ANALISA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN
TESIS
Oleh
MADONG RIANTO SITANGGANG 077005144/HK
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
ANALISA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
MADONG RIANTO SITANGGANG 077005144/HK
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: ANALISA PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN : Madong Rianto Sitanggang : 077005144 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) Anggota
Dekan
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Tanggal lulus: 10 September 2009
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Telah diuji pada Tanggal 10 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
:
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
:
1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
ABSTRAK
Kata divide ini mempunyai arti yang cukup luas dalam urusan keuangan yang merupakan asal mula kata dari dividen. Dividen setiap akhir tahun merupakan waktu yang sangat ditunggu oleh para pemegang saham untuk mendapatkan imbal balik hasil atas peyertaan modalnya dalam suatu usaha. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dividen adalah bagian laba atau pendapatan perusahaan yang besarnya ditetapkan oleh direksi serta disahkan oleh rapat pemegang saham untuk dibagikan kepada pemegang saham, atau sejumlah uang yang berasal dari hasil keuntungan yang dibayarkan kepada pemegang saham sebuah perseroan. Definisi di atas bila dikaitkan dengan pengertian penghasilan berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan merupakan kategori penghasilan. Karena dividen merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan memahami aspek perpajakan atas dividen maka bisa dihindari kesalahan pemotongan pajak atas pembayaran penghasilan berupa dividen.
Kata Kunci : Pajak Penghasilan atas Dividen untuk Pembangunan Bangsa
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
ABSTRACT
In the financial term, the word “divide” has many meanings but it is where the word dividen (dividend) originally from. End of year dividend is waited by the share holders because at the time they receive some bonus for the shares they has invented in a business. According to Kamus Besar Bahasa Indonesia (Indonesian – Indonesian Dictionary), dividend is a part of profit or the income of the company whose amount is determined by the director and approved by share holders before it is given to the share holders or dividend is amount of money resulted from the profit and then paid to the share holders of a company. Based on the definition above and the relate it to the definition of dividend according to Law Number 36 / 2008 on Income Tax, dividend is put into the income category because dividend is an extra economic benefit receive or got by the tax payer, either from Indonesia or outside of Indonesia, that can be used for consumption or to increase the assets of the tax payer, whatever it is called and in any form it may be. By understanding the aspect of taxation on dividend, the mistakes always appeared when deducting the tax of income in the form of dividend can be avoided.
Key words
: Income Tax, Dividend, National Development
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis (Yuridis) Pengenaan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen “ Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya penulisan tesis ini, Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini sebagai ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak dan mama serta ibu mertua yang selalu memberikan doa supaya diberikan kemudahan dalam proses pembuatan tesis ini. 2. Secara khusus, penulis ingin mengucapkan “I love You” kepada istri tercinta, dr. Maria Noventy M Tambunan, yang telah sabar dan selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini, 3. Segenap keluarga, abang dan kakak serta adikku tersayang yang menjadi motivator penulis dalam menyelesaikan tesis. Dalam kesempatan ini, dari lubuk hati Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tak terhingga kepada para Bapak dan Ibu Pembimbing Tesis : Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Ibu Dr. Sunarmi,
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
SH, M.Hum., Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH.,
Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., yang telah
memberikan sumbangsih tenaga, waktu dan pikiran serta kesabaran dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih yang besar juga penulis sampaikan kepada Bapak Oloan Naek Siregar, SE, MM, yang telah banyak memberikan kesempatan dan dukungan agar penelitian tesisi ini dapat terselesaikan dengan baik, Demikian juga ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan berbagai bentuk kontribusi bagi penulis, khususnya kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, D.M.T.&H., Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 3. Para bapak dan ibu dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 4. Rekan-rekan mahasiswa/i serta karyawan/ti Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan motivasi serta keceriaan dalam mengikuti perkuliahan di kampus,
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
5. Sahabat-sahabatku, Simeon Samosir, SE, Bang Irwan Sitanggang, SH, Wedi Simanjuntak, SE, Juara P. Napitupulu, SE, Lae Bona Manurung, SE, Emi Hairani, SE, Ak, MSi, Heny Lestari, SE, Mila, Ida Kantin, 6. Teman–teman sekerja, para pimpinan DJP se-Kanwil I Sumatera Utara, Pak Janti Saragih, SE, MM, Pak Sihombing, Pak Juntak, Tulang Binsar, Tulang Martimbul, Pak Effendi Naibaho, SE, MM, Pak JPS, SE, Ak, M.Si, Ibu Susi, adikku Lindung Siallagan,SE, Ak., serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini, “You’re always in my heart.” Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis telah berusaha sekuat tenaga dalam penulisan tesis ini dan menyadari sepenuhnya masih banyak kelemahan dan kekurangan dari tesis ini baik isi maupun penyajiannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, sehingga tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontibusi yang bernilai bagi kita semua. Amin
Medan,
September 2009
Penulis,
Madong Rianto Sitanggang
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Madong Rianto Sitanggang
Tempat / Tanggal Lahir :
Medan, 23 Oktober 1976
Jenis Kelamin
:
Laki – laki
Agama
:
Khatolik
Alamat
:
Jl. Setia No. 30, Kel. Tanjung Rejo, Kec. Medan Sunggal HP. (061) – 77156422, 08196044542
Pendidikan
: 1. Sekolah Dasar RK I Kota Sibolga, lulus tahun 1989, 2. Sekolah Menengah Pertama Swasta Fatima Kota Sibolga, lulus tahun 1992, 3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Medan, lulus tahun 1995, 4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, lulus tahun 2002 5. Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, lulus tahun 2009
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK
………………………………………………………………………. i
ABSTRACT …….………………………………………………………….……… ii KATA PENGANTAR ….……………………………………….………………… iii RIWAYAT HIDUP ………………......................................................................... vi DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… vii DAFTAR TABEL …….………………………………………………………….. xi DAFTAR SKEMA ..………………………………………………………….,,,… xii DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………………… xiii BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang .....................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 18 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 18 D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 18 E. Keaslian Penelitian ............................................................................ 19 F. Kerangka Teori dan Konsepsional ................................................... 1. Kerangka Teori .......................................................................... 2. Konsepsional
20 20
..............................................................................
24 G. Metode Penelitian .............................................................................
27
1. Sifat dan Pendekatan Penelitian .................................................
27
2. Data dan Bahan Penelitian .......................................................
28
3. Analisis Data
29
...................................................................
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
BAB II
PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN …………………………………………. 30 A. Konsep dan Jenis Dividen .................................................................. 30 1. Konsep Dividen ............................................................................ 30 2. Jenis–jenis dividen ….................................................................. 32 B. Legalitas dan Kebijakan Dividen ....................................................... 35 1. Legalitas Dividen …….................................................................. 35 2. Kebijakan Dividen ……............................................................... 36 C. Prosedur Pembagian Dividen ……..................................................... 43 D. Dasar Hukum Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ...............
45
1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan .................................................
46
2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan terhadap Pembagian Dividen ... 47
BAB III
METODE PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP DIVIDEN ……..........................................................
51
A. Metode Pemajakan atas Penghasilan ................................................... 51 1. Teori Pemungutan Pajak .............................................................
53
2. Asas Pemungutan Pajak .............................................................
54
B. Metode Pemajakan atas Pembagian Dividen .....................................
56
1. Pemajakan atas Pembagian Dividen di Indonesia ......................... 56 2. Pemajakan atas Pembagian Dividen Sesuai Tax Treaty ............... 58 C. Hak dan Kewajiban Perpajakan atas Pembagian Dividen ............. ....
61
1. Kewajiban Perpajakan atas Pembagian Dividen .................... . … 61 2. Hak Perpajakan atas Dividen .................................................. ...... 62 D. Pelaksanaan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen .............. ..... 62
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
BAB IV
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TIDAK TERLAKSANANYA PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN .................................... 66
A. Sistem Pemungutan Pajak Penghasilan Terhadap Dividen .................. 66 1. Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ................................................................ 68 2. Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ...............................................................
70
3. Tata Cara Pelaporan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen ................................................................. 72 B. Perlawanan Terhadap Pajak ................................................................ 75 1. Perlawanan aktif ............................................................................ 75 2. Perlawanan pasif ............................................................................ 77 C. Tantangan Penerapan Peraturan Pajak Penghasilan ...........................
77
D. Penegakan Hukum Perpajakan ............................................................
82
1. Pemeriksaan Pajak ........................................................................ 82 2. Penerapan Sanksi Peraturan Perpajakan ......................................
85
3. Keberatan dan Banding ................................................................
86
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
88
A. Kesimpulan ….....................................................................................
88
B. Saran ........………...............................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
93
BAB V
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
1
Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi Perpajakan 1983 ................................................................................. 5
2
Daftar Penghindaran Pengenaan Pajak Berganda ....................................................................................... 60
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
DAFTAR SKEMA
Nomor
Judul
Halaman
1
Perlakuan pengenaan pajak penghasilan atas dividen ........................................................................................... 49
2
Tata cara pemotongan pajak penghasilan atas pembagian dividen ......................................................................... 58
3
Tata cara penyetoran pajak penghasilan atas pembagian dividen .......................................................................... 69
3
Tata cara pelaporan pajak penghasilan atas pembagian dividen ........................................................................... 71
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
DAFTAR SINGKATAN
UUD 1945
:
Undang – Undang Dasar 1945
PSPN
:
Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional
UUPT
:
Undang – Undang Perseroan Terbatas
UU KUP
:
Undang – Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
UU PPh
:
Undang – Undang tentang Pajak Penghasilan
NPWP
:
Nomor Pokok Wajib Pajak
WP
:
Wajib Pajak
OP
:
Orang Pribadi
PT
:
Perseroan Terbatas
BUT
:
Bentuk Usaha Tetap
SSP
:
Surat Setoran Pajak
SPT
:
Surat Pemberitahuan
PotPut
:
Pemotong dan Pemungut
PPh
:
Pajak Penghasilan
SKP
:
Surat Ketetapan Pajak
GCG
:
Good Corporate Governance
RUPS
:
Rapat Umum Pemegang Saham
AD Perseroan
:
Anggaran Dasar Perseroan
MenHukHAM
:
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
P3B
:
Penghindaran Pengenaan Pajak Berganda
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara umum, perkembangan hukum senantiasa mengalami perubahan, tidak hanya dalam isinya, melainkan juga dalam bertambahnya jenis-jenis yang ada. Perubahan dan pertumbuhan hukum tersebut pada gilirannya menyebabkan bahwa sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar susunan rasional dari hukum itu tetap terpelihara. Kendati terdapat keanekaragaman yang demikian itu, keperluan untuk menggunakan istilah yang berbeda-beda memang ada, yang penting adalah bahwa pada waktu berhadapan dengan istilah, ada usaha untuk mengerti maksud yang dikehendaki oleh penulis. 1 Demikian juga halnya dengan hukum dan peraturan perpajakan. Saat ini pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat. Sebagian kalangan telah menempatkan pajak secara proporsional dalam kehidupannya, bahwa pajak telah dianggap sebagai salah satu kewajiban dalam bernegara, yaitu merupakan sarana untuk ikut berpartisipasi dalam membantu pelaksanaan tugas kenegaraan yang ditangani oleh pemerintah. Indikasi ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah wajib pajak, demikian juga dengan keikut-sertaan masyarakat dari berbagai kalangan. Hal ini dapat dilihat apabila ada suatu penyelenggaraan kegiatan mengenai perpajakan, 1
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 71
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
1
seperti halnya seminar, dialog, penyuluhan, dan sebagainya. Selain itu juga dapat dilihat dengan makin banyaknya buku-buku mengenai perpajakan, serta berbagai kolom atau rubrik khusus tentang perpajakan di berbagai mass media. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat juga belum memahami tentang hukum perpajakan. 2 Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani (pernah menjabat Guru besar dalam hukum pada Universitas Amsterdam, kemudian Pemimpin International Beureau of Fiscal Documentation, juga di Amsterdam) bahwa : “pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasikembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. 3 Pengertian pajak yang disebutkan Prof. Adriani sejalan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang– Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menyatakan : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. 4 Berdasarkan pengertian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara. Sebuah iuran yang wajar, mengingat negara dan mereka 2
Pandiangan Liberty, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 2 3 Brotodihardjo R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 2 4 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
yang membayar iuran sesungguhnya saling membutuhkan. Iuran yang disetor kepada negara itu digunakan untuk menjalankan berbagai kewajiban negara, seperti pelayanan publik, menjaga keamanan dan pertahanan serta menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Lazimnya sebuah perikatan maka, ada pihak yang berhak mendapatkan sesuatu dan ada pihak lain yang wajib memenuhi hak tersebut, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian pajak merupakan perikatan antara Fiscus (negara sebagai pemungut pajak yang diwakili Direktorat Jenderal Pajak) dengan Wajib pajak sebagai pembayar pajak, dan masing-masing pihak mempunyai hak sekaligus kewajiban. Tetapi tidak seperti perikatan jual beli, hubungan timbal balik dalam perikatan pajak tidak bersifat sempurna, sebab pihak wajib pajak sebagai pembayar pajak hanya mempunyai kewajiban, tanpa mempunyai hak untuk memperoleh kontraprestasi (imbalan) langsung, sedangkan fiscus hanya mempunyai hak, yaitu hak memungut pajak tanpa mempunyai kewajiban. Kontraprestasi yang diterima pembayar pajak dari fiscus bersifat tidak langsung, melainkan dijalankan oleh negara, berupa pelayanan publik, pemeliharaan pertahanan dan keamanan. 5 Melihat kenyataan tersebut, kadang timbul pertanyaan : jika tidak ada imbalan langsung, mengapa harus membayar pajak? Jawabannya adalah membayar pajak merupakan kesepakatan bersama di antara warga negara seperti yang dituangkan di dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan Amandemennya
