TESIS
FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR STRUKTURAL YANG BERPERAN DALAM KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI KABUPATEN TABANAN
SITI ZAKIAH
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR STRUKTURAL YANG BERPERAN DALAM KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI KABUPATEN TABANAN
SITI ZAKIAH NIM 1392161038
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR STRUKTURAL YANG BERPERAN DALAM KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI KABUPATEN TABANAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Udayana
SITI ZAKIAH NIM 1392161038
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 7 JULI 2015
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. dr Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Msi
Putu Ayu Indrayathi,SE,MPH
NIP 195807041987032001
NIP. 197703312005012001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mayarakat
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof.dr. D.N Wirawan, MPH
Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi,Sp.S (K)
NIP 194810101977021001
NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Di Uji Pada Tanggal 7 Juli 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 2024/UN14.4/HK/2015 Tanggal 7 Juli 2015
Ketua
: Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Msi.
Anggota
:
1. Putu Ayu Indrayathi,SE,MPH 2. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro, PA (K) 3. Dr. I Putu Ganda Wijaya, S.Sos, M.M 4. dr. Pande Putu Januraga, M.Kes, DrPH
Surat Pernyataan Bebas Plagiat
Nama
: Siti Zakiah
NIM
: 1392161038
Program Studi : Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Judul Tesis : Faktor Individual dan Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Tabanan. Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI Nomor : 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 7 Juli 2015
Siti Zakiah NIM: 1392161038
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan anugerah-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.dr Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Msi, selaku pembimbing I dan pembimbing akademik penulis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis menempuh pendidikan magister khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Putu Ayu Indrayathi,SE,MPH, Pembimbing II yang selalu sabar dan penuh perhatian memberikan semangat, bimbingan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan yang sama ditujukan juga kepada Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan dorongan dan semangat selama penulis menempuh pendidikan di Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. I Ketut Suastika, SP.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SPS(K) atas kesempatan
yang diberikan kepada
penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister
Universitas Udayana. Pada Kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada para penguji tesis yaitu Prof.Dr.dr.Mangku Karmaya, M. Repro, PA(K), Dr.I Putu Ganda Wijaya, S.Sos, M.M dan dr Pande Putu Januraga, M.Kes yang telah memberikan saran, masukan, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Terima kasih banyak kepada dr Pande Putu Januraga, M.Kes selain sebagai penguji juga sebagai pembimbing yang dengan sabar membimbing dalam penulisan penelitian kualitatif ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Dinas kesehatan Kabupaten Tabanan, Ketua Pengurus Cabang Ikatan Bidan Indonesia Kabupaten Tabanan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini serta petugas BPJS Kabupaten Tabanan yang telah memberikan bantuan dalam pencarian data. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para bidan praktek mandiri dan para dokter keluarga yang telah bersedia menjadi partisipan dan membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada semua dosen yang telah mengajar dan membimbing penulis saat duduk di bangku kuliah, serta teman-teman seangkatan yang selalu memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada mamak dan bapak yang selalu memberikan motivasi, do’a restu dan memberikan kasih sayangnya hingga saat ini.
Akhirnya penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Suami tercinta Bapak Suharsono, yang selalu menemani dalam perjalanan kuliah, memberikan dukungan moral dan materiil untuk menyelesaikan studi ini, serta anak-anakku tersayang Kausar Afif Fatwa, Kausar Sadit Nugraha dan Puspa Elok Mutmainnah yang selalu menjadi penyemangat dalam setiap langkah hidup penulis. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
Penulis
ABSTRAK FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR STRUKTURAL YANG BERPERAN DALAM KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI KABUPATEN TABANAN Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial yang bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dengan sistem asuransi kesehatan sosial. Pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN melibatkan dokter keluarga dan bidan praktek mandiri (BPM) sebagai jejaringnya. Keikutsertaan BPM pada program JKN di Kabupaten Tabanan masih sangat rendah (11,46%). Penelitian ini bertujuan untuk memahami lebih dalam tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional. Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam dilakukan pada 18 orang Bidan Praktek Mandiri (BPM) sebagai partisipan, 2 orang dokter keluarga dan 3 orang patisipan kunci yaitu Kepala dinas kesehatan, ketua pengurus cabang IBI dan petugas BPJS sebagai Triangulasi Data. Hasil penelitian dilihat dari faktor individual,didapatkan kurangnya pengetahuan BPM tentang program JKN pada pelayanan kebidanan dan neonatal. Motivasi BPM mengikuti program JKN adalah untuk menyukseskan program pemerintah, sebagai media promosi dan sebagai tempat mengabdi pada profesinya, sedangkan harapannya adalah sebagian besar partisipan mengharapkan adanya perbaikan sistem administrasi , peningkatan jumlah klaim yang telah ditentukan dan BPM dapat bekerjasama dengan BPJS tanpa melalui sistem jejaring dengan dokter keluarga. Dari faktor struktural seperti dukungan dan kebijakan sebagian besar partisipan menyatakan kurangnya peran aktif dari pemerintah dan organisasi IBI terhadap BPM, menyebabkan enggannya BPM ikut program JKN. Penelitian ini,dari faktor individual rendahnya pengetahuan BPM tentang pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN, sebagian besar motivasi ikut JKN karena ingin mempromosikan tempat praktek, menyukseskan program pemerintah dan pengabdian terhadap profesinya. Dari faktor struktural didapatkan rendahnya dukungan dan tidak adanya kebijakan dari pemerintah dan Organisasi IBI pada program JKN.Saran kepada dinas kesehatan Kabupaten Tabanan, petugas BPJS dan organisasi IBI agar lebih menyosialisasikan program JKN pada bidan-bidan serta memberikan dukungan dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan JKN untuk BPM.Pemerintah diharapkan untuk meninjau kembali klaim yang telah ditetapkan dan meninjau kembali sistem jejaring untuk lebih meningkatkan partisipasi BPM pada program JKN. Kata Kunci: Keikutsertaan, Bidan Praktek Mandiri, Jaminan Kesehatan Nasional.
ABSTRACT INDIVIDUAL FACTORS AND STRUCTURAL FACTOR THAT PLAY A ROLE IN THE PARTICICIPATIOAN OF INDEPENDENT PRACTICE MIDWIVES ON NATIONAL HEALTH ASSURANCE PROGRAM National Health Assurance (JKN) is part of the National Social Security System (SJSN) which was made through the mechanism of social insurance that aims to let all the people of Indonesia are protected with a social health insurance system implemented. Obstetrics and neonatal service at JKN programs involving family doctor and independent practices midwives (BPM) as networking. The participant of BPM on JKN in Tabanan is still very low (11,5%). The research aims to understand more deeply about the individual factors and structural factors that play a role in the participation of BPM on JKN. This study used a qualitative approach to the design of phenomenology, the collection of data with in depth interviews. In-depth interviews on 18 persoan BPM as a participant, 2 doctors family and 3 person key participant, head of Departement of health, chairman of the executive board branch of IBI and officers of the BPJS as a triangulation of the data. Data analysis using the thematic analysis. The results showed individual factors include : knowledge, motivation and expectations of BPM to JKN, obtained a lack of knowledge of BPM of JKN. The motivation of BPM program JKN is as media promotion and as a place to serve on his profession, whereas the expectation is largely participant expects improvement administration system and increasing the number of claims of that have been determined. From the structural factors that play a role in the participation of BPM on the program support and policies such as JKN most participants expressed less thus causing BPM was reluctant to join the program JKN. The study of the individual factors of the low knowledge of BPM of obstetrics and neonatal services at JKN program, most of the motivation for wanting to join JKN promote places of practice, supporting government programs and serve on the profession. Structural factors obtained from the low level of support and the lack of policy from governments and organizations program IBI on JKN. Advice to health services offices BPJS Tabanan regency, and the organization to make it more socialize IBI program JKN on midwives as well as provide support and policy that supports the implementation of JKN to BPM. The government is expected to review the claims assigned and reviewing system network to further enhance the participation of BPM on JKN. Keyword : Participation, Independent Practice Midwives, National Health Assurance.
DAFTAR ISI
HALAMAN HALAMAN SAMPUL DALAM JUDUL .................................................
i
PRASYARAT GELAR ..............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ......................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
ix
ABSTRACT ..................................................................................................
x
DAFTAR ISI ..............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xv
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xvi
DAFTAR SINGKATAN ..........................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xix
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ..........................................................................
7
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................................
7
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................
7
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................................
7
1.4.2 Manfaat Praktis ..................................................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN ...................................................................
9
2.1 Tinjauan Pustaka ...........................................................................
9
2.1.1 Jaminan Kesehatan Nasional………………………………..
9
2.1.2 Bidan Praktek Mandiri………………………………………
20
2.1.3 Faktor Individual yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada Program JKN .................................................................
21
2.1.4 Faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada Program JKN .................................................................
26
2.2 Konsep dan Kerangka Berpikir .......................................................
29
2.2.1 Jaminan Kesehatan Nasional .................................................
29
2.2.2 Konsep Bidan Praktek Mandiri..............................................
30
2.2.3 Konsep Faktor Individual ......................................................
31
2.2.4 Konsep Faktor Struktural .......................................................
31
2.3 Landasan Teori ................................................................................
31
2.4 Model Penelitian ..............................................................................
34
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................
35
3.1 Rancangan Penelitian ......................................................................
35
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................
36
3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian ......................................................
36
3.3.1 Populasi .................................................................................
36
3.3.2 Sampel Penelitian ..................................................................
36
3.4 Jenis Dan Sumber Data ...................................................................
38
3.5 Instrumen Penelitian ........................................................................
38
3.6 Metode Dan Teknik Pengumpulan Data .........................................
38
3.7 Metode Dan Teknik Analisis Data ..................................................
39
3.8 Metode Dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ........................
40
3.9 Etika Penelitian ................................................................................
41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………………….. ......................
43
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian………………………………
43
4.1.1 Data Perekonomian ................................................................
44
4.1.2 Data Praktek Dokter ...............................................................
44
4.1.3
Data Umum Bidan ...............................................................
44
4.1.3.1 Jumlah Bidan yang ada di masing-masing kecamatan..
44
4.1.3.2 Data Bidan Berdasarkan Pendidikan……………..……
46
4.1.3.3 Data Bidan Praktek Mandiri Yang mengikuti program Jampersal, JKBM dan JKN…………………………..
46
4.2 Karakteristik Partisipan ....................................................................
47
4.3 Hasil penelitian dan pembahasan .....................................................
49
4.3.1 Faktor individual yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional…….
49
4.3.2 Faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional ……. .
70
4.4 Refleksi .................................................................................................
89
4.5 Keterbatasan Penelitian .........................................................................
99
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
100
5.1 Simpulan ...............................................................................................
100
5.1.1 Faktor individual yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional ......
100
5.1.2 Faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional ......
103
5.2 Saran .....................................................................................................
105
5.2.1 Untuk Dinas Kesehatan Tabanan ................................................
105
5.2.2 Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ................
106
5.2.3 Untuk Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) ........................
107
5.2.4 Untuk peneliti selanjutnya .........................................................
107
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR HALAMAN Gambar 2.1 Skema Teori Kurt Lewin .......................................................
32
Gambar 2.2 Faktor Individual dan Struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada Program JKN ...................
34
Gambar 4.1 Data Praktek Dokter ..............................................................
44
Gambar 4.2 Data Bidan per Kecamatan di Kabupaten Tabanan ..............
45
Gambar 4.3 Data Bidan berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Tabanan .............................................................
46
Gambar 4.4 Data BPM yang mengikuti Program Jampersal, JKBM dan JKN di Kabupaten Tabanan ..............................
47
DAFTAR TABEL HALAMAN Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan berdasarkan Umur, Pendidikan, Alamat dan StatusPartisipan...............................
48
DAFTAR SINGKATAN AKI
: Angka Kematian Ibu
AKB
: Angka Kematian Bayi
SDKI
: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
KH
: Kelahiran Hidup
ASEAN
: Association of South East Asia Nations.
JKN
: Jaminan Kesehatan Nasional
UU
: Undang-undang
BPJS
: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
SJSN
: Sistem Jaminan Sosial Nasional
JAMPERSAL : Jaminan Persalinan BPM
: Bidan Praktek Mandiri
BPS
: Bidan Praktek Swasta
PERMENKES : Peraturan Menteri Kesehatan IBI
: Ikatan Bidan Indonesia
JKBM
: Jaminan Kesehatan Bali mandara
KTP
: Kartu Tanda Penduduk
SIPB
: Surat Ijin Praktek Bidan
AKDR
: Alat Kontrasepsi dalam Rahim
Jamkesmas
: Jaminan Kesehatan Masyarakat
MDGs
: Millineum Devlopment Gools
SK
: Surat Keputusan
IUD
: Intra Uterine Device
KB
: Keluarga Berencana
BKKBN
: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
KIA
: Kesehatan Ibu dan Anak
KF
: Kunjungan Nifas
KN
: Kunjungan Neonatus
SIPB
: Surat Ijin Praktek Bidan
FKTP
: Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKRTL
: Fasilitas Kesehatan Rawat inap Tingkat Lanjutan
Faskes
: Fasilitas Kesehatan
PONED
: Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat-surat Ijin Penelitian
Lampiran 2
Panduan Wawancara Mendalam (Indept Interview)
Lampiran 3
Pemetaan Tema berdasarkan koding.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan tolak ukur dalam menilai kesehatan suatu bangsa, oleh sebab itu pemerintah berupaya keras menurunkan AKI dan AKB melalui program Gerakan Sayang Ibu (GSI), safe motherhood, program Jaminan Persalinan (Jampersal) hingga program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bidan berperan sangat penting dalam menurunkan AKI dan AKB. Karena bidan sebagai ujung tombak atau tenaga kesehatan yang berada di garis terdepan dan berhubungan langsung dengan masyarakat, dalam memberikan pelayanan yang berkesinambungan dan paripurna berfokus pada aspek pencegahan melalui pendidikan kesehatan dan konseling, promosi kesehatan, pertolongan persalinan normal dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan perempuan serta melakukan deteksi dini pada kasuskasus rujukan kebidanan (Depkes RI,2013). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di dunia melalui World Health Organization (WHO) telah membuat kesepakatan untuk mencapai Universal Health coverage (UHC) di tahun 2014, mengenai kepastian sistem kesehatan untuk setiap warga di suatu negara agar memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau. Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) telah menjawab prinsip dasar dari
1
program UHC yaitu dengan mewajibkan setiap penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau komprehensif (Aulia, 2011). Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan (Depkes, 2009). Kesehatan merupakan kebutuhan yang utama bagi setiap manusia dan pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Keadaan kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonominya pada suatu bangsa dan negara, baik di negara yang sudah maju maupun di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya agar terwujud manusia Indonesia yang bermutu, sehat dan produktif (Notoatmodjo, 2005). Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menurunkan AKI dan AKB adalah membuat berbagai kebijakan untuk perbaikan akses dan kualitas pelayanan kesehatan khususnya pada ibu bersalin dan perawatan bayi baru lahir. Kebijakan untuk menurunkan AKI dan AKB tidak dapat dilakukan dengan intervensi biasa, diperlukan suatu upaya terobosan serta peningkatan kerjasama lintas sektoral untuk mengejar ketertinggalan penurunan AKI dan AKB dalam rangka mempercepat pencapaian Millenium Development goals (MDGs) tahun 2015. Faktor terpenting yang dapat menurunkan kematian ibu dan bayi baru lahir adalah meningkatkan akses ibu hamil terhadap persalinan yang sehat dengan cara
memberikan kemudahan pembiayaan untuk menghilangkan hambatan finansial pada ibu hamil dan keluarga, maka pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang Jampersal. Tujuan dari Jampersal yaitu untuk meningkatkan akses ibu hamil terhadap pelayanan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas dan pelayanan keluarga berencana (Kemenkes RI, 2011). Hasil studi evaluasi Jampersal tahun 2012, menghasilkan evidence yang meyakinkan bahwa Jampersal berhasil mengajak ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Peran aktif dari bidan sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kebidanan dan neonatal, ketersediaan obat dan peralatan serta fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah semakin meningkatkan jumlah kunjungan ibu hamil ke fasilitas kesehatan. Masyarakat berpendapat dan mempunyai harapan terhadap program Jampersal agar dapat dilanjutkan hingga saat program JKN diberlakukan. Fakta tersebut menjadi alasan yang kuat program Jampersal dipertahankan keberlangsungannya dalam program JKN dengan berbagai perbaikan dalam proses pelaksanaannya (Rahmawaty, 2013). Keberhasilan program Jampersal tergantung pada kondisi supply dan demand dari pemberi pelayanan kesehatan di masing-masing daerah. Penelitian tentang “Evaluasi pelaksanaan program Jampersal ditinjau dari persepsi pengguna dan penyedia layanan di Puskesmas Mengwi I” menyatakan bahwa pelayanan Jampersal mendapatkan respon yang baik dari pasien maupun petugas kesehatan, dukungan tenaga kesehatan terutama bidan dalam bentuk komitmen dengan cara
memberikan pelayanan yang profesional pada masing-masing pelayanan kebidanan (Adiputra dan Aryati, 2012). Menurut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan bahwa program Jampersal secara nasional telah berakhir tahun 2013 dan sejak awal tahun 2014 pemerintah Indonesia secara resmi melaksanakan program JKN. Berlakunya program JKN diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, maka secara otomatis jaminan kesehatan yang pernah ada seperti Jamkesmas, Jamkesda dan Jampersal masuk ke dalam program JKN. Propinsi Bali memiliki Jamkesda yang bernama Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Pembiayaan pelayanan kebidanan dan neonatal di Propinsi Bali sampai dengan tahun 2017 akan di tanggung oleh JKMB dan besaran klaimnya disesuaikan dengan standar tarif pada JKN dan Propinsi Bali di harapkan sudah masuk ke dalam Program JKN paling lambat pada tahun 2019 (Dinkes Propinsi Bali, 2014). Desain asuransi kesehatan yang berbasis masyarakat seperti JKN, membuat kontribusi masyarakat untuk berpartisipasi menjadi lebih tinggi. Menurut Dror, dkk (2006) negara India melakukan penekanan biaya persalinan dengan cara memberikan voucher yang bisa digunakan untuk membayar transportasi saat akan bersalin. Hasil penelitian di Banglades menjelaskan bahwa meskipun biaya persalinan gratis namun dari total pengeluaran langsung hampir 50 % untuk biaya rujukan (Dong dkk, 2004). Implementasi JKN masih menimbulkan pertanyaan bagi para bidan, karena Bidan Praktek Mandiri (BPM) tidak dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan dan harus bergabung menjadi jejaring dulu pada fasilitas
kesehatan tingkat I (Puskesmas) atau dokter praktek perseorangan. Sosialisasi tentang JKN pada BPM tentang bagaimana mekanisme kerjasama, prosedur, sistem pembayaran klaim dan cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung JKN masih kurang, sehingga Ikatan Bidan Indonesia (IBI) mengharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan BPJS seperti saat program Jampersal dan Jamkesda diberlakukan. Apabila BPM tidak dilibatkan dalam JKN, maka dapat menghambat upaya pemerintah menekan AKI dan upaya menggalakkan Program Keluarga Berencana (IBI, 2014). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan (2014) mencatat bahwa: bidan yang ada di Kabupaten Tabanan sebanyak 457 orang bidan, yang menjalankan praktek mandiri dan telah mempunyai SIPB sebanyak 96 orang (20,07%) sedangkan BPM yang mengikuti program JKN hanya 11 orang (11,46%). Pelaksanaan program Jampersal/JKBM di Kabupaten Tabanan belum berjalan optimal, walaupun sosialisasi tentang program Jampersal telah dilakukan pada para bidan termasuk BPM. Saat ini program JKN sudah mulai dilaksanakan secara nasional, maka bidan juga diharapkan untuk ikut berpartisipasi dalam program JKN. Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa BPM dikatakan bahwa: “Program JKN belum disosialisasikan secara khusus kepada kami (BPM) sehingga kami malas untuk kerjasama dengan JKN, apalagi kami dengar akan ada potongan administrasi dari dinas dengan prosedur kerjasama yang tidak jelas ” Pengetahuan, motivasi dan harapan BPM terhadap pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN di Kabupaten Tabanan umumnya masih belum diketahui secara benar. Sehingga perlu diketahui bagaimana faktor individual dan
faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN, agar bidan dapat berpartisipasi ikut menyukseskan program tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Mayora,dkk (2012) di Kota Binjai menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan bidan tentang Jampersal serta paket manfaat yang diberikan menyebabkan bidan enggan untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Rahmah tahun 2013, diketahui bahwa motivasi BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal. Pelaksanaan Jampersal di Kota Semarang dalam aspek pelaksanaan klaim terdapat beberapa kendala pada aspek komunikasi dan sumber daya. Pelaksanaan pelayanan Jampersal masih terkendala pada aspek sikap atau disposisi dan struktur birokrasi (Mandasari, 2012). 1.2 Rumusan Masalah Apakah faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum:
Untuk memahami lebih dalam tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan tahun 2015. 1.3.2
Tujuan Khusus
Penelitian ini untuk memahami lebih mendalam tentang : 1.
Faktor individual yang meliputi : pengetahuan, motivasi dan harapan yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan.
2.
Faktor struktural yang meliputi : dukungan dan kebijakan yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan dalam memperkuat hasil-hasil studi yang berkaitan dengan faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN serta pengembangan penelitian kuantitatif selanjutnya. 1.4.2
Manfaat Praktis
1.
Bagi Bidan
Dapat menjalankan profesionalisme sebagai tenaga kesehatan yang bekerja memberikan pelayanan kebidanan dan neonatal, sesuai dengan kewenangan dan
standar profesi bidan serta dapat menjadi lebih termotivasi untuk berpartisipasi menyukseskan program JKN. 2.
Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mengetahui tentang pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN sehingga masyarakat dapat menerima dan mendukung program tersebut. 3.
