PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUM ATERA UTARA
TESIS
Oleh FLORA NAINGGOLAN 077005008/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh FLORA NAINGGOLAN 077005008/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Judul Tesis
: PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DIKAITKAN DENGAN PERAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Flora Nainggolan Nomor Pokok : 077005008 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)
Tanggal lulus : 9 Juli 2009 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 9 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MH 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MH
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRAK Kanwil Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal, dimana salah satu kewenangannya adalah turut serta dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Prinsip otonomi daerah dengan sistem desentralisasi yakni otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, termasuk memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah berupa peraturan-peraturan. Hal ini mengakibatkan pelibatan instansi vertikal dalam membuat kebijakan daerah akan semakin sulit. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pembentukan Peraturan Daerah dikaitkan dengan peran Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Adapun sifat penelitian adalah yuridis normatif. Bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap. Data yang terkumpul dipilah dan dianalisis secara yuridis dan terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara logis sistematis dengan metode deduktif dan induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dapat dicermati dalam UUD 1945,UU Pemerintahan Daerah dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara sebagai instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Propinsi memiliki tanggung jawab besar sebagai perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah khususnya Peraturan Daerah. Hambatan yang dihadapi oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara tentang pelibatannya dalam pembentukan Peraturan Daerah adalah lemahnya landasan yuridis tentang pelibatannya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah serta kurangnya koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Sehingga dilakukan upaya untuk mendorong dibentuknya suatu payung hukum yang kuat sebagai dasar pelibatannya serta ditingkatkannya koordinasi dengan instansi terkait lainnya. Untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara sebagai vertikal Departemen Hukum dan HAM dalam proses pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah perlu dibuat suatu Undangundang sebagai payung hukum atau landasan yang kuat sebagai dasar kewenangan pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses pembentukan peraturan daerah. Kata Kunci : Pembentukan Peraturan Daerah, Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRACT The Regional Office of Law and Human Rights Departement as a vertical instance in which one of it’s authorites is to participate in drafting the regional regulations. The principle of regional autonomy by decentralization system, i.e., the regional autonomy in widest sense, has been delegated some authority to arrange for and regulate all government activities, including to have the authority in making the regional policies such as regulations. This makes the involvement of vertical instance in formulation of regional policies more difficult. The research had been conducted to know the formulation of regional regulation related to the regional office role of law and human rights departement north sumatera. This was a normative yuridical research. The library materials and document study had been made as a primary material. While field data through interview should be made as supporting data or complementary data. The data collected was singled out and analyzed yuridically and the qualitative data was interpreted by logic sytematically with deductive and inductive method. The result of research indicated that the authority of regional government in formulation of regional regulation was the manifestation of autonomic right implementation and assitance task as contained in constitution 1945. The statute of regional government and regulation formulation of statutes. The regional office of law and human rights departement in north Sumatera as a vertical instance in scope of law and human rights departement north Sumatera took a great responsibility as lengthhand of law and human rights departement in formulation process of regional regulations. The obstacles facing to regional office of law and human rights departement in involvement in formulation of regional regulation included the weak yuridical foundation regarding the involvement in formulation process of the statues in region and the lack of coodination with related instancies. So some attempt had been made to support the formulation of a strong law foundation for it’s involvement in coordination with related instancies. To support the implementation of core task and function of regional office of law and human rights departement in north Sumatera as a vertical law and human right departement in process of law and human right counselling in regions, there should be a firm law foundation as a basis for authority of regional office involvement of law and human rights departemen north Sumatera in process of regional regulation formulation.
Keywords :Formulation of Regional Regulation, Law and Human Rights Departement of North Sumatera.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur dan segala hormat bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas kuasa pengasihan-Nya memberikan rahmat dan hikmat bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh daripada sempurna oleh karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada diri Penulis. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengharapkan berbagai masukan saran ataupun kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan dikemudian hari. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya, Penulis sampaikan kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), Direktur Sekolah Pascasarjana Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk menyelesaikan pendidikan Sekolah Pascasarjana. 2. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH selaku Ketua, beserta Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum dan Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum selaku Anggota, yang membimbing Penulis dengan sabar dan memberikan banyak masukan dan koreksi serta meminjamkan berbagai literatur dan buku-buku disepanjang penulisan tesis ini. Juga kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MH dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MH sebagai Dosen Penguji.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
3. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kepala Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya Bapak Untung Sugiono, BcIP, SH, MH yang memberikan kepercayaan, kesempatan dan rekomendasi bagi Penulis untuk mendapatkan beasiswa penuh dalam mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana di USU. Juga kepada para Pejabat struktural di Kanwil Dep. Hukum dan HAM Sumatera Utara, khususnya Bapak M. Noor Aziz, SH, MH, MM, Bapak Sahat Sinaga, SH, MH, MBL, Bapak Drs Rosman Siregar SH, MH, MM, Bapak Adi Putra Harahap, SE, Saudara Kurniaman T, SH, MH. Pada kesempatan ini dengan hati yang tulus, hormat dan penuh haru Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan dorongan orang-orang tercinta di keluarga Penulis istimewa Papa Pendeta H. Nainggolan, Mama Nurhaisyah Harianja dan Sweet little Angel S.Nugrah Pratama yang selalu berkata ...mama belajarlah supaya ’lauser’ mama senang kalo mama pinter kayak abang...di lain waktu juga mengatakan...bilang sama ’lauser’ mamalah, supaya nggak banyak-banyak kerjaan mama...kan bisa bikin capek itu... Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia pendidikan terutama bagi Penulis sendiri, kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih memberkati.
Medan, Penulis,
Mei 2009
Flora Nainggolan
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama
: FLORA NAINGGOLAN
Tempat/Tgl Lahir
: Medan, 28 Juli 1976
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen Protestan
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan
: Sekolah Dasar Negeri 173265 Onanhasang, lulus tahun 1989. Sekolah Menengah Pertama Negeri Pahae Julu, lulus tahun 1992. Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Plus Soposurung, lulus tahun 1995. Fakultas Hukum Universitas Simalungun, lulus tahun 1999. Program
Studi
Magister
Ilmu
Hukum
Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, lulus tahun 2009.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman
ABSTRAK ................................................................................................
i
ABSTRACT...............................................................................................
ii
KATA PENGANTAR...............................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
v
DAFTAR ISI..............................................................................................
vi
DAFTAR SINGKATAN...........................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN…………………...……………………..
1
A.
Latar Belakang ………………..........….……………..
1
B.
Permasalahan …………………………............………
23
C.
Tujuan Penelitian ……………………….…………….
24
D.
Manfaat Penelitian .......................................................
24
E.
Keaslian Penelitian ......................................................
25
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi .....................................
25
1. Kerangka Teori .......................................................
25
2. Konsepsi .................................................................
34
Metode Penelitian ................................................. .....
35
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH…...……....
40
G. BAB II
A.
B.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Konsepsi Otonomi Daerah ........................................................
40
Proses Pembentukan Peraturan Daerah......................
50
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
1. Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah...……
50
2. Persiapan dan Perumusan Rancangan Peraturan Daerah …………...................…………
57
a. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Pemerintah 57
BAB III
b. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah..................................
69
c. Rancangan Peraturan Daerah dari Partisipasi masyarakat............................................................
79
KEWENANGAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH…………….. 85 A.
B.
Kewenangan Departemen Hukum dan HAM di Bidang Peraturan Perundang-undangan......................................
85
Kewenangan Kanwil Departemen Hukum dan HAM Dalam Pembentukan Peraturan Daerah..........................
94
1. Tahap Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah…
94
2. Tahap Persiapan dan Teknik Penyusunan serta Perumusan Rancangan Peraturan Daerah ….......…
98
a. Pelibatan dalam Penyusunan Naskah Akademik..
98
b. Pelibatan dalam Harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah/Peraturan Daerah....................
104
c. Inventarisasi, Analisa dan Evaluasi Peraturan Daerah………….....………………….
112
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DAN UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH….
119
A.
Hambatan................................................................……
119
1. Di Bidang Substansi Hukum.......................................
119
2. Di Bidang Struktur Hukum.........................................
122
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana.................................
126
Upaya yang Dilakukan ………………........………
127
1. Di Bidang Substansi Hukum.................................
127
2. Di Bidang Struktur Hukum...................................
128
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana.................................
131
B.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN………….......…………..
132
A.
Kesimpulan.........................................................……
132
B.
Saran..........................................................................
135
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
138
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara hukum yang demokratis peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat strategis. Oleh karena itu pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 1 di Bidang Hukum khususnya, antara lain ditujukan untuk menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundangundangan
dan
implementasi
undang-undang
yang
terhambat
peraturan
pelaksanaannya. 2 Maka politik hukum nasional diarahkan pada terciptanya hukum 1
Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. 2 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 3 Hal ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat. Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. 4 Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat subordinat terhadap pemerintah pusat. 5 Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter
3
Ibid, bagian “sasaran”. Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2001), hal.5 5 Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,(Bandung: Alumni, 1978), hal.150-151. Hubungan subordinasi ini dapat dijalankan menurut beberapa asas, yaitu asas desentralisasi, asas konsentrasi dan asas dekonsentrasi. Hubungan ini jelas berbeda dengan konsep yang ada dalam negara serikat (federasi). Hubungan antara negara federal dengan pemerintah negara bagian bukan merupakan hubungan subordinasi karena kewenangan yang ada dalam menjalankan urusan-urusan yang ada, baik 4
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
hubungan pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah pusat. 6 Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu daerah tergantung kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan kepada daerah. 7 Dalam hubungan inilah pemerintah melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah desentralisasi. 8 Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep pemerintahan negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua sistem ini mempengaruhi secara langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam suatu negara. Bentuk dan susunan suatu negara terkait dengan pembagian kekuasaan. 9 Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam negara kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian hukum tata negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut urusan pemerintahan pusat (federal) maupun urusan pemerintahan lokal (negara bagian) telah ditentukan dalam konstitusi dengan jelas dan terperinci. 6 Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali, 1981), hal. 52. Menurut Strong, negara kesatuan adalah negara yang berada di bawah satu pemerintahan pusat, yang mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut, daerah (otonom) tidak mempunyai kekuasaan asli, tetapi diperoleh dari pemerintahan pusat. 7 Bambang Yudoyono, Op. cit. 8 Ibid hal. 20. 9 Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bakti, 1980), hal. 160. Ditinjau dari segi pembagian kekuasaan, maka kekuasaan dibagi menurut garis horizontal dan vertikal. Secara horizontal, didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya, yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara, sedang secara vertikal melahirkan dua garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
staatskunding decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah masingmasing. 10 Secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari perspektif administratif dan perspektif politik. 11 Berdasarkan perspektif administratif, mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif sedang perspektif desentralisasi politik merupakan devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. 12 Hal senada juga disampaikan oleh Maddick, Brian Smith dan Philip Mawhood yang memaknai desentralisasi sebagai desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi). 13 Desentralisasi dimaknai dalam pembentukan pemerintahan daerah otonom dan penyerahan kewenangan. Pembentukan daerah otonom merupakan ”perintah” (amanat) konstitusi, sedangkan penyerahan kewenangan merupakan ”delegasi” dari Undang-undang organik pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah sebagai aspek
pengakuan
kewenangan
pemerintahan
daerah. 14
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
10
Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah, (Bogor: Ghalia, 2007), hal. 5. Lili Romli,Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hal.4-5. 12 Ibid. Hal. 6. 13 Syamsuddin Haris,Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,(Jakarta : LIPI Press, 2005), hal. 41. 14 Benyamin Hoessein, “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara”, Disertasi,(Jakarta: PPS-Fisipol-UI, 1993), hal 122. 11
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran, serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15 Dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi. 16 Undang-undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 mendefinisikan Desentralisasi sebagai
penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17 Sedang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 18 Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national
15
Konsideran menimbang Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. E. Koswara, Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,(Jakarta :Yayasan PARIBA, 2001), hal.13. 17 UU No. 5/1974 menegaskan dalam Pasal 1 huruf (b) bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tngganya. UU No. 22/1999 menegaskan dalam Pasal 1 huruf € bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18 Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal. 89. Dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran atau pemencaran kewenangan pusat kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijakan pusat. Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakan sendiri pula. 16
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
goverment sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai bentuk pendekatan. Pendekatan sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit pemerintahan yang sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalam menyediakan pelayanan publik di daerah. Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik.19 Tujuan utama desentralisasi adalah mengatasi
perencanaan
yang
sentralistik
dengan
mendelegasikan
sejumlah
kewenangan pusat dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial. 20 Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 21 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan) daripada pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan 19
Oentarto SM, I Made Suwandi, Dodi Riyadmadji, Format Otonomi Daerah Masa Depan, (Jakarta: Samitra Media Utama, 2004), hal. 8-9. 20 Syaukani, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid,Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan,(Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2004), hal.34-35. 21 Perubahan pertama Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah sementara Perubahan kedua mengatur tentang pengisian kekosongan jabatan Kepala Daerah atau Wakil kepala Daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan. Dengan demikian pasal-pasal yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
mengurus kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan fasilitas kepada rakyat melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat. 22 Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. 23 Otonomi bukanlah sekedar penyerahan kekuasaan kepada daerah, melainkan daerah memiliki kewenangan, keleluasaan mengambil keputusan, untuk mengatur dirinya sendiri sangat penting untuk kemajuan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah harus membentuk Peraturan daerah, guna memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat daerahnya. 24 Otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai suatu tuntutan yang berupaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan
22
Ibid, hal.76 Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 24 Sebagai contoh berdasarkan asas dekonsentrasi, pemerintah provinsi dimungkinkan ikut memikirkan soal kekurangan yang ada di daerah termasuk soal kekurangan aparat keamanan. Ryaas Rasyid, ”Pemerintah Serius laksanakan Desentralisasi”, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, No.85,Jakarta: 2000, hal.7. 23
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
kebutuhan masyarakat, dengan demikian otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrumen untuk mencapai tujuan. 25 Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 26 Penjelasan Umum Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan supaya otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban 25
J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global,(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 6-7. 26 Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. 27 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan penerapan otonomi daerah dilaksanakan didasarkan pada prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi daerah menurut Laica tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab, tetapi harus diwujudkan dalam format otonomi daerah yang seluas-luasnya. 28 Penjelasan umum Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa otonomi luas adalah daerah mempunyai tugas, wewenang, hak dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat dengan leluasa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah. Sementara Soehino berpandangan bahwa cakupan otonomi seluas-luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. 29 Otonomi nyata berarti menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. 30
Otonomi yang
bertanggung jawab berarti penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan
27
Penjelasan Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana dikutip oleh Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum,(Bogor: Ghalia, 2007), hal.109. 29 Soehino,Perkembangan Pemerintahan di Daerah,(Yogyakarta: Liberty, 1980), hal.50. 30 Ibid 28
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
dengan tujuan diberikannya otonomi, yaitu pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat. 31 Kewenangan membuat Peraturan daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi secara luas yang dimiliki oleh suatu daerah,32 juga merupakan suatu kewenangan atribusi (attributie van wetgevings-bevoegdheid), 33 yaitu kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet atau wet kepada suatu lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian suatu daerah dan memberdayakan masyarakat. 34 Peraturan perundang-undangan di daerah dibuat berdasarkan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Peraturan daerah
selanjutnya disebut Perda sebagai salah satu sumber hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, 35 menurut Pasal 136 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. 31
Rozali Abdullah,Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Desa Secara Langsung,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal.4-6 32 Ibid, hal 131 33 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal 102. 34 Ibid, hal.133 35 Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundangundangan, perda telah secara resmi menjdi sumber hukum dan masuk kedalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa materi muatan Perda merupakan seluruh materi muatan dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. 36 Secara tegas, ketentuan ni dijelaskan dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bertentangan dengan kepentingan umum ialah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Sementara Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Selain itu Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. 37 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan “pembentukan peraturan perundangundangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan”. Hal tersebut tentunya
36
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan, Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 37 Pasal 31 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
berlaku pada seluruh peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. 38 Mengingat peranan Perda yang demikian penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas yang dituangkan dalam Program Legislasi Daerah selanjutnya disebut Prolegda. 39 Oleh karena itu, instrumen Prolegda sebagai bagian dari tahap perencanaan pembentukan Perda sangat diperlukan. Terdapat beberapa alasan pentingnya Prolegda dalam pembentukan Perda, yaitu : 40 1. untuk memberikan gambaran objektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan Perda; 2. untuk menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan Perda untuk jangka waktu panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama DPRD dan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Perda; 3. untuk menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk Peraturan Daerah; 4. untuk mempercepat proses pembentukan Perda dengan memfokuskan kegiatan penyusunan Rancangan Perda menurut skala prioritas yang ditetapkan; 5. menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan Perda. Mekanisme pembentukan Perda selain prolegda pada tahap perencanaan, masih melalui beberapa tahapan lanjutan seperti penyusunan Naskah Akademik, 38
Maria Farida Indrati Soeprapto,Op. cit. Lihat Pasal 15 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004, perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah. 40 A.A Oka Mahendra, “Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah”, Makalah, yang disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah, diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, Bali, 13-15 September 2005. 39
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah selanjutnya disebut Ranperda, upaya pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan, konsultasi publik, pembahasan Ranperda dan penetapan serta pengundangannya. Oleh karena itu unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah dituntut kemampuannya untuk dapat menetapkan kebijakan-kebijakan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsinya masing-masing dan selanjutnya menterjemahkannya ke dalam peraturan-peraturan daerah yang memenuhi unsur filosofis, yuridis dan sosiologis. 41 Untuk mendukung pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk Perda diperlukan tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas yang bertugas menyiapkan, mengolah dan merumuskan rancangan peraturan perundangundangan. 42 Tenaga ahli yang menguasai substansi Perda dan sumber daya manusia pada jajaran birokrasi di daerah turut menentukan keberhasilan pengelolaan Prolegda. Tenaga fungsional hendaknya memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta dasar filosofis bangsa dan negara, konstitusi, asas-asas peraturan perundang-undangan serta teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. 43 Berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan seksama dalam proses pembentukan Undang-undang agar semua ketentuan yang
41
Divisi Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa,Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi, (Jakarta : CV. Trio Rimba Persada, 2003), hal. 64. 42 Lihat Penjelasan umum UU No. 10 Tahun 2004. 43 A.A. Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan,(Jakarta:Departemen Hukum dan HAM RI,2006), hal 96. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
diatur benar, tepat dan dapat dilaksanakan. 44 Merancang peraturan perundangundangan juga menyangkut perancangan materi hukum yang merupakan sarana untuk menggerakkan perubahan sosial secara tertib. 45 Hal senada juga diungkapkan oleh Suroyo bahwa lazimnya Undang-undang bersifat material dan formil. 46 Tenaga fungsional perancang yang berkualitas perlu memiliki kemampuan untuk berpikir jernih dan logis, berkomunikasi secara efektif, mengidentifikasikan isu hukum yang berkembang dalam masyarakat secara nyata, mengambil keputusan, menyerap aspirasi masyarakat, melakukan riset hukum, mengorganisir
proses
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dan merumuskan rancangan secara jernih dan efektif. 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menyatakan untuk menunjang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diperlukan peran tenaga perancang sebagai tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah dan merumuskan suatu rancangan Peraturan Perundang-undangan. 48 Menteri Hukum dan HAM telah menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.73.K.P.04.12 Tahun 2006 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan yang dalam pelaksanaannya pesertanya diambil dari seluruh
44
Iman Sudarwo,Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang tentang Protokol,(Surabaya :Penerbit Indah, 1988), hal, 7. 45 A.A. Oka Mahendra,op.cit, hal, 324. 46 Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Gunung Agung, 1969), hal, 44. 47 A.A. Oka Mahendra, Loc.cit, hal 96 48 Lihat penjelasan umum UU No. 10 tahun 2004. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang tentunya untuk mendukung pembentukan Peraturan Perundang-undangan di daerah yang taat asas. Pembentuk Perda seyogyanya harus menguasai tata cara penyusunan Perda sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan Tata Tertib DPRD. 49 Dalam Pasal 146 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa untuk melaksanakan suatu Perda, Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan/atau Keputusan Kepala Daerah. Pembangunan hukum sebagai bagian integral dari sistem pembangunan nasional, secara strategis merupakan landasan dan menjadi perekat bidang pembangunan lainnya serta sebagai faktor integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan RI melalui pembangunan sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945. Pembangunan hukum yang dilaksanakan secara komprehensif mencakup substansi hukum, kelembagaan hukum dan budaya hukum serta dibarengi dengan penegakan hukum secara tegas, konsisten dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia,
akan
mampu
mengaktualisasikan
fungsi
hukum
sebagai
sarana
pembaharuan dan pembangunan, instrumen penyelesaian masalah secara adil serta sebagai pengatur perilaku masyarakat untuk menghormati hukum.
