STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PERMOHONAN KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT HUKUM KEPAILITAN
TESIS
Oleh
AGUSSALIM NASUTION 067005027 / HK
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
NAMA MAHASISWA
:
AGUSSALIM NASUTION
NOMOR POKOK
:
067005027
PROGRAM STUDI
:
MAGISTER ILMU HUKUM
JUDUL TESIS
:
STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PERMOHONAN KEPAILITAN OLEH KEJAKSAAN MENURUT HUKUM KEPAILITAN
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH Ketua
Dr. Sunarmi, SH.M.Hum Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH NIP. 131 570 455
Dr. T. Keizerina Devi A, SH.CN, M.Hum Anggota
Direktur
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, MSc. NIP. 130 535 852
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997, yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya nilai tukar rupiah dan setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) negatif terhadap perekonomian nasional, yaitu Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif), Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan) dan Negative Equity (Defisit Modal). Kondisi ini juga mengakibatkan melemahnya kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya terhadap kreditor, bahkan ada yang sama sekali dalam kondisi yang tidak mampu membayar lagi. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki berbagai peraturan yang ada, yakni dengan membuat Perppu NO. 1 Tahun 1998 yang kemudian menjadi UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tugas dan wewenang kejaksaan sebenarnya sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Bahwa tugas-tugas kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu pertama, tugas yudisial, dan kedua, tugas nonyudisial. Meskipun demikian tugas yudisial kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara pemerintah atau negara. Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 diatur bahwa kejaksaan sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan adalah demi kepentingan umum. Pada umumnya, tidak ada peraturan yang standar dan baku mengenai kepentingan umum yang menjadi wewenang kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan. Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan batasan singkat mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan, debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas, debitor tidak beritikad baik
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo dan dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Maka untuk mengetahui mengenai standar kepentingan umum yang menjadi pedoman bagi lembaga kejaksaan dalam mengajukan permohonan kepailitan, penulis mengadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian yuiridis normative terhadap Putusan Pengadilan Niaga Medan atas perkara No. : 02/Pailit/2005/PNNiaga/Medan, yang merupakan perkara pailit yang pertama yang diajukan oleh lembaga kejaksaan DI Indonesia. Dalam perkara tersebut Jaksa selaku Pengacara Negara demi kepentingan umum mengajukan kepailitan terhadap PT. Aneka Surya Agung (420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung) yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, utang PT. Aneka Surya Agung yang telah jatuh tempo dan belum dibayar kepada beberapa BUMN, seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK. Dari hasil penelitian penulis, nyatalah bahwa Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam memiliki kompetensi untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada PT. Aneka Surya Agung, karena walaupun undang-undang belum merumuskan secara tegas mengenai pengertian kepentingan umum, akan tetapi kepentingan umum yang menjadi dasar pengajuan permohonan kepailitan oleh kejaksaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 telah dipenuhi, yaitu kreditor yang tidak mampu membayar utangutangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada masyarakat luas (dalam hal ini 420 orang karyawan eks PT. Aneka Surya Agung yang belum dibayar gajinya sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan kepada beberapa BUMN seperti seperti PT. Telkom, PT. PLN, PT.Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT. JAMSOSTEK, dimana dalam hal ini tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Saran yang dapat diajukan penulis adalah Pemerintah hendaknya lebih memperjelas maksud dan pengertian “kepentingan umum” yang menjadi dasar bagi lembaga kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. Karena rumusan yang jelas dan baku tentang “kepentingan umum” di dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan penafsiran dan interpretasi yang berbeda nantinya tentang “kepentingan umum”, selain itu masyarakat juga harus lebih berperan serta dengan aktif untuk melaporkan berbagai kasus kepailitan yang terjadi sehingga jaksa sebagai pihak yang berkompeten mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum dapat menjalankan peran, fungsi dan kedudukannya dengan lebih baik berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Permohonan Penundaan Pembayaran Utang.
Kata kunci : Kepentingan Umum, Lembaga Kejaksaan, Kepailitan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
ABSTRACT The monetary fluctuation which overwhelmed in all over Asis in the middle of 1997 also attacked and broke down the economic pillar of Indonesia. Marked with the fallof the price exchange of Rupiah over us Dollar on August 14th 1997, followed with the change of the system into free-floating system, the fall of the price exchange of Rupiah and at least has caused 3 (three) negatives on the national economy, which are Negative Balance of Payments, Negative Spread and Negative Equity. This condition has also made the company frailed it’s ability to fulfill it’s obligation over the creditors, in fact there were ssome of them which were in the condition of not being able to pay at all. This condition has made the government issued the new policy to fix the rules which exist at present, by providing govement regulation to replace law (Perppu) No.1 1998which later became the institution (UU) No. 37 2004 which consist about the Palitness and the delay of obligation and Debt Payment. The duty and the Authority of the District Attorney office is actually extensively reach the criminal side of law, the civil and the National Administration Court of Justice. That the duties of the District Attorney office can be devided into two fields of work, the first one is the judicial duty and the second one is the nonjudicial. Even so the judicial duty of the District Attorney office is actually in creased based decree (UU) No. 5 1991 Jo UU (institution) No. 16 2004, the District Attorney office has the authority as the government or state prosecutor. Decree (UU) No. 5 1991 section 27 sub section (2) declare that “ in the civil court of jaustice and National Administration, the District Authorney office with the special authority has the ability to take action inside and outside the court for and in the name of the state or government”. Therefore, based on the office regulations, as being regulated in the decree (UU) No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 said the District Attorney office as one that can file for the bankruptcy, can use it’s rights to file for the bankruptcy against the creditor who cannot afford to pay its debt which is fail due and can be changed, under the conditions of which must be fulfilled which there is no other which is given to the District of Authorney office is for the sake of public interests. Generally, there is no standard or fullfiedged regulation about the public interest which appears to to be the authority of the District Authorney office in filing for the petition of bankruptcy in the description of the decree (UU) No.37 2004 section (2) sub-section (2), has been given the short limitation about the publict interest. “Public Interest here means the interests of the Nation and the state and/or the public interests, such as the escape debitor, the debitor who obscure their properties, the debitor who has debt over the state owned corporation and other corporations which gathers the fund from the society, the debitor who has debt which comes from the fund gathereing from the society, the debitor who has no good willing or not being co-operative in dealing with the debt which is fail due and in other interest which is considered to be the public interestaccording to the Dictrict Attorney office.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Therefore, in order to find out about the standard public interest which is considered to be the orientation for the District Auttorney office in filing the petition of bankruptcy, the writer conducted the reseach by using the normative judicial reseach method on the decision of court of commerse under the case No : 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan, which dealed with the case of bankrupt over PT. Aneka Surya Agung which has reach the time limitation and has not been payed to several state-owned, corporation, such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK. From the writer’s result of reseach, it is true that the Lubuk Pakam District Attorney office has the competence to file for the petition of bankruptcy over PT. Aneka Surya Agung, because eventhough the institution has not strictly formulated about the defenition of the public interest still the public interest which is being the foundation to file the petition of bankruptcy the District Attorney office as being regulated in the Decree No.37 2004 section (2) sub-section (2) Jo Government Regulation No.17 2000 has been fulfilled, which says the creditor who cannot afford to pay its debt which is fall due and can be changed on the society (in this case, 420 employees of pormer PT. Aneka Surya Agung who have not been paid yet based on the institution No.13 2003 about labourship) and on several Nation Corporation such as PT. Telkom, PT. PLN, PT. The National Bank of Indonesia (BNI) and PT. JAMSOSTEK where there is no other side who file for the same petition. The suggestion which can be persuedby the writer is that the government should give more clear picture of what is meant by “Public Interest” which is considered to be the pondation for the District Attorney office to file for the petition of bankruptcy statement for the sake of the public interest. Because of the clear formulation and fulfledged of “Public Interest” in the government regulation to replace law. This issue is worried will cause the wrong interpretation about “Public Interest”, beside that, the society must also act more actively to report vatious bankruptcy cases occor, so that the prosecutor as the competence side to file for the petition of bankruptcy statement better based on the Decree (UU) No. 37 2004 about the bankruptcy and the application of the delay on the debt payment.
Keyword : Public Interests, District Attorney Institution, Bankruptcy
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk tesis ini dapat diselesaikan. Karya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora sehingga Penulis harus melengkapi syarat tersebut dengan penyusunan tesis yang berjudul : “Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut Hukum Kepailitan”. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
2.
Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan beserta seluruh staf, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam meneyelesaikan pendidikan ini.
3.
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.MH, selaku pembimbing utama, Ibu Dr. Sunarmi, SH.M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi. A, SH.CN, M. Hum, atas bimbingan, koreksi, perbaikan dan masukan yang diberikan dalam rangka penyempurnaan tesis ini.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
4.
Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum.
5.
Isteri saya tercinta Umi Sri Rezeki Hasibuan, SH, dan anak-anak saya tersayang Farisa Zhafirah Salim Nasution dan Kayla Annisa Salim Nasution yang telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian penulisan tesis ini.
5.
Seluruh rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu serta rekanrekan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
6.
Seluruh pegawai sekretariat Sekolah Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama proses penulisan tesis ini. Demikian Penulis sampaikan, kiranya tesis ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita bersama.
Medan, Penulis,
September 2008
(Agussalim Nasution)
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ………………………………………………………………….
i
ABSTRACT ………………………………………………………………..
iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
v
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………...
viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………..
1
B. Rumusan Permasalahan .………………………………...
15
C. Keaslian Penulisan ………………………………………
16
D. Tujuan Penulisan ………………………………………..
16
E. Manfaat Penulisan ………………………………………
17
F. Kerangka Teori ……………………………………….....
18
G. Metode Penelitian ……………………………………….
39
FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN A. Sejarah Lembaga Kejaksaan di Indonesia ……………….
42
B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan Hukum ……………………………………………………
52
C. Tinjauan Umum Mengenai Kepailitan berdasarkan UU…. No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan ….. Pembayaran Utang ………………………………………..
82
D. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Kejaksaan dalam ……. Kepailitan berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 tentang …. Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang …………...
110
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB III
STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN A. Pengertian Kepentingan Umum …………………………..
115
B. Karakteristik Kepentingan Umum ……………………….
122
C. Kepentingan Umum Dalam Berbagai Peraturan Perundang Undangan di Indonesia ……………………………………
131
D. Standar Kepentingan Umum Dalam Pengajuan permohonan Kepailitan …………………………………………………. BAB IV
141
PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN YANG DIAJUKAN OLEH KEJAKSAAN DEMI KEPENTINGAN UMUM A. Para Pihak Yang Terlibat dalam Proses Kepailitan ……. Berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.. dan Penundaan Pembayaran Utang ……………………..
152
B. Proses Acara Penyelesaian Perkara Kepailitan di ………. Pengadilan Niaga ………………………………………..
157
C. Upaya Hukum yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara ... Demi Kepentingan Umum ……………………………….
167
D. Analisis Kasus Permohonan Kepailitan Yang diajukan …. Oleh Jaksa Sebagai Pengacara Negara Demi Kepentingan Umum ……………………………………………………. BAB V
173
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……………………………………………….
184
B. Saran ……………………………………………………….
188
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
190
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA
:
AGUSSALIM NASUTION
TEMPAT/TGL.LAHIR
:
MEDAN / 5 AGUSTUS 1975
JENIS KELAMIN
:
LAKI – LAKI
AGAMA
:
ISLAM
PEKERJAAN
:
PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
PENDIDIKAN
:
− SD Inpres No. 064037
(lulus tahun 1986)
− SMP Swasta Persatuan Amal Bhakti 10
(lulus tahun 1989)
− SMA Sawasta Joshua
(lulus tahun 1992)
− FH Universitas Islam Sumatera Utara
(lulus tahun 1997)
− Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU
(lulus tahun 2008)
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997, yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat dengan nilai rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi. Terperosoknya nilai tukar rupiah, setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) dampak negatif terhadap perekonomian nasional, yaitu : 1 1.
Negative Balance of Payments (Neraca Pembayaran Negatif). Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang dalam valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan pemerintah yang cukup besar telah memperberat beban neraca pembayaran sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat dari terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan segera dinikmati.
2. Negative Spread (Selisih Bunga Negatif di bidang keuangan) Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah
1
Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, (Jakarta : Salemba Empat, 2001), hal 3.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
menyebabkan naiknya bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga. 3. Negative Equity (Defisit Modal) Perusahaan yang terlanjur memperoleh kredit bank mengalami negative equity karena nilai kekayaannya dalam rupiah tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari utang valas. 2 Dari sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of Correction). 3 Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya
dari Dollar Amerika sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret
menjadi sekitar Rp. 5000,00 per Dollar Amerika pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per Dollar Amerika Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6-7 % telah terkontraksi menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya
2
Ibid, hal. 4. Lembaga Konsultan Econit Advisory Group (Prediksi Tahunan, Econit's Economic Outlook 2000), Tahun 2000, Tahun Kelahiran Kembali Indonesia, Harian Kompas, Kamis, 16 Desember 1999, hal. 5, kol. 1. 3
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit). Situasi dunia usaha menjadi tidak kondusif dalam melunasi utang, sebab
kewajiban dalam waktu singkat telah berkembang menjadi berlipat
ganda akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap semua mata uang asing lainnya, apalagi sebagian besar pinjaman adalah dalam bentuk mata uang asing sedangkan pendapatan usaha dalam bentuk rupiah dan kegiatan usaha telah lumpuh sebagai akibat dari krisis moneter di Indonesia pada waktu itu telah berubah menjadi krisis multidimensional. 4 Pada era globalisasi sekarang ini kegiatan-kegiatan usaha tidak mungkin lepas dari berbagai masalah-masalah. Suatu perusahaan tidak selalu dapat berjalan dengan baik dan seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau dalam keadaan rugi. Kalau dalam keadaan untung, perusahaan berkembang dan terus berkembang sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila perusahaan menderita kerugian maka garis hidupnya menurun. Jadi,
garis hidup suatu
perusahaan pada suatu saat naik dan pada saat lain menurun, begitu seterusnya sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang naik dan turun seperti grafik. 5
4
Ibid, hal. 2. Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1994), hal. 1. 5
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Krisis moneter dan perbankan yang melanda Indonesia telah memakan biaya fiskal yang amat mahal yaitu mencapai 51% dari Product National Bruto (PDB). Krisis tersebut telah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang membentuk system keuangan. Kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan yang selanjutnya mampu meredam krisis, sebenarnya merupakan interaksi dari beberapa resiko yang harus selalu dikelola dengan baik. Salah satu risiko yang harus dikelola dengan baik sehingga tidak menyebabkan kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan terganggu dan pada akhirnya menyebabkan krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil mengembalikan pinjaman. Kegagalan perusahaan dalam mengembalikan pinjaman dapat dikategorikan bahwa perusahaan mengalami corporate failure (kepailitan). 6 Dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan dan serba tidak menentu, persoalan yang paling krusial adalah bagaimana menyelesaikan utang-piutang di kalangan dunia usaha. Para kreditor baik asing maupun lokal dengan segala daya upayanya mendesak agar kreditor yang mayoritas adalah pengusaha swasta nasional segera melunasi kewajibannya. Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul karena dampak krisis moneter, seperti untuk memberikan
6
Muliaman D Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia : An Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, (Jakarta : Bank Indonesia, Desember 2003), hal. 2.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kesempatan kepada pihak kreditor dan perusahaan debitor menyelesaikan utangpiutangnya secara adil, meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia, juga sebagai reaksi atas permintaan dari Dana Moneter Internasional/International Monetery Fund (IMF) yang mendesak agar Indonesia segera menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor, akhirnya pemerintah Indonesia melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundangundangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang ada. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan guna menyempurnakan ketentuan kepailitan sebagaimana diatur dalam Failissement Verordening Staatsblad No. 217 Tahun 1905 jo Staatsblad No. 384 Tahun 1906. Perpu tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada tanggal 24 Juli 1998. Sejalan tuntutan perkembangan masyarakat, ketentuan tersebut dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan yang ditetapkan pada tanggal 18 Oktober 2004 melalui Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berbagai perubahan di bidang hukum ini diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan yang berkaitan dengan krisis moneter terutama dalam penyelesaian masalah utang-piutang yang selaras dengan semangat pembangunan ekonomi nasional dan globalisasi.7 7
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta : Raja
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Masalah selanjutnya adalah bagaimana
dan apa yang diperlukan untuk
membantu dunia usaha khususnya untuk mengatasi ketidakmampuan para debitor untuk memenuhi kewajiban membayar utang pada para kreditor. Secara teoritis, pada umumnya utang-piutang kreditor yang memiliki masalah dengan kemampuan untuk memenuhi kewajibannya membayar utang dapat menempuh
berbagai
alternatif
penyelesaian.
Kreditor
dan
debitor
dapat
merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya, dapat menjual sebagian asset atau bahkan usahanya serta dapat pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Para kreditor dapat menggugat berdasarkan hukum Perdata yaitu mengenai wanprestasi atau ingkar janji bila debitor mempunyai keuangan atau harta yang cukup untuk membayar utang-utangnya. Selain itu, bila debitor tidak mempunyai keuangan, harta atau asset yang cukup sebagai jalan terakhir barulah para kreditor menempuh pemecahan melalui peraturan kepailitan seperti yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan cara mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya. Kepailitan merupakan proses dimana :
8
1. Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Grafindo Persada, 2002), hal. 20-21. 8 Rudhy A. Lontoh, dkk, Hukum Kepailitan – Penyelesaian Utang-Piutang – Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 23.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
2. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan kepailitan. Kepailitan berdasarkan
Peraturan Pemerintah pengganti UU No.1 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas UU Kepailitan, yang menyebutkan: 1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. 2. Permohonan sebagaimana disebut dalam butir di atas, dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. Kepailitan di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 disebutkan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawaan Hakim Pengawas. UU kepailitan pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa yang muncul di kala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang, juga bagaimana menangani pertikaian antar individu yang berkaitan dengan bisnis yang dijalankan. Ada beberapa kriteria penting : 9 1. Pembukuan harus jelas. Penilaian aktiva harus transparan dan dengan cara yang diakui umum (Internasional Standard) 2. Tingkat gradasi utang piutang berdasarkan tanggungan menentukan siapa yang boleh didahulukan dalam menyelesaikan masalah utang. Misalnya: sebuah 9
Muliaman D. Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Op.cit, hal. 10.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
perusahaan bangkrut, siapa yang berhak memperoleh pembayaran terlebih dahulu dan siapa yang kemudian; 3. Acara hukum perdata mengatur siapa yang berkepentingan, pihak pengatur kebangkrutan, pengadilan mana yang kompeten dan bagaimana cara/proses yang harus dilakukan untuk menyelesaikan perkara ini; 4. Penetapan sanksi oleh pengadilan yang berwenang andaikata satu pihak tidak memenuhi janji. Berapa waktu yg diberikan kepada perusahaan yang merasa mampu membereskan utang-utangnya sendiri; 5. Sekalipun dinyatakan pailit, tentunya perusahaan masih bisa berjalan sementara. Dalam hal ini ditetapkan persyaratan-persyaratannya dan siapa yang harus mengawasi proses penyehatannya. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit tidak perlu langsung menghentikan semua kegiatannya. Mereka harus diberi kesempatan untuk membereskan keuangan dan kegiatan yang lain demi kepentingan penagih utang. 6. Penyelesaian sengketa boleh dijalankan lewat arbitrase di luar pengadilan Perusahaan dinyatakan pailit/bangkrut apabila dalam jangka waktu tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya. Kepailitan juga bisa diminta pemilik perusahaan atau juga oleh para penagih utang. Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004. Dari syarat pailit yang diatur dalam pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan pailit adalah :
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
1. Adanya hutang; 2. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih; 4. Adanya debitur 5. Adanya kreditur 6. Kreditur lebih dari satu 7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga. 8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang yaitu : a. Pihak debitur b. Satu atau lebih kreditur c. Jaksa untuk kepentingan umum d. Bank Indonesia jika debiturnya bank e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian 9. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
yang akan diterimanya selama kepailitan itu berlangsung. Kepailitan itu sendiri mencakup : 10 1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama kepailitannya. 2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan Dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbarui dan tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu kewenangannya untuk menangani permasalahan kepailitan. Selanjutnya, guna memperluas wilayah cakupan kerja Pengadilan Niaga, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan dan Semarang, dengan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1999. Dengan dibentuk dan didirikannya Pengadilan Niaga tersebut, maka setiap penyelesaian sengketa niaga, khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan, seperti pembuktian dan verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta pailit, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain 10
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common System), (Medan : e-USU Repository, 2004), hal. 23.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
memiliki kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan sebagai pelaksanaan Perpu No. 1 tahun 1998. Sebagai perluasan kewenangan, Pengadilan Niaga memiliki kompetensi pula untuk menyelesaikan beberapa sengketa di bidang perdagangan, terutama Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagaimana telah dialokasikan dari beberapa ketentuan perundang-undangan HAKI. Hal tersebut dipahami seperti tertuang dalam 50 program utama yang disyaratkan oleh International Monetary Fund (IMF) di dalam Letter of Intent kepada pemerintah Indonesia, ide dasar pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya semata untuk menyelesaikan permasalahan kepailitan, namun juga untuk menangani permasalahan di bidang perdagangan lainnya yang membutuhkan penanganan dalam jangka waktu yang singkat dan efektif namun tetap memperhatikan jaminan dan kepastian hukum, mengingat filosofi perdagangan itu sendiri yang menganut prinsip “time is money”. 11 Di dalam perkara kepailitan dapat ditemukan pihak-pihak yang mengajukan dan diajukan dalam proses kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara pailit biasa disebut sebagai pihak penggugat (Pemohon Pailit). Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu : 1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor. 11
Muliaman D Hadad, Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Op.cit, hal. 3.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank. 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek. 6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi. Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Tetapi persyaratan pada ayat (1) tetap harus dipenuhi, disamping alasan tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang serupa juga diberikan kepada Bank Indonesia jika debitornya adalah bank, dan Bapepam jika debitornya perusahaan efek. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan demi kepentingan umum. Dahulu, sebelum keluarnya UU No. 37 Tahun 2004, dalam Undang-Undang Kepailitan tidak dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan kepentingan umum tersebut.
Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan kepada
doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan alalsan-alasan yang bersifat umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat kelengkapan Negara.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan batasan mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat, misalnya : a. Debitor melarikan diri. b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan. c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat. d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas. e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo. f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 diatur mengenai Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan tanpa melalui jasa advokat. Dalam hal ini kejaksaan bertindak sebagai pengacara negara, sehingga diwakili jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Peraturan yang tertera di dalam Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2004 yang mengharuskan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak berlaku bagi permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, maka sebagai gantinya pihak kejaksaan harus membawa Surat Perintah Penunjukkan Jasa Pengacara Negara dalam persidangan di pengadilan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pada umumnya, tidak ada perbedaan mendasar dalam mekanisme permohonan pailit yang diajukan kejaksaan dengan permohonan yang diajukan pihak lain di luar kejaksaan. Di dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan pernyataan pailit demi kepentingan umum yang diajukan oleh kejaksaan harus diajukan kepada kepada Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi wilayah hukum debitor pailit dan harus didaftarkan melalui Panitera Pengadilan Niaga tersebut, dimana kepada pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani pejabat yang berwenang pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Sama dengan perkara Perdata pada umumnya, maka permohonan pernyataan pailit ini bentuknya juga harus tertulis seperti halnya dengan surat gugatan yang memuat identitas para pihak secara lengkap, dasar gugatan (Posita) dan hal-hal yang dimohonkan (Petitum). 12 Selanjutnya Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. anitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat (dua) hari setelah tariggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas
12
Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh Iima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. 13 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai standar kepentingan umum yang melatarbelakangi pihak kejaksaan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apalagi dalam salah satu point dinyatakan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Apakah standar atau kriteria untuk menentukan hal tersebut atau apakah kejaksaan harus melakukan diskresi untuk menentukan kepentingan umum tersebut dan sebagainya.
B. Rumusan Permasalahan Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut : 1. Pertimbangan-pertimbangan apakah yang mendasari pemikiran pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepailitan? 2. Bagaimana standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
13
Pasal 6 ayat 3-7 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
3. Bagaimana proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga?
C. Keaslian Penulisan. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa penelitian tentang Standar Kepentingan Umum dalam Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan menurut Hukum Kepailitan belum pernah dilakukan, baik dalam judul, topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini adalah merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
D. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, adalah sebagai berikut : Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk : 1. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pemikiran pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepailitan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
2. Untuk mengetahui standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004. 3. Untuk mengetahui proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga.
E. Manfaat Penulisan Dari sudut penerapannya dalam ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang hukum kepailitan di Indonesia pada umumnya dan khususnya tentang permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, bagi berbagai kalangan, yaitu : 1. Masyarakat umum Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum yang mencari keadilan yang hak-haknya telah dirugikan oleh orang perorang ataupun person maupun badan hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum dari pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut. 2. Lembaga Kejaksaan Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi lembaga kejaksaan dalam rangka membantu masyarakat umum yang mencari keadilan dan memperjuangkan hak-haknya yang telah dilanggar baik oleh orang perorangan maupun badan hukum,
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
sehingga lembaga kejaksaan dapat memberikan solusi yang tepat sehubungan dengan kedudukan lembaga kejaksaan dalam menangani perkara kepailitan di Indonesia khususnya mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum yang selama ini kurang efektif walaupun telah diatur di dalam undang-undang, yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3. Pemerintah secara umum Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah khususnya untuk lebih menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan terhadap permohonan pernyataan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, sehingga akan lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum.
F. Kerangka Teori Bila ditelusuri secara lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Di dalam bahasa Prancis, istilah “Faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya didalam dalam bahasa Prancis disebut “lefailli”. Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris
untuk pengertian pailit dan
kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. . 14
14
Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Salah satu pengertian kepailitan dapat kita lihat seperti apa yang dikemukakan dalam salah satu kamus karangan Black Henry Campbell (Black’s Law Dictionary) yang mengatakan bahwa : Pailit atau bankrupt adalah : “the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become deu”. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”. 15 Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitor) atas utangutangnya yang telah jatuh tempo. Pengertian kepailitan, secara defenitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun para sarjana kebanyakan mendasarkan defenisi kepailitan dari berbagai sudut pandang, juga dari berbagai pasal di dalam Undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berhutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu itu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang dan untuk jumlah piutang masing-masing kreditur memiliki pada saat itu. Jika diperhatikan didalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 disebutkan bahwa : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
15
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis“Kepailitan”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 26.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. 16 Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua berpiutang. 17 JCT. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoyo, dalam bukunya Pelajaran Hukum Indonesia menyatakan bahwa kepailitan adalah suatu Beslag Eksekutorial yang dianggap sebagai hak kebendaan seseorang terhadap barang kepunyaan debitor. 18 Kartono dalam bukunya Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya bersama-sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masingmasing kreditor miliki pada saat itu. 19 Jadi, berdasarkan definisi atau pengertian di atas, maka dapatlah ditarik unsur-unsur kepailitan, sebagai berikut : 20 1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor. 2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan. 3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama.
16
Warta Perundang-undangan : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang, (Jakarta, Warta Perundang-undangan, 1998). 17 Ibid. 18 Ibid, hal. 20. 19 Ibid. 20 Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Loc.cit.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam hukumnya. Di Indonesia sendiri, secara formal hukum kepailitan sudah diatur dalam sebuah undang-undang khusus. Sementara seiring dengan waktu yang berjalan, kehidupan perekonomian berlangsung pesat, maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang dapat menjawab berbagai kondisi yang terjadi, yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesainnya terhadap kehidupan perekonomian nasional. Mengingat restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil
baik,
sedangkan
upaya
melalui
kepailitan
dengan
menggunakan
Faillissementsverordening yang masih berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya, maka
kreditur, terutama kreditur luar negeri,
menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissements Verordening, secepatnya dapat diganti atau dirubah. IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditur luar negerinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara resmi mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan berlaku, yaitu Faillissements Verordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para krediturnya. Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Undang-Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah
Peraturan
Kepailitan
(Faillissementsverordening).
Berdasarkan
perkembangan yang terjadi, selanjutnya oleh Pemerintah dianggap perlu
untuk
melakukan perubahan terhadap undang-undang kepailitan di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, yang jika ditinjau dari materi yang diatur masih memiliki banyak kelemahan. Oleh karena hal tersebut di atas, maka pemerintah menganggap perlu untuk menerbitkan undang-undang kepailitan yang baru, yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang yang dianggap perlu karena : 21 1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur. 2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya. 3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan
21
Penjelasan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur. Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam perkara kepailitan ditemukan pihak-pihak yang mengajukan di diajukan dalam permhonan pernyataan kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit
yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak Penggugat (Pemohon Pailit). Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu : 1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank. 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek. 6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi. Demikian beberapa pihak yang dapat mengajukan kepailitan seperti yang diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004. Dengan diaturnya pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dapat
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
tercapai proses penegakan hukum, sehingga
keadilan dan kepastian hukum dan
kemanfaatan. Lembaga kejaksaan sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan permohonan kepailitan, berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mempunyai tugas dan wewenang kejaksaan, sebagai berikut : 22 1). Di bidang Pidana : a. Melakukan penuntutan. b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putuan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyararat. d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang. e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2). Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3). Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum,
kejaksaan
turut
menyelenggarakan kegiatan : 22
Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengawasan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan msyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa lembaga kejaksaan di Indonesa sebagai salah satu aparat penegak hukum, memiliki fungsi yang besar dan strategis. Hal ini disebabkan karena kejaksaan memiliki tugas dan wewenang yang bukan hanya di bidang Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, juga dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, termasuk mengajukan permohonan kepailitan apabila memang kepentingan umum mengharuskan hal tersebut. UU No. 16 Tahun 2004 mengukuhkan beberapa fungsi dan tugas lembaga kejaksaan yang bersifat represif maupun preventif yang berkenaan dengan ketertiban dan ketenteraman umum, antara lain meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, mengamankan kebijakan penegakan hukum, mengawasi peredaran barang cetakan dan mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Fungsi lembaga kejaksaan
dalam penegakan hukum pidana sudah lama
dikenal, tetapi fungsi kejaksaan di luar hukum pidana, termasuk penegakan hukum kepailitan nampaknya masih kurang popular. Sebenarnya fungsi lembaga kejaksaan di luar hukum pidana sudah dikenal sejak tahun 1922 dimana lembaga kejaksaan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
merupakan wakil negara dalam hukum, yang selanjutnya dikenal dan ditegaskan lagi sebagai Jaksa Pengacara Negara. Sebenarnya fungsi jaksa sebagai pengacara negara bukanlah hal yang baru, karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922 (Stb. 22 – 522). Selanjutnya di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah manapun yang melakukan tindakan hukum melalui keputusan dan ketetapannya harus menerapkan asas pemerintahan yang baik. Kalau hal tersebut tidak dilaksanakan, maka hakim Tata Usaha Negara dapat membatalkan keputusan atau ketetapan tersebut. Dalam rangka inilah kejaksaan dapat memainkan peranan yang penting sebagai pengacara negara untuk membela dan memberikan nasihatnya kepada para pejabat pemerintah. 23 Berdasarkan perkembangan selanjutnya mengenai Jaksa Pengacara Neara dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur di dalam KEPJA nomor : KEP039/J.A/4/1993 tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara DATUN dan surat edaran JAM DATUN nomor : B-039/G/4/1993, tanggal 27 April 1993, tanggal 27 April 1993 tentang Sebutan Jaksa Pengacara Negara bagi Jaksa yang melaksanakan tugas DATUN, maka istilah resmi yang digunakan para Jaksa dalam melaksanakan tugas serta fungsi DATUN adalah Jaksa Pengacara Negara (JPN) dan diatur juga pada Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 tentang Lembaga Kejaksaan
23
Kejaksaan juga dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. (Lihat Pasal 34 UU No. 16 Tahun 2004 Kejaksaan Republik Indonesia).