Bagi Pemerintah a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi kepada pemerintah agar lebih memperhatikan dan lebih meningkatkan program JKN terutama tentang pelayanan kebidanan dan neonatal. b. Pemerintah dapat mempertimbangkan pelayanan kebidanan dan neonatal yang telah dilakukan oleh bidan sehingga dapat meningkatkan kinerja dan kesejahteraan bidan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial yang bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dengan sistem asuransi. Negara Indonesia menuju Universal health Coverage (UHC) berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut serta dalam program Jaminan kesehatan sosial. Jaminan Kesehatan Nasional adalah bagian dari SJSN yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi berdasarkan Undang-Undang RI nomor 40 tahun 2004. Tujuan asuransi kesehatan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dari masalah pembiayaan kesehatan kebutuhan dasar masyarakat akan dapat terpenuhi (BPJS Kesehatan, 2014). Implementasi JKN dalam SJSN tahun 2014 adalah untuk menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) karena Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 harus segera dapat dicapai sehingga identifikasi perlindungan akses melalui jaminan pembiayaan persalinan dengan kepesertaan dalam JKN menjadi penting. Sejalan dengan peningkatan cakupan SJSN maka peserta Jampersal secara bertahap akan menjadi peserta JKN. Lingkup
9
paket manfaat jampersal menjadi bagian dari paket manfaat JKN yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan medis, kecuali ha-hal yang bersifat nonmedis seperti biaya transportasi (Mukti, 2012). Prinsip-prinsip Penyelenggaraan
JKN berdasarkan Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2011, mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut: kegotong royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanah dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial. Manfaat jaminan kesehatan yang bisa diperoleh dalam program JKN bersifat pelayanan perseorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan kebidanan dan neonatal. Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang termasuk di dalam program JKN meliputi: pelayanan pemeriksaan kehamilan (antenatal care), pertolongan persalinan (intranatal care), pemeriksaan bayi baru lahir (neonatus), pemeriksaan pascasalin (postnatal care) dan pelayanan Keluarga Berencana setelah melahirkan (BPJS Kesehatan, 2013). Program JKN memberikan jaminan pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan pembayaran non kapitasi. Peserta JKN mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmas-puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang bekerjasama dengan BPJS. Manfaat pelayanan kebidanan dan neonatal yang diberikan oleh JKN berupa : Pemeriksaan ANC, pelayanan persalinan, Pemeriksaan PNC dan bayi baru lahir (neonatus) dan pelayanan keluarga berencana.
Indonesia menuju UHC berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 yang menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut serta dalam program Jaminan Kesehatan Sosial. Program JKN juga memberikan jaminan pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan pembayaran non kapitasi untuk mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmas-puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang bekerjasama dengan BPJS (BPJS Kesehatan, 2014). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan pasal 11 ayat 1 (a) menyatakan bahwa: jasa pelayanan kebidanan, neonatal dan keluarga berencana yang dilakukan oleh bidan atau dokter bersifat non kapitasi yaitu besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Pemeriksaan kehamilan (ANC) sesuai standar yang diberikan dalam bentuk paket paling sedikit 4 kali pemeriksaan, sebesar Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) 2) Persalinan pervaginam normal sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) 3) Persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar sebesar di puskesmas PONED Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) 4) Pemeriksaan PNC dan neonatus sesuai standar dilaksanakan dengan dua kali kunjungan ibu nifas dan neonatus pertama (KF1-KN1) dan kunjungan
ibu nifas dan neonatus kedua (KF2-KN2) serta satu kali kunjungan neonatus ketiga (KN3) dan satu kali kunjungan ibu nifas ketiga (KF3), sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk tiap kunjungan dan diberikan kepada pemberi pelayanan yang pertama dalam kurun waktu kunjungan. 5) Pelayanan tindakan pasca persalinan di puskesmas PONED, sebesar Rp 175.000,00 (seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) 6) Pelayanan pra rujukan pada komplikasi kebidanan dan neonatal Rp 125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah), dan 7) Pelayanan Keluarga Berencana: a) Pemasangan atau pencabutan IUD/Implan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) b) Pelayanan suntik KB sebesar Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah) setiap kali suntik c) Penanganan komplikasi KB sebesar Rp 125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah), dan d) Pelayanan KB MOP/vasektomi sebesar Rp 350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Berdasarkan Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Nomor 143 Tahun 2014 tentang Implementasi Permenkes Nomor 59 tahun 2014 menjelaskan bahwa : 1) Pemeriksaan ANC dan PNC/neonatus dapat diberikan dan ditagihkan oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama (FKTP)
2) Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk. Pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10 % dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014) 3) Tarif pemeriksaan ANC merupakan tarif paket untuk pelayanan ANC paling sedikit 4 (empat) kali pemeriksaan dalam masa kehamilannya yaitu 1 (satu) kali pada trimester pertama, 1 (satu) kali pada trimester kedua, dan 2 (dua) kali pada trimester ketiga kehamilan dan tidak dapat dipecah menjadi 4 (empat) misalnya per kali pemeriksaan masing-masing Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) 4) Apabila pemeriksaan ANC dilakukan kurang dari jumlah minimal (< 4 kali) pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan maka biaya pemeriksaan ANC tidak dapat ditagihkan. 5) Penagihan biaya pemeriksaan ANC dapat ditagihkan apabila telah dilakukan minimal 4 kali pemeriksaan ANC sesuai waktu yang ditetapkan (dapat bersamaan dengan klaim persalinan yang diajukan atau terpisah jika persalinan dilakukan di faskes lain) disertai dengan bukti pelayanan kepada peserta. 6) Untuk menjaga kontinuitas pelayanan pemeriksaan ANC maka perlu adanya informed consent bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan ANC dan PNC di satu tempat yang sama (baik oleh FKTP maupun jejaring bidan sesuai dengan prosedur). Pemeriksaan ANC dan PNC pada tempat yang sama dimaksudkan untuk : keteraturan pencatatan partograf,
monitoring terhadap perkembangan kehamilan, memudahkan dalam administrasi pengajuan klaim ke BPJS Kesehatan. 7) Yang dimaksud dengan perkali kunjungan pemeriksaan PNC adalah paket kunjungan ibu nifas dan neonatus (kedatangan keduanya dihitung untuk 1 kali kunjungan) 8) Pemeriksaan ANC dan PNC di Fasilitas Kesehatan Rawat inap Tingkat Lanjutan (FKRTL) dilakukan berdasarkan indikasi medis 9) Kartu ibu dan buku kesehatan ibu dan anak (Buku KIA) disediakan oleh faskes sebagai pencatatan dan pemantauan status kesehatan peserta kebidanan. 10) Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dapat menagihkan tarif pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar sebesar Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan pelayanan tindakan pasca persalinan sebesar Rp 175.000,00 (seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) hanyalah Puskesmas yang ditetapkan sebagai Puskesmas PONED (Pelayanan Obstretrik Neonatal Emergensi Dasar). 11) Apabila pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar ditagihkan oleh FKTP lain selain Puskesmas PONED, maka disetarakan sesuai tarif persalinan pervaginam normal sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah ) 12) Pelayanan KB dapat diberikan dan ditagihkan oleh FKTP 13) Kantor cabang agar berkoordinasi dengan BKKBN di masing-masing daerah terkait ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (alkon)
14) Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk, pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10% dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014) 15) Khusus pelayanan KB MOP/vasektomi dapat diberikan pada FKTP yang ditunjuk berdasarkan rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan kompetensi dan kelengkapan sarana dan prasarana faskes. Tarif pelayanan kebidanan yang berlaku di Kabupaten Tabanan berdasarkan kesepakatan organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) cabang Tabanan tahun 2013 menetapkan tarif minimal yang dapat dijadikan acuan oleh BPM, sudah termasuk jasa pelayanan, obat yang digunakan dan kelengkapan sarana prasarana yaitu: 1) Pemeriksaan kehamilan : Rp 30.000 – Rp 50.000,2) Persalinan normal dan bayi baru lahir : Rp 900.000 – Rp 1.200.000,3) Perawatan nifas dan ibu menyusui : Rp 30.000 – Rp 50.000,4) Pemasangan IUD : Rp 150.000 – Rp 300.000,5) Suntik KB: Rp 25.000 – Rp 40.000,6) Konseling : Rp 10.000,7) Imunisasi : masing-masing Rp 20.000 – Rp 40.000,8) Rujukan : berdasarkan Unit Cost Bila dilihat dari tarif tersebut maka terdapat kesenjangan antara kesepakatan yang dibuat oleh organisasi dibandingkan dengan penetapan tarif pelayanan kebidanan yang ditetapkan oleh pemerintah (BPJS Kesehatan).
Hasil
penelitian
Januraga,
dkk
(2009)
di
Kabupaten
Jembrana
menunjukkan bahwa: Terdapat pemahaman yang keliru pada sebagian besar policy makers program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) terhadap konsep kebutuhan dasar kesehatan dan konsep keadilan egaliter dalam bidang kesehatan sehingga menimbulkan resistensi atau penolakan terhadap kebijakan pembayaran premi, khususnya premi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) I JKJ. Sebagian besar policy makers dan PPK program JKJ memiliki persepsi yang buruk terhadap sistem pembayaran kapitasi karena dipandang memiliki kelemahan dalam pemerataan, keadilan, kepuasan pasien dan mutu pelayanan kesehatan. Untuk mengatasi hal itu sebaiknya besaran biaya per kapita dihitung berdasarkan unit cost atau biaya klaim yang selama ini berlaku serta dikomunikasikan secara baik antara Badan pelayanan dan PPK . Selain itu, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian finansial PPK adalah dengan melakukan risk adjusment capitation, curve out, dan reinsurance. Risk adjustment capitation, besaran kapitasi dihitung dengan penyesuaian terhadap faktor demografi, riwayat kesehatan peserta, riwayat kunjungan peserta, dan beberapa indikator klinik. Curve out, dilakukan dengan mengeluarkan pelayanan tertentu dari perhitungan kapitasi untuk dibayar dengan cara lain. Peran Badan pelayanan bersama-sama dengan PPK dibutuhkan untuk membahas jenis pelayanan yang harus dikeluarkan, tetapi dengan tetap memperhatikan hak-hak peserta untuk memperoleh pelayanan yang optimal. Cara terakhir adalah dengan melakukan reinsurance. Reasuransi pada perusahaan reasuransi dilakukan oleh
Badan pelayanan untuk menghindari terjadinya kerugian pada PPK akibat pengeluaran yang tidak terduga. Hampir sama seperti pendapat policy makers, sebagian besar PPK melihat Program Kesehatan Jembrana khususnya kapitasi sebagai sistem yang merugikan dari sisi kebebasan konsumen dalam memilih pelayanan, di samping pandangan negatif akan adanya risiko finansial berupa kerugian pada pihak PPK. Ketakutan akan kegagalan secara finansial bahkan juga dirasakan oleh PPK yang justru menganggap kapitasi sebagai suatu cara pembayaran yang baik. Senada dengan pendapat sebelumnya pangkal semua ketakutan terjadi karena kebebasan masyarakat memperoleh pelayanan yang menurut anggapan PPK sulit untuk diubah. Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan meliputi: 1) Pemeriksaan ANC sekurang-kurangnya dilakukan 4 kali dengan distribusi waktu satu kali trimester satu, satu kali trimester dua dan dua kali pada trimester ketiga kehamilan yang disesuaikan dengan usia kehamilan. 2) Pemeriksaan ANC berupa pengukuran tinggi badan dan berat badan, pemeriksaan tekanan darah, pengukuran lingkar lengan atas, pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan denyut jantung janin dan posisi janin, skrining status dan pemberian imunisasi tetanus toksoid, pemberian tablet tambah darah dan asam folat, serta temu wicara. 3) Pemeriksaan ANC berupa pemeriksaan laboraturium rutin meliputi pemeriksaan kadar hemoglobin dan pemeriksaan golongan darah pada ibu
hamil wajib dilakukan oleh pemberi pelayanan antenatal yang memiliki alat pemeriksaan laboraturium tersebut. Sedangkan untuk pemeriksaan laboraturium lainnya dilakukan atas indikasi. 4) Persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar di puskesmas PONED meliputi penatalaksanaan untuk mengatasi kegawatdaruratan medis, perdarahan pada kehamilan muda (abortus), preeklamsia, eklamsia dan persalinan macet (distosia) 5) Pelayanan pada ibu nifas meliputi : pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu, pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan lochea dan pengeluaran pervaginam lainnya, pemeriksaan payudara dan dukungan pemberian ASI Ekslusif, pemberian vitamin A, pemberian pelayanan Keluarga Berencana pascasalin, konseling dan edukasi perawatan kesehatan, serta penanganan resiko tinggi dan komplikasi pada ibu nifas. 6) Pelayanan pada ibu nifas diberikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dengan distribusi waktu pada 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan (KF1), pada hari ke 4 sampai dengan hari ke 28 pascapersalinan (KF2), dan pada hari ke 29 sampai dengan hari ke 42 pasca bersalin (KF3). 7) Pelayanan neonatal meliputi: pelayanan neonatal dengan menggunakan formulir Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM), memastikan pemberian vitamin K1, pemberian salep mata antibiotika, pemberian imunisasi Hepatitis B 0,
perawatan tali pusat serta konseling terkait
pemberian ASI ekslusif, perawatan tali pusat, deteksi dini tanda bahaya dan pencegahan infeksi. 8) Pelayanan neonatus diberikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali sesuai standar dengan distribusi waktu pada 6 jam sampai dengan 48 jam pasca salin (KN1), pada hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah lahir (KN2) dan pada hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah melahirkan (KN3). 9) Hasil pelayanan kebidanan, neonatal dan KB dicatat pada kartu ibu dan buku KIA. 10) Buku KIA wajib dibawa oleh peserta Jaminan Kesehatan pada tiap kunjungan untuk mendapatkan pelayanan kebidanan, neonatal dan KB. Beberapa manfaat JKN untuk masyarakat adalah: memberikan keuntungan dengan premi yang terjangkau, asuransi JKN yang menerapkan prinsip kendali mutu dan biaya, asuransi kesehatan sosial yang menjamin kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelanjutan serta asuransi kesehatan sosial yang dapat digunakan diseluruh Indonesia (Kemenkes RI,2013). Berdasarkan hasil analisis koordinasi pelaksanaan pembiayaan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Kabupaten Lombok Tengah, program Jampersal juga belum berjalan optimal. Walaupun tidak ditemukan terjadinya tumpang tindih pembiayaan dan tidak ada pelayanan KIA yang tidak terbiayai, namun masih ditemukan adanya iuran biaya untuk obat maupun biaya rujukan serta tidak dilibatkannya pihak swasta dalam program Jampersal. Pelaksanaan program Jampersal dinas kesehatan kabupaten seharusnya dapat bekerjasama dengan klinik atau bidan praktek swasta (Erpan,dkk.2011).
2.1.2 Bidan Praktek Mandiri Bidan Praktek Mandiri ( BPM ) adalah suatu institusi pelayanan kesehatan secara mandiri yang memberikan asuhan pelayanan dalam lingkup kebidanan. Praktek bidan mandiri merupakan serangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang diberikan kepada pasien baik individu, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimilikinya. Bidan yang menjalankan praktek mandiri harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) untuk menjalankan prakteknya pada sarana kesehatan yang dimilikinya. Praktek pelayanan bidan mandiri merupakan penyedia layanan kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Masyarakat sebagai pengguna jasa layanan bidan dapat memperoleh akses pelayanan yang bermutu, perlu adanya regulasi pelayanan praktek bidan secara jelas persiapan sebelum bidan melaksanakan pelayanan praktek seperti perizinan, tempat, ruangan, peralatan praktek, dan kelengkapan administrasi semuanya harus sesuai dengan standar seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 (Kemenkes, 2010). Hasil penelitian Tambun, dkk (2013) menyatakan bahwa kebijakan persalinan masyarakat miskin di Kota Tanjung Pinang belum mendapat dukungan secara optimal dari pemerintah daerah. Plafon biaya yang kecil membuat tidak semua bidan bersedia mengikuti program Jampersal dengan klaim biaya kecil. Tidak ada perbedaan jenis pertolongan yang diberikan bidan praktek swasta antara pasien asuransi kesehatan masyarakat miskin dan masyarakat umum. Pelaksanaan
program Jampersal di Tanjung Pinang banyak ditemukan pemungutan iuran biaya persalinan di luar tanggungan Jampersal yang dilakukan oleh bidan dalam bentuk biaya transport rujukan dan obat - obatan tambahan. Implementasi JKN masih menimbulkan pertanyaan bagi para bidan, karena BPM tidak dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan dan harus bergabung menjadi jejaring dulu pada fasilitas kesehatan tingkat I (Puskesmas) atau dokter praktek perseorangan. Sosialisasi tentang JKN pada BPM tentang bagaimana mekanisme kerjasama, prosedur, sistem pembayaran klaim dan cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung JKN masih kurang, sehingga IBI mengharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan seperti saat program Jampersal dan Jamkesda diberlakukan. Apabila BPM tidak dilibatkan dalam JKN, maka dapat menghambat upaya pemerintah menekan AKI dan upaya menggalakkan program KB (IBI,2013). 2.1.3 Faktor Individual Yang Berperan Dalam Keikutsertaan BPM Pada Program JKN Faktor individual merupakan hubungan sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Penelitian ini yang dimaksud dengan faktor individual adalah pengetahuan, motivasi dan harapan BPM terhadap program JKN dalam memberikan asuhan kebidanan dan neonatal. Menurut Achterbergh & Vriens (2002) pengetahuan memiliki dua fungsi utama, pertama sebagai latar belakang dalam menganalisa sesuatu hal, mempersepsikan dan menginterpretasikannya, yang kemudian dilanjutkan dengan
keputusan tindakan yang dianggap perlu. Kedua, peran pengetahuan dalam mengambil tindakan yang perlu adalah menjadi latar belakang dalam mengartikulasikan beberapa pilihan tindakan yang mungkin dapat dilakukan, memilih
salah
satu
dari
beberapa
kemungkinan
tersebut
dan
mengimplementasikan pilihan tersebut. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan adalah: pendidikan, pekerjaan, umur, keinginan, pengalaman lingkungan dan sumber informasi (Notoatmojo,2010). Pengetahuan masyarakat tentang JKN yang sangat minim terutama di daerah-daerah perlu diselesaikan secara bertahap. Dalam mengatasi masalah ini, kebijakan kesehatan pemerintah harus hati-hati, cermat dan teliti sehingga investasi yang dilakukan selama ini tidak sia-sia (Kebijakan Kesehatan Indonesia,2013). Komunikasi juga sangat berperan dalam menyosialisasikan program JKN, karena komunikasi merupakan suatu proses kegiatan yang dapat berlangsung secara dinamis. Sesuatu yang didefinisikan sebagai proses, berarti unsurunsur yang ada di dalamnya bergerak aktif, dinamis, dan tidak statis. Kegiatan sosialisasi merupakan kegiatan komunikasi, ini ditandai dengan adanya proses penyebaran pengetahuan dari seorang komunikator kepada komunikan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan. Sosialisasi suatu program, merupakan pengetahuan yang disampaikan dalam suatu kegiatan sosialisasi
yang berkaitan
dengan konteks permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Sosialisasi akan memegang peranan penting di dalam menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan inovasi atau pengetahuan - pengetahuan yang berhubungan dengan inovasi, baik pengetahuan teknis maupun pengetahuan prinsip (Cangara, 2009).
Motivasi merupakan satu penggerak / pendorong dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan dalam mencapai tujuan hidup. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan. Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intrinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobbinya, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen-elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi (Leidecker dkk, 2009). Menurut teori Mc Clelland tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi (Need for achivenment) dalam Sudrajat (2008) menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Karakteristik orang yang berprestasi tinggi memiliki tiga ciri umum yaitu: sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat, menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, dan menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka. Hasil penelitian terkait motivasi keterlibatan Bidan Praktek Swasta (BPS) pada program Jampersal di Kota Banjarmasin menyatakan bahwa Pelaksanaan
program Jampersal di Kota Banjarmasin belum berjalan optimal. Pertolongan persalinan oleh non nakes (dukun) meningkat dari 56 pada tahun 2010 menjadi 122 pada tahun 2011. Sosialisasi program Jampersal telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin kepada seluruh bidan. Kepala Dinas Kesehatan telah mengeluarkan instruksi kepada seluruh BPS untuk menjalin kerjasama Jampersal, namun demikian dari 346 BPS yang ada hanya 45 BPS (13%) yang bersedia melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal. Rendahnya motivasi BPS untuk melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Noorhidayah,2012). Hasil penelitian Brahmasari dan Suprayetno (2012) membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, artinya bahwa motivasi kerja memang sangat diperlukan oleh seorang karyawan untuk dapat mencapai suatu kepuasan kerja yang tinggi meskipun menurut sifatnya kepuasan kerja itu sendiri besarannya sangat relatif atau berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Rahmah (2013), diketahui bahwa motivasi BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal. Harapan merupakan salah satu penggerak yang mendasari seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Karena dengan adanya usaha yang keras, maka hasil
yang didapat akan sesuai dengan tujuan. Harapan merupakan usaha seseorang untuk memaksimalkan sesuatu yang menguntungkan dan meminimalkan sesuatu yang merugikan bagi pencapaian tujuan akhirnya. Menurut V.Room dalam Freddy (2012) harapan adalah tingkat kepentingan pelanggan, yaitu keyakinan pelanggan setelah mencoba atau menggunakan suatu produk atau jasa yang akan dijadikan standar acuan untuk menilai produk atau jasa tersebut.