49
A.A. Oka Mahendra, op. cit, hal. 20.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Fungsi peraturan perundang-undangan di dalam negara yang berdasar atas hukum bukan untuk menciptakan kodifikasi melainkan menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat, maka diharapkan bahwa suatu Undangundang itu tidak lagi berada di belakang dan kadang-kadang ketinggalan, tetapi dapat berada di depan dan tetap berlaku sesuai dengan perkembangan masyarakat. 50 Teraktualisasinya fungsi hukum akan memastikan tegaknya wibawa hukum yang akan memperkokoh peranan hukum dalam pembangunan. Pembangunan nasional dapat berjalan tertib, terarah dan konsekuensi dari berbagai kebijakan dapat diprediksi berdasarkan kepada asas kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 51 Pasal 1 angka 2 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menegaskan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Rencana pembangunan jangka menengah kementerian/lembaga yang selanjutnya disebut Rencana strategis kementerian/lembaga ditetapkan dengan peraturan pimpinan kementerian/lembaga setelah disesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka
50 51
Maria Farida Indrati Soeprapto, op. cit, hal. 2. Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Menengah Nasional (RPJM) 52 yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program
dan
kegiatan
pembangunan
sesuai
dengan
tugas
dan
fungsi
kementerian/lembaga tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen dalam Pasal 1 Ayat (1) dan ayat (2) menyatakan Departemen dalam Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan unsur pelaksana Pemerintah, dipimpin oleh Menteri Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 12 Keputusan Presiden tersebut juga menyatakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 13 huruf c Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja departemen disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi 53 pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan, pendidikan dan pelatihan tertentu serta penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka mendukung kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dalam Pasal 14 52
Pasal 19 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. 53
F.A.M. Stroink, Deconcentratie Terjemahan Ateng Syafruddin, Pemahaman tentang Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 11. Logemann mengartikan fungsi sebagai lingkungan kerja tertentu dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Fungsi itu dalam hubungan dengan negara disebut ambt/jabatan. Negara adalah organisasi jabatan, jabatan adalah badan/person. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
huruf f Keputusan Presiden itu juga dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan fungsinya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai kewenangan pembinaan hukum dan peraturan perundang-undangan nasional. Tugas unit-unit utama Departemen Hukum dan HAM di antaranya merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis perundangundangan serta pembinaan di bidang hukum nasional. 54 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 selain menentukan Program Legislasi Nasional sebagai instrumen perencanaan pembentukan undang-undang juga memberikan peran yang strategis kepada Departemen Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan pemerintah 55 dan dalam pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden agar dapat dibentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan asas, prinsip-prinsip dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang. 56 Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di daerah dilaksanakan oleh instansi vertikal. 57 SM. Oentarto menyebutnya
54
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-01.PR.02.10 Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Hukum dan HAM. 55 Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004. 56 Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004. 57 Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
sebagai refleksi dari pengedepanan kebijakan sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 58 Instansi vertikal di lingkungan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia adalah Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Propinsi. 59 Unit organisasi ini diberikan tanggung jawab besar sebagai perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah
(law making process)
khususnya Peraturan Daerah dan dalam koordinasi program legislasi daerah. 60 Dalam
menjalankan
fungsinya
itu
timbulnya
permasalahan
selalu
dimungkinkan. Salah satu permasalahan itu adalah lemahnya landasan yuridis tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal Departemen Hukum dan HAM dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan di daerah. Dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab itu Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM khususnya bidang Hukum melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan daerah yang berasal dari Pemerintah Daerah, baik dari Biro Hukum maupun dinas-dinas di lingkungan Pemerintah kabupaten/Kota (Pemkab/Pemko). Selanjutnya, menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-
58
SM. Oentarto dkk, Op. cit, hal. 9. Sebagai illustrasi, pada masa orde baru, pemerintah lebih memberikan kewenangan kepada Kanwil sebagai perpanjangan tangan Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) untuk menyediakan pelayanan publik. 59 Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 60 Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
undangan di daerah 61 termasuk harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda dari segi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan serta menjaga agar setiap Perda tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 62 Istilah harmonisasi berasal dari kata harmoni, yang sebenarnya merupakan peristilahan dalam musik untuk menunjukkan adanya keselarasan atau keserasian dan keindahan nada-nada. 63 Istilah ini menjadi relevan untuk digunakan dalam bidang hukum, khususnya peraturan perundang-undangan mengingat perundang-undangan juga memerlukan suatu keselarasan atau keserasian agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. 64 Pengharmonisasian merupakan upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan dengan berbagai kepentingan yang ada dan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah sehingga tersusun secara sistematis, tidak tumpang tindih. 65 Dengan pengharmonisasian maka tergambar dengan jelas dalam pemikiran atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Oleh
61
Ibid. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah. 63 Wicipto Setiadi,”Mekanisme Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, pada Seminar Harmonisasi Perundang-undangan tanggal 21 September 2006 yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI. 64 Ibid. 65 Ibid. 62
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
karenanya harus ada skala prioritas, mana yang paling penting di harmonisasi, yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas. 66 Pada akhir tahun biasanya diadakan lokakarya untuk membahas hasil dari analisis dan tanggapan Tim Panitia yang dibentuk dengan mengundang wakilwakil/peserta yang mewakili Kantor wilayah, Biro Hukum dan Dinas-dinas terkait dilingkungan Pemerintah Provinsi, Bagian hukum dan Dinas-dinas terkait di lingkungan Pemkab/Pemko. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Biro Hukum dan Dinas-dinas terkait dilingkungan Pemerintah Provinsi, Bagian hukum dan Dinasdinas terkait di lingkungan Pemerintah kabupaten/Pemerintah kota. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006,
Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah angka 7
menyatakan para Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendayagunakan keberadaan para Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan daerah dengan peraturan perundangundangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, sehingga tersusun secara sistematis dan tidak tumpang tindih (overlaping). 67
66
Baldwin Simatupang, ”Harmonisasi Peraturan Daerah Dalam rangka Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”,Jurnal Mediasi, Edisi 6, Vol 4, Desember 2007, hal. 14. 67 Harkristuti Harkrisnowo , ”Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”,Jurnal Mediasi, Edisi 6, Vol 4, Desember 2007, hal. 7. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Lahirnya Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dimaksudkan untuk meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundangundangan. 68 Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan disebabkan karena masih adanya egoisme sektoral, dan belum mantapnya landasan yuridis yang mengatur tata cara penyiapan, pembahasan, teknik penyusunan dan akses publik untuk berpatisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan. 69 Akibatnya tidak sedikit peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan yang sederajat dan masih belum berwawasan gender dan HAM serta masih terdapatnya peraturan yang sulit dilaksanakan karena kurang jelas sehingga dapat terjadi perbedaan interpretasi dan kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat. Permasalahan lainnya adalah peraturan pelaksanaan undang-undang tidak segera dibentuk atau sangat terlambat pembentukannya sehingga menghambat implementasinya secara efektif. Arahan Presiden di depan Sidang Paripurna DPD-RI Tanggal 23 Agustus 2006, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah
dikoordinasikan dengan instansi
pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan Perda itu menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung maupun dengan Kantor Wilayah departemen itu yang ada di setiap Provinsi. Namun 68
Sebagaimana dimaksudkan dalam konsideran menimbang huruf b UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. 69 A.A. Oka Mahendra, op.cit, hal 87. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
didaerah tentunya tidak semua daerah yang melaksanakan arahan ataupun Surat Edaran yang diterbitkan. Dari gambaran keadaan dan permasalahan pembentukan peraturan perundangundangan khususnya pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam pembentukan Perda yang telah dikemukakan, maka Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan melakukan analisis dengan judul,
”Pembentukan
Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara”.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah?
2.
Bagaimana kewenangan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah?
3.
Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dan upaya apa yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah?
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah.
2.
Untuk mengetahui kewenangan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah.
3.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dan upaya yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang peraturan perundang-undangan khususnya pembentukan peraturan daerah. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan untuk pemahaman khususnya bagi perancang perundang-undangan dalam pembentukan peraturan daerah dan umumnya bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana peranan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan peraturan daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
E. Keaslian Penelitian Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara pribadi dengan melihat perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat khususnya pada permasalahan pembentukan suatu peraturan daerah. Tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain. Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai pembentukan peraturan daerah dikaitkan dengan peranan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara , belum pernah dilakukan. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini. Karena itu keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”. 70 Tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan. 71 Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 72 Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya. 73 Menurut teori jenjang norma hukum (stufentheorie), Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada
70
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 37. Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42. 72 Ibid. 73 Ibid. 71
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
norma yang lebih tinggi (superior) dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya (inferior). 74 Adolf Merkl mengembangkan stufentheorie dengan mengemukakan bahwa norma hukum itu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz) dimasa suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskraht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang di atasnya itu dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. 75 Hans Nawiasky salah seorang murid Hans Kelsen berpendapat, selain norma hukum
berlapis dan berjenjang, norma hukum dalam suatu negara juga
berkelompok-kelompok. 76 Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ’Formal’) Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom) 77 Istilah Staatsfundamentalnorm
ini diterjemahkan oleh Notonegoro dalam
pidatonya pada acara Dies natalis Universitas Airlangga (10 Nopember 1955) dengan ’Pokok Kaidah Fundamentil Negara’, 78 Kemudian Joeniarto, disebut dengan istilah 74
Hans Kelsen, General Theory of Law and State,(New York : Russell & Russel, 1945), hal,
113 75
Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 26 Ibid, hal. 27 77 Ibid,sebagaimana dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als Syatem lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, cet. 2, 1948, hal. 31. 78 Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara (kumpulan tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila), cet. 7, (Jakarta: Bina Aksara, 1988) hal. 27. 76
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
’Norma Pertama’, 79 sedangkan oleh A. Hamid S. Attamimi disebut dengan istilah ’Norma Fundamental Negara’. 80 Aturan dasar atau aturan pokok negara
ini merupakan landasan bagi
pembentukan Undang-undang (Formell Gesetz) dan peraturan yang lebih rendah, 81 seperti peraturan pelaksana dan peraturan otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya. 82 Aturan dasar atau aturan pokok negara Indonesia tertuang dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam Hukum Dasar tidak tertulis yang sering disebut konvensi ketatanegaraan dan peraturan pelaksana dan peraturan otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom lainnya. Tesis ini didasarkan pada teori jenjang norma hukum (stufentheorie) bahwa suatu norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi (superior) dan menjadi dasar bagi norma yang dibawahnya (inferior), karena dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) didasarkan pada asas bahwa 79
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. ke-1, (Jakarta : Bina Aksara, 1982) hal. 6. 80 A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah negara” (studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I Pelita VI), Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta,1990, hal.359. 81 Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hal. 30. 82 Ibid, hal. 39. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau hirarki perundang-undangan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Selanjutnya dalam penjelasanUmum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7 ditegaskan pula bahwa “Kebijakan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain. Sebagai salah satu sumber hukum dalam hirarki perundang-undangan Indonesia
83
Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda merupakan produk
hukum yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Prakarsa
83
Sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan Jenis dan hierarki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari Pemerintah Daerah. 84 Perda pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. 85 Kewenangan membuat Perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah 86 dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan memberdayakan masyarakat 87 UU No. 32 tahun 2004 menciptakan konteks politik yang memberi peluang bagi penciptaan kelembagaan politik antara Pemerintah daerah dan DPRD membentuk kebijakan publik yang menentukan. 88 Kesemua hal yang berkaitan dengan itu (pembentukan Peraturan Daerah) berlangsung dalam proses perundang-undangan. 89 Tentang proses perundangundangan M. Solly Lubis 90 menyebutkan sebagai proses pembuatan peraturan negara. Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan, penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan. Proses adalah merupakan kegiatan yang berawal dan akan berakhir pada suatu keadaan tertentu dimana kegiatan itu sendiri menghendakinya. 91 Maka peraturan perundang-undangan berupa UU, Perpu, PP, Peraturan Daerah dan sebagainya adalah
84
Pasal 140 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 86 Rozali Abdullah, op. cit hal 131. 87 ibid , hal. 133 88 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hal. 232. 89 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,(Jakarta : Raja Grafindo Persada,1996), hal.185. 90 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: PT Alumni, 1983), hal 13. 91 Faried Ali, Op. cit. 85
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
produk atau hasil dari kegiatan pembuatan perundang-undangan itu. Peraturan perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian dari kegiatan perundang-undangan. 92 Selanjutnya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merumuskan pengertiannya, yakni proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan,
pembahasan,
pengesahan,
pengundangan
dan
penyebarluasan. Sedang Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Dari defenisi pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan pendapat beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa Pembentukan Peraturan Daerah adalah: 1. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan; 2. Dimulai
dari
perencanaan,
persiapan,
teknik
penyusunan,
perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan; 3. Dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. 92
M Solly Lubis, ”Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, disampaikan pada Seminar tentang ”Partisipasi publik dalam Proses Legislasi sebagai pelaksanaan Hak politik”, dilaksanakan oleh Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza Medan, tanggal 2 Mei 2007. hal. 2. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Secara politik, kedudukan Peraturan Daerah tidak lain merupakan produk hukum lembaga legislatif daerah.93 Peraturan Daerah sebagaimana produk hukum pada umumnya, akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. 94 Pemerintah, termasuk Pemerintah daerah, dalam merumuskan suatu kebijakan kadangkala bukanlah untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari suatu kepentingan tertentu, melainkan cenderung mengumpulkan berbagai preferensi daripada untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari satu atau sektor lain. 95 Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan bersama
yang
dikaitkan
secara
khusus
dengan
pembuatannya,
sehingga
penyusunannya harus melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai aspek, kepentingan dan kewenangan. 96 Tentu saja tidak diinginkan adanya Perda yang menunjukkan fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa daripada fungsi-fungsi lainnya, 97 yang akan mengakibatkan Perda yang dilahirkan semakin tidak otonom dari pengaruh politik. Asas keterbukaan perlu diperhatikan dalam pembentukannya, artinya dalam dalam penyusunan prolegda sebagai tahap perencanaan, pembentukan Peraturan
93
Ni’matul Huda, Op cit. hal 238-239 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta : LP3ES, 2001), hal. 9. 95 Satya Arinanto,Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di indonesia,(Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005),hal. 263. 96 Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi pengelola Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Lingkungan Hidup, 1997), hal. 10. 97 Mulyana W. Kusumah, Perspektif, teori dan Kebijakansanaan Hukum,(Jakarta : Rajawali, 1986), hal. 29 94
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
daerah harus bersifat transparan. Masyarakat diberikan kesempatan berpatisipasi dalam penyusunan prolegda agar prolegda benar-benar aspiratif. 98 Penyusunan prolegda di lingkungan Pemerintah daerah dilakukan secara terkoordinasi, terarah dan terpadu antar unit-unit kerja dengan instansi lain yang terkait. sebagaimana arahan Presiden pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2006 yang menyatakan, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah dikoordinasikan dengan instansi pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan Peraturan Daerah itu menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung maupun dengan Kantor Wilayah departemen itu yang ada di setiap Provinsi.99 Upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan termasuk Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, sehingga tersusun secara sistematis dan tidak tumpang tindih perlu melibatkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. 100 Dengan landasan teori yang dikemukakan diatas, maka analisa dan pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis ini akan terjawab dengan baik secara
98
Lihat Pasal 5 huruf g dan Penjelasan UU No. 10 tahun 2004. Dikutip dari Arahan Presiden pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2006. 100 Lihat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah. 99
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
teoritis maupun secara praktis sebagaimana terjadi dalam praktek hukum di bidang Pembentukan Perda.
2. Konsepsi Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain: a. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dalam tesis ini adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai
dari
perencanaan,
persiapan,
teknik
penyusunan,
perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. b. Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. 101 c. Program legislasi daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. 102 d. Kanwil Departemen Hukum dan HAM adalah instansi vertikal
Departemen
Hukum dan HAM yang berkedudukan di Provinsi yang berada dibawah dan
101 102
Pasal 1 angka (7) UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 1 angka (10) UU No. 10 Tahun 2004
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 103
G. Metode Penelitian Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut: Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan. 104 1. Spesifikasi Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis, deskriptif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah dikaitkan dengan peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM serta pengaturan penyelesaiannya. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai pembentukan Peraturan Daerah dikaitkan dengan peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara berdasarkan 103
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor. M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (Jakarta :Departemen Hukum dan HAM RI,2005). 104 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal. 43. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
ketentuan hukum dan yang dilakukan dalam praktek. Seperti dikemukakan oleh Soeryono Soekanto, “penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki”. 105 Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal 106 (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process). 107
Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen
dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
105
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3. Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 10. 107 Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. 106
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
2. Sumber Data Penelitian Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder 108 , yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang pembentukan Peraturan Daerah, antara lain Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah; b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pembentukan Perda; c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini. 109
108
Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14. 109 Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hal. 23. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui: a. Studi kepustakaan (library research). Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang pembentukan Perda dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian. b. Wawancara Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pejabat di Direktorat Jenderal Perundang-undangan, Pejabat di Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara, Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dan pejabat pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. 4. Analisis Data Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam praktek pembentukan Perda. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturanperaturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam pembentukan Perda. Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya
pola pembentukan Perda dikaitkan
dengan peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH A.
