Jurnal Ilmiah Kesehatan
ARTIKEL PENELITIAN
Vol. 14 No. 1 Tahun 2015
Alternatif Kebijakan Operasional PICT untuk Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Masa Perinatal di Puskesmas Tambora Tahun 2015 Syamsiar Tudin1, Astrid Novita2 Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jl. Letjend. S. Parman Kav. 87, Slipi - Jakarta Barat, 2Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju, Jl. Harapan Nomor 50 Lenteng Agung - Jakarta Selatan 12610 Email:
[email protected]
1
Abstrak
Penerapan PICT akan memiliki daya jangkau lebih luas dan mampu menghindari keterlambatan diagnosis. Program PICT bermanfaat untuk memperluas jangkauan layanan HIV yang meliputi perawatan, dukungan dan pengobatan pada waktu yang tepat dan juga meningkatkan kesempatan ODHA untuk menjangkau informasi serta sarana mencegah penularan HIV lebih lanjut, maka perlu meningkatkan lebih banyak orang yang mengetahui status HIV. Tujuan penelitian ini adalah menyusun alternatif kebijakan operasional tentang PICT untuk pencegahan penularan HIV-AIDS pada masa perinatal di Puskesmas Tambora Jakarta Tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan riset operasional untuk memperoleh hasil dengan pemahaman yang mendalam tentang topik penelitian. Informan Kunci adalah wanita hamil beresiko/PSK yang sudah terinfeksi positif HIV dan bersedia diwawancara. Informan pendukung adalah kepala dinas kesehatan, kepala puskemas, koordinator PICT, Staff Klinik PICT, staff PPIA, Kepala Dinas Jakarta Barat dan Kepala Puskesmas Tambora. Temuan Penelitian ini adalah Kebijakan yang ada saat ini isinya sudah mengenai aspek penting dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Dalam pelaksanaannya relatif masih ada kekurangan dalam penyampaian pesan promosi kesehatan di rasakan masih belum ada sosialisasi tentang layanan PITC di masyarakat lingkungan sehingga masyarakat tidak memahami tentang PITC. Dihasilkan alternatif kebijakan dalam bentuk operasional program PITC sebagai usulan perbaikan program PITC di Puskesmas Tambora Jakarta Barat. Saran penelitian ini adalah perlu penciptaan lingkungan yang kondusif melalui intervensi struktural di lokalisasi. Perlu menjadi strategi utama program pencegahan HIV pada kelompok pekerja seks komersial sebab interaksi interpersonal dan situasi lingkungan kerja berpengaruh besar terhadap perilaku pekerja seks komersial beresiko.
Kata kunci
Kebijakan Operasional, PICT, HIV-AIDS
Abstract
Application of PICT will have a wider range and is able to avoid late diagnosis. PICT program is beneficial to extend the reach of HIV services that include care, support and treatment at the right time and also increases the chance of people living with HIV to reach the information and the means to prevent further HIV transmission, it is necessary to increase the more people who know their HIV status. The purpose of this research is to develop alternative operational policies of PICT for the prevention of HIV-AIDS infection in the perinatal period in Jakarta Tambora Puskesmas 2014. This research is qualitative in nature with the operational research approach to obtain results with a deep understanding of the research topic. Key informants were pregnant women at risk / PSK are already infected with HIV positive and willing to be interviewed. Informants supporter is head of the health department, the head of the health center, coordinator PICT, PICT Clinic Staff, staff PPIA, Head of West Jakarta and Head of Tambora Puskesmas. The findings of this study are the current policy regarding its content has been an important aspect in the prevention and control of HIV / AIDS. In the implementation is still no shortage in the delivery of health promotion messages in feel is still no socialization of PITC in the public service environment so that people do not understand about the PITC. Resulting policy alternatives in the form of operational programs as proposed improvement PITC program in West Jakarta Tambora Puskesmas. Suggestion of this research is necessary the creation of a conducive environment through structural interventions in localization. Needs to be the main strategies of HIV prevention programs in the group of commercial sex workers because interpersonal interaction and the situation of the working environment greatly affect the behavior of commercial sex workers at risk.
Key Words
Operational Policies, PICT, HIV-AIDS
1
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 14 No. 1 Tahun 2015 Pendahuluan Penerapan Provider-Initiated Testing and Counselling (PICT) akan memiliki daya jangkau lebih luas dan mampu menghindari keterlambatan diagnosis. Selain itu, sikap masyarakat yang masih memberi stigma negatif pada ODHA dan menjangkau ODHA dalam jumlah besar. Program PICT bermanfaat untuk memperluas jangkauan layanan HIV yang meliputi perawatan, dukungan dan pengobatan pada waktu yang tepat dan juga meningkatkan kesempatan ODHA untuk menjangkau informasi serta sarana mencegah penularan HIV lebih lanjut, maka perlu meningkatkan lebih banyak orang yang mengetahui status HIVnya. Jangkauan yang luas terhadap layanan konseling dan tes HIV sangat diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan akses pengobatan.1 Perawatan dan pengobatan ARV setelah pasien dinyatakan reaktif akan menurunkan angka kesakitan karena infeksi oportunistik, menurunkan kemungkinan penularan dan meningkatkan optimis hidup dari pasien. Sehingga deteksi dini penemuan kasus penderita HIV/ AIDS dapat dikendalikan penyebarannya.2 Deteksi dini dapat mencegah penderita HIV yang tidak tahu bahwa dirinya terinfeksi untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain karena penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain meskipun belum menunjukkan gejala klinis. Selain itu, dengan adanya deteksi dini, penderita HIV/AIDS dapat menjani terapi obat antiretroviral (ARV) sedini mungkin karena pengobatan sejak dini dapat meningkatkan efektivitas pengobatan HIV/AIDS dan meningkatkan harapan hidup penderita.3 Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi mempunyai dua tujuan yaitu: (1) untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi, karena 90% penularan infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu dan hanya sekitar 10% yang terjadi karena proses transfusi, (2) mengurangi dampak epidemik HIV terhadap ibu dan bayi.4 Dampak akhir dari epidemik HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi serta peningkatan beban biaya hidup yang yang harus ditanggung karena morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi.5 Sejauh ini, fasilitas pelayanan untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) masih jauh dari memadai. Data bulan Juni tahun 2012, menunjukkan baru ada 94 fasilitas pelayanan kesehatan (85 Rumah Sakit dan 9 Puskesmas) yang menyelenggarakan pelayanan PPIA. Demikian pula untuk cakupan pelayanannya masih rendah, yakni baru mencakup 28.314 ibu hamil yang dilakukan konseling dan tes HIV dimana 812 diantaranya positif, sementara ibu hamil yang mendapatkan ARV berjumlah 685 orang dan jumlah bayi yang mendapatkan ARV profilaksis
2