Harapan dari tenaga
kesehatan adalah kunci pokok bagi setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan seperti kesehatan ibu dan anak yang melibatkan bidan sebagai pelanggan internal dan pasien atau klien sebagai pelanggan eksternal. Menurut teori Maslow, pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok, yang ditunjukkan dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat, paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting. Pengetahuan, motivasi dan harapan bidan untuk mengikuti suatu program termasuk ke dalam kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri. Bidan akan mempunyai motivasi dan
harapan yang besar
terhadap suatu program seperti JKN apabila mendapatkan suatu penghargaan yang layak bagi dirinya. Hasil penelitian Dewi (2013) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan tengah menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang searah dan signifikan antara faktor
harapan dengan pekerjaan bidan. Jika harapannya terpenuhi maka akan menghasilkan kepuasan. Harapan bidan dalam bekerja berhubungan kinerja provider dalam pelayanan antenatal berlaku pada lokasi tertentu dan situasi tertentu saja sesuai dengan kondisi daerah, jika ingin meningkatkan kinerja maka faktor harapan dalam bekerja yaitu memiliki uraian tugas yang jelas, prosedur kerja yang tetap serta standar pelayanan antenatal harus tersedia agar dalam menjalankan pekerjaan bidan tidak ragu-ragu dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan terhadap pelaksanaan pelayanan sesuai dengan tanggung jawab yang akan memberikan dukungan bagi bidan untuk berinisiatif dan berinovasi dalam memberikan pelayanan sehingga dapat meningkatkan kinerja. 2.1.4 Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan BPM Pada Program JKN Faktor struktural adalah suatu keadaan relatif yang dapat membantu untuk memperoleh suatu hasil seperti kebijakan dari pemerintah dan dukungan sosial. Penelitian ini yang dimaksud dengan faktor struktur adalah kebijakan – kebijakan JKN yaitu: prosedur kerjasama, prosedur klaim dan prosedur administrasi. Propinsi Bali mempunyai suatu program kesehatan yang bernama Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) juga memberikan jaminan pembiayaan pada ibu hamil hingga melahirkan. Bagi penduduk Bali yang berdomisili dan mempunyai KTP Bali bila tidak mempunyai jaminan kesehatan lain berhak untuk mendapatkan pelayanan JKBM. Untuk pelayanan kebidanan dan neonatal belum semua penduduk Bali masuk ke dalam program JKN, sehingga pemerintah Bali
mengintegrasikan program Jampersal ke dalam program JKBM dan akan berakhir pada tahun 2017. Menurut Taylor, dkk (2000) dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana seorang individu memberikan bantuan pada individu lain. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial. Ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi dan dukungan kelompok (Sarafino, 2002). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Yandrizal, dkk (2013) menyatakan bahwa kebijakan jaminan kesehatan Kota Bengkulu dilaksanakan belum menerapkan prinsip asuransi, dimana penyelenggara berfungsi mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan yang diberikan baik di pelayanan dasar/primer maupun di pelayanan rujukan. Menurut Titmuss (1974) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah prinsipprinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu. Mekanisme kerjasama BPM dengan program JKN diatur dalam sistem jejaring, dimana seorang bidan dapat bekerjasama dengan BPJS Kesehatan selaku penyelenggara JKN melalui dokter keluarga. Dokter keluarga akan bekerjasama dengan BPM dalam hal pelayanan kebidanan dan neonatal, namun pada kenyataannya dokter sering mengambil alih tugas tersebut. Mekanisme kerjasama antara BPM dengan program JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan adalah melalui dokter keluarga. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2014, menyatakan bahwa dokter harus memiliki jejaring bidan, khusus untuk memberikan pelayanan kebidanan dan neonatal. Dokter keluarga dapat bekerjasama dengan 1 sampai 3 orang bidan, sedangkan bidan hanya boleh bekerjasama dengan satu dokter keluarga saja. Sistem jejaring ini baru mulai diterapkan sejak 1 Januari 2015, karena diharapkan adanya kolaborasi antara dokter keluarga dengan bidan. Menurut Notoatmodjo (2005), kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan harapan masing-masing anggota tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan saling berbagi (sharing) baik dalam resiko maupun keuntungan yang diperoleh. Terdapat tiga kata kunci dalam kemitraan, yaitu: (1) Kerja sama antara kelompok, organisasi dan individu, (2) Bersama-sama mencapai tujuan tertentu yang disepakati bersama, (3) Saling menanggung resiko dan keuntungan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hatta, dkk (2013) tentang peran dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa berdasarkan analisis univariat ditemukan peran dokter dalam pelayanan maternal di puskesmas ada 61,1% responden yang tidak setuju bila ibu hamil tanpa komplikasi untuk partus di bidan, dan 77,8% responden tidak setuju bila bidan melakukan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kelainan pada infant. Terdapat 66,7% dokter tidak setuju bila ibu hamil bebas memilih tempat melahirkan di rumah atau fasilitas kesehatan dan 94,4% responden setuju pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan ibu hamil partus di fasilitas kesehatan. Di dapati pula ada 83,3% responden mengatakan bahwa beban kerjanya ringan dan 50% berpendapat tidak ada potensi sengketa antara profesi bila berperan dalam pelayanan maternal. 2.2 Konsep Dan Kerangka Berpikir 2.2.1 Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari SJSN yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah yang sudah terlaksana mulai 1 Januari 2014 untuk masyarakat umum. JKN yang ditawarkan berupa: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Negara Indonesia menuju Universal Health Coverage (UHC)
berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. 2.2.2 Konsep Bidan Praktek Mandiri Bidan Praktek Mandiri (BPM) merupakan bentuk pelayanan kesehatan secara mandiri yang dilakukan oleh bidan dalam memberikan asuhan kebidanan kepada masyarakat. Kegiatan pelayanan yang diberikan haruslah sesuai dengan standar, kewenangan dan kompetensi yang dimilikinya. Bidan dalam menjalankan kegiatan praktek kebidanan pada sarana kesehatan pribadinya diwajibkan untuk mempunyai Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) yang di keluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten. Regulasi pelayanan praktek bidan meliputi perijinan, tempat, ruangan, peralatan praktek dan kelengkapan administrasi. Bidan sebagai tenaga yang professional harus mampu bertanggung jawab secara akuntabel, bekerja sebagai mitra perempuan dalam memberikan dukungan asuhan kebidanan selama kehamilan, saat menolong persalinan dan perawatan bayi baru lahir, saat masa nifas hingga perawatan bayi, balita dan anak prasekolah. Asuhan yang diberikan berupa preventif , promotif serta kuratif untuk mendeteksi komplikasi resiko tinggi pada ibu dan anak terhadap akses bantuan medis dan bantuan lain yang sesuai serta kemampuan melaksanakan tindakan dan rujukan terhadap kasus kegawat daruratan kebidanan. Tugas bidan juga diharapkan mampu memberikan konseling termasuk pendidikan kesehatan pada individu dan keluarga tentang asuhan kehamilan, peran sebagai orang tua, kesehatan reproduksi serta persiapan biaya melahirkan
dan pengasuhan anak. Bidan diharapkan mampu menjadi fasilitator dan motivator pada perempuan dan keluarga dalam mempersiapkan keuangan atau biaya untuk melahirkan sehingga pada saat melahirkan ibu merasa aman dan nyaman karena sudah ada persiapan untuk melahirkan. 2.2.3
Konsep Faktor Individual Faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang berhubungan dengan
sikap orang tersebut terhadap pengambilan keputusan dalam pekerjaannya. Faktor individual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tentang pengetahuan seorang BPM tentang program JKN yang berhubungan dengan motivasi dan harapan bidan untuk ikutserta berpartisipasi pada program JKN. 2.2.4
Konsep Faktor Struktural Faktor struktural sangat berperan dalam mensukseskan keberhasilan suatu
program.
Dukungan
dari organisasi
dan pemerintah berupa dorongan,
penghargaan serta kenyamanan akan sangat membantu bidan untuk ikut berpartisipasi
dalam
program
JKN.
Kebijakan-kebijakan
yang
dapat
mempengaruhi pelaksanaan JKN dari pemerintah haruslah dapat memberikan kepastian terhadap pelaksanaan program dan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. 2.3 Landasan Teori Menurut Kurt Lewin (1970) mengemukakan bahwa suatu keseimbangan antara berbagai kekuatan pendorong (driving forces) dan berbagai kekuatan penahan (restraining forces) membentuk perilaku seseorang. Model teori Kurt Lewin dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini.
Gambar 2.1 Skema Teori Kurt Lewin Sumber : Teori Kurt Lewin dalam Notoatmodjo, 2003.
Adanya ketidakseimbangan antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan tersebut di dalam diri seseorang menyebabkan perubahan perilaku, sehingga kemungkinan tiga perubahan perilaku pada diri seseorang adalah sebagai berikut: a.
Meningkatnya kekuatan-kekuatan pendorong. Keadaan ini dapat terjadi karena adanya rangsangan-rangsangan yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku. Rangsangan ini berupa sosialisasi, konseling, penyuluhan, pemberian informasi tentang hal yang berkaitan dengan perilaku tersebut.
b.
Menurunnya kekuatan penahan. Keadaan ini disebabkan oleh melemahnya stimulus yang menyebabkan menurunnya kekuatan penahan.
c.
Meningkatnya kekuatan pendorong dan menurunnya kekuatan penahan sehingga menyebabkan perubahan perilaku (Notoatmodjo, 2012).
Bentuk-bentuk perubahan pada seseorang antara lain : 1) Perubahan alamiah (natural change) : perubahan seseorang karena alamiah yang disebabkan oleh lingkungan disekitarnya. 2) Perubahan terencana (planned change) : perubahan yang memang telah direncanakan oleh yang bersangutan. 3) Kesiapan untuk berubah (readiness): perubahan melalui proses internal pada seseorang, dimana proses internal ini berbeda pada masing-masing individu.
2.4 Model Penelitian Model penelitian ini menggunakan teori Kurt Lewin untuk mengetahui tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN:
Faktor pendorong BPM ikut berperan dalam Program JKN : 1. Faktor Individual (pengetahuan, motivasi dan harapan) 2. Faktor Struktural (prosedur kerja sama, proses klaim, dan proses administrasi)
Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Faktor Penghambat BPM ikut berperan dalam Program JKN : 1. Faktor Individual (sosialisasi JKN, jumlah klaim pembayaran, prosedur klaim) 2. Faktor Struktural (kebijakan dan dukungan program)
Gambar 2.2 Faktor Individual dan Struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri
pada Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Rancangan atau desain penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Menurut Denzin dan Lincon (1994) dalam Ahmadi (2014), penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang dapat menggambarkan suatu masalah secara alamiah dan menginterpretasikan prilaku seseorang sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Penelitian kualitatif juga merupakan penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalahmasalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas dan natural setting yang holistis, kompleks dan terinci. Penelitian kualitatif dapat menggunakan pendekatan induktif yang mempunyai tujuan penyusunan teori atau hipotesis melalui pengungkapan fakta (Umar, 2013). Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah fenomenologi karena adanya fenomena atau permasalahan diantara para BPM yang masih rendah dalam berpartisipasi dalam program jaminan kesehatan yang sudah ada sebelumnya seperti Jampersal dan JKBM. Metode kualitatif digunakan untuk dapat menggali lebih dalam mengenai faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN di Kabupaten Tabanan.
35
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Tabanan Propinsi Bali dengan alasan pemilihan tempat karena cakupan partisipasi dan keterlibatan BPM untuk bekerjasama dengan program jaminan kesehatan seperti Jampersal dan JKBM sebelum adanya JKN sangat rendah (20,83%) dan untuk saat ini BPM yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam program JKN hanya 11 Orang (11,46%), sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang keikutsertaan BPM dalam program JKN. Waktu penelitian ini dialokasikan dari bulan November 2014 sampai dengan bulan Mei 2015. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal yang dilakukan mulai awal bulan November 2014 sampai penyelesaian administrasi penelitian, bulan April 2015. Pengumpulan data telah dilakukan pada bulan April sampai Mei 2015 di Kabupaten Tabanan. 3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat, pelaku dan aktivitas. Oleh karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu (Sugiyono, 2013). 3.3.2 Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sebagai partisipan (nara sumber), peneliti melakukan observasi atau wawancara kepada orang-orang yang dianggap tahu tentang situasi sosial tersebut (Sugiyono, 2008). Cara pemilihan
informan dalam penelitian kualitatif dilakukan secara purposive sampling yaitu menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan sampel dan untuk jumlah sampel ditentukan berdasarkan pada azas kesesuaian dan kecukupan sampai mencapai saturasi data. Apabila dalam proses analisis data peneliti telah menemukan pola yang sama berulang kali, maka analisis sudah dapat dihentikan karena saat itu terjadi kejenuhan data (Poerwandari, 2005). Penelitian ini, memilih informan secara purposive yaitu dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan dari penelitian, dianggap mampu serta bersedia dalam memberikan informasi yang diperlukan untuk menggali faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN di Kabupaten Tabanan. Partisipan dalam penelitian ini adalah bidan yang melaksanakan praktek mandiri dan berada di Wilayah Kabupaten Tabanan. Bidan yang dipilih adalah BPM yang saat ini telah mengikuti program JKN dan BPM yang tidak mengikuti program JKN dengan kriteria inklusi sebagai berikut : a. Sudah mempunyai pengalaman praktek mandiri lebih dari 5 (lima) tahun b. Melayani persalinan c. Jumlah kunjungan pasien rata-rata 15 orang perhari. Jumlah BPM sebagai partisipan sebanyak 18 orang, sedangkan sebagai triangulasi data dipilih tiga orang partisipan pemegang kebijakan yaitu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, Ketua Ikatan Bidan Indonesia cabang Tabanan, Petugas BPJS Kabupaten Tabanan dan dua orang Dokter Keluarga yang ikut
program JKN yang mempunyai jejaring dengan BPM dan yang belum mempunyai jejaring BPM. Sehingga jumlah partisipan seluruhnya sekitar 23 orang. 3.4 Jenis Dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan partisipan yang telah dipilih dan bersedia memberikan informasi penelitian (Moleong, 2007), sedangkan data sekunder didapatkan dari penelusuran dokumen yang ada di pemegang program Jamkesmas, data yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan data yang ada di kantor BPJS Kesehatan Kabupaten Tabanan. 3.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian pada penelitian ini adalah peneliti sendiri yang berperan sebagai instrumen dan dibantu oleh seorang pendamping peneliti yang bertugas membantu mencatat dan merekam hasil wawancara mendalam serta pendokumentasian. Peneliti juga menggunakan pedoman wawancara mendalam untuk menggali lebih dalam tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN, dan instrumen lain yang digunakan berupa alat perekam, buku catatan serta kamera. 3.6 Metode Dan Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan pada BPM dengan dipandu secara langsung oleh peneliti dengan menggunakan panduan wawancara mendalam,
kemudian dilakukan perekaman dan dibuat transkripnya untuk kemudian dianalisis. Sebelum melakukan wawancara mendalam (indepth interview) terlebih dahulu diberikan penjelasan terhadap maksud dan tujuan penelitian ini. Apabila peserta indepth interview setuju, maka diberikan surat persetujuan (informed consent) untuk ditandatangani, kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dan proses pengumpulan data serta wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti sendiri. Informasi yang diperoleh pada saat wawancara mendalam direkam dengan menggunakan alat perekam, catatan lapangan, dan foto sebagai dokumentasi. Apabila ada data yang perlu ditambahkan atau dikonfirmasi selama wawancara, maka dapat dilakukan member checking. Pembuatan transkrip hasil wawancara mendalam diusahakan dibuat segera mungkin setelah selesai melakukan kegiatan tersebut. 3.7 Metode Dan Teknik Analisis Data Metode dan teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah thematic analisis, yaitu mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema tertentu. Menurut Sastroasmoro dan Ismael (2011) langkah-langkah dalam melakukan analisis data kualitatif, meliputi:
1) Familiarisation: menggabungkan data dasar dengan mendengarkan rekaman, membaca transkrip, mempelajari catatan kemudian membuat daftar ide dan tema dari data yang diperoleh. 2) Identifying a thematic framework: mengidentifikasi semua masalah penting, konsep dan tema dari data yang diperoleh. Hasil akhir dari tahapan ini adalah indeks data secara detail, data-data sudah dilabel sesuai dengan sub-kelompok. 3) Indexing: mengaplikasikan kerangka tematik atau indeks secara sistematik terhadap seluruh data dalam bentuk tekstular menjadi kode-kode. 4) Charting: mengatur kembali data sesuai dengan kerangka tematik dan membuat diagram. 5) Mapping
and
interpretation:
menggunakan
diagram
(chart)
untuk
mendefinisikan konsep, memetakan fenomena alamiah, dan menemukan asosiasi antara tema dengan pandangan yang dapat menjelaskan hasil temuan. 3.8 Metode Dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data primer pada penelitian ini, disajikan dengan cara mengutip kata-kata dari partisipan tanpa mengurangi maknanya. Penyajian hasil analisis data juga dipaparkan dengan menampilkan data hasil penelitian terlebih dahulu kemudian dikaitkan dengan teori yang digunakan atau dengan memaparkan teori terlebih dahulu kemudian dikaitkan dengan hasil penelitian yang ada sebelumnya.Sedangkan hasil analisis data skunder pada penelitian ini, disajikan dengan cara menampilkan tabel, gambar dan grafik. Kehandalan dan kredibilitas data penelitian ini didapatkan dengan triangulasi data. Menurut Sutopo (2006), mengatakan bahwa untuk meningkatkan
validitas data dalam penelitian kualitatif dapat menggunakan triangulasi. Terdapat empat macam triangulasi yaitu: triangulasi sumber/data, triangulasi peneliti, triangulasi metodologis dan triangulasi teoritis. Dalam menarik kesimpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya dari satu sudut pandang saja, oleh karena itu triangulasi merupakan tehnik yang didasari oleh pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi data/sumber yaitu dengan menggunakan informan atau partisipan yaitu Dokter Keluarga yang ikut program JKN sudah mempunyai jejaring BPM dan Dokter Keluarga yang ikut program JKN tetapi belum mempunyai jejaring BPM , serta dikonfirmasi dengan melakukan wawancara mendalam kepada partisipan kunci yaitu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, Ketua Ikatan Bidan Indonesia Cabang Tabanan dan Petugas BPJS Kesehatan Kabupaten Tabanan. 3.9 Etika Penelitian Penelitian ini telah mendapatkan rekomendasi/ijin penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan Provinsi Bali, ijin dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Tabanan, surat ijin penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan surat ijin penelitian dari Ikatan Bidan Indonesia Cabang Tabanan serta surat keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Sebelum melakukan wawancara mendalam, partisipan menandatangani pernyataan kesediaan menjadi partisipan penelitian setelah membaca pernyataan penelitian. Setelah selesai wawancara mendalam partisipan diberikan kompensasi
berupa bingkisan sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan karena telah berpartisipasi dalam penelitian ini.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi pemaparan hasil penelitian dan pembahasan atas hasil penelitian. Sebelum masuk ke dalam inti pembahasan, peneliti akan memaparkan tentang gambaran umum lokasi penelitian, data praktek dokter dan data umum bidan lalu diikuti dengan karakteristik partisipan. 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Tabanan, dimana Kabupaten Tabanan terletak di bagian selatan pulau Bali. Wilayah ini cukup strategis karena berdekatan dengan Ibukota Propinsi Bali yang hanya berjarak sekitar 25 Km dengan waktu tempuh ± 45 menit dan dilalui oleh jalur arteri yaitu jalur antar propinsi. Secara administratif Kabupaten Tabanan terbagi atas 10 kecamatan dan 133 desa. Batas-batas wilayah Kabupaten Tabanan secara lengkap adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Badung, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jembrana, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Luas Kabupaten Tabanan adalah 839,33 km2 atau sekitar 14,90 % dari luas Propinsi Bali (5.632,86 km2). Berdasarkan besarnya wilayah, maka Kabupaten Tabanan termasuk kabupaten terbesar kedua di Propinsi Bali setelah Kabupaten Buleleng.
43
4.1.1
Data Perekonomian Berdasarkan kriteria dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) maka jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tabanan pada tahun 2013 sebanyak 103.964 jiwa atau 23,50 % dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk miskin terbanyak terdapat di Kecamatan Kediri yaitu sebesar 16.019 jiwa dan yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Selemadeg Barat dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 6.416 jiwa. 4.1.2 Data Praktek Dokter Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan data dokter umum yang praktek di Kabupaten Tabanan sebanyak 305 orang dan yang ikut program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebanyak 33 orang (11%). 11%
Dokter Umum 89%
Dokter JKN
Gambar 4.1 Data Dokter Umum yang terdapat di Kabupaten Tabanan
4.1.3 Data Umum Bidan 4.1.3.1 Jumlah Bidan Yang Ada Di Masing-Masing Kecamatan Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kabupaten Tabanan tahun 2013, jumlah bidan di masing-masing kecamatan di
Kabupaten Tabanan antara lain Kecamatan Tabanan sebanyak 118 orang dengan jumlah BPM sebanyak 22 orang, jumlah bidan di Kecamatan Kediri sebanyak 46 orang dengan jumlah BPM sebanyak 22 orang, Kecamatan Pupuan jumlah bidan sebanyak 41 orang dengan jumlah BPM sebanyak 7 orang, Kecamatan Kerambitan jumlah bidan sebanyak 30 orang dengan jumlah BPM sebanyak 5 orang, Kecamatan Selemadeg jumlah bidan sebanyak 24 orang dengan jumlah BPM sebanyak 4 orang, Kecamatan Selemadeg Barat jumlah bidan sebanyak 18 orang dengan jumlah BPM sebanyak 9 orang, Kecamatan Selemadeg Timur jumlah bidan sebanyak 24 orang dengan jumlah BPM sebanyak 6 orang, Kecamatan Baturiti jumlah bidan sebanyak 35 orang dengan jumlah BPM sebanyak 4 orang, Kecamatan Penebel jumlah bidan sebanyak 31 orang dengan jumlah BPM sebanyak 6 orang, Kecamatan Marga jumlah bidan sebanyak 35 orang dengan jumlah BPM sebanyak 11 orang, jumlah bidan di BRSUD Tabanan sebanyak 55 orang. Jadi jumlah bidan yang ada di Kabupaten Tabanan sebanyak 457 orang, dengan bidan praktek mandiri sebanyak 96 orang. 500
457
400 300 200 100
118 22
46
55 22 41 7 30 5 24 4 18 9 24 6 35 4 31 6 35 11
0
Jumlah Bidan Ranting Cabang Tabanan
BPM
Gambar 4.2 Data Bidan per Kecamatan di Kabupaten Tabanan
96
4.1.3.2 Data Bidan Berdasarkan Pendidikan Berdasarkan data yang diperoleh dari profil IBI Kabupaten Tabanan tahun 2013, data bidan berdasarkan tingkat pendidikan antara lain jumlah bidan dengan pendidikan sekolah bidan sebanyak 1 orang (0,21%), pendidikan DI Kebidanan sebanyak 62 orang (13,57%), DIII Kebidanan sebanyak 367 orang (80,31%), DIV Kebidanan Klinik sebanyak 19 orang (4,16%), dan dengan DIV Kebidanan Pendidik sebanyak 8 orang (1,75%). 1,75%
0,21% 4,16% 13,57%
Sekolah Bidan D1 Keb. D3 Keb. D4 Keb. Pendidik
80,31%
D4 Keb. Klinik
Gambar 4.3 Data Bidan Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Tabanan 4.1.3.3 Data Bidan Praktek Mandiri Yang Mengikuti Program Jampersal, JKBM Dan JKN Berdasarkan data yang diperoleh dari pemegang program Jamkesmas di Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan data dari petugas BPJS Kesehatan Tabanan, dari seluruh jumlah BPM yang terdapat di Kabupaten Tabanan sebanyak 96 orang pada tahun 2012 sampai dengan 2015, BPM yang ikut program Jampersal tahun 2012 sejumlah 14 orang (14,58%) dan tahun 2013 sebanyak 22 orang (22,92%), BPM yang ikut program JKBM tahun 2014 sebanyak 20 orang
(20,91%), dan BPM yang ikut program JKN hingga bulan maret tahun 2015 sebanyak 11 orang (11,46%). 25 20 15 10 5
14,58%
22,92%
20,91%
11,46%
Bidan JKBM 2014
Bidan JKN 2015
0 Bidan jampersal Bidan jampersal 2012 2013
Gambar 4.4 Data BPM Yang Mengikuti Program Jampersal, JKBM, Dan JKN Di Kabupaten Tabanan 4.2
Karakteristik Partisipan Pada penelitian ini, partisipan terdiri dari dua yaitu partisipan dan
partisipan kunci. Proses pengumpulan data pada kedua partisipan ini dilakukan dengan wawancara mendalam. Jumlah partisipan sebanyak 23 orang terdiri dari 9 (sembilan) orang BPM yang ikut program JKN, 9 (sembilan) orang BPM yang tidak ikut program JKN, 2 orang dokter keluarga, seorang Kepala Dinas Kesehatan, seorang ketua IBI dan seorang petugas BPJS Kesehatan. Karakteristik partisipan dapat dilihat dari umur, tingkat pendidikan, alamat dan status keikutsertaan partisipan dalam program JKN.
Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan Berdasarkan Umur, Pendidikan, Alamat dan Status Partisipan No
Kode Partisipan
Pendi Umur
Alamat
Dikan
Status Partisipan
1.
1
39 tahun
D III
Tabanan
BPM JKN
2.
2
35 tahun
D III
Kediri.
BPM JKN
3.
3
44 tahun
D III
Pupuan.
BPM JKN
4.
4
39 tahun
D III
Pupuan.
BPM JKN
5.
5
40 tahun
D IV
Selemadeg Timur
BPM JKN
6.
6
65 tahun
D III
Kediri
BPM JKN
7.
7
50 tahun
D III
Baturiti
BPM JKN
8.
8
48 tahun
D IV
Kerambitan
BPM JKN
9.
9
33 tahun
D III
Selemadeg Timur
BPM JKN
10.
10
49 tahun
D IV
Selemadeg Barat
BPM NON JKN
11.
11
60 tahun
D III
Tabanan
BPM NON JKN
12.
12
52 tahun
D IV
Kerambitan
BPM NON JKN
13.
13
43 tahun
D III
Kediri
BPM NON JKN
14.
14
47 tahun
D IV
Tabanan
BPM NON JKN
15.
15
61 tahun
D III
Tabanan.
BPM NON JKN
16.
16
35 tahun
D III
Selemadeg Timur
BPM NON JKN
17.
17
43 tahun
D III
Baturiti
BPM NON JKN
18.
18
42 tahun
D IV
Tabanan
BPM NON JKN
19.
19
53 tahun
S II
Tabanan
Pemegang kebijakan
20.
20
47 tahun
SI
Tabanan
Pemegang kebijakan
21.
21
52 tahun
S II
Tabanan
Pemegang kebijakan
22.
22
46 tahun
SI
Penebel
Dokter keluarga
23.
23
40 tahun
SI
Tabanan
Dokter Keluarga
Sumber: Hasil Wawancara Mendalam dengan Partisipan pada Bulan April sampai Mei 2015.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada BPM di Kabupaten Tabanan , didapatkan data bahwa sebagian besar informan berusia antara 33 – 58 tahun, sebagian kecil lainnya berusia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari segi pendidikan sebagian besar partisipan berpendidikan DIII Kebidanan dan sebagian
kecil partisipan yang berpendidikan DIV Kebidanan dan semua partisipan tinggal di wilayah Kabupaten Tabanan dan tersebar di masing - masing kecamatan. 4.3 Hasil Penelitian Dan Pembahasan Hasil penelitian disajikan dengan menggunakan narasi atau uraian sesuai dengan fenomena-fenomena yang ditemukan saat wawancara mendalam dan untuk pembahasan hasil penelitian juga menggunakan narasi atau uraian-uraian berdasarkan hasil yang ditemukan dari proses thematic analisis dengan model strategi analisis data kualitatif-verifikatif dimana setelah data dikumpulkan kemudian diklasifikasikan untuk membuat suatu kesimpulan yang merujuk kepada teori dan sumber pustaka (Bungin,2012). 4.3.1 Faktor Individual Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional Hasil penelitian terkait dengan faktor individual yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN terdiri dari pengetahuan, motivasi dan harapan dapat dilihat pada uraian di bawah ini: a.
Pengetahuan Bidan Praktek Mandiri Tentang Program Jaminan Kesehatan Nasional. Hasil penelitian mengenai pengetahuan BPM tentang Program JKN menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan menyatakan sudah mengetahui program JKN secara umum. “ Saya tahu tentang JKN… karena mencakup Jamkesmas, Askes sama JKN mandiri.” (T1P2,Bidan JKN) “Menurut saya JKN ini adalah suatu program pemerintah dimana adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat terutama dalam hal kesehatan, melalui pembayaran premi.” (T1P9,Bidan JKN)
Menurut partisipan program JKN merupakan sebuah asuransi kesehatan untuk melindungi masyarakat dari masalah kesehatan dengan cara membayar iuran
sebagai
bentuk
pengumpulan
dana,
pengumpulan
dana
tersebut
dimaksudkan untuk saling membantu antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin, antara masyarakat yang sehat membantu yang sakit. “JKN adalah asuransi kesehatan, tapi kalau sepengetahuan saya yang dimaksud asuransi adalah sejenis mengumpulkan uang…, kalau di masyarakat Bali itu namanya meselisi misalnya sehat membantu yang sakit, kalau yang sakit dibantu oleh yang sehat itu…” (T2P4, Bidan JKN) Partisipan lebih berpendapat bahwa pelayanan pada JKN itu bersifat gratis dan dapat dilakukan di fasilitas pemerintah serta melanjutkan program sebelumnya yang pernah ada seperti program Jampersal, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), JKBM dan Jamkesmas. “….tidak ada bedanya dengan Jamsostek, cuman bedanya kalau jamsostek para karyawan, sedangkan kalau JKN tidak hanya karyawan saja, tetapi masyarakat umum bisa ikut asuransi kesehatan” (T2P6,Bidan JKN) Para pemegang kebijakan menyatakan bahwa program JKN ini merupakan suatu program dari pemerintah yang menjamin kesehatan seluruh masyarakat mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabititatif. Derajat kesehatan suatu negara dapat dilihat dari jumlah AKI dan AKB, dengan adanya JKN diharapkan dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan. “…dengan JKN akan menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia mulai dari tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Untuk ke depannya JKN akan lebih menekankan promotif dan preventif untuk mencegah jangan sampai ada masyarakat yang sakit terutama penyakit degenerative dan sebagainya” (T2P19,Pemegang Kebijakan)
“…derajat kesehatan suatu negara itu diukur dari jumlah AKI dan AKB, beberapa tahun yang lalu Tabanan pernah menduduki AKI dan AKB tertinggi di bali, tapi tahun ini sudah turun. Jadi dengan adanya JKN dapat membantu masyarakat meningkatkan derajat kesehatannya sehingga jumlah AKI dan AKB dapat ditekan seminimal mungkin..” (T2P21,Pemegang Kebijakan) Namun hasil penelitian juga menunjukkan bahwa partisipan kurang memahami program JKN yang terkait dengan pelayanan kebidanan dan neonatal. “….ya, program JKN untuk pelayanan kebidanan hanya di puskesmas atau rumah sakit, kan gratis, kalau bidan ikut JKN rugi…karena tidak dibayar” (T2P11,Bidan Non JKN) Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang program JKN secara khusus untuk BPM. Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa belum pernah diundang rapat untuk mendengarkan himbauan atau pengarahan tentang program JKN apalagi yang menyangkut keikutsertaan BPM. “Selama ini sih, terus terang saja belum pernah ada sosialisasi tentang program JKN khusus untuk bidan praktek mandiri” (T1P1, Bidan JKN) Informasi tentang Program JKN untuk BPM lebih banyak didengar saat rapat rutin atau saat rapat program puskesmas lainnya baik dari dinas kesehatan maupun petugas BPJS Kesehatan. Partisipan mengetahui program JKN secara global melalui media elektronik dan media cetak seperti TV, radio, internet dan koran. Sebagian besar partisipan menyatakan tidak pernah ada pengarahan dan pembinaan mengenai JKN secara langsung untuk BPM. “ Walaupun saya praktek berdekatan dengan dinas kesehatan, saya tidak pernah mendapatkan sosialisasi tentang program JKN. Apalagi khusus untuk bidannya…saya tahu tentang JKN hanya dari TV dan baca koran saja “ (T1P11,Bidan non JKN) Pada
saat
sosialisasi
tentang
JKN,
pemegang
kebijakan
hanya
mengundang IBI serta beberapa orang bidan koordinator. Menurut sebagian
partisipan pelayanan JKN itu dilaksanakan di rumah sakit pemerintah atau puskesmas, sedangkan untuk pelayanan JKN di BPM hanya sekedar informasi saja. “…penyampaian program JKN selalu di informasikan bersamaan dengan program yang lain. Secara menyeluruh program JKN ini dilayani di puskesmas, tapi untuk pelayanan kebidanan di bidan swasta pernah saya dengar hanya sepintas lalu saja “ ( T1P10,Bidan non JKN) Menurut para pemegang kebijakan, sudah dilakukan sosialisasi tentang program JKN untuk BPM, tetapi yang diundang pada saat itu Ketua Pengurus Cabang Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan beberapa bidan koordinator pemegang program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pada pertemuan tersebut disampaikan tentang keikutsertaan BPM pada program JKN. Proses kerjasama bidan dengan JKN baru dimulai sejak awal tahun 2015 karena sebelumnya BPJS hanya bekerjasama dengan dokter keluarga saja. “..sosialisasi kepada bidan mandiri sudah kita lakukan, kami mengundang ketua IBI, di ruang pertemuan dinas kesehatan, khusus keikutsertaan bidan-bidan di dalam pelayanan JKN, untuk waktu pelaksanaannya itu di awal tahun 2015” (T1P19,Pemegang kebijakan) Sosialisasi tentang pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN ini digabungkan dengan rapat program lainnya, tidak ada waktu khusus antara BPM dan BPJS Kesehatan serta Dinas Kesehatan duduk bersama untuk menyosialisasikan program JKN yang berhubungan dengan pelayanan kebidanan dan neonatal. Pemegang kebijakan menyatakan bahwa dari organisasi belum pernah menyampaikan sosialisasi tentang JKN pada anggota bidan, karena sampai saat ini (bulan Mei 2015) belum pernah dilakukan rapat rutin. Rapat rutin organisasi IBI
Kabupaten Tabanan dilaksanakan setiap tiga bulan, namun hingga saat ini belum terlaksana karena kesibukan dari masing-masing anggota dan pengurus. “ Secara formal kita belum melakukan sosialisasi JKN pada bidan. Untuk sosialisasi dari BPJS yang diundang cuma ketua saja, dan kebetulan kita di organisasi belum mengadakan rapat rutin, jadi memang kami belum mengadakan sosialisasi khusus untuk kepesertaan BPJS..” ( T1P21, Pemegang kebijakan) Kurangnya sosialisasi tentang program JKN yang diberikan kepada BPM akan sangat mempengaruhi pengetahuan bidan tentang program JKN. Program JKN di tujukan untuk mencapai kesehatan untuk semua dan salah satunya juga untuk memberikan pelayanan kebidanan dan neonatal, dalam hal ini bidan membantu pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh pemegang kebijakan kepada IBI dan beberapa bidan koordinator seharusnya disampaikan kepada bidan-bidan yang lain agar BPM dapat mengetahui tentang program JKN khususnya untuk pelayanan kebidanan dan neonatal. Bidan sebagai ujung tombak merupakan tenaga kesehatan yang paling terdepan melayani masyarakat terutama untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Menurut Mayona, dkk (2012) responden memiliki persepsi buruk tentang paket Jampersal tetapi memiliki kemauan untuk menjadi provider program Jampersal. Hal ini disebabkan karena responden memiliki persepsi yang baik tentang prosedur dan tarif program Jampersal. Secara umum bidan sudah mengetahui tentang adanya program Jampersal, namun pengetahuan bidan tentang program ini masih rendah. Bidan belum mengetahui prosedur maupun paket-paket manfaat Jampersal secara rinci. Tarif Jampersal juga menurut bidan cukup rendah
karena di bawah tarif yang biasa mereka berlakukan pada umumnya. Selain itu, pandangan bidan tentang prosedur yang harus dilakukan, baik untuk perjanjian kerjasama maupun klaim juga menjadi hambatan bagi mereka untuk mau menjadi provider Jampersal. Menurut bidan, rumitnya prosedur yang harus dilakukan sering kali menjadi kendala dalam program-program yang diadakan pemerintah, termasuk program Jampersal. Untuk itu, perlu adanya usaha dari pemerintah untuk meningkatkan kerjasama dengan bidan untuk menjadi provider program Jampersal.
Negara Indonesia menuju UHC berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikutserta dalam program jaminan kesehatan sosial. JKN di laksanakan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 2004. Implementasi JKN dalam SJSN tahun 2014 adalah untuk menurunkan AKB dan AKI karena MDG’s tahun 2015 harus segera dapat dicapai sehingga identifikasi perlindungan akses melalui jaminan pembiayaan persalinan dengan kepesertaan dalam JKN menjadi penting. (BPJS Kesehatan, 2014). Hasil penelitian yang terkait dengan tujuan dari program JKN didapatkan bahwa sebagian besar partisipan sudah mengetahui tujuan dari program JKN secara umum, menurut partisipan tujuan JKN adalah untuk memberikan kepastian pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. “ Tujuannya kedepan supaya masyarakat bisa berobat kemana - mana di seluruh Indonesia,tanpa takut tidak punya biaya.” (T2P2,Bidan JKN ) “…ekonomi sekarang semakin sulit, dan biaya kesehatan juga semakin mahal, terutama untuk operasi, masyarakat sangat terbantu karena biaya menjadi gratis dengan adanya JKN…” (T2P6,Bidan JKN)
Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa program JKN ini hanya bertujuan untuk meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat karena lebih cenderung untuk memenuhi kebutuhan politik saja. “ setiap program yang dikeluarkan oleh pemerintah pasti bertujuan untuk meningkatkan citra pemerintah di depan masyarakat, seperti JKN ini kelihatannya seperti malaikat penyelamat untuk warga yang mengalami kesulitan biaya kesehatan..” (T2P11, bidan non JKN) Hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci menunjukkan bahwa tujuan dari program JKN untuk pelayanan kebidanan adalah sama dengan program sebelumnya seperti Jampersal dan JKBM. “ Untuk kebidanan, tujuan dari JKN adalah sebagai pengganti Jampersal dan Jamkesmas atau Jamkesda seperti JKBM dimana ibu hamil dapat di berikan asuhan sesuai standar kebidanan untuk menuju persalinan yang sehat dan aman” (T2P21,pemegang kebijakan) Tujuan khusus dari program JKN dalam pelayanan kebidanan dan neonatal merupakan tindakan antisipasi dari pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB. Pada program JKN pelayanan yang diharapkan sesuai dengan standar kebidanan yang telah disepakati. Dengan demikian seorang ibu hamil akan terpantau kehamilannya hingga melahirkan dan tanpa takut tidak punya atau kurangnya biaya dalam persalinannya. Ibu hamil diharapkan dapat melahirkan secara aman dan sehat di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga yang profesional.Tujuan asuransi kesehatan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dari masalah pembiayaan kesehatan, kebutuhan dasar masyarakat akan hidup sehat dan sejahtera dapat terpenuhi (BPJS Kesehatan, 2014). Dari hasil penelitian terdahulu terhadap program Jampersal bertujuan untuk meningkatkan akses ibu hamil terhadap pelayanan pemeriksaan kehamilan,
pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas dan pelayanan keluarga berencana (Kemenkes RI, 2011). Tujuan dari program JKN khususnya pada pelayanan kebidanan dan neonatal adalah untuk memudahkan ibu hamil memperoleh pelayanan secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sehingga dapat menurunkan AKI dan AKB. Hasil penelitian terkait manfaat dari program JKN menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan menyatakan program JKN sangat bermanfaat untuk membantu masyarakat mendapatkan pelayanan yang lebih baik tetapi sebagian kecil menyatakan bahwa program JKN ini dapat mengancam keberlangsungan praktek bidan mandiri. Partisipan menyatakan bahwa program JKN ini mematikan usaha praktek mandiri karena pasien lebih cenderung memilih mendapatkan pelayanan gratis di puskesmas, sehingga dapat mengurangi pemasukan bidan. “…kalau jujur memang manfaatnya kurang dirasakan oleh bidan, seperti teman bidan yang lain merasa dirugikan dengan adanya JKN, pasien lebih memilih melahirkan di puskesmas karena gratis, sehingga pasien yang datang ke tempat praktek berkurang dan rejeki bidan berkurang “ (T2P6,Bidan JKN) Sebagian kecil juga dari partisipan menyatakan bahwa program JKN ini dapat bermanfaat sebagai media promosi bagi bidan yang baru buka praktek dan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat untuk yang sudah lama buka praktek. “Kalau saya rasakan.. setelah ada JKN ini ada juga manfaatnya, kita kan dapat klaim pelayanan dengan cara non kapitasi, jadi kita tetap mendapat uang jasa dari BPJS dan bisa membantu masyarakat tidak mampu…sebagai wujud pengabdian dengan masyarakat” (T2P8,Bidan JKN)
Menurut pemegang kebijakan, program JKN ini sangat bermanfaat dalam mengatur pendokumentasian asuhan kebidanan yang telah diberikan. Dengan Program JKN, bidan yang ikut kerjasama dengan BPJS Kesehatan dituntut untuk melengkapi administrasi dan standar prosedur pelayanan kebidanan, sehingga pelayanan yang diberikan pada program JKN ini menjadi lebih optimal. “ Manfaatnya agar setiap bidan mau melaksanakan pelayanan kebidanan sesuai standar, pendokumentasian sesuai standar jadi akan lebih tertib dalam administrasi, sebab kalau tidak gitu.. tidak bisa klaim” (T2P21,Pemegang Kebijakan) Manfaat JKN untuk pelayanan kebidanan dan neonatal bila dilihat dari pandangan partisipan dianggap tidak bermanfaat dan merugikan, tetapi bila dilihat dari segi manfaat JKN yang lain seperti: prosedur administrasi, pendokumentasian asuhan kebidanan ini sangat bermanfaat. Bidan tidak hanya dituntut untuk dapat melayani pasien saja tetapi harus mampu melakukan pencatatan yang benar dan teratur untuk menunjang kinerja bidan selanjutnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Program JKN ini hampir sama manfaatnya dengan program Jampersal, hal ini sesuai dengan hasil penelitian tentang evaluasi pelaksanaan program Jampersal ditinjau dari persepsi pengguna dan penyedia layanan di Puskesmas Mengwi I menyatakan bahwa pelayanan Jampersal mendapatkan respon yang baik dari pasien maupun petugas kesehatan, dukungan tenaga kesehatan terutama bidan dalam bentuk komitmen dengan cara memberikan pelayanan yang profesional pada masing-masing pelayanan kebidanan (Adiputra dan Aryati, 2012).
Indonesia menuju UHC berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 yang menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Program JKN juga memberikan jaminan pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan pembayaran non kapitasi untuk mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmas-puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014). Menurut IBI (2013) tentang cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal sesuai dengan standar pelayanan kebidanan antara lain: pemeriksaan kehamilan (Antenatal Care atau ANC) sebanyak empat kali sesuai dengan usia kehamilan, pertolongan persalinan (Intranatal Care atau INC), perawatan masa nifas (Postnatal Care atau PNC) sebanyak tiga kali dan perawatan bayi baru lahir (neonatus) sebanyak tiga kali serta pelayanan KB. Program JKN untuk pelayanan kebidanan dan neonatal juga sudah sesuai dengan standar pelayanan kebidanan yang ditetapkan. Hasil penelitian terkait cakupan pelayanan kebidanan menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan belum mengetahui tentang cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal serta mana saja yang masuk kedalam cakupan JKN. “…mungkin hampir sama dengan Jampersal dan JKBM, ANC 4 kali, partus, PNC dengan neonatusnya 4 kali juga, dengan KB, kalau imunisasi tidak tahu apakah ditanggung atau tidak….” (T2P1,Bidan JKN) Rendahnya pengetahuan BPM tentang cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal serta apa saja yang ditanggung pada program JKN, akan mempengaruhi persepsi
bidan terhadap klaim yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan. Cakupan pelayanan yang diberikan oleh bidan sebagai pemberi pelayanan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh IBI. Menurut partisipan kunci, selain cakupan pelayanan kebidanan bidan juga diperbolehkan untuk mengambil pasien umum bila tidak ada dokter di daerahnya. “Cakupan pelayanan kebidanan yang ditanggung JKN adalah ANC, persalinan, nifas, bayi dan KB tapi bila ada pasien sakit kalau tidak ada dokter ya.. bidan boleh memberikan pengobatan ringan ” (T2P19, Pemegang Kebijakan) “Sesuai standar pelayanan kebidanan kami (bidan) melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC), pertolongan persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir dan pelayanan KB harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh organisasi, baik ikut JKN maupun tidak semua harus sesuai standar…” (T2P21,Pemegang Kebijakan) Hasil studi evaluasi Jampersal tahun 2012, menghasilkan evidence yang meyakinkan bahwa Jampersal berhasil mengajak ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Peran aktif dari bidan sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kebidanan dan neonatal, ketersediaan obat dan peralatan serta fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah semakin meningkatkan jumlah kunjungan ibu hamil ke fasilitas kesehatan. Masyarakat berpendapat dan mempunyai harapan terhadap program Jampersal agar dapat dilanjutkan hingga saat program JKN diberlakukan. Fakta tersebut menjadi alasan yang kuat program Jampersal dipertahankan keberlangsungannya dalam program JKN dengan berbagai perbaikan dalam proses pelaksanaannya (Rahmawaty, 2013). Sejalan dengan peningkatan cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal maka peserta Jampersal secara bertahap akan menjadi peserta JKN. Lingkup paket
manfaat Jampersal menjadi bagian dari paket manfaat JKN yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan medis, kecuali hal-hal yang bersifat nonmedis seperti biaya transportasi (Mukti, 2012). Desain asuransi kesehatan yang berbasis masyarakat seperti JKN, membuat kontribusi masyarakat untuk berpartisipasi menjadi lebih tinggi. Menurut Dror, dkk (2006) negara India melakukan penekanan biaya persalinan dengan cara memberikan voucher yang bisa digunakan untuk membayar transportasi saat akan bersalin. Hasil penelitian di Banglades menjelaskan bahwa meskipun biaya persalinan gratis namun dari total pengeluaran langsung hampir 50 % untuk biaya rujukan (Dong dkk, 2004). Menurut Achterbergh & Vriens (2002) pengetahuan memiliki dua fungsi utama, pertama sebagai latar belakang dalam menganalisa sesuatu hal, mempersepsikan dan menginterpretasikannya, yang kemudian dilanjutkan dengan keputusan tindakan yang dianggap perlu. Kedua, peran pengetahuan dalam mengambil tindakan yang perlu adalah menjadi latar belakang dalam mengartikulasikan beberapa pilihan tindakan yang mungkin dapat dilakukan, memilih
salah
satu
dari
beberapa
kemungkinan
tersebut
dan
mengimplementasikan pilihan tersebut. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan adalah: pendidikan, pekerjaan, umur, keinginan, pengalaman lingkungan dan sumber informasi (Notoatmojo,2010). Pengetahuan masyarakat tentang JKN yang sangat minim terutama di daerah-daerah perlu diselesaikan secara bertahap. Dalam mengatasi masalah ini, kebijakan kesehatan
pemerintah harus hati-hati, cermat dan teliti sehingga investasi yang dilakukan selama ini tidak sia-sia (Kebijakan Kesehatan Indonesia,2013). Komunikasi juga sangat berperan dalam menyosialisasikan program JKN, karena komunikasi merupakan suatu proses kegiatan yang dapat berlangsung secara dinamis. Sesuatu yang didefinisikan sebagai proses, berarti unsur – unsur yang ada di dalamnya bergerak aktif, dinamis, dan tidak statis. Kegiatan sosialisasi merupakan kegiatan komunikasi, ini ditandai dengan adanya proses penyebaran pengetahuan dari seorang komunikator kepada komunikan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan. Sosialisasi suatu program, merupakan pengetahuan yang disampaikan dalam suatu kegiatan sosialisasi yang berkaitan dengan konteks permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Sosialisasi akan memegang peranan penting di dalam menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan inovasi atau pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan inovasi, baik pengetahuan teknis maupun pengetahuan prinsip (Cangara, 2009).
b. Motivasi Bidan Praktek Mandiri Terhadap Program Jaminan Kesehatan Nasional Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar partisipan mengungkapkan bahwa dorongan BPM ikut program JKN adalah untuk melanjutkan dan menyukseskan program pemerintah sebelumnya seperti Jampersal, JKBM dan Jamkesmas. “…awalnya ikut kerjasama alasan finansial, yaitu banyak pasien yang ngebon, itu jadi kendala…karena merupakan lanjut dari program sebelumnya, jadi saya ingin mensukseskan program pemerintah ” (T5P1, Bidan JKN)
Menurut partisipan kunci mengatakan bahwa sejak ada program JKN dari bidan sendiri secara tidak langsung banyak yang mengajukan Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) karena salah satu syarat untuk dapat bekerjasama dengan JKN adalah mempunyai SIPB. “…tanpa mendorong pun bidan-bidan sudah berlomba-lomba untuk ikut. Mereka akan berebut, sehingga sesuai persyaratan seperti kelengkapan ijin praktek, untuk mereka yang lalai, saya lihat sudah ada peningkatan dalam pengurusan surat ijin praktek, agar dapat bergabung dengan JKN…” (T8P19,Pemegang Kebijakan) Bidan Praktek Mandiri ( BPM ) adalah suatu institusi pelayanan kesehatan secara mandiri yang memberikan asuhan pelayanan dalam lingkup kebidanan. Praktek bidan mandiri merupakan serangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang diberikan kepada pasien baik individu, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kewenangan dan kompetensi yang dimilikinya. Bidan yang menjalankan praktek mandiri harus memiliki SIPB untuk menjalankan prakteknya pada sarana kesehatan yang dimilikinya. Praktek pelayanan bidan mandiri merupakan penyedia layanan kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Masyarakat sebagai pengguna jasa layanan bidan dapat memperoleh akses pelayanan yang bermutu, perlu adanya regulasi pelayanan praktek bidan secara jelas persiapan sebelum bidan melaksanakan pelayanan praktek seperti perizinan, tempat, ruangan, peralatan praktek, dan kelengkapan administrasi semuanya harus sesuai dengan standar seperti yang diatur dalam PERMENKES RI Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 (Kemenkes, 2010).
Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa mengikuti program JKN merupakan dorongan dari hati nurani sebagai seorang bidan ingin membantu masyarakat yang tidak mampu. “….hati nurani sebagai seorang bidan, untuk membantu masyarakat, saya ingin membantu masyarakat..seandainya saya tidak ikut JKN, saya tidak dapat membantu masyarakat… yang paling tidak biayanya setengah sudah di bayar pemerintah ” (T5P6,Bidan JKN) Sesuai dengan surat Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan dokter keluarga disebutkan bahwa: bidan yang ikut bekerjasama dengan BPJS melalui dokter keluarga tidak dibolehkan untuk menarik iuran tambahan kepada pasien dengan alasan apapun. Namun untuk Kabupaten Tabanan bila dilihat dari jumlah klaim yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan dirasakan sangat kurang oleh bidan, sehingga dari beberapa partisipan menarik iuran tambahan kepada pasien dengan alasan penggunaan bahan habis pakai serta fasilitas sarana dan prasarana yang disediakan. “ pasien melahirkan agar tetap merasakan JKN saya sarankan untuk naik kelas saja…jadi bayarnya setengah dari BPJS dan setengahnya lagi dari pasien” (T5P6,Bidan JKN) Adapula BPM yang menyatakan mengikuti program JKN sebagai media promosi kepada masyarakat agar dapat mempertahankan kunjungan pasiennya, sehingga pendapatan bidan tidak berkurang. “…dengan JKN saya dapat mempromosikan layanan lain yang bisa diberikan seperti SPA bayi, pemeriksaan IVA dan kelas ibu hamil. Kalau tidak boleh narik lebih,saya menarik biaya dari layanan tambahan tersebut.. jadi pasien tidak merasa keberatan ” (T5P5,Bidan JKN) Hasil wawancara mendalam pada partisipan kunci menyatakan bahwa pemerintah selalu mendorong BPM untuk ikut menyukseskan program
pemerintah dan sebagai media promosi untuk mengajak pasien terutama ibu dan anak untuk berkunjung ke BPM. “…..motivasi bidan ikut JKN adalah agar dapat berlomba memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, karena masyarakat bebas memilih mana yang baik…dan selanjutnya semakin banyak pasien semakin banyak insentif yang didapat oleh bidan..” (T5P19,Pemegang Kebijakan) Pemegang kebijakan juga menyatakan bahwa tidak bisa memaksakan bidan untuk ikut program JKN. Hal ini disebabkan karena jumlah klaim yang ditetapkan tidak sesuai dengan kondisi geografi dan perekonomian masyarakat Kabupaten Tabanan. “ kami belum bisa memotivasi seluruh bidan praktek untuk ikut program JKN, kalau pendapat saya pribadi sih… jasa pelayanannya tidak sesuai dengan kondisi di Bali. Tapi kami dari BPJS hanya bisa menyampaikan sesuai dengan undang- undang no 59..ya hanya itu saja..” (T5P20,Pemegang Kebijakan) “…untuk sementara belum ada motivasi atau dukungan dari organisasi, kami dari organisasi mendukung saja program nasional sebatas kita samasama diuntungkan dan tujuan utama kita adalah menurunkan angka kematian ibu dan anak.” (T5P21,Pemegang Kebijakan) Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmennya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi instrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Menurut teori Mc Clelland tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi (need for achievement) dalam Sudrajat (2008) menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi.
Karakteristik orang yang berprestasi tinggi memiliki tiga ciri umum yaitu: sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat, menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, dan menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka. Motivasi merupakan satu penggerak / pendorong dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan dalam mencapai tujuan hidup. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan. Motivasi yang bersifat intrinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seseorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobinya, termasuk diantaranya: persepsi seseorang terhadap diri sendiri, harga diri, harapan pribadi, kebutuhan, keinginan, kepuasan kerja, dan prestasi kerja yang dihasilkan. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen-elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi, antara lain: jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang bergabung, organisasi tempat bekerja, situasi lingkungan pada umumnya, sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya (Leidecker dkk, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Rahmah (2013), diketahui bahwa motivasi BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal. Hasil penelitian terkait motivasi keterlibatan BPM pada program Jampersal di Kota Banjarmasin menunjukkan bahwa pelaksanaan program Jampersal di Kota Banjarmasin belum berjalan optimal. Pertolongan persalinan oleh non nakes (dukun) meningkat dari 56 pada tahun 2010 menjadi 122 pada tahun 2011. Sosialisasi program Jampersal telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin kepada seluruh bidan. Kepala Dinas Kesehatan telah mengeluarkan instruksi kepada seluruh BPS untuk menjalin kerjasama Jampersal, namun demikian dari 346 BPS yang ada hanya 45 BPS (13%) yang bersedia melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal. Rendahnya motivasi BPS untuk melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Noorhidayah,2012). Hasil penelitian Brahmasari dan Suprayetno (2012) tentang pengaruh motivasi kerja, kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan serta dampaknya pada kinerja perusahaan, membuktikan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, artinya bahwa motivasi kerja memang sangat diperlukan oleh seorang karyawan untuk dapat mencapai suatu kepuasan kerja yang tinggi meskipun
menurut sifatnya kepuasan kerja itu sendiri besarannya sangat relatif atau berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. c. Harapan Bidan Praktek Mandiri Terhadap Program Jaminan Kesehatan Nasional Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
partisipan
mempunyai harapan yang besar terhadap program JKN. Partisipan menyatakan agar mekanisme kerjasama BPM dengan program JKN dapat berkoordinasi langsung dengan BPJS Kesehatan tanpa melalui dokter keluarga dan adanya peningkatan tarif pelayanan yang telah ditetapkan. “ Yang pertama pasti perhatikan tarif persalinannya, dimana melihat resiko pekerjaan yang menolong 2 nyawa ibu dan bayi, Kedua, usahakan bidan praktek mandiri dan apalagi yang sudah memiliki sertifikat PONED, bisa PKS langsung dengan JKN/BPJS.” (T6P3,Bidan JKN) Pemegang kebijakan juga menyatakan harapan kedepannya BPM dapat bekerjasama dengan BPJS tanpa menjadi jejaring dokter keluarga lagi. “…kalau bisa kami bekerja sama dengan JKN tidak di bawah dokter keluarga, karena kami (bidan) juga sebuah profesi yang diakui secara sah …akan lebih gampang prosedurnya, langsung bisa diklaim, langsung masuk rekening kami tidak bertele-tele. ….” (T6P21,Pemegang Kebijakan) Bidan juga mengharapkan agar pemerintah harus lebih siap dalam mempersiapkan sarana dan prasarana serta fasilitas yang dapat menunjang kegiatan program tersebut, bidan juga mengharapkan agar yang ditanggung oleh JKN bukan semua penyakit tetapi penyakit-penyakit tertentu saja. “ Harapan saya agar rumah sakit atau ruangan-ruangan disiapkan lebih banyak, tenaga yang lebih banyak, agar petugasnya tidak kewalahan dengan pasien yang membludak. Terus yang kedua.., agar tidak semua masalah kesehatan di tanggung JKN, seperti batuk pilek, agar masyarakat bisa mandiri “ (T6P11,Bidan non JKN)
Hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci menyatakan bahwa harapan JKN kedepannya akan memberikan pelayanan secara merata keseluruh lapisan masyarakat sehingga bidan dapat memberikan pertolongan dengan segera. “diharapkan semakin banyak bidan yang mau bekerja sama dengan BPJS karena saya yakin sampai saat ini baru sedikit….harapan ke depan semakin merata, diharapkan masing-masing desa di wilayah kerja puskesmas ada bidannya yang sudah bekerja sama sehingga tidak perlu jauh meminta pertolongan..” (T6P19,Pemegang Kebijakan)
Bidan Praktek Mandiri sangat mengharapkan adanya peningkatkan jumlah klaim terhadap jasa pelayanan yang telah ditetapkan. Menurut partisipan kehamilan bukanlah suatu penyakit tetapi suatu anugrah dari Tuhan yang patut disyukuri. “ Persalinan juga sebaiknya jangan ditanggung agar bidannya dapat uang juga, karena persalinan itukan bukan musibah tapi anugrah tuhan… juga persalinan dibayar segitu menurut saya itu sangat tidak sesuai ” (T6P6,Bidan JKN) Harapan merupakan usaha seseorang untuk memaksimalkan sesuatu yang menguntungkan dan meminimalkan sesuatu yang merugikan bagi pencapaian tujuan akhirnya. Menurut V.Room dalam Freddy (2012) harapan adalah tingkat kepentingan pelanggan, yaitu keyakinan pelanggan setelah mencoba atau menggunakan suatu produk atau jasa yang akan dijadikan standar acuan untuk menilai produk atau jasa tersebut. Harapan dari tenaga kesehatan adalah kunci pokok bagi setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan seperti kesehatan ibu dan anak yang melibatkan bidan sebagai pelanggan internal dan pasien atau klien sebagai pelanggan eksternal.
Menurut teori Maslow, pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok, yang ditunjukkan dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat, paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting. Pengetahuan, motivasi dan harapan bidan untuk mengikuti suatu program termasuk kedalam kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri. Bidan akan mempunyai motivasi dan
harapan yang besar
terhadap suatu program seperti JKN apabila mendapatkan suatu penghargaan yang layak bagi dirinya. Besarnya harapan BPM untuk ikutserta berperan dalam program JKN diharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan JKN, pemerintah menyiapkan sarana dan prasarana yang lengkap serta peningkatan jumlah klaim yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian di Kabupaten Tabanan akan menambah ketertarikan BPM mengikuti program JKN. Bidan sebagai ujung tombak pelayanan kebidanan dan neonatal di masyarakat dapat membantu pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB. Harapan yang jelas terhadap program JKN dapat lebih meningkatkan kualitas kinerja dari BPM. Hasil penelitian Dewi (2013) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan tengah menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang searah dan signifikan antara faktor harapan dengan pekerjaan bidan. Jika harapannya terpenuhi maka akan
menghasilkan kepuasan. Harapan bidan dalam bekerja berhubungan kinerja provider dalam pelayanan antenatal berlaku pada lokasi tertentu dan situasi tertentu saja sesuai dengan kondisi daerah, jika ingin meningkatkan kinerja maka faktor harapan dalam bekerja yaitu memiliki uraian tugas yang jelas, prosedur kerja yang tetap serta standar pelayanan antenatal harus tersedia agar dalam menjalankan pekerjaan bidan tidak ragu-ragu dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan terhadap pelaksanaan pelayanan sesuai dengan tanggung jawab yang akan memberikan dukungan bagi bidan untuk berinisiatif dan berinovasi dalam memberikan pelayanan sehingga dapat meningkatkan kinerja. 4.3.2 Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Hasil penelitian terkait dengan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN diantaranya berupa dukungan dan kebijakan dari Dinas Kesehatan dan organisasi IBI, dapat dilihat pada uraian di bawah ini: a. Dukungan Pemerintah Dan Organisasi Terhadap Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
partisipan
menyatakan belum mendapat dukungan langsung dari pemerintah (dinas kesehatan Kabupaten Tabanan).
“…tidak ada dukungan atau kebijakan tentang keikutsertaan bidan dengan JKN. Himbauan juga tidak ada, bagaimana bidannya aja.. mau ikut atau tidak, juga tidak ada sangsi atau penghargaan yang diberikan..” (T8P2,Bidan JKN) “….tidak pernah ada dukungan atau kebijakan dari dinkes….karena semua kan diatur oleh pemerintah pusat bukan pemerintah daerah” (T8P11,Bidan Non JKN) Sebagian kecil menyatakan mendapatkan dukungan dari pemerintah melalui kepala puskesmas. “..dukungan berupa himbauan sudah disampaikan lewat kepala puskesmas, karena kepala puskesmas juga perpanjangan tangan dinas kesehatan, kalau bidan bisa ikut JKN melalui dokter keluarga dan kebijakan tentang JKN tentunya sudah mengacu pada undang-undang yang berlaku.” (T8P9,Bidan JKN) Hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci menyatakan bahwa sudah ada dukungan untuk BPM yang ikutserta dalam program JKN. Pemerintah mengharapkan semakin banyak bidan yang ikut program JKN. “…Saya sangat mendukung program JKN ini, karena di tahun mendatang diharapkan semua masyarakat sudah ikut JKN dan bidan sebagai petugas kesehatan di harapkan untuk ikut berpartisipasi dalam program JKN..” (T8P19,Pemegang Kebijakan) Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
partisipan
menyatakan belum ada dukungan dari IBI, hanya berupa himbauan serta pembinaan bagaimana cara ikut berpartisipasi pada program JKN. “Sementara belum ada dukungan dari organisasi, himbauan saja dulu hanya sebatas himbauan tidak ditekankan...untuk melakukan kerjasama dengan JKN….diharapkan juga ke depannya ada kebijakan dari IBI untuk menyejahterakan kami (bidan)“ (T8P10,Bidan non JKN) Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan menunjukkan bahwa memang belum ada suatu keharusan BPM ikutserta dalam program JKN,
menurut pemegang kebijakan program keterlibatan bidan dalam program JKN baru di mulai awal tahun ini, jadi cukup hanya dilakukan sosialisasi dulu. Untuk kesediaan menjadi jejaring dalam program ini, organisasi hanya bisa memberikan himbauan saja serta dukungan yang bersifat moril. “Sementara ini karena baru tahap sosialisasi dari Kemenkes, belum mengharuskan bidan praktek mandiri untuk ikut JKN, kontribusi ke bidan hanya dalam bentuk pembinaan saja, jadi seiring berjalannya waktu nanti kami (IBI) pikirkan, hanya dukungan moril aja dulu…” (T8P2,Pemegang Kebijakan) Hasil penelitian menunjukkan bahwa dokter keluarga mendukung keikutsertaan BPM pada program JKN. Partisipan menyatakan bahwa semua dokter keluarga melakukan pendekatan secara langsung dengan BPM. Dokter keluarga mencari dan memilih bidannya sendiri, karena dengan memilih partner sendiri akan merasa lebih nyaman dan lebih mudah berkomunikasi. “ kami (dokter keluarga) lebih senang mencari jejaring yang dekat dan kenal jadi dengan memilih partner kerja akan memudahkan untuk bisa berkomunikasi” (T4P23,Dokkel) Sebagian kecil juga partisipan menyatakan ingin mendukung dokter keluarga karena merasa kasihan dengan dokter keluarga yang baru buka praktek. Sebagian partisipan juga sudah mendapatkan tawaran untuk kerjasama dengan dokter keluarga tapi belum ditindak lanjuti. “karena dia dokter baru… belum punya pasien makanya beliau ingin ikut JKN untuk promosilah, dia minta tolong supaya bisa dia bisa kerja sama dengan BPJS harus punya bidan jejaring. Saya merasa kasihan makanya saya ikut JKN” (T4P2,Bidan JKN) “Pernah ditawarkan sekitar 2 bulan yang lalu kebetulan bertemu, tapi tidak lagi ditindak lanjuti, ….dan kita juga belum bekerja sama dengan dokternya.” (T4P11,Bidan Non JKN)
Rendahnya dukungan dari pemegang kebijakan terhadap keikutsertaan BPM pada program JKN mengakibatkan kurangnya kemauan dari BPM mengikuti program JKN. Dukungan dari lingkungan dan orang sekitar akan meningkatkan kepercayaan diri bidan terhadap suatu program. Menurut Taylor, dkk (2000) dalam Sarafino (2002), menyatakan bahwa dukungan sosial adalah pertukaran interpersonal dimana seorang individu memberikan bantuan pada individu lain. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima oleh individu dari orang lain ataupun dari kelompok. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial yang berasal dari orang lain seperti: teman, keluarga, pimpinan, rekan kerja atau orang lain. Ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu: dukungan emosional terdiri dari ekspresi seperti : perhatian, empati, dan turut prihatin kepada seseorang, dukungan penghargaan yaitu ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada orang yang sedang stress dengan cara memberikan dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu, dukungan instrumental yaitu dukungan berupa bantuan secara langsung dan nyata, dukungan informasi berupa informasi atau berita dari orang-orang sekitarnya dengan cara memberikan nasehat, arahan dan saran untuk beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan, dan dukungan kelompok merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-anggotanya. Keikutsertaan BPM pada program JKN tidak terlepas dari peran dokter keluarga untuk mengajak bidan untuk bekerjasama. Sebagian kecil bidan juga
menyatakan keinginannya untuk ikut dalam program JKN tetapi belum ada dokter yang mengajak untuk bekerjasama. “… belum ada dokter keluarga yang ikut program JKN disini, jadi ..sama siapa saya bisa jadi jejaring klo persyaratan kerjasama dengan JKN harus dibawah dokter.. ” (T4P17, Bidan non JKN) Peran BPM dalam keikutsertaan pada program JKN juga dipengaruhi oleh keinginan dari BPM secara individual berdasarkan kesadaran pribadi tapi sayangnya dokter keluarga yang ikut program JKN belum tersebar secara merata pada seluruh daerah di Kabupaten Tabanan. Pemerintah Kabupaten Tabanan dan BPJS Kesehatan di harapkan lebih memeratakan dokter keluarga yang ikut JKN diseluruh wilayah Kabupaten Tabanan sehingga bidan juga dapat berpartisipasi pada program JKN. b. Kebijakan Pemerintah Dan Organisasi Terhadap Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional
Implementasi JKN masih menimbulkan pertanyaan bagi para bidan, karena BPM tidak dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan dan harus bergabung menjadi jejaring dulu pada fasilitas kesehatan tingkat I (Puskesmas) atau dokter praktek perseorangan. Sosialisasi tentang JKN pada BPM tentang bagaimana mekanisme kerjasama, prosedur, sistem pembayaran klaim dan cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung JKN masih kurang, sehingga IBI mengharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan seperti saat program Jampersal dan Jamkesda diberlakukan. Apabila BPM tidak dilibatkan dalam JKN, maka dapat menghambat upaya pemerintah menekan AKI dan upaya menggalakkan program KB (IBI, 2014).
Prosedur kerjasama antara BPM dengan BPJS Kesehatan haruslah melalui dokter keluarga. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian partisipan mengetahui mekanisme kerjasama melalui dokter keluarga secara langsung di fasilitasi oleh dokter keluarga dari pengurusan administrasi hingga pengklaiman di BPJS Kesehatan. “...kita kerjasama dengan BPJS melalui dokkel, laporannya juga di gabung oleh dokkelnya… untuk klaimnya masuk ke rekening dokkel baru kemudian diberikan kita” (T2P4,Bidan JKN) Partisipan berpendapat bahwa semua tergantung pada dokter keluarga, dan sebagian partisipan menyatakan bidan hanya melaksanakan saja. “…kalau sekarang kan hanya dokter yang bisa kerjasama dengan BPJS, sedangkan bidannya hanya melaksanan saja “ (T2P3,Bidan JKN) Menurut partisipan kunci, BPM bekerjasama dengan BPJS Kesehatan melalui dokter keluarga bukan melalui dinas kesehatan, kalau bidan bekerja di klinik berarti sudah masuk program JKN. Bila BPM ingin ikut JKN dapat datang langsung ke kantor BPJS Kesehatan. “ Bidan praktek kalau mau bekerjasama dengan JKN…harus jadi jejaring dulu dengan Dokter keluarga, bila tidak ada dokter yang mengajak untuk jadi jejaring datang saja langsung ke BPJS, Jadi kerjasamanya dengan BPJS bukan dengan dinas kesehatan” (T2P19,Pemegang Kebijakan) “Dari BPJS…kami bekerja sama dengan dokter keluarga bukan dengan bidan. Kalau klinik berbeda lagi, karena dalam klinik sudah ada dokter, bidan, perawat dan juga petugas administrasi. Jadi untuk dokter perorangan, dia wajib bekerja sama dengan bidan.” (T2P20,Pemegang Kebijakan) Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan menyatakan bahwa secara nasional menginginkan agar bidan dapat mandiri bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan tanpa melalui dokter keluarga.
