KEWENANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA
TESIS
Oleh BONA FERNANDEZ.MT.SIMBOLON 077005065/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
KEWENANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh BONA FERNANDEZ.MT.SIMBOLON 077005065/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Kewenangan Jaksa dalam Melakukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana : Bona Fernandez M.T Simbolon : 077005065 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua
(Prof.Dr.Syahrudin Kalo,SH.MHum)
Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Syafrudin S.Hasibuan,SH,MH)
Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus: 22 Agustus 2009
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Telah diuji pada Tanggal 22 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof.Dr.Alvi Syahrin, SH, MS
Anggota
: 1. Prof.Dr.Syahrudin Kalo,SH.MHum 2. Syafrudin S.Hasibuan,SH,MH 3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH,MHum 4. Dr.Sunarmi,SH, M.Hum
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
ABSTRAK Asas Keseimbangan yang merupakan bagian dari prinsip keadilan yang mana untuk mencapai nilai keadilan itu harus terdapat persamaan (equality), Upaya Hukum Peninjauan kembali yang terdapat didalam KUHAP tidak memberikan keseimbangan dalam mencari keadilan diantara dua belah pihak dalam perkara pidana yaitu terpidana atau ahli waris dan korban yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Eksistensi Upaya Hukum Peninjaun Kembali didalam KUHAP adalah sarana dan usaha untuk menegakkan keadilan dari suatu putusan hakim yang dirasa tidak adil oleh kedua belah pihak, yaitu terpidana dan korban. Putusan yang diambil oleh Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara pidana tidak menjamin keadilan telah terwujud. Sebagai manusia biasa, selalu terbuka kemungkinan hakim keliru ataupun kilaf dalam mengambil suatu keputusan. Maka dalam hal ini apabila korban melalui Jaksa Penuntut umum merasa bahwa putusan hakim Mahkamah Agung tersebut keliru atau kilaf, maka Jaksa dalam hal ini Pasal 263 KUHAP tidak diberi upaya hukum peninjaun kembali, dan hanya diberikan kepada terpidana, maka menurut jaksa Pasal 263 KUHAP ini tidak adil karena hanya diberikan kepada terpidana, sedangkan korban tidak. Padahal kedudukan mereka sama dalam tahap proses persidangan. Penelitian yang dilakukan adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu suatu model penelitian hukum yang cara kerjanya meneliti bahan-bahan pustaka sebagai data utamanya. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Data sekunder yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara kualitatif, disusun secara sistematis untuk memperoleh gambaran mengenai status peraturan dibidang hukum acara pidana khususnya upaya hukum Peninjauan Kembali. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan jaksa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak diatur haknya melakukan upaya hukum peninjauan kembali, namun didalam praktek peradilan Indonesia membenarkan Jaksa Penuntut Umum Untuk melakukan peninjauan kembali. Permohonan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa dalam perkara pidana telah banyak juga di kabulkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Kasus Muchtar Pakpahan, dimana inilah yang menjadi titik tolak bahwa Jaksa diperboleh oleh Mahkamah Agung melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Selanjutnya kasus Gandhi Memorial School, Kasus dr Lenus Waworuntu, Kasus Muchtar Pakpahan, belakangan Kasus Djoko Tandra. Adapun alasan yang diajukan oleh Jaksa Dalam Melakukan upaya hukum peninjauan kembali ini adalah adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dari majelis hakim agung dan adanya novum (bukti baru) yang mana bukti tersebut merupakan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung yang mana hasil putusannya berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. dan Alasan Keadilan dan kepentingan Umum. Kata Kunci : Kewenangan Jaksa, Melakukan Peninjauan Kembali, Perkara Pidana
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala berkat dan karunia Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun dan diajukan untuk menyelesaikan tugas akhir dan syarat memperoleh gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis ini adalah: “Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana.” Penulis telah berusaha mengarahkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan tesis ini. Tetapi penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari segala kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini. Penulis menyadari bahwa sejak awal hingga akhir penulisan ini banyak menerima bimbingan , bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu dengan tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Chairuddin P.Lubis ,DTM&H,Sp.A (k), Selaku Rektor USU.
2.
Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B., Msc., Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU.
3.
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.
4.
Prof. Dr.Alvi Syahrin, SH, MS., Selaku Ketua Komisi Pembimbing
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
5.
Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH, M.Hum., Selaku Anggota Komisi Pembimbing.
6.
Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM., Selaku Anggota Komisi Pembimbing.
7.
Dr.Sunarmi, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan sekaligus sebagai anggota komisi penguji.
8.
Dr.Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum. Selaku anggota komisi penguji.
9.
Para Dosen yang telah bersusah payah memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan sangat berguna dalam menghadapi tugastugas di masa yang akan datang.
10. Heffinur, SH, M.Hum Selaku Kajari Binjai Yang telah memberikan Izin Kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum sampai dengan selesai 11. Bibon.P.Simanjuntak, SH. Selaku Kasi Pidum Kejari Binjai Yang telah memberikan izin kepada Penulis Untuk Mengikuti pendidikan Magister Ilmu Hukum ini sampai dengan selesai. Dan juga memberikan penulis masukanmasukan dalam penulisan tesis ini. 12. Terkhusus Kepada kedua orang tua penulis yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda Waspin Simbolon, SH dan Ibunda Maria Magdalena Hutasoit, yang tidak putus-putusnya memberikan dukungan, perhatian dan doa serta cinta kasih kepada penulis dan terutama kepada Ayahanda penulis, penulis ucapkan banyak terimah kasih karena telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
13. Adik Tersayang Roma Arina Tiur ,SH dan Iustisia Natalia yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. 14. Natalita Gracia, SH yang telah memberikan motivasi yang sangat besar kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini. 15. Teman-teman Angkatan 2007 di Sekolah Pascasarjana. Dan juga teman-teman dijurusan Pidana, Bang Arif, Rise, Pak Hutajulu dan Bu Rumida Dan Bu Rauli dan Rudiyawati, yang telah memotivasi dan turut serta membantu dalam penyelesaian tesis ini. 16. Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, untuk semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat sebagai sumbangan dan saran dalam memberikan gambaran dalam pembaharuan rancangan KUHAP yang akan datang supaya memasukkan dalam satu pasal mengenai hak Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali. Medan,
Agustus 2009
Penulis
Bona Fernandez.M.T.Simbolon
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
RIWAYAT HIDUP Nama : Bona Fernandez Martogi Tua Simbolon. Tempat/Tgl Lahir : Medan, 30 November 1985 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Kristen Pendidikan : - Sekolah Dasar Xaverius 1 Baturaja Sumatera Selatan, Tahun 1991-1997 ‐
Sekolah Menengah Pertama Cinta Rakyat Pematang Siantar, Tahun 1997-2000
‐
Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Pematang Siantar, Tahun 2000-2003
‐
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2003-2007
‐
Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2007-2009
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ……………………………………………………………………...
i
ABSTRACT ……………………………………………………………………… ii KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. iii RIWAYAT HIDUP............................................................................................... vi DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
BAB I
BAB II
vii
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
12
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
13
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
13
E. Keaslian Penelitian...................................................................
14
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsional .......................................
14
G. Metode Penelitian ....................................................................
23
KEWENANGAN MELAKUKAN MENURUT
JAKSA
PENUNTUT
PERMOHONAN
PERATURAN
UMUM
PENINJAUAN
UNTUK KEMBALI
PERUNDANG-UNDANGAN
YANG
BERLAKU DI INDONESIA DAN DALAM PRAKTEK PERADILAN INDONESIA
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB III
A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali ..........
27
B. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum ........................................
43
PRAKTEK PERADILAN INDONESIA YANG MEMBENARKAN JAKSA
PENUNTUT
UMUM
MENGAJUKAN
PERMOHONAN
PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP .............................
BAB IIV ALASAN-ALASAN
YANG
DIGUNAKAN
OLEH
69
JAKSA
PENUNTUT UMUM MELAKUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PRAKTEK PERADILAN
BAB IV
A. Kasus Muchtar Pakpahan.........................................................
83
B. Kasus Pollycapus BudiHaripriyatno .......................................
92
C. Kasus Gandhi Memorial School .............................................
108
D. Kasus dr Eddy Linus Waworuntu ............................................
109
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ..............................................................................
124
B. Saran.........................................................................................
129
DAFTAR PUSTAKA
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntutan tertinggi di bidang hukum mempunyai peran utama dalam penegakan supremasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa di negeri ini. Sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan sebagai gardu depan penegakan hukum demikian penting dan strategis. 1 Sebagai institusi peradilan, kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum, peran kejaksaan diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sistem peradilan pidana terpadu adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum. Dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat empat sub-sistem yakni: (1) Kepolisian; (2) Kejaksaan; (3) Pengadilan (4) Lembaga Pemasyarakatan. 2 Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana memiliki kewenangan di bidang penuntutan dan memegang peranan yang sangat krusial dalam proses penegakan hukum. Sebagai institusi peradilan, maka kewenangan kejaksaan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu peran Kejaksaan 1
Mewujudkan Doktrin ”Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan, Senin, 21 Juli 2003, http://www.sinarharapan.co.id. 2 Memantapkan Langkah Reformasi Kejaksaan, Komisi Hukum Nasional 17 April 2004, http://www.komisihukum.go.id.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
sebagai salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat yaitu dalam hal ini melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuaatan hukum tetap agar korban yang diwakili oleh jaksa itu mendapat keadilan dari suatu hukum tersebut. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan Republik Indonesia secara normtif dapat dilihat dari beberapa kententuan Undang-undang mengenai kejaksaan sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 30 UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 yaitu: 1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan. b. melakukan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat. d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang. e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan penyidik. 2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum c. Pengamanan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pasal 31 UU No 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan
atau
dirinya
sendiri.
Bahwa
dalam melaksanakan
tugas
dan
wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Dan juga kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi lainnya. Disamping tugas dan wewenang Kekejaksaan RI tersebut Jaksa Agung juga memiliki tugas dan wewenang yaitu: 1.
Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan
2.
Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undangundang.
3.
Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
4.
Mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara
Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Dalam kitab Undang-undang hukum acara pidana diatur dalam Bab XVII yaitu upaya hukum biasa dan Bab XVIII upaya hukum luar biasa yang pada waktu berlakunya HIR diatur di luar HIR. Tentang upaya hukum biasa diatur
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Bab XVII dimana bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat banding, bagian kedua mengenai pemeriksaan tingkat kasasi. Dalam Bab XVII upaya hukum luar biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum. Bagian kedua yaitu mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Upaya hukum luar biasa mengenai peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP ini yaitu. Bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan. peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dengan memperhatikan pasal 263 ayat 1 KUHAP 3 Kemajuan zaman sekarang ini yang berkembang dengan pesat dan mengakibatkan berbagai macam perilaku manusia sehingga diperlukan satu perangkat hukum yang dapat mengatur dan dapat mencegah tindak kejahatan dan pelanggaran Pidana, yang oleh karenanya harus ada kepastian hukum agar tercipta keadilan di bidang hukum bagi semua masyarakat. Salah satu masalah hukum yang akhir – akhir ini dipermasalahkan adalah masalah upaya hukum Peninjauan Kembali yang sampai sekarang ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum memiliki kepastian dalam praktek nya sehingga 3
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, (Jakarta :Sinar Grafika,2006), Hal 614
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
menimbulkan kebingungan di dalam ber praktek Hukum Acara Pidana. Berbagai contoh ketidak pastian Upaya Hukum Peninjauan Kembali yakni Kasus Muchtar Pakpahan yang peninjauan kembali nya diajukan oleh Jaksa, yang jelas – jelas dalam UU No.8 Tahun 1981 Pasal 263 ayat (1) yang berbunyi : Bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum Tetap, kecuali Putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Kasus Muchtar Pakpahan inilah yang membuat Upaya Hukum Peninjauan Kembali menjadi Kontroversi dikalangan penegak hukum, pakar hukum maupun masyarakat di Indonesia. 4 Kasus Muchtar Pakpahan yang dihukum Pengadilan Negeri Medan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan karena menghasut para buruh yang kemudian dibebaskan ditingkat kasasi berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 29 September 1995 No 395/K/Pid/1995. Terhadap putusan bebas Mahkamah Agung tersebut jaksa penuntut umum mengajukan peninjauan kembali dan berdasarkan
putusan
Mahkamah
Agung
tanggal
25
Oktober
1996
No.
55/PK/Pid/1996, mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali jaksa penuntut umum dan menjatuhkan pidana selama 4 tahun penjara. Alasan dari jaksa mengajukan PK dalam kasus ini yaitu adanya kekhilafan Majelis Hakim Agung. Dan alasan dari jaksa penuntut umum mengenai segi formalnya dapat mengajukan Peninjauan Kembali yaitu Hak Jaksa Penuntut Umum/
4
. Karnilyas, “Herziening atau Peninjauan http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/.html diakses 3 Mei 2009
Kembali”,
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Kejaksaan dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu kapasitasnya sebagai penuntut umum yang mewakili negara dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi jaksa penuntut umum atau lembaga kejaksaan tetapi untuk kepentingan umum/negara. Dan yang dimaksud kepentingan umum menurut penjelasan pasal 49 UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu: kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama dan atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Perlu adanya suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak jaksa penuntut umum/ kejaksaan mengajukan Peninjauan kembali. Dasar dari jaksa dalam mengajukan permintaan peninjauan kembali yaitu: 5 1.
Pasal 23 Undang-undang No 14 Tahun 1970. Pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 ini dikatakan dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana atau perdata oleh pihak yang berkepentingan. Pihak yang berkepentingan disini dalam perkara pidana yaitu tiada lain adalah Jaksa Penuntut Umum disatu pihak dan terpidana dipihak lain.
5
Majalah Varia Peradilan. No 137. Februari 1997 Tahun XII, hal 47
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
2. Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Yaitu tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas pasal ini tidak melarang Jaksa Penuntut Umum/ Kejaksaan untuk melaksanakan hal tersebut. Dan wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut sudah menguntungkan bagi terpidana. Maka demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan Pengadilan yang dikecualikan tersebut (putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum tersebut ) adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terdapat alasan yang cukup sebagaimana diatur 263 ayat 2 KUHAP. 3. Pasal 263 ayat 3 KUHAP menyatakan: Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada pasal 263 ayat 3 KUHAP terdapat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Maka berdasarkan hal tersebut tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya menggunakan pasal 263 ayat 3 KUHAP ini sebagai dasar untuk mengajukan peninjauan kembali dikarenakan tidak akan menguntungkan bagi
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dirinya siterpidana sendiri. Dengan demikian pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri dan untuk siapa pasal ini dimuat dan pengaturannya maka jawaban yang paling tepat tiada yang lain kecuali untuk Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan diluar terpidana atau ahli warisnya. Kesimpulan ini diperkuat oleh pendapat A.Hamzah dalam bukunya Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana yang mengatakan kurang adil apabila dalam keputusan itu Jaksa Penuntut Umum tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali. Lagi pula dalam peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum KUHAP) yaitu dalam Reglement Op de straf vordering dan Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 tahun 1980 terdapat ketentuan bahwa yang harus mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah Jaksa Agung terpidana atau pihak yang berkepentingan. Pemikiran yang terkandung dalam perundang-undangan yang lama tersebut tetap menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan ketentuan-ketentuan KUHAP sehingga seyogyanya apabila permintaan peninjauan kembali dapat pula diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Terhadap kasus Gandhi Memorial School alasan Jaksa mengajukan Peninjauan kembali yaitu dikarenakan kehilafan hakim dimana majelis hakim agung menyatakan bahwa terdakwa Ram Guluma Als Vram tidak terbukti
perbuatan
sebagaimana yang didakwakan jaksa yaitu Dakwaan Kesatu pasal 266 ayat 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana, Subsidair pasal 266 (2) jo pasal 64(1) KUHPidana, Lebih
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Subsider Pasal 263 (2) jo 64 (1) KUHPidana, Dakwaan Kedua yaitu Primair pasal 374 jo 64 (1) jo 22(1) ke 1 KUHPidana, Subsidair pasal 263 (2) jo 64(1)jo 55 (1) ke 1 KUHPidana. Kekhilafan hakim disini yaitu mengatakan bahwa Surat Kuasa Palsu yang dibuat oleh terdakwa untuk untuk mendirikan yayasan The Gandhi Memorial Fundation (GMF) melalui akta notaris disini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim 6 . Kasus dr Eddy Linus Waworuntu dan Handaya surya wibawa dan Ire man Adi wibowo yaitu alasan Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali dalam kasus ini yaitu bahwa adanya bukti baru yang sangat menentukan yaitu adanya putusan Mahkamah Agung RI No 871 K/PDT/2003 antara Handaya Surya wibawa, Ir Email Adi Wibawa Lawan Prof Dr Singgih Dirga Gunarsa dan Putusan Mahkamah Agung RI No 870 K/PDT/2003 tanggal 3 Februari 2004 antar dr Eddy Linus Waworuntu lawan Prof Dr Singgih Dirga Gunarsa. 7 Alasan jaksa melakukan peninjauan kembali dalam kasus dr Eddy Linus waworuntu ini adalah adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam putusannya yang
pertimbangannya
yang
menyatakan
bahwa
terdakwa
tidak
dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya yang dilakuknya secara pidana dengan mengatakan bahwa akte No 18 Tahun 2001 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap padahal didalam akte tersebut pada tanggal 7 Juli 2001 dihadiri oleh terdakwa saja bukan yang lain sehingga kalau ada penyerahan/pembagian tanggung
6 7
Varia Peradilan Majalah Hukum No 195,Desember 2001, Tahun XVII ,hal 11 Varia Peradilan Majalah Hukum No 260, Juli 2007, Tahum Ke XXII, hal 134
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
jawab antara penerima kuasa adalah mereka para terdakwa sendiri pelakunya yang menunjukan adanya kesepakatan jahat diantara para terdakwa yang seolah-olah rapat tersebut dihadiri oleh 17 orang peserta rapat dan selanjutnya mereka menghadap ke Notaris Iwan Halimiy, SH sehingga melahirkan akte no 18 Tahun 2001. Alasan jaksa melakukan peninjauan kembali pada kasus Pollycarpus Budihari priyatno adalah karena adanya kekeliruan yang nyata dalam hal kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim kasasi dalam hal hukum pembuktian dan fakta kejadian. Dimana majelis hakim kasasi melakukan penilaian terhadap pembuktian yang mana seharusnya itu wewenang Judex Factie bukan Judex Juridis sebagaimana adanya Jurisprudensi Mahkamah Agung No 14 PK/Pid/1997 yang menegaskan”keberatan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena merupakan penggulangan fakta dari yang telah diterangkan dalm persidangan tingkat pengadilan negri dan pengadilan tinggi berupa penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargan tentang suatu kenyatan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi dan pemeriksaan mengenai fakta-fakta hukum berakhir pada tingkat banding sehingga
pemeriksaan
kasasi
bukan
memeriksa
mengenai
peristiwa
dan
pembuktiannya. 8 Hal ini terlihat dalam pertimbangan Mahkamah Agung yang jelas memperlihatkan kekeliruan yang nyata dari judex juris yang melakukan penilaian pembuktian sehingga judex juris berkesimpulan menyebut kemungkinan ada tidaknya
8
Varia peradilan Majalah Hukum No 268, Maret 2008, Tahun Ke XXIII No 268 Maret 2008
hal 80.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
arsen masuk dalam tubuh munir sebelum penerbangan dari jakarta ke singapura dan dalam penerbangan jakarta ke singapura dan sesudah penerbangan jakarta-singapura. Maka pendapat majelis hakim tersebut memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata karena judex juris telah melakukan penilaian penilian terhadap pembuktian yang merupakan kewenangan judex factie. 9 Alasan jaksa melakukan peninjuan kembali dalam kasus Pollycarpus Budihari priyatno yaitu karena adanya keadaan baru (novum). Sesuai dengan pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP, salah satu alasan diajukan peninjauan kembali adalah apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, maka hasilnya akan menjadi putusan yang berbeda. Novum tersebut tersebut dikaitkan dengan fakta-fakta yang dipersidangan yaitu adanya keterangan ahli Dr Rer Nat I Made agung yang mengatakan kematian munir diperkirakan antara delapan sampai sembilan jam setelah keracunan, dan menurut keterangan saksi dr Tarmizi yang mengatakan bahwa korban munir meninggal 3 jam sebelum mendarat. 10 Saksi
Raymond
J.Lautihamalo
Als
Ongen
mengatakan
bahwa
ia
diperkenalkan oleh Josep Ririmase dengan Asrini Utami Putri di waiting room gate D42, Bandara Changi singapura ketika itu ongen masuk kedalam Coffe Bean dan melihat pollycarpus berjalan dari counter pemesanan minuman dan membawa 2 gelas minuman. Dan ongen juga memesan minuman dan duduk berjarak sekitar 2 meter
9
Ibid hal 80. Ibid hal 80.