5
Koperasi Pegawai KP DJP, Tinjauan Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Gemilang Gagasanido Handal, 2006), hal. 2
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
ditegaskan : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian, membayar pajak adalah memenuhi kewajiban yang tertera di dalam UUD dan melaksanakan amanat rakyat itu sendiri. Dilihat dari sejarahnya, sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, ketentuan pemungutan pajak di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode : a. periode ordonansi, dimana pemerintah masih menggunakan ketentuan-ketentuan dari zaman penjajahan (ordonansi) untuk memungut pajak, b. periode reformasi perpajakan 1983, dilakukan pada awal tahun 1980-an melalui Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN). Pada periode ordonansi, banyak jenis pajak yang wajib dibayar masyarakat sehinga menimbulkan kebingungan dan beban pajak berganda. Maka berbagai jenis pajak direformasi melalui Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) yang menghasilkan dua paket undang-undang perpajakan yang merupakan produk asli Indonesia. Paket I terdiri dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), sedangkan paket II terdiri dari dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Bumi dan Bangunan (PBB); dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM). Penyederhanaan itu dapat dilihat pada tabel berikut ini 6 :
Tabel 1 : Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi Perpajakan 1983 Sebelum 1983 Pajak Perseroan 1925
Setelah 1983 Pajak Penghasilan (PPh) 1983
Pajak Pendapatan 1944 Pajak Kekayaan 1932 Pajak Bunga, Dividen dan Royalti 1970 Pajak Penjualan 1951
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 1983
Pajak atas Tanah (Ordonansi Landrente)
Pajak Bumi Bangunan (PBB)
Verponding Indonesia 1923
1985
Verponding 1928 Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) 1965 Bea Materai 1922
Bea Materai 1985
Secara historis, hingga saat ini pemerintah telah melakukan perubahanperubahan atas undang-undang perpajakan yang ada (yaitu tahun 1983, 1985, 1994, 6
Ibid, hal. 7-9
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
1997 dan 2000 serta 2007). Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perpajakan Indonesia cukup akomodatif, dinamis dan antisipatif dalam mengamati, mengkaji dan menerapkan perkembangan yang terjadi di luar perpajakan – seperti perkembangan ekonomi, moneter, industri dan perdagangan, bahkan perkembangan sosial, politik, teknologi dan sebagainya – untuk disesuaikan pengaturan perpajakannya. 7 Dalam praktiknya tidak semua negara berhasil mengenakan, menarik dan memungut pajak, karena ada juga masyarakat yang menolak atau bahkan melakukan pemberontakan demi menolak pajak. Dapat ditengok catatan sejarah, seperti : salah satu pemicu meletusnya Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika Serikat dua abad silam adalah masalah pajak. Dalam Revolusi Amerika, pajak diangkat menjadi slogan umum pemberontakan, yakni No Taxation without Representation, dengan maksud bahwa warga Amerika enggan membayar pajak jika mereka tidak memiliki wakil di lembaga legislatif. Kegagalan pemungutan pajak ini bisa terjadi jika penerapan pajak tidak berdasarkan kepada asas-asas maupun prinsip-prinsip dasar perpajakan yang berlaku secara universal. Hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan tata kelola pemerintahan, sehingga pengelolaan pajak oleh negara atau pemerintah, harus mengacu kepada prinsip-prinsip Good Governance. 8 Bila dicermati pendapat masyarakat tentang pajak seperti yang acap muncul di media massa, secara umum dapat disimpulkan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui atau memahami hakikat dan fungsi dari pajak, 7
Pandiangan Liberty, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 3 8 Ibid, hal. 70
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
baik bagi kehidupan negara maupun kehidupan masyarakat sendiri. Pembayaran pajak umumnya dipandang sebagai suatu kewajiban (satu arah) kepada negara, lantaran ciri khas pajak adalah dapat dipaksakan kepada masyarakat, tanpa masyarakat memperoleh imbalan balik secara langsung. Pandangan yang kurang luas ini mengakibatkan pajak hanya dianggap sebagai beban semata. Padahal bila diteliti lebih jauh, pajak yang telah diterima negara juga menjadi hak masyarakat, artinya bahwa masyarakat memperoleh kembali pajak itu tanpa terkecuali dalam bentuk lain, yakni melalui penyediaan berbagai barang dan jasa publik (public goods and services). Hal ini bisa dipahami secara mendalam melalui sistem keuangan negara. Secara teoritis dan praktis dapat dilihat bahwa pajak memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan negara dan masyarakat, yaitu : 1. fungsi budgeter, untuk kelangsungan hidup negara, seluruh komponen tugastugas negara, apakah itu pemerintah (eksekutif), pengawasan (legislatif) maupun penegakan hukum (yudikatif) harus dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Agar rencana tersebut berjalan dengan baik, tentu harus didukung dana yang cukup. Di Indonesia, rencana penyediaan dana dan barang serta jasa publik terangkum dalam APBN tiap tahun. Oleh karena penyediaan dana ini menyangkut budgeter, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pelaksanaannya harus dibahas lebih dulu oleh pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian disetujui DPR.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
2. fungsi regulerend, pemerintah mengatur segala sesuatu yang berada di dalam wilayahnya. Melalui pengaturan ini pemerintah dapat melaksanakan tugasnya, baik dalam rangka melayani masyarakat dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 3. fungsi distribusi, dapat dibagi dua, yaitu : a. berdasarkan sektor dijalankan oleh instansi pemerintah sesuai dengan tugas pokoknya, seperti bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lainnya, b. berdasarkan wilayah dilakukan melalui pembagian anggaran belanja untuk masing-masing daerah. 4. fungsi demokrasi, keikut-sertaan masyarakat dalam pengelolaan negara merupakan hal mutlak, sehingga segala kegiatan negara dapat direncanakan dan diarahkan guna kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 9 Jadi, dalam mengupayakan pengelolaan keuangan pemerintahan, harus berlandaskan prinsip-prinsip good governance yang didukung dengan reformasi hukum, yang tujuannya adalah untuk memberikan harapan kepada masyarakat, bahwa sistem hukum pemerintah akan lebih baik, transparansi dan responsif terhadap peran publik atau masyarakat dalam pengambilan keputusan dan atau kebijakan. Hal ini sejalan dengan agenda pembangunan nasional, seperti yang diuraikan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional (Propenas) yang merumuskan visi bangsa Indonesia masa depan dan dua belas misi yang menjadi sasaran pembangunan, yang mana disebutkan bahwa “terwujudnya 9
Koperasi Pegawai KP DJP, Op.cit, hal. 73
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran” serta disebutkan juga hal yang terkait dalam misi Propenas yaitu terwujudnya aparat negara yang berfungsi melayani, profesional, berdaya guna, produktif, transparan dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Maka harus menunjukkan jaminan keadilan yang tegas dengan sanksi yang cukup dalam penyelenggaraan pemerintahan. 10 Penerapan prinsip-prinsip Good Governance dalam pengelolaan pemerintahan harus dilandasi oleh prinsip-prinsip moral yang kuat, artinya agar pemerintah memiliki peranan penting dalam membangun, merawat dan menghormati sistem integritas nasional sekaligus harus menjadi pemimpin yang berprinsip dan berlandaskan pada etika, bersih dan berwibawa serta melakukan pengawasan atas birokrasi yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan program. 11 Meningkatnya hasil yang diperoleh pemerintah di bidang perpajakan hingga saat ini – baik itu dari aspek budgeter, tingkat kesadaran dan kepatuhan, maupun pemahaman masyarakat – tidaklah lepas dari upaya reformasi perpajakan (tax reform) dan penerapan prinsip-prinsip good governance yang dilakukan oleh pemerintah sejak pertama sekali tahun 1983. Dilihat dari segi waktu, saat pelaksanaan reformasi perpajakan pertama kali tersebut sangatlah tepat, sebagai upaya reposisi andalan dalam penerimaan negara. Karena di tengah iklim perekonomian nasional yang
10
Nasution Bismar, Kumpulan Makalah Privatisasi BUMN dan Good Corporate Governance, (Medan; Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum, 2007), hal. 1 11 Nasution Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Book Terrace & Library, 2007), hal. 243
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
terpengaruh saat itu akibat kemerosotan harga minyak di pasar internasional, telah membawa dampak yang cukup berarti bagi penerimaan negara. Lebih dari itu, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang melakukan reformasi perpajakan pada kurun waktu itu, karena dilakukan juga oleh banyak negara. Hal ini sesuai dengan penelitian Richard A Musgrave yang menyatakan bahwa tahun 1980-an merupakan dekade reformasi perpajakan. 12 Penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
berkesinambungan
memerlukan dana untuk pengeluaran rutin dan pembangunan yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat. Pengeluaran rutin sedapat mungkin dipenuhi dari hasil pajak, sedangkan pembangunan dibiayai dari tabungan, apakah itu tabungan pemerintah maupun tabungan masyarakat. Kewenangan pemungutan dan pengelolaan pajak oleh pemerintah pusat diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi di bawah Departemen Keuangan sesuai dengan undang-undang dan peraturan perpajakan yang berlaku. Pajak jenis ini dikenal sebagai pajak pusat, sebaliknya pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dikenal sebagai pajak daerah. Jenis-jenis pajak pusat yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak tersebut, meliputi : 1. Pajak Penghasilan (PPh), merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh seseorang atau badan usaha dalam tahun pajak. Dalam terminologi pajak, seseorang atau badan usaha yang menerima atau memperoleh penghasilan dikenal sebagai Subjek Pajak. Subjek Pajak Penghasilan 12
Pandiangan Liberty, Op.cit, hal. 2
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
terdiri dari Orang Pribadi, Badan Usaha — termasuk Badan Usaha milik Pemerintah — yang secara umum disebut sebagai Badan, serta Bentuk Usaha Tetap (BUT). Penjelasan lebih rinci tentang jenis subjek pajak penghasilan dapat
dilihat berikut ini : a. Orang Pribadi 1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 13 2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 14 3. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT). 15
13
Pasal 2 ayat (3) butir a Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh Pasal 2 ayat (4) butir a Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh 15 Pasal 2 ayat (4) butir b Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh 14
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
4. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 16
b. Badan 1. badan yang didirikan atau berkedudukan seperti Perseroan Terbatas (PT), Commanditter Veenotschap (CV), perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga dan bentuk badan lainnya. 2. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. 17
c. Bentuk Usaha Tetap Bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau yang digunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, seperti kantor cabang, kantor perwakilan, pabrik,
16 17
Pasal 2 ayat (3) butir c Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh Pasal 2 ayat (3) butir b Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
gedung kantor dan orang atau badan usaha yang bertindak sebagai agen yang tidak independen. 18 Subjek pajak menjadi Wajib pajak apabila memenuhi kriteria subjek pajak tercantum di atas, dan memenuhi kriteria kewajiban objektif, yaitu apabila yang bersangkutan telah menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan Pajak Penghasilan, yaitu Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Kewajiban subjektif dipenuhi, antara lain dengan mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sedangkan kewajiban objektif dipenuhi dengan pembayaran dan pelaporan pajak yang terutang. 19 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), adalah pajak atas konsumsi barang dan / atau jasa yang dikenakan pajak di dalam daerah pabean Indonesia. Dalam terminologi perpajakan, barang dan jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM. Atas Barang dan Jasa disebutkan dengan istilah Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), sedangkan PPnBM merupakan pajak konsumsi tambahan yang dikenakan atas penyerahan dan/atau impor BKP yang tergolong mewah.
18
Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 19
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), adalah pajak yang dikenakan atas tanah (bumi) dan / atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia yang diatur dalam Undang– Undang Nomor 12 Tahun 1985 s.t.d.d. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 4. Bea Materai adalah pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat di dalam lalu– lintas hukum, yang diatur dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. 5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan bentuk pajak yang dikenakan pada setiap peristiwa pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yang diatur dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 1997 s.t.d.d. Undang– Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Peolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 20 Menurut ajaran materiil, bahwa timbulnya utang pajak adalah karena bunyi undang– undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (jadi sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus) asalkan dipenuhi syarat terdapatnya suatu Taatbestand yang terdiri dari keadaan–keadaan tertentu dan atau juga peristiwa ataupun perbatasan tertentu. 21 Tidak demikian halnya dengan para penganut ajaran formal, yang mengaitkan timbulnya utang pajak dengan dikeluarkannya surat ketetapan pajak. 22
20
Koperasi Pegawai KP DJP, Op.cit, hal. 17-34 Brotodihardjo R. Santoso, Op.cit, hal. 116 22 Ibid, hal 119 21
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Bagaimanapun juga dapatlah dimengerti bahwa penting sekali, baik buat negara maupun buat para Wajib pajak, untuk dapatnya segera ditentukan jumlah utang pajaknya, dan pekerjaan ini menjadi tugas Direktorat Jenderal Pajak, dan hal ini sesuai undang– undang perpajakan hasil reformasi 1983 mengubah pendekatan pemungutan pajak dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment, yakni Wajib pajak diberi tanggung jawab dan kewajiban untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak–pajak yang menjadi kewajibannya. 23 Terkait dengan pembagian dividen, dalam hal ini juga terdapat kewajiban perpajakan, yaitu sesuai dengan Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Kata dividen berasal dari bahasa Inggris, yang memiliki arti pembagian keuntungan atas saham. 24 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dividen adalah bagian laba atau pendapatan perusahaan yang besarnya ditetapkan oleh direksi serta disahkan oleh rapat pemegang saham untuk dibagikan kepada para pemegang saham, atau sejumlah uang yang berasal dari keuntungan yang dibayarkan kepada pemegang saham sebuah perseroan. 25 Dividen secara umum adalah merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. 26 Termasuk dalam pengertian dividen ini adalah : 23
Koperasi Pegawai KP DJP, Op.cit, hal. 11 John M. Echols and Hasan Shadily, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 191 25 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 2007), hal. 271 26 Alsah A. Syarifuddin, Pemotongan-Pemungutan Pajak Penghasilan, (Jakarta: Kharisma Bintang Kreativitas Prima, 2002), hal. 95 24
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
1.
pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2.
pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah yang disetor;
3.
pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4.
pembagian laba dalam bentuk saham;
5.
pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6.
jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham–saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7.
pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun–tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8.
pembayaran sehubungan dengan tanda–tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda–tanda laba tersebut;
9.
bagian laba sehubungan degan pemilikan obligasi;
10.
bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11.
pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
12.
