kemudahan
media
dunia
yang ada saat ini.
Destiana,
Konselor
aktif
terbesar
(socialbakers,
dalam,
Salman
&
di
seorang
2013).
yang professional tentu saja perlu
Perkembangan internet juga sudah
melihat fenomena ini sebagai sebuah
mulai merambah Indonesia sejak
tantangan
awal
pelayanannya
sesuai
perkembangan
dan
tahun
pengguna
Rahim,
sebagai
2000-an.
meningkatkan dengan
di
Indonesia
data
dari
zaman. Selain itu konselor juga perlu
Google.com/adplanner per Mei 2010
melihat perubahan ini sebagai sebuah
telah mencapai 38 juta orang. Untuk
peluang yang baik untuk terus
kawasan Asia, Indonesia
meningkatkan
berdasarkan
internet
Jumlah
untuk
masuk
perubahan
pelayanannya
baik
dalam 5 besar pengguna internet
dalam bentuk layanan informasi
terbanyak bersama dengan China,
maupun
Jepang, India dan Korea Selatan
Perkembangan social media yang
(Syaripudin, dalam Rachman, 2015).
ada
Selain itu berdasarkan survey yang
kemudahan kepada individu untuk
dilakukan oleh Kementrian Kominfo,
berkomunikasi tanpa terbatas ruang
Berkman Center for Internet and
dan
198
saat
layanan
ini
waktu.
telah
konseling.
memberikan
Konselor
dapat
memanfaatkan social media yang ada
mengubah
saat
dialog interaktif.
ini
sebagai
pusat
layanan
informasi bagi remaja. Selain itu
komunikasi
Media social sebagai sebuah
konselor juga dapat memanfaatkan
system
social
penggunannya
media
untuk
menjadi
membantu
memungkinkan untuk
berbagi
konselinya lewat layanan konseling
pengetahuan berbasis internet. Media
online atau yang sering disebut
social adalah tempat, alat bantu,
cybercounseling.
layanan
yang
memungkinkan
individu untuk mengekspresikan diri mereka untuk bertemu dan berbagi dengan
Pembahasan Media sosial atau dalam bahasa
rekan
teknologi
lainnya
internet.
melalui
Media
social
inggris “Social Media” menurut tata
terbagi menjadi beberapa kategori,
bahasa, terdiri dari kata “Social”
antara lain (Cavazza 2008) :
yang memiliki arti kemasyarakatan
1. Alat
bantu
publikasi
atau sebuah interaksi dan “Media”
menggunakan blog (Typepad,
adalah sebuah wadah atau tempat
Blogger),
sosial itu sendiri. Andreas Kaplan
Wikia, Wetpaint) dan portal
dan Michael Haenlein (dalam Iray,
citizen
2014) mendefinisikan media sosial
Newsvine)
sebagai “sebuah kelompok aplikasi
wiki
(Wikipedia,
journalism
(Digg,
2. Alat bantu untuk berbagi untuk
berbasis internet yang membangun di
video
atas dasar ideologi dan teknologi
(Flickr),
Web 2.0 , dan yang memungkinkan
Ma.gnolia), music (Last.fm,
penciptaan dan pertukaran user-
iLike),
generated
Dengan
content”.
(Youtube), link
(del.icio.us,
slide
(slideshare),
gambar
presentasi
review
produk
demikian sosial media adalah media
(Crowdstorm, Stylehive) atau
online yang mendukung interaksi
umpan balik produk (Feedback
sosial
2.0, GetSatisfaction).
teknologi
dengan berbasis
menggunakan web
yang
3. Alat forum
199
bantu
diskusi
(PHPbb,
seperti
vBulletin,
Phorum),
forum
game
social
(Seesmic), instant messaging
(ImInLikeWithYou,
Doof),
(Yahoo! Messenger, windows
portal
(Pogo,
Live Messanger, Meebo) dan
Cafe, Kongregate) dan jaringan
VoIP (Skype, Google Talk)
social
4. Jaringan
social
video
9. Platform
(Facebook,
Sosial
casual
yang
dimungkinkan
dengan game (Theee, Rings,
MySpace, Bebo, Hi5, Orkut), Jaringan
game
SGN)
spesifik
10. MMO, Massively Multiplayer
(Linnkedln, Boompa) dan alat
Online (Neopets, Gaia online,
bantu
Kart rider, Drift City, Maple
untuk
menciptakan
jaringan social (Ning) 5. Alat
dan
MMORPG,
mikrobloging
Massively Multiplayer Online
(Twitter, Pownce, Jaiku, Plurl,
Role-Playing Game (word of
Adocu) dan Layanan serupa
Warcraft, Age of Conan)
(twitxr, tweetpeak)
Dari
6. Alat
bantu
Story)
bantu
agregasi
sini
terlihat
bahwa
social
banyaK dari media social ini telah
seperti lifestream (friendFeed,
menjadi layanan internet besar yang
Socializr,
melayani pengguna di seluruh dunia.
Socialthing!,
Lifestrea.ms, Profilactic) 7. Platform (Justin.tv, Live,
Baik yang menyediakan fasilitasnya
untuk
hosting
dengan gratis maupun yang berbayar.
BlogTV,
Yahoo!
Jika media tradisional menggunakan
UStream)
dan
ada
media cetak dan media broadcast,
layanan serupa untuk mobile
maka media sosial menggunakan
(Qik, Flixwagon, Kyte, Live
internet. Media
Castr)
siapa
8. Dunia virtual (Second Life,
saja
sosial
yang
berpertisipasi
tertarik
dengan feedback
untuk
memberi
Entropia Universe, There), 3D
kontribusi
Chats (Habbo, IMVU) dan
terbuka, memberi komentar, serta
dunia virtual khusus remaja
membagi informasi dalam waktu
(Stardoll, Club Penguin)
yang cepat dan tak terbatas.
200
dan
mengajak
secara
Media
social
(Sosmed)
saat ini dapat membuat pelayanan
identik dengan remaja. Berdasarkan
yang
penelitian
semakin luas, mudah dan dapat
yang
dilakukan
oleh
dilakukan
oleh
konselor
Kadir, (2014) menyebutkan bahwa
menjangkau
motif remaja menggunakan social
Sedangkan tantangan yang dihadapi
media
adalah
banyak
individu.
untuk
mencari
konselor
motif
identitas
mengubah kecanduan internet yang
pribadi 60%, motif interaksi social
berkonotasi negatif yang dialami
86%, motif hiburan 84%. Keempat
remaja saat ini menjadi sebuah
motif ini berperan sangat penting
kecanduan yang memiliki konotasi
dalam
untuk
positif. Tantangan lain yang dihadapi
menggunakan social media yang ada
konselor saat ini berkaitan fenomena
saat ini.
diatas adalah bagaimana konselor
informasi
72%,
mendorong
remaja
Kurniawati
(2010)
adalah
bagaimana
tersebut dapat berperan serta dan
menyebutkan bahwa remaja dan
dapat
anak-anak
ketrampilan yang berkaitan dengan
sebagian
besar
menghabiskan waktunya berselancar
Rachman,
Beberapa
2015)
secara
remaja terkena internet addiction
(Mallen
(kecanduan
Konseling
penelitian
tersebut
membuat
semua
waspada,
Data-data tentu
pihak
begitupula
tahun
kedepan
kebutuhan akan pelayanan konseling
mengungkapkan bahwa ada 96,92%
internet).
berbagai
cybercounseling (Ifdil, 2013).
di Internet. Selanjutnya Ningtyas (dalam
menguasai
online
akan
dalam online
meningkat
Ifdil,
2013).
akan
menjadi
saja
alternative dalam penyelenggaraan
harus
konseling dan juga bisa merupakan
dengan
alternative
konselor.
dalam
pertolongan
pertama psikologis bagi klien yang
Fenomena
ini
merupakan
mengalami masalah (Ifdil, 2013).
sebuah peluang sekaligus tantangan
Kondisi ini menjadikan dasar bahw
bagi konselor. Dikatakan sebagai
konselor saat ini harus dan perlu
sebuah
mengenal,
peluang
karena
perkembangan teknologi yang ada
menguasai
menyelenggarakan
201
dan
pelayanan
konseling online sebagai sebuah
memperhatikan hubungan apa saja
alternative pendekatan. Lebih lanjut
yang ada antara satu pemilik akun
artikel ini akan menyajikan dan
lainnya
mendiskripsikan salah satu bentuk
disediakan, dimana masing-masing
pelayanan
yaitu
social networking site memiliki ciri
penyelenggaraan konseling secara
khas dan sistem yang berbeda-beda.
online, berkenaan dengan pengertian,
Beberapa contoh social networking
tahapan
media
site antara lain Facebook, Twitter
yang digunakan serta permasalahan
dan instagram. Fungsi dari penerapan
dan
social networking site itu sendiri
e-konseling
penyelenggaraan,
tantangan
dalam
penyelenggaraan konseling online. Pesatnya
dalam
sistem
yang
berfokus pada koneksi yang akan
perkembangan
dibangun orang lainnya, dimana
media sosial kini dikarenakan semua
dapat berupa hubungan sahabat,
orang seperti bisa memiliki media
keluarga, seks, event, profesi hingga
sendiri. Jika untuk memiliki media
bisnis dan pekerjaan.
tradisional seperti televisi, radio, atau
Setiap social media memiliki
koran dibutuhkan modal yang besar
karekter
dan tenaga kerja yang banyak, maka
walaupun fungsi dan kegunaannya
lain halnya dengan media sosial.
tetap sama, yaitu jejaring social.
Seorang pengguna media sosial bisa
Majalah
mengakses
(www.marketing.co.id)
menggunakan
social
media
dengan
jaringan
internet
bahkan
yang
aksesnya
lambat
memungkinkan
marketing
online membagi
dalam 5 (lima) bagian, yaitu: 1. Portal social media
alat mahal dan dilakukan sendiri karyawan.
berbeda-beda
karakteristik media social online ke
sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa
tanpa
yang
Karakteristik portal social
Social
media
media ini dimiliki oleh penyedia
individu
untuk
facebook
dan
google+
membangun hubungan social melalui
sejenisnya.
dunia
membangun
member dari social media ini
suatu profil tentang dirinya sendiri,
lebih bervariasi, baik dari segi
menunjukkan koneksi seseorang dan
usia, profesi, lokasi, tingkat
maya
seperti
202
Pengguna
dan atau
pendidikan
maupun
tingkat
Yahoogroups,
Googlegroups,
penghasilannya. Sosial media ini
dan
juga
sejumlah media nasional online
memberikan
beranekaragam menandai
fitur
foto,
sejenisnya.
Bahkan
seperti
sudah
menyediakan
membagikan
forum
seperti
fasilitas
yang dimiliki
status, unggah video, tautan dan
kaskus. Pengguna social media
pembaharuan
status(update
ini biasanya lebih mempunyai
status) dengan jumlah karakter
karakteristik tertentu berbasis
yang tidak terbatas.
komunitas
2. Social media berbasis lokasi
otomotif,
Social media yang memiliki
tergantung
karakteristik seperti ini adalah Foursquare.
Social
media
dibandingkan
pecinta
programmer, dari
tema
yang
diangkat di forum tersebut. 4. Blog
tersebut memiliki member lebih terbatas
seperti
Social
social
karakteristik
media
dengan
blog
antara
media portal, karena biasanya
Blogdetik,
pemilik
Blogspot, wordpress, Multiply
akun
mempunyai
kecenderungan
untuk
dan beberapa situs lain, bahkan
eksistensi.
perguruan tinggi sudah banyak
dewasa
yang memiliki social media
disbanding social media berbasis
seperti ini. Para pengguna media
portal. Pemilik social media
social
biasanya sudah jadi member dari
blogger. Para blogger biasanya
social media berbasis portal dan
punya
memiliki pendidikan yang lebih
kemampuan menulis. Pengguna
tinggi dari social media berbasis
social media ini mempunyai
portal
tujuan dan maksud teretentu
kesenangan Secara
hanya
Kompasiana,
dan
usia
lebih
3. Portal Forum Diskusi dan Milis
kaskus,
ini
Forum
antara
biasanya
kreatifitas
disebut
dan
dalam memiliki blog, seperti
Social media yang memiliki karakteristik
ini
profil perusahaan, pencitraan,
lain
promosi
Otomotif,
203
produk,
jasa,
komunitas, sebagai ajang curhat,
menggunakan
hastag
yang
berbagi ilmu dan lain-lain.
dibuat, maka semakin besar kemungkinan menjadi trending
5. Mikroblog
topics.
Berbeda
dengan
blog,
Dari beberapa karakteristik
dibatasi
oleh
tersebut konselor dapat memilih
keterbatasan teks/variasi content.
media social mana yang lebih efektif
Mikroblog yang paling popular
digunkan untuk memberikan layanan
saat ini adalah twitter. Pemilik
bimbingan dan konseling kepada
akun ini biasanya memiliki akun
konseli.
social
seperti
memanfaatkan media social yang ada
facebook. Pemilik akun biasanya
saat ini sebagai pusat informasi
mempunyai
layanan bimbingan dan konseling
mikroblog
media
portal
tujuan
masing-
Konselor
masing dalam penggunaan social
serta
media
memberikan bantuan dalam bentuk
ini.
Media
berkomunikasi, bahkan
ada
untuk
pencitraan, untuk
sebagai
dapat
konseling
interaksi
sarana
individu
untuk
maupun
kelompok. Beberapa hal yang perlu
dengan penggemar bagi artis,
dipertimbangkan
tokoh, institusi, baik pemerintah
social media sebagai pusat informasi
maupun
dan
swasta
kepada
konseling
dalam
memilih
remaja
adalah
masyarakat umum. Social media
kemudahan mengakses, kemudahan
ini kerap kali menjadi barometer
untuk
popularitas,
fiturnya
popularitas dari media social yang
dapat menampilkan topic yang
digunakan. Ini beberapa alasan yang
paling banyak dibicarakan di
dapat
social
media
menentukan
topics)
dengan
fasilitas
karena
ini
(trending
menggunakan
hastag
(#)
melakukan
dijadikan
interaksi
alasan
media
social
untuk yang
sesuai.
serta
Saat ini berbagai media social
didukung fasilitas retweet dan
berkembang
di
percakapan
menandakan
bahwa
secara
dan
terbuka.
Semakin banyak member yang
Indonesia,
ini
orang-orang
makin giat untuk bersosialisasi satu
204
sama lainnya. Media Sosial tidak
mudah
hanya menjadi nama yang popular
Facebook
namun akan mendapatkan berbagai
kemudahan
inilah
informasi
Facebook
buatan
di
dalamya.
Beberapa
mendapatkan
aplikasi
ini.
Karena membuat Mark
media social yang popular dan
Zuckerberg dkk, menjadi sosial
banyak
media terbesar didunia dengan
digunakan
remaja
di
Indonesia antara lain:
jumlah pengguna lebih kurang
1. Facebook,
1,4 milyar. Minimal umur untuk
Untuk sosial media nomor satu
bisa
di
Facebook adalah 13 tahun.
pegang
Facebook jejaring
oleh
Facebook.
tergolong sosial
yang
situs
menikmati
layanan
2. Twitter,
umum.
Jumlah Pengguna Aktif
284
Tidak dikhususkan untuk suatu
Juta (www.statista.com). Twitter
relasi sosial tertentu. Facebook
merupakan situs Jejaring Sosial
merupakan media sosial berbagi
yang hanya mengizinkan para
tulisan, foto, video, momen dan
penggunannya megirimkan dan
banyak lagi fitur lainnya. Yang
membaca teks sebanyak 140
membuat media sosial ini begitu
karakter, pesan singkat Twitter
populer
kemudahan
ini sering disebut dengan Tweets
menggunakannya.
atau kicauan. Twitter sebagai
karena
dalam Facebook
bisa
menyesuaikan
disegala
macam
seperti
PC,
microbloging
menyediakan
perangkat
sarana
handphone,
praktis
smartphone baik yang berbasis
batasan
Iphone,
memberikan keunikan tersendiri
Android,
Blackberry
bersosialisasi dan
simple,
yang karena
karekternya
sampai ke Windows Phone bisa
bagi
mengakses
lewat
hampir sama dengan Facebook
perangkat yang mereka gunakan.
bisa berbagi tulisan,foto, video,
Bagi
url, dan juga yang lainnya.
Facebook
pengguna
smartphone
penggunanya.
seperti Android, Iphone dan juga
Kelebihan
Windows Phone bisa dengan
menyesuaikan
205
Twitter
Fiturnya
bisa disemua
perangkat baik PC, Handphone,
pasti mengenal media sosial
dan
Untuk
yang satu ini, yakni Instagram.
seperti
Media sosial ini fokus jadi
Android, Iphone, Blackberry dan
media sosial berbagi foto tapi
Windows
Smartphone.
perangkat
Twitter
smartphone
Phone
aplikasi
sekarang di Instagram kita juga
kita
download
bisa berbagi video pendek. Tapi
bisa
secara gratis di toko aplikasinya.
video
Banyak
yang
Instagram ini tidak boleh yang
Twitter
karena
sangat
cepat
informasi.
menggemari ringkas dalam
dibagikan
di
berukuran besar dan durasi yang
update
panjang.
Instagram
tak bisa
memang
dipungkiri lagi telah menjadi
berfokus pada layaan blogging
salah satu aplikasi photo-editing
mikro (microblogging) dan RSS
dan
untuk pesebaran informasi. Ia
saat ini.
sering
Twitter
dan
yang
disebut-sebut
sebagai
photo-sharing
terpopuler
4. Path,
“SMS-nya internet”.