10
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dari tempat duduk munir dan Pollycarpus dan ongen melihat munir dan pollycarpus duduk sambil minum Uraian fakta tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti dan menganalisisnya tentang peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa dimana ini tidak diatur dalam KUHAP namun dalam prakteknya Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh jaksa tersebut. Penulis mengangkatnya melalui penulisan tesis dengan judul Kewenangan Jaksa Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No 109 PK/PID/2007 Polycarpus Budihari Priyanto).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Jaksa Penuntut Umum berwenang untuk melakukan permohonan Peninjauan Kembali menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2. Bagaimana dengan Praktek Peradilan Indonesia apakah memebenarkan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap? 3. Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh penuntut umum Untuk Mengajukan Peninjauan Kembali Dalam Praktek Perdilan.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan Peninjauan Kembali dalam peraturan perundang-undangan di indonesia. 2.
Untuk mengetahui apakah peradilan Indonesia membenarkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
3. Untuk mengetahui alasan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan.
D. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran teoritis mapun kegunaan praktis. 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana khususnya mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha pembaharuan hukum pidana khususnya bagi Jaksa Penuntut Umum ketika mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian yang dilakukan penulis, penelitian yang berjudul “ Kewenangan Jaksa Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana” khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara program Studi Ilmu hukum, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional,
objektif
dan
terbuka.
Sehingga
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikankritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
F Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka pemikiran teoritis menurut Didi Atmadilaga Yaitu Merupakan Hal yang esensial pada kegiatan penelitian yang memberikan landasan argumentasi dan dukungan dasar teoritis (konsepsional) dalam rangka pendekatan pemecahan masalah yang dihadapi atau yang menjadi objek penelitian. 11 Hukum acara pidana didalamnya ada dikenal asas praduga tak bersalah Presumption of innocent dimana ini digunakan menjadi landasan teori yang akan
11
Didi Atmadilaga, Sekitar Filsafat Ilmu Penerapan dan Metode Ilmiah ,(Bandung :Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, 1994), hal 19.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
digunakan dalam penelitian yaitu dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure(accusatorial system). Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka terdakwa dalam setiap tingkatan pemeriksaan: 12 a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. b.
objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. kearah itulah pemeriksaan ditujukan Sedangkan Teori Yang Kedua Yaitu Teori Keadilan dari Aristoteles yang
menyatakan Adil itu dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding dan mengemukakan ada 2 (dua) bagin keadilan yakni : 13 1. Keadilan Komutatif, yaitu keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan dalam hubungan individu dengan orang lain. 2. Keadilan distributif yaitu kepantasan adalah suatu bentuk “sama” dengan prinsip bahwa kasus yang sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dalam cara yang berbeda. Keadilan memberikan tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, tidak menuntut supaya tiap12
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua,( Jakarta:Sinar Grafika, Cetakan 8, 2006),Hal 40 13 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Pradnya Paramita,1981), hal 23-24.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya melainkan kesebandingan (kesamaan yang sebanding atau persamaan yang proporsional). Jika pembentuk Undang-undang memerintahkan hakim supaya keputusannya memperhatikan keadilan adalah untuk menghindari pemakaian peraturan umum dalam hal-hal yang khusus yaitu dengan berpedoman pada kepantasan(redelijkheid) dan itikat baik. Teori criminal justice system menurut Purpura
mempunyai tiga titik
perhatian, Yaitu hukum pidana secara materil(criminal law), hukum pidana formil (the law of criminal procedure), hukum pelaksanaan pidana(the enforcement of criminal law). Semua ini ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan.dan Purpura juga mengatakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui kompenen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. 14 Mengenai teori hak dari korban dalam menanggulangi kejahatan oleh Mardjono
14
Reksodiputro
yaitu
mengatakan
menanggulangi
adalah
usaha
Mahmud Mulyadi, Sistem Peradilan Pidana, Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU ,
hal 41
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Menyelesaikan sebagaian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk menggulangi kejahatannya 15 Konsepsi teoritis tentang hukum yang mempengaruhi cara pandang hakim yaitu hakim semestinya dalam memutus perkara tidak hanya membolak balik faktafakta hukum dan berupaya menjustifikasi pandangannya berdasarkan bunyi kaidahkaidah hukum dalam peraturan perundang-undangan, lebih dari itu idealnya hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 28 ayat 1 Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang kekusaan kehakiman. Dengan demikian idealnya putusan hakim didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang mengadopsi nilai-nilai hukum, rasa keadilan yang mencerminkan penguasaan teoritis dan filosofis. 16 Sedangkan menurut teori Content Ronal Dworkin yang mengatakan bahwa kepada hakim diminta supaya hukum distrukturisasi oleh prinsip-prinsip keadilan dan kewajaran dan mempertimbangkan secara moral apa yang baik dan buruk melalui penafsiran hakim melalui undang-undang in casu KUHAP 17
15
Ibid hal 25 Ibid hal 100 17 Otje Salman et.al, Teori Hukum kembali,(Bandung:Refika Aditama,2008),hal 93 16
mengingat,
mengumpulkan
dan
membuka
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Sedangkan mengenai teori retributive yang murni (the pure retributivist) pidana harus cocok dan sepadan dengan kesalahan sipembuat. Sedangkan Pompe pada pokoknya berpendapat Asas Legalitas itu bukanlah asas mutlak sebab dalam keadaan mendesak demi keadilan dan kemanfaatan boleh disingkirkan. Keadilan dan kemanfaatan tidak boleh ditujukan kepada sebagian besar rakyat, sebagai dikemukakan oleh penganut-penganut utilitarisme, juga tidak terhadap masa yaitu suatu jumlah tertentu orang-orang sebagai diajarkan oleh demokrasi dan bukan terhadap golongan tertentu yakni kaum proletar, seperti diperjuangkan oleh kaum komunis, tetapi untuk masyarakat seluruhnya. Mengenai PK Jaksa Ini dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 23 ayat (1) Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan pihak-pihak yang bersangkutan dapat merngajukan PK terhadap Putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dimana ketentuan ini hanya berlaku untuk perkara perdata dan pidana, dimana dalam perkara pidana pihak-pihak yang dimaksud disini adalah Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa. Dalam prakteknya yurisprudensi yang selama ini berjalan Mahkamah Agung telah melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk pertumbuhan atau perluasan makna (growth the meaning) terhadap ketentuan dalam KUHAP. 18 Penafsiran Ekstensif ini dilakukan untuk melakukan penyelesaian perkara yang bisa memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. KUHAP Secara maksimal
18
Antara News, 2007, Tim JPU bersikeras Upaya PK yang dilakukan Oleh Jaksa terhadap kasus Pollycarpus tidak langgar hukum,http:www.antara.com diakses 20 April 2009
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
digunakan untuk mendapatkan kebenaran materil dengan cara melenturkan atau mengembangkan
atau
melakukan
penafsiran
ekstensif
terhadap
ketentuan-
ketentuannya. Pencarian kebenaran ini antara lain dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada korban tindak pidana untuk mengajukan Upaya Hukum lebuh lanjut dimana Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang mewakili korban kolektif maupun individual yang juga memiliki hak mengajukan Upaya Hukum. Jaksa Penuntut Umum pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun individual. 19 Untuk pengaturan pihak yang berhak untuk mengajukan PK telah diatur pada Pasal 263 (1) KUHAP, yang berbunyi: "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Menurut pengertian sehari-hari, kalau kalimat tersebut dibaca dalam keseluruhan dan kaitan antara satu dengan yang lain, jelas bahwa dalam hal hakim menyatakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka terpidana atau ahli warisnya tidak boleh mengajukan permintaan PK.
2. Kerangka Konsepsi Dari Uraian Permasalah diatas, Penulis menjelaskan beberapa konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini yaitu: 19
Ibid hal 2
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pengertian Hukum Acara Pidana adalah bagaiamana cara negara melalui alat alat
kekuasaannya menentukan kebenaran tentang terjadinya suatu pelanggaran
hukum pidana. Menurut Simon, hukum acara pidana adalah mengatur bagaimana Negara
dengan
alat-alat
pemerintahannya
menggunakan
hak-haknya
untuk
memidana. Sedangkan menurut De bos kemper hukum acara pidana adalah sejumlah asas dan peraturan undang-undang yang mengatur bagaimana Negara menggunakan hak-haknya untuk memidana. Secara umum Hukum Acara Pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981. 20 Upaya Hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Dalam kitab Undang-undang hukum acara Pidana diatur dalam Bab XVII Yaitu upaya hukum biasa dan bab XVIII upaya hukum luar biasa. Mengenai upaya hukum biasa meliputi banding dan kasasi dan itu diatur dalam Bab XVII KUHAP. 21 Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum (pasal 67 KUHAP). Sedangkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman pasal 19 Undang-undang No 14 Tahun1970 jo Undang-undang No 4 Tahun 2004 yang 20
. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, CV Sapta Artha Jaya Jakarta,2005,Hal 4 . Moch Faisal Salam,Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek,CV Mandar Maju,Bandung,2001,Hal 352. 21
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
menetapkan bahwa atas semua putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasann dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Sedangkan kasasi yaitu terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain dari Mahkamah Agung kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung Pasal 10 ayat 3 UU No 14 Tahun 1970, Sedangkan dalam KUHAP Kasasi itu adalah terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas(244 KUHAP). 22 Upaya hukum luar biasa meliputi pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali ini merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi. Kasasi demi kepentingan hukum yaitu: terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung, dapat diajukan permohonan kasasi satu kali oleh Jaksa Agung. Herziening atau Peninjauan Kembali adalah suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan
hukum
yang
tetap
atas
suatu
perkara
pidana, berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dulu tidak diketahui oleh Hakim, yang akan menyebabkan dibebaskannya terdakwa dari tuduh. 23
22
. Ibid hal 352 Bachtiar Sitanggang, Senin 3 Februari 1997, Op Cit.
23
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Herziening atau peninjuan kembali merupakan uapaya hukum luar biasa sifatnya dan ditujukan untuk mendampingi upaya hukum lainnya (banding, kasasi, kasasi demi kepentingan hukum). Bahwa ada pakar yang mengatakan bahwa peninjauan kembali ini selalu berdampingan dengan kasasi demi kepentingan hukum peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa hanya diajukan bagi tertuduh maupun jaksa. Begitu juga dengan pendapat yang mengatakan bahwa terhadap suatu perbuatan tercela atau atas sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum merupakan tugas Mahkamah Agung meluruskannya. 24 Peninjauan kembali atau Herziening dalam konteks penyelesaian perkara tingkat upaya hukum luar biasa dapatlah diartikan melihat atau mengamati, apakah hal-hal tertentu yang dirumuskan secara konkret oleh Undang-undang dapat di jumpai atau tidak dalam uraian alasan yang dijadikan dasar perminttaan peninjauan kembali yang bersangkutan, dan hal yang dirumuskan oleh Undang-undang yang dimaksud disini adalah: 25 a. Keadaan Baru (dalam bahasa Latin lazim disebut Novum) b. Alasan Putusan yang bertentangan satu dengan yang lain. c. Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. d. Perbuatan dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang
24
Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Sinar Grafika:Jakarta,2000),hal 12. 25 Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, (Raja Grafindo Persada: Jakarta,1999),Hal 153
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undangundang.Sedangkan Penuntut Umum Adalah jaksa Yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim 26
G. Metode Penelitian Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah sebagai berikut: 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif 27 dengan pertimbanagan bahwa titik tolak penelitian adalah untuk menganalisis kewenangan jaksa dalam melakukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara pidana. Penelitian yuridis normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Jenis penelitian ini digunakan untuk permasalahan 1(satu), yaitu untuk mengetahui Apakah Jaksa Penuntut Umum berwenang melakukan
permohonan
Peninjauan
Kembali
dalam
perkara
pidana.
Dan
permasalahan ke 2 (dua) yakni untuk mengetahui apakah praktek peradilan Indonesia membenarkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan peninjauan 26
UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 Ayat 1 dan 2 Joni Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif ,(Bayumedia: Jakarta),2005, hal 282. 27
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, serta permasalahan no 3 yakni tentang alasan-alasan apakah yang digunakan oleh penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali dalam praktek peradilan . Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikemukakan oleh Burhan Ashofa, bentuk penelitian normatif itu dapat berupa: 28 a. Inventarisasi hukum positif. b. Penemuan asas hukum. c. Penemuan hukum in concreto. d. Perbandingan hukum e. Sejarah Hukum Soetandyo Wignjosoebroto sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Sunggono, membagi penelitian hukum doctrinal/ yuridis normatif sebagai berikut: 1) Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif. 2) Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doctrinal) hukum positif. 3) Penelitian yang berupa uasaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe penelitian yuridis normatif yang digunakan untuk menjawab persoalan dalam tesis ini, maka pendekatan yang dikakukan adalah pendekatan perundang-undangan yaitu menelaah semua undang-undang yang bersangkut paut dengan upaya hukum peninjauan kembali. Sedangkan pendekatan 28
Burhan Ashofa, Metode Penelitiian Hukum.(Jakarta:Rieneke Cipta,1996),h al 14.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi, 29 yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk samapai kepada putusannya yang dalam hal ini alasanalasan hukum yang di gunakan oleh hakim untuk mengabulkan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa tersebut. 3.
Sumber Data Sumber data penelitian yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri
dari: a) Bahan Hukum Primer. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan perundangundangan yang diurut berdasarkan hirarki dan putusan pengadilan
30
seperti
yang terdapat dalam KUHAP dan UU No Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan . b) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, seperti: buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, artikel, majalah dan jurnal ilmiah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini c) Bahan Hukum Tersier. 29
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2007,hal 119 30 Ibid hal 141
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan hukum primer, sekunder dan tersier di luar hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Penggunaan secara layak (fair use) terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh dari internet untuk tujuan ilmiah. 31 4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan
(libraray research), dengan meneliti sember bacaan yang berhubungan dengan topik tesis ini, seperti: buku-buku hukum, makalah hukum, artikel dan bahan penunjang lainnya. 5.
Analisis Data Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan, dan
diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. 32 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara kualitatif yakni dengan mempelajari, menganalisis dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data yang diperoleh sehingga memperoleh data yang dapat menjawab permasalahaan dalam penelitian ini.