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. 27 Kata dividen berkaitan erat dengan saham atau modal dalam hukum
perusahaan / perseroan, sedangkan perusahaan / perseroan dalam istilah perpajakan dikenal dengan istilah badan, sehingga apabila kita membaca bunyi Pasal 1 angka 3 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditegaskan bahwa : “ Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseron terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”. 28 Pengenaan perpajakan untuk dividen sebagaimana diuraikan di atas menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak atas dividen yang merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak tanpa melihat dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan. 29 Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa yang menjadi objek
27
Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 28 Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 29 Majalah Berita Pajak, Vol. XLI No. 1633, 15 April 2009
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Mengingat reformasi dalam sistem perpajakan ini, pemerintah dalam hal ini ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak harus mampu melaksanakan fungsi pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum perpajakan dengan baik agar dapat menjamin keberhasilan pemungutan pajak dengan sistem self assessment ini. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara efektif, salah satunya adalah timbulnya niat dari Wajib pajak yang selama ini patuh pada peraturan perpajakan, menjadi ikut melakukan penyelundupan pajak. 30 Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk meneliti dan membahas tentang yuridis pengenaan pajak penghasilan terhadap pembagian dividen sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul : “Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, masalah yang akan diteliti dan dianalisa dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 30
Tjiptardjo, M, Makalah Pajak yang Disampaikan dalam Seminar Sehari Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Balai Raya-Tiara Convention Centre, (Medan; 2007), hal. 2
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
1. Mengapa dividen harus dikenakan pajak penghasilan ? 2. Bagaimana metode pengenaan pajak penghasilan terhadap dividen? 3.
Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tidak terlaksananya pajak penghasilan atas pembagian dividen ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan atas dividen, 2. Untuk memahami pelaksanaan ketentuan hukum dan peraturan perpajakan tentang pengenaan pajak atas penghasilan khususnya atas dividen di Indonesia, 3. Untuk menciptakan suatu prinsip keterbukaan dan kesadaran hukum serta peduli pajak sebagai peran serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1.
Penelitian
ini
diharapkan
bermanfaat
sebagai
sumbang
saran
untuk
perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang hukum bisnis pada khususnya yang berhubungan dengan pengenaan pajak penghasilan terhadap pembagian dividen
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
2.
Secara praktek sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik itu wajib pajak orang pribadi (WP OP), wajib pajak badan (WP Badan) maupun fiscus serta masyarakat yang melaksanakan kewajiban perpajakan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan dan hasil–hasil penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara Medan, penelitian dengan judul “Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen” belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung-jawabkan dari segi isinya. F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis. 31 Secara teori, kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan–kepentingan yang dapat bertubrukan satu sama lain, sehingga sedemikian rupa tubrukan–tubrukan itu dapat ditekan seminimal mungkin. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka 31
Soemitro, Ronny H, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 37
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. Konsep memahami hak dan kewajiban dalam hukum berarti memahami manusia. Cicero, seorang sosiolog mikro mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang dimaksudkannya adalah hukum hidup di tengah–tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan. Artinya tanpa manusia tidak dapat disebut sebagai hukum. 32 Agar tercapai ketertiban hukum dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian yang disebutkan dalam hal ini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi, yaitu : a. pertama, bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang konkret, b. kedua, adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang–wenangan. 33 Cara pandang demikian itu yang membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran ‘legalistik’. Apakah hukum itu dan bagaimana hukum itu semestinya haruslah dirumuskan dengan tingkat keakuratan yang maksimal sehingga dapat digunakan sebagai landasan pembangunan hukum dan atau pembangunan di bidang lainnya. Namun demikian, untuk dapat memahami hakekat hukum dibutuhkan alat penafsiran yang menggunakan metode ilmiah
32 33
H.R. Otje Salman, S., Op.cit, hal. 14 Soekanto Soerjono, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
(scientific method). Menurut Richard Posner, dari seluruh ilmu sosial yang metodenya pernah digunakan untuk menjelaskan hukum, ilmu ekonomi-lah yang paling menjanjikan, pertama, karena universalitas, dan kedua, karena ketepatannya. Dengan hakekat interdisipliner, mengorelasikan disiplin ekonomi dan disiplin hukum, maka penafsiran konsep-konsep hukum dapat dijelaskan secara kualitatif sehingga memiliki akurasi lebih maksimal. 34 Dengan demikian, ini kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian tentang bagaimana masyarakat mentaati hukum, bagaimana peranan dan kegunaan aparat penegak hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban masyarakat, bagaimanakah peranan hukum berkenaan dengan sistem ekonomi, dan seterusnya. 35 Pandangan hukum yang bermuatan moral ini terasa tidak terbantah dan tidak boleh diabaikan demi tegaknya hukum. Mengapa tidak, oleh karena sudah sejak lama dikenal oleh kerajaan–kerajaan masa lalu, pada masa kekaisaran Roma telah terdapat pepatah “ Quid leges sine moribus ?” “Apa artinya undang–undang kalau tidak disertai moralitas?” 36 Demikian juga halnya dengan kehadiran hukum dan peraturan perpajakan. Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa karena membayar pajak merupakan kesepakatan bersama di antara warga negara seperti yang dituangkan di dalam
34
Nasution Bismar, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Op. cit, hal. 14-15 Soekanto Soerjono, Op.cit. hal. 43 36 Nasution Bismar, Kumpulan Makalah Privatisasi BUMN dan Good Corporate Governance, Op.cit, hal. 64 35
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 dan Amandemennya, dengan demikian membayar pajak adalah memenuhi kewajiban yang tertera di dalam UUD 1945 dan Amandemennya serta melaksanakan amanat rakyat itu sendiri. Agar
tercapai
ketertiban
dan
memberikan
rasa
kepastian
hukum
bermasyarakat dan bernegara, serta untuk meningkatkan pembangunan bangsa dan negara, maka secara bertahap dan berkelanjutan, dimulai dengan reformasi perpajakan pada tahun 1983, pemerintah melakukan perubahan secara mendasar sistem pemungutan pajak, menjadi self assessment, yaitu negara memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada Wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak–pajak yang menjadi kewajiban sendiri. Sistem pemungutan ini, sesuai dengan semangat demokrasi lebih mengedepankan pemahaman serta partisipasi masyarakat dalam setiap proses bernegara termasuk penyediaan dana pembangunan melalui penerimaan pajak. 37 Terkait dengan pembagian dividen, perlu diperhatikan bahwa meskipun keputusan untuk membagi dividen berada dalam kuorum kehadiran rapat dan kuorum persetujuan rapat, namun jika ternyata pembagian dividen tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan modal dasar, modal ditempatkan atau modal dikeluarkan, maka seluruh proses terkait dengan hal tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan–ketentuan yang berhubungan dengan hal tersebut dan berlaku yang juga bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum. 38
37 38
Tjiptardjo. M, Op.cit, hal. 1 Widjaja Gunawan ,Op.cit, hal. 13
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Berdasarkan teori dan semua pemikiran yang telah dikemukakan, hasil pembahasan dalam penelitian ini akan diarahkan untuk menciptakan suatu prinsip keterbukaan (transparancy) dan kesadaran hukum serta peduli pajak sebagai peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Immanuel Kant (1734-1804), kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Karena itu, kemauan baik menjadi suatu kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tindakannya itu. Maksudnya, bisa saja akibat dari suatu tindakan memang baik, tetapi kalau tindakan itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan baik untuk mentaati hukum moral yang merupakan kewajiban seseorang, tindakan itu tidak bisa dinilai baik, karena, akibat baik tadi bisa saja hanya merupakan hal yang kebetulan. 39 2. Konsepsional Bagian landasan konsepsional ini akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh Peneliti, antara lain : a. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang–undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran rakyat. 40
39 40
Keraf , A. Sonny, Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisisu, 1998), hal. 23 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan perpajakan. 41 c. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untu menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 42 d. Modal atau saham adalah surat berharga yang merupakan tanda kepemilikan seseorang atau badan terhadap suatu perseroan atau perusahaan. 43 e. Dividen secara umum adalah merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. 44 f. Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 45 g. Pemotong dan pemungut pajak adalah yang memberikan tanda bukti pemotongan atau pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar pajak penghasilan yang dipotong atau dipungut. 46
41
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 43 Hin L. Thian, Panduan Berinvestasi Saham, (Jakarta; Gramedia, 2001), hal. 13 44 Alsah A. Syarifuddin, Op.cit, hal. 95 45 Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 46 Keputusan Menteri Keuangan No. 541/KMK.04/2000 42
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
h. Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan / atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan / atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang–undangan perpajakan. 47
i. Sanksi hukum dari peraturan perpajakan, ada 2 (dua) jenis yaitu ; 1. Sanksi administrasi adalah pengenaan utang pajak yang ditetapkan untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 48 2. Sanksi pidana adalah pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana, baik karena kealpaan maupun kesengajaan. 49 j. Surat Ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar. 50
47
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 49 Penjelana Pasal 38 dan 39 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 50 Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 48
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
k.
Prinsip-prinsip Good Governance adalah pengelolaan pemerintahan harus dilandasi oleh prinsip–prinsip moral yang kuat, artinya agar pemerintah memiliki peranan penting dalam membangun, merawat dan menghormati sistem integritas nasional sekaligus harus menjadi pemimpin yang berprinsip dan berlandaskan pada etika, bersih dan berwibawa serta melakukan pengawasan atas birokrasi yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan program. 51
G. Metode Penelitian Metode berarti jalan, atau cara kerja, yaitu cara untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Soerjono Seokanto mengatakan metode yang berarti jalan ke, namun demikian menurut kebiasaan metode yang dirumuskan dengan kemungkinan–kemungkinan sebagai berikut : 1.
Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,
2.
Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,
3.
Cara tertentu untuk melaksanakan prosedur. 52 Sehubungan dengan itu maka metode yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah metode kepustakaan (Library Research) sebagai metode pengumpulan data. Metode ini terutama ditujukan untuk terlebih dahulu memahami berbagai teori, doktrin, perundang–undangan, konsepsi–konsepsi yang relevan dengan masalah 51 52
Nasution Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Op. cit, hal. 243 Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1984),
hal. 5
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
penelitian. 53 Dengan demikian konsistensi dan respondensi antara teori–teori, perundang–undangan dan doktri atau konsep dan karya ilmiah dapat dijadikan sebagai dasar pencarian kebenaran, khususnya dalam menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. 1. Sifat dan Pendekatan Penelitian Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan juridis – normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan– bahan kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat secara objektif melalui ketentuan perundang-undangan dengan mengacu kepada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang–undangan yang bersifat kualitatif, 54 sedangkan pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan penelitian yang bersifat deskriptif – analitis, untuk membatasi kerangka studi pada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa–hipotesa atau teori–teori. 55 2. Data dan Bahan Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang berbentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier.
53
Subagyo P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 106 54 Amiruddin dan Asikin H. Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 166-167 55 Syahrin Alvi, Pengaturan dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 17
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang– Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang– Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang– Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, selain dari itu bahan hukum primer dimaksud tersebar diberbagai tingkat peraturan perundang-undangan, mulai dari tingkat undang–undang, Surat Keputusan Menteri, surat edaran yang relevan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku ilmiah, dokumen-dokumen pribadi atau pandangan dari kalangan para pakar hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus umum, ensiklopedia, majalah jurnal ilmiah dan lain sebagainya. 56 3. Analisis Data Selanjutnya data yang ada akan dianalisis dengan cara kualitatif dalam pengertian bahwa analisis data lebih mengutamakan aspek menyeluruh dan mendalami data yang bersangkutan. 57
56 57
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Op. cit, hal. 52 Subagyo P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Op. cit, hal. 106
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Pada tradisi penelitian kualitatif, secara sengaja menggunakan istilah memahamai (bukan menjelaskan), karena yang dicari bukanlah faktor penyebab atau kualitas dari suatu fenomena melainkan alasan–alasan maknawi (reasons) dan para pelaku sesuatu tindakan atau praktek sosial itu sendiri. Dengan begitu menjadi wajar bila fokusnya tertuju kepada upaya pemahaman. 58 Data yang dikumpulkan kemudian dipilah guna memperoleh pasal–pasal ataupun ketentuan–ketentuan yang berisi kaidah hukum yang mengatur masalah pengenaan pajak penghasilan terhadap pembagian dividen.
58
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 66
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
BAB II PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PEMBAGIAN DIVIDEN A. Konsep dan Jenis Dividen Dividen adalah pendistribusian laba kepada pemegang saham, secara pro rata menurut kelas / kelompok surat berharga, dan dibayarkan dalam bentuk uang, saham, scrip, atau produk atau properti perusahaan, walaupun ini jarang terjadi. Dividen dapat juga diartikan sebagai dana–dana, dari penghasilan, atau dari hasil penjualan suatu harta benda, yang harus dibagi atau didistribusikan diantara para pemegang saham atau kreditur. Pembagian dividen umumnya didasarkan atas akumulasi laba, yaitu laba ditahan, atas beberapa pos modal lainnya seperti tambahan modal disetor. 59 1. Konsep Dividen Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan keputusan atas persetujuan dan pengesahan tersebut diambil sesuai dengan ketentuan Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan atau Anggaran Dasar Perseroan. Perhitungan tahunan yang dihasilkan tersebut harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal dan hasil usaha perseroan. Direksi dan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan kebenaran isi perhitungan tahunan perseroan pada khususnya dan laporan tahunan pada umumnya.
