MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN
TESIS
Oleh
A
PA
S
C
K O L A
A S A R JA
N
E
H
S
M. MASRIL 077005052/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh M. MASRIL 077005052/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN : M. Masril : 077005052 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H) Ketua
(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H)
(Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus: 03 Juli 2009
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 03 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI 2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH 4. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRAK
Konsumen selain dilindungi dengan kebijakan komplementer (memberikan informasi) juga harus dilindungi dengan kebijakan kompensatoris (meminimalisasi resiko yang harus ditanggung konsumen). Yaitu dengan mencegah beredarnya produk cacat di pasar sebelum lulus pengujian atau menarik produk cacat yang sudah terlanjur beredar di pasar. Namun dalam kenyataannya kepentingan konsumen tetap saja terabaikan. Banyak produk-produk cacat dan berbahaya beredar di masyarakat tapi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tanggung jawab perusahaan dalam produk cacat tidak diatur secara tegas. Masalah yang akan diteliti meliputi, bagaimana bentuk tanggung jawab produsen terhadap produk cacat dalam perspektif perlindungan konsumen dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa terhadap produk cacat dalam kaitannya dengan tanggung jawab produk menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam melakukan penulisan ini digunakan metode penelitian normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, dan hasil kesimpulan penelitian ini ditentukan dengan metode induktif. Hasil analisis penelitian, disimpulkan bahwa konsep produk cacat meupakan dasar tanggung jawab bagi seorang pembuat produk. Produk cacat erat kaitannya dengan sifat pertanggungjawaban yang dapat dikenakan atau dipikulkan kepada pelaku usaha dengan siapa konsumen telah berhubungan. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Proses penyelesaian sengketa perlindungan konsumen khususnya terhadap produk cacat dapat dilakukan semua konsumen baik perorangan maupun kelompok (class action) bahkan bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat melalui gugatan legal standing. Mekanisme penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh melalui beberapa cara, diantaranya: Konsiliasi, Mediasi, maupun Arbitrase. Di mana penyelesaian sengketa antara konsumen dan produsen, undang-undang telah menentukan suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) yang mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Saran dalam penelitian ini adalah Pemerintah harus menegaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk cacat, selain itu agar BPSK membuat box (kotak) pengaduan dari konsumen, untuk memudahkan para konsumen membuat pengaduan yang dialaminya pengaduan tersebut untuk segera ditindak lanjuti sehingga masyarakat mengetahui fungsi dari BPSK.
Kata Kunci: Sengketa Konsumen, Produk Cacat dan Tanggung Jawab Produsen.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRACT
Consumer protection in addition to the complementary policies (providing information) must also be protected with a policy kompensatoris (minimizing the risk that must be borne by consumers). Namely to prevent the entry defect in its product before the market passed the rest or interesting product defects that have been most outstanding in the protracted market. However, in reality, the interests of consumers still only one ignore. Many products are defective and dangerous circulating in the community, but in law consumer protection responsibilities of the company in a product defect is not set explicitly. Issues that will be examined include, how the form or producer responsibility for product defects in the perspective of consumer protection and how the dispute settlement mechanism against product defects in connection with the responsibility of the product according to Law No. 8/1999 on Consumer Protection. In the writing of this normative research methods used. This research is descriptive, and the conclusions f this research determined the inductive method. The results of the analysis of research, concluded that the concept of product defects is the basic for the responsibility of a product. Product defects are closely related with the responsibility that can be charged to the perpetrator or dipikul business with consumers who have been in touch. Disputes will arise when one party feels wronged their rights by other parties, while the other does not feel so. Dispute resolution processes, especially protection of consumers against defective product can be made of all consumers, both individuals and groups (class action) can even done by NGOs through a legal claim standing. Dispute settlement mechanism can be implemented through several ways including: Conciliation, Mediation and Arbitration. Where the settlement of dispute between consumers and producres, law has a body that is Dispute Settlement Body (BPSK), which has functions as stipulated in article 52 of Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. Suggestions in this research is the Government must assert in the Act on Consumer Protection responsibility of business to the product defect, other than BPSK is in order to make the complaints from consumers to facilitate the consumers to make complaints in a natural, the sting is to be up so that the community know the function of BPSK.
Keywords: Consumer Dispute, Product Defects, and Responsibility of The Manufacturer.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Judul tesis ini adalah: “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap Produk Cacat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Produsen”. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak kelemahan serta kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan dan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tesis ini. Pada penulisan tesis ini, Penulis telah banyak memperoleh masukan dan menerima bantuan dari berbagai pihak. Atas saran, masukan dan bantuan baik moril maupun materil, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada: 1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister: 2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing Utama yang telah memberi arahan dan membantu penulis dalam penyempurnaan tesis ini;
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
4. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., MLI, dan Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberi dorongan dan bimbingan kepada Penulis dalam penyelesaian tesis ini; 5. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., dan Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembanding, terima kasih atas masukan dan pendapatnya; 6. Istri tercinta Elmita, serta anak-anak tersayang Eka, Iin, Ulan dan Risky atas cinta, kasih dan kesetiaan yang selalu mengalir mendukung selama penulisan ini sehingga sangat membantu kelancaran penyelesaian tesis ini; 7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 8. Rekan-rekan satu angkatan serta semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral maupun materil untuk penelitian dan penyelesaian tesis ini. Penulis berharap agar tesis ini bermanfaat dan dapat memberi kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, walaupun tidak luput dari berbagai kekurangan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kekuatan lahir batin kepada kita semua.
Medan,
Juni 2009
Penulis,
M. MASRIL
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama
: M. Masril
TTL
: Plaju, 7 Mei 1959
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Instansi
: Kejaksaan RI
Pendidikan
: - Sekolah Dasar lulus tahun 1971. -
Sekolah Menengah Atas lulus tahun 1974.
-
Sekolah Teknik Menengah lulus tahun 1977.
-
Sekolah Menengah Atas lulus tahun 1980.
-
Fakultas Hukum UNSYIAH lulus tahun 1988.
-
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara lulus tahun 2009.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................. KATA PENGANTAR................................................................................. RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... DAFTAR ISI................................................................................................
i ii iii v vi
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………. A. Latar Belakang ................................................................. B. Rumusan Masalah ............................................................ C. Tujuan Penelitian.............................................................. D. Manfaat Penelitian............................................................ E. Keaslian Penelitian ........................................................... F. Kerangka Teori dan Konsepsi........................................... 1. Kerangka Teori........................................................... 2. Kerangka Konsepsi .................................................... G. Metode Penelitian............................................................. 1. Sumber Data................................................................ 2. Teknik Pengumpulan Data.......................................... 3. Alat Pengumpul Data .................................................. 4. Analisis Data ...............................................................
1 1 7 7 8 9 10 10 12 14 15 16 16 16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN...................................... A. Perlindungan Konsumen .................................................. 1. Pengertian Konsumen ................................................. 2. Hak dan Kewajiban Konsumen................................... 3. Hubungan Antara Konsumen dan Produsen ............... 4. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen .............. B. Tanggung Jawab Produsen ............................................... 1. Pengertian Produsen.................................................... 2. Hak dan Kewajiban Produsen ..................................... 3. Pengertian Tanggung Jawab ....................................... 4. Prinsip Tanggung Jawab dalam Ilmu Hukum.............
18 18 18 19 23 28 33 33 35 36 37
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
BAB III
BAB
IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN ......................................................... A. Konsep Produk Cacat Sebagai Dasar Tanggung Jawab... B. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab ...................................... 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan ………………………………………….. 2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab...... 3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab............................................................................ 4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak................................. 5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan............. C. Tanggung Jawab Produsen terhadap Produk Cacat dengan Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen ...... 1. Peraturan Mengenai Produk........................................ 2. Tanggung Jawab Produsen.......................................... 3. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability Principle) .. MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT .............. A. Upaya Penyelesaian Sengketa Menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ....................................................................... 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum ...... 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan Umum ....... B. Ketentuan Proses Beracara di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) .......................................... 1. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen......... 2. Tata Cara Persidangan................................................. 2.1. Persidangan dengan Cara Konsiliasi.................. 2.2. Persidangan dengan Cara Mediasi ..................... 2.3. Persidangan dengan Cara Arbitrase ................... 2.4. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian .................... 2.5. Contoh-contoh Kasus Produk Cacat yang ditangani Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan ....................... 3. Ketentuan Proses Beracara di Peradilan Perdata......... 3.1. Class Action (Gugatan Kelompok) ……............ 3.2. Legal Standing (Hak Gugatan Organisasi Non Pemerintah)………………………..................... 4. Upaya Hukum …………………………………......... C. Penyelesaian Sengketa Antara Produsen dan Konsumen Melalui Mediasi…………………………………… …..
40 40 49 50 53 53 53 54 55 55 59 65
69
69 72 75 82 82 87 87 87 88 95
97 99 103 105 107 111
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………….... A. Kesimpulan ...................................................................... B. Saran .................................................................................
115 115 116
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
117
BAB V
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini melihat pesatnya
pertumbuhan dan perkembangan perekonomian dan dunia usaha baik secara nasional maupun internasional khususnya di negara-negara maju adalah mengenai perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen. Apabila dimasa yang lalu pihak produsen atau industriawan yang dipandang sangat berjasa bagi perkembangan perekonomian negara yang mendapat perhatian lebih besar, maka dewasa ini perlindungan terhadap konsumen lebih mendapat perhatian sejalan dengan makin meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Pihak konsumen yang dipandang lebih lemah perlu mendapat perlindungan lebih besar dibanding masa-masa yang lalu. Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk (product liability).1 Secara historis tanggung jawab produsen (product liability) lahir karena adanya ketidakseimbangan kedudukan dan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, produsen yang pada awalnya menerapkan strategi yang berorientasi pada produk dalam pemasaran produknya
1
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 11.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
harus mengubah strategi menjadi pemasaran yang berorientasi pada konsumen, dimana produsen harus hati-hati dengan produk yang dihasilkan olehnya. Oleh karena itu masalah tanggung jawab produsen (product liability) telah mendapat perhatian yang semakin meningkat dari berbagai kalangan, baik kalangan industri, industri asuransi, konsumen, pedagang, pemerintah dan para ahli hukum. Dalam perkembangannya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang berlaku pada setiap
negara berbeda-beda.
Dengan
makin berkembangnya
perdagangan internasional maka persoalan tanggung jawab produsen (product liability) menjadi masalah yang melampaui batas-batas maju di dunia internasional. Sehingga
diperlukan
penambahan-penambahan
terutama
dalam
rangka
mempermudah pemberian kompensasi bagi konsumen yang menderita kerugian akibat produk cacat yang diedarkan di masyarakat.2 Kurangnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai produsen akan berakibat fatal dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup dan kredibilitas usahanya. Rendahnya kualitas produk atau adanya cacat pada produk yang dipasarkan akan menyebabkan kerugian bagi konsumen, di samping produsen itu juga akan menghadapi tuntutan kompensasi yang pada akhirnya akan bermuara pada kalah bersaingnya produk tersebut dalam merebut pangsa pasar. Permasalahan tersebut akan terasa semakin penting dalam era perdagangan bebas atau era globalisasi. Hal ini disebabkan persaingan yang dihadapi bukan hanya
2
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, (Bandung: Alumni, 1988), hlm. 105.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
diantara produk-produk pada level domestik tapi juga pada level dunia. Demikian juga permasalahan hukum yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab produsen tersebut dengan sendirinya bukan hanya berdasarkan pada hukum nasional Indonesia, namun akan berhadapan juga dengan sistem hukum asing. Belum lagi apabila dikaitkan dengan jumlah kompensasi yang memungkinkan lebih besar sesuai dengan standar hidup para konsumen di negara yang bersangkutan. Hans W. Misklitz, menyatakan bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh 2 (dua) model kebijakan, yaitu: Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan).3 Dalam berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimalkan resiko yang harus ditanggung konsumen). Misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian oleh suatu lembaga perizinan pemerintah atau menarik dari peredaran produk yang berbahaya yang sudah terlanjur beredar di pasaran. Terjadinya kasus beredarnya produk cacat di masyarakat diakibatkan oleh kurang insentifnya pengujian terhadap produk yang dihasilkan oleh produsen dan juga disebabkan karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh instansi maupun
3
Hans W. Micklitz, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Mata Para Pakar Jerman, (Warta Konsumen Tahun XXIV No. 12 Desember), hlm. 3-4.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
lembaga yang berwenang menangani masalah pengawasan tersebut.4 Berdasarkan ketentuan umum hukum perdata yang berlaku, pihak konsumen yang menderita kerugian akibat produk atau barang yang cacat dapat menuntut pihak produsen secara langsung atau menuntut pihak pedagang di mana barang tersebut dibeli. Tuntutan dapat diajukan berdasarkan telah terjadinya perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) oleh pihak produsen atau pihak lain yang berkaitan dengan proses produksi atau penyebaran produk atau barang cacat tersebut. Seseorang konsumen yang menderita kerugian tersebut akan menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen) berdasarkan perbuatan melawan, namun dalam prakteknya akan timbul beberapa kendala yang akan menyulitkan konsumen untuk memperoleh kompensasi. Di sisi lain juga akan terdapat beberapa kendala yang disebabkan karena adanya tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum yaitu pihak konsumen atau penggugat harus membuktikan unsur kesalahan pihak produsen atau tergugat, bila konsumen atau penggugat gagal untuk membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak produsen atau tergugat maka gugatannya akan gagal. Padahal bagi konsumen (korban) yang pada umumnya awam. Terhadap proses produksi dalam suatu industri, apalagi yang menggunakan teknologi tinggi yang canggih boleh dikatakan mustahil mampu membuktikan secara tepat di mana letaknya kesalahan yang menyebabkan
4
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 53.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
cacatnya produk atau barang tersebut. Kendala berikutnya yaitu tuntutan melalui pengadilan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar.5 Hubungan konsumen secara individual dengan produsen merupakan hubungan perdata. Oleh karenanya perlindungan konsumen lebih sering dilihat dari segi hukum perdata seperti masalah ganti rugi. Pemikiran demikian tidaklah benar karena dalam perlindungan konsumen merupakan kewajiban pemerintah, maka peranan pemerintah dalam menerapkan sanksi pidana dan administratif sangatlah penting. Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen yang sering terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh suatu produk barang atau jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada 3 (tiga) masalah yang menjadi permasalahan, yaitu: Pertama, masalah ganti rugi yang di dalamnya mencakup sistem pembuktian. Kedua, masalah lembaga tempat penyelesaian sengketa termasuk di dalamnya peranan lembaga-lembaga di luar pengadilan. Ketiga, cara mengajukan tuntutan hak (gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action).6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) dalam Pasal 23 disebutkan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan 5
H. Toto Tahir, Kemungkinan Gugatan Action dalam Upaya Perlindungan Hukum pada Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 68. 6 Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 93-107.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen ini diatur dalam UUPK, di mana persidangan dalam penyelesaian sengketa konsumen dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu melalui persidangan dengan cara konsiliasi, mediasi, arbitrase. Mengingat UUPK hanya mengatur beberapa pasal ketentuan beracara, maka secara umum peraturan hukum acara pidana tetap berlaku (KUHAP). Penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi, di mana lembaga itu merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara mediasi. Penyelesaian sengketa melalui mediasi akan melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa, guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.7 Diberikannya ruang penyelesaian sengketa di bidang sengketa konsumen merupakan
kebijakan
yang baik dalam upaya memberdayakan
(enpowerment system) konsumen. Upaya pemberdayaan konsumen merupakan bentuk kesadaran mengenai karakteristik khusus dunia konsumen, yakni adanya perbedaan kepentingan yang tajam antara pihak yang berbeda posisi tawarannya (bargaining position).