31
Joni Ibrahim op cit hal 340. Lexy Moleong.1999.Metode Penelitian Kualitatif.(Bandung:Remaja Rosdakarya) Cetakan Ke 10, hal 103 32
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB II KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM UNTUK MELAKUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA
A. Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali Lahirnya bab XVIII ini dalam upaya hukum luar biasa khususnya bagian kedua tentang peninjauan kembali yang terdapat dalam pasal 263 sampai dengan pasal 269 KUHAP yaitu merupakan sejarah baru dilapangan hukum khususnya hukum acara pidana. Sebab ini merupakan suatu kenyataan bahwa seorang terpidana merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak adil kemudian ingin memintakan kembali pemeriksaan atas perkaranya tersebut dan ini tidak mungkin karna jalan atau acara formal untuk meminta perkaranya yang telah putus untuk diperiksa kembali tidak mungkin karna upaya hukum untuk itu tidak ada lagi. 33 Maka kini dengan adanya upaya hukum peninjauan kembali ini, maka terbukalah jalan bagi setiap terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya. Ini muncul bukan dengan tiba-tiba tetapi terjadi pada tahun 1980 yang mana terkenal dengan kasus sengkon dan karta. Dua terpidana yang telah menjalani hukumannya sejak tahun 1977 tapi sudah di tahan sejak tahun 1974. Kasus tersebut yaitu sengkon dan karta ditahan dan diperksa oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan tuduhan telah merampok dan membunuh suami istri suleman. Berdasarkan alat bukti
33
Hadari Djenawi Tahir, Alumni,1982),hal 5
Bab Tentang Heirzening di dalam KUHAP, (Bandung:
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi keduanya dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun dan 7 bulan penjara. Jelas disini telah terjadi kesalahan didalam penjatuhan putusan terhadap sengkon dan karta.Para aparat hukum juga tidak menjadi tenang dengan adanya kasus ini, dan para ahli hukum juga mencari suatu modus yang tepat agar sengkon dan karta dapat dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan. Jika diteliti kasus sengkon dan karta ini bukanlah telah terjadi kesalahan tuduhan terhadap orang yang melakukan pembunuhan atas sulaiman suami istri tetapi juga telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh pengadilan negeri bekasi. Pengadilan negeri bekasi jelas mengetahui bahwa sengkon dan karta tidak bersalah sewaktu menjatuhkan putusan terhadap Gunel Cs maka seharusnya pada putusan yang sama didalam amarnya Pengadilan Negeri Bekasi memutuskan juga pembatalan atas putusan terdahulu yang dikenakan tehadap sengkon dan karta. Maka dengan seketika itu juga pada saat yang sama sengkon dan karta bebas dari pidana yang telah dijatuhkan terhadapnya. Pernyataan ini juga dikatakan oleh Ketua Mahkamah Agung terdahulu yang mengatakan apabila ini dilakukan oleh Pengadilan Negeri Bekasi maka ini telah terjadi suatu revolusi dalam hukum indonesia dan ini tidak terjadi dan Pengadilan Negeri Bekasi hanya menyatakan bahwa tuduhan terhadap sengkon dan karta tidak
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terbukti. Mahkamah Agung membatalkan putusan dalam sidang Majelis Mahkamah Agung tertanggal 31 Januari 1981. 34 Lembaga herziening ini dalam hukum diartikan sebagai suatu upaya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 35 . Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga heirzening tersebut maka berbagai upaya telah dilakukan agar lembaga tersebut dapat diberlakukan. Upaya tersebut dapat terlihat ketika lahirnya PERMA No 1 Tahun 1969 yang menetapkan tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengaturan disini adalah tidak saja mengenai masalah herziening tetapi juga diatur kembali lembaga request civil yaitu suatu lembaga peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didalam hukum perdata. Tetapi peraturan Mahkamah Agung tersebut tidak berlaku lama sebab pada tahun 1971 berlaku PERMA No 1 Tahun 1971yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969 maka dengan demikian terjadi kekosongan hukum dalam hal permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pencabutan PERMA No 1 Tahun 1969 ini didasarkan pada pendapat bahwa pada tahun 1970 telah dikeluarkan Undang-undang No 14 tahun 1970 yaitu Undangundang pokok kekuasaan kehakiman. Dimana dalam pasal 21 telah terdapat pasal
34
Ibid hal 8 Lembaga ini dikenal dalam Reglement op de Strafvordering Staatsblad nomor 40 jo no 57 tahun 1847 yang tercantum dalam titel 18 dan dilam KUHAP juga diatur dalam hal yang sama yaitu dalam Bab XVIII 35
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimana dikatakan: apabila terhadap hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana. 36 Ketentuan Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini semula bermaksud untuk menggantikan PERMA No 1 tahun 1969 tapi ternyata Pasal 21 dari Undang-undang No 14 Tahun 1970 ini tidak dilengkapi oleh peraturan pelaksananya. Sehingga apabila dilakukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar ini tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Maka kasus Sengkon dan Karta tidak bisa diajukan peninjauan kembali dengan menggunakan dasar Pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 ini. Dimana pada saat itu lembaga peninjauan kembali (heirzening) belum ada karena telah dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971. Jalan pintas yang ditempuh pada waktu itu yaitu dengan mengeluarkan kembali PERMA. Pada saat itu Perpu ingin dikeluarkan untuk mengatur lembaga heirzening ini karena situasi tidak genting oleh kasus sengkon dan karta ini. Maka oleh Mahkamah Agung hanya mengeleuarkan PERMA saja untuk menjadi dasar lahirnya lembaga Heirzening ini. Dasar hukum lahirnya lembaga Heirzening ini adalah pasal 21 Undang-undang No 14 Tahun 1970 yang mungkin dapat diterima yang menjadi dasar peraturan pelaksana dari suatu undang-undang. Peraturan pelaksana yang dimaksud disini adalah perturan pemerintah yang derajatnya setingkat 36
Hadari Dejenawi Tahir, op cit, hal 10
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
lebih rendah dari Undang-undang yaitu dalam hal ini yaitu Undang-Undang No 14 Tahun 1970. Prosedur untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah memang akan memakan waktu lama maka. Apabila prosedur ini ditempuh maka akan lama sengkon dan karta menanti pembebasannya. Maka dianggap beralasan apabila Mahkamah Agung menempuh suatu jalan pintas dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 tentang “ Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap”dimana dalam PERMA tersebut diatur mengenai peninjauan kembali dalam perkara pidana dan perdata. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 1980 ini sebenarnya hampir sama dengan peraturan yang pernah dikeluarkan sebelumnya yaitu PERMA No 1 tahun 1969 yang kemudian dicabut dengan PERMA No 1 Tahun 1971. Perbedaan PERMA tersebut yaitu terletak pada PERMA No 1 Tahun 1980 yang tidak mencantum “kekhilafan hakim” dan “kekeliruan yang menyolok” sebagai salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta peninjauan kembali. Alasan peninjauan kembali yang terdapat dalam PERMA No 1 tahun 1980 yaitu : a) Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu sama lain bertentangan. b) Apabila terdapat suatu kedaan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu masih sidang berlangsung.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari segala tuntutan hukum. atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana. Pernyataan tidak dapat diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara kepersidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana yang lebih ringan. Tidak dicantumkannya kekhilafan hakim dan kekeliruan yang menyolok sebagai suatu alasan yang menjadi dasar untuk meminta peninjauan kembali, maka berkembanglah suatu anggapan dikalangan ahli hukum bahwa Mahkamah Agung menganut asas bahwa hakim tidak dapat diganggu gugat atas putusannya itu. Anggapan itu cenderung untuk mengatakan bahwa hakim bebas dari segala kesalahannya dalam memeriksa dan memutus perkara. hal ini tentu telah menyalahi kodrat dimana dianut asas bahwa manusia tidak luput dari kesalahan begitu juga dengan hakim dalam memeriksa suatu perkara. Jika diperbandingkan antara Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1980 dengan ketentuan yang terdapat didalam Reglement op de strafvordering tahun 1847 khususnya pasal 356 maka alasan atau dasar untuk meminta peninjauan kembali yaitu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan demikian tidak ada perbedaan pada saat Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 dengan mengambil alih pasal 356 dengan alasan yang menjadi dasar peninjauan kembali. Maka apa yang diatur didalam PERMA No 1 Tahun 1969 ini pengaturannya khususnya mengenai lembaga Herzeining lebih luas dari pada PERMA No 1 Tahun
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
1980 maupun yang terdapat dalam Reglement op de Strafvordering (pasal 356-360). dengan anggapan bahwa dengan dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 1980 ini masalah sengkon dan karta dapat terselesaikan. Keluarnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendapat reaksi dan tanggapan dari para ahli hukum dan bisa menimbulkan kegoncangan diantara para ahli hukum. Pada umumnya lahirnya PERMA No 1 Tahun 1980 ini dihargai dengan itikad baik dimana ini dapat mencakup lembaga herziening dan request civil. itikad baik itu nampak dalam pertimbangannya dikeluarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang menyatakan bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut didasarkan adanya dengar pendapat dengan anggota DPR yang menyatakan dikeluarkannya peraturan tersebut sambil menunggu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjauan kembali karena telah sempat terjadi kekosongan hukum. PERMA No 1 Tahun 1971 ini yang mencabut PERMA No 1 Tahun 1969. Dimana masyarakat sangat membutuhkan lembaga ini ditambah lagi dengan adanya kasus sengkon dan karta yang khusus untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan. Masalah yang dipersoalkan dalam pembentukan PERMA No 1 Tahun 1980 yaitu: bahwa pembuatan PERMA No 1 Tahun 1980 ini dianggap agak aneh dengan PERMA sebelumnya yang mana PERMA No 1 Tahun 1969 didasarkan pada pasal 31 UU No 13 Tahun 1965. Dikatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
PERMA No 1 Tahun 1980 ini mendasarkannya pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 dan pasal 131 UU No 1 Tahun 1950 tentang MA.hal ini dirasa kurang tepat karena dengan berdasarkan pasal 70 UU NO 13 Tahun 1965 ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku, karena UU No 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung ini mempunyai kaitan secara langsung dengan UU Darurat No 1 Tahun 1951 dengan demikian yang dipersoalkan disini adalah apa dasar hukum dikeluarkannya PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Masalah lain yang
banyak dipersoalkan adalah masalah wewenang
Mahkamah Agung untuk mengeluarkan suatu peraturan seperti PERMA No 1 Tahun 1980 tersebut. Mahkamah Agung disini dianggap berdiri sendiri disini sebagai kursi legislatif, sebagai pembuat peraturan perundang-undangan yang sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Agung. Pendasaran ini didasarkan pada suatu pola pemikiran yang legalistik dimana segala sesuatu harus didasarkan pada suatu ketentuan yang yuridis formal dan konstitusional. Hal tersebut memang ideal tapi disatu pihak dalam menghadapi situasi kasus sengkon dan karta ini apabila kita hanya mengikuti saluran formal normatif mungkin sudah akan terhambat, maka suatu hal yang bijaksana Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan memberikan keadilan. Munculnya kasus sengkon dan karta yang seakan memaksa hadirnya lembaga peninjauan kembali di negri ini, maka hingga kini persepsi kalangan berbagai pihak yang terutama kalangan para pakar hukum mengalami perkembangan mendasar.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Sengkon bin yakin dan karta als karung als encep bin salam dimana keduanya dihukum masing-masing 12 Tahun dan 7 tahun oleh masing-masing Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 20 oktober 2007 atas suatu perbuatan pidana pembunuhan. Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya tanggal 25 Mei 1978 menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan terhukum tidak mengajukan hak nya untuk kasasi. Atas dasar kejanggalan dan ketidakadilan tersebutlah kuasa hukum kedua terpidana mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dan kasus itu terangkat ke tengah permukaan secara luas. 37 Berlakunya lembaga hukum peninjauan kembali berdasarkan PERMA No 1 Tahun 1980 yang diterapkan baik bagi perkara pidana maupun perdata. Meskipun kehadirannya mengalami masalah yang kontroversial dikalangan para ahli hukum pada waktu itu, karena tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan UUD 1945 dan UU No 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman, namun tetap dipandang sebagai suatu solusi yuridis untuk menampung berbagai suatu masalah terhadap munculnya kesilapan dan kekeliruan aparat peradilan seperti dalam fakta yang dialami oleh sengkon dan karta. Diberlakukannya KUHAP (UU No 8 Tahun 1981) yang menampung lembaga peninjauan kembali dan sekaligus mencabut PERMA No 1 Tahun 1980 maka kasus demi kasus yang dimintakan peninjauan kembali dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Telah memperlihatkan suatu benang merah dalam kaitannya dengan pencari
37
Parman Soeparman, Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan,(Bandung:PT Refika Aditama, 2007),Hal 5
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
keadilan. Benang merah yang dapat dilihat dari sisi kepentingan pencari keadilan. Disamping terpidana yang merasa tidak berdosa melakukan tindak pidana yang selanjutnya berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain diluar terdakwa untuk melakukan hal yang sama. Pihak tersebut adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan pengadilan yang salah. 38 Pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa, korban, keluarga korban, pihak ketiga yang berkepentingan masih menimbulkan pertanyaaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi mereka yang mengajukan upaya hukum tersebut karna hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya dimiliki oleh terpidana atau ahli warisnya. Dimana terlepas dari penafsiran dan kontroversi yang ada sekarang muncul kepermukaan adanya kasus yang sedemikian yang menghiasi cakrawala praktik peradilan. Hal ini ditandai dengan munculnya putusan-putusan Mahkamah Agung yang cukup menarik masyarakat yaitu Kasus Muchtar Pakpahan, Gandhi Memorial School dan kasus Pollycarpus Budiharipriyatno. Praktek peninjauan kembali kemudian melangkah jauh, seakan meninggalkan tujuan yang hakiki, itulah yang terjadi dalam praktek yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas. Praktik penerapan
38
Ibid hal 14
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
ketentuan tentang peninjauan kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum pidana dengan pertimbangan 2 faktor yakni:39 1. Dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidana yang ada terutama KUHAP yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tidak memberikan kesempatan mengajukan peninjauan kembali bagi Jaksa penuntut umum atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan 2. Munculnya kasus-kasus peninjauan kembali yang secara jurisprudensial secara tidak langsung telah membuka pintu bagi pihak kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali atas berbagai kasus yang diputus secara bebas atau bahkan setiap putusan yang oleh kejaksaan atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan. Ketiga kasus tersebut memunculkan pandangan bahwa tidak diaturnya suatu masalah dalam undang bukan berarti tidak dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali. Karena bila dilihat dari sisi kepentingan korban, hak untuk mengajukan peninjauan kembali sudah sepantasnya pula diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam praktek hukum acara pidana masih memungkinkan bahwa korban kejahatan dapat diberi kesempatan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali karena didalam hukum acara pidana memang belum bahkan mengaturnya. Namun apabila dilihat dari praktik hukum acara pidana masih memungkinkan untuk dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali sehingga dalam peraturan hukum positif dapat dipertimbangkan untuk diatur. 39
Ibid, hal 7
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pengaturan dalam hukum positif sebenarnya sudah tersirat didalam pasal 263 ayat 3 KUHAP yang mana didalamnya disebutkan bahwa terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Sedangkan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali yaitu hanya terpidana kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali ditegaskan dalam pasal 263 ayat 1 yakini Terpidana atau Ahli warisnya. Berdasarkan ketentuan ini jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali sebab undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini hanya untuk melindunggi kepentingan terpidana. Untuk kepentingan terpidana Undang-Undang membuka kemungkinan untuk meninjau kembali putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena itu selayaknya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya. Lagi pula sisi lain dari upaya hukum luar biasa ini yakni pada upaya kasasi demi kepentingan hukum. Undang-Undang telah membuka kesempatan kepada Jaksa Agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan dengan tujuan penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan. Undang-
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Undang telah membuka upaya hukum bagi Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Hak mengajukan permintaan peninjauan kembali adalah merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk menyelaraskan keseimbangan hak untuk mengajukan permintaan kasasi demi kepentingan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang kepada penuntut umum melalui Jaksa Agung. Maka melalui upaya hukum luar biasa sisi kepentingan terpidana dan kepentingan umum telah terpenuhi secara berimbang. Isi pasal dari 263 ayat 1 yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya. Maka sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan hukum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Februari 1984 Reg No 1 PK/Pid/1984. Pemohon telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Juli 1983 yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemohon merasa keberatan atas rampasan untuk negara barang bukti yang bukan milik terpidana, tetapi milik pemohon. Sedang pemohon tidak terlibat maupun tersangkut dalam tindak pidana yang dilakukan terpidana. Oleh karena itu tidak adil apabila milik pemohon dirampas untuk negara sekalipun kapal itu telah dipergunakan terpidana sebagai alat melakukan tindak pidana.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Tanggapan dan putusan Mahkamah Agung atas permohonan dan keberatan yang diajukan pemohon berbunyi: bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung akan tetapi karena pemohon peninjauan kembali bukan terpidana atau ahli warisnya sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP maka permohonan peninjauan kembali harus dapat dinyatakan tidak dapat diterima. 40 Sehubungan dengan masalah orang yang berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali ada beberapa hal yang perlu dijelaskan yaitu: 41 a. Hak prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya Untuk mengetahui kedudukan prioritas antara terpidana dengan ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali yang artinya apakah ahli waris terpidana dapat melangkahi terpidana untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Undang-undang tidak menentukan kedudukan anatara terpidana dengan ahli waris. Sekalipun terpidana masih hidup dan sedang mengalami human, maka ahli waris dapat langsung mengajukan permintaan peninjauan kembali sekalipun terpidana masih hidup. Hak ahli waris untuk mengajukan peninjauan kembali bukan merupakan hak subsistusi yang diperoleh setelah terpidana meningga dunia. Hak tersebut adalah hak “hak orisinil” yang diberikan oleh Undang-undang kepada mereka demi untuk
40 41
Op cit M.Yahya Harahap. Hal 616. Ibid,hal 617
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
kepentingan terpidana dan ini berasalah sekalipun terpidana masih hidup kemungkinan besar ahli waris lebih mampu dan lebih dapat leluasa berdaya upaya untuk memikirkan dan menanggani pengajuan permintaan peninjauan kembali. Berdasarkan alasan dilakukan diatas hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan oleh terpidana maupun ahli waris telah dilekatkan oleh undang-undang.
b. Ahli Waris Meneruskan Permintaan Terpidana
Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi jika yang mengajukan permintaan itu terpidana, kemudian sebelum peninjauan kembali diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, menurut pasal 268 ayat (2), hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali “diteruskan” oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “ hak substitusi” dari terpidana. Kentuan pasal 268 ayat (2) dapat kita ringkaskan sebagai berikut :
1) Yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ialah terpidana sendiri, 2) Sementara peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung tapi belum diputus, terpidana meninggal dunia, 3) Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali, sepenuhnya menjadi hak ahli waris.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Atau keadaannya bisa juga : 1) Terpidana telah meninggal dunia, dan permohonan peninjauan
kembali
diajukan oleh ahli waris. 2) Sementara itu ahli waris yang mengajukan permohonan meninggal dunia sebelum Mahkamah Agung memutus. 3) Diteruskan atau tidak permohonan peninjauan kembali dilanjutkan oleh ahli waris yang meninggal tersebut. Apa yang diatur pada pasal 268 ayat (2) jika permintaan peninjauan kembali sudah diterima Mahkamah Agung. Bagaimana halnya jika terpidana yang mengajukan permohonan peninjauan kembali meninggal dunia sebelum permintaan peninjauan kembali dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung
Permintaan peninjauan kembali dapat diteruskan ahli waris Tentang hal ini undang-undang tidak mengatur. Akan tetapi secara konsisten dapat dipedomani ketentuan Pasal 268 ayat (2). Apabila terpidana meninggal dunia sebelum permohonan peninjauan kembali dikirimkan kepada Mahkamah Agung, ahli waris dapat meneruskan atau tidak peninjauan kembali. Dengan demikian, ketentuan pasal 263 ayat (2), bukan saja berlaku pada taraf permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali berada di Mahkamah Agung, tapi berlaku pada permohonan peninjauan kembali masih berada pada taraf pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau pada taraf permohonan peninjauan kembali belum dikirimkan Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung.
c.
Permintaan Peninjauan Kembali oleh Kuasa
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Sebagaimana yang sudah dijelaskan, Pasal 263 ayat (1) hanya memberikan kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Apakah ketentuan ini melarang penasehat hukum atau seorang yang dikuasakan terpidana atau ahliwarisnya untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali Memang kalau secara ketat berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat (1), undang-undang tidak memberi hak kepada kuasa mengajukan permintaan peninjauan kembali. Harus langsung terpidana atau ahli waris. Ketentuan yang seperti ini dijumpai dalam pasal 244 KUHAP. Yang menentukan permohonan kasasi hanya dapat dilakukan oleh terdakwa yang bersangkutan tidak dapat dikuasakan kapada penasehat hukum atau orang lain.
Ketentuan pasal 244 tersebut diperlunak oleh angka 24 Lampiran Keputusan Metenteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983, tanggal 10 Desember 1983. oleh angka 24 lampiran tadi yang merupakan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, telah memperkenankan dibuat terdakwa “secara khusus”. Artinya penunjukkan kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi harus dibuat terdakwa dalam surat kuasa yang khusus untuk tujuan permintaan permohonan kasasi.
Peninjauan kembali dapat diminta oleh seorang kuasa, dasar hukumnya diterapkan “secara konsisten” pedoman yang terdapat pada angka 24 lampiran Menteri Kehakiman tersebut. Alasan penerapan pedoman petunjuk yang terdapat pada angka 24 ini ke dalam proses permohonan itu sendiri. Motivasi
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
memperbolehkan seorang kuasa mengajukan permintaan kasasi, tiada lain demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terdakwa. Kalau begitu dengan motivasi yang sama, pedoman petunjuk angka 24 tadi dapat diterapkan dalam permintaan peninjauan kembali, demi kepentingan dan perlindungan hak asasi terpidana. Bukankah setiap orang berhak menunjuk penasehat hukum atau kuasa yang dapat diharapkan membela kepentingan dan memperlindungi hak asasi.
B. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum
Fungsi dan kewenangan jaksa didalam KUHAP Pasal 1 angka 6 huruf a ditetapkan hanya meliputi dan bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. KUHAP merumuskan demikian karena berkaitan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP.
Sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP Jo Pasal 17 PP No 27 Tahun 1983 Jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana seperti dalam tindak pidan korupsi dan dalam tindak pidana Subversi dan dalam tindak pidana ekonomi. Dengan adanya pasal ini jaksa berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Maka dengan kewenangan penyidik yang dimiliki oleh jaksa diletakkan diatas corak khusus ketentuan acara pidana dalam undang-undang yang bersangkutan.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pelaksanaan sistem peradilan pidana ini (Criminal Justice System) dalam sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan pelaksaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidik, penuntutan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, dan semua lembaga ini berusaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut agar peradilan berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.
Maka dengan fungsi dan kewenangan masing-masing instansi penegak hukum itu terdapat pembedaan fungsi dan wewenang secara tegas tetapi hal tersebut bukanlah pemisahan fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum. Dalam hubungannya dengan sistim peradilan perkara pidana terpadu tersebut, untuk menangani hasil-hasil penyidikan yang yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka dalam tahap penuntutan kepada penuntut umum.
Ketentuan Pasal 14 KUHAP yang menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang yaitu:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. c. Memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penahanan atau penahanan lanjutan dana atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. d. Membuat surat dakwaan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
e. Melimpahkan perkara kepengadilan f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. g. Melakukan penuntutan. h. Menutup perkara demi kepentingan hukum. i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang. j. Melaksanakan penetapan hakim.
Pengertian dari penuntutan itu menurut Andi hamzah yaitu tindakan penuntut umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Sedangkan Harun.M.Husein mengatakan pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan prapenuntutan itu yaitu harus dihubungkan dengan pasal 8 ayat 3 huruf a, pasal 14 huruf a dan b, pasal 110 dan pasal 138 KUHAP dari rangkaian pasal tersebut nampak hal-hal sebagai berikut: 42
a) Pada tahap pertama pertama penyidik hanya meyerahkan berkas perkara. b) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih belum/kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk-petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan. c) Penyidikan dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. d) Penuntut umum setelah menerima berkas perkara segera mempelajari dan meneliti berkas perkara dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. e) Apakah hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara dengan petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi dan dalam batas waktu 14 hari sejak penerimaan kembali berkas perkara, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. 42
Harun.M.Husein, Penyidikan dan penuntutan dalam proses pidana, (Jakarta:PT Rineka Cipta),hal 234
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Berdasarkan pengertian yang diatas yang dimaksud dengan penuntutan ialah kewenangan penuntutan umum untuk mempersiapkan penuntutan yang akan dilakukannya dalam suatu perkara, yaitu dengan cara mempelajari/meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan penyidik kepadanya guna menentukan apakah persyaratan yang di perlukan guna melakukan penuntutan sudah terpenuhi atau belum oleh hasil penyidikan tersebut. Ada beberapa bidang tugas dan wewenang kejaksaan berdasar undang-undang No. 5 Tahun 1991 ( Pasal 27, 28, dan 29) yaitu sebagai berikut : 43 a. Di bidang Pidana Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; 2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; 4. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik. b. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Di bidang Datun, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. c. Di bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : 1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3. Pengamanan peredaran barang cetakan; 4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; 6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Kejaksaan dapat meminta hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang 43
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), Hal 58.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Mencermati tugas dan wewenang diatas ternyata kewenangan melakukan pengawasan keputusan lepas bersyarat diabaikan oleh pembentuk Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk itu, dalam penyusunan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang kemasyarakatan maka kewenangan kejaksaan perlu diangkat kembali. Dengan demikian tidak ada kesan saling bertentangan atau tumpang tindih, hal itu perlu diperhatikan pula dalam penyusunan RUU KUHAP baru sebagai ius constituendum. Dalam rangka pemantapan tugas dan fungsi kejaksaan dan sekaligus dalam rangka menemukan kebenaran materiil, kiranya pemeriksaan tambahan lebih diefektifkan dan didayagunakan. Kewenangan penuntut umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP melalui Pasal 14 yaitu : a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari Penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan dengan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi membentuk petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan;
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang ke sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. Melaksanakan penetapan hakim Hal ini cukup urgen untuk dibahas berkaitan dengan kewenangan di atas, diantaranya adalah prapenuntutan. Prapenuntutan muncul bersamaan dengan diundangkannya KUHAP melalui UU No.8 Tahun 1981. Istilah ” prapenuntutan” tidak diberi pengertian melalui Pasal 1 KUHAP, dan hampir sama pengertiannya dengan penyidikan lanjutan dalam HIR, juga dalam praktek Penuntut Umum sering menemui kendala. Kendala yang dimaksud antara lain: 1) Penyidik sering tidak dapat memenuhi petunjuk Penunut Umum ataupun petunjuknya sulit dimengerti Penyidik, sehingga menyebabkan berkas perkara bolak-balik Penuntut Umum ke Penyidik dan sebaliknya. 2) Banyak berkas perkara yang dikembalikan Penuntut Umum untuk disempurnakan Penyidik, tidak dikembalikan lagi ke Penuntut Umum. Prapenuntutan ini merupakan tahap yang amat penting bagi Penuntut Umum, yang menginginkan tugas penuntutan berhasil baik. Kenyataan membuktikan bahwa keberhasilan Penuntut Umum dalam prapenuntutan akan sangat mempengaruhi
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan dan keberhasilan pembuktian di persidangan. Agar prapenuntutan dapat berdaya guna dan berhasil guna, kiranya perlu diperhatikan faktor-faktor tertentu yang pada pokoknya: a. Pembinaan hubungan kerjasama antara Penyidik dengan Penuntut Umum, baik sebelum atau lebih sesudah adanya pemberitahuan penyidikan kepada Penuntut umum. Pembinaan hubungan kerjasama dan koordinasi ini dimaksudkan untuk terarahnya penyidikan oleh Penyidik, baik mengenai diri tersangka, perbuatan yang disangkakan maupun pembuktian sehingga dapat menghindarkan hasil penyidikan yang berlarut-larut dan mondar-mandirnya berkas perkara antara Penyidik dengan Penuntut Umum. b. Kewajiban penelitian kelengkapan hasil kelengkapan meliputi antara lain kelengkapan
berita
acara,
keabsahan
berita
acara,
tindakan
Penyidik,
kesempurnaan alat bukti yang sah, alasan dan dasar penahanan tersangka, kecocokan benda sitaan/barang bukti dengan daftar yang tercantum dalam berkas perkara dan faktor-faktor lain yang dinilai perlu. c. Apabila jaksa meneliti/jaksa penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu 7 hari harus memberitahukan kepada Penyidik di sertai petunjuk-petunjuk yang terperinci.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Selain hal-hal diutarakan di muka, ternyata ada beberapa kelemahan pelaksanaan prapenuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu sebagai berikut : 44 1. Penguasaan teknis yuridis Sejak diterimanya P-16 Jaksa Penuntut Umum tidak mempelajari secara seksama dan sungguh-sungguh serta tidak melakukan kegiatan apa-apa setelah menerima laporan polisi jadi yang memuat uraian singkat perkara pidana. Tidak jarang terjadi bahwa Penyidik keliru menempatkan pasal-pasal yang disangkakan. 2. Penguasaan teknis administratif Jaksa Penuntut Umum setelah P-16 tidak tau apa yang harus diperbuat, tidak melakukan kewajiban administrasi seperti sudah diatur dalam keputusan jaksa agung (kepja) sehingga banyak sekali dijumpai SPDP yang tidak disusul dengan penyerahan berkas perkara tahap pertama tanpa diketahui sebab-sebabnya. 3. Penunjukan Jaksa Penuntut Umum dalam P-16 Untuk melaksanakan tugas prapenuntutan masih banyak ditemukan hanya ditunjuk satu orang jaksa bahkan dijumpai jaksa yang bertugas melakukan tugas prapenuntutan bukan menjadi jaksa Penuntut Umum disidang pengadilan sehingga dalam keadaan seperti tersebut tidak pernah dilakukan kegiatan dinamika kelompok. 4. Pemberian Petunjuk untuk Melengkapi Berkas Perkara Oleh karena jaksa penuntut umum yang bertugas melaksanakan tugas prapenuntutan tidak melakukan tugas dengan baik sejak menerima SPDP maka
44
Ibid, hal 62
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
pemberian petunjuk yang diperlukan untuk melengkapi berkas perkara tidak jarang dapat dilaksanakan penyidik karna tidak jelas. Tugas dan wewenangan kejaksaan RI adalah sebagai berikut : 45 1. Di bidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang a) Melakukan penuntutan; b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang; e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan Penyidik 2. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan usaha khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah. 3. Dalam
Bidang
Ketertiban
dan
Ketentraman
Umum,
kejaksaan
turut
menyelenggarkan kegiatan : a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
45
Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), Hal 128
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
b) Pengamanan kebijakan penegak hukum; c) Pengamanan peredaran barang cetakan; d) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 4. Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak; 5. Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan negara lainnya; 6. Dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Tugas dan wewenang jaksa agung menurut Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 yaitu: 46 1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; 3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; 4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; 5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 46
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
6. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 36 UU No.16 Tahun 2004 mengatur bahwa : 47 1. Jaksa Agung memberikan ijin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri, kecuali dalam 2. Keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri 3. Ijin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepada Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung 4. Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. Kemudian pasal 37 UU No.16 Tahun 2004 menegaskan bahwa : 48 1. Jaksa agung bertanggungjawab atas penununtutan yang dilaksanakan secara independent demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. 2. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas . Menurut UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI diatur tugas dan wewenang kejaksaan RI, dalam Pasal 27 menegaskan bahwa: 49 1. Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a) Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan bebas bersyarat; d) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
47
Ibid Ibid 49 Opcit, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, hal 131 48
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
2. Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan usaha khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan pemerintah 3. Dalam Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b) Pengamanan kebijakan penegak hukum; c) Pengamanan peredaran barang cetakan; d) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Undang-undang No 5 Tahun 1991 Pasal 28 menetapkan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau diri sendiri. Sementara itu, Pasal 29 Undang-undang No 5 Tahun 1991 tersebut menetapkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Selanjutnya, Pasal 30 Undang-undang No 5 Tahun 1991 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 31 mengatur bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi Pemerintah lainnya.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam beberapa pasal di bawah ini. Pasal 32 Undang-undang No. 5 tahun 1991 mengatur bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas wewenang: 50 a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan; b. Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan institusi terkait berdasarkan Undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden. c. Menyampingkan perkara demi kepentingan Umum. d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan Kemudian pasal 33 menegaskan bahwa: 51 1. Jaksa Agung memberikan ijin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam luar negeri. 2. Ijin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung. 50 51
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Ibid
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
3. Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. Tugas dan wewenang Kejsaksaan Republik Indonesia diatur juga dalam Undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kejaksaan RI. Dalam pasal 2 Undang-undang itu ditetapkan bahwa dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, kejaksaan mempunyai tugas: 52 1. Mengadakan penuntutan perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang, menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana. 2. Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang hukum acara pidana dan lain-lain peraturan negara. 3. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. 4. Melaksanakan tugas-tugas khusus lainya yang diberikan kepadanya oleh sesuatu peraturan negara. Disamping pengaturan tugas kejaksaan diatas, Undang-undang No 15 Tahun 1961 mengatur wewenang dan kewajiban Jaksa Agung. Pasal 7 ayat (2) menegaskan bahwa untuk kepentingan penuntutan perkara, jaksa agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam
lingkungan
daerah
hukumnya
memberikan
petunjuk-petunjuk
mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat Penyidik dengan mengindahkan hierarki. Ayat (3) mengatur bahwa jaksa agung memimpin dan mengawasi para jaksa dalam melaksanakan tugasnya. Selanjutnya dalam pasal 8 undang-undang itu ditegaskan bahwa jaksa agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum. Kemudian pasal 9, mengatur bahwa jaksa agung dan jaksa-jaksa 52
Opcit, Kejaksaan RI Posisi Dan Fingsinya Dari Perpekstif Hukum, Hal 135
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya menjaga agar menahan dan perlakuan terhadap orang yang di tahan oleh pejabat-pejabat lain dilakukan berdasarkan hukum. Ketiga undang-undang kejaksaan itu menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Dalam Undang-undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No 5 Tahun 1991 ditegaskan bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Disamping itu, Undang-undang No 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No 5 Tahun 1991 mengatur tugas dan wewenang jaksa agung yaitu: 53 a. Menetapakan serta mengendalikan kebijakan menegakkan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; c. Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana institusi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh presiden; d. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; e. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; f. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
53
Ibid, hal 140
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
g. Menyampaikan pertimbangan kepada presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati. h. Mencegah atau menangkal orang tertentu un tuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini sangat relevan untuk mendapat perhatian khusus tentang pentingnya upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa. Dimana Jaksa disini mewakili korban dalam melakukan Upaya Hukum Peninjauan kembali dalam hal bidang Penuntutan Sesuai dengan wewenangnya. Korban yang merasa tidak puas atas putusan pengadilan yang tidak adil diwakili oleh jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali.
C. Korban yang diwakili oleh Jaksa
Pengertian korban kejahatan berkaitan erat dengan sifat kejahatan itu sendiri. Korban kejahatan pada mulanya hanya diartikan sebagai korban dari kejahatan yang bersifat konvensional, misalnya pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, dan pencurian. Kemudian diperluas pengertiannya menjadi kejahatan yang bersifat non konvensional seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika, kejahatan terorganisir,
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
(crime
againts
humanity),
penyalahgunaan kekuasaan. Sedangkan Mardjono mengatakan mengenai korban ini
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
meliputi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang bersumber dari illegal abuses of economic power dan illegal abuses of public power. 54
Korban kejahatan dalam hukum pidana sangat sulit diberikan batasan secara pasti karena kejahatan atau pelanggaran hukum pidana dapat menimbulkan dampak yang luas materil dan immateril baik langsung maupun tidak langsung. Hukum pidana tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang menjadi korban dari suatu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana. Batasan tentang korban kejahatan itu dapat ditemukan dalam disiplin
non hukum pidana misalnya viktimologi dan
kriminologi. Pasal dalam hukum pidana secara tidak langsung ada juga yang memberikan pengertian yang ditujukan terhadap korban kejahatan dalam konteks yang beragam seperti pengadu, pelapor, saksi atau saksi korban dan pihak ketiga yang berkepentingan dan pihak yang dirugikan sebagai penggabung dalam prosedur pidana 55
Penentuan batasan pengertian korban kejahatan atau dampak kejahatan terhadap korbannya merupakan bagian yang tidak mudah untuk dirumuskan karena menjangkau pada aspek-aspek kehidupan yang bersifat tidak terbatas dan tidak terhitung. Maka lebih mudah untuk menentukan batasan kejahatan dari pada merumuskan batasan dampak kejahatan terhadap korbannya. Penjelasan mengenai 54
Mardjono Reksodiputro,Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban di dalam JE. Sahetapy Viktimologi:Sebuah Bunga rampai, (Pustaka Sinar Harapan: Jakarta , 1987), hal 96 55 Istilah pihak yang dirugikan disini ditujukan kepada korban kejahatan sebagai mana dalam penjelasan pasal 98 ayat 1 tetapi ketentuan ini dalam konteks keperdataan dalam rangka penggabungan perkara perdata dalam prosedur acara pidana.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
korban kejahatan paling tidak mencukup 3 hak yaitu siapa yang menjadi korban kejahatan, penderitaan dan kerugian apa yang dialami oleh korban kejahatan dan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana penderitaan atau kerugian yang dialami oleh korban tersebut setelah dipulihkan. Atas pertimbangan tersebut pengkajian tentang posisi hukum korban kejahatan dalam lingkupnya ini dipulihkan melalui upaya hukum peninjauan kembali.
Korban kejahatan dikelompokkan dalam beberapa kelompok antara lain yaitu: korban kejahatan bersifat abstrak, misalnya negara atau masyarakat, korban kelompok, misalnya organisasi atau kelompok berdasarkan ras, agama, etnis, suku, warna kulit atau karena adanya persamaan kepentingan dan korban yang nyata. Misalnya individu dan individu.