59
Berita internet, http://elon.bahan ajar.umb.co.id
30 Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar atau menyesatkan, maka anggota Direksi dan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan, kecuali apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya. Dalam hal demikian maka anggota Direksi dan Komisaris yang bersangkutan dibebaskan dari tanggung jawab tersebut. Setiap tahun buku, perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih untuk cadangan, sampai cadangan mencapai sekurang–kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan. Apabila belum mencapai jumlah tersebut maka laba itu hanya dapat digunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain. Ketentuan mengenai penyisihan laba bersih untuk cadangan dan pengunaannya, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan tersebut diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Rapat Umum Pemegang Saham dapat menetapkan bahwa sebagian atau seluruh laba bersih akan digunakan untuk pembagian dividen kepada pemegang saham, atau pembagian lain seperti tantieme untuk Direksi dan Komisaris, bonus untuk karyawan, cadangan dana sosial dan lain–lain, atau penempatan laba bersih tersebut dalam cadangan perseroan yang antara lain diperuntukkan bagi perluasan usaha perseroan. Apabila Rapat Umum Pemegang Saham tidak menentukan lain, maka seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana disebutkan di
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
atas, dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen. setelah lima tahun, dividen yang tidak diambil dimasukkan ke dalam cadangan yang diperuntukkan untuk itu. Pembagian dividen diatur dalam Anggaran Dasar (AD). 60 2. Jenis–Jenis Dividen Menurut Kieso dan Weygandt, ada beberapa jenis dividen, yaitu : 61 a.
Dividen kas atau dividen tunai (cash dividend) yaitu suatu dividen yang dibayarkan dengan uang tunai, atau lebih kerapkali terjadi, dengan cek yang segera dapat ditukarkan dengan uang tunai. Ini adalah cara yang biasa mengenai pembayaran dividen.
b.
Dividen properti atau dividen dalam bentuk harta benda (property dividend) adalah suatu dividen yang terdiri atas suatu bagian dari harta milik perseroan yang dibayarkan kepada para pemegang saham, sebagai ganti uang tunai atau saham perseroan. Ini dapat berupa surat–surat efek atau tanggungan dari perseroan–perseroan lainnya, seperti cabang perseroan, obligasi–obligasi pemerintah yang dikuasai, dan lain–lain.
c.
Dividen atas surat saham sementara (scrip dividend) yaitu suatu dividen yang dibayarkan dalam skrip, atau dengan perkataan lain, dalam suatu promissory note, yang harus dibayarkan pada suatu waktu tertentu di kemudian hari. Jadi, ini adalah suatu bentuk deferred dividend (dividen yang ditangguhkan).
60
Widjaya I.G. Rai, Hukum Perusahaan, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2007), hal. 268-269 Kieso, Donald E, and Jerry J. Weygandt, Intermediate Accounting, 7th edition, John Willey and Sons, Inc, hal. 816 61
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
d.
Dividen likuidasi (liquidating dividend) adalah suatu dividen yang dibayarkan dari aktiva, kepada para pemilik suatu perseroan yang dibubarkan, atau kepada para kreditur suatu maskapai yang dilikuidir, atau dalam keadaan bangkrut, atau kepada para ahli waris suatu warisan yang sedang diselesaikan. Pembayaran seperti itu dapat terjadi apabila suatu perusahaan jatuh bangkrut atau apabila manajemen memutuskan untuk menjual aktiva perusahaan dan hasilnya didistribusikan kepada para pemegang saham.
e.
Dividen saham (stock dividend) adalah suatu dividen yang dibayarkan dalam bentuk saham perseroan itu, bukan dengan uang tunai. Dividen saham dapat berupa saham tambahan dalam perusahaan atau saham anak perusahaan yang didistribusikan kepada para pemegang saham. Kieso dan Weygandt mengungkapkan bahwa dividen yang dibagikan oleh
perusahaan kepada pemegang saham, dapat berbentuk : 62 1. cash dividend yaitu pembayaran dividen dalam bentuk tunai. 2. stock dividend yaitu pembayaran dividen dalam bentuk saham dengan proporsi tertentu. 3. skrip dividend (promisory nates) yaitu utang dividen dalam bentuk skript atau pembayaran dividen pada masa yang akan datang.
62
Kieso, Donald E, and Jerry J. Weygandt, Intermediate Accounting, 7th edition, John Willey and Sons, Inc, hal. 97
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
4. property dividen yaitu pembayaran dividen dalam bentuk kekayaan seperti barang dagangan, real estate atau investasi dalam bentuk lain yang dirancang oleh dewan direksi. Demikian juga menurut Smith dan Skousen, pembagian dividen itu dapat berbentuk: 63 (1) kas, (2) aktiva lain, (3) wesel atau surat utang lainnya dari perusahaan yang sebenarnya merupakan dividen kas yang ditangguhkan, dan (4) saham perusahaan sendiri. Dividen biasanya dibayarkan secara tunai tetapi kadang–kadang dibayarkan dalam bentuk saham, skrip, atau beberapa aktiva lainnya. Semua dividen kecuali dividen saham, mengurangi total ekuitas pemegang saham dalam perusahaan. Karena ekuitas akan berkurang baik melalui pembagian aktiva secara langsung maupun di masa depan. Jika dividen saham diumumkan, maka perusahaan tidak membayar dengan aktiva atau mencatat kewajiban. Perusahaan hanya perlu menerbitkan tambahan lembar saham kepada setiap pemegang saham dan tidak lebih dari itu.
63
Smith, Jay M. dan Skousen, K Fred, Akuntansi Intermediate, (Jakarta : Erlangga, 1993),
hal. 334
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
B. Legalitas dan Kebijakan Dividen 1. Legalitas Dividen Pada dasarnya penggunaan laba telah dijelaskan dalam Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas : 64 Pasal 70 : 1. Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan. 2. Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak apabila perseroan mempunyai saldo laba yang positif. 3. Penyisihan laba bersih sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai cadangan mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor. 4. Cadangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) yang belum mencapai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain. Pasal 71 : 1. Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS. 2. Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS. 3. Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila perseroan mempunyai saldo laba yang positif. Pasal 72 : 1. Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan. 2. Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib.
64
Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
3. Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengganggu atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan Perseroan. 4. Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan Komisaris, dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3). 5. Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan. 6. Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 73 : 1. Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. 2. RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan menjadi hak Perseroan. Jadi, dividen yang diberikan kepada para pemegang saham perusahaan sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh masing–masing pemilik dengan tetap menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain. 2. Kebijakan Dividen Perusahaan yang membayar dividen dalam jumlah yang sama besar dengan laba ditahan yang tersedia secara legal sangat sedikit. Alasan utamanya adalah
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
sebagai berikut : 1. persetujuan (kontrak obligasi) dengan kreditor tertentu untuk menahan semua atau sebagian laba, dalam bentuk aktiva, guna membentuk proteksi tambahan terhadap kemungkinan kerugian. 2. beberapa hukum perseroan negara mensyaratkan bahwa laba yang ekuivalen dengan biaya saham treasuri yang dibeli untuk diumumkan sebagai dividen. 3. keinginan untuk menahan aktiva yang tidak dibayarkan sebagai dividen guna membiayai pertumbuhan atau ekspansi. Hal ini kadang–kadang disebut sebagai pembiayaan internal, laba yang direinvestasi, atau “menanamkan” kembali laba dalam perusahaan. 4. keinginan untuk memperlancar pembayaran dividen dari tahun ke tahun dengan mengakumulasi laba dalam tahun–tahun yang menghasilkan laba dan menggunakan akumulasi laba itu sebagai dasar membayar dividen dalam tahun– tahun yang buruk. 5. keinginan untuk membentuk pelindung atau penyangga terhadap kemungkinan kerugian atau kesalahan dalam kalkulasi laba. 65 Jika seluruh keuntungan yang dihasilkan perusahaan dibayar sebagai dividen kepada para pemegang saham maka perusahaan tidak memiliki cadangan dana (kepentingan akan laba yang ditahan terabaikan) untuk melakukan reinvestment, sebaliknya jika seluruh keuntungan yang dihasilkan perusahaan akan tetap dipertahankan maka kepentingan pemegang saham akan terabaikan sehingga dapat 65
Berita internet, http://elon.bahan ajar.umb.co.id
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
menyebabkan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan investor baru dan tidak dapat mengumumkan kenaikan dividen. Oleh karena itu, untuk menjaga dua kepentingan yang saling berbeda, manajer keuangan harus menjalankan kebijakan dividen secara optimal. Sebagian besar perusahaan mengijinkan pembagian dividen kepada para pemegang saham selama perusahaan berada dalam keadaan tidak insolven. Insolvensi didefenisikan sebagai ketidak–mampuan membayar utang pada saat jatuh tempo dalam bisnis yang normal. Umumnya pembagian dividen harus berasal dari laba ditahan atau laba masa berjalan. Menurut Weston dan Copeland, kebijakan dividen dipengaruhi oleh : 66 a. Undang–Undang Undang–undang menentukan bahwa dividen harus dibayar dari laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada pada pos “laba ditahan (retained earning)” di neraca. Dividen tidak boleh diambil dari modal. b. Posisi likuiditas Angka yang tercantum dalam laporan keuangan untuk pos laba ditahan, belum tentu sama dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya aktiva tetap perusahaan yang berasal dari penggunaan dana tersebut (laba tidak disimpan dalam bentuk kas). Jadi, meskipun suatu perusahaan mempunyai catatan mengenai laba, mungkin saja perusahaan tidak dapat membayar dividen secara tunai
66
Wasana Jaka dan Kirbrandoko, Dasar-Dasar Manjemen Keuangan I, (Bandung : Alfabeta, 1993), hal. 147
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
karena posisi likuiditasnya (sebenarnya laba tersebut sudah diinvestasikan pada suatu aktiva tetap). c. Kebutuhan pelunasan utang Apabila perusahaan mengambil utang (melakukan pinjaman) untuk membiayai ekspansi atau untuk mengganti jenis pembiayaan yang lain, perusahaan tersebut menghadapi dua pilihan. Perusahaan dapat membayar utang itu pada saat jatuh tempo dan menggantikannya dengan jenis surat berharga lain atau melunasi utang tersebut. Jika keputusannya membayar dan melunasi utang tersebut maka biasanya perlu penahanan laba. Oleh karena itu jumlah yang dibayarkan dapat berkurang karena labanya digunakan untuk melunasi utang perusahaan. d. Tingkat ekspansi aktiva Semakin cepat suatu perusahaan berkembang maka semakin besar pula kebutuhan untuk membiayai ekspansi perusahaannya. Kalau kebutuhan dana di masa depan semakin besar, perusahaan akan cenderung untuk menahan laba dari pada membayarkannya sehingga ada kesempatan besar untuk melakukan investasi. Namun jika lebih mementingkan pembagian laba yang dibayarkan sebagai dividen, maka hanya sebagian saja laba yang tersisa untuk investasi. Jadi semakin tinggi tingkat ekspansi suatu perusahaan maka semakin besar kebutuhannya akan laba yang ditahan sehingga semakin kecil dividen yang dapat dibayarkan.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
e. Tingkat laba Tingkat hasil pengembalian yang diharapkan akan menentukan pilihan relatif untuk membayar laba tersebut dalam bentuk dividen kepada pemegang saham (yang akan menggunakan dana
itu pada perusahaan lain) atau menggunakannya pada
perusahaan tersebut.
f. Stabilitas laba Suatu
perusahaan
yang
mempunyai
laba
stabil
sering
kali
dapat
memperkirakan berapa besarnya laba di masa yang akan datang. Perusahaan seperti ini biasanya cenderung membayarkan laba dengan persentase yang lebih tinggi dari pada perusahaan yang labanya berfluktuasi. Perusahaan yang tidak stabil, tidak yakin apakah laba yang diharapkan pada tahun–tahun yang akan datang dapat tercapai sesuai harapan sehingga perusahaan cenderung untuk menahan sebagian besar laba saat ini. Pada perusahaan yang kondisi labanya belum stabil cenderung membayarkan dividen dalam jumlah yang relatif lebih rendah dari pada perusahaan yang labanya stabil.
g. Akses ke Pasar Modal Suatu perusahaan yang besar, telah berjalan baik dan mempunyai catatan profitabilitas dan stabilitas laba akan mempunyai akses yang mudah ke pasar modal. Namum pada perusahaan kecil atau baru, kemampuan untuk menaikkan modalnya atau dana pinjaman dari pasar modal akan terbatas sehingga perusahaan seperti ini
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
harus menahan lebih banyak laba untuk membiayai operasionalisasi usahanya. Jadi perusahaan yang sudah mapan cenderung untuk memberi tingkat pembayaran dividen yang lebih tinggi dari pada perusahaan kecil atau baru.