7
Bismar Nasution, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Bank dan Nasabah, Makalah, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 2.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diadakan penelitian untuk penulisan tesis dengan judul “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap Produk Cacat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Produsen”.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut
di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk tanggung jawab produsen terhadap produk cacat dalam perspektif perlindungan konsumen? 2. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa terhadap produk cacat dalam kaitannya dengan tanggung jawab produk menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan dalam penelitian ini,
maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan gambaran maupun penjelasan tentang tanggung jawab produsen terhadap produk cacat dalam perspektif perlindungan konsumen. 2. Untuk mengetahui dan memahami mekanisme penyelesaian sengketa terhadap produk cacat dalam kaitannya dengan tanggung jawab produk berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah tepat dan efektif.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
D.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya yang bergerak dalam perlindungan konsumen sebagai input untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam penyelesaian sengketa terhadap produk cacat khususnya yang berkaitan. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum bisnis, khususnya yang menyangkut mekanisme penyelesaian sengketa dalam hukum perlindungan konsumen. 2. Secara Praktis a. Sebagai kajian hukum dan pedoman bagi pemerintah, hakim, perusahaanperusahaan, kejaksaan dan pihak kepolisian dalam menentukan kebijakan dan tindakan dalam menyelesaikan masalah hukum yang terjadi dalam kaitannya dengan tanggung jawab produsen terhadap produk cacat. b. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang sanksi, hukuman dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban produsen dan perlindungan terhadap konsumen dalam kaitannya dengan produk cacat yang beredar di masyarakat.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang hukum bisnis, khususnya dalam hal hukum tentang perlindungan konsumen.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
dalam
lingkungan
Universitas
Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap Produk Cacat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Produsen” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Meskipun ada beberapa judul tesis yang hampir menyerupai, antara lain: 1. Tesis dengan judul Analisis Perdata terhadap Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Produk Makanan Berkemasan Plastik yang Mengandung Cacat Tersembunyi (Studi di Kota Pematang Siantar), oleh Doharni Bunga Raya Sijabat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2005. 2. Tesis dengan judul Tanggung Jawab Perusahaan terhadap Konsumen Karena Obat Tidak Memenuhi Standar Farmakope (Studi Pada PT. Mutiara Mukti Farma Medan), oleh Lidis Bangun Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2006. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh undangundang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen.8 Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan yang melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak pidana. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan akses dan kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban pelaku usaha (product liability).9 Oleh karena itu kualifikasi gugatan yang lazim digunakan secara konvensional didasarkan atas adanya dalil wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (tort/fault). 8
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 3. 9 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1996), hlm. 6.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: a.
Kesalahan (liability based on fault).
b.
Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability).
c.
Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non liability).
d.
Tanggung jawab mutlak (stricht liability).
e.
Pembatasan tanggung jawab (limitation liability). Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability) adalah
prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1337 KUH Perdata, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, yaitu: a.
Adanya perbuatan.
b.
Adanya unsur kesalahan.
c.
Adanya kerugian yang diderita.
d.
Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Secara common sense, asas tanggung jawab ini didapat diterima karena adalah
adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
yang diderita orang lain. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle) sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, dengan demikian beban pembuktian ada pada si penggugat.10 Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab adalah kebalikan dari prinsip di atas. Prinsip Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non liability) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya di bawah dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawaban. Prinsip tanggung jawab mutlak (stricht liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk bertanggung, misalnya kondisi force majeure. Sebaiknya prinsip tanggung jawab absolut adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. 2. Kerangka Konsepsi Konseptual adalah merupakan definisi dari operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis, bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada 10
Ibid., hlm. 75.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan pustaka.11 Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini, maka dirasa perlu untuk memberikan batasan judul penelitian, yaitu sebagai berikut: Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen yang mencakup semua segi hukum baik keperdataan, Pidana maupun Tata Usaha Negara. Sengketa adalah suatu keadaan bila ada interaksi antara dua orang atau lebih, di mana salah satu pihak bahwa kepentingannya tidak sama dengan kepentingan yang lain.12 Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.13 Produk adalah Barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhirnya dari proses produksi tersebut.14
11
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. Bismar Nasution, OpCit., hlm. 7. 13 Pasal 1 Butir 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 254. 12
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Pengertian Cacat adalah: 1. Kekurangan menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada benda, batin atau akhlak). 2. Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna). 3. Cela, aib. 4. Tidak (kurang) sempurna. Suatu barang atau jasa dapat dikategorikan sebagai produk cacat menurut AZ Nasution, yaitu apabila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana diharapkan orang dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, seperti penampilan produk, kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk dan saat produk itu diedarkan.15 Tanggung jawab Produsen adalah tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.
G.
Metode Penelitian Penelitian mengenai mekanisme penyelesaian sengketa terhadap produk cacat
dalam kaitannya dengan tanggung jawab produsen menggunakan tipe penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya. 15
AZ Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 174.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
mengambil data langsung dari lembaga perlindungan konsumen dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terlibat langsung menangani masalah penyelesaian sengketa dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen. 1. Sumber Data Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, di mana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Sehingga Penulisan ini menitikberatkan pada penelitian bahan pustaka atau yang dalam metode penelitian dikenal sebagai data sekunder, yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan berkaitan dengan Putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang menjadi bahan penelitian. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
c. Bahan Hukum Tertier Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian. 2. Teknik Pengumpulan Data Data yang telah terkumpul diolah dengan cara mengimplementasikan data menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok. Karena datanya mengarah pada kajian yang bersifat teoritis mengenai konsepsi, doktrin-doktrin dan norma atau kaidah hukum, maka analisis data dilakukan dengan cara normatif kualitatif, artinya penulis berusaha menggambarkan keadaan yang ada dengan berdasarkan kepada data-data yang diperoleh melalui studi pustaka (bahan sekunder). Kemudian data dianalisi dengan dihubungkan kepada pendapat para ahli dan teori-teori yang mendukung dalam pembahasan sehingga dapat ditarik kesimpulan secara indikatif yang penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menuju kepada hal yang bersifat umum. 3. Alat Pengumpul Data Studi Dokumen yaitu menemukan dan mengetahui asas-asas hukum, pasalpasal peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi, filsafat hukum dan hal-hal yang relevan dan menunjang terhadap kualitas dan kesempurnaan tesis ini. 4. Analisis Data Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pengumpulan data, kemudian dianalisis
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
secara kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur dan tatacara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku umum dalam perundang-undangan.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.
Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen Istilah konsumen dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang16. Mariam Darus mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu “Semua individu mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil”.17 Sebelum munculnya UUPK (yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor II/MPR/1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan namun sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang penjelasan pengertian konsumen itu sendiri. Salah satu ketentuan normatif yang memberikan definisi/pengertian konsumen adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek 16
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm. 3. Mengutip pendapat A.S. Hornby (Gen.Ed), Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1987), hlm. 183, “(opp. To producer) person who uses goods”. 17 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan, Alumni Bandung, 1981), hlm. 48.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan pemerintah mulai 5 Maret 2000). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.18 Hondius, pakar konsumen di Belanda, menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda atau jasa; (uiteindedelijke gebruiker van goederen en diensten).19 Dari rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Karena konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria tersebut, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu kepada konsumen pemakai terakhir. Di dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan pengertian Konsumen sebagai berikut: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 2. Hak dan Kewajiban Konsumen Pengaturan tentang hak dan kewajiban konsumen dijumpai dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK. Hak konsumen diatur dalam Pasal 4, yaitu: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keseluruhan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
18 19
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, 2004), hlm. 2. Ibid.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK lebih luas dari pada hakhak dasar konsumen sebagaimana yang pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat Jhon. F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo20, yaitu terdiri atas:
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 39.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
1. Hak memperoleh keamanan Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau diri konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini, pemerintah mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting. Berbagai bentuk peraturan perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya, sekalipun dibanding dengan mengikatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang dan/atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang. 2. Hak memilih Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya. 3. Hak mendapat informasi Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan. 4. Hak untuk didengar Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk di dalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut.21 Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi
Konsumen
Sedunia
(International
Organization
of
Consumers
Union/IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu: a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi; c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
21
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata pada Perlindungan Konsumen, (Majalah Yudika, FH. UNAIR, 1992), hlm. 49-50.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.22 Di samping itu, masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan; b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi; c. Hak mendapat ganti rugi; d. Hak atas penerangan; e. Hak untuk didengar. Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, YLKI, misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu lagi hak sebagai pelengkap hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga kesluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen.23 Memperhatikan hak-hak yang disebut di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen yaitu: a. Hak atas keamanan dan keselamatan; b. Hak untuk memperoleh informasi; c. Hak untuk memilih; d. Hak untuk didengar; e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian;
22 23
Sidharta, Loc.Cit., hlm. 2. Ibid., hlm. 16.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat; i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya; j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. Selain dari pada ketentuan yang mengatur tentang hak-hak konsumen di atas, UUPK juga mengatur tentang apa saja yang menjadi kewajiban dari konsumen, yang diatur dalam Pasal 5: Kewajiban konsumen adalah: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang lebih disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.24 3. Hubungan antara Konsumen dan Produsen Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha dengan konsumen (pemakai akhir) dari suatu produk merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan mana terjadi karena adanya saling keterkaitan kebutuhan antara pihak produsen dengan konsumen. Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen karena keduanya menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.25
24 25
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 47. Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Grafika, 1996), hlm.
23.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Produsen membutuhkan dan bergantung kepada dukungan konsumen sebagai pelanggan, di mana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin produsen
dapat
menjamin
kelangsungan
usahanya,
sebaliknya
konsumen
membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. Saling ketergantungan kebutuhan tersebut di atas dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan sepanjang masa. Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, pemasaran dan penawaran.26 Secara individu hubungan hukum antara konsumen dengan produsen adalah bersifat keperdataan, yaitu karena perjanjian jual beli, sewa beli, penitipan dan sebagainya. Namun oleh karena produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak, maka secara kolektif hubungan hukum antara konsumen dengan produsen tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata, akan tetapi juga memasuki bidang hukum publik, seperti hukum pidana, hukum administrasi negara dan sebagainya. Dari hubungan hukum secara individu antara konsumen dengan pelaku usaha telah melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut: a. Let the Buyer Beware (careat emptor) Doktrin ini berasumsi bahwa antara pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli keperdataan yang wajib berhati-hati adalah pembeli (konsumen). Dengan demikian akan menjadi kesalahan dan tanggung jawab konsumen itu sendiri bila ia sampai
26
Basu Swastia dan Irawan, Manajemen Modern, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 25.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
membeli dan mengkonsumsi produk yang tidak layak. Doktrin ini banyak ditentang oleh gerakan perlindungan konsumen. b. The Due Care Theory Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan bila terjadi kerugian yang diderita oleh konsumen. Jika ditafsirkan secara acontrario, maka untuk menyalahkan pelaku usaha, seseorang (konsumen) harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian. c. The Privity of Contract Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjadi suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang telah diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat pelaku usaha berdasarkan wanprestasi (contractual liability).27
Dalam pengaturan UUPK, dari hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha telah melahirkan 2 (dua) bentuk tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab profesional (profesional liability), ketentuan tersebut terdapat dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK. Beberapa pengertian tanggung jawab produk: a. Tanggung jawab produk yang biasa disebut “product liability” adalah suau tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (produk manufacturer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembier) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.28
27 28
Shidarta, Op.Cit., hlm. 50-52. H.E.Saefullah, Tanggung Jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, hlm. 5.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
b. Tanggung jawab (tanggung gugat) produk merupakan terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia secara populer sering disebut dengan “product liability” adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi.29 c. Tanggung jawab produk dapat diartikan sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata “produk” diartikannya sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (tetap). Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liability).30
Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar mempunyai perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam KUH Perdata. Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha (produsen) untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha (vide Pasal 1365 KUH Perdata jo Pasal 163 HIR/283 Rbg). Sedangkan dalam UUPK mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa
kerugian
yang
diderita
konsumen
bukan
merupakan
dari
akibat
kesalahan/kelalaian dari pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang
29
Nurmardjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan, (Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998), hlm. 17. 30 Shidarta, Op.Cit, hlm. 65.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
pertama mengajukan dalil kerugian tersebut (vide Pasal 19 s/d 28 UUPK), dan inilah yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak (strict liability). Konsep tanggung jawab mutlak (strict liability) yang ada dalam UUPK itu sendiri di Amerika Serikat telah dikenal dan diberlakukan sejak tahun 1960 an. Di mana denganb diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini semua orang/ konsumen yang dirugikan akibat suatu produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada pihak produsen. Dua kasus utama yang merupakan prinsip tanggung jawab mutlak, yang kemudian diikuti oleh pengadilan- pengadilan lain adalah kasus Spence V Theree Rivers Builders and Mansory Supply Inc 1959.31 Dalam sistem hukum Amerika Serikat untuk menjerat produsen agar bertanggung jawab terhadap produk yang merugikan konsumen, maka dimungkinkan untuk menerapkan asas “strict liability” atau digunakan istilah tanggung jawab tidak terbatas menurut Robert N. Gorley sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, strict liability ditegakkan pada prinsip:32 1. Pertanggungjawaban hukum atas setiap perbuatan atau aktivitas yang menimbulkan keruhgian jiwa atau harta terhadap orang lain. 2. Pertanggungjawaban hukum tanpa mempersoalkan kesalahan baik yang berupa kesengajaan maupun kelalaian.