sebanyak 752 orang. 6 Peran tenaga kesehatan dalam sosialisasi tes HIVAIDS dan PICT bagi ibu hamil yang mempunyai faktor resiko tersebut sangat penting untuk menurunkan bahkan mencegah kejadian penularan HIV-AIDS dari ibu hamil kepada janinnya yang disebut sebagai program PMTCT. Mengingat tugas tenaga kesehatan yang merupakan ujung tombak dalam pelayanan ANC khususnya pada ibu hamil yang mempunyai faktor resiko tertular HIV-AIDS, maka sosialisasi dan pelaksanaan PMTCT harus tetap dilaksanakan.7 Tingginya angka pengidap HIV/AIDS karena tingginya populasi penduduk di Jakarta Barat. Dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, masalah yang ada pun semakin kompleks termasuk penggunaan narkoba dan perilaku seks bebas. Penularan HIV/ AIDS di Jakarta Barat umumnya dari jarum suntik bekas narkoba yang dipakai bergantian, gonta-ganti pasangan dan penularan pada ibu hamil karena suami. Masih banyak tempat di Jakarta Barat yang memberi fasilitas untuk praktek prostitusi sehingga membuat resiko tertular HIV/AIDS semakin tinggi.8 Wawancara pendahuluan peneliti dengan salah satu petugas kesehatan di Puskesmas Kecamatan Tambora ditemukan angka kejadian atau kasus terjangkitnya HIV selama periode 2013 – 2014 paling banyak ditemukan pada usia 25-44 tahun sebanyak 70% dengan rincian sebanyak 40 orang akibat seks bebas, 20 orang terjangkit HIV karena Narkoba dan 2 orang ibu rumah tangga yang tertular dari suami. Kasus HIV tidak hanya ditemukan pada kelompok tertentu saja, tapi juga sudah merambah hingga kalangan ibu hamil. Tahun 2013 pada ibu hamil terjadi sebanyak 2 orang ibu rumah tangga dan tahun 2014 sebanyak 1 orang. 8 Stigma masyarakat di wilayah Tambora Jakarta Barat perlu di minimalisir karena dapat memojokkan ODHA. Memanusiakan ODHA merupakan salah satu cara meminimalisir perkembangan virus, karena dengan adanya dukungan dari masyarakat, ODHA pun akan melaksanakan pengobatan tanpa harus menghadapi tekanan malu terhadap umum. Salah satu jalan masuk seseorang untuk mengetahui status HIV adalah melalui konseling dan testing HIVdengan PICT. Layanan konseling tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman individu tentang status dan penyakit HIV&AIDS, dapat meminimalisir stigma dan diskriminasi ODHA, dan mengurangi laju penyebaran penyakit ini. Hasil survey penduhuluan dengan wawancara kepada kepala puskesmas ditemukan pasien ibu hamil sebanyak 10% mengatakan bahwa tidak pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan, 30% menyatakan pernah memanfaatkan pelayanan kesehatan tetapi ditolak, 20% ditunda pengobatannya, 61% pernah
Alternatif Kebijakan Operasional PICT untuk Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Masa Perinatal memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk melakukan tes tetapi bukan karena kemauannya sendiri, 60% mempunyai penilaian negatif kepada orang lain, dan 50% tidak diberikan penjelasan mengenai sakit yang diderita. 8 Masalah yang kemudian timbul di wilayah Puskesmas Tambora Jakarta Barat adalah tidak semua dari kelompok risiko HIV/AIDS pada ibu hamil yang berkunjung ke Puskesmas Tambora Jakarta Barat tersebut yang mau melakukan tes HIV. Dari total 1.108 orang yang berkunjung selama tahun 2013 tersebut, hanya 393 ibu hamil yang mau melakukan tes darah untuk mengetahui status HIV-nya positif atau negatif. Pemanfaatan layanan PICT yang diberikan oleh Puskesmas Tambora oleh kelompok risiko HIV/AIDS tersebut juga dipengaruhi oleh dorongan orang lain dan juga dari kemauan diri sendiri. Sebagian dari mereka hanya menerima konseling pra tes, dan butuh waktu yang cukup lama untuk memutuskan mau melakukan tes HIV. Kurang maksimalnya kelompok risiko HIV/ AIDS yang berkunjung ke Puskesmas Tambora dalam memanfaatkan layanan PICT yang diberikan oleh petugas kesehatan menjadi alasan penulis melakukan penelitian ini. Peran PICT disini belum berperan dengan baik untuk menjaring masyarakat yang berpotensi HIV. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun alternatif kebijakan operasional tentang PICT untuk pencegahan penularan HIV-AIDS pada masa perinatal di Puskesmas Tambora Jakarta Tahun 2014. Metode Penelitian ini merupakan penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk memperoleh hasil dengan pemahaman yang mendalam tentang topik penelitian. Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. 9 Metode penelitian kualitatif dapat digunakan untuk mengkaji, membuka, menggambarkan atau menguraikan sesuatu dengan apa adanya. Bertujuan untuk memahami fenomena dan temuan-temuan yang didapatkan atau terjadi di lapangangan berdasarkan bukti-bukti atau fakta-fakta sosial yang ada misalnya persepsi dan perilaku.10 Penelitian dilaksankaan di Puskesmas Tambora Jakarta Barat yang yang memiliki angka kejadian HIV terbanyak di wilayah Jakarta Barat. Penelitian ini akan dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan Januari tahun 2015. Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk
membuat generalisasi dari penelitiannya. Oleh karena itu pada penelitian kualitatif tidak mengenal adanya populasi dan sample. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.11 Informan adalah orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang situasi dan kondisi mengenai fokus penelitian. Informan penelitian terbagi atas : (1) Informan pendukung, yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan. Adapun informan kunci pada penelitian ini adalah : Kepala Dinas Kesehatan , Kepala Puskesmas, Tenaga Kesehatan (Dokter) dan Kepala dan Pengelola Program PITC. (2) Informan kunci (key informan) yaitu mereka kelompok beresiko yang terlibat langsung dalam program PITC di sekitar Puskesmas Tambora Jakarta Barat. Adapun informan kunci dalam penelitian ini adalah wanita hamil beresiko/PSK yang sudah terinfeksi psoitif HIV dan bersedia diwawancara. Wawancara mendalam akan dilakukan menggunakan open-ended. Data yang diperoleh berupa persepsi, pendapat, perasaan, pengetahuan dan perilaku. Observasi akan menghasilkan data deskripsi yang ada di lokasi penelitian dalam bentuk pembicaraan, interaksi interpersonal, sikap dan perilaku/tindakan. Sedangkan analisis dokumen akan dilakukan dengan menganalisis material yang tersimpan baik berupa dokumen tulisan atau audiovisual. Wawancara Mendalam (WM) adalah proses tanya jawab secara individual untuk menggali informasi tentang pandangan, keyakinan, pengalaman, pengetahuan dan perilaku informan mengenai suatu topik secara menyeluruh. 12 Penelitian ini akan menggunakan jenis WM semi terstruktur, dimana peneliti akan merancang panduan wawancara terlebih dahulu untuk kemudian ditanyakan sebagai pertanyaan utama yang akan diprobing terus-menerus sampai peneliti memahami makna keseluruhannya. Wawancara berlangsung dalam waktu kurang dari 90 menit. Tahapan observasi yang akan dilakukan adalah dimulai dengan grandtour observation (observasi deskriptif) baru dilakukan mini-tour observation (observasi terfokus). Halhal utama yang akan di observasi adalah : tempat, karakteristik orang yang diobservasi, aktivitas seharihari, proses interaksi di lokalisasi, kejadian, waktu dan ekspresi-ekspresi lain dari informan.12 Hasil Penelitian dilakukan di Puskesmas Tambora Jakarta Barat. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam kepada kepala dinas Jakarta Barat, kepala puskesmas, pengelola klinik PITC, tenaga kesehatan PITC, ibu rumah tangga beresiko, PSK dengan
3
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 14 No. 1 Tahun 2015 metode purposive sampling melalui bantuan LSM Lentera Anak pelangi untuk mencari informan yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian. LSM yang di ikutsertakan dalam penelitian ini adalah Lentera Anak Pelangi dibawah bimbingan ibu Rovina Tarigan, KPA Jakarta Barat. Observasi penelitian dilakukan oleh peneliti dengan mengamati fenomena yang ada pada kebijakan operasional program PICT. Penelitian ini hanya mendapatkan alternatif kebijakan operasional tentang PITC untuk pencegahan penularan HIVAIDS untuk keberhasilan pelaksanaan program PITC. Temuan lapangan memperlihatkan pencegahan primer infeksi HIV pada kelompok beresiko (PSK dan ibu hamil) khususnya usia reproduksi belum berjalan efektif. Meskipun kebijakan program PICT sudah dilakukan dan sosialisasikan sebagai bentuk penanggulangan HIV/AIDS di Puskesmas Kecamatan Tambora antara lain dengan program KIE yang cukup gencar, namun harus diakui bahwa fokusnya diarahkan pada mereka yang berperilaku resiko tinggi dengan penekanan pada perubahan perilaku individual. Kasus di atas juga menegaskan bahwa laki-laki yang cenderung memiliki perilaku resiko tinggi untuk tertular HIV dan berpotensi menularkan kepada pasangan perempuannya yang berperilaku resiko rendah (ibu hamil). Temuan lainnya adanya pandangan bahwa seksualitas bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan secara terbuka sekalipun antara suami dan istri. Kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS dan ketimpangan relasi gender berimplikasi terjadinya late testing pada perempuan, khususnya PSK, istri dan/atau ibu hamil. Apabila hasil test darah adalah HIV positif dengan program PICT maka perempuan akan dihadapkan dengan sejumlah pilihan yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksual mereka. Dalam pandangan peneliti, faktor lain yang mempengaruhi late testing pada perempuan adalah program pencegahan HIV/AIDS, sebagai contoh pada penasun jarang menjangkau pasangan tetap dari kelompok sasarannya. Program PICT lebih difokuskan pada individu atau kelompok sebaya, tetapi kurang memperhatikan konteks sosial yang lebih luas seperti keluarga. Temuan lainnya konseling terkait dengan PICT dan seks aman terhadap pasangan seksual perempuan ODHA amatlah penting. Dari segi layanan kesehatan perlu adanya sistem rujukan antara layanan PICT dan layanan KB karena yang dibutuhkan oleh perempuan ODHA adalah alat kontrasepsi. Selain itu juga dibutuhkan adanya layanan aborsi yang aman apabila perempuan ODHA yang hamil mengambil keputusan untuk melakukannya agar terhindari dari penularan HIV pada bayinya. Beberapa temuan diatas, dapat peneliti sampaikan
4
bahwa PICT bukanlah semata-mata mencegah penularan HIV penasun atau dari ibu ke bayi, tetapi juga mencakup beragam aspek kesehatan reproduksi dan seksual sehingga memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Pendekatan ini dilakukan dengan mengintegrasikan program PICT kedalam layanan klinik CINTTA di Puskesmas Kecamatan Tambora dengan melakukan beberapa wawancara kepada informan, sehingga dapat memberikan sebuah gambaran tentang peliknya masalah program PICT. Informan kunci dalam penelitian ini ada tempat orang informan, terdiri dari dua orang informan berusia diatas 30 tahun, dua orang informan ratarata berusia dibawah 30 tahun. Usia informan dipilih dari mulai usia 25-40 tahun sesuai dengan penelitian oleh Hendrartini (2009), bahwa mayoritas responden yang masih aktif pada kegiatan masyarakat ratarata memiliki rentang usia produktif 25-40 tahun. Walaupun ada juga yang berada pada usia dibawah 20 tahun yang aktif dalam kegiatan masyarakat. Jenis pendidikan informan kunci sebagian besar berpendidikan dibawah SLTP sebanyak 3 orang, dan hanya 1 orang yang berpendidikan SLTA. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar subyek berpendidikan SLTP, hal ini ada kaitannya dengan pengetahuan informan dalam mengantisipasi resiko HIV. Pengetahuan didapatkan baik melalui pendidikan formal ataupun non formal pendidikan non formal terbentuk karena sosial budaya dalam masyarakat, adanya media cetak dan elektronik serta berdiskusi dengan masyarakat, teman sebaya ataupun dengan tenaga kesehatan. Lama kerja sebagai PSK rata-rata diatas 25 tahun. Ibu dengan status sudah menikah serta memiliki 2 anak ada sebanyak 2 orang, jumlah anak 1 sebanyak 1 orang dan ibu tidak memiliki anak sebanyak 1 orang. Sebagian besar subyek memiliki jumlah anak 2 anak dan 1 anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Pimenta (2010), bahwa semakin sering melahirkan makin banyak ibu memiliki kebutuhan yang tinggi terhadap anaknya, sehingga cara apapun tetap dilakukan walaupun berprofesi sebagi PSK. Hasil penelitian ditemukan bahwa banyaknya jumlah anak mempengaruhi kebutuhan seseorang Informan pendukung merupakan sumber informan yang akan mendukung informasi kunci, Informan pendukung dalam penelitian ini diperoleh dari 5 sumber yaitu kepala dinas kesehatan, kepala puskemas, koordinator PICT, Staff Klinik PICT dan staff PPIA, Kepala Dinas Jakarta Barat, Kepala Puskesmas Tambora, Petugas Klinik CINTTA Jumlah tenaga kesehatan berasal dari Puskesmas Kecamatan Tambora berjumlah 3 orang berusia diatas 30 tahun dan telah memegang wilayah binaan ini selama masa kerja diatas 2 tahun dengan jenjang
Alternatif Kebijakan Operasional PICT untuk Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Masa Perinatal pendidikan D3 dan S1 kedokteran, sedangkan Kepala Dinas Kesehatan diwilayah binaaannya atau tanggung jawabnya telah berusia 40 dan berpendidikan S2 dengan masa kerja 10 tahun. Hasil analisis tematik dilakukan dengan mengidentifikasikan 4 tema pada penelitian ini. Berbagai tema terkait penelitian kebijakan operasional tentang PICT untuk pencegahan penularan HIVAIDS yaitu 1) pengetahuan program PICT, 2) pengalaman kelompok beresiko (ibu hamil dan PSK), 3) Dukungan keluarga terhadap kelompok beresiko, 4) Kebijakan PICT Puskesmas Kecamatan Tambora. Adapun temuan penelitian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Pengetahuan Terkait Program PICT Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelusuran terkait pengetahuan dengan mengumpulkan data dengan program PICT HIV dan AIDS menurut informan. Jawaban yang diperoleh peneliti cukup beragam. Banyak hal secara pernyataan dapat diterima, namun secara ilmiah akurasinya kurang dan ada perbedaan. Hal ini dibenarkan ketika peneliti melakukan triangulasi sumber data ke Puskesmas Kecamatan Tambora dan LSM Lentera anak pelangi. Sebagian besar Informan mengaku menjawab tidak tahu program PICT di Puskesmas Tambora, namun setelah dijelaskan apa itu PICT, mereka baru mengetahui PICT yang dimaksud. Menurut mereka dengan adanya program PICT dapat membantu pencegahan AIDS. Seperti salah satu kutipan pernyataan informan berikut Tabel 1 Matriks Pengetahuan Informan Tentang Program PICT Kode-Umur Pengetahuan Responden Tentang Program PICT S1-101 – 35 tahun
Tidak tahu. Mungkin programnya ada manfaat untuk menolong orang
S2-102 – 32 tahun
Tidak tahu. Sedikit ada manfaat minimal buat keluarga (suami)
S3-103 – 25 tahun
Pernah mendengar, sekali datang ke klnik PICT Tambora
S4-104 – 27 tahun
Tidak Tahu. Pernah mendengar, tetapi jarang memanfatkan klinik PICT Tambora
Layanan PICT biasanya akan merujuk perempuan HIV positif ke rumah sakit atau puskesmas tertentu yang mempunyai pengalaman menangani ODHA. Mereka akan mendapatkan konseling yang berisi informasi tentang masalah reproduksi termasuk promosi penggunaan obat ARV sebagai obat
pencegahan bukan di layanan KIA dan KB tetapi di bagian HIV/AIDS dan, sayangnya, konseling KB dilakukan oleh konselor HIV/AIDS yang mempunyai pengetahuan terbatas tentang KB. Persoalan pencegahan kehamilan yang tidak dikehendaki bukan semata akibat hubungan seks yang tidak aman tetapi bisa juga ketika seorang perempuan yang sedang hamil kemudian mengetahui bahwa dirinya HIV-positif. Sebagaimana terungkap dalam rapid assessment ini bahwa seringkali seorang perempuan menemukan dirinya terinfeksi HIV setelah anaknya atau suaminya sakit terus menerus dan kemudian diketahui HIV positif. Terlambat mendeteksi HIV dengan PICT pada PSK dan ibu hamil dapat mengakibatkan timbulnya tekanan-tekanan psikologis yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan kehamilan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang ibu hamil HIV positif berkeinginan untuk menghentikan kehamilannya karena kekawatiran bayinya akan tertular HIV. Oleh karena itu upaya yang perlu terus ditingkatkan adalah care and support bagi ibu hamil HIV positif agar tidak menjadi stress atau depresi yang mungkin dapat menyebabkan ia tidak menghendaki lagi kehamilannya dilanjutkan. Berikut ini adalah hasil paparan wawancara informan terkait dengan penilaian program PICT di Puskesmas Kecamatan Tambora. Tabel 2 Matriks Penilaian Program PICT Puskemas Kecamatan Tambora Penilaian Program PICT Kode-Umur Puskemas Kecamatan Tambora S1-101 – 35 tahun
Tidak mengerti karena belum pernah mengikuti program PICT
S2-102 – 32 tahun
Tidak mengetahui p-rogram PICT
S3-103 – 25 tahun
Cukup efektf, setidaknya dapat mencegah penularan HIV
S4-104 – 27 tahun
Tidak paham maksud program PICT
maksud
Hasil wawancara dengan keempat subyek memperlihatkan bahwa mereka memiliki persepsi yang sama mengenai penilaian program PICT Puskesmas Tambora, yaitu tidak mengerti program PICT karena belum pernah mengikuti secara langsung. Oleh karena itu upaya promotif lebih berfokus pada suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan dengan melakukan penyuluhan PICT. Upaya ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk pencegahan sejak dini dengan memberikan pengetahuan tentang penyebaran, pencegahan dan dampak dari HIV/AIDS kepada masyarakat
5
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 14 No. 1 Tahun 2015 khususnya populasi kunci. Harapan yang ingin dicapai dari pendidikan HIV/AIDS ini adalah perubahan pola hidup yang tidak sehat di dalam masyarakat. Dari data yang diperoleh dari Klinik CINTTA PICT di Jakarta Barat selama tahun 2012 – 2013 sudah ditemukan 33 kasus HIV-AIDS pada kelompok beresiko ibu hamil dan PSK, dan untuk yang berdomisili Kecamatan Tambora sebesar 12 kasus. Sosialisasi HIV/AIDS dengan program PICT ke masyarakat umum baik melalui baliho maupun leaflet yang disediakan di layanan-layanan kesehatan dan melakukan kerjasama dengan seluruh masyarakat dapat meningkatkan kelompok-kelompok masyarakat peduli AIDS. Ketika digali lebih lanjut mengenai sejauh mana manfaat program PICT (setelah diberikan penjelasan oleh prtugas Kesehatan), seluruh subyek menyatakan bahwa ada manfaat program PICT bagi ODHA. berikut petikan hasil wawancara mendalam. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh temuan bahwa manfaat program PICT di Puskesmas Kecamatan Tambora ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. HIV/AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat Tambora, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan penyakit ini juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es. Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di Kecamatan Tambora terus meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Dari beberapa cara penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko penularan cukup besar. Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan ARV agar penyebaran mengalami perlambatan dan pemberian penyuluhan dengan program PICT. HIV tidak dapat disembuhkan karena tidak ada obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/ AIDS. Perkembangan penyakit dapat diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat antara berbagai obat-obatan antiretroviral (ARV) dapat memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal terjadinya AIDS. Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda, yang meliputi konseling dan tes mandiri (PICT), dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling tindak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IO), dan pemberian ARV.
6
Pengalaman dan Motivasi Kelompok Beresiko Saat membahas tentang pengalaman dan motivasi Kelompok Bersiko, para subyek mengenali memiiliki pengalaman dan motivasi menjadi kelompok bersiko. Berikut matriks yang menjelaskan pengalaman dan motivasi menjadi kelompok bersiko antara lain yaitu: Tabel 3 Matriks Pengalaman Informan Terinfeksi HIV Pengalaman Informan Informan Kode-Umur Terinfeksi HIV S1-101 35 tahun
Saat pemeriksaan kehamilan baru tahu tentang Program PICT, dapat penjelasan tentang manfaat PICT dan obat ARV, informan belum pernah ikut Tes HIV, informan mengaku menerima jika dirinya terinfeksi HIV.
S2-102 32 tahun
Baru tahu program PICT dan informan belum pernah ikut Tes HIV dan tahu manfaat obat ARV
S3-103 25 tahun
Saat ditemui informan baru tahu tentang Program PICT, dapat penjelasan tentang manfaat PICT, informan belum pernah ikut Tes HIV. Belum tau obat ARV
S4-104 27 tahun
Informan mengaku menerima jika dirinya terinfeksi HIV. Hingga saat ini informan belum pernah melakukan tes HIV. Menurut informan Tes HIV hanya dilakukan jika sudah mendesak diperlukan.
Berdasarkan pemaparan dan matriks diatas maka hasil dari penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa pengalaman kedua informan kunci mengaku belum pernah mengetahui program PICT, namun saat diberikan penjelasan mereka mengaku mengerti maksud dan tujuan program PICT. Kedua informan juga mengaku belum pernah mengikuti tes secara langsung, kecuali saat diminta sukarelanya, mereka bersedia mengikuti tes hingga dirinya dinyatakan negatif. Wawancara lebih lanjut ketika ditanya pengalaman menggunakan obat ARV, hampir semua informan mengatakan bahwa semua upaya tersebut sepadan dengan manfaatnya. Informan juga mengatakan bahwa upaya yang dilakukan dalam pengobatan ARV rutin selama 6 bulan selama hamil secara terus menerus dapat mencegah penularan HIV AIDS ke bayinya. Tampaknya pengalaman langsung dengan situasi yang mengancam tetap menjadi faktor utama yang memperkuat motivasi dan kesiapan mengubah perilaku. Meskipun demikian, informan pendukung juga mengkonfirmasi bahwa pola dan kebiasaan di lokalisasi mempengaruhi motivasi dan
Alternatif Kebijakan Operasional PICT untuk Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Masa Perinatal kesiapan mengubah perilaku. Wawancara lebih lanjut peneliti lakukan dengan menggali lebih dalam lagi kepada kelompok beresiko terkait dengan motivasi mengkonsumsi obat ARV. Berikut ini hasil kutipan wawancara denga para informan. Tabel 4 Matriks Motivasi Kelompok Beresiko Menggunakan Obat ARV Kode-Umur Motivasi Menggunakan Obat ARV S1-101 35 tahun
Motivasi rendah karena menggangap saat ini tidak ada pengobatan yang efektif kecuali terapi ARV
S2-102 32 tahun
Motivasi rendah karena tidak ada pertimbangan lain obat ARV yang dapat membantu pengendalian AIDS
S3-103 25 tahun
Motivasi baik karena penggunaan obat ARV dapat membantu terhindar dari komplikasi penyakit akibat kekabalan tubuh menurun
S4-104 27 tahun
Motivasi baik karena menurut informan obat ARV sangat membantu mencegah AIDS
Keberadaan dan kekuatan motivasi dan kesiapan mengubah perilaku informan untuk pengobatan ARV secara konsisten dapat diketahui pada saat melakukan kunjungan antenatal informan selama ini. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, usaha-usaha yang umumnya dilakukan informan untuk pengobatan ARV secara konsisten adalah :1) kunjungan antenatal care teratur, 2) mengambil obat ARV di klinik CINTTA, 3) meyakinkan klien agar teratur minum obat, 4) mencari informasi PITC di klinik CINTTA. Upaya informan untuk terus ter-update dengan informasi seputar PITC untuk pencegahan penularan HIV/AIDS perinatal adalah bagian dari upaya untuk terus menerus memotivasi diri dan memperkuat negosiasi dengan klien untuk agar rutin pengobatan ARV dalam 6 bulan terus menerus untuk pencegahan penularan ke bayi. Bentuk perilaku mandiri dan berdaya dalam upaya melindungi diri dari ancaman penularan HIVperinatal, Perilaku ingin tahu dan patuh dalam pengobatan ARV dan rutin mengambil obat di klinik PITC. Perilaku ini mengindikasikan telah adanya motivasi dan kesiapan melindungi diri dan bayinya secara konsisten berdasarkan kebutuhan pada diri informan. Alasan yang paling umum dikatakan informan adalah “mencegah penularan” tertular HIV. Alasan yang paling rasional dan terkait langsung dengan semua informasi pencegahan yang sering disampaikan para petugas lapangan melalui berbagai
media informasi yang sering mereka terima. Informan lainnya memandang segala usaha menggunakan ARV secara konsisten selama 6 bulan berturut-turut. Hal ini berkaitan dengan usaha pencegahan penularan HIV ke bayi. Informan yang berorientasi kepada masa depan bayinya, sehingga usaha menggunakan ARV dianggap sangat sepadan dengan keinginan mencapai masa depan yang lebih baik. Informan merasa usaha pencegahan ini sebagai investasi atas masa depan. Hal ini juga karena pengobatan ARV secara rutin, sebagai upaya yang mudah yang di perlukan adanya keeinginan kuat untuk melakukan perubahan perilaku. Terkait hambatan penggunaan ARV, banyak informan mengatakan tidak mempunyai hambatan setelah mendapat konseling tentang HIV AIDS mereka yang mengatakan hal ini mengungkapkan alasan : 1) sudah teratur minum obat ARV, 2) obat ARV mudah di dapat dan selalu tersedia, 3) gratis, 4) lebih nyaman seteleah mendapat penjelasan dan 5) khawatir penularan HIV ke bayi. Ada juga informan menyatakan tidak ada ARV atau lupa membawanya. Hal ini terkait dengan rendahnya usaha informan untuk kunjungan ke klinik PITC. Sementara itu perasaan takut dan malu terkait dengan stigma negatif oleh masyarakat sebagai pengidap HIV (+). Berdasarkan observasi peneliti di lokalisasi di klinik PITC ternyata persiapan obat ARV tersedia untuk persediaan tiga bulan kedepan sudah di siapkan. Peneliti juga melakukan triangulasi informasi tentang motivasi dan kesiapan mengubah perilaku dengan informan pendukung dari LSM lentera anak pelangi motivasi dan kesiapan mengubah perilaku pada pekerja sek komersil secara umum tidak konsisten. Beberapa yang pernah melihat temannya mengalami gejala IMS mempunyai motivasi dan kesiapan mengubah perilaku menggunakan obat ARV dan terapi ARV lebih kuat dan konsisten. Terkait kerentanan ibu hamil beresiko dan pekerja sek komersial (PSK) terhadap terinfeksi HIV, sebagian besar informan menyatakan berisiko. Alasan mereka merasa berisiko adalah :1) bergantiganti pasangan dengan banyak orang, 2) belum konsisten memakai obat ARV.dan obat ARV, Alasan ini cukup konsisten dengan pendapat informan terkait hambatan pemakaian obat ARV diatas. Jadi terkait motivasi dan kesiapan megubah perilaku dari tidak pakai ARV konsisten, ke pemakaian ARV konsisten, para informan menyatakan telah banyak upaya yang dilakukan sebagai bukti keberadaan dan kekuatan motivasi dan kesiapan mengubah perilaku. Informan melihat berbagai upaya yang telah dilakukan sepadan dengan manfaat yang dirasakan. Sebagian informan menyatakan merasa berisiko dengan apa yang dilakukan selama ini dan sebagian
7
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 14 No. 1 Tahun 2015 informan yakin bahwa jika tidak menggunakan ARV akan membuatnya sangat mungkin terinfeksi HIV pada bayinya. Hasil studi menunjukkan bahwa situasi motivasi dan kesiapan mengubah perilaku informan untuk selalu menggunakan obat ARV secara konsisten dalam setiap hubungan seks cukup memadai dan terbukti sebagai faktor pendukung penggunaan obat ARV secara konsisten. Informan mempunyai motivasi untuk mempraktekkan seks aman dan siap mengambil tindakan melindungi diri sendiri dari penularan HIV. Upaya-upaya yang telah dilakukan informan untuk memunculkan dan menjaga motivasi diri dan kesiapan mengubah perilaku cukup bervariasi, memadai dan menunjukkan motivasi dan kesiapan informan untuk bertindak mencegah tertular HIV. Sebagai bukti adanya motivasi dan kesiapan mengubah perilaku, hampir semua informan pernah menggunakan ARV, mencari/menyediakan obat ARV di klinik PITC. Informan juga melihat semua upaya tersebut sepadan dengan manfaat yang dirasakan atau dibayangkan akan diperolehnya yakni terhindar dari penularan HIV. Ada juga informan yang mengungkapkan ada banyak hambatan untuk menjaga motivasi dan kesiapan untuk mengubah perilaku, dan sebagian juga menyatakan tidak ada hambatan yang berarti. Hambatan utama datang dari informan PSK dalam bentuk penolakan pemakaian ARV dan sikap-sikap tidak mendukung dari keluarga. Sebagian informan ibu hamil merasa yakin dengan efektivitas ARV 6 bulan terus menerus dapat mencegah HIV perinatal, penguat motivasi dan kesiapan mengubah perilaku untuk selalu menggunakan ARV secara konsisten. Namun demikian, kekuatan motivasi dan kesiapan mengubah perilaku yang telah dimiliki semua informan cukup rapuh dan penerapannya selektif. Beberapa situasi lebih tinggi, pada situasi lain lebih rendah. Kerapuhan motivasi dan kesiapan mengubah perilaku untuk selalu menggunakan ARV ini ditunjukkan dengan berubahnya hal-hal tersebut ketika bertemu dengan situasi yang berubah/ berbeda, terutama situasi senang/nyaman dan dipandang menguntungkan. Misalnya, informan dengan motivasi kuat dan siap bertindak untuk selalu menggunakan obat ARV, pada PSK dapat berubah ketika berjumpa dengan klien yang penampilannya menarik (yang memunculkan ketertarikan afektif pada diri informan), bersedia membayar lebih besar motivasi cenderung melemah. Demikian juga dengan temuan bahwa ada informan yang mempunyai motivasi dan kesiapan mengubah perilaku konsisten adalah mereka yang pernah mengalami situasi yang tidak menyenangkan
8