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Konsepsi Otonomi Daerah Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik. Ketentuan konstitusional ini memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia dibangun dalam bentuk kerangka negara yang berbentuk kesatuan, bukan federasi. Oleh karena itu daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) tanpa lepas dari bingkai negara kesatuan sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah mengalami pasang surutnya pemerintahan melalui beberapa kali penggantian Undang Undang Dasar. Secara rinci Mohammad Hatta menguraikan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 menegaskan bahwa “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara Hukum yang Demokratis dan berbentuk Federasi”. Pasal 1 ayat (1) UUD Sementara 1950 menegaskan, “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
demokratis dan berbentuk kesatuan”. 110 Perubahan bentuk negara dan pemerintahan, mulai dari sistem presidentil berubah menjadi sistem parlementer, dan kembali lagi menjadi sistem presidentil. Undang Undang Dasar 1945 dengan Negara Kesatuan, Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dengan negara federal dan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 menganut negara kesatuan. 111 Negara Federal bukanlah
nomenklatur
(eenheidsstaat atau unitary state).
kenegaraan dalam negara Kesatuan
Negara kesatuan tidak mengenal bentuk
pemerintahan federal. Negara Federal bukan negara kesatuan, tetapi negara persatuan. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. 112 Dalam negara kesatuan adalah adanya organisasi yang dibentuk sebagai daerah swatantra didalamnya, namun hak otonominya tidak boleh melampaui volume yang akan menjadikan daerah itu sebagai satu negara bagian seperti halnya dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia. 113 Dengan adanya perbedaan tersebut di atas, maka dalam Negara Kesatuan dapat diidentifikasi ciri batasan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan 110
Mohammad Hatta, Uraian Pancasila, (Jakarta:Mutiara, 1977), hal. 7. UUD 1945 ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang merupakan hasil rancangan BPUPKI tanggal 25 Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Juni 1945. Diundangkan dalam Berita Repoeblik, Tahoen II Nomor 7, Percetakan Repoeblik Indonesia, tanggal 15 Pebruari 1946. Sebagaimana dikutif oleh Agussalim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah, (Bogor: Ghalia, 2007), hal. 5. 111 Harun Al-Rasyid, “Peraturan Perundang-undangan dalam Konstitusi Indonesia”, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tahun 2008, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008, hal. 1. 112 Harun Al-Rasyid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, (Jakarta: UIPress, 2007), hal 26. 113 Andi Mallarangeng,Dkk, Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis, (Yogyakarta: Bigraf Publishing,1999), hal 122.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
pemerintah daerah yaitu: Pemerintah Daerah tidak memiliki kedaulatan secara sendiri-sendiri dan terlepas dari kedaulatan negara kesatuan, dan kedudukan pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah negara kesatuan. Prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan pada negara kesatuan, dapat diuraikan dalam 3 (tiga) hal, yaitu; 114 Pertama, kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya milik pemerintah pusat, daerah diberi hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan. Jadi, terjadi proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan. Kedua, Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tetap memiliki garis komando dan hubungan hierarkis. Pemerintah sebagai subordinasi pemerintah pusat namun hubungan yang dilakukan tidak untuk mengintervensi atau mendikte pemerintah daerah dalam berbagai hal. Ketiga, kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, dimana daerah tidak dapat menjalankannya dengan baik, maka kewenangan tersebut dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan tersebut. Kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah pusat ditetapkan secara umum dalam Undang-undang Dasar, sedangkan kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah daerah termasuk dalam pembentukan produk hukum ditetapkan
oleh lembaga
pembuatan undang-undang di tingkat pusat. 115
114
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal.71-72. Sebagaimana dikutip dari Shahid Javed Burki, Guilermo E. Perry, William R. Dilinger, “ Beyond The Centre : Dcentralizing The State”, The World Bank, 1999, hlm. 18. 115 Ibid, Disarikan dari pendapat Leon P. Baradat, Political Ideologis, Their Origin and Impact,(New Jersey: Prentice Hall Inc, 1979), hal. 111. yang menyatakan bahwa Negara kesatuan merupakan negara yang bersusunan tunggal yang diorganisasikan di bawah sebuah pemerintah pusat. Kekuasaan dan kewenangan yang terletak pada sub nasional (wilayah atau daerah), dijalankan atas diskresi pemerintah pusat sebagai pemberi kekuasaan khusus kepada bagian-bagian pemerintah yang ada dalam negara kesatuan. Struktur kekuasaan dalam negara kesatuan adalah sederhana karena seluruh kekuasaan pemerintahan konstitusional terpusat di tingkat pemerintahan yang tunggal (nasional). Pemerintah daerah bergantung pada pemerintah pusat karena segala kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya berasal/diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak memiliki justifikasi secara atributif dari konstitusi. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Di dalam Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang Undang. Penggunaan istilah dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dimaksudkan untuk menegaskan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah yang bersifat hirarkis dan vertikal. 116 Negara Indonesia adalah negara yang berbentuk kesatuan (unitary state). Kekuasaan asal berada di pemerinta pusat, namun kewenangan (authorithy) pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam UUD dan Undang-undang, sedangkan kewenangan yang tidak disebutkan dalam UUD dan Undang-undang ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. 117 Asas pemerintahan daerah ditegaskan di dalam Pasal 18 Ayat (2) bahwa pemerintahan daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 118
116
Pengaturan mengenai desentralisasi dalam negara kesatuan cenderung diletakkan dalam aturan konstitusi, dimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah hierarki, tidak seperti dengan negara federal, dimana hubungan antara pemerintah federal dengan negara tidak otomatis hierarki (bawahan). 117 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, (Jakarta: The Habibie Centre, 2001), hal. 28. 118 Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke-2 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Oleh sebab itu secara universal asas pemerintahan daerah mencakup 3 (tiga) asas penting yaitu: 1.
Asas desentralisasi
2.
Asas dekonsentarsi
3.
Tugas pembantuan. 119 Pemerintah pusat sebagai pihak yang melimpahkan wewenang tetap
bertanggungjawab
terhadap
dilimpahkan. Penyelenggaraan
pelaksanaan asas
desentralisasi
urusan dan
yang
telah
dekonsentralisasi
dilaksanakan di propinsi. Desentralisasi menggambarkan pengalihan tugas operasional ke pemerintahan lokal dan juga menggambarkan pendelegasian atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan kepada pemerintah yang tingkatannya lebih rendah. 120 Dengan kata lain desentralisasi merupakan pelaksanaan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam negara kesatuan dalam rangka otonomi daerah. 121
119
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Sinar Harapan, 2000), hal
32. 120
Ibid. Mustamin Dg Matutu, dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, (Yogyakarta: UIII Press, 2004), hal. 35-36. Desentralisasi berarti pemencaran atau penyebaran wewenang dari pusat ke bagian-bagian organisasi di bawahnya, baik secara teritorial, fungsional, teknis maupun kultural. Dekonsentrasi diartikan pada penyebaran atau pemencaran kewenangan pusat kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijaksanaan pusat. Sedangkan desentralisasi diartikan sebagai pengalihan (pendelegasian) sebagian kewenangan petugas pusat secara peerseorangan yang sengaja di bentuk untuk mengurusi dan menangani sendiri sejumlah urusan yang diberi status otonom. Desentralisasi merupakan lawan dari sentralisasi, sedangkan dekonsentrasi lawan dari konsentrasi. Sentralisasi berarti pemusatan kewenangan dan pengambilan keputusan berada di pusat dan tidak ada pendelegasian ke daerah. Sedangkan konsentrasi pada 121
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Undang Undang yang mengatur otonomi daerah saat ini adalah Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah. Di dalam Undang Undang 32 Tahun 2004, pada Pasal 1 Angka 6 pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pembentukan daerah otonom merupakan “perintah” (amanat) konstitusi. 122 Daerah otonom tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan wilayah sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai ikatan serta mempunyai kewenangan untuk mengurus kepentingan dengan tetap berada dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 123 Daerah otonom dibangun melalui perangkat substansi (kaidah) hukum, yang memiliki kewenangan “otonomi”. Penguatan otonomi menciptakan keseimbangan antara penyerahan dan pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah dan menjaga keutuhan NKRI. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikemukakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 124
hakikatnya sama dengan sentralisasi, yang keduanya berarti peneumpukan atau pemusatan kekuasaan di pusat organisasi. 122 Benyaminn Hoessein, Loc. cit 123 Penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 124 Pemberian sebagian kewenangan (kekuasaan) kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir, kekuasaan tertinggi tetap di Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.125 Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa prinsip yang dipakai dan melandasai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan undang-undang no. 32 Tahun 2004 ini adalah “Otonomi seluas-luasnya yang nyata dan bertanggungjawab”. Porsi otonomi daerah menurut Laica, 126 tidak cukup dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab, tetapi juga harus diwujudkan dalam format otonomi yang seluas-luasnya. Konsep pemerintahan otonomi yang seluas-luasnya merupakan salah satu upaya untuk menghindari ide negara federal. Cakupan otonomi yang seluas-luasnya adalah bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkun ke daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri.
tangan pemerintah pusat. Lihat juga Penjelasan umum angka 1 Dasar Pemikiran Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 125 Penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 1 huruf a. 126 Laica Marzuki, op. cit, hal. 9. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Di sisi lain, Soehino 127 berpandangan bahwa cakupan otonomi yang seluasluasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Nasroen 128 berpendapat bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga meretakkan negara kesatuan. Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara. Otonomi tidak boleh meretakkan, apalagi memecah negara kesatuan. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah berupa peraturan-peraturan untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 129 Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dimana urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. 130 Hal senada diungkapkan oleh Hatta 131 bahwa dasar kedaulatan rakyat adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada pada pucuk pemerintah negeri, melainkan juga pada
127
Soehino, Op. cit,, hal. 50. M. Nasroen, Masalah-masalah di Sekitar Otonomi Daerah, (Jakarta: Wolters, 1951), hal. 28, sebagaimana dikutip ulang oleh Agussalim Andi Gadjong. 129 Penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 1 huruf b. 130 Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 131 Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka Kumpulan Karangan Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 103. 128
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
setiap tempat (daerah). Tiap-tiap golongan atau bagian rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Hal ini menjadi penting karena keperluan tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berbeda-beda. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab menurut Undang-undang Pemerintahan Daerah 2004 adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi
pada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah, juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu: “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain”. 132 Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. 133 Sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat, daerah dan daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat, sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakat sendiri. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk 132
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. 133 Wahidudin Adam,”Permasalahan Hukum yang berkaitan dengan Peraturan Daerah”, Makalah, disampaikan pada disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundangundangan Tahun 2008, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008, hal. 3. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan memperhatikan
kepentingan
masyarakat
setempat
dan
potensi
daerahnya.
Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah Propinsi hanya diberi kewenangan meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan.
B.
Proses Pembentukan Peraturan Daerah
1.
Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah Undang-undang
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
menyatakan bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah selanjutnya disebut Prolegda. 134 Program legislasi merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang memuat skala prioritas program legislasi dengan jangka waktu tertentu yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis 135 oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem hukum di daerah.
134
Pasal 15 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. 135
Pasal 1 angka 10 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Program legislasi merupakan pedoman dan pengendali penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk Peraturan Daerah. 136 Pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan program legislasi tidak saja akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maupun di masa yang akan datang. 137 Pengelolaan Prolegda diarahkan agar program penyusunan peraturan daerah dapat dilaksanakan pembentukannya sesuai dengan skala prioritas yang ditetapkan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, dalam sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 atau Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur secara tegas tentang mekanisme penyusunan Prolegda. Kedua Undang-undang tersebut juga tidak memerintahkan secara tegas untuk mengatur lebih lanjut tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam
136
A.A. Oka Mahendra, op.cit, hal 114. Hasil wawancara dengan Maria Farida Indrati Soeprapto sebagai Pengajar/Widyaswara pada Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Tahun 2008 di Jakarta pada Tanggal 16 Desember 2008. 137
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
peraturan pelaksanaan sebagaimana penyusunan Prolegnas. Padahal Prolegda dimaksudkan untuk menjaga agar produk peraturan perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional, 138 maka instrumen perencanaannya juga perlu diselaraskan dengan Prolegnas. Pedoman penyusunan
Prolegda diatur dalam Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Prolegda. Keputusan ini ditetapkan pada 26 Agustus 2004 atau 2 (dua) bulan 4 (empat) hari setelah ditetapkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga tampak Keputusan ini belum mengacu kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Mekanisme penyusunan Prolegda secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pimpinan unit kerja menyiapkan Rencana Prolegda setiap tahun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan tugas dan fungsi masingmasing unit kerja; 2. pembahasan rencana Prolegda tersebut dikoordinasikan Biro Hukum Sekretariat Provinsi/Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/Kota; 3. hasil pembahasan Prolegda tersebut diajukan oleh Biro Hukum Sekretariat Provinsi kepada Gubernur dan oleh Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota; 4. Prolegda provinsi ditetapkan oleh Gubernur dan Prolegda Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota. 139
138
M. Solly Lubis, “Dasar-Dasar Paradigmatik Pembentukan Peraturan Perundangundangan”, Makalah yang disampaikan pada Diklat Legislatif Drafting-Peningkatan Kapabilitas Aparatur Pemerintah Daerah dalam Penyusunan Perda di Era Otonomi Daerah, diselenggarakan atas kerja sama Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara dengan Laboratorium Konstitusi Sekolah Pascasarjana USU dan JICA (Japan International Cooperation Agency) Human Resources Development for local Goverment, di Medan 27 Nopember -1 Desember 2006. 139 Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Prolegda. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Penyusunan Prolegda di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang khusus menangani bidang
legislasi.
Penyusunan
Prolegda
di
lingkungan
Pemerintah
Daerah
dikoordinasikan oleh unit kerja yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang peraturan perundang-undangan. Biro hukum di provinsi dengan melibatkan Kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM 140 sedangkan di Kabupaten/Kota koordinasi Prolegda dilakukan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. Pada prakteknya, koordinasi dalam penyusunan Prolegda di Provinsi Sumatera Utara jarang melibatkan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam penyelenggaraan Prolegda lebih sering dilakukan pada tahapan pengharmonisasian dan pemantapan program Ranperda yang diterima dengan Pimpinan unit-unit kerja pemrakarsa program. Seperti yang dilakukan pada Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan. Hubungan antar instansi atau koordinasi dalam penyelenggaraan Prolegda selama ini dilakukan bekerja sama dengan Biro Hukum Pemerintahan Provinsi, Sekretariat DPRD, perguruan tinggi, dan seluruh Bagian Hukum Pemerintahan
140
Sebagaimana arahan Presiden di depan Sidang Paripurna DPD-RI Tanggal 23 Agustus 2006, Penyusunan Peraturan Daerah haruslah dikoordinasikan dengan instansi pemerintah pusat. Aspek-aspek hukum penyusunan Perda itu menjadi lebih baik jika dikoordinasikan dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia secara langsung maupun dengan Kantor Wilayah departemen itu yang ada di setiap Provinsi. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Kabupaten/Kota. Perencanaan penyusunan Prolegda juga mengikutsertakan dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat. Alur persiapan penyusunan Prolegda pada unit kerja Pemerintah daerah yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam hal ini Biro Hukum meminta kepada Pimpinan unit kerja di lingkungan Pemerintah daerah rencana-rencana penyusunan Perda di lingkungan kerja masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan penyusunan perda ini disertai dengan konsepsi Ranperda. Konsepsi Ranperda memuat pokok materi yang akan diatur yang meliputi: 1. Latar belakang dan tujuan penyusunan; 2. Sasaran yang akan diwujudkan; 3. Pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan 4. Jangkauan dan arah pengaturan. 141 Konsepsi Ranperda tersebut dilakukan pengharmonisasian dan pemantapan program Ranperda yang diterima dengan Pimpinan unit-unit kerja pemrakarsa program dan Pimpinan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM oleh Biro Hukum. 142 Untuk itu dibentuk Panitia Prolegda Pemerintah daerah. Dalam Panitia Prolegda Pemerintah daerah dapat
diikutsertakan kalangan Praktisi, Akademisi,
141
Dikutip dari makalah Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Suharyono, AR, Pengaturan tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegda, yang disampaikan pada Temu Konsultasi Panitia Legisasi DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, diselengarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, Medan 27-29 Maret 2007. 142 Dikutip dari makalah Kepala Biro Hukum Setdaprovsu Ferlin Nainggolan,Program Legislasi Daerah, yang disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Legal Drafter Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara Tahun Anggaran 2008. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
perorangan yang memiliki keahlian dibidangnya, organisasi kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat sesuai kebutuhan. Pembentukan Panitia Prolegda Pemerintah daerah diatur dengan Keputusan Kepala daerah. Program Ranperda yang telah diharmonisasikan dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Kepala daerah sebagai Prolegda yang disusun di lingkungan Pemerintah Daerah untuk dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilaan Rakyat Daerah. Persetujuan Kepala Daerah terhadap Prolegda yang disusun di lingkungan Pemerintah Daerah diberitahukan secara tertulis kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi. Hasil penyusunan Prolegda di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah dibahas bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPRD. Hasil konsultasi ini dilaporkan kepada Kepala Daerah dan dilaporkan pada rapat Paripurna DPRD untuk mendapatkan penetapan. Dalam keadaan tertentu dimana pelaksanaan pembentukan Perda yang menjadi program penyusunan peraturan dalam Prolegda belum dapat diselesaikan dalam tahun berjalan sesuai dengan skala prioritas yang ditetapkan, maka pembentukan Perda tersebut dapat dijadikan Prolegda tahun berikutnya dengan skala prioritas (carry over program). 143 Disisi lain, dalam keadaan tertentu dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat, program penyusunan peraturan dalam
143
Hasil wawancara dengan Ridwan sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara pada Tanggal 16 Desember 2008. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Prolegda jangka panjang menengah atau tahunan dapat diubah skala prioritasnya setelah disepakati bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah. 144 Sehubungan dengan itu, ada beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan pedoman dalam mengatur mekanisme atau tata cara penyusunan Prolegda sebagai berikut: 1. Cakupan Peraturan Daerah mengacu kepada Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang menentukan bahwa, Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: (a) Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur; (b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota berama Bupati/Walikota; (c) Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Dewan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya; 2. memperhatikan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundangundangan, artinya dalam proses penyusunan Prolegda sebagai tahap perencanaan pembentukan Peraturan Daerah harus bersifat transparan. Masyarakat diberikan kesempatan berpartisipasi dalam penyusunan Prolegda agar Prolegda betul-betul aspiratif; 3. penyusunan Prolegda dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota bersama dengan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sebagai lembaga yang berwenang untuk membentuk Peraturan Daerah; 4. penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah dilakukan secara terkoordinasi, terarah dan terpadu antar unit-unit kerja di lingkungan sekretariat daerah dngan instansi lain yang terkait; 5. dalam Prolegda ditetapkan skala prioritas jangka panjang, menengah atau tahunan sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat di daerah dan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah serta tugas pembantuan; 6. dalam Prolegda perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya; 7. pelaksanaan Prolegda perlu dievaluasi setiap tahun dalam rangka melakukan penyesuaian seperlunya dengan dinamika perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. 145 Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah menyatakan bahwa pembiayaan 144 145
Ibid A.A. Oka Mahendra, op.cit, hal 117-118.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
program penyusunan peraturan dalam Prolegda dilakukan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Anggaran DPRD untuk Prolegda yang disusun di lingkungan DPRD dan anggaran Pemerintah Daerah perencana/pemrakarsa program penyusunan Perda untuk Prolegda yang disusun di lingkungan Pemerintah Daerah.