h. Kendali Perusahaan Sebagai suatu kebijakan, beberapa perusahaan melakukan ekspansi hanya sampai pada tingkat penggunaan laba internal saja. Kebijakan ini didukung oleh pendapat bahwa menghimpun dana melalui penjualan tambahan saham biasa akan mengurangi utang kekuasaan kelompok dominan dalam perusahaan itu. Pada saat yang sama, mengambil utang akan memperbesar resiko naik turunnya laba yang dihadapi pemilik perusahaan saat ini. Pentingnya pembiayaan internal dalam usaha untuk mempertahankan kendali perusahaan akan memperkecil pembayaran dividen. Menurut Suad dan Enny, dalam menentukan kebijakan dividen perlu memperhatikan faktor–faktor sebagai berikut : 67 a. Operating cash flow Jika dana yang diperoleh dari operasi perusahaan dapat dipergunakan dengan menguntungkan maka dividen tidak perlu dibagikan terlalu besar. Jadi tidak benar bahwa perusahaan harus membagikan dividen sebesar–besarnya. b. Tingkat laba Karena ada keengganan untuk menurunkan pembayaran dividen per lembar saham, ada baiknya jika perusahaan menentukan dividen dalam jumlah yang tidak 67
Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, Dasar-dasar Manajemen Keuangan, (Yogyakarta:UPP YKPN, 1998), hal. 139
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
terlalu besar. Dengan demikian, memudahkan perusahaan untuk meningkatkan pembayaran dividen jika laba perusahaan meningkat dan tidak perlu segera menurunkan dividen jika laba menurun. c. Kesempatan investasi Jika perusahaan menghadapi kesempatan investasi yang menguntungkan, lebih baik perusahaan mengurangi pembayaran dividen daripada menerbitkan saham baru. Penurunan pembayaran dividen mungkin akan diikuti oleh penurunan harga saham tetapi jika pasar modal efisien maka harga saham akan menyesuaikan kembali dengan informasi yang sebenarnya. d. Biaya transakasi Untuk merealisir uang kas, pemegang saham perlu menjual (sebagian) saham sedangkan pembayaran dividen berarti menerima uang kas. Namun jika investor menjual saham, maka terkena biaya transaksi. Dengan demikian, jika tidak ada faktor pajak maka menerima deviden akan lebih menguntungkan daripada memperoleh capital gains sehingga investor cenderung memilih saham yang membagikan dividen secara teratur. e. Pajak Penghasilan Karena investor juga membayar pajak penghasilan maka investor yang sudah berada dalam tax brecket yang tinggi, mungkin akan lebih menyukai untuk tidak menerima dividen karena membayar pajak, dan memilih menikmati capital gains.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Jika sebagian besar pemegang saham merupakan investor yang mempunyai tax bracket tinggi, pembagian dividen akan cenderung tidak terlalu besar. Kelompok lain menganut kriteria: a. perusahaan harus solven, dan b. pembagian tidak boleh melebihi nilai wajar aktiva bersih Menurut kriteria ini pembagian tidak dibatasi pada laba ditahan atau laba masa berjalan yang ditentukan atau tidak dikaitkan dengan nilai buku aktiva, tetapi dikaitkan dengan nilai wajar (taksiran) aktiva – suatu kriteria baru yang perlu dicatat.
C. Prosedur pembagian Dividen Keputusan pembayaran dividen pada pemegang saham dilakukan oleh dewan direksi. Dewan direksi secara umum bertemu setiap tiga bulan atau semester untuk mengevaluasi kinerja keuangan dan memutuskan apakah dan berapa dividen yang akan dibagikan. Pembagian dividen dapat dilakukan secara kuartalan ataupun tahunan,
tergantung
kebijaksanaan
yang
ditetapkan
oleh
masing–masing
perusahaan. 68 Adapun prosedur pembagian dividen yang aktual adalah sebagai berikut : a. Tanggal pengumuman adalah tanggal pada saat pembayaran dividen diumumkan oleh perusahaan. b. Tanggal ex–dividend adalah tanggal dimana pembeli saham sebelum tanggal tersebut berhak atas dividen. 68
Berita internet, hhtp:\\www. pdffactory.com
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
c. Tanggal pencatatan adalah tanggal dimana semua pemegang saham yang terdaftar pada tanggal tersebut berhak atas dividen. d. Dividen dibayarkan pada tanggal pembayaran kepada semua pemegang saham yang berhak menurut catatan yang dibuat pada tanggal pencatatan. Meskipun secara formal tanggal pencatatan merupakan tanggal yang penting, tetapi secara ekonomis, tanggal ex–dividend merupakan tanggal yang penting. 69 Terkait dengan pembagian dividen ini, perlu diperhatikan bahwa laporan keuangan secara berkala penting bagi para pemegang saham, mengingat laporan ini terdiri dari neraca, laporan laba / rugi, laporan saldo, laporan arus kas, catatan–catatan atas laporan keuangan dan lain–lain. Berdasarkan laporan–laporan tersebut dapat disusun evaluasi untuk cash flow yang akan datang dan selanjutnya membuat estimasi nilai saham. Laporan harus mengandung informasi yang akurat dan dapat diperkirakan (predictability) sehingga menjamin uang itu bergerak kepada pemegang saham yang bisa menggunakannya lebih efektif. 70 Jadi, meskipun keputusan untuk membagi dividen berada dalam kuorum kehadiran rapat dan kuorum persetujuan rapat yang boleh dikatakan paling kecil, namun jika ternyata pembagian dividen tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan modal dasar, modal ditempatkan atau modal dikeluarkan, maka seluruh proses terkait dengan peningkatan modal tersebut harus dilaksanakan sebagaimana
69
Ibid. Nasution Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana), hal. 152-153 70
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
mestinya, sebelum pembagian dividen saham yang mengakibatkan peningkatan modal tersebut berlaku efektif. Jika pembagian dividen saham menyebabkan terjadinya peningkatan modal dasar, maka harus diselenggarakan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham yang khusus diselenggarakan untuk mengubah Anggaran Dasar perseroan. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham yang mengubah Anggaran Dasar Perseroan Terbatas tersebut selanjutnya harus disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenHukHAM), didaftarkan dalam Daftar Perseroan dan diumumkan dalam Berita Negara. Selanjutnya dalam hal pembagian dividen tersebut hanya meningkatkan modal ditempatkan atau modal dikeluarkan, maka Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham yang diselenggarakan adalah rapat dengan kuorum kehadiran biasa, dengan persetujuan sebagaimana halnya pengambilan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Biasa, sedangkan hasil dari Rapat Umum Pemegang Saham ini cukup disampaikan atau diberitahukan ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenHukHAM) dan selanjutnya didaftarkan dalam Daftar Perseroan. 71
D. Dasar Hukum Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen Kondisi internal dan eksternal negara kita terus berkembang yang mempengaruhi sendi–sendi perekonomian, politik, sosial, administrasi, manajemen dan lainnya telah mendorong pemerintah melakukan perubahan atas beberapa
71
Widjaja Gunawan, Op. cit, hal. 13
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
undang–undang perpajakan yang ada. Perubahan itu bertujuan untuk mengakomodir perkembangan yang terjadi dan menyesuaikan aturan perpajakan. 72
1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Selanjutnya untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak atas pembagian dividen, terlebih dahulu memahami batasan tentang penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan, yang dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang– Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan : “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk : a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang di terima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang–undang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usahaa mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut 72
Pandiangan Liberty, Op.cit, hal. 13
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
e. f. g.
h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s.
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; bunga termasuk premium, dikonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti atau imbalan atas penggunaan hak; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; keuntungan selisih kurs mata uang asing; selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; premi asuransi; iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; penghasilan dari usaha berbasis syariah; imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang–undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan surplus Bank Indonesia.”
2. Dasar Hukum Pajak Penghasilan terhadap Pembagian Dividen Adapun yang menjadi dasar hukum pengenaan pajak penghasilan atas pembagian dividen oleh perusahaan / perseroan adalah Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan : 1) Pasal 17 ayat (2c) yang menyatakan :
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib pajak Orang pribadi dalam negeri adalah 10% (sepuluh persen) dan bersifat final; 2) Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1 yang menyatakan : Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarnya : a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : 1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; 3) Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan : Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan : dividen; Terdapat juga perlakuan pajak penghasilan dari pembagian dividen yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Dasar hukum ini ditegaskan dalam Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang– Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan : 1) Pasal 4 ayat (3) huruf f, yang menyatakan : “dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1. dividen berasal dari calangan laba ditahan ; dan
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.” 2) Pasal 4 ayat (3) huruf i, yang menyatakan : “bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalna tidak terbagi atas saham–saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif” 3) Pasal 4 ayat (3) huruf k, yang menyatakan : “penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan psangan usaha tersebut : a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalanakan kegiatan dalam sektor–sektor usaha yang diatur dengan atau Peraturan Menteri Keuangan; dan b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.” Dengan memahami dasar hukum perpajakan atas dividen maka dapat dihindari kesalahan pemotongan pajak atas pembayaran penghasilan berupa dividen. Berikut adalah penjelasan singkat perlakuan pengenaan pajak penghasilan atas dividen :
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
PPh Ps 23
Objek Pajak
Dividen
PPh Ps 26
PPh Ps 17 (2c)
Wajib Pajak Dalam Negeri
Wajib Pajak Luar Negeri 20 % Final
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Final
Bukan Objek
Pajak Pasal 4 Ayat (3) : Dividen yang diterima PT, Koperasi, BUMN/D dengan syarat tertentu
Skema 1. Perlakuan pengenaan pajak penghasilan atas dividen
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
BAB III METODE PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP DIVIDEN
[
A. Metode Pemajakan atas Penghasilan Metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib pajak dapat mengalir ke Kas Negara? Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah secara bertahap dan berkelanjutan melakukan reformasi terhadap sistem perpajakan di Indonesia dengan cara melakukan revisi, perbaikan dan penyempurnaan terhadap undang–undang perpajakan. 73 Perlakuan pajak penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dalam negeri mengacu pada metode one tier dan pengenaan pajaknya bersifat final, maksudnya adalah untuk mendorong perusahaan membagikan dividen kepada pemegang sahamnya sehingga hal tersebut akan menstimulasi bertumbuhnya kegiatan perekonomian dan investasi di Indonesia dan juga untuk menyederhanakan administrasi perpajakan bagi Wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). 74
73
Irfan Mutyara, Makalah Pajak yang Disampaikan dalam Seminar Sehari Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Balai Raya-Tiara Convention Centre, Medan, 2007. 74 Majalah Berita Pajak, Vol. XLI No. 1622, 1 November 2008, hal. 12
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Menurut Hector S. de Leon, terdapat 3 (tiga) prinsip dasar dari suatu sistem perpajakan yaitu : 75 a. Kecukupan pajak (fiscal adequacy) Menurut prinsip ini, sumber penghasilan secara keseluruhan harus memadai sebagai sumber bagi anggaran negara. Hal ini berarti penghasilan harus elastis atau mampu 51 berkontraksi setiap tahunnya untuk menjawab keperluan pengeluaran negara. Sebagai alternatifnya adalah : 1) adanya resiko dari defisit atau surplus anggaran karena ketidak-elastisan penghasilan; atau 2) menyesuaikan jumlah pengeluaran negara terhadap aliran / arus dana yang ada dengan membatasi atau mengurangi kegiatan tertentu, sehingga anggaran yang ada dapat secara optimal dimanfaatkan. Elastisitas diperoleh tanpa membuat pengenaan pajak baru setiap tahun, tetapi dengan mengubah tarif yang dapat diterapkan atas pajak yang telah ada. b. Kesamaan atau teori keadilan (equiality or theoretical justice) Dengan prinsip ini, suatu beban pajak harus proporsional dengan kemampuan yang dimiliki wajib pajak untuk membayar pajak. Prinsip ini akan menciptakan kondisi dimana kewajiban setiap orang terhadap pemenuhan anggaran negara dibagi secara adil. c. Kelayakan administrasi (adminitrative feasibility)
75
Pandiangan Liberty, Op.cit; hal. 23
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Menurut prinsip kelayakan administrasi, setiap peraturan harus mampu menciptakan adminitrasi yang mudah, adil, dan efektif. Dalam hal ini, setiap sistem perpajakan harus jelas dan mudah dilaksanakan oleh Wajib pajak maupun petugas (fiscus), harus memiliki keserasian antara waktu pembayaran, tempat, dan cara pembayaran, serta tidak terlalu membebankan atau menghambat kegiatan usaha. 1. Teori Pemungutan Pajak Mengapakah rakyat harus dipaksa memberikan uang kepada negara dalam bentuk pajak? Jawabannya ada di beberapa teori terhadap pembenaran dari segi hukum (rechtvaardiging) terhadap pemungutan pajak. Teori–teori tersebut adalah sebagai berikut : 76 a. Teori Asuransi, merupakan teori tertua tentang pembenaran pemungutan pajak. Teori ini mengajarkan bahwa pembayaran pajak sama dengan pembayaran premi dalam asuransi. Inti dari teori ini adalah bahwa negara menjamin dan melindungi jiwa raga dan harta dari rakyat, dan karenanya rakyat harus membayar premi berupa pajak kepada negara. b. Teori Daya Pikul (draagkrecht), merupakan teori yang mengajarkan bahwa besarnya pajak yang dipungut dari seorang wajib pajak haruslah sesuai dengan kemampuan pembayaran (daya pikul) dari wajib pajak. Yang dimaksud dengan daya pikul di sini adalah kekuatan seseorang untuk memikul
76
Munir Fuady, Op.cit.,hal. 275
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
beban dari apa yang tersisa setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran–pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer dirinya dan keluarga yang ditanggungnya. c. Teori Keseimbangan (equivalentie), disebut juga dengan teori kepentingan (belangen theorie) mengajarkan bahwa seorang individu mempunyai kepentingan atas pekerjaan negara. Semakin banyak seseorang mengenyam kepentingannya dari negara, semakin besar pula pajak yang harus dibayarnya. d. Teori Daya Beli, mengajarkan bahwa pemungutan pajak akan menyedot daya beli masyarakat, tetapi dapat dibenarkan karena hasil pajak tersebut akan dikembalikan juga kepada masyarakat dalam bentuk yang lain. e. Teori Kewajiban Pajak Mutlak (absolute belastingplicht), atau sering juga disebut “teori pengorbanan” ini mengajarkan bahwa negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dari warganya, sementara rakyat wajib patuh dan melakukan pengorbanan untuk membayar pajak tersebut. 2. Asas Pemungutan pajak Beberapa asas dalam pemungutan pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum, antara lain : a. menurut W.J. de Langen terdapat 7 (tujuh) asas pokok dalam pemungutan pajak,
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
yaitu : 77 1. Asas Kesamaan, yaitu perlakuan yang sama terhadap semua Wajib pajak atau tidak ada diskriminasi pajak 2. Asas Daya Pikul, yaitu apabila pendapatan yang diperoleh tinggi maka pengenaan pajak penghasilan tinggi, sebaliknya apabila pendapatan yang diperoleh rendah maka pengenaan pajak penghasilan rendah 3. Asas Keuntungan Istimewa 4. Asas Manfaat, yaitu pemungutan disasarkan pada efek manfaat yang diterima masyarakat yang diberikan oleh Negara 5. Asas Kesejahteraan, yaitu tujuan memungut pajak adalah untuk kesejahteraan dari rakyat 6. Asas Keringanan Beban, yaitu ditekan agar pajak yang dibayar oleh masyarakat itu tidak memberatkan masyarakat 7. Asas Keseimbangan, yaitu dalam pemungutan pajak tidak menggangu perasaan hukum, perasaan keadilan, dan kepastian hukum b. menurut Adolf Wagner, bahwa yang menjadi asas-asas pokok dalam pemungutan pajak, adalah : 78 1. Asas Politik Finansial, bahwa pajak harus cukup untuk menutup biaya pengeluaran negara, sehingga pajak hendaknya bersifat dinamis, meningkat sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat.