Situs ini dikenal dengan jurnal
3. Instagram,
online
dimana
yang
Jumlah Pengguna Aktif : 300
membedakannya
Juta
(www.statista.com).
medsos lainnya yaitu desainnya
Instagram adalah situs Jejaring
terbilang unik dengan dapat
sosial
memperbolehkan
berbagi informasi lewat tulisan
penggunanya untuk mengambil
foto atau lainnya. Sedangkan
Foto
dan
yang menarik lainnya yaitu ada
mengolahnya dengan berbagai
batasan jumlah teman sekitar
filter
kemudian
150 orang saja. Total dari 1/5
kebeberapa
pengguna Path adalah orang-
yang
atau
Video
digital
membagikannya
jejaring sosial lainnya seperti
orang
Facebook,
Tumblr,
diluncurkan pada awal bulan
Flickr dan tentunya Instagram
November 2010 dan sejak itu
itu sendiri. Bagi usia muda yang
juga path mampu menghasilkan
gemar selfie dan berbagi foto
jutaan user. aplikasi yang dapat
Twitter,
206
Indonesia.
diantara
Path
memberikan
penggunanya
peluang dalam pemanfaatannya pada
fasilitas untuk memotret semua
layanan bimbingan dan konseling.
pengalaman mereka. Kita bisa
Seorang konselor perlu melakukan
sharing apa saja yang kita mau,
inovasi baru dalam memberikan dan
maupun itu lagu, curhatan, foto,
meningkatkan pelayanannya. Salah
tempat/lokasi kita berada.
satu inovasi yang bisa dipilih oleh
5. KasKus,
konselor
adalah
dengan
Kaskus merupakan situs berbasis
memanfaatkan berbagai social media
forum yang mampu menyedot
yang ada saat ini. Seorang konselor
penggunanya
perlu memanfaatkan berbagai social
hingga
puluhan
juta dan menjadikanya masuk
media
dalam
instagram, path dan lain sebagainya
Media
Sosial
Paling
Populer di Indonesia
untuk
6. Wordpress dan Blogger
seperti
facebook,
memberikan
twitter,
berbagai
informasi yang berkaitan dengan
Kedua situs ini merupakan situs
bidang
berplatform
untuk
maupun karir. Selain itu konselor
membagikan informasi, berita
juga dapat memanfaatkan social
dan apapun itu yang sekiranya
media yang saat ini sedang banyak
bisa
blogging
dibagikan
pribadi,
social
kepada
para
digandrungi
pembuatanya
juga
melakukan layanan konseling online
gratis dan menurut kabarnya
(cybercounseling). Dengan demikian
pengganya
konselor telah menggunakan social
pembaca.
kebanyakan
dari
oleh
media
juga
potensial dan menjadi trend serta
sangat
mudah.
suatu
alat
untuk
Indonesia karena selain gratis pemakaianya
sebagai
remaja
belajar
yang
cara baru dalam memberikan layanan kepada konseli. berbagai macam social media yang ada saat ini dapat
Penutup Kemajuan teknologi
perkembangan
digunkan oleh konselor sebagai pusat
komunikasi
informasi dan layanan konseling bagi
dan
khususnya internet dengan segala keunggulannya
telah
remaja.
membuka
207
Daftar Pustaka Cavazza, Fred. 2008. Social Media Landscape, (Online). (http://www.fredcavazza.net/200 8/06/09/social-media-landscape/, diakses 5 April 2015) Ifdil,I. 2013. Konseling Online Sebagai Salah Satu Bentuk Pelayanan E-konseling. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 1(1), 15-23 Irman. 2015. Mengurangi Kecemasan Remaja yang Mengalami Internet Addiction Melalui Konseling dengan Teknik Being Present. Seminar Nasional Profesi Konselor Masa Depan, 437-446 Iray, Wisnu. 2014. Pengertian Social Media, Social Network, Peran serta Fungsinya. Universitas Indonesia: Jakarta Kadir, Latifa. 2014. Motif Remaja terhadap Penggunaan Situs Jejaring Facebook. eJournal Ilmu Komunikasi, 2(4): 53-63 Kurniawati,Y. (2010). Hubungan Bermain Game Online Terhadap Perilaku Agresif Remaja. Unika Soegipranata: Semarang Marketing Online. 2011. Strategi Pemasaran via Sosial Media, www.marketing.com, diakses (diakses 5 April 2015) Ranchman, Ali. 2015. Cybercounseling: Konseling Online dalam Layanan Bimbingan Konseling. Seminar Nasional Profesi Konselor Masa Depan, 431-436 208
PENERAPAN KONSELING KELOMPOK BEHAVIORAL UNTUK MENINGKATKAN KONTROL DIRI PADA REMAJA (Studi Pada Komunitas Remaja yang Orangtuanya Bekerja Sebagai TKI) Desi Maulia Tri Suyati Anik Rukhayati ABSTRAK Besarnya penghasilan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menjadi salah satu daya tarik yang membuat masyarakat Indonesia memilih meninggalkan Indonesia dan bekerja di negeri lain. Orangtua yang menjadi TKI memilih mengalih asuhkan anak kepada orangtua atau keluarga. Tanpa disadari, hal ini memunculkan permasalahan pengalihan pada remaja yang merupakan anak dari TKI, diantaranya masalah kontrol diri. Penelitian bertujuan meningkatkan kontrol diri remaja yang tergabung dalam komunitas remaja yang orangtuanya bekerja sebagai TKI melalui layanan konseling kelompok behavioral. Penelitian ini merupakan penelitian pre-eksperimen dengan bentuk one group pretest-posttest design. Penelitian dilakukan pada delapan subyek dengan enam kali perlakuan. Kontrol diri diukur sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil uji reliabilitas skala psikologi kontrol diri diperoleh nilai r 11 sebesar 0,869 dengan nilai α sebesar 5%. Terjadi peningkatan kontrol diri pada remaja yang orangtuanya bekerja sebagai TKI sebesar 35.125 poin atau setara dengan kenaikan 22,48% setelah perlakuan konseling kelompok behavioral. Analisa data menggunakan SignTtest Wilcoxon. Diperoleh thitung = 36. Selanjutnya dikonsultasikan dengan tabel pada taraf signifikan 5% dengan ttabel = 4, maka thitung > ttabel. Dengan demikian koefisien thitung sebesar 36 adalah signifikan pada taraf 5%. Atas dasar perhitungan tersebut maka hipotesis penelitian diterima. Terdapat pengaruh Konseling Kelompok Behavioal dalam meningkatkan kontrol diri. Kata Kunci: Kontrol Diri, Konseling Kelompok Behavioral terbesar
PENDAHULUAN
negara
ini.
Besarnya
peghasilan menjadi daya tarik utama bagi warga untuk bekerja di luar negeri
Latar Belakang Masalah Tidak dapat dipungkiri, sektor
maupun
mengizinkan
pasangannya
penempatan Tenaga Kerja Indonesia
menjadi TKI (Irenewaty, Lestari &
(TKI) di luar negeri masih menjadi salah
Kumalasari, 2008). Hal ini juga dapat
satu cara yang dipilih masyarakat
terlihat dari remitansi atau uang kiriman
Indonesia
meningkatkan
TKI dari luar negeri ke dalam negeri
keluarganya
yang mencapai USD 7.395.017.768 atau
sekaligus menjadi penyumbang devisa
setara Rp 81.345.195.448.000 - dengan
kesejahteraan
untuk hidup
209
asumsi nilai tukar per USD 1 sebesar Rp
jumlah pekerja sebanyak 7.569 orang.
11.000 pada tahun 2013.
(www. jateng.bps.go.id).
Sepanjang tahun 2014, Badan
Besarnya
jumlah
TKI
Nasional Penempatan dan Perlindungan
ternyata
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
permasalahan sosial dan psikologis
mencatat penempatan TKI ke berbagai
juga
menimbulkan
tersendiri di masyarakat, terutama
negara di dunia sebanyak 429.872 orang.
terkait pada pengasuhan anak dari
Jumlah itu meliputi 219.610 orang (58
para
persen) TKI formal dan 182.262 orang
tenaga
kerja.
Penelitian
Irenewaty, Lestari & Kumalasari
(42 persen) TKI informal. Jumlah
(2008) mengungkapkan bahwa pada
prosentase penempatan TKI formal terus meningkat secara bertahap di dalam
kasus Tenaga Kerja Wanita: (1)
empat tahun terakhir (2011 – 2014)
selama
menurun untuk TKI informal. Pada
pendidikan
tahun 2011 prosentase TKI formal 45
sepenuhnya kepada suami dengan
persen dan tahun 2014 naik menjadi 58
dibantu oleh orangtua suami/istri; (2)
persen.
seringkali ibu tidak tahu masalah
Sedangkan
prosentase
TKI
infornal tahun 2011 sebanyak 55 persen
pendidikan
dan tahun 2014 turun menjadi 42 persen.
(3)
terakhir (2011 – 2014) masih tergolong TKI
anak
yang
urusan
diserahkan
ditempuh
oleh
mengurus masalah biaya saja; dan
TKI perempuan selama empat tahun
dibanding
bekerja,
anaknya di sekolah, TKW hanya
Dari sisi gender, jumlah penempatan
tinggi
mereka
rata-rata
menyelesaikan
laki-laki.
anak
TKW
pendidikannya
Penempatan TKI tahun 2014 terdiri dari
sampai di Sekolah Menengah saja.
243.629 TKI perempuan (57 persen) dan
Peran ibu dan atau ayah yang
186.243
seharusnya dapat mengasuh sendiri
TKI
laki-laki
(43
anak – anaknya dialih tangankan
persen) (www.bnp2tki.go.id). Jawa
Tengah
merupakan
kepada kakek nenek atau keluarga
provinsi terbesar kedua penyumbang
lain, yang terkadang dianggap oleh
penempatan TKI dengan jumlah 92.590
anak tidak mampu mengakomodir
orang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kabupaten
Provinsi Pati
Jawa
menjadi
kebutuhan psikologis mereka.
Tengah,
Beragam permasalahan pun
kabupaten
kemudian
penyumbang terbesar ketiga dengan
210
muncul
dari
ketidak
hadiran
salah
satu
atau
kedua
perkembangan.
orangtua dalam pengasuhan. Studi
Namun tidak dapat dipungkiri
deskriptif yang dilakukan Mashkur,
bahwa kehadiran fisik maupun psikis
Untung
orangtua dalam keluarga akan sangat
dan
Maemonah
(2012)
menemukan bahwa anak di usia
mendukung
remaja dari orangtua yang bekerja
perkembangan anak yang sehat, utuh
sebagai TKI mengalami kepudaran
dan sejahtera. Hasil penelian Liau-
konsep diri. Studi deskriptif Arista
bei Wu (2004) terhadap 1000 anak di
(2013)
bahwa
sekolah menengah menguatkan peran
ketidakhadiran dalam pengasuhan
orang tua dalan membentuk kontrol
yang cukup lama dari ibu yang
diri anak dan pengaruh kontrol diri
bekerja sebagai TKI dapat merubah
terhadap berbagai perilaku buruk.
sikap, perasaan dan cara hidup anak.
Kesimpulan
Dari 55 responden diketahui bahwa
antara lain, gaya pengasuhan orang
32
berhasil
tua sangat mempengaruhi perilaku
menjalankan tugas perkembangan
menyimpang pada remaja. Penelitian
remajanya dengan baik.
Kuhn & Laird (2013) pada 180
menunjukkan
responden
tidak
pertumbuhan
penelitian
dan
tersebut
Belum lagi, anak di usia
remaja yang terdiri dari 49 persen
remaja dihadapkan pada perubahan
remaja Amerika Eropa dan 45 persen
dunia yang komplek menyangkut
remaja Amerika Afrika menemukan
perubahan budaya dan gaya hidup.
bahwa
tingginya
Remaja dituntut mampu bersikap dan
maupun
pengawasan
menempatkan
ajakan orangtua dan aturan keluarga
diri
sesuai
keterlibatan orangtua,
keberadaanya di tengah-tengah orang
mampu
membatasi
munculnya
lain dengan ragam budaya dan
perilaku
antisosial.
Rendahnya
pergaulan yang ada. Untuk itu,
pengendalian/
remaja harus mampu mengendalikan
remaja
dirinya agar tidak terseret pada
rendahnya keterlibatan remaja di
beragam permasalahan yang lebih
pergaulan
pelik yang semakin menjauhkannya
antisosial, rendahnya pemanfaatan
dalam
waktu tanpa pengawasan orangtua,
pencapaian
tugas
211
kontrol
berkorelasi
teman
diri
kuat
sebaya
pada dengan
yang
seringnya orangtua mengajak anak
memerintah dan mengarahkan diri
untuk tidak terlibat dalam kekerasan
secara sukarela dalam pencapaian
dan banyaknya aturan dari orangtua.
tujuan
Hal
2011).
ini
menunjukkan
bahwa
dan
standar
Pola
(Duckworth,
pengendalian
diri
kehadiran orangtua berperan pada
diperoleh individu di masa kecil dan
kontrol
tetap
diri
mengurangi
anak
yang
kemungkinan
akan
relatif
stabil
sepanjang
remaja
perjalanan
hidup,
mempengaruhi
terlibat dalam kekerasan dan perilaku
kesesuaian
serta
kemungkinan
antisosial. Sejalan dengan temuan
membentuk hubungan sosial tahan
kedua hasil penelitian tersebut, hasil
yang kuat dan panjang. Gottfredson
penelitian Li, Zang & Wang (2015)
dan Hirschi (dalam Welch, et.al.,
pada 690 siswa yang terdiri dari 310
2008)
siswa laki – laki dan 380 siswa
pengendalian
diri
perempuan dengan rentang usia 11
mendorong
kegagalan
sampai
performansi peran dalam organisasi,
16
tahun
menunjukkan
menjabarkan yang
dalam
hubungan
asosiasi positif dengan pengendalian
lainnya. Hal ini karena tanpa kontrol
diri
diri
diri)
berasosiasi
remaja
negatif
dan
dengan
individu
berpartisipasi
dan
rendah
bahwa kontrol psikologis memiliki
(kontrol
pribadi
bahwa
tidak dalam
domain
dapat sistem
kemungkinan terjadinya kekerasan
kewajiban timbal balik tersirat oleh
terhadap
anggota kelompok.
teman
sebaya.
Perlu
pengendalian
dari
Berdasarkan hasil wawancara
orangtua dalam pengasuhan untuk
peneliti dengan guru BK SMP Negeri Z
meminimkan terjadinya kekerasan.
Jaken
keterlibatan
terungkap informasi bahwa sebagian
Pengendalian diri atau kontrol diri
didefinisikan
kemampuan respon
untuk
yang
menghambat
respon
besar orangtua siswa di sekolah tersebut
sebagai
bekerja sebagai TKI, sehingga peneliti
merangsang
diinginkan
dapat menemui komunitas siswa yang
dan
berlatar belakang tidak diasuh langsung
tidak
oleh salah satu atau kedua orangtua
diinginkan untuk mencapai tujuan
karena orangtua merantau ke luar negeri.
tertentu.
Komunitas
Individu
yang
pada tanggal 9 April 2014
mampu
212
siswa
yang
selanjutnya
diteliti adalah siswa yang tinggal di
Layanan
dalam
Bimbingan
Desa Tegalarum Kecamatan Jaken, Pati.
Konseling, sejatinya tidak hanya dapat
Dalam keseharian, mereka dititipkan dan
diterapkan kepada siswa di sekolah
diasuh
Siswa
dalam jam pelajaran secara formal.
berpendapat bahwa mereka dicukupi
Melainkan juga dapat diaplikasikan pada
semua kebutuhanya tetapi merasa ada
komunitas tertentu,
yang tidak lengkap. Mereka
merasa
maupun luar sekolah sebagai upaya
kurang adanya suatu perhatian dari
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
orang tua. Siswa yang orangtuanya
Salah
bekerja
dapat
diterapkan dalam mengatasi kesulitan
berjumpa satu tahun sekali dengan
mengendalikan atau mengontrol diri
orangtuanya, bahkan ada yang bertahun
adalah melalui konseling kelompok
– tahun belum dapat berjumpa. Mereka
behavioral.
oleh
kakek
sebagai
mengungkpkan
TKI
nenek.
hanya
layanan
yang
dapat
mereka
Corey (2013:198) menjelaskan
membutuhkan adanya didikan dan kasih
bahwa konseling kelompok behavioral
sayang dari orang tua. Tidak sekedar
memiliki maksud-maksud preventif dan
materi yang diberikan orangtua. Bahkan,
juga remedial. Umumnya konseling
ada pula siswa yang menganggap bahwa
kelompok memiliki suatu fokus khusus
orangtua sudah tidak lagi peduli pada
yang mungkin dapat berupa pendidikan,
dirinya.
vokasional yang menekankan pikiran,
Luaran
bahwa
satu
baik di dalam
dari
kekecewaan
maupun kekosongan psikologis muncul
perasaan
pada beberapa perilaku yang cenderung
konseling kelompok berorentasi pada
maladaptif. Siswa sering membolos,
masalah. Isi dan fokusnya sebagian
terlibat tawuran antar pelajar, sering
besar di tentukan oleh peserta yang pada
meningalkan jam pelajaran, serta kurang
dasarnya merupakan orang-orang yang
rasa hormat kepada guru. Siswa juga
bisa berfungsi dengan baik. Pendekatan
terlihat
dalam
behavioristik tidak mengurangi asumsi-
belajar karena merasa hasil prestasinya
asumsi filosofis tertentu tentang manusia
kurang
dari
secara langsung setiap orang di pandang
orang di sekitarnya terutama adalah
memiliki kecenderungan-kecenderungan
orang tuanya. Terdapat indikasi bahwa
positif ditentukan oleh lingkungan sosial
mereka mengalami kesulitan dalam
budaya.
kurang
mendapat
bersemangat
penghargaan
mengendalikan dirinya.
dan
perilaku
Karakteristik
seringkali
konseling
behavioral adalah : (a) berfokus pada
213
tingkah laku yang tampak dan spesifik,
yang
(b)
“konselor
memerlukan
perumusan
kecermatan
tujuan
mengembangkan
dalam
konseling,
prosedur
dikehendaki.
Dalam
meminta
hal
konseli
ini
untuk
(c)
mengkhususkan tingkah laku apa yang
perlakuan
benar - benar ingin diubahnya dan
spesifik sesuai dengan masalah klien,
tingkah
dan (d) penilaian yang obyektif terhadap
diperolehnya (Wolpe dalam Yutriani,
tujuan konseling. Konseling Behavioral
Dantes dan Partadjaja, 2013). Maka,
merupakan
dengan
layanan konseling kelompok behavioral
mempelajari tingkah laku tidak adaptif
yang diterapkan dalam penelitian ini
melalui proses belajar yang normal.
diharapkan
Tingkah laku tersusun dari respon
mengatasi masalah-masalah siswa yang
kognitif, motorik, dan emosional yang
berkaitan dengan meningkatkan kontrol
dipandang
diri siswa.
suatu
sebagai
metode
respon
terhadap
laku
baru
yang
mampu
ingin
memproses
stimulasi eksternal dan internal dengan
Masalah kontrol diri pada siswa
tujuan untuk memodifikasi koneksi -
dalam komunitas yang orangtuanya
koneksi dan metode stimulus respon
bekerja
sedapat
kognitif
mengingat : (1) Sebagai remaja, kontrol
melibatkan
diri perilaku sangat diperlukan dalam
adalah
mungkin. respon
Respon
individu
sebagai
TKI
perlu
perubahan dalam kemampuan pola pikir,
mencegah
kemahiran berbahasa, dan pengetahuan
maladaptif yang dapat mengganggu
dari
respon
pencapaian tugas perkembangan remaja,
motorik adalah respon individu yang
(2) Membantu memahamkan kepada
melibatkan kemampuan gerak tubuh dan
remaja bahwa ketika orangtua memilih
refleks pada bagian tubuh, misalnya
mejadi TKI, pilihan tersebut bukanlah
kaki, tangan, kepal, pundak, bahu.
pilihan
Sedangkan
yang
kehidupan
emosional
dalam
lingkungan.
Sedangkan
dimaksud
yang
mudah.
anak
yang
perilaku
Orientasi lebih
layak
dan
menjadi penguat pemilihan keputusan
menghadapi masalah seperti : cemas,
tersebut. Pengalih asuhan selama ini
takut, panik, gembira, sedih, marah.Hal
diharapkan orangtua membuat anak juga
utama yang perlu diperhatikan dan
merasa nyaman, meskipun tentunya
dilakukan dalam konseling behavioral
berbeda
adalah
orangtua, dan (3) Kontrol diri perilaku
menyaring
menerima
respon
munculnya
dikaji
dan
memisahkan
dengan
pada
remaja
oleh
tingkah laku yang bermasalah itu dan
yang
membatasi secara khusus perubahan apa
memudahkan remaja dalam memiliki
214
baik
pengasuhan
akan
relasi yang sehat dengan lingkungan
Praptiani,
sekitarnya.
Widyari 2008; Duckworth, 2011).