31
Lebih lanjut, D.L. Dann, Strict Liability in The USA, dalam Aviation Products and Grounding Liability Symposium, (London: The Royal Acrunautical Sociaty, 1972), hlm. 15. 32 M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 22.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum product liability adalah:33 a. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen di lain pihak beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/ mengeluarkan barang-barang di pasaran.34 b. Dengan menerapkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggung jawab. c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak produsen yang melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini.
4. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Ruang lingkup perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis perundang-undangan seperti Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
(UUPK).
Hukum
perlindungan
konsumen
selalu
berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai cabang dan bidang hukum lain, karena pada setiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berprediket sebagai “konsumen”.35 Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. 33
Ibid., hlm. 16-17. Selain itu juga prinsip strict liability bertujuan untuk membebaskan penggugat (yang dalam hal ini konsumen) dari beban kewajiban pembuktian, dengan demikian konsumen hanya mengungkapkan faktanya saja, sementara produsen yang membuktikan bahwa produksinya aman pada saat dipasarkan pada konsumen, Page Keeton, Case Materialis on Fort on Accident Law, (USA, 1989), hlm.664. 35 Shidarta, Op.Cit, hlm. 1. 34
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Membahas masalah perlindungan hukum bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih dahulu dilihat kedalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena mempunyai konsekuensi tersendiri, antara lain mengenai lingkup materinya, sanksinya, peradilannya, karena satu sama lain akan berkaitan dengan sistem hukum yang sebelumnya telah dikembangkan melalui berbagai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat Indonesia. Sebelum keluarnya UUPK, perlindungan terhadap konsumen dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1993 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor II/MPR/1993, pada Bab IV, Huruf F Butir 4a, yaitu: “......pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen.....”.36 Komitmen melindungi konsumen (konsumen akhir, bukan pedagang) rupanya masih menjadi huruf-huruf mati dalam naskah GBHN 1993, karena tidak jelas peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yang memang ditujukan untuk itu. Ketidakjelasan itu bukan karena belum adanya pengkajian dan penelitian norma-
36
Yusuf Shofie, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002),
hlm. 2.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
norma perlindungan konsumen macam apa yang sesuai dengan situasi dan kondisi konsumen Indonesia. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Departemen Perindustrian dan perdagangan telah cukup sering melakukannya. Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999 oleh pemerintah transisi (Kabinet Reformasi Pembangunan) Presiden BJ. Habibie tampaknya diiringi dengan harapan terwujudnya wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku usaha (produsen, distributor, pengecer, pengusaha/ perusahaan dan sebagainya) dalam menyongsong millenium baru.37 Kritik dari berbagai pihak terhadap penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap yang lemah masih menjadi referensi utama dalam perumusan normanorma perlindungan konsumen dalam undang-undang ini. Norma-norma dalam perlindungan konsumen dalam sistem UUPK sebagai “undang-undang payung” menjadi acuan bagi norma-norma perlindungan konsumen lainnya di luar UUPK. Demikian juga bagi undang-undang ketenagalistrikan, maka norma perlindungan konsumen peraturan di bidang ini mengacu pada norma-norma perlindungan konsumen yang diatur dalam UUPK. Adapun norma-norma perlindungan terhadap konsumen dalam UUPK dapat kita jumpai dalam Pasal 1 angka 1 (Pengertian Perlindungan Konsumen), Pasal 2 dan Pasal 3 (Asas dan Tujuan), serta Pasal 18 (Ketentuan Pencantuman Klausula Baku). Pasal 1 Angka 1 “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin 37
Ibid, hlm. 16.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Pasal 2 “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum” Dalam
Penjelasan
Pasal
2
mengatakan:
Perlindungan
konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu: 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum
dan
memperoleh
keadilan
dalam
menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum”.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu: 1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; 2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; 3. Asas kepastian hukum.38 Pasal 3: Perlindungan konsumen bertujuan: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen. 38
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hlm. 26.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Pasal 3 UUPK ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Adapun mengenai ketentuan pencantuman klausula baku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UUPK, memberikan andil terhadap perlindungan konsumen. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK ditegaskan bahwa adanya laranganlarangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
B.
Tanggung Jawab Produsen
1. Pengertian Produsen Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leverensir dan pengecer profesional,39 yaitu setiap orang atau badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen.40 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak memakai istilah produsen, melainkan menggunakan kata pelaku usaha, sekalipun
39
Agnes M.Toar, Op.Cit., hlm. 2. Harry Duintjer Tebbens, International Product Liability, (Netherland: Sijttof dan Noordhof International Publishers, 1980), hlm. 4. 40
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
pada dasarnya apa yang dimaksudkan dengan pelaku usaha dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda.41 Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK menjelaskan, apa yang dimaksud dengan Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi. Sebagai perbandingan di Eropa, seperti yang dikutip oleh Rachmadi Usman dalam Directive on Product Liability yaitu suatu ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Kementrian Eropa, di dalam Pasal 3 disebutkan yang dimaksud dengan produsen adalah meliputi: a. Pihak pembuat suatu produk akhir atau bagian komponennya yang berupa produk-produk manufactur; b. Produsen dari tiap bahan mentah apapun; atau c. Tiap orang, yang dengan membubuhkan nama, merek dagang ataupun ciri pembeda lainnya pada suatu produk adalah mewakili dirinya sendiri sebagai produsen barang atau produk tersebut; atau d. Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam lingkungan Economic Community, apakah untuk dijual, disewakan, dikontrakkan atau bentuk distribusi lain di dalam perdagangan bisnisnya dianggap sebagai produsen dan harus bertanggung jawab sebagai produsen.42 Dari kedua peraturan tersebut dapat dilihat perbedaan batasan-batasan tentang produsen. Dalam Directive on Product Liability, sudah jelas diatur siapa saja yang
41 42
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 9. Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.
206.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
dapat dikategorikan sebagai produsen. Sementara dalam UUPK definisi pelaku usaha didefinisikan secara luas. 2. Hak dan Kewajiban Produsen Secara tegas di dalam UUPK telah diatur hak dan kewajiban produsen atau pelaku usaha. Di mana pengaturan tentang hak produsen atau pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6, yang menentukan sebagai berikut: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan dari sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam perundang-undangan lainnya. Di samping pengaturan hak dari produsen atau pelaku usaha, UUPK juga mengatur tentang kewajiban dari Produsen atau pelaku usaha yang ditentukan secara tegas dalam Pasal 7 UUPK sebagai berikut: a. Beritikad baik dalam menjalankan usaha; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi, jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; f. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian
dan
pemanfaatan
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab terdiri dari kata tanggung dan jawab, yang kemudian terbentuk beberapa kata seperti bertanggung jawab, mempertanggung jawabkan, penanggung jawab dan pertanggungjawaban.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).43 Selanjutnya dari kata tanggung jawab tersebut diturunkan kata-kata sebagai berikut: a. Bertanggung jawab berarti kewajiban memegang, memikul tanggung jawab; b. Mempertanggung jawabkan berarti memberi jawab dan menanggung segala akibatnya kalau ada kesalahan.44 Dari penggunaan sehari-hari kata tanggung jawab cenderung menerangkan kewajiban. Kecenderungan ini terlihat pada penggunaan kata “pertanggungjawaban” sebuah kata bentukan yang berasal dari kata dasar tanggung jawab. Dalam ilmu hukum ada dikenal dua macam tanggung jawab, yang pertama adalah tanggung jawab dalam arti sempit, yaitu tanggung jawab tanpa sanksi, dan yang kedua tanggung jawab dalam arti luas, yaitu tanggung jawab dengan sanksi.45 4. Prinsip Tanggung Jawab dalam Ilmu Hukum Dalam ilmu hukum setidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab yang dikenal, yaitu:46 a. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault, liability based on fault principle), yaitu: Tanggung jawab atas dasar kesalahan adalah prinsip yang umum dianut. Prinsip ini menyatakan “seseorang baru 43
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., hlm. 899. Ibid., hlm. 901. 45 Harun Al Rasjid, Hubungan antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 9. 46 Endang Saefullah Wiradipraja, Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung: Eresco, 1991), hlm. 17. 44
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Tanggung jawab atas dasar kesalahan ini pembuktiannya harus dilakukan oleh penggugat (orang yang dirugikan). Contoh di Indonesia dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Pasal ini mengharuskan pemenuhan unsurunsur menyediakan suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti-kerugian yaitu: 1) Adanya perbuatan yang melawan hukum; 2) Adanya kesalahan; 3) Adanya kerugian yang ditimbulkan; 4) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan yang satu dengan kerugian.47 Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, pengartian “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undangundang. Tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle). Prinsip praduga yang dimaksud kemudian oleh beberapa pakar dikategorikan kepada dua macam, yaitu prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, yakni prinsip yang menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dengan demikian pembuktiannya dibebankan kepada pihak tergugat. Dasar pemikiran dari teori pembuktian beban pembukian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum. Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika teori digunakan, maka beban pembuktiannya ada pada pelaku usaha sebagai tergugat. Namun demikian tidak berarti konsumen selalu dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha dengan sesuka hati, karena posisi konsumen selaku penggugat tetap terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha apabila ia gagal menunjukkan kesalahan pelaku usaha sebagai tergugat. Bagian lain dari prinsip praduga adalah prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab. Prinsip ini kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, dimana beban pembuktiannya dibebankan kepada pihak penggugat. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Di mana kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/ bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang sendiri. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. 47
Yusuf Shofi, Op.Cit, hlm. 123-124.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
c.
Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, strict liability absolute liability principle). Dalam prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai sesuatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada hakekatnya ada atau tidak ada.48 Namun demikian hal ini tidak selamanyaditerapkan secara mutlak karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung jawabnya. Pengecualian yang dimaksudkan antara lain adalah keadaan force majeure, atau suatu kondisi terpaksa yang terjadi karena keadaan alam dan tidak mungkin untuk dihindari.
48
Endang Saefullah Wiradipraja, Op.Cit, hlm. 33.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN
A.
Konsep Produk Cacat Sebagai Dasar Tanggung Jawab Salah satu unsur penting dalam doktrin tanggung jawab produk adalah
persyaratan “produk cacat” (defective product).49 Pentingnya faktor kondisi produk ini, menyebabkan tanggung jawab produk dikenal dengan istilah defective liability. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan istilah produk cacat. Rumusan ini semakin memperkuat keraguan apakah Undang-Undang Perlindungan Konsumen menganut doktrin tanggung jawab produk atau strict liability. Istilah “cacat” muncul pada bagian lain, yaitu dalam Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 huruf b dan dalam draft rancangan perlindungan konsumen yang diajukan oleh Pemerintah.50 Tidak dikenalnya konsep cacat dalam Pasal 19 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 menimbulkan kesulitan dalam menafsirkan ruang lingkup tanggung jawab produk. Dengan demikian, rumusan tanggung jawab produk menjadi tidak sistematis dan tidak menjamin kepastian, baik bagi konsumen maupun bagi produsen dan aparat penegak hukum, hal tersebut sangat berbeda dengan rumusan tanggung jawab produk di negara lain yang pada umumnya memiliki
49
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2004), hlm. 182. 50 Rumusan Pasal 19 usulan dari Pemerintah: “(1) pelaku usaha wajib menerima kembali barang yang telah dibeli oleh konsumen karena barang tersebut cacat atau rusak dan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.”