2. Persiapan dan Perumusan Rancangan Peraturan Daerah a. Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Pemerintah Persiapan pembentukan Perda pada bagian ketiga Pasal 26 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan Ranperda dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Gubernur, atau Bupati/Walikota, masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. Ranperda menjalani serangkaian tahapan penyusunan sampai akhirnya menjadi suatu produk hukum daerah yaitu Peraturan Daerah. Rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak perencanaan sampai dengan penetapan disebut prosedur penyusunan produk hukum daerah. 146 Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri, Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah
dapat
diuraikan sebagai berikut:
146
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
1). Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan pimpinan Unit Kerja/Dinas/Leading Sector dapat memprakarsai rencana penyusunan produk hukum daerah (Ranperda). 147 Rencana penyusunan Perda tersebut diajukan oleh Pimpinan Unit Kerja/Dinas/ kepada Sekretaris Daerah untuk dilakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Seperti Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis diprakarsai oleh Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara diprakarsai oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Ranperda tentang Tata Ruang oleh Dinas Tata Ruang dan Pemukiman. Pengajuan rencana penyusunan produk hukum tersebut harus dilampiri dengan pokok-pokok pikiran. Isi pokok-pokok pikiran terdiri dari: maksud dan tujuan pengaturan, dasar hukum, materi yang akan diatur dan keterkaitan dengan peraturan perundangan-undangan lain. Hal ini lebih dikenal dengan istilah Naskah Akademik yaitu naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan substansi rancangan peraturan perundang-undangan. 148 Perlu tidaknya Naskah Akademik dalam Perpres tersebut
147
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. 148 Lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
merupakan pilihan bagi Pemerintah untuk menyediakan, 149 sedangkan bagi DPR-RI melalui Tata Tertibnya, penyediaan Naskah Akademik diwajibkan dalam setiap penyusunan RUU. Secara tidak langsung, kewajiban tersebut berimbas bagi Pemerintah untuk selalu menyediakan. Jika Pemerintah tidak menyediakan, kemungkinan besar RUU yang diajukan tidak dapat masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas. Seharusnya kewajiban itu juga memiliki imbas bagi Pemerintah Daerah dalam penyusunan Prolegda. Naskah Akademik dalam proses penyusunan suatu RUU (juga Ranperda) merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui produk hukum yang akan dibentuk dan disahkan. Dari potret itu dapat ditentukan apakah peraturan itu akan melembagakan apa yang telah ada dan berjalan di masyarakat (formalizing) atau membuat aturan yang bertentangan sehingga dapat mengubah masyarakat (law as a tool for social engineering). 150 Makna yang sering dikemukakan oleh pembentuk undang-undang bahwa dalam pertimbangan RUU/Raperda selalu dicantumkan segi filosofis, sosiologis, dan yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur 151 mengingatkan kepada kita 149
Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden dinyatakan bahwa “Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-Undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan UndangUndang”. Kata “dapat” berarti tidak merupakan suatu keharusan. 150 Hikmanto Juwana, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan Rancangan Undang-undang”, Makalah, disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah di Cisarua Bogor Tahun 2006, hal. 2. 151 Lihat Pasal 5 ayat (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
semua betapa segi tersebut penting karena terkait dengan konstatasi fakta yang ada dan bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan melalui cara-cara yang filosofis dan yuridis. 152 Dengan Naskah Akademik, fakta yang dianggap bermasalah dipecahkan secara bersama oleh Pemerintah (Pemda) dan DPR-RI (DPRD), tanpa mementingkan golongan atau kepentingan individu. Jika Naskah Akademik selalu mendasarkan pada urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, serta jangkauan serta arah pengaturan yang memang dikehendaki oleh masyarakat, maka proses bottom up yang selama ini diinginkan oleh masyarakat, akan terwujud. Jika suatu RUU/Raperda yang dihasilkan melalui proses bottom up, diharapkan perundang-undangan yang dihasilkan akan berlaku sesuai dengan kehendak rakyat dan berlakunya langgeng. 153 Untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan, Sekretaris Daerah menugaskan kepada Biro/Bagian Hukum. Rancangan produk hukum daerah dilakukan pembahasan dengan Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja perangkat daerah terkait, 154 menitikberatkan permasalahan yang bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan. 155 Ketua Tim Antar
152
H.A.S. Natabaya, “Upaya Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi”, Majalah Hukum Nasional, No.2, Tahun 1999, hal. 7. 153 Hasil wawancara dengan Maria Farida Indrati Soeprapto sebagai Pengajar/Widyaswara pada Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Tahun 2008 di Jakarta pada Tanggal 16 Desember 2008. 154 Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. 155 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk hukum daerah dan/atau permasalahan kepada Sekretaris Daerah untuk memperoleh arahan. 156 2). Tahap Perancangan a). Setelah mendapat persetujuan Sekretaris Daerah, Pimpinan Unit Kerja menyiapkan draf awal dan melakukan pembahasan. Dalam pembahasan draf awal melibatkan Biro/Bagian Hukum dan Unit Kerja terkait. b). Tanpa mengurangi prakarsa Unit Kerja/Dinas Biro/Bagian Hukum dapat melakukan
penyusunan
produk
hukum
daerah.
Unit
kerja
dapat
mendelegasikan kepada Biro/Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. c). Penyusunan produk hukum dapat dibentuk Tim Antar Unit Kerja di uraikan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Tim tersebut diketuai oleh Pejabat Pimpinan Unit Kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro/Bagian Hukum berkedudukan selaku Sekretaris Tim. Penunjukan ini di dasarkan pada Pasal 5 ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk
156
Pasal 7 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Hukum Daerah . Dari hasil penelitian, Tim Antar Unit Kerja dalam pembentukan suatu Ranperda tidak selalu diketuai oleh Pejabat Pimpinan Unit Kerja tetapi dapat dilimpahkan kepada wakil instansi terkait yang dihunjuk. Seperti pada penyusunan Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Ranperda itu diprakarsai oleh Dinas Sosial tetapi tim menghunjuk Wakil dari perguruan tinggi/akademisi untuk mengetuai tim tersebut. d). Setelah rencana produk hukum selesai dilakukan pembahasan, Pimpinan Unit Kerja menyampaikan kepada Sekretaris Daerah melalui Biro/Bagian Hukum untuk selanjutnya diajukan kepada Kepala Daerah. e). Sebelum rancangan produk hukum disampaikan kepada Kepala Daerah, harus terlebih dahulu mendapat paraf dari Pimpinan Unit Kerja terkait. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Pelaksanaan paraf dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah yang dalam hal ini Biro/Bagian Hukum. f). Rancangan produk hukum yang telah mendapat paraf koordinasi Pimpinan Unit Kerja, disampaikan oleh Kepala Biro/Bagian Hukum kepada Sekretaris Daerah 157 untuk diajukan kepada Kepala Daerah.
157
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
g). Dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah ditegaskan bahwa
Sekretaris
Daerah
dapat
melakukan
perubahan
dan/atau
penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah yang telah diparaf koordinasi. Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan produk hukum daerah dikembalikan kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa. 158 Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah tersebut disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan pimpinan satuan perangkat daerah terkait. 159 3). Tahap Pembahasan Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, menegaskan sebagai berikut; a). Pada tahapan ini, Ranperda disampaikan oleh Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan pembahasan. Sebelum disampaikan kepada DPRD terlebih dahulu dilakukan Penomoran produk hukum Biro/Bagian Hukum. Rancangan produk hukum yang telah
158
Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. 159 Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
ditetapkan dan diberikan nomor, harus diautentikasi oleh Kepala Biro/Bagian Hukum. b). Pembahasan Ranperda atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pejabat Unit Kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Dari hasil penelitian, selalu disesuaikan dengan materi Ranperda yang akan dibahas. Misalnya, Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan maka pejabat unit yang dihunjuk adalah Kepala Dinas Kesehatan. c). Pembahasan Ranperda di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik atas inisiatif Pemerintah maupun atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Sekretaris Daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah, dengan sekretariat berada pada Biro Hukum atau Bagian Hukum. 4). Tahap Pengundangan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah mengatur secara rinci tahap pengundangan Ranperda
yang telah mendapat persetujuan DPRD
ditetapkan menjadi Perda. Setelah ditandatangani oleh Gubernur Bupati/Walikota serta dibubuhi cap jabatan diserahkan kepada Sekretaris Daerah untuk diundangkan dalam Lembaran Daerah selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah ditetapkan. Pengundangan peraturan daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah namun dapat didelegasikan kepada kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
5). Tahap Sosialisasi a). Sosialisasi
produk
hukum
dilakukan
secara
bersama-sama
antara
Biro/Bagian Hukum dan Unit Kerja pemrakarsa. Pada prakteknya tidak saja dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum dengan instansi pemrakarsa tetapi juga melibatkan instansi terkait lainnya termasuk Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara bekerja sama dengan Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara dalam mensosialisasikan beberapa Perda Provinsi Sumatera Utara, seperti Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan dan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Sosialisasi Perda tersebut dilakukan di Ibukota Provinsi dan di beberapa Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. b). Penggandaan,
Pendistribusian
dan
pendokumentasian
produk-produk
hukum, dilakukan oleh Biro/Bagian Hukum. c). Biaya penyusunan produk hukum, dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja. 160 Berdasarkan uraian tentang Teknik dan Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah di atas, dalam konteks pembaharuan dan rekayasa model pembentukan
160
Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Peraturan Daerah yang lebih baik di masa depan, ada beberapa catatan bagi rujukan Teknik dan Prosedur Penyusunan Perda sebagai berikut: Pertama, secara umum Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tersebut masih menganut paradigma lama yang cenderung executive heavy, karena masih mencerminkan kekuatan pembentuk Peraturan Daerah adalah eksekutif (Gubernur/Bupati/Walikota). Jika merujuk pada semangat dan perubahan yang terjadi pasca amandemen UUD 1945, pihak yang mengesahkan semestinya bukan Gubernur/Bupati/Walikota tetapi Dewan Perwakilan Rakyat. 161 Lembaga yang mengundangkan Perda kedalam Berita dan Lembaran Daerah juga semestinya bukan Sekretaris Propinsi/Kabupaten/Kota, melainkan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua, rujukan prosedur penyusunan Perda tersebut tidak secara tegas menekankan pentingnya proses penelitian (riset), pembuatan makalah inti (position paper), dan naskah akademik yang semestinya mendasari setiap perancangan/ penyusunan Perda. Padahal, agar setiap Perda yang dikeluarkan benar-benar mampu menjawab permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, serta tidak menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat perlu melalui suatu proses penelitian secara ilmiah.
161
Hasil wawancara dengan Harun Al-Rasyid sebagai Pengajar/Widyaswara pada Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Tahun 2008 di Jakarta pada Tanggal 17 Desember 2008. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Ketiga, rujukan prosedur penyusunan Perda tersebut juga tidak secara tegas membuka partisipasi publik seluas-luasnya dalam proses penyusunan Perda, mulai dari tahapan perencanaan, perancangan, permbahasan, hingga sosialisasi. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis, penyusunan Peraturan Daerah, perlu mengikut sertakan masyarakat, misalnya melalui dengar pendapat, diseminasi aspirasi, dan sebagainya, dengan tujuan agar dapat mengakomodasikan kepentingan masyarakat luas tersebut untuk dituangkan dalam Perda. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan. Keempat, di era demokratisasi dan otonomi dewasa ini, beberapa ketentuan Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tersebut dirasakan cukup kaku (rigid) untuk mampu mengimbangi dinamika aspirasi masyarakat daerah. Semakin luasnya kewenangan daerah sesuai dengan konsepsi otonomi daerah, berbanding lurus dengan semakin kompleksnya urusan dan permasalahan di daerah, dan itu berarti para penyelenggara pemerintahan di daerah harus semakin responsif dan proaktif, termasuk dalam proses penyusunan regulasi daerah. Pedoman penyusunan Perda yang rigid dan kaku, akan menjadi salah satu faktor penghambat yang cukup berarti bagi para penyelenggara pemerintahan di daerah. 162 Untuk kepastian hukum, setiap produk hukum harus dirancang dengan format dan teknis penulisan yang baik dan benar, serta berdasarkan prosedur yang
162
Hasil wawancara dengan Ridwan sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara pada Tanggal 16 Desember 2008. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
sah, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu perlu adanya standarisasi bentuk produk hukum daerah. Namun demikian, standardisasi yang kaku dan tidak mampu mengimbangi perkembangan aspirasi masyarakat, justru akan melahirkan “penolakan” dan “pelanggaran” dari masyarakat sendiri, terbukti dengan banyaknya Perda yang dianggap “bermasalah” dan dibatalkan oleh Departemen Dalam Negeri. Sebagaimana Peraturan daerah di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri maupun direkomendasikan pembatalannya oleh Menteri Keuangan, diantaranya Perda Kabupaten Asahan Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perijinan Usaha Perkebunan, Perda pada Kabupaten yang sama Nomor 13 Tahun 2004 tentang Izin Pemakaian Kekayaan Daerah. Perda Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 12 Tahun 2006 tentang Retribusi Angkutan Hasil Alam, Perda Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 34 Tahun 2005 tentang Retribusi Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Perda Kabupaten yang sama Nomor 38 Tahun 2005 tentang Izin Usaha Angkutan Kendaraan Bermotor Umum dan Kendaraan Bermotor Khusus, Nomor 39 Tahun 2005 tentang Retribusi Izin Bongkar Muat Barang Dagangan dan Nomor 46 Tahun 2005 juga tentang Retribusi Izin Usaha Perkebunan.Perda Kabupaen Toba Samosir Nomor 3 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Perda Kabupaten yang sama Nomor 8 Tahun 2006 tentang Retribusi Surat Izin Usaha dan Trayek Angkutan, Perda Kabupaten Dairi Nomor 2 Tahun 2006 tentang Retribusi Wajib Daftar Perusahaan, Perda Kabupaten Samosir Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair. Juga termasuk Perda Provinsi Sumaera Utara Nomor 7 Tahun 2002 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
tentang Retribusi Penyelenggaraan Angkutan Barang. 163 Pada umumnya Perda yang dibatalkan adalah Perda yang menyangkut Retribusi karena Retribusi yang dibebankan dalam Perda Pemerintah Kabupaten/Kota bukan hanya membebani pengusaha tetapi juga membebani warga sehingga beban yang ditanggung oleh pemegang komoditi juga ditanggung oleh konsumen. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang Retribusi Daerah. 164
b.
Rancangan Peraturan Daerah Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Amandemen
Undang
Undang
Dasar
1945
menyiratkan
kekuasaan
pembentukan Undang Undang bergeser ke Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan Pasal 20 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Pada Ayat (2) ditentukan bahwa “Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”. Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) perubahan pertama UUD 1945, maka mestinya Kepala Daerah tidak lagi memegang kekuasaan membentuk peraturan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif Daerah yang 163
Laporan Kepala Biro Hukum Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Pada Rapat Koordinasi/ Pertemuan Sekretaris DPRD dan Para Kepala Bagian Hukum Kabupaten/Kota SeSumatera Utara di Biro Hukum Kantor Gubernur Provsu-Medan, Tanggal 23 Pebruari 2009. 164
Hasil wawancara dengan Ferlin Nainggolan sebagai Kepala Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara di Kantor Gubernur Sumatera Utara Medan pada Tanggal 24 Pebruari 2009. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah. 165 Kepala Daerah hanya berhak mengajukan rancangan peraturan daerah dan menetapkannya sebagai peraturan daerah. Paradigma ini telah berubah dengan lahirnya Undang Undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana dalam Pasal 136 ditentukan bahwa “Peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Sejalan dengan konsep hukum di atas, di dalam pedoman pelaksanaan pembentukan
Peraturan
Daerah
Indonesia Nomor 25 Tahun 2004
yaitu tentang
Peraturan
Pemerintah
Republik
Pedoman Penyusunan Tata Tertib
DPRD sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2005 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Prosedur penyusunan Produk Hukum Daerah, menghendaki bahwa dalam penyusunan peraturan daerah hak prakarsa/inisiatif bisa berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dari eksekutif (Kepala Daerah/Bupati).
165
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: (1) DPRD mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. (2) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam membentuk Peraturan Daerah bersama Kepala Daerah serta dalam Pasal 20 huruf (a) yang menyatakan DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Fungsi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah fungsi DPRD yakni fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran yang dijabarkan kedalam tugas dan wewenang DPRD. Menurut Poerwadarminta DPRD adalah: 1.
Majelis atau badan yang terdiri dari beberapa anggota yang pekerjaannya memberi nasehat, memutuskan sesuatu hal dan sebagainya dengan jalan berunding.
2.