Kajian terhadap korban yang nyata ini memiliki ciri-ciri yang mudah diamati dan paling sering terjadi dalam masyarakat seperti kejahatan terhadap badan atau nyawa dan kejahatan terhadap kesusilaan. Ini disebut sebagai korban kejahatan konvensional yang mana korban kejahatannya konvensional dan korban kejahatannya bersifat langsung dan nyata yang menimbulkan kerugian kepada korbannya.
Posisi hukum dari korban kejahatan diartikan sebagai kedudukan hukum korban dalam hukum pidana. Posisi hukum korban tersebut dapat diketahui melalui kajian tentang konsep kejahatan atau pelanggaran hukum pidana yaitu hak atau kepentingan siapakah yang dilanggar oleh pelanggar hukum pidana, konsep kejahatan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
menjadi pokok pangkal pengkajian posisi hukum korban kejahatan dalam sistim peradilan pidana, karena dalam pelaksanaanya hak-hak yang telah dimiliki dan akan dimiliki oleh korban kejahatan akan memiliki dasar hukum yang lebih kuat jika eksistensi dan posisi hukumnya diakui oleh hukum pidana. Posisi hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana dilakukan pada peraturan hukum pidana formil dan materil yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Hukum itu adalah suatu sistem yaitu sistem norma-norma 56 . Sebagai sistem hukum memiliki sifat umum dari suatu sistem. Paling tidak ada memiliki tiga ciri umum yaitu menyeluruh (Wholes), memiliki beberapa elemen (Elements), semua element saling terkait (Relations), kemudian membentuk struktur. Maka sistem hukum memiliki cara kerja sendiri untuk mengukur vadilitas suatu norma dalam suatu sisitem hukum tersebut. Sedangkan Lawrence W Friedman memberi konsep suatu sistem hukum dalam arti yang lebih luas yang meliputi 3 elemen yaitu element struktural, substansi, budaya hukum 57 dan elemen ke empat yaitu dampak 58 .
56
Hukum dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki ciri-ciri umum suatu sistem hukum, tetapi batasan yang diberikan berbeda karena melihyat dari sudut pandang yang berbeda sebagaimana dikatakan hans kelsen yaitu melihat sistem hukum dari sudut hukum positif dikaitkan dengn teorinya yang terkenal dengn norma dasar. 57 Budaya Hukum menurut Lawrence M.Friedman yaitu sikap orang terhadap hukum yang dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai,ide, dan pengharapan-pengharapan.maka dengan adanya empat element tersebut secara implisit Friedman mengakui bahwa masalah hukum tidak bisa digeneralisasikan pada lintas sistem hukum, karena budaya hukum itu adalah khas dari masing-masing masyarakat. 58 Element keempat ini ditujukan kepada dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi kajian para peneliti.Pandangan Friedman tentang tentang sistem hukum tersebut dilatarbelakangi oleh
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Perlindungan saksi korban disini berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, kepastian hukum. Perlindungan terhadap korban ini beertujuan: memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban dalam memberikan setiap keterangan dalam proses peradilan pidana.
Perlindungan terhadap para saksi dan korban ini berasaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi, dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana saksi dan korban berhak untuk mendapat: 59
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiaan yang akan sedang atau tela diberikannya. 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan 3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
sistem hukum amerika yang bercorak common law system. Untuk menjelaskan civil law system atau hukum kontinental hukum indonesia memiliki karakter civil law system hukum kontinental perlu ada penekannan bagian tertentu yang relevan dengan ciri umumnya, yaitu hukum dipahami sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis ditetapkan oleh pembentuk hukum yang berkompeten, oleh sebab itu kajian ini difokuskan kepada dua aspek yaitu aspek substansi dajn struktural. 59 UU No 13 Tahun 2008 Tentang Saksi Dan Korban
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
4. Mendapat penerjemah. 5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat. 6. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 7. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan 8. Mendapat identitas baru. 9. Mendapatkan tempat kediaman baru 10. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan 11. Mendapat nasihat hukum 12. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Pengertian korban menurut Arif hwa Gosita yaitu: Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Dari pengetian ini diuraikan secara rinci bahwa korban kejahatan ada yang bersifat individual dan kolektif.
Korban individual ini dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata akan tetapi korban kolektif sangat sulit diidentifikasi. Sedangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup diberikan jalan keluar terhadap korban kolektif berupa hak melakukan upaya hukum menuntut ganti rugi atau pemulihan lingkungan hidup
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
melalui gugatan perwakilan kelompok (class action). Dikaji dari perspektif jenisnya, koraban kejahatan ada yang bersifat langsung yaitu korban kejahatan itu sendiri, dan tidak langsung (korban semua abstrak) yaitu masyarakat 60 .
Selin Dan Wolfgang mengklasifikasikan secara eksplisit jenis korban sebagai berikut:
a.
Primary Victimization adalah korban individual. Korbannya merupakan orang perorangan atau bukan kelompok.
b.
Secondary Victimization. Korban merupkan kelompok seperti badan hukum.
c.
Tertiary vctimazation korban merupakan seperti kelompok badan hukum.
d.
Tertiary victimiation korban merupakan masyarakat luas
e.
Mutual
victimazation
korban
merupakan
pelaku,
misalnya
pelacuran,
perzinahan,narkotika. f. Novictimazation Korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.
Apabila dikaji lebih jauh dari persektif kerugian, korban dapat diderita oleh seorang, kelompok masyarakat, maupun masyarakat luas. Selain itu kerugian korban juga dapat bersifat materil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateril yakni
60
Lilik Mulyadi , Kapita Selekta Hukum Pidana kriminologi dan Viktimologi, (Jakarta: PT Djambatan, 2004),hal 120
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
peerasaan takut, kejutan, psikis. 61 Sedangkan dalam sistim peradilan indonesia ternyata kedudukan korban relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukumnya masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku.
Sistim peradilan indonesia yang memberikan kewenangan jaksa untuk mewakili kepentingan korban kejahatan. Hal ini merupakan bagian dari perlindungan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial dan teori solidaritas sosial 62 . Model perlindungan terhadap korban kejahatan ini yaitu model hak-hak prosedural. Secara singkat model ini menekankan agar korban berperan aktif dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum dilibatkan dalam setiap pemeriksaan perkara yang didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat. Begitu juga dengan korban bisa mendapatkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya. Keterlibatan korban dalam proses peradilan tentunya mempunyai dampak positif dan negatif.
Partisipasi korban dalam pelaksanaan proses peradilan pidana dapat menyebabkan kepentingan pribadi terletak diatas kepentingan umum. Secara historis teori tersebut merupakan latar belakang terhadap terbebtuknya lambaga kejaksaan sebagaiamana yang dikatakan oleh Jan JM Van Dijk, The Hague, bahwa secara
61
Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana,(Universitas Indonesia: Jakarta,1994), hal 78 62 Muladi Dan Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung:PT Alumni,1992) hal 78
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
historis, argumen inilah yang melatarbelakangi atau sebagai justifikasi terhadap terbentuknya jaksa penuntut umum.
Sedangkan alasan yang diberikan oleh orang yang menolak hak korban diberikan untuk melakukan peninjauan kembali yaitu dengan diberikannya peran individual kepada korban dalam proses persidangan atau penuntutan terhadap pelaku, berarti membuatnya ikut bertanggung jawab atas jalannya persidangan serta dari hasil proses persidangan tersebut. Tanggung jawab ini akan menjadi tekanan yang cukup berat bagi korban dalam berbagai segi. Tekanan bisa muncul dari pihak dengan siapa korban melakukan kontak dan atau disebabkan oleh pihak polisi atau jaksa yang memanfaatkan hak-haknya untuk kepentingan umum.
Model hak-hak prosedural ini dapat menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan individual sikorban, disamping suasana peradilan yang bebas dan dilandasi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dapat terganggu oleh pendpat korban tentang hukuman yang dijatuhkan karena didasarkan atas pemikiran emosional sebagai upaya untuk mengadakan pembalasan. Selain itu menetapkan jaksa penuntut umum sebagai yang mewakili korban sering kali dalam prakteknya aspirasi korban kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidak puaasan atas tuntutan jaksa dan putusan hakim. Aspek inilah merupakan salah satu yang dipicu karena secara prosedural korban tidak mempunyai peluang untuk menyatakan ketidak puasannya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Jaksa penuntut umum sebagai lembaga yang mewakili korban dalam tuntutan pidananya lebih banyak menguraikan penderitaan korban akibat tindak pidana yng dilakukan oleh pelaku.
Dengan tolak ukur tersebut, pengajuan tuntutan pidana
hendaknya harus didasarkan pada keadilan yang ditinjau dari kaca mata korban. Dengan demikian jaksa penuntut umum cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi, sedangkan terdakwa atau penasehat hukumnya berhak memohon hukuman yang seringan-ringannya. Bahkan kalau memungkinkan mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan jaksa penuntut umum. Putusan hakim yang berupa pemidanaan (veroordeling) sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief dari simposium pembaharuan hukum pidana nasional tahun 1980, yaitu sebagai berikut: 63
1.
Kemanusiaan, dalam arti bahwa persidangan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.
2.
Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.
3.
Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum, korban, maupun masyarakat.
63
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan kejahatan dengan pidana penjara, (Semarang:Undip,1996).
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Apabila dijabarkan, ketentuan pasal 100 ayat (2) KUHAP telah membatasi korban dalam hal berikut:
a.
b.
Ditinjau dari anasir prosesnya, maka tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkertnya, korban tidak mempunyai proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu, berdasarkan ketentuan pasal 100 ayat (2) KUHAP maka permintaan banding putusan ganti kerugian baru dapat dijalankan apabila perkar pidananya dilakukan upaya hukum banding. Konkretnya, jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban. Hal ini dikarenakan jalur tersebut bukan merupakan ketentuan undang-undang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasif antara korban dan penuntut umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan dimaksut belum sepenuhnya dapat menjamin kepentingan korban dalam upaya untuk mencari keadilan. Perlindungan korban melalui upaya hukum banding tergantung kepada penuntut umum. Tegasnya, besar kemungkinan terjadi perbedaan pandang dan kepentingan antara korban dan penuntut umum. Jika korban berkeinginan mengajukan banding sedangkan penuntut umum menerima putusan, maka keinginan korban untuk melakukan upaya hukum banding telah tertutup. Aspek ini merupakan konsekuensi logis dari sistem peradilan pidana
indonesia yang menempatkan eksistensi lembaga kejaksaan sebagai wakil kepentingan korban kejahatan. Disatu sisi sebagai lembaga yang mewakili korban, idealnya kejaksaan lebih mementingkan korban. Akan tetapi, penuntut umum masih mengacu kepada pelaku tindak pidana. Untuk itu, pada masa mendatang (ius constituendum) sebagai reorientasi, revaluasi KUHAP guna menghilangkan aspek negatif perlu diatur eksistensi lembaga kejaksaan yang mewakili korban atau
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
masyarakat secara tegas, atau korban dapat secara langsung menggunakan sendiri suatu upaya hukum.
Pembatasan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 100 ayat (2) KUHAP, perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat (1) KUHAP teryata relatif kurang sempurna. Berdasarkan ketentuan ini, apabila terjadi penggabungan gugatan ganti kerugian, untuk memeriksanya harus bermuara pada hukum acara perdata. Terlebih lagi khususnya kewanangan bersifat absolut yang harus diajukan kepada pengadilan negeri dimana tergugat bertempat tinggal.
Terdakwa yang diadili perkara pidananya disidangkan diluar wilayah tempat tinggal atau tempat kediamannya, tentu pangadilan negeri tersebut tidak akan memeriksa dan tidak akan mengadilinya karena salah satu asas dalam hukum pedana menyatakan bahwa terdakwa akan diadili dimana perbuatan tersebut dilakukan. Oleh karena itu, jika hukum acara pidana benar-benar hendak memperhatikan kepentingan korban, diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran lebih besar kepada korban dalam mengajukan upaya hukum banding.
Korban dapat mengajukan banding jika tidak merasa puas atas putusan hakim, baik menyangkut pemidanaan maupun terhadap tuntutan ganti kerugian. Demikian pula halnya mengenai kewenangan mengadili sepanjang hal yang menyangkut
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
kerugian materil tidaklah memerlukan pemisahan antara kompetensi peradilan pidana dan perkara perdata terkait dengan gugatan ganti kerugian.
Kitab undang-undang hukum acara pidana sebagai peraturan perundangundangan di indonesia yang mengatur mengenai upaya hukum peninjaauan kembali sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Mengatakan bahwa yang berhak untuk melakukan permohonan peninjauan kemabli menurut pasal 263 ayat 1 KUHAP yaitu hanya terpidana dan ahli warisnya, mengenai jaksa diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali dalam KUHAP tidak ada diatur. Pasal 263 KUHAP tersebut juga, memberi celah kepada Jaksa Penuntut Umum Untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaiamana yang terdapat dalam Pasal 263 ayat 3 KUHAP.
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dinyatakan terbukti namun tidak diikuti pemidanaan. Maka disini lah celah bagi jaksa penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan kembali sebagaiamana dimaksud dalam pasal 263 ayat 3 KUHAP ini tidak memungkinkan Terpidana mengajukan Upaya Hukum Peninjauaan kembali terhadap suatu putusan bebas yang mana ini akan merugikan bagi dia untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Jaksa dalam hal ini dianggap perlu untuk melakukan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap walaupun KUHAP sebagai peraturan perundang-undangan diindonesia tidak mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa, dimana yang diatur hanya terpidana saja.
Jaksa sebagai mengatas namakan negara demi kepentingan umum berhak mengajukan
upaya
hukum
peninjauan
kembali
walaupun
KUHAP
tidak
mengaturnya, namun dalam prakteknya. Jaksa diperbolehkan melakukan peninjauan kembali,apabila menyangkut mengenai kepentingan umum. Pengajuan uapaya hukum peninjauan kembali ini sebagai terobosan hukum untuk menerobos legalistik ,sebagaiaman asas perundang-undangan indonesia berdasarkan peraturan yang ada.
Teori keseimbangan hukum ini sebagai mana dikatakan Alvi Syahrin dalam bukunya beberapa masalah hukum, bahwa hukum mengendalikan keadilan (law wants justice ). Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan (equality), hak asasi individu (individual right), kebenaran (truth), kepatuhan (fairnes), dan melindungi masyarakat (protection public interest). Hukum
yang
mampu menegakkan nilai-nilai tersebut, jika dapat menjawab : 64
a. Kenyataan relita yang dihadapi masyarakat. b. Yang mampu menciptakan ketertiban. 64
Alvi Syahrin,2009, Beberapa Masalah Hukum, Medan:PT Sofmedia, hal 3.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
c. Yang hendak ditertibkan adalah masyarakat, oleh karena itu orde yang dikehendaki adalah ketertiban sosial yang mampu berperan. Berdasarkan teori keseimbangan yang dikatakan Alvi Syahrin bahwa keadilan yang dikehendaki oleh hukum itu harus mempunyai persamaan (equality). Dalam penelitian ini penulis merasa peninjaun kembali yang terdapat didalam KUHAP Pasal 263 Ayat 1 KUHAP bahwa yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana, atau ahli warisnya. Maka muncul pertanyaan mengapa kuhap juga tidak mengatur peninjaun kembali yang dilakukan oleh korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang mana dalam hal ini korban dan terpidana, mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum.
Dalam hal konteks putusan pengadilan, yang memutus peninjauan kembali adalah disni hakim, bukan jaksa, jadi menurut penulis putusan yang tidak adil menurut terdakwa disni adalah putusan hakim bukan putusan jaksa jadi tidak wajar apabila hak nya tidak diakui oleh KUHAP karena sama-sama mereka tidak mendapat putusan yang adil. Namun timbul pertanyaan, Bagaimana dengan hak korban, yang tidak puas dengan putusan hakim, apabila tidak diatur didalam Undang-undang mengenai haknya untuk melakukan peninjaun kembali, sedangkan terpidana apabila tidak puas dengan putusan Mahkamah Agung dapat melakukan peninjauan kembali. Maka dalam hal ini adalah tidak adil menurut penulis, apabila korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diperbolehkan melakukan peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Sementara terpidana dalam hal ini diakui oleh Undang-undang untuk melakukan peninjauan kembali.
Maka berdasarkan teori keseimbangan diatas keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan adalah tidak berjalan semana mestinya, karena hak antara terpidana dan korban tidak dipersamakan dalam undang-undang untuk mencari keadilan terhadap suatu putusan hakim yang tidak adil. Maka menurut penulis untuk Rancangan KUHAP yang akan datang supaya hak korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum diberikan wewenang untuk melakukan upaya hukum peninjaun kembali sehingga tercipta kepastian hukum dan keadilan diantara kedua belah pihak.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB III PRAKTEK PERADILAN INDONESIA YANG MEMBENARKAN JAKSA PENUNTUT UMUM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP Upaya hukum peninjauan kembali dalam praktek peradilan indonesia pada masa akhir-akhir ini telah menimbulkan perdebatan hukum diantara wewenang dua belah pihak dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan kembali ini yang mana menurut pasal 263 KUHAP yang diatur hanya wewenang dari terpidana dan ahli warisnya yang melakukan peninjauan kembali, sementara dari pihak korban yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum tidak diatur untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Peninjauan kembali yang merupakan hak dari terpidana, dalam belakangan ini muncul keinginan pihak lain di luar terdakwa untuk melakukan peninjauan kembali. Pihak tersebut ialah Jaksa Penuntut Umum yang mewakili korban yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa itu adalah salah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi jaksa untuk mengajukan upaya hukum tersebut karena hak untuk mengajukan upaya hukum peninjaun kembali berdasarkan undang-undang No 8 Tahun 1981 itu adalaha hak dari terpidana atau ahli warisnya. Kontroversi ini memberikan jawaban bahwa dalam perkembangannya upaya hukum peninjauan kembali ini dalam praktek pradilan memberikan hak atau
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
wewenang bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan peninjauan kembali. Lahirnya kewenangan bagi jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali ini yaitu dengan adanya kasus muchtar pakpahan, sebagai awal Mulanya Jaksa diberikan kewenangan untuk melakukan peninjauan kembali, dan diikuti oleh kasuskasus bertikutnya yaitu kasus Gandhi Memorial School, dr Linus Waworuntu dan Pollycarpus Budiharipriyatno. Putusan terhadap Muchtar Pakpahan ini dijadikan acuan bagi hakim untuk memutus perkara peninjauan kembali, yang dilakukan oleh jaksa. Mengenai syarat formil dari diterimanya peninjauan kembali tersebut. Dan ini merupakan suatu penemuan hukum. 65 Sebagaimana yang dikatakan oleh Bambang Sutiyoso mengenai pembentukan hukum Rechtsvorming yaitu merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang dan ini lazimnya dilakukan oleh pembentuk Undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (Judge Made Law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (Vaste Jurisprudance).