“…Organisasi IBI pada saat rapat sampai kongres selalu mengajukan agar kami dapat mandiri tanpa harus menjadi jejaring dokter keluarga. Dalam hal kolaborasi yang paling dekat adalah dokter,…kami bidan dapat mengkonsulkan atau merujuk ke dokter, mungkin itu yang menjadikan BPJS menerapkan sistem jejaring ” (T2P21,Pemegang Kebijakan) Menurut Notoatmodjo (2005), kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasiorganisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan harapan masing-masing anggota tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan saling berbagi (sharing) baik dalam risiko maupun keuntungan yang diperoleh. Terdapat tiga kata kunci dalam kemitraan, yaitu: (1) Kerja sama antara kelompok, organisasi dan individu, (2) Bersama-sama mencapai tujuan tertentu yang disepakati bersama, (3) Saling menanggung risiko dan keuntungan. Menurut Ealau dan Pewitt (1973) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Titmuss (1974) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu. Menurut Yandrizal,dkk (2013) terkait analisis kebijakan jaminan kesehatan kota Bengkulu dalam upaya efisiensi dan efektifitas pelayanan di
puskesmas menyatakan bahwa kebijakan Jamkeskot Bengkulu dilaksanakan belum
menerapkan
prinsip
asuransi,
dimana
penyelenggara
berfungsi
mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan yang diberikan baik di pelayanan dasar/primer maupun di pelayanan rujukan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar partisipan menyatakan tidak setuju dengan sistem jejaring antara dokter keluarga dengan BPM. Menurut partisipan, bidan adalah profesi mandiri sehingga tidak perlu berada dibawah profesi lain. “Kalau dari hati nurani saya sendiri memang tidak setuju, lebih baik bidan praktek mandiri harus bisa mandiri PKS dengan BPJS tapi karena situasi sekarang memaksa saya ikut dengan peraturan yang sekarang.” (T3P3,Bidan JKN) Sebagian kecil partisipan menyatakan setuju untuk menjadi jejaring dokter keluarga karena menggangap pekerjaan bidan sangat beresiko sehingga perlu dokter pendamping. “…sistem jejaring, ya setuju saja…kita ini pekerjaan beresiko ya.. dengan dokter bisa konsultasi bukan tentang kebidanan saja tapi penyakit yang lain..” (T3P12,Bidan Non JKN) Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan menunjukkan bahwa dari segi kerjasama memang sebaiknya bidan berada dibawah pengawasan dokter seperti dahulu, hal ini sebagai bentuk kerjasama (kolaborasi) antara dokter dengan bidan. BPM saat ini tidak hanya melayani pasien kebidanan saja tetapi termasuk pasien umum. Sehingga bila terjadi suatu masalah terhadap pelayanan terhadap masyarakat, maka bidan dapat mengkonsultasikannya dengan dokter. “ Dulu juga pernah diberlakukan untuk setiap bidan praktek harus punya dokter pengawas, berjalan dengan baik tidak ada masalah” (T3P19,Pemegang Kebijakan)
“Sistem jejaring merupakan implementasi nyata bentuk kolaborasi antara dokter swasta dengan bidan mandiri, karena pada JKN tidak hanya bersifat pertolongan bersalin dan kebidanan saja,tapi lebih mengarahkan kesehatan untuk semua..” (T3P20,Pemegang Kebijakan) Menurut partisipan kunci,
BPM sebaiknya dapat bekerja langsung dengan
program JKN. Dilihat dari kewenangan bidan, BPM berwenang dalam memberikan pelayanan secara mandiri dan kolaborasi dengan profesi lain dalam memberikan pelayanan kebidanan. Tetapi karena mekanisme kerjasama dengan JKN harus melalui dokter keluarga, akhirnya bidanpun di hadapkan pada proses administrasi yang sempurna sesuai dengan pendokumentasian asuhan kebidanan yang harus diterapkan. “ kami selalu memperjuangkan agar bidan dapat bekerja secara mandiri bukan dibawah profesi lain. Terutama dalam pelayanan pasien JKN kami dihadapkan pada sistem administrasi yang sempurna sesuai dengan pendokumentasian asuhan kebidanan,…” (T3P21,Pemegang Kebijakan) Pada mekanisme pengajuan klaim pelayanan kebidanan dan neonatal ke BPJS Kesehatan, praktek bidan di wajibkan untuk melengkapi data-data pelayanan dengan berbagai administrasi yang telah disepakati pada surat PKS. Administrasi tersebut antara lain: surat keterangan dari dokter keluarga, surat pernyataan menerima layanan, dokumentasi asuhan kebidanan berupa buku KIA yang mencatat sejak kehamilan, partograf serta surat pernyataan ikut program KB setelah melahirkan. Dokumentasi asuhan kebidanan ini seringkali diabaikan oleh bidan, karena bidan lebih fokus memberikan pelayanan saja ke pasien dan bayinya. Sehingga dengan bekerjasama dengan BPJS Kesehatan bidan-bidan akan
lebih giat dalam memberikan pelayanan serta mencatat semua kegiatan yang telah diberikannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dokter keluarga kurang setuju dengan sistem jejaring yang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan. Dokter keluarga berpendapat mereka pasti bisa melakukan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan nifas dan bayi baru lahir serta pelayanan KB. Dokter keluarga menyatakan bahwa pasien-pasien peserta JKN sudah cukup pintar dan kritis sehingga disaat bersalin, pasien lebih memilih ke dokter spesialis kandungan (SpOG) atau Rumah sakit di bandingkan ke bidan. “ walaupun kami dokter umum, sebenarnya bisa saja mengambil pelayanan kebidanan dan untuk melahirkannya kita serahkan ke pasiennya mau ke dokter SPOG, rumah sakit atau ke bidan. Pasien BPJS biasanya memilih SPOG atau rumah sakit daripada kebidan, itu ya terserah pasiennya…” (T2P22,Dokkel) Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa ada dokter keluarga yang sudah mempunyai jejaring bidan tetapi masih melayani pelayanan kebidanan seperti: pasien hamil dan KB hanya persalinannya saja yang dikirim ke BPM. “ Kalau dokter saya itu.. hanya mengirim pasien partus saja ke sini (praktek Bidan) untuk periksa hamil dan KB beliau ambil sendiri, katanya tidak perlu dikirim ke bidan karena beliau bisa koq.. memeriksa hamil dan pasang KB. Terus terang saya merasa hanya di perlukan saat partusnya saja apalagi resikonya besar..” (T2P5,Bidan JKN) Sistem jejaring yang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan kolaborasi diantara tenaga kesehatan seperti dokter, bidan, perawat dan dokter gigi untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan paripurna kepada masyarakat. Kenyataannya semua profesi tersebut sudah mempunyai asosiasi organisasi profesi sehingga masing-masing organisasi profesi tersebut
merasa mandiri tidak berada di bawah profesi lainnya. Sifat egoisme dari masingmasing profesi karena semua ingin menunjukkan kewenangan dari profesi masing -masing. Menurut Sigmund Freud dalam Kurniawan (2011), ego bekerja berdasarkan prinsip realitas yang berusaha untuk memuaskan keinginan dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Tenaga kesehatan merupakan tenaga profesional yang memiliki tingkat keahlian dan pelayanan yang luas dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang berfokus pada kesehatan pasien. Tenaga kesehatan memiliki tuntutan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu di era global seperti saat ini. Pelayanan bermutu dapat diperoleh melalui praktik kolaborasi antar tenaga kesehatan. Pelayanan kesehatan sering sekali ditemukan kejadian tumpang tindih pada tindakan pelayanan antar profesi yang diakibatkan karena kurangnya komunikasi antar tenaga kesehatan dalam kerjasama tim (Sedyowinarso dkk., 2011). Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, kemampuan kolaborasi antar tenaga kesehatan perlu ditingkatkan. Professional kesehatan, yang berfokus pada belajar dengan, dari, dan tentang sesama tenaga kesehatan untuk meningkatkan kerja sama dan meningkatkan kualitas pelayanan pada pasien. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hatta, dkk (2013) tentang peran dokter dalam pelayanan maternal di puskesmas Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa berdasarkan analisis univariat ditemukan peran dokter dalam pelayanan maternal di puskesmas ada 61,1% responden yang tidak setuju bila ibu hamil tanpa komplikasi untuk partus di bidan, dan 77,8% responden tidak setuju bila bidan melakukan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kelainan pada infant.
Terdapat 66,7% dokter tidak setuju bila ibu hamil bebas memilih tempat melahirkan di rumah atau fasilitas kesehatan dan 94,4% responden setuju pada kebijakan pemerintah yang mengharuskan ibu hamil partus di fasilitas kesehatan. Didapati pula ada 83,3% responden mengatakan bahwa beban kerjanya ringan dan 50% berpendapat tidak ada potensi sengketa antara profesi bila berperan dalam pelayanan maternal. Hasil penelitian terkait dengan prosedur pengklaiman jasa pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN, sebagian besar partisipan menyatakan tidak mengerti cara pengklaiman ke BPJS Kesehatan. “Saya kurang tahu berapa-berapa, tapi saya dengar informasi dari temanteman sepertinya agak murah untuk harga diri seorang bidan yang menolong 2 nyawa ” (T2P12, bidan Non JKN) “Saya dengar waktu rapat, periksa hamil dibayarkan harus lengkap dari K1 sampai K4 kalau tidak, hangus klaim sebelumnya. Persalinan 600.000, KB 15.000, IUD dan implant 100.000… dan itu diajukan ke dokternya bukan ke dinkes” (T2P13,Bidan Non JKN) Sebagian besar partisipan menyatakan untuk laporan pelayanan kebidanan diserahkan ke dokter keluarga untuk selanjutnya dokter yang mengurus ke BPJS Kesehatan dan klaim dari BPJS Kesehatan dan masuk ke rekening tabungan dokter setelah itu dokter menyerahkan ke bidan sesuai dengan laporan yang dibuat. “Sistem pembayarannya, menurut dokternya saya hanya diberikan berkas untuk dilengkapi oleh pasiennya, lalu disetor ke dokter, kemudian dokter sendiri yang mengamprah ke JKN.” (T2P2,Bidan JKN) Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci didapatkan bahwa: prosedur pengklaiman jasa pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN termasuk pada sistem non kapitasi. Pembayaran dilakukan
berdasarkan jumlah pelayanan yang telah diberikan berdasarkan Permenkes No 59 tahun 2014 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program JKN. “ Untuk tarif pengklaimannya kami tetap mengacu pada peraturan terakhir yaitu Permenkes 59. Sedangkan untuk syarat-syarat pengajuan klaimnya memang ada pemotongan mungkin untuk administrasi antara dokter dengan bidan, …” (T2P20,Pemegang Kebijakan) Berdasarkan Permenkes RI Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan pasal 11 ayat 1 (a) menyatakan bahwa: jasa pelayanan kebidanan, neonatal dan KB yang dilakukan oleh bidan atau dokter bersifat non kapitasi yaitu besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Nomor 143 Tahun 2014 tentang Implementasi Permenkes Nomor 59 tahun 2014 menjelaskan bahwa: Pemeriksaan ANC dan PNC/neonatus dapat diberikan dan ditagihkan oleh FKTP, Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk. Pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10 % dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014), Tarif pemeriksaan ANC merupakan tarif paket untuk pelayanan ANC paling sedikit 4 (empat) kali pemeriksaan dalam masa kehamilannya yaitu 1 (satu) kali pada trimester pertama, 1 (satu) kali pada trimester kedua, dan 2 (dua) kali pada trimester ketiga kehamilan dan tidak dapat dipecah menjadi 4 (empat) misalnya per kali pemeriksaan masing-masing Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah).
Apabila pemeriksaan ANC dilakukan kurang dari jumlah minimal (<4 kali) pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan maka biaya pemeriksaan ANC tidak dapat ditagihkan, Penagihan biaya pemeriksaan ANC dapat ditagihkan apabila telah dilakukan minimal 4 kali pemeriksaan ANC sesuai waktu yang ditetapkan (dapat bersamaan dengan klaim persalinan yang diajukan atau terpisah jika persalinan dilakukan di faskes lain) disertai dengan bukti pelayanan kepada peserta, untuk menjaga kontinuitas pelayanan pemeriksaan ANC maka perlu adanya informed consent bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan ANC dan PNC di satu tempat yang sama (baik oleh FKTP maupun jejaring bidan sesuai dengan prosedur). Pemeriksaan ANC dan PNC pada tempat yang sama dimaksudkan untuk: keteraturan pencatatan partograf, monitoring terhadap perkembangan kehamilan, memudahkan dalam administrasi pengajuan klaim ke BPJS Kesehatan, yang dimaksud dengan per kali kunjungan pemeriksaan PNC adalah paket kunjungan ibu nifas dan neonatus (kedatangan keduanya dihitung untuk 1 kali kunjungan). Pemeriksaan ANC dan PNC di Fasilitas Kesehatan Rawat Tingkat Lanjut (FKRTL) dilakukan berdasarkan indikasi medis, Kartu ibu dan buku kesehatan ibu dan anak (Buku KIA) disediakan oleh faskes sebagai pencatatan dan pemantauan status kesehatan peserta kebidanan, FKTP yang dapat menagihkan tarif pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar sebesar Rp 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan pelayanan tindakan pasca persalinan sebesar Rp 175.000 (seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) hanyalah Puskesmas yang ditetapkan sebagai Puskesmas PONED (Pelayanan Obstretrik
Neonatal Emergensi Dasar), apabila pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar ditagihkan oleh FKTP lain selain Puskesmas PONED, maka disetarakan sesuai tarif persalinan pervaginam normal sebesar Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah). Pelayanan KB dapat diberikan dan ditagihkan oleh FKTP, Kantor cabang agar berkoordinasi dengan BKKBN di masing-masing daerah terkait ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (alkon), Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk, pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10% dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014), Khusus pelayanan KB MOP/vasektomi dapat diberikan pada FKTP yang ditunjuk berdasarkan
rekomendasi
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
dengan
mempertimbangkan kompetensi dan kelengkapan sarana dan prasarana faskes. Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan terkait prosedur klaim jasa pelayanan kebidanan dan neonatal, menurut partisipan kunci menyatakan bahwa bila dilihat dari jumlah klaim yang ditetapkan Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 tidak sesuai dengan kondisi di Kabupaten Tabanan, BPM diperbolehkan menarik biaya tambahan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh IBI Tabanan sebelum adanya JKN, asalkan ada perjanjian antara bidan dengan pasiennya. “..Jadi kebijakan untuk menarik biaya tambahan untuk bidan JKN dan JKBM, kami memaklumi saja, yang penting ada tanda tangan pasien bahwa dia menyetujui membayar kekurangannya, karena obat kan tidak ditanggung, menurut saya sah-sah saja menarik tambahan sebatas masih batas minimal ” (T2P21,Pemegang Kebijakan)
Tarif pelayanan kebidanan yang berlaku di Kabupaten Tabanan berdasarkan kesepakatan organisasi IBI cabang Tabanan tahun 2013 menetapkan tarif minimal yang dapat dijadikan acuan oleh BPM, sudah termasuk jasa pelayanan, obat yang digunakan dan kelengkapan sarana prasarana yaitu: Pemeriksaan kehamilan: Rp 30.000 – Rp 50.000, Persalinan normal dan bayi baru lahir: Rp 900.000 – Rp 1.200.000, Perawatan nifas dan ibu menyusui: Rp 30.000 – Rp 50.000, Pemasangan IUD: Rp 150.000 – Rp 300.000, Suntik KB: Rp 25.000 – Rp 40.000, Konseling: Rp 10.000, Imunisasi masing-masing Rp 20.000 – Rp 40.000, Rujukan: berdasarkan Unit Cost. Bila dilihat dari tarif tersebut maka terdapat kesenjangan antara kesepakatan yang dibuat oleh organisasi dibandingkan dengan penetapan tarif pelayanan kebidanan yang ditetapkan oleh pemerintah (BPJS Kesehatan). Hasil
penelitian
Januraga,
dkk
(2009)
di
Kabupaten
Jembrana
menunjukkan bahwa: terdapat pemahaman yang keliru pada sebagian besar policy makers program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) terhadap konsep kebutuhan dasar kesehatan dan konsep keadilan egaliter dalam bidang kesehatan sehingga menimbulkan resistensi atau penolakan terhadap kebijakan pembayaran premi, khususnya premi PPK I JKJ. Sebagian besar policy makers dan PPK program JKJ memiliki persepsi yang buruk terhadap sistem pembayaran kapitasi karena dipandang memiliki kelemahan dalam pemerataan, keadilan, kepuasan pasien dan mutu pelayanan kesehatan. Untuk mengatasi hal itu sebaiknya besaran biaya per kapita dihitung berdasarkan unit cost atau biaya klaim yang selama ini berlaku serta dikomunikasikan secara baik antara badan pelayanan dan PPK. Selain itu,
beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian finansial PPK adalah dengan melakukan risk adjusment capitation, curve out, dan reinsurance. Risk adjustment capitation, besaran kapitasi dihitung dengan penyesuaian terhadap faktor demografi, riwayat kesehatan peserta, riwayat kunjungan peserta, dan beberapa indikator klinik. Curve out, dilakukan dengan mengeluarkan pelayanan tertentu dari perhitungan kapitasi untuk dibayar dengan cara lain. Peran badan pelayanan bersama-sama dengan PPK dibutuhkan untuk membahas jenis pelayanan yang harus dikeluarkan, tetapi dengan tetap memperhatikan hak-hak peserta untuk memperoleh pelayanan yang optimal. Cara terakhir adalah dengan melakukan reinsurance. Reasuransi pada perusahaan reasuransi dilakukan oleh badan pelayanan untuk menghindari terjadinya kerugian pada PPK akibat pengeluaran yang tidak terduga. Hampir sama seperti pendapat policy makers, sebagian besar PPK melihat program JKJ khususnya kapitasi sebagai sistem yang merugikan dari sisi kebebasan konsumen dalam memilih pelayanan, di samping pandangan negatif akan adanya risiko finansial berupa kerugian pada pihak PPK. Ketakutan akan kegagalan secara finansial bahkan juga dirasakan oleh PPK yang justru menganggap kapitasi sebagai suatu cara pembayaran yang baik. Senada dengan pendapat sebelumnya pangkal semua ketakutan terjadi karena kebebasan masyarakat memperoleh pelayanan yang menurut anggapan PPK sulit untuk diubah. Pelaksanaan Jampersal di Kota Semarang dalam aspek pelaksanaan klaim terdapat beberapa kendala pada aspek komunikasi dan sumber daya. Pelaksanaan
pelayanan Jampersal masih terkendala pada aspek sikap atau disposisi dan struktur birokrasi (Mandasari, 2012). Program JKN memberikan jaminan pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan pembayaran non kapitasi. Peserta JKN mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmaspuskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Hasil penelitian terkait prosedur administrasi yang ditetapkan oleh Permenkes Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan mengenai pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10 % dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014) sebagian besar partisipan termasuk partisipan kunci tidak setuju. Menurut partisipan klaim yang ditetapkan sudah sangat kurang dibandingkan dengan harga penggunaan bahan habis pakai yang digunakan oleh pasien. Saat menolong persalinan bidan juga diharuskan bekerjasama dengan bidan lain untuk memberikan pelayanan dan mengurangi resiko dalam pekerjaannya. “….saya mengharapkan dari JKN agar bisa meneliti lagi, dengan biaya pelayanan yang semakin meningkat, biaya bahan habis pakai sekarang sudah naik, agar seimbang.. jadi lebih ditingkatkan jumlah klaimnya juga tidak ada pemotongan-pemotongan lagi untuk bidan baik untuk administrasi atau pembinaan” (T6P1,Bidan JKN) “Janganlah ada potongan lagi..kasian bidannya sudah klaimnya sedikit tidak ditanggung obatnya…” (T6P19, Pemegang Kebijakan) Tetapi ada sebagian kecil dokter keluarga yang memotong administrasi sebagai jasa pembinaan dan pemotongan biaya meterai saat mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan.
“Ada pemotongan sebesar 10% untuk dokter keluarga…pihak BPJS mengirim uang jasa ke rekening dokter keluarga tersebut, selanjutnya dokter yang memberikan ke saya” (T2P5,Bidan JKN) “klaim yang masuk ke rekening kami itu kena pajak meterai dan kami juga bertanggung jawab terhadap bidannya…jadi wajar lah kami potong sesuai aturan” (T2P22,Dokter keluarga) Berdasarkan hasil analisis koordinasi pelaksanaan pembiayaan KIA di Kabupaten Lombok Tengah, program Jampersal juga belum berjalan optimal. Walaupun tidak ditemukan terjadinya tumpang tindih pembiayaan dan tidak ada pelayanan KIA yang tidak terbiayai, namun masih ditemukan adanya iuran biaya untuk obat maupun biaya rujukan serta tidak dilibatkannya pihak swasta dalam program Jampersal. Pelaksanaan program Jampersal dinas kesehatan kabupaten seharusnya dapat bekerjasama dengan klinik atau bidan praktek swasta (Erpan,dkk.2011). Hasil penelitian yang dilakukan di Tanjung Pinang, Sumatera utara, Sulawesi selatan dan Sumbawa tentang Jampersal dan Jamkesda menyatakan ketidak puasan bidan terhadap klaim jasa pelayanan kebidanan yang diberikan oleh pemerintah. Plafon biaya yang kecil membuat tidak semua bidan bersedia mengikuti program Jampersal. Di Kabupaten Buol Sulawesi Selatan untuk klaim Jampersal sering mengalami keterlambatan dalam pencairan dana dan adanya pemotongan dana hingga 25% berdasarkan Surat Keputusan Bupati. Di Kabupaten Binjai menyatakan bahwa kurangnya sosialisasi tentang Jampersal menyebabkan kurangnya pengetahuan bidan tentang program tersebut sehingga bidan tidak mau bekerjasama dengan pemerintah. Bidan yang ikut kerjasama
dengan Jampersal sering mengambil iuran di luar tanggungan karena dana yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai dengan standar organisasi. 4.4
Refleksi Program JKN yang secara efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2014
merupakan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 3, disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial. Sebagai sebuah kebijakan pemerintah, program JKN ini akan menggantikan secara bertahap jaminan sosial yang telah ada sebelumnya seperti Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri. Dengan adanya program JKN ini, maka seluruh masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dasar hidupnya untuk hidup sehat tanpa menderita suatu penyakit, termasuk juga masalah kehamilan dan persalinan yang memerlukan biaya besar. Sejak diberlakukan Januari 2014 yang lalu, implementasi kebijakan JKN pada pelayanan kebidanan dan neonatal sarat dengan berbagai permasalahan, diantaranya pertama, masih belum meratanya sosialisasi tentang JKN pada bidanbidan. Kedua, komitmen antara BPM dan BPJS Kesehatan dalam hal pelayanan kebidanan dan neonatal dengan masyarakat masih kurang jelas sehingga memunculkan perbedaan pendapat terkait mekanisme prosedur kerjasama dan klaim pada program JKN. Ketiga, masih banyak BPM yang belum bergabung pada BPJS Kesehatan terutama di Kabupaten Tabanan. Keempat, kurangnya BPM yang bergabung mengakibatkan banyak peserta yang mengantri dan menumpuk di Puskesmas sehingga mengakibatkan kurang optimalnya sistem pelayanan dan rujukan. Kelima, masih adanya kesenjangan antar fasilitas kesehatan seperti: kesiapan infrastruktur, database, anggaran dan sumber daya manusia.