77 78
Berita internet, http://saptohermawan.staffhukum.uns.ac.id Ibid.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
2. Asas Ekonomis, untuk menegaskan bahwa apakah pemungutan pajak dikenakan pada pendapatan atau pengeluaran, 3. Asas Keadilan, yang menginginkan bahwa pajak tidak boleh diskriminatif, dan harus bersifat universal / umum serta kesamaan beban, 4. Asas Administrasi, yang mengartikan bahwa pemungutan pajak harus pasti, dan keluwesan dalam penagihan serta minimalisasi ongkos pemungutan, 5. Asas Hukum, yang menciptakan adanya ketentuan dan peraturan perpajakan yang mudah dipahami dan dilaksanakan masyarakat dan tidak menggunakan penggunaan aturan maupun bahasa yang bermakna ganda.
B. Metode Pemajakan atas Pembagian Dividen 1. Pemajakan atas Pembagian Dividen di Indonesia Pemajakan atas dividen di Indonesia dikenal beberapa metode antara lain metode klasik dan metode integrasi. Pengecualian penerapan metode klasik diberlakukan atas dividen yang dibagikan kepada Wajib pajak badan (legal person) yang merupakan Perseroaan Terbatas yaitu Wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dengan syarat : 1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. bagi peseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di dluar kepemilikan saham tersebut.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Selanjutnya, untuk mencegah timbulnya distorsi dalam perekonomian, timbulnya pajak berganda (double taxation) harus dapat dicegah dalam penerapan metode pemajakan atas dividen, maka pelaksanaan metode tersebut : 79 a. Pada metode klasik, perusahaan yang membagikan dividen dan pemegang saham merupakan 2 (dua) entitas yang berbeda sehingga dividen yang dibagikan kepada pemegang
saham
merupakan
objek
pajak
dan
wajib
dipotong
pajak
penghasilannya oleh perusahaan yang membagikan dividen. Selanjutnya pajak penghasilan yang dilunasi di muka oleh pemegang saham melalui mekanisme pemotongan pajak dapat dikreditkan atas pajak penghasilan yang terutang di akhir tahun. Maksudnya adalah untuk mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda pada penerima dividen. b. Sesuai metode integrasi, laba usaha yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan yang membagikan dividen dengan dividen yang diterima atau diperoleh pemegang saham dianggap bersumber dari satu penghasilan yang sama. Karena atas laba bersih telah dikenakan pajak penghasilan (disebut sebagai corperate income tax), selanjutnya laba bersih yang telah dikenakan pajak tersebut ketika dibagikan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham tidak dikenakan pajak lagi. Pada umumnya dalam Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan diterapkan metode klasik atas dividen yang diterima atau diperoleh oleh pemegang saham, pengecualian penerapan metode klasik diberlakukan atas dividen 79
Majalah Berita Pajak, Vol. XLI No. 1622, 1 November 2008, hal. 13
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (3) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Dengan demikian, metode integrasi diterapkan atas pembagian dividen terhadap wajib pajak badan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud di atas. 80 2. Pemajakan atas Pembagian Dividen Sesuai Tax Treaty Tax treaty merupakan perjanjian pajak bilateral antar dua negara mitra runding yang bersepakat untuk mengatur pembagian hak pemajakanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk (residence taxpayer) dari salah satu negara mitra runding atau kedua negara mitra runding, dengan tujuan untuk mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda (double taxation) dan memerangi timbulnya pengelakan pajak (tax evation). Pengenaan pajak berganda dicegah dengan membatasi hak pemajakan dari negara sumber (source country) yaitu negara dimana penghasilan tersebut timbul. Dengan demikian, hak pemajakan atas penghasilan yang timbul diberikan kepada negara domisili yaitu negara dimana si Penerima penghasilan terdaftar sebagai penduduk. Namun untuk melindungi kepentingan penerimaan dari negara sumber yang berasal dari pajak, pengecualian di atas diberikan dalam hal penduduk dari negara mitra runding lainnya memperoleh penghasilan melalui Bentuk Usaha Tetap– nya (BUT) di negara sumber. Selain itu, hak pemajakan terbatas (limited tax rights)
80
Ibid.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
juga diberikan atas penghasilan pasif (passive income) yaitu dividen, bunga dan royalti. Sehubungan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan dividen diatur bahwa prinsipnya hak pemajakan diberikan kepada negara domisili. Namun untuk melindungi kepentingan penerimaan dari negara sumber, maka dapat diberikan hak pemajakan atas penghasilan tersebut secara terbatas kepada negara sumber. Selanjutnya, batasan hak pemajakan dimaksud sesuai dengan kesepakatan dari kedua negara mitra runding dan umumnya dituangkan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). 81
81
Majalah Berita Pajak, Vol. XLI No. 1622, 01 November 2008
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Tabel. 2 Daftar Penghindaran Pengenaan Pajak Berganda Negara Algeria, Australia, Egypt, Norway China, Democratic Peoples’s Republic of Korea, Kuwait,Sudan. Syria, USA, Slovak Austria, Belgium, Canada, France, Germany, India, Pakistan, Poland, South africa, Spain, Switzerland, Ukraine, UK, Uzbekistan, Venezuela, Brunei Darussalam, Bulgaria, Vietnam Czech Denmark Finland, Singapore, Sweden, Turkey Hungary, New Zeland, Tahiland, Philipinnes Italy Jordan Malaysia,Russia Netherlands Romania Seychelles Sri Lanka Taiwan Tunisia UEA
Portfolio
Penyertaan Langsung
15%
15%
10%
10%
15%
10%
15%
15%
15% 20% 15% 15% 15% 10% 15% 15% 15% 10% 15% 10% 12% 10%
10% 10% 10% 15% 10% 10% 15% 10% 12,5% 10% 10% 10% 12% 10%
Sumber : Tax Treaty Indonesia dengan negara-negara mitra runding Selain itu, terhadap penerima dividen yang merupakan penduduk dari negara mitra runding dengan penduduk dari non mitra runding, perlakuan pajak penghasilannya berbeda. Sesuai dengan sovereignty rule, perbedaan perlakuan pajak penghasilan atas dividen yang diterima atau diperoleh oleh para penerima dividen
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
dimungkinkan. Namun untuk menyelaraskan dengan international best practice, maka aspek level of playing field dan non discriminative rule seyogianya tetap dipertahankan dalam pembuatan kebijakan pajak penghasilan. C. Hak dan Kewajiban Perpajakan atas Pembagian Dividen 1. Kewajiban Perpajakan atas Pembagian Dividen Kewajiban utama dari Wajib pajak adalah pembayaran pajak itu sendiri. Di samping kewajiban utama tersebut, Wajib pajak juga memiliki kewajiban–kewajiban yang khusus dan teknis, yaitu sebagai berikut : 82 1) kewajiban untuk mendaftarkan diri dan meminta nomor pokok wajib pajak (NPWP), 2) mengambil sendiri blangko surat pemberitahuan pajak (SPT), 3) mengisi SPT dengan benar dan lengkap, 4) menghitung dan menetapkan sendiri jumlah yang harus dibayar. Ini sebagai akibat dari berlakunya prinsip self assessment, yang membebankan kewajiban menghitung dan menetapkan besarnya pajak pada Wajib pajak itu sendiri, 5) memperlihatkan pembukuan dan data lain yang diperlukan oleh petugas pajak.
82
Munir Fuady, Op.cit.,hal. 280
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
2. Hak Perpajakan atas Dividen Keseimbangannya, Wajib pajak juga memiliki hak–hak tertentu. Hak–hak Wajib pajak yang umum adalah untuk menerima kembali secara tidak langsung manfaat dari uang pembayaran pajak tersebut, misalnya lewat program sosial atau pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dari biaya hasil pajak tersebut. Di samping hak–hak yang umum tersebut, Wajib pajak juga memiliki hak–hak yang khusus dan teknis, yaitu sebagai berikut : 1) hak untuk menerima Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), 2) hak untuk mengajukan penundaan pengajuan SPT, 3) hak untuk melakukan pembetulan sendiri atas SPT yang sudah dimasukkan, 4) hak untuk mengajukan permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak sesuai kemampuan, 5) hak untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak, 6) hak untuk memperoleh kepastian batas ketetapan pajak yang terutang, 7) hak untuk mengajukan surat keberatan pajak. 8) hak untuk mengajukan permohonan banding surat keputusan atas surat keberatan pajak. 83 D. Pelaksanaan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen Adapun arah dan tujuan pajak penghasilan adalah untuk lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak, lebih memberikan kemudahan kepada Wajib pajak, dan
83
Ibid, hal. 281.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
menunjang kebijakan Pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang–bidang usaha tertentu dan daerah–daerah tertentu yang mendapat prioritas. 84 Pembayaran pajak atas pembagian dividen untuk orang pribadi, akan mengurangi penghasilan / pendapatan yang siap untuk dikonsumsi. Namun berkurangnya penghasilan ini tidak serta merta menurunkan daya belinya secara mutlak, karena batasan yang dianggap cukup proporsional. Sedangkan bagi dunia usaha, penghasilan / pendapatan yang siap dikonsumsi jumlahnya tidak berkurang, karena pajak penghasilan dipungut setelah dikurangi dengan biaya–biaya yang dikeluarkan dunia usaha untuk melaksanakan kegiatan usahanya. 85 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 256/PMK.03/2008 pada tanggal 31 Desember 2008 tentang penetapan saat diperolehnya dividen oleh Wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dinyatakan : Pasal 1 Saat diperolehnya dividen oleh Wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal, pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah: a. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
84 85
Majalah Berita Pajak, Vol. XLI No. 1627, 15 Januari 2009, hal. 23 Koperasi Pegawai Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Op.cit; hal. 74
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kwajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan. Pasal 2 Wajib pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib pajak dalam negeri yang: a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau b. secara bersama-sama dengan Wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri. Pasal 3 1. Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba bersih setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak Wajib pajak. 3. Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada ayat (2) wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh. Pasal 4 1. Dalam hal Wajib pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menerima pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), atas kelebihan jumlah dividen terebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut. 2. Dalam hal Wajib pajak dalam negeri menerima pembagian dividen selain dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
Pasal 5 1. Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut. Pasal 6 Ketentuan mengenai: a. tata cara pelaporan penerimaan dividen dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1; b. tata cara perhitungan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Wajib pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; dan c. tata cara pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TIDAK TERLAKSANANYA PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN
A. Sistem Pemungutan Pajak Penghasilan Terhadap Dividen Tujuan penyempurnaan atas Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan adalah untuk lebih memberikan keadilan, kesederhanaan, netralitas dan kepastian hukum. Salah satu pokok perubahan kebijakan undang–undang tentang pajak penghasilan ini adalah kebijakan pajak penghasilan atas dividen. Kebijakan pengenaan pajak penghasilan atas dividen dimaksudkan agar dapat mendorong perusahaan membagikan dividen (dividend pay out ratio) yang pada akhirnya memberikan efek domino terhadap perkembangan kegiatan perekonomian dan investasi di Indonesia. Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib pajak dapat mengalir ke Kas Negara. Contoh: Ditinjau dari tingkatan negara, maka negara adalah suatu suprasistem, Keuangan Negara adalah sistem dan perpajakan adalah subsistem. Ditinjau dari tingkatan perpajakan, maka perpajakan di Indonesia adalah suatu suprasistem, pajak penghasilan adalah sistem dan pajak penghasilan atas karyawan adalah subsistem.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal : a. Official Assessment System, adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif 66
untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus,
b. Self Asssessment System, adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. 86 Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah secara bertahap dan berkelanjutan melakukan reformasi terhadap sistem perpajakan di Indonesia dengan cara melakukan revisi, perbaikan dan penyempurnaan terhadap undang–undang perpajakan. 87 Reformasi perpajakan antara lain didorong keinginan untuk mengubah landasan pemungutan pajak, yang semula warisan penjajah menjadi pemungutan pajak yang diarahkan kepada upaya meningkatkan partisipasi masyarakat, demi terciptanya pemerataan pendapatan dan kemandirian pembayaran anggaran belanja negara. Agar partisipasi masyarakat membayar pajak memadai, kepatuhan melaksanakan
kewajiban
perpajakan
meningkatkan
kepatuhan
pajak
menjadi
masyarakat
syarat inilah
mutlak.
yang
Pentingnya
menjadi
alasan
penyederhanaan jenis, tarif, dan tata cara pemungutan pajak. 88 Selanjutnya undang–
86
Sumyar, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2004), hal. 25 87 Mutyara Irfan, Makalah Pajak yang Disampaikan dalam Seminar Sehari Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Balai Raya-Tiara Convention Centre, Medan, 2007. 88 Koperasi Pegawai Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Op.cit; hal. 8
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
undang perpajakan hasil reformasi perpajakan mengubah pendekatan pemungutan pajak dari sistem official assessment menjadi self assessment, yaitu Wajib pajak diberikan tanggung jawab dan kewajiban untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak–pajak yang menjadi kewajibannya. 89 Sebagai konsekuensi dari pemberian wewenang penuh kepada Wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak terutang, Wajib pajak mendapat beban yang lebih berat dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, karena Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam Surat Pemberitahuan pajaknya (SPT), menghitung dasar pengenaan pajaknya, mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang dan melunasi pajak terutang tersebut. Hal ini tentu saja menuntut Wajib pajak untuk dapat memahami dan menerapkan peraturan perundang–undangan perpajakan dengan baik. 90 1. Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen Dasar pemotongan dibedakan antara penghasilan bruto dan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran pajak dari penghasilan dalam bentuk dividen adalah berdasarkan jumlah penghasilan bruto dengan pengenaan tarif sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan dividen. 91
89
Ibid., hal. 11 Tjiptardjo Mochamad, Op.cit, hal. 1 91 Penjelasan Pasal 23 ayat (1) Undang–Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan 90
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN (PPh Pasal 23)
DILAKUKAN PADA SAAT PENGHASILAN (DIVIDEN) DIBAYAR PERSEROAN
BUKTI PEMOTONGAN
F.1.1.33.01
UNTUK PEMEGANG SAHAM
1 2 3
LAMPIRAN SPT MASA PPh PASAL 23 ARSIP PERSEROAN
Skema 2. Tata cara pemotongan pajak penghasilan atas pembagian dividen 92 Penjelasan tata cara pemotongan pajak penghasilan atas pembagian dividen, yaitu : 1)
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak dalam negeri dan Badan Usaha Tetap (BUT).