A. Kasus Muchtar Pakpahan
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan dari Jaksa Penuntut Umum Yaitu: Hukum terbentuk antara lain melalui putusanputusan Hakim, sepeti halnya, dalam masalah permohonan kasasi pasal 244 KUHAP yang berbunyi : “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
65
Bambang Sutiyoso , Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), hal 84
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terakhir oleh Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
Menegaskan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan kecuali putusan bebas dapat dimintakan kasasi, atau dengan perkataan lain putusan bebas dengan tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Melalui penafsiran pasal 244 KUHAP tersebut Hakim menentkan bahwa terdapat 2 macam putusan bebas, yakni bebas murni dan bebas tidak murni, putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 menentukan : Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan PK kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam perkara pidana terdapat 2 pihak yang berkepentingan yakni yang satu adalah terdakwa dan yang lainnya Jaksa / Penuntut Umum yang mewakili kepentingan Umum / negara. Menurut pasal 21 UndangUndang
Nomor 14 tahun 1970 tersebut disebutkan “pihak-pihak yang
berkepentingan, jadi pihak-pihak yang dimaksud disini yang dapat megajukan permohonan peninjauan kembali yaitu Jaksa Penuntut Umum. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menentukan: “ atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap putusan pengadilan yang telah
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan”. Maka oleh Mahkamah Agung berdasarkan pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut ditujukan kepada Jaksa Penuntut Umum. Dimana Jaksa disini adalah pihak yang paling berkepentingan. Jaksa penuntut umum telah berhasil membuktikan dakwaannya dimuka sidang dan Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemutusan pemidanaan oleh hakim. Jaksa dalam hal ini yang paling berkepentingan agar putusan pengadilan tersebut dirubah sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tersebut diikuti dengan pemidanaan atas diri terpidana. Berdasarkan asas legislitas dan dalam rangka menerapkan asas keseimbangan antara hak asasi dari Temohon peninjauan kembali
sebagai perseorangan atau
sebagai manusia seutuhya berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai satu pihak dan kepentingan umum, bangsa masyarakat luas termasuk kepentingan “Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia’ sebagai kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya yang tidak terpisah dari Kejaksanaan Republik Indoensia yang dipimpin oleh Jaksa Agung RI. Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali ini selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah Negara diterapan secara tepat dan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
adil, lagi pula mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali perkara ini masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini Ingin menciptakan Hukum Acara Sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa/ Penuntut Umum tersebut dengan menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dari Pemohon peninjauan kembali Jaksa/ Penuntut Umum secara formal dapat diterima, sehingga dapat diperiksa apakah pihak yang memohon peninjauan dapat membuktikan apakah putusan bebas tersebut sudah tepat dan adil. Mengenai putusan bebas Hadari Djenawi tahrir mengemukakan pasal 263 ayat (1) terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, merupakan putusan pengadilan yang dikecualikan oleh pasal 263 ayat (1) untuk dapat diadakan Peninjauan Kembali, artinya bahwa atas kedua putusan Pengadilan tersebut tidak dapat dimintakan PK , menurut Hadari, Pembuat Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang arti kata putusan bebas maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tetapi dari pasal 191 ayat 1 dan 2 pengertian Istilah-istilah tersebut dapat disimpulkan. 66 Mengenai pengertian pada ayat 1 pasal 263 KUHAP yang disebut putusan bebas didalam praktek dikenal dengan istilah Vrijsprak Sedangkan yang dimaksud dari istilah lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam
ayat
2
pasal
rechtsvervolging 67 .
66 67
263
KUHAP,
identik
dengan
istilah
onstlag
van
Dalam praktek kedua istilah tersebut sudah berkembang
Hadari Djenawi Tahir Loc it Hal 26-29. Harun M. Husein, 1992, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Jakarta :Sinar Grafika, hal 111.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
sehingga tidak dapat dikatakan secara tegas apakah suatu putusan pengadilan itu benar-benar merupakan suatu putusan vrijspraak atau ontslag van rechtvervolging. Menurut Adi Andjoyo, pengajuan dan pengabulan permohonan PK kasus Muchtar Pakpahan merupakan penyimpangan penafsiran peraturan perundangundangan, sebab KUHAP telah membatasi bahwa putusan bebas tidak dapat lagi dibanding di tingkat apapun, apalagi untuk diajukan ketingkat PK. Putusan kasasi dalam kasus Muchtar Pakpahan ditegaskan Adi Andojo juga mengemukakan KUHAP secara tegas menggariskan bahwa putusan bebas itu merupakan hak yang melekat pada terpidana dan tidak dapat diajukan banding ataupun PK, yang ada adalah Jurisprudensi yang menerima pengajuan kasasi bagi putusan bebas tidak murni. Andi Andojo mengatakan sekalipun hukum itu merupakan penafsiran akan tetapi tidak dapat ditafsirkan terlalu jauh, bisa-bisa hukum menjadi menyimpang. Penafsiran terhadap rumusan-rumusan hukum tidak boleh mengada-ada, harus ada relevansi menurut hukum pidana. 68 Albert Hasibuan juga mengomentari diterimanya PK terhadap putusan bebas. Albert menyatakan suatu hal yang juga perlu dibahas lebih dalam adalah mengapa PK
Membuat kriteria pembebasan murni dan pembebasan tidak murni, Yaitu: a. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atau istilah dalam surat dakwaan, atau apabila putusan bebas itu merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana. 68 Suara Pembaharuan, 21 November 1996, Adi Andojo: Putusan Bebas Murni Tidak Boleh dibanding.”
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dilangsungkan terhadap putusan bebas terhadap bagi Muchtar Pakpahan. KUHAP menggariskan terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan PK. Sekalipun ada ketentuan pandangan yang lain, MA sepatutnya tidak menggunakan dasar hukum yang bertentangan dengan KUHAP. 69 M.kholidin mengemukakan Putusan PK kasus Muchtar Pakpahan ini melanggar pasal 263 ayat 1 KUHAP yang menentukan bahwa putusan bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan tidak dapat dimintakan PK. Majelis hakim kasasi pimpinan Adi Andojo telah membebaskan Muchtar Pakpahan, tapi kemudian dipidana kembali oleh Soerjono melalui lembaga PK. Kenyataan ini jelas merupakan pelanggaran yang nyata atas pasal 263 ayat 1 KUHAP. Kholidin melanjutkan bahwa kesepakatan Majelis Hakim PK yang mempidana Muchtar Pakpahan empat tahun penjara juga melanggar Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Pasal tersebut menyatakan pidana yang dijatuhkan dalam putuan PK tidak boleh melebihi pidana yang dijatuhkan dalam putusan semula. Kholidin menyatakan bahwa maksud dari pasal tersebut adalah melindungi terpidana. 70 B. Kasus Gandhi Memorial School Berkenaan dengan kewenangan Kejaksaan dalam mengajukan peninjauan kembali, putusan ini memberikan pertimbangan sebagai berikut ; a. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin 69 70
Kompas, 21 November 1996, Putusan Bebas Murni Hak Yang tidak Bisa Digugat. M.Kholidin, Kasus Muchtar Pakpahan, kemandirian MA, Media Indonesia,29 November
1996.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali dalam hal vrijspraak & Onslag van Rechtvervolging. Dalam hal yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan-alasan tersebut pada pasal 263 ayat (2) KUHAP b. Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisannya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila Jaksa / Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui pasal ini pernah diatur dalam (RO dan Perma No. 1 Tahun 1969) dan (Perma No. 1 tahun 1989) (Jaksa Agung untuk memelihara keseragaman putusan (consistency in court decision), sekalipun tidak menganut asas “stare decisis” (the binding orce of precendent), maka majelis cenderung untuk mengikuti pendapat Majelis Hakim dalam Keputusan Mahkamah Agung No. 55 PK/1996 (kasus Dr. Mukhtar Pakpahan SH., MA) di atas yang logika hukumnya bisa dipertanggugjawabkan (reasonable)” Pertimbangan-pertimbangan tersebut
menegaskan bahwa Pasal 263 tidak
melarang secara tegas pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain itu, peninjauan kembali oleh terpidana dan ahli warisnya justru merugikan mereka. Penegasan ini merupakan bentuk konsistensi Mahkamah Agung mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali. Dengan demikian adalah suatu hal yang sangat wajar jika Jaksa Penuntut Umum dapat
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
mengajukan Peninjauan kembali, karena telah sesuai dengan praktek hukum yang berlaku di negara ini. C. Kasus Eddy Linus Waworuntu Jaksa Penuntut Umum / Kejaksaan dalam mengajukan permintaan Peninjauan kembali adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut Umum yang mewakili negara dan kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi Jaksa Penuntut Umum dan Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum / negara. Sebelum adanya pengaturan yang tegas dalam KUHAP mengenai hak jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembali, memerlukan suatu tindakan hukum untuk memperjelas hak Jaksa/ Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali yang tersirat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu juga terdapat dari dalam penjelasan Pasal 35 huruf c UndangUndang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara / dan atau kepentingan masyarakat luas. Ketetapan MPR nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar haluan Negara di jelaskan bahwa pembangunan materi hukum ialah antara lain pembentukan hukum. Sebagaimana dimaklumi pembentukan hukum tidak hanya membentuk suatu Perundang-udangan
yang
baru
tetapi
juga
menciptakan
hukum
melalui
Yurisprudensi. Hal ini dipertegas dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 17
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Tahun 1994 tentang Repelita VI, bidang hukum yang antara lain memberikan peranan yang lebih besar kepada peradilan dalam menentukan arah perkembangan hukum yang dianggap penting bagi perwujudan keadilan sosial dalam masyarakat melalui putusan hakim (yurisprudensi). Diterimanya pemerintah peninjauan kembali itu merupakan langkah positif dari Mahkamah Agung dalama mengisi kemungkinan adanya kekosongan hukum atau kekurang jelasan dalam peraturan. Garis besarnya Peninjauan Kembai (PK) yang diatur dalam KUHAP merupakan lanjutan yang ditransfer dari PERMA No. 1 tahun 1969 dan PERMA No. 1 tahun 1980; serta kedua Peraturan Mahkamah Agung ini bermuara dari ketentuan Pasal 356 dan Pasal 357 Rv. Perbedaanya adalah pada pasal 263 tidak ada hak / wewenang Penuntut Umum mengajukan PK (Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan kembali. Jarak Sinar Grafika, hal. 625) Pembentuk UU hanya mengadopsi begitu saja, tanpa melihat esensi yang terkandung dalam Pasal 356 dan pasal 357 SV. Hal ini dipengaruhi oleh pemikiran yang bersifat linier yang simplisitk. Implikasinya, konstruksi Pasal 263 tersebut menimgulkan ketidakjelasan dalam pengaturan peninjauan kembali khususnya wewenang Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Hal ini diakui oleh Mahkamah Agung sebagaimana pertimbangan dalam kasus Muchatar Pakpahan yaitu pertama, kekurang pengaturan mengenai hak atau
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
wewenang Jaksa/Penutut Umum dalam maslah peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dan kedua, hak atau wewenang Jaksa/Penutut Umum dalam melakukan penijauan kembali terhadap putusan bebas masih menjadi masalah yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan yang signifikan : Apakah Penuntut Umum berwenang mengajukan Peninjauan Kembali. Bila kembali kepada sejarah dari pasal 356 dan Pasal 357 CV, adalah suatu keniscayaan untuk memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk mengajukan. Pasal 356 dan Pasal 357 CV memberikan keseimbangan baik terhadap ahli waris dan terpidana maupun terhadap Jaksa Penutut Umum. Ahli waris dan terpidana berhak mengajukan penijauan kembali terhadap putusan pemidanaan sedang Penuntut Umum berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas. Bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas menyatakan larangannya terhadap Penuntut Umum untuk mengajukan peninjauan kembali. Ketentuan ini hanya menyatkan bahwa terpidana dan ahli waris berhak mengajukan peninjauan kembali. Walaupun di dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa Penutut Umum/ Kejaksaan berhak untuk mengajukan permintaan penijauan kembali kepada Mahkamah Agung, namun yang jelas ketentuan pasal ini tidak melarang Penutut Umum / Kejaksaan untuk melakanakan hal tersebut. Adalah wajar apabila permintaan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dikecualikan karena putusan hukum oleh terpidana atau ahli warisnya dikecualikan karena putusan tersebut adalah menguntungkan bagi terpidana. Demi tegaknya hukum dan keadilan terhadap putusan pengadilan yang dikecualikan (Putusan bebas dan lepas dari segala tuntuan hukum) adalah menjadi hak Jaksa Penuntut Umum / Kejaksaan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai pihak yang berkepentingan sepanjang terhadap dasar atau alasan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Bahwa pasal 263 ayat (1) juga tidak dapat membatasi subyek yang berhak mengajukan peninjauan kembali berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Karena sejatinya, keberadaan Pasal 263 ayat (3) KUHAP untuk melindungi kepentingan umum. Dalam hal ini hanya dapat diwakili oleh Penuntut Umum. Bahwa pasal 263 ayat (3) KUHAP memberi peluang kepada Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali, karena yang berkepentingan dengan putusan yang diikuti
dengan sutau pemidanana adalah Penuntut Umum, bagaimana mungkin
terpidana akan mengajukan PK untuk meminta dirinya supaya dipidana, substansi Pasal
263 ayat (3), ini adalah merupakan hak Penuntut Umum mengajukan
peninjauan kembali, karena tidaklah mungkin Peninjauan kembali diajukan oleh terpidana yang belum memperoleh gelar terpidana sebab belum pernah dieksekusi oleh Penuntut Umum, kita semua mengetahui bahwa seorang Terdakwa akan memperoleh gelar terpidana sejak ia pertama kali dieksekusi oleh Penuntut Umum,
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
bagaimana mungkin mengeksekusi Terdakwa yang tidak diikuti oleh suatu pemidanaan (vide pasal 263 ayat (3) KUHAP) Memperhatikan ketentuan Paal 263 ayat (1) KUHAP ini tentunya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan menggunakan ketentuan pasal ini sebagai dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali, mengingat tidak akan menguntungkan bagi dirinya. Kalau memang perumusan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah untuk terpidana atau ahli warisnya, sebenarnya sudah cukup tertampung oleh ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP. Jelas tampak bahwa pengaturan berlebihan. Dengan demikian menjadi pertanyaan mengapa ketentuan pasal ini diatur dalam ayat tersendiri, dan untuk siapa ketentuan
pasal ini dibuat / disiapkan
pengaturannya. Jawaban yang paling tepat, tiada lain kecuali untuk Jaksa / Penuntut Umum sebagai pihak yang berkepentingan (di luar terpidana atau ahli warisnya) Berkaitan dengan ketentuan tersebut Andi Hamzah dalam bukunya ”Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana” yang menyatakan bahwa adalah kurang adil apabila dalam keputusan itu Jaksa Penuntut Umum / Kejakasaan tidak diberikan hak dan wewenang mengajukan permintaan peninjauan kembali. D. Kasus Pollycarpus Budi Hari Priyatno
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Memberikan Jaksa melakukan peninjauan kembali adalah Dalam mengahadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
pidana tersendiri, guna menampung hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara pidana.
Mahkamah Agung dalam menyelesaikan problema yuridis tersebut melakukan penafsiran beberapa peraturan perundang-undangan dengan dasar pertimbangan yuridisnya yaitu:
1)
Pasal 244 KUHAP menegaskan Putusan bebas tidak dapat dimintakan kasasi , Namun melalui Pasal 244 KUHAP tersebut telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung.
2)
Pasal 23 UU ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa dalam perkara pidana selalu terdapat dua belah pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepengtingan umum(negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 tersebut ditafsirkan adalah kejaksaan tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
3) Pasal 263 ayat 3 KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh Karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
yang berisikan pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti oleh pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa.
Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan(terdakwa) Juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan Kembali (PK). Mahkmah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat,adil.
Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum. Berdasarkan argumentasi yuridis tersebut Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan kejaksaan untuk Peninjauan Kembali diakui oleh Mahkamah Agung.
Pendirian Mahkamah Agung dalam memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung tersebut, menurut pendapat Mahkamah Agung dalam putusanputusan Mahkamah Agung Tersebut, terkandung penemuan hukum yang selaras
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dengan jiwa ketentuan perundang-undangan, doktrin, azas-azas hukum sebagimana dapat disimpulkan dalam hal-hal sebagai berikut: 71
1) Pasal 23 ayat 1 Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pihakpihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali tersebut. demikian dengan pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 sebagaiman diubah dengan UU No 4 Tahun 2004 yaitu yang berbunyi: apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan perkara pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan tidak menjelaskan dengan siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan peninjauan kembali. Dan terhadap kejelaan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 oktober 1996 dengan No 55 PK/Pid/1996, dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan
71
Majalah Varia Peradilan No 268, hal 69-74
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
penafsiran ekstensif 72 yang mana yang dimaksud dalam kasus ini adalah fihakfihak yang berkepentingan dalam perkara pidana, selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa. 2) Pasal 263 KUHAP merupakan pelaksanaan dari pasal 21 UU No 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang mengandung hal-hal yang tidak jelas itu:
a) Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, sebab logikanya terpidana atau ahli warisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks ini maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar dan alasan dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP b) Konsekuensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan atas dasar alasan yang sama sebagaiamana tersebut pada ayat 2 terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang diakwakan telah dinyatakan tebukti namun tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dan tidak mungkin dimanfaatkan oleh 72
Penafsiran Ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat penafsiran melebihi batasbatas hasil penafsiran gramatikal. Jadi penafsiraan ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan Unadang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. Contoh dalam Hal Ini pasal 263 KUHAP ini yang mana dimaksud fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana ini ialah bukan hanya Terpidana Atau ahli warisny untuk dapat melakukan peninjauan kembali,,namun juga Jaksa bisa berdasarkan penafsiran ini.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.