Dewan yang anggotanya wakil rakyat, bertujuan untuk memperhatikan pemerintahan daerah. 166 Sedangkan menurut Budiardjo, menyebutkan : “DPRD adalah lembaga yang
legislatif atau membuat peraturan, peraturan perundang-undangan yang dibuatnya mencerminkan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat keputusan yang menyangkutkepentingan umum”. 167 Dari beberapa pengertian tersebut jelaslah bahwa DPRD merupakan representasi kepentingan dan kehendak rakyat di daerah yang kedudukannya sebagai badan legislatif daerah sekaligus mitra sejajar pemerintah daerah. Menurut Budiardjo peranan DPR atau DPRD yang paling penting adalah: 1.
menentukan Policy (kebijaksanaan) dan membuat Undang-Undang. Untuk itu DPR atau DPRD diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen
166 167
Poerwadarminta, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal.33. Budiardjo Dasar-Dasar llmu Politik,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1989), hal.173.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
terhadap rancangan Undang-Undang atau rancangan Peraturan Daerah yang disusun oleh dan hak budget; 2.
mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan eksekutif sesuai dengan kebijakansanaan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini badan perwakilan rakyat diberi hak-hak kontrol khusus. 168 Kemudian menurut Boboy lembaga perwakilan rakyat atau parlemen
mempunyai fungsi yaitu: 169 1.
Fungsi perundang-undangan ialah fungsi membentuk undang-undang
2.
Fungsi pengawasan ialah fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Aktualisasi fungsi ini, lembaga perwakilan diberi hak seperti: hak meminta keterangan (interpelasi), hak mengadakan penyelidikan (angket) hak bertanya, hak mengadakan perubahan (amandemen), hak mengajukan rancangan Undang-Undang (inisiatif) dan sebagainya.
3.
Sarana pendidikan politik, melalui pembicaraan lembaga perwakilan, maka rakyat di didik untuk mengetahui berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
168
Budiardjo,Fungsi Lembaga Legislatif di Indonesia, (Jakarta:CV. Rajawali, 1985). hal. 151-
152. 169
Max Boboy, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan tata Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1994) hal.28-29. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
1).
Tahap Penyusunan dan Perancangan Sebagaimana produk hukum pada umumnya, Peraturan Daerah diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan di daerah. 170 Tahap penyusunan dan perancangan Rancangan Peraturan Daerah inisiatif yang akan diterbitkan oleh DPRD yang dituangkan dalam suatu Keputusan DPRD tentang Tata Tertib DPRD 171 , yaitu: (a). Beberapa pertimbangan untuk memilih Ranperda inisiatif DPRD, yakni; 1.
Memilih Ranperda yang dinilai kurang memiliki bobot politis, yang potensial menimbulkan banyak pertentangan antar fraksi atau partai;
2.
Memilih Ranperda yang menurut anggota dewan betul-betul berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat terutama yang mendorong upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat;
3.
Memilih Ranperda yang menjadi concern bersama Anggota Dewan;
4.
Memilih Ranperda yang secara substansial tidak terlalu bersifat teknis.
(b). Tahap penyusunan dan perancangan Ranperda inisiatif DPRD, yakni; Tahap I (1). Menetapkan Ranperda yang akan dirancang (atas permintaan anggota atau Komisi Dewan yang didasarkan pada Prolegda); (2). Permintaan asistensi oleh instansi pemrakarsa; 170
Moh. Mahmud MD, Op.cit, hal 9, mengatakan produk hukum lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. 171 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 12/K/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 3/K/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
(3). Sekretariat perancangan membentuk tim asistensi yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan materi; (4). Diskusi awal tim asistensi dengan pemrakarsa mengenai gambaran umum materi Ranperda. Tahap II (Penyusunan Draf I) (1). Tim kerja melakukan pengkajian atau penelusuran informasi; (2). Merancang Naskah Akademik yang memuat latar belakang, tujuan, ruang lingkup yang akan diatur serta jangkauannya; (3). Merancang draf awal; (4). Menyampaikan/mempresentasikan draf awal/draf I kepada Anggota Komisi instansi pemrakarsa. Tahap III (Penyusunan Draf II) (1). Sosialisasi dan public hearing dalam rangka diskusi dengan publik dan dengan pihak terkait, baik instansi pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Perguruan Tinggi; (2). Perbaikan draf awal/draf I; (3). Penyelesaian draf awal/draf II; (4). Presentasi Draf II haasil diskusi publik atau masukan dari masyarakat kepada Pemrakarsa.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Tahap IV (Penyusunan Draf III) (1). Penyempurnaan draf berdasarkan diskusi publik dan masukan pemrakarsa; (2). Perbaikan teknis perancangan; (3). Penyusunan penjelasan umum dan Pasal demi Pasal; (4). Draf III selesai disusun; (5). Persiapan persyaratan administratif pengajuan Ranperda penandatanganan pengusul, pembuatan penjelasan pengusul dan penyampaian usul inisiatif kepada Dewan. Tahap V (Pembahasan ranperda berdasarkan tata tertib Dewan) (1). Proses persetujuan menjadi Ranperda usul inisiatif Dewan; (2). Pembahasan Ranperda inisiatif Dewan.
2).
Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau
Bupati/Walikota. 172 Dalam pembahasan ini Gubernur atau Bupati/Walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. Pembahasan bersama tersebut dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Pada tahap pembahasan DPRD atau Gubernur atau Bupati/Walikota dapat menarik kembali Raperda yang diajukan sebelum dibahas,
172
Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembahasan Ranperda usul inisiatif DPRD diuraikan dalam beberapa tahapan ataupun tingkatan pembicaraan, yaitu; 173 (1). Pembicaraan Tahap I Penjelasan dalam rapat paripurna oleh Pimpinan Komisi/Rapat Gabungan Komisi/Panitia Khusus atas nama DPRD terhadap Ranperda usul inisiatif. (2). Pembicaraan Tahap II Pendapat Kepala Daerah dalam rapat paripurna terhadap Ranperda serta jawaban Pimpinan Komisi/Rapat Gabungan Komisi/Panitia Khusus atas nama DPRD terhadap pendapat Kepala Daerah. (3). Pembicaraan Tahap III Pembahasan dalam rapat komisi/rapat gabungan komisi/panitia khusus yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang dihunjuk oleh Kepala Daerah. (4). Pembicaraan Tahap IV Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan laporan hasil pembicaraan tahap III dan pendapat akhir fraksi yang disampaikan oleh anggotanya serta pemberian kesempatan kepada Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut. 173
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 12/K/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 3/K/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Berbeda dengan RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, yang kemudian disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang, Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Hal ini sesuai dengan Pasal 42 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Agar segera ada kepastian hukum, penetapan Raperda oleh Gubernur atau Bupati/Walikota ditentukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Hal ini juga ditatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUP3 dan Pasal 144 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, apabila Ranperda tidak ditandatangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Ranperda disetujui bersama maka Ranperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. 174
174
Hal senada juga dicantumkan dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan dalam hal Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah tersebut disetujui bersama, maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan dalam Lembaran Daerah
yang
pelaksanaannya
dilakukan
oleh
Sekretaris
Daerah.
Dengan
diundangkannya Peraturan Daerah dalam lembaran resmi (Lembaran Daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui. Fiksi hukum yang mengatakan bahwa dengan telah diundangkannya peraturan daerah dalam Lembaran Daerah maka setiap orang dianggap telah mengetahui hukum. Bagi Indonesia yang secara fakta geografis terdiri dari 17.000 pulau lebih dalam satu wilayah yang sangat luas perlu ada upaya penyebarluasan. 175 Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang tentang
Pemerintahan
Daerah
menyatakan
Pemerintah
Daerah
wajib
menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah. Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui dan mengerti/memahami isi serta maksud yang terkandung dalam Peraturan Daerah. Penyebarluasan dilakukan melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia , stasiun daerah, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan. 176 Peran DPRD dewasa ini sangat kuat, sebagaimana UU No. 10 Tahun 2004 dan UU no. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Peraturan Daerah yang telah disetujui
175
Max Boboy, Op.cit Penjelasan Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 176
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari tidak ditetapkan oleh Kepala Daerah maka sah berlaku dan wajib diundangkan.
c.
Rancangan Peraturan Daerah dari Partisipasi Masyarakat Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas keterbukaan yang selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai
dari
perencanaan,
persiapan,
penyusunan,
dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan perundang-undangan. Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, lima asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, dua diantaranya
adalah
asas
pertanggungjawaban
dan
asas
public
(openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah: asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan.177 Senada dengan itu, Sri Soemantri M.178 mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam lima hal, dua diantaranya adalah:
177
P. M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),
hal 76 178
Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hal 29 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan pejabat yang dianggap merugikan. Implementasi dari asas keterbukaan adalah dalam bentuk peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang berbunyi: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Daerah. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 (Rancangan) Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Pasal 27 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 140 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa: (1). Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis sebagai bahan penyempurnaan dalam tahap penyiapan rancangan Peraturan Daerah. (2). Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap dan jelas. (3). Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat pokok-pokok materi yang diusulkan. (4). Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diagendakan dalam rapat penyiapan Rancangan Peraturan Daerah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah baik di lingkungan Pemerintah Daerah maupun di DPRD, masyarakat tetap dapat berperan serta secara aktif untuk memberikan masukan dalam penyempurnaan Rancangan Peraturan Daerah, demikian juga pada saat dilakukan pembahasan bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah, DPRD dapat menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan lagi masukan dari masyarakat. 179 Peran serta masyarakat dalam proses penyusunan Peraturan Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip akses informasi dan partisipasi. Dalam rangka akses informasi, Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan rancangan atau peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Penyebarluasan bagi Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan dibawahnya dilakukan sesuai dengan perintah Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa : Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan dibawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah. Penyebarluasan dimaksudkan agar khalayak ramai mengetahui peraturan perundangundangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud yang terkandung didalamnya. Penyebarluasan dapat dilakukan melalui media
179
Hal ini dituangkan juga di dalam Pasal 139 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
elektronik, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan serta media komunikasi langsung. 180 Akses partisipasi
publik dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diatur secara tegas dalam Pasal 53 yang menyatakan bahwa Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undangundang dan Rancangan Peraturan Daerah. Hal ini sejalan dengan kebijakan Menteri Dalam Negeri yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah. Dari sini dapat dilihat bahwa Keputusan Menteri tersebut memberi peluang kepada masyarakat yang merasa haknya dilanggar untuk mengajukan Hak uji materiil terhadap Peraturan Daerah ke Mahkamah Agung. Disamping itu Joseph Riwu Kaho, mengatakan bahwa adanya partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor dari keberhasilan otonomi daerah. Masyarakat daerah baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena secara prinsip penyelenggaraan otonomi daerah ditujukan guna mewujudkan masyarakat sejahtera didaerah yang bersangkutan. 181 Dengan demikian partisipasi masyarakat mempunyai peran yang besar dalam menentukan arah kebijakan pemerintah daerah. 180
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 52 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 181 Josef Riwu Kaho,Prospek Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia : Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet III, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal 120 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Sehingga mau tidak mau partisipasi harus dilaksanakan secara maksimal oleh masyarakat. Pada kebanyakan negara pemanfaatan partisipasi masyarakat lokal dalam keikutsertaaan di dalam proses pengambilan keputusan (decision making process) pemerintahan daerahnya terbukti banyak membantu aparatur pemerintah daerahnya dalam memecahkan setiap persoalan masyarakat daerahnya. 182 Dari hasil penelitian persoalan trackfiking dan pemakaian tenaga kerja anak merupakan salah satu masalah yang memiliki jumlah kasus yang cukup besar di Sumatera Utara. Hal ini merupakan persoalan masyarakat yang harus dituntaskan. Masyarakat berinisiatif membantu Pemerintah untuk memecahkan masalah ini. Diprakarsai oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) bersama-sama dengan unsur masyarakat lainnya mengajukan sebuah terobosan untuk memecahkan masalah ini. 183 Berdasarkan aksesbilitas publik dalam pembentukan Perda maka dirancang suatu Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2004 tentang Trackfiking atas inisiatif PKPA dan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Pemberian Pekerjaan Terburuk Bagi Anak 184 atas inisiatif Yayasan Pusaka. Dari sini dapat dilihat bahwa perananan masyarakat sangat berpengaruh dalam pembentukan suatu Perda untuk membantu Pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam penentuan prioritas kebijakan di daerahnya. 182
Faisal Akbar Nasution, “Desentralisasi Pelayanan Umum Pasca Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 (Tinjauan Teoritik)”, Makalah, 2004, hal 9. 183 Hasil wawancara dengan Suryani sebagai pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara, Tanggal 13 Januari 2009. 184 Hasil wawancara dengan Emas Aritonang sebagai Kasi Perundang-undangan pada Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara Tanggal, 10 Januari 2009. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Partisipasi
masyarakat
merupakan
prasyarat
dan
representasi
dari
terealisasinya pemerintahan yang demokratis. Partisipasi masyarakat harus diartikan sebagai kesediaan dan/atau perilaku para warga di masyarakat untuk turut mengambil bagian dalam suatu program
aktivitas
yang
besar. 185
Demokrasi juga
mensyaratkan adanya pengakuan kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan civil society sebagai kekuatan penekan dan pengimbang vis a vis negara. Civil society yang kuat akan mendorong state untuk memperkuat dirinya agar terjadi balance of power sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan yang bermuara pada terjadinya check and balances dalam proses penyelenggaraan negara. 186 Partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan adalah cara efektif untuk mencapai pola hubungan yang setara antara pemerintah dan masyarakat.
185
Soetandyo Wignjosoebroto,Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta:Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), 2002), hal 579-580. 186 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, sebagaimana dikutip dari Muslimin B. Putra, Menimbang Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi,(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hal. 152. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB III KEWENANGAN KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH A.
Kewenangan Departemen Hukum dan HAM di Bidang Peraturan Perundang-undangan
Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang. Kewenangan berdasarkan hukum publik adalah kemampuan yuridis dari badan. Hal ini mengandung pengertian yang sangat luas. Misalnya menyangkut kewenangan Menteri, sebagai wakil negara melakukan tindakan hukum berdasar hukum perdata. 187 Pasal 35 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2008, menyatakan bahwa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dalam Pasal 36 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 juga diuraian bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi : a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang hukum dan hak asasi manusia; 187
F.A.M. Stroink, Deconcentratie Terjemahan Ateng Syafruddin, Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal.24
Pemahaman tentang
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
b. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya; c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan Departemen dalam Pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan unsur pelaksana Pemerintah, dipimpin oleh Menteri Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 12 Keputusan Presiden tersebut juga menyatakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pasal 13 huruf c Keputusan Presiden Nomor 102 tahun 2001 Tentang Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja departemen disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi 188 pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan, pendidikan dan pelatihan tertentu serta penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangannya
188
F.A.M. Stroink, Deconcentratie Terjemahan Ateng Syafruddin, Pemahaman tentang Dekonsentrasi, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 11. Logemann mengartikan fungsi sebagai lingkungan kerja tertentu dalam hubungannya dengan keseluruhannya. Fungsi itu dalam hubungan dengan negara disebut ambt/jabatan. Negara adalah organisasi jabatan, jabatan adalah badan/person. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka mendukung kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dalam Pasal 14 huruf f Keputusan Presiden itu juga dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan fungsinya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai kewenangan pembinaan hukum dan peraturan perundang-undangan nasional. Tapi dalam interpretasi dari tindakan beralasan hukum perdata itu, dasar hukum publik dari tindakan badan itu dapat juga turut berperan. Maka, tindakan hukum publik dari setiap tindakan pemerintah, karena juga menyangkut sebagai badan adalah untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan badan atau wakil. Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, telah terdapat ketetapan perundang-undangan untuk mengalihkan seluruh pembinaan administrasi dan keuangan di bidang peradilan yang semula berada dibawah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Maka, terhitung mulai 1 April 2004, telah dibuka lembaran sejarah baru dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu penyerahan kekuasaan kehakiman ke dalam satu atap (one roof) dibawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebagai konsekwensinya, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia harus mengubah fungsinya untuk lebih memfokuskan pada peningkatan keahlian teknis hukum serta berperan aktif dalam advokasi pembaharuan hukum dan hak asasi Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
manusia. Dimana dengan perubahan fungsi ini diharapkan menjadi ”pemicu” terwujudnya sistem hukum nasional yang lebih baik, beralaskan hak asasi manusia dan responsif terhadap kepentingan semua kalangan dalam masyarakat. Tugas unit-unit utama Departemen Hukum dan HAM di antaranya merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis perundangundangan serta pembinaan di bidang hukum nasional. 189 Salah satu unit utama Departemen Hukum dan HAM dalam menyelenggarakan tugas di bidang peraturan perundang-undangan adalah Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Pasal 14 ayat (2) Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Unit organisasi dan tugas eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
mempunyai tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peraturan perundang-undangan, yang meliputi : 1. Perancangan peraturan perundang-undangan; 2. Harmonisasi peraturan perundang-undangan; 3. Publikasi, kerja sama dan pengundangan; 4. Litigasi perundang-undangan; 5. Fasilitasi perancangan peraturan daerah;
189
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-01.PR.02.10 Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Hukum dan HAM. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
6. Pelayanan teknis dan administratif. 190 Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan menyelenggarakan fungsi: 191 1. Penyiapan perumusan kebijakan departemen di bidang peraturan perundangundangan; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di bidang peraturan perundang-undangan; 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi; 5. Pelaksanaan urusan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat jenderal; 6. Penerbitan dan publikasi rancangan, proses dan hasil rancangan peraturan perundang-undangan serta bahan pendukung rancangan peraturan perundangundangan;
190
Sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.09-PR.07.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.OT.01.01 Tahun 2008, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.OT.01.01 Tahun 2009 Tanggal 27 Maret 2009. Perubahan dari Tahun 2007 ke Tahun 2008 dan terakhir Tahun 2009 memuat tentang perubahan tugas atas pengalihan Direktorat Daktiloskopi pada Direktorat Administrasi Hukum Umum (AHU) menjadi Pusat Daktiloskopi pada Sekjen Dep. Hukum dan HAM. Maka pengaturan mengenai tugas dan fungsi di bidang peraturan dan perundang-undangan tetap mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.09-PR.07.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI. 191 Ibid. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
7. Penyelenggaraan sistem informasi peraturan perundang-undangan, pengelolaan data peraturan perundang-undangan, pendokumentasian, pengundangan dan pendistribusian peraturan perundang-undangan; 8. Penyelenggaraan kegiatan litigasi perundang-undangan dan pelaksanaan fasilitasi peraturan daerah. Seiring dengan itu, Undang-undang No. 10 Tahun 2004 juga menuntut peran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai penjaga proses legislasi nasional. 192 Menyiapkan Draft Akademik, Rancangan Peraturan Perundangundangan, Harmonisasi, mewakili pemerintah dalam pembahasan dengan DPR, serta mengawal hingga pengundangannya. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di daerah dilaksanakan oleh instansi vertikal. 193 SM. Oentarto menyebutnya sebagai refleksi dari pengedepanan kebijakan sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 194 Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dengan mekanisme pelimpahan melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari
192
Undang-undang tentang Pembentukan Pertauran Perundang-undangan dalam Pasal 15 dan Pasal 16 menyatakan, Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundangundangan. Dalam Pasal ini termaktub pengertian bahwa menteri yang di maksud adalah Menteri Hukum dan HAM RI. 193 Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 194 SM. Oentarto dkk, Op. cit, hal. 9. Sebagai illustrasi, pada masa orde baru, pemerintah lebih memberikan kewenangan kepada Kanwil sebagai perpanjangan tangan Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) untuk menyediakan pelayanan publik. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
pusat ke daerah melalui suatu undang-undang. 195 Sementara Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau delegatie van bevegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan negara di pusat kepada instansi bawahan,
guna
melaksanakan
pekerjaan
tertentu
dalam
menyelenggarakan
pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat. 196 Pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan atau melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat berprakarsa menciptakan peraturan dan atau membuat keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakan sendiri pula. 197 Jika kewenangan dijalankan oleh pembuat undang-undang formal, Raja, Menteri atau dijalankan oleh badan yang berada dalam hubungan hierarkis dengan raja/menteri disebut dekonsentrasi. Dalam hal ini pelaksanaan kewenangan oleh pemerintah pusat. Dalam hubungan ini hirearkis semata-mata untuk perimbangan atas dasar posisi para pejabat departemen. Dari sini terlihat bahwa antara menteri dan badan yang didekonsentrasikan terdapat hubungan yang hierarkis dan mempunyai kewenangan bertindak berdasarkan hukum publik. Badan-badan yang didekonsentrasikan adalah badan-badan yang memiliki hubungan hierarkis terhadap menteri. 198 Asas dekonsentrasi tidak dimuat secara eksplisit dalam UUD 1945, baik sebelum atau 195
Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal.173. H.M. Laica Marzuki,Berjalan-jalan di Ranah Hukum,(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 151. 197 Agussalim Andi Gadjong, Op. cit , hal 89 198 F.A.M. Stroink, Op. cit, hal. 30. 196
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
sesudah di amandemen, namun dimuat secara tegas dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa tugas dan wewenang pejabat dekonsentrasi disebut sebagai tugas dan wewenang kepala wilayah. Hal ini disebut sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945. Dimana sumber ketentuan tentang dekonsentrasi dalam UUD 1945 secara umum ditafsirkan sebagai konsekuensi logis dari susunan pemerintah menurut Pasal 2 UUD 1945. 199 Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan itu didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah tetapi tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut. Sedangkan dalam delegasi, kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan didasarkan pada undang-undang dan suatu peraturan pemerintah yang sebelumnya diamanatkan dalam suatu pasal undang-undang untuk ditindaklanjuti. 200 Instansi vertikal di lingkungan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia adalah Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Propinsi. 201 Unit organisasi ini diberikan tanggung jawab besar sebagai perpanjangan tangan202 Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses pembentukan peraturan 199
Disarikan ulang oleh Ateng Syafrudin dari ringkasan karya ilmiah F.A.M. Stroink dalam seminar di FH Uttrecht tahun 1986. Hal ini ditulis sebagai pengantar dalam buku pemahaman tentang dekonsentrasi. 200 Agussalim Andi Gadjong, Op. cit, hal 102. Sebagaimana dikutip ulang dari H.D. van wijk, hoofdstukken van administratief Rech, Vuga Uitgevenhage, 1984, hal.25. 201 Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 64 tahun 2004 Tentang Kedudukan,tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 202 Dari sini terlihat bahwa antara menteri dan badan yang didekonsentrasikan terdapat hubungan yang hierarkis dan mempunyai kewenangan bertindak berdasarkan hukum publik. Badanbadan yang didekonsentrasikan adalah badan-badan yang memiliki hubungan hierarkis terhadap menteri yaitu antara Departemen dengan Kantor Wilayah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
perundang-undangan di daerah (law making process) khususnya Peraturan Daerah dan dalam koordinasi program legislasi daerah.