2013,
Hurlock
dalam
Baumeister, Vohs, dan Tice (2007) menerangkan
Tinjauan Pustaka
Menurut Logue (1995) ada dua
puan individu untuk mengendalikan
faktor yang mempengaruhi kontrol
emosi maupun dorongan-dorongan
diri yaitu genetik dan miliu. Faktor
dari dalam dirinya untuk mengatur
genetik mengacu pada individu yang
psikologis,
maupun perilaku, dalam menyusun, membimbing,
mempertimbangkan,
baik
akan
pengendalian
individu
kontrol diri tinggi berdasarkan teori Logue & Forzano (1995), yaitu: 1)
adanya
Tekun dan tetap bertahan dengan
dalam
tugas yang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan apa yang
Akan lebih baik apabila setiap yang
akan
dapat
menggunakan ciri individu dengan
dengan
berbagai hal yang diinginkannya.
langkah
yang
Pada penelitian ini, peneliti
orang lain. Kontrol diri sangat erat dengan
keturunan
termasuk aspek budaya.
baik, positif dan produktif, maupun
kaitanya
luar
yang diamati anak, gaya pengasuhan
mempengaruhi
hubungan
mempunyai
diri diantaranya perilaku orang tua
pembentukan perilaku lain yang
keharmonisan
akan
implusif
mempengarui perkembangan kontrol
kearah
konsekuensi positif. Kontrol diri yang
cenderung
di
dapat diterima dalam lingkungan membawa
keturunan
miliu menjelaskan mengenai faktor
perilaku ke arah yang positif agar
dan
mempunyai
memiliki prilaku implusif. Faktor
mengatur dan mengarahkan bentuk
sosial
diri
penting untuk kesuksesan dalam hidup.
diri didefinisikan sebagai kemam-
fisik,
pengendalian
adalah fungsi sentral dari diri dan kunci
Pengendalian diri atau kontrol
proses-proses
bahwa
harus
dilakukan
dikerjakan,
menghadapi
individu dapat diimbangi dengan
banyak
kontrol diri yang positif sehingga
ia
walaupun
harus
hambatan.
menemui 2)
Dapat
mengubah perilaku menyesuaikan
hasil yang ingin di capai dapat
dengan aturan dan norma yang
optimal. (Hart dalam Sriyanti, 2013;
berlaku ditempatnya berada. 3) Tidak 215
menunjukkan
perilaku
penyimpangan
emosional
perilaku
(maladaptif)
atau meledak-ledak dan 4) Bersifat
menjadi perilaku yang adaptif. (Yutriani,
toleran atau dapat menyesuaikan
Dantes dan Partadjaja, 2013).
terhadap
situasi
yang
Rosjidan (1994) mengemukakan
tidak
karakteristik konseling behavioral yang
dikehendaki.
bersifat universal adalah : 1). Fokusnya
Pada penelitian ini, intervensi
pada pengaruh-pengaruh tingkah laku
yang diberikan kepada siswa di dalam
yang
komunitas remaja yang orangtuanya menjadi
TKI
dengan
dipertentangkan
permasalahan
determinan
kontrol diri diberikan layanan konseling kelompok
behavioral.
secara nyata dalam istilah yang obyektif agar
untuk membantu, memberi umpan balik
laku
dasar sebagai sumber hipotesis tentang treatment
yang
tertentu
teramati/tampak dan spesifik serta fokus
nantinya
2005).
memiliki
Konseling
digunakan
kelompok
mengubah yang
individu
sehingga
sifat
lanjut
Rosjidan
Konseling
Behavior
khasnya,
yaitu:
1).
yang terancang dan sistematik. 2). Problem
oleh
manusia
umumnya
akibat
kurang atau salah belajar karena itu
seorang konselor kepada konseli dalam membantu
yang
Konseling behavioral adalah proses
konseling yang menekankan pada proses yang
Lebih
menjabarkan,
behavioral merupakan salah satu teknik
pembelajaran
terapi
Masalah-masalah
ditentukan,
penilaian.
optimal (Komalasari dkk, 2011; Latipun, Wibowo,
teknik-teknik
memungkinkan adanya treatment dan
ia
mampu mencapai perkembangan yang
2011;
4)
khusus
agar individu mampu mengentaskan serta
dan
menjadi sasaran dalam terapi secara
pada tingkah laku kini dan sekarang,
permasalahannya
adanya
Kepercayaan adalah pada penelitian
pendekatan
perubahan perilaku yang berfokus pada tingkah
memungkinkan
pengulangan atau peninjauan kembali.
(feedback) dan pengalaman belajar,
proses
2).Penekanan
3).Tujuan-tujuan treatment ditentukan
masalah-masalah
suatu
historis
determinan-
kriteria utama dalam menilai treatment
pribadi dengan memanfaatkan kelompok
menggunakan
dengan
yang
yang dapat diamati dengan jelas sebagai
pemberian bantuan kepada individu mengalami
diamati
diberikan pada perubahan tingkah laku
Konseling
kelompok behavioral merupakan upaya
yang
dapat
konseling dipandang sebagai proses
atau
belajar mengajar. 3) Tujuan konseling
mengalami
adalah
216
membantu
klien
mengubah
tingkah
laku
yang
ditentukan
dan
spesifik. 3). Diinginkan oleh klien. 4).
masalahnya khusus, meneliti variabel
Konselor
eksternal dan internal yang mungkin
membantu mencapai tujuan tersebut. 5).
menstimulasi
mereinforce
Klien dapat mencapai tujuan tersebut.
perilakunya dan lebih lanjut membuat
6). Dirumuskan secara spesifik 7).
pernyataan perilaku baru sebagaimana
Konselor
yang diharapkan. Dalam melakukan
(bekerjasama)
perannya, dituntut adanya kesadaran dan
merumuskan
partisipasi klien dalam proses terapiutik.
konseling.
dan
Klien harus mau bekerjasama dengan
mampu
dan
dan
klien
bersedia
bersama-sama
menetapkan tujuan-tujuan
Adapun
atau khusus
tahapan
dalam
konselor dan anggota yang lain baik
konseling kelompok behavioral dalam
selama terapi maupun dalam situasi
penelitian ini mengkolaborasikan toeri
kehidupan nyata bila memungkinkan.
tahapan
pelaksanaan
Keefektifan
kelompok
dan
sangat
dituntut
bagi
konseling
teknik
behavioral.
memperoleh keberhasilan yang diikuti
Menurut Prayitno & Amti (2004),
dengan
layanan
adanya
kemauan
untuk
memperbaiki perilakunya.
konseling
tentang
tujuan
behavioral
menyediakan
kegiatan, yaitu: 1). Tahap pembentukan,
utama
yaitu
adalah
kerumunan sejumlah individu menjadi
keadaan-keadaan
lingkungan-lingkungan
kelompok
diselenggarakan melalui empat tahap
JT Lobby Loekmono (2003) menyatakan
konseling
untuk
kelompok
membentuk
yang
siap
perilaku
mengembangkan dinamika kelompok
yang tidak sesuai dapat dihapuskan dan
dalam mencapai tujuan bersama. 2).
sesudah itu konseli akan diajarkan untuk
Tahap peralihan, yaitu tahapan untuk
menguasai perilaku baru yang sesuai
mengalihkan kegiatan awal kelompok ke
untuk menggantikan perilaku yang tidak
kegiatan berikutnya yang lebih terarah
sesuai. Tujuan dari konseling behavioral
pada pencapaian tujuan kelompok. 3).
adalah
Tahap kegiatan, yaitu tahapan “kegiatan
sebagai
agar
satu
tahapan
berikut
ini
:
1)
Menghapus atau menghilangkan tingkah
inti”
laku
pribadi anggotakolompok. 4). Tahap
maldaptif
(masalah)
untuk
untuk mengentaskan masalah
digantikan dengan tingkah laku yang
pengakhiran,
baru yaitu adaptif yang diinginkan klien.
kegiatan untuk melihat kembali apa
2.). Tujuan yang sifatnya umum harus
yang sudah dilakukan dan dicapai oleh
dijabarkan ke dalam perilaku yang
kelompok, serta merencanakan kegiatan
217
yaitu
tahapan
akhir
selanjutnya.
implementasi
Selanjutnya menurut Komalasari dkk
(2011),
konseling
membandingkan perubahan tingkah laku
behavioral
antara
yaitu:
1)
intervensi. 4) Evaluasi dan pengakhiran.
melakukan assesment (assesmen). Tahap
Evaluasi behavioral merupakan proses
ini bertujuan untuk menentukan apa
yang
yang dilakukan oleh konseli pada tahap
dibuat atas dasar apa yang konseli
ini. Assesment yang dilakukan adalah
perbuat. Tingkah laku konseli digunakan
aktivitas nyata, perasaan dan pikiran
sebagai
konseli. 2) Menentukan tujuan (goal
efektivitas
setting).
tertentu dari teknik yang digunakan.
memiliki
konseling
teknik
empat
tahap
Konseli
dan
konselor
menentukan tujuan konseling sesuai dengan
kesepakatan
berdasarkan
informasi
data
dengan
berkesinambungan.
dasar
untuk
konselor
data
Evaluasi
mengevaluasi
dan
efektivitas
Dengan memperhatikan teori
bersama
tersebut, maka tahap-tahap konseling
telah
kelompok behavior yang diterapkan
disusun dan dianalisis. Tahap goal
dalam penelitian meliputi: 1) tahap
setting disusun atas tiga langkah, yaitu
pembentukan.
membantu konseli untuk memandang
mengkondisikan anggota kelompok agar
masalahnya atas dasar tujuan-tujuan
dapat mencapai tujuan bersama, 2) tahap
yang diinginkan, memperhatikan tujuan
peralihan, merupakan jembatan antara
konseli
tahap
berdasarkan
yang
baseline
kemungkinan
Pemimpin
pembentukan
kelompok
menuju
tahap
hambatan-hambatan situasional tujuan
kegiatan, 3) tahap kegiatan, tahap ini
belajar yang dapat diterima dan diukur,
dilakukan untuk mengemukakan topik
dan memecahkan tujuan kedalam sub-
permasalahan klien serta membahas
tujuan dan menyusun tujuan menjadi
permasalah dari klien. Dalam tahap
susunan
3)
kegiatan, konselor melakukan a) tahapan
Implementasi teknik, setelah tujuan
assesmen untuk mengetahui keresahan
konseling dirumuskan, konselor dan
atau permasalahan yang telah dirasakan
konseli menentukan strategi belajar yang
oleh
baik untuk membantu konseli mencapai
selanjutnya
perubahan tingkah laku yang diinginkan.
konseli
Konselor
yang
berurutan.
konseli, b)
sesuai
setelah
itu
tahap
menentukan
tujuan
dengan
kesepakatan
dan
konseli
konseli dan konselor (goal setting),
mengimplementasikan
teknik-teknik
selanjutnya c) konseli dan konselor
konseling sesuai dengan masalah yang
menentukan strategi belajar yang tepat
dialami
untuk menangani perubahan tingkah
oleh
konseli.
Dalam
218
laku yang diinginkan oleh konseli.
mengatahui lebih akurat dari hasil
Setelah
perlakuan dan membandingkan dengan
mendapatkan
teknik
yang
disepakati dan melaksanakan teknik
kedaan
sebelum
diberi
perlakuan
tersebut konselor d) melakukan evaluasi
layanan konseling kelompok sebanyak
mengenai apakah kegiatan yang sudah
enam kali.
dilakukan sudah sesuai dengan tujuan konseling,
kemudian
konselor
Subyek penelitian
melakukan umpan balik kepada konseli untuk
mengetahui
apakah
Populasi dalam penelitian ini
kegiatan
terdiri dari 115 siswa SMP Z Jaken
konseling ini dapat memperbaiki dan
Kabupaten Pati. Kemudian dilakukan
meningkatkan proses konseling, dan
seleksi menggunakan instrumen konsep
tahap terakhir yang diterapkan adalah 4)
diri dan angket sehingga diperoleh
tahap pengakhiran, merupakan tahap
delapan subyek siswa yang orangtuanya
evaluasi kegiatan dan tindak lanjut.
yang bekerja sebagai TKI dengan permasalahan konsep
diri sebanyak
delapan siswa.
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh layanan konseling kelompok
Instrumen Penelitian
behavior terhadap kontrol diri pada
Kontrol
diri
diukur
instrumen
skala
siswa di SMP Z Jaken Kabupaten Pati
menggunakan
(studi pada komunitas remaja dengan
psikologis kontrol diri yang terdiri
orangtua yang bekerja sebagai TKI).
dari 25 pernyataan dengan aspek 1) Tekun dan tetap bertahan dengan
METODE PENELITIAN
tugas yang bagaimana ia harus
Desain penelitian Penelitian penelitian
ini
berperilaku sesuai dengan apa yang
merupakan
pre-eksperimen
harus
dengan
dikerjakan,
bentuk one group pretest-posttest design
menghadapi
untuk mengetahui pengaruh konseling
banyak
kelompok behavior terhadap kontrol diri
mengubah perilaku menyesuaikan
siswa yang orangtuanya bekerja sebagai
dengan aturan dan norma yang
TKI.
berlaku ditempatnya berada. 3) Tidak
Pada
desain
ini,
peneliti
mengadakan pre-test dan post-test pada
219
harus
hambatan.
menunjukkan
kelompok eksperimen dengan tujuan
ia
walaupun
perilaku
menemui 2)
Dapat
emosional
atau meledak-ledak dan 4) Bersifat
diri diperoleh nilai r11 sebesar 0,869
toleran atau dapat menyesuaikan
dengan nilai α sebesar 5%.
terhadap
situasi
dikehendaki. disusun
yang
Skala
tidak
likert
menggunakan
HASIL DAN PEMBAHASAN
yang
Hasil
empat
alternatif jawaban yaitu sangat sesuai
Kontrol diri remaja pada komunitas
(SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS),
yang orangtuanya bekerja sebagai TKI
dan sangat tidak sesuai (STS).
diukur sebanyak dua kali, yaitu sebelum
Pengukuran dilakukan dua kali, yaitu
perlakuan
sebelum
perlakuan
perlakuan dengan jeda waktu selama
dengan selisih waktu pengukuran
tiga minggu. Berikut tabulasi data
selama
kontrol diri pada remaja:
dan
sesudah
tiga
minggu.
Hasil
uji
dan
sesudah
enam
kali
reliabilitas skala psikologi kontrol Tabel 1.1 Skor Kontrol Diri Remaja No.
Kode siswa AR-1 AR-2 AR-3 AR-4 AR-5 AR-6 AR-7 AR-8
1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Skor Tertinggi Skor Terendah Rata-Rata
Skor 41 42 39 40 42 41 39 41 325 42 39 40,625
Pre-test Kategori Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah
Dari data tersebut diketahui
Post-test Skor Kategori 81 Tinggi 73 Tinggi 76 Tinggi 80 Tinggi 77 Tinggi 78 Tinggi 70 Tinggi 71 Tinggi 606 81 70 75,75
kelompok
Peningkatan Skor prosentase 40 3,2% 31 2,48% 37 2,96% 40 3,2% 35 2,8% 37 2,96% 31 2,48% 30 2,4%
behavior
22,48%
memberikan
skor sebelum perlakuan diperoleh
peningkatan control diri pada remaja
rata-rata sebesar 40,625 sedangkan
yang orangtuanya bekerja sebagai
skor
TKI sebesar 35.125 poin atau setara
rata-rata
mencapai menunjukkan
setelah
75,75. bahwa
perlakuan Hal
ini
dengan kenaikan 22,48%.
konseling
Adapun
220
selanjutnya,
data
dianalisis menggunakan sign test
Selanjutnya
dikonsultasikan
wilcoxon dan diperoleh data sebagai
tabel pada taraf signifikan 5% dengan
berikut:
ttabel = 4, maka thitung > ttabel. Dengan demikian koefisien thitung
X1 41 42 39 40 42 41 39 41
X2 81 73 76 80 77 78 70 71 Jumlah
D 40 31 37 40 35 37 31 30
Rd 7,5 2,5 5,5 7,5 4 5,5 2,5 1
5%. Atas dasar perhitungan tersebut maka hipotesis “Konseling Kelompok
T 7,5 2,5 5,5 7,5 4 5,5 2,5 1 36
Behavior berpengaruh terhadap kontrol diri pada siswa di SMP Z Jaken Kabupaten Pati (studi pada komunitas remaja dengan orangtua yang bekerja sebagai TKI)” diterima kebenarannya. Berdasarkan
sebelum
Selanjutnya dikonsultasikan dengan taraf
signifikan
data
yang signifikan antara kontrol diri siswa
wilcoxon diatas diperoleh thitung = 36. pada
analisis
menunjukkan bahwa ada perbedaan
Dari perhitungan sign test
tabel
sebesar 36
adalah signifikan pada taraf signifikan
Tabel Uji Hipotesis Signt Test Wilcoxon No 1 2 3 4 5 6 7 8
dengan
dan
sesudah
mendapatkan
layanan konseling kelompok behavior.
5%
Rata-rata
skor
sebelum
perlakuan
dengan ttabel = 4, maka thitung > ttabel.
diperoleh rata-rata 40,625 sedangkan
Dengan demikian koefisien thitung
skor
sebesar 36 adalah signifikan pada
mencapai 75,75. Hal ini berarti ada
taraf 5%. Atas dasar perhitungan
peningkatan sebesar sebesar 35.125 poin
tersebut maka hipotesis penelitian
atau setara dengan kenaikan 22,48%.
diterima, artinya terdapat pengaruh Konseling
Kelompok
Behavior
siswa
siswa
Z
perlakuan
behavior merupakan salah satu cara untuk
Negeri
setelah
Layanan konseling kelompok
dalam meningkatkan kontrol diri SMP
rata-rata
PATI
memberikan secara
pelaksanaan
Kabupaten Pati .
bantuan
kepada
kelompok.
Pada
Konseling
kelompok
behavior terdapat dinamika kelompok dalam membahas berbagai hal yang
Pembahasan Berdasarkan
perhitungan
berguna
uji
sehingga
hipotesis diperoleh hasil thitung = 36.
221
bagi dapat
perkembangan
siswa
melakukan
suatu
pengentasan
terhadap
hal-hal
yang
SMA Negeri 2 Singaraja tahun pelajaran
bersifat negatif.
2012/2013 oleh (Yutriani, Dantes dan Partadjaja,
Pada penelitian ini, layanan
menunjukkan
konseling kelompok behavior diberikan kepada
delapan
kelompok.
siswa
Di
dalam
setiap
mendapat
pertemuan,
mengingat
dalam
mereka
rata
-
rata
pencapaian
kecerdasan
sebesar 61,33 % dengan kategori rendah. Pada siklus I terjadi peningkatan dengan
TKI. Pertemuan pertama membahas
rata - rata sebesar 5,17% dengan hasil 2
siswa yang suka berbuat sesuka hati
orang siswa yang dikategorikan sedang
karena merasa orang tua tidak pernah Pertemuan
konseling
intrapersonal terhadap ena, orang siswa
satu
kesamaan yaitu berasal dari keluarga
memperhatikan
perlakuan
hasil penelitian dari pra siklus diperoleh
kesehariannya memiliki
perubahan
behavioral. Hal ini ditunjukkan dengan
salah satu anggota kelompok terkait diri
terjadinya
Hasilnya
kecerdasan interpersonal siswa setelah
satu
kelompok membahas permasalahan dari
kontrol
2013).
dan 4 orang siswa yang dikategorikan
kedua
rendah
membahas tentang merasa tidak di
sehingga
perlu
melanjutkan
treatmen pada siklus II. Pada siklus II
perhatikan orang tua sehingg atidak
terjadi peningkatan dengan rata - rata
pernah belajar di rumah. Pertemuan
peningkatan sebesar 16,16% dengan
ketiga membahas masalah seorang siswa
kategori tinggi.
yang sering terlambat mengumpulkan tugas
sekolah.
Pertemuan
keempat
membahas tentang kakek nenek yang
KESIMPULAN DAN SARAN
selalu mendominasi hidup sehingga Kesimpulan
siswa tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Pertemuan kelima tentang
perilaku
pelajaran
dan
keluar memilih
membahas kelas ke
Berdasarkan
saat
perhitungan
uji
hipotesis diperoleh hasil thitung = 36.
kantin.
Selanjutnya
dikonsultasikan
dengan
Pertemuan keenam membahas perilaku
tabel pada taraf signifikan 5% dengan
membolos
ttabel = 4, maka thitung > ttabel. Dengan
siswa
sebagai
bentuk
kemarahan kepada orangtua.
demikian koefisien thitung
sebesar 36
Konseling Behavioral pernah
adalah signifikan pada taraf signifikan
diterapkan pada penelitian peningkatan
5%. Lebih lanjut, berdasarkan analisis
kecerdasan intrapersonal siswa kelas X3
data menunjukkan bahwa ada perbedaan
222
yang signifikan antara kontrol diri siswa
konseling kelompok behavioral dalam
sebelum
mengentaskan permasalahan kontrol diri
dan
sesudah
mendapatkan
layanan konseling kelompok behavior.
sehingga
Rata-rata
perlakuan
bekerja sebagai TKI sehingga nantinya
diperoleh rata-rata 40,625 sedangkan
siswa tidak terlibat dalam permasalahan
skor
yang
skor
sebelum
rata-rata
setelah
perlakuan
mencapai 75,75. Hal ini berarti ada
siswa
lebih
yang
rumit
orangtuanya
dan
mampu
mengembangkan potensi dirinya.
peningkatan sebesar sebesar 35.125 poin atau setara dengan kenaikan 22,48%.
DAFTAR PUSTAKA Baumeister, R.F., Vohs, K.D., & Tice, D.M. (2007). The Strength Model Of Self-Control. Current Directions in Psychological Science, 16, 351–355.