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Republik Indonesia dan sekarang diatur dalam Pasal 32 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Lembaga Kejaksaan Republik Inonesia. 24 Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, fungsi lembaga kejaksaan dilaksanakan dengan melakukan kegiatan-kegiatan bantuan hukum, penegakan hukum, pelayanan hukum, pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain. Tata cara pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung nomor : INS-01/Q/12/1992, nomor : INS-02/Q/12/1992 dan nomor : INS-03/Q/12/1992. 25 Apabila dicermati lebih lanjut ada persamaan antara fungsi lembaga kejaksaan dalam penegakan hukum pidana dengan fungsi lembaga kejaksaan dalam hukum perdata khususnya dalam hukum kepailitan, dimana keduanya berasal dari peraturan perundang-undangan. Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang lembaga kejaksaan meliputi : 26 1). Penuntut umum. 27
24
Suhadibroto, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, 1994), hal. 154. 25 Ibid. 26 Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi,: http://www.geocities.com/tapakkaki2002/undang2.htm, terakhir diakses pada tanggal 12 Februari 2008. Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara yang merulpakan landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa : bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya alam tersebut berdasarkan Penjelasan UUD 1945 tersebut adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, dan dipergunakan sebesar-besarnya (untuk) kemakmuran rakyat. 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981, http://www.wirantaprawira.de/law/criminal/kuhap/index/htm1#, terakhir diakses pada tanggal 15 Desember 2007. Tentang Penyidik dan Penuntut Umum, Pasal 13 : Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
2). Penyidik 28 tindak pidana tertentu. 3). Mewakili negara/pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara. 4). Memberi pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah. 5). Mewakili kepentingan umum. Tugas dan wewenang lembaga kejaksaan tersebut sangat luas untuk kepentingan umum yang di dalamnya menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat Jaksa Agung. Oleh karena itu, peranan Jaksa Agung dalam kehidupan bernegara menjadi sangat krusial (vitally important), lebih-lebih pada saat ini, dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum. Salah satu wewenang kejaksaan di bidang perdata adalah kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap debitor yang tidak mampu lagi membayar beberapa utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Berdasarkan keputusan Hof Amsterdam 9 November 1922, N.J. 1923, 171, alasan kepentingan umum itu ada bilamana tidak dapat lagi dikatakan ada 28
Keterangan Ahli/Keterangan Visum Et-Repertum, http://www.informatika.polri.go.id/informatika/m2_link_042.html), terakhir diakses pada tanggal 3 April 2008. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 2 yang berbunyi : (1). Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Pelda Polisi. (2). Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi. (3). Kapolsek yang berpangkat Bintara di bawah Pelda Polisi karena jabatannya adalah Penyidik. Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena jabatannya adalah Penyidik.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kepentingan-kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat lebih umum dan lebih serius yang memerlukan penanganan oleh suatu lembaga/alat perlengkapan negara. 29 Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan pada doktrin dan jurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada lagi kepentingan perseorangan, melainkan alasan-alasan yang bersifat umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat kelengkapan negara.
30
Menurut M.H. Tirtaatmidjaja, pailit itu juga dapat dinyatakan
atas tuntutan jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan-alasan untuk tidak menyelesaikan urusan-urusannya, atau ia sedang berusaha menggelapkan harta kekayaannya dengan merugikan kreditur-krediturnya. 31 Dalam ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur juga mengenai kedudukan, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan mengenai pembubaran perseroan berdasarkan putusan pengadilan yang dapat dimohonkan oleh lembaga kejaksaan, yakni : 32 (a). Lembaga kejaksaan berdasarkan alasan yang kuat bahwa perseoran melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. (b). Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian; 29
Chaidir Ali, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal. 219. 30 Zainal Asikin, Op.cit, hal. 36. 31 Viktor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Op. cit, hal. 49. 32 Pasal 146 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut tampak jelas bahwa lembaga kejaksaan memiliki wewenang dalam menangani perkara-perkara perdata, termasuk di dalamnya perkara-perkara niaga di Indonesia. Permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk kepentingan umum. Pengertian umum mencakup arti yang sangat luas. Pengertian kepentingan umum dalam hal tertentu memang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
akan tetapi tidak diatur secara spesifik
dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai kepentingan umum. Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa kejaksaan memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum kepada Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan hukum Debitur. 33 Kewenangan tersebut dapat dilakukan oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum, apabila : a. Debitur mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; b. Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. 34
33
Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum. 34 Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Di dalam Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pailit untuk Kepentingan umum juga belum diberikan batasan yang jelas mengenai kepentingan umum. Apabila Kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka dengan sendirinya kejaksaan bertindak demi dan untuk mewakili umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” hanya dikatakan hanyalah
kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat,
misalnya : a. Debitor melarikan diri. b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan. c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat. d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas. e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo. f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. 35 Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, juga tidak ditemukan definisi yang sifatnya
definitif mengenai kepentingan umum.
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan tidak memberikan definisi tentang kepentingan umum. Di dalam undang-undang ini hanya dinyatakan bahwa perkara
35
Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Kepailitan untuk Kepentingan Umum.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
permohonan kepailitan menjadi kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa atau memutuskannya. Undang-undang tersebut tidak mengenal
atau tidak
membedakan adanya aspek kepentingan publik atau kepentingan orang perorang. Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 hanya menentukan mengenai kepentingan publik dalam hal : “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan”. Berdasarkan hal tersebut, berarti tidak ada pembedaan mengenai kualitas/status debitur, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga yang memenuhi syarat undangundang tersebut untuk dinyatakan pailit. Selanjutnya PP No. 17 Tahun 2000 juga tidak memberikan pengertian yang konkrit mengenai kepentingan umum. PP No. 17 Tahun 2000 hanya memberikan contoh mengenai alasan-alasan kepentingan umum yang memungkinkan lembaga kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan. Selanjutnya dalam salah satu alasan adalah bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan apabila menurut kejaksaan hal tersebut memang merupakan kepentingan umum. Sebagaimana diketahui, berdasarkan PP No. 17 Tahun 2000,
lembaga
kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan. Yang menjadi persoalan adalah standar kepentingan umum seperti apa yang dapat
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
memungkinkan kejaksaan mengajukan permohonan kepailitan selain hal-hal yang disebutkan di dalam PP No. 17 Tahun 2000 di atas khususnya terhadap kasus-kasus permohonan kepailitan yang diajukan oleh jaksa atas inisiatif sendiri karena lembaga kejaksaan menilai hal itu sebagaimana kepentingan umum. Karena itu, perlu ditemukan definisi
kepentingan umum (kepentingan publik), untuk mencegah
perdebatan yang tidak menentu tentang kepentingan umum. Kepentingan umum disini bisa disama artikan dengan kepentingan umum sebagai lawan kata Namun,
dari kepentingan privat atau kepentingan orang
dapat diduga selanjutnya akan timbul pertanyaan mengenai
perorang. apa arti
“umum” dan “orang perorang” itu. 36 Pengertian kepentingan umum sering dijumpai sangat berbeda rumusannya satu dengan yang lainnya. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, menentukan bahwa cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut, kepentingan umum harus memenuhi syarat-syarat, yaitu : (1) Produksi yang penting bagi negara. (2) Menguasai hajat hidup orang banyak. 37
36
Parwoto Wignjosumarto, Aspek Perlindungan Kepentingan Publik dalam Peradilan Kepailitan, makalah disampaikan pada Diskusi bulanan Judicial Watch Indonesia, dengan tema : “Aspek Perlindungan Publik dalam Peradilan Kepailitan, yang diselenggarakan oleh Judicial Watch Indonesia pada tanggal 29 Juli 2002 di Jakarta 37 Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Dari Penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, terlihat bahwa alasan penguasaan negara atas kedua syarat tersebut adalah agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang perorang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasnya. Dari bunyi dan Penjelasan Pasal tersebut dapat ditarik batas antara kepentingan umum dan orang perorang. Dari sinilah lahir pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan bahwa
perseroan terbuka adalah perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau perseroan yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 38 Perseroan terbuka dapat diketahui dengan pencantuman kata “Tbk” di belakang Perseroan Terbatas (PT) tersebut, 39 dan hal ini untuk membedakan dengan perseroan Terbatas Tertutup. 40 Selanjutnya di dalam undang-undang ini
juga
dinyatakan bahwa hal ini dilaksanakan oleh suatu perusahaan publik, 41 yaitu perseroan yang
sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga
ratus) pemegang saham dan
memiliki
modal disetor sekurang-kurangnya
Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.42 Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik suatu garis bahwa 300 (tiga ratus) pemegang saham 38
Pasal 1 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 16 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 40 Penjelasan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 41 Pasal 1 ayat (8) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 42 Pasal 1 ayat (22) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. 39
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
yang menyetor modal perseroan sebesar Rp. 3. 000.000.000,- (tiga milyar rupiah) menjadi syarat adanya kepentingan publik. Pengertian kepentingan umum yang lain juga dapat dilihat seperti di dalam Pasal 1 Undang-Undang no 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan benda-benda yang ada diatasnya: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Ketentuan
lain
yang
menyangkut
tanah
yang
menyebut
mengenai
"kepentingan umum" adalah Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 1 butir 3 dari keppres tersebut menyebutkan :”kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Jelas definisi ini sangat tidak membantu. Kemudian, Keppres tersebut juga menyebutkan : (1) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak digunakan untuk menerima keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut: a. Jalan umum, saluran pembuangan air. b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi. c. Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat. d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
e. Peribadatan. f. Pendidikan atau sekolahan. g. Pasar Umum atau Pasar Inpres. h. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana. i. Pos dan telekomunikasi j. Sarana olah raga. k. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya. l. Kantor pemerintah. m. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. (2) Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain dimaksud dalam angka 1 adalah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. “Keputusan Presiden” disini dapat membuka peluang untuk penafsiran subyektif dari penguasa mengenai "kepentingan umum". Dengan terbukanya peluang yang demikian itu tidak mustahil pengadaan tanah yang seharusnya hanya boleh untuk
kepentingan
umum
(kepentingan
seluruh
lapisan
masyarakat
saja),
kenyataannya hanyalah untuk kepentingan kroni penguasa sebagai akibat kolusi penguasa dengan pengusaha yang lebih lanjut akan melahirkan korupsi. Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyebut pula tentang "kepentingan umum". Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum ialah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
1. Kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan. 2. Kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan meningkatkan kesejahteraan umum. 3. Kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan menerima laba. Namun pengertian ini hanya cocok untk pasal tersebut, yaitu bersifat limitatif, dengan demikian, pengertian "kepentingan umum" hams ditentukan secara kasus demi kasus oleh hakim pada setiap terdapat perkara yang harus diadili. “Kepentingan umum” di dalam pasal-pasal lainnya adalah terdapat dalam Penjelasan Pasal 49 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana disebutkan: “yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Kemudian, Penjelasan Pasal 32 huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi: “yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas". Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya :".... Pelestarian tersebut ditujukan unturuk kepentingan umum, yaitu penga-turan benda cagar budaya has dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan lain-lain" Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-undang No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian mengemukakan: "Asas kepentingan umum yaitu perkeretaapian harus
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas." Penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan penjelasan Pasal 1 huruf e Undang-undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Asas
kepentingan
umum
yaitu
perkeretaapian
harus
lebih
mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan yang baku mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum". Apabila ada beberapa peraturan perundang-undangan yang telah memberikan batasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum", batasan kepentingan umum yang dimaksud oleh pengertian itu hanya untuk pengertian peraturan perundang-undangan yang dimaksud itu saja. Pengertian itu tidak dapat dipakai untuk diterapkan bagi pengertian kepentingan umum dalam undang-undang yang lain. Akhirnya disimpulkan bahwa kepentingan umum memiliki pengertian yang luas dan tidak terdapat kesamaan mengenai kriteria/syarat
tentang kepentingan
umum. Sehingga tidak aneh apabila dalam masyarakat selalu terjadi perdebatan perihal
arti dan maksud kepentingan umum tersebut, dipandang dari segi
kepentingan masing-masing. Perdebatan ini bisa berakibat saling menyalahkan dan kadang disertai prasangka. Untuk mengakhiri persengketaan tiada ujung ini, sangatlah terhormat apabila semua pihak berpikir untuk mencari solusinya. Kesatuan persepsi mengenai batasan kepentingan umum dapat dijadikan tolak ukur apakah suatu permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaan sudah memperhatikan aspek kepentingan umum atau belum. Selama belum ada persepsi mengenai tolak
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
ukur unsu kepentingan umum tersebut, kebijaksanaan dan hati nurani hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa perkara kepailitan sangat dibutuhkan. Hakim hendaknya dapat menetapkan tolak ukur kepentingan umum
secara kasuistis
terhadap permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaaan. Hal ini sejalan juga semangat ketentuan Pasal 57 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang memberikan wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum.
G.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah metode
penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ronald Dworkin menyebut penelitian seperti ini sebagai penelitian doktrinal (Doctrinal Research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the Judge through Judicial Process). 43
43
Pendapat Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara Dialog Interaktif tetnang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang standar kepentingan umum dalam permohonan kepailitan oleh kejaksaan menurut hukum kepailitan, dengan mengacu pada hukum dan peraturan perundangundnagan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Metode penelitian hukum dalam penyusunan tesis ini dilakukan dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, dengan memperhatikan kualitas dan kedalaman data yang diperoleh. Jadi data yang diperoleh dalam penyunana tesis ini digunakan sebagai pendukung bagi kelengkapan maksud dan tujuan penelitian. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep, teoriteori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari : a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ; c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepailitan dan standar kepentingan umum pengajuan kepailitan oleh Kejaksaan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beserta peraturan-peraturan terkait lainnya.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 44 Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. Seluruh data yang sudah diperolah dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang standar kepentingan umum dalam pengajuan permohonan kepailitan oleh Kejaksaan, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klassifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam penelitian ini. 44
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal. 41.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB II FUNGSI DAN WEWENANG LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN
A. Sejarah Lembaga Kejaksaan di Indonesia Dalam bahasa asing khususnya bahasa Inggris, sejarah dinyatakan dengan kata “history, story dan genealogy”. 45 Selain
uraian sejarah hukum tersebut, sejarah lembaga kejaksaan secara
institusi tidak sekedar menguraikan kronologis ataupun rekonstruksi belaka, tetapi lebih dari itu, sejarah kejaksaan membukti suatu data dan perjalanan rentetan sejarah
45
S. Wojowasito, et.al. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia-Inggris, dengan ejaan yang disempurnakan, (Bandung : Hosta, 1980), hal. 245. Lain halnya dengan Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 13 dalam Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, ed. 1, cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 1984), hal. 40, yang lebih lanjut menjelaskan pengertian sejarah adalah : disatu pihak sejarah dapat diartikan sebagai riwayat dari kejadian-kejadian, yaitu suatu penyajian dari kejadian-kejadian tersebut. Selain daripada itu sejarah merupakan suatu buku yang berisikan riwayat dari suatu bangsa masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sejarah juga merupakan penulisan secara sistematis dari gejala-gejala tertentu yang yang berpengaruh terhadap suatu bangsa, masyarakat atau kelompok sosial yang biasanya disertadi dengan suatu penjelasan mengenai sebab-sebab timbulnya gejala-gejala tersebut. Pendeknya sejarah adalah pencatatan yang bersifat deskriptif dan interpretative, mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada masa-masa lampau yang ada hubungannya dengan masa kini. Lihat juga pidato sambutan dan pengarahan pada simposium sejarah hukum di Jakarta, pada tanggal 1-3 April 1975 oleh Menteri Kehakiman RI, yang berbunyi : perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan hukum dari masa lampau, ibid, hal. 41. Lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, (Bandung : Alumni, 1997), hal. 12. Dalam bahasa asing, sejarah dinyatakan dengan kata “history”. Asal katanya adalah historical (bahasa Yunani) yang berarti hasil penelitian dan sering dipergunakan oleh Herodotus pada abad kelima sebelum Masehi. Melalui kata Latin…historis, istilah tersebut menyebar luas dan menjadi historia (bahasa Spanyol), ….historic (Bahasa Belanda), histoire (bahasa Prancis), ….history (bahasa Inggris), storia (bahasa Itali), dan seterusnya. Dalam bahasa Jerman semula diper gunakan istilah…geschichie yang berasal dari kata geschehen yang berarti “sesuatu yang terjadi”. Pada abad XVI istilah tersebut dipergunakan untuk menunjuk pada koleksi data sejarah. Pada abad XIX dan XX istilah historic dipergunakan untuk menunjukkan koleksi fakata kehidupan manusia dan perkembangannya.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
yang dapat menjadi pengalaman berarti dalam melakukan perbaikan-perbaikan ataupun pembelajaran untuk meningkatkan prestasi kejaksaan dalam hal penegakan hukum dan meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi hal-hal yang masih belum memuaskan bagi perjuangan dan gerak langkahnya dimasa kini dan masa yang akan datang. 46 Sejarah Jaksa Indonesia berawal di pertengahan abad kesembilan belas sewaktu pemerintah jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsh Reglement) atau Reglemen Bumi Putera, dan RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie) atau Reglement Organisasi Peradilan. 47 IR merumuskan antara lain, hukum acara pidana,
46
H.R. Sadili Sastrawijaya, Lima Windu SEjarah Kejaksaan Republik Indonesia, 1945-1985, (Jakarta : Panitia Penyusunan dan Penyempurnaan Sejarah Kejaksaan, 1985), hal. 4. 47 Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan, (Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000), hal. 119. Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1 Oktober 1945, maka semua kantor kejaksaan yang dulunya masih “Chianbu” (Departemen Dalam Negeri) dipindahkan kembali ke dalam “Shihoobu” (Departemen Kehakiman). Dengan kepindahan kantor-kantor kejaksaan ke dalam Departemen Kehakiman maka corak dan tugas kewajiban para jaksa yang telah diberikan kepadanya pada masa pemerintah militer Jepang tidak mengalami perubahan, oleh karena Peraturan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 nomor : 2 telah ditentukan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan yang dulu (undang-undang Jepang dan undang-undang Hindia Belanda) tetap berlaku sampai saatnya undang-undang itu diganti baru. Dengan demikian maka pada waktu proklamasi kemerdekaan RI, Jaksa menjabat penuntut umum pada Pengadilan Negeri. Bukankah menurut HIR pekerjaan “Openbaar Ministerie” pada tiap-tiap Pengadilan Negeri dijalankan oleh “Magistraat” dan perkataan-perkataan “Magistraat” harus diganti dengan “Jaksa”, sehingga Jaksa pada waktu itu dengan sendirinya menjadi penuntut umum pada Pengadilan Negeri. Berdasarkan Pasal 5 Osamu Seirei No. 2 tahun 1944 tidak ada ketua Saikoo Kensatsu Kyoku (Jaksa Agung). Pekerjaan ketua Saikoo Kensatsu itu dilaksanakan oleh Gunseikanbu Shihobucoo (Pejabat Kehakiman) pada kantor pemerintah balatentara Jepang dan kemudian dilakukan oleh Gunseikanbu Cianbucoo (Pejabat Keamanan pada kantor pemerintah balatentara Jepang yang mengkoordinasikan Kejaksaan dan Kepolisian berdasarkan Pasal 2 Osamu Seirei No. 49 tahun 1944). Dari ketentuan tersebut nampak bahwa istilah Openbaar Ministerie (OM) menurut Pasal 55 R.O. oleh Jepang diganti atau diterjemahkan sebagai Kejaksaan. Saat berdirinya negara RI mempunyai relevansi yang sangat penting bagi permulaan eksistensi Kejaksaan RI. Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 saat mulai berdirinya Kejaksaan Republik Indonesia secara yuridis-formal adalah bertepatan dengan saat mulai berdirinya negara RI yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945 itu dikemukakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diganti dengan yang baru menurut ketentuan UUD terhitung sejak saat berdirinya negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
sedangkan RO merumuskan badan penuntut umum 48 pada Pengadilan Bumi Putera maupun Pengadilan Golongan Eropa di Hindia Belanda. 49 IR
pada tahun 1941 menjadai HIR (Herziene Inslanch Reglement), atau
Reglement
Bumi Putera yang Diperbaharui) dan kemudian menjadi Reglement
Indonesia yang Diperbaharui. HIR mengatur hukum acara perdata dan hukum acara pidana untuk pengadilan-pengadilan Bumi Puter sedangkan Jaksa (Magistraat) pada pengadilan tersebut berada di bawah tangan Residen atau Asisten Residen di kabupaten-kabupaten. Jabatan-jabatan tadi diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Setiap Magistraat membawahi beberapa jaksa (Bumi Putera). 50 Sebaliknya, badan penuntut umum untuk pengadilan golongan Eropa, dipimpin oleh Procureur General, yaitu Jaksa Agung Hooggerechtshof yaitu
48
R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1997), hal. 136. Pada tahun 1932 (perluasan wewenang-wewenang Badan Penuntutan Umum) diteladani dari Wetboek van Strafvordering, negeri Belanda yang baru. Asas-asas terpenting dari Reglement op de Strafvordering, Hindia Belanda, adalah : Badan Penuntutan Umum memegang monopoli penuntutan (Pasal 27 Algemeine Bepalingen van Wetgeving), yang berakibat bahwa hanya pegawai-pegawai yang dengan ketentuan undang-undang diberi wewenang untuk hal itu, berhak mengadakan tuntutan. Demikian Pasal 55 R.O. menentukan, bahwa Badan Penuntut Umum diberi tugas menuntut segala perbuatan pidana. Hanyda dalam yang disebut perbuatan pidana atas pengaduan orang partikelir mempunyai sekedar pengaruh atas penuntutan, yakni penuntutan itu tidak mungkin jikalau yang berkepentingan tidak ingin mengajukan pengaduan. Openbaar Ministerie (Badan Penuntutan Umum), meliputi seluruh pegawai yang diangkat pada pengadilan Eropa untuk memangku jabatan-jabatan Penuntut Umum, yakni pokrol Jenderal dan para advokat-jenderal pada Hoogerechtshop, para officier dan substituut officier van justice pada raad van justitite dan pegawaipegawai penuntut umum pada politoierechter. Pada landgerecht tidak ada pegawai penuntut umum. Badan penuntutan adalah badan kesatuan. Pegawai-pegawai yang termasuk badan itu wajib mengikuti petunjuk-petunjuk dinas dari kepala-kepalanya mengenai hal melakukan jabatannya. Selanjutnya semua pegawai Badan Penuntutan Umum ada di bawah pokrol – jenderal (Pasal 180 ayat 2 R.O). 49 Ibid, hal. 136 50 Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Persfektif Hukum, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 15.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Mahkamah Agung Hndia Belanda di Batavia. 51 Di bawah Jaksa Agung adalah para Officieren van justitie, sebab itu badan penuntut umum ini termasuk korsa pegawai kehakiman (judicia service), bukan pegawai negeri (civil service). Menurut undang-undang, tugas kedua badan penuntut umum itu adalah mempertahankan undang-undang, melakukan penyidikan dan penyelidikan lanjutan, menuntut kejahatan dan pelanggaran dan melaksanakan putusan pengadilan pidana. 52 Fungsi lembaga kejaksaan pada masa pemerintahan kolonial Belanda antara lain adalah fungsi mengadili perkara dan fungsi untuk menerima dan mempersiapkan perkara. Kedudukan Jaksa yang berada di bawah Asisten Residen berdasarkan Inlandsch Reglement (IR) Stb. 1848 No. 16 secara formal diubah dengan diundangkannya HIR (Herziene Inslanch Reglement), Stb. 1941 No. 44. Namun demikian, dalam realitasnya, kedudukan, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan, dalam hal ini jaksa, tetap seperti berdasarkan pada HIR, yang masih berada di bawah Asisten Residen. Dengan demikian kedudukan jaksa masih sekedar sebagai asisten penuntut umum, karena yang memiliki kewenangan untuk menuntut adalah Asisten Residen. Tetapi yang perlu dicatat adalah, kedudukan jaksa yang berada di bawah
51
R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996), hal. 31. 52 K. Wantjik Saleh, Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1985), hal. 40. Intisari Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Pidana, Pelaksanaan Hukuman. Bahwa segala sesuatu mengenai pelaksanaan hukuman yang ditugaskan kepada Jaksa diserahkan kepada kebijaksanaan Jaksa.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Hooggerechtshof, jadi berada di lingkungan Pengadilan Tinggi, berarti lembaga kejaksaan di lingkungan kekuasaan yudikatif. 53 Kedudukan lembaga kejaksaan di lingkungan kekuasaan yudikatif beralih ke lingkungan kekuasaan eksekutif setelah keluarnya UU No. 15 Tahun 1961 Pasal 2 ayat (1) sampai ayat (4), tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. 54 Sementara itu di dalam penjelasan pasal tersebut pada ayat (2) dinyatakan bahwa, untuk kesempurnaan tugas-tugas penuntutan, Jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalma bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai kepada akhir, yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum. 55 Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa : “untuk kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam lingkungan daerah hukumnya,
mengkoordinasikan
dan
mengawasi
alat-alat
penyidik
dengan
mengindahkan hierarki”. 53
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hal. 87, Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hal. 55, Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal. 18-19. 54 UU No. 15 Tahun 1961 Pasal 2 ayat (1) sampai ayat (4), tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI menjelaskan sebagai berikut : 1). Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang dan menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana; 2). Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara; 3). Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 4). Melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan oleh sesuatu peraturan negara. 55 Osman Simanjuntak, Tehnik Penuntutan dan Upaya Hukum, (Jakarta : Grasindo, 1995), hal. 29. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh Hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP).
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Perluasan kewenangan kejaksaan juga diberikan oleh Pasal 10 UU No. 15 Tahun 1961 yaitu, mengenai inisiatif kejaksaan apabila menerima laporan terjadinya suatu tindak pidana. Inisiatif
yang dilakukan oleh kejaksaan terutama adalah
menghubungi pihak Polri dan kemudian bersama-sama melakukan penyidikan. Kewenangan yang demikian besar dimiliki oleh kejaksaan tidak terlepas dari kedudukannya yang istimewa di lingkungan kekuasaan eksekutif. Selaras dengan kekuasaan rezim pemerintahan orde baru yang berciri militeristik, perebutan kewenangan yang dimulai sejak awal kemerdekaan RI mencuat kembali. Hal ini ditandai dengan dipangkasnya kewenangan kejaksaan RI dengan keluarnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau dikenal dengan Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP).
Pemangkasan
Hooggerechtshof
kewenangan itu dilanjutkan dengan dibentuknya UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. KUHAP dibentuk berdasarkan perkembangan ilmu hukum pidana modern yang intinya mengatakan, bahwa usaha penanggulangan kejahatan pada hakekatnya
merjupakan bagian dari usaha penegakan hukum,
khususnya hukum pidana. 56 56
Djoko Prakoso, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, Cet. 1, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal. 13. Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman”, biasanya yang dimaksud adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana. Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa, kemerdekaan atau kebangsaannya. Dalam pandangan masyarakat, orang yang telah dikenakan pidana seolah-olah mendapat cap, baha orang tersebut dipandang sebagai orang yang jahat, yang tidak baik atau orang yang tercela. Prof. Sudarto, SH mengemukakan : “pidana tidak hanya tidak enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudahnya orang yang dikenai pidana itu masih merasakan akibatnya yang berupa “cap” oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Dengan demikian, politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum, dan hal itu dilaksanakan melalui Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana tersebut ditopang oleh 4 (empat) sub sistem, yaitu : sub sistem Kepolisian, sub sistem Kejaksaan, sub sistem Pengadilan dan sub sistem Lembaga Permasyarakatan. 57 Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana yang diadopsi dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), wewenang kejaksaan dipangkas hanya mengenai tugas penuntutan saja. Tugas-tugas di bidang penyidikan dan penyidikan dan penyelidikan yang sebelumnya keluar KUHAP dimiliki juga oleh kejaksaan, diberikan kepada Polri yang merupakan satu-satunya lembaga penyidikan dan penyelidikan. 58 Seluruh komponen sistem
peradilan pidana, termasuk pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik tugas dan wewenangnnya masing-masing, tugas pencegahan kejahatan secara spesifik telah terkait dengan sub sistem kepolisian. Sementara tugas ketiga lebih
disebut “stigma”. Jadi, orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang, maka ia seolaholeh dipidana seumur hidup. 57 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, ed. 1, cet. I, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 24. 58 [POLICY] JSI – Polisi dan Jaksa, http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/09/05/0028.html, terakhir diakses pada tanggal 6 Mei 2008. Dalam sistem peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini seharusnya dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini, yaitu menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat (Morris, 1982).