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
penafsiran yang jelas serta sistematis, sebagaimana halnya di negara-negara Eropa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Directive Masyarakat Eropa: Dibandingkan dengan rumusan tanggung jawab produk masyarakat Eropa misalnya, tolak ukurnya lebih jelas dan pasti. Hukum tanggung jawab masyarakat Eropa menyatakan suatu produk dinyatakan cacat apabila produk tersebut tidak memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan yang diharapkan oleh konsumen, baik dalam hal bentuk/desain maupun dalam hal instruksi bagaimana cara penggunaan yang seharusnya, dan kapan suatu produk dapat diedarkan pada batas-batas yang sama bagi konsumen.51 Demikian pula dengan hukum tanggung jawab produk di Amerika Serikat, “produk cacat” menjadi elemen penting dalam doktrin tanggung jawab produk. Di Amerika Serikat mengenal tiga kategori cacat produk, yaitu: (1) The manufacturing defect, (2) The design defect, and (3) The warning and the instruction defect.52 Cacat manufakturing diartikan sebagai tidak sesuainya produk yang dihasilkan dengan spesifikasi barang yang telah ditetapkan oleh pembuatnya, walaupun desainnya tidak cacat.53 Sedangkan cacat desain, dimaksudkan bahwa desain produk tidak menjamin keselamatan dan kenyamanan konsumen dalam menggunakan produk. Cacat the warning and instruction apabila suatu produk tidak mempunyai peringatan atau petunjuk yang jelas dan memadai, walaupun desain dan kualifikasi pembuatnya sempurna.
51
European Community Directive No. 374/1985 Art. 6. Inosentius Samsul, Op.Cit., hlm. 183. 53 Ibid. 52
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Dalam hukum tanggung jawab produk di Amerika Serikat, “unreasonably dangerous product” merupakan objek tanggung jawab produk. Mengenai hal ini, komentar terhadap Restatement 2nd of Torts (i) menyatakan bahwa suatu produk dikatakan unreasonable dangerous jika cacat yang ada pada produk tersebut dapat dengan mudah diketahui oleh konsumen dengan cara-cara yang sederhana yang biasanya menjadi pengetahuan umum masyarakat. Namun dalam prakteknya, putusan pengadilan berbeda-beda, artinya ada kasus yang mensyaratkan adanya unreasonable dangerous dan ada pula kasus yang tidak menurut adanya unreasonably dangerous sebagai sesuatu yang cacat.54 Undang-Undang di Jepang merumuskan cacat produk tidak hanya dimaksudkan dengan berkurangnya kualitas pada produk tetapi juga kehilangan keselamatan dalam produk yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh manusia atau harta benda atau mengancam kehidupan manusia.55 Sedangkan di Philipina, produk cacat dirumuskan sebagai berikut: Sebuah produk berkurang manfaatnya ketika produk tersebut tidak menawarkan keamanan bagi orang yang memakainya namun demikian juga diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Penyajian bentuk produk; b. Kegunaan dan bahaya yang mungkin terjadi; c. Masa sirkulasinya.56 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Philipina menyatakan pula bahwa penemuan produk baru yang kualitasnya lebih baik tidak berarti produk sebelumnya 54
Hiroaki Fukuzawa, Product Liability Comparative Study of US and Japanese Aproach, (Indepent Research, Seatle: University of Washington, 1992), hlm.12. 55 Jepang, Product Liability law No. 85/1994. 56 The Consumer Act of The Philipines, Republic Act No. 7394, Part II 1992 Art. 97.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
dinyatakan sebagai produk cacat, a product is not considered defective because another better quality product has been placed in the market.57 Persyaratan produk cacat memang belum menyelesaikan penyelesaian dalam sistem tanggung jawab produk. Salah satu persoalan yang tersisa misalnya, bagaimana dampak atau akibat dari konsumsi gula oleh seseorang yang berpenyakit diabetes atau mentega yang menurut pengetahuan kedokteran modern dapat menyebabkan serangan jantung. Produk-produk tersebut potensial menimbulkan resiko bagi konsumen yang mengidap penyakit tertentu, seperti penyakit diabetes. Dalam kasus seperti ini, maka faktor penting yang dilakukan oleh produsen adalah memberikan peringatan berbagai resiko dari produk yang dijualnya. Tanpa adanya peringatan maka produk tersebut sudah tergolong cacat, dan menjadi subjek tanggung jawab produk.58 Dalam beberapa kasus, suatu produk pada dasarnya tidak berbahaya, tetapi dapat merugikan konsumen apabila tidak digunakan secara tepat. Dicontohkan semen misalnya, tidak membahayakan, tetapi ada yang akan mengalami kerusakan kulitnya apabila melabur semen pada kulit tangan dan kaki. Dalam kasus demikian, produsen tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, baik atas kelalaian maupun ingkar janji. Sikap Pengadilan di Amerika Serikat terhadap masalah ini, jika produk aman untuk penggunaan secara normal, maka tidak ada tanggung jawab apabila kerugian tersebut
57 58
Ibid, Art. 97. Inosentius Samsul, Op.Cit, hlm. 185.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
merupakan hasil dari penggunaan yang tidak normal.59 Di samping itu, jika produsen mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa ada resiko penggunaan produk bagi konsumen, maka produsen berkewajiban untuk memberikan peringatan, dan produsen yang telah memberikan peringatan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hanya karena menjual produk tersebut. Jenis cacat produk itu dapat diartikan sebagai suatu produk cacat yang disebabkan oleh satu bentuk kesalahan dalam proses pembuatan produk atau dengan kata lain, apabila suatu produk tidak dibuat sesuai dengan standar kualitas, rencana dan/atau spesifikasi produk yang dibuat oleh produsen itu sendiri. Jenis cacat ini kadang-kadang jelas sekali, misalnya ada puntung rokok dalam botol minuman. Sering kali juga, cacat pembuatan produk ini diketahui analisa yang dilakukan oleh seorang ahli, seperti ketika salah satu bagian yang patah berhubungan dengan kesalahan mengelas. Tuntutan yang didasarkan oleh cacat pembuatannya berbeda dengan bentuk cacat yang kedua yaitu cacat mesin. Cacat desain didasarkan pada suatu produk yang membahayakan konsumen walaupun telah dikerjakan atau dibuat secara teliti. Cacat desain tidak seperti halnya cacat pembuatan mempengaruhi semua jenis produk, misalnya pada awal 1870-an, Ford Pinto dibuat secara sempurna kemudian ditemukan desain yang cacat setelah penggugat membuktikan bahwa sistem penempatan peringatan mengenai bahaya yang sudah diketahui dalam produk tersebut Tentunya kegagalan untuk memberikan peringatan haruslah menjadi penyebab pertama dari kecelakaan atau kerugian yang menjadi dasar dari tuntutan 59
Ibid.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
ganti kerugian. Dengan demikian, misalnya seorang perenang yang berpengalaman yang mengetahui betul bahwa menyelam ke dalam kolam yang dangkal dapat mengakibatkan cidera dan penggugat tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan mengatakan kolam tersebut tidak memiliki tanda kedalaman. Di sini telah terjadi penyalah gunaan kolam, sehingga tanggung jawab tidak didasarkan pada tidak adanya tanda peringatan. Kadang-kadang kegagalan produsen untuk melakukan pengujian terhadap suatu produk dapat membentuk alasan mengapa suatu produk dapat menjadi berbahaya dan merusak. Kalim tersebut biasanya diterapkan dalam kasus-kasus perusahaan farmasi memasarkan obat secara tergesa-gesa yang kemudian dapat mengakibatkan cidera pada pengguna obat.60 Salah satu unsur penting dalam doktrin tanggung jawab produk adalah adanya kerugian. Di samping persyaratan cacat produk, gugatan konsumen terhadap produsen dalam doktrin tanggung jawab produk adalah karena adanya kerugian yang diderita konsumen. Hubungan antara cacat atau rusak dengan kerugian merupakan elemen penting lainnya dalam doktrin “strict product liability”. Oleh karena itu, konsumen dibebani tanggung jawab untuk membuktikan adanya hubungan kedua unsur tersebut, kecuali cacat pada peringatan atau instruksi, yang hanya membuktikan bahwa suatu produk itu berbahaya dan tidak memerlukan kualifikasi hubungan sebab akibat.61
60 61
Ibid., hlm. 188-189. Hiroaki Fukuzawa, Loc.Cit., hlm. 12.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas tentang definisi jenis produk barang dan/atau jasa yang dilindungi, yang secara hukum dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen apalagi rumusan yang berkaitan dengan definisi dan kriteria dari produk cacat. Istilah cacat dalam UUPK hanya ditemukan pada Pasal 8 ayat (2 dan 3). Hal ini erat kaitannya dengan sifat pertanggungjawaban yang dapat dikenakan atau dipikulkan kepada pelaku usaha dengan siapa konsumen telah berhubungan. Dengan tidak adanya perumusan atau pengelompokan dan perbedaan yang jelas dari jenis/macam barang dan/atau jasa tersebut pada satu sisi dapat memberikan keuntungan tersendiri pada konsumen yang memanfaatkan, mempergunakan ataupun memakai suatu jenis barang dan/atau jasa tertentu dalam kehidupan sehari-harinya. Pengertian produk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu”.62 Sedangkan pengertian cacat berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu:63 1. Kekurangan menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2. Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaan menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3. Cela/aib; 4. Tidak (kurang) sempurna.
62 63
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., hlm. 126. Ibid., hlm. 45.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
UUPK hanya memberikan definisi dari barang dan jasa sebagaimana tercantum pada Pasal 1 butir 4 dan 5 UUPK yang berbunyi bahwa: Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen .64 Suatu barang dan/atau jasa dapat dikategorikan sebagai produk cacat menurut AZ. Nasution,65 yaitu apabila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana diharapkan orang, dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, seperti penampilan produk, dan saat produk itu diedarkan. Jadi yang menjadi hal utama dalam produk cacat ini adalah aspek keamanan dan keselamatan produk tersebut dan kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) yang ditimbulkan di pihak konsumen terutama yang disebabkan oleh adanya cacat dalam pemenuhan persyaratan keamanan dan keselamatan produk yang bersangkutan bagi konsumen. Berkenaan dengan masalah cacat/rusak (defect) dalam pengertiaan produk yang cacat/rusak (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab, dikenal tiga macam defect: production/manufacturing defect, design defect dan warning or instruction defect.66
64
Ibid., hlm. 28. AZ. Nasution, Op.Cit., hlm. 173. 66 H.E. Saefullah, Op.Cit., hlm. 45. 65
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Mengenai hal tersebut di atas undang-undang telah mengeluarkan larangan sebagimana ditegakkan pada Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 UUPK. Terhadap pelaku usaha pembuat produk (produsen) dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang diisyaratkan dan peraturan perundang-undangan; b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran, sebagaimana dinyatakan dalam label etiket, atau keterangan barang; e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses, pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang; f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang; g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak menbgikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
B.
Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Prinsip tentang tanggung jawab, merupakan perihal yang sangat penting
dalam hukum perlindungan konsumen. Kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.67 Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasanpembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Di samping itu, dalam area hukum tertentu, misalnya antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat perbedaan yang cukup mendasar tentang prinsip-prinsip tanggung jawabnya yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, prinsipprinsipnya juga dapat saling berlainan. Uraian berikut ini menjelaskan perbedaanperbedaan tersebut secara garis besar dilihat dari perspektif hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: (1) kesalahan (liability based on fault), (2) praduga selalu bertanggung jawab (persumption of liability), (3) praduga selalu tidak bertanggung jawab (persumption of non liability), (4) tanggung jawab mutlak (strict liability), dan 67
Shidarta, Op.Cit., hlm. 72.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
(5) pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Sama seperti penjelasan tentang kedudukan konsumen, dalam kaitan ini juga dibahas tentang masalah pembagian beban pembuktian. 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip itu dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu: 1. Adanya perbuatan; 2. Adanya unsur kesalahan; 3. Adanya kerugian yang diderita; 4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.68 Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. 68
Ibid., hlm. 73.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau Pasal 283 Rechtsreglement Buitengewesten (RGB) dan Pasal 1865 KUH Perdata. Disitu dikatakan, barang siapa yang mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actoriem incumbit probation).69 Ketentuan di atas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et altern partem atau asas kedudukan yang sama antar semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.70 Persoalan yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (lihat Pasal 1367 KUH Perdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability atau corporate liability. Vicarious liability (atau disebut juga respondent superior, let the master answes), mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orangorang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya (captain of the ship
69 70
Ibid, hlm. 74. Ibid.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
doctrine).71 Jika karyawan itu dipinjamkan kepada pihak lain (borrowed servant), maka tanggung jawabnya beralih pada si pemakai karyawan tadi (fellow-servant doctrine). Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability.72 Menurut doktrin ini, lembaga (korporasi) yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Sebagai contoh, dalam hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien, semua tanggung jawab atas pekerjaan tenaga medik dan paramedik dokter adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (digaji oleh rumah sakit), tetapi untuk karyawan non organik (misalnya dokter yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil). Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua dibalik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Ia tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan mana yang tidak. Doktrin yang terakhir ini disebut ostensible agency.73 Maksudnya, satu korporasi (misalnya rumah sakit) memberikan kesan kepada masyarakat (pasien) bahwa orang yang bekerja disitu (dokter, perawat, dan lain-lain) adalah karyawan yang tunduk di bawah perintah/koordinasi korporasi tersebut, sehingga sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumennya. 71
Ibid. Ibid. 73 Ibid, hlm. 75. 72
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (persumption of liability prinsiple), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. 3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (persumption of non liability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. 4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability74 adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya, absolute liability75 adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
74 75
Ibid, hlm. 78. Ibid.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha, untuk dicantumkan sebagaimana klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci dan atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Sebagaimana dalam hal pengangkutan udara, yakni Pasal 17 ayat (1) Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab dengan pembatasan dikaitkan dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Batas tanggung jawab pihak pengangkut untuk 1 penumpang sebesar 100.000 dolar Amerika Serikat (tidak termasuk biaya perkara) atau 120.000 dolar (termasuk biaya perkara).76 Prinsip tanggung jawab ini, sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
76
Ibid, hlm. 80.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
C.