3) Sehubungan ketidakjelasan yang terdapat dalam pasal 263 KUHAP tersebut dikemukakan pendapat-pendapat yaitu:
a) Penganut doktrin Sen Clair ( la doctrine du sensclar) berpendapat bahwa “penemuan hukum oleh Hakim “ hanya dibutuhkan jika: peraturannya belum ada untuk suatu kasus dan peraturannya sudah ada tapi belum jelas. b) Lie OEN HOCK berpendapat, Apabila kita memperhatikan Undang-undang, ternyata bagi kita, bahwa undang-undang tidak saja menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi sering kali juga tidak jelas, walaupu demikian hakim harus melakuak peradilan, teranglah bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan undang-undang ini artinya suatau kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang, dan hakim boleh menafsirkan suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis73 . c) M.Yahya Harahap berpendapat: Akan tetapi sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperatif, 73
Penafsiran gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah bahasa yang berlaku. Contohnya menggelapkan dalam pasal 41 KUHP ditafsirkan meghilangkan. Penafsiran historis adalah: Penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah baik sejarah hukumnya maupun sejarah terjadinya undang-undang.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi. Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan: tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik,penuntut umum dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan hukum public memang diakui imperative tetapi tidak seluruhya absolute. Ada ketentuan yang yang dapat dilenturkan, dikembangkan, bahkan disingkirkan sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dana kemanusiaan dalam satu konsep to improve the equality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus natalegawa dalam perkara 275 K/Pid/1983. Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decis melalui extensive interpretation. Dalam kasus ini, walaupun pasal 244 KUHAP tidak memberikan hak kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap putusan bebas (terdakwa atau penuntut umum ) dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecualai putusan bebas) akan tetapi, dalam kasus natalegawa ini sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini dilenturkan bahkan disingkirkan dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan putusan pembebasan murni. Sejak saat itu kasasi yang diajukan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, bebarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan penafsiran luas, maka dengan bertituk tolak dari itu mendorong majelis PK dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan pasal 263 KUHAP ,demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan PK terhadap putusan bebas , dengan cara memberikan kesempatan pada penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” in justice karena didasarkan ada alasan non yuridis . 74 Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi “Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan 74
Op cit M.Yahya Harahap, Hal 642-643
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
(termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK). 4) Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang tertumpu pada konsep “daad – dader – strafrecht” yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan (Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm.5) dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana maupun korban tindak pidana. 5) Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran “ prioritas baku” tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
berbunyi “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. 6) Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman hukum, “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran meteriil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuanketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Upaya Hukum peninjauan kembali oleh jaksa dalam praktek peradilan indonesia telah diakui oleh Mahkamah Agung yang mana beberapa kasus
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
permohonan PK jaksa telah diterima oleh Mahkamah Agung Seperti Kasus Muctar Pakpahan,
Gandhi
Memorial
School,
Lenus
Waworuntu,
Pollycarpus
Budiharipriyatno. Mahkamah Agung sebagai tombak peradilan tertinggi di indonesia membuat penemuan hukum dengan menafsirkan pasal 263 KUHAP dan pasal 23 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004 yang mana disitu dikatakan ada pihak-pihak, maka oleh Mahkamah Agung ditafsirkan pihak tersebut salah satu adalah Jaksa Penuntut Umum Untuk melakukan Upaya Hukum peninjauan kembali, karena berdasarkan asas legalitas dan dalam menerapkan Teori Keseimbangan antara hak asasi dari termohon peninjauan kembali kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai salah satu pihak dan
kepentingan
umum,
bangsa
masyarakat
luas,
termasuk
kepentingan
Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai kepentingan masyarakat indonesia diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari Kejaksaan republik Indonesia yang dipimpin oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, Mahkamah agung dalam tingkat peninjauan kembali ini selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas dan membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil.
Lagi pula mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali oleh jaksa dalam perkara pidana masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian, hukum maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
pidana ingin menciptakan hukum acara sendiri guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang JPU untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB IV ALASAN-ALASAN YANG DIGUNAKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM MELAKUKAN PENININJAUAN KEMBALI DALAM PRAKTEK PERADILAN A. Adanya Kekhilafan Hakim 1.Kasus Muchtar Pakpahan Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan itu bisa terjadi dalam semua tingkat peradilan. Kekhilafan yang dibuat oleh pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan pada tingkat pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding maupun tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki sertra membenarkan kembali kekeliruan yang dibuat pengadilan yang lebih rendah. 75 Kekeliruan hakim ini bisa dilihat dalam putusan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dalam tingkat kasasi yang mana termohon peninjauan kembali (semula sebagai terdakwa dan pemohon kasasi) yaitu Muchtar Pakpahan tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh jaksa dalam pasal 160 dan pasal 161 KUHP. Unsur menghasut dilakukan oleh Muchtar Pakpahan disini telah terbukti yaitu mengadakan latihan kepemimpinan di Aula Gereja Kristen Protestan Simalungun Pematang Siantar Sejak Tanggal 9 s/d 11 April 1994 yang dihadiri lebih kurang seratus orang utusan pekerja dan pengurus DPC SBSI Sesumatera Utara. Muchtar 75
Loc it M.Yahya Harahap, Hal 622
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pakpahan disitu memberikan ceramah dengan mengatakan SBSI merupakan wadah yang legal, dan apabila musyawarah tidak tercapai maka buruh berhak mogok/unjuk rasa. Setelah pelatihan tersebut kepada setiap peserta diberikan uang saku oleh Muchtar Pakpahan sebesar Rp 30.000 (tiga puluh ribu rupiah). Kemudian selanjutnya terdakwa mengadakan pertemuan lagi 20 orang yaitu menuntut supaya agar buruh berunjuk rasa tanpa meminta ijin kepada polisi. Upah gaji Rp 3.100 tidak cukup lagi untuk hidup yang layak seharusnya menjadi Rp 7.000 per hari dan muchtar pakpahan disini telah berulang kali melakukan kegiatan untuk melakukan aktivitas menghasut buruh. Majelis hakim agung dalam pertimbangannya yang mengatakan bahwa undang-undang bukan merupakan satu-satunya sumber hukum yang paling penting, teapi ada lagi sumber yang paling penting untuk menyelesaikan masalah, dimana menurut penulis dalam pertimbangannya ini majelis hakim kasasi Mahkamah Agung tidak secara tegas menyebutkan sumber-sumber hukum lainnya yang digunakan sebagai dasar Majelis Hakim agung sehingga putusan tersebut menggambang. Hal ini menurut M Yahya Harahap sebaiknya putusan hakim itu harus disusun secara terurai dengan fakta-fakta hukum dan alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan dan dipertimbangkansecara argumentatif sehingga terbaca jalan pikiran yang logis dan resoning yang mantap, yang mendukung kesimpulan hakim sehingga putusan tersebut tidak mengambang. 76
76
Ibid hal 361
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Menurut penulis pertimbangan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai alasan yang menyatakan bahwa perbuatan dari Muchtar Pakpahan yang tidak bisa dikatakan bertangung jawab. Hal ini kurang tepat dan ini merupakan suatu kekhilafan dari majelis hakim agung. Dalam persidangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terungkap bahwa adanya korban jiwa dan harta benda akibat dari perbuatan Muchtar Pakpahan yang menghasut para buruh untuk mogok kerja. Istilah menghasut disini artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu, dan menghasut ini bukan berarti memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu. Menghasut disini dapat dilakukan baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Dilakukan dengan lisan menghasut itu telah selesai jika telah diucapkan. Sehingga suatu percobaan dalam delik ini tidak mungkin terjadi. Beda halnya dengan tulisan karangan yang sifatnya menghasut harus ditulis dulu baru tulisan itu disiarkan dan dipertontonkan pada publik dan baru lah delik ini dianggap selesai dan ini telah dapat di hukum. 77 Maka yang menjadi alasan bahwa adanya kekhilafan majelis hakim kasasi disni yaitu, bahwa akses unjuk rasa yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda adalh diluar tanggung jawab Muchtar Pakpahan. Ini memperlihatkan kekhilafan Majelis Hakim Agung atau kekeliruan yang nyata karena perbuatan materil Muchtar Pakpahan menimbulkan korban jiwa dan harta benda adalah sebagai akibat dari tindakan dari muchtar pakpahan. Hal ini terlihat pada saat Muchtar Pakpahan menghasut karyawan-karyawan perusahan swasta di Medan, Pematang siantar, Lubuk 77
Penjelasan Pasal 160 KUHP R.Soesilo.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Pakamm dan belawan agar melakukan aksi mogok dan unjuk rasa tanpa seizin atau setidak-tidaknya Muchtar Pakpahan disini sebagai orang yang berpendidikan dapat diharapkan bahkan dipercaya mengantisipasi yang terjadi sebagai akibat dari unjuk rasa tersebut. Mahkamah Agung dalam Hal ini memperkuat alasan jaksa dalam melakukan peninjauan kembali dengan alasan adanya kekhlifan hakim Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi terhadap Muchtar Pakpahan. Muchtar Pakpahan sebagai orang yang berpendidikan dianggap mengetahui dan mengharapkan serta dapat mengantisipasi perbuatan-perbuatan menghasut yang berkelanjutan. Perbuatan menghasut disini mengakibatkan terjadinya aksi mogok liar dan unjuk rasa dan arak-arakan, tanpa izin dari pemerintah dengan akibatnya menimbulkan korban jiwa manusia dan harta benda. Perbuatan Muchtar pakpahan yang mengahasut ini dapat membahayakan masyarakat dan bangsa Republik indonesia dan juga perbuatan dari Muchtar Pakpahan ini tidak menaati persturann perundang-undangan yang berlaku dan tidak menjunjung pemerintahan dan hukum yang mengatur kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dan juga Muchtar Pakpahan Disini sebgai yang mendirikan SBSI tidak mendapatkan izin dari pemerintah. Permohonan peninjauan kembali jaksa ini dikabulkan sesuai dengan pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
2. Kasus Gandhi Memorial School Kasus gandhi memorial school ini dalam putusan Kasasinya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan penuntut umum yang menyatakan terdakwa Ram Gulumal al.V.Ram terbukti melakukan keterangan palsu kedalam akta autentik secara berlanjutn, namum majelis hakim kasasi disni mengambil alih pertimbangan Pertmbangan Pengadilan Tinggi yang mana Pengadilan Tinggi Disni mengambil Alih Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan Menyuruh melakukan keterangan palsu kedalam Akta Otentik . Surat kuasa palsu yang dijadikan dasar oleh Ram Gulumal. V.Ram dari pemilik sekolah Bombay Merchants Assiciation yang memberikan Hak Kepada Ram Gulumal,V.Ram sebagai kepala sekolah di sekolah Gandhi memorial School tersebut. Surat kuasa ini disalahgunakan oleh Ram Gulumal Vram pada saat peralihan gedung baru sekolah The Gandhi Memorial School yang oleh Gubernur DKI pada saat itu diberikan lahan baru untuk pengembangan pembangunan sekolah yang oleh Pemda saat itu dipakai untuk keperluan umum. Ram Gulumal V.Ram menyalah gunakan surat kuasa tersebut pada saat pembangunan gedung baru Gandhi Memorial School tersebut dengan membuat akte penirian Gandhi memorial School tersebut.Surat Kuasa tersebut dibuat sendiri oleh Ram Gulimal V ram tanpa dihadiri oleh pemilik sekolah tersebut Gopal Gagandas Lalmalani. Selanjutnya V.Ram menyerahkan kepada Notaris surat Kuasa tersebut, dan disitulah dia mendirikan The Gandi Memorial School dengan memakai akta
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
notaris tersebut dan mengrusi lahan yang diberikan oleh Gubernur untuk pembangunan lahan tersebut. V.Ram memberi nama baru di lahan sekolah tersebut dengan nama The Gandhi Memorial Fundation School. V.Ram Mengatakan bahwa sekolah The Gandhi Memorial Fundation School tidak ada kaitannya dengan The Gandhi Memorial School pada hal Gubernur DKI memberikan lahan diancol tersebut untuk perluasan The Gandhi Memorial School. Dikarenakan ditempat lama terdapat perluasan jalan. Sehingga aset tanah yang diberi itu, masih kepunyaan The gandi Memorial School. Mendengar pernyataan Ram Gulumal V. Ram Yang menyatakan bahwa sekolah yang dibangunnya itu terpisah dari sekolah yang lama yaitu Gandhi Memorial School. Maka pemilik dari Gandhi Memorial School ini mengambil alih sekolah yang dibentuk V.ram tersebut, dan oleh pemilik The Gandhi memorial School yaitu melaporakan Ram gulumal Vram telah memalsukan keterangan palsu kedalam akta outentik dengan berdasarkan surat kuasa yang diperbuatnya dan diasahkn oleh Notaris dengan Akta No 72 Tahun 1974 tentang pendirian The Gandhi Memorial Foundation. Berdasarkan kasus diatas penulis menganalisis bahwa dalam putusan Pengadilan Negeri menyatakan terdakewa Ram Gulumal Als Vram terbukti menggunakan surat kuasa palsu yang menggantikan pemilik The Gandhi Memorial school dengan nama istri terdakwa dan keponakan terdakwa.dan perbuatan terdakwa ini telah dilakukan bebrapa kali.maka oleh Pengadilan Negri dinyatakan terbukti
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Menyuruh Memasukkan keterangan Palsu kedalam Akta outentik secara berlanjut (pasal 266 ayat 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP). dan Pengadilan Tinggi juga mengguatkan putusan Pengadilan Negeri dan Oleh Mahkamah Agung dini membatalkan putusan Judex Factie, namun mengambil alih pertimbangan hukum Judex Factie, hal ini merupakan telah bertentangan dimana Pertimbangan dan amar putusan merupakan satu kesatuan, dan hal ini merupkan suatu kekhilafan dan suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dikatakan dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP maka oleh mahkamah Agung menerima PK Jaksa yang terdapat pertentanga diputusan kasasi Mahkamah Agung tersebut. Yang mana oleh Judex Factie telah dipertimabangkan dengan benar mengenai Surat Kuasa yang dipalsukan dan oleh Mahkamah Agung pertimbangan Judex Factie tersebut sebagai pertimbangan Mahkamah Agung sendiri, namun dalam amar putusannya menyatakan tidak terbukti memasukkan keterangan palsu kedalam akta outentik. 3. Eddy Linus Waworuntu Mahkamah Agung dalam kasus ini telah melakuakan suatu kehilafan atau kekelirun yang nyata dalam putusan a quo yang dalam pertimbangannya menyatakan : ”Bahwa para terdakwa
secara hukum tidak dapat mempertanggungkan secara
pidana terhadap perbuatan yang dilakukan” Terdakwa dalam hal ini hanyalah sebagai penerima Kuasa yang telah diberi kuasa oleh 17 orang peserta rapat 7 Juli 2001 untuk notulen rapat kepada saksi notaris Iwam Halimy, SH. Dengan demikian kapasitas
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
terdakwa I hanyalah sebagai penerima kuasa rapat tersebut. Sedangkan terdakwa II dan III secara kenyataan pada waktu itu tidak hadir di depan Notaris tersebut Akte yang terdapat dalam No 18 tahun 2001 mengenai pengurusan Yayasan Tarumanegara bukanlah kehendak para terdakwa, melainkan kehendak para pemberi kuasa. Maka menurut penulis bila ditinjau dari fakta yuridis, bahwa pertimbangan Mahkamah Agung tersebut telah mengingkari fakta persidangan yang sebenarnya telah terungkap di muka persidangan di Pengadilan Negeri. Yang isinya Bahwa rapat pada tanggal 7 Juli 2001 dihadiri oleh para Terdakwa saja, bukan yang lain sehingga kalau ada penyerahan / pemberian tanggung jawab antara penerima dan pemberi kuasa adalah mereka para Terdakwa sendiri pelakunya, hal ini jelas menujukkan adanya fakta kesepakatan jahat di antara para terdakwa dalam memberikan keterangan palsu dalam suatu akta outentik. Rapat tersebut seolah-olah terjadi dengan dihadiri oleh 17 orang peserta rapat. Selanjutnya para terdakwa sepakat untuk menghadap kepada Notaris Iwan Halimy, SH sehigga melahirkan Akte : No. 18 tahun 2001. Isi dari akte tersebut adalah Susunan badan kepengurusan yayasan, susunan dewan pengawas yayasan dan susunan dewan pembina yayasan tarumanegara yang isinya akte ini berbeda dengan akte yang terdapat dalam No 142 tanggal 17 Mei 1993 yang secara yuridis formal masih berlaku. Penandatanganan yang dilakukan oleh Edy Linus Waworuntu ini tidak sesuai dengan yang terdapat dalam akte No 142 tanggal 17 Mei 1993 yang secra yuridis formal masih berlaku.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Lahirnya putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata Nomor : 871 K /PDT/ 2003 tanggal 3 Februari 2004 yang memenangkan pengurus yayasan tarumanegara. Berdasarkan akte No 142 tanggal 17 Mei 1993 dan mengalahkan tergugat dalam hal ini Edy Linus Waworuntu sehingga sehingga akte No 18 Tahun 2001 itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut penulis adanya
putusan Mahkamah Agung tersebut di atas pada
pokoknya telah menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akte No. 18 pernyataan Keputusan Rapat Perubahan Anggaran Yayasan Tarumanegara tanggal 31 Agustus 2001 di hadapan Notaris Iwan Halimy, SH Notaris di Jakarta. Maka berdasarkan putusan itu Edy Linus waworuntu tidak mmempunyai hak lagi diyayasan tarumanegara dan yang berlaku adalah anggaran dasar yang lama berdasarkan akte No 142 tanggal 17 Mei 1993. 4. Pollycarpus Budi Hari Priyatno
Kekhilafan atau kekeliruan yang nyata pada kasus Pollycarpus ini terlihat pada pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar amar putusannya ini terlihat dalam pertimbangannya yang mengatakan
“Bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta
dengan putusan Nomor : 16/Pid/2006/PT.DKI tanggal 27 Maret 2006 telah membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
No.
1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst dan dengan mengadili sendiri:
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
1.
Menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu;
2.
Membebaskan ia oleh karenanya dari Dakwaan Kesatu tersebut;
3.