Saran Ilmu Bimbingan dan Konseling dapat
Duckworth, A. L., & Kern, M. L. (2011). A Meta-Analysis Of The Convergent Validity Of SelfControl Measures. Journal of Research in Personality, 45, 259268.
diterapkan pada setting sekolah maupun luar sekolah, baik pada siswa di kelas, komunitas
yang
berada
di
dalam
maupun luar sekolah, instansi formal – non formal maupun pada masyarakat luas,
untuk
menjawab
Irenewaty, Lestari & Kumalasari (2008). TKW dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan Hidup Berkeluarga Dan Kelangsungan Pendidikan Anak Di Kabupaten Sleman. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta. (Laporan Penelitian).
kebutuhan
masyarakat terhadap fenomena yang dihadapi. Penelitian ini diterapkan pada komunitas di dalam sekolah yang terdiri dari para remaja yang orangtuanya
Kuhn, E.S & Laird, R.D. (2013). Parent and Peer Restrictions of Opportunities Attenuate the Link between Low Self-control and Antisocial Behavior. Social Developmen,t Vol 22 No. 4 813– 830 November 2013.
bekerja menjadi TKI. Dari hasil temuan, disarankan para siswa yang tergabung dalam suatu komunitas tetap mendapat pendampingan
dalam
menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya. Pada
Li, Zang & Wang (2015). Parental Behavioral Control, Psychological Control and ChineseAdolescents‟ Peer Victimization: The Mediating Role of Self-Control. J Child Fam Stud, 24:628–637.
kasus ini, guru BK diharapkan mampu masuk ke dalam komunitas yang ada di sekolah sehingga dapat menerapkan layanan
bimbingan
diantaranya
dan
menerapkan
konseling,
Liau-bei Wu. 2004. A Study on the Relations among Self-Control,
layanan
223
Peer Relation and Juvenile Deviant Behaviors. Loekmono, L. 2003. Model – Model Konseling. Salatiga: Widyasari Press. Logue & Forzano, (1995). Self-
Control and Impulsiveness In Children And Adults: Effects Of Food Preferences. Journal of the Experimental Analysis of Behavior, 64, 33–46. Prayitno, & Erman Amti. (2004). DasarDasar Bimbingan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta..
Sriyanti. 2013. Pembentukan Self Control dalam Perspektif Nilai Multikultural. Salatiga: IAIN Salatiga. Welch, et.al., 2008. Social Integration, Self-control, and Conformity. J Quant Criminol (2008) 24:73–92. Yutriani, K.M, Dantes, N dan Partadjaja, T.R, 2013. Penerapan Layanan Konseling Behavioral Dengan Teknik Perkuatan Positifuntuk Meningkatkan Kecerdasan Intrapersonal Siswa Kelas X3 SMA Negeri 2 Singaraja Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal Ilmiah Bimbingan dan Konseling. 1(1): www.bnp2tki.go.id. www. jateng.bps.go.id.
224
PELATIHAN ASERTIVITAS SEBAGAI UPAYA MEREDUKSI FREKUENSI BULLYING DI SEKOLAH Chr Argo Widiharto Padmi Dhyah Yulianti
[email protected]
ABSTRAK
Kekerasan banyak terjadi di segala tempat, tak terkecuali sekolah. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan siswa dapat berlangsung secara sistematis. Kekerasan ini disebut dengan istilah bullying. Prevalensi bullying di beberapa negara diperkirakan sebesar 8 sampai 50 %. Banyak dari kasus - kasus bullying yang terjadi, rata – rata dialami oleh siswa Sekolah Dasar (SD). Prevalensi bullying tertinggi pada usia 7 – 10 – 12 tahun. Wujud dari bullying antara lain bullying fisik, bullying verbal dan bullying mental atau psikologis. Kajian literatur di pergunakan dalam studi ilmiah ini untuk menganalisis kembali hasil – hasil penelitian sebelumnya, yang berkaitan dengan bullying di sekolah dan pelatihan asertivitas. Literatur yang digunakan sebagai sumber meliputi 1) abstrak hasil penelitian, 2) review, 3) jurnal, dan 4) buku referensi. Pencarian literatur mempergunakan kepustakaan baik secara manual maupun online. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, tanggung jawab banyak pihak untuk ikut mereduksi frekuensi terjadinya bullying di sekolah. Bullying sebenarnya merupakan masalah kesehatan publik yang perlu mendapatkan perhatian, karena orang-orang yang menjadi korban bullying kemungkinan akan menderita berbgai macam gangguan psikologis. Dapat ditegaskan bahwa sebenarnya masalah bullying sudah memasuki ranah kesehatan mental. Bullying memiliki dampak yang serius bahkan fatal bagi individu maupun kelompok. Salah satu upaya yang dapat mereduksi frekuensi bullying di sekolah adalah melalui pelatihan asertivitas. Diharapkan setelah mengikuti pelatihan asertif individu dapat menyatakan secara tegas apa yang dirasakan tanpa tekanan dari pihak lain, mampu bertingkah laku secara tepat dan adaptif, meninggalkan perilaku negatif, tidak percaya diri, bermusuhan maupun agresif dan pada akhirnya memiliki harga diri yang lebih tinggi serta memperoleh imbalan sosial sehingga seseorang mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya. Namun demikian masih harus dilakukan penelitian secara mendalam tenang pengaruh pelatihan asertivitas dalam mereduksi frekuensi bullying. Ada beberapa hal yang perlunya dipertimbangkan dalam penerapan pelatihan asertivitas, seperti misalnya hambatan budaya dan hambatan individu. Kata kunci: pelatihan asertivitas, bullying
225
PENDAHULUAN
menggunakan istilah dari Norwegia yaitu mobbning yang mengacu pada
Anak adalah generasi penerus
kekerasan
bangsa, sebuah bangsa akan merasa
dalam istilah bahasa Inggris disebut
generasi muda yang bisa memajukan
dengan mobbing. Konsep yang sama
dan menjadikan bangsanya lebih
dengan mobbing juga muncul di
maju dan sukses. Generasi muda
literatur
adalah jantung dari sebuah bangsa, akan
kuat
apabila
istilah
bullying tindak
menendang, mencubit dan bentuk
sekolah.
penguasaan secara kontak fisik yang
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan
lain. Tindakan verbal dapat berupa
secara
ancaman, ejekan, menggoda dan
sistematis. Kekerasan ini disebut
memanggil dengan nama julukan
dengan istilah bullying. Sebenarnya di
sekolah
yang
merupakan
disukai.
Bentuk
wajah yang tidak menyenangkan,
bullying pertama kali ditulis oleh
tidak memasukan dalam kegiatan
Heinemann pada tahun 1973 (Smith
kelompok atau menolak keterlibatan
dkk, 2002; Wolke, Woods, Stanford, 2001).
tidak
psikologis dari bullying yaitu raut
fenomena yang sudah tua. Fenomena
Schulz,
tindakan
fisik berupa memukul, mendorong,
Kekerasan banyak terjadi di segala
bullying
berbentuk
psikologis. Tindakan negatif secara
secara sistematis maupun parsial.
berlangsung
itu
negatif secara fisik, verbal maupun
kekerasan yang ada dapat berwujud
dapat
Olweus
(2004, h. 9) menjelaskan bahwa
bahkan bersikap kriminal.
siswa
adalah
anak yang lebih lemah. Olweus
yang tidak bisa bertanggung jawab
terkecuali
bullying
dari anak yang lebih kuat kepada
dalamnya terdapat generasi muda
tak
1996).
2011) yang mengacu pada serangan
itu juga bisa hancur apabila di
tempat,
(Niedls,
(Smith, dkk, 2002; Cheng, dkk,
yang berprestasi. Akan tetapi bangsa
macam
Jerman
Pertama kali yang menggunakan
di
dalamnya terdapat generasi muda
Berbagai
melawan
individu yang menyimpang yang
bangga apabila di dalamnya terdapat
bangsa
kelompok
seseorang dalam kegiatan kelompok.
Heinemann
226
Bullying
merupakan
salah
terjadinya
bullying
di
satu fenomena yang terbesar di
Dibutuhkan
seluruh dunia. Prevalensi bullying
pemerintah, sekolah, guru dan juga
diperkirakan sebesar 8 sampai 50 %
lingkungan pendidikan pertama anak
di
Asia,
yaitu keluarga. Saat ini, banyak yang
Amerika dan Eropa (Soedjatmiko,
menganggap bullying sebagai hal
2013).
berapa
negara
Di
seperti
peran
sekolah.
aktif
dari
Indonesia
sendiri,
yang tidak penting. Padahal kasus ini
berdasarkan
data
Komisi
bisa menjadi fenomena gunung es
Perlindungan
Anak
Indonesia
jika tidak ditangani dengan baik dan
menyebutkan dari tahun 2011 sampai
bukan tidak mungkin jika
2014 tercatat ada 369 pengaduan.
kita berada dalam fase “darurat
Jumlah
bullying”.
tersebut
25%
berisi
pengaduan di bidang pendidikan
Bullying
negara
sebenarnya
sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang
merupakan masalah kesehatan publik
disebut
bentuk
yang perlu mendapatkan perhatian,
kekerasan di sekolah mengalahkan
karena orang-orang yang menjadi
tawuran
korban bullying kemungkinan akan
KPAI
sebagai
pelajar,
diskriminasi
pendidikan ataupun aduan pungutan
menderita
liar ( Republika, 2014). Hasil kajian
percaya
Konsorsium Nasional Pengembangan
Sejiwa,
Sekolah Karakter tahun 2014 pun
ditegaskan
menyebutkan bahwa hampir setiap
masalah bullying sudah memasuki
sekolah di Indonesia memiliki kasus
ranah kesehatan mental. Bullying
bullying (Herman, 2014). Banyak
memiliki dampak yang serius bahkan
dari kasus - kasus bullying yang
fatal
terjadi, rata – rata dialami oleh siswa
kelompok. Bullying bila dilakukan
Sekolah
secara
Dasar
(SD).
Prevalensi
depresi diri
dan
kurang
(Alexander
2008,
h.10).
bahwa
bagi
Dapat
sebenarnya
individu
terus
dalam
maupun
menerus
akan
bullying tertinggi pada usia 7 – 10 –
menimbulkan
12 tahun.
ketakutan bahkan depresi. Perilaku
Tanggung
jawab
banyak
ini
pihak untuk ikut mereduksi frekuensi
perlu
trauma,
dicegah
kecemasan
karena
akan
membuat individu atau kelompok
227
memicu
berbuat
kriminal,
anarkis
seperti
bahkan
mereka
tawuran,
dapat
bersikap
asertif
terhadap bullying, sehingga mereka
perampokan, pembunuhan dan lain
dapat
sebagainya. Potensi kekerasan ini
peristiwa
lebih lanjut tidak saja dialami oleh
menawarkan tingkah laku asertif
pelaku
juga
sebagai bentuk keterampilan sosial
korbannya. Apabila perilaku bullying
yang tepat untuk berbagai situasi
ini tidak segera ditangani maka
sosial (Alberti & Emmons, 2002).
kemungkinan besar mereka akan
Salah
tumbuh menjadi warga negara yang
mereduksi
tidak produktif.
sekolah adalah melalui pelatihan
bullying
namun
Banyaknya kasus kekerasan yang
dilakukan
siswa
melindungi
dirinya
dari
Para
ahli
bullying.
satu
upaya
yang
frekuensi
dapat
bullying
di
asertivitas.
seperti
METODE
bullying, tawuran maupun tindakan
Kajian literatur di pergunakan
lain yang bersifat anarkis karena
dalam
tidak dimilikinya keterampilan sosial
menganalisis kembali hasil – hasil
dasar. Orang yang tidak memiliki
penelitian
ketrampilan sosial dasar tampak
berkaitan dengan bullying di sekolah
terlibat dalam kekerasan dan proporsi
dan pelatihan asertivitas. Literatur
yang
banyak
yang digunakan sebagai
Baron,
meliputi 1) abstrak hasil penelitian,
cukup
masyarakat
tinggi
di
(Toch dalam
2005).
2) Guna
mengantisipasi
studi
ilmiah
ini
untuk
sebelumnya,
yang
sumber
review, 3) jurnal, dan 4) buku
referensi.
Pencarian
literatur
maraknya tindak kekerasan yang
mempergunakan kepustakaan baik
dilakukan siswa seperti bullying,
secara manual maupun online.
tawuran ataupun tindakan – tindakan
KAJIAN TEORI
lain
BULLYING
yang
bersifat
anarkis
dan
kriminal. Serta mengingat fatalnya dampak adanya
yang perilaku
ditimbulkan bullying
Fenomena bullying pertama
dari
kali ditulis oleh Heinemann pada
maka
tahun
pentingnya membekali anak agar
1973
(Smith
dkk,
2002;
Wolke, Woods, Stanford, Schulz,
228
2001).
Heinemann
menggunakan
dapat
berupa
kata-kata
istilah dari Norwegia yaitu mobbning
misalnya
yang
disindir dan memanggil nama yang
mengacu
pada
kekerasan
diancam,
(verbal)
diejek/dicela,
kelompok melawan individu yang
tidak
menyimpang yang dalam
Perilaku negatif yang termasuk fisik
bahasa
Inggris
disebut
istilah dengan
sebenarnya
yaitu
(menjuluki).
memukul
seseorang,
mobbing. Konsep yang sama dengan
mendorong, menendang, menampar
mobbing juga muncul di literatur
atau mengekang dengan kontak fisik.
Jerman (Niedls, 1996). Pertama kali
Perilaku negatif selain menggunakan
yang menggunakan istilah bullying
kata-kata dan kontak fisik adalah
adalah Olweus (Smith, dkk, 2002;
wajah atau bahasa tubuh yang tidak
Cheng, dkk, 2011) yang mengacu
menyenangkan, mengasingkan dan
pada serangan dari anak yang lebih
menolak
kuat kepada anak yang lebih lemah.
kelompok.
Olweus (1993) menjelaskan bahwa
bergabung
dengan
Pada tahun 1999 Olweus
di Scandinavia kata yang digunakan
(dalam
untuk menyebut bullying adalah
dkk,
mobbing (Norwegia, Denmark) atau
menyatakan
mobbning (Swedia, Filandia). Kata
memiliki tiga kriteria yaitu (1) ada
asli dalam bahasa Inggris “mob”
perilaku agresif atau intensi untuk
mengacu
menyakiti,
pada
ketika
orang
Wolke dkk, 2001; Smith 2002;
Cheng
dkk,
bahwa
(2)
perilaku
2011) bullying
tersebut
mengganggu atau mengusik orang
dilakukan berulang dan berkali kali,
lain.
(3) ada ketidakseimbangan kekuatan. Lebih lanjut Olweus (1993)
Definisi dari Olweus ini yang lebih
menjelaskan bahwa siswa dikatakan
banyak diterima oleh para peneliti
di bulli ketika siswa secara berulang
bullying di dunia walaupun menurut
dan sering mendapat perilaku negatif
Harris (2009) hal tersebut masih
dari seorang atau lebih siswa lain.
dapat diperdebatkan. Pertama adalah
Perilaku negatif ini ketika seseorang
tindakan
menderita, terluka atau tidak nyaman
berkali-kali baru dikatakan bullying,
terhadap yang lain. Perilaku negatif
sementara seorang anak mendapat
229
agresif
harus
diulang
perlakuan fisik tidak menyenangkan
sama diungkapkan Olweus (2004, h.
secara dramatis walaupun hanya
9)
sekali
disebut
tindakan negatif secara fisik, verbal
bullying. Kedua terkait karakteristik
maupun psikologis. Tindakan negatif
bullying yang melibatkan kekuatan
secara
tidak
sulit
mendorong, menendang, mencubit
terkait
dan bentuk penguasaan secara kontak
seharusnya
juga
seimbang,
dioperasionalkan
terutama
bahwa
bullying
fisik
kekuatan psikologis.
fisik yang lain.
BENTUK BULLYING
dapat
berupa
berupa
berbentuk
memukul,
Tindakan verbal ancaman,
ejekan,
Sheras (2002, h. 36 – 48)
menggoda dan memanggil dengan
mengatakan bahwa bentuk bullying
nama julukan yang tidak disukai.
dapat berupa bullying secara fisik,
Bentuk psikologis dari bullying yaitu
bullying secara verbal,
raut
bullying
wajah
yang
tidak
secara sosial dan bullying secara
menyenangkan, tidak memasukan
seksual. Perilaku bullying secara
dalam
fisik berupa menendang, memukul,
menolak
mendorong
dalam kegiatan kelompok.
dan
tindakan
kegiatan
keterlibatan
Sejiwa
penyerangan fisik yang lain. Bullying
kelompok
(2008,
atau
seseorang h.
2)
verbal contohnya adalah mencela,
menyebutkan wujud bullying terdiri
mengejek, memberi julukan yang
dari bullying fisik yang secara kasat
merendahkan,
dan
mata bisa kita lihat karena terjadi
dalam
sentuhan fisik antara pelaku bullying
bentuk sosial yaitu sengaja dijauhi,
dan korbannya, misalnya menampar,
ditolak, diasingkan dan bercanda
menimpuk,
yang keterlaluan sedangkan bentuk
memalak. Kedua adalah bullying verbal
bullying secara seksual
yang juga bisa terdeteksi karena bisa
membuat
gosip.
mengancam Bullying
biasanya
menginjak
kaki
dan
ditangkap indra pendengaran kita,
dialami oleh perempuan. Bentuknya
misalnya
berupa intimidasi dan rumor secara
memaki,
menghina,
menjuluki dan menolak. Ketiga adalah
seksual yang disebarkan ke temanteman, sentuhan yang tidak pantas,
bullying
dan labeling seksual. Pendapat yang
Bentuk bullying ini yang paling
230
mental
atau
psikologis.
berbahaya karena tidak tertangkap
Craig
mata atau telinga kita jika kita tidak
menyimpulkan pria lebih banyak
cukup awas mendeteksinnya. Contoh
menjadi pelaku dan sekaligus korban
dari
bullying dari pada wanita. Penelitian
bullying
memandang
psikologis sinis,
adalah
mendiamkan,
dkk
bullying
yang
(2009)
berkaitan
yang
dengan
mengucilkan dan meneror lewat
kesehatan mental telah dilakukan
pesan pendek telepon genggam atau
oleh Seals dan Young (2003) yang
e-mail.
menyebutkan pelaku dan korban Dapat
disimpulkan
bahwa
bullying memiliki tingkat depresi
ada tiga hal yang utama yaitu
tinggi. Harvey dan Slee (2006)
bullying secara fisik, bullying secara
meneliti
verbal dan bullying secara psikologis
kesehatan psikologis mempengaruhi
atau nonverbal. Bullying fisik adalah
bullying. Korban dan pelaku pasif
tindakan berupa kontak fisik yang
bullying berhubungan dengan semua
negatif seperti memukul, mendorong,
jenis
menendang dan tindakan fisik negatif
kecuali kecemasan (Yen dkk, 2014).
yang lain. Bentuk verbal berupa
Pelaku bullying memiliki resiko
intimidasi, menjuluki, mengancam
tinggi menjadi pelaku bunuh diri
dan mengejek sedangkan bullying
yang
secara psikologis atau nonverbal
kecemasan, self esteem yang rendah,
yaitu menunjukkan raut wajah yang
kesepian dan keputusasaan (Hong,
tidak
Kral dan Sterzing, 2014).
menyenangkan,
keikutsertaan
dalam
menolak kelompok,
stressor,
masalah
terkait
dukungan
kesehatan
dengan
FAKTOR
mengucilkan dan mendiamkan.
dan
mental
depresi,
YANG
MEMPENGARUHI BULLYING Sullivan
DAMPAK BULLYING
(2000,
h.
14)
Bullying dapat dialami oleh
menjelaskan bahwa perilaku bullying
siapapun baik laki – laki maupun
dipengaruhi oleh adanya self esteem
perempuan.Perbedaan
intesitas
dari individu yang rendah sehingga
perilaku bullying antara pria dan
individu merasa menjadi orang yang
wanita diteliti oleh Wolke dkk
tidak berguna. Perasaan tersebut
(2001), Seals dan Young (2003),
pada akhirnya dilampiaskan ke orang
231
lain dalam bentuk perilaku bullying.