Tanggung Jawab Produsen terhadap Produk Cacat dengan Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen
1. Peraturan Mengenai Produk Walaupun tergolong doktrin baru, namun pengaturan mengenai produk cacat telah lahir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khusus mengenai cacat tersembunyi. Pengaturan mengenai pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan oleh adanya cacat, khususnya cacat tersembunyi terdapat pada Pasal 1504 KUH Perdata, di mana pada Pasal tersebut mewajibkan penjual untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan karena penggunaan produk yang dijualnya. Menurut Pasal tersebut, faktor utama yang menentukan suatu cacat pada produk merupakan cacat tersembunyi adalah seandainya seorang pembeli mengetahui adanya cacat tersebut, maka pembeli tersebut akan batal membeli barang tersebut, atau sekurang-kurangnya meminta pengurangan harga barang. Pertanggungjawaban yang demikian ini merupakan suatu bentuk tanggung jawab yang dibebankan kepada penjual dalam timbulnya kerugian yang disebabkan oleh digunakannya produk cacat tersebut. Ganti kerugian yang diberikan hanya sebatas kerugian yang disebabkan oleh adanya cacat tersembunyi, dan bukan cacat yang memang kelihatan oleh si pembeli (Pasal 1505 KUH Perdata) Mengenai ganti kerugian terhadap cacat tersembunyi dapat diperoleh konsumen dengan cara mengembalikan barangnya dengan menuntut pengembalian harga pembelian barang tersebut atau tetap memiliki barang dengan menuntut pengembalian sebagian harga pembelian (Pasal 1507 KUH Perdata). Apabila penjual telah mengetahui mengenai cacat barang tersebut, maka produsen
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya serta diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian dan bunga kepada pembelian (Pasal 1508 KUH Perdata). Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri juga mengatur mengenai ganti kerugian terhadap produk cacat. Adanya produk cacat merupakan tanggung jawab pelaku usaha serta termasuk dalam perbuatan melanggar hukum yang disertai dengan unsur tanggung jawab yang mutlak. Dalam UUPK diatur mengenai perbuatan-perbuatan yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen yang diatur dalam Pasal 4, 5, 7 sampai dengan Pasal 17, Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 dan Pasal 24 sampai dengan Pasal 28. Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen: 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai produk cacat dengan beban pembuktian diserahkan kepada pelaku usaha, dengan demikian maka konsumen dilindungi hanya untuk mendapatkan yang terbaik, prestasi berupa produk dengan kontraprestasi harga yang harus dibayarkan atas produk tersebut. Namun, selalu menjadi pertanyaan, bagaimanakah penegakan hukum UUPK ini? Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan: “konsumen di manapun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”. Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur; Hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan); hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan; dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut di negaranya masing-masing. Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia, seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar bagaimana
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut pada penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai (reasonable). Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan di segala sektor yang berkaiatan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik. Konsumen harus sadar akan hak-hak yang mereka punyai sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia yang selama ini dianggap kurang diperhatikan bisa menjadi lebih diperhatikan. Tujuan
penyelenggaraan,
pengembangan
dan
peraturan
perlindungan
konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:77 (1) (2) (3) (4) (5)
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepetingan seluruh pelaku usaha; Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan; Memadukan penyelenggarakan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidangbidang lainnya.
2. Tanggung Jawab Produsen Menurut Natalie O`Connor; “Tanggung jawab produk, dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kesalahan atau kesalahan barang yang merupakan tanggung jawab pelaku usaha pembuat produk tersebut”.78 Dari pendapat yang dikemukakan Natalie di atas dapat dilihat secara umum bahwa Tanggung Jawab Produk adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal yang sudah dikenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen) itu (strict liability). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. 77
Nurmadjito, Op.Cit., hlm. 7. Natalie O’Connor, Consumer Protection Under the Trade Practices Act: A Time For Change di dalam Inosentius Samsul (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen I, (Jakarta: Pascasarjana FH-UI, 2001), hlm. 94. 78
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh berbeda dan konsepsi tanggung jawab sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 (dan 1865) KUH Perdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen unuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen. Perbedaan lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang atau instansi lain. Apa yang dimaksud dengan cacat produk? Di Indonesia cacat produk atau produk yang cacat didefinisikan sebagai berikut: “Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”.79 Dari batasannya ini dapat dilihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut. Perkembangan ini dipicu oleh tujuan yang ingin dicapai dokrin ini yaitu: a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut. b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat dihindari. Sesuatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena: 1. Cacat Produk atau Manufaktur; 2. Cacat Desain; 3. Cacat Peringatan atau Cacat Instruksi. Cacat produk atau manufaktur adalah keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga dapat membahayakan harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Cacat seperti tersebut di atas termasuk cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi. Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi tertentu sebagaimana yang diutarakan di atas, termasuk produk cacat yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk tersebut. Tetapi di samping produsen, dengan syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat diletakkan di atas pundak pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor atau pedagang pengecernya. Jadi tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang-orang lain atau barang lain, sedang
79
AZ. Nasution, Op.Cit., hlm. 248.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
tanggung jawab pelaku usaha, karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.80 Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa ada gium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah ditinggalkan, dan kini berlaku caveat emptor (pelaku usaha bertanggung jawab). Ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu perbuatan-perbuatan pelaku yang berakibat menimbulkan kerugian dan atau membahayakan konsumen diatur dalam Pasal 4, 5, 7-17, 19-21 dan Pasal 24 sampai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produsen) beru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (producer and manufacture) maupun penjual (seller or distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (Product liabillity) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (misalnya: makanan binatang peliharaan dengan jenis binatang lain), tulisan (misalnya: peta penerbangan
80
Ibid., hlm. 250.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
yang diproduksi secara massal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate.81 Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tetapi juga termasuk komponen suku cadang. Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect: 1. Production/manufacturing defect, 2. Design defect dan, 3. Warning or instruction defect. Production/manufacturing defect, yaitu apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen. Design defect, yaitu apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan olej konsumen biasa atau bila keuntungan dari desain produk tersebut kecil dari resikonya. Warning/instruction defect, yaitu apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (label), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman.82 Tentang pengertian product liability dapat dikemukakan sebagai berikut:83 Menurut Hursh: product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari produsen yang menghasilkan suatu produk atau dari irang atau badan yang bergerak dalam proses untuk menghasilkan suatu produk, atau orang/badan yang menjual produk tersebut. Perkins Coie menyatakan: Product Liability adalah tanggung jawab hukum dari produsen atau orang-orang yang terlibat dalam distribusi suatu produk kepada para pemakai produk yang terluka karena menggunakan produk tersebut.
81
H.E Saefullah, Op.Cit., hlm. 44. Ibid, hlm. 46. 83 Ibid. 82
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Konvensi mengenai penerapan hukum terhadap tanggung jawab produk (Konvensi Hague), Pasal 3 menyatakan, konvensi ini berlaku pada orang-orang berikut ini: 1. Produsen/pelaku usaha membuat pembuat jadi atau produk jadi atau produk komponen/bagian; 2. penghasil produk alam; 3. Penyalur Produk; 4. Orang lain, termasuk orang yang memperbaiki dan orang yang bertugas di gudang, yang terkait dalam rangkaian komersial yang mempersiapkan distribusi suatu produk, tanggung jawab produk juga berlaku kepada agen atau para pekerja. Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan, dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkain komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda. Jika masalah tanggung jawab produsen ini dikaitkan dengan teori prinsip tentang tanggung jawab, di mana prinsip tentang tanggung jawab ini merupakan prihal yang sangat penting dalam hukum tentang tanggung jawab. Di mana secara umum, prinsip-prinsip tenggung jawab ini dibedakan menjadi beberapa prinsip
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
tanggung jawab diantaranya: prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault), prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga selalu bertanggung jawab (persumption of liability), prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga selalu tidak bertanggung jawab (persumption of non liability), prinsip tanggung jawab berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability), dan prinsip tanggung jawab berdasarkan pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Dari prinsip-prinsip tanggung jawab sebagaimana dikatakan di atas yang paling mendekati dengan masalah tanggung jawab produsen adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip tanggung jawab berdasarkan tanggung jawab mutlak ini secara khusus akan dibahas dalam pembahasan di bawah ini. 3. Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability Principle) Seperti dikemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, nampak bahwa apa yang diatur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUHPerdata. Hanya saja jika menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, mak sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
(strict liability principle). Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen. Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah: a. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/ mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran; b. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab; c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.84 Selain hal tersebut ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip social climate theory: 1. Manufacture adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan apda setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory. 2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual.85
84 85
Ibid., hlm. 54. Ibid., hlm. 55.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal: pertama, bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen. Kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian/ kecelakaan. Ketiga, adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada modigikasi-modifikasi). Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah: a. Jika produsen tidak mendengarkan produknya (put into circulation); b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian; c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis; d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah; e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat; f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri di mana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut; g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
h. Kerugian yang terjadi diakibattkan oleh acts of god atau force majeur.86 Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produkproduk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar resiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen, baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indonesia. Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability dalam mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.
86
Ibid., hlm. 57.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
BAB IV MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PRODUK CACAT
A.
Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara
para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada umumnya jika ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Menurut AZ. Nasution, S.H.87, sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu. Sedangkan Sidharta88 menyatakan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata negara. UUPK tidak memberikan batasan yang jelas tentang apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata “sengketa konsumen” dijumpai pada beberapa bagian dari UUPK, yaitu: 1. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang mempunyai menyelesaikan sengketa antara pelaku 87 88
AZ.Nasution, Op.Cit., hlm. 221. Shidarta, Op.Cit., hlm. 135.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
usaha dan konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Pasal 1 Butir UUPK jo. Bab XI UUPK; 2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 ayat (2) dan Pasal UUPK.89 Pemahaman pengertian “sengketa konsumen” dalam kerangka UUPK dapat kita lakukan dengan menggunakan metode penafsiran: Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK, Berikut kutipan batasan keduanya: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” (Pasal 1 Butir 2 UUPK). “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” (Pasal 1 Butir 3 UUPK). Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pasal 1 Butir 11 UUPK mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, yaitu sengketa pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha yang dimaksud adalah: 1. setiap orang atau individu; 2. badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.90 Selengkapnya Pasal 1 Butir 11 berbunyi: Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi, sengketa sesama pelaku usaha adalah bukan sengketa konsumen, karena itu ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPK tidak dapat digunakan untuk menyelesaikannya.
89 90
Yusuf Shofie, 2003, Op.Cit., hlm. 12. Ibid.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekhasan. Karena sejak awal, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum dan konsumen dapat memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan. Hal mana dipertegas oleh Pasal 45 ayat (2) UUPK tentang Penyelesaian Sengketa, yang mengatakan: Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UUPK dihubungkan dengan penjelasannya, maka dapat disimpulkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut: a. Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan kosumen) tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral. Penyelesaian sengketa konsumen melalui cara-cara damai tanpa mengacu pada ketentuan Pasal 1851 sampai Pasal 1864 Kitab melalui Undangundang Hukum Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengertian, syarat-syarat dan kekuatan hukum dan mengikat perdamaian (dading); b. Penyelasaian melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan-ketentuan peradilan umum yang berlaku; c. Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).91 Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari ketiga cara penyelesaian yang ditawarkan oleh Pasal 45 ayat (2)
91
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 224.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
di atas, sesuai keinginan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa sehingga dapat menciptakan hubungan baik antara perusahaan/pelaku usaha dengan konsumen. 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK, yaitu: a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) UUPK maksudnya adalah: 1. Bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum. 2. Sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini. Mengenai gugatan sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama sebagaimana yang diatur huruf b Pasal 46 ayat (1) UUPK, dalam Penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf b UUPK, ditegaskan bahwa: “Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action”. “Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum. Penuntutan penyelesaian sengketa konsumen dengan mengajukan gugatan class action melalui peradilan umum telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang mengatur class action ini di Indonesia. Tentu saja ini merupakan angin segar yang
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
diharapkan akan membawa perubahan terhadap perlindungan konsumen di Indonesia khususnya perlindungan konsumen di bidang ketenagalistrikan. Gugatan class action akan lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan misal terhadap orang banyak.92 Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan apabila: a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.93 Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara baik secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi negara, membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya. Antara lain tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak yang menggugat. Keadaan ini sebenarnya lebih banyak membawa kesulitan bagi konsumen jika berperkara di peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa di pengadilan adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Penyelesaian sengketan melalui pengadilan sangat lambat; Biaya perkara yang mahal; Pengadilan pada umumnya tidak responsif; Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah; Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.94
92
Lihat Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Bagian Menimbang huruf c. 93 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 234.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Di antara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang termasuk banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengharapkan penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka. Usaha-usaha penyelesaian sengketa konsumen secara cepat terhadap gugatan atau tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produser/pelaku usaha telah diatur dalam UUPK yang memberikan kemungkinan setiap konsumen untuk mengajukan penyelesaian sengketanya di luar pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang dalam undang-undang putusannya dinyatakan final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding dan kasasi dalam BPSK tersebut (Pasal 54 ayat (3) UUPK). Namun ketentuan yang menyatakan bahwa putusan BPSK adalah bersifat final dan mengikat ternyata bertentangan dengan yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK yang memberikan kesempatan pada para pihak yang bersengketa di BPSK untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK yang telah diterima kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan Umum Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat 94
Ibid., hlm. 237.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Pasal 47 UUPK menyebutkan: Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau jasa mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara, yang dapat berupa: artibrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference, serta bentuk lainnya.95 Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam Pasal 52 tentang Tugas dan Wewenang BPSK, memberikan 3 (tiga) macam cara penyelesaian sengketa, yaitu: 1. Mediasi, 2. Artibrase, dan 3. Konsiliasi. Secara lengkap tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Pasal 52 UUPK, adalah:
95
Ibid., hlm. 233. Mengutip Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 186.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran perlindungan konsumen;
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, tetapi juga melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha. Adapun keanggotaan dari BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 49 ayat (3) dan (4) UUPK, yaitu: 1. Unsur pemerintah (3-5 orang), 2. Unsur konsumen (3-5 orang), dan 3. Unsur pelaku usaha (3-5 orang) Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah tugas BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara-cara: mediasi, arbitrase dan konsiliasi. 1. Mediasi Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, di mana Majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat. Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga (a third party), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.96 Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya. Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah: karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi bebas yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berati penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional.97 2. Arbitrase Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.98 Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan
96
Yusuf Shofie, Op.Cit., hlm. 23. Ahmadi Miru dan Sutarwan Yodo, Op.Cit., hlm. 257. 98 Ibid., mengutip pengertian Arbitrase berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 97
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak mematuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. Menurut Rachmadi Usman, lembaga arbitrase memiliki kelebihan, antara lain: a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif; c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, di samping jujur dan adil; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.99 Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun akhir-akhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa yang lain, karena: a. Biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transfortasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli; b. Penyelesaian yang lambat, walau banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam waktu 60 – 90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan
99
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), hlm. 4-5.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
pendapat tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang ditetapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit.100 3. Konsiliasi Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak di mana Majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK bersifat pasif. Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalahmasalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibiandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan aribtrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para pihak. UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan setiap sengketa konsumen (di luar pengadilan). UUPK tidak menentukan adanya pemisahan
100
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 250.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator sehingga setiap anggota dapat bertindak baik sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator. Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan BPSK tersebut, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti kata bahwa setiap sengketa diusahakan penyelesaiannya melalui mediasi, jika gagal, penyelesaian ditingkatkan melalui konsiliasi dan jika masih gagal juga barulah penyelesaian melalui cara peradilan arbitrase.