203
Semua wewenang yang dilakukan
oleh badan yang didekonsentrasikan merupakan bagian dari attributie/delegatie dari wewenang berdasarkan hukum publik. 204 Sehubungan dengan kewenangan yang di dekonsentrasikan itu, Kantor Wilayah sebagai instansi vertikal dari Departemen Hukum dan HAM dilibatkan dalam pembentukan
Peraturan Daerah yang dibuat oleh Gubernur dan Bupati
/Walikota bersama DPRD. 205 Otomatis hal ini mengakibatkan Kanwil harus bersinggungan dengan instansi horizontal atau badan-badan di daerah baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sera dengan DPRD. 206 Pelaksanaan wewenang dari berbagai badan ini dapat saling menyilang, sehingga koordinasi sangat diperlukan. 207
203
Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. 204 F.A.M. Stroink, Op. cit, hal. 70 205 Hal ini ditegaskan juga dalam tugas pokok dan fungsi dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang berkedudukan di setiap provinsi. 206 Ada wewenang yang pelaksanaannya membawa serta akibat hukum berdasarkan hukum publik bagi rakyat dan ada wewenang yang ditujukan pada terjadinya akibat hukum berdasarkan hukum sipil. Di samping itu ada wewenang tanpa akibat hukum bagi rakyat, tetapi berakibat bagi orgaan pemerintah lain. Seperti yang diungkapkan oleh Stroink dalam deconsentration. Wewenang pemerintahan tidak langsung adalah kewenangan berdasarkan undang-undang formal yang bukan wewenang untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan hukum publik, tetapi wewenang yang pelaksanaannya terarahkan pada tindakan hukum yang dilakukan oleh badan lain. 207 F.A.M. Stroink, Op. cit, hal. 80. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
B.
Kewenangan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam Pembentukan Peraturan Daerah
1.
Tahap Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah Penyusunan perencanaan pembentukan Perda dilakukan berdasarkan Prolegda
yang disusun secara terkoordinasi, terarah dan terpadu. Pengkoordinasian Prolegda merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Dephukham). Pengkoordinasian tersebut dilaksanakan oleh Divisi Pelayanan Hukum dan HAM khususnya Bidang Hukum. Namun demikian, Peraturan Menteri tersebut tidak mengatur secara rinci bagaimana penyelenggaraan atau mekanisme pengkoordinasian Prolegda dilaksanakan.208 Mekanisme kerja sama dan pengkoordinasian didasarkan pada pola perencanaan dan pola kebutuhan atau insidentil sesuai dengan tugas fungsi Kanwil Departemen Hukum dan HAM. Pola perencanaan didasarkan melalui anggaran rutin maupun nonrutin. Mekanisme kerja sama dengan instansi di daerah, didasarkan pada pembentukan tim atau panitia yang dibentuk dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Mekanisme kerja dengan pola kebutuhan atau insidentil selama ini, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM biasanya bersifat pasif yakni, sebagai instansi yang diundang atau disertakan untuk memberikan masukan atau instansi yang membantu penyelenggaraan kegiatan tertentu terkait dengan bidang hukum, baik yang diselenggarakan oleh instansi vertikal (pusat) maupun instansi 208
Hasil wawancara dengan Rosman Siregar sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara pada Tanggal 1 Maret 2009. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
horizontal (daerah), misalnya penyelenggaraan seminar, lokakarya, sosialisasi, penyuluhan hukum dan lain-lain. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan program legislasi tidak saja menghasilkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan sesuai amanat UUD 1945, tetapi juga memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maupun di masa yang akan datang. 209 Terkait dengan peran yang strategis dan fungsi Kanwil Departemen Hukum dan HAM, beberapa permasalahan yang perlu dibahas berkenaan dengan mekanisme kerja sama antar instansi adalah mengenai penyelenggaraan pengkoordinasian Prolegda Mekanisme kerja sama terkait dengan pengkoordinasian Prolegda, termasuk peran Kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM dalam Prolegda, sampai saat ini belum ditetapkan adanya pedoman atau aturan penyelenggaraannya.210 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
209
Hasil wawancara dengan Suharyono A.R sebagai Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI pada Tanggal 12 Desember 2008. 210 Hasil wawancara dengan Rosman Siregar sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara pada Tanggal 1 Maret 2009. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
menyebutkan bahwa Kantor Wilayah menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian legislasi daerah 211 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengkoordinasian Prolegda didasarkan pada Pedoman Kegiatan Prolegda yang dikeluarkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Tahun 2001. Pedoman tersebut sudah barang tentu tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum yang ada, terutama terbentuknya UU P3, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pembentukan UU, PP, dan Perpres, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Orta). Pedoman Kegiatan tersebut (Pedoman BPHN) mengarahkan bahwa maksud dilakukannya penyusunan Prolegda oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM adalah: a.
menginventarisasi Prolegda yang berasal dari pemerintah daerah, dalam hal ini dinas-dinas dan instansi di tingkat daerah provinsi yang dapat dan berhak mengajukan inisiatif perda;
b.
menganalisis dan mengevaluasi penentuan skala prioritas dan substansi Prolegda yang akan segera dibahas di DPRD; 211
Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
c.
melakukan pemantauan agar penyusunan Prolegda tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang lebih tinggi. Tujuan
yang
hendak
dicapai
adalah
terciptanya
keterpaduan
dan
keharmonisan dalam penyusunan rencana pembentukan peraturan perundangundangan yang tertuang dalam Prolegda. Dalam kenyataannya, Pedoman tersebut belum dilaksanakan seluruhnya sesuai dengan arahan yang diinginkan oleh Kepala BPHN. Hal ini dikarenakan instrumen hukum Pedoman tersebut yang kurang kuat. Di beberapa daerah provinsi, Pedoman Kegiatan tersebut baru dilaksanakan sebatas kegiatan menginventarisasi Prolegda yang berasal dari pemerintah daerah. Bagaimana menerapkan urutan prioritas dan menelaah mengenai materi Raperda agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, belum dilaksanakan secara menyeluruh.
2.
Tahap Persiapan dan Teknik Penyusunan serta Perumusan Rancangan Peraturan Daerah
a.
Pelibatan dalam Penyusunan Naskah Akademik Persiapan, penyusunan serta perumusan peraturan perundang-undangan dalam
pelaksanaannya terbagi dalam 3 (iga) tahap yaitu Tahap Pra-legislasi, Tahap Legislasi dan Tahap Pasca legislasi. 212 Pada Tahap Pra-legislasi dilalui beberapa proses, yakni: a. proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan;
212
Ahmad Ubbe, Kedudukan dan Fungsi Penelitian Hukum dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,(Jakarta: BPHN, 1999), hal. 29. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
b. proses persiapan yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan penyusunan Naskah Akademik; c. proses teknik dan mekanisme penyusunan peraturan perundang
-
undangan; d. proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Tahap Legislasi akan melalui proses pembahasan oleh DPRD dan Pemerintah, pengesahan, penetapan serta pengundangannya. Sedang, Tahap Pasca Legislasi akan melalui proses pendokumentasian, penyebarluasan, penyuluhan dan penerapan peraturan perundang-undangan. Dari semua pentahapan itu, penyusunan Naskah Akademik termasuk dalam Tahap Pra-legislasi, yang berarti Naskah Akademik yang baik didahului dengan kegiatan yang telah masuk dalam perencanaan, sebagai salah satu penyelesaian dari masalah hukum yang dihadapi. Dalam penyusunan Ranperda, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dapat memfasilitasi penyusunan Naskah Akademik Ranperda. 213 Hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 17 Desember 2008. Fasilitasi sebagaimana dimaksud
213
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH 01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundangundangan. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
diatas dapat berupa penyediaan tenaga ahli, bahan hasil penelitian, konsultasi, atau fasilitas lain yang diperlukan dalam penyusunan Naskah Akademik. 214 Istilah Naskah Akademik merupakan istilah yang lazim dipakai dalam khasanah akademik maupun praktisi bagi klangan penyusun peraturan perundangundangan. Naskah Akademik terdiri dari dua kata yaitu naskah dan akademik, naskah adalah rancangan 215 dan akademik adalah bersifat akademi, sedangkan akademis mempunyai arti bersifat ilmu pengetahuan. 216 Dari kedua pengertian kata itu dapat diartikan bahawa Naskah Akademik aalah suatu rancangan yang bersifat akademis atau ilmu pengetahuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Keberadaan Naskah Akademik pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya Ranperda dirasakan sangat penting. Pemikiran tentang pentingnya Naskah Akademik ini setidaknya dilatarbelakangi oleh dua alasan, yaitu alasan substantif dan alasan teknis. 217 Alasan substantif, dimaksudkan untuk memperoleh Ranperda yang baik, aplikatif dan futuristik. Selain itu, ketika suatu Ranperda sudah didukung oleh Naskah Akademik yang memadai, maka perdebatan dalam pembahasan Ranperda di lembaga legislatif dapat lebih efisien. Karena sering kali perdebatan terjadi terhadap masalah yang seharusnya telah
214
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH 01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang undangan. 215 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 610. 216 Ibid, hal. 13. 217 Ahmad Ubbe, ”Mekanisme Penelitian Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang undangan”, Makalah, disampaikan pada Temu Konsultasi Pelaksanaan Hukum di Jajaran BPHN Departemen Hukum dan HAM, Bogor Tanggal 20-22 Juni 2005, hal. 14. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
dijawab dalam NA. Sedangkan alasan teknis, dimaksudkan untuk membatasi daftar prioritas yang terlalu banyak namun tidak didukung oleh dokumen yang memadai, sehingga tidak dapat mencapai target pengesahan tahunan dan akibatnya terjadi tunggakan (carry over) bagi Pemerintah maupun DPRD. Untuk mendukung penyusunan Naskah Akademik khususnya dari segi substansi sebaiknya didukung dengan bahan penunjang berupa hasil pengkajian dan penelitian serta analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan. Latar belakang dibentuknya Naskah Akademik adalah pemikiran mengenai alasan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis yang mendasari pentingnya materi hukum suatu Ranperda. Hal ini ditegaskan dalam lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang-undangan. Landasan filosofis, memuat pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebathinan serta watak dari bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. 218 Landasan yuridis, memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundangundangan yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif) yang ada kaitannya dengan judul Naskah Akademik. 219 Yang termasuk dalam peraturan perundangundangan pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 dan
218
Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH 01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundangundangan bagian II tentang Penjelasan Sistematika Naskah Akademik 219 Ibid Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 220 Landasan sosiologis memuat suatu tinjauan
terhadap gejala-gejala sosial
ekonomi politik yang berkembang di masyarakat. Landasan sosiologis sebaiknya memuat analisis kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauhmana tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai. 221 Naskah akademik juga harus memperhatikan pandangan hidup bangsa, hirearki perundang-undangan, kondisi sosial masyarakat, aspek penerimaan (acceptance) dan penolakan (resistance) masyarakat , yang keseluruhan aspek tersebut termuat dalam dasar filosofis, sosiologis dan yuridis sert psikhopolitik masyarakat. Oleh karena itu penyusunan naskah akademik harus dilakukan secara sistemik, holistik dan futuristik dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Kegiatan pendukung lainnya adalah konsultasi secara intens dengan pihak-pihak yang
220
Sebagaimana Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan, jenis dan hirearki Peraturan Perundang-undangan dan penjelasannya adalah; a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Perpu; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah meliputi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, Peraturan Desa; f. Peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Desa atau yang setingkat. 221 Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH 01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundangundangan bagian II tentang Penjelasan Sistematika Naskah Akademik. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
mengetahui tentang apa yang akan diatur. Dengan demikian bagian ini memberikan alasan yang sangat penting terutama bagi para perancang (legal drafter) mengenai informasi, pengetahuan dan perspektif bagi para pengambil kebijakan. Legal drafter menterjemahkan berbagai hal tersebut dalam bahasa hukum. 222 Tujuan penyusunan Naskah Akademik memuat sasaran utama dibuatnya Naskah Akademik yakni sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan 223 . Sedangkan kegunaan Naskah Akademik memuat pernyataan tentang manfaat disusunnya Naskah Akademik tersebut, yakni selain untuk bahan masukan bagi perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter) juga dapat berguna berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan. 224 Misalnya Naskah Akademik Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis 225 , Naskah Akademik Ranperda Provinsi Sumatera Utara tentang Pelayanan Kesehatan 226 menjadi dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Ranperda saat dibahas bersama dengan DPRD Provinsi Sumatera Utara.
222
Yunan Hilmi, ”Praktek Penyusunan Naskah Akademis”, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Jakarta 10-23 Desember 2008. 223 Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH 01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundangundangan. 224 Ibid 225 Ranperda ini sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. 226 Ranperda ini sudah disahkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Secara garis besar penyusunan naskah akademik dapat dibagi dua yaitu kegiatan pendukung dan substansi. Kegiatan pendukung dari penyusunan naskah akademik adalah penelitian dan pengkajian. Penelitian hukum dapat berupa penelitian normatif 227 atau penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum merupakan seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan hukum. 228 Naskah Akademik juga berfungsi untuk memberikan arahan bagi para pemangku kepentingan dan perancang (legal drafter). Pemangku kepentingan khususnya yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan berupa informasi yang memadai dalam menunjang pengambilan kebijakan. Sedangkan bagi legal drafter naskah akademik berfungsi sebagai acuan mengenai apa yang akan diatur dalam bentuk kalimat-kalimat peraturan perundang-undangan. Naskah akademik juga sebagai bahan bagi Departemen Hukum dan HAM RI dalam melakukan tugasnya sebagai pintu Rancangan Undang-Undang yang menjadi usulan Pemerintah. 229
227
Diawali dari norma-norma hukum yang ada lalu menuju fakta-fakta yang terjadi. Sutandyo Wignyosumarto,”Sebuah Pengantar tentang Pembinaan Hukum dalam PJP II”, Makalah, pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta, Juli 1995. 229 Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan ”Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”. 228
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
b. Pelibatan dalam Harmonisasi Daerah
Rancangan Peraturan Daerah/Peraturan
Dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawabnya Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dilibatkan dalam harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda. 230 Harmonisasi Perda dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan
dan membulatkan konsepsi suatu
Ranperda dengan peraturan perundang-undangan lain baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah sehingga tersusun secara sistematis tidak saling bertentangan atau tumpang tindih. 231 Organ/peraturan yang lebih rendah harus tetap berada dalam batas dan rambu yang telah ditetapkan oleh peraturan yang lebih tinggi. 232 Tujuan pengharmonisasian adalah untuk memberikan gambaran yang jelas dalam pemikiran atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral yang utuh. 233 Di tingkat daerah, rambu-rambu mengenai
penghamornisasian Raperda
sebagian telah ditentukan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UndangUndang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa Perda dibentuk dalam rangka 230
Sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah angka 7 bahwa para Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendayagunakan keberadaan para Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. 231 Hafid Abbas, ”Rancangan Harmonisasi Ranperda dan Evaluasi Perda dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Makalah, disampaikan pada Seminar tentang ”Harmonisasi Peraturan Daerah”, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza Medan, tanggal 28 Januari 2008. hal. 4. 232 I.C. Van der Vlies,Handboek Wetgeving,atau Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan.Linus Doludjawa, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,2005), hal.187. 233 loc.cit, hal.5 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan juga merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah menuangkannya dalam Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3). Yang paling penting adalah bahwa Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut merupakan tujuan dan peletak dasar perlunya harmonisasi setiap Raperda. Pemerintah daerah dan DPRD bersama-sama melakukan harmonisasi mengenai perda yang akan dibentuk, untuk menghindari adanya perda yang diuji materinya oleh pemerintah. 234 Selain ketentuan Pasal 136 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hal yang perlu dijadikan dasar pengharmonisan adalah Pasal 137 dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa dalam membentuk
peraturan
perundang-undangan
harus
berdasarkan
pada
asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi : a.
kejelasan tujuan; Penjelasan Pasal 5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa setiap
234
Lihat Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai; b.