atau merugikan. Situasi seperti ini umumnya terjadi ketika informan pernah melihat pengalaman yang terjadi pada keluarga atau pada isteri, serta para suami ingin merubah perilaku beresiko dengan mencari solusi penjelasan lanjut dapat berkunjung klinik PITC agar mendapat konseling, dan tes dan mengikuti petunjuk pengobatan bila hasil tes (+) dan obat ARV harus dengan konsisten.14 Temuan ini sejalan dengan penelitian bahwa dalam studi kualitatifnya tentang motivasi penggunaan ARV di Ghana dengan perbedaan situasi yang dianggap mengancam/membahayakan. Collins mengkonfirmasi bahwa alasan utama menggunakan obat ARV adalah bentuk pencegahan penularan HIV perinatal situasi yang dianggap mengancam dapat menularkan pada bayinya. Alasan lainnya informan termotivasi menggunakan obat ARV adalah karena diminta oleh teman atau pasangan seksnya. Informan juga menyatakan bahwa mereka menggunakan obat ARV dan obat ARV jika baru pertama kali bertemu dengan pasangan seksnya atau dimana orang itu merupakan pasangan tetap yang tidak bisa dipercaya.15 Persepsi risiko diri juga faktor penguat motivasi dan kesiapan mengubah perilaku. Informan yang menyadari dan mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai orang yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV, cenderung mempunyai motivasi dan kesiapan mengubah perilaku yang lebih kuat dan konsisten. Hal ini bertambah kuat jika persepsi risiko tersebut berdasarkan pengalaman langsung (pernah IMS, melihat langsung ODHA, melihat temannya yang sakit). Jadi bukan persepsi risiko artifisial hanya berdasarkan pengetahuan, namun persepsi risiko kritis berdasarkan pemahaman informan akan situasi yang melingkunganinya serta dampak negatif yang mungkin menimpanya. Motivasi dan kesiapan mengubah perilaku juga bertambah kuat pada informan psk yang mempunyai pasangan tetap laki-laki karena adanya tujuan menjaga kesehatan dan keharmonisan hubungan dengan pasangannya. Hubungan afektif dengan pasangan tetap memunculkan motivasi untuk tidak menularkan penyakit kepada pasangan lain. Oleh karena itu berimbas pada motivasi dan kesiapan mengubah perilaku tidak berganti-ganti pasangan. Sebaliknya, terkena IMS atau positif HIV akan mengakibatkan ketidak harmonisan dan pemutusan hubungan oleh pasangan tetap.16 Hal inilah yang memperkuat motivasi dan kesiapan mengubah perilaku informan untuk melakukan tes HIV dan pengobatan antiviral dengan teratur. Informan ibu hamil beresiko dengan tingkat motivasi dan kesiapan mengubah perilaku pada dukungan keluarga adalah keluarga suami harus memberi dukungan pada informan. Informan kunci
Alternatif Kebijakan Operasional PICT untuk Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Masa Perinatal menyatakan bahwa menggunakan obat ARV secara konsisten adalah bukti cinta pada pasangan. Hubungan yang harmonis membantu ibu hamil beresiko untuk semangat mempertahankan kehidupannya dan keberlangsungan hidup bayinya. Sebaliknya hubungan harmoni ini, melibatkan perasaan cinta. Dukungan Keluarga dan Niat Menggunakan Obat ARV Setiap diketahui adanya penderita DBD, Wawancara lebih lanjut peneliti lakukan dengan melakukan pertanyaan kepada informan kunci terkait dukungan keluarga jika dirinya terinfeksi HIV positif. Berikut pejelasan keempat informan terkait dukungan keluarga dalam matrik berikut : Tabel 5 Matriks Dukungan Keluarga Informan yang Terinfeksi HIV Inisial Dukungan Keluarga Informan yang Terinfeksi HIV S1-101 35 tahun
Sering dijauhkan dari keluarga dan tidak bisa ikut bersama keluarga saat kumpul, merasa sedih, informan merasa kapok melakukan seks beresiko dan informan mengaku tidak ada dukungan keluarga kecuali orangtuanya. Informan ada niat dan bersedia menggunakan obat ARV
S2-102 32 tahun
Keluarga tidak peduli dengan kondisi informan dan tidak ada bantuan apaapa. Masyarakat juga menilai informan tidak baik (stigma negatif). Informan ada niat dan bersedia menggunakan obat ARV
S3-103 25 tahun
Keluarga tidak menerima kehadirannya, merasa sedih karena sudah tuntutan pekerjaan, informan tetap menjalani seks beresiko dan informan mengaku tidak ada dukungan keluarga. Informan mau menggunakan obat ARV secara konsisten
S4-104 27 tahun
Tidak ada dukungan keluarga hanya teman sebaya yang mengerti kondisi informan menjalankan profesinya sebagai PSK. Informan mau menggunakan obat ARV secara konsisten
Berdasarkan pemaparan dan matriks diatas maka hasil dari penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga keempat informan kunci mengaku tidak ada dukungan keluarga dan mereka merasakan kesedihan karena tidak dianggap kehadirannya ditengah-tengah keluarga. Dari pernyataan informan, diharapkan adanya peran tenaga kesehatan serta memperhatikan, peduli dan
bekerja sama memperkenalkan program PICT. Penelitian ini juga berusaha memperoleh pemahaman yang mendalam tentang situasi niat informan untuk menggunakan obat ARV secara konsisten. Niat ini menjadi penting karena merupakan refleksi dari sikap, norma subjektif dan kontrol perilaku pada diri seseorang. Untuk melihat langsung keberadaan dan ragam niat, secara spesifik peneliti menanyakan rencana informan ke depan untuk selalu menggunakan obat ARV. Ketika ditanyakan apa potensi atau keterampilan diri yang dimiliki yang memungkinkan informan melakukan rencana ke depan tersebut, jawaban informan pendukung (tenaga kesehatan) adalah: 1) penerapan PICT berjalan , 2) ada komimen pemerintah, 3) petugas sudah pelatihan PITC 4) Obat ARV tersedia. Semua potensi diri ini lebih banyak merefleksikan adanya persepsi kontrol yang kuat diantara informan. Namun sebaliknya, informan juga menyatakan ada hal-hal yang kemungkinan tidak mendukung pelaksanaan rencana ke depan dalam mempraktekkan secara konsisten, antara lain : 1) kurangnya sosialisasi warga dan lingkungan puskesmas tentang PITC, 2) obat ARV habis rasa malu untuk berkunjung ke klinik PITC dan 3) lupa minum obat. Klien secara umum dianggap pihak paling perlu ada yang mendukung penggunaan obat ARV karena ada stigma negatif dan rasa malu pada lingkungan sosial. Klien umumnya menolak, dan cenderung menutup diri Hal ini sering menimbulkan perasaan “tidak mood” untuk penggunaan obat ARV. Pada banyak kasus, stok obat ARV tidak menjadi kendala pelaksanaan operasional PITC. Meskipun informan pendukung menyatakan mampu mengakses kebijakan operasional PITC dalam kaitan pencegahan penularan HIV-AIDS perinatal. Namun masih saja ada ibu hamil HIV(+) yang tidak terpantau ini berkaitan dengan Kepatuhan ibu hamil HIV (+) minum obat ARV secara terus menerus minimal 6 bulan agar dapat mencegah HIV perinatal.16 Informan LSM Lentera Anak Pelangi menyatakan bahwa pada dasarnya diskriminasi, penolakan sosial terhadap pengidap HIV masih ada di masyarakat, akibatnya pengidap HIV (+) tidak terbuka selalu ada perasaan malu dan takut, berkaitan dengan ini petugas kesehatan dan LSM berupaya untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan melakukan sosialisasi PITC kepada masyarakat di mulai dari warga sekitar lingkungan Puskesmas Kecamatan Tambora. Penelitian ini juga berusaha mengkonfirmasi seberapa kuat niat informan untuk selalu menggunakan ketika dihadapkan pada beberapa situasi sulit atau tidak mendukung. Berdasarkan proses triangulasi dengan informan pendamping LSM Lentera Anak Pelangi, beberapa hal dianggap sangat mempengaruhi niat
9
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 14 No. 1 Tahun 2015 yang membuatnya sering tidak konstan. Beberapa niat yang terkait dan dipengaruhi sikap memilih konseling melalui PICT antara lain : 1) sikap mendukung/tidak mendukung oleh klien tentang penggunaan obat ARV, 2) tingkat pengetahuan yang memadai. Beberapa niat yang terkait dan dipengaruhi norma subjektif antara lain : 1) persaingan di lokalisasi, 2) bagi mereka yang sepenuhnya tergantung pekerjaan ini, bertahan hidup adalah pilihan pertama, sehat adalah pilihan kedua, dan 3) tekanan klien menggunakan kekuatan uang, dan 4) laris tidaknya pekerja seks tersebut yang bersangkutan. Tanggapan informan atas berbagai situasi diatas umumnya baik, positif dan menunjukkan niat yang konsisten. Namun pada penggalian tentang situasi menggunakan dan tidak menggunakan obat ARV’ informan lebih banyak mengatakan pendapat dan sikap yang negatif dari pada yang positif. Program PICT Puskesmas Kecamatan Tambora Pada bagian ini peneliti berusaha memahami bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung operasional PITC terhadap kelangsungan pengobatan dan hidup yang berkualitas bari pengidap HIV(+), perilaku penggunaan obat ARV secara konsisten menjadikan informan akan berdampak baik dari kelangsungan hidup di masyarakat. Optimalisasi PITC solusi kunci permasalahan HIV yang merobah stigma negatf menjadi stigma baik di masyarakat, sikap informan yang tidak peduli tentang kesehatannya dengan adanya konseling yang informatif, walau hal ini sulit lambat laun informan bersikap sebaliknya menjadi mendukung. Saling mendukung dalam pengobatan dan saling mendukung dalam pencegahan. Kebijakan operasional tentang PICT terkait pencegahan penularan HIV AIDS perinatal mayoritas informan Tenaga Kesehatan menyatakan sudah dilaksanakan konseling dan tes HIV dan pemberian obat ARV, informan mengatakan bahwa penularan HIV perinatal dapat terjadi karena kunjungan antenatal tidak teratur dan ada juga pasien yang lolos dari pantauan ketidak disiplinan dalam pengobatan antiviral. Informan klien mengatakan tidak mengetahui adanya klinik CINTTA dan program PITC di Puskesmas Kecamatan Tambora. Untuk pencegahan penularan HIV AIDS perinatal perlu di lakukan konseling khusus. Pada penelitian ini ditemukan bahwa operasional program PITC serta sosialisasi menjadi faktor pendukung/pendorong perubahan perilaku untuk pengobatan ARV. Pengetahuan yang dianggap dapat mendukung perubahan perilaku oleh informan adalah pengetahuan yang bersifat personal dan kontekstual serta dapat diterima sesuai pengalaman dan kebutuhan informan pada kurun waktu tertentu
10
dan pada situasi tertentu yang sedang atau mungkin dihadapi. Pengetahuan yang signifikan dan intensitas korelasinya dengan kebutuhan dan pengalaman informan untuk mengatasi kesulitan tertentu yang jauh lebih menentukan arah perubahan perilaku informan. Menurut LSM Lentera anak pelangi KPA Jakarta Barat, informan pendukung pengetahuan progam PITC dan Program pengobatan ARV harus di sosialisasikan lagi pada warga lingkungan Puskesmas Kecamatan Tambora. Hal ini juga sesuai dengan hasil wawancara mendalam dengan para informan. klien tentang tidak adanya korelasi otomatis antara pengetahuan dengan konsistensi tentang pengetahuan PITC adalah catatan yang penting pada wawancara mendalam. Sebagian besar pengetahuan informan terkait Program PITC dan pengobatan ARV diperoleh melalui indra pendengaran dan penglihatan. Cara perolehan pengetahuan seperti ini sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Intensitas pengetahuan inilah yang menentukan kekuatan pengetahuan sebagai faktor pendukung/ pendorong perubahan perilaku.17 Pada penelitian ini, pengetahuan tidak secara otomatis mengubah perilaku informan terhadap kepatuhan terapi ARV. Pengaruh paling utama adalah mempengaruhi pertimbangan pengambilan keputusan informan. Namun demikian, implementasi dari pengambilan keputusan tersebut tidak secara otomatis seperti diniatkan pertama kali ketika mengambil keputusan. Mengambil keputusan bertindak dan mengimplementasikan keputusan adalah dua hal yang berbeda dan yang kedua dipengaruhi oleh lebih banyak faktor lain. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian bahwa pengaruh pengetahuan terhadap perilaku berjalan tidak langsung tetapi melalui kontribusinya pada peningkatan persepsi risiko. Lebih lanjut Nolasco menyatakan bahwa pengetahuan yang personal dan diakui (telah menjadi pengetahuan umum yang kebenaran dan konteks diakui oleh kelompok) adalah jenis pengetahuan yang paling mungkin meningkatkan persepsi risiko.18 Laporan studinya tentang perilaku pencegahan HIV di Indonesia. Dari sisi situasi pengetahuan informan saat ini, pengetahuan dasar cara penularan HIV-AIDS perinatal, cara pencegahan dengan pengobatan ARV. Namun demikian pada sebagian kecil informan ditemukan juga adanya problem akurasi pengetahuan. Beberapa pengetahuan dasar masih dipahami secara berbeda dan salah oleh informan. Meskipun pengetahuan ditemukan menjadi faktor pendorong perubahan perilaku, namun kekuatannya sangat bervariasi diantara para informan. Hal ini dipengaruhi oleh level intensitas
Alternatif Kebijakan Operasional PICT untuk Pencegahan Penularan HIV/AIDS pada Masa Perinatal memberikan informasi pengetahuan yang dimiliki para informan. Tenaga Kesehatan menyampaikan sosialisasi kepada informan baru. Sebagian informan sampai pada level tahu (know) dan memahami (comprehension). Informan baru sampai pada tahap mampu me-call informasi HIV dan AIDS yang telah diterimanya dan membuat interpretasi yang benar atas informasi tersebut.4 Ada juga informan telah sampai pada level aplikasi dan analisis dimana informan mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip pengetahuan yang dimilikinya pada situasi riil yang dihadapi dan mampu menjabarkan, memilah dan mencari hubungan-hubungan rasional antar berbagai komponen pengetahuannya dengan fakta kehidupan sehari-hari.17 Menurut peneliti belum ada informan yang memiliki intensitas pengetahuan sampai level sintesis dan evaluasi dimana mereka mampu mensintesiskan atau membuat formulasi baru sesuai situasi atau kebutuhan mereka dari informasi HIV dan AIDS yang diterimanya dengan beragam kejadian baru lain yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari dan meletakkannya dalam satu hubungan yang logis serta membuat justifikasi atau penilaian berdasarkan kriteria tertentu untuk menentukan perilaku yang perlu diambilnya. Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan telaah dokumen dan wawancara mendalam mengenai kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV di Jakarta Barat sudah ada kebijakan yang digunakan dari Peraturan Walikota Jakarta Barat No. 16 Tahun 2008 dan Perda No. 09 Tahun 2009. Perda ini berlaku untuk level kota. Perda ini menjadi induk berbagai kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta Barat selain UU Kesehatan yang juga dimanfaatkan oleh Dinas Kesehatan. Koordinator utama pelaksanaan Perda tersebut adalah KPA. Tujuan utama Perda ini menurut informan pendukung adalah untuk mensinergiskan berbagai upaya penanggulangan HIV/AIDS dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta dan masyarakat yang pada akhirnya digunakan untuk menekan laju pertumbuhan HIV. Hal-hal utama yang diatur dalam Perda tersebut adalah : 1) berbagai upaya promotif dan preventif, 2) berbagai upaya kuratif dan rehabilitatif, 3) peran serta masyarakat, LSM dan lembaga donor, 2) pembiayaan penanggulangan HIV/AIDS daqn 5) upaya-upaya pencegahan khusus pada populasi berisiko seperti pengguna Napza suntik. Menurut pandangan informan pendukung, Perda tersebut masih kurang lengkap dimana dalam Perda ini tidak secara jelas menyampaikan upaya pencegahan pada kelompok risiko tinggi seperti pekerja seks perempuan, LSL,