B.
Ketentuan Proses Beracara di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
1. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara teknis peradilan semu, permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Bentuk permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diajukan secara lisan atau tertulis ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melalui Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat oleh konsumen. Dalam hal ini konsumen: 1. Meninggal dunia, 2. Sakit atau lanjut usia (manula), 3. Belum dewasa,
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
4. Orang asing (Warga Negara Asing) maka permohonan diajukan ahli waris atau kuasanya. Isi permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) memuat secara benar dan lengkap.101 1. 2. 3. 4.
Identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri. Nama dan alamat pelaku usaha. Barang atau yang diadukan. Bukti perolehan keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang atau jasa yang diadukan. 5. Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa, foto-foto barang atau kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) ditolak, jika: 1. Tidak memuat persyaratan-persyaratan ini permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) tersebut; 2. Permohonan gugatan buka kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dari segi administratif, permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dicatat Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sesuai format yang disediakan. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diberikan bukti tanda terima. Pasal 26 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dilakukan secara tertulis disertai dengan 101
Pasal 16, SK Memperindang Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
copy permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dalam 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) diterima secara lengkap dan benar telah memenuhi persyaratan. Pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 secara formal dalam surat panggilan tersebut dicantumkan: 1. Hari, tanggal, jam, dan tempat persidangan; 2. Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) (Pasal 26 ayat (2)). Jawaban disampaikan selambat-lambatnya pada persidangan pertama, yaitu pada hari ke-7 (ketujuh) terhitung sejak diterimanya (secara formal) permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Secara keseluruhan ketentuan Pasal 26 tersebut mendorong dan menuntut Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berbuat teliti dan cermat tentang prosedur pemanggilan pada persidangan pertama. Persidangan pertama harus sudah dilakukan pada hari ke-7 (ketujuh) ini terhitung sejak permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) telah dinyatakan lengkap dan benar menurut Pasal 16 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Maksimal Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diberi waktu 3 (tiga) hari kerja untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran (secara formal) permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK). Pada tahap ini,
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
dituntut sikaf aktif Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).102 Jadi maksimal waktu yang dimiliki Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dari mulai pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran (secara formal) permohonan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
(PSK)
sampai
dengan
dilaksanakannya persidangan pertama, yaitu: maksimal 10 (sepuluh) hari kerja, tidak termasuk hari libur nasional. Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempunyai kewajiban menjaga ketertiban jalannya persidangan (Pasal 27 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Terdapat 3 (tiga) tata cara persidangan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai dengan Pasal 36 Surat Keputusan Menperindang Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), yaitu: 1. Persidangan dengan cara konsialisi; 2. Persidangan dengan cara mediasi; 3. Persidangan dengan cara arbitrase. Ketiga tata cara persidangan tersebut kehadiran kuasa (hukum) memang tidak dilarang, baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) maupun SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 dalam Pasal 15 ayat (2) SK Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001
menentukan
sebagai
berikut:
“Permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat juga diajukan oleh ahli waris
102
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
(UUPTUN).
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
atau kuasanya” bahkan, Pasal 5 ayat (5) surat keputusan tersebut juga menegaskan: “Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara tidak tertulis harus dicatat oleh Sekretariat Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)..... dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya.....”. Ketentuan Pasal 5 ayat (5) surat keputusan ini menyangkut permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) secara tertulis, jika yang dimaksudkan disitu bukan kuasa hukum (bukan advokat, pengacara, pengacara publik, penasehat hukum, dan sebutan-sebutan lainnya), melainkan: 1. Suami atau istri konsumen dalam hal ini konsumen sakit atau cacat. 2. Anak konsumen dalam hal konsumen sudah lanjut usia atau keadaan sakit atau cacat. 3. Orang tua atau wali konsumen dalam hal konsumen masih anak-anak atau di bawah umur; atau 4. Tetangga atau orang terdekat konsumen dalam hal konsumen sakit atau cacat, padahal tidak ada keluarga terdekat lainnya. Sehingga konsumen tidak dapat mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dan/atau memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), maka tidak ada salahnya kuasa disitu (bukan kuasa hukum) diperkenankan mengajukan permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) secara tidak tertulis.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
2. Tata Cara Persidangan 2.1. Persidangan dengan cara konsiliasi Insiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam hal ini hanya bersikap pasif dalam persidangan dengan cara konsiliasi sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa, Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Pasal 28 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 BPSK hanya bertugas: a. b. c. d.
Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.103 Menurut
Pasal
29
Surat
Keputusan
Menperindang
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi ada 2 cara, yaitu: Pertama, proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak pasif sebagai konsiliator. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 2.2. Persidangan dengan cara mediasi Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sama halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai pemerantara dan Penyelesaian Sengketa Konsumen
103
Pasal 28, SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 BPSK.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
(PSK) dengan cara mediasi, terlihat dari tugas Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu: a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen. Berdasarkan
Pasal
31
Surat
Keputusan
Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi ada 2 cara, yakni: a. Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak pasif sebagai mediator. b. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 2.3. Persidangan dengan cara arbitrase Pada persidangan dengan cara ini, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Proses pemilihan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Pasal 32 SK Menperindag
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 dengan cara arbitrase dapat ditempuh melalui 2 (dua) tahap. 1. Para pihak memilih arbitor dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); 2. Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jadi, unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi ketua Majelis. Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara arbitrase, dilakukan melalui 2 (dua) tata cara persidangan yaitu melalui persidangan pertama dan persidangan kedua. Pertama, 1. Prinsip-prinsip pada persidangan pertama, yaitu: a. Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) memberikan petunjuk tentang upaya hukum bagi kedua belah pihak (Pasal 33 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001; b. Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 34 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, dalam hal tercapai perdamaian, maka hasilnya wajib dibuatkan penetapan perdamaian oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK)
(Pasal
35
ayat
(3)
SK
Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001);
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
c. Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha memberikan jawaban, dituangkan dengan surat pernyataan, disertai kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 35 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); d. Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak (asas audi et alteram partem) (Pasal 34 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu: 1. Kesempatan yang sama untuk mempelajari berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya (Pasal 33 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001; 2. Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha, jika tidak tercapai perdamaian (Pasal 34 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). 2. Prinsip-prinsip pada persidangan kedua, yaitu: a. Kewajiban Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberikan kesempatan terakhir sampai persidangan kedua disertai kewajiban para pihak membawa alat bukti yang diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada persidangan pertama (Pasal 36 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001); b. Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) hari kerja sejak hari persidangan pertama (Pasal 36 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001);
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
c. Kewajiban Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk memberitahukan persidangan kedua dengan surat panggilan kepada para
pihak
(Pasal
36
ayat
(2)
SK
Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001); d. Pengabulan gugatan konsumen, jika pelaku tidak datang pada persidangan kedua (verstek), sebaliknya gugatan digugurkan, jika konsumen yang tidak datang (Pasal 36 ayat (3) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Di Inggris, model penyelesaian sengketa arbitrase (alternative arbitration schemes) menyangkut sengketa pelaku usaha dan konsumen tidaklah selalu sebagai penyelesaian sengketa konsumen ideal (..it cannot always be said that arbitration is an ideal solution to consumer diputes).104 Kritik tajam dikemukakan bahwa jawaban terhadap pengaduan konsumen (the answer to the consumer complaint) adalah klausula arbitrase dalam perjanjian konsumen. Sesuai dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana dimaksud Pasal 52 huruf I Undang-Undang Pelindungan Konsumen (UUPK) jo Pasal 3 huruf I SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja ini, termasuk 10 (sepuluh) hari kerja yang telah dikemukakan pada butir 3c bab ini. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), isi putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mengikat
104
David Oughton dan Jhon Lowry, Textbook on consumer Law, (London: Great Brittain, Blackstoone Press Ltd, 1997), hlm. 76-77.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
(Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo Pasal 42 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Kata “final” menurut Penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bahwa tdak ada upaya hukum banding dan kasasi atas putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sedangkan ini putusan (amar putusan) dalam hal ini permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dikabulkan, antara lain berupa penjatuhan sanksi administratif maksimal Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 52 huruf m Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)), Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 37 ayat (5) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Dalam hal ternyata hasil Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dicapai melalui arbitrase, maka hasilnya dituangkan dalam bentuk putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ditandatangani Ketua dan Anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), di mana di dalamnya diperkenankan penjatuhan sanksi administratif (Pasal 37 ayat (4) dan ayat (5) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). Menurut 39 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 proses dikeluarkannya putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) hanya dilakukan
dengan
tahapan,
yaitu
(Pasal
39
SK
Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001):
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
1. Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat. 2. Maksimal jika hal itu telah diusahakan (dengan sungguh-sungguh), ternyata tidak mencapai mufakat, maka putusan dilakukan dengan cara voting/suara terbanyak. Amar putusan BPSK menurut Pasal 40 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 hanya terbatas pada 3 (tiga) alternatif, yaitu: 1. Perdamaian, 2. Gugatan ditolak, atau 3. Gugatan dikabulkan. Jika gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa sebagai berikut: 1. Ganti rugi atas segala kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa; 2. Pengembalian uang; 3. Pergantian barang dan/jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau 4. Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pasal 12 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001; 5. Sanksi administratif beruba penetapan ganti rugi maksimum Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) (Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 52 huruf m Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo Pasal 3 huruf I, Pasal 14, dan Pasal 40 ayat (3) butir b SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak mengatur dalam waktu berapa lama putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diberitahukan kepada para pihak. (Bila disepakati) tidak diaturnya hal itu karena menyangkut salah satu “ketentuan teknis lebih lanjut tentang pelaksanaan tugas majelis”, maka Pasal 54 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)105
memberi
mengeluarkan
Surat
Menteri
Perindustrian
Keputusan
Menteri.