Australia dan Jepang juga berbeda
Bauman & Rio (2006, h. 219)
dari sudut pandang kompleksitas
menambahkan bahwa faktor yang
masalah dan solusinya (Harvey dan
mempengaruhi
Slee, 2006).
individu
menjadi
pelaku bullying atau korban bullying berkaitan dengan self esteem yang
PELATIHAN ASERTIVITAS.
rendah daripada teman sebayanya,
Pelatihan asertivitas adalah
drop out dari sekolah, penyesuaian
upaya melatih individu untuk dapat
psikososial yang kurang
dan hasil
memiliki kesadaran diri, membina
dari perlakuan buruk yang menetap
hubungan yang baik dengan orang
yang dialami individu.
lain, kemampuan individu untuk
INTERVENSI BULLYING
berkata
tegas,
dan
bagaimana
Program intervensi bullying
individu mampu mampu melihat
sudah banyak dilakukan. Program
konflik untuk mengubah dari situasi
anti bullying selain diteliti oleh
negatif menjadi interaksi positif.
Dake, juga diteliti oleh Frey dkk
Pelatihan
(2009)
besar untuk semua orang bukan
yang
menyimpulkan
intervensi
lingkungan
kurikulum
kelas
sekolah,
keterampilan
bermanfaat
itu
sendiri,
intervensi
melainkan sebagai alat memodifikasi
individu dapat mengurangi bullying.
perilaku, memperoleh kepercayaan,
Keterkaitan prestasi sekolah dan
peningkatan
tingkat perilaku bullying di sekolah
budidaya komunikasi jujur, kuat
serta perlunya dukungan guru diteliti
serta
oleh Lam, Law, Chan, Wong dan
Pendapat
Zhang
penelitian
Pudjosuwarno (1993 h.17) yang
(2003)
menyatakan teknik assertive training
perbedaan
adalah teknik yang digunakan untuk
(2014).
Menesini
Hasil
dann
menunjukkan
dan
hanya
asertivitas
Smith
adanya
self
efektif
esteem
(Bishop,
senada
dan
2005).
disampaikan
intensitas perilaku bullying antara
melatih,
Spanyol, Italia, Inggris, Portugal dan
membiasakan klien untuk secara
Jepang.
penemuan
terus menerus menyesuaikan dirinya
tersebut, permasalahan bullying di
dengan pola perilaku tertentu yang
Menguatkan
232
mendorong,
dan
diinginkan.Pelatihan
secara
diantaranya untuk membantu orang
khusus diterapkan pada individu
yang tidak mampu mengungkapkan
yang:
perasaan
a. Pada
saat
ini
ini
tersinggung,
kesulitan
mengatakan
tidak mampu
“tidak”,
mempertahankan diri terhadap
mengungkapkan afeksi dan respon
situasi
menurut
positif lainnya. Pendapat senada
anggapannya ia diperlakukaan
dikemukakan oleh Setiono (2005)
tidak adil sehingga terlihat terlalu
bahwa
mudah mengalah.
individu memiliki kemampuan untuk
yang
b. Sukar
atau
pelatihan
asertif
mampu
menyatakan apa yang diinginkan
menanggapi dengan semestinya
tanpa hasrus menyinggung hak orang
kejadian
–
tidak
melalui
kejadian
yang
lain dan juga mampu untuk menolak
mempengaruhi kehidupan dirinya
berbagai macam tawaran negatif
atau
yang diperoleh
keluarganya
sehingga
cenderung memiliki pribadi yang
Diharapkan
lemah, dan
pelatihan
dari
lingkungan.
setelah
mengikuti
asertif
individu
dapat
c. Kurang memiliki keyakinan diri
menyatakan secara tegas apa yang
yang kuat sehingga sulit dan ragu
dirasakan tanpa tekanan dari pihak
– ragu dalam mengekspresikan
lain, mampu bertingkah laku secara
perasaan yang kuat serta respon
tepat dan adaptif, meninggalkan
yang
(Corey
perilaku negatif, tidak percaya diri,
1992;
bermusuhan maupun agresif dan
positif
dalam
lainnya
Gunarsa
Fensterheim & Baer, 1980).
pada akhirnya memiliki harga diri yang lebih tinggi serta memperoleh
MANFAAT
imbalan sosial sehingga seseorang
PELATIHAN
mendapatkan kesejahteraan dalam
ASERTIVITAS Latipun
(2001,
h118)
kehidupannya (Morgan & Leung,
menjelaskan bahwa latihan asertif
1980; Walker dkk, 1981).
digunakan untuk melatih individu PROSEDUR
yang tindakannya adalah layak atau
ASERTIVITAS
benar. Latihan ini terutama berguna
233
PELATIHAN
Prosedur
dalam
pelatihan
asertivitas
dikemukakan
oleh
Townend
(1993)
yang
mengembangkan
pelatihan
berperilaku seperti yang ia sering lakukan sekarang. 2) Developing
asertif
assertiveness
in
yourself
dalam tiga tahapan, yaitu:
Pada tahapan ini didasarkan pada
1) Self awareness
suatu asumsi bahwa kekurang
Pada periode ini peserta pelatihan
percayaan diri merupakan latar
diberikan suatu program untuk
belakang
mengenal
keasertifan
pasif, manipulatif dan agresif.
dengan
Perilaku tersebut timbul karena
kuesioner. Peserta yang telah
adanya pikiran negatif tentang
mengisi
telah
dirinya
yang
Pengembangan
tingkat –
masing
masing
kuesioner
mengetahui
dan
perilaku
timbulnya
ataupun
perilaku
orang pikiran
lain. positif
dominan dalam dirinya kemudian
akan membangkitkan kepercayaan
akan
pengenalan
diri. Metode yang dikembangkan
tentang arti dari perilaku pasif,
adalah dengan mengenali dan
perilaku
menganalisa
diberikan
agresif
manipulatif, perilaku
pikiran
negatif
asertif.
tentang dirinya dan mengubah
Disamping itu diberikan pula ciri
dengan pemikiran – pemikiran
atau karakteristik dari individu
positif. Peserta juga diberikan
yang
dan
perilaku
melakukan
perilaku
perilaku
tersebut
–
diberikan
dalam
melihat
kesempatan –
macam
untuk macam
berhubungan dengan orang lain
rekognisi yang telah diberikan
dan juga
oleh individu dan diterima dari
tentang
diberikan gambaran penyebabnya
yang
orang
lain
dan
bagaimana
mengakibatkan perilaku tersebut
individu memperoleh rekognisi
berkembang. Setelah itu peserta
yang
diberi
mengembangkan
kesempatan
untuk
positif
agar
dapat
keasertifannya
merefleksikan pengalaman dan
selain itu peserta juga diajak
mengingat kembali
untuk melakukan relaksasi untuk
mengapa ia
mengembangkan asertivitas. Hal
234
ini sesuai dengan pendapat yang
memelihara
dikemukakan
asertivitas
dengan
Ward
(dalam
orang lain. Metode yang dapat
Townend,
1995)
yang
dikembangkan pada tahap ini
menyatakan
bahwa
dengan
adalah dengan cara memberi dan
relaksasi akan dapat mengontrol
menerima
diri agar lebih dapat berperilaku
berkualitas baik, mempengaruhi
asertif.
perilaku
Setelah
pelaksaanaan
umpan
balik
orang
yang
lain,
relaksasi peserta diajak untuk
mengembangkan serta menjamin
mengembangkan perilaku asertif
perilaku asertif melalui konseling.
melalui visualisasi yang positif.
Namun konsep awal dalam asertif,
Dengan visualisasi yang positif
dalam mempengaruhi orang lain
maka akan menyiapkan individu
tetap dalam kerangka asertif Im
untuk
OK – you' re OK.
berperilaku
asertif.
Kemudian juga akan diajak untuk
Prosedur lain dari teknik
membangun asertivitas dengan
asertivitas dikemukakan oleh Alberti
menggunakan
(Gunarsa, 1992 h. 216, Maryati,
komunikasi.
kemampuan Komunikasi
ini
2007) sebagai berikut:
menyangkut aspek mendengar, mengklarifikasi,
checking
1) Latihan Ketrampilan, perilaku
out
verbal dan non verbal diajarkan,
statement,
dilatih dan diintegrasikan ke
questioning,
I
membedakan
antara
yang
dalam
rangkaian
perilakunya.
dipikirkan dengan yang dirasakan,
Teknik untuk melakukannya bisa
yang diketahui dan yang angan,
dengan modeling, umpan balik
berbicara positif, bicara dengan
secara sistematik, tugas pekerjaan
bahasa
yang
mengembangkan
sama
dan
rumah, latihan – latihan khusus
perilaku
non
antara lain dengan permainan.
verbal.
2) Mengurangi
3) Developing
and
maintaining
diperoleh
kecemasan, secara
yang
langsung
assertiveness in other.
ataupun tidak langsung, sebagai
Pada tahap ini peserta diajak
hasil
untuk
ketrampilan.
mengembangkan
dan
235
tambahan
dari
latihan
3) Menstruktur
kembali
aspek
terapis dan
peserta pelatihan,
kognitif, dimana nilai – nilai,
sehingga dapat menemukan model
kepercayaan,
asertif
sikap
yang
yang
tepat
secara
membatasi ekspresi diri pada
individual dalam situasi – situasi
klien, diubah oleh pemahaman
tertentu.
dan hal – hal yang dicapai dari perilakunya. melakukan
Teknik hal
ini
3) In vivo practice
untuk
Setelah
meliputi
peserta
kemajuan dalam tahap kedua,
penyajian didaktik tentang hak –
maka
hak manusia, kondisioning sosial,
pekerjaan
uraian
–
nilai
nilai
dan
terapis
memberikan
pengamatan
dan
pekerjaan rumah bagi peserta. Hal
pengambilan keputusan. Jakubowski
memperoleh
itu dimulai dengan menghadapi
dan
Lane
situasi
yang
paling
mudah
(Prabowo, 2000) mengembangkan
menurut peserta dan bergerak
asertiveness
dengan
kearah yang sulit.
tahapan,
Prosedur
membagi
training
menjadi
tiga
lain
tentang
yaitu:
pelatihan asertivitas dikemukakan
1) Didactic discussion
oleh Corey
(2009: 214) yang
mengembangkan
perilaku
Pada
tahap
ini
terapis
atau
asertif
instruktur dan peserta pelatihan
lebih berfokus pada pelaksanaan
mendiskusikan perbedaan tentang
pelatihan
asertif dan agresif dan kesopanan
Kelompok
dengan non asertiveness.
ditandai
2) Behavior rehearsal Berdasarkan
diskusi
secara
berkelompok.
pelatihan dengan
asertivitas
struktu
yang
mempunyai pemimpin. Secara khas dengan
session
tersebut
peserta, maka diperoleh gambaran
berikut:
situasi dimana seseorang menjadi
a.
Session
adalah
sebagai
pertama,
dimulai
tidak asertif. Berdasarkan hal itu
dengan pengenalan didaktik
maka dilatihkan untuk berlatih
tentang
kecemasan
peran. Untuk tahapan pelatihan ini
yang
tidak
diperlukan intensitas hubungan
pemusatan
236
pada
sosial realistik, belajar
menghapuskan
respon
–
d.
respon internal yang tidak
penambahan latihan relaksasi,
efektif
pengulangan perjanjian untuk
yang
telah
mengakibatkan
menjalankan
kukurangtegasan dan pada
menegaskan diri yang diikuti
belajar peran itngkah laku
evaluasi.
yang asertif. b.
e.
Session
kedua,
memperkenalkan
Session
tingkah
kelima,
disesuaikan
sejumlah
kebutuhan
laku
dapat dengan
individual
para
latihan relaksasi dan masing –
anggota. Sejumlah kelompok
masing anggota menerangkan
cenderung
tingkah laku spesifik dalam
permainan peran tambahan,
situasi
evaluasi,
interpersonal
dirasakannya masalah.
Para
kemudian
c.
Session keempat, terdiri dari
yang
berfokus
dan
pada
latihan
–
menjadi
latihan, sedangkan kelompok
anggota
lain berfokus pada usaha
membuat
mendiskusikan
sikap
dan
perjanjian untuk memasuki
perasaan yang telah membuat
session selanjutnya.
tingkah laku menegaskan diri
Session ketiga, para anggota
lebih sulit dijelaskan.
menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang
KESIMPULAN
telah diuji coba dijalankan
Kasus bullying semakin tahun
oleh mereka dalam situasi –
semakin tinggi tingkat prevalensinya.
situasi
Dibutuhkan peran aktif dari berbagai
nyata.
Mereka
berusaha untuk mengevaluasi
kalangan
dan
belum
bullying. Salah satu pihak yang dapat
sepenuhnya
berhasil,
berperan adalah guru khususnya guru
kelompok
langsung
Bimbingan dan konseling. Banyak
permainan
upaya yang dapat dilakukan dalam
jika
menjalankan
mereka
peran.
untuk
ikut
mereduksi
mereduksi terjadinya bullying salah satunya melalui pelatihan asertivitas.
237
Diharapkan dengan siswa mampu
pada
bersikap
mengingat
asertif
mereka
dapat
budaya,
dalam
budaya
hal
timur
ini masih
terhindar dari peristiwa bullying. Hal
menganut nilai tenggang rasa dan
ini
tepo seliro serta hambatan dari sisi
berpijak
bahwa
keasertifan
merupakan suatu keterampilan yang
individu
dapat dipelajari. Pelatihan asertivitas
segan,
adalah suatu teknik pelatihan yang
bersalah ketika harus mengatakan
dimaksudkan
tidak,
untuk
melatih,
yaitu takut
adanya menyakiti,
perasaan merasa
dan ketakutan jika tidak
mendorong, dan membiasakan klien
disukai atau tidak diterima. Namun
untuk
demikian
secara
terus
menerus
perlu
dikaji
lebih
menyesuaikan dirinya dengan pola
mendalam tentang hubungan antara
perilaku tertentu yang diinginkan.
pelatihan asertivitas untuk mereduksi
Diharapkan
frekuensi peristiwa bullying dalam
pelatihan
setelah asertif
mengikuti
individu
dapat
suatu penelitian.
menyatakan secara tegas apa yang
DAFTAR PUSTAKA
dirasakan tanpa tekanan dari pihak
Djuwita,
lain, mampu bertingkah laku secara tepat dan adaptif, meninggalkan
Fensterheim, H & Baer,J. 1980. Jangan Bilang Ya Bila Anda Akan mengatakan Tidak (Terjemahan). Jakarta. Penerbit Gunung Jati.
perilaku negatif, tidak percaya diri, bermusuhan maupun agresif dan pada akhirnya memiliki harga diri yang lebih tinggi serta memperoleh
Ling,
imbalan sosial sehingga seseorang mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya (Morgan & Leung, 1980; Walker dkk, 1981. Ada perlunya penerapan
beberapa
hal
dipertimbangkan pelatihan
R. 2007. Bullying : kekerasan terselubung di sekolah. www.anakku.net.
yang
Y &Dariyo, A. 2002. InteraksiSosial di Sekolah dan HargaDiriPelajarSekolahMeneng ahUmum (SMU). JurnalIlmiahPsikologiTerapan. Vol. IV. No. 7.
Olweus, Dan. 2004. Bullying at school. Australia : Blackwell publishing.
dalam
asertivitas, Prabowo, S. 2000. Membangun Perilaku Asertive Pada Komunikasi antara Perawat
seperti misalnya hambatan budaya dan hambatan individu. Hambatan
238
dan pasien. Psikodimensia. Vol.1. No. 1. hal 6 -20. Semarang. Fakultas Psikologi Unika.
Educational Psychology. 98, 1-13. Capel,
Sejiwa. 2008. Bullying : Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta : Grasindo. Sheras, P & Tippin, S. 2002. Your Child: Bully or Victim? Understanding and ending schoolyard tyranny. USA : Skylight Press. Team
Bond,
Celine Marie. 2013. Sustainability of BullyingFree Educational Institutions in Asia and the Role of Teachers. Journal of Asian and African Studies. 48: 484.
Carlyle, Kellie E., Steinman, Kenneth J. 2007. Demographic Differences in the Prevalence, CoOccurrence, and Correlates of Adolescent Bullying at School. The Journal of School Health. 77, 9.
SEJIWA. 2006. Sejiwa: Mengenali Bullying.www.sejiwa.org. Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), 2 Desember 2007.
Cowan, Renee L. 2012. It‟s Complicated: Defining Workplace Bullying From the Human Resource Professional‟s Perspective. Management Communication Quarterly. 26: 377.
Lyndal, dkk. 2007. A Comparison of the Gatehouse Bullying Scale and the Peer Relations Questionaire for Secondary School. The Journal of School Health. 77,2.
Craig, Wendy M., Pepler, Debra., Atlas, Rona. 2000. Observation of Bullying in the Playground and in the Classroom. School Psychology International. Vol 21 (1): 22-36.
Bosworth, K., Espelage, Dorothy L., Simon, Thomas R. 1999. Factor Associated With Bullying Behavior in Middle School Students. Journal of Early Adolescence. Vol 19, No. 3, 341-362.
Craig, Wendy, dkk. 2009. A crossnational profile of bullying and victimazation among adolescents in 40 countries. International Journal Public Health. 54, 216-224.
Buhs, ES., Ladd, GW., Herald, SL. 2006. Peer Exclusion and Victimization: Processes that Mediate the Relation Between Peer Group Rejection and Children‟s Classroom Engagement and Achievement. Journal of
Cheng,
239
Ying-Yao, dkk. 2011. Definitions of school bullying in Taiwan: A comparison of multiple perspectives.School Psychology International.
Dake, Joseph A., Price, James H., Telljohann, Susan K. 2003. The Nature and Extent of Bullying at School. The Journal of School Healt. 73, 5.
Journal School.
on Violence
and
Hasekiu, Fitnet. 2013. Age‟s Differences at Bullying‟s Acts in School Age. Mediteranean Journal of Social Sciences. Vo 4 No 9.
DeCamp, Whitney., Newby, Brian. 2014. From Bullied to Deviant: The VictimOffender Overlap Among Bullying Victim.Youth Violence and Juvenile Justice.
Hong, Jun Sung., Kral, Michael J., Sterzing, Paul R. 2014. Pathways from Bullying Perpetration, Victimization, and Bully Victimizatiin to Suicidality Among SchoolAge Youth: A Review of the Potential Mediators and Call for Further Investigation. Trauma Violence Abuse.
Foshee, Vangie A, dkk. 2014. Bullying as a Longitudinal Predictor of Adolescent Dating Violence. Journal of Adolescent Health. 55, 439444.
Kowalski, Robin M., Limber, Susan P. 2007. Electronic Bullying Among Middle School Students. Journal of Adolescent Health. 41, S22S30.
Frey, Karin S, dkk. 2009. Observed Reductions in School Bullying, Nonbullying Aggression, and Destructive Bystander Behavior: A Longitudinal Evaluation. Journal of Educational Psychology. Vol 101, No. 2, 466-481.
Lam, Shui-Fong, dkk. 2014. A Latent Class Growth Analysis of School Bullying and Its Social Context: The SelfDetermination Theory Perspective. American Psychological Association.
Harris, Monica J. 2009. Bullying, Rejection and Peer Victimization. A Social Cognitive Neuroscience Perspective. New York : Springer Publishing Company. Harvey, Rosalind Murray., Slee, Phillip T. 2006. Australian and Japanese School Student‟ Experience of Scholl Bullying and Victimization: Associations with Stress, Support and School Belonging. International
Menesini, A Smorti E., Smith, Peter K. 2003. Parents‟ Definition of Children‟s Bullying in a Five-Country Comparison. Journal of Cross Culture Psychology. Vol XX No. X. Mishna, Faye. 2004. A Qualitative Study of Bullying from Multiple Perspective. Children & School. 26, p. 234.
240
Olweus, D. 2004. Bullying at school. Australia : Blackwell Publishing.
Sejiwa. 2008. Bullying : Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta : Grasindo.
Olweus, D, 1993. Bullying at School. What we know and what we can do. Victoria : Blackwell Publishing.
Smith,
Rigby, Ken. 2005. Why Do Some Children Bully at School ? : The Contribution of Negatif Attitude Towards Victim and the Perceived Expectation of Friends, Parent and Teachers. School Psychology International. 26: 147.