PSL-PP, bahkan penularan dari ibu ke anak sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS. Perda yang berlaku saat ini sudah cukup mendukung dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS khususnya di Jakarta Barat. Namun demikian masih dibutuhkan kebijakan baru yang dapat mendukung programprogram pencegahan HIV Berbagai faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi perilaku penggunaan obat ARV pada pekerja seks dan ibu hamil beresiko di wilayah Tambora Jakarta Barat yang telah dikemukakan diatas maka selanjutnya peneliti melakukan evaluasi kebijakan operasional program PICT dengan menggunakan analisis SWOT sebagai berikut : Kekuatan (Strength) (1) Puskesmas Kecamatan Tambora memiliki program penanggulangan HIV AIDS yang lengkap dan terintegrasi dengan kebijakan operasioanal PMTCT, dan PITC. Kebijakan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 74 tahun 2014 pasal 3 ayat 2 konseling dan tes HIV atas inisiaif pemberi pelayanan kesehatan atau provider initiated testing and counseling (PITC). (2) Adanya kebijakan dalam program komunikasi, informasi, dan edukasi pencegahan infeksi HIV melaui program PICT yang lebih efektif melalui media massa dan LSM peduli AIDS. (3) Adanya kebijakan pengelolaan program PITC untuk menjaga privasi dan hak pasien HIV dan HIDS (Conselor dan Role model, Care Giver) Kelemahan (Weakness) (1) Pengelolaan program PITC untuk melakukan diagnosa HIV secara dini dan belum memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan dengan baik. (2) Belum ada kebijakan yang spesifik mengenai kelompok pekerja seks komersial dan ibu hamil beresiko dalam hal ini kerja sama dengan tokoh Masyarakat, LSM dengan pendekatan dan penjelasan informasi yang dapat di mengerti. (3) Belum maksimalnya sosialisasi tentang program PITC pada warga lingkungan puskesmas Tambora Peluang (Opportunity) (1) Adanya dana melalui Dinas Kesehatan yang mendukung kebijakan operasional program PITC. (2) Adanya dana dari donor luar (Global Fund) yang rutin memberikan bantuan mendukung kebijakan operasional program PITC. (3) Adanya peluang kerjasama dengan LSM dalam sosialisasi program penanggulangan IMS dan HIV AIDS melalui kebijakan program PITC dilingkungan masyarakat (Case finding). Setiap satu tahun 3 kali selalu mengadakan qurterly meeting dan mengundang LSM dan organisasi terkait dalam rangka menjalin kerja
11
Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 14 No. 1 Tahun 2015 sama dan komunikasi. (4) Adanya pelaporan setiap tahun dari kader kelurahan Tambora, terdapat warga yang sakit dicurigai HIV/AIDS. Kemudian dilakukan kunjungan rumah dan dan pasien dianjurkan untuk pemeriksaan IMS dan PICT. Ancaman (Threats) (1) Pengelolaan program PITC belum dikenal baik oleh masyarakat sehingga ada stigma negatif terhadap pengelolaan program PITC. (2) Kebijakan operasional PITC ini belum seluruhnya kondusif akibat kurangnya koordinasi yang baik antar berbagai pihak yang berkepentingan terhadap penangulangan penyakit AIDS Kesimpulan Berdasarkan keseluruhan hasil dan pembahasan dalam penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan, bahwa (1) Pengetahuan, pengalaman, motivasi dan kesiapan mengubah perilaku dan niat mendukung pengobatan tetapi tidak konsisten, lemah dan sebagian besar tidak langsung. (2) Program PICT mendukung pengobatan dan saling mengingatkan agar tidak lupa dalam pengobatan ARV serta dianggap perlu adanya konseling terhadap pendamping ibu hamil beresiko HIV. (3) Kebijakan publik terutama kebijakan publik masih lemah dan ditemukan Kebijakan publik pada level yang lebih rendah di tingkat layanan kesehatan cenderung mendukung meski masih terbatas pada aspek-aspek tertentu saja, namun monitoring evaluasi harus di terapkan untuk melihat sejauh mana pencapaiannya. (4) Kebijakan yang ada saat ini kontentnya sudah mengenai aspek penting dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Dalam pelaksanaannya relative masih ada kekurangan dalam penyampaian pesan promosi kesehatan.di rasakan masih belum ada sosialisasi tentang layanan PITC di masyarakat lingkungan sehingga masyarakat tidak memahami tentang PITC. Dihasilkan alternatif kebijakan berupa operasional program PITC sebagai usulan perbaika program PITC di Puskesmas Tambora Jakarta Barat
memadai. (3) Penyediaan dan distribusi obat ARV perlu dijamin keberlanjutannya, meningkatkan kerjasama lebih luas dengan semua LSM pendamping dan memantau secara periodik penggunaannya. (4) Selain melakukan intervensi pada kelompok beresiko diperlukan juga strategi dan upaya baru untuk menjangkau klien sebab klien merupakan aktor yang paling mempengaruhi perilaku penggunaan obat ARV pada level interpersonal. Daftar Pustaka 1. Barthholomew L.K., Parcel G.S., Kok G., Gottlieb N.H, 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Saran Saran penelitian ini adalah (1) Upaya-upaya penciptaan lingkungan yang kondusif melalui intervensi struktural di lokalisasi perlu menjadi strategi utama program pencegahan HIV pada kelompok pekerja seks komersial sebab interaksi interpersonal dan situasi lingkungan kerja berpengaruh besar terhadap perilaku pekerja seks komersial beresiko. (2) Strategi intervensi perubahan perilaku pada kelompok perlu diubah dengan menyasar lebih intensif faktorfaktor pada level interpersonal daripada menangani faktor individual yang situasinya sudah cukup
12
16.
17. 18.
Planning Health Promotion Programs 2nd ed. San Fransisco; John Wiley & Sons, Inc; 2006. Bock N.N., Nadol P., Rogers M., et al. Provider initiated HIV testing and counseling in TB clinical settings; tools for program implementation; Int J Tuberc Lung Dis; 2008. Nasronudin, HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler Klinis dan Sosial. Surabaya; Airlangga University Press; 2007 Liddicoat R.V., Losina E., Kang M., et al. Refusing HIV testing in an urgent care setting: results from the “Think HIV” program. Mary Ann Liebert; 2006. Pedoman Penerapan Tes dan Konseling HIV Terintegrasi di Sarana Kesehatan (PITC). Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2010. Ditjen PPM&PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: Kemenkes; 2009. Ivers L.C., Freedberg K.A., Mukherjee J.S. Provider-initiated HIV testing in rural Haiti: low rate of missed oppurtunities for diagnosis of HIV in primary care clinic. BioMed Central; 2007. Puskesmas Tambora, Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi Program Pengendalian HIV dan AIDS. Jakarta; Tambora; 2010. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta; 2007. Hadi, Sutrisno. Metode Research jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset; 2012. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta; Rineka Cipta; 2012. Cahn P., Perez H., Ben G., et al. Tuberculosis and HIV: a partnership against the most vulnerable. J Int Assoc Physicians AIDS Care; 2008. Sunarto, Buku Pedoman Komisi Penanggulangan HIV/ AIDS Provinsi Kabupaten dan Kota. Jakarta: Kemenkes; 2011. Odhiambo J., Kizito W., Njoroge A., et al. Provider-initiated HIV testing and counselling for TB patients and suspects in Nairobi, Kenya. Int J Tuberc Lung Dis; 2008 Hutasoit E.S.P. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Formal dengan Keputusan Mengakhiri Kehamilan pada Kehamilan yang Tidak Diinginkan Setelah Mendapat Konseling. FK UNS/RS Dr. Moewardi. Sp.OG. Thesis; 2006. Gruskin S., Ahmed S., Ferguson L. Provider innitiated HIV testing and counseling in health facilities – what does this mean for the health and human rights of pregnant women? Developing World Bioethics; http://www.aidsindonesia. or.id. Diakses tanggal 20 November 2014. Stanhope, M., & Lancaster, J. Community Health Nursing: Promoting Health Of Agregates, Families, And Individuals, 4th edition. St Louis; Mosby-Year Book, Inc; 2010 Niehof, A. and F. Lubis (eds). Two is Enough. Family Planning in Indonesia under the New Order 1968-1998. Leiden; KITLV Press; 2008.