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
terkait dengan sub sistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judicial). 59 Secara keseluruhan mengenai tugas-tugas kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu pertama, tugas yudisial, dan kedua, tugas non-yudisial. Jika diperhatikan, tugas kejaksaan yang terpangkas hanyalah tugas di bidang penyidikan dan penyelidikan, dalam tindak pidana umum yang masuk dalam bidang tugas yudisial. Meskipun demikian tugas yudisial kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara pemerintah atau negara. Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Tugas ini sekarang dipertanyakan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan (dengan tugas ini) dengan argumennya bahwa, tugas ini merupakan salah satu indikasi bahwa kejaksaan merupakan alat pemerintah. Tugas kejaksaan di bidang non yudisial tetap seperti semula, tidak ada yang dikurangi dan tugas-tugas itu memerlukan perhatian yang besar dari lembaga
59
Ibid. Hubungan polisi dan jaksa sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan suatu tindak pidana. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan wewenang, tmpah tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, serta kegagalan mencapai tugas menyelesaikan kejahatan di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas penegakan hukum pidana, bagaimana tatacara penegakannya, apa saja tugas dan kewajibannya, serta sanksi apa bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau tugas di kewenangannya.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kejaksaan. Tugas kejaksaan non yudisial itu adalah, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1961 disebutkan bahwa, kejaksaan mempunyai tugas mengawasi aliran kepercayaan masyarakat yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, atau biasa dikenal dengna tugas PAKEM. Kewenangan kejaksaan itu diadopsi lagi dalam UU No. 5 Tahun 1991 dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Di masa rezim orde baru, kedudukan kejaksaan tidak mandiri dan dalam melaksanakan fungsinya tidak inpenden. Memasuki era reformasi saat ini masyarakat luas mengharapkan lembaga kejaksaan dapat melaksanakan fungsinya dengan independen. Mengenai hal itu sering kali dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan yang harus mandiri, tetapi apakah memang untuk dapat melaksanakan tugas dengan independen diperlukan kemandirian, hal tersebut perlu kajian yang lebih mendalam lagi. Independensi tidak identik dengan mandiri karena banyak lembaga yang mandiri tetapi dalam melaksanakan fungsinya tetap tidak independen, contohnya adalah lembaga-lembaga negara di masa rezim pemerintah orde baru, oleh karena itu, penyelesaian yang terbaik untuk masalah independen adalah dengan menetapkan hal tersebut di dalam sebuah undang-undang. Di Indonesia sebutan “jaksa” sudah berabad-abad lamanya digunakan dan berasal dari bahasa Sanksekerta adhyaksa. Sebutan purba ini dipakai untuk gelar pendeta paling tinggi di kerajaan-kerajaan Hindu Pulau Jawa, dan terutama dipakai
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
pemerintah VOC (di abad ke-16) ditulis sebagai “j – a – x – a”. 60 Sejak zaman itu sampai dengan pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1942, “jaxa” dan kemudian “djaksa” dipakai sebagai sebutan untuk para Pejabat Hukum Bumi Putera yang hampir sama dengan seorang magistrate. Sejak zaman pendudukan Militer Jepang (1942-1945), “jaksa” pada masa itu ditulis “djaksa” adalah gelar bagi para pejabat hukum yang berwenang menuntut perkara-perkara pidana. Kejaksaan adalah merupakan suatu institusi penegak hukum. 61 Sedangkan jaksa adalah person atau pribadi yang berada dalam lingkup kejaksaan yang diberi tugas-tugas khusus untuk melakukan penuntutan dan penyidikan dalam perkaraperkara tertentu (vide Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004). 62 Keberadaan kejaksaan di dalam perjalanan kehidupan kenegaraan RI seperti telah dijelaskan di atas, pernah berada di lingkungan kekuasaan yudikatif pada masa kerajaan dan sebelum kemerdekaan. Dimaksud dengan kata Adhyaksa yang khas
60
A. Zainal Abidin Farid dan Amier Syarifuddin, Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan di Beberapa Negara, (Makalah, 1977), hal. 5. 61 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, cet. Ke-3, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978), hal. 153. Pengertian Jaksa menurut konsep dari R. Tresna, adalah sebagai berikut : “bahwa nama Jaksa atau Yaksa berasal dari India dan gelar itu di Indonesia diberikan kepada pejabata yang sebelumnya pengaruh hukum Hindu masuk di Indonesia, sudah biasa melakukakan pekerjaan sama. 62 Saherodji, Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan dalam Administrasi Peradilan di Indonesia (Desertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi), (Jakarta : 1973), hal. 170. Pandangan cendikiawan kejaksaan yaitu Dr. Saheroji, bahwa : “kata jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pengawas (superintedant) atau pengontrol yaitu pengawas soal-soal kemasyarakatan”. Lihat juga Lampiran Surat Keputusan Jaksa Agung RI, tahun 1978 yang menyatakan bahwa pengertian Jaksa ialah : “Jaksa asal kata seloka satnya adhy wicaksana yang merupakan trapsila adyaksa dan mempunyai arti serta makna sebagai berikut : “satya, kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun sesama manusia. Adhi, kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga, dan terhadap sesama manusia. Wicaksana, bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Indonesia terutama adalah hakim, berlainan dengan jaksa saat ini yang penuntut umum. Kedudukan dan fungsi jaksa diatur dalam undang-undang tentang Kejaksaan RI, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Penuntut umum yang dikenal sekarang adalah warisan pemerintah kolonial Belanda yang bersumber dari Pemerintah Prancis. Meskipun demikian, minimal ada dua kesamaan baik kedudukan maupun fungsinya, yaitu : 1. Kedudukan Adyaksa ada di bawah raja-raja, selanjutnya di masa kolonial kedudukannya di bawah Residen atau Asisten Residen, dan di masa kemerdekaan, kedudukan jaksa ada di lingkungan kekuasaan eksekutif. 2. Salah satu fungsi jaksa adalah di bidang keagamaan demikian juga jika diperhatikan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Kejaksaan yang mengatur atua memberi wewenang hal yang sama.
B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam Proses Penegakan Hukum Sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, penggantian undang-undang membawa pengaruh tersendiri terhadap kedudukan dari kejaksaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Noo. 5 Tahun 1991 disebutkan bahwa kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Sejak itulah dapat dikatakan kedudukan kejaksaan beralih menjadi di bawah kekuasaan eksekutif. Berdasarkan perkembangan pengaturan tentang keberadaan kejaksaan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan kejaksaan pada dasarnya belum pernah diatur secara
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
tegas dalam UUD 1945. 63 Kedudukan kejaksaan yang sebelumnya berada pada kekuasaan kehakiman telah berubah menjadi mandiri sejak tanggal 22 Juli 1960, akan tetapi kekuasaan tersebut berubah menjadi di bawah kekuasaan eksekutif sampai dengan sekarang. Dalam sistem ketatanegaraa Indonesia, secara nyata dapat dilihat bahwa kedudukan kejaksaan telah mengalami pergeseran. Dimulai dari menempatkan kedudukan kejaksaan di bawah kekuasaan legislatif, menjadi mandiri dan berubah menjadi di bawah kekuasaan eksekutif. Adanya perubahan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh sejarah pada masa sebelumnya, tetapi juga sistem pemerintahan dan keadaan politik yang terjadi. Kedudukan kejaksaan akan sangat berpengaruh dalam mengimplementasikan fungsi, peran dan wewenangnya. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan kinerja dari kejaksaan itu sendiri, 64 yang mengimplementasikan tugas dan wewenangnya diharapkan diamati pada saat ini dan prediksi tantangan ke depan antara lain harus memperhatikan perkembangan globalisasi, opini yang berkembang di masyarakat dan 63
Sampai dengan Amandemen IV UUD 1945 kedudukan kejaksaan tidak diatur dalam UUD 1945. Sebenarnya Rancangan Perubahan UUD 1945 hasil Badan Pekerja MPR RI Tahun 1999-2000 telah mengatur masalah kekuasaan kehakiman dan melakukan perubahan terhadap Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman menjadi kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum. Adapun pasal yang mengatur masalah kejaksaan adalah Pasal 25c, yaitu : (1) Kejaksaan merupakan lembaga negara yang mandiri dalam melaksanakan kekuasaan penuntutan dalma perkara pidana. (2) Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat). (3) Susunan, kedudukan dan kewenangan lain kejaksaan diatur dengan undang-undang. Namun dalam kenyataannya, rancangan perubahan tersebut tidak satu pasal pun yang direalisir dalam UUD 1945 setelah Amandemen II tahun 2000. 64 Suhadibroto, Reprofesionalisasi Kinerja Kejaksaan, http://www.khn.or.id, terakhir diakses pada tanggal 25 Februari 2008. Suhadibroto menyatakan bahwa kinerja kejaksaan ditentukan atau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu Jaksa Agung, Jaksa Agung sebagai pejabat fungsional dan organisasi.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
reformasi yang melahirkan paradigma
baru dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta terjadinya perubahan kepemimpinan yang akan melahirkan perubahan kebijakan dalam bidang pemerintahan termasuk kebijakan dalam penegak hukum. 65 Ciri utama dari era globalisasi adalah munculnya kemajemukan instansi antar bangsa, akselerasi dan transformasi informasi ilmu pengetahuan kepada setiap negara termasuk Indonesia. Eksistensi lembaga kejaksaan senantiasa terkait dengan perkembangan masyarakat dan penyelenggaraan negara, serta perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan. Citra utama pemerintahan orde baru yang berkaitan dengan hukum adalah tidak berfungsinya hukum dalam masyarakat. Bahwa di tengah euforia atas tumbangnya rezim orde baru, ada harapan bahwa deklarasi dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dapat dihidupkan kembali setelah diabaikan selama 40 tahun. Namun euforia dengan cepat hambur ketika mulai terlihat skala sesungguhnya dari tantangan yang dihadapi dan kelemahan pemerintahan pertama yang terpilih secara demokratis sejak tahun 1957. Reformasi terhadap lembaga tertentu seperti Polisi RI tidak dapat diselenggarakan secara terpisah dari lembaga kenegaraan lainnya. Angkatan polisi yang tangguh akan dengan cepat menjadi impoten apabila jaksa, hakim dan kepala lembaga kemasyarakatan gagal menjalankan tanggung jawab mereka masing-masing. 65
Notulen Presentasi Makalah Diskusi Panel berjudul : “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum”, (Jakarta : Kejati DKI Jakarta, Agustus 2001), hal. 2.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Demikian pula, penyelenggaraan reformasi terhadap lembaga-lembaga tersebut di ataspun tidak mungkin terjadi bila pendapatn negara tidak cukup untuk membayar gaji
yang bisa memenuhi kebutuhan dasar, serta menutup biaya-biaya lembaga
pemerintahan untuk keperluan sumberdaya atau operasional dasar. Hukum dibuat tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pemberi keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat dan hanya menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan rezim pemerintahan orde baru. 66 Kondisi seperti ini tidak terlepas dari arah pembangunan yang dirancang oleh penguasa pada saat itu, yaitu terciptanya stabilitas politik untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat meningkatkan produk domestik bruto. Kembali mengenai tidak berfungsinya hukum dalam masyarakat, hal itu terjadi dengan terkooptasinya lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum oleh rezim pemerintahan orde baru. 67 Sejak ditetapkannya Soeharto sebagai Presiden RI, telah ramai dibicarakan segala ratifikasi dari konsekuensi serta implikasi dari gelombangnya reformasi di
66
Debat Publik Seputar Paradigma Kehidupan Masyarakat, Masyarakat Versus Negara, Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Seri Debat Publik Seputar Reformasi Opini Masyarakat dari Krisis ke Reformasi, Kompas, Jakarta, 1999, hal. 127. Hukum sebagai alat penguasa, berarti hukum yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Penguasa sangat diuntungkan oleh kondisi hukum yang ada, karena berbagai tindakan dan kebijakan penguasa dapat dibenarkan oleh hukum yang memang diciptakan untuk kepentingan penguasa tersebut. Apa yang kemudian dilakukan penguasa bisa serba benar dan seolah-olah tidak ada kekeliruan dan kesalahannya. Hukum yang ada justeru menjadi alat penguasa, sehingga penguasa tidak dapat dipersalahkan. Dengan hukum berfungsi sebagai alat penguasa, jelaslah menjadikan tugas hukum untuk melindungi penguasa baik dari tekanan oposisi maupun kritik-kritik yang muncul dalam masyarakat. Penguasa justeru dapat leluasa menghukum para oposan ataupun orang-orang yang melancarkan kritik untuk menuntut perbaikan ekonomi, politik, ataupun hukum itu sendiri. Hukum sebagai alat penguasa juga dapat menjadikannya “kebal hukum”. 67 Laporan Pengkajian terhadap Lembaga Kejaksaan, Bab II, Kedudukan dan Peranan Kejaksaan dalam Era Reformasi, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Jakarta, 2002, hal. 9.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Republik ini, terutama yang menyangkut bidang peradilan (rechtspraak), dimana Indonesia memiliki semua lembaga sektor peradilan yang ada pada sebuah negara modern di dunia. Namun hampir seluruhnya telah disubversi oleh kekuasaan otoriter dan praktik korupsi yang merajalela dan mengakar selama puluhan tahun. 68 Ketua Dewan Pengawas Transparansi Internasional Todung Mulya Lubis mengatakan, tingkat korupsi tertinggi di Indonesia terjadi di lembaga peradilan, yaitu 32,8 % dari keseluruhan korupsi. Advokat adalah unsur yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam seluruh modus operandi korupsi di lingkungan peradilan. 69 Keadilan hukum atau suatu sifat dari perbuatan dan perlakuan yang tidak memihak dalam melaksanakan dan menerapkan hukum terhadap individu tidak akan tegak selama para pelaksana dan pengawasan hukum masih tetap memiliki mentalitas
68
Lihat sambutan J.E. Sahetapy, pada Dengar Pendapat Publik Pembaruan Kejaksaan Republik Indonesia, yang antara lain juga menjelaskan, bahwa reformasi jangan diartikan sempit yang hanya menyangkut “institution building”, bagaimana, untuk apa dan ke arah mana reformasi harus diarahkan yang mana harus dilihat dari proses penegakan hukumnya, apakah itu kekuasaan hukum yang mandiri ataukah ungkapan lain seperti bebas dan mandiri dari kekuasaan yang mungkin dimaksudkan dalam konteks Trias Politika, yang harus bebas, bersih, bertanggung jawab, transparan, dan tidak dicemari oleh KKN, dilaksanakan tanggal 25 Juni 2003 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, hal. 1. 69 Todung Mulya Lubis, Praktek Korupsi di Dunia Peradilan Libatkan Advokat, http://www.transparansi.or.id/berita-nopember2003/berita_131, terakhir diakses pada tanggal 15 Januari 2008. Todung Mulya Lubis menegaskan hal itu dalam Workshop Menuju Sistem Hukum dan Penegakan Hukum yang Bebas KKN, di Jakarta. Todung Mulya Lubis menjelaskan, modus korupsi itu terjadi sejak kasus masuk di aparat kepolisian hingga ke pengadilan yang mempunyai 4 (empat) modus, yaitu : (1). Kerjasama advokat dengan polisi untuk menahan klien si advokat. Untuk membebaskan kliennya dari upaya penahanan, diberikan jaminan berupa uang. (2). Modus kedua adalah kerjasama adivokat dan kejaksaan dalam pembuatan daftar pencegahan ke luar negeri (cekal) terhadap pengusaha tertentu yang terjerat kasus hukum. (3). Modus ketiga, dalam penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak, kasus seperti itu diajukan ke pengadilan untuk dilakukan gugatan. (4) Modus keempat adalah putusan Majelis Hakim untuk melakukan sita jaminan untuk kasus pencemaran nama baik. Selain itu, kata Mulya Lubis, modus korupsi yang juga ditemukan adalah pemberian fasilitas khusus kepada terpidaan tertentu, serta tekanan pengusaha lokal terhadap pengusaha asing dengan melakukan penyimpangan pajak.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
yang sudah kena racun polusi pengaruh budaya yang telah ditanamkan Soeharto selama 32 tahun itu. 70 Seperti yang dicatat seorang pengamat, sistem peradilan masih dipandang luas sebagai mafia yang dijalankan pemerintah, hukum Indonesia perlu ditinjau kembali secara luas dan diperbaharui, mengingat fungsi hukum untuk menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. 71 Hal tersebut pada saat ini cukup memadai untuk keperluan masa peralihan bila kejaksaan dan sistem peradilan
dapat diandalkan dan difungsikan sebagaimaan
seharusnya. Seperti yang tertera dalam UU No. 16 Tahun 2004 tersebut. Tentu saja kesungguhan dan rasa tanggung jawab oleh para penegak hukum secara keseluruhan sangat diperlukan, khususnya dalam menata struktur hukum negara Indonesia. Kedua
70
J.C.T. Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Bagian 3, Cet. I, (Jakarta : Haji Masagung, 1988), hal. 206. Jenis-jenis keadilan dapat dibagi beberapa menurut Dr. O. Notohadjojo, SH, bahwa jenis-jenis keadilan adalah : (1). Iustitia Commutativa, yaitu : keadilan yang memberikan masing-masing bagiannya, dengan mengingat supaya prestasi sama atau sama nilai dengan kontraprestasi. Keadilan ini, dalam perhubungan antara manusia, terutama melihat barang daripada pihak-pihak dalam perjanjian tukar menukar. (2). Iustitia Distributiva, bukan perhubungan manusia pribadi dan manusia pribadi yang diatur oleh Iustitia Distributiva, melainkan perhubungan masyarakat dan manusia pribadi, negara dan manusia pribadi. Yang diberikan dalam keadilan distributif itu bermacam-macam : pangkat, kehormatan, kebebasan, hak-hak barang. (3). Iustitia Vindicativa, keadilan vindikatif, ialah keadilan yang memberikan kepada masing-masing hukumannya atau dendanya, sebanding dengan kejahatan atau pelanggarannya dalam masyarakat. (4). Iustitia Legalis, yaitu keadilan legalis, ialah keadilan undang-undang. (5). Keadilan oleh Dr. Sutarno, Pembangunan untuk Keadilan, disamping jenis-jenis keadialn yang telah disebut oleh Notohamidjojo tadi, yaitu keadilan komunikatif, keadilan distributif, keadilan vindikatif dan keadilan legalistas adalah keadilan protektif, yaitu memberikan kepada masing-masing, perlindungan atau pengayoman terhadap perlakuan yang sewenang-wenang dari pihak lain. Lihat juga Bina Donna No. 13 tahun ke-4 Tahun 1986, Pembangunan untuk Keadilan, Salatiga, 1986, hal. 207. 71 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jayakarta : Sinar Grafika, 1992), hal. 53. Bahwa dalam perkembangan masyarakat fungsi hukum dapat terdiri dari : 1). Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. 2). Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, 3). Sebagai sarana penggerak pembangunan. 4). Sebagai fungsi kritis.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
lembaga tersebut memerlukan refomasi besar-besaran, untuk dapat memulihkan kemandirian serta standar profesionalnya. Peran jaksa
selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum,
bertindak untuk dan atas nama negara dalam perkara pidana, merupakan salah satu wujud penegakan ketertiban dan perlindungan terhadap semua kepentingan hukum yang dimiliki oleh setiap orang berlaku subjek hukum seperti yang tertera pada UU No. 5 Tahun 1991, UU No. 16 Tahun 2004, jo Keppres No. 55 Tahun 1991 dan peraturan perundang-undangan kejaksaan lainnya. Tugas dan wewenang kejaksaan sebenarnya sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat Jaksa Agung. 72 Beberapa langkah telah diambil untuk memulihkan standar profesional dan kemandirian, misalnya Mahkamah Agung telah membentuk sebuah komisi untuk membuat rancangan undang-undang guna meningkatkan eksistensi sistem peradilan yang terpadu. Namun di tengah cercah harapan seperti itu, agaknya penilaian World Bank bahwa permasalahannya begitu mendalam sehingga diperlukan bertahun-tahun untuk penyelesaiannya, dan sulit untuk mendapatkan mengetahui hambatan dalam upaya mendukung perubahan dalam sistem, serta tidak ditemukannya pahlawan di pihak reformasi hukum. Konflik hubungan antar political loyalty dengan professional
72
Suhadibroto, Op.cit, hal. 2.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
loyalty dalam rangka mewujudkan rule of law bukan hanya terjadi di tanah air kita. 73 Tetapi konflik ini nampak lebih tajam dan lebih terbuka karena tuntutan transparansi yang makin berkembang di era reformasi ini. Hukum seyogyanya tidak dilaksanakan begitu saja dengan mengabaikan kepentingan lain yang ada di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemahaman dalam falsafah hukum bahwa keadilan itu ditentukan oleh waktu dan tempat (historical bepaald). 74 Hukum dan politik merupakan sub sistem dalam sistem kemasyarakatan. 75 Masing-masing melaksanakan
fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem
kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan social engineering atau innovation. Sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan 73
Selo Soemardjan (penyunting), Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori Tatanan dan Terapan, untuk memperingati kelahiran Djoko Soetono, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS), (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993), hal. 130. Perlu diingat dan disadari bahwa suatu judisial control tidak selalu harus berada di tangan peradilan. 74 Moh. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), hal. 63. Pada umumnya hukum itu diartikan sebagai peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang di dalam masyarakat yang mempunyai sanksi yang bisa dipaksakan. Hukum ini lahir untuk mengatur dan menyerasikan pelaksanaan kepentingan yang berbeda-beda di antara anggota-anggota masyarakat. Satu hal yang penting dari hukum adalah sifatnya yang dipaksakan dengan sanksi. Sanksi inilah yang membedakan hukum dari aturan tingkah laku yang lain. Di dalam masyarakat memang terdapat aturan-aturan tingkah laku yang umumnya disebut norma atau kaidah. Norma atau kaidah itu menurut ilmu hukum ada 4 (empat) macam, yaitu : norma agama, norma kesusilaan (moral), norma kesopanan, dan norma hukum. Yang membedakan norma hukum dari norma-norma yang lain adalah bahwa sifat memaksa yang disertai dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh negara, sedangkan pada norma lain sifat memaksa yang disertai dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh negara, sedangkan pada norma lain sifat memaksanya hampir tidak ada dan tidak menyertakan campur tangan negara untuk memaksakan sanksinya. 75 Hukum dan politik pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat, termasuk dalam hal ini adalah masalah kekuasaan sebagai bagian dari politik. Konsep kekuasaan adalah konsep hukum publik. Sebagai suatu konsep hukum publik, penggunaan kekuasaan harus dilandaskan pada asas-asas negara hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Berkaitan dengan asas negara hukum adalah asas “wet-en rechtmatigheid van bestuur”. Dengan asas demokrasi tidaklah sekedar adanya badan perwakilan rakyat (inspraak) dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah adalah sangat penting artinya. Asas instrumental berkaitan dengan hakikat hukum administrasi sebagai instrumen. (Philipus M. Hadjon, Pemerintah Menurut Hukum, hal. 2-3).
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
recruitment), konversi (rule masing, rule application, rule adjudication, interest articulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulative extractive, distributive dan responsive). 76 1. Jaksa Agung Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas dan wewenang jaksa agung adalah sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan seperti yang terkandung pada Pasal 37 UU No. 16 Tahun 2004 jo UU No. 55 Tahun 1991. Tugas dan wewenang kejaksaan tersebut sangat luas menjangku area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang sangat luas ini pelaksanaannya dipimpin dan dikendalikan serta dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang diberi predikat jaksa agung. Oleh karena itu, peranan jaksa agung dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan menjadi sangat krusial, lebih-lebih pada saat ini dimana negara sedang dalam proses
reformasi yang salah satu
76
Oka Mahendra, Hukum dan Politik, http://www.geocities.com/RainForest/Vines/3367/oka.html, terakhir diakses pada tanggal 25 Juni 2008. Lebih jauh Oka Mahendra juga mengatakan bahwa hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidka dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsip-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih ditentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsip-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsip-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum (konstitusi) sering dicemari oleh kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk memperkokoh posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang terwujud menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau diselewengkan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum. 77 Di sisi lain, jaksa agung adalah “a man of law”yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi pada presiden dengan kepentingan politiknya. Dalam mewujudkan agenda reformasi yaitu supremasi hukum, rasanya kita memerlukan seorang jaksa agung dengan kualifikasi sebagai abdi hukum, yang memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dan tepat disertai sifat yang jujur. 78 2. Jaksa Dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 1 dinyatakan bahwa jaksa adalah pejabat fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh jaksa agung. Sedangkan pengertian jabatan fungsional jaksa dirumuskan dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 4 sebagai jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Mengingat jaksa mempunyai kualifikasi sebagai pejabat fungsional, maka bagi 77
Frans E. Likadja, Daniel Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal. 9, lihat juga UU No. 15 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, pada dasarnya telah ditetapkan berbagai kebijakan yang mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik. Program-program tersebut adalah : (1). Program pembentukan peraturan perundang-undangna; (2). Program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya; (3) Program penuntasan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia; (4). Program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum. 78 Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hal. 22. Ciri menonjol hukum otonom adalah terikatnya masyarakat secara kuat pada prosedur. Elit penguasa tidak lagi leluasa menggunakan kekuasaan karena ada komitmen masyarakat untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan tata cara yang diatur. Dengan mengacu pada Marryman, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan 3 (tiga) macam tradisi hukum yang kemudian dikaitkan dengan strategi pembangunan hukum. Ada 2 (dua) macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hukum “responsif”, lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta : Yayasan LBHI, 1988), hal. 26-34.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
seseorang untuk dapat diangkat menjadi jaksa harus memenuhi syarat yang lebih dari syarat bagi pegawai negeri. Syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 9 UU No. 16 Tahun 2004 tersebut adalah : 1). Pertama-tama harus lulus penyaringan sebagai pegawai negeri; 2). Setidak-tidaknya harus memiliki diploma sarjana hukum dan; 3). Lulus dari pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa. Sebagai pejabat fungsional, jaksa tidak boleh mempunyai jabatan atau pekerjaan rangkap dan untuk itu jaksa memperolah tunjangan jabatan fungsional di samping mendapat gaji sebagai pegawai negeri (vide Pasal 11 jo Pasal 17 UU No. 16 Tahun 2004). Karena kualifikasinya sebagai pejabat fungsional, maka terhadap seorang jaksa dituntut mampu menunjukkan performance yang lebih baik nilainya dari pada seorang pegawai negeri pada umumnya. Bilamana performance yang lebih itu tidak mampu ditunjukkan, maka seorang jaksa dapat diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 jo Pasal 13 UU No. 16 Tahun 2004. Pemberhentian ini dilakukan oleh jaksa agung, karena beberapa hal, diantaranya : 1). Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatan fungsional jaksa, karena : a. Permintaan sendiri. b. Sakit jasmani atau rohani terus menerus. c. Telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun. d. Meninggal dunia.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
e. Tidak cakap dalam melaksanakan tugas. 2). Jaksa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan fungsional jaksa, bila ia : a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya; c. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; d. Melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ; atau e. Melakukan perbuatan tercela. 3). Dari UU No. 16 Tahun 2004 tersebut sebetulnya telah tegas dan jelas disyaratkan bahwa seorang jaksa adalah seorang yang profesional. Profesionalisme jaksa inilah yang menjadi dasar bahwa jaksa diberi kualifikasi jabatan fungsional. Apabila seorang jaksa ternyata tidak dapat menunjukkan profesionalismenya, maka ia berhadapan dengan sanksi yang cukup berat, yaitu diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat jabatan jaksa (status pegawai negeri tetap). Sanksi ini sebenarnya merupakan garda (penjaga) bagi profesionalisme jaksa. Dalam hubungan ini, ada satu hal lagi yang berkaitan dengan profesionalisme jaksa, yaitu privillege (right as an advantage of favor). Jaksa dengan keahliannya dalam bidang hukum, dengan statusnya mewakili kekuasaan negara sebagai penuntut umum yang dilengkapi dengan kekuasaan atau wewenangnya secara legal dapat
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
melanggar hak asasi manusia (menangkap, menahan, menyita dan sebagainya)
79
,
kemudian menyatakan dirinya sebagai kelompok profesionalisme yang secara legal formal diakui dengan UU No. 16 Tahun 2004. Hal ini kemudian menimbulkan privillege bagi jaksa, misalnya usia pensiun jaksa 62 tahun, mendapat tunjangan jabatan fungsional dan sebagainya. Mengacu dengan program ini, lembaga kejaksaan telah membentuk Komisi Kejaksaan yang membina profesionalisme jaksa untuk memenuhi pesan-pesan yang berkaitan dengan pembinaan profesionalisme jaksa dan sanksi terhadap jaksa yang tidak profesional (vide Peraturan Presiden RI No. 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI). Maka, oleh karenya jaksa harus kembali pada etika jaksa seperti yang tercantum dalam tata krama adyaksa,
80
yaitu bahwa sebenarnya jaksa itu adalah
abdi hukum atau a man of law sekaligus abdi negara dan abdi masyarakat. 81
79
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 295. Adanya kekuasaan dan wewenang pada setiap masyarakat, merupakan gejala yang wajar. Walaupun terwujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri, karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat dan pemersatu yang terwujud dalam diri seseorang atau sekelompok orang-orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang tadi. Sebagai suatu proses, baik kekuasaan maupun wewenang merupakan suatu pengaruh yang nyata atau potensial. 80 Etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti ethos atau mos-moris : kebiasaan dan terutama tingkah laku. Etika menilai tindakan manusia yang bersifat baik dan buruk. Tindakan itu seakan-akan keluar dari manusia, dilakukan dengan sadar atas pilihan, dengan satu kata sengaj. Faktor kesengajaan ini mutlak untuk penilaian baik dan buruk. Objek material etika adalah manusia, sedangkan objek formalnya adalah tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja, Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta : Rieneka Cipta), hal. 13-15. Memang harus diakui bahwa bagaimanapun manusia itu pada umumnya tahu akan adanya baik dan buruk. Akan tetapi kesadaran moral ini tidak selalu ada pada manusia. Lebih jauh dijelaskan bahwa pengetahuan tentang baik dan buruk itu disebut kesadaran etis atau kesadaran moral. 81 E .Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Buku Ichtiar, 1975), hal. 6. Hukum adalah suatu gejala sosial. Tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum. Hukum itu berusaha membawa jaminan bagi seseorang, bahwa kepentingannya diperhatikan oleh tiap orang lain.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pasal 8 ayat (3) dan (4) UU No. 16 Tahun 2004 sebenarnya harus menjadi pondasi bagi setiap jaksa dalam melaksanakan fungsinya dan profesinya. Pasal tersebut mengatakan bahwa jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan dan wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, 82 sehingga dapat dicapai supremasi hukum yang ideal. 83 Jaksa wajib menegakkan hukum, sedang di dalam hukum yang ditegakkan itu di dalamnya terkandung etika hukum yang juga harus ditegakkan. Jadi, menegakkan hukum sebenarnya berarti pula penegakan etika hukum (enforcement of ethics law). 84 Realitas kehidupan masyarakat Indonesia memahamkan hukum sebagai suatu piranti perjuangan serba manfaat untuk mencapai perikehidupan mulia. Paham ini 82
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini bearti hakim harus menemukan hukum. Di dalam hukum perdata dan hukum adat, masalah penemuan hukum sudah merupakan hal yang biasa. Sedangkan hukum pidana berlaku asas legalitas. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak menyebutkan tidak berlaku kewajiban hakim untuk menggali hukum yang hidup bagi hukum pidana. Dengan demikian hakim dalam menangani perkara pidana tetap dapat menemukan hukum, hanya saja tidka menggunakan analogi. Hakim tetap dapat menemukan hukum dan menggali hukum dengan cara melakukan penafsiran. Dengan demikian, kewajiban untk menggali dan memahami nilai-nilai hukum ini merupakan kewajiban bagi hakim dan jaksa sebagai pihak yang terlibat langsung dalam proses peradilan. 83 Supremasi Hukum di Indonesia, diakses dari situs : http://www.groups.yahoo.com/group/indonesia-fr/message/1481, terakhir diakses pada tanggal 30 November 2007. Supremasi hukum di Indonesia cuma pemanis bibir penguasa saja. Lihat saja kinerja insstitusi hukum Menkumdang, Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Kepolisian Negara. Lembagalembaga ini terkesan lemah dan “kurang vitamin” menahan runtuhnya supremasi hukum. Karena itu, tak heran bila masyarakat menilai berbagai peristiwa hukum yang digelar kejaksaan tidak lebih dari rangkaian tontonan hukum yang semu. Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir dari penegakan keadilan di Indonesia belum dapat diharapkan. Begitupun polisi sebagai aparan hukum, masih banyak yang “nakal”, sehingga penegakan supremasi hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. 84 Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa sanksi atas pelanggaran kode etik pada umumnya identik dengan sanksi terhadap pelanggaran norma-norma agama, kesusilaan atau sopan santun. Sekalipun demikian, secara intern, suatu organisasi profesi dapat pula memberikan sanksi yang telah disepakati bersama kepada anggotanya yang melanggar. (Frans Magnis Suseno, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), (Jakarta : Gramedia, 1995), hal. 248.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
memuat pengakuan ontologik bahwa hukum yang baik adalah yang mencerminkan realitas atas rasa keadilan masyarakata, bukan keadilan menurut konsep dari lembaga pembentuk hukum. 85
3. Organisasi Kejaksaan Lembaga kejaksaan pada dasarnya merupakan suatu institusi. Pada umumnya di dalam sebuah institusi terdapat : (a). Norma, budaya dan etika, yang merupakan suatu ketentuan yang tak tertulis tetapi dipraktekkan; (b). Rules, yaitu peraturan-peraturan formal yang tertulis; dan (c). Structure, yaitu organisasi. Keberadaan kejaksaan di Indonesia, sepenuhnya didasarkan pada paradigma atau visi tentang jati diri dan lingkungannya sebagai aparatur negara yang menempati posisi sentral upaya dan proses penegakan hukum dalam rangka mewujudkan fungsi hukum dan supremasi hukum dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). 86 Oleh karena itu, basis pengabdian institusi
85
Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, hal. 23-24. 86 J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Cet. Keenam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal. 142. Recht secara objektif berarti undang-undang, peraturan hukum, hukum secara subjektif berarti hak, kuasa.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kejaksaan dan profesi jaksa adalah sebagai penyelenggara dan pengendali penuntutan atau selaku dominus litis dalam batas jurisdiksi negara. 87 Akuntabilitas kejaksaan RI adalah perwujudan kewajiban kejaksaan RI untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan misi organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan secara periodik. Perlu diketahui bahwa pengertian
akuntabilitas ini berbeda dengan
pengertian akuntabilitas yang dimaksud dalam Pasal 3 angka (7) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini, akuntabilitas tidak dilakukan secara periodik tetapi hanya pada saat penyelenggara negara tersebut berakhir jabatannya. Pertanggungjawaban kinerja kejaksaan RI tersebut memerlukan partisipasi masyarakat karena sudah saatnya masyarakat diberi peran untuk mengawasi kinerja Jaksa Agung RI dan jajarannya. Karena selama ini adanya anggapan bahwa selama ini fungsi pengawasan fungsional eksternal, baik BPK maupun BPKP masih terbatas jangkauannya, sehingga produk yang dihasilkan dianggap sempit dan sektoral, belum menyentuh substansi fungsi yudisial. Namun dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan UU No. 30 Tahun 2002, fungsi pengawasan terhadap kinerja kejaksaan khususnya yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi diharapkan dapat lebih baik lagi dari sebelumnya.