Dilihat dari lokasi penelitian Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten agraris dan dekat dengan ibukota Propinsi Bali. Berdasarkan kriteria dari BKKBN jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tabanan tahun 2013 sebanyak 23,50 % dari jumlah penduduk, sehingga program JKN ini akan sangat membantu masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat pedesaan sehingga diharapkan mampu menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan kebidanan dan neonatal. Usaha pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB sudah dimulai sejak tahun 2011 dengan program Jampersal dan program JKBM, tetapi pada saat itu bidan dapat bekerjasama secara langsung dengan pemerintah (Dinas Kesehatan Kabupaten). Kerjasama antara BPM dengan program JKN dimulai sejak awal Januari 2015, dimana sebelumnya BPJS Kesehatan hanya bekerjasama dengan dokter keluarga. Saat ini dokter keluarga diwajibkan untuk mengajak BPM sebagai jejaring agar dapat melayani pasien dengan kasus kebidanan seperti pemeriksaan hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas dan bayi baru lahir serta pelayanan KB. Rendahnya partisipasi BPM di Kabupaten Tabanan pada program JKN ini berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa hal, antara lain disebabkan karena kurangnya pengetahuan BPM tentang program JKN terkait pelayanan kebidanan dan neonatal. Banyaknya partisipan yang tidak memahami tentang program JKN terkait pelayanan kebidanan dan neonatal walaupun bidan tersebut sudah mengikuti program JKN. Pemahaman BPM tentang program JKN itu termasuk pengertian,
tujuan, manfaat, cakupan pelayanan pada program JKN, mekanisme kerjasama, jumlah klaim dan prosedur klaim sangat kurang. BPM mengikuti program JKN hanya untuk mengikuti program yang sudah ada sebelumnya seperti Jampersal, Jamkesmas dan JKBM. Bidan ikut program JKN bersifat ikut-ikutan saja karena ajakan dari dokter keluarga atau kepala puskesmas tempat bidan bekerja dan merasa kasihan pada dokter yang mengajak karena dokter keluarga juga ingin mempromosikan tempat prakteknya. Sebagai pemberi layanan kesehatan, bidan seharusnya sudah siap dengan informasi
tentang
pelayanan
kesehatan
dalam
program
JKN.
Namun
kenyataannya, informasi yang diterima oleh bidan tidak seragam. Bidan memperoleh informasi dari berbagai sumber yang berbeda seperti informasi langsung dari dokter yang mengajaknya kerjasama, mendengar langsung dari teman – teman bidan dengan JKN serta informasi dari dokter puskesmas saat rapat yang di gabung dengan rapat-rapat yang lain, sehingga terjadi persepsi yang berbeda-beda antara sesama BPM. Tidak ada pertemuan khusus yang dilakukan di puskesmas atau di rumah sakit untuk menyosialisasikan program JKN terkait pelayanan kebidanan dan neonatal. Proses penyampaian informasi tidak semua BPM mengetahui tentang pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung oleh JKN seperti: ANC, pertolongan persalinan, PNC dan pelayanan KB termasuk jumlah klaim yang akan diberikan. Seorang partisipan menyatakan bahwa tujuan dari program JKN adalah meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat terutama secara politik. Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap program yang diluncurkan oleh
pemerintah secara tidak langsung bersamaan dengan pergantian kepala negara (Presiden) sehingga kemungkinan program tersebut diluncurkan memang untuk mengambil hati rakyat, dalam hal ini secara tidak langsung tenaga kesehatan secara finansial akan merasa dirugikan karena pemerintah telah mengeluarkan sistem pelayanan gratis untuk masyarakat. Manfaat JKN mungkin sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat tapi tidak untuk tenaga kesehatan termasuk bidan. Sebagian bidan yang melaksanakan praktek mandiri akan merasa kehilangan atau berkurang pasiennya, karena pasien lebih memilih pengobatan yang gratis ketimbang membayar ke BPM. Tapi bila masyarakat jeli melihat, maka lebih banyak masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan yang lebih privasi terutama pelayanan kebidanan dan neonatal. Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal diharapkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh IBI yaitu: ANC sebanyak 4 kali, persalinan, PNC sebanyak 3 kali, kunjungan neonatus sebanyak 3 kali dan pelayanan KB. Pada Permenkes Nomor 59 tahun 2015 dinyatakan bahwa klaim dapat dibayarkan apabila pasien hamil memenuhi standar yang telah ditentukan, apabila tidak maka klaim tidak dapat ditagihkan. Peraturan ini dibuat dengan harapan pasien akan menjaga kehamilannya dengan memeriksa kehamilannya secara teratur pada satu tempat sehingga secara administrasi akan berkesinambungan. Hal tersebut tentunya sangat merugikan BPM yang bekerjasama dengan JKN karena tidak semua pelayanan dapat di klaim apabila pasien periksa berpindah-pindah tempat. Pada kenyataannya pasien lebih sering periksa sesuai dengan keinginannya seperti periksa USG atau saat pulang kampung, sedangkan
saat program Jampersal atau JKBM pasien kemanapun periksa tetap ditanggung walaupun tidak pada satu tempat. Pemerintah diharapkan untuk lebih memperhatikan sistem paket klaim pada pasien ANC untuk mempertahankan kesejahteraan bidan. Motivasi BPM untuk mengikuti program JKN untuk ikut menyukseskan program pemerintah, sebagai media promosi tempat praktek dan sebagai tempat mengabdi pada profesi perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan organisasi IBI. Beberapa BPM menyatakan mengikuti program JKN adalah untuk mempertahankan jumlah kunjungan pasiennya, karena dengan adanya JKN masyarakat lebih banyak mengunjungi puskesmas daripada datang ke BPM. Bidan-bidan yang sebelumnya telah mengikuti program Jamkesmas, Jampersal dan JKBM masih tetap ingin melanjutkan kerjasama dengan pemerintah melalui program JKN, namun ada juga bidan yang mengikuti JKN karena di minta oleh dokter keluarga/dokter puskesmas. Adanya sistem jejaring dokter keluarga secara langsung mencari dan mendatangi BPM untuk mengajak menjadi jejaring, tapi ada juga BPM yang memiliki keinginan untuk bergabung dengan JKN sedangkan di daerahnya tidak ada dokter keluarga yang ikut program JKN sehingga BPM tersebut tidak bisa menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Program JKN ini juga dijadikan sebagai media promosi untuk praktek BPM, selain melayani pasien-pasien kebidanan juga mengembangkan suatu usaha untuk menunjang pelayanan seperti: pijat bayi, senam hamil, perawatan kewanitaan seperti Spa vagina dan ratus vagina. Mengikuti program JKN menurut bidan menjadi pelayanan pokok sedangkan usaha-usaha lain yang diberikan
merupakan pelayanan pengembangan. Jadi dengan bekerjasama dengan JKN bidan berharap selain ikut membantu menyukseskan program pemerintah juga dapat meningkatkan program pelayanan pengembangan yang sedang digalakkan. Dengan demikian menurut BPM walaupun klaim yang diberikan oleh BPJS Kesehatan sangat kecil maka akan terbantu dengan program pengembangan yang diberikan. Bidanpun dapat menarik biaya perawatan sesuai dengan pelayanan yang telah diberikan sehingga jumlah pasien dan pendapatan akan tetap bisa dipertahankan. Bidan yang sudah membuka praktek lebih dari 20 tahun mengatakan ikut JKN adalah untuk mengabdikan diri kepada profesi, karena selama ini untuk kebutuhan finansialnya sudah lebih dari cukup. Apabila ada pasien dengan keadaan yang kurang mampu maka bidan tersebut akan membebaskan biaya perawatannya karena sudah mendapatkan klaim dari BPJS Kesehatan, tapi kalau ada pasien yang mampu dan menggunakan JKN maka akan disarankan untuk naik kelas perawatan sehingga akan terjadi subsidi silang antara yang mampu dengan yang tidak mampu. Harapan BPM pada program JKN adalah adanya perbaikan sistem dan infrastruktur termasuk peningkatan jumlah klaim, sehingga tidak menyulitkan pekerjaan bidan. Selama ini pemerintah menuntut agar BPM dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan sesuai dengan standar pelayanan kebidanan namun tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana serta biaya yang mencukupi. Kejadian di lapangan pada akhirnya akan terjadi ketimpangan, dimana bidan memberikan pelayanan seadanya tidak memperhatikan standar pelayanan yang telah ditetapkan
oleh organisasi. Kalau saja sarana dan prasarana, obat-obatan serta bahan habis pakai di lengkapi oleh pemerintah maka dengan klaim yang sedikit tidak akan menjadi penghalang bagi BPM untuk melakukan asuhan yang sesuai dengan standar. Jumlah klaim yang sedikit sudah termasuk obat, alat dan bahan habis pakai, belum lagi BPM setiap menolong persalinan diwajibkan untuk berpartner dengan teman sejawatnya, sudah tentu BPM tersebut akan membayar jasa bidan yang lain sehingga klaim yang diberikan oleh BPJS Kesehatan untuk saat ini tidaklah sesuai dengan kondisi di Kabupaten Tabanan. Apalagi di Kabupaten Tabanan sudah mempunyai suatu kesepakatan organisasi IBI tentang tarif pelayanan kebidanan di BPM yang sudah berjalan sejak 2013 sebelum adanya program JKN. Mekanisme kerjasama antara BPM dengan program JKN sesuai Permenkes 59 tahun 2014 menyatakan bahwa BPM yang akan bekerjasama dengan BPJS Kesehatan haruslah melalui sistem jejaring dengan dokter keluarga. Bidan-bidan merasa sangat keberatan dengan hal tersebut karena secara Internasional bidan telah diakui sebagai suatu profesi yang mandiri, jadi tidak perlu berada di bawah profesi lain termasuk dokter. Pada saat program Jampersal dan JKBM berlangsung bidan dapat bekerjasama langsung dengan dinas kesehatan. Secara administrasi bidan melakukan asuhan dan pendokumentasian sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan langsung melaporkan ke dinas kesehatan, tetapi dengan adanya sistem jejaring BPM diharuskan untuk melaporkan semua pelayanan kebidanan dan KB kepada dokter keluarganya setelah itu dokter keluarga yang melanjutkan ke BPJS Kesehatan.
Sistem jejaring menjadi lebih rumit dari program sebelumnya karena pengklaiman dilakukan pada rekening dokter keluarga dan adanya sistem pemotongan administrasi sebesar 10% dari total klaim yang diajukan sebagai administrasi atau pembinaan. Dokter keluarga sebenarnya juga merasa sangat keberatan dengan adanya sistem jejaring ini. Menurut dokter keluarga sebenarnya beliau juga dapat melakukan pemeriksaan hamil dan pelayanan KB secara mandiri, termasuk juga persalinan. Hanya saja pasien-pasien kebidanan sudah lebih mandiri mengambil keputusan untuk melahirkan, walaupun pasien telah diarahkan ke BPM tetapi pasien lebih banyak yang minta dirujuk ke rumah sakit atau ke dokter spesialis saja. Sistem jejaring sebenarnya dimaksudkan agar ada kolaborasi antara dokter dengan bidan sehingga tidak terjadi persaingan dalam memberikan pelayanan kebidanan dan KB pada masyarakat dalam memberikan asuhan yang akan diberikan. Keikutsertaan BPM pada program JKN sangat memerlukan dukungan dari pemerintah seperti dinas kesehatan dan juga organisasi IBI. Program JKN baru diluncurkan pada tahun 2014, menurut pemegang kebijakan program ini masih baru dan hanya perlu himbauan saja pada bidan-bidan. Tujuan dari program JKN salah satunya adalah untuk membantu pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB dimana tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pelayanan kepada masyarakat adalah bidan termasuk BPM. Pemerintah daerah seharusnya benarbenar mendukung program JKN karena merupakan program pemerintah pusat dengan cara memberikan informasi melalui sosialisasi yang lebih intensif kepada para bidan sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan dari BPM untuk ikut
berpartisipasi pada program JKN. Dukungan yang diharapkan oleh bidan berupa bantuan perlengkapan sarana dan prasarana serta obat-obatan untuk menunjang pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Sistem administrasi yang ribet dan berbelit-belit juga mengakibatkan bidan enggan untuk ikutserta dalam program JKN, pemerintah hendaknya menyiapkan suatu sistem administrasi yang sudah sistematis dan sederhana sehingga bidan tidak merasa terbebani oleh masalah tersebut. Kebijakan dari dinas kesehatan dan organisasi IBI pada program JKN berupa kebijakan daerah sangat diperlukan oleh bidan. Mekanisme kerjasama antara BPM dengan JKN sebenarnya tidaklah sulit seperti yang dibayangkan oleh bidan. Hendaknya dinas kesehatan dan BPJS mengatur dokter keluarga yang ikut program JKN untuk mengajak jejaring BPM. Selama ini dokter memilih sendiri BPM yang hendak dijadikan jejaring dengan alasan mencari BPM yang dekat dan mudah untuk berkomunikasi. Hal ini mengakibatkan ada beberapa bidan yang ingin bekerjasama dengan BPJS terhalang karena tidak ada dokter keluarga yang mengajak untuk bekerjasama. Bila sudah diatur kerjasama antara dokter dengan bidan akan lebih mudah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan tentang tambahan penarikan iuran sesuai dengan perjanjian kerjasama dengan BPJS tidak dibenarkan. Karena sesuai Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004, fasilitas kesehatan termasuk bidan tidak boleh menarik biaya diluar dari yang telah ditetapkan. Pemegang kebijakan di Kabupaten Tabanan melalui organisasi IBI memberikan pernyataan memperbolehkan kalau BPM menarik biaya tambahan sesuai dengan kesepakatan IBI yang sudah disepakati,
asalkan ada surat perjanjian antara pasien dengan bidan. Secara hukum tetap tidak dibenarkan, sebaiknya pemerintah daerah mengajukan kepada pemerintah pusat tentang penyesuaian klaim antar daerah atau pemerintah daerah ikut menanggulangi atau menambah jumlah klaim pelayanan dari APBD masingmasing sehingga tenaga kesehatan (bidan) tidak akan merasa dirugikan. Kebijakan pemotongan administrasi untuk BPM yang bekerjasama dengan JKN diharapkan pemerintah daerah meniadakan pemotongan tersebut. BPM dipacu untuk bekerjasama dengan JKN agar dapat memberikan pelayanan yang merata kepada semua lapisan masyarakat dan jangan sampai memotong honor bidan tersebut. Dibuatkan suatu acuan berapa jumlah total klaim yang dapat dipotong sebagai biaya administrasi tidak semuanya harus dipotong 10%. Jumlah klaimnya saja sudah sedikit apalagi tambah potongan maka dapat mengurangi kinerja dari bidan. Kurangnya klaim yang diterima oleh bidan akan sangat mempengaruhi kinerja bidan selanjutnya. Pada situasi dan kondisi yang telah dipaparkan diatas peneliti menyadari dan merasakan bahwa kurangnya informasi tentang kerjasama BPM dengan program JKN secara tidak langsung akan menghambat keinginan untuk berpartisipasi dengan program JKN. Untuk sistem jejaring dari pandangan peneliti sebenarnya tepat karena bidan juga perlu melakukan kolaborasi dengan dokter bila berhadapan dengan pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, namun bila dihadapkan dengan permasalahan kebidanan seharusnya bidan memang bisa mandiri melakukan tindakan. Jumlah klaim yang ditetapkan oleh pusat tidaklah sesuai dengan situasi dan kondisi di Kabupaten Tabanan, sehingga perlu
dilakukan pengkajian ulang mengenai hal tersebut. Kebijakan dari dinas kesehatan dan IBI semua tergantung dari peraturan yang berlaku dari pusat kecuali kebijakan itu mendapatkan persetujuan otonomi dari pemerintah daerah. 4.5
Keterbatasan Penelitian Wawancara mendalam yang dilakukan pada partisipan kunci kurang
mendetail dan terarah karena partisipan lebih menutup-nutupi informasi yang ingin digali karena faktor jabatan struktural yang harus mengikuti aturan dari pemerintah.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 5.1.1
Faktor Individual Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
a. Pengetahuan BPM Tentang Program JKN 1) Pengetahuan partisipan tentang program JKN secara umum tergolong cukup, karena partisipan sebagian besar bekerja di puskesmas atau rumah sakit sehingga mendengar langsung saat ada rapat. Partisipan juga mengetahui program JKN ini melalui TV, baca koran dan melalui sosial media. 2) Pengetahuan partisipan tentang program khusus JKN yang terkait dengan pelayanan kebidanan dan neonatal tergolong kurang. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh oleh partisipan baik melalui petugas BPJS Kesehatan, dinas kesehatan dan organisasi IBI. Sosialisasi hanya dilakukan pada ketua IBI dan beberapa bidan koordinator KIA saja, dan hingga saat ini belum ada penyampaian langsung ke BPM . Informasi tentang JKN didapatkan hanya melalui media, teman dan dokter keluarga yang mengajak untuk bekerjasama.
100
3) Menurut partisipan terkait pengetahuan tentang tujuan JKN: ada yang menyatakan bahwa tujuan dari JKN adalah untuk meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat. Peran pemegang kebijakan haruslah lebih dapat menjelaskan kepada BPM tentang tujuan dari JKN dalam pelayanan kebidanan dan neonatal merupakan tindakan antisipasi dari pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB. 4) Pengetahuan partisipan terkait manfaat JKN: partisipan lebih berasumsi tidak ada manfaatnya bagi praktek bidan, bahkan merugikan bidan. Manfaat dari JKN adalah untuk lebih dapat mengatur administrasi seperti: prosedur administrasi, pendokumentasian asuhan kebidanan. Karena untuk dapat mengklaim ke BPJS Kesehatan diperlukan administrasi yang lengkap dan sesuai standar yang telah ditetapkan. 5) Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN sebagian besar partisipan sudah mengetahuinya karena sama dengan yang telah ditetapkan oleh organisasi IBI. b. Motivasi BPM Terhadap Program JKN: 1) Motivasi partisipan untuk ikut berpartisipasi pada program JKN adalah untuk melanjutkan program sebelumnya, karena sejak diluncurkannya Jampersal, Jamkesda dan JKBM ada beberapa partisipan sudah ikut bekerjasama sehingga ingin tetap melanjutkannya hingga program JKN.
2) Keikutsertaan BPM pada program JKN karena adanya dorongan dari bidan untuk tetap mempertahankan kunjungan pasiennya dan memperkenalkan program layanan pengembangan yang dimiliki oleh bidan, seperti: pijat bayi, senam hamil, perawatan kewanitaan dan sebagainya. 3) Untuk partisipan yang telah buka praktek lebih dari 20 tahun menyatakan mengikuti program JKN selain untuk melanjutkan program pemerintah yang sebelumnya juga ingin mengabdikan diri pada profesinya serta agar dapat membantu masyarakat dengan sistem subsidi silang antara pasien yang kurang mampu dengan pasien yang mampu. c. Harapan BPM Terhadap Program JKN 1) Bila dilihat dari jumlah klaim yang diterima sebagian besar partisipan menyatakan tidak pantaslah untuk jasa bidan yang menanggung resiko dua nyawa sekaligus. Partisipan berharap adanya peningkatan jumlah klaim disesuaikan dengan kondisi geografi dan perekonomian di Kabupaten Tabanan. 2) Partisipan mengharapkan agar pemerintah sebelum meluncurkan suatu program untuk masyarakat agar mempersiapkan dulu sarana dan prasarana, infrastruktur dan sumber daya manusia sehingga tidak terjadi
keterlambatan
masyarakat.
dalam
memberikan
pelayanan
kepada
3) Bidan mengharapkan agar dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan secara mandiri tanpa harus melalui sistem jejaring, karena bidan adalah sebuah profesi yang sudah diakui internasional sehingga tidak perlu berada di bawah naungan profesi lain (dokter keluarga). 5.1.2
Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
a. Dukungan Dari Dinas Kesehatan Dan Organisasi IBI 1) Rendahnya dukungan langsung yang diberikan oleh pemerintah (dinas Kesehatan) dan organisasi IBI disebabkan karena program JKN merupakan program baru, apalagi kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan BPM baru dimulai sejak awal tahun 2015 sehingga dinas kesehatan dan organisasi IBI hanya bisa memberikan himbauan saja dan belum ada peraturan dari pusat yang mengharuskan BPM untuk ikut dalam program JKN. 2) Dokter keluarga mendukung keterlibatan BPM pada pada program JKN untuk bersama-sama menyukseskan program pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB. 3) BPM juga ingin membantu dokter keluarga yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan karena BPJS Kesehatan mengharuskan setiap dokter keluarga harus bidan jejaring. 4) Belum meratanya dokter keluarga di seluruh kecamatan Tabanan menjadi penghambat BPM yang ingin ikutserta pada program JKN.
b. Kebijakan Dari Dinas Kesehatan Dan Organisasi IBI 1) Dokter keluarga yang ikut program JKN diwajibkan untuk mempunyai jejaring BPM, padahal dokter keluarga berpendapat mereka (dokter keluarga) mampu melakukan pelayanan kebidanan seperti ANC, pelayanan KB dan pemberian imunisasi. 2) Sehingga mekanisme kerjasama antara BPM dengan BPJS Kesehatan lebih banyak di fasilitasi oleh dokter keluarga, dalam hal ini dokter keluarga mencari sendiri BPM yang diajak untuk berpartner dalam program JKN dengan alasan agar lebih dekat dan memudahkan untuk berkomunikasi. 3) Dokter keluarga mengurus prosedur kerjasama antara BPM dengan BPJS Kesehatan mulai dari proses kerjasama hingga sistem pengklaiman dari pelayanan kebidanan dan neonatal sedangkan bidannya hanya melaksanakan saja. 4) Sistem klaim pada pelayanan kebidanan dan neonatal akan masuk ke rekening dokter kemudian baru di distribusikan kepada BPM sesuai dengan pelayanan yang telah diberikan. Oleh sebab itu jasa klaim yang akan diterima oleh BPM akan dipotong maksimal 10% dari seluruh total pengklaiman oleh dokter keluarga sebagai jasa pembinaan dan pengurusan administrasi. 5) Pemegang
kebijakan
semuanya
tidak
setuju
dengan
adanya
pemotongan tersebut karena jasa yang diterima oleh bidan sudah
sangat kecil bila dibandingkan dengan situasi dan kondisi Kabupaten Tabanan. 6) Sehingga ada kebijakan yang tidak tertulis dari organisasi IBI untuk BPM menarik biaya tambahan di luar tarif yang telah ditetapkan BPJS Kesehatan. IBI mengharapkan dengan iuran tambahan tersebut para bidan dapat memberikan asuhan kebidanan sesuai dengan standar asuhan kebidanan yang telah ditetapkan sepanjang ada komunikasi antara BPM dengan pasiennya. 5.2 SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti menyarankan: 5.2.1
Untuk Dinas Kesehatan Tabanan a) Dinas Kesehatan seharusnya menyosialisasikan tentang program JKN pada semua bidan termasuk BPM yang tidak bekerja di puskesmas, agar informasi tentang JKN dapat dipahami oleh semua bidan. b) Agar dinas kesehatan memetakan kembali dokter keluarga yang ada di semua kecamatan Tabanan, sehingga lebih merata dan BPM di masing-masing daerah dapat menjadi jejaring dokter keluarga. c) Agar dinas kesehatan dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah tentang kebijakan biaya tambahan dari APBD untuk menambah jumlah klaim pelayanan kebidanan dan neonatal. d) Dinas kesehatan memberikan fasilitas sarana dan prasarana serta obat dan bahan habis pakai untuk BPM yang ikut JKN.
e) Dinas kesehatan memberikan penghargaan bagi BPM yang telah ikut berpartisipasi pada program JKN. 5.2.2
Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan a) Petugas BPJS Kesehatan agar melakukan sosialisasi langsung kepada semua BPM tentang proses kerjasama dengan dokter keluarga. b) Untuk tarif pelayanan kebidanan dan neonatal sebaiknya BPJS Kesehatan melakukan risk adjustment capitation dengan menghitung besaran kapitasi berdasarkan penyesuaian terhadap faktor geografi, riwayat kesehatan peserta JKN, riwayat kunjungan peserta JKN dan beberapa indikator klinik sehingga akan mengurangi resiko finansial pada BPM sebagai pemberi pelayanan. c) Mengatur Dokter keluarga yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan agar tidak memilih BPM sesuai dengan keinginan dokter saja tetapi berdasarkan wilayah dan jumlah kapitasi pasien yang dimilikinya. d) Memudahkan proses kerjasama antara dokter dengan bidan dengan sistem administrasi yang sederhana dan mencakup semua pelayanan kebidanan. e) Menghindari keterlambatan dalam memberikan klaim tagihan yang telah dilaporkan oleh BPM. f) Mengusulkan kepada BPJS Kesehatan pusat agar tidak melakukan potongan administrasi untuk BPM yang ikut program JKN, bila tetap dilakukan pemotongan administrasi sebesar maksimal 10% maka BPJS
Kesehatan diharapkan agar membuat acuan yang jelas mengenai hal tersebut. 5.2.3
Untuk Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) a) Bagi Organisasi IBI agar selalu memberikan dukungan kepada anggotanya untuk bekerjasama dengan JKN, sehingga dapat membantu pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB. b) Setiap informasi yang ada tentang program JKN hendaknya segera diinformasikan pada anggotanya, sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda antara BPM. c) Mengundang petugas BPJS Kesehatan untuk memberikan sosialisasi secara langsung tentang program JKN, khususnya pelayanan kebidanan dan neonatal. d) Dengan kebijakan tidak tertulis yang disampaikan organisasi, diharapkan agar IBI mampu melindungi anggotanya yang melakukan penarikan iuran tambahan diluar tarif yang telah ditentukan BPJS Kesehatan. e) Agar IBI selalu mengadakan rapat pertemuan secara rutin yang berkaitan dengan program JKN.