Peter K, dkk. 2002. Definitions of Bullying: Comparison of Terms Used and Age and Gender Differences, in a FourteenContry International Comparison.Child Development. Volume 73, Number 4, p 1119-1133.
Solberg Mona E., Olweus, Dan. 2003. Prevalence Estimation of School Bullying With the Olweus Bully/Victim Questionnaire. Aggressive Behavior. Volume 29, p 239268.
Salmivalli, Christina., Voeten, Marinus. 2004. Connections between attitudes, group norms, and behaviour in bullying situations. International Journal of Behavioral Development. 28;246.
Sullivan, K. 2000. The Anti-Bullying Handbook. United Kingdom : Oxford University Press.
Schwartz, D. Dkk. 2005. Victimization in the Peer Group and Children‟s Academic Functioning. Journal of Educational Psychology. 97, 425-435.
Wolke, Dieter, dkk. 2001. Bullying and Victimization of Primary School Children in England and Germany: Prevalence and School Factor. British Journal of Psychology. 92 pg 673.
Seals, Dorothy., Young, Jerry. 2003. Bullying and Victimization: Prevalence and Relationship to Gender Level, Ethnicity, Self-Esteem, and Depression. Adolescence. Vol. 38, No 152, p. 735.
Yen, Cheng-Fang, dkk. 2014. Association between school bullying levels/types and mental health problem among Taiwanese adolescents. Comprehensive Psychiatry. 55. 405-413.
241
EFEKTIFITAS BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI POSITIF SISWA Silvia Yula Wardani (
[email protected]) Bimbingan dan Konseling, IKIP PGRI Madiun Abstrak Keyword : group guidance, self concept Services group counseling is the process of providing information and assistance to a group of people to take advantage of group dynamics in order to achieve a certain goal. Services provided in a group atmosphere but it can also be used as a medium to deliver information and also can help students develop a plan to make the right decisions to be expected to have a positive impact for students that will foster positive self-concept. This study aims to determine the effectiveness of group counseling to improve students' self-concept. This study also includes experimental research, experimental design with a single group posttest-only design. Guidance group performed a total of eight meetings with different material and is essentially related to the concept of self. Based on the analysis and discussion of the results of the study the researchers did in SMP Negeri 1 Wungu about the effectiveness of group counseling to increase positive self-concept of students who use the T test with menmbandingkan pretest and posttest results showed that t count
PENDAHULUAN Peserta didik pada usia remaja adalah sebagai individu yang sedang berkembang mencapai taraf perkembangan secara optimal dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kehidupan, sering kita jumpai siswa yang memiliki tingkat intelegensi tinggi gagal dalam ujian nasional sehingga siswa tersebut tidak lulus. Tetapi siswa yang memiliki tingkat intelegensi sedang bisa lulus dalam 242
Konsep diri merupakan representasi diri yang mencakup identitas diri yakni karakteristik personal, pengalaman, peran dan status sosial. Burns (dalam Desmita, 2009:164) mendefinisikan konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Sedangkan menurut Brooks (dalam Rakhmat, 2007:99) konsep diri adalah pandangan dan perasaaan seseorang tentang dirinya sendiri. Menurut Burns (dalam Hutagalung, 2007:23) konsep diri terbagi 2 yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Siswa yang memiliki konsep diri positif adalah siswa yang dapat memahami dan menerima segala yang ada pada dirinya baik kelebihan maupun keterbatasan. Siswa yang memiliki konsep diri negatif adalah siswa yang tidak dapat mengenali dirinya sendiri baik dalam kelebihan maupun keterbatasan. Kegagalan yang dialami siswa sebenarnya disebabkan oleh konsep diri yang negatif. Siswa seperti ini biasanya menganggap dirinya tidak mampu dan tidak berarti mencoba. Kondisi seperti ini juga dijumpai di SMP di Kabupaten Madiun. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru di sekolah tersebut diperoleh data bahwa hampir 15% siswa kelas VIII mempunyai konsep diri yang negatif, terbukti dari banyaknya siswa yang membolos, menyontek, hasil belajar rendah, gaduh saat pelajaran, ada
siswa yang melanggar peraturan tata tertib sekolah dan adanya siswa yang memiliki perasaan tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Upaya yang diperlukan untuk meningkatkan konsep diri positif siswa salah satu caranya adalah mengoptimalkan layanan bimbingan dan konseling di SMP. Untuk itu bimbingan dan konseling di SMP hendaknya dapat mengidentifikasi potensi siswa, baik dalam hal kelebihan maupun kelemahan siswa. Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan bantuan yang diberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah dalam rangka meningkatkan potensi yang dimilikinya. Menurut Gazda (dalam Prayitno dan Amti, 2004:309) “bimbingan kelompok di sekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekolompok siswa untuk membantu siswa menyusun rencana dan keputusan yang tepat”. Layanan bimbingan kelompok merupakan proses pemberian informasi dan bantuan pada sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok guna mencapai suatu tujuan tertentu. Bimbingan kelompok sebagai salah satu berupa konseling mempunyai beberapa keunggulan antara lain siswa tidak akan merasa terhakimi oleh keadaan sendiri, siswa merasa mendapat pembinaan dan informasi yang positif bagi dirinya, memumbuhkan rasa empati
243
antaranggota kelompok dan hemat waktu. Menurut Prayitno (1995:40-60) Tahap-tahap bimbingan kelompok ada empat tahap, yaitu : tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan dan tahap pengakhiran. Menurut Tohirin (2009:290) ada beberapa teknik bimbingan kelompok yaitu : home room program, karyawisata, diskusi kelompok, kegiatan kelompok, organisasi siswa, bermain peran, pengajaran remedial dan simulasi. Asumsi yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahwa dalam bimbingan kelompok akan terjadi proses interaksi antar individu dan dapat meningkatkan konsep diri positif siswa. Berdasarkan pemaparan masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektifitas bimbingan kelompok untuk meningkatkan konsep diri positif siswa SMP.
Sementara Desmita (2009) konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap diri sendiri. Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang tentang kemampuan dirinya. 2. Aspek-aspek Konsep Diri Para memiliki
ahli
psikologi
pendapat
yang
berbeda tentang aspek konsep diri. Secara umum konsep diri terdiri dari 3 aspek. Menurut Centi (dalam Desmita, 2009: 166) konsep diri terdiri dari 3 aspek yaitu: aspek gambaran diri
(self
image),
aspek
penilaian diri (self evaluation) KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Diri
dan
cita-cita
(Self
ideal).
Sedangkan menurut Calhoun
1. Pengertian Konsep Diri
dan Acocella konsep diri terdiri
Menurut Brooks (dalam Rakhmat, 2007:99) konsep diri adalah pandangan dan perasaaan seseorang tentang dirinya sendiri. Sedangkan Burns (dalam Desmita, 2009:164) mendefinisikan konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.
dari pengetahuan, harapan dan penilaian. a. Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki individu yang tentang
244
merupakan individu
apa
ketahui dirinya.
Pengetahuan bisa diperoleh
peranan
dengan membandingkan diri
menentukan perilaku individu.
individu dengan kelompok
Individu
pembandingnya.
menilai dirinya sendiri akan
Pengetahuan individu tidak
tampak
menetap
sepanjang
perilakunya, dengan kata lain
hidupnya,
tergantung
perilaku seseorang akan sesuai
tingkah
laku
individu
tersebut
maupun
tingkah
penting
memandang
jelas
dengan
dirinya
b. Harapan
dari
atau
seluruh
cara
memandang
laku kelompok pembanding.
dalam
individu
dan
menilai
sendiri.
Apabila
individu memandang dirinya
Selain
pengetahuan,
individu
juga
memiliki
pandangan kemungkinan
sebagai seorang yang memiliki cukup
tentang yang
kemampuan
melaksanakan
akan
tugas,
maka
individu itu akan menampakan
terjadi di masa yang akan
perilaku
datang.
melaksanakan
Setiap
untuk
individu
sukses
dalam tugasnya.
memiliki harapan tentang
Sebaliknya
dirinya
memandang dirinya sebagai
dan
pengharapan
yang berbeda-beda.
apabila
individu
seorang yang kurang memiliki
c. Penilaian
kemampuan
Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri. Penilaian terhadap dirinya sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaan saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya 3. Peranan Konsep Diri
melaksanakan
tugas, maka individu itu akan menunjukkan ketidakmampuan dalam perilakunya. 4. Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Konsep Diri Menurut Thalib (2010:123) konsep diri sebagai gambaran tentang diri sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain :
Menurut Desmita (2009: 169) konsep diri mempunyai
245
a. Faktor keluarga
diri karena merasa tidak diterima oleh orang lain di sekitarnya. B. Bimbingan Kelompok
Keluarga merupakan model yang berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri anak. Sebagai contoh keluarga yang senantiasa memandang dirinya secara negatif dan mengekspresikan perasaan negatifnya akan berpengaruh negatif pula terhadap perkembangan konsep diri anak. Demikian pula jika keluarga memberikan label anak bodoh, maka pada akhirnya anak akan mempercayai penilaian itu dan memandang dirnya rendah. Sebaliknya keluarga yang senantiasa memandang dirinya positif maka akan berpengaruh positif pula pada perkembangan konsep diri anak. b. Faktor lingkungan
1. Pengertian
Bimbingan
Kelompok Rochman Natawidjaya berpendapat bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, agar individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat (dalam Winkel, 2004: 29). Dengan demikian dia dapat merasakan kebahagiaan dalam kehidupannya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti. Frank Parson (dalam Vitalis, 2008: 4) mendefinisikan bimbingan sebagai bantuan psikologis yang diberikan konselor pada konseli untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan mengakui suatu jabatan, serta memperoleh kemajuan dalam jabatan yang dipilih. Menurut Gazda (dalam
Lingkungan sekitar tempat tinggal individu juga turut mempengaruhi konsep diri seseorang. Orang di sekitar tempat tinggal itu dapat mempengaruhi konsep diri seseorang. Sebagai contoh lingkungan yang memberi julukan si gendut karena badannya besar, maka julukan itu akan melekat pada diri individu dan individu cenderung menutup
Prayitno dan Amti, 2004:309) “bimbingan
kelompok
di
sekolah merupakan kegiatan
246
informasi kepada sekolompok
bersama-sama mengenai topik
siswa untuk membantu siswa
yang telah ditentukan sesuai
menyusun
rencana
dengan
keputusan
yang
dan
jenjang
pendidikan
tepat”.
dan tingkat kematangan siswa,
(2006:18)
guna menunjang pemahaman
“bimbingan kelompok adalah
dalam kehidupan sehari-hari
layanan
dan mengembangkan potensi
Menurut
Kardi
bimbingan
diberikan
dalam
yang suasana
dirinya.
kelompok untuk memberikan informasi
yang
personal,
Dengan
bersifat
vokasional,
bimbingan kelompok adalah
dan
proses pemberian informasi
informasi”.
dan bantuan yang diberikan
“Bimbingan merupakan menunjang
demikian
kelompok
sarana
oleh
seorang
yang
ahli
untuk
(konselor) pada sekelompok
perkembangan
orang dengan memanfaatkan
optimal masing-masing siswa,
dinamika
yang
dapat
mencapai suatu tujuan tertentu
dari
untuk kebaikan konseli, tujuan
ini
dalam penelitian ini adalah
diharapkan
mengambil
manfaat
pengalaman
pendidikan
bagi
diri
sendiri”(Winkel,
2004:565).
Sedangkan
kelompok
meningkatkan
konsep
guna
diri
positif.
menurut Prayitno ( dalam
2. Tujuan Bimbingan kelompok
Vitalis, 2008: 25) layanan
Tujuan
bimbingan
bimbingan kelompok adalah
kelompok yang dikemukakan
layanan bimbingan konseling
oleh
yang memungkinkan siswa
adalah sebagai berikut :
secara bersama-sama melalui
a. Tujuan Umum
dinamika
kelompok
Prayitno
Tujuan
(2004:
umum
memperoleh berbagai bahan
layanan
dari nara sumber (konselor)
kelompok
dan
berkembangnya
membahas
secara
247
2-3)
dari
bimbingan adalah sosialisasi
siswa,
khususnya
proses berperasaan, berpikir,
komunikasi
berpersepsi dan berwawasan
anggota kelompok. Sering
terarah, luwes dan luas serta
menjadi kenyataan bahwa
dinamis
kemampuan
berkomunikasi, bersosialiasi
bersosisalisasi/berkomunika
dan
si
dikembangkan.
kemampuan
seseorang
terganggu
sering
oleh
perasaan,
kemampuan
bersikap
mengentaskan
dan
konseli
yang
tidak
obyektif,
sempit
dan
terkukung
serta
tidak
efektif.
Melalui
bimbingan
memanfaatkan
layanan
hal-hal
menganggu
yang
diringankan
berbagai
cara,
pikiran yang buntu atau beku
dicairkan
didinamikkan
dan melalui
masukkan dan tanggapan baru,
persepsi
yang
menyimpang atau sempit diluruskan
dan
diperluas
melalui pencairan pikiran, sikap yang tidak efektif kalau perlu diganti dengan yang
baru
yang
dinamika
Bimbingan kelompok bermaksud membahas topik-topik tertentu. Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topiktopik itu mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi verbal maupun non verbal ditingkatkan. Dengan diadakannya bimbingan kelompok ini dapat bermanfaat bagi siswa karena dengan bimbingan kelompok akan timbul interaksi dengan anggotaanggota kelompok mereka memenuhi kebutuhan
menghimpit perasaan dapat
melalui
dengan
b. Tujuan Khusus
atau
diungkapkan,
masalah
kelompok.
kelompok
diharapkan
Selain
tujuan tersebut yaitu untuk
pikiran, persepsi, wawasan sikap
dapat
lebih
efektif. Melalui kondisi dan
248
psikologis, seperti kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya dan diterima oleh mereka, kebutuhan bertukar pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan menemukan nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan, dan kebutuhan untuk menjadi lebih mandiri. 3. Model Kelompok dalam
tugas. Pemimpin kelompok mengemukakan suatu tugas untuk selanjutnya dibahas dan diselesaikan oleh anggota kelompok. Dalam penelitian ini, menggunakan layanan bimbingan kelompok dengan kelompok tugas dimana permasalahan yang dibahas dalam kelompok nanti ditentukan oleh pemimpin kelompok.
Bimbingan Kelompok Menurut Prayitno (dalam Kardi, 2006: 29) bahwa dalam penyelenggaraan bimbingan kelompok dikenal dua jenis kelompok, yaitu kelompok bebas dan kelompok tugas : a. Kelompok bebas
4. Tahap-tahap
Bimbingan
Kelompok Tahap-tahap perkembangan kelompok dalam bimbingan melalui pendekatan kelompok sangat penting yang pada dasarnya tahapan perkembangan kegiatan bimbingan kelompok sama dengan tahapan yang terdapat dalam konseling kelompok. Menurut Prayitno (1995:40-60) Tahap-tahap bimbingan kelompok ada empat tahap, yaitu : tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan dan tahap pengakhiran. 5. Teknik-teknik Bimbingan
Dalam kegiatannya para anggota bebas mengemukakan segala pikiran dan perasaanya dalam kelompok. Selanjutnya apa yang disampaikan mereka dalam kelompok itulah yang menjadi pokok bahasan kelompok. b. Kelompok tugas Dalam penyelenggaraan bimbingan kelompok tugas arah dan isi kegaiatannya tidak ditentukan oleh para anggota melainkan diarahkan kepada penyelesaiannya suatu
Kelompok Penggunaan teknik dalam kegiatan bimbingan kelompok mempunyai banyak fungsi selain dapat lebih
249
memfokuskan kegiatan bimbingan kelompok terhadap tujuan yang ingin dicapai tetapi juga dapat membuat suasana yang terbangun dalam kegiatan bimbingan kelompok agar lebih bergairah dan tidak cepat membuat siswa jenuh mengikuti bimbingan kelompok. Pemilihan dan penggunaan masing-masing teknik tidak dapat lepas dari kepribadian konselor, guru atau pemimpin kelompok”. Jadi jelas bahwa selain sebagai alat untuk mencapai tujuan, teknik penggunaan dan pemilihan juga harus disesuaikan dengan karakteristik konselor atau pemimpin kelompok. Sukaryono (2009:18) berpendapat bahwa bimbingan kelompok dapat dilaksanakan dengan berbagai teknik antara lain: pemberian informasi, diskusi, karya wisata, dan sosiodrama. Sedangkan menurut Tohirin (2009:290) ada beberapa teknik bimbingan kelompok yaitu : home room program, karyawisata, diskusi kelompok, kegiatan kelompok, organisasi siswa, bermain peran, pengajaran remedial dan simulasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena
menekankan fenomena-fenomena yang objektif dan dikaji secara kuantitatif. Untuk memaksimalkan objektifitasnya dengan menggunakan angka-angka dan pengelohan statistik. Penelitian ini juga termasuk penelitian eksperimen, dengan desain eksperimen single group posttest only design. Dalam desain eksperimen ini hanya terdapat 1 kelompok, tidak terdapat kelompok kontrol. Desain eksperimen single group posttest only design dapat digambarkan sebagai berikut : Kelp A
O
X
(dalam Edy Purwanto, 2013: 110) Keterangan : X
: Perlakuan/Intervensi
O
: Posttest Perlakuan
peneliti
diberikan
terhadap
eksperimen memberikan kelompok.
yang
kelompok
adalah
dengan
layanan
bimbingan
Teknik
pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan
teknik
nonprobabilitas dengan cara emilih sampel berdasarkan tujuan yang telah ditentukan atau porposive sampling. Sehubungan dengan jenis data yang akan dikumpulkan adalah data tentang konsep diri siswa dengan
250
sumber data siswa makan instrument
konsep
yang digunakan dalam penelitian ini
kelompok.
menggunakan dengan
skala
pertimbangan
psikologis data
diri
dan
Validitas
yang
penelitian
ini
instrumen
dalam
digunakan
logical
content
validity.
diungkap berupa data data konstrak
validity
atau konsep psikologis.
Pengujian validitas logik digunakan
Skala
psikologis
dan
bimbingan
ini
dengan analisi faktor dengan cara
dikembangkan oleh peneliti sendiri,
menghitung koefisien korelasi (r)
untuk
diri
antar skor butir dan skor total.
dikembangkan berdasarkan pendapat
Kriteria yang dijadikan dasar untuk
Burns (dalam Hutagalung, 2007:23)
melihat valid tidaknya sebuah butir
dan
bimbingan
instrumen adalah dengan melihat
dikembangkan
besarnya nilai koefisien validasi (r)
pendapat
antara skor butir dengan skor total
skala
skala
konsep
penilaian
kelompok berdasarkan Prayitno(1995:44-60)
dengan
dengan
ketentuan,
apabila
nilai
langkah-langkah sebagai berikut : 1)
“r”>0,3 berarti nomor butir tersebut
merumuskan definisi operasional dan
dinyatakan
definisi konseptual masing-masing
dipertegas dengan Cronbach dalam
variabel penelitian; 2) menjabarkan
Azwar (2013:103) yang menyatakan
definisi
menjadi
bahwa koefisien yang berkisar antara
masing-masing
0.30 sampai dengan 0.50 telah dapat
variabel penelitian; 3) dari indikator
memberikan kontribusi yang baik
yang
terhadap efisiensi suatu lembaga
operasional
indikator-indikator
telah
tersusun,
kemudian
masing-masing indikator dijabarkan
valid.
Hal
ini
juga
pelatihan.
dalam item/butir pernyataan. Oleh
Dari hasil uji validitas skala
karena itu skala psikologis yang
konsep diri
digunakan
korelasi validitas (r) bergerak antara
disebut penilaian
dalam
skala
penelitian
konsep
bimbingan
diri
ini dan
-0,142
kelompok,
menunjukkan angka
sampai
dengan
0,808.
Sedangkan hasil perhitungan uji
karena skala ini mengungkap tentang
validitas
pada
skala
penilaian
bimbingan dan konseling terhadap 40
251
item hanya 38 item yang valid. Analisis
data
ini
post test menunjukkan bahwa thitung <
kuantitatif
ttabel = -12,123 < 2,04 berarti ada
hipotesisnya
perbedaan yang signifikan antara
digunakan uji T dikarenakan data
sebelum dan sesudah diberi layanan
yang
bimbingan
menggunakan untuk
penelitian
Hasil analisis data pretest dan
analisis
menguji
diperoleh
normalitasnya
setelah
diuji
menggunakan
Kolmogorov-sminov
uji
kelompok
dengan
meningkatkan konsep diri positif,
menunjukkan
maka hipotesis kerja bisa diterima.
data normal.
Berdasarkan
deskripsi
hasil
penelitian diperoleh dua variabel yaitu layanan bimbingan kelompok
HASIL DAN PEMBAHASAN Bimbingan
dalam
dan konsep diri, sebagian besar siswa
penelitian ini dilakukan sebanyak 8
SMP Negeri 1 Wungu kelas VIII
kali pertemuan dengan tema yang
masih memiliki konsep diri rendah.
berbeda-beda akan tetapi dengan
Keadaan tersebut pada dasarnya erat
tujuan
kaitannya
yang
kelompok
sama
yaitu
dengan
keadaan
meningkatkan konsep diri positif
lingkungan sekolah yang menunjang
siswa.
di SMP Negeri 1 Wungu yaitu
Analisis persentase hasil pre test
tingkat persaingan prestasi belajar
konsep diri menunjukkan konsep diri
siswa
sangat rendah 44,44%, konsep diri
konsep diri siswa.
rendah 33,33%, konsep diri cukup
Hasil
22,32%, konsep diri tinggi 0%. Analisis
presentase
sehingga
dengan post
menumbuhkan
penelitian pendapat
Prayitno
dan
ini
sejalan
Gazda
(dalam
Amti,
2004:309)
testkonsep diri menunjukkan konsep
“bimbingan kelompok di sekolah
diri sangat rendah 0%, konsep diri
merupakan
rendah 37,04%, konsep diri sedang
kepada sekolompok siswa untuk
44,44%, konsep diri tinggi 18,52%.
membantu siswa menyusun rencana
kegiatan
informasi
dan keputusan yang tepat”. Layanan
Data tentang konsep diri hasil pretest lebih rendah dibandingkan
bimbingan
posttest.
proses pemberian informasi
252
kelompok
merupakan dan
bantuan pada sekelompok orang
depannya.
dengan
memiliki konsep diri positif antara
memanfaatkan
kelompok
guna
dinamika
mencapai
suatu
Ciri
individu
yang
lain : 1) yakin akan kemampuannya
tujuan tertentu.
sendiri, 2) merasa setara dengan
Wibowo (2005:17) menyatakan
orang lain, 3) mampu memperbaiki
bahwa bimbingan kelompok adalah
dirinya, 4) menyadari bahwa setiap
suatu kegiatan kelompok dimana
orang memiliki perasaan, keinginan
pimpinan kelompok menyediakan
dan perilaku yang tidak semuanya
informasi-informasi
disetujui oleh masyarakat atau orang
dan
mengarahkan diskusi agar anggota
lain.
kelompok menjadi lebih sosial atau untuk
menumbuhkan
anggota-
SIMPULAN
anggota kelompok untuk mencapai
Berdasarkan pada hasil analisi
tujuan-tujuan bersama.
dan pembahasan penelitian yang
Layanan bimbingan kelompok
peneliti lakukan di SMP Negeri 1
untuk meningkatkan konsep diri
Wungu
siswa kelas VIII SMP Negeri 1
bimbingan
Wungu
memberikan
meningkatkan konsep diri positif
siswa
siswa yang menggunakan uji T
bertujuan
pemahaman
kepada
yang
tentang
keefektifan
kelompok
terkait dengan konsep diri yang
dengan
digunakan
untuk
pretest dan posttest menunjukkan
menumbuhkan dan mengembangkan
bahwa thitung < ttabel = -12,123 < 2,04
konsep diri positif.
berarti ada perbedaan yang signifikan
Konsep
sebagai
diri
alat
positif
menmbandingkan
untuk
hasil
adalah
antara sebelum dan sesudah diberi
penerimaan diri atas kelebihan dan
layanan bimbingan kelompok dengan
keterbatasan yang dimiliki sebagai
meningkatkan konsep diri siswa
kebanggaan yang besar tentang diri.
berarti ada perbedaan signifikan.
Individu yang memiliki konsep diri
Hipotesis yang berbunyi bimbingan
positif akan merancang tujuan-tujuan
kelompok
yang sesuai dengan kenyataan dan
meningkatkan konsep diri siswa
mampu menghadapi kehidupan di
SMP Negeri 1 Wungu, terbukti
253
efektif
untuk
kebenarannya,
dan
hipotesis
hasil
simpulan
Edi
Purwanto. 2013. Penelitian Kuantitatif. Semarang: UNNES Press
Inge
Hutagalung. 2007. Perkembangan Kepribadian. Jakarta: Indeks
diterima. Berdasarkan penelitian,
maka
menyarankan
kepada
sekolah
untuk
peneliti konselor
hendaknya
mempertimbangkan
dapat
Jalaluddin Rakhmat. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
penerapan
layanan bimbingan kelompok dalam kegiatan konseling, kelompok
layanan
Mungin Eddy W. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES Press
bimbingan
layanan
bimbingan
memerlukan
banyak Prayitno dan Erman, Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
persiapan pada saat layanan, maka diperlukan
suatu
perencanaan
layanan dan pengelolaan waktu yang matang bimbingan konselor
oleh
guru,
kelompok, lebih
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok Dasar Dan Profil. Jakarta : Ghalia Indonesia.
layanan hendaknya
memberikan
kesempatan kepada siswa agar lebih
Sukaryono. 2009. Panduan Guru Bimbingan dan Konseling. Malang: Universita Negeri Malang Press.
aktif dalam proses layanan.
DAFTAR PUSTAKA Suyadi, 2010. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Diva Press.
Azwar, Saifudin. 2013. “Penyusunan Skala Psikologi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Thalib,
Budi Purwoko dan Pratiwi, Titin Endah. 2007. Pemahaman Individu Melalui Teknik Non Tes. Surabaya: Unesa University Press.
Syamsul Bachri. 2010. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Tohirin. 2009. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
254
PENGEMBANGAN MODEL BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SOSIODRAMA UNTUK MENINGKATKAN PENYESUAIAN DIRI SISWA Nur Aini Prodi Bimbingan dan Konseling, IKIP PGRI Madiun
[email protected] Abstrac: This research aims to create Guidance Group Model by using Sosiodrama Technique to Improve Student Adjustment. The method of research used is Research and development method. It was taken 10 students who were chosen as the research subject with purposive sampling technique. The results showed that the model of group guidance by using sosiodrama techniques proven to be effective to improving student adjustment. Based on the score analysis toward the adjustment scale which was given to research subjects before treatment (pre-test) was 52,3% and after giving treatment (post-test) utilizing group guidance model by sosiodrama techniques, it shows that students‟ adjustment degree has 64,%, An increase of 11,7%. According to t-test of SPSS 16.00 for Windows, the significance two-tailed is 0.000 in 95% degree of significance. It is lower than 0.05 (<0.05), therefore, alternative hypotetic is accepted, meaning that group guidance model by using Sosiodrama Technique value is verified to improve students‟ adjustment. Key Words: group guidance; adjustment; sosiodrama technique.
yang sangat penting bagi dirinya
Pendahuluan Siswa merupakan remaja yang
dibandingkan
dengan
nilai-nilai
sedang dalam proses berkembang ke
individualitasnya”. Sehingga secara
arah kematangan dan kemandirian
tidak sadar dengan adanya interaksi
baik secara pribadi maupun sosial,
dan komunikasi antar pribadi di
dalam proses perkembangan tersebut
dalam situasi kelompok tersebut
seorang siswa perlu menyesuaikan
dapat
diri dengan lingkungan yang ada.
meningkatkan
Menurut Hurlock (2004) “pada masa
penerimaan diri terhadap nilai-nilai
remaja
dengan
kehidupan dan segala tujuan hidup
standar kelompok merupakan hal
serta untuk belajar perilaku tertentu
penyesuaian
diri
255
dimanfaatkan pemahaman
untuk dan
ke arah yang lebih baik dari perilaku
terdapat kesulitan-kesulitan dalam
mereka sebelumnya terutama dalam
penyesuaian diri, siswa akan dapat
hal
mengatasinya.
penyesuaian
diri
dengan
lingkungan masyarakat, sekolah, atau
Bimbingan
dengan teman sebayanya. Menurut
kelompok
dapat
menjadi media bagi siswa-siswi yang
Walgito
(2002)
cenderung
berkelompok
dengan
penyesuaian diri adalah: Individu
teman sebaya sehingga memungkin-
dapat
dengan
kan bagi mereka mencontoh atau
atau
meniru hal-hal positif yang terjadi
meleburkan
keadaan
di
diri
sekitarnya
sebaliknya individu dapat mengubah
dalam
lingkungan sesuai dengan keadaan
kelompok
dalam diri individu sesuai apa yang
yang kondusif yang memberikan
di inginkan oleh individu yang
kesempatan bagi anggotanya untuk
bersangkutan.
menambah
Penyesuaian diri merupakan
kelompok.
orang
Bimbingan
merupakan
lingkungan
penerimaan
lain,
diri
memberikan
dan ide,
upaya individu untuk dapat hidup
perasaan, dan dapat berlatih tentang
aman dan nyaman dalam mencapai
perilaku
keharmonisan antara dirinya sebagai
jawab atas pilihan yang ditentukan
individu dengan lingkungannya yang
sendiri.
berlangsung secara terus-menerus,
baru
serta
bertanggung
Gibson (2011) mendefinisikan
dengan siswa mampu menyesuaikan
bimbingan
diri dengan baik maka mempunyai
“Aktivitas yang dirancang untuk
kemungkinan
menyediakan
lebih
besar
untuk
kelompok
kepada
adalah
individu-
mencapai prestasi yang optimal.
individu sejumlah informasi atau
Siswa
dalam
pengalaman yang memajukan karier
menyesuaikan diri adalah siswa yang
atau pengertian tentang pendidikan,
mampu berinteraksi
pertumbuhan
dengan
yang
berhasil
secara
lingkungannya
aktif
penyesuaian
sehingga
pribadi sosial
dan mereka”.
siswa tersebut tidak mendapatkan
Bimbingan kelompok yaitu mengacu
kesulitan-kesulitan
dalam
kepada aktivitas-aktivitas kelompok
menyesuaikan diri, dan meskipun
yang berfokus kepada penyediaan
256
informasi atau pengalaman melalui
individu dapat memahami kegiatan
sebuah aktivitas kelompok yang
bimbingan yang tengah diterapkan.
terencana
dan
terorganisasi,
Bimbingan
kelompok
merupakan layanan bimbingan dan
memiliki
konseling yang diberikan kepada
dapat
individu untuk membahas masalah
kebutuhan
atau topik umum secara luas dan
Salah satu teknik tersebut adalah
mendalam yang bermanfaat bagi
sosiodrama.
anggota kelompok.
menyatakan
Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk
ketidakmampuan
diterapkan
teknik sesuai
dan
pelaksanaannya.
bahwa
timbul
(2004)
“sosiodrama
dramatisasi
persoalan-persoalan
dalam
dalam
yang dengan
Wingkel
merupakan
mengatasi siswa
beberapa
dari
yang
dapat
pergaulan
dengan
melakukan penyesuaian diri dengan
orang lain, tingkat konflik-konflik
lingkungan sekolah adalah melalui
yang
Bimbingan
sosial”. Sosiodrama merupakan salah
Kelompok
Teknik
Menurut
Wibowo
Sosiodrama.
satu
dialami
tehnik
dalam
pergaulan
dalam
bimbingan
(2005) “bimbingan kelompok adalah
kelompok yaitu role playing atau
suatu kegiatan kelompok dimana
teknik bermain peran dengan cara
pimpinan kelompok menyediakan
mendramatisasikan bentuk tingkah
informasi-informasi
laku
dan
dalam
hubungan
sosial,
mengarahkan diskusi agar anggota
permainan peran secara luas telah
kelompok menjadi lebih sosial atau
diterima sebagai teknik yang melatih
untuk membantu anggota-anggota
berbagai macam hubungan antar
kelompok untuk mencapai tujuan–
pribadi. Dengan kata lain menurut
tujuan
bersama”.
mengidentifikasi kegiatan
bersama-sama
tersebut
bahwa
bimbingan
pelaksanaannya
individu
Hal
dalam kelompok
dilakukan terhadap
sehingga
Romlah (2006) menyatakan bahwa
secara
“kepribadian
seseorang
keseluruhan
peran
diperankannya
sejumlah
sehari-hari
dalam dalam
adalah yang kehidupan
lingkungan
keluarga, masyarakat dan pekerjaan”.
masing-masing
Individu
257
dikatakan
mempunyai
penyesuaian diri yang baik apabila ia
guru bimbingan dan konseling juga
dapat
dengan
belum mengggunakan teknik-teknik
baik
bimbingan kelompok yang dapat di
berperilaku sesuai
peranan
yang
dimilikinya
sebagai mahluk individu maupun
internalisasi
mahluk sosial.
bimbingan dan konseling, khususnya
Pendapat
tersebut
dapat
kedalam
layanan
layanan bimbingan kelompok.
dimaknai bahwa teknik sosiodrama
Selain
persoalan
tentang
merupakan salah satu teknik yang
pelaksanaan
digunakan
memberikan
kelompok, juga diperoleh informasi
layanan bimbingan kelompok di
mengenai gambaran perilaku siswa
sekolah dengan cara memerankan
di SMK Islam Adiluwih Pringsewu
perilaku
Lampung. Kenyataan yang terjadi di
untuk
yang
berkaitan
dengan
masalah-masalah sosial.
layanan
bimbingan
SMK Islam Adiluwih Pringsewu-
Berdasarkan wawancara awal
Lampung terdapat banyak siswa
yang dilakukan peneliti terhadap
yang belum mampu menyesuaiakn
guru bimbingan dan konseling di
diri
SMK Islam Adiluwih Pringsewu
Berdasarkan
Lampung,
ditemukan
bahwa
diperoleh dari guru Bimbingan dan
pelaksanaan
layanan
bimbingan
konseling di SMK Islam Adiluwih
kelompok disekolah tersebut belum
Pringsewu Lampung, para siswa
optimal, hal ini ditandai dengan
khususnya siswa kelas X masih
pelaksanaan
banyak
kelompok
layanan yang
bimbingan
masih
bersifat
dengan lingkungan informasi
yang
sekolah. yang
mengalami
ketidakmampuan
dalam
insidental dan tidak berdasarkan
menyesuaikan
dengan analisis kebutuhan siswa,
lingkungan sekolah, baik dengan
pelaksanaannya belum sesuai dengan
teman sebaya, dengan guru maupun
tahapan-tahapan
dengan peraturan yang ada (tata
bimbingan
dalam
kelompok
layanan sehingga
kelompok
dengan
tertib sekolah).
terkesan penyelenggaraan layanan bimbingan
diri
Beberapa
masalah
yang
tidak
terjadi pada siswa kelas X SMK
terstruktur dengan baik. Selain itu
Islam Adiluwih Pringsewu-Lampung
258
sebagai aspek/akibat tidak dapat
sosial yang terjadi dalam hubungan
menyesuaikan diri antara lain terjadi
lingkungan sekitar utamanya dengan
permasalahan sosial dengan teman
lingkungan
karena
perbedaan
kebudayaan,
sosiodrama dipandang tepat untuk
senang
menyendiri,
tidak
meningkatkan
mau
menanggapi pendapat teman, kurang
sekolah,
sehingga
penyesuaian
diri
siswa.
aktif dalam kelas, membolos, tidak
Tujuan yang ingin dicapai oleh
masuk sekolah tanpa izin dan tanpa
penulis adalah untuk mendapatkan
keterangan yang jelas, terlambat
gambaran
datang ke
dalam
bimbingan kelompok dan gambaran
mencontek,
mengenai tingkat penyesuaian diri
mengerjakan berpakaian
sekolah, lalai tugas, tidak
sesuai
dengan
mengenai
pelaksanaan
siswa di SMK Islam Adiluwih
peraturan sekolah dan merokok.
Pringsewu
Lampung. Selain itu,
Siawsa yang menunjukan perilaku-
penelitian
ini
perilaku karena akibat dari kurang
menyusun
bisanya siswa dalam menyesuaiakan
kelompok dengan teknik sosiodrama
diri yaitu cenderung masih merasa
untuk meningkatkan penyesuaian diri
malu, takut dan bingung dalam
siswa serta mengetahui efektifitas
menghadapi sekolah baru, sehingga
pelaksanaan
mengalami kesulitan menyesuaikan
kelompok dengan teknik sosiodrama
diri dengan teman dan lingkungan.
untuk meningkatkan penyesuaian diri
Kesulitan dalam penyesuaian diri
siswa.
juga
bertujuan
model
bimbingan
layanan
bimbingan
membuat siswa merasa tidak nyaman berada di sekolah yang berakibat
Metode Penelitian
siswa membolos atau tidak masuk
Penelitian
ini
menggunakan
sekolah tanpa izin dan keterangan
metode Research and Development.
yang jelas.
Dasar
pertimbangan
penggunaan
Pemilihan penggunaan teknik
pendekatan ini adalah pendapat Borg
sosiodrama didasarkan pada alasan
dan Gall (2007) yang menyatakan
karena permasalahan yang muncul
bahwa
berkaitan
pengembangan
dengan
permasalahan
259
strategi
penelitian efektif
dan untuk
mengembangkan dan memvalidasi
siswa dengan melakukan beberapa
produk
produk
kali uji coba. Uji ahli dilakukan
pendidikan yang dapat dihasilkan
dengan melibatkan 2 orang pakar
melalui pendekatan penelitian dan
dalam
pengembangan adalah buku teks,
konseling untuk memvalidasi model
film
hipotetik agar menjadi sebuah model
pendidikan.
instruksional,
program
layanan
bimbingan
komputer, metode mengajar, dan
yang
berbagai programpendidikan lainnya.
meningkatkan
Prosedur
dalam
siswa. Uji praktisi dilakukan dengan
penelitian ini terdiri dari 6 tahapan
melibatkan 2 orang praktisi dalam
yakni
pendahuluan,
layanan bimbingan dan konseling
merumuskan model hipotetik, uji
untuk memvalidasi model hipotetik
kelayakan model hipotetik, perbaikan
agar menjadi sebuah model yang
model hipotetik, uji coba terbatas
praktis/mudah dalam pelaksanaannya
serta menyusun model akhir.
nanti. Sedangkan ujicoba terbatas
pengembangan
studi
Desain penelitian
uji
coba
dalam
pengembangan
akan
secara
rasional
dan
mampu
penyesuaian
dilakukan
dengan
diri
desain
ini
eksperimen yaitu metode one group
dilakukan dengan menyusun dan
pre test – post test design. Untuk
mengembangkan model bimbingan
lebih jelasnya digambarkan pada
kelompok dengan teknik sosiodrama
gambar berikut:
untuk meningkatkan penyesuaian diri Tabel 1: Desain One Group Pre test-Post test Pretest
Perlakuan
Postest
O1
X
O2
Keterangan : O1
O2
: Nilai posttest (setelah diberi
: Nilai pretest (sebelum diberi
bimbingan
bimbingan
teknik sosiodrama)
kelompok
teknik sosiodrama)
dengan X
260
kelompok
dengan
: Treatment yang di lakukan
Dalam uji coba terbatas 10 orang
rumus
t-test
dengan
menggunakan
siswa sebagai subjek penelitian diambil
bantuan perangkat lunak (software)
dengan teknik purposive sampling yaitu
SPSS 16.00 for Windows. Jika hasil uji
teknik pengumpulan sampel dengan
menunjukkan hasil yang signifikan,
pertimbangan
maka
tertentu
2009).