87
Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pokok-Pokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Plattform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, (Jakarta : Kejaksaan Agung RI, 1999), hal. 2.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Begitu pula halnya dengan aparat fungsional internal. Meskipun jangkauan pengawasannya lebih menyeluruh, termasuk kinerja institusi yang menyangkut fungsi yudisial, tetapi terbatas pada aparatur eselon struktural atau fungsional tertentu. Perlu tidaknya proses atau tindak lanjut berkaitan dengan pengawasan tersebut sangat tergantung pada kebijaksanaan jaksa agung. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat untuk mengawasi kinerja kejaksaan sebagai institusi penegak hukum sudah diwadahi dalam bentuk Komisi Kejaksaan (vide Pasal 38 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI jo Peraturan Presiden RI No. 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI) yang mulai diberlakukan pada tanggal 7 Februari 2005. Adapun tugas Komisi Kejaksaan diatur dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2005, yaitu : (1). Komisi Kejaksaan mempunyai tugas : a. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya; b. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap sikap dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan; c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan; dan d. Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan, pemantauan dan penilaian sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c untuk ditindaklanjuti. (2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Kejaksaan wajib : a. Menaati norma hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. Menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Kejaksaan yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Kewenangan Komisi Kejaksaan diatur dalam Pasal 11 PP No. 18 Tahun 2005 tentang Komsi Kejaksaan RI, yang berbunyi sebagai berikut :
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Komisi Kejaksaan berwenang : a) Menerima laporan dari masyarakat tentang perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun di luar kedinasan; b) Meminta informasi dari badan pemerintah, organisasi atau anggota masyarakat berkaitan dengan kondisi dan kinerja di lingkungan kejaksaan atas dugaan pelanggaran peraturan kedinasan kejaksaan maupun yang berkaitan dengan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan di dalam atau di luar kedinasan; c) Memanggil dan meminta keterangan kepada jaksa dan pegawai kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kedinasan kejaksaan; d) Meminta informasi kepada badan di lingkungan kejaksaan berkaita ndengan kondisi organisasi, personalia, sarana dan prasarana; e) Menerima masukan dari masyarakat tentang kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia di lingkungan kejaksaan; f) Membuat laporan, rekomendasi, atau saran yang berkaitan dengan perbaikan dan penyempurnaan organisasi serta kondisi lingkungan kejaksaan, atau penilaian terhadap kinerja dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan kepada Jaksa Agung dan Presiden. Jimly Asshiddiqie dalam sebuah tulisannya pernah menyatakan bahwa pembahasan tentang organisasi dan kelembagaan negara dapat dimulai dengan mempersoalkan hakikat kekuasaan yang dilembagakan. Kuncinya terletak pada apa dan siapa sesungguhnya pemegang kekuasaan tertinggi atau pemegang kedaulatan (sovereighty). 88 Di Indonesia sendiri, sejak kemerdekaan, secara resmi telah memilih bentuk republik. Berkaitan dengan konsep kekuasaan tertinggi, Indonesia pada dasarnya mengakui adanya konsep kedaulatan Tuhan yang diwujudkan dalam gagasan hukum dan kedaulatan rakyat. Prinsip kedaulatan hukum diwujudkan dalam gagasan rechtstaat atau rule of law.
Dalam perwujudannya perumusan hukum tersebut
88
Jimly Asshiddiqie, Pengorganisasian Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif, Jurnal Keadilan Vo. 2 No. 1 Tahun 2002, (Jakarta : Pusat Kajian Hukum dan Keadilan, 2002), hal. 5.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dilakukan melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Akuntabilitas sering dikaitkan dengan upaya mewujudkan suatu pemerintahan yang demokratis. 89 Salah satu prasyarat mewujudkan demokrasi itu adalah civil society yang terwujud kalau ada akuntabilitas negara (state accountability). 90 Akuntabilitas itu ada atau tidak ada bergantung pada kesadaran, semangat dan visi politik masyarakat. Penerapan prinsip akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik
dan
accountability),
pembangunan pelaksanaan,
(program
accountability),
pemantauan
dan
pembiayaan
penilaiannya
(fiscal
(process
of
accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability). Akuntabilitas paling tidak memberi manfaat khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui seberapa besar efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan setiap kegiatan publik oleh pemerintah yang notabene dibiayai oleh uang rakyat. 91 Inilah salah satu
89
Lihat dalam : http://www.suaramerdeka.com/harian/0303/03/nas6.htm), terakhir diakses pada tanggal 29 Februari 2008. APBD suatu daerah harus akuntabel, yang dibuktikan dengan tersedianya informasi kegiatan dan kinerja keuangan APBD secara transparan. Akuntabilitas politik mencakup akuntabilitas hukum dan peraturan, akuntabilitas proses, akuntabilitas program, dan akuntabilitas kebijakan. Akuntabilitas kebijakan berhubungan dengan transparansi kebijakan anggaran, yang memungkinkan masyarakat dapat melakukan penilaian dan pengawasan serta terlibat dalam pengambilan keputusan. 90 Adi Ekopriyono, Akuntabilitas DPRD, http://www.suaramerdeka.co.id, terakhir diakses pada tanggal 21 Mei 2008. 91 Sinoeng N. Rachmadi, Pentingnya Akuntabilitas Pemerintahan, http://www.bapeda.id, terakhir diakses pada tanggal 16 Januari 2008.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
tolok ukur utama dari akuntabilitas dan transparansi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akuntabilitas erat hubungannya dengan independensi. Keberhasilan untuk membentuk adanya independensi tidak terlepas dari peranan dan pembentukan hukum. Harus diingat bahwa hukum dalam kerangka pemerintah yang dimaksud adalah yang memang benar-benar diciptakan melalui proses yang benar dan sesuai dengan aspirasi rakyat, dengan mengacu pada kepentingan rakyat dan keadilan sosial. 92 Kejaksaan merupakan institusi sentral dalam penegakan hukum yang dimiliki oleh semua negara yang menganut paham rule of law. 93 Penerapan ini bersifat beraneka ragam dengan memperhatikan posisi, tugas, fungsi dan kewenangan sesuai dengan sistem hukum yang dianut suatu negara. Dari berbagai peraturan dapat diketahui bahwa peran, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan sangat luas dan menjangkau area hukum pidana, perdata dan tata usaha negara. Tugas dan wewenang yang
sangat
luas
ini
pelaksanaannya
dipimpin
dan
dikendalikan
serta
dipertanggungjawabkan oleh seorang yang diberi predikat jaksa agung.
92
Harkristuti Harkrisnowo, Good Corporate Governance dan Independensi Birokrasi, terakhir diakses pada tanggal 10 Februari 2008. 93 Konsep dari rule of law diberikan oleh beberapa ahli. A.V. Dicey, menyatakan bahwa the rule of law harus memenuhi unsur-unsur tertentu, yaitu : - Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum). - Persamaan dalam kedaulatan hukum bagi setiap orang. - Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kejaksaan adalah lembaga yang independen atau mandiri 94 dari lembaga penegak hukum lain maupun lembaga pemerintahan dan lembaga politik. Kemandirian kejaksaan secara lembaga bukan berarti melepaskan independensi kejaksaan
dengan lembaga lain, melainkan lepas dari segala bentuk intervensi.
Dalam hal ini kemandirian secara institusional adalah kemandirian secara eksternal, yang memiliki dampak kemandirian secara personal terhadap aparatur kejaksaan dalam menjalankan fungsi penuntutannya. 95 Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan RI secara normatif dapat dilihat bahwa dalam beberapa ketentuan undang-undang mengenai kejaksaan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004, yaitu : (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
94
Tri Rahadian memberi asumsi bahwa independent adalah kemerdekaan. Independence, adalah kebebasan, kemerdekaan yang berarti merdeka, bebas dan tidak dipengaruhi orang lain. Sedangkan mandiri, juga mempunyai arti yang hampir sama dengan independen tersebut, yakni mandiri, adalah dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, sedangkan kemandirian merupakan hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2001). 95 Integrated Prosecution Justice System, Suatu Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, http://www.ipjs.com, terakhir diakses pada tanggal 8 April 2008. Pembaruan dalam tubuh kejaksaan tidak bisa lepas dari permasalahan visi lembaga kejaksaan yang akan dibangun di masa mendatang. Tak dapat dipungkiri bahwa visi adalah hal yang penting dalam merumuskan bentuk kejaksaan yang sama sekali baru. Pemikiran yang liar tentang kejaksaan bukanlah hal yang harus ditakutkan, karena keliaran pemikiran akan menghasilkan suatu pemikiran yang sama sekali baru. Dalam rangka pembaruan kejaksaan, keliaran pemikiran tentang visi kejaksaan yang baru akan membawa angin perubahan yang sifatnya idealis pragmatis. Perumusan visi hendaknya dilatarbelakangi ole hsuatu pemikiran yang filosofis, sehingga pemaknaan dalam bentuk kata-kata dapat diterjemahkan secara luas dalam visi kejaksaan baru. Visi kejaksaan yang independen harus dipandang sebagai suatu kebutuhan bukan keharusan. Makna independent adalah Free from the Authority, control or influence of others, self-governing, selfsupporting, not committed to an organized political party. Dengan kata lain perkataan bahwa independensitas kejaksaan bergantung pada dirinya dalam mengambil jarak terhadap berbagai institusi yang ada di luar dirinya (External Institution).
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
a. Melakukan penuntutan. 96 b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 97 c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. 98 d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang. e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam
bidang
ketertiban
dan
ketentraman
umum,
kejaksaan
turut
menyelenggarakan kegiatan : 96
Dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a dijelasakan bahwa dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 97 Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengsampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanakan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. 98 Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c bahwa yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengamanan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Selanjutnya Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang yang tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. 99 Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
99
Penjelasan Pasal 33 menyatakan : adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Setelah mencermati isi beberapa pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang kejaksaan RI adalah sebagai berikut : 1). Di bidang hukum pidana, kejaksaan mempunyai tuas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan. b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang. e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2). Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar negeri untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3). Dalam bidang ketertiban umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengamanan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 4). Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak. 5). Membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan badan negara lainnya. 6). Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Di samping tugas dan wewenang kejaksaan RI di atas, jaksa agung memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004, yaitu : a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan. b. Mengaktifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang. c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. 100 d. Mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara. 101 e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi pidana.
100
Penjelasan Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 huruf c, yang dimaksud dengan kepentingan umuum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. 101 Penjelasan Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 huruf d yang menyatakan bahwa : pengajukan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
f. Mencegah atau menangkap orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 36 UU No. 16 Tahun 2004 mengatur bahwa : (1) Jaksa agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam (2) keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. 102 (3) Izin tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepada kejaksaan negeri setempat atas nama jaksa agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh jaksa agung. (4) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukan perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. 103 102
Pada Penjelasan Pasal 36 UU No. 16 Tahun 2004 ayat (1) dinyatakan bahwa : untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada jaksa agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan keputusan jaksa agung. Diperlukan izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan penangkalan. Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab kejaksaan. Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada. 103 Penjelasan Pasal 36 UU No. 16 Tahun 2004 ayat (3) dinyatakan bahwa : selain rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar negeri, juga disyaratkan adanya jaminan tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang sejumlah kerugian negara yang diduga dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Apabila tersangkat atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kemudian Pasal 37 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa : (1) Jaksa agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. (2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas. Sementara itu, dalam UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia diatur tugas dan wewenang kejaksaan RI, Pasal 27 menegaskan bahwa : (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; b. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan; 104 c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat. 105 d. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 106
jangka waktu 1 (satu) tahun, uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Pelaksanaannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 104 Penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf b menegaskan, bahwa : dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengenyampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak . Melaksanakan putusan pengadilan tersebut juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. 105 Penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf c dinyatakan bahwa : yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman. 106 Penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf di menyatakan bahwa : untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Tidak dilakukan terhadap tersangka. 2) Hanya terhadap perkara yang sulit pembuktiannya dan/atau meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara..
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : 107 a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum. c. Pengamanan peredaran barang cetakan. d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pasal 31
UU No. 16 Tahun 2004, menetapkan bahwa kejaksaan dapat
meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Sementara
itu, Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa
disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP. 4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik. 107 Penjelasan Pasal 27 ayat (3) menyatakan bahwa : tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/atau edukatif dengan “turut menyelenggarakan” adalah mencakup kegiatan-kegiatan membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya, Pasal 33 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.108 Kemudian Pasal 35 mengatur bahwa jaksa agung mempunyai tugas dan wewenang : a) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup dan wewenang kejaksaan. b) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang. c) Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. 109 d) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara. 110 e) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.
108
Penjelasan Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan RI, adalah : menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerjasama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertical secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas dan wewenang masing-masing. Kerjasama antara kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. 109 Penjelasan Pasal 35 huruf c menyatakan bahwa : yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, hanya dapat dilakukan oleh jaksa agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. 110 Penjelasan Pasal 35 huruf d menyatakan bahwa : pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
f) Mencegah atau menangkal orang-orang tertentu masuk ke dalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan negara RI kerena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, kejaksaan RI dengan segala tugas dan wewenangnya, seyogyanya dapat mewujudkan hukum yang berkeadilan, karena tanpa adanya hukum yang berkeadilan, sulit diharapkan bahwa hukum dapat akan diterima dan dijadikan panutan. Tentu harus diingat bahwa melakukan pembaruan hukum dan aparatnya tidak dapat dilakukan dengan cepat, memang diperlukan cukup waktu, namun harus diupayakan agar pembaruan ini dapat dicapai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu pilar yang menjadi necessary condition untuk supremasi hukum yang berkeadilan. Untuk ini diperlukan adanya masyarakat yang terdidik, sehingga mampu untuk mengurai makna keberadaan mereka dalam negara, termasuk menjalankan hak
dan kewajiban mereka. Pada
gililrannya, untuk mendampingi masyarakat yang terdidik ini,
harus didukung
dengan adanya pemerintahan yang baik (good governance). Pada akhirnya, sinergi antara
masyarakat yang mengerti dan partisipatif
dengan penyelenggaraan
pemerintahan yang demokratis, transparan, bertanggung jawab dan berorientasi pada HAM, suatu saat kelak, dapat sungguh-sungguh mewujudkan Indonesia yang berkeadilan sosial secara de facto bukan hanya de jure.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
C. Tinjauan Umum mengenai Kepailitan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Seperti telah disinggung di atas, pengertian kepailitan, secara defenitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam Undang-Undang Kepailitan. Namun para sarjana kebanyakan mendasarkan defenisi kepailitan dari berbagai sudut pandang, juga dari berbagai pasal di dalam Undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berhutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu itu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang dan untuk jumlah piutang masing-masing kreditur memiliki pada saat itu. Jadi, apabila di tarik unsur-unsur kepailitan, dapat dilihat sebagai berikut : 111 1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor. 2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan. 3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya bersama-sama. Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam hukumnya. Di Indonesia sendiri, secara formal hukum kepailitan sudah diatur dalam sebuah undang-undang khusus. Sementara seiring dengan waktu yang berjalan, kehidupan perekonomian berlangsung pesat, maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang dapat menjawab berbagai kondisi yang terjadi, yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesainnya terhadap kehidupan perekonomian nasional. 111
Victor M. Situmorang & Hendri Soekarso, Loc.cit.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Mengingat restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil
baik,
sedangkan
upaya
melalui
kepailitan
dengan
menggunakan
Faillissementsverordening yang masih berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya, maka
kreditur, terutama kreditur luar negeri,
menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissements Verordening, secepatnya dapat diganti atau dirubah. IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para kreditur luar negerinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana telah disebutkan di atas, maka IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara resmi mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan berlaku, yaitu Faillissements Verordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para krediturnya. Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening). Berdasarkan perkembangan yang terjadi, selanjutnya oleh Pemerintah dianggap perlu untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang kepailitan di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuanketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, yang jika ditinjau dari materi yang diatur
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
masih memiliki banyak kelemahan. Oleh karena hal tersebut di atas,
maka
pemerintah menganggap perlu untuk menerbitkan undang-undang kepailitan yang baru, yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang. Undang-undang ini dianggap perlu karena beberapa alasan, yaitu 112 : 1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur. 2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya. 3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur. Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam perkara kepailitan ditemukan pihak-pihak yang mengajukan di diajukan dalam permhonan pernyataan kepailitan. Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak yang mengajukan atau pemohon pailit
yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut
112
Penjelasan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
sebagai pihak Penggugat (Pemohon Pailit). Di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu : 1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank. 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek. 6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi.
1. Syarat-Syarat Kepailitan Syarat-syarat tersebut penting karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUK: Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya. 1. Dalam Pasal 1 ayat (1) No. 37 Tahun 2004 tersebut di atas digunakan dua istilah yang sebenarnya sama artinya, yaitu permohonan ("... baik atas permohonannya
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
sendiri...") dan permintaan ("...maupun atas permintaan seorang..."). Tidak jelas mengapa tidak digunakan satu istilah saja, yaitu apakah menggunakan istilah "permohonan" saja atau istilah "permintaan" saja. 2. Syarat Paling Sedikit Harus Ada 2 (dua) Kreditor (Concursus Creditorum) Pengadilan Niaga dalam putusannya No. 26/Pailit/1999/PN.Niaga/ Jkt.Pst. tanggal 31 Mei 1999 dalam perkara kepailitan antara PT Liman Internasional Bank sebagai Pemohon Pailit melawan PT Wahana Pandugraha sebagai Termohon Pailit berpendirian bahwa Kantor Palayanan Pajak Jakarta-Gambir dan Kantor Pelayan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Pandeglang yang ditarik dalam permohonan sebagai Kreditor lain oleh pemohon dan ditolak oleh yang bersangkutan, maka Majelis Hakim dapat menerima alasan penolakan tersebut karena utang pajak timbul berdasarkan ketentuan undang-undang bukan karena adanya perjanjian utang-piutang antara Termohon dengan Kantor Pelayanan Pajak. Terhadap perkara tersebut Mahkamah Agung RI dalam putusan Kasasinya, yaitu putusan No. 015K7N/1999 tanggal 14 Juli 1999 mengemukakan dalam pertimbangannya: bahwa Kantor Pelayanan Pajak maupun Kantor Pelayana Pajak Bumi dan Bangunan, tidak termasuk Kreditor dalam ruang lingkup pailit. Bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari UU No. 6 tahun 1983 (sebagaimana dirubah dengan UU No. 9 tahun 1994, Ketentuan Umum Perpajakan = KUP). Berdasarkan undang-undang tersebut, memberi kewenangan khusus Pejabat Pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak di luar campur tangan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kewenangan Pengadilan. Dengan demikian terhadap tagihan utang pajak harus diterapkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU No. 4 tahun 1998, yakni menempatkan penyelesaian penagihan utang pajak berada di luar jalur proses pailit, karena mempunyai kedudukan hak istimewa penyelesaiannya. Harus dibedakan antara pengertian Kreditor dalam kalimat "...mempunyai dua atau lebih Kreditor..." dan Kreditor dalam kalimat "...atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya." yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa Debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu Kreditor saja. Dengan demikian menurut pendapat penulis, kata "Kreditor" yang dimaksud dalam kalimat yang pertama itu adalah sembarang Kreditor, yaitu baik Kreditor konkuren maupun Kreditor preferen. Yang ditekankan di sini adalah bahwa keuangan Debitor bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang. Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukanbahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh Debitor sendiri tetapi juga oleh Kreditor. Dalam kalimat yang kedua ini, Kreditor yang dimaksud adalah Kreditor konkuren. Mengapa harus Kreditor konkuren adalah karena seorang Kreditor separatis atau Kreditor pemegang Hak Jaminan tidak memmpunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat Kreditor separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan Hak Jaminan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Apabila seorang Kreditor separatis merasa kurang terjamin sumber pelunasan piutangnya karena nilai Hak Jaminan yang dipegangnya lebih rendah daripada nilai piutangnya, dan apabila Kreditor separatis itu menghendaki untuk memperoleh sumber pelunasan dari harta pailit, maka Kreditor separatis itu harus terlebih dahulu melepaskan hak separatisnya, sehingga dengan demikian berubah statusnya menjadi Kreditor konkuren. 113 Berlakunya ketentuan bahwa Debitor harus mempuyai dua atau lebih Kreditor, menimbulkan masalah hukum. Haruskah Kreditor pemohon pernyataan pailit membuktikan bahwa Debitor mempunyai Kreditor lain selain dari Kreditor pemohon? Apabila memang Kreditor pemohon diharuskan untuk dapat membuktikan bahwa selain Kreditor pemohon masih ada Kreditor lain, hal itu tidaklah mudah dilakukan oleh Kreditor tersebut. Oleh karena tidak ada ketentuan yang mewajibkan agar setiap utang yang diterima oleh seorang Debitor harus didaftarkan pada suatu badan tertentu yang diserahi tugas untuk mencatat utang-utang dalam suatu daftar khusus, maka sulit bagi Kreditor pemohon untuk dapat mengetahui siapa saja Kreditor-kreditor dari Debitor. Oleh karena menurut KUH Acara Perdata Indonesia (HIR) seorang yang mengajukan gugatan atau permohonan harus membuktikan kebenaran gugatan atau permohonannya, atau dengan kata lain beban pembuktian ada pada
113
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Jakarta :Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 109.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
penggugat atau pemohon, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor (terdapat Kreditor lain selain Kreditor pemohon), dan harus dapat pula menyebutkan dengan mengemukakan bukti-bukti siapa saja Kreditor-kreditor lain itu. 3. Syarat Harus Adanya Utang Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. UU No. 37 Tahun 2004 tidak menentukan apa yang dimaksudkan dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidak adanya utang. Pihak-pihak yang dimaksud ialah (penasihat hukum dari) pemohon, (penasihat hukum dari) Debitor, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga, Majelis Hakim Kasasi, maupun Majelis Hakim Peninjauan Kembali. 4. Syarat Utang Harus Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan tersebut ternyata dari kata "dan" di antara kata "jatuh waktu" dan "dapat ditagih". Kedua istilah itu dapat berbeda pengertiannya dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Pada perjanjian-perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula Kreditor berhak untuk menagihnya.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pengertian "utang yang telah jatuh waktu" dan "utang yang telah dapat ditagih" berbeda. "Utang yang telah jatuh waktu", atau utang yang telah expired, dengan sendirinya menjadi "utang yang telah dapat ditagih", namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu.
Utang
hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utangpiutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh Debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu. Misalnya saja telah sampai jadwal cicilan bagi pelunasan kredit investasi yang ditentukan bertahap, misalnya setiap 6 (enam) bulan sekali setelah masa tenggang (grace period) lampau, dan harus telah dilunasi seluruhnya pada akhir perjanjian yang bersangkutan. Namun, suatu utang sekalipun jatuh waktunya belum tiba, mungkin saja utang itu telah dapat ditagih, yaitu karena telah terjadi salah satu peristiwa yang disebut events of default sebagaimana ditentukan ai dalam perjanjian itu. 114 Maka seyogianya kata-kata di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi "utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih" diubah menjadi cukup berbunyi "utang yang telah dapat ditagih" atau "utang yang telan dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuh waktu atau belum". Penulisan seperti kalimat yang penulis usulkan itu akan menghindarkan selisih pendapat apakah utang yang "telah dapat ditagih" tetapi belum "jatuh waktu" dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Biasanya diberikan
114
Ibid, hal. 110.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
somasi dahulu apabila tidak diindahkan, maka Debitor tersebut dianggap lalai dan utang telah dapat ditagih. 5. Syarat Cukup Satu Utang Saja Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih Bunyi Pasal 1 ayat (1) di dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 merupakan perubahan dari bunyi Pasal 1 Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) sebelum diubah, yaitu bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv, adalah: Setiap Debitor yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit. Seyogianya salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pemyataan pailit terhadap seorang Kreditor adalah bahwa selain Debitor memiliki lebih dari seorang Kreditor, Debitor tersebut harus pula dalam keadaan insolven, yaitu tidak membayar lebih dari 50% (lima puluh perseratus) utang-utangnya. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 maupun dalam pasal-pasal lain, tidak ditentukan bahwa apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang Kreditor, dipersyaratkan bahwa utang kepada Kreditor pemohon harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih serta tidak dibayar oleh Debitor. Dengan demikian dapat dipertanyakan apakah seorang Kreditor sekalipun piutangnya belum jatuh waktu dan dapat ditagih boleh tampil sebagai pemohon pernyataan pailit dengan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
syarat pemohon harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki utang kepada Kreditor lain yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. 115 Bank pemberi kredit secara mudah dapat mengetahui keadaan keuangan para Debitornya dari laporan hasil pemeriksaan (audit) oleh akuntan publik yang diwajibkan oleh bank yang bersangkutan untuk disampaikan oleh Debitor kepada bank dari waktu ke waktu. Kalau Kreditor hanya boleh mengajukan permohonan pernyataan pailit menunggu sampai utang Debitor telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang mungkin saja masih agak lama, maka kepentingan Kreditor dapat sangat dirugikan. Berbeda dengan kasus di atas, dapat muncul kasus lain. Misalnya, Debitor D memiliki utang kepada Kreditor A, B, dan C. Utang kepada Kreditor A telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sedangkan utang Debitor kepada Kreditor B, dan C, belum jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam kasus ini pertanyaan yang timbul adalah apakah dimungkinkan permohonan pailit diajukan oleh Kreditor A karena utang Debitor kepadanya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi utang Debitor terhadap Kreditor B dan C belum jatuh waktu dan dapat ditagih? Dari bunyi Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dapat ditafsirkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor dapat diajukan cukup apabila Debitor tidak membayar hanya untuk satu utang saja yang telah jatuh waktu dan dapa ditagih, sepanjang Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor. Sekali lagi, Debitor
115
H. Man. S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2006), hal. 23.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
harus dalam keadaan insolven (telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para Kreditornya), bukan sekadar tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor lainnya Debitor masih melaksanakan kewajiban pembayaran utang-utangnya dengan baik. 116 Dalam hal Debitor hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor yang lain Kreditor masih membayar utang-utangnya, ma.ka terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa.) Ada sebuah contoh yang sangat menarik mengenai putusan pailit Pengadilan Niaga terhadap suatu perusahaan yang masih solven hanya berdasarkan dalih bahwa perusahaan tersebut tidak membayar kewajibanya kepada salah satu Kreditor tertentu saja, sekalipun kepada Kreditor-kreditor lainnya perusahaan tersebut masih memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik. Putusan yang dimaksud adalah Putusan
Pengadilan
Niaga
pada
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
No.