5.2.4
Untuk Peneliti Selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian tentang analisis persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa BPM pada program JKN sehingga akan memberikan gambaran secara komprehensif mengenai peran BPM dalam menyukseskan program JKN.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, W. & Saptiaryati. 2012. “ Evaluasi Pelaksanaan Program Jaminan Persalinan Ditinjau dari Persepsi pengguna dan penyedia layanan di Puskesmas Mengwi I”. Denpasar : Universitas Udayana. Aulia,2011. “Analisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan Ante Natal Care oleh ibu peserta Jampersal di wilayah kerja Puskesmas Pocol”. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro. Badan Litbang Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2012, Jakarta. Bungin, B.2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta. BPJS Kesehatan, 2014. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Brahmasari,I.A dan Suprayetno,A. 2012. “Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Serta Dampaknya Pada Kinerja Perusahaan “ Surabaya : universitas 17 Agustus. Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2013. Profil Kesehatan Propinsi Bali. Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, 2013.Profil Kesehatan Kabupaten Tabanan. Dewi,AP (2013). “ Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kinerja Bidan Desa Pada Pelayanan Antenatal Dalam Program Jaminan Kesehatan Daerah Di Kabupaten Kapuas” Kalimantan tengah: Unpar Dong,H. dkk. 2004 The Feasibility Of Community-Based Health Insurance In Burkina Faso. Health policy, 69 (1). 45-53. Dror, D.M.dkk.2006 Health insurance benefit packages prioritized by low-income client in india: the tree criteria to estimate effectiveness of choice. Journal of social science & Medicine 64. 884-896 Erpan,LN.2011.” Koordinasi Pelaksanaan pembiayaan program kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat”. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Freddy, R. Motivasi dan Harapan untuk yang berprestasi. Jakarta Hatta,dkk (2013) “ Peran Dokter dalam Pelayanan Maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta “ Surabaya : Universitas Brawijaya.
Handayani, dkk. 2012.”Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan masyarakat membayar iuran jaminan kesehatan di kabupaten hulu sungai selatan “. Bandung : Universitas Padjadjaran. Cangara, H. Pegantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 51, megutip David K. Berlo, The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice (NewYork: Holt, Rinehart and Winston, 1960). Ikatan Bidan Indonesia. 2004. Bidan Menyongsong Masa Depan: 50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia. Jakarta : Pengurus Pusat IBI. Ikatan Bidan Indonesia. 2014. Surat Edaran Nomor 117/SE/PPIBI/II/2014 tentang pelayanan Kebidanan di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Januraga, dkk (2009) “Persepsi stakeholders terhadap latar belakang subsidi premi, sistem kapitasi dan pembayaran premi program jaminan kesehatan Jembrana”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, hal 33 – 40. Kementerian Kesehatan RI, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor. 2562/MENKES/PER/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan,Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2010. Permenkes RI Nomor 1464/MENKES/PER/X/ 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan, Jakarta. Kementerian Keuangan RI, 2011.Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 244/PMK.07/2011 tentang Peta Kapasitas Fikal Daerah, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2012. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 40 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2013. Tantangan Kebijakan Kesehatan di Indonesia dalam Menghadapi Stagnasi Pencapaian MDG4 dan MDG5, dan Semakin Meningkatnya Penyakit Tidak Menular dan AIDS.http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/189 3.html. Diakses tanggal 17 Juli 2014 jam 4.27WIB. Kemenkes RI. 2013. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta. Kemenkes RI. 2013. Bahan Paparan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta. Kemenhumkam, 2004. Undang-undang RI Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kemenhumkam, 2011. Undang-undang RI Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara jaminan sosial (BPJS)
Larasati, dkk. 2012.” Analisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan Antenatal Care oleh ibu Peserta Jampersal di wilayah kerja Puskesmas poncol”. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro. Leidecker. Joel K dan Hall. James J. (2009) Motivasi: Teori baik – tapi penerapan buruk. Dalam: Timple. A dale, ed. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia: Memotivasi Pegawai. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Mayona,H., dkk. 2012. “ Pengaruh Persepsi Bidan Praktek Swasta Tentang Program Jampersal Terhadap Kemauan Bidan Menjadi Provider Program Jampersal Di Kota Binjai”. Medan : Universitas Sumatera Utara. Moleong,LJ., 2007. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Mukti, AG, 2012. “ Evaluasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Daerah Di Kabupaten Magelang” Yogyakarta : Universitas gajah Mada. Noorhidayah, 2012. “ Motivasi Keterlibatan Bidan Praktik Swasta terhadap Program Jampersal di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan”. Semarang: Universitas Diponogoro. Notoatmojo, Soekidjo., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta. Peraturan Gubernur Bali Nomor: 6 tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Peraturan Guberbnur Bali Nomor 22 Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
tahun
2012
tentang
Pedoman
Poerwandari,E.K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Prilaku Manusia. (ed-3), Jakarta : Perfecta LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Ratama,S.A. 2013. “Analisia Faktor Yang Mempengaruhi Keikutertaan Bidan Praktek Mandiri Dalam Program Jaminan Persalinan Di Surabaya”. Semarang : Universitas Diponogoro. Rahmawaty,T. 2012. Riset Evaluatif Implementasi Jaminan Persalinan. Laporan Penelitian, Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Surabaya. Rukmini, 2013. “ Analisis Implementasi Kebijakan Jampersal di dinas Kesehatan Kabupaten Sampang” Jakarta: Kemenkes RI. Sudrajat, A. 2008 “Teori-Teori Motivasi Untuk Pendidikan”http: akhmadsudrajad.wordpress.com/2008/02/06/teori-teori-motivasi/ Suharto.2008. Kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan, Jakarta.
Sastroasmoro,Prof.Dr.dr. S & Ismael, Prof.Dr.S 2011. Dasar-dasar Metodelogi penelitian klinis. Edisi ke-4. Jakarta: Agung Seto. Sugiyono, 2008. Memahami penelitian kualitatif, Bandung : PT alfabeta. Sutrisno, E. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Tambun, dkk 2012. “Evaluasi Implementasi Kebijakan Persalinan Bagi Masyarakat Miskin oeh Bidan Praktek Swasta di Kota Tanjung Pinang” Tanjung Pinang: Universitas Hasanudin. Umar,H, 2003. Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis. Jakarta: Rajawali Press. Yandrizal, dkk (2013). “ Analisis Kebijakan Jaminan Keshatan Kota Bengkulu Dalam Upaya Efisiensi Dan Efektifitas Pelayanan Di Puskesmas” Sumatera: Universitas sumatera utara
Lampiran 2
Panduan Wawancara Mendalam ( Indept Interview ) “Faktor Individual dan Faktor Struktural yang Berperan dalam Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan “
SITI ZAKIAH
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
Lembaran Informasi PENJELASAN
KEPADA
CALON
PARTISIPAN
SEBELUM
WAWANCARA MENDALAM BERLANGSUNG TENTANG FAKTOR INDIVIDUAL
DAN
FAKTOR
STRUKTURAL
YANG
BERPERAN
DALAM KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI
PADA
PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. Program Jaminan Kesehatan Nasional disingkat JKN adalah suatu program pemerintah dan masyarakat/rakyat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Tujuan penyelenggaraan adalah untuk memberikan manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan akan pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan. Manfaat diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) termasuk pelayanan kebidanan dan neonatal. Wawancara mendalam ini bertujuan untuk mengetahui faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional. Penelitian ini di dalamnya akan ada sejumlah pertanyaan dan pernyataan, mengenai program JKN yang menyangkut “Faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan Nasional”.
Kita mempunyai waktu selama kurang lebih 60 – 90 menit untuk membahas beberapa topik diskusi yang berkaitan dengan faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program JKN dengan dibantu alat perekam serta dilakukan dokumentasi berupa foto. Selama wawancara berlangsung, peneliti akan melakukan segala upaya untuk merahasiakan semua informasi yang menyangkut hal-hal pribadi. Informasi yang diperoleh akan dikumpulkan dan disimpan dalam bentuk kode-kode. Oleh sebab itu, nama ibu/bapak sama sekali tidak akan ada di data penelitian ini. Penelitian ini juga telah mendapatkan persetujuan dari Kesbangpolinmas, Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan dari Komite Etik Universitas Udayana Denpasar. Besar harapan saya, kepada ibu/bapak untuk menjawab yang sejujurjujurnya terhadap pertanyaan yang saya ajukan tanpa unsur paksaan karena hal ini penting sekali sebagai masukan untuk
penyempurnaan program Jaminan
Kesehatan Nasional yang sedang di selenggarakan. Ibu/Bapak juga dapat menolak atau mengundurkan diri apabila ada hal-hal yang kurang berkenan selama wawancara mendalam dilakukan. Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi saya sebagai peneliti utama (Siti Zakiah) Nomor HP yang bisa dihubungi: 08164728642.
Pernyataan Kesediaan Menjadi Partisipan Persetujuan partisipasi sebagai partisipan pada penelitian “Faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Tabanan ” Saya menyadari bahwa : 1. Sebagai informan saya akan memberikan informasi sepanjang pengetahuan saya. 2. Saya akan diwawancarai oleh petugas/pemandu diskusi selama kurang lebih 60-90 menit. 3. Identitas saya akan dilindungi dengan tidak mencantumkan hal-hal yang bersifat pribadi. 4. Keikutsertaan dalam studi ini bersifat sukarela dan saya bisa mengundurkan diri, sebelum maupun saat wawancara sedang berlangsung. 5. Saya boleh tidak menjawab suatu pertanyaan, oleh karena alasan apapun. 6. Saya memahami tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan bidan praktek mandiri pada program jaminan kesehatan nasional, oleh karena itu informasi yang saya berikan sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dapat dipergunakan seperlunya. Tabanan ,…..………………2015 Partisipan
(………………….……)
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK BIDAN PRAKTEK MANDIRI 1. Tanggal wawancara mendalam : 2. Nama Partisipan
:
3. Umur Partisipan
:
4. Pendidikan terakhir
:
5. Lama Buka Praktek Mandiri
:
6. Alamat Partisipan
:
7. Nomor Telp Partisipan
:
8. Akses Informasi
:
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan
pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami. 4. Mempersiapkan
alat
perekam
dan
dokumentasi:
meminta
ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi berupa foto oleh pendamping. 5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam : No 1
Topik Apakah
pernah
Probing
Taksir Waktu
dilakukan - Kapan, Dimana, Siapa
sosialisasi Jaminan Kesehatan
15 menit
pesertanya,
Nasional pada Bidan Praktek - disosialisasikan oleh siapa, Mandiri?
- apa saja yang dibahas, - informasinya sudah cukup.
2.
Apakah
yang
ketahui
tentang
ibu
bidan - Pengertian,
tujuan
Program
manfaat, kepesertaan,
Jaminan Kesehatan Nasional ?
- Mekanisme kerjasama
dan
- cakupan layanan JKN pada pelayanan kebidanan - sistem pembayaran klaim
15 menit
yang diajukan oleh Bidan. 3.
Bagaimanakah pendapat bidan - Setuju/tidak
10 menit
tentang sistem jejaring pada - Mekanisme/prosedur program JKN?
kerjasama dengan dokter perorangan
4.
Apakah ibu pernah diajak - Kapan, siapa, dimana ?
10 menit
untuk bekerjasama JKN oleh - Bagaimana kelanjutannya? dokter praktek mandiri? 5.
Bagaimanakah motivasi ibu - Apa saja usaha yang akan terhadap program JKN?
5 menit
dan telah dilakukan. - Apa yang mendorong untuk mengikuti program JKN.
6.
Bagaimanakah harapan ibu terhadap program JKN?
- Apakah pengakuan dan
5 menit
penghargaan yang diinginkan di masa yang akan datang.
7
8.
Apakah ada dukungan dari
- Himbauan
Organisasi (IBI) untuk
- Sosialisasi
mengikuti program JKN ?
- Kebijakan
Apakah ada dukungan dari
- Kebijakan
Dinas Kesehatan Kabupaten
- Himbauan
Tabanan
- Sanksi atau penghargaan
10 menit
10 menit
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK KEPALA DINAS KESEHATAN SEBAGAI TRIANGULASI DATA 1. Tanggal wawancara mendalam : 2. Nama Partisipan
:
3. Pendidikan terakhir
:
4. Alamat Partisipan
:
5. Nomor Telp Partisipan
:
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami. 4. Mempersiapkan
alat
perekam
dan
dokumentasi:
meminta
ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh
pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi berupa foto oleh pendamping. 5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam : No
Topik 1.
Apakah sudah pernah dilakukan sosialisasi program Jaminan Kesehatan Nasional
Probing - Kapan, dimana, jumlah
Taksir Waktu 15 menit
peserta yang hadir - Materi yang telah disampaikan.
pada Bidan Praktek Mandiri? 2.
Apakah ada kebijakan
- Undang- undang yang
yang telah dibuat untuk
mengatur kerjasama
mendorong Bidan
BPM dengan Program
Praktek Mandiri agar
JKN
mau ikutserta dalam program Jaminan
15 menit
- Surat keputusan atau peraturan daerah.
kesehatan Nasional? 3.
Apakah ada himbauan dari pemerintah agar
- Ajakan langsung dari dinas kesehatan
15 menit
pihak swasta seperti Bidan Praktek mandiri ikut berpartisipasi dalam program JKN? 4.
mengikuti program - Prosedur kerjasama dengan BPJS
Menurut pandangan
- Apasaja yang dapat
bapak, Apakah ada
dibantu dengan
kontribusi Bidan
keikutsertaan bidan pada
Praktek Mandiri untuk
program JKN?
ikut mensukseskan program JKN? 5.
- Kemudahan bila
Menurut pandangan
15 menit
- Kemudahan akses pelayanan kebidanan - Mengapa ada
bapak apakah ada
Pemotongan
potongan administrasi
administrasi
pada klaim pelayanan
- Berapa jumlahnya
kebidanan yang
- Kegunaannya
15 menit
diberikan oleh Bidan Praktek mandiri? 6.
Menurut pendapat
- Fasilitas-fasilitas yang
Bapak, penghargaan
dapat dimanfaatkan
apa yang dapat
untuk menunjang
diberikan pada Bidan
program JKN
Praktek Mandiri yang
- Tambahan klaim
ikut program JKN?
pelayanan ?
10 Menit
6. Menurut pendapat Bapak, sangsi apakah yang dapat diberikan pada bidan praktek mandiri yang tidak mau berpartisipasi pada program JKN?
- Proses pengurusan ijin praktek - Proses administrasi ke dinas kesehatan
10 menit
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK KETUA IKATAN BIDAN (IBI) CABANG TABANAN SEBAGAI TRIANGULASI DATA 1. Tanggal wawancara mendalam : 2. Nama Partisipan
:
3. Pendidikan terakhir
:
4. Alamat Partisipan
:
5. Nomor Telp Partisipan
:
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami.
4. Mempersiapkan
alat
perekam
dan
dokumentasi:
meminta
ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi berupa foto oleh pendamping. 5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam : No 1.
Topik Apakah sudah pernah dilakukan sosialisasi program Jaminan Kesehatan Nasional pada Bidan Praktek Mandiri?
2.
Probing - Kapan, dimana, jumlah
Taksir Waktu 15 menit
peserta yang hadir - Materi yang telah disampaikan.
Apakah ada kebijakan dari
- Surat keputusan IBI
organisasi Ikatan Bidan
- Kesepakatan bersama
Indonesia (IBI) cabang
dengan anggota IBI
10 menit
Tabanan untuk keikutsertaan BPM pada program JKN? 3.
Menurut pendapat ibu, apakah
- Cakupan pelayanan
BPM dapat memberikan
kebidanan dan
kontribusi terhadap pelayanan
neonatal.
kebidanan dan neonatal pada
15 menit
Program JKN? 4.
Menurut pendapat ibu, dukungan apakah yang dapat diberikan pada bidan praktek mandiri yang ikut bekerjasama dengan JKN?
- Kemudahan dalam pengurusan ijin praktek - Kemudahan proses administrasi
15 menit
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK PETUGAS BPJS KESEHATAN CABANG TABANAN SEBAGAI TRIANGULASI DATA 1. Tanggal wawancara mendalam : 2. Nama Partisipan
:
3. Pendidikan terakhir
:
4. Alamat Partisipan
:
5. Nomor Telp Partisipan
:
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami. 4. Mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi: meminta ijin mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh
pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi berupa foto oleh pendamping. 5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam : No
Topik 1. Apakah sudah pernah dilakukan
Probing - Kapan, dimana,
sosialisasi program Jaminan
jumlah peserta yang
Kesehatan Nasional pada Bidan
hadir
Praktek Mandiri?
Taksir Waktu 15 menit
- Materi yang telah disampaikan.
2. Bagaimanakah prosedur / mekanisme kerjasama BPM dengan Program JKN?
- Kelengkapan
15 menit
administrasi - Cara melakukan kerjasama. - Bagaimana dengan sistem jejaring
3. Bagaimanakah prosedur klaim
- Tarif pelayanan
dari BPM pada Program JKN?
kebidanan yang diberikan. - Syarat-syarat
15 menit
pengajuan klaim 4. Bagaimanakah prosedur
- Adakah
administrasi pelayanan
pemotongan
kebidanan dan neonatal
administrasi - Mengapa ada pemotongan administrasi - Iuran biaya tambahan
15 menit
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK DOKTER PRAKTEK PERORANGAN/MANDIRI SEBAGAI TRIANGULASI DATA 1. Tanggal wawancara mendalam : 2. Nama Partisipan
:
3. Umur Partisipan
:
4. Pendidikan terakhir
:
5. Lama Buka Praktek Mandiri
:
6. Alamat Partisipan
:
7. Nomor Telp Partisipan
:
A. Pendahuluan 1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar. 2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan informasi tentang faktor individual dan faktor cxlixtructural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional. 3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami.
4. Mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi: meminta ijin mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi berupa foto oleh pendamping. 5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam : No 1.
2.
Topik
Probing
Taksir Waktu 15 menit
Bagaimanakah pendapat /
-
Pengertian
pandangan dokter tentang
-
Manfaat
jaminan kesehatan nasional?
-
tujuan
Bagaimanakah pandangan
-
Mekanisme
dokter tentang sistem jejaring pada program JKN?
20 menit
kerjasama -
Cakupan pelayanan kebidanan.
-
Sistem klaim pelayanan kebidanan
3.
Menurut pandangan dokter,
-
apakah dokter setuju bekerjasama dengan bidan
Sistem pembagian tugas
-
Sistem pembagian
20 menit
4.
praktek mandiri sebagai
pembayaran jaminan
jejaring?
kesehatan nasional?
Bagaimanakah harapan dokter
-
dari kerjasama dengan Bidan Praktek Mandiri
Keinginan di masa depan
-
Kelanjutan kerjasama dokter dan bidan
15 menit
Lampiran 3 Pemetaan Tema Berdasarkan Koding No
1
2
TEMA
Faktor Individual
Faktor struktural
Sub-Tema
1. Pengetahuan
Kode a. Sosialisasi JKN b. Pengetahuan umum tetnang JKN c. Kurangnya pengetahuan tentang pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN d. Tujuan JKN e. Manfaat JKN f. Cakupan pelayanan sesuai standar
2. Motivasi
a. Menyukseskan program b. Membantu masyarakat kurang mampu c. Promosi tempat Praktek
3. Harapan
a. Penolakan Sistem jejaring b. Peningkatan jumlah klaim persalinan c. Persiapan sarana dan prasarana
1. Dukungan
a. Kurangnya informasi ke BPM b. Mekanisme kerjasama c. Penambahan jumlah klaim
2. Kebijakan
a. b.
Prosedur administrasi Prosedur klaim