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
berwenang.
Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Hal ini seperti tertuang dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (b) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.; c.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya;
d.
dapat dilaksanakan; Pasal 5 huruf (d) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
pembentukan
peraturan
dalam
penjelasannya
perundang-undangan
harus
disebutkan
setiap
memperhitungkan
efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis;
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan; setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini dituangkan dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (e) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.;
f.
kejelasan rumusan; Kejelasan rumusan dituangkan secara rinci dalam Penjelasan Pasal 5 huruf (f) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya; dan
g.
keterbukaan; dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. 235 Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
235
Penjelasan Pasal 5 huruf (g) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
perundang-undangan. Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi perancang peraturan
perundang-undangan
dan
penentu
kebijakan
dalam
melakukan
pengharmonisasian peraturan perundang-undangan. Semua asas tersebut harus terpateri sebagai hal yang harus dipertimbangkan pada saat akan membentuk dan mengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah pentingnya membentuk peraturan ini? Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat? Tidakkah instrumen lain, selain peraturan, sudah cukup? Dalam menyusun substansi yang diinginkan oleh penentu kebijakan, atau apakah rumusan tersebut sudah jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda? Apa masalah sosial yang akan diselesaikan? Masalah sosial yang akan diselesaikan pada dasarnya akan terbagi dalam dua jenis. Pertama, masalah sosial yang terjadi karena adanya perilaku dalam masyarakat yang bermasalah. Misalnya, banyak anak-anak atau remaja usia sekolah atau usia produktif hidup tampa pekerjaan tetap atau hidup dari meminta-minta di setiap perempatan jalan raya, sehingga menyebabkan lingkungan menjadi kumuh, maka diperlukan Perda penanganan gelandangan dan pengemis. Banyak orang mabuk karena mengkonsumsi minuman dengan kadar alkohol yang tinggi, maka diperlukan pengaturan tentang peredaran minuman beralkohol. Kedua, masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang ada tidak lagi proporsional dengan keadaan masyarakatnya. Misalnya, peraturan daerah tentang retribusi biaya pemeriksaan kesehatan, ternyata memberatkan masyarakat kecil, Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
hingga tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Perda tentang Pajak Daerah, sudah tidak sesuai dengan Undang-undang tentang Pajak Daerah, maka perda tersebut harus diganti dengan yang baru. Pada saat melakukan pengharmonisasian Peraturan Daerah seharusnya mampu mendiskripsikan masalah sosial tersebut. Salah satu cara untuk menggali permasalah tersebut adalah dengan langkah penelitian. Untuk masalah sosial yang ada dalam setiap pasal atau norma yang ditentukan dalam materi yang diatur, pada tahap harmoisasi juga harus jeli melihat apakah seluruh substansi tersebut telah mengandung asas materi muatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 (lebih rinci dalam penjelasan Pasal 6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni asas: a.
pengayoman; materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat;
b.
kemanusiaan; materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; c.
kebangsaan materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia);
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
d.
kekeluargaan; materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan; e.
kenusantaraan materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila;
f.
bhinneka tunggal ika; materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; g.
keadilan materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
i.
ketertiban dan kepastian hukum; materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Pengharmonisasian peraturan daerah bukan saja dilakukan pada tahap tertentu saja, tetapi pada semua tahapan proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah.
c.
Inventarisasi, Analisa dan Evaluasi Peraturan Daerah Dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab itu Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya bidang Hukum melakukan inventarisasi
peraturan perundang-undangan daerah atau pengumpulan dan
pengolahan peraturan perundang-undangan 236 yang isinya tidak sesuai dengan nilainilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, serta asas dan materi muatan pembentukan Peraturan Daerah, bersifat diskriminatif, melanggar 236
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
HAM dan menimbulkan konflik di masyarakat, baik yang berasal dari Pemerintah Daerah/ Biro Hukum maupun dinas-dinas di lingkungan Pemerintah kabupaten/Kota. Atas dasar inventarisasi tersebut dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap Peraturan Daerah. Hasil kajian dan/atau penelitian disampaikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota dalam bentuk rekomendasi untuk dimasukkan dalam program legislasi daerah. Selanjutnya, menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan di daerah. 237 Hal ini ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri para Gubernur, Bupati/Walikota dapat mendayagunakan keberadaan para Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerahnya masing-masing untuk melakukan harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda tersebut. 238 Mengevaluasi Ranperda atau Perda bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan umum dan kepentingan aparatur, keserasian dengan peraturan yang lebih tinggi dan dengan peraturan yang sejenis. 239 Pengharmonisasian peraturan daerah tidak selalu berada diujung kegiatan, apabila dalam rapat-rapat antar instansi terkait di Biro Hukum Provinsi Sumatera Utara tentang Peraturan Daerah yang sedang dibuat atau disusun, wakil dari Kanwil 237
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. 238 Lihat angka 7 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah. 239 Hasil wawancara dengan Wicipto Setiadi sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI pada Tanggal 18 Maret 2009. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Departemen Hukum dan HAM terkadang diikutsertakan. Seperti pada pembahasan Ranperda tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, Ranperdaprovsu tentang Sistem Kesehatan, Ranperda tentang Kawasan Pesisir, Ranperda tentang Pengelolaan Terumbu Karang, dan beberapa Ranperda lainnya. Untuk menyelaraskan Peraturan Daerah dengan peraturan yang lebih tinggi/atau Peraturan Daerah lainnya, terutama Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, APBD, Tata Ruang ditentukan ditentukan bahwa Peraturan Daerah itu berlaku setelah melalui evaluasi oleh Pemerintah. 240 Secara umum, mekanisme evaluasi Rancangan Peraturan Daerah khususnya tentang APBD oleh Pemerintah diatur dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi 241 tersebut disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
240 241
A.A. Oka Mahendra, Op.cit,hal. 131. Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Hal ini dituangkan dalam Pasal 185 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada ayat (5) pasal tersebut ditegaskan jika hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya. Ketentuan tersebut merupakan mekanisme kontrol dalam rangka menjaga keserasian Peraturan Daerah dengan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Sebab Peraturan Daerah merupakan salah satu subsistem dalam sistem peraturan perundang-undangan dalam Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Peraturan Daerah harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan. Artinya Peraturan Daerah sebagai instrumen penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan selain harus mampu menampung kondisi
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
khusus, atau ciri khas masing-masing daerah, juga harus ditempatkan dalam konteks penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan Perda kabupaten/kota termasuk tentang
APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 186 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah. Perwakilan dari Departemen Hukum dan HAM sering dilibatkan pada tahapan ini. Seperti pada evaluasi terhadap Ranperda tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Ranperda tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD. 242 Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tidak 242
Pasal 186 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi (Pasal 186 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004). Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan
Bupati/Walikota,
Gubernur
membatalkan
Perda
dan
Peraturan
Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya. Dalam Pasal 186 ayat (6) UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri. Apabila DPRD sampai batas waktu yang ditentukan tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD. 243 Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi 243
Pasal 187 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota. Hal ini dituangkannya dalam Pasal 187 ayat (2) Undang-undang Pemerintahan Daerah. Pada ayat (3) disebutkan bahwa untuk memperoleh pengesahan tersebut rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang APBD. Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri atau Gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah, kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah. 244 Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang. Peraturan kepala daerah tentang Penjabaran APBD dan peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD dijadikan dasar penetapan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah. Dalam rangka evaluasi pengelolaan keuangan daerah dikembangkan sistem informasi keuangan daerah yang menjadi satu kesatuan dengan sistem informasi pemerintahan daerah.
244
Lihat Pasal 187 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DAN UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH A.
Hambatan
1. Di Bidang Substansi Hukum Di dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Dephukham ditentukan bahwa Kantor Wilayah menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian legislasi daerah 245 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengkoordinasian tersebut dilaksanakan oleh Divisi Pelayanan Hukum dan HAM. Namun demikian, Peraturan Menteri tersebut tidak mengatur secara rinci bagaimana penyelenggaraan
pengkoordinasian
Prolegda
dilaksanakan. 246
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 atau Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur secara tegas tentang mekanisme penyusunan Prolegda sebagaimana penyusunan Prolegnas, yang langsung menunjuk Departemen Hukum dan HAM untuk pengkoordinasian Prolegnas.
245
Sebagaimana dimaksudkan dalam Tugas pokok dan fungsi Divisi Pelayanan Hukum dan HAM dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. 246 Sri Hariningsih, “Beberapa Pemikiran Dalam Rangka Penyempurnaan UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah Disampaikan pada Kegiatan Peningkatan Pengetahuan Tenaga Perancang di Direktorat Perancangan Peraturan Perundangundangan tanggal 12 Juli 2006. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Kedua Undang-undang tersebut juga tidak memerintahkan secara tegas untuk mengatur lebih lanjut tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam peraturan pelaksanaan. 247 Pedoman penyusunan Prolegda diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Prolegda. Keputusan ini ditetapkan pada 26 Agustus 2004 atau 2 (dua) bulan 4 (empat) hari setelah ditetapkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga tampak Keputusan ini belum mengacu kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga dapat dilihat bahwa belum adanya suatu peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar hukum mengenai peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dalam penyusunan Prolegda dan Pengajuan Ranperda dari Pemerintah Daerah. 248 Sebagaimana halnya pengaturan yang tegas tentang pengkoordinasian Prolegnas yang secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa pelaksanaan Prolegnas dikoordinasikan dengan Departemen yang bergerak di bidang hukum dan perundang-undangan. Di tingkat pemerintah daerah, berdasarkan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa ”Tata cara mempersiapkan rancangan Peraturan 247
Sri Hariningsih, Ibid Maria Farida Indrati, “Hal-Hal Yang Memerlukan Pengkajian Dan Penyempurnaan Sebagai Masukan Bagi Perubahan UU NO. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” Makalah , disampaikan pada Lokakarya RUU tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 2004 tanggal 23-24 Mei 2006. 248
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Kunci permasalahan pada dasarnya terletak pada belum ditetapkannya Peraturan Presiden tersebut. Mengapa? Karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 juga mengamanatkan hal yang sama. Bahwa ”Ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.” 249 Dari sini dapat dianalisis dan diambil kesimpulan bahwa ada dua menteri yang mempersiapkan rancangan Peraturan Presiden tersebut yakni Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri yang keduanya mungkin mempunyai kepentingan yang berbeda. 250 Menteri Hukum dan HAM sebagai unsur pelaksana pemerintah yang mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintah dibidang hukum dan hak asasi manusia dan Menteri Dalam Negeri sebagai unsur pelaksana pemerintah yang mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintah dibidang pemerintahan daerah dimana keduanya berada dibawah dan sama-sama bertanggung jawab kepada Presiden. Peraturan Presiden ini sangat dinantikan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dan merupakan salah satu ”key word” tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai perpanjangan tangan dari Departemen Hukum dan HAM dalam rangkaian tata cara mempersiapkan Rancangan 249
Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 250 Maria Farida Indrati, Loc.cit Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Peraturan Daerah yang berasal dari eksekutif, legislatif ataupun dari partisipasi masyarakat. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara tegas mengatur pelibatan Departemen Hukum dan HAM dalam proses penyusunan Undang-undang sebagai Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang perundang-undangan. 251 Sementara pengaturan tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah masih menunggu dibentuknya Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 252
2. Di Bidang Struktur Hukum Dari hasil penelitian diperoleh bahwa keadaan kerancuan perangkat hukum ini berimbas pada kinerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM termasuk Kanwil Sumatera Utara. Hal ini menyulitkan posisi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal dari Departemen Hukum dan HAM untuk berkoordinasi
dengan Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara sebagai
instansi horizontal di daerah. Apalagi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengubah sistem pemerintah di daerah dengan penguatan sistem desentralisasi (otonomi daerah). 253 Perubahan tersebut merupakan implementasi dari Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik 251
Pasal 16 ayat (3) UU. No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. 252
Hasil wawancara dengan Rosman Siregar sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Dep. Hukum dan HAM Sumatera Utara Tanggal 9 Januari 2009. 253 Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Indonesia yang menyatakan bahwa ”Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan pembantuan. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. 254 Pelibatan instansi vertikal dalam membuat kebijakan daerah akan semakin sulit. Apalagi landasan hukum pelibatan instansi vertikal tersebut sangat lemah secara yuridis. Lemahnya landasan yuridis tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM mengakibatkan independensi dan akuntabilitas kelembagaan Kantor Wilayah sebagai lembaga hukum kurang dirasakan di dalam praktek pembentukan Peraturan Daerah sehingga sangat dimungkinkan menurunnya kepercayaan masyarakat khususnya pemerintah daerah kepada Kantor Wilayah sebagai lembaga hukum. 255 Di sisi lain, secara umum kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang hukum khususnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan di Kantor Wilayah masih belum memadai dan perlu ditingkatkan. Alinea terakhir penjelasan umum undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah 254
Kewenangan membuat Peraturan Daerah merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi secara luas yang dimiliki oleh suatu daerah juga merupakan suatu kewenangan yang diberikan oleh Wet kepada suatu lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mewujukan kemandirian suatu daerah dan memberdayakan masyarakat. 255 Hasil wawancara dengan BT. Naibaho sebagai Kepala Bidang Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, tanggal, 8 Januari 2009. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
dan merumuskan Rancangan peraturan perundang-undangan. Perancang adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan penyusunan Rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah. 256 Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara belum memiliki tenaga perancang yang memadai, walaupun sudah banyak yang mengikuti pendidikan dan pelatihan perancang dan penyusun perundang-undangan, namun belum ada yang diangkat sebagai tenaga fungsional. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dimaksudkan untuk meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada prakteknya ketidakjelasan pendelegasian ataupun peraturan pelaksanaan didalamnya khususnya tentang
tata cara penyusunan Ranperda mengakibatkan lemahnya
koordinasi antar instansi baik antar instansi horizontal atau antar instansi vertikal dengan instansi horizontal dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan. 257 Disisi lain masih adanya egoisme sektoral dari instansi pemrakarsa terkait dengan pengaturan kewenangan yang dimilikinya serta belum mantapnya landasan yuridis yang mengatur tata cara penyiapan, pembahasan, teknik penyusunan dan akses publik untuk berpatisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang256
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 257 Ibid. Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
undangan juga mempengaruhi tingkat koordinasi antar instansi terkait. Terutama adalah apabila Ranperda tersebut merupakan inisiatif DPRD yang di dalamnya mengatur banyak kepentingan yang tumpang tindih dengan kewenangan lainnya, hampir tidak pernah melibatkan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dan semua tahapan pembentukan Perda inistiatif tersebut. Hal itu berimbas pada kegiatan diskusi dan konsultasi serta koordinasi yang dilakukan sangat terbatas diantara Tim Asistensi, Biro/Bagian Hukum, Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan leading sector serta kelompok dan organisasi masyarakat yang berkaitan dengan masalah masalah yang diatur juga sangat terbatas. Seperti yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara pada Rapat koordinasi dan konsultasi tentang Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Rancangan Peraturan Daerah tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara menurut penelitian berjalan kurang maksimal karena diantara dinas/unit kerja ada semacam sikap untuk tidak terlalu “mencampuri” wilayah dinas/unit kerja lain. Kecuali itu, umumnya mereka sudah “percaya” dan “menyerahkan sepenuhnya” kepada Tim Asistensi yang sudah dibentuk. Dari sana kelihatan ”seolah-olah” Rapat koordinasi dan konsultasi dilakukan sekedar formalitas belaka.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana termasuk anggaran untuk menjamin pelaksanaan pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Perda sangat kurang memadai. 258 Kurang memadainya anggaran dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat dalam implementasi pelibatan Kantor Wilayah dalam pembentukan Perda. Pembentukan Perda pada prakteknya lebih didasarkan pada hubungan yang harmonis dengan Pemerintah Daerah termasuk instansi pemrakarsa, daripada sebagai bentuk atau wujud pelaksanaan perintah perundang-undangan. Bahkan, sering pelibatan itu dilakukan berdasarkan pengalaman dimana yang mewakili Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara itu dianggap bisa bekerja sama dengan tim yang sudah dibentuk. Sehingga yang diundang adalah orang yang sama. Selain itu tidak tersedianya ruangan khusus di Kantor Wilayah untuk membahas Perda atau Ranperda mengakibatkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam pembahasan Perda atau Ranperda. 259 Karena pembahasan dilakukan di salah satu ruangan pejabat struktural dengan kapasitas peserta diskusi yang terbatas hanya dua atau tiga orang saja. Hal ini mengakibatkan minimnya masukan-masukan yang di terima sepanjang pembahasan Perda/Ranperda berlangsung. Di sisi lain kurangnya anggaran yang memadai di Kanwil Departemen Hukum
dan
HAM
Sumatera
Utara
menjadi
kendala
tersendiri
dalam
258
Hasil wawancara dengan BT. Naibaho sebagai Kepala Bidang Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, tanggal, 8 Januari 2009. 259 Ibid Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program legislasi daerah, menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan daerah. Apalagi mengingat luasnya wilayah Sumatera Utara dengan 33 Kabupaten/Kota yang jarak masing-masing daerah dengan ibukota provinsi relatif jauh, tentu dibutuhkan anggaran yang memadai untuk dapat menjangkau kabupaten/kota tersebut.