"PAILIT/2000/PN. NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002 itu, yang menyatakan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) pailit. Putusan tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam negri, tetapi juga dari dunia internasional. 117 Manulife adalah Suatu perusahaan asuransi yang didirikan oleh sebuah perusahaan di Kanada, saham sebesar 51%, Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk 40%, dan 116
Ibid, hal. 25 Syarat-Syarat Kepailitan, http://www.hukumonline.com, terakhir diakses pada tanggal 2
117
Juli 2008.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
International Finance Corporation (IFC) 9%. Perusahaan asuransi jiwa yang tergolong terbesar di Indonesia itu pada saat dipailitkan memiliki keadaan keuangan yang cukup baik dengan aset senilai Rp 1,3 triliun, 400 ribu pemegang polis. Dengan alasan tidak membayar dividen keuntungan perusahaan tahun 1998, PT. AJMI dimohon melalui Pengadilan Niaga Jakarta untuk dinyatakan pailit. Yang memohon putusan pernyataan pailit itu ialah Paul Sukran, S.H. yang berkedudukan selaku Kurator dari perusahaan yang sudah dinyatakan pailit sebelumnya, yaitu PT. Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk. (PT. DSS), yang pada 1998 memiliki 40% saham PT. AJMI sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sesudah PT DSS pailit, saham PT. AJMI miliknya dilelang dan dibeli oleh Manulife. Pertimbangan PT. DSS sebagai pemohon dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. AJMI itu adalah bahwa dengan dinyatakannya PT. DSS pailit, maka segala sesuatu yang menyangkut pengurusan harta kekayaan PT. DSS (Debitor pailit) sepenuhnya dilakukan oleh Kurator. Selaku Kurator yang diangkat berdasarkan Penetapan Pengadilan Niaga, Pemohon (sebagai Kurator) bertugas melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit serta berusaha mengumpulkan semua harta kekayaan yang dimiliki oleh PT. DSS termasuk tugasnya sebagai Kurator, adalah melakukan penagihan kepada PT. AJMI selaku termohon berupa membayarkan dividen tahun buku 1999 berikut bunga-bunganya kepada PT. DSS selaku pemilik/pemegang 40% saham pada PT. AJMI yang tercatat untuk tahun buku 1999. Dalam Pasal X Akte Perjanjian Usaha Patungan, di antara para pemegang saham, dalam mendirikan PT. AJMI, telah disepakati bahwa "Sejauh perusahaan memperoleh laba dan telah
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
mendapatkan suatu surplus untuk dibagikan kepada para pemegang saham untuk tahun pembukuan Perusahaan yang mana pun (sebagaimana dapat dilihat dari Laporan Keuangan yang telah diaudit sehubungan dengan tahun pembukuan yang bersangkutan), hak akan mengatur agar perusahaan (PT. Asuransi Jiwa Manulifesemua membayar dividen sedikitnya sama dengan 30% dari life surplus yang melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 118 Berdasarkan Laporan Keuangan PT. AJMI tahun buku 1999 dan 1998 yang dibuat oleh ERNST & YOUNG selaku auditor independen, "Consolidated Financial Statement Desember 31, 1999 and 1998 telah ditentukan bahwa PT AJMI telah mendapat surplus dari keuntungan sebesar Rp 186.306.000.000,00 (seratus delapan puluh enam miliar tiga ratus enam juta rupiah). Berdasarkan Laporan Keuangan tersebut dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, dividen yang harus dibagikan kepada para pemegang saham Termohon (PT AJMI) adalah sebesar Rp 55.891.800.000,00 (lima puluh lima miliar delapan ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah) yaitu sebesar 30% x Rp 186.306.000.000,00. Berdasarkan hal tersebut di atas dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, PT DSS sebagai pemegang saham sebanyak 40% berhak untuk mendapat pembagian dividen beserta bunga-bunganya sebesar 40% x Rp 55.891.800.000,00, yaitu sebesar Rp 22.356.720.000,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus lima puluh enam juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah). Total kewajiban Termohon kepada Pemohon setelah utang 118
Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dividen itu ditambah dengan bunga yang belum dibayarkan sejak tanggal 01 Januari 2000 sampai dengan 30 April 2002 (2 tahun 4 bulan) dengan perhitungan bunga sebesar 20% pertahun adalah berjumlah Rp 32.789.856.000,00 (tiga puluh dua milyar tujuh ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah). Termohon dengan berbagai alasan berusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar dividen tersebut yang telah diupayakan penagihannya oleh Pemohon. 119 Permohonan Pemohon untuk memailitkan Termohon PT. AJMI telah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan sebagaimana dikemukakan di atas. Sehubungan dengan putusan pernyataan pailit terhadap PT. AJMI oleh Pengadilan Niaga tersebut reaksi keras datang dari pemerintah Kanada. Reaksi keras tersebut muncul karena MI merupakan perusahaan yang keadaan keuangannya masih solven. Menteri Luar Negeri Kanada Bill Graham pernah mengatakan pemerintah Kanada mempertimbangkan untuk melancarkan aksi retaliasi (balasan) terhadap Pemerintah RI karena dinilai tidak menunjukkan respons yang memadai berkaitan dengan kasus pailit PT. Asuransi AJ Manulife Indonesia (AJMI) yang kontroversial. Graham, mengatakan Pemerintah Kanada akan mengkaji semua opsi, termasuk kemungkinan menerapkan sanksi terhadap Pemerintah Indonesia. Bahkan, ia tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menghadapi sanksi internasional. Lebih lanjut Ferry de Kerckhove Duta Besar Kanada untuk Indonesia, menuding Pemerintah Rl tidak berbuat apa-apa untuk memecahkan kasus sengketa antara Manulife Financial 119
Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Corp dengan mantan mitra lokalnya, Dharmala Group, yang berlarut-larut sejak tahun 1998. Beliau menyatakan bahwa pemerintah Canada tidak puas dengan respons yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. 120 Duta Besar Prancis untuk Indonesia Herve Ladseus dalam konferensi pers usai pertemuan dengan Jajaran pemerintah Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu, mendesak pemerintah RI bersikap tegas dalam menegakkan aturan hukum, agar para investor asing mendapat kepastian keamanan atas modal yang telah ditanarnkan di Indonesia. Menurut dia, kasus PT. AJMI merupakan suatu presenden buruk terhadap iklim investasi di Indonesia. Investor asing akan semakin enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal senada diungkapkan oleh Presiden American Chamber of Commerce (Kamar Dagang dan Industri/Kadin Amerika) Carol Hessler, yang menyatakan bahwa reformasi hukum merupakan hal yang sangat penting untuk saat ini. 121 Deputi Managing Director IMF, Anne Krueger, Dow Jones Newswires, bahkan menyatakan dengan tegas, IMF tidak senang atas perkembangan di Indonesia menyangkut privatisasi dan juga reformasi hukum. Salah satu yang disoroti Krueger menyangkut keputusan kontroversi Pengadilan Niaga yang akhirnya memailitkan AJMI. Kueger juga mengaku, IMF sependapat dengan Pemerintah Kanada dan juga para investor asing bahwa keputusan pengadilan tersebut akan dapat mengurangi 120
Buntut Kasus Pailit PT AJMI; Ka Pertimbangkan Sanksi Untuk RF, Harian Kompas, edisi tanggal 21 Juni 2002. 121
Menko Perekonomian: Kasus PT AJMI Harus Jadi Pelajaran, Harian Kompas, edisi Kamis, 20 Juni 2002.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
minat investor asing untuk berinvestasi ke Indonesia. Sehubungan dengan reaksi pemerintah Kanada tersebut di atas, Staf Ahli Menko Perekonomian, Mahendra Siregar, mengemukakan bahwa di dalam negara demokrasi, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam proses ataupun keputusan pengadilan. Terutama, kata dia, dalam kasus perdata, seperti Manulife. Siregar juga mengharapkan pemerintah Kanada dapat memahami apa yang sedang dilakukan oleh Indonesia dalam menjalankan agenda reformasi, terutama di bidang hukum. 122 Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mengatakan bahwa masalah kepailitan PT.AJMI merupakan gambaran Indonesia yang ada pada saat ini dan pemerintah tidak bisa mencampuri masalah yudikatif. Atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, PT. AJMI telah mengajukan Kasasi. Reaksi-reaksi tersebut (seperti gugatan korupsi, tekanan negara luar) akhirnya berhenti setelah kemudian Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor: 021K/N/202 tanggal 5 Juli 2002 telah mengabulkan permohonan Kasasi dari Pe-mohon Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 13 Juni 2002 Nomor 10/PAILIT/ 2002/PN.NIAGA.JKT.PST. 123 Ini adalah contoh kontroversi berdasarkan syarat-syarat dimungkinkannya perusahaan yang masih solven dipailitkan hanya dengan alasan karena ada salah satu Kreditor yang utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tidak dibayar, sekalipun kepada Kreditor yang lain kewajiban-kewaiiban Debitor masih dipenuhi dengan baik. 122
Ibid. Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Kepailitan PT. AJMI Contoh Kasus Kepailitan di Indonesia, Harian Kompas, edisi Rabu, 20 Juni 2002. 123
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Jadi dengan persyaratan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 maka terhadap terjadinya wanprestasi oleh orang perorangan atau suatu badan hukum (Debitor) berkaitan dengan kewajiban kontraktual pada khususnya atau kewajiban hukum pada umumnya kepada pihak lain (Kreditor), pihak yang dirugikan (Kreditor) telah diberi dua pilihan oleh hukum yang berlaku untuk dapat menuntut haknya, yaitu apakah akan menuntut haknya melalui Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa) dengan mengajukan gugatan atau mengajukan permohonan pailit melalui Pengadilan Niaga.124 Oleh karena persyaratan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) No. 37 Tahun 2004 tersebut dapat menimbulkan malapetaka bagi dunia usaha, dan lebih lanjut dapat mengurangi minat luar negeri untuk menanamkan modal di Indonesia, dan dapat menyebabkan keengganan lembaga-lembaga pemberi kredit untuk membiayai penrusahaan-perusahaan di Indonesia. UU No. 37 Tahun 2004 pada hakekatnya harus menganut asas bahwa hanya perusahaan yang insolven saja yang dapat dinyatakan pailit sebagaimana yang dianut oleh undang-undang kepailitan di banyak negara.
2. Keadaan dan Prosedur Permohonan Kepailitan Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dengan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 37 124
Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Tahun 2004 ditetapkan oleh pengadilan niaga, yaitu pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat
kedudukan hukum debitor. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut, maka permohonan pernyataan pailit oleh pihak-pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 UUK harus ditujukan kepada Pengadilan Niaga. 125 Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut, yang perlu diketahui adalah kepada pengadilan niaga mana permohonan itu harus dialamatkan. Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan dengan kewenangan pengadilan niaga
yang berkaitan
dalam memutus permohonan pernyataan
pailit. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Pengadilan Niaga
yang
berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, dalam hal debitor adalah persero atau firma, pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firmat tersebut juga berwenang memutuskan. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut mengemukakan bahwa dalam hal menyangkut putusan atas permohonan pernyataan pailit oleh lebih dari satu pengadilan niaga yang berwenang mengenai debitor yang sama pada tanggal yang berbeda, maka putusan yang 125
H. Man S. Sastrawidjaja, Op.cit, hal. 30.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
diucapkan pada tanggal
yang lebih awal adalah yang berlaku. Selanjutnya
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut menentukan pula bahwa dalam hal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan niaga yang berbeda pada tanggal yang sama mengenai debitor yang sama, maka yang berlaku adalah putusan pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum debitor. Bagaimana halnya apabila debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia. Menurut Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, dalam hal debitor tidak
bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi
menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, pengadilan niaga yang berwenang memutuskan adalah pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor yang menjalankan profesi atau usahanya itu. Bagaimana menentukan pengadilan niaga mana yang berwenang dalam hal debitor adalah suatu badan hukum, seperti perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan. Menurut Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004, dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Dengan kata lain, pengadilan niaga yang berwenang memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum dari bad an hukum yang bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut. Menurut Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dapat
diajukan atas persetujuan suami
atau istrinya. Mengenai ketentuan ini,
penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya
berlaku apabila
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor. Persetujuan dari suami atau istri debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004,
Pasal 3 ayat (2) UU No. 37 tahun 2004 menentukan, bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 tahun 2004, mengatur sebagai berikut : (1) Dalam permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada persatuan harta. Menurut Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor. Persetujuan dari suami atau istri diperlukan, karena menyangkut harta bersama. Permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 4 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pasal 4 ayat (2) UU No. 37 tahun 2004menentukan, panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) UU No. 37
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
tahun 2004 menentukan bahwa kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Menurut Pasal 4 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004, panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam terhitung
sejak tanggal permohonan
didaftarkan.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004, dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Pasal 4 ayat (5) UU No. 37 tahun 2004, menentukan bahwa sidang pemeriksaan atas permohnan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) UU No. 37 tahun 2004 sampai dengan paling lama 25 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Namun penundaan itu hanya dapat dilakukan apabila ada permohonan dari debitor berdasarkan alasan yang cukup. 126 Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma diberikan ketentuan yang khusus
oleh Pasal 4 ayat (7) UU No. 37 tahun 2004. Menurut pasal tersebut,
permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama, dan tempat kediaman masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma. Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan hukum mengenai suatu
126
Pasal 4 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
firma. Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu firma para pesero bertanggung jawab sampai seluruh harta kekayaan pribadinya dan masing-masing pesero terikat untuk melunasi seluruh utang firma secara tanggung renteng. Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 37 tahun 2004 menentukan, pengadilan wajib memanggil debitor dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor atau kejaksaan. Namun menurut Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 37 tahun 2004, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004 telah terpenuhi, yaitu debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, pengadilan tidak wajib memanggil debitor. Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 37 tahun 2004 menentukan bahwa pengadilan dapat memanggil debitor, tetapi tidak wajib memanggil debitor. Oleh karena itu, Undang-Undang Kepailitian, seyogyanya menentukan hal-hal sebagai berikut : 127 1). Dalam hal permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh seorang kreditor,
pengadilan wajib memanggil debitor. Hal ini memang telah ditentukan demikian dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Pengadilan seyogyanya tidak hanya diwajibkan memanggil debitor saja, tetapi
memanggil pula kreditor yang lain. Alasan
seyogyanya para kreditor wajib dipanggil juga adalah karena para kreditor yang
127
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal. 164-165.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
lain mungkin saja kreditor
berkeberatan apabila debitor dinyatakan pailit.
Kreditor-
lain mungkin berkeberatan karena alasan-alasan tertentu, misalnya
karena debitor masih solven atau masih memiliki prospek bisnis yang baik, oleh karena itu sebaiknya utangngya direstrukturisasi daripada debitor dipailitkan. 2). Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kejaksaan, seyogyanya bukan hanya debitor yang wajib dipanggil, tetapi juga para kreditor. 3). Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor, seyogyanya para kreditor juga wajib dipanggil. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sebaiknya pengadilan mengambil sikap mengenai hal tersebut. Karena hal itu tidak dilarang di dalam undang-undang kepailitan sekalipun memang tidak diwajibkan. Hal tersebut lebih adil dan efektif untuk tujuan yang hendak dicapai apabila pengadilan melakukan pemanggilan sebagaimana dimaksud di atas. 128 Pemanggilan debitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) itu harus dilakukan oleh panitera paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan (Pasal 6 ayat (2) UU No. 37 tahun 2004). Selanjutnya menurut Pasal 6 ayat (3) UUK, permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan oleh pengadilan niaga apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK telah dipenuhi. Penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004 mengemukakan, yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana adalah yang 128
Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
lazim disebut pembuktian secara sumir. Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, pembuktian mengenai hak kreditor untuk menagih, juga dilakukan secara sederhana. Putusan atas permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 6 ayat (4) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Pertanyaan yang timbul adalah apa konsekuensi dan sanksinya apabila ketentuan mengenai
batas waktu itu
dilanggar. Ternyata UUK tidak menentukan sanksi apapun. Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit sangat pendek. Dikhawatirkan, kualitas putusan yang diambil akan jauh dari adil dan memuaskan karena terpaksa dilakukan secara terburu-buru. Jangka waktu tersebut seyogyanya lebih panjang. Paling sedikit 90 (sembilan puluh) hari. 129 Sehubungan dengan kemungkinan pengambilan putusan pengadilan niaga diambil melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, mahkamah agung RI dalam putusan mengenai permohonan
Peninjauan Kembali No. 011PK/N/1999 dalam
perkara PT. Bank Yakin Makmur (PT. Bank Yama) sebagai Pemohon PK/Pemohon Kasasi/Termohon Pailit melawan PT. Nassau Sport Indonesia sebagai Termohon PK/Termohon
Kasasi/Pemohon
Pailit
dalam
pertimbangan
hukumnya
129
Penetapan mengenai tenggang waktu dalam UUK berbeda cara menghitungnya dengan ketentuan HIR. Dalam UUK dirumuskan dengan menggunakan kata-kata “terhitung sejak tanggal” yang berbeda dengan cara menghitung menurut HIR. Dalam HIR hari mulai waktu yang ditentukan itu tidak turut dihitung. Atau dengan kata lain, yang menjadi hari pertama cara menghitung menurut HIR adalah hari esoknya, sedangkan menurut UUK, hari pertama pada perhitungan menurut HIR. Rudhy. A. Lontoh, Kailimang, Denny & Ponto, Benny, ed, Penyelesaian Utang-Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hal.48.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
mengemukakan
bahwa alasan permohonan Peninjauan Kembali
tidak dapat
dibenarkan, sebab meskipun putusan dijatuhkan melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, hal tersebut tidak membatalkan putusan. 130 Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (5) UUK. Selanjutnya Pasal 6 ayat (5) menentukan, bahwa putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (putusan serta merta atau uitvoerbaar bij voorraad). Dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan, pengadilan niaga wajib menyampaikan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir kepada debitor, kepada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, dan kepada curator serta hakim pengawas, salinan putusan pengadilan niaga yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan. 131 3. Akibat Hukum Kepailitan Pernyataan pailit barulah timbul apabila debitor atau kreditor mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. Syarat-syarat agar seserong debitor dinyatakan pailit diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004. Di samping debitor atau kreditor secara orang perorangan, pihak lainpun bisa mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan. 130
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal. 166. Pasal 6 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 131
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Akibat hukum prnyataan pailit secara teoritis diatur dalam Bagian Kedua UU No. 37 Tahun 2004 di dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 61. akan tetapi bila diteliti secara mendalam ternyata akibat hukum tersebut tidak hanya terbatas pada pasalpasal tersebut, melainkan dalam seluruh pasal-pasal UU No. 37 Tahun 2004. Tidaklah mudah merinci seluruh akibat hukum pernyataan pailit. a. Akibat kepailitan bagi debitor sendiri. Pasal 24 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur bahwa debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan ini tidak mengakibatkan si debitor menjadi tidak mampu membuat perjanjian, tetapi walau debitor tidak kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum, perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaannya yang tercakup dalam harta kepailitan. Hanya pada harta yang termasuk bundel pailit, debitor kehilangan wewenang untuk mengurusnya dan mengalihkannya. Bila debitor melanggar ketentuan itu, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaannya itu, kecuali perikatan yang bersangkutan mendatangkan keuntungan bagi bundel pailit. 132 Sebagai konsekuensi
dari hal tersebut di atas, maka setiap dan seluruh
perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh
132
Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang, (Jakarta : Tatanusa, 2003),
hal. 35
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
karena itu, maka gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan pada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. Hal ini berlaku juga bagi suami atau istri dari debitor pailit yang kawin dengan persatuan harta kekayaan. Kepailitan seorang suami atau seorang istri yang kawin dalam persatuan harta diperlakukan sebagai kepailitan persatuan tersebut. Kepailitan tersebut meliputi segala
benda yang jatuh dalam persatuan harta
perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk ke dalam bundel pailit. 133 b. Akibat kepailitan bagi kreditor. Kedudukan para kreditor terhadap debitor pailit adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi bundel pailit sesuai dengan besarnya tagihan masing-masing, kreditor ini disebut kreditor konkuren. Namun demikian ada pengecualian yaitu terhadap golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan ketentuan Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata, kreditor ini disebut kreditor separatis.134 c. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitor. Sesudah putusan hakim tentang pernyataan pailit diucapkan, maka seluruh harta kekayaan sebagaimana ditentukan dalam Paal 21 UU No. 37 Tahun 2004 133
Bismar Nasution, Sunarmi, Dasar-Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana, USU, Medan, 2003, hal. 44. 134 Pasal 1139 KUHPerdata berisi tentang piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu, sedangkan Pasal 1149 berisi tentang piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dinyatakan sebagai harta pailit. Pengecualian dibuat untuk beberapa barang dipakai dan diperlukan oleh si pailit dan keluarganya secara pribadi, sebagaimana disebut dalam Pasal 22 UU No. 37 Tahun 2004, diantaranya benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, profesi si pailit, penghasilan si pailit dari pekerjaan pribadi si pailit yang besarnya ditentukan oleh hakim pengawas dan biaya hidup yang diterima untuk memenuhi pembayaran uang nafkah berdasarkan hukum. 135 Segala tuntutan hukum yang berpangkal pada hak dan kewajiban
yang
mengenai harta pailit harus dimajukan oleh atau kepada kurator. Selain itu segala tunutan yang bertujuan untuk mendapatkan pemenuhan suatu perikatan dari harta pailit mencakup baik perikatan untuk dapat pembayaran suatu jumlah uang maupun prestasi lain dari bundel si pailit, selama kepailitan berlangsung, maka hanya boleh dimajukan dengan cara melaporkan kepada kurator atau diversifikasi.
D. Fungsi
dan
Kewenangan
Lembaga
Kejaksaan
dalam
Kepailitan
berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Fungsi dan kewenangan lembaga kejaksaan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut :
135
K. Santoso, Akibat Putusan Pailit, Makalah Seminar Kepailitan, Jakarta, 14 Juli 1998, hal.
2.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, bahwa kejaksaan baru dapat mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum. 2. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1a) UU No. 37 Tahun 2004, bahwa kejaksaan dapat mengajukan
permohonan agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap
sebagian atau seluruh kekayaan debitor dalam perkara kepailitan. 3. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1b) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa kejaksaan dapat menunjuk kurator sementara untuk mengawasi : 1). Pengelolaan usaha debitor; dan 2). Pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator. 4. Berdasarkan Pasal 93 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa dalam hal pengadilan memerintahkan agar debitor pailit ditahan, pelaksanaan (eksekusi) perintah tersebut dilakukan oleh kejaksaan yang ditunjuk oleh hakim pengawas. 136 Pengertian kepentingan umum berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 adalah : 1. Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. 136
Pasal 93 ayat (1) : Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul Hakim Pengawas, permintaan Kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan Jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya : a). Debitor melarikan diri, b). Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan, c). Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, d). Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas, e). Debitor tidak beritikad baik atau tidak koperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh tempo, dan f). Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum. b. Berdasarkan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Unndang Kejaksaan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Keadaan-keadaan yang tercakup dari pengertian kepentingan umum tersebut belum bersifat limitatif yng memungkinkan keadaan-keadaan lain apabila lembaga kejaksaan menganggapnya sebagai kepentingan umum. Jadi, penilaian atau batasan kepentingan umum diserahkan kepada lembaga kejaksaan. Kemudian berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa wewenang lembaga kejaksaan untuk mengajukan permhonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum. Pada pasal berikutnya disebutkan bahwa permohonan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
1 diajukan oleh lembaga kejaksaan ke pengadilan niaga di daerah tempat kedudukan hukum debitor. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan alasan kepentingan umum, apabila : a). Debitor mempunyai dua atau lebih dan tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan b). Tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. Dalam
permohonan
pernyataan
pailit
tersebut,
kejaksaan
dapat
melaksanakannya atas inisiatif sendiri (independent) atau berdasarkan masukan dari masyarakat, instansi pemerintah dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijaksanaan Sektor Keuangan. Lembaga kejaksaan sebagai salah satu unsur penegak hukum mempunyai peran yang cukup besar sebagai jaksa penuntut umum dalam menegakkan hukum pidana maupun sebagai Jaksa Pengacara Negara dengan Surat Kuasa Khusus di bidang perdata dan tata usaha negara. Di samping itu, lembaga kejaksaan mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang yang tersebar dalam berbagai peraturan,. Salah satu wewenang kejaksaan selain sebagai Jaksa Penuntut Umum dan Jaksa Pengacara Negara diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 yang menyebutkan : “permohonan kepailitan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum”. Lebih lanjut wewenang kejaksaan tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pelaksana yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan Pasal 20 Keppres No. 86 Tahun 1999 tentang Susunan dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) mempunyai tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah guna menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB III STANDAR KEPENTINGAN UMUM DALAM PENGAJUAN PERMOHONAN KEPAILITAN
A. Pengertian Kepentingan Umum Dari segi etimologis ilmu bahasa secara letterlike/harfiah, frase kepentingan umum menurut kamus bahasa Indonesia kepentingan (berasal dari kata penting), mengandung pengertian sangat perlu, sangat utama (diutamakan), sedangkan kata umum mengandung pengertian keseluruhan, untuk siapa saja, khalayak manusia, masyarakat luas, lazim. 137 Pengertian menurut ilmu bahasa ini sudah barang tentu tidak dapat dijadikan pengertian yuridis dari kata kepentingan umum, tetapi dapat dijadikan referensi untuk menemukan pengertian yang diinginkan. Sebab ilmu hukum (yuridische kunde) di dalam proses pembentukannya tidak dapat berdiri sendiri dan berjalan sendiri lepas dari ilmu sosial lainnya, tetapi saling mendukung, berjalan bersama dengan ilmu pengetahuan lain, termasuk ilmu bahasa (etimologis). Sangatlah menarik pendapat Dr. Todung Mulya Lubis tentang pelanggaran kepentingan umum, yaitu bahwa tidak adanya definisi yang jelas, konkret dan rinci soal “pelanggaran kepentingan umum’ yang dilakukan sebuah perseroan. Sanksi dari pelanggaran kepentingan umum yang dilakukan oleh sebuah perseroan adalah dengan dilakukannya permohonan oleh kejaksanaan oleh kejaksaan kepada pengadilan untuk
137
Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dibubarkan, hal ini dengan Pasal 146 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 138 Di dalam Hukum Agraria, kepentingan umum telah lama dijadikan suatu doktrin. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Michael G. Kitay yang disebut juga Publik Purpose Doctrine yang diberbagai negara diekspresikan dengan 2 (dua) cara, yaitu : 139 1. Pedoman Umum (General Guides) Istilah Public Purpose ini kadangkala bisa berubah, misalnya public menjadi social, general, common, atau collective. Sementara purpose diganti menjadi need, necessity, interest, function, utility atau use. Negara yang menggunakan “pedoman umum” ini biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan dalam peraturan perundang-undangan tentang bidang kegiatan apakah yang disebut sebagai “kepentingan umum”. Pengadilanlah yang secara kasuistis menentukan apakah yang disebut dengan “kepentingan umum” tersebut. Di India, khusus mengenai peraturan tentang pengadaan tanah pada awalnya tidak secara tegas merinci bidang-bidang kegiatan yang termasuk sebagai kepentingan umum. Namun sejalan dengan perkembangan pembangunan, akhirnya berbagai bidang, seperti ladang pembibitan (seed multiplication fam), kanal irigasi, pusat pendidikan dan pelatihan, pusat-pusat
pendidikan dasar, taman bermain,
138
Sudikno Mertokusumo, Kepentingan Umum, http://sudikno.blogspot.com/2008/01/kepentingan umum.html, terakhir diakses pada tanggal 20 Januari 2008. 139 Michael G. Kitay (1985 : 40) dalam Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), hal. 8.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
perbelanjaan bagi pegawai pemerintah daerah (quarters for municipal servant), serta rumah-rumah untuk pegawai pemerintah (house of government people), ditetapkan oleh putusan-putusan pengadilan sebagai bidang-bidang pembangunan untuk kepentingan umum. 140 2. Ketentuan-Ketentuan Daftar (List Provision) Daftar ini secara eksplisti mengindentifikasikan kepentingan umum itu. Misalnya sekolah, jalan, bangunan pemerintah dan semacamnya. Kepentingan yang tidak tercantum dalam daftar tidak bisa dijadikan sebagai dasar pengadiaan tanah. Namun demikian, kerap kali kedua pendekatan di atas dikombinasikan dalam rencana pengadaan tanah. 141 Menurut Maria S.W. Soemardjono, konsep kepentingan umum dalam pengadaan tanah,
selain harus memenuhi “peruntukannya” juga harus dapat
dirasakan “kemanfaatannya” (socially profitable atau for public use, atau actual use by the public). Dan agar unsur kemanfaatan ini dapat dipenuhi, artinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan/atau secara langsung, untuk penentuan suatu kegiatan seyogyanya melalui penelitian terpadu. 142 Oloan Sitorus juga menambahkan bahwa selain “peruntukannya” dan “kemanfaatannya”, maka harus ada “siapakah” yang dapat melaksanakan
140
Om Prakash Anggarwala, (1993 : 101-104) dalam Ibid, Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,
hal. 8. 141
Michael G. Kitay, (1985 : 40) dalam Ibid, Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, hal. 8. Maria S.W. Soemardjono, Tealaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik, Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Agraria III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Badan Pertanahan Nasional, Medan, 19-20 September 1990, hal. 13. 142
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
pembangunan untuk kepentingan umum dan “sifat” dari pembangunan kepentingan umum tersebut, hal tersebut tetap memberikan kemungkinan dimanipulasikannya kepentingan umum. 143 Berbicara tentang pelanggaran kepentingan umum pada hakekatnya tidak dapat lepas dari membicarakan tentang kepentingan umum. Kalau kita ingin mengetahui apa pelanggaran kepentingan umum itu maka kiranya perlu diketahui terlebih dahulu apa kepentingan umum itu. Apakah kepentingan umum itu. Mengenai istilah ini tidak ada definisi yang jelas dan memuaskan di dalam peraturan perundangundangan. Sudah sejak zaman Hindia Belanda telah dikenal pengertian kepentingan umum dengan istilah “Algemeen Belang” (antara lain Pasal 37 KUHD), Openbaar Belang” (antara lain dalam Stb. 1906 No.348), Ten Algemeene Nutte” (antara lain Pasal 570 KUHPerdata) atau “Publiek Belang” (antara lain dalam Stb. 1920 No. 574). Di zaman kemerdekaan kepentingan umum telah banyak diatur dalam pelbagai peraturan perundang-undangan, yang rumusannya berbeda satu sama lain. Dalam INPRES No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, ditentukan dalam Pasal 1 bahwa kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut, adalah : a.
Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau
b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau 143
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op.cit, hal. 7.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
c. Kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau d. Kepentingan Pembangunan. Dari ketentuan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan itu ada yang bersifat kepentingan umum dan yang tidak. Kemudian kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum itu dirinci lebih lanjut menjadi 13 bidang antara lain pertahanan, pekerjaan umum, jasa umum, keagamaan, kesehatan, makam/kuburan, usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum. Rupa-rupanya pembentuk undang-undang ingin membuat rumusan yang rinci mendetail tentang kepentingan umum. Betapa luasnya pengertian yang terkandung dalam kepentingan umum itu. Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan masyarakat luas, berapa luaskah. Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan rakyat banyak, berapa banyakkah. Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan Bangsa dan Negara apakah kepentingan umum itu sama dengan kepentingan Pemerintah dan apakah setiap kepentingan Pemerintah adalah kepentingan umum? Sedemikian luasnya pengertian kepentingan umum sehingga segala macam kegiatan dapat dimasukkan dalam kegiatan demi kepentingan umum. 144
144
Ibid. Kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Di dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok, yang tidak terhitung jumlah maupun jenisnya yang harus dihormati dan dilindungi dan wajarlah kalau setiap orang atau kelompok mengharapkan atau menuntut kepentingankepentingannya itu dilindungi dan dipenuhi, yang sudah tentu tidak mungkin dipenuhi semuanya sekaligus, mengingat bahwa kepentingan-kepentingan itu, kecuali banyak yang berbeda banyak pula yang bertentangan satu sama lain. Tidak dapat disangkal bahwa tindakan Pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Mengingat seperti yang diuraikan di atas bahwa tindakan Pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum dan memperhatikan serta melindungi kepentingan umum, sedangkan di dalam masyarakat banyak terdapat kepentingan-kepentingan maka dari sekian banyak kepentingan-kepentingan harus dipilih dan dipastikan ada kepentingan-kepentingan yang harus didahulukan atau diutamakan dari kepentingankepentingan yang lain. Jadi ada kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih penting atau utama dari kepentingan-kepentingan lainnya. Bagaimanakah caranya untuk menentukan suatu kepentingan itu lebih penting dari yang lain? Pelbagai kepentingan itu harus dipertimbangkan, ditimbang-timbang bobotnya secara proporsional (seimbang) dengan tetap menghormati masing-masing kepentingankepentingan dan kepentingan yang menonjol itulah kepentingan umum. Sudah tentu tindakan Pemerintah dalam menentukan kepentingan mana yang lebih penting atau utama dari kepentingan-kepentingan lain itu harus berdasarkan hukum dan mengenai sasaran atau bermanfaat. Jadi kepentingan umum adalah kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan-kepentingan yang lain dengan tetap memperhatikan proporsi pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-kepentingan lain. Dalam hal ini tidak berarti bahwa ada kewerdaan atau hierarkhi yang tetap antara kepentingan yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan yang lainnya. Mengingat akan perkembangan masyarakat atau hukum maka apa yang pada suatu saat merupakan kepentingan
umum). Memang itulah tugas Pemerintah. Kalau kepentingan umum sama dengan kepentingan Pemerintah apakah setiap kepentingan Pemerintah itu kepentingan umum.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
umum pada saat lain bukan merupakan kepentingan umum. Makam yang merupakan bidang kepentingan umum (INPRES No.9 Tahun 1973) suatu saat nanti dapat digusur untuk kepentingan umum yang lain. Selanjutnya kalau kepentingan umum merupakan kepentingan (urusan) Pemerintah, maka dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepentingan Pemerintah Belum tentu atau tidak selalu merupakan kepentingan umum. Kepentingan (urusan) Pemerintah ada kalanya harus mengalah terhadap kepentingan lain (kepentingan umum). Secara teoritis dapatlah dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan resultante hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat dengan menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan umum. Secara praktis dan konkret akhirnya diserahkan kepada hakim untuk menimbang-nimbang kepentingan mana yang lebih utama dari kepentingan yang lain secara proposional (seimbang) dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan yang lain. Memang tidak mudah, akan tetapi sebaliknya tidak seyogyanya untuk memberi batasan atau definisi yang konkret mutlak mengenai kepentingan umum, karena kepentingan manusia itu berkembang dan demikian pula kepentingan umum, namun perlu kiranya ada satu rumusan umum sebagai pedoman tentang pengertian kepentingan umum yang dapat digunakan terutama oleh hakim dalam memutuskan sengketa yang berkaitan dengan kepentingan umum, yang dinamis tidak tergantung pada waktu dan tempat. Tiap-tiap kasus harus dilihat secara kasuistis. Sudahlah tepat
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kalau yang akhirnya menentukan apa saja yang termasuk pengertian kepentingan umum adalah hakim atau undang-undang berdasarkan rumusan yang umum tadi. 145 Seyogianya, kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan tetap dirumuskan secara umum, luas. Kalau dirumuskan secara rinci atau kasuistis dalam peraturan perundang-undangan penerapannya akan kaku, karena hakim lalu terikat pada rumusan undang-undang. Rumusan umum oleh pembentukan undang-undang akan lebih luwes karena penerapan atau penafsirannya oleh hakim berdasarkan kebebasannya, dapat secara kauistis disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan keadaan.
B. Karekteristik Kepentingan Umum Prinsip-prinsip kepentingan umum dapat diurai lebih rinci, setidaknya meliputi sifat kepentingan umum, bentuk kepentingan umum dan ciri-ciri kepentingan umum. Demikian metode penerapan 3 (tiga) aspek tersebut, sehingga kriteria kepentingan umum dapat diformulasikan secara pasti, adil dan dapat diterima di masyarakat. Permasalahan yang masih timbul adalah sejauh mana sifat tersebut harus melekat pada suatu jenis kegiatan untuk kepentingan umum. Apakah sifat tersebut harus
melekat secara kuat dan dominan, atau sekadarnya, serta bagaimana
ukurannya. Karena dalam praktiknya, suatu kegiatan sebenarnya hanya sedikit terlekati kepentingan umum, namun disimulasikan untuk kepentingan umum. Masih 145
Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
adanya permasalahan mengenai sifat itulah, maka sifat kepentingan umum yang demikian itu masih memerlukan penjelasakan yang lebih konkrit.146 Sifat yang pertama, adalah kepentingan bangsa dan negara. Terhadap penyebuatan yang demikian itu timbul pertanyaan, benarkan kepentingan negara identik dengan kepentingan umum. Sehubungan dengan hal tersebut, tentunya tergangung jenis negaranya, yang hal ini sangat dipengaruhi paradigma negara yang bersangkutan dalam memahami hubungan antara kepentingan umum dengan kepentingan individu. Paling tidak ada 3 (tiga) golongan negara berkaitan dengan pengaturan hubungan kepentingan individu dan umum, yaitu negara sosialis, negara paham korporasi, dan negara paham sublimasi. 147 Menurut paham sosialis, segala kekayaan dalam negara dikuasi dan dimiliki oleh negara. Negara mengatur segala aspek kehidupan individu. Dalam konteks kepemilikian tanah, kepada warga negara tidak diberi hak milik tanah, namun hanya diberi hak menggarap atas tanah. Kepentingan umum identik dengna kepentingan negara, dengan kata lain bahwa setiap kepentingan negara adalah kepentingan umum. Kepentingan individu ada dalam sektor yang sempit, misalnya sektor keuangan, istri, anak. Jadi, kepentingan individu ada namun relatif sempit dan dalam praktiknya terkalahkan oleh kepentingan negara. Sebaliknya, menurut paham korporasi, negara
dalam banyak hal dapat
bertindak sebagaimana badan hukum perusahaan yang dapat mempunyai hak milik 146
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 71, M. Munandar, Dinamika Masyarakat T ransisi, (Jakarta : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998), hal. 45. 147
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dan dapat menjalankan segala kegiatan yang bersifat profit. Dalam paham ini, negara relatif memberikan ruang seluas-luasnya kepada kepentingan individu. Bahkan, negara dapat berkeduduan sebagaimana individu, misalnya dapt menjadi pihak penjual atau pembeli dengan pihak swasta. Kepentingan umum dapt saja dilakukan oleh negara ataupun oleh swasta. Akibatnya sifat kepentingan umum tidak jelas wujudnya. Kepentingan negara belum tentu kepentingan umum, mengingat negara dapat bertindak sebagaimana individu yang dapat melakukan kegiatan profit. Sementara di negara-negara yang berpaham sublimasi, menerangkan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat mempunyai wewenang menguasai dan mengatur kepentingan umum ataupun kepentingan individu. Negara dapat menguasai berbagai sektor yang yang menguasai hajat hidup orang banyak, namun tidak dapat mempunyai suatu barang atau tanah, misalnya dengan status hak milik. Negara menurut paham ini, memberikan pengakuan terhadap hak-hak atas tanah individu dalam posisi seimbang dengan kepentingan umum dalam hubungannya yang tidak saling merugikan. Kalaupun terpaksa kepentingan umum harus dimenangkan, maka kepentingan individu harus tetap dilindungi dengan memberikan kompensasi ganti keuntungan/kerugian yang layak. Negara Indonesia menganut paham yang mana? Dari berbagai peraturan yang ada, setidaknya peraturan yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, pada Penjelasan Umum butir ke-2 disebutkan bahwa negara/pemerintah bukanlah subjek yang dapat mempunyai hak milik (eigenaar), demikian pula tidak dapat sebagai subjek jual beli dengan pihak lain untuk
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kepentingannya sendiri. Pengertian lainnya, negara tidak dapat berkedudukan sebagaimana individu. Menurut paham ini, negara hanya diberi hak menguasai dan mengatur dalam rangka kepentingan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan (kepentingan umum). Jadi, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kepentingan negara dalam paham ini cenderung seperti pada pham sosialis, yakni kepentingan negara bersifat kepentingan umum. Menurut gambaran tersebut, dapatlah disebut bahwa Indonesia cenderung menganut negara dengan paham sublimasi. 148 Di sisi lain, pengertian kepentingan umum untuk “kepentingan masyarkat”, kata ini mempunyai arti yang bias seandainya ditafsirkan secara legalistic formalistic. Oleh karena itu, istilah ini harus ditafsirkan secara teleologis (sosiologis), yakni mengkontekskan istilah masyarakat menurut keadaan masyarakat Indonesia. Terkait dengan bahasan ini, Ferdinan Tonnis membagi jenis masyarakat menjadi 2 (dua) sifat, yakni : masyarakat
geselschafe- structural dan masyarakat gemeinschafe-
volentarian. Masyarakat
geselschafe-structural mempunyai ciri-ciri : hubungan
individu
dengan
individu
lainnya
bersifat
pamrih
mempertimbangkan untung rugi (kurwille). Masyarakat
dan
rasional
serta
terbagi-bagi berdasarkan
kelas-kelas ekonomi, yakni ekonomi atas, menengah dan bawah. Perpaduan dalam komunitas masyarkat ini bersifat atomistis yang mempunyai arti bahwa masyarakat digambarkan sebagai perkumpulan individu yang satu dengan lainnya relatif tidak ada perekatnya. 149
148
Budi Harsono, Sejarah, Isi dan Pelaksanaan UUPA, (Jakarta : Djambatan, 2000), hal. 120. M. Munandar, Op.cit, hal. 146.
149
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kepentingan umum dalam geselschafe-structural diselenggarakan dalam rangka memenuhi keinginan individu-individu. Gambaran masyarakat itu adalah masyarakat perkotaan. Konsep kemakmuran dalam masyarakat tercapai apabila kemakmuran individu-individu sudah tercapai. Bentuk-bentuk kepentingan umum dalam masyarakt geselschafe-structural atau perkotaan tentunya sangat berbeda dengan masyarakat gemeinschafe-volentarian. Contoh-contoh bentuk pembangunan kepentingan umum untuk masyarakat kota adalah lapangan golf, supermarket, parkir umum dan lain sebagainya. Jadi, penerapan kriteria sifat untuk masyarakat luas dalam konteks masyarakat perkotaan tentunya harus jelas dan berbeda dengan masyarakat pedesaan. Demikian pula, bentuk kepentingan umum pada masyarakat gemeinschafevolentarian yang bersifat komunal dan agraris serta pedesaan mempunyai karakter yang berbeda dengan masyarakat perkotaan. Contoh bentuk kepentingan umum untuk masyarakat luas pedesaan adalah Balai Pertemuan Desa, Lumbung Desa, lapangan sepak bola, saluran irigasi pertanian, dan lain sebagainya. Sayangnya, karena kebijakan pembangunan yang kurang adil antara sektor kota dan pedesaan, pengembangan fasilitas umum lebih mengedepankan sektor perkotaan. Akibat lainnya dari ketidakadilan tersebut adalah timbulnya arus urbanisasi secara besarbesar yang pada gilirannya membuat kebijakan pembangunan sektor kepentingan umum tumpah tindih antara kepetningan umum untuk perkotaan dan pedesaan. Ketika terjadi benturan atnara kepentingan umum pedesaaan dan kepentingan umum perkotaan maka kepentingan umum perkotaan lebih dimenangkan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Perlu ditegaskan lagi bahwa sifat kepentingan umum untuk masyarakat luas perlu mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan dijabarkan lebih rinci ke dalam peraturan yangleibh bawah ataupun operasional di lapangan agar arti kepentingan umum tidak salah sasaran, apalagi yang terjadi justru hanya kepentingan masyarakat sempit. Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan tentang perlunya melindungi kepentingan masyarakat agraris, golongan ekonomi lemah dan pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa harus ada pemilahan yang hati-hat antara kepentingan umum pada masyarakat agraris yang dalam konteks Indonesia, umumnya masih lemah dibanding masyarakat perkotaan. Terminologi kepentingan umum “untuk rakyat banyak” secara sekilas sudah cukup jelas, namun kalau dipahami dan berempati di lapangan akan timbul berbagai permasalahan. Kata “banyak” di atas mempunyai maksud berapa jumlah. Mungkinlah yang dimaksud rakyat banyak tersebut adalah perbandingan antara rakyat yang dibebaskan tanahnya untuk kepentingan umum harus lebih banyak dibandingkan dengan rakyat penerima manfaat kegiatan untuk kepentingan umum yang direncanakan. Penyimpangan penafsiran sering terjadi para praktiknya, misalnya, pada pembebasan tanah untuk Proyek Waduk Kedung Ombo. Bagaimana dengan fenomena seperti ini. Kenyataan tersebut tentunya menuntut perlunya penjelasan, paling tidak sosialisasi pembakuan penafsiran arti “rakyat banyak” dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum. 150
150
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 73.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Demikian pula terminologi kepentingan umum “untuk pembangunan” se cara sekilas cukup menarik, namun apabila dicerna lebih jauh, apalagi setelah melihat banyak penyimpangan di lapangan, ternyata mengandung banyak sekali kekaburan. Benarkah pembangunan idetik untuk kepentingan. Kata ini sangat debatabel. Pembangunan dalam pengertian proses perubahan terencana dan berjangka dari suatu kondisi menuju kondisi yang lebih baik dalam rangka untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan barangkali makna ideal inilah yang dimaksud. Kalau demikian maksudnya, tentunya setiap kegiatan untuk kepentingan umum yang membutuhkan tanah-tanah rakyat seharusnya memerlukan cakupan visi, misi dan bidang kerja yang ke depannya jelas-jelas terukur. Kegiatan pembangunan seharusnya memang layak akan membawa kondisi masyarakat yang lebih baik. Prosedur konsistensi kebijakan tersebut benar-benar terkontrol. Dengan demikian, agar kegiatan kepentingan umum berjalan dengan benar, tidak hanya dibutuhkan pengaturan mengenai sifat, namun yang tidak kalah pentingnya, agar sifat kepentingan umum tersebut dijabarkan secara benar, perlu diatur mengenai bentuk-bentuknya. Pasal 1 ayat (2) Inpres No. 9 Tahun 1973 menyebutkan bentuk-bentuk kegiatan untuk kepentingan umum. Bentuk kegiatan untuk kepentingan umum adalah kegiatan-kegiatan pembangunan yang berupa : gedung sekolah, sarana olahraga, sarana transportasi, sarana ibadan dan sosial, sarana irigasi pertanian, perkantoran pemerintah, sarna pengembangan ekonomi dan sebagainya.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kualifikasi kegiatan kepentingan umum di atas lebih mementingkan wujud bangunan yang akan diletakkan di atas kepentingan umum, namun tidak mengkualifikasikan hal yang lebih penting yaitu sejauh mana fungsi bentuk tersebut untuk kepentingan umum yang lebih konkret. Contohnya : gedung sekolah, apakah gedung sekolah pasti mempunyai fungsi untuk kepentingan umum. Bagaimana kalau gedung sekolah tersebut digunakan untuk pendidikan yang profit yang biayanya mahal. Juga sarana pengembangan ekonomi misalnya supermarket, apakah supermarket berfungsi untuk kepentingan umum. Bagaimana dengan supermarket milik swasta yang setiap pedagang pemakai jasa tempat tersebut harus menyewa dengan harga yang mahal. 151 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kepentingan umum bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum dan tidak bertujuan mencari keuntungan atau laba. Kecuali apa yang disebut kepentingan umum itu menyangkut kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum dalam masyarakat luas, rakyat banyak, dan pembangunan. 152 Tidak setiap kepentingan pemerintah selalu bertujuan untuk kepentingan umum, misalnya pembangunan pelabuhan, memang itu kepentingan pemerintah, tetapi bukan kepentingan umum, karena pada akhirnya akan dikelola oleh BUMN yang selalu mencari keuntungan untuk memberikan pendapatan kepda negara dan BUMN itu sendiri. Di sisi lain, hal ini tidak memberi manfaat bagi masyarakat luas 151
Maria S.W. Soemardjono, Op.cit, hal. 72-75. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Cetakan ketiga, (Yogyakarta : Liberty, 2002),
152
hal. 45.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dan rakyat banyak. Jadi, bentuk-bentuk kegiatan kepentingan umum di atas, masih haru dijelaskan tentang sejauh mana fungsi kepentingan umum yang akan dihasilkan dari bentuk kegiatan kepentinga numum tertentu sehingga benar-benar disebut untuk kepentingan umum. Sifat dan bentuk kepentingan umum di atas masih saja dapat disimpangi dalam penafsiran ataupun dalam operasionalnya sehingga sangat penting dibahas halhal yang paling prinsip sehingga suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum. Dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, disebutkan ciri-ciri kegiatan untuk kepentingan umum, yakni kepentingan umum adalah kegiatan pembangunan yang dimiliki, dilakukan oleh pemerintah dan bersifat non profit. Ada 3 (tiga) prinsip yang dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan benarbenar untuk kepentingan umum, yaitu : 1. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah. Kalimat ini mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dapat dimiliki oleh perorangan atau swasta. Dengan kata lain, khusus dalam bidang pertanahan, swasta dan perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan pembebasan tanah-tanah hak maupun negara. 2. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah. Kalimat ini memberikan batasan bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentinga numum hanya dapat diperankan oleh pemerintah. Karena maksud pada kalimat tersebut belum jelas, maka timbul pertanyaan :
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
bagaimana kalau pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan untuk kepentingan umum tersebut ditenderkan pada pihak swasta. Karena dalam praktiknya, banyak kegiatan untuk kepentingan umum namun pengelola kegiatannya adalah pihak swasta. Contohnya kegiatan pembangunan dan pengelolaan Waduk Kedung Ombo yang ketika itu kegiatan dan sekarang masih dikelola oleh pihak swasta. 3. Tidak Mencari Keuntungan. Kalimat ini membatasi fungsi
suatu kegiatan untuk kepentingan umum
sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan swasta
yang bertujuan untuk
mencari keuntungan sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan
untuk kepentingan
umum sama sekali tidak boleh mencari keuntungan. Kriteria kepentingan umum beserta prosedur untuk menerapkannya tidak dakan dapat berjalan dengan baik apabila tidak tersedia sumber daya manusia pelaksana yang memenuhi kualifikasi, baik secara moral maupun profesional.
C. Kepentingan Umum Dalam Berbagai Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Masalah kepentingan umum, memang sudah saatnya ada rumusan yuridisnya yang lebih pasti. Perlukah dan dapatkah serta seyogyanyakah diberikan rumusan yang rinci mengenai apa yang disebut pelanggaran kepentingan umum? Memang yang ideal ialah bahwa suatu rumusan undang-undang itu lengkap dan jelas, sehingga tidak perlu lagi ditafsirkan. Sebaliknya rumusan undang-undang yang jelas dan lengkap cenderung kasuistis sifatnya, sehingga tidak akan mudah mengikuti perkembangan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
keadaan dan tidak akan bertahan dalam kurun waktu yang lama yang akhirnya hanyalah merupakan “kata-kata mati” belaka. Konsep yang muncul ketika memulai pembicaraan tujuan hukum adalah kepentingan umum. Dengan demikian, kepentingan umum sebagai konsep harus berjalan berdampingan dengan terwujudnya negara. Negara dibentuk demi kepentingan umum dan hukum merupakan sarana utama untuk mewujudkan kepentingan umum
tersebut. Hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali di
samping menjamin kepentingan umum juga melindungi kepentingan perorangan agar keadilan dapat terlaksana. Berarti dapat dijelaskan bahwa hukum sendiri tidak dapat dipisahkan dari norma keadailan karena hukum adalah pengejawantahan dari prinsipprinsip keadilan. 153 Reinach, sebagaimana pemikir lainnya, misalnya Notonegoro, berpendapat bahwa kepentingan umum hendaknya seimbang dengan kepentingan individu. Begitu pentingnya arti kepentingan umum dalam kehidupan bernegara yang dalam praktiknya berbenturan dengan kepentingan individu maka perlu
didefinisikan
dengan jelas. Satjipto Raharjo berpendapat bahwa isitlah kepentingan umum agar jelas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat tidalah cukup dipahami secara
153
Noto Hamidjoyo, Demi Kemanusiaan dan Keadilan, tanpa tahun, dalam Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 70-71.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
legalistik-formalistik, namun harus diintegrasikan menurut metode penemuan hukumnya. 154 Apabila nilai-nilai yang menyangkut kepentingan umum sudah ditinggalkan dan kepentingan pribadi atau kelompok ditonjolkan, friksi sengketa dan pergolakan tidak dapat dihindari. Paham negara hukum yang bersumber pada Pancasila meletakkan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat secara seimbang. Negara tidak berfungsi secara pasif tetapi harus secara aktif mengusahakan ketertiban umum sekaligus menunjang kesejahteraan masyarakat. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang terdapat dapat dalam Pancasila merupakan penegasan mendasar bahwa aparatur pemerintah mengemban tugas penting berkenaan dengan kesejahteraan dan kepentingan umum. 155 Di Indonesia kosep kepentingan umum banyak ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, walaupun tidak ada satu undang-undang pun yang khusus mengatur mengenai kepentingan umum. Namun dalam banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, ditemukan kata-kata “kepentingan umum”. Konsep kepentingan umum di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, antara lain di dalam :
154
Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Kompas, 2001), hal. 12. 155 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 71.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
a). Penjelasan UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Di dalam Pasal 4 ayat (31) UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan ditentukan, bahwa usaha yang semata-mata untuk kepentingan umum harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut : 1. Semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan. 2. Semata-mata bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum 3. Tidak mempunyai tujuan mencari laba. Kalau seorang pengusaha membuka usaha pengangkutan
(yang
jelas
mendapat/mencari
keuntungan/laba)
yang
menghubungkan suatu daerah terpencil dengan kota besar, sehingga daerah terpencil tadi menjadi makmur dan sejahtera, apakah itu bukan untuk kepentingan umum. b). Penjelasan Pasal 49 huruf b UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Di dalam Penjelasan Pasal 49 huruf b UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
dikatakan bahwa kepentingan umum adalah “kepentingan
Bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. c). Dalam Penjelasan Pasal 32 UU No.5 Tahun 1991 yang dirubah dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Kepentingan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
umum harus dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan lain-lain, demikianlah bunyi penjelasan Pasal 4 ayat 1 UU No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. 156 Selanjutnya ”kepentingan umum” dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, pasal 35 (c) yang berbunyi: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang ”mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam Penjelasannya disebutkan ”Kepentingan Umum” sebagai kepentingan bangsa/negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Akan tetapi, penjelasan ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari ”kepentingan negara”, ”kepentingan bangsa”, atau ”kepentingan masyarakat secara luas” dimaksud, dengan demikian mengundang penafsiran yang beragam, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Kepentingan arti lainnya adalah sangat perlu, sangat utama (diutamakan), jadi pengertian kepentingan salah satunya adalah diutamakan. Yang jadi pertanyaan berikutnya kepentingan umum di bidang apa., Karena yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 35 (c) UU No. 16 Tahun 2004, kepentingan umum adalah kepentingan negara/bangsa dan masyarakat luas. Jadi kepentingan umum di sini harus diartikan sebagai kepentingan di semua aspek dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan yang menyangkut kepentingan
156
Lihat juga Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2006 jo. Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
hajat hidup masyarakat yang luas. Kalau demikian pengertiannya, akan meliputi aspek-aspek antara lain: Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, keadilan, HAM, agama, yang mempunyai cakupan yang luas. Jadi demi kepentingan umum (publik) bukan kepentingan pribadi/kelompok (private). d). Kepentingan Umum dalam bidang Hukum Pidana Di dalam bidang hukum pidana, kepentingan umum juga banyak dibicarakan. Apabila penyidik menemukan alat bukti yang cukup, hasil penyidikan dilimpahkan ke penuntut umum dan jika menurut hasil penelitian penuntut umum, ternyata perbuatan tersangka terbukti--peristiwa hukum itu bukan merupakan tindak pidana--penuntut umum harus menghentikan penuntutan, menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3). Demikian juga apabila hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yang telah memenuhi alat bukti yang cukup, peristiwa hukum yang disidik itu merupakan tindak pidana, dan penuntut umum sependapat dengan penyidik, penuntut umum bisa tidak melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan, dengan melakukan penutupan perkara demi kepentingan hukum. Langkah lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum untuk tidak melimpahkan hasil penyidikan ke pengadilan adalah pengenyampingan perkara demi kepentingan umum. Penyampingan perkara demi kepentingan umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru pengenyampingan perkara demi kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, jaksa agung menggunakan hak oportunitasnya sesuai dengan KUHAP yaitu dengan mengenyampingkan perkara
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
demi kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik. Mengapa
kepentingan
politik
yang
menjadi
pertimbangan
dalam
mengenyampingkan perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan diadili di persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan masyarakat termasuk di kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yangberdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain, jadi pertimbangan dalam perkara Jenderal M. Yasin ini adalah pertimbangan kepentingan umum dalam aspek politik negara. Salah satu penyebab dari jarang diterapkannya penyampingan perkara demi kepentingan umum ialah belum adanya definisi dan pengertian yang baku dari kepentingan umum. Belum ada kesepakatan di antara para intelektual hukum mengenai definisi dari kepentingan umum, demikian juga belum ada acuan yuridis dari pengertian kepentingan umum yang bisa dijadikan dasar bagi pembuat keputusan (jaksa agung) untuk mewujudkan asas oportunitas ini. Selanjutnya ”kepentingan umum” dalam konteks asas oportunitas yang dikenal di dalam hukum Pidana Formil diaplikasikan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, pasal 35 (c) yang berbunyi: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang ”mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum”. e). Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Dalam ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur juga mengenai kedudukan, tugas dan wewenang lembaga kejaksaan mengenai
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
pembubaran perseroan berdasarkan putusan pengadilan yang dapat dimohonkan oleh lembaga kejaksaan, yakni : 157 (a). Lembaga kejaksaan berdasarkan alasan yang kuat bahwa perseoran melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. (b). Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian; f). UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan Istilah kepentingan umum termuat di dalam Pasal 46 (2) UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan yang menyebutkan bahwa pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian pengawasan dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, atas permintaan kejaksaan dalam hak mewakili kepentingan umum, pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian dana, penggantian pengawasan tersebut. Kejaksaan dapat memohon pembubaran yayasan yang tidak didaftarkan di pengadilan negeri dan tidak diumumkan dalam tambahan berita negara dan tidak mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait. Baik dalam UU Perseroan Terbatas maupun Yayasan, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut pengertian kuantitatif dan kepentingan umum.
157
Pasal 146 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
g). Dalam Perpres RI No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam undang-undang ini
kepentingan umum dirumuskan sebagai
kepentingan besar lapisan masyarakat yang tidak jauh berbeda dengan "kepentingan mssyarakat luas". Pengertian Kepentingan umum disebutkan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan: ”Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”. Selanjutnya dalam Pasal 5 disebutkan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah, meliputi: jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya, rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat, pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal, peribadatan, pendidikan dan sekolah, pasar umum, sarana olah raga, stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya, kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembagalembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indoensia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, rumah susun sederhana, tepat pembuangan sampah, cagar alam dan cagar budaya, pertamanan, panti sosial, pembangkit, transisi dan distribusi tenaga listrik.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pengertian kepentingan umum sebagai dimaksud dalam mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum, perseroan terbatas dan yayasan karena belum ada batasan serta definisi maupun pengertian yang limitatif, maka harus dilakukan penafsiran. Oleh karena itu, perlu dikemukakan pendapat para ilmuwan hukum sebagai salah satu parameter penafsiran dimaksud. Kemudian untuk lebih memperluas khazanah serta visi dari pengertian kepentingan umum baik kita kemukakan pendapat dari Roscou Pound, G.W. Paton, dan Julius Stone. 158 Pound mengemukakan tentang social interest (kepentingan masyarakat), pendapat Pound tentang social interest berasal dari pemikiran Rudolf Van Ihering dan Jeremy Bentham. Yang dimaksud oleh Pound dengan social interest ini adalah suatu kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat menurut keperluan di dalam masyarakat itu sendiri. Pound membagi tiga kategori interest: Public interest (kepentingan umum), social interest (kepentingan masyarakat) dan private interest (kepentingan pribadi). 159 Julius Stone dalam The Propinoc and Function of Law secara meyakinkan telah membuktikan bahwa apa yang disebut dengan public interests melebur dalam social atau individual interests atau dalam usaha negara mencari keseimbangan di antara interests ini. 160
158
Wahyu Wiriadinata, Kepentingan Umum, diakses dari situs : rakyat.co.id/cetak/2007/092007/26/0902.htm, tanggal 26 September 2007. 159 Ibid. 160 Ibid.
http://www.pikiran-
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Dari analisis di atas dapat dibuat asumsi bahwa kepentingan umum dalam pandangan ilmu sosiologi hukum: ”Kepentingan umum adalah suatu keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa, serta negara.” Sebagai bahan kajian kita dapat memberikan satu pandangan tentang pengertian kepentingan umum dari segi yuridis bahwa kepentingan umum dapat berlaku sepanjang kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif maupun hukum yang tumbuh hidup dan berkembang dalam masyarakat yang penerapannya bersifat kasuistis, sedangkan dari segi sosiologis kepentingan umum adalah adanya keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa, dan negara yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai keadilan di masyarakat yang luas dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, pendidikan, dan kesehatan.
D. Standar Kepentingan Umum Dalam Pengajuan Permohonan Kepailitan Pasal 1 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum. UU No. 37 Tahun 2004 baik di dalam pasal-pasalnya maupun di dalam penjelasannya, sama sekali tidak menentukan atau menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum", atau peristiwa-peristiwa apa yang dapat dikategorikan sebagai "merugikan kepentingan umum". Ada di antara undang-undang lain itu yang memberikan uraian mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum namun pengertian itu tidak dapat dipakai disini.
Contoh: kepentingan umum
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
misalnya disebut di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan benda–benda yang ada diatasnya . Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Ketentuan
lain
yang
menyangkut
tanah
yang
menyebut
mengenai
"kepentingan umum" adalah Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 1 butir 3 dari keppres tersebut menyebutkan: Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Jelas definisi ini sangat tidak membantu. Kemudian, Keputusan Presiden tersebut juga menyebutan: (1) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak digunakan untuk menerima keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut: a. Jalan umum, saluran pembuangan air. b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi. c. Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat. d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal. e. Peribadatan. f. Pendidikan atau sekolahan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
g. Pasar Umum atau Pasar Inpres. h. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana. i. Pos dan telekomunikasi j. Sarana olah raga. k. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya. l. Kantor pemerintah. m. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. (2) Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain dimaksud dalam angka 1 adalah yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. “Keputusan Presiden” disini dapat membuka peluang untuk penafsiran subyektif dari penguasa mengenai "kepentingan umum". Dengan terbukanya peluang yang demikian itu tidak mustahil pengadaan tanah yang seharusnya hanya boleh untuk
kepentingan
umum
(kepentingan
seluruh
lapisan
masyarakat
saja),
kenyataannya hanyalah untuk kepentingan kroni penguasa sebagai akibat kolusi penguasa dengan pengusaha yang lebih lanjut akan melahirkan korupsi. Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyebut pula tentang "kepentingan umum": Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum ialah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1
Kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
2
Kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan meningkatkan kesejahteraan umum.
3
Kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan menerima laba. Namun pengertian ini hanya cocok untuk pasal tersebut, yaitu bersifat limitatif, dengan demikian, pengertian "kepentingan umum" hanya ditentukan secara kasus demi kasus oleh hakim pada setiap terdapat perkara yang harus diadili. “Kepentingan umum” di pasal-pasal lainnya adalah dalam Penjelasan Pasal 49
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana disebutkan: Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Kemudian, Penjelasan Pasal 32 huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi: Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas" Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya: ".... Pelestarian tersebut ditujukan unturuk kepentingan umum, yaitu pengaturan benda cagar budaya has dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan lain-lain" Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-undang No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian mengemukakan: "Asas kepentingan umum yaitu perkeretaapian harus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas."
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Penjelasan Pasal 2 huruf e Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan penjelasan Pasal 1 huruf e Undang-undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan: Asas kepentingan umum yaitu perkeretaapian harus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan yang baku mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum". Apabila ada beberapa peraturan perundang-undangan yang telah memberikan batasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan "kepentingan umum", batasan kepentingan umum yang dimaksud oleh pengertian itu hanya untuk pengertian peraturan perundang-undangan yang dimaksud itu saja. Pengertian itu tidak dapat dipakai untuk diterapkan bagi pengertian kepentingan umum dalam undang-undang yang lain. Dari uraian tersebut di atas dapat pula disimpulkan bahwa kepentingan umum memiliki pengertian yang luas. Maka dari itu tolak ukur untuk menentukan ada atau tidak adanya unsur kepentingan umum dalam hal Kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor diserahkan saja secara kasuistis kepada hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa permohonan pernyataan pailit itu. Hal ini sejalan semangat ketentuan Pasal 57 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang memberikan wewenang kepada Ketua Pengadilan untuk menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dari UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi "Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum": "Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya: a. debitor melarikan diri; b. debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d. debitor mempunyi utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e. debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh waktu; atau f. dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum." Menurut pendapat penulis, "kepentingan umum" sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut begitu luas. Setiap Debitor bank dapat diajukan permohonan pailit oleh Kejaksaan, selain tentunya oleh banknya sendiri, yaitu karena menurut penjelasan tersebut Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dalam hal "debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat" dan apabila "debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas".
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Apakah tidak akan terjadi tarik-ulur antara bank dan Kejaksaan? Juga dapat terjadi tarik-ulur antara Kejaksaan dan bank atau Kreditor lain berkaitan dengan ada atau tidak adanya itikad baik atau kooperatif atau tidak kooperatifnya seorang Debitor dalam menyelesaikan utangnya, karena menurut penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 itu Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal "tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utangpiutang yang telah jatuh waktu". Hal ini dapat membuka peluang terjadinya abuse of power oleh pihak Kejaksaan. Seyogianya UU No. 37 Tahun 2004 memberikan halhal yang spesifik dan limitatif mengenai apa saja yang dikategorikan sebagai "kepentingan umum" menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut. Peranan Penasihat Hukum dalam Kepailitan yang Diajukan Kejaksaan. Pasal 5 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh seorang penasihat hukum yang memiliki izin praktik, namun tidak jelas apakah apabila Kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit maka Kejaksaan harus pula menunjuk atau memberi kuasa kepada seorang penasihat hukum yang memiliki izin praktik yang dimaksudkan dalam Pasal 5 UUK itu. Ataukah Kejaksaan dapat mengajukan sendiri permohonan itu? Sayang sekali penjelasan dari Pasal 5 itu hanya menyebutkan "cukup jelas". Tidak seyogianya Kejaksaan tidak dapat mewakili dirinya sendiri sebagai pemohon pernyataan pailit. Kejaksaan adalah dalam kapasitasnya selaku "kuasa dari dan untuk kepentingan umum"; oleh karena itu adalah janggal apabila untuk dapat
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
mengajukan permohonan pernyataaan pailit itu Kejaksaan masih harus mengangkat seorang penasihat hukum untuk mewakilinya. Ketidakjelasan atau kejanggalan mengenai ketentuan tersebut dijawab di dalam UU No. 37 Tahun 2007, yang mengatur : (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 9, Pasal 10 Pasal 11, Pasal 13, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 67, Pasal 160, Pasal 170, Pasal 206, dan Pasal 211 harus diajukan oleh seorang advokat. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal permohonan diajukan oleh Jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Permohonan
Pailit
terhadap
Debitor
yang
Merupakan
Bank
Menurut Pasal 1 ayat (3), dalam hal menyangkut Debitor yang Merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) tidak mengemukakan apa yang menjadi alasan mengapa hanya Bank Indonesia saia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal Debitor adalah suatu bank. Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 ayat (3) itu telah memberlakukan standar ganda (double standard). Hal ini telah merampas hak Kreditor dari bank (biasanya nasabah). Keadaan tidak membayar kewajiban dari suatu Debitor kepada (para) Kreditor, hanya akan dapat dirasakan dan dialami langsung oleh Kreditor. Kreditorlah yang mengalami keadaan Debitor ingkar janji (in-default) sehubungan dengan perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit) antara Debitor dan Kreditor. Bank
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Indonesia tidak pernah menjadi pihak dalam perjanjian kredit antara Debitor dan Kreditor itu. Untuk menghindarkan adanya standar ganda dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, seyogyanya dalam hal menyangkut Debitor yang merupakan bank hendaknya permohonan pemyataan pailit tetap dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak intuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu bank itu sendiri selaku Debitor, Kreditor dan Kejaksaan (untuk kepentingan umum), namun permohonan tersebut hanya dapat diajukan setelah sebelumnya nemperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Dengan demikian Bank Indonesia tetap memiliki kata putus (final say) dalam hal ada suatu bank /ang dinyatakan pailit. Ketentuan undang-undang yang menyatatakan bahwa hanya Bank Indonesia saja yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal Debitor adalah suatu bank, tidak mustahil dapat membahayakan kedudukan Bank Indonesia. Mengapa demikian? Misalnya saja dalam suatu kasus, seorang Kreditor dari suatu bank mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia agar Bank Indonesia mengajukan permohonan pernyataan pailit Jerhadap bank yang dimaksud, tetapi ternyata Bank Indonesia berdasarkan Pertimbangan-pertimbangan tertentu menolak permohonan tersebut maka tidak mustahil Bank Indonesia dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara sehubungan dengan penolakannya itu. Dalam hal Debitor merupakan perusahaan efek, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Demikian ditentukan menurut Pasal 1 ayat (4) UUK. Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (4), yang
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dimaksud dengan perusahaan efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Namun keterlibatan Bapepam jangan sampai "memasung" hak Kreditor maupun Kejaksaan untuk dapat mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan efek. Dengan kata lain, Pengadilan Niaga tidak boleh memutuskan pailit suatu perusahaan efek apabila Bapepam tidak menyetujuinya. Dengan ketentuan yang demikian itu, maka akan tetap terpelihara semangat dan asas Undang-undang Pasar Modal bahwa tugas Bapepam adalah memberikan perlindungan bagi investor publik, bukan merampas dan mengambil alih hak-hak dari para Kreditor investor publik yang harus dilindunginya. Permohonan Pailit terhadap Perusahaan Asuransi Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian memuat ketentuan khusus, yaitu dalam Bab X, Pasal 20, menyangkut kepailitan dan likuidasi perusahaan asuransi. Pasal 20 ayat (1) undang-undang tersebut menentukan sebagai berikut: (1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri, berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan di-nyatakan pailit. (2) Yang dimaksud dengan Menteri dalam Pasal 20 ayat (1) itu, menurut Pasal 1 angka 14 ialah Menteri Keuangan Republik Indonesia. Dengan adanya ketentuan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pasal 20 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992 itu, maka ada 2 (dua) otoritas yang dapat mengajukan Permohonan pernyataan pailit berdasarkan kepentingan umum terhadap suatu perusahaan asuransi. Otoritas yang pertama ialah Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (2). Otoritas yang kedua adalah Menteri Keuangan sebagaimana ditentukan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Usaha Perasuransian tersebut di atas.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB IV PROSEDUR PERMOHONAN KEPAILITAN YANG DIAJUKAN OLEH KEJAKSAAN DEMI KEPENTINGAN UMUM
A. Para Pihak Yang Terlibat dalam Proses Kepailitan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Seperti telah disinggung di atas, para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan berdasarkan UU No. 37 Tahun 2007, adalah : 1. Para Debitor Debitor bisa perorangan, bisa juga berbentuk suatu badan hukum. Permohonan kepailitan dapat diajukan sendiri oleh debitor, apabila debitor tidak mempunyai harapan untuk memenuhi kewajibannya. 2. Kreditor Permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditor bagi debitornyan, harus memenuhi syarat-syarat yaitu kreditor harus dapat membuktikan bahwa si debitor mempunyai 2 (dua) atau leibh kreditor dan debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 3. Kejaksaan Permohonan kepailitan yang diajukan oleh lembaga kejaksaan adalah untuk kepentingan umum. Sedangkan yang dimaksud kategori untuk kepentingan umum itu adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari harta
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kekayaan, debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau badan lain menghimpun dana dari masyarakat, debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas, debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, atau dalam hal lainnya yang menurut lembaga kejaksaan merupakan kepentingan umum. 4. Bank Indonesia Permohonan kepailitan yang diajukan oleh
Bank Indonesia
adalah apabila
debitor yang diajukan pailit adalah suatu bank. Yang dimaksud dengan debitor bank
di sini adalah yang mengacu pada UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) Permohonan kepailitan yang diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) adalah apabila debitornya merupakan suatu perusahaan efek. Yang dimaksud dengan perusahaan efek aalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
6. Menteri Keuangan Permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi dana pension dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak untuk kepentingan publik. 7. Pengadilan Niaga. Pengadilan niaga merupakan pengadilan tingkat pertama yang memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang. 8. Mahkamah Agung Mahkamah agung merupakan pengadilan di tingkat kasasi dan merupakan tempat dimana dapat diajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 9. Hakim Ad-Hoc Hakim ad-hoc adalah hakim yang bukan merupakan hakim karir yang dibesarkan di kalangan peradilan umum. Hakim ad-hoc adalah seseorang yang ahli dalam bidangnya, dalam hal ini adalah bidang kepailitan. Pengangkatan hakim ad-hoc harus dilakukan dengan suatu keputusan presiden. 10. Hakim Pengawas Hakim pengawas adalah hakim yang diberi tugas khsusus untuk mengawasi kurator dalam mengurus dan membereskan harta pailit, memimpin dan mengawasi rapat/sidang verifikasi untuk menyetujui atau menolak daftar tagihan, menyerahkan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikan dalam topic
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
verifikasi kepada hakim pemutus kepailitan, mendengarkan saksi-saksi, berwenang memerintahkan mengadakan penyelidikan oleh ahli-ahli, memimpin dan mengawasi pelaksaan kepailitan. 161 11. Kurator Sejak putusan permohonan pernyataan pailit diputuskan, debitor tidak lagi berhak melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan baik debitor pailit itu sendiri maupun pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan debitor pailit sebelum pernyataan pailit dijatuhkan, kurator menjadi satu-satunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pemberesan termasuk pengurusan harta pailit. Kurator diangkat oleh pengadilan bersamaan dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Dalam debitor atau kreditor yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul pengangkatan kurator, maka Balai Harta Peninggalan bertindak sebagai kurator. Jadi kurator tidak hanya Balai Harta Peninggalan tapi juga bisa pihak dengan syarat-syarat : 162
a. Perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka, dan b. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman. Kurator yang diangkat oleh pengadilan harus independent dan tidak mempunyai kepentingan baik dengan debitor maupun dengan kreditor.
161
Bismar Nasution, Sunarmi, Op.cit, hal. 47. Ibid, hal. 48.
162
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pengangkatan seorang kurator harus ditetapkan dalam pernyataan pailit yang bersangkutan. Pelaksanaan pengurusan harta tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu pula terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, meskipun terhadap putusan pernyataan pailit diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Apabila kemudian putusan pernyataan pailit pada pengadilan tingkat pertama dibatalkan oleh baik putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitor pailit. 12. Panitia Kreditor a. Panitia Kreditor Sementara Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa dalam putusan pernyataan pailit atau dengan suatu penetapan yang dikeluarkan kemudian, selama belum diambil putusan pernyataan pailit atau dengan suatu penetapan yang dikeluarkan
kemudian,
selama
belum
diambil
keputusan
tentang
pengangkatan suatu panitia kreditor tetap, pengadilan dapat berdasarkan pada kepentingan, maupun jika harta pailit menghendaki, mengangkat suatu panitia kreditur sementara.
Panitia kreditor terdiri dari 1 (satu) sampai 3 (tiga)
anggota, yang dipilih
dari kreditor yang dikenal, dengan maksud untuk
memberikan nasihat kepada kurator (vide, Pasal 79 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Pengadilan harus mengisi lowongan yang kosong dengan mengangkat seorang dari antara dua calon yang diusulkan oleh
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
hakim pengawas, jika seorang anggota
panitia kreditor sementara tidak
menerima pengangkatannya, berhenti atau meninggal dunia. Sedangkan para anggota yang diangkat, dapat mewakilkan pekerjaan mereka yang berhubungan dengan keanggotaan panitia tersebut, kepada orang lain. b. Panitia Kreditor Tetap Berdasarkan Pasal 80 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, menyatakan bahwa setelah pencocokan utang selesai dilakukan, hakim pengawas wajib menawarkan kepada para kreditor untuk membentuk panitia kreditor tetap. Atas permintaan kreditor konkuren berdasarkan putusan kreditor konkuren dengan suara terbanyak biasa dalam rapat kreditor, hakim pengawas dapat : 1). Mengganti panitia kreditor sementara, apabila dalam putusan pernyataan pailit telah ditunjuk panitia kreditor sementara; atau 2). Membentuk panitia kreditor sementara, apabila dalam putusan pernyataan pailit belum diangkat panitia kreditor. 163
B. Proses Acara Penyelesaian Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga. Permohonan pernyataan pailit
harus diajukan kepada pengadilan niaga
melalui panitera pengadilan niaga. Pengadilan niaga selanjutnya akan memberikan kepada pemohon pernyataan pailit tersebut suatu bukti tertulis atau tanda terima yang ditanda tangani oleh panitera bahwa pemohon tersebut telah mengajukan
suatu
163
Ibid, hal. 56.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
permohonan pernyataan pailit pada pengadilan niaga, tanda terima tertulis mana akan diberikan tanggal yang sama seperti tanggal pendaftaran permohonan pernyataan pailit tersebut. 164 Panitera selanjutnya menyerahkan permohonan tersebut kepada ketua pengadilan niaga dalam waktu satu hari setelah pendaftaran permohonan pernyataan pailit tersebut. Pengadilan niaga kemudian mempelajari permohonan tersebut dan dalam waktu 2 (dua) hari sejak pendaftaran permohonan, pengadilan niaga harus menentukan
tanggal sidang perkara
kepailitan tersebut. 165 Kemudian sidang
pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
166
Pengadilan niaga wajib memanggil debitor tersebut dalam permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bappepam atau Menteri Keuangan. 167 Namun, pemanggilan terhadap debitor tersebut dapat dilakukan (artinya tidak diwajibkan) apabila permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh pihak debitor tersebut sendiri dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 telah terpenuhi. Pemanggilan debitor tersebut harus dilakukan oleh Panitera paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan. Sidang perkara 164
Pasal 6 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Pembayaran Utang. 165 Pasal 6 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Pembayaran Utang. 166 Pasal 6 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Pembayaran Utang. 167 Pasal 8 ayat (1) huruf a UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kewajiban Pembayaran Utang.
dan Penundaan Kewajiban dan Penundaan Kewajiban dan Penundaan Kewajiban Kepailitan dan Penundaan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
kepailitan merupakan sidang terbuka untuk umum. 168 Tujuan sidang perkara kepailitan tersebut adalah untuk menentukan apakah persyaratan-persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi sebagaimana mestinya. Sidang tersebut adalah sidang yang singkat yang membicarakan mengenai keadaan keuangan debitor yang dimintakan permohonan pernyataan pailit. Permohonan pernyataan pailit atas debitor tersebut harus dikabulkan oleh pengadilan niaga apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 telah terpenuhi. 169 Hal tersebut dimaksudkan oleh pembuat undang-undang dalam hal ini pemerintah dan DPR agar dengan undang-undang kepailitan beban pembuktian bagi pihak kreditor dapat diringankan, sehingga pihak debitor hanya mempunyai kesempatan yang kecil atau sedikit untuk mengajukan pembelaan terhadap kreditornya, sehingga pembelaan-pembelaan klasik
seperti
menolak adanya utang, ketulusan hatinya untuk membayar para kreditornya dalam waktu dekat atau fakta bahwa ia sedang melakukan negosiasi untuk restrukturisasi dengan para kreditornya, dan sebagainya tidak dapat digunakan oleh debitor tersebut. Pengadilan niaga dalam memeriksa perkara permohonan
pernyataan kepailitan
seharusnya hanya memperhatikan pembelaan yang beritikad baik atau sengketa yang benar-benar mempunyai dasar. 168
Pasal 8 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 169 Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pengakuan atas utang-utang oleh pihak debitor harus menjadi bukti yang cukup bagi majelis hakim pengadilan niaga bahwa standar pembuktian secara sederhana untuk menyatakan suatu debitor pailit
sesuai dengan syarat-syarat
permohonan pernyataan kepailitan yang dimaksud menurut Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Kriteria demikian tersebut yang mana harus secara ringkas dan sederhana membuktikan syarat-syarat permohonan pernyataan kepailitan, mempunyai akibat bahwa hanya terdapat sedikit kesempatan untuk membuktian dengan keterangan saksi-saksi atau keterangan ahli. Walaupun demikian halnya, kriteria tersebut juga tidak menutup kemungkinan dari pihak debitor maupun kredito untuk mengajukan suatu pendapat tertulis dari keterangan sanksi atau keterangan ahli. 1). Penerimaan Berkas Perkara Berkasa permohonan harus diserahkan oleh jaksa pengacara negara yang ditunjuk berdasarkan surat tugas dari Kepala Kejaksaan di wilayah hukum debitor. Berkas tersebut diserahkan kepada Panitera Muda Perdata dan sebagai tanda bukti penerimaan berkas, Panitera Muda Perdata membuat tanda terima sementara, berupa formulir yang diisi nomor permohonan, tanggal penyerahan permohonan, nama Jaksa Pengacara Negara yang menyerahkan, nama pemohon, tanggal kembali ke pengadilan dalam hal berkas perkara belum selesai diteliti. Berkas permohonan
yang telah
diterima diberi lampiran formulir tentang kelengkapan persyaratan permohonan (check-list) yang telah diisi nama Pemohon i.c. Jaksa Pengacara Negara dan tanggal permohonan. Pemeriksaan persyaratan serta kelengkapan permohonan dilakukan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
dengan cara memberikan tanda pada formulir (check-list) sehingga apabila ada kekurangan langsung dapat dilihat. Apabila berkas perkara permohonan belum lengkap setelah disesuaikan dengan formulir sudah diberi tanda, maka berkas permohonan dikembalikan kepada Jaksa Pengacara Negara dengan penjelasan supaya melengkapi surat-surat sesuai dengan kekurangan yang tercantum dalam formulir kelengkapan berkas permohonan (check-list). Apabila berkas permohonan sudah lengkap maka pengadilan membuat bukti pembayaran dalam rangkap tiga : a. Lembar pertama untuk pemohon, b. Lembar kedua untuk dilampirkan dalam berkas permohonan, c. Lembar ketiga untuk kasir. 2). Pembayaran Biaya Perkara Biaya perkara di Pengadilan Niaga Medan besarnya sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Niaga. Panjar biaya perkara dibayar kepada kasir. Setelah menerima pembayaran, kasir menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM maupun pada lembar pertama surat permohonan. Pada saat diadakan penelitian
ini, ibaya pendaftaran perkara di Pengadilan Niaga Medan
adalah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dengan ketentuan 1 lawan 1 yang berada di wilayah Medan dan sekitarnya. Setelah selesai penerimaan panjar perkara, ditentukan nomor perkara yang didasarkan pada tata urutan penerimaan panjar biaya perkara. Setelah proses administrasi pembayaran selesai, berkas permohonan yang dilampiri dengan surat bukti pembayaran, disampaikan pada Petugas Register untuk
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
didaftar dan dibuat tanda terima. Kemudian Petugas Register perkara mencatat datadata serta mendaftar perkara sesuai dengan nomor perkara yang tercantum pada SKUM/lembar pertama surat permohonan. Setelah itu Jaksa Pengara Negara diberi tanda terima. Dalam pembayaran biaya perkara bersifat sangat generalis, tidak ada perbedaan antara pemohon pailit dalam kapasitasnya sebagai debitor dalam hal pengajuan permohonan pailit untuk dan atas kepentingan usahanya dan pemohon pailit dalam kapasitasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara dalam hal pengajuan permohonan pailit untuk dan atas kepentingan umum, dan dalam prakteknya adalah adanya kendala mengenai anggaran dalam hal pengajuan permohonan pailit, dimana pemerintah untuk lembaga Kejaksaan tidak ada mencantumkan dana untuk pengajuan permohonan kepailitan, hal ini jelas mempersulit proses pengajuan permohonan kepailitan oleh lembaga Kejaksaan. 3). Syarat-Syarat Permohonan Kelengkapan persyaratan permohonan perkara kepailitan Pengadilan Niaga meliputi permohonan dari debitor (Kejaksaan/Bank Indonesia/BAPEPAM) : 170 1). Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga; 2). Ijin Penasehat Hukum/Kartu Penasehat Hukum (apabila kejaksaan memakai jasa pengacara/advokat); 3). Surat Kuasa Khusus (dari masyarakat); 170
Parwoto Wignjosumarto, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Tugas dan Wewenang Hakim Pemeriksa/Pemutus Perkara Pengawas dan Kurator Pengurus, (Jakarta : Tatanusa, 2001), hal. 45.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
4). Surat tugas/Surat Kuasa (dari Kepala Kejaksaan di wilayah hukum debitor); 5). Tanda Daftar Perusahaan/Bank/Perusahaan Efek dilegalisir (dicap) oleh Kantor Perdagangan paling lama 1 (satu) minggu sebelum permohonan didaftarkan; 6). Surat Perjanjian Utang (loan agreement) atau bukti lain yang menunjukkan adanya perikatan utang (commercial paper, faktur, kuitansi dan lain-lain). 7). Perincian utang yang telah jatuh tempo/tidak terbayar. 8). Nama dan alamat semua debitor serta kreditor. 9). Neraca keuangan terakhir. 10).Daftar asset dan tanggungan. 4). Proses Persidangan Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah proses registrasi diselesaikan, pegawai melalui Panitera/Sekretaris harus menyerahkan berkas permohonan kepada Ketua Pengadilan Niaga untuk dimintakan penetapan mengenai Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus, pada saat disampaikan berkas tersebut telah dilampiri dengan formulir penetapan. Formulir Penunjukan Majelis Hakim. Ketua Pengadilan Niaga membuat penetapan untuk menunjuk Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara. 171 Berkas perkara yang telah ditetapkan Majelis Hakimnya, dikembalikan kembali kepada Panitera/Sekretaris untuk ditunjuk Panitera Pengganti yang akan membantu Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. Setelah
171
Pasal 6 ayat (5) : “Dalam jangka waktu paling lambat 3 (hari) setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengaidlan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang”.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
ada penunjukan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti yang akan bertugas, maka berkas dikembalikan kepada Panitera Muda Perdata untuk diteruskan kepada petugas yang akan mencatat penunjukan tersebut dalam kolom Majelis Hakim pada Register Induk. Selanjutnya Petugas Meja Kedua dengan buku ekspedisi menyerahkan berkas perkara kepada Ketua Majelis yang telah ditunjuk dengan dilampiri formulir Penetapan Hari Sidang. Majelis Hakim segera mempelajari berkas tersebut dan dalam tempo paling lambat 2 x 24 jam sejak perkara tersebut didaftarkan, harus telah menetapkan hari sidang dan memerintahkan pemanggilan pada pihak-pihak. Hari sidang ditetapkan tidak melewati 20 (dua puluh) hari sejak perkara pendaftar dan memperhatikan tenggang waktu 7 (tujuh) hari sebelum hari sidang, dimana surat panggilan telah disampaikan pada pihak-pihak yang
berperkara.
Tanggal Penetapan Majelis Hakim, nama susunan majelis, tanggal Penetapan Hari Sidang, tanggal sidang yang ditetapkan serta segala kegiatan sesuai jalannya perkara wajib diberitahukan oleh Panitera Pengganti kepada Meja Kedua untuk dicatat perkembangannya dalam buku Register Induk Perkara. Majelis Hakim segera mempelajari berkas dan dalam tempo paling lambat 2 x 24 jam sejak terdaftar telah menetapkan hari sidang dan memerintahkan pemanggilan kepada pihak-pihak. Hari sidang yang ditetapkan tidak melewati 20 (dua puluh) hari sejak perkara terdaftar dan memperhitungkan tenggang waktu 7 (tujuh) hari sebelum hari sidang, surat panggilan telah diterima pihak-pihak yang berpekara. Dalam panggilan kepada Termohon agar diberitahukan pula tentang daftar dokumen yang
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
telah diajukan oleh Pemohon bersamaan dengan permohonannya dan Termohon dapat melihat/mempelajari dokumen tersebut di kepaniteraan. Pengadilan wajib memanggil debitor dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor atau Jaksa. 172 Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi, pengadilan dapat memanggil debitor. Panggilan buat juru sita dan setelah ditandatangani oleh Panitera pada hari itu juga dikirimkan, melalui surat dengan pos kilat tercatat, dan bagi pihak yang mempunyai facsimile tembusan surat. Panggilan harus telah diterima pihak-pihak paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan (Pasal 8 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004). Tanggal Penetapan Majelis Hakim, nama susunan majelis, tanggal penetapan hari sidang, tanggal sidang yang ditetapkan serta segala kegiatan sesuai jalannya perkara wajib diberitahukan oleh Panitera Pengganti kepada Panitera Muda Perdata untuk dicatat dalam buku register. Dalam sidang pertama pihak Termohon didengar keterangannya terhadap permohonan dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon. Pengadilan dapat menunda sidang atas permohonan debitor berdasarkan alasan yang cukup, paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Pengadilan mengabulkan permohonan apabila Termohon mengakui dan dapat membuktikan 172
Pasal 8 ayat (1) huruf a : “Pengadilan wajib memanggil debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, BAPEPAM atau Menteri Keuangan”.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
secara sederhana bahwa terdapat utang yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Proses persidangan adalah sebagai berikut : 173 a. Apabila dalam sidang pertama Pemohon tidak hadir, padahal panggilan telah disampaikan secara sah (patut), maka perkara dinyatakan gugur. b. Apabila Pemohon menghendaki, dapat mengajukan sebagai perkara baru. c. Jika Termohon tidak datang dan tidak ada bukti bahwa panggilan telah disampaikan kepada Termohon maka sidang harus diundur dan pengadilan harus melakukan panggilan lagi kepada Termohon. Dalam hal keterangan Termohon berisi penyangkalan, maka harus pula disertai bukti-bukti yang dimilikinya. 174 Apabila dalam perkara kepailitan diajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka perkara tersebut tidak diputus dahulu sebelum permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diputus. Apabila perdamaian dalam perkara penundaan kewajiban pembayaran utang tidak tercapai, maka pengadilan pada hari berikutnya setelah mendapat pemberitahuan dari Hakim Pengawas dalam perkara penundaan kewajiban pembayaran utang, menyatakan debitor pailit. Untuk keperluan perlindungan terhadap kreditor, maka pengadilan jika diminta, dapat meletakkan sita jaminan dan menunjuk kurator sementara untuk : 175 a. Mengawasi pengelolaan usaha debitor.