dan SK
Perdagangan
kewenangan
Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 merupakan salah satu Surat Keputusan Menteri yang dimaksud pada Pasal 54 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 41 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001,106 menentukan bahwa putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diberitahukan secara tertulis kepada alamat para pihak dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan, namun ternyata Pasal 13 ayat (1) Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan lain, yaitu: pemberitahuan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dilakukan secara tertulis dan disampaikan ke alamat pelaku usaha dengan bukti penerimaan atau pengiriman, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak putusan ditetapkan. Hal itu tentu menimbulkan masalah hukum dalam praktek; tidak jelas mana yang dijadikan pegangan dalam pemberitahuan putusan Pasal 41 ayat (1) atau Pasal Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) berbunyi: “Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas diatur dalam surat Keputusan Menteri”. 106 Yusuf Shopie, Op.Cit, hlm. 47. 105
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
13 ayat (1) SK Menperindag tersebut. Apalagi dijadikan tolak ukur hari dan tanggal penandatanganan penerimaan putusan sebagai pegangan untuk menganggap pelaku usaha secara resmi telah menerima pemberitahuan putusan,107 akan menimbulkan kesulitan dalam praktek, yaitu: jika pelaku usaha atau kuasa hukumnya tidak mau menandatangani penerimaan (pemberitahuan) putusan apakah dengan sikap pelaku usaha tersebut membawa konsekuensi putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) telah diberitahukan secara patut atau tidak patut. Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) itu dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dimaksud. Tidak terdapat penjelasan kata “menerima putusan” disitu berarti menyetujui atau sependapat dengan isi (diktum) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Waktu 7 (tujuh) hari kerja di situ lebih terkait dengan pelaksanaan (eksekusi) putusan secara sukarela. 2.4. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian Pasal 21 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, alat-alat bukti yang digunakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu: 1). Barang dan/atau jasa; 2). Keterangan para pihak; 3). Keterangan saksi dan/atau saksi ahli; 4). Surat dan/atau dokumen; 5). Bukti-bukti lain yang mendukung. 107
Pasal 13 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Sistem pembuktian yang digunakan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud Pasal 19, Pasal 22 Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu: sistem pembuktian terbalik sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
jo
Pasal
22
SK
Menperindag
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001. Pendekatan dengan menggunakan sistem Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka sistem pembuktian yang digunakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) juga sistem pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik dalam sistem hukum di Indonesia tidaklah sama sekali baru. Subekti mengemukakan bahwa persangkaan undang-undang:108 Pada hakekatnya merupakan pembalikan beban pembuktian. Ia mencontohkan adanya 3 (tiga) kwitansi berturut-turut (terakhir) membebaskan debitur untuk membuktikan semua pembayaran angsuran/cicilan terdahulu, sebaliknya membebankan kewajiban kepada kreditur untuk menerima semua pembayaran tersebut.109 Contoh yang bersifat kasuistik yang diketengahkan tersebut, dapat menjadi beban pertimbangan bagi Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menyelesaikan Sengketa Konsumen yang diajukan kepadanya. Di dalam melakukan pemeriksaan dan penelitian sengketa konsumen (Pasal 52 butir f jo Pasal 3 butir f, SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001), terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), berdasarkan pasal 10 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001; yaitu:
108
Alat bukti dalam perkara perdata menurut Pasal 164 HIR/Herziene Indonesisch Reglement (Pasal 283 RBg/Reglement Buitengewesten), yaitu: (a) bukti tulisan; (b) bukti dengan saksi-saksi; (c) persangkaan-persangkaan; (d) pengakuan; (e) sumpah. 109 Subekti, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Bina Cipta, 1982), hlm. 109.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
a. Penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan alat bukti lain yang diajukan baik oleh konsumen maupun pelaku usaha; b. Pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi, dan saksi ahli atau terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kedua hal tersebut diperhatikan oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen (Pasal 11 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001). 2.5.Contoh-contoh kasus produk cacat yang ditangani di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan Kasus ditemukannya produk cacat berupa penjualan barang yang berbentuk Roti Kacang/Tausan Besar di Buana Plaza Aksara, Medan. Kejadian itu ditemukan pada tanggal 25 Maret 2009, di mana Pihak I (Pertama/Konsumen) dalam hal ini, Priadi Siahaan, Umur 27 Tahun, Pekerjaan pegawai swasta, Bertempat tinggal di Jl. Taduan Gg. Kabu-kabu No. 3 Medan, mengalami sakit perut dan mual-mual setelah mengkonsumsi roti kacang yang bermerek tausan besar tersebut dan menyebabkan Pihak I (Pertama/Konsumen) tersebut mengalami kerugian materi maupun fisik yang menyebabkan Pihak I (Pertama/Konsumen) itu tidak dapat beraktivitas/tidak kerja selama 2 (dua) hari. Ternyata setelah dilihat lebih lanjut terhadap roti tersebut, terdapat jamur. Padahal roti tersebut belum mengalami masa kadaluwarsa (expired) dan masih bisa dikonsumsi sampai tanggal 30 Mei 2009. Atas kejadian ini, Pihak I
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
(Pertama/Konsumen) tersebut mengadukan kejadian tersebut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan dengan Formulir Pengaduan Konsumen Nomor 12/P3K/III/2009. Atas kejadian tersebut Pihak I (Pertama/Konsumen) mengajukan jenis tuntutan ganti rugi yang diinginkan kepada Pihak II (Kedua/Pelaku Usaha) dalam hal ini Arie Dharmansyah, Jabatan Pimpinan PT. RAMAYANA LESTARI SENTOSA Tbk, Beralamat di Gedung Buana Plaza Jl. Aksara Medan. antara lain: Penggantian barang/jasa yang sejenis atau setara lainnya, Perawatan kesehatan, Teguran kepada pelaku usaha, Moril, dll. Atas pengajuan tuntutan tersebut Pihak II (Kedua/Pelaku Usaha) mengambil langkah-langkah untuk bersepakat mengadakan perdamaian dengan Pihak I (Pertama/Konsumen) pada tanggal 16 April 2009, dengan perincian sebagai berikut: 1) Pihak
I (Konsumen)
bersedia
berdamai
dalam
pengaduannya
No.
12/Pen/BPSK-MDN/2009 yang didaftarkan oleh Pihak I tertanggal 31 Maret 2009 pada Sekretariat BPSK Kota Medan Jalan Jend. A. Haris Nasution No. 17 Medan, prihal penjualan barang yang berbentuk Roti Kacang/Tausan Besar yang dilakukan oleh pihak Pelaku Usaha. 2) Bahwa, pihak II dalam hal ini sebagai Pelaku Usaha bersedia: Memberikan kompensasi atas tuntutan konsumen yaitu mengganti biaya pembelian roti, biaya perobatan dan biaya pengganti tidak masuk kerja selama 2 hari sehingga berjumlah Rp. 471.000 (empat ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
3.
Ketentuan Proses Beracara di Peradilan Perdata Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen dengan menggunakan instrumen hukum acara perdata, dilakukan oleh seorang konsumen atau lebih atau ahli warisnya, betapapun lemahnya instrumen hukum itu ditinjau dari segi perlindungan hukum terhadap konsumen. Masuknya sengketa konsumen ke Pengadilan Negeri bukanlah karena kegiatan hakim, melainkan salah satu pihak atau pihak yang bersengketa, dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrecthmatige daad) terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat konsumen atau mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dengan merujuk pada pelanggaran konsumen atas normanorma Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), kecuali menyangkut pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), misal: hak untuk menerima pembayaran (payment) dari konsumen. Hingga kini hukum acara perdata Indonesia (Het Herziene Indonesisch) tidak lagi sepenuhnya menampung perkembangan tuntutan keadilan dari masyarakat pencari keadilan. Menjelang reformasi yang sudah mulai tampak dukungan dari komponen-komponen berbangsa dan bernegara di Indonesia di tahun 1997, sejumlah kasus ketidakadilan yang dialami si lemah, telah diajukan di badan peradilan, dengan
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
menerobos prinsip-prinsip hukum perdata konvensional, yang sangat dipegang teguh para ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia. Di kedepannya isu perlindungan konsumen pasca reformasi membawa perbaikan berupa reformasi penyelesaian sengketa yang selama ini menghambat akses konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen (right to effective consumer redress). Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa yang sama sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) dan gugatan/hak gugat Ornop/LSM. (Legal Standing) (Pasal 46 ayat (1) butir b dan c Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kadang-kadang keduanya masih dirancukan pemahamannya kedua jenis gugatan ini tidak sama. Secara prinsipil berbeda satu dengan yang lainnya, ada kesan pembentukan undang-undang menyerahkan pemahaman perbedaan prinsipil tersebut pada dinamika hukum. Artinya, untuk kesekian kalinya, hakim dituntut untuk secara aktif membentuk hukum. Untuk pelaksanaan kedua jenis gugatan tersebut tidak harus menunggu keluarnya Peraturan Pemerintah (PP).110 Apalagi Peraturan Pemerintah (PP) yang dmaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) yang materinya memuat ketentuan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit menyangkut gugatan yang diajukan pemerintah terhadap pelaku usaha, Pasal 46 ayat (1) huruf d dan ayat (3). Penggunaan instrumen hukum secara perdata setelah berlakunya UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengetengahkan sistem beban pembuktian terbalik. Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) berbunyi 110
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tanggal 20 April 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
sebagai berikut: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Dengan pendekatan sistemik, beban pembuktian unsur kesalahan, dengan menggunakan prosedur: 1. Gugatan perdata konvensional; 2. Gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action); 3. Gugatan/hak gugat ornop/LSM (Legal Standing); 4. Gugatan oleh Pemerintah dan/atau instansi terkait. Sebagaimana dimaksud Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Konsekuensinya, jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak hanya adanya unsur kesalahan, maka gugatan ganti rugi penggugat akan dikabulkan dalam hal memiliki alasan yang sah menurut hukum. Dari sudut praktek, pada akhirnya penggugat konsumen atau Ornop/NGO tetap harus membuktikan unsur kerugian. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menentukan: “Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang, dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Kata “dapat” di situ menunjukan masih ada bentuk-bentuk ganti rugi lainnya yang dapat diajukan konsumen kepada pelaku usaha seperti keuntungan yang dapat diperoleh jika terjadi kecelakaan; kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita; dan sebagainya. Pada bagian lain Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi maksimal Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) melalui penjatuhan sanksi administratif yang dijatuhkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 52 butir m jo. Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)). Menurut Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ganti rugi terdiri dari 2 (dua) faktor, yaitu: 1. Kerugian yang nyata-nyata diderita, dan 2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh. Dinamika hukum itu sendiri tidak jarang menunjukan kekacauan pemahaman gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) dan gugatan/hak gugat Ornop/LSM (Legal Standing). Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak merinci secara jelas siapa saja yang berhak untuk mengajukan gugatan class action, tetapi disyaratkan adalah berbentuk badan hukum atau yayasan yang mempunyai tujuan untuk melindungi kosumen, dalam hal ini PBHI sebagai lembaga yang mempunyai tujuan mengadakan pembelaan hukum terhadap masyarakat telah memenuhi syarat PBHI pembelaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) saja, maka kedudukan PBHI mewakili masyarakat adalah sah, oleh karena itu eksepsi ditolak.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
3.1 Class Action (Gugatan Kelompok) Ketentuan gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action)111 diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang Pelindungan Konsumen (UUPK). Pasal 46 ayat (1) menyatakan “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan, b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu terbentuknya badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya, d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Sedangkan Pasal 46 ayat (2) menentukan bahwa “Gugatan yang diajukan sekelompok konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas diajukan kepada peradilan umum”. Pada penjelasannya dinyatakan bahwa gugatan kelompok (class action) diakui undang-undang ini. Lebih lanjut dikemukakan dalam penjelasan itu bahwa gugatan ini harus diajukan konsumen yang 111
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), (Jakarta: Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan/Indonesia Center For Environmental Law/ICEL, 1997), hlm. 10.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
benar-benar dirugikan dan dapat dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. Gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) dimungkinkan bagi sejumlah konsumen yang memiliki keluhan-keluhan serupa (similiar complaints) pada suatu saat, daripada menempuh proses/acara yang terpisah satu sama lainnya. Satu atau 2 (dua) atau lebih konsumen yang memiliki keluhan-keluhan serupa (similiar compalints) pada suatu saat, daripada menempuh proses/acara yang terpisah satu sama lainnya. Satu atau 2 (dua) atau lebih konsumen mewakili konsumenkonsumen senasib lainnya menggugat pelaku usaha yang diduga melanggar instrumen hukum perdata (civil law). Gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) dapat juga menarik publisitas yang berguna (usefull publicity) karena arti pentingnya dan keterlibatan sejumlah orang (the significance and number of people involved).
Menurut
Collin
Scott
dan
Julia
Black,112
melalui
gugatan
perwakilan/gugatan kelompok (class action) terdapat efek penjera (detered effeck) bagi pelaku usaha, di mana mereka mendapati praktek-praktek bisnis mereka tidak lagi dibiarkan. Pelaku usaha lainnya bisa terjadi sangat tidak sensitif terhadap proses ligitasi tersebut. Bila Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menggunakan istilah “gugatan kelompok” untuk class action. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) menggunakan istilah “gugatan
112
Colin Scott dan Julia Black, Cranston’s Consumers and The Law, Edisi Ketiga, (London: Butterworths, 2000), hlm. 120-121.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
perwakilan”. Meskipun gugatan class action diajukan di peradilan umum menurut kedua undang-undang tersebut, ternyata persyaratan untuk mengajukannya gugatan ini
terdapat
perbedaan.
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
menentukan salah satu persyaratan adalah bukti transaksi antara konsumen dan pelaku usaha. Sedangkan pada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) ditentukan bahwa disyaratkan adanya kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan syarat kelompok kecil masyarakat yang bertindak mewakili masyarakat terdapat kesan pembentuk undang-undang menyerahkan kemungkinan munculnya permasalahan tentang syarat-syarat gugatan class action pada praktek badan peradilan (yurisprudensi). 3.2 Legal Standing (Hak Gugatan Organisasi Non Pemerintah) Terminologi “legal standing” terkait dengan konsep locus stand/prinsip persona stand in judicio (the concept of locus stand), yaitu: seseorang yang mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan kualitas sebagai penggugat. Kata seseorang di sini diperluas pada badan hukum. Badan hukum (rechtperson; legal entities; corporation) sebagai subjek penggugat ataupun tergugat bukanlah hal yang sama sekali baru. Seseorang dikatakan memiliki kepentingan yang memadai (sufficient interest; point d’interet; point d’action) atau locus stand berkaitan dengan suatu pokok masalah/perkara (subject matter), ketika hak-hak perseorangannya (personal right) dilanggar. Pengadilan telah menunjukan fleksibilitas (flexibility) yang begitu besar
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
terhadap konsep tersebut.113 Hal baru yang sebenarnya menyangkut penegakan hukum, yaitu: ada tidaknya kepentingan (point d’interet; point d’action). Doktrin ini sudah sering dan dirujuk dan diikuti dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Tidak berlebihan bila dikatakan doktrin ini sudah menjadi yurisprudensi tetap. Namun, tanpa kepentingan (langsung) pada objek gugatan, badan hukum (seperti: Yayasan) diperkenankan bertindak sebagai penggugat jika telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Menurut Pasal 46 ayat (1) butir c dan ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat diajukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di peradilan umum. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) itu harus mempunyai persyaratan, yaitu: a. Berbentuk badan hukum atau yayasan; b. Dalam Anggaran Dasarnya disebutkan secara tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk perlindungan konsumen; c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasar. Subjek penggugat yaitu: Organisasi non-pemerintah (Ornop) (non goverment organization/NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pelindungan konsumen. Konsumen bukanlah subjek penggugat dalam prosedur gugatan legal standing ini. Sedangkan subjek tergugat yaitu: Pelaku Usaha.