Menyatakan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana mempergunakan surat palsu sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua;
4. Menjatuhkan pidana penjara selama 4(empat) tahun. Pertimbangan Mahkamah Agung tentang putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, telah dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Karena amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut sebenarnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa; 2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2005 No. 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut; 3. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
Mahkamah Agung selaku judex facti telah salah menerapkan hukum pembuktian, seharusnya dengan pertimbangannya tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa putusan judex facti harus dibatalkan, Atas dasar pembatalan tersebut, maka sesuai ketentuan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, akan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
mengadili sendiri dengan memakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama.
Menurut Penulis Jelas disini bahwa Majelis Hakim Kasasi telah khilaf dan keliru dengan langsung menyimpulkan Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsurunsur dari Dakwaan Kesatu tidak terbukti secara sah dan menyakinkan. Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut. Pertimbangan hukum tersebut haruslah pertimbangan tentang
judex facti telah salah menerapkan hukum
pembuktian bukanlah pertimbangan tentang unsur-unsur delik yang didakwakan. Kesalahan nyatanya adalah kesimpulan tersebut ditarik tanpa pertimbangan yang jelas melanggar Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Ketentuan pasal tersebut sesuai pula dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) butir d yang berbunyi pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta-fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan. Suatu putusan tanpa dasar atau kurang dasar) adalah batal demi hukum 78 . Judex Jurist telah keliru atau salah dalam pertimbangannya, sehingga menyatakan judex factie salah dalam menerapkan hukum 78
Lihat Pasal 197 Ayat 2 KUHAP.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
pembuktian. Pertimbangan tersebut didasarkan atas penilaian terhadap sebagian fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan tidak menghubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya.
Pertimbangan Judex Jurist tersebut terdapat kekeliruan yang nyata mengenai hukum pembuktian dan fakta kejadian. Majelis Hakim Kasasi, sama sekali tidak mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut penggunaan surat palsu, dimana karena pembunuhan terhadap korban Munir, SH, tidak terlepas dari penggunaan surat palsu oleh terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto. Bilamana mempergunakan surat palsu tersebut terbukti, seharusnya pembunuhan yang didakwakan terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto harus juga terbukti.
Hal ini diperkuat dengan apa yang termuat dalam putusan kasasi halaman 35 yang berbunyi: "Bahwa adalah tidak masuk akal seorang pilot senior seperti terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto, melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu hanya untuk dapat menikmati pergi ke Singapura dan tidur di Hotel mengingat hal tersebut adalah pekerjaan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto sehari-hari.
Maka menurut penulis ini perlu dipertanyakan
untuk apa terpidana
Pollycarpus Budihari Priyanto membuat surat palsu dan selanjutnya mempergunakan surat palsu tersebut agar bisa berangkat ke Singapura. Maka menurut penulis Inilah yang seharusnya digali dalam pemeriksaan kasasi, sejauh mana korelasi penggunaan surat palsu tersebut dengan kematian korban Munir dengan mengaitkan fakta berikut:
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
a) Untuk terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto memberikan tempat duduk kepada korban Munir.. b) Untuk apa terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto menelpon ke Hand Phone korban Munir. Tanggal 4 September 2004 yang diterima oleh Suciwati (isteri korban Munir.) menanyakan kapan Munir Dengan fakta-fakta sebagai berikut:
1) Dengan mempergunakan surat palsu tersebut, terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto dapat berada dalam satu pesawat dengan korban Munir, SH. Karena berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto tidak dapat menjelaskan apa motivasinya mempergunakan surat palsu tersebut; 2) Dengan demikian mempergunakan surat palsu tersebut, terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto dapat berkomunikasi langsung dengan korban Munir, SH. Didalam pesawat; 3) Apa maksud terpidana memberikan tempat duduk ke nomor 3 K bisnis sambil memberitahukan kepada Purser Brahmanie Astawati, bahwa Munir adalah teman dekatnya dan akan duduk di kursi terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto, sedangkan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto sendiri tidak duduk di tempat duduk Munir, tetapi mondar-mandir di sekitar Pantry dan bertemu serta menyapa Oedi Irianto, Pramugari yang saat itu sedang menyiapkan wellcome drink dan juga Pramugari Yetti Susmiarti.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa surat palsu tersebut bukan hanya alat bukti surat dalam Pasal 263 ayat2 KUHP (dakwaan Kedua), tetapi juga alat bukti surat dalam konteks rencana pembunuhan berencana terhadap korban Munir. (dakwaan Kesatu). Karena dengan mempergunakan surat palsu tersebut, merupakan sarana atau modus operandi oleh terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto untuk dapat melakukan pembunuhan terhadap korban Munir.
Bahwa segala perbuatan yang berhubungan dengan surat palsu tersebut, yang ada hubungannya dengan kematian Munir. Dikaitkan dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa adalah merupakan bukti petunjuk dan juga dikenal dalam hukum pembuktian sebagai saksi berantai (ketting Bewijs). Dengan demikian kesimpulan Majelis Hakim Kasasi menyatakan: “Bahwa berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan ternyata pendapat judex facti tersebut di atas sama sekali tidak didukung dengan satupun alat bukti berupa keterangan saksi, surat maupun keterangan terdakwa sebagaimana dimaksud Pasal 188 ayat (1) dan ayat(2) KUHAP, tidaklah tepat atau keliru.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya membenarkan Adanya kekeliruan hakim dalam tingkat kasasi ini. Alat- alat petunjuk yang semata-mata hrus hasil kombinasi keterangan saksi, keterangan surat, keterangan terdakwa, padahal berdasarkan bunyi pasal 183 KUHAP alat bukti petunjuk telah dapat dibentuk oleh
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
hakim melalui dua alat bukti yang disebutkan dalam pasal 188 ayat 2 baik dalam jenis yang berbeda, yang penting yang digunakan dalam sidang-sidang sebelumnya. 79
B. Novum (Terdapat Keadaan Baru)
Alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan peninjauan kembali adalah keadaan baru atau novum. Kedaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadan baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat:
1. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau diketemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 2. Keadaan baru itu jika diketemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung dan dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakantuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. 3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
79
Bandingkan dengan Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, 2006, Alumni,yang mengatakan Judex Factie untuk membentuk alat bukti petunjuk telah menggunakan alat bukti lebih dari 2 keterangan saksi dan alat bukti surat.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Alasan novum ini yang diajukan oleh Jaksa, yaitu berdasarkan hasil penyidikan terhadap perkara atas nama Indra Setiawan dan Rohainil Aini ditemukan keadaan baru berupa keterangan saksi, tersangka dan ahli dan dikaitkan dengan faktafakta.
Maka diketemukanlah Novum yaitu Berdasarkan keterangan Ahli Dr. Rer. Nat I Made Agung gelge Wirasuta, MSi, Apt, kematian korban diperkirakan antara delapan sampai dengan sembilan jam setelah minum racun. Menurut keterangan saksi dr. Tarmizi, Bondan dkk. Korban Munir diperkirakan meninggal tiga jam sebelum mendarat. Berdasarkan keterangan saksi Joseps Ririmase dan Asrini Utami Putri, mereka berkenalan di pesawat transit di Bandara
Changi, Joseps Ririmase
memperkenakan Asrini Utami Putri dengan Raymond J Latuihamalo alias Ongen di ruang tunggu Bandara Changi. Di ruang tunggu Bandara Changi Room gate D42, Asrini Utami Putri melihat Munir duduk di Coffe Ben menghadap ke arah smoking room atau money changer bersama-sama dengan Pollycapruts dan Ongen ; Saksi raymond J Latuihamalo alias Ongen, menerangkan bahwa sakasi diperkenalkan oleh Joseps Ririmase dengan Asrini utami Puti ke waiting room gadet D42 bandara Changi Singapura. Ketika saksi masuk coffe ben saksi melihat Pollycarpus, berjalan dari counter pemanan minuman membawa dua gelas minuman. Saksi juga memesan minuman dan duduk berjarak sektiar dua meter dari tempat
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
duduk Munir dan Pollycarpus dan melihat Munir berbincang-bincang dengan Pollycarpus sambil minum. Berdasarkan fakta-fata diatas maka terdapat bukti baru yang mendukung dari dakwaan jaksa bahwa benar Pollycarpus Budi Hari Priyatno adalah pelaku yang melakukan pembunuhan terhadap munir ditempat kejadian atau dalam pidana disebut pleger, yaitu orang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana, yaitu dalam hal ini adalah Pollycarpus Budihari Priyatno. Sedangkan dalam kasus Edy Linus Waworuntu yaitu terdapat bukti baru yaitu dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung No 870 K/Pdt/2003, dan putusan 871 K/Pdt/2003 yang membatalkan Akta No 18 Tahun 2001 yang digunakan oleh Hakim Ditingkat kasasi yang membebaskan terdakwa Edy Linus Waworuntu, yang mana setelah keluarnya putusan perdata tersebut Edy Linus benar tidak berhak atas yayasan tarumanegara tersebut, sehingga demikian alasan jaksa untuk membuaat keterangan palsu dalam akta autentik adalah dapat dibenarkan,oleh majelis peninjauan kembali.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
C. Keadilan Dan Kepentingan Umum Pengajuan upaya hukum peninjaun kembali oleh jaksa adalah merupakan eksistensi Jaksa penuntut Umum dalam praktek peradilan khususnya mengenai akses mengajukan peninjaun kembali. Oemar Seno Adji disini mencatat bahwa bagaiamana peranan jaksa dalam pengadilan, yaitu mengikuti mengikuti perkembangan perundang-undangan pidana, yurisprudensi, dan ilmu hukum. semuanya dapat dilakukan dan menjadi perkembangan aktual hukum pidana, yaitu fungsionalisasi hukum pidana dengan Defence Sociale Nouvelle di samping aliran due proces of law. Berdasarkan pernyataan Oemar Seno Adji diatas, mak pergesaran ini dalam rangka melaksanakan proses hukum yang adil bagi semua pihak atau due process of law. 80 Pergeseran ini didasarkan pada alas fhilosofis Social Defence (perlindungan sosial). Sosial Defence ini adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan pusat perlindungan masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya, pandangan sosial defence ini terpecah menjadi 2 aliran yaitu aliran yang radikal dan aliran yang moderat. Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F.Gramatica. Dimana
gramatica
berpendapat
Hukum
perlindungan
sosial
sosial
harus
menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari perlindungan
80
Makalah Mahmud Mulyadi, Peninjauan kembali dalam perkara pidana, Hal 10
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
sosial ini adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap pembuatnya. 81 Pandangan moderat dipertahankan oleh Marc Ancel yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle”atau perlindungan sosial baru. Menurut Ancel tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Maka peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dari suatu sistem hukum. 82 Beberapa konsep pandangan moderat yaitu: 83 1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat kedalam konsepsi baru hukum pidana. 2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri. 3. Dalam menggunakan sistem hukum piadana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap aliran legisme dan aliran klasik
81
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1996),hal 35 82 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy :Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan:Pustaka Bangsa Press,2008), Hal 88 83 Ibid hal 89
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Maka berdasarkan konsep due process of law dan defence Socialle Nouvalle dimungkinkan bagi jaksa yang mewakili korban dan kepentingan umum untuk diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum PK. Dan ahal ini sangat penting dalam pembaharuan KUHAP mendatang. Maka menurut penulis konsep teori duo proces of law ini sesuai dengan alasan dari jaksa penuntut umum dalam melakukan peninjaun kembali dalam kasus yang penulis teliti ini. Jaksa dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum yang mewakili negara dan kepentingan umum dalam proses penyelasaian perkara pidana. Permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan pribadi Jaksa Penuntut Umum atau Lembaga Kejaksaan, tetapi untuk kepentingan umum/ negara. 84
84
Kepentingan umum yang dimaksud disini adalah terdapat dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, diamana dijelaskan bahwa yang dimaksu dengan Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dan hal ini juga sesuai dengan UU Kejaksaan UU No 16 Tahun 2004 yaitu yang dimaksu dengan kepentingan umum yaitu kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1 . Didalam KUHAP PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya terhadap pemutusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun sebelum lahirnya PK didalam Perma No 1 Tahun 1980 Jaksa diberi kewenangan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaimana terdapat dalam pasal 10 ayat 1 PERMA No 1 Tahun 1980 yaitu bahwa permohonan peninjauan kembali didalam suatu putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, Terpidana, atau pihak-pihak yang berkepentingan, dimana jaksa disni diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali melalui Jaksa Agung. Setelah beberapa tahun berlakunya KUHAP oleh Jaksa Penuntut Umum dirasakan terdapat beberapa putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berupa putusan bebas, yang mana putusan ini bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan yang timbul didalam masyarkat terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan negara atau kepentingan umum. Jaksa dalam hal ini kapasitasnya sebagai penuntut umum yang bertugas mewakili negara dan kepentingan umum merasa bahwa hal ini perlu diajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan bebas tersebut, dan KUHAP juga tidak ada melarang secara tegas Untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa, maka Jaksa penuntut umum mencoba
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan kasasi yang membebaskan Muctar Pakpahan dan hal ini oleh Mahkamah agung dikabulkan Peninjauan Kembali Jaksa Penuntut Umum, dan setelah itu ada beberapa kasus berikutnya yang oleh Mahkamah Agung dikabulkan permohonan peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum. 2. Prakteknya dalam dunia peradilan di Indonesia, Mahkamah agung ada mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Muchtar Pakpahan dan ini dijadikan oleh penuntut umum sebagai jurisprudensi dalam kasus-kasus berikutnya dalam mengajukan peninjauan kembali. Hal ini juga oleh Mahkamah Agung dijadikan sebagai Jurisprudensi dalam memutus perkara peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa dalam perkara pidana, seperti kasus peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa yaitu dalam kasus Gandhi Memorial School dan dr Eddy Linus Waworuntu, dan Kasus Pollyycarpus Budihari priyatno 3. Alasan-alasan Jaksa Yang diajukan oleh jaksa dalam melakukan peninjauan kembali ini yaitu a. Kasus Muchtar Pakpahan Yaitu Adanya Kekliruan yang nyata atau kekhilafan Hakim b. Kasus Gandhi memorial School yaitu adanya kekhilafan Hakim dan kekeliruan yang nyata.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
c. kasus dr Lenus waworuntu yaitu adanya bukti baru atau novum yang mana ini belum ditemukan pada saat persidangan d. Kasus Pollycarpus Budihari Priyatno yatu Adanya Kekhilafan Hakim atau kekeliruan hakim. e. Keadilan Dan Kepentingan Umum. B. Saran 1. Untuk menegaskan pihak-pihak yang berhak mengajukan permintaan PK, perlu dilakukan revisi terhadap ketentuan PK di dalam KUHAP dengan menambahkan ketentuan satu ayat didalam KUHAP yang mengatakan bahwa terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, penuntut umum dapat mengajukan peninjauan kembali demi keadilan dan kepentingan umum yang diwakili oleh jaksa dan demi kepastian hukum dengan diaturnya dalam suatu Undang-undang. 2. Perlu kiranya diatur dalam Revisi KUHAP yang baru, pengaturan tenggang waktu permintaan permohonan peninjauan kembali, dan peraturan berapa kali permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan oleh pihak Terdakwa dan jaksa penuntut umum demi kepastian hukum. 3.
Untuk mencegah ketidakpastian hukum dan sekaligus untuk menjaga asas keadilan dan untuk melindungi kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, maka sebaiknya Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Untuk mengajukan PK Perlu diatur secara jelas dalam peratuaran per undang-undangan.
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU Apeldoorn Van, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta: Pradnya Paramita,1981 Aminudin Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2004 Atmadilaga Didi, Sekitar Filsafat Ilmu Penerapan dan Metode Ilmiah, Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran,1994 Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rieneka Cipta Efendi Marwan, Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan fungsinya Dari Perspektif Hukum, Jakarta gramedia Pustaka Utama,2005 Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta:CV Sapta Artha Jaya,2005 Harahap Yahya M, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika,2006 Husein Harun, Penyidikan Dan Penuntutan dalam proses pidana, Jakarta :PT Rieneka Cipta,1990 Ibrahim Joni, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Banyumedia,2005 Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Jakaerta: Sinar Baru,1984 Marzuki Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana,2007 Marpaung Leden, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika,2000 Mulyadi Lilik, Kapita Selecta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta:Djambatan
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
Mulyadi Mahmud, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan, Medan:Pustaka Bangsa Press Nasution Bismar, Diktat Bahan Kuliah Teori Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU Reksodiputro Mardjon, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:UI Salam Faisal Moch, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju. Salman Otje, Teori hukum mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali, Bandung, 2005 Soeparman Parman, Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban kejahatan, Bandung : PT Refika Aditama. Sidabutar Mangasa, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2004 Sutiyoso Bambang, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press Syahrin Alvin, Beberapa Masalah hukum, Medan: PT Sofmedia,2009.
Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika,2008.
B. Undang- Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No 13 Tahun 2008 Tentang Saksi Dan Korban
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009
PERMA No 1 Tahun 1980 Tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah Memperoleh kekuatan Hukum Yang Tetap.
C. Majalah.
Varia Peradilan No 137 Februari 2007 Varia Peradilan No 195 Desember 2001 Varia Peradilan No 260 Juli 2007 Varia Peradilan No 268 Maret 2008. Antara News,2007, Tim Jpu Bersikeras Upaya PK Yang Dilakukan Oleh Jaksa Terhadap Kasus Pollycarpus tidak melanggar hukum. Kompas,21 November 1996, Putusan Bebas Murni Hak Yang Tidak Bisa Di duga Media Indonesia. 29 November 1996, Kasus Muchtar Pakpahan, Kemandirian Mahkamah Agung. D. Jaringan Internet
http://www.hamline.edu Herzeining Atau Peninjauan Kembali (diakses 27 Februari 2009) http://www.kompas.com Hakikat Peninjauan Pidana(diakses 27 Februari 2009)
kembali
atas
Suatu
Perkara
http://www.sinarharapan,co.id Mewujudkan Doktrin Tri Krama Adhyaksa, Harian Sinar Harapan (diakses 27 Februari 2009) http://www komisihukum.go.id Memantapkan Langkah Reformasi Kejaksaan, (diakses 27 Februari 2009) http://www Hukum Online.com Polly Carpus Gugat PK Oleh jaksa Ke MK
Bona Fernandez Mt. Simbolon : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, 2009