Subjek
pretest
untuk
(Sugiyono,
penelitian
diberikan
mengukur
model
bimbingan
kelompok
dengan teknik sosiodrama efektif untuk
kondisi
meningkatkan penyesuaian diri siswa.
keterampilan sosial awal lalu diberikan perlakuan berupa layanan bimbingan
Hasil dan Pembahasan
kelompok dengan teknik sosiodrama,
Hasil
penelitian
menunjukkan
langkah selanjutnya adalah dilakukan
bahwa pelaksanaan layanan bimbingan
posttest dan kemudian membandingkan
kelompok di SMK Islam Adiluwih
nilai pretest dan posttest untuk melihat
Pringsewu Lampung masih bersifat
keefektifan
insidental meskipun telah masuk dalam
dengan
bimbingan
teknik
kelompok
sosiodrama
dalam
program
meningkatkan penyesuaian diri siswa.
layanan
bimbingan
dan
konseling yang telah dibuat. Model
Instrumen yang digunakan dalam
layanan bimbingan kelompok yang
penelitian ini terdiri dari pedoman
diselenggarakan di sekolah tersebut
wawancara terhadap guru BK, lembar
adalah model bimbingan kelompok
validasi ahli dan lembar validasi praktisi
konvensional
untuk mengumpulkan data kualitatif dan
memperhatikan
skala psikologis penyesuaian diri siswa
bimbingan kelompok dalam tahapan
untuk mengumpulkan data kuantitatif.
pelaksanaanya,
Teknik analisis data yang digunakan
mengandalkan diskusi kelompok yang
adalah
deskripsi
terkesan hanya seperti diskusi biasa
kualitatif dan analisis data hasil uji
sebagai teknik yang digunakan. Untuk
statistik. Untuk membuktikan hipotesis
kondisi objektif penyesuaian diri siswa
dalam
dapat dilihat pada tabel berikut:
teknik
analisis
penelitian
ini
penulis
membandingkan tingkat penyesuaian diri
siswa
diberikan
sebelum perlakuan
dan
sesudah
menggunakan
254
yang
tidak
tahapan-tahapan
yang
hanya
Tabel 2: Gambaran penyesuaian diri siswa Kelas X SMK Islam Adiluwih PringsewuLampung No 1 2 3 4
Klasifikasi Sangat Tinggi Tinggi Rendah Sangat Rendah Total
Jumlah Siswa 5 50 103 4 162
Berdasarkan pada tabel di atas diperoleh
data
bahwa
Prosentase 3% 31% 63,5% 2,5% 100%
emosional yaitu: siswa merasa kurang
kondisi
percaya
diri,
minder,
bersikap
penyesuaian diri siswa di SMK Islam
memusuhi, tidak berani dan merasa
adiluwih Pringsewu-Lampung tergolong
tidak
rendah bahkan ada beberapa siswa
lingkungan sekolah sehingga ketika
dengan kondisi penyesuaian dirinya
menghadapi masalah siswa tidak yakin
yang sangat rendah. Umumnya yang
dengan kemampuan yang dimilikinya
menjadi penyebab yang tampak adanya
cenderung menyalahkan orang lain dan
siswa dengan tingkat penyesuaian diri
ketika
rendah dan sangat rendah di SMK islam
menyelesaikan
Adiluwih
yaitu
tidak bisa dengan maksimal karna
siswa kurang bisa menyesuaiakan diri
tingkat kepercayaan diri dan keberanian
dengan peraturan-peraturan yang ada di
yang kurang sehingga menyebabkan
sekolah tersebut misalnya beberapa
penyesuaian diri yang rendah. Yang
siswa masih selalu melanggar tata tertib
menjadi penyebab penyesuaian diri
yang ada yaitu membolos, memakai
siswa rendah yang berkaitan dengan (2)
baju seragam tidak sesuai dengan
ciri perkembangan intelektual (kognitif)
ketentuan
di
yaitu: siswa kurang bisa memahami diri
masuk
sendiri dan orang lain, kurang bisa
sekolah tanpa surat izin dan sebagainya
berkomunikasi dan kurang bisa melihat
itu yang berkaitan dengan masalah tata
kenyataan
tertib sekolah.
mengakibatkan
Pringsewu-Lampung
sekolah,
lingkungan
merokok
sekolah,
tidak
Sedangkan yang menjadi penyebab
nyaman
berada
ketika
di
kelas
tugas-tugas
hidup.
menyelesaikan
berada
siswa
sekolah
tidak
bis yang
sedang
berkaitan
berdiskusi dengan teman sebaya, kurang
(1)
ciri
afektif 255
kurang
ini
penyesuaian diri siswa rendah yang dengan
dialaminya,
untuk
Sikap
permasalahan
di
bisa
bisa
berkomunikasi
dengan
guru,
dan
berdiskusi
efektif
bis
menerima
penyesuaian diri yang rendah.
tidak
kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dan
tidak
berani
untuk
Oleh
mengeluarkan
meningkatkan
karena
menyusun
sebuah
itu,
penulis
model
layanan
pendapat. Serta penyebab penyesuaian
bimbingan kelompok dengan teknik
diri siswa di SMK Islam Adiluwih
sosiodrama sebagai sebuah alat yang
Lampung rendah yang berdasar pada (3)
dapat digunakan untuk meningkatkan
ciri
yaitu:
penyesuaian diri siswa. Validator ahli I
dalam
memberikan skor 58, validator ahli II
mengembangkan potensi diri, kurang
memberikan skor 47, validator praktisi I
bisa bekerjasama dan kurang bisa
memberikan skor 53 dan validator
belajar dari pengalaman yang ada,
praktisi
sehingga mengakibatkan siswa malas
Berdasarkan hasil uji kelayakan oleh
untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah,
ahli
malas belajar kelompok, tidak punya
konseling, maka diperoleh kesimpulan
gairah untik berprestasi dan berusa
bahwa model bimbingan kelompok
untuk menjadi yang lebih baik serta
dengan
siswa
baik
meningkatkan penyesuaian diri siswa
dengan guru maupun dengan teman-
telah layak untuk digunakan di sekolah.
temannya.
Hasil
perkembangan
kurangnya
malas
sosial
kemampuan
untuk
bersosial
Berdasarkan data tersebut, penulis
II
dan
memberikan
praktisi
teknik
skor
bimbingan
sosiodrama
pengembangan
pelaksanaan
53.
dan
untuk
rumusan
model/model
akhir
berkesimpulan bahwa perlu adanya
bimbingan kelompok dengan teknik
upaya bantuan bagi siswa agar dapat
sosiodrama
meningkatkan penyesuaian diri mereka.
penyesuaian diri siswa meliputi struktur
Pelaksanaan
bimbingan
model yang terdiri dari 9 komponen
kelompok yang konvensional dengan
yaitu : (1) rasional, (2) visi dan misi, (3)
teknik diskusi tidak efektif dalam
tujuan, (4) materi bimbingan kelompok
meningkatkan penyesuaian diri siswa.
dengan teknik sosiodrama, (5) peran
Guru
konseling
dan fungsi konselor (6) kualifikasi
membutuhkan sebuah model pelayanan
konselor (7) sifat topik dan suasana
bimbingan kelompok yang tepat dan
interaksi (8) tahap-tahap bimbingan
layanan
bimbingan
dan
kelompok
256
untuk
meningkatkan
dengan teknik sosiodrama
dan (9) monitoring, evaluasi dan tindak
Pringsewu-Lampung sebanyak 8 kali
lanjut.
pertemuan dengan menentukan topik
Model
bimbingan
kelompok
tugas sebagai topik yang akan dibahas
dengan teknik sosiodrama yang telah
dalam kegiatan uji coba. Untuk melihat
melalui uji kelayakan selanjutnya akan
peningkatan penyesuaian diri siswa
diuji
sebelum
cobakan
keefektifannya penyesuaian
untuk
dalam diri
melihat
meningkatkan
siswa.
Uji
dan
sesudah
layanan bimbingan kelompok dengan
coba
teknik sosiiodrama, dapat dilihat pada
dilaksanakan di SMK Islam Adiluwih
tabel berikut:
Tabel 3: Skor pretest dan post-test Skor rata-rata pretest
Skor rata-rata posttest
111,1
136,4
52,3%
64%
Dari tabel di atas terlihat bahwa penyesuaian
diri
siswa
mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 25,3 point atau sebesar 11,7% setelah mengikuti kegiatan bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama. uji efektifitas model yang dikembangkan sekaligus untuk menjawab hipotesis penelitian adalah dengan
membandingkan
perbedaan
antara skor pre test dan skor post test menggunakan
T-test
dengan
menggunakan bantuan perangkat lunak (software) SPSS 16.00 for Windows. Paparan
lebih
rinci
terhadap
pemberian
uji
seignifikansi dengan menggunakan Ttest dapat dilihat melalui tabel berikut.
257
Tabel 4: Hasil perhitungan t-test menggunakan SPSS 16.00 for Windows.
Mean Pair Penyesuai 1 an diri Pretest Penyesuai an diri Posttest Kaidah
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Std. Difference Std. Error Deviation Mean Lower Upper
-25.300
yang
12.428 3.930
digunakan
adalah
t
df Sig. (2-tailed)
-34.190 -16.410 -6.438
dianggap
tepat
intervensi
terhadap
untuk
.000
memberikan
penyesuaian
siswa
berbunyi model bimbingan kelompok
Bimbingan kelompok merupakan upaya
dengan teknik sosiodrama efektif untuk
membantu
meningkatkan penyesuaian diri siswa.
kelompok agar siswa dapat memahami
Berdasarkan hasil pengujian tersebut,
diri serta mencegah timbulnya masalah
diperoleh nilai signifikansi hitung (Sig.2-
dengan
tailed)
taraf
kelompok agar siswa yang bersangkutan
signifikansi 95%. Oleh karena nilai
dapat menjalani perkembangannya secara
signifikansi hitung < 0,05 maka hipotesis
optimal. Di dalam kelompok, anggota
alternatif (Ha) diterima yang berarti
belajar
bahwa
kelompok
kepercayaan terhadap orang lain, selain
terbukti
itu mereka juga mempunyai kesempatan
mampu untuk meningkatkan penyesuaian
untuk meningkatkan system dukungan
diri siswa.
dengan cara berteman secara akrab
model
dengan
0,000
pada
bimbingan
teknik
sosiodrama
Bimbingan dan konseling sebagai bagian
dari
sekolah
yang
bimbingan
diri
menguji hipotesis alternatif (Ha) yang
adalah
adalah
9
siswa
kelompok.
dalam
suasana
memanfaatkan
meningkatakan
dinamika
diri
dan
dengan sesama anggota. Interaksi antar
khusus
anggota kelompok merupakan sesuatu
memberikan pelayanan kepada siswa
yang khas yang tidak mungkin terjadi
adalah pihak yang tepat dalam upaya
pada
mengintervensi penyesuaian diri siswa
interaksi tersebut dapat mengubah sikap
dengan berbagai jenis layanan yang dapat
atau membentuk sikap baru.
diberikan. Salah satu layanan yang 258
konseling
perorangan
karena
Bimbingan kelompok merupakan lingkungan
yang
kondusif
pembentukan
yang
sampai
pengakhiran.
pada
Kondisi
tahap tersebut
memberikan kesempatan bagi anggotanya
memungkinkan
untuk menambah penerimaan diri dan
pelaksanaan pada tahapan kegiatan secara
orang lain, memberikan ide, perasaan,
produktif bagi peningkatan penyesuaian
dukungan bantuan alternatif pemecahan
diri siswa. Dengan demikian dapat
masalah dan mengambil keputusan yang
disimpulkan
tepat, dapat berlatih tentang prilaku baru
bimbingan
dan bertanggung jawab atas pilihannya
sosiodrama efektif untuk meningkatkan
sendiri. Di dalam kelompok, anggota
penyesuaian diri siswa, karena model
belajar
dan
tersebut menyediakan lingkungan belajar
kepercayaan terhadap orang lain, selain
yaitu dengan pengalaman memerankan
itu mereka juga mempunyai kesempatan
secara langsung tentang topik/maslah
untuk meningkatkan sistem dukungan
yang dihadapi oleh siswa yang diperlukan
dengan cara berteman secara akrab
dalam mengembangkan penyesuaian diri
dengan sesama anggota. Interaksi antar
mereka.
meningkatakan
diri
terlaksanannya
bahwa
model
kelompok
layanan
dengan
teknik
anggota kelompok merupakan sesuatu
Sebagaimana yang dikemukakan
yang khas yang tidak mungkin terjadi
oleh Schneiders (dalam Suryabrata, 2001)
pada
karena
mengartikan penyesuaian diri sebagai
interaksi tersebut dapat mengubah sikap
suatu proses respon individu baik yang
atau membentuk sikap baru.
bersifat behavioristik maupun mental
konseling
perorangan
Pengalaman
peneliti
sebagai
dalam
upaya
mengatasi
kebutuhan-
pemimpin kelompok dalam kegiatan
kebutuhan dari dalam diri ketegangan
bimbingan
emosi,
kelompok
dengan
frustasi
dan
konflik,
memanfaatkan teknik sosiodrama untuk
memelihara
meningkatkan penyesuaian diri siswa,
pemenuhan kebutuhan tersebut dengan
ditemukan bahwa prosedur pelaksanaan
kebutuhan tuntutan norma lingkungan.
layanan peningkatan penyesuaian diri
Hal tersebut telah tercakup dalam model
siswa
bimbingan
dengan
model
bimbingan
keseimbangan
serta
kelompok
dengan
antar
teknik
kelompok melalui teknik sosiodrama
sosiodrama ini, sehingga kondisi tersebut
memberikan akses yang sama untuk
memungkinkan
siswa
dapat
masing-masing anggota kelompok untuk
mengembangkan
semua
aspek
terlibat dan aktif. Mulai dari tahap
penyesuaian diri mereka secara alamiah 259
dan bermakna bagi kehidupan mereka.
tidak mmemperhatikan tahapan-tahapan
Pengalaman interaksi di dalam kelompok
dalam bimbingan kelompok sehingga
di manfaatkan dalam rangka memberikan
terkesan seperti diskusi biasa sehingga
bantuan terapi dan semacam pelatihan
dianggap tidak efektif untuk pemecahan
untuk lebih dapat menggunakan kapasitas
masalah siswa.
individu lebih efektif. Seorang individu
Gambaran penyesuaian diri siswa
akan lebih mendapatkan kesempatan
kelas X SMK Islam Adiluwih Pringsewu
untuk mengetahui diri sendiri secara lebih
Lampung rata-rata berada pada kategori
baik melalui pengalaman interaksi dalam
rendah dengan prosentase persebaran
bimbingan kelompok, seorang individu
sebagai berikut : sangat tinggi 3%, tinggi
bisa mengembangkan kesadaran dan
31%, rendah 63,5%, dan sangat rendah
kekuatan yang masih tersembunyi, minat,
2,5%.
kemampuan serta kebutuhannya.
Telah ditemukan rumusan model bimbingan
kelompok
sosiodrama
Kesimpulan
dengan
untuk
teknik
meningkatkan
Gambaran pelaksanaan layanan
penyesuaian diri siswa yang merupakan
bimbingan kelompok di SMK Islam
suatu proses pemberian bantuan kepada
Adiluwih
para
Pringsewu
Lampung
siswa
dalam
memanfaatkan
menunjukkan bahwa layanan bimbingan
dinamika kelompok untuk meningkatkan
kelompok
telah
penyesuaian diri mereka secara optimal
direncanakan dalam program bimbingan
melalui aktivitas yang menyenangkan
dan konseling, dan sudah dilaksanakan
dalam
tapi ada beberapa kelemahan yaitu: (1)
kehidupan nyata yang terdiri dari tahap
dalam pelaksanaan layanan bimbingan
pembentukan, tahap peralihan, tahap
kelompok masih bersifat insidental, (2)
kegiatan dan tahap pengakhiran. Hasil
layanan
pengembangan
pada
dasarnya
bimbingan
dilaksanakan
masih
konvensional
yaitu
kelompok dengan hanya
cara
situasi
yang
menyerupai
rumusan
pelaksanaan
model/ model akhir bimbingan kelompok
dengan
dengan
teknik
sosiodrama
untuk
menggunakan metode diskusi, dalam
meningkatkan penyesuaian diri siswa
pemecahan
masalahnya
belum
meliputi struktur model yang terdiri dari
menggunakan
teknik-teknik
tertentu
9 komponen yaitu: (1) rasional, (2) visi
seperti teknik sosiodrama atau teknik
dan
yang lainnya, (3) dalam pelaksanaanya
bimbingan 260
misi,
(3)
tujuan,
kelompok
(4)
materi
dengan
teknik
sosiodrama,
(5)
peran
dan
fungsi
teknik/ metode saja, karena tidak ada
konselor (6) kualifikasi konselor (7) sifat
satu teknik/ metode
topik dan suasana interaksi (8) tahap-
digunakan untuk semua masalah/
tahap bimbingan kelompok
dengan
keadaan. Dapat menggunakan model
teknik sosiodrama dan (9) monitoring,
bimbingan kelompok dengan teknik
evaluasi dan tindak lanjut.
sosiodrama
Model
bimbingan
kelompok
untuk
yang tepat
meningkatkan
penyesuaian diri siswa. Selain itu,
dengan teknik sosiodrama efektif untuk
kompetensi
pemimpin
meningkatkan penyesuaian diri siswa
seyogyanya adalah lulusan sarjana
kelas X SMK Islam Adiluwih Pringsewu
bimbingan
Lampung.
memahami mengenai peningkatan
dan
kelompok
konseling
dan
penyesuaian diri siswa. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Saran
(1) Penelitian ini hanya menggunakan 1. Bagi Sekolah
kelompok
eksperimen
tanpa
Hendaknya sekolah mengembangkan
adanya
kelompok
sistem pendidikan yang lebih baik
sehingga
peneliti
utamanya dalam bidang penyesuaian
disarankan
diri siswa. Lebih memberikan ruang
mengikutsertakan
gerak dan sarana maupun prasarana
kontrol
serta memfasilitasi guru BK untuk
sehingga hasil uji keefektifan
memberikan layanan bimbingan dan
model
konseling kepada para siswa yang
memberikan
sesuai dengan kebutuhan siswa.
lebih akurat lagi.
2. Bagi Guru BK
kontrol, selanjutnya untuk
sebagai
kelompok pembanding,
dikembangkan
dalam
treatment
dapat
(2) Penelitian ini hanya menjadikan
Guru bimbingan dan konseling agar
seluruh siswa kelas X sebagai
meningkatkan
subjek
dimiliki,
salah
kompetensi satunya
yang
penelitian,
sehingga
dengan
peneliti selanjutnya disarankan
berbagai
untuk mengikutsertakan siswa
teknik yang dapat digunakan dalam
dalam seluruh tingkatan kelas,
layanan bimbingan dan konseling
sehingga
khususnya bimbingan kelompok dan
pemberian
mempelajari/menguasai
tidak hanya terpaku terhadap satu 261
keefektifan layanan
hasil mampu
digeneralisir secara lebih luas Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif , Kualitatif dan R &D. Bandung: Alfabeta.
lagi. (3) Persoalan
mengenai rendahnya
penyesuaian diri siswa
tidak
Suryabrata, Sumadi. 2001. Psikologi Perkembangn, Jakarta: CV Rajawali.
hanya terjadi di SMK Islam Adiluwih
Pringsewu-lampung
saja, tetapi juga di sekolah
Walgito, Bimo. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset.
lainnya. Oleh karena itu bagi peneliti selanjutnya disarankan
Wibowo, M.E, 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES PRESS.
agar mampu mengembangkan model
layanan
bimbingan
kelompok
ataupun
bimbingan
lainnya
jenis
Winkel, W.S. 2004. Bimbingan dan Konselinh di Institusi pendidikan. PT. Grasindo: Jakarta.
dengan
menggunakan teknik-teknik yang tepat.
Daftar Pustaka: Borg, W.R dan Gall, M.D. 2007. Educational Research, an Introduction Fourth Edition. New York: Logman. Inc. Gibson, R.L. dan M.H. Mitchell. 2011. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Diterjemahkan dari; Introduction to Counseling and Guidanse. First publisher 2008 by Pearson Prentice Hall. Pearson education, Inc, Upper Saddle River, New Jersey. Hurlock, Elizabeth B. 2004. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang hayat. alih bahasa oleh Dra. Istiwidayanti.Erlangga. Romlah, T. 2006. Teori dan Praktik Bimbingan Kelompok. Malang: UM Press. 262