113
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ketiga, (Yogyakarta: Liberti, 1998), hlm. 34.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diusulkan oleh Dr. Sarino Mangunpranoto pada pertemuan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang bergerak di bidang pembangunan pedesaan di Unggaran pada tahun 1978. Semula ia mengusulkan nama Lembaga Pembinaan Swasembada Masyarakat, kemudian berubah menjadi Lembaga Pengembangan Masyarakat, dan akhirnya menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Akhirnya, disepakati untuk mengganti sebutan Organisasi non-Pemerintah (Ornop)/Non-Governmental Organizations (NGO) dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), meskipun dilingkungan
pergaulan
internasional
sebutan
Organisasi
non-Pemerintah
(Ornop)/Non-governmental Organization (NGO) masih dipakai dan lebih dipahami. Organisasi non-pemerintah (Ornop) bisa berbadan hukum berbentuk yayasan, misalnya: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Menanggulangi Masalah Merokok, Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, dan sebagainya. Ada pula Organisasi non-pemerintah (Ornop) yang tidak berbadan hukum, misalnya: kelompok-kelompok pecinta alam atau kelompok-kelompok konsumen. UUPK tidak menggunakan istilah “Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat” (LPKSM). 4. Upaya Hukum Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo Pasal 42 ayat (1) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mengikat. Pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditegaskan bahwa kata bersifat final itu berarti tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun, ternyata Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengenai pengajuan keberatan kepada Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kata “dapat” pada Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ternyata ditafsirkan sebagai “wajib” pada Pasal 41 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.114 Menurut Pasal 41 ayat (2) SK Menperindag ini, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mestinya kata “dapat” di situ tidak dapat di tingkatkan menjadi “wajib”. Substansi Pasal 41 ayat (2) SK Menperindag ini melampaui ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Padahal,
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
sendiri
sudah
menentukan bahwa tidak diajukannya keberatan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang ditetapkan undang-undang, membawa pelaku usaha dianggap menerima
Pasal 41 ayat (2) SK Menperindag Nomor 350/MPP/12/2001 menentukan “dalam waktu 14 hari (empat belas hari) kerja terhitung sejak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan pelaku usaha wajib menyatakan menerima atau menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 114
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 56 ayat (3) UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK). Atas pengajuan keberatan dimaksud, Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari115 sejak diterima keberatan (Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari (Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan (vonis) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi (Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dengan dimungkinkannya upaya hukum banding dan selanjutnya kasasi, maka sebenarnya pembentuk undang-undang sebenarnya bersikap tidak konsisten. Penjelasan Pasal 54 ayat (3) tidak konsisten dengan rumusan-rumusan Pasal 58 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), kendati demikian keadaan ini tidak boleh dijadikan alasan menunda pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pengadilan/hakim harus menunjuk sikap proaktifnya sebagai pembentuk hukum melalui metode penemuan hukum (ajaran interprestasi
Kata “21 (dua puluh satu) hari” pada pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), termasuk hari sabtu, minggu dan hari libur nasional. Jadi, tidak terbatas pada hari kerja saja. 115
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
hermeneutic yuridis; metode yuridis)116 terhadap masalah ini, mestinya penjelasan suatu undang-undang tidak menimbulkan masalah. Namun jika menimbulkan masalah, maka penyelesaiannya dikembalikan pada rumusan pasal-pasalnya, bukan pada penjelasan undang-undang. Pasal 4 dan 2 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menegaskan bahwa penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bukan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang. Untuk mengajukan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) ke Pengadilan Negeri tidak harus berproses terlebih dahulu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penegasan pada SK Menperindag ini dapat membantu memberikan pemahaman soal upaya hukum, keberatan, banding dan kasasi pada sengketa konsumen yang diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) meskipun ditinjau dari hierarki (tata urutan) Perundang-undangan,117 SK Menperindag itu tidak memiliki kewenangan untuk memberikan penjelasan materi undang-undang kecuali dalam batas-batas kewenangan yang diberikan undang-undang. Dalam hal pelaku usaha menerima (menyetujui atau sependapat) diktum (amar, isi) putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka ia wajib melaksanakan 116
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 37-38, hlm. 48 dan 55. 117 Tata urutan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: (1) UUD 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; (3) Undang-undang; (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah. Lihat: Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Ketetapan (TAP) tersebut, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, dan/atau yang sejenisnya tidak termasuk di dalamnya.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
putusan tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari karena terhitung sejak menyatakan menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 41 ayat (4) SK Menperindag 350/MPP/Kep/12/2001). Jika pelaku usaha tidak menggunakan upaya kebertan yang telah dijelaskan di atas (Upaya Hukum), maka putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menjadi berkekuatan tetap. Tidak dilaksanakannya putusan tersebut. Apalagi setelah diajukan fiat eksekusi berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), merupakan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
C.
Penyelesaian Sengketa Antara Produsen dengan Konsumen Melalui Mediasi Mediasi adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bertikai
yang tidak mampu menyelesaikan konflik akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses adjudikasi di mana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap faktafakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, dalam mediasi, pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dalam menerapkan nilai-nilainya terhadap faktafakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai ini dapat meliputi: hukum, rasa keadilan, kepercayaan agama, moral dan masalah-masalah etik. Sifat pembeda dari mediasi adalah bahwa pihak-pihak yang bertikai selain sebagai pihak ketiga yang bersifat netral, akan memilih norma-norma yang akan mempengaruhi hasil pertikaian mereka.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Penggunaan mediasi itu bagian dari alternative dispute resolution (ADR) atau disebut juga dengan penyelesaian sengketa alternatif dan penerpa ADR itu telah berkembang lama. Misalnya, Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi (chotei) sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk undang-undang konsiliasi Perdata atau ”Minji Chotei Ho” pada tahun 1951.118 Di samping itu, baik Cina dan Jepang sejak lama mengenal mediasi juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina yang tidak suka kepada Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Di sini sengketa-sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Untuk periode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist mengenai bagaimana mengatur masyarakat. Di satu pihak kaum Confucius menekankan pentingnya ditegakkan prinsip-prinsi berdasarkan moral (LI). Sedangkan kaum Legalist memandang perlunya aturan-aturan hukum tertulis yang pasti (FA).119 Mediasi secara umum dipahami sebagai proses intervensi partisipasi yang berorientasi tugas, terstruktur dan jangka pendek. Pihak-pihak yang bertikai akan bekerjasama dengan pihak ketiga yang bersifat netral, yakni mediator untuk mencapai perjanjian yang disepakati bersama. Tidak seperti proses ajidikasi, di mana interventor pihak ketiga akan melahirkan keputusan, dan tidak ada kompulsi dalam
118
Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988),
hlm. 492. 119
Lihat Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000), hlm. 105. Lihat juga. Derk Bodle dan Clarence Morris, Law In Imperial China, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973), hlm. 23.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
mediasi, mediator akan membantu pihak dalam mencapai musyawarah. Pihak-pihak itu sendirilah yang akan membentuk perjanjiannya. Proses mediasi dipandang sebagai proses yang lebih sederhana dari segi prosedur dan relatif lebih murah dibandingkan dengan pemecahan masalah adversarial. Proses mediasi ini akan memungkinkan pihak-pihak untuk menentukan apa yang memuaskan bagi mereka dengan mengarahkan masalah-masalah sempit dalam konflik untuk berfokus kepada situasi dan kondisi mendasar yang turut memberikan kontribusi terhadap konflik. Apa yang kelihatan seperti kasus harassment mungkin dapat berupa kisah keributan yang berlarut sampai bertahuntahun diantara pihak-pihak. Dalam proses mediasi, pihak-pihak yang bertikai akan mampu mengatasi keributan yang berkepanjangan ini dan mengatasi bahaya dengan cara-cara yang tidak mungkin dalam proses adversarial. Mediator dapat membantu pihak-pihak dalam mengungkapkan agenda tersembunyi dan ungkapan emosional yang tidak terungkap melalui ketentuan pembuktian dan prosedur. Dalam proses mediasi, pihak ketiga yang bersifat netral akan membantu mereka mencapai perjanjian yang adil. Inti aktifitas dalam proses ini adalah pertukaran informasi dan bargaining dan aktifitas ini dapat dilaksanakan dalam bebagai pertemuan bersama, dalam acara-acara pribadi yang dikenal sebagai caucuses atau keduanya. Proses mediasi biasanya dimulai dengan semua pihak yang bertikai yang memberitahukan kisah mereka dalam negosiasi langsung. Setelah pembahasan awal tentang setiap pandangan pribadi terhadap situasinya dan
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
bergantung kepada masalah yang dibahas, mediator dapat mengklasifikasikannya kedalam session caucus pribadi. Pekerjaan mediator dapat dijelaskan secara umum sebagai berikut: 1. Menyelidiki kasus. 2. Menjelaskan proses kepada pihak-pihak. 3. Membantu pihak-pihak dengan pertukaran dan bargaining informasi. 4. Membantu pihak-pihak dalam mendefinisikan dan mendraft perjanjian. Oleh karena itu, mediasi dapat membantu memecahkan konflik sebelum dilakukan litigasi.120
120
Bismar Nasution, Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi, Makalah, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hlm. 8-9.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: 1. Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada umumnya jika ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. 2. Proses penyelesaian sengketa perlindungan konsumen khususnya terhadap produk cacat dapat dilakukan semua konsumen baik perorangan maupun secara kelompok (class action) atau bahkan bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui gugatan legal standing. Mekanisme penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh melalui beberapa cara, diantaranya: Konsiliasi, Mediasi, maupun Arbitrase. Di mana penyelesaian sengketa antara konsumen dan produsen, undang-undang telah menentukan suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) yang mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
B.
Saran 1. Pemerintah
harus
menegaskan
dalam
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk cacat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memakai atau menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagai dasar bentuk tanggung jawab produsen terutama terhadap penyelesaian sengketa terhadap produk cacat. Dicantumkannya klausul ini secara tegas akan memudahkan aparat penegak hukum dalam menjalankan undang-undang ini secara maksimal. 2. Agar BPSK membuat box (kotak) pengaduan dari konsumen. Box tersebut nantinya akan ditempatkan di setiap pasar modern (di plaza-plaza) yang ada di Kota Medan. Tujuannya untuk memudahkan para konsumen membuat pengaduan yang dialaminya pengaduan tersebut untuk segera ditindak lanjuti sehingga masyarakat mengetahui fungsi dari BPSK.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku Al Rasjid, Harun, Hubungan antara Presiden dan Majelis Permusyawaratan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996). Badrulzaman, Mariam Darus, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Binacipta, 1986). Derk Bodle dan Clarence Morris, Law In Imperial China, (Phiadelphia: University of Pennsylvania Press, 1973). Fukuzawa, Hiroaki, Product Liability Comparative Study of US and Japanese Aproach, Indepent Research, (Seatle: University of Wasington, 1992). Harkrisnowo, Harkristuti, Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Kerjasama). Harahap, M.Yahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997). Hideo, Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988). Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1996. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994). Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Cetakan Pertama), (Yogyakarta: Liberty, 1996). --------------, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: 1988). Micklitz, Hans W, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Mata Para Pakar Jerman, Warta Konsumen Tahun XXIV No. 12 Desember.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004). Nasution, AZ, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). ----------------, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002). Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, di dalam Husni Syawali (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000). Oughton, David dan John Lowry, Texbook on Consumer Law, (London: Greath Britain, Blackstoone Press Ltd, 1977). O’Connor, Natalie, Consumer Protection Under the Trade Practices Act: A Time For Change di dalam Inosentius Samsul (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen I, (Jakarta: Pascasarjana FH-UI, 2001). Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni 1986). Rajagukguk, Erman, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000). Samsul,
Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2004).
Santosa, Mas Achmad, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Centre For Environmental Law (ICEL), 1997). Saefullah, H.E, Tanggung Jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas. Di dalam Husni Syawali (Ed), Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000). Scott, Collin dan Julia Black, Cranston’s Consumers and The Law, (Edisi Ketiga), (London: Butterworths, 2000). Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, 2004).
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Shofie, Yusuf, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002). -----------------, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori dan Praktek Penegakan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003). Sidabalok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006). Subekti, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Badan Pembinaan Nasional & Bina Cipta, 1982). Suratman, Ema, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di Bidang Farmasi terhadap Konsumen, (BPHN-Departemen Kehakiman RI, 1990-1991). Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniayti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000). Tahir, Toto, Kemungkinan Gugatan Action dalam Upaya Perlindungan Hukum pada Era Perdagangan Bebas, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000). Toar, Agnes M. Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, (Bandung: Alumni, 1988). Usman, Rachmadi, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Cetakan Pertama, (Jakarta: Djambatan, 2000). Wiradipradja, Endang Saefullah, Tanggung jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung: Eresco, 1991).
B. Undang-undang Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 134/Pdt/1997PN. Jaksel. Tanggal 15 Januari 1998.
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008
Putusan sela Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung tanggal 23 Mei 2002 Nomor 38/Pdt/G/2002/PN Bdg. Pasal 13 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 BPSK. C. Makalah Nasution, Bismar, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Bank dan Nasabah, Makalah, Medan: Universitas Sumatera Utara. ----------------------, Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi, Makalah, Medan: Universitas Sumatera Utara. Fakih, Mansour, Strategi Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Era Mendatang, Makalah untuk bahan fit and proper test di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Santosa, Mas Achmad, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Action), (Jakarta: Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan/Indonesia Center For Environmental Law/ICEL, 1997). Samsul, Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana, 2004)
D. Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).
M. Masril : Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggungjawab Produsen, 2009 USU Repository © 2008