92
Alsah A. Syarifuddin, Op.cit., hal. 121
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
2)
PPh Pasal 23 dipotong pada saat dibayar atau terutang oleh : a.
Badan pemerintahan, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, perwakilan perusahaan luar negeri;
b.
Orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Misalnya: akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas
c.
Orang
pribadi
yang
menjalankan
usaha
dan
menyelenggarakan
pembukuan. 3)
Pemotong PPh Pasal 23 mengeluarkan bukti pemotongan rangkap 3 (tiga) yang ditujukan pada :
2.
a.
Lembar 1 untuk pemegang saham
b.
Lembar 2 untuk lampiran SPT Masa PPh Pasal 23
c.
Lembar 3 untuk Arsip
Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen Dasar hukum penyetoran pemotongan pajak penghasilan adalah Pasal 9 ayat
(1) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
TATA CARA PENYETORAN PPh ATAS DIVIDEN JUMLAH PPh atas Dividen DALAM BUKTI PEMOTONGAN SELAMA SATU BULAN TAKWIN
DISETOR KE BANK PERSEPSI ATAU KANTOR POS DAN GIRO DGN MENGGUNAKAN SURAT SETORAN PAJAK (SSP)
PALING LAMBAT TGL. 10 BULAN TAKWIN BERIKUTNYA SETELAH BULAN SAAT TERUTANGNYA PAJAK
APABILA TGL. 10 JATUH PD HARI LIBUR, MAKA PENYETORAN DILAKUKAN PADA HARI KERJA BERIKUTNYA ATAU DITENTUKAN LAIN OLEH PERATURAN
Skema 3. Tata cara penyetoran pajak penghasilan atas pembagian dividen 93
93
Ibid., hal. 122
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Penjelasan tata cara penyetoran pajak penghasilan atas pembagian dividen, yaitu : 1)
Pemotong pajak wajib menghitung jumlah pajak yang dipotong atas pembagian dividen tersebut dalam satu bulan takwin (masa pajak),
2)
Pemotong pajak menyetor seluruh hasil pemotongan pajak atas pembagian dividen tersebut ke bank negara atau bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setor Pajak (SSP),
3)
Penyetoran dilakukan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutang pajak. Dalam hal tanggal 10 tersebut jatuh pada hari libur nasional, maka penyetorannya dilakukan pada hari kerja berikutnya atau jika ditentukan lain oleh peraturan perundang–undangan.
3. Tata Cara Pelaporan Pajak Penghasilan atas Pembagian Dividen Dasar hukum untuk melaporkan hasil pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan atas dividen adalah Pasal 3 ayat (3) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
TATA CARA LAPORAN PAJAK atas DIVIDEN
MENGISI SPT DGN LENGKAP DAN BENAR SPT MASA PPh PSL 23
LAMPIRAN • • •
LEMBAR KE-3 SSP BUKTI SETORAN PPh PSL 23 DAFTAR BUKTI PEMOTONGAN PPh PSL 23 (D.1.1.32.05) LEMBAR KE-2 BUKTI PEMOTONGAN (F.1.1.33.01)
KE KANTOR PELAYANAN PAJAK
PD HARI KERJA SEBELUMNYA
SELAMBAT-LAMBATNYA TANGGAL 20 BULAN BERIKUTNYA
JIKA JATUH TEMPO PD HARI LIBUR
Skema 4. Tata cara pelaporan pajak penghasilan atas pembagian dividen 94
94
Ibid., hal. 123
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Penjelasan tata cara melaporkan pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan atas dividen adalah sebagai berikut : 1)
Pemotong pajak wajib mengisi dan melaporkan dengan benar hasil pemotongan dan penyetoran pajak penghasilan atas pembagian dividen dalam satu masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23 rangkap 2 (dua),
2)
SPT Masa PPh Pasal 23 harus diisi dengan benar, ditandatangani dan dicap oleh pengurus untuk disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, dengan melampirkan : a.
Lembar ke-3 Surat Setoran Pajak yang dicap sah bahwa telah disetor,
b.
Lembar ke-2 bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dicap oleh Pemotong,
c. 3)
Daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23,
SPT Masa PPh Pasal 23 beserta lampiran dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Pemotong Pajak terdaftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
4)
SPT Masa PPh Pasal 23 yang lengkap dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan saat terutang pajak. Dalam hal tanggal 20 tersebut jatuh pada hari libur nasional, maka pelaporannya dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
B. Perlawanan Terhadap Pajak Lepas dari kesadaran kewargaan dan solidaritas nasional, lepas pula dari pengertiannya tentang kewajiban terhadap Negara, pada sebagian besar di antara rakyat tidak akan pernah meresap kewajibannya membayar pajak sedemikian rupa sehingga memenuhinya tanpa menggerutu. Bahkan, bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya mereka cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Hal ini telah ternyata di segenap negara dan sepanjang masa. Dalam usaha perlawanan inilah, terletak faktor utama dari perlawanan terhadap pajak, yang dapat dibedakan ke dalam yang dinamakan perlawanan aktif dan perlawanan pasif 1. Perlawanan aktif Hal ini meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara langsung ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak di antaranya dapat dibedakan cara–caranya sebagai berikut: a.
Penghindaran diri dari pajak, Pembayaran pajak dengan mudah dapat dihindari dengan tidak melakukan perbuatan yang memberikan alasan untuk dikenakan pajak, yaitu dengan perbuatan meniadakan atau tidak melakukan hal–hal yang dapat dikenakan pajak. Menghindari pajak yang merupakan gejala biasa pada pajak–pajak atas penggunaan, biasanya dilakukan dengan penahanan diri atau dengan penggunaan surogat ; orang yang mengurangi atau menekan konsumsinya
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
dalam barang–barang yang dapat dikenakan pajak, ataupun orang menggantikan dengan surogat yang tidak atau kurang dikenakan pajak b.
Pengelakan / Penyelundupan Pajak Pengelakan pajak merupakan pelanggaran undang–undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi dasarnya. Pada hakikatnya, yang menjadi soal di sini ialah suatu bentuk simulasi (perbuatan berpura–pura): keadaan yang sebenarnya disembunyikan dengan, misalnya mengajukan suatu pernyataan yang tidak benar, atau memberikan data yang tidak benar. Pengelakan pajak ini terutama terdapat pada pajak–pajak yang untuk penentuan besarnya, para Wajib pajak harus bekerja sendiri dengan menggunakan pemberitahuan dan dokumen–dokumen lain. Para Wajib pajak dapat mengabaikan sama sekali formalitas–formalitas yang harus dilakukannya, atau dengan memalsukan dokumen, atau mengisikan kurang lengkap: dalam kedua hal tersebut pajak dihindari secara tidak legal, juga pembukuan memberi banyak kemungkinan untuk mengelakkan pajak, misalnya dengan membukukan kurang daripada inventaris sebenarnya, mengajukan rekening–rekening yang aktif, tidak membukukan uang–uang tunai, memasukkan biaya–biaya dan penyusutan yang berlebihan, dan sebagainya.
c.
Melalaikan Pajak Yang dimaksud dengan melalaikan pajak yaitu menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas–formalitas yang harus
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
dipenuhi olehnya. Yang paling banyak digunakan ialah usaha menggagalkan pemungutan pajak dengan menghalang–halangi penyitaan dengan cara melenyapkan barang–barang yang sekiranya akan dapat disita oleh fiscus (dengan jalan mengganti perusahaan pribadi menjadi suatu perseroan, atau menjual barang–barang yang dapat disita ataupun memindah–tangankan atas nama istri atau orang lain bukan karena keharusan). Sering juga dengan cara mengajukan sanggahan kepada pengadilan negeri terhadap perintah / cara penyitaan atau dengan melancarkan surat–surat berisi protes atau keberatan– keberatan. 2. Perlawanan pasif Hal ini terdiri dari hambatan–hambatan yang mempersukar pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan demikian perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri. 95
C. Tantangan Penerapan Peraturan Pajak Penghasilan Umumnya, Direktorat Jenderal Pajak menghadapi kesulitan karena transaksi usaha di negara berkembang seperti Indonesia masih mendasarkan diri pada pembayaran tunai, atau dikenal sebagai cash economy. Keadaan ini membuat potensi pajak yang sebenarnya sulit diketahui dan kurang menguntungkan. Kesulitan ini ditambah lagi dengan adanya kelemahan umum sistem penanggulangan kejahatan 95
Brotodihardjo R. Sntoso, Op.cit,. hal. 13-18
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
pencurian sumber alam. Akibat kelemahan tersebut, transaksi illegal seperti illegal logging, illegal fishing, serta penyeludupan berbagai jenis barang, termasuk bahan bakar minyak (BBM) berkembang sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Berbagai praktik korupsi juga menambah keragaman hambatan, sehingga menghalangi kehandalan prediksi potensi pajak yang sebenarnya. Menghadapi berbagai hambatan ini, Direktorat Jenderal Pajak dituntut mampu menyajikan strategi yang komprehensip. Dengan demikian, kebijakan pemungutan pajak yang dipilih mampu meningkatkan kepedulian masyarakat bahwa pembiayaan negara adalah masalah yang harus dicari pemecahannya bersama–sama. Dilihat dari tingkat kepatuhannya, pelaksanaan kewajiban perpajakan di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu sekitar 40%. Sebagai contoh, masih banyak anggota masyarakat yang seharusnya sudah memiliki NPWP tetapi belum ber–NPWP dan penerimaan pajak tidak langsung masih tinggi. Rendahnya kepatuhan perpajakan ini mengakibatkan ketidak–adilan dalam masyarakat. Artinya pembayar pajak dirugikan oleh adanya free rider (sebagian masyarakat yang telah wajib namun tidak membayar pajak). Semakin tinggi kemampuan ekonomi seorang free rider, kerugian pembayar pajak lainnya akan semakin besar. Soalnya, semakin mampu seseorang, semakin banyak fasilitas publik yang mereka dapatkan, seperti pengamanan atas penghasilan mereka atau kemudahan mereka memakai jalan. Oleh karena itu, bila mereka tidak membayar pajak sesuai beban yang seharusnya, masyarakat lain yang rela membayar pajaklah yang akan menangung beban tersebut.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Lonjakan target yang signifikan; tuntutan sektor swasta yang menginginkan berbagai kemudahan tanpa didukung proyeksi pertumbuhan; dan citra negatif yang masih melekat pada institusi perpajakan, mempersulit upaya pengumpulan pajak. Kebijakan pemungutan pajak yang salah dapat berakibat fatal. Beban pajak yang berlebihan pada sektor penunjang pertumbuhan justru dapat mengakibatkan sektor tersebut mati, atau setidaknya keunggulan kompetitifnya berkurang. Oleh karena itu, ketiga unsur di atas perlu dijaga agar tidak berdampak merusak penunjang pertumbuhan. Paling tidak, peningkatan target penerimaan pajak dapat berjalan seiring dengan tingkat kemampuan Direktorat Jenderal Pajak di bidang riset pengukuran potensi dan beban pajak, serta perluasan modernisasi yang didukung komunikasi masa yang efektif. Dalam usaha memperbaiki citra birokrasi pemerintahaan, umumnya terjadi kelemahan pada sisi komunikasi. Ketika birokrasi sedang menyempurnakan sistem, keberhasilan yang dicapai cenderung bertahap sifatnya, namun keberhasilan ini akan segera tertutup oleh distorsi kecil dalam kinerja yang lazimnya masih terjadi. Maka diperlukan strategi komunikasi yang bisa meredam efek negatif yang muncul, seraya menggambarkan bahwa tanda–tanda perbaikan tersebut tidak hilang begitu saja. Dengan demikian masyarakat sadar bahwa proses perbaikan sedang berlangsung. 96
96
Koperasi Pegawai Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Op.cit; hal. 82-84
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Beberapa tantangan yang masih menghadang adalah : 97 1. masih rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat (juga Wajib pajak) agar bersedia melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya, terlebih dengan self assessment system yang diterapkan. Kondisi ini akan berpengaruh kepada perolehan penerimaan pajak yang optimal. 2. penduduk dan luasnya wilayah yang menjadi potensi subjek pajak dan objek pajak terlalu besar, dibanding jumlah aparat maupun sarana dan prasarana pendukung kerja. Kenyataan ini menyulitkan Direktorat Jenderal Pajak untuk menggarap potensi pajak yang masih ada secara optimal. 3. masih banyak transaksi ekonomi yang dilakukan secara ilegal (underground economy) seperti illegal logging, illegal fishing, dan sebagainya. Jelas bahwa pajak sulit menembus transaksi seperti ini, sehingga masih banyak potensi pajak diberbagai sektor ekonomi yang belum terjamah. 4. masih terdapat berbagai aturan atau ketentuan di berbagai sektor bisnis (misalnya, perbankan, pasar modal, pencucian uang, lalu lintas devisa, dan lainnya) yang belum mendukun dengan undang–undang perpajakan. Akibatnya, sulit memungut pajak dari bisnis tersebut dan usaha memperoleh pajak dari sektor–sektor tersebut menjadi kontradiktif. 5. koordinasi, integrasi, sikronisasi, dan simplikasi (KISS) antar instansi pemerintah masih belum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga perolehan data dan
97
Ibid., hal. 80
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
informasi dari instansi lain ke Direktorat Jenderal Pajak terhambat, walaupun sudah ada dasar hukumnya, yaitu Keppres No. 74 Tahun 2004. Namun ada masalah mendasar dalam komunikasi yang dilaksanakan pemerintah, yakni umumnya komunikasi massa pemerintah masih kental dengan kesan bahwa birokrasi adalah penguasa yang menentukan segala–galanya. Posisi masyarakat cenderung ditempatkan di bawah, diajari, dan diatur. Melalui komunikasi seperti ini yang dicapai adalah kepatuhan semu, tanpa kesadaran. bagi instansi pajak yang beroperasi di alam demokratis, tentu sikap otoritarian tidak cocok. Sebab, instansi pajak yang cenderung otoriter cenderung menghambat inovasi dan produktivitas sektor usaha. Pasar gelap akan tumbuh subur dan masyarakat akan berusaha menghindar dari sistem perpajakan. Pada gilirannya, sistem perpajakan semakin tidak adil dan mendorong wajib pajak yang patuh menjadi tidak patuh. Soalnya, biaya kepatuhan yang harus mereka tanggung sangat memberatkan. Di samping itu, pemungutan pajak sesungguhnya bertumpu pada landasan yang kontradiktif. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran, di satu sisi, institusi perpajakan harus melakukan berbagai upaya pengumpulan pajak, yang salah satu inti kegiatannya adalah pengawasan. Di sisi lain, berbagai kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka pengumpulan pajak harus tetap ramah pada dunia usaha. Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak memiliki sumber daya manusia yang terbatas, sehingga diperlukan satu strategi yang mampu melibatkan masyarakat. Lebih dari itu, keterlibatan aktif masyarakat dalam memerangi berbagai
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
penyimpangan pajak harus digalakkan. Masyarakat harus disadarkan bahwa peran mereka bukan sekedar membayar pajak, tetapi juga mengawasi, karena hal ini akan mengurangi beban pajak mereka dan mengurangi persaingan tidak sehat yang menguntungkan kompetitor bisnis mereka. 98
D. Penegakan Hukum Perpajakan 1. Pemeriksaan Pajak Agar
partisipasi
masyarakat
melaksanakan
kewajiban
perpajakan
meningkatkan
kepatuhan
pajak
membayar
pajak
memadai,
kepatuhan
menjadi
syarat
mutlak.
Pentingnya
masyarakat
inilah
yang
menjadi
alasan
penyederhanaan jenis, tarif, dan tata cara pemungutan pajak. 99 Berdasarkan Pasal 326 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 ditetapkan bahwa yang menjadi tugas Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu unit di lingkungan Departemen Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, disamping sebagai pelaksana tugas rutin pemerintahan dalam memberikan pelayanan masyarakat, juga untuk mengamankan rencana penerimaan negara dari sektor pajak yang ditetapkan setiap tahunnya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
98 99
Ibid., hal. 82-84 Ibid., hal. 8
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Menyadari pentingnya peningkatan kinerja pengawasan dan penegakan hukum ini, Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan beberapa upaya perbaikan salah satunya adalah melalui pembentukan Direktorat Intelejen dan Penyidikan sebagai direktorat khusus yang ditugaskan untuk menangani berbagai bentuk tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak. Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan dan kepatuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk : a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib pajak; dan/atau b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib pajak (Pemerikasaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun–tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan. Pemeriksaan dapat dilakukan juga terhadap Wajib pajak, termasuk instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak dan pemotong pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban Wajib pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib pajak. Hal ini sesuai dengan
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Pasal 29 ayat (1) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 100 Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua surat pemberitahuan (SPT) yang disampaikan Wajib pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidak–benaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib pajak. Pasal 13 ayat (1) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus–kasus tertentu. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan / atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan pajak penghasilan. Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib pajak. Namun, bagi Wajib pajak yang melanggar pertama kali 100
Bunyi Pasal 29 ayat (1) Undang–Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah : Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peratuaran perundang–undangan perpajakan.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Oleh karena itu, Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib pajak. Dalam hal ini, Wajib pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). 101 2. Penerapan Sanksi Peraturan Perpajakan Pengaturan sanksi hukuman dalam pelaksanaan peraturan perpajakan diatur dalam Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu ; 102 a. Sanksi administrasi adalah pengenaan utang pajak yang ditetapkan untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa : 1) denda, diatur dalam Pasal 7, Pasal 38 dan Pasal 39 101
Penjelasan Pasal 13A Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 102 Sihaloho Cyrus, Modul Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 58
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
2) bunga, diatur dalam Pasal 9, Pasal 13 ayat (5), Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 19 3) kenaikan, diatur dalam Pasal 13 ayat (3) b. Sanksi pidana adalah pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib pajak, yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana kurungan, baik karena kealpaan maupun kesengajaan, yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39.
3. Keberatan dan Banding Apabila Wajib pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jederal Pajak. Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang–undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau potongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan “suatu” pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak. 103 Hal ini sesuai dengan Pasal 25 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa :
103
Baca Penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang—Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
(1)
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu : a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); c. Surat Ketetapan Pajak Nihil SKPN); d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar SKPLB); atau e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang–undangan perpajakan.
(2)
Keberatan
diajukan
secara
tertulis
dalam
bahasa
Indonesia
dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. Pengajuan banding atas suatu surat ketetapan pajak diatur dalam pasal 27 ayat (1) Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Pembagian dividen harus dikenakan pajak, sebab : a. berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan, yaitu : 1) Pasal 23 A Undang–Undang Dasar 1945 dan Amandemennya ditegaskan : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, 2) Pasal 4 ayat (1) Undang–Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menentukan batasan objek pajak penghasilan, 3) Pasal 17 ayat (2c) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menetapkan tarif pajak penghasilan atas dividen, 4) Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1 Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menetapkan Subjek pajak dalam negeri yang melaksanakan dan pengenaan tarif serta melaporkan pajak penghasilan atas dividen, 5) Pasal 26 ayat (1) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menetapkan Subjek pajak Luar Negeri yang melaksanakan dan pengenaan tarif serta melaporkan pajak penghasilan atas dividen,
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
88
6) Pasal 70 Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 7) Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek b. Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan atau Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham yang memutuskan untuk melakukan pembagian laba / keuntungan. 2. Metode pengenaan pajak penghasilan atas dividen diatur dalam Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan terbagi atas dua jenis, yaitu : a. yang merupakan objek pajak, adalah penghasilan yang diterima yang dimaksud dalam: 1) pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1 yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g, dengan pengenaan tarif sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan dividen, 2) pasal 26, dengan pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan dividen, dan 3) pasal 17 ayat (2c) dengan pengenaan tarif sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
b. yang bukan objek pajak, adalah penghasilan yang diterima yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf f ; huruf i ; dan huruf k. 3. Kepentingan kepastian hukum pajak pada dasarnya lebih mengutamakan pada kepentingan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh masyarakat dan pengamanan penerimaan negara, bukannya pada maksud untuk memenjara, menyandera atau menghukum pembayar pajak. Kepentingan kepastian dan keadilan haruslah lebih ditujukan pada kemanfaatan dan kepentingan penerimaan pajak itu sendiri, yang pada umumnya digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar–besarnya kemakmuran masyarakat. Landasan filosofi hukum pajak yang demikian akan memberikan manfaat bagi kepentingan peneriman pajak dan kepastian hukum pajak. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak terdapat pihak–pihak yang melakukan perlawanan untuk tidak melaksanakan kewajiban perpajakan, baik secara tidak sengaja maupun secara kesengajaan. Demi menciptakan kepastian dan rasa keadilan hukum serta mengamankan penerimaan negara maka bagi para pelanggar ketentuan perpajakan
diancam pidana kurungan sesuai
dengan Pasal 38 dan Pasal 39 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
B. Saran 1. Pembagian dividen umumnya didasarkan atas akumulasi laba, yaitu laba ditahan, atas beberapa pos modal lainnya, yang merupakan tambahan penghasilan bagi si
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
penerima, namun hendaknya prosedur pembagian dividen ini telah melaksanakan prinsip–prinsip pengelolaan perusahaan (good corporate governance) yang bermanfaat, antara lain : a. pemastian adanya perlindungan atas hak–hak pemilik saham baik pemilik saham minoritas maupun asing, dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya / bahan; b. pengklarifikasian peran dan tanggung jawab pengelola serta usaha–usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham; c. pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat yaitu di bidang trasparansi, kejujuran, dan mampu bertanggung jawab. 2. Reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah akan mampu memperbaiki citra Direktorat Jenderal Pajak di mata masyarakat. Diharapkan masyarakat akan sangat bersahabat dengan pajak dan akhirnya mau membayar pajak secara sukarela sesuai ketentuan dan sistem yang berlaku, seperti modernisasi administrasi perpajakan dan pembentukan Kantor Pelayanan Pajak Modern (Large Tax Office (LTO), Madya Tax Office (MTO), dan Small Tax Office (STO)), memberikan harapan bahwa Direktorat Jenderal Pajak akan mampu menyediakan pelayanan yang prima bagi masyarakat. Layanan itupun sejalan
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
dengan kerangka good governance. Dengan demikian, seluruh potensi pajak dapat tergali, baik secara prosedural maupun secara sistem informasi. 3. Menciptakan suasana dan kondisi bahwa kesadaran hukum serta peduli pajak merupakan peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diharapkan membuat makin membaiknya perekonomian nasional sebagai salah satu faktor penentu utama dalam penerimaan pajak. Keterlibatan aktif masyarakat dalam memerangi berbagai penyimpangan pajak harus digalakkan. Bahwa peran masyarakat bukan sekedar membayar pajak, tetapi juga mengawasi, karena hal ini akan mengurangi beban pajak mereka dan mengurangi persaingan tidak sehat yang menguntungkan kompetitor bisnis mereka.
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisisu, 1998 A. Syarifuddin Alsah, Pemotongan-Pemungutan Pajak Penghasilan, Jakarta: Kharisma Bintang Kreativitas Prima, 2002 Alvi Syahrin, Pengaturan dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Bandung: Book Terrace & Library, 2007 Burhan Bungin, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003 Chatamarrasjid, Penyingkapan Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000 Gunawan Widjaja, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, Jakarta; Forum Sahabat, 2008 H.R.Otje Salman S., Teori Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999 Jaka Wasana dan Kirbrandoko, Dasar-Dasar Manjemen Keuangan I, Bandung : Alfabeta, 1993 John M. Echols and Hasan Shadily, An English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Gramedia, 2003 Kieso, Donald E, and Jerry J. Weygandt, Intermediate Accounting, 7th edition, John Willey and Sons, Inc,
93 Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Koperasi Pegawai KP DJP, Tinjauan Perpajakan Indonesia, Jakarta: Gemilang Gagasanido Handal, 2006 L. Thian Hin, Panduan Berinvestasi Saham, Jakarta; Gramedia, 2001 Liberty Pandiangan, Pemahaman Praktis Undang-Undang Perpajakan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2002 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama, 2008 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia, 1982 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006 Smith, Jay M. dan Skousen, K Fred, Akuntansi Intermediate, Jakarta : Erlangga, 1993 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983 ______________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1984 Suad
Husnan dan Enny Pudjiastuti, Yogyakarta:UPP YKPN, 1998
Dasar-dasar
Manajemen
Keuangan,
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982
B.
Karya Ilmiah
Bismar Nasution, Kumpulan Makalah Privatisasi BUMN dan Good Corporate Governance, Medan; Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum, 2007 ______________,Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Medan: SPs USU, 2005
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009
Mochamad Tjiptardjo, Makalah Pajak yang Disampaikan dalam Seminar Sehari Undang–Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Balai Raya – Tiara Convention Centre, Medan; 2007
C.
Perundang-undangan
Keputusan Menteri Keuangan No. 541/KMK.04/2000 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek. Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang– Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang– Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang–Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
D.
Majalah dan Informasi Lain
Berita internet, http://elon.bahan ajar.umb.co.id Berita internet, http://saptohermawan.staffhukum.uns.ac.id Kamus Besar Bahasa Indonesia Majalah Berita Pajak, Vol. XLI No. 1622, 1 November 2008 ______________, Vol. XLI No. 1625, 15 Desember 2008 ______________, Vol. XLI No. 1627, 15 Januari 2009 ______________,Vol. XLI No. 1633, 15 April 2009
Madong Rianto Sitanggang : Analisa Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Pembagian Dividen, 2009