B. Upaya yang Dilakukan Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dala pembentukan Perda perlu segera ditanggulangi secara sistematis dan terencana dengan mendayagunakan berbagai potensi, diantaranya; 1. Di Bidang Substansi Hukum Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Dephukham tersebut tidak mengatur secara rinci bagaimana penyelenggaraan pengkoordinasian Prolegda dilaksanakan, sehingga Kanwil Departemen Hukum dan HAM lebih cenderung menginventarisasi Rancangan Peraturan Daerah atau Peraturan Daerah yang berasal Pemerintah Daerah baik dari Biro Hukum Provinsi maupun dari dinas-dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi ataupun pemerintah Kabupaten/Kota. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 atau Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur secara tegas tentang mekanisme penyusunan Prolegda termasuk tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam peraturan Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
pelaksanaan. 260 Sehingga Pedoman penyusunan Prolegda mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Prolegda walaupun keputusan ini belum mengacu kepada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam berbagai kesempatan seperti pada saat ada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan seperti seminar tentang Harmonisasi Peraturan Daerah, Pendidikan dan Pelatihan Penyusun dan Perancang Peraturan Perundang-undangan selalu mendorong dibentuknya suatu peraturan pelaksana tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara sebagai instansi vertikal dan perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah Provinsi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah termasuk
harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda dari segi teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan serta menjaga agar setiap Perda tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Di Bidang Struktur Hukum Peningkatan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan oleh pembentukan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dilakukan melalui pelaksanaan lokakarya atau seminar untuk membahas hasil dari analisis dan tanggapan terhadap suatu Rancangan Peraturan 260
Maria Farida Indrawati, Loc.cit
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Daerah yang melibatkan Biro Hukum Provinsi dan dinas-dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi ataupun pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan koordinasi dengan DPRD dilakukan dengan melibatkan anggota DPRD dalam acara-acara ataupun seminar tentang pembentukan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM atau dari Pusat seperti kegiatan yang dilakukan oleh BPHN, Direktorat Jenderal HAM dan Direktorat Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM. Fasilitasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, baik berupa penyediaan tenaga ahli, bahan hasil penelitian yang diperlukan dalam penyusunan naskah akademik, selama ini masih dilakukan secara pasif dalam arti apabila diundang atau dilibatkan oleh Biro Hukum Provinsi atau Dinas-dinas dilingkungan Pemerintah Provinsi. Namun demikian, pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam penyusunan naskah akademik sedang disosialisasikan berhubung peraturan pelaksanaannya yang menjadi dasar kewenangan masih tergolong baru yakni Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundangundangan yang diterbitkan oleh BPHN pada bulan Januari 2009. Kegiatan diskusi dan konsultasi serta koordinasi dilakukan diantara Tim Asistensi, Bagian Hukum, Kanwil Departemen Hukum dan HAM dan leading sector serta kelompok dan organisasi masyarakat yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diatur yang sangat terbatas. Pada Tahun 2007 Rapat koordinasi dan konsultasi Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
tentang Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Rancangan Peraturan Daerah tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Hasil Rapat koordinasi dan konsultasi
tersebut kemudian diserahkan kepada Biro Hukum
Provinsi dan Dinas-dinas terkait di lingkungan pemerintah Provinsi. Pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah pada prakteknya lebih didasarkan pada hubungan yang harmonis dengan Pemerintah Daerah termasuk instansi pemrakarsa, daripada sebagai bentuk atau wujud pelaksanaan perintah perundang-undangan. Namun dalam prakteknya siapapun yang menjadi perwakilan dari Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumaera Utara selalu membawa nama Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan pelatihan-pelatihan penyusunan dan perancang peraturan perundang-undangan untuk mencetak tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah dan merumuskan Rancangan peraturan perundang-undangan. Kedepannya akan mengusulkan Pegawai yang sudah mengikuti pelatihan tersebut sebagai pejabat fungsional. Perancang adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan penyusunan Rancangan peraturan perundang-undangan dan atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
3. Di Bidang Sarana dan Prasarana Selain itu tidak tersedianya ruangan khusus di Kantor Wilayah untuk membahas Perda atau Ranperda mengakibatkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam pembahasan Perda atau Ranperda yang dilakukan secara intern oleh pegawai
yang
menangani
bidang
hukum,
sebelum
Perda/Ranperda
diserahkan/dikoordinasikan dengan pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya. Karena pembahasan dilakukan di salah satu ruangan pejabat struktural dengan kapasitas peserta diskusi yang terbatas hanya dua atau tiga orang saja. Hal ini mengakibatkan minimnya masukan-masukan yang di terima sepanjang pembahasan Perda/Ranperda berlangsung. Mengingat anggaran yang sangat minim, maka Perda dan atau Ranperda yang akan dibahas dipilah-pilah, dan peninjauan langsung ke kabupaten/kota dalam rangka Prolegda dilakukan secara bergantian. Pada penyusunan rencana kerja dan program kerja Kanwil Departemen hukum dan HAM Sumatera Utara mengajukan penambahan anggaran untuk menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program legislasi daerah, menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan daerah.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis
ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai dasar kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang berbunyi, Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Juga diatur didalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dalam Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan Pasal 136 ayat (1) yang masing-masing berbunyi; Pasal 25 huruf c menyatakan Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. Pasal 42 ayat (1) huruf a menyatakan DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Sedang Pasal 136 ayat (1) berbunyi Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan dari DPRD. Aspek kewenangan ini juga secara tegas dipersyaratkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Perundang-undangan yang menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 2.
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara sebagai instansi vertikal di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Propinsi memiliki tanggung jawab besar sebagai perpanjangan tangan Departemen Hukum dan HAM di daerah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah
(law making process) khususnya
Peraturan Daerah dan dalam koordinasi program legislasi daerah, memfasilitasi penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah berupa penyediaan tenaga ahli, bahan hasil penelitian, konsultasi, atau fasilitas lain yang diperlukan dalam penyusunan Naskah Akademik, harmonisasi maupun evaluasi Ranperda atau Perda sebagai salah satu upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu Ranperda dengan peraturan perundang-undangan lain baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah sehingga tersusun secara sistematis tidak saling bertentangan atau tumpang tindih. Melakukan inventarisasi
peraturan perundang-undangan
daerah atau pengumpulan dan pengolahan peraturan perundang-undangan yang isinya tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, serta asas dan materi muatan pembentukan Peraturan Daerah, bersifat diskriminatif, melanggar HAM dan menimbulkan Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
konflik di masyarakat, baik yang berasal dari Pemerintah Daerah/ Biro Hukum maupun dinas-dinas di lingkungan Pemerintah kabupaten/Kota. Selanjutnya, menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan di daerah tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan umum dan kepentingan aparatur, keserasian dengan peraturan yang lebih tinggi dan dengan peraturan yang sejenis. 3.
Secara umum hambatan yang dihadapi oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara tentang pelibatannya dalam pembentukan Peraturan Daerah adalah lemahnya landasan yuridis tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM sebagai instansi vertikal Departemen Hukum dan HAM dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah serta Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan disebabkan karena masih adanya egoisme sektoral dari instansi pemrakarsa terkait dengan pengaturan kewenangan yang dimilikinya yang merupakan salah satu bias dari desentralisasi, dekonsentrasi dari otonomi daerah. Disisi lain kurangnya anggaran yang memadai di Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara menjadi kendala tersendiri dalam menyelenggarakan
fungsi
pengkoordinasian
program
legislasi
daerah,
menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan daerah. Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara belum memiliki
tenaga
perancang yang diangkat sebagai tenaga fungsional. Sedang upaya yang dilakukan oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara untuk Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
menghadapi hambatan-hambatan itu adalah selalu mendorong dibentuknya suatu payung hukum yang kuat sebagai peraturan pelaksana tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses pembentukan
peraturan
perundang-undangan
di
daerah.
Meningkatkan
koordinasi dengan instansi horizontal di daerah yang dijadikan sebagai langkah awal dan sebagai media untuk melakukan sosialisasi terhadap aturan-aturan yang menjadi dasar kewenangan pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM dalam pembentukan Peraturan Daerah. Mengajukan penambahan anggaran untuk menyelenggarakan fungsi pengkoordinasian program legislasi daerah, menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang -undangan daerah serta mengadakan
pelatihan-pelatihan penyusunan dan perancang peraturan
perundang-undangan untuk mencetak tenaga perancang yang berkualitas dan mengusulkan Pegawai yang sudah mengikuti pelatihan tersebut sebagai pejabat fungsional.
B.
Saran Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang
dikemukakan dalam tesis ini, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah : 1.
Untuk menghindari kerancuan tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota diharapkan nantinya dapat diatur atau dititipkan dalam Peraturan Presiden tersendiri yang sampai sekarang macet karena belum ada tanda-tanda untuk ditetapkan.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Alternatif lain adalah mengamandemen UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan merinci pengaturan tentang penyelenggaraan Prolegda sebagaimana pengaturan tentang Prolegnas. Untuk penyiapan prolegda, sebaiknya masing-masing daerah membentuk perda tentang prolegda, atau setidak-tidaknya dengan keputusan DPRD dari hasil kesepakatan bersama penentuan prolegda antara DPRD dan pemerintah daerah, sehingga prolegda sebagai lembaga resmi, harus dilaksanakan oleh pembentuk perda secara konsisten dan konsekuen. Komitmen untuk tidak melakukan salipmenyalip karena alasan urgensi atau kepentingan daerahnya untuk membentuk suatu perda, perlu lebih ditingkatkan karena ini menyangkut
etika
kepemerintahan.
harus
Sekali
menetapkan
prioritas
dalam
prolegda,
dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. 2.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara sebagai vertikal Departemen Hukum dan HAM dalam proses pembinaan hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah perlu dibuat suatu Undang-undang sebagai payung hukum atau landasan yang kuat sebagai dasar kewenangan pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses pembentukan peraturan daerah.
3.
Untuk menghadapi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara disarankan suatu payung hukum yang kuat sebagai peraturan pelaksana tentang pelibatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam proses pembentukan peraturan
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
perundang-undangan di daerah. Hal ini tentunya harus dibarengi dengan dan keseriusan dari Pejabat pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dalam rangka peningkatan koordinasi dengan instansi horizontal di daerah yang dijadikan sebagai langkah awal dan sebagai media untuk melakukan sosialisasi terhadap aturan-aturan yang menjadi dasar kewenangan pelibatan Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dalam pembentukan Peraturan Daerah.
Dibutuhkan
menyelenggarakan
juga
fungsi
dukungan
anggaran
pengkoordinasian
yang
program
memadai legislasi
untuk daerah,
menganalisa dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan daerah serta memperbanyak
pelatihan-pelatihan penyusunan dan perancang peraturan
perundang-undangan untuk mencetak tenaga perancang yang berkualitas dan mengusulkan Pegawai yang sudah mengikuti pelatihan tersebut sebagai pejabat fungsional.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-buku
Abdullah, Rozali,Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Desa Secara Langsung, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Ali, Faried, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia,Jakarta : Raja Grafindo Persada,1996. Al-Rasyid, Harun, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, Jakarta: UI-Press, 2007. Arinanto, Satya,Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di indonesia,Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta: The Habibie Centre, 2001 Boboy, Max, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan tata Negara, Jakarta: Sinar Harapan, 1994 Budiardjo, Fungsi Lembaga Legislatif di Indonesia,Jakarta:CV. Rajawali, 1985. ________, Dasar-Dasar llmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1989 Divisi
Kajian Demokrasi Lokal Yayasan Harkat Bangsa,Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta : CV. Trio Rimba Persada, 2003.
Gadjong, Agussalim Andi,Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia, 2007. Hadjon, P. M., Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Handoyo, B. Hestu Cipto, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Haris, Syamsuddin,Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,Jakarta : LIPI Press, 2005. Huda, Ni’matul, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, cet. ke-1, Jakarta : Bina Aksara, 1982. Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia : Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet III, Jakarta : Rajawali Press, 2003. Kaloh, J Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global,Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Kelsen, Hans, General Theory of Law and State,New York : Russell & Russel, 1945. Koswara,E. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,Jakarta :Yayasan PARIBA, 2001. Kusnardi, Moh. & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti, 1980. Kusumah, Mulyana W, Perspektif, teori dan Kebijakansanaan Hukum,Jakarta : Rajawali, 1986. Lubis M. Solly, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung, PT Alumni, 1983. Lubis, Solli, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978. Mahendra, Oka A.A., Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Jakarta:Departemen Hukum dan HAM RI,2006. Mahfud MD. Moh, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta : LP3ES, 2001.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Mallarangeng, Andi, Dkk, Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1999. Marzuki, H.M. Laica,Berjalan-jalan di Ranah Hukum,Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006 Martosoewignjo, Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 1981. Matutu, Mustamin Dg, dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: UIII Press, 2004. M, Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni, 1992. Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara,(kumpulan tiga uraian pokokpokok persoalan tentang Pancasila), Jakarta: Bina Aksara, 1988. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Poerwadarminta, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997. Romli, Lili,Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta, Sinar Harapan, 2000. SM, Oentarto, I Made Suwandi, Dodi Riyadmadji, Format Otonomi Daerah Masa Depan, Jakarta: Samitra Media Utama, 2004. Soehino,Perkembangan Pemerintahan di Daerah,Yogyakarta: Liberty, 1980. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981. Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983. Soekanto, Soerjono, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Soemitro, Ronny H., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghali, 1982. Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2006. Sudarwo, Iman,Cara Pembentukan Undang-undang dan Undang-undang tentang Protokol,Surabaya :Penerbit Indah, 1988. Syaukani, Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid,Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan,Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2004. Stroink, F.A.M., Deconcentratie atau Pemahaman tentang Dekonsentrasi, Terjemahan Ateng Syafruddin, Bandung: Refika Aditama, 2006. Ubbe, Ahmad, Kedudukan dan Fungsi Penelitian Hukum dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,Jakarta: BPHN, 1999 Van der Vlies, I.C.,Handboek Wetgeving,atau Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan.Linus Doludjawa, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,2005 Yudoyono, Bambang,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2001. Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Wignjodipuro, Surojo, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung : Gunung Agung, 1969. Wignjosoebroto, Soetandyo,Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), 2002.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
II. Karya Ilmiah/Artikel/Majalah Abbas, Hafid, ”Rancangan Harmonisasi Ranperda dan Evaluasi Perda dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Makalah, disampaikan pada Seminar tentang ”Harmonisasi Peraturan Daerah”, dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza Medan, tanggal 28 Januari 2008. Adam,Wahidudin”Permasalahan Hukum yang berkaitan dengan Peraturan Daerah”, Makalah, disampaikan pada disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tahun 2008, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008. Al-Rasyid, Harun, “Peraturan Perundang-undangan dalam Konstitusi Indonesia”, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tahun 2008, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008. A.R, Suhayono, “Pengaturan tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegda”, Makalah disampaikan pada Temu Konsultasi Panitia Legisasi DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, diselengarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, Medan 27-29 Maret 2007. Attamimi. A. Hamid S., “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah Negara” (studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I Pelita VI), Jakarta :Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 1990. Hariningsih, Sri, “Beberapa Pemikiran Dalam Rangka Penyempurnaan UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan”, Makalah Disampaikan pada Kegiatan Peningkatan Pengetahuan Tenaga Perancang di Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan tanggal 12 Juli 2006 Harkrisnowo, Harkristuti, “Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”, Jurnal Mediasi, Edisi 6, Vol 4, Desember 2007. Hilmi, Yunan, ”Praktek Penyusunan Naskah Akademis”, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Jakarta 10-23 Desember 2008 Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Hoessein, Benyamin, “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara”, Disertasi, Jakarta: PPS-FisipolUI, 1993. Indrati,
Maria Farida, “Hal-Hal Yang Memerlukan Pengkajian Dan Penyempurnaan Sebagai Masukan Bagi Perubahan UU NO. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” Makalah , disampaikan pada Lokakarya RUU tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 2004 tanggal 23-24 Mei 2006.
Juwana, Hikmanto, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan Rancangan Undang-undang”, Makalah, disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah di Cisarua Bogor Tahun 2006. Lubis. M Solly, “Dasar-Dasar Paradigmatik Pembentukan Peraturan Perundangundangan”, Makalah disampaikan pada Diklat Legislatif DraftingPeningkatan Kapabilitas Aparatur Pemerintah Daerah dalam Penyusunan Perda di Era Otonomi Daerah, diselenggarakan atas kerja sama Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara dengan Laboratorium Konstitusi Sekolah Pascasarjana USU dan JICA (Japan International Cooperation Agency) Human Resources Development for local Goverment, di Medan 27 Nopember -1 Desember 2006. Lubis. M Solly, “Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, pada Seminar tentang ”Partisipasi publik dalam Proses Legislasi sebagai pelaksanaan Hak politik”, dilaksanakan oleh Badan Litbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza Medan, tanggal 2 Mei 2007. Mahendra, A.A.Oka, “Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah”, disampaikan pada Temu Konsultasi Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah, diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Hukum dan HAM, Bali, 13-15 September 2005. Nainggolan, Ferlin,”Program Legislasi Daerah”, Makalah, disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Legal Drafter Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara Tahun Anggaran 2008.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Nasution, Bismar, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum, Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003. Nasution, Faisal Akbar, “Desentralisasi Pelayanan Umum Pasca Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 (Tinjauan Teoritik)”, Makalah,2004. Natabaya, H.A.S., “Upaya Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan dlam Rangka Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi”, Majalah Hukum Nasional, No.2, Tahun 1999. Rasyid, Ryaas, ”Pemerintah Serius laksanakan Desentralisasi”, Jurnal Berita Otonomi Daerah, Kantor Menteri Negara Otonomi Daerah, No.85, 2000. Setiadi, Wicipto”Mekanisme Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan”, Makalah pada Seminar Harmonisasi Perundang-undangan tanggal 21 September 2006 yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Perundangundangan Departemen Hukum dan HAM RI. Simatupang, Baldwin, “Harmonisasi Peraturan Daerah Dalam rangka Pelaksanaan RANHAM 2004-2009”, Jurnal Mediasi, Edisi 6, Vol 4, Desember 2007. Sunoto, ”Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan”, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Jakarta, 1997. Ubbe, Ahmad, ”Mekanisme Penelitian Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah, disampaikan pada Temu Konsultasi Pelaksanaan Hukum di Jajaran BPHN Departemen Hukum dan HAM, Bogor Tanggal 20-22 Juni 2005. Wignyosumarto, Sutandyo,”Sebuah Pengantar tentang Pembinaan Hukum dalam PJP II”, Makalah, pada Seminar Akbar 50 Tahun Pembinaan Hukum Sebagai Modal Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta, Juli 1995. Yudoyono, Susilo Bambang, Makalah Arahan Presiden pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2006.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
III. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI, Nomor 4437. Republik Indonesia UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI, Nomor 44421. Republik Indonesia UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI, Nomor 4389. Republik Indonesia, Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara RI, Nomor 4359. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 11. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden. Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, fungsi, kewenangan, susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor. M-01.PR.02.10 Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor. M-01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09PR.07.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Perundang -undangan. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Republik
Indonesia, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34/1586/SJ Tanggal 25 Juli 2006, Perihal Tertip Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 12/K/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor. 3/K/2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Flora Nainggolan : Pembentukan Peraturan Daerah Dikaitkan Dengan Peran Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Sum Atera Utara, 2009 USU Repository © 2008