173
Ibid, hal. 47. Himpunan Peraturan Perundang-undangan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, (Bandung : Fokus Media, 2005). 175 Parwoto Wignjosumarto, Op.cit, hal. 21. 174
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
b. Mengawasi pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitor yang dalam rngka kepailitan memerlukan kurator. Pengadilan dapat menetapkan syarat agar kreditor yang mengajukan permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator sementara untuk memberikan jaminan dalam jumlah yang dianggap wajar oleh pengadilan. Untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor sebelum pernyataan pailit ditetapkan. Salinan Putusan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan secara lengkap dikirimkan surat pengantara kepada debitor, pihak yang mengajukan/pihak Pemohon (Jaksa Pengacara Negara). Kurator dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan/diucapkan. 176
C. Upaya Hukum Yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara Demi Kepentingan Umum. Upaya hukum, terhadap putusan permohonan pernyataan pailit adalah upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya banding melalui pengadilan tinggi. Upaya untuk kasasi ini harus diajukan dalam waktu 8
176
Ibid.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
(delapan) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga. 177 Dalam hal ini harus diingat bahwa Mahkamah Agung merupakan “Judex Jure” saja, yaitu Mahkamah Agung hanya mengadili bagaimana penerapan atau aplikasi hukum terhadap suatu perkara telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi (dalam kasus umumnya). Walaupun demikian, Mahkamah Agung dapat juga menjadi “Judex Factie” seperti yang dilakukan oleh Pengadilan Niaga (ataupun Pengadilan Negeri) yang mengadili hal-hal sehubungan dengan fakta dan hukum dari perkara yang ada. Sehingga semestinya upaya hukum kasasi tidak merupakan suatu upaya hukum sepenuhnya (mengenai fakta dan hukum). Upaya hukum kasasi seharusnya hanya dibatasi pada masalah bagaimana penerapan hukum saja oleh Pengadilan Niaga. Hal-hal yang akan dievaluasi atau diperiksa oleh Mahkamah Agung atas suatu perkara kasasi dari Pengadilan Niaga, adalah : 178 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. 179 177
Pasal 11 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU : “Upaya hukum dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung”. 178 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan Kepailitan, (Bandung : Nuansa Aulia, 2006), hal. 56.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan Penjelasan dari Pasal 11 UU No. 37 Tahun 2004 antara lain dikatakan bahwa : “sepanjang menyangkut kreditor, maka yang dapat mengajukan kasasi bukan saja kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, tetapi termasuk pula kreditor lain yang bukan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pailit yang ditetapkan”. Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Kemudian panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan, Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitera pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal Termohon kasasi menerima memori kasasi. Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung. 180 Lebih lanjut dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali pada Mahakamah Agung terhadap putusan atas permohonan untuk pernyataan kepailitan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 14 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan apabila : 179
Bismar Nasution, Sunarmi, Loc.cit, hal. 30. Himpunan Peraturan Perundang-undangan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Op.cit. 180
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti tertulis baru yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau b. Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata (vide, Pasal 295 ayat (2) Sub a.b UU No. 37 Tahun 2004). Pernyataan pailit barulah timbul apabila debitor atau kreditor mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. Syarat-syarat agar seserong debitor dinyatakan pailit diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004. Di samping debitor atau kreditor secara orang perorangan, pihak lainpun bisa mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan. Akibat hukum prnyataan pailit secara teoritis diatur dalam Bagian Kedua UU No. 37 Tahun 2004 di dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 61. akan tetapi bila diteliti secara mendalam ternyata akibat hukum tersebut tidak hanya terbatas pada pasalpasal tersebut, melainkan dalam seluruh pasal-pasal UU No. 37 Tahun 2004. Tidaklah mudah merinci seluruh akibat hukum pernyataan pailit.
a. Akibat kepailitan bagi debitor sendiri. Pasal 24 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur bahwa debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Ketentuan ini tidak mengakibatkan si debitor menjadi tidak mampu membuat perjanjian, tetapi walau debitor tidak kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum, perbuatan itu tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaannya yang tercakup dalam harta kepailitan. Hanya pada harta yang termasuk bundel pailit, debitor kehilangan wewenang untuk mengurusnya dan mengalihkannya. Bila debitor melanggar ketentuan itu, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaannya itu, kecuali perikatan yang bersangkutan mendatangkan keuntungan bagi bundel pailit. 181 Sebagai konsekuensi
dari hal tersebut di atas, maka setiap dan seluruh
perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karena itu, maka gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan pada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. Hal ini berlaku juga bagi suami atau istri dari debitor pailit yang kawin dengan persatuan harta kekayaan. Kepailitan seorang suami atau seorang istri yang kawin dalam persatuan harta diperlakukan sebagai kepailitan persatuan tersebut. Kepailitan tersebut meliputi segala
benda yang jatuh dalam persatuan harta
181
Sentosa Sembiring, Op.cit, hal. 58.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk ke dalam bundel pailit.182
b. Akibat kepailitan bagi kreditor. Kedudukan para kreditor terhadap debitor pailit adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi bundel pailit sesuai dengan besarnya tagihan masing-masing, kreditor ini disebut kreditor konkuren. Namun demikian ada pengecualian yaitu terhadap golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan ketentuan Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata, kreditor ini disebut kreditor separatis.183
c. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitor. Sesudah putusan hakim tentang pernyataan pailit diucapkan, maka seluruh harta kekayaan sebagaimana ditentukan dalam Paal 21 UU No. 37 Tahun 2004 dinyatakan sebagai harta pailit. Pengecualian dibuat untuk beberapa barang dipakai dan diperlukan oleh si pailit dan keluarganya secara pribadi, sebagaimana disebut dalam Pasal 22 UU No. 37 Tahun 2004, diantaranya benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, profesi si pailit, penghasilan si pailit dari pekerjaan pribadi si pailit yang besarnya ditentukan
182
Bismar Nasution, Sunarmi, Dasar-Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana, USU, Medan, 2003, hal. 44. 183 Pasal 1139 KUHPerdata berisi tentang piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu, sedangkan Pasal 1149 berisi tentang piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
oleh hakim pengawas dan biaya hidup yang diterima untuk memenuhi pembayaran uang nafkah berdasarkan hukum. 184 Segala tuntutan hukum yang berpangkal pada hak dan kewajiban
yang
mengenai harta pailit harus dimajukan oleh atau kepada kurator. Selain itu segala tunutan yang bertujuan untuk mendapatkan pemenuhan suatu perikatan dari harta pailit mencakup baik perikatan untuk dapat pembayaran suatu jumlah uang maupun prestasi lain dari bundel si pailit, selama kepailitan berlangsung, maka hanya boleh dimajukan dengan cara melaporkan kepada kurator atau diversifikasi.
D. Analisis Kasus Permohonan Kepailitan Yang Diajukan Oleh Jaksa Sebagai Pengacara Negara Demi Kepentingan Umum. Untuk melihat lebih jauh tentang standar kepentingan umum yang menjadi pedoman bagi Kejaksaan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit dalam penelitian ini menganalisis perkara No. 02/Pailit/2005/PN. Niaga/Mdn, yang dilakukan oleh Lembaga Kejaksaan untuk kepentingan umum selanjutnya disebut sebagai Pemohon Pailit. Terhadap PT. Aneka Surya Agung sebagai Termohon Pailit. Adapun duduk perkaranya : 1). Bahwa hubungan Pemohon dengan Termohon adalah bahwa Pemohon sebagai Jaksa Pengacara Negara pda Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam yang mempunyai kewenangan di bidang Perdata termasuk di dalamnya untuk mengajukan
184
K. Santoso, Akibat Putusan Pailit, Makalah Seminar Kepailitan, Jakarta, 14 Juli 1998, hal.
2.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga sesuai undang-undang Kejaksaan, UU No. 16 Tahun 2004 jo UU No. 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 Jo UU No. 37 Tahun 2004. 2). Bahwa Termohon adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri sandal dan dalam menjalankan usahanya itu Termohon memerlukan tenaga (dengan kewajiban membayar upah buruh, kewajiban membayar Jamsostek bagi para pekerja dan uang pesangon bagi setiap pekerja yang diberhentikan), tenaga listrik, telepon (Jasa Telkom). 3). Bahwa Termohon mempunyai kewajiban yang belum dibayar lunas kepada para Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P-4P) untuk membayar hakhak normatif para pekerja yang sudah diputuskan oleh P-4P tanggal 30 Mei 2005 sebesar Rp. 5.515.570.204,- PT. Jamsostek cabang Tanjung Morawa bulan April 2004 sampai dengan Februari 2005 sebesar Rp. 425.567.831,86,- PT. PLN cabang Lubuk Pakam, sejak bulan Maret 2004 sampai dengan bulan Agustus 2004 sebesar Rp. 318.150.584,- Telkom Kandatel Medan sebesar Rp. 5.997.160,- dan PT. BNI sebesar Rp. 8.994.595.808,-. 4). Bahwa dalam kenyataannya Termohon tidak dapat lagi menjalankan usahanya, perusahaan telah menghentikan kegiatan produksinya sehingga tidak mampu lagi memenuhi segala kewajibannya kepada para kreditur di atas, untuk menghindari pembayaran terhadap tagihan atau kewajiban Termohon (Direktur atau seluruh pengurus PT. Aneka Surya Agung) berdasarkan surat dari Kepala Kepolisian Resort Deli Serdang No. B-1070/IV/2005 tanggal 19 April 2005, Termohon telah
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang berarti tidak diketahui keberadaannya (melarikan diri). 5). Bahwa sebagian para kreditur antara lain yaitu terdiri dari PT. PLN, PT. Telkom, PT. Jamsostek dan PT. Bank Negara Indonesia (PT. BNI) adalah Badan Usaha Milik Negara, sedangkan kreditor yang lain yaitu para pekerja/buruh dan mantan buruh yang telah diberhentikan yang menurut ketentuan point 1 (satu) di atas termasuk kategori pihak dan lain-lain. 6). Bahwa sampai saat ini baik Termohon maupun para kreditor tidak ada satupun yang mengajukan pernyataan pailit terhadap Termohon, oleh karena itu agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan Pemohon khawatir hal tersebut merupakan ‘itikad buruk dari Termohon untuk mengulur-ulur waktu, sehingga dapat menghindar atau melepaskan tanggung jawab dari kewajibannya dan dapat mengganggu kepentingan umum, karena para kreditor lain maupun para buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) akan main hakim sendiri dan berunjuk rasa, mengambil dan merusak asset Termohon, maka dengan ini pihak Pemohon mengambil langkah penegakan hukum dengan mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum terhadap Termohon. Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim, menimbang bahwa sebagai suatu hukum yang bersifat khusus (lex specialis), UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, mengatur tentang pihak-pihak yang memiliki kewenangan (legitima standi in judicio) untuk mengajukan permohonan pailit, dimana dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa : “pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
untuk kepentingan umum”. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dicantumkan keadaan-keadaan yang memungkinkan kejaksaan untuk mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum, yaitu : a). Debitor melarikan diri; b). Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c). Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d). Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana masyarakat luas;’ e). Debitor tidka beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau f). Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum. Sedangkan tata cara pihak Kejaksaan untuk mengajukan permohonan pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh Kejaksaan tanpa menggunakan jasa Advokat”. Di samping itu untuk memperjelas mekanisme kewenangan Kejaksaan
untuk mengajukan permohonan pailit telah diatur
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut ditentukan, bahwa pihak Kejaksaan meskipun tidak berkedudukan sebagai kreditor juga berwenang mengajukan permohonan pailit
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
terhadap diri seorang debitor untuk kepentingan umum sepanjang jika tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan pailit terhadap debitor tersebut. Di samping itu, ketentuan Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2004 yang mengharuskan permohonan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak berlaku jika yang menjadi pemohon pailit adalah pihak Kejaksaan. Dengan kata lain, pihak Kejaksaan dapat maju sendiri untuk mengajukan permohonan pailit. Menimbang, bahwa dalam permohonannya, Pemohon memohon agar Termohon dianyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, karena telah mempunyai sejumlah utang pada beberapa Badan Usaha Milik Negara yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan kini malahan tidka mempunyai aktifitas produksi dan bahkan beberapa pengurusnya telah dinyatakan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh pihak Kepolisian. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 telah diatur syarat-syarat kepailitan sebagai berikut : a). Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor. b). Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Menimbang, bahwa sistem pembuktian sederhana syarat-syarat untuk dapat dinyatakan pailit tersebut, sesungguhnya bersangkutan dengan cara pemeriksaan permohonan pailit yaitu dengan berlandaskan acara cepat (speedy trial) yang dengan tegas diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 yang menyatakan : “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”. Menimbang, bahwa dengan demikian, adanya kewajiban-kewajiban untuk membayarkan sejumlah uang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut kepada pihak Bank Indonesia, pihak PT. Telkom, pihak PT. PLN, PT. Jamsostek dan pembayaran hak-hak normatif kepada 420 orang karyawan PT. Aneka Surya Agung yang telah diputuskan hubungan kerjanya merupakan suatu bukti bahwa Termohon memiliki dua atau lebih kreditor. Amar putusan Pengadilan Niaga Medan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebahagian; 2. Menyatakan Termohon (PT. Aneka Surya Agung) pailit dengan segala akibat hukumnya; 3. Menunjuk Balai Harta Peninggalan Medan sebagai Kurator dalam Kepailitan PT. Aneka Surya Agung: 4. Menunjuk dan mengangkat Sdr. Maratua Rambe, SH Hakim Niaga Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan sebagai Hakim Pengawas; 5. Membebankan biaya permohonan pailit kepada Termohon pailit (PT. Aneka Surya Agung) sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). 6. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Analisa mengenai standar kepentingan umum yang menjadi dasar bagi Kejaksaan dalam mengajukan permohonan pailit khususnya dalam perkara No. 02/Pailit/2005/PN.Niaga/Mdn, adalah sebagai berikut :
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Bahwa adanya surat perintah penunjukan Jaksa Pengacara Negara untuk mengajukan permohonan pailit atas kepentingan umum yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Lubuk Pakam adalah wujud dari peranan dan kewenangan
(legitima
standi in judicio) Kejaksaan yang dapat mengajukan pailit berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000, hal ini diperkuat juga dengan
pertimbangan
Majelis
Hakim
dalam
Perkara
No.
02/Pailit/2005/PN.Niaga/Mdn. Partisipasi masyarakat meerupakan salah satu komponen yang menjadi necessery condition dalam upaya penegakan hukum
dan keadilan, maka oleh
kerenaya apabila dikaitkan dengan permohonan pengajuan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam ini, maka Jaksa menilai permohonan pailit dapat diajukan mengingat debitor yang tidak dapat membayar utangnya kepada beberapa badan usaha milik negara (PT. Telkom, PT. PLN, PT. Jamsostek dan pembayaran hak-hak normatif kepada 420 orang karyawan PT. Aneka Surya Agung yang telah diputuskan hubungan kerjanya). Hal ini merupakan indikasi adanya kepentingan rakyat (kepentingan umum) yang harus diperhatikan. Sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000, dimana dalam undangundang tersebut diatur bahwa Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan untuk kepentingan umum, maka sesuai dengan tegaknya supremasi hukum dan keadilan yang berasal dari adanya partisipasi rakyat yang dalam hal ini adanya partisipasi masyarakat yang melaporkan ke Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam mengenai PT. Aneka Surya Agung (Termohon Pailit) yang telah melakukan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak kepada 420 orang karyawannya tanpa membayar hak-hak normatif yang diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwasanya : “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Dalam perkara a quo penulis menyimpulkan
bahwasanya karyawan-karyawan tersebut adalah termasuk dalam
kategori kepentingan orang banyak/umum. Adapun hak buruh yang harus dipenuhi apabila perusahaan pailit berdasarkan Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003 yakni berupa pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), yaitu : Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut : a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. Masal kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Kemudian
mendapat uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), yakni : Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 (delapan belas), 6 (enam) bulan upah; f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu tahun), 7 (tujuh) bulan upah; g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 ( dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. Selanjutnya mendapat uang penggantian hak dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4), yakni : Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. Penggantian perumaan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerjasama.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Maka berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dinyatakan bahwa kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. 185 Berdasarkan hasil penelitian penulis, Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam yang pertama kali mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum. Kemudian dalam proses pengajuan permohonan kepailitan tersebut tidak
terdapat kendala-
kendala hukum baik dari lembaga Kejaksaan maupun dari Pengadilan Niaga Medan, hal tersebut membuktikan legitimasi yang dimiliki lembaga Kejaksaan dalam mengajukan permohonan pengajuan kepailitan. Kemudian dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan juga mempertimbangkan bahwasanya tata cara permohonan pailit adalah sama dengan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh Kejaksaan tanpa menggunakan advokat. Hal tersebut sesuai dengan mekanisme kewenangan Kejaksaan untuk mengajukan permohonan pailit yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk kepentingan umum. Mengenai pertimbangan Majelis Hakim ini, Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam, i.c. Pemohon pailit sangat setuju mengingat mengenai finansial Kejaksaan adalah swadaya dari Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam dan menurut hematnya Kejaksaan 185
Lihat Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 :”yang dimaksud dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harga debitor dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor maka masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Negeri Lubuk Pakam telah profesional di bidang hukum, oleh karenanya pertimbangan hukum dan amar putusan Pengadilan Niaga Medan dalam perkara a quo telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (vide UU No. 37 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000). Perlu ditegaskan, bahwasanya dalam perkara a quo Termohon pailit tidak mengajukan upaya hukum yakni kasasi ke Mahkamah Agung, oleh karenanya putusan perkara a quo telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
BAB
V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab-bab sebelumnya dapat disimpulan sebagai berikut : 1. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pemikiran pemberian kewenangan kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan kepailitan, adalah : Tugas dan wewenang kejaksaan sebenarnya sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Bahwa tugas-tugas kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu pertama, tugas yudisial, dan kedua, tugas nonyudisial. Meskipun demikian tugas yudisial kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara pemerintah atau negara. Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah” . Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan RI secara normatif dapat dilihat bahwa dalam beberapa ketentuan undang-undang mengenai kejaksaan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004, yaitu :
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat dan sebagainya. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam
bidang
ketertiban
dan
ketentraman
umum,
kejaksaan
turut
menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan dan sebagainya. 2. Standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur di dalam Pasal 2 UU Kepailitan yang baru yaitu UU No. 37 Tahun 2004 terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu : 1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek. 6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi. Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan adalah demi kepentingan umum. Sebelum keluarnya UU No. 37 Tahun 2004, dalam Undang-Undang Kepailitan tidak dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan kepentingan umum tersebut. Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan alalsan-alasan yang bersifat umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat kelengkapan Negara. Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, diberikan batasan mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat,
misalnya :
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
a. Debitor melarikan diri. b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan. c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat. d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas. e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo. f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Di dalam PP No. 17 Tahun 2000 diatur mengenai Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan tanpa melalui jasa advokat. Dalam hal ini kejaksaan bertindak sebagai pengacara negara, sehingga diwakili jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Peraturan yang tertera di dalam Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2004 yang mengharuskan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak berlaku bagi permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan, maka sebagai gantinya pihak kejaksaan harus membawa Surat Perintah Penunjukkan Jasa Pengacara Negara dalam persidangan di pengadilan.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
3. Proses pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa untuk kepentingan umum melalui Pengadilan Niaga pada umumnya tidak ada perbedaan yang mendasar dalam mekanisme permohonan pailit yang diajukan kejaksaan dengan permohonan yang diajukan pihak lain di luar kejaksaan. Di dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan pernyataan pailit demi kepentingan umum yang diajukan oleh kejaksaan harus diajukan kepada kepada Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi wilayah hukum debitor pailit dan harus didaftarkan melalui Panitera Pengadilan Niaga tersebut, dimana kepada pemohon diberi tanda terima tertulis yang ditandatangani pejabat yang berwenang pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Sama dengan perkara Perdata pada umumnya, maka permohonan pernyataan pailit ini bentuknya juga harus tertulis seperti halnya dengan surat gugatan yang memuat identitas para pihak secara lengkap, dasar gugatan (Posita) dan hal-hal yang dimohonkan (Petitum).
B. Saran - Saran Saran yang dapat disampaikan dalam penulisan tesis ini, adalah : 1. Pemerintah hendaknya lebih memperjelas maksud dan pengertian “kepentingan umum” yang menjadi dasar bagi lembaga kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum. Karena rumusan yang jelas dan baku tentang “kepentingan umum” di dalam peraturan perundangundangan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan penafsiran dan interpretasi yang berbeda nantinya tentang “kepentingan umum”.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
2. Masyarakat harus lebih berperan serta lagi untuk melaporkan berbagai kasus kepailitan yang terjadi di daerahnya masing-masing, sehingga
jaksa sebagai
pihak yang berkompeten mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum dapat menjalankan peran, fungsi dan kedudukannya dengan lebih baik berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Permohonan Penundaan Pembayaran Utang.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU/MAKALAH Ali, Chaidir, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982. Asshiddiqie, Jimly, Pengorganisasian Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif, Jurnal Keadilan Vo. 2 No. 1 Tahun 2002, Jakarta : Pusat Kajian Hukum dan Keadilan, 2002. Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2001. Effendy, Marwan, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005.
dari Persfektif Hukum,
Farid, A. Zainal Abidin dan Amier Syarifuddin, Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan di Beberapa Negara, Makalah, 1977. Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Jakarta :Citra Aditya Bakti, 1999. Gunadi, Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk Pemajakannya, Jakarta : Salemba Empat, 2001. Gunawan, Ilham, Peran Kejaksaan Dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, ed. 1, cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 1984. Gunawan, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 1994. Hadad, Muliaman, D Wimboh Santoso dan Ita Rulina, Indikator Kepailitan di Indonesia : An Additional Early Warning Tools Pada Stabilitas Sistem Keuangan, Jakarta : Bank Indonesia, Desember 2003.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Hamdan, M., Politik Hukum Pidana, ed. 1, cet. I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997. Harsono, Budi, Sejarah, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jakarta : Djambatan, 2000. Himpunan Peraturan Perundang-undangan No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Bandung : Fokus Media, 2005. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pokok-Pokok Rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Plattform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, Jakarta : Kejaksaan Agung RI, 1999. Laporan Pengkajian terhadap Lembaga Kejaksaan, Bab II, Kedudukan dan Peranan Kejaksaan dalam Era Reformasi, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Jakarta, 2002. Likadja, Frans E., Daniel Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988. Lontoh, Rudhy. A. Kailimang, Denny & Ponto, Benny, ed, Penyelesaian UtangPiutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001. Man, H. S., Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2006. M.D, Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2001. ,
, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Cetakan ketiga, Yogyakarta : Liberty, 2002. Munandar, M., Dinamika Masyarakat T ransisi, Jakarta : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998. Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada acara Dialog Interaktif tetnang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Nasution, Bismar, Sunarmi, Dasar-Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia, Magister Kenotariatan Program Pascasarjana, USU, Medan, 2003. Notulen Presentasi Makalah Diskusi Panel berjudul : “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan dalam Rangka Mewujudkan Supremasi Hukum”, Jakarta : Kejati DKI Jakarta, Agustus 2001. Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan LBHI, 1988. Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta : Rieneka Cipta, 1995. Prakoso, Djoko, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, Cet. 1, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984. , Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985. Prakoso, Djoko, dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Cet. 1, Jakarta : Bina Aksara, 1987. Saherodji, Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan dalam Administrasi Peradilan di Indonesia (Desertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi), Jakarta : 1973. Saleh, K. Wantjik, Intisari Yurisprudensi Pidana dan Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1985. Santoso, K., Akibat Putusan Pailit, Makalah Seminar Kepailitan, Jakarta, 14 Juli 1998. Santoso, Topo, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan, Depok : Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia, 2000. Sastrawijaya, H.R. Sadili, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, 19451985, Jakarta : Panitia Penyusunan dan Penyempurnaan Sejarah Kejaksaan, 1985. Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan Kepailitan, Bandung : Nuansa Aulia, 2006. Simorangkir, J.C.T., Hukum dan Konstitusi Indonesia, Bagian 3, Cet. I, Jakarta : Haji Masagung, 1988.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Simorangkir, J.C.T. Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Cet. Keenam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000. Simanjuntak, Osman, Tehnik Penuntutan dan Upaya Hukum, Jakarta : Grasindo, 1995. Sitorus, Oloan, dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004. Situmorang, Victor M. & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta : Rieneka Cipta, 1994. Sjahdeini, Remy, Sutan, Hukum Kepailitan Memahami Faillessementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002. Soekanto, Soerjono Pengantar Sejarah Hukum, Bandung : Alumni, 1983. , Pengantar Sejarah Hukum, Bandung : Alumni, 1997. , Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001. Soemardjan, Selo, Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori Tatanan dan Terapan, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993. Soemardjono, Maria S.W., Telaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik, Konsep Akademis Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Agraria III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Badan Pertanahan Nasional, Medan, 19-20 September 1990. , Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Kompas, 2001. Soepomo, R. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta : Pradnya Paramita, 1997. Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jayakarta : Sinar Grafika, 1992. Suhadibroto, Himpunan Pentunjuk Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Jakarta : Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, 1994.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 1990. Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common System), Medan : e-USU Repository, 2004. Surachman, R.M. dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 1996. Suseno, Frans, Magnis, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta : Gramedia, 1995. Sutedi, Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Tresna, R., Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, cet. Ke-3, Jakarta : Pradnya Paramita, 1978. Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Buku Ichtiar, 1975). Warta Perundang-undangan : Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Perubahan Undang-undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang, Jakarta, Warta Perundangundangan, 1998. Wignjosumarto, Parwoto, Aspek Perlindungan Kepentingan Publik dalam Peradilan Kepailitan, makalah disampaikan pada Diskusi bulanan Judicial Watch Indonesia, dengan tema : “Aspek Perlindungan Publik dalam Peradilan Kepailitan, yang diselenggarakan oleh Judicial Watch Indonesia pada tanggal 29 Juli 2002 di Jakarta , Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Tugas dan Wewenang Hakim Pemeriksa/Pemutus Perkara Pengawas dan Kurator Pengurus, Jakarta : Tatanusa, 2001. , Hukum Kepailitan Selayang Pandang, Jakarta : Tatanusa, 2003. Wojowasito, S. et.al. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia-Inggris, dengan ejaan yang disempurnakan, Bandung : Hosta, 1980.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis“Kepailitan”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.
B. INTERNET , Debat Publik Seputar Paradigma Kehidupan Masyarakat, Masyarakat Versus Negara, Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Seri Debat Publik Seputar Reformasi Opini Masyarakat dari Krisis ke Reformasi, http://www.kompas.com, terakhir diakses pada tanggal 20 April 2008. Ekopriyono, Adi, Akuntabilitas DPRD, http://www.suaramerdeka.co.id, terakhir diakses pada tanggal 21 Mei 2008. , Integrated Prosecution Justice System, Suatu Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, http://www.ipjs.com, terakhir diakses pada tanggal 8 April 2008. Harkrisnowo, Harkristuti, Good Corporate Governance dan Independensi Birokrasi, http://www.KHN.or.id, terakhir diakses pada tanggal 10 Februari 2008. , http://www.suaramerdeka.com/harian/0303/03/nas6.htm), terakhir diakses pada tanggal 29 Februari 2008. , Keterangan Ahli/Keterangan Visum Et-Repertum, http://www.informatika.polri.go.id/informatika/m2_link_042.html), terakhir diakses pada tanggal 3 April 2008. Lubis, Todung Mulya, Praktek Korupsi di Dunia Peradilan Libatkan Advokat,: http://www.transparansi.or.id/berita-nopember2003/berita_131, terakhir diakses pada tanggal 15 Januari 2008. -------------------[POLICY] JSI – Polisi dan http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/09/05/0028html, diakses pada tanggal 6 Mei 2008.
Jaksa, terakhir
Mahendra, Oka, Hukum dan Politik, http://www.geocities.com/RainForest/Vines/3367/oka.html, terakhir diakses pada tanggal 25 Juni 2008.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
Mertokusumo, Sudikno, Kepentingan http://sudikno.blogspot.com/2008/01/kepentingan umum.html, diakses pada tanggal 20 Januari 2008.
Umum, terakhir
Suhadibroto, Reprofesionalisasi Kinerja Kejaksaan, http://www.khn.or.id, terakhir diakses pada tanggal 1 Mei 2008. , Supremasi Hukum di http://www.groups.yahoo.com/group/indonesia-fr/message/1481, diakses pada tanggal 30 November 2007. , Syarat-Syarat Kepailitan, terakhir diakses pada tanggal 2 Juli 2008.
Indonesia, terakhir
http://www.hukumonline.com,
Rachmadi, Sinoeng N,. Pentingnya Akuntabilitas Pemerintahan, http://www.bapeda.id terakhir diakses pada tanggal 16 Januari 2008. Wiriadinata, Wahyu, Kepentingan Umum, http://www.pikiranrakyat.co.id/cetak/2007/092007/26/0902.htm, terakhir diakses pada tanggal 26 September 2007.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945 dan Perubahannya UU No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kejaksaan UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara UU No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
D. SURAT KABAR , Buntut Kasus Pailit PT AJMI; Ka Pertimbangkan Sanksi Untuk RF, Harian Kompas, edisi tanggal 21 Juni 2002.
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Kepailitan PT. AJMI Contoh Kasus Kepailitan di Indonesia, Harian Kompas, edisi Rabu, 20 Juni 2002. Lembaga Konsultan Econit Advisory Group (Prediksi Tahunan, Econit's Economic Outlook 2000), Tahun 2000, Tahun Kelahiran Kembali Indonesia, Harian Kompas, Kamis, 16 Desember 1999. Menko Perekonomian: Kasus PT AJMI Harus Jadi Pelajaran, Harian Kompas, edisi Kamis, 20 Juni 2002.
Agussalim Nasution : Standar Kepentingan Umum Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Kejaksaan Menurut…, 2008 USU e-Repository © 2008