KEBIJAKAN LEGISLASI TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI INDONESIA
TESIS
Oleh
NURSITI 057005016/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
KEBIJAKAN LEGISLASI TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI INDONESIA
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
NURSITI 057005016/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
Judul Tesis
: KEBIJAKAN LEGISLASI TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI INDONESIA
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Nursiti : 057005016 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Daud, S.H.) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., MH)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,Msc)
Tanggal Lulus: 12 Februari 2008
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
Telah diuji pada Tanggal 12 Februari 2008
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Muhammad Daud, S.H.
Anggota
: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. 2. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum 3. Prof. Warsani, S.H. 4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Nursiti
Tempat/ Tgl Lahir : Banda Aceh, 15 Oktober 1972 Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Alamat
: Jl. Tgk Cot Plieng No. 13 Lampineng, Banda Aceh
Pendidikan: -
SD Negeri No. 11 Banda Aceh (Lulus Tahun 1985)
-
SMP Negeri No. 1 Banda Aceh (Lulus Tahun 1988)
-
SMA Negeri No. 6 Pekanbaru (Lulus Tahun 1991)
-
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (Lulus Tahun 1996)
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
NASKAH PUBLIKASI JUDUL TESIS PIDANA
: KEBIJAKAN LEGISLASI TINDAK PERKOSAAN DI INDONESIA
NAMA MAHASISWA : NURSITI NOMOR POKOK : 057005016 PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Muhammad Daud, S.H. Ketua
Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. Anggota
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H, M.Hum Anggota
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
NASKAH PUBLIKASI
KEBIJAKAN LEGISLASI TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI INDONESIA TESIS Oleh:
NURSITI 057005016/HK
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
ABSTRAK
Tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan konvensional yang belum berhasil ditangani secara baik karena sempitnya pengertian yang digunakan untuk mendefinisikan perumusannya, sikap aparat penegak hukum dan masyarakat yang tidak responsif serta tidak adanya perlindungan bagi korban. Batasan masalah yang diteliti adalah untuk melihat apakah perumusan tindak pidana perkosaan yang di atur dalam KUHP sudah sesuai dengan nilai-nilai dan asas hukum, bagaimana kebijakan normatif di luar KUHP tentang tindak pidana perkosaan dan bagaimana konsep Rancangan KUHP Nasional mengatur tentang tindak pidana perkosaan. Bertujuan untuk mendapatkan analisis perumusan tindak pidana perkosaan yang diatur dalam KUHP, kebijakan legislasi di luar KUHP serta analisis konsep Rancangan KUHP Nasional tentang tindak pidana perkosaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan melakukan tahapan inventarisasi hukum positif sebagai proses identifikasi yang kritis analitis serta logis-sistematis. Tahapan selanjutnya adalah singkronisasi suatu peraturan yang dilakukan secara horizontal. Rumusan tindak pidana perkosaan dalam KUHP belum memberikan perlindungan yang sepenuhnya kepada perempuan korban. Dalam rumusan perundangan, ditemukan sempitnya defenisi tindak pidana perkosaan Kebijakan legislasi diluar KUHP khususnya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT telah mengatur mengenai tindak pidana perkosaan dengan istilah kekerasan seksual dengan bentuk perbuatan yang dilarang lebih luas dari KUHP dan sanksi yang lebih berat serta perlindungan khusus yang wajib diberikan kepada korban. Dalam Rancangan KUHP Nasional, rumusan tindak pidana perkosaan sudah mengalami perluasan sehingga bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya juga dirumuskan sebagai perkosaan dengan sanksi yang lebih berat dari yang diatur dalam KUHP. Kata Kunci: Kebijakan Legislasi, Perkosaan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
ii
ABSTRACT Rape is a conventional crime that not yet succeeded to be handled well. It is because the limited devinition to determine it also the attitude of the police and society who is not responsive to protect the victim. The limitation of the research here is to see wether the limitation of rape which is arranged in the Indonesian Criminal Code (KUHP) so wich value and law norm, how the norm policy outside of Indonesian Criminal Code arranged about rape and how the concept of Defice Criminal Code National can arrange about rape. The aim of the research is to get analysis of the crime of rape that is arranged in Indonesian Crime Code and policy legislation analysis normatively about rape outside of Criminal Code and the analysis concept of Defice Criminal Code National about rape. Mathodelogy for this research is normative law research, where the researcher make an positive law stocktaking as an identification process identify analytical critical and sistematic logic. Next step is sinkronitation of the rule which is done horizontally. The formula of the crime of rape in Indonesian Criminal Code is still limited in giving the protection for the victim and identified that how limited the law defined the rape. The legislation outside of Indonesian Criminal Code especially law No. 23/2002 about Child Protection and Law No. 23/2004 about Domestic Violence actually has arranged about the crime of rape where the technical term used sexsual violence. both of the law, prohibited deed form is broader than Indonesian Criminal Code more heavy sanction and special protection which is obliged to be passed to victim. In Defice Criminal Code National, the formula of rape crime has been wider so that the form of sexsual violence has been extention as a rape with the sanction for this crime also is harder than in Indonesian Criminal Code. Keyword: Legislation Policy, The Crime of Rape
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis persembahkan kehadapan Ilahi Rabbi yang telah begitu banyak melimpahkan karunia dan berkah-Nya, karena dengan izin-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang diberi judul ” Kebijakan Legislasi Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia” Seiring Salawat dan Salam kepada Muhammad, SAW, Nabi dan Rasul Allah SWT yang telah membawa kita sekalian ke alam yang terang benderang dan penuh ilmu pengetahuan agar kita mampu melihat kebesaran dan keagungan sang pencipta alam semesta ini dan mensyukurinya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tesis ini, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, untuk itu penulis sangat mengharapkan pengarahan dan sumbangan pemikiran dari semua pihak untuk penyempurnaannya. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Chairudin P. Lubis DTM&H, SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2.
Prof. DR. Ir. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3.
Prof. DR. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4.
Prof. Muhammad Daud, selaku dosen pembimbing I penulis
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
iv
5.
Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H. M.S, selaku Dosen Pembimbing II penulis
6.
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III Penulis
7.
Prof. Warsani, S.H. selaku Dosen Penguji
8.
Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Terimakasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas Syiah Kuala dan
Dekan Fakultas Hukum Unsyiah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana ini dengan segala dukungan baik moril maupun materil yang sangat membantu penulis selama ini. Terima kasih yang tak terhingga dan kasih sayang yang tak terputus yang penulis persembahkan kepada ayahanda Muhammad Amin, SH (Alm) dan Ibunda Tjoet Meurah Asiah (Alm) serta Adinda Muhammad Nur, SP (Alm) yang dalam kepergiannya tetap memberikan insprirasi dan kekuatan kepada penulis. Terima kasih dan cinta kepada Suamiku Dede Suhendra, S.Sos, dan anakanakku Ananda Desti Aqilla dan Fauzan Abbiyu Zihny, yang dengan cinta dan pengertian telah memberikan dukungan yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih pula kepada kakanda dan adinda, Drh. Nuzul Asmilia, MSc, Nurul Asmiati, Nurchaily, SPd. M.Kom, Nurbaiti, MPd serta Muhammad Yasin beserta seluruh anggota keluarganya yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayang. Terima kasih juga buat Papa Amiruddin Nasution dan Ibunda Rosmaini, serta
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
v
adik-adik Teti, Erna, Erni, Tuti dan Didi serta keluarga di Tanjung Balai atas kasih sayang dan bantuan dalam meringankan tugas-tugas selama proses pendidikan ini berlangsung. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dahlan, SH, M.Hum dan Bapak Abdul Muis, SH, M.Hum yang selalu memberikan perhatian dan bimbingan sejak penulis menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Unsyiah sampai dengan saat ini. Dan saudaraku Ria Fitri, SH, M.Hum yang telah mengambil alih sebagian tanggung jawab sehingga pendidikan ini dapat berjalan dengan baik. Terima kasih buat teman-teman di Komnas Perempuan, LBH Apik Aceh dan Jakarta, Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA), Balai Syura Ureung Inong Aceh yang telah menjadi teman diskusi yang mencerahkan dan menyumbangkan banyak referensi kepada penulis. Terima kasih buat Desi, Siti, Nunung, Bibah, Putri dan Sangkot, serta temanteman S2 lainnya yang telah mau berbagi dan memberikan suasana yang menyenangkan serta memberi motivasi dalam penyelesaian tesis ini. Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdoa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa dan agama. Amin.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Nursiti
Tempat/ Tgl Lahir
: Banda Aceh, 15 Oktober 1972
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Alamat
: Jl. Tgk Cot Plieng No. 13 Lampineng, Banda Aceh
Pendidikan: -
SD Negeri No. 11 Banda Aceh (Lulus Tahun 1985)
-
SMP Negeri No. 1 Banda Aceh (Lulus Tahun 1988)
-
SMA Negeri No. 6 Pekanbaru (Lulus Tahun 1991)
-
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (Lulus Tahun 1996)
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
vii
DAFTAR ISI ABSTRACK .................................................................................................................ii ABSTRAK ................................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................................iii DAFTAR ISI...............................................................................................................vii DAFTAR TABEL........................................................................................................xi DAFTAR ISTILAH ....................................................................................................xii DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xv BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A.
Latar Belakang ......................................................................................... 1
B.
Perumusan Masalah ................................................................................. 8
C.
Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
D.
Manfaat Penelitian ................................................................................... 9
E.
Keaslian Penelitian................................................................................... 9
F.
Kerangka Teori dan Konsep .................................................................. 10
G.
1.
Kerangka Teori. .......................................................................... 10
2.
Kerangka Konsepsional ............................................................. 22
METODE PENELITIAN....................................................................... 36 1.
Jenis Penelitian............................................................................ 36
2.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data...................................... 38
3.
Pengolahan dan Analisis Data .................................................... 39
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
viii
H.
Sitematika Penulisan .............................................................................. 40
BAB II
TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KUHP............................ 42
A.
Pengertian Tindak Pidana Perkosaan dan Unsur-Unsurnya .................. 42
B.
1.
Pasal 285 KUHP ......................................................................... 42
2.
Pasal 286 KUHP ........................................................................ 50
3.
Pasal 287 KUHP ......................................................................... 52
4.
Pasal 288 KUHP ......................................................................... 56
Asas Hukum dalam Perumusan Kebijakan Pidana ................................ 58 1.
Asas Legalitas ............................................................................. 58
2.
Asas Kesamaan ........................................................................... 66
3.
Asas Proporsionalitas.................................................................. 66
4.
Asas Personalitas ........................................................................ 67
5.
Asas Publisitas ............................................................................ 67
6.
Asas Subsideritas ........................................................................ 67
C.
Penempatan Tindak Pidana Perkosaan dalam Sistematika Legislasi.... 68
D.
Analisis Kebijakan Legislasi Tindak Pidana Perkosaan dengan Metode Pemecahan Masalah (MPM).................................................................. 74 1.
Rule (Peraturan) .......................................................................... 78
2.
Opportunity (Peluang) ................................................................ 79
3.
Capability (Kemampuan)............................................................ 80
4.
Communications (Komunikasi) .................................................. 81
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
ix
BAB III
5.
Interest (Kepentingan) ................................................................ 81
6.
Process (Proses).......................................................................... 82
7.
Idiology (Idiologi). ...................................................................... 83
KEBIJAKAN LEGISLASI DI LUAR KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN ....................................................... 85
A.
B.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT......................... 86 1.
Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang ..................................... 96
2.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi. .............................................. 98
3.
Akibat.......................................................................................... 99
4.
Pelaku........................................................................................ 100
5.
Korban....................................................................................... 101
6.
Jenis tindak pidana .................................................................... 102
7.
Pembuktian. .............................................................................. 103
8.
Ketentuan Pidana ...................................................................... 107
9.
Upaya Perlindungan.................................................................. 112
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ...... 114 1.
Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang ................................... 120
2.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi ............................................. 121
3.
Akibat........................................................................................ 122
4.
Pelaku........................................................................................ 122
5.
Korban....................................................................................... 123
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
x
BAB IV
6.
Jenis Tindak Pidana .................................................................. 123
7.
Pembuktian ............................................................................... 124
8.
Ketentuan Pidana ...................................................................... 124
9.
Upaya perlindungan .................................................................. 126
KONSEP TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM RANCANGAN KUHP NASIONAL................................................... 128
A.
Urgensi KUHP Nasional...................................................................... 128
B.
Pengertian, Unsur-Unsur dan Sistematisasi Tindak Pidana Perkosaan Dalam Rancangan KUHP Nasional ..................................................... 135
C.
Rekomendasi Tentang Pembaharuan Rumusan dan Sistematika Legislasi Tindak Pidana Perkosaan. .................................................................... 140
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 156
A.
Kesimpulan .......................................................................................... 156
B.
Saran .................................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 160
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
xi
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
1
Aktor Dan Prilaku Bermasalah Dalam Tindak Pidana Perkosaan..................................................................................................... 75
2
Ketentuan Pidana Undang-Undang No. 23 Tahun 2004.............................. 90
3
Perbandingan Ketentuan Pidana Antara KUHP dengan Undangundang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT ............................................ 109
4
Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban KDRT (Kekerasan Seksual)....................................................................................................... 113
5
Perbandingan Ketentuan Pidana Antara KUHP Dengan Undangundang No. 23 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Anak.......................... 126
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
xii
DAFTAR ISTILAH Bedreiging met geweld:
ancaman kekerasan
Beleid:
kebijakan
Booking:
pesanan
Capacity:
kapasitas
Comunication:
komunikasi
Confiracy of silence:
kesepakatan diam-diam
Counter culture:
budaya tandingan
Crime:
kejahatan
Criminal act:
undang-undang pidana
Criminal liability:
pertanggungjawaban pidana
Criminal policy:
kebijakan kriminal
Decent:
kepatutan
Dubius:
memiliki arti ganda/ mendua
Dwingen:
perbuatan memaksa
Ends means:
metode merancang kebijakan dengan menetapkan tujuan terlebih dahulu
Ethics:
kesusilaan
Geen straf zonder schuld:
tidak ada tindak pidana tanpa kesalahan
Geweld:
kekerasan
Idiology:
idiologi
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
xiii
Ikra’h:
pemaksaan
In casu:
dalam kasus ini
In concreto:
pada kenyataannya
In cremental:
metode merancang peraturan yang mengharapkan perubahan pada terjadi secara bertahap
Inherent:
sejenis
Interest:
kepentingan
Implementing agent:
pelaksana peraturan
Law enforcement policy:
kebijakan dalam penegakan hukum
Law in books:
hukum dalam perundang-undangan
Legal substance:
substansi hukum
Legistis positivistis:
hukum yang diundangkan oleh lembaga berwenang
Marital rape:
perkosaan dalam perkawinan
Misdrijven tegen de zeden:
kejahatan terhadap kesopanan
Mu’asyarah bi al-ma’ruf:
dengan cara yang baik
Opportunity:
peluang
Over tredingen betreffende de zeden: pelanggaran terhadap kesopanan Penal policy:
kebijakan pidana
Penal reform:
pembaharuan hukum pidana
Policy:
kebijakan
Policy oriented approach:
kebijakan yang berorientasi pada kebijakan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
xiv
Rule:
peraturan
Role occupant:
pemegang peran
Revictimisasi:
menjadi korban untuk kesekian kalinya
Social defence:
keamanan sosial
Social policy:
kebijakan sosial
Social welfare:
kesejahteraan sosial
Statutory rape:
perkosaan yang ditentukan oleh undang-undang
Sub culture:
bagian budaya bangsa
Value oriented approach:
pendekatan yang berorientasi pada nilai
Verkrachting:
perkosaan untuk bersetubuh
Wet boek van strafrecht:
kitab undang-undang hukum pidana
Wijsbeleid:
kebijakan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
xv
DAFTAR SINGKATAN CEDAW:
Convention of Discrimination Againts Womens
KUHAP:
Kitan Undang-undang Hukum Acara Perdata
KUHP:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
MPM:
Metode Penyelesaian Masalah
PBB:
Perserikatan Bangsa-bangsa
PKDRT:
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
UU:
Undang-undang
UUD:
Undang-undang Dasar
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkosaan adalah masalah sangat serius. Namun secara statistik, pendataan kasus perkosaan masih sangat lemah. Data yang ada seringkali tidak akurat, belum lagi adanya keengganan perempuan korban untuk melaporkan karena tidak didukung oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Hanya sedikit korban dan keluarganya yang kemudian melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. Selain itu media massa juga hanya mengungkapkan sebagian kecil dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi. Perkosaan adalah tindak pidana konvensional yang saat ini semakin sering terjadi namun selalu sulit untuk diadili. Hingga saat ini masih terjadi pro dan kontra atas konsepsi dan pengertian tindak pidana perkosaan serta cara penanggulangannya. Akan tetapi tindak pidana perkosaan baik secara yuridis dan sosiologis merupakan tindakan yang sangat dicela dan sangat merugikan pihak korban. Tindak pidana perkosaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dirumuskan pada beberapa pasal yaitu:
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
2
1.
Pasal 285 KUHP : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. 1 Perumusan tersebut menetapkan beberapa kriteria untuk dapat menyebut suatu
perbuatan sebagai tindak pidana perkosaan yaitu : a. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan b. memaksa perempuan (berarti tidak ada persetujuan dari si korban) c. yang bukan istrinya d. untuk bersetubuh 2.
Pasal 286 KUHP: Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. 2 Pasal ini berkaitan dengan perkosaan kepada perempuan bukan istrinya yang
sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Beberapa permasalahan muncul berkaitan dengan pengertian pingsan atau tidak berdaya, apakah termasuk di dalam pengertiannya kondisi tidak waras atau kondisi berada di bawah kekuasaan (tidak berdaya). 3.
Pasal 287 KUHP: (1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15
1
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 210. 2 Ibid, hlm. 211.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
3
tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294. 3 Pasal ini berkaitan dengan perkosaan terhadap perempuan bukan istrinya yang masih belum cukup umur (belum 15 tahun). Kalimat yang menyatakan “patut disangkanya belum cukup masanya untuk kawin” seringkali dijadikan alasan bagi pelaku perkosaan bahwa kondisi fisik korban yang seperti perempuan dewasa membuat pelaku tidak menyangka bahwa korban belum berumur 15 tahun. Penilain fisik seperti ini seringkali merugikan korban karena dirinyalah yang kemudian dinilai menjadi penyebab terjadinya perkosaan. 4.
Pasal 288 KUHP: (1) Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka. (2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian perempuan itu, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. 4 Pasal ini merupakan satu-satunya pasal yang mengatur tentang perkosaan
yang dilakukan di dalam lembaga perkawinan, hanya saja hal ini dibatasi pada pasangan yang istrinya ternyata belum cukup umur atau belum masanya untuk kawin.
3 4
Ibid, hlm. 211. Ibid, hlm. 212.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
4
Yang berdasarkan pasal 287 KUHP artinya belum berumur 15 tahun. Pasal ini hanya menjatuhkan hukuman kepada pelaku jika tindakan perkosaan tersebut menyebabkan korban mengalami luka-luka pada badan (luka fisik) atau meninggal dunia. Kriteria dan pembatasan oleh pasal-pasal yang berkaitan dengan perkosaan di atas menjadikan tindak pidana perkosaan berdefinisi sempit dan
menimbulkan
banyak masalah bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan. Hal ini menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan seringkali akhirnya hanya dikenai pasal pencabulan, atau bahkan perkara tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan karena tidak adanya bukti seperti persyaratan legal KUHP. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus perkosaan yang terungkap namun tidak diadili karena adanya kelemahan dalam perumusan kebijakan legislasi yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan dan penegakannya: Kasus 1; Perkosaan terhadap anak perempuan: “Yeni dan Yana (bukan nama sebenarnya) adalah anak kelima dan keenam dari tujuh bersaudara, berusia 14 dan 12 tahun, telah mengalami perkosaan berulang kali dari ayah kandungnya. Kejadian terungkap atas keberanian anak bungsu (laki-laki) dalam keluarga yang menelepon polisi dan mengajak ibunya datang melapor. Dalam pemeriksaan polisi, sang ayah menolak tuduhan perkosaan dan mengatakan bahwa sebelum mengajak berhubungan seks, ia selalu bertanya apakah kamu iklas? dan dijawab “iklas” oleh anak-anaknya. Dalam pendampingan anak-anak mengaku mereka memang menjawab demikian karena mereka sangat takut pada ayahnya.” 5 Dari kasus tersebut dapat dijumpai adanya perbedaan posisi antara pelaku dengan korban yaitu pelaku sebagai orang tua (ayah) yang sangat ditakuti oleh anak5
Kasus didampingi oleh lembaga SIKAP, Jakarta April 2002 sebagaimana yang dikutip dalam Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2002), hlm. 99.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
5
anaknya, sehingga korban menuruti keinginan pelaku tanpa perlu adanya paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pelaku berdalih dengan perkataan iklas yang diberikan oleh korbannya. Tidak terbukti adanya pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat menyebabkan pelaku terlepas dari tuntutan perkosaan. Kasus 2; Perkosaan terhadap pekerja seks: “Seorang pekerja seks di-“booking”- seseorang dengan perjanjian pembayaran Rp. 100.000,- dan mendapat uang muka Rp. 50.000,-. Ternyata ia diberikan kepada tiga tentara yang kemudian menyekapnya, membungkam mulutnya, mengikat tangan dan kakinya. Ia kemudian diperkosa bergiliran dan pingsan. Korban ditemukan tukang sapu hotel.” 6 Status sosial dan pekerjaan korban sebagai pekerja seks komersial seringkali menjadikan faktor utama yang dapat menyebabkan kasus seperti ini tidak dapat ditindaklanjuti sebagai tindak pidana perkosaan. Korban dianggap memiliki cacat sosial dan sudah selayaknya mendapatkan prilaku kekerasan perkosaan tersebut. Kasus 3; perkosaan dalam wilayah konflik: “Pada tahun 1997, setelah pembebasan sandera di Nggeselema, rumah kami didatangi anggota ABRI. Mereka meminta saya dan anak saya untuk pergi ke pos mereka. Untuk menghindari ancaman mereka, sering saya sembunyikan anak di kandang babi. Suatu hari ABRI datangi saya dan minta pakaian mereka untuk saya jahit. Tapi mereka tidak membayar saya. Kalau saya minta mereka bayar, mereka kasih peluru. Saat itu saya berontak. Mereka lepas pakaian saya secara paksa dan mereka memperkosa saya, sambil ada yang memotret.” 7 Dalam kondisi konflik, perkosaan tidak hanya dapat dipandang sebagai tindak pidana biasa, tetapi dapat juga menjadi pelanggaran hak asasi manusia sebagai 6
Kasus didampingi oleh Griya Lentera, PKBI Yogyakarta, sebagaimana dikutip dalam Ibid,
hlm. 134. 7
Testimoni SG, 25 tahun dari Papua, sebagaimana dikutip dalam tulisan Galuh Wandita, Memahami Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Prasyarat sebuah Transformasi, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 124.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
6
pelanggaran HAM berat dengan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Perkosaan seringkali digunakan sebagai alat atau strategi untuk menghancurkan lawan. Sebagai pihak yang memegang kekuasaan, menindak pelaku perkosaan dalam kondisi konflik adalah sesuatu yang sangat sulit. Pelaku seringkali tak tersentuh oleh ketentuan hukum. Kasus 4; Perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998: “. . . . peristiwa perkosaan massal itu terjadi dalam rentetan peristiwa kerusuhan, pengrusakan dan pembakaran,… Sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko korban dan menjarah barang-barang. Sebagian lainnya menelanjangi R dan memaksanya menyaksikan kedua adiknya diperkosa. Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar, kedua gadis itu mati…..” 8 Contoh kasus di atas hanyalah satu cerita dari tragedi Mei 1998. Sangat banyak kasus perkosaan yang ditemukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, namun bukannya penegakan hukum dan keadilan yang didapatkan oleh korban dan keluarganya, bahkan peristiwa perkosaan tersebut disangkal telah terjadi oleh pemerintah. Alasan yang dikemukakan oleh aparat penegak hukum adalah tidak adanya pengaduan dari korban. Padahal tindak pidana perkosaan pada dasarnya bukanlah delik aduan (kecuali Pasal 286 KUHP untuk persetubuhan yang terjadi dengan anak perempuan yang berumur antara 12 sampai dengan 15 tahun).
8
Kesaksian keluarga R, L, M tentang peristiwa 14 Mei 1998 sebagaimana dikutip dalam Komnas Perempuan, Seri Dokumentasi Kunci, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Laporan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 1999), hlm. 86.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
7
Kasus-kasus tersebut di atas diharapkan dapat menggambarkan beberapa problematika yang dihadapi oleh korban yang mengalami tindak pidana perkosaan yang disebabkan karena adanya kelemahan-kelemahan dalam perumusan undangundang, baik mengenai unsur-unsur maupun sanksi dan proses pemeriksaan serta pembuktiannya. Dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana Indonesia, telah dikaji dan dibicarakan berbagai hal yang menyangkut dengan kelemahan KUHP yang ada saat ini dan besarnya keinginan untuk merumuskan suatu KUHP Nasional yang baru. Dalam kaitannya dengan tindak pidana perkosaan, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak pidana perkosaan yang mengecualikan beberapa hal, diantaranya tidak mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, mengkesampingkan perkosaan yang tidak dilakukan tanpa penetrasi penis ke dalam vagina, mengkesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena alasan perbedaan posisi tawar antara pelaku dengan korban. Kajian lainnya adalah penempatan tindak pidana perkosaan ke dalam delik yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan, yang mengacu kepada moralitas masyarakat dan bukannya melindungi perempuan korban perkosaan yang tubuh dan harkatnya telah diperkosa. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji dan dianalis melalui metode inventarisasi peraturan perundang-undangan untuk melihat sejauh mana tindak pidana
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
8
perkosaan tersebut dirumuskan dalam berbagai perundang-undangan yang ada baik dalam KUHP maupun undang-undang pidana di luar KUHP, sebagai kerangka untuk menyusun suatu perumusan yang lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan. Rumusan tersebut kemudian akan disandingkan untuk diperbandingkan dengan konsep tindak pidana perkosaan yang sudah dirumuskan oleh para pengambil kebijakan dalam konsep Rancangan KUHP Nasional yang baru. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka batasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1.
Apakah perumusan Tindak Pidana Perkosaan yang di atur dalam KUHP sudah sesuai dengan nilai-nilai dan asas hukum?
2.
Bagaimanakah kebijakan normatif di luar KUHP tentang tindak pidana perkosaan?
3.
Bagaimanakah konsep Rancangan KUHP Nasional mengatur tentang tindak pidana perkosaan? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisis perumusan Tindak Pidana Perkosaan yang diatur dalam KUHP
2.
Menganalisis kebijakan legislasi secara normatif tentang perkosaan di luar KUHP.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
tindak pidana
9
3.
Menganalisis konsep Rancangan KUHP Nasional tentang tindak pidana perkosaan. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan manfaatkan sebagai berikut:
1.
Bersifat teoritis Memberi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan bidang ilmu
hukum pada umumnya dan ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan pada khususnya. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembentuk hukum dalam pembaharuan hukum pidana, khususnya rancangan KUHP Nasional. 2.
Bersifat Praktis Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum,
akademisi dan aparat penegak hukum tentang kebijakan legislasi yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan masalah yang sama, maka penulis melakukan pengumpulan data dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai berbagai kebijakan legislasi yang terkait dengan tindak pidana perkosaan, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
10
F. Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori
a. Teori-teori Pembaharuan Hukum Pidana Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting yang perlu ditinjau dari segala aspek. Hukum pidana seringkali dikiaskan oleh ahli hukum sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, namun pada pihak lain adakalanya merenggut hak asasi manusia yang berwujud perampasan kemerdekaan seseorang untuk sementara atau untuk selama-lamanya. 9 Dalam kaitannya dengan pembaharuan dalam hukum pidana, maka ada tiga alasan urgensi diperbaharuinya KUHP menurut Sudarto, 10 yaitu : 1) Alasan Politik 2) Alasan Sosiologis 3) Alasan Praktis (kebutuhan dalam praktek) Saat ini pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilakukan melalui dua jalur yaitu: 11 a. Pembaharuan perundang-undangan pidana dengan cara mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang ada sekarang.
9
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1987),
hlm. 1. 10 11
Sudarto, op. cit., hlm. 66-68. Nyoman Serikat Putra Jaya, op. cit., hlm. 82.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
11
b. Pembuatan konsep rancangan KUHP Nasional. Penyusunan konsep KUHP yang baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/ penggantian KUHP lama (Wet Boek van Strafrecht) warisan kolonial Belanda. Jadi hal ini berkaitan erat dengan ide ”penal reform” (pembaharuan hukum pidana) yang pada hakekatnya juga merupakan bagian dari ide yang lebih besar yaitu pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional. Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakekatnya termasuk bidang ”penal policy” yang merupakan bagian dan terkait erat dengan ”law enforcement policy”, ”criminal policy” dan ”social policy”, ini berarti pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya adalah: 12 a. merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. b. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/ menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. c. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu ”social defence” dan” social welfare” d. Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau nilai-nilai sosiofilosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dan hukum pidana lama warisan penjajah.
12
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Persfektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 3.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
12
Dengan demikian pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach). b. Kebijakan Legislasi dan Metode Perancangan Legislasi Pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah ”policy” atau ”beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti ”wijsbeleid”. Menurut Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood,
kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang
menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif 13 . David L Sills, sehubungan dengan pengertian kebijakan menyatakan sebagai suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan. 14 Dalam kaitannya dengan kajian kebijakan legislasi ini maka akan digunakan kerangka teori yang dikemukakan oleh Robert Seidman melalui teori Bekerjanya Hukum. Seidmen mengajukan empat prosisi yaitu: 1) Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran (role occupant) itu diharapkan bertindak. 2) Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap suatu peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan13
Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardhana, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Pustekom Dikbud dan CV Rajawali, yang merupakan terjemahan dari The Desing of Social Policy” tulisan Robert P Mayer dan Ernest Greenwood, dalam Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm. 139. 14 Ibid, hlm. 139.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
13
peraturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lain-lain mengenai dirinya. 3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan-peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan politik, sosial dan lain-lainya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran. 4) Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, politik, ideologi, dan lain-lain mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran secara birokrasi 15
Teori Seidman kemudian dikembangkan menjadi Metode Penyelesaian Masalah (MPM) dengan pemikiran bahwa pembuatan suatu peraturan akan lebih efektif jika tidak hanya dijadikan alat untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, tetapi juga menempatkan pemecahan masalah sosial sebagai tujuan 16 Selain MPM dikenal pula beberapa metode perancangan peraturan yaitu metode ”ends-means”. Dalam metode ini penentu kebijakan terlebih dahulu akan menentukan suatu tujuan tertentu, kemudian meminta perancang untuk merancang peraturan agar dapat mencapai tujuan tersebut. Perancang peraturan akan membuat pilihan-pilihan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut dan kemudian akan mengambil satu pilihan yang paling efektif dan efisien dari segi biaya sosial dan ekonomi untuk dijadikan isi suatu peraturan. 17
15
Robert B. Seidman, The State Law and Development, (New York: St. Martin’s Press, 1978), hlm. 75 dalam Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 46-47. 16 Lihat PSHK, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk Transformasi Sosial, Sebuah Manual Untuk Praktisi, (Jakarta, PSHK, 2007), hlm. 39 17 Ibid, 41
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
14
Metode perancangan peraturan lainnya adalah metode”incremental” dimana perubahan akan terjadi secara perlahan setahap demi setahap. Menurut metode ini, perubahan yang cepat dan besar hanya akan menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang terlalu tinggi. Dalam metode ini penentu kebijakan juga menetapkan tujuan, tetapi tugas para perancang bukanlah menentukan pilihan yang paling efektif, melainkan menentukan langkah yang harus diambil agar tujuan tersebut dapat dicapai secara perlahan dan bertahap dengan risiko yang minimal. 18 Perbedaan antara MPM dengan metode ”ends means” dan ”incremental” adalah bahwa MPM harus dimulai dari analisis adanya prilaku bermasalah yang berulang dan harus dipecahkan, karena itu membutuhkan suatu penelitian yang mendalam. Perancang juga akan menentukan pilihan isi peraturan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya. Selain itu metode ini juga mewajibkan perancang untuk memperhitungkan biaya sosial dan ekonomi yang timbul dari suatu peraturan. MPM selalu mensyaratkan analisis sosial dalam merancang sebuah peraturan. Untuk menemukan penyebab
sebuah prilaku bermasalah maka pertanyaan yang
diajukan adalah mengapa seseorang berprilaku tertentu dihadapan hukum. Menggunakan MPM berarti mengharuskan perancangan peraturan melalui tahapantahapan sebagai berikut: 19
18 19
Ibid, hlm.41 Ibid, hlm. 58 – 69
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
15
a. Memahami masalah sosial Masalah sosial adalah suatu rangkaian perilaku yang berulang yang menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan fisik. Ada tiga pertanyaan yang dapat diajukan untuk menentukan suatu masalah sosial yaitu apakah masalah itu terjadi secara berulang-ulang atau sekali saja? apakah masalah tersebut punya dampak negatif yang dapat dirasakan? apakah masalah itu dibentuk oleh prilaku majemuk atau hanya oleh satu prilaku tunggal? Jika ketiga pertanyaan tersebut menunjukkan serangkaian prilaku berulang yang menimbulkan dampak negatif, maka dapat disebut sebagai masalah sosial. Dalam menemukan pemecahan masalah sosial, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah membuktikan adanya dampak negatif yang terjadi yang dapat dilihat dari adanya gejala-gejala yang muncul di masyarakat yang merupakan akibat logis dari masalah sosial yang ada. Dalam MPM, pihak-pihak yang prilakunya terkait dengan masalah sosial dibagi menjadi dua bagian yaitu: -
Aktor (role occupant): yaitu pihak-pihak sebagai individu, kelompok atau organisasi yang prilakunya menimbulkan masalah sosial.
-
Pelaksana peraturan (implementing agent): yaitu pihak-pihak yang diberi kewenangan oleh peraturan untuk memastikan aktor berprilaku sesuai aturan. Seringkali prilaku bermasalah juga dilakukan oleh pelaksana peraturan. Dalam hal seperti ini maka pelaksana peraturan juga dapat diperlakukan sebagai aktor.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
16
b. Menemukan penyebab prilaku bermasalah Peraturan dinilai berhasil bila mampu mengubah atau menghilangkan berbagai penyebab prilaku bermasalah. Dengan demikian menjadi penting untuk mengetahui
penyebab
terjadinya
prilaku
bermasalah,
sehingga
cara-cara
pemecahannya dapat disusun. Suatu prilaku bermasalah bisa disebabkan oleh beberapa penyebab. Karena itu perlu dirumuskan dugaan-dugaan tentang sebab-sebab terjadinya prilaku bermasalah. Berbagai dugaan tersebut harus dibuktikan secara empirik dan dijelaskan secara logis ke dalam hubungan sebab akibat. c. Menyusun solusi Dalam MPM, solusi adalah tindakan-tindakan yang mampu menghilangkan penyebab-penyebab prilaku bermasalah. Usulan solusi harus memuat tentang rician prilaku yang harus dilakukan oleh aktor dan pelaksana peraturan. Usulan solusi juga harus berupa rangkaian tindakan yang saling mendukung dan mendorong lahirnya prilaku baru. Dalam melakukan analisis kebijakannya untuk mendapatkan penjelasan atas penyebab prilaku bermasalah tersebut, MPM
menggunakan suatu alat bernama
ROCCIPI. Alat ini disusun oleh Robert B Seidman, Ann Seidman dan Nalin Abeysekere. ROCCIPI merupakan singkatan dari 1) Rule (peraturan), 2) Opportunity (peluang), 3) Capability (kemampuan),
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
17
4) Communications (komunikasi), 5) Interest (kepentingan), 6) Process (proses) 7) Idiology (idiologi). Ketujuh kategori tersebut di atas bukanlah merupakan suatu urutan prioritas. Dalam melakukan analisis tidak seluruh kategori tersebut harus terpenuhi. ROCCIPI juga masih merupakan kategori yang terbuka untuk ditambahkan dengan kategori lain yang diperkirakan penting untuk dianalisis. c. Tindak Pidana Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 20 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukum kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana juga berarti hukuman. Dengan demikian kata mempidana berarti menuntut berdasarkan hukum pidana, menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana. Dipidana berarti
20
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Hukum Pidana Islam dalam Konteks Modernitas, (Jakarta: Asy-Syaamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 132.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
18
dituntut berdasarkan hukum pidana, dihukum berdasarkan hukum pidana, sehingga terpidana berarti orang yang dikenai hukuman 21 Dari pengertian secara etimologis ini menunjukkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan kriminal, yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam pengertian ilmu hukum, tindak pidana dikenal dengan istilah crime dan criminal. Kata crime menurut Stefen H. Gifis adalah: A wrong that government has determined is injurious to the public and that may therefore be prosecuted in a criminal proceeding. Crimes include felonies and misdemeanors. A common law crime was one declared to be offense by the developed case law of the common law courts. Today all criminal offenses are exclusively statutory in nearly every American jurisdiction 22 (sebuah kesalahan yang ditetapkan pemerintah adalah yang merugikan orang banyak dan berkemungkinan menyebabkan adanya tuntutan secara pidana. Tindak pidana meliputi kekerasan dan pelanggaran hukum. Dalam sistem hukum Common Law, kini seluruh pelaku tindak pidana dinyatakan secara tegas di hampir setiap jurisdiksi Amerika). Pengertian criminal menurut Gifis adalah; a). done with malicious intent, with a disposition to injure person or property b). one who has been convicted of a violation of the criminal laws. Dengan terjemahan a) dilakukan dengan niat jahat dengan kecenderungan perbuatan untuk melukai/ menyakiti seseorang atau hak milik. b). seseorang yang telah menjadi narapidana karena kejahatannya. Perbuatan kriminal adalah perbuatan kejam dan jahat yang dilarang dan diancam dengan hukuman. 23
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 766. 22 Steffen H. Gifis, Dictionary of Legal Terms; A Siplified Guide To the Language of Law, (New York: Barron’s Educational Series, 1993), hlm. 112. 23 Ibid
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
19
George Dix, sebagaimana dikutip Topo Santoso mendefinisikan tindak pidana sebagai berikut “an act or mission prohibitied by law for the protection of the public, the violation of which is prosecuted by the state in its own name, and punishedable by fine, incarceration, other restrictions up to liberty, or some combination of these” 24 (suatu perbuatan atau rencana yang dilarang oleh hukum guna perlindungan publik, kekerasan yang telah ditetapkan oleh negara dengan jenis dan namanya, dan dapat dihukum, denda, pembatasan-pembatasan kemerdekaan, atau gabungan dari semuanya). Sementara itu Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary memberikan pengertian crime sebagai “an act that the law makes punishable; the breach of a legal duty treated as the subject matter of a criminal proceeding” 25 (suatu perbuatan yang oleh hukum dapat dihukum, pelanggaran terhadap jaminan perundang-undangan sebagai subjek yang diatur dalam hukum acara pidana). Perbuatan atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang juga disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada
24 25
Topo Santoso, loc. cit. Bryan A. Garner (ed) Black’s Law Dictionary, (USA: Thomson Business, 2004), hlm. 399.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
20
hubungan yang erat, karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat pula, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Suatu kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah orang. Seseorang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaaan kongkrit yaitu adanya kejadian yang tertentu dan adanya orang yang menimbulkan kejadian itu. 26 Dari pengertian ini, maka menurut Moeljatno, setidaknya terdapat 5 (lima) unsur perbuatan pidana, yaitu: 1) kelakuan dan akibat, 2) ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, 3) keadaan tambahan yang memberatkan pidana, 4) unsur melawan hukum yang objektif, 5) unsur melawan hukum yang subjektif. 27 Pembatasan unsur-unsur perbuatan pidana ini merupakan langkah limitatif guna memperoleh kejelasan tentang pengertian perbuatan pidana. Hal ini penting mengingat
perbuatan
pidana
akan
berkaitan
secara
langsung
pertanggungjawaban pidana (criminal liability).
26 27
Lihat Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 37. Ibid
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
dengan
21
Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab masih harus dilihat apakah orang tersebut dapat disalahkan atas perbuatan
yang
telah
dilakukannya
sehingga
orang
tersebut
dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan demikian, orang yang telah melakukan perbuatan pidana tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat dipidana, sesuai dengan asas hukum yang tidak tertulis, geen straf zonder schuld, yaitu tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan. 28 Sementara itu, Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno mengatakan bahwa istilah schuld diartikan pula dengan kesalahan atau pertanggungjawaban. Simons merumuskannya sebagai berikut: ”kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”. 29 Simons menyatakan perbuatan pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
28
Sataochid Kartanegara, Hukum Pidana I, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), hlm. 289. Menurut Sataochid Kartanegara, asas geen straf zonder schuld memiliki beberapa pengertian. Dari sudut etika sosial, kata schuld (kesalahan) adalah hubungan antara jiwa seseorang, yaitu yang melakukan perbuatan, dengan perbuatannya, atau hubungan jiwa si pembuat dengan akibat perbuatannya. Dan hubungan jiwa itu adalah sedemikian rupa, sehingga perbuatan atau akibat daripada perbuatan yang dilakukannya itu, berdasar pada jiwa si pelaku, dapat dipersalahkan kepadanya. Dari sudut hukum pidana (instraftrechterlijke zin) yang dimaksud dengan kata schuld adalah bentuk kesalahan dengan intensitas, yakni dengan kesengajaan (dolus) dan kesalahan (culpa). 29
Moeljatno, op. cit.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
22
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.
30
Dalam literatur hukum pidana positif, perbuatan pidana merupakan peristiwa hukum kongkrit yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, 31 yaitu: 1) Kejahatan dan Pelanggaran. 2) Perbuatan Pidana Materil dan Formil. 3) Perbuatan Pidana Komisi dan Omisi. 4) Perbuatan Pidana Selesai dan Terus-menerus. 5) Perbuatan Pidana Sederhana dan Berat. 6) Perbuatan Pidana Biasa dan Aduan. 7) Perbuatan Pidana Umum dan Khusus. 2.
Kerangka Konsepsional Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori.
Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain 30
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 4. 31
Topo Santoso, op. cit., hlm. 137-140.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
23
itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Dalam tesis ini ada beberapa landasan konsepsional yaitu: perkosaan, Perbuatan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan perempuan sebagai korban perkosaan. a. Perkosaan Kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP. Walaupun kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP. Pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan ”bersetubuh”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan adalah ”menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan menyerang dengan kekerasan” 32 Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya dalam bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda istilah verkrachting sudah berarti perkosaan untuk bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata perkosaan saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian perkosaan untuk bersetubuh. 33 Makna persetubuhan menurut R. Soesilo, mengacu pada Arrest Hooge Raad tanggal 5 Februari 1912 yaitu “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus
32
Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2005) Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 118. 33
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
24
masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani”. 34 Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul. Menurut komentar para penulis Belanda, sebagaimana yang dituliskan dalam Wirjono, 35 perbuatan yang dipaksakan dalam Pasal 289 (perbuatan cabul) merupakan pengertian umum yang meliputi perbuatan bersetubuh dari Pasal 285 sebagai pengertian khusus. Perbedaan lain antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan adalah bahwa perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki 36 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Perkosaan disebutkan sebagai “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,….” 37 Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan. Sementara itu dalam Webster’s New World Dictionary, 1976, perkosaan atau Rape adalah: “… I a) the crime of having sexsual intercourse with a women or girl forcibly and without her consent, or (statutory rape) with a girl below the age of consent (See AGE OF CONSENT). b) any sexsual assault upon a person. 2.
34
R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm. 209. Wirjono, loc. cit 36 Ibid, hlm. 118. 37 Komans Perempuan, Peta Kekerasan, op.cit., hlm. 205. 35
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
25
(nowrare) the act of seizing and carrying away by force. 3. the plundering or violent destruction (of a city, etc) as in warfare. 4. any outrageous assault or flagrant violation.” 38 Dalam batasan ini, perkosaan dapat didefinisikan dalam cakupan yang lebih luas, tidak hanya berkonotasi penetrasi penis terhadap vagina, tetapi mencakup bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Gadis Arivia menyatakan bahwa dalam arti luas, memperkosa adalah pemaksaan kehendak yang dapat membuat perasaan subjek dikecilkan, dilecehkan dan dicampakkan. Perkosaan intelektual, perkosaan seni atau perkosaan budaya memperlihatkan ‘kerusakan’ yang disebabkan oleh si aggressor, pemaksaan kehendak ini dilakukan melalui berbagai cara seperti operasi idiologi, kekuatan senjata atau penguasaan diskursus. Sementara itu perkosaan dalam arti seksual adalah perkosaan yang dilakukan dengan penetrasi antara penis dengan vagina atau penetrasi dengan objek-objek lainnya seperti kayu, botol dan lainnya yang sejenis. Pembelaian, penatapan mata dan verbal yang kurang pantas dianggap sebagai pelecehan seksual. Perkosaan biasanya mengikutsertakan pelecehan seksual namun tidak sebaliknya.” 39 Dalam rumusan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah Kekerasan Seksual. Istilah Kekerasan Seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukkan 38
Ibid, hlm. 205-206. Gadis Arivia, Logika Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 11. 39
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
26
berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain. b. Perbuatan Memaksa dengan Kekerasan dan Ancaman Kekerasan Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. 40 Menerima kehendaknya ini setidaknya ada dua macam, yaitu: a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya (misal; Pasal 285; memaksa bersetubuh atau bersedia disetubuhi, Pasal 289; membiarkan dilakukan perbuatan cabul atas dirinya). b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa. (misal: Pasal 368 tentang Pemerasan dan 369 tentang Pengancaman). Dalam Fiqh, pemaksaan dirumuskan sebagai ajakan untuk melakukan suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman. Beberapa syarat pemaksaan (ikrâh) antara lain: pelaku pemaksaan memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamannya. Sebaliknya, objek pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya disertai dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, padahal ancaman itu berupa hal-hal yang 40
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 63.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
27
membahayakannya seperti membunuh, menghajar (memukul), mengikat dan memenjarakannya dalam tempo cukup lama atau menghancurkan harta bendanya. 41 Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan perkosaan, dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti kekerasan. 42 Berdasarkan pasal 89 KUHP maka yang disamakan
dengan melakukan
kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut R. Soesilo; melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan
tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. 43 Menurut Satochid, kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat. 44 Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana perkosaan, yaitu sebagai berikut: 45 1) Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan.
41
Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, Juz VII, hlm, 175-176; whbah az Zuhaili, Al-Fiqh-al Islami wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus: Dar Al Fikr, 1997), hlm. 4446, dalam Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 215. 42 Adami Chazawi, op. cit., hlm. 64. 43 R. Soesilo, KUHP, op.cit., hlm. 98. 44 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II, Delik-Delik Tertentu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), dalam Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, loc. cit. 45 Ibid, hlm. 64.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
28
Kekerasan di sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya kekerasan pada perkosaan yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal 368 KUHP) yang mengakibatkan korban tidak berdaya. Dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang. 2) Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana, bukan cara melakukan perbuatan. Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian pasal 285 KUHP dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/ upaya berbuat (sifatnya abstrak) 46 yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri. 47 Toeti Heraty Noerhadi menyatakan: ”kekerasan mempunyai ciri khas pemaksaan, sedangkan pemaksaan dapat mengambil wujud pemaksaan persuasif dan
46
Sifat kekerasan itu disebut abstrak karena wujud kongkret cara kekerasan itu ada bermacam-macam dan tidak terbatas, misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan lain sebagainya, lihat Ibid, hlm. 65. 47 Ibid, hlm. 65.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
29
pemaksaan fisik, atau gabungan keduanya. Pemaksaan berarti terjadi pelecehan terhadap kehendak pihak lain, yang mengalami pelecehan hak-haknya secara total, eksistensinya sebagai manusia dengan akal, rasa, kehendak dan integritas tubuhnya tidak diperdulikan lagi.” 48 Pengertian kekerasan menurut Johan Galtung terjadi pada saat ada penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu. Kekerasan dapat berbentuk kekerasan fisik dan kekerasan psikologis, dan keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Sasaran pada kekerasan fisik adalah menyerang tubuh manusia. Sedangkan sasaran pada
kekerasan psikologis berkaitan dengan kebohongan,
indoktrinasi, ancaman, tekanan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak. 49 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai ”perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau menderita orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga dapat diartikan dengan paksaan.50 Sedangkan ancaman kekerasan menurut Adam Chazawi adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan
48
Toeti Heraty Noerhadi, Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 25. 49 I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Jakarta: Kanisius, 1992), hlm. 64. dalam tulisan Luh Ayu Saraswati A. Kekerasan Negara, Perempuan dan Refleksi Negara Patriarkhi, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 43. 50 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2005)
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
30
fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan mungkin segera dilakukan/ diwujudkan kemudian bilamana ancaman tersebut tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.51 Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut: 1) Aspek objektif yaitu a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan b). Menyebabkan orang yang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut dan rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan). 2) Aspek subjektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan tersebut akan benar-benar diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaman kekerasan, sebab jika kepercayaan ini tidak muncul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan sesuatu perbuatan terhadap dirinya. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi
51
Adami Chazawi, loc. cit.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
31
sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu. 52 c. Perempuan Korban Perkosaan. Kekerasan muncul akibat adanya kekuasaan yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam semua level kehidupan memiliki peluang untuk menggunakan kekerasan. Pada kekuasaan yang tidak bermoral, kekerasan seringkali dimanifestasikan sebagai sesuatu yang absah. Jika persoalan ini dihadapkan pada perempuan, logikanya akan mengarah pada kemungkinan adanya kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang bukan didasarkan pada prinsip moral dan hak-hak asasi. Kekuasaan lelaki atas perempuan ini dibentuk berdasarkan kecenderungan-kecenderungan konstruksi sosial yang dimapankan. Kenyataan ini sepertinya telah berlangsung selama berabad-abad dan berlaku secara universal sehingga menjadi sebuah budaya, dan kemudian menjadi sebuah kebenaran dan dibenarkan oleh banyak pikiran-pikiran, fiqh, norma dan idiologi. 53 Yang diancam hukuman dalam pasal 285 KUHP ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Menurut R. Soesilo, pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi laki-laki 52 53
Ibid Husein Muhammad, op. cit., hlm. 225.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
32
dipandang tidak mengakibatkan sesuatu
yang buruk atau yang merugikan.
Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perkosaan tersebut. 54 Dari pasal-pasal yang mengatur tentang perkosaan di dalam KUHP, yang diatur hanyalah mengenai perkosaan terhadap perempuan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Perempuan yang bukan istrinya. (Pasal 285 KUHP) Ketentuan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan bukanlah istri dari si pelaku. Dengan demikian KUHP tidak mengakui adanya perkosaan oleh suami kepada istrinya (marital rape). Walaupun hal tersebut kemudian diatur di dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan menggunakan istilah kekerasan seksual. Perkosaan dalam perkawinan diakui dan dirumuskan dalam Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1993 yang menyatakan bahwa “kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, . . . tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga termasuk . . . perkosaan dalam perkawinan . . .” Dalam bidang relasi seksual antara suami istri, mu’asyarah bi al-ma’ruf yang harus dijalankan oleh suami dan istri adalah bahwa diantara keduanya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti,
54
R. Soesilo, op. cit., hlm. 210.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
33
tidak memperlihatkan kebencian dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya. 55 Islam mensyaratkan agar relasi seksual antara suami dan istri harus dilakukan secara wajar, sebagaimana hadist Nabi Saw. Yang menyatakan: ”adalah terlaknat laki-laki yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya pada dubur (anus)” 56 . Larangan lainnya yang dinyatakan dalam ajaran Islam adalah bersetubuh dengan istri yang sedang menstruasi atau masih dalam masa nifas (sehabis melahirkan). Beberapa batasan tersebut di atas dapat dijadikan pegangan bahwa walaupun hubungan seksual diantara suami istri merupakan hak dan kewajiban, namun persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan serta cara-cara yang tidak dikehendaki adalah tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam. 2) Perempuan yang bukan istrinya yang
dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya (Pasal 286 KUHP). Perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya yang secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Di dalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 57 R. Soesilo menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain
55 56
Husein Muhammad, op. cit., hlm. 153. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz II, no 2162, hal. 249, dalam Husein Muhammad, ibid,
hlm. 154. 57
Adami Chazawi, Tindak Pidana, op. cit., hlm. 67.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
34
obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. 58 Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in casu disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, tidaklah disebut dalam keadaan pingsan kecuali jika orang tersebut menelan obat tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka keadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan. Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya. 59 Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang disadari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu
58 59
R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm. Lihat Adami Chazawi, Tindak Pidana, op. cit., hlm. 68-69.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
35
bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 3) Perempuan yang belum 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin (Pasal 287 KUHP) Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin. 60 Menurut Adami Chazawi, pengertian belum waktunya untuk dikawin adalah belum waktunya untuk disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini adalah pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya, yang masih tubuh anak kecil seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dadanya atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur 15 tahun. 4) Perempuan yang merupakan istrinya tapi belum masanya untuk kawin (Pasal 289 KUHP)
60
Adami Chazawi, Tindak Pidana, op. cit., hlm. 71.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
36
KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali bila perbuatan tersebut menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian. 61 G. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Untuk menunjang diperolehnya data yang faktual dan akurat, dilakukan
penelitian
yang
bersifat
deskriptif
analitis,
yaitu
penelitian
yang
hanya
menggambarkan secara sistematis fakta-fakta terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesahipotesa atau teori-teori. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian seperti ini seringkali hukum dikonsepkan sebagai sesuatu yang tertulis di dalam perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. 62 Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
61 62
Adami Chazawi, idem Amiruddin dan Zainal Asikin, op. cit., hlm. 118.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
37
data sekunder belaka. Penelitian ini mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap singkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, sejarah hukum dan inventarisasi hukum positif. 63 Inventarisasi hukum positif merupakan kegiatan pendahuluan yang sangat mendasar, sebelum menemukan norma hukum in-concreto haruslah diketahui terlebih dahulu hukum positif apa yang berlaku. Kegiatan menginventarisasi hukum positif adalah proses identifikasi yang kritis analitis serta logis-sistematis. Menginventarisasi hukum positif biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan salah satu tahap dari serangkaian proses penelitian yang menyeluruh. 64 Setelah penelitian inventarisasi hukum dilakukan, akan dilanjutkan dengan jenis penelitian yang bertujuan untuk menelaah singkronisasi suatu peraturan perundang-undangan yang akan dilakukan secara horizontal.
Yang akan diteliti
selanjutnya adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan tersebut mempunyai hubungan fungsional secara konsiten. Penelitian ini di samping akan mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai tindak pidana perkosaan, juga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang ada pada perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang
berkaitan
dengan
tindak
pidana
perkosaan,
sehingga
akan
dapat
merekomendasikan agar undang-undang tersebut di amandemen. 63
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjaun Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 13-14. 64 Amiruddin dan Zainal Asikin, op. cit, hlm. 120-121.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
38
2.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan dengan pendekatan
yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif lebih menekankan kepada data sekunder atau data kepustakaan yang berupa: a. Bahan Hukum Primer seperti UU No. 1 tahun 1946 tentang KUHP, UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan perundangundangan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah dan sebagainya. c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang dapat mendukung bahan-bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa Indonesia dan lain sebagainya. Ada tiga kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam penelitian ini dalam kaitannya dengan jenis inventarisasi hukum yaitu: a. Penetapan kriteria identifikasi untuk mengadakan seleksi normanorma mana yang harus dimasukkan sebagai norma hukum positif dan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
39
norma mana yang harus dianggap sebagai norma sosial yang bukan norma hukum. b. Mengumpulkan norma-norma yang telah diidentifikasi sebagai norma hukum c. Melakukan pengorganisasian norma-norma yang telah diidentifikasi ke dalam suatu sistem yang komprehensif. Dalam melakukan identifikasi terhadap norma-norma hukum maka akan sangat diperhatikan mengenai konsepsi legistis positivistis, yang menekankan bahwa hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang berwenang. Berdasarkan konsepsi ini maka hanya akan dikumpulkan hukum perundang-undangan dan peraturan tertulis saja, dan mengkesampingkan norma-norma lain yang tidak tertulis sebagai bukan norma hukum. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan data sekunder yang berupa teori-teori dan konsep tentang perkosaan, unsur-unsur yang terkandung didalamnya, proses pembuktian dan sanksi yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. 3.
Pengolahan dan Analisis Data Adapun data primer dan skunder yang telah didapatkan dianalisis dengan
pengolahan data yang meliputi kegiatan sebagai berikut:
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
40
a. Editing, pada tahap ini dilakukan pemeriksaan atau meneliti data yang diperoleh untuk dilakukan koreksi data yang keliru, menambah data yang kurang dan melengkapi data yang salah. b. Coding yaitu mengkategorisasikan data dengan cara pemberian kodekode yang diperlukan. c. Tabulasi yaitu memindahkan data ke dalam table-tabel data sesuai dengan topik masing-masing. d. Analisis data, pada tahap ini data dianalisis secara deskriptif analitis dengan cara berfikir induktif deduktif sehingga analisis data diharapkan
dapat
menghasilkan
kesimpulan
sesuai
dengan
permasalahan dan tujuan penelitian. H. Sitematika Penulisan Seperti lazimnya penelitian tesis, penelitian ini juga direncanakan akan disusun secara sistematis dengan terdiri dari 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab akan terdiri dari beberapa sub bab sesuai dengan kebutuhan. Bab pertama, sebagai bab pendahuluan berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan konsepsional, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, membahas mengenai perumusan tindak pidana perkosaan yang diatur di dalam KUHP. Uraian bab ini akan dibagi dalam 4 (empat) sub bab yang masing-masing menguraikan tentang pengertian dan unsur-unsur tindak pidana
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
41
perkosaan, nilai-nilai dan asas hukum, penempatan tindak pidana perkosaan dalam sistematika legislasi KUHP dan sub bab yang akan membahas analisis kebijakan legislasi dengan menggunakan Metode Penyelesaian Masalah dengan alat analisis ROCCIPI. Bab ketiga, membahas mengenai kebijakan legislasi di luar KUHP yang terkait dengan tindak pidana perkosaan. Dalam uraiannya akan dibahas mengenai perbandingan antara KUHP dengan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-undang Perlindungan Anak. Bab keempat, membahas mengenai urgensi KUHP Nasional, konsep tindak pidana perkosaan dalam Rancangan KUHP Nasional. Dalam uraiannya akan membahas mengenai pengertian dan unsur-unsur tindak pidana perkosaan, penempatannya dalam sistematika legislasi dan rekomendasi dari hasil-hasil analisis. Bab kelima, sebagai bab penutup akan berisikan tentang kesimpulan dan perumusan saran-saran.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
42
BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KUHP A. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan dan Unsur-Unsurnya Tindak pidana perkosaan di dalam KUHP termasuk ke dalam kejahatan kesusilaan. Kejahatan perkosaan
diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang dijabarkan dalam beberapa pasal. Kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP. Kejahatan ini menurut KUHP hanya dapat dilakukan oleh laki-laki sebagai pelakunya. Dibentuknya kejahatan di bidang ini, ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum perempuan. Pasal-pasal yang merumuskan mengenai tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut: 1.
Pasal 285 KUHP Rumusan Kebijakan legislasi tentang tindak pidana perkosaan yang diatur di
dalam Pasal 285 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. 65 Unsur-unsur dari Pasal 285 ini adalah: a. perbuatannya: memaksa bersetubuh b. caranya: dengan kekerasan atau ancaman kekerasan c. Objek: perempuan bukan istrinya 65
R. Soesilo, KUHP, op.cit., hlm. 210.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
43
Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan
kehendaknya
sendiri. 66
Menerima
kehendaknya
ini
setidaknya
mengakibatkan dua hal yaitu orang yang dipaksa akan menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya atau orang yang dipaksa tersebut akan berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa. Dalam Fiqh, pemaksaan dirumuskan sebagai ajakan untuk melakukan suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman. Beberapa syarat pemaksaan (ikrâh) antara lain
adalah
pelaku
pemaksaan
memiliki
kekuasaan
untuk
merealisasikan
ancamannya. Sebaliknya, objek pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk
menolaknya
disertai
dugaan
kuat
bahwa
penolakan
atasnya
akan
mengakibatkan ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan. Dalam Pasal 285; memaksa di sini bertujuan agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi. Menurut R. Soesilo, makna persetubuhan mengacu pada Arrest Hooge Raad tanggal 5 Februari 1912 yaitu “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani”. 67
66 67
Adami Chazawi, opcit, hlm. 63. R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm. 209.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
44
Sejalan dengan R.Soesilo, M.H Tirtaamidjaja, mengemukakan pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan. 68 Pengertian bersetubuh sebagaimana yang dikemukakan oleh dua orang ahli tersebut di atas pada saat ini dirasakan sudah tidak tepat lagi karena perkosaan yang dilakukan dengan cara menyetubuhi korban, tidaklah dimaksudkan oleh pelaku untuk tujuan kehamilan atau untuk mendapatkan anak. Karena itu tidaklah menjadi penting apakah telah terjadi penetrasi antara kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai dengan mengeluarkan mani. Tindak pidana perkosaan tidak semata-mata dilakukan untuk pemuasan nafsu seksual pelaku secara sepihak, tetapi juga ditujukan untuk menundukkan korban dan menghancurkan harkat dan martabatnya sebagai perempuan dengan cara melakukan kekerasan seksual. Lihat saja contoh kasus kerusuhan Mei 1998 sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang, bagaimana pelaku yang tidak mengenal sama sekali korbannya melakukan pemerkosaan karena adanya alasan-alasan politis yang berbau rasis (yang diperkosa sebagian besar adalah perempuan dari etnis cina) 69 Dalam kerusuhan tersebut juga ditemukan fakta bahwa perkosaan tidak hanya dilakukan dengan penetrasi kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan, tetapi 68
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 53. 69 Lihat Laporan TGPF Kerusuhan Mei 1998
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
45
juga melakukan penetrasi dengan menggunakan alat-alat seperti gagang sapu, tongkat, rel gorden dan lain-lain yang dimasukkan ke dalam kelamin perempuan korban. Hal serupa juga pernah dialami Marsinah, buruh perempuan yang dianiaya, diperkosa dan akhirnya dibunuh. Batasan tindak pidana perkosaan yang salah satu unsurnya adalah pemaksaan untuk bersetubuh dengan pengertian harus terjadinya penetrasi kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan menyebabkan perkosaan yang terjadi dengan memasukkan objek lain ke dalam kelamin perempuan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan. Hal ini tentunya sangat merugikan perempuan korban perkosaan. Berdasarkan fakta yang berkembang tentang tindak pidana perkosaan dewasa ini maka Gadis Arivia membedakan perkosaan ke dalam dua kategori yaitu perkosaan dalam arti luas dan perkosaan seksual. Pengertian perkosaan dalam arti luas adalah pemaksaan kehendak yang dapat membuat perasaan subjek dikecilkan, dilecehkan dan dicampakkan. Perkosaan intelektual, perkosaan seni atau perkosaan budaya memperlihatkan ‘kerusakan’ yang disebabkan oleh si aggressor, pemaksaan kehendak ini dilakukan melalui berbagai cara seperti operasi idiologi, kekuatan senjata atau penguasaan diskursus. Sementara itu perkosaan dalam arti seksual adalah perkosaan yang dilakukan dengan penetrasi antara penis dengan vagina atau penetrasi dengan objek-objek lainnya seperti kayu, botol dan lainnya yang sejenis. Perkosaan secara seksual juga mengakibatkan perasaan korban menjadi dikecilkan, dilecehkan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
46
dan dicampakkan serta mengakibatkan ”kerusakan” bagi korban yang disebabkan oleh tindakan pelaku. 70 Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti kekerasan. 71 Berdasarkan pasal 89 KUHP maka yang disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut R. Soesilo; melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. 72 Menurut Satochid, kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat. 73 Ada dua fungsi kekerasan yaitu kekerasan sebagai cara dan kekerasan
sebagai perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang. Dalam hubungannya dengan tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka yang menjadi salah satu unsurnya adalah pemaksaan yang dilakukan dengan cara kekerasan untuk melakukan suatu perbuatan (perkosaan). 70
Lihat Gadis Arivia, loc.cit. Adami Chazawi, op. cit., hlm. 64. 72 R. Soesilo, KUHP, op.cit., hlm. 98. 73 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II, Delik-Delik Tertentu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), dalam Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, loc. cit. 71
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
47
Kekerasan di sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. kekerasan pada perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian pasal 285 KUHP dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/ upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri. 74 Sifat kekerasan itu disebut abstrak karena wujud kongkret cara kekerasan itu ada bermacam-macam dan tidak terbatas, misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan lain sebagainya. Mengancam orang dengan akan membuatnya menjadi pingsan atau tidak berdaya tidak boleh disamakan dengan ”mengancam dengan kekerasan”. . . . 75 Adam Chazawi menyatakan ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan
74 75
Ibid, hlm. 65. Ibid
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
48
fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman tersebut tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku. Misalnya, seorang pelaku menghunuskan belati dengan mengancam akan melukai tubuh atau membunuh korban dengan belati dan memaksa korban untuk bersetubuh dengan dia, yang akibatnya membuat korban secara psikis timbul rasa ketakutan akan ditusuk dengan belati. Rasa cemas akan dibunuh, menyebabkan korban menjadi tidak berdaya sehingga dalam keadaan yang tidak berdaya inilah korban terpaksa membiarkan dilakukan persetubuhan terhadap dirinya. 76 Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut: 1) Aspek objektif yaitu a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan b). Menyebabkan orang yang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut dan rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan). 2) Aspek subjektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan tersebut akan benar-benar diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam 76
Adami Chazawi, loc. cit.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
49
ancaman kekerasan, sebab jika kepercayaan ini tidak muncul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan sesuatu perbuatan terhadap dirinya. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu. 77 Ketentuan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan bukanlah istri dari si pelaku. Dengan demikian KUHP tidak mengakui adanya perkosaan oleh suami kepada istrinya (marital rape). Walaupun hal tersebut kemudian diatur di dalam pasal 8 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan menggunakan istilah kekerasan seksual. Perkosaan dalam perkawinan diakui dan dirumuskan dalam Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1993 yang menyatakan bahwa “kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, . . . tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga termasuk . . . perkosaan dalam perkawinan . . .” Dalam bidang relasi seksual antara suami istri, mu’asyarah bi al-ma’ruf yang harus dijalankan oleh suami dan istri adalah bahwa diantara keduanya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, 77
Ibid
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
50
tidak memperlihatkan kebencian dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya. 78 Islam mensyaratkan agar relasi seksual antara suami dan istri harus dilakukan secara wajar, sebagaimana hadist Nabi Saw. Yang menyatakan: ”adalah terlaknat laki-laki yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya pada dubur (anus)” 79 . Larangan lainnya yang dinyatakan dalam ajaran Islam adalah bersetubuh dengan istri yang sedang menstruasi atau masih dalam masa nifas (sehabis melahirkan). Beberapa batasan tersebut di atas dapat dijadikan pegangan bahwa walaupun hubungan seksual diantara suami istri merupakan hak dan kewajiban, namun persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan serta cara-cara yang tidak dikehendaki adalah tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam. 2.
Pasal 286 KUHP Rumusan Kebijakan legislasi tentang tindak pidana perkosaan yang diatur di
dalam Pasal 286 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut: Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. 80 Perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya yang secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak
78 79
Husein Muhammad, op. cit., hlm. 153. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz II, no 2162, hal. 249, dalam Husein Muhammad, ibid,
hlm. 154. 80
Ibid, hlm. 211.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
51
berdaya. Di dalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 81 R. Soesilo menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. 82 Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in casu disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, tidaklah disebut dalam keadaan pingsan kecuali jika orang tersebut menelan obat tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka keadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan. Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau
81 82
Adami Chazawi, Tindak Pidana, op. cit., hlm. 67. R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
52
tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya. 83 Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang disadari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 3.
Pasal 287 KUHP Rumusan Kebijakan legislasi tentang tindak pidana perkosaan yang diatur di
dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut: (1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294. 84 Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Dengan kata lain hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada
83 84
Lihat Adami Chazawi, Tindak Pidana, op. cit., hlm. 68-69. Ibid, hlm. 211.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
53
umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin. 85 Berkaitan dengan anak-anak yang belum 15 tahun dan tidak menghendaki terjadinya persetubuhan tersebut, dipertanyakan apakah dalam kasus seperti itu anak perempuan yang belum berumur 15 tahun tersebut dapat digolongkan ke dalam kondisi perempuan yang berada dalam keadaan tidak berdaya. Menurut Adami Chazawi, pengertian belum waktunya untuk dikawin adalah belum waktunya untuk disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini adalah pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya, masih tubuh anak-anak atau masih tubuh anak kecil, seperti tubuh anakanak pada umumnya, belum tumbuh buah dadanya atau belum tumbuh
rambut
kemaluannya, atau mungkin belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur 15 tahun. Berkaitan dengan indikator belum masanya untuk kawin dengan memberikan penilaian fisik, penulis tidak sependapat dengan Adami Chazawi, Karena dengan semakin meningkatnya mutu kesehatan dan gizi maka pertumbuhan fisik anak-anak menjadi lebih cepat. Anak sekolah dasar yang baru berumur 11 tahun sebagian besar sudah memiliki tubuh yang besar dan terkadang sudah mendapat haid dan tumbuh payundaranya. Dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi, maka kondisi psikis anak-anak saat ini sudah jauh lebih berkembang dan cerdas, hal ini juga akan 85
Adami Chazawi, Tindak Pidana, op. cit., hlm. 71.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
54
mempengaruhi cara berfikir dan bertingkah laku, pola hubungan dan jenis permainan yang dilakukan oleh anak-anak. Jika merujuk kepada Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka pada Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa ”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.” 86 Undang-undang ini tidak mempersoalkan apakah anak tersebut sudah pernah kawin, sedang dalam masa perkawinan ataupun tidak. Yang menjadi batasannya secara tegas adalah bahwa anak tersebut belum berumur 18 tahun. Terdapat perbedaan batasan umur dalam berbagai ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sebagai perbandingan dapat dibedakan batasan usia anak adalah sebagai berikut: -
UU No. 62 tahun 1958, tentang Kewarganegaraa: 18 tahun,
-
UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: 18 tahun,
-
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki,
-
UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak: belum 21 tahun dan belum pernah kawin,
-
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: 18 tahun termasuk anak dalam kandungan,
86
Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LN RI Tahun 2002
No.109.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
55
-
UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum: 17 tahun hak untuk memilih (atau sudah pernah menikah) dan 21 tahun hak untuk dipilih,
-
UU No. 1 tahun 1946 tentang KUHP: 15 tahun. Terkait dengan Pasal 287 ayat (2) maka delik aduan yang ditetapkan akan
berubah menjadi tindak pidana biasa apabila korban belum berumur 12 tahun atau tindak pidana perkosaan tersebut menyebabkan hal-hal yang diatur dalam pasal 291 dan 294 yaitu: Pasal 291 KUHP: (1) jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 294 KUHP: (1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama: a. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya. b. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
56
4.
Pasal 288 KUHP Rumusan Kebijakan legislasi tentang tindak pidana perkosaan yang diatur di
dalam Pasal 288 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut: (1) Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka. (2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian perempuan itu, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. 87 Pada
dasarnya KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang
menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali bila dari perbuatan persetubuhan tersebut menimbulkan akibat lukaluka, luka berat atau kematian. 88 Yang dilarang dalam pasal ini bukanlah bersetubuh dengan istrinya yang belum masanya buat dikawinkan, melainkan bersetubuh yang mengakibatkan istrinya yang belum masanya untuk kawin tersebut mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia. Yang kemudian perlu dikritisi dari perumusan kebijakan legislasi pada Pasal 288 KUHP ini adalah sepatutnya legislasi bisa menentukan hal yang sama bahwa apabila
pelaku melakukan persetubuhan dengan cara-cara
87 88
Ibid, hlm. 212. Adami Chazawi, Tindak Pidana, op. cit., hlm. 71.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
yang
menyebabkan
57
istrinya mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia, walaupun istrinya tersebut sudah masanya untuk kawin. Bahwa akibat luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia akibat pemaksaan persetubuhan, juga dapat dialami oleh istri yang sudah masanya untuk dikawin. Sehingga jika pembuat kebijakan legislasi konsekuen dengan pemikirannya bahwa yang akan dihukum dengan Pasal 288 ini bukanlah mengenai persetubuhan semata-mata namun persetubuhan yang mengakibatkan mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia, maka seharusnya tidak ada rumusan yang memberikan batasan umur terhadap istri yang akan dilindungi dengan Pasal 288 KUHP ini. Di sisi lain tentang akibat perbuatan yang ditimbulkan. Pembuat kebijakan legislasi hanya mempertimbangkan masalah kekerasan fisik yang walaupun sangat abstark (beragam bentuk perbuatannya) namun bukanlah satu-satunya bentuk kekerasan yang dapat dialami oleh perempuan. Selain kekerasan fisik, perempuan korban perkosaan baik yang terikat dalam perkawinan maupun yang tidak, dalam suatu tindak pidana perkosaan pastilah mengalami kekerasan psikis dimana harkat dan martabatnya sebagai perempuan dan manusia dihancurkan dengan semena-mena oleh pelaku. Kekerasan psikis juga menyebabkan dampak yang sangat berpengaruh bagi perempuan korban, dimulai dengan stress, depresi, gangguan kesehatan, gangguan kejiwaan atau keinginan untuk bunuh diri.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
58
Karena itu sepatutnya pembuat kebijakan legislasi juga mempertimbangkan kekerasan psikis juga menjadi salah satu dampak yang dapat menyebabkan pelaku, dalam hal ini suami dijatuhkan hukuman karena pemaksaan persetubuhan. B. Asas Hukum dalam Perumusan Kebijakan Pidana Dalam melakukan perumusan kebijakan pidana (penal policy), ada ramburambu yang harus diperhatikan yaitu : 1.
Asas Legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum
kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu” Asas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut dikenal dengan asas Nulla Poena atau yang secara lengkap disebut “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang dikembangkan ole Phaul Johann Anselm Von Feuerbach. Asas tersebut dikemukakan dalam hubungan dengan teorinya “Vom Psychologischen zwang” (Ajaran tentang Pemaksaan secara Psikologis) yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukannya. Dengan demikian, dalam batinnya (psychen-nya) lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Kalau kemudian
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
59
perbuatan tersebut tetap dilakukan, maka penjatuhan pidana kepada dirinya dapat dinyatakan sebagai persetujuan dari pelakunya. Pada dasarnya ajaran Anselm von Feuerbach mengandung 3 ketentuan yaitu: a. Nulla poena sine lege: yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman harus didasarkan pada suatu undang-undang (tidak ada hukuman kalau tidak ada undang-undang) b. Nulla poena sine crimine: yang bermakna bahwa penghukuman hanya dapat dilakukan jika perbuatan tersebut telah diancam dalam suatu undang-undang (Tidak ada hukuman kalau tidak ada kejahatan) c. Nullum Crimen sine poena legali: yang bermakna bahwa perbuatan tersebut telah diancam oleh suatu undang-undang yang berakibat dijatuhkannya hukuman berdasarkan ketentuan dalam undang-undang yang dimaksud. (tidak ada hukuman kalau tidak ada kejahatan yang berdasarkan undang-undang) Dengan demikian tidak ada seorang pun yang dapat dihukum karena suatu perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Ketentuan ini bersumber dari Hak Asasi Manusia agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) tersebut ada jaminan bagi setiap orang yakni kepastian hukum (Legal Certainty).
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
60
Menurut Groenhuijsen ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas. Dua dari yang pertama ditujukan untuk pembuat undang-undang (de wetgevende macht) dan dua lainnya merupakan pedoman bagi hakim, yaitu : 1) Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuang pidana berlaku surut. 2) Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. 3) Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. 4) Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Sementara itu sebagian besar sarjana menjelaskan makna asas legalitas ke dalam 3 bagian yaitu: 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Ketentuan ini secara jelas dapat kita temui dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan “wettlijke strafbepaliing” yaitu aturan pidana dalam perundangan.
Konsekwensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana
menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab hukum pidana adat tidak dirumuskan secara tertulis. Di satu sisi secara materiil hukum pidana adat tersebut masih berlaku, walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan bersifat sementara.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
61
Untuk menutup ruang tersebut, UUDS Pasal 14 ayat (2) menentukan: tidak seorang jugapun dapat dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat mengikat aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian juga untuk berlakunya hukum pidana adat diberikan dasar yang kuat. Meskipun sekarang UUDS sudah tidak berlaku lagi, pasal 5 ayat 3b UU Darurat No. 1 tahun 1951 masih tetap dapat dijadikan dasar hukum yang kuat. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) Ketentuan bahwa untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan Negara, meskipun ada beberapa sarjana yang tidak menyetujuinya. Prof. Scolter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstentif yang nyata-nyata dibolehkan. Menurutnya, baik dalam hal tafsiran ekstensif maupun dalam analogi, dasarnya adalah sama yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau lebih abstrak) dari norma yang ada. Dari itu kemudian didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada). Antara analogi dan penafsiran ekstensif itu hanya ada perbedaan gradual/tingkatan saja.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
62
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut Hal yang sama dimuat dalam pasal 2 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang berbunyi: “undang-undang itu hanyalah yang berkenaan dengan halhal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku secara surut”. Apabila suatu undang-undang telah diundangkan dalam lembaran Negara, setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut. Namun undangundang tersebut baru mengikat sesuai dengan rumusan dalam undang-undang itu sendiri. Adakalanya undang-undang tersebut diberlakukan sejak hari diundangkan dalam lembaran Negara, tetapi adakalanya pula sebelum diberlakukan diberi tenggang waktu untuk memasyarakatkannya, beberapa bulan atau satu tahun tergantung urgensinya. Menurut Leden Marpaung, ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP ini ditujukan kepada aparat penegak hukum terutama hakim, bukan kepada pembuat undangundang. Hal ini bermakna bahwa walaupun pembuat undang-undang merumuskan suatu norma pidana dapat berlaku surut, hakim tidak dapat menjadikannya “berlaku surut” sebelum undang-undang tersebut dibuat. Akan tetapi adakalanya undang-undang berlaku surut sebagaimana dimuat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan itu dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
63
Maksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut adalah, akan bertentangan dengan rasa keadilan jika undang-undang pidana yang lama masih diberlakukan sedangkan telah terjadi perubahan hukum yang lebih lunak. Dalam prospek pembaharuan hukum pidana, asas legalitas masih tetap penting untuk dipertahankan. Namun dalam pelaksanaannya tidaklah harus dilakukan secara kaku dalam artian hanya membatasinya pada ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang secara tertulis. Sebaiknya pemahamannya haruslah dipahami berdasarkan ketentuan hukum sehingga ketentuan yang tidak tertulis namun hidup di dalam masyarakat, masih dapat diserap. Jika kita perhatikan maka asas legalitas bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada rakyat dan menghindarkan penguasa dari sikap sewenang-wenang. Pengertian the rule of law dan supremasi hukum menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undangundang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of the law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law
maupun undue process) bertindak sewenang-wenang (abuse of
power). Berkaitan dengan asas Legalitas ini, Roeslan Saleh mengatakan bahwa asas ini mempuyai 3 dimensi yaitu :
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
64
1) Dimensi Politik Hukum Arti politik hukum dari syarat ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah. Pandangan ini menunjukkan bahwa para ahli hukum pidana sangat dipengaruhi oleh pandangan ilmu yang rasionalistis. Undang-undang yang jelas diharapkan mampu menciptakan ketertiban serta keseimbangan dan menghindarkan
kemungkinan terjadinya
ketidaktertiban. Sebenarnya dari asas legalitas ini tidak lahir suatu perlindungan hukum apapun, jika realisasi dari asas ini akibatnya hanyalah bahwa pelaksanaan kekuasaan yang kejam itu beralih dari tangan hakim kepada tangan pembentuk undang-undang. Dilihat dari politik hukum, asas legalitas karenanya juga harus dikaitkan dengan pengertian undang-undang yang dikembangkan oleh para ahli hukum sarjana pada waktu itu. Pengertian undang-undang pada waktu itu dijelaskan dengan menggunakan pikiran kontrak sosial, yaitu suatu tema pusat dari aliran hukum, kodrat yang rasional. Paradigma dari kontrak sosial atau perjanjian masyarakat, masuk ke dalam hampir semua teori hukum pidana pada waktu itu. Servan misalnya; membatasi diri dengan menegaskan bahwa undang-undang hukum pidana itu merupakan suatu kunci dari suatu perjanjian sosial. Janji-janji kolektif mengenai norma dari kelakuan yang harus ditaati dalam masyarakat ditetapkan dengan itu, demikian juga sanksi-sanksinya jika norma tersebut tidak ditaati.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
65
2) Dimensi Politik Kriminil Para ahli sepakat bahwa suatu rumusan undang-undang yang jelas dan tidak menimbulkan keragu-raguan tentang kejahatan-kejahatan dan pidana-pidananya akan dapat melakukan fungsi politik kriminal yang baik. Suatu penerapan yang tegas dari asas legalitas akan memungkinkan warga masyarakat untuk menilai semua akibat merugikan yang ditimbulkan oleh dilakukannya suatu perbuatan pidana, dan hal ini dapat dipertimbangkan sendiri dengan tepat. Menurut Beccaria, jika kita tidak mengetahui bahwa suatu perbuatan tertentu dapat dipidana, maka dorongan untuk melakukan perbuatan tersebut jauh lebih besar. Para ahli berpendapat bahwa keyakinan yang ada pada warga masyarakat yang ditimbulkan oleh perumusan undang-undang yang pasti dan jelas tentang kejahatankajahatan dan pidana-pidana yang dilekatkan pada kejahatan-kejahatan itu mengakibatkan sesuatu yang bersifat preventif. 3) Dimensi Organisasi Letrosne berpendapat bahwa tidak jelasnya perundang-undangan pidana; rumusan yang samar-samar dan tidak adanya batasan yang tegas dari masing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kejahatan yang tidak dipidana. Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi dari pada hanya melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Asas legalitas ini diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih positif.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
66
2.
Asas Kesamaan Bahwa secara filosofi semua manusia dimuka bumi mempunyai kedudukan/
hak-hak dan kewajiban yang sama. Pada zaman kolonial, ada penggolongan antara pribumi dan kolonial dengan sanksi yang berbeda. Untuk pribumi sanksinya lebih primitif. Penggolongan mayarakat yang tradisional dan modern didasarkan cara kelompok tersebut berfikir. Dalam kelompok masyarakat tradisional cara berfikir dilandasi pada pengalaman dan kurang kritis, sementara pada kelompok masyarakat modern lebih didasarkan pada pemikiran yang kritis. Namun kondisi modern atau tradisionalnya kelompok masyarakat tidak dapat digunakan untuk membedakan di depan hukum. Pada abad 18 asas kesamaan di pandang sebagai suatu norma yang baru yang merupakan pendobrakan pandangan ilmuwan yang besifat rasionil. 3.
Asas Proporsionalitas Sifat kejahatan harus berpadanan dengan sanksi. Untuk kejahatan yang
berbahaya seharusnya diberikan hukuman yang lebih berat, untuk kejahatan yang lebih ringan diberikan sanksi yang lebih ringan. Asas ini masih bersifat relatif. Dalam KUHP dikenal delik hukum dan delik UU. Dalam delik Hukum (recht delict), sifatnya lebih berat karena menyentuh moral sehingga sanksi yang dijatuhkan untuk jenis delik ini lebih berat dan biasa disebut dengan kejahatan. Sedangkan Delik UU (wet delict): merupakan aturan untuk kepentingan bersama tanpa menyentuh moral, sanksinya lebih ringan, biasa disebut
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
67
pelanggaran. Kejahatan atau pelanggaran menggambarkan berat ringannya sanksi secara proporsional. 4.
Asas Personalitas Asas personalitas bertujuan untuk melokalisir sejauh mungkin agar pihak lain
tidak menjadi korban apabila satu orang dijatuhi hukuman tertentu. Apabila terjadi perampasan hak si terhukum, maka yang menjadi korban bukan saja si terhukum tapi seluruh anggota keluarganya karena kehidupan keluarga terganggu dengan adanya harta benda yang disita. Asas ini sulit untuk diterapkan, harus ada aturan khusus untuk menghindari kerugian yang lebih besar. 5.
Asas Publisitas Putusan pengadilan terbuka untuk umum adalah merupakan hak publik untuk
mengetahui seorang tersangka diproses dengan benar sebelum dijatuhi hukuman. Asas inilah yang mendorong timbulnya lembaga pembelaan/pengacara. Pada awal abad 20 tidak ada orang yang membela pelaku, perlakuan terhadap pelaku sewenangwenang. Saat ini sejak proses penyidikan, pelaku sudah dapat didampingi oleh pengacara. 6.
Asas Subsideritas Hukum yang terlalu berat pada awalnya disangka akan dapat memperbaiki
penjahat, sesuai dengan prinsip penjeraan. Ternyata tidak bisa memperbaiki penjahat. Karena itu dalam pembuatan undang-undang hendaknya hukuman yang dirumuskan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
68
tidak semata-mata ditujukan untuk menbuat penjeraan bagi pelaku tetapi juga memikirkan upaya preventif yang dapat diterapkan sebagai sanksi tindakan untuk membuat pelaku dan masyarakat tidak lagi melakukan kejahatan yang dilarang. C. Penempatan Tindak Pidana Perkosaan dalam Sistematika Legislasi Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan, merupakan bagian dari Bab tentang tindak Pidana Terhadap Kesopanan. Tindak pidana kesopanan di bentuk untuk melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan termasuk didalamnya). Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh normanorma pergaulan yaitu norma-norma kesopanan. 89 Norma-norma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat. Patokan patut dan atau tidak patutnya suatu tingkah laku yang dianggap menyerang kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan itu tidaklah semata-mata bersifat individual, tetapi lebih kearah sifat universal walaupun mungkin mengenai hal tertentu lebih terbatas pada lingkungan suatu masyarakat. Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang mencerminkan sifat dan
89
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 1.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
69
karakter suatu lingkungan masyarakat bahkan suatu bangsa (bersifat nasional), telah diadopsi dalam norma-norma hukum mengenai tindak pidana terhadap kesopanan ini. Dalam usaha negara menjamin terjaganya nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh warga masyarakat inilah dibentuk tindak pidana dalam Bab XIV Buku II KUHP mengenai Kejahatan Terhadap Kesopanan (Misdrijven tegen de zeden) dan Bab VI buku III KUHP mengenai Pelanggaran Terhadap Kesopanan (Overtredingen betreffende de zeden). Pembagian dan penempatan tersebut membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yang menitik beratkan pada pertimbangan pembentuk undang-undang mengenai objek rasa kesopanan masyarakat tersebut. Penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak kejahatan, sifat penyerangan pada kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan lebih berat jika dibandingkan dengan penyerangan rasa kesopanan yang dikategorikan dalam pelanggaran terhadap kesopanan. Kata “zeden” oleh para penulis hukum diartikan sebagai kesusilaan dan kesopanan. Kata kesusilaan dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi. Kesusilaan adalah suatu pengertian adat-istiadat mengenai tingkah laku dalam pergaulan hidup yang baik dalam hal yang berhubungan dengan masalah seksual. Kata kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: 90 1) Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib 2) Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban 90
Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2005)
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
70
3) Pengetahuan tentang adat Kata susila dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasanya diartikan secara berbeda. Kata moral diterjemahkan menjadi moril atau kesopanan. Kata ethics diartikan dengan kesusilaan dan kata decent diterjemahkan dengan kepatutan. Kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam BAB XIV KUHP yang terdiri dari pasal 281 sampai dengan pasal 303, sejumlah 25 pasal. Tiga pasal diantaranya memuat hukuman tambahan/ pemberatan yakni Pasal 283 bis, Pasal 291 dan Pasal 298. Tujuh pasal di dalam bab tersebut tidak berkenaan dengan ”behaviour in relation to sexual matter” yaitu: -
Pasal 297: tentang memperniagakan perempuan/ laki-laki yang belum dewasa.
-
Pasal 299: tentang dapat gugurnya kandungan karena pengobatan.
-
Pasal
300:
tentang
menjual/
memaksa
meminum
minuman
yang
memabukkan. -
Pasal 301: tentang perlindungan anak yang belum berumur 12 tahun dari pekerjaan sebagai pengemis.
-
Pasal 302: tentang penganiayaan ringan pada binatang.
-
Pasal 303 dam 303 bis: tentang judi. Beberapa ahli hukum di Indonesia menginterpretasikan tindak pidana
kesusilaan yang ternyata membuat pengertiannya bertambah bias dan merugikan perempuan korban. Hal ini bisa dilihat dalam pengertian kesusilaan yang ditulis dan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
71
dianalisis oleh R. Soesilo yang mendefinisikan kesusilaan sebagai ”...suatu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan atau laki-laki, mencium dan sebagainya yang semuanya dilakukan dengan perbuatan...” 91 selanjutnya R. Soesilo menyatakan bahwa ”...sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadangkadang amat tergantung pada pendapat umum, pada waktu dan di tempat itu...”. 92 Dalam definisi tersebut yang juga merupakan pemahaman umum di masyarakat, kesusilaan dipahami dalam lingkup budaya sopan santun yang berkaitan dengan nafsu kelamin, yang berhubungan dengan nilai budaya dan adat istiadat setempat. Dapat dibayangkan apa yang terjadi kemudian ketika definisi kesusilaan ini digunakan dalam tindak pidana perkosaan, perbuatan cabul, pelacuran serta perdagangan anak dan perempuan. Akibatnya, yang sesungguhnya merupakan kejahatan seksual akan dipahami sekedar sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan lebih memberikan perhatian dengan cara menyalahkan korbannya. 93 Penempatan tindak pidana perkosaan yang merupakan salah satu kekerasan seksual, dalam KUHP hanya dikategorikan sebagai “kejahatan terhadap kesusilaan/ kesopanan” dan bukan kejahatan terhadap tubuh (dalam hal ini korban) sebagai pemiliknya. Lebih lanjut lagi batasan atau pengertian kesusilaan dalam KUHP lebih
91
R. Soesilo, KUHP, Op. Cit, hlm Ibid 93 Kertas posisi LBH APIK tentang Kejahatan Seksual dan Perlunya RUU Perkosaan, 3-4 Februari, Cimanggis 92
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
72
mengacu kepada moralitas masyarakat dan bukan bertujuan untuk
memberikan
perlindungan terhadap korban kekerasan seksual (perkosaan). Penempatan kejahatan seksual dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan telah mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual yaitu pelanggaran terhadap integritas dan eksistensi manusia. Hal ini kemudian sangat menyulitkan pemahaman konseptual yang utuh mengenai apa yang sesungguhnya menjadi inti dan terjadi berkenaan dengan berbagai diskriminasi, perendahan dan kekerasan yang dialami perempuan dalam masyarakat yang bertitik tolak pada pengalaman dan kepentingan laki-laki. Dengan sendirinya derajat keseriusan masalah tidak terungkap, diselubungi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan yang sangat merugikan korban dan menguntungkan pelaku. Dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan, korban justru bertugas menjaga dan sekaligus menjadi ukuran moralitas publik. Dengan kata lain, dasar pandangannya adalah apabila perempuannya baik, maka moralitas masyarakat akan terjaga. Dalam penerapannya, pasal-pasal dalam KUHP dipahami dan diterapkan dengan
sangat
bias
sehingga
merugikan
perempuan
sebagai
korbannya.
Memprihatinkan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang sangat berat implikasinya, seringkali malah digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban. 94
94
Lihat Kunarto (Penyunting), Merenungi Kritik Terhadap Polri, Buku Ke 6 Kejahatan Tanpa Korban, (Jakarta: Citra Manunggal, 1999), hal-hal berkenaan dengan kekerasan terhadap
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
73
Dengan konsep ”kejahatan terhadap kesusilaan” dengan mudah akan terperangkap dalam situasi melihat kekerasan terhadap perempuan hanya sebagai suatu masalah susila atau moral, yang tidak ditujukan langsung pada individuindividu yang menjadi korbannya. Mengakibatkan ketidakmampuan berempati pada perempuan yang langsung menjadi korban, karena perempuan korbanlah yang sesungguhnya tubuh dan kehidupan psiko-sosialnya dianiaya. Perempuan korban seringkali justru berada dalam posisi yang rentan, karena pelaku dapat mengajukan tuntutan balik tentang mencemarkan nama baik pelaku, atau sanksi moral karena dianggap merusak ”kondisi moral” masyarakat. Kepada perempuan korban perkosaan langsung terlekatkan ”stigma sosial” yang melihatnya sebagai perempuan yang kotor, tidak suci lagi, tidak pantas disebut perempuan baik-baik. Perempuan korban akan menjadi semakin rentan dan mengalami ketidakadilan yang berlanjut. Pemahaman kejahatan terhadap kesusilaan seringkali berpadu dengan mitosmitos yang menyatakan kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perkosaan, terjadi karena ”undangan” dari si korban, dan korban seringkali dipersepsikan sebagai penanggung jawab terjadinya kejahatan susila. Dalam situasi demikian, masyarakat dan aparat justru dapat berpihak pada pelaku. Sehingga kemudian yang diintrogasi dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan adalah perempuan korban yang dianggap seperti tertuduh.
perempuan, pembantu rumah tangga dan TKW, anak jalanan, prostitusi dan aborsi dianggap sebagai kejahatan tanpa korban, dijadikan satu dengan masalah-masalah narkotika dan judi.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
74
D. Analisis Kebijakan Legislasi Tindak Pidana Perkosaan dengan Metode Pemecahan Masalah (MPM) Sesuai dengan tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan analisis dengan menggunakan MPM, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami masalah sosial yang terkait dengan kasus perkosaan. Salah satu masalah sosial yang akan dianalisis dalam tesis ini adalah buruknya penanganan kasus-kasus perkosaan. Berdasarkan kebijakan legislasi yang mengatur mengenai perkosaan (KUHP) dapat dibedakan beberapa aktor dan pelaksana peraturan yang terkait dengan kebijakan tersebut. Yang dapat dikategorikan sebagai aktor atau pihak yang prilakunya ingin di atur di dalam KUHP khususnya pasal-pasal tentang tindak pidana perkosaan adalah pelaku yang dalam hal ini ditegaskan sebagai laki-laki. Sementara yang menjadi badan pelaksana peraturannya adalah aparat penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa dan hakim. Hanya saja dalam kenyataannya, badan pelaksana peraturan tersebut juga melakukan prilaku-prilaku yang bermasalah, karena itu dalam analisis ini para penegak hukum tersebut juga ditempatkan sebagai aktor. Penempatan tindak pidana perkosaan dalam sistematika legislasi dalam bab tentang delik susila, menyebabkan nilai-nilai moral yang ada di dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap tindak pidana perkosaan ini, karena itu adalah tepat jika masyarakat termasuk kelompok-kelompok didalamnya dan anggota keluarga korban dijadikan sebagai salah satu aktor yang memiliki prilaku bermasalah.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
75
Sebagai orang yang menjadi korban perkosaan, perempuan korban seringkali dijadikan pihak yang dianggap ikut bertanggungjawab dalam terjadinya tindak pidana perkosaan. Pemikiran seperti ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Penempatan korban perkosaan sebagai aktor semata-mata karena adanya prilaku bermasalah yang dilakukannya yaitu tidak melaporkan atau mengadukan tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Untuk memudahkan memahami prilaku bermasalah yang dilakukan para aktor berkaitan dengan masalah sosial buruknya penanganan terhadap kasus-kasus tindak pidana perkosaan, maka dapat dilihat dalam matrik berikut ini dengan para aktor yang diidentifikasi yaitu pelaku, aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), korban serta masyarakat (termasuk di dalamnya keluarga korban): Tabel 1. Aktor dan Prilaku Bermasalah Dalam Tindak Pidana Perkosaan No 1
Aktor/ Badan Pelaksana Pelaku
Prilaku bermasalah -
Menganggap perempuan dan anak sebagai makhluk lemah dan rendah sehingga mudah untuk dikuasai
2
Korban
-
Menghancurkan harkat dan martabat korban
-
Tidak punya keberanian untuk mengadu / melaporkan perkosaan yang dialaminya
3
Aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim)
-
Melakukan reviktimisasi terhadap korban Terlalu berpegang pada pemahaman yang
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
76
sempit tentang perkosaan dan hukum acara pembuktian.
4
Masyarakat
-
-
Mengujukan tuntutan yang terlalu rendah
-
Memberikan putusan yang terlalu rendah Merendahkan dan menyalahkan korban perkosaan
Berbagai prilaku bermasalah tersebut menunjukkan adanya hubungan yang nyata dengan masalah sosial yang sedang dianalisis yaitu buruknya penanganan kasus-kasus tindak pidana perkosaan. Prilaku bermasalah dari pelaku menyebabkan jumlah tindak pidana perkosaan dari waktu ke waktu semakin meningkat karena anggapan bahwa perempuan lemah dan mudah dikuasai baik secara fisik maupun seksual. Fakta yang terjadi bahwa perkosaan yang terjadi tidak hanya kepada perempuan diluar perkawinan tetapi juga terhadap perempuan yang terikat di dalam perkawinan dengan pelaku adalah pasangan hidupnya. Dari sisi korban, prilaku bermasalah berupa ketidakberanian untuk mengungkapkan perkosaan yang dialami menjadi salah satu faktor sedikitnya tindak pidana perkosaan yang berhasil diungkapkan. Ketidakberanian korban untuk mengungkapkan permasalahannya juga saling terkait dengan prilaku bermasalah dari aktor-aktor lainnya seperti aparat penegak hukum dan anggota masyarakat yang
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
77
cenderung lebih menyalahkan korban dari pada memberikan dukungan dan membantu korban mendapatkan keadilan. Dalam prilaku bermasalah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, seringkali dipengaruhi oleh pandangan bahwa perkosaan terjadi karena adanya partisipasi dari korban. Aparat penegak hukum juga sangat kaku dalam menerapkan hukum khususnya yang berkaitan dnegan hukum acara pembuktian, dimana tuntutan untuk dapat menghadirkan saksi dalam tindak pidana perkosaan yang sesungguhnya sangat tidak mungkin diharapkan tetapi tetap dituntut oleh penyidik. Prilaku bermasalah yang dianggap sebagai reviktimisasi dapat dilihat dengan jelas pada saat aparat penegak hukum melakukan intograsi pada saat mengumpulkan keterangan dari saksi korban. Bentuk-bentuk pertanyaan yang menyudutkan dan melecehkan korban seringkali dilontarkan sehingga korban yang secara psikis masih sangat terganggu dengan tindak pidana yang dialaminya semakin merasa tertekan dengan prilaku aparat penegak hukum. Bahwa sebagaimana dikemukakan di atas bahwa tindak pidana perkosaan akan membawa dampak yang sangat dalam dan panjang bagi korbannya. Namun hal itu seringkali tidak dipahami oleh aparat penegak hukum, karena itu dalam proses penuntutan dan penjatuhan hukuman pun, sanksi yang dijatuhkan sangat rendah dan jauh dari rasa keadilan yang diinginkan oleh korban dan keluarganya. Prilaku bermasalah yang dilakukan oleh masyarakat merupakan prilaku yang berpengaruh langsung pada korban. Tidak adanya dukungan dan membebankan label
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
78
kepada korban sebagai perempuan yang sudah ternoda merupakan sanksi sosial yang sangat berat dan akan membuat korban dan keluarganya berusaha untuk menyembunyikan tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Kondisi seperti ini sangat sering dialami pada kasus perkosaan atau kekerasan seksual di dalam rumah tangga. Berdasarkan analisis tentang aktor dan prilaku bermasalah, maka langkah analisis yang selanjutnya dilakukan adalah menggunakan alat ROCCIPI untuk menentukan sebab-sebab terjadinya prilaku bermasalah dari masing-masing aktor. 1.
Rule (Peraturan)
Kelemahan dari suatu peraturan dapat menjadi penyebab prilaku bermasalah yang disebabkan karena: 1) Bahasa
yang
digunakan
di
dalam
rumusan
peraturan
rancu
dan
membingungkan. 2) Peraturan tidak menjelaskan perbuatan yang harus atau yang tidak boleh dilakukan. 3) Beberapa peraturan bertentangan atau bertolak belakang 4) Peraturan tidak menghilangkan penyebab dari prilaku bermasalah 5) Peraturan membuka peluang bagi prilaku yang tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak partisipatif.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
79
6) Peraturan mungkin memberikan wewenang yang berlebihan kepada pelaksana peraturan dalam mengatasi prilaku bermasalah. 95 Dalam kaitannya dengan rumusan tindak pidana perkosaan dalam KUHP maka penyebab prilaku bermasalah adalah terlalu sempitnya pengertian tentang tindak pidana perkosaan baik dari aspek tentang perbuatan yang dilakukan ataupun kepada siapa suatu perbuatan tertentu dapat dikategorikan sebagai perkosaan. Dalam penjelasan yang dikemukakan oleh R. Susilo dan keyakinan para aparat penegak hukum berkaitan dengan tindak pidana perkosaan, maka suatu tindak pidana baru dapat disebut perkosaan jika terjadi penetrasi alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan. Hal ini tentunya mengkesampingkan prilaku-prilaku bermasalah lainnya yang dilakukan oleh pelaku untuk merendahkan harkat, martabat dan seksualitas korbannya. 2.
Opportunity (Peluang) Dalam kaitannya dengan“Oportunity“, sebuah peraturan yang telah secara
tegas melarang prilaku tertentu mungkin saja masih membuka kesempatan aktor untuk tidak mematuhinya. Artinya ada kesempatan yang diciptakan oleh berbagai hal seperti lingkungan politik, ekonomi, sosial budaya atau lingkungan alam dan geografis.. analisis yang harus dilakukan dalam kaitannya dengan kesempatan atau peluang adalah dengan mengajukan pertanyaan apakah lingkungan memberikan
95
Ibid, hlm. 72 - 78
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
80
kesempatan bagi aktor untuk mentaati peraturan? Atau sebaliknya, malah memberikan kesempatan untuk melakuka prilaku bermasalah? Berkaitan dengan kategori peluang ini, paraturan yang pengertiannya terlalu terbatas akan membuat beberapa prilaku bermasalah menjadi suatu prilaku yang tidak dapat diategorikan sebagai tindak pidana perkosaan, walaupun mengakibatkan dampak yang sama buruknya bagi korban. Peluang lain yang sangat terbuka bagi terus meningkatnya tindak pidana perkosaan adalah rendahnya tingkat penanganan kasus tindak pidana perkosaan oleh pihak kepolisian dan
kejaksaan serta rendahnya sanksi yang dijatuhkan dalam
putusan pengadilan. 3.
Capability (Kemampuan) Analisis mengenai “capacity“
menekankan bahwa peraturan tidak dapat
memerintahkan aktor melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Kemampuan sering berkaitan dengan kekuasaan. Perbedaan dengan kategori peluang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal si aktor, maka pada kategori kemampuan, sangat dipengaruhi oleh faktor internal si aktor. Dalam menganalisis prilaku bermasalah dalam kategori ini maka penting untuk dipertanyakan adalah kondisi apa di dalam diri si aktor yang membuatnya mampu berprilaku sesuai aturan atau kondisi apa yang menyulitkannya sehingga tidak mampu berprilaku sesuai aturan. Kemampuan aktor khususnya aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh besarnya kekuasaan yang mereka miliki untuk menentukan dan memutuskan apakah
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
81
suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupakan tindak pidana perkosaan atau tidak. Dalam upaya untuk pembuktian tersebut aparat penegak hukum juga memiliki kekuasaan sehingga kemampuan untuk melakukan prilaku bermasalah khususnya dalam reviktimisasi korban perkosaan. 4.
Communications (Komunikasi) Dalam kategori komunikasi, prilaku bermasalah mungkin timbul karena
ketidaktahuan aktor akan adanya larangan terhadap suatu prilaku tertentu atau yang memerintahkan bagaimana seharusnya berprilaku. Yang seringkali disadari sebagai penyebab terjadinya kekacauan dalam analisis informasi ini adalah teori fiksi hukum yang menganggap bahwa setiap orang secara serta merta dianggap mengetahui suatu peraturan yang telah diundangkan di dalam lembaran negara. Seharusnya teori ini diikuti oleh upaya negara untuk mengkomunikasikan peraturan dengan berbagai cara yang mungkin, terutama pada pihak yang dituju. Kategori
komunikasi
ini
seringkali mempengaruhi aktor khususnya
perempuan korban yang tidak mengetahui bahwa pemaksaan hubungan seksual merupakan tindak pidana perkosaan yang telah diatur di dalam KUHP dan ada sanksi hukumnya. Ketidakberanian korban untuk mengungkapkan tindak pidana yang dialaminya juga seringkali disebabkan karena kurangnya informasi yang dimiliki oleh korban tentang proses hukum yang harus dilaluinya dan perlindungan yang berhak didapatkannya sebagai korban tindak pidana perkosaan. 5.
Interest (Kepentingan)
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
82
Kategori kepentingan
berguna untuk menganalisis dan menjelaskan
pandangan aktor tentang akibat dan manfaat dari setiap prilakunya. Akibat dan manfaat itu bukan hanya yang bersifat material seperti keuntungan ekonomi, tetapi juga non material seperti penghargaan dan pengakuan. Dalam kategori kepentingan ini yang paling mudah tergambarkan adalah kepentingan dari aktor pelaku tindak pidana perkosaan yang berasumsi dengan melakukan
tindak
pidana
perkosaan
tersebut
berarti
telah
menunjukkan
kemampuannya untuk menundukkan dan merendahkan korbannya. Kepentingan lain yang juga dapat dianalisis adalah dari aktor kelompok masyarakat yang dengan prilaku bermasalahnya telah berusaha untuk tetap menjaga kepentingan kelompok masyarakatnya seolah-olah dengan menutupi telah terjadinya tindak pidana perkosaan menunjukan bahwa nama baik komunitas tersebut tetap terjaga. 6.
Process (Proses) Kategori proses khusus dilakukan untuk menemukan penyebab prilaku
bermasalah yang dilakukan oleh organisasi dan tidak berlaku untuk aktor individu. Dalam suatu organisasi, suatu prilaku yang didasarkan pada keputusan yang ditetapkan dengan melibatkan lebih dari satu pihak dengan melalui proses tertentu. Dalam institusi aparat penegak hukum, proses pengambilan keputusan yang dilakukan seringkali terlalu birokratis dan tidak responsif terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
83
Pengintegrosian saksi korban atau pihak-pihak lain yang berhubungan dengan terjadinya tindak pidana perkosaan seringkali ditangani oleh petugas laki-laki yang tidak memiliki persfektif keberpihakan kepada korban. Proses pengumpulan keterangan saksi korban juga dilakukan diruangan yang terbuka dan berisi banyak orang. Sulit untuk membedakan perlakuan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kepada pelaku maupun kepada korban yang seharusnya dibela. 7.
Idiology (Idiologi) Kategori idiologi secara umum merupakan sekumpulan nilai yang dianut
suatu masyarakat untuk merasa, berfikir dan bertindak. Sebuah nilai dan sikap biasanya hasil kesepakatan atau terbentuk dalam suatu kelompok, serta dianut secara berkelompok. Sebuah nilai dan sikap biasanya juga berproses dalam waktu yang cukup lama, bahkan sering turun temurun. Dalam tindak pidana perkosaan, idiologi yang dipegang oleh para aktor yang satu dengan aktor yang lain seringkali tidak jauh berbeda. Dari sisi pelaku, idiologi yang dipegangnya adalah bahwa sebagai laki-laki dirinya tidak memiliki kerugian apapun ketika melakukan tindak pidana perkosaan. Kemampuannya untuk melakukan tindakan tersebut menunjukkan bahwa laki-laki jauh lebih perkasa dan berkuasa dari perempuan. Idiologi yang dipegang oleh perempuan korban adalah bahwa perempuan yang telah diperkosa harus menanggung aib sepanjang hidupnya dan tindak pidana perkosaan tersebut telah membuat dirinya tidak lagi berharga sebagai manusia.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
84
Bagi aparat penegak hukum, idiologi yang digunakan adalah tidak ada kesalahan tanpa alat bukti yang cukup. Selain itu prilaku bermasalah juga muncul karena kurangnya keberpihakan aparat penegak hukum kepada korban dan kasuskasus kekerasan terhadap perempuan termasuk tindak pidana perkosaan tidak dianggap sebagai kasus penting.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
85
BAB III KEBIJAKAN LEGISLASI DI LUAR KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN
Dalam Bab III akan dianalisis mengenai kebijakan-kebijakan legislasi yang di dalam rumusannya juga mengatur kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan. Hanya saja istilah yang digunakan berbeda yaitu kekerasan seksual. Diantara berbagai peraturan tersebut, maka yang akan dianalisis adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasab Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk menganalisis kebijakan legislasi tersebut di atas, maka penting untuk diketahui latar belakang lahirnya kebijakan legislasi tersebut, maksud dan tujuan perumusannya dan perlindungan hukum apa saja yang diberikan khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan. Hasil dari analisis tersebut, kemudian akan dibandingkan dengan tindak pidana perkosaan yang ada di dalam KUHP, yang menyangkut tentang pelaku, korban, unsur-unsur yang harus terpenuhi, prosedur pembuktian dan sanksi serta upaya-upaya perlindungan yang diberikan berkaitan dengan tindak pidana perkosaan yang ada di dalam KUHP.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
86
A. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga, dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus di dasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuh kembangkan demi membangun keutuhan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai yang merupakan dambaan setiap orang di dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas prilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak terkontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga menimbulkan ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pada kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia jika hanya didasarkan pada KUHP, belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
87
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945 yang telah diamandemen. Pasal 28G ayat (1) menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapatkan perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Untuk itulah
kemudian disusun suatu kebijakan legislasi yang berkaitan dengan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004. Yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesensaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
88
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi : 1) Suami, istri dan anak, termasuk ke dalam pengertian anak adalah anak angkat dan anak tiri. 2) Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud dalam point
(1) karena adanya hubungan darah, hubungan
perkawinan seperti mertua, menantu, ipar, besan. Hubungan
saudara
persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau 3) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Asas yang menjadi landasan dilaksanakannya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT adalah asas penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi serta perlindungan terhadap korban. Yang dimaksud dengan asas keadilan dan kesetaraan gender adalah adanya suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara utuh hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional. Tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi para korban,
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
89
menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Karena itu bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. 2) Kekerasan Psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang 3) Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut atau pemaksaaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu 4) Penelantaran rumah tangga yaitu tindakan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut, atau tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/ atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
90
Undang-undang ini juga mengatur ketentuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku yang untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 2. Ketentuan Pidana Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 NO
SANKSI
BENTUK KEKERASAN PENJARA
1
Kekerasan Fisik
Maks: 5 tahun
Mengakibatkan korban jatuh sakit Maks: 10 tahun
DENDA Maks: Rp. 15 juta Maks: Rp 30 juta
atau luka berat Mengakibatkan matinya korban
Maks: 15 tahun
Dilakukan oleh suami atau istri tapi Maks: 4 bulan tidak halangan
menimbulkan untuk
Maks: Rp. 45 juta Maks: Rp. 5 juta
penyakit/
bekerja
(delik
aduan) 2
Kekerasan Psikis
Maks: 3 tahun
Maks: Rp. 9 Juta
Dilakukan oleh suami atau istri tapi Maks: 4 bulan
Maks: Rp. 3 juta
tidak halangan
menimbulkan untuk
penyakit/
bekerja
(delik
aduan) 3
Kekerasan seksual (delik aduan)
Maks: 12 tahun
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
Maks: Rp. 36 juta
91
Pemaksaan
hubungan
seksual Min. 5 tahun
dengan orang lain untuk tujuan Maks: 15 tahun
Min. Rp. 12 Juta Maks: Rp. 300 Juta
komersial atau tujuan lainnya Mengakibatkan luka yang tidak Min. 5 tahun
Min Rp. 25 Juta
mungkin
Maks: Rp. 500 Juta
sembuh,
mengalami Maks: 20 Tahun
gangguan daya pikir, gugur/ matinya janin
dalam
kandungan,
tidak
berfungsinya alat reproduksi 4
Penelantaran Rumah tangga
Maks: 3 tahun
Maks: Rp. 15 Juta
Bahwa selain ketentuan pidana tersebut di atas, hakim juga dapat menjatuhkan sanksi berupa pembatasan gerak bagi pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu. Maupun pembatasan hak-hak tertentu bagi pelaku dan/ atau penetapan pelaku untuk mengikuti konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dan sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban yang disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
92
Adanya ketentuan yang terperinci tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dilarang dilakukan di dalam rumah tangga dan penjatuhan sanksi berupa pidana penjara dan denda dalam jumlah yang cukup tinggi, menunjukkan adanya keinginan dari pemerintah untuk mencapai tujuannya yaitu melindungi korban dan menindak pelakunya. Tingginya sanksi juga dimaksudkan untuk membuat setiap orang berfikir untuk tidak melakukan tindakan yang dilarang (mencegah terjadinya kekerasan). Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara ataupun berdasarkan penetapan pengadilan. Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan oleh pengadilan yang harus diberikan paling lama tujuh hari setelah permohonan diajukan. Prosedur perlindungan yang diatur berdasarkan undang-undang ini adalah sebagai berikut: 1) dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara kepada korban. Perlindungan sementara diberikan paling lama tujuh hari sejak korban diterima atau ditangani.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
93
2) Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Permohonan untuk memperoleh surat penetapan perlindungan pengadilan dapat diajukan oleh korban atau kelurga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pembimbing rohani. Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tertulis ataupun lisan. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan yang harus diajukan tujuh hari sebelum berakhirnya masa berlakunya. Pelaku yang melanggar perintah perlindungan dapat ditangkap dan selanjutnya ditahan oleh kepolisian dan apabila kepolisian/korban/pendamping membuat laporan tertulis kepada pengadilan tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. Pengadilan kemudian akan memanggil dan memeriksa pelaku dalam waktu 3 x 24 jam. Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka pelaku diwajibkan membuat pernyataan tertulis berupa kesanggupannya untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan pernyataan tertulis tersebut, maka pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
94
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan, segera melakukan penyelidikan terhadap laporan yang diterimanya dan wajib menyampaikan kepada korban mengenai identitas dirinya, penjelasan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat manusia dan kewajiban kepolisian
untuk
melindungi korbannya. Korban berhak untuk mendapatkan: 1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan 2) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis 3) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban 4) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 5) pelayanan bimbingan rohani Pemerintah bertanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga karena itu pemerintah berkewajiban untuk: 1) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga 2) menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
95
3) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga 4) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitivitas gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga 5) menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender Untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap korban, maka pemerintah baik pusat maupun daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya-upaya sebagai berikut: 1) Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian 2) Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani 3) Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban, dan 4) Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban. Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga atau yang dapat disebut sebagai saksi wajib melakukan upayaupaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: 1) Mencegah berlangsungnya tindak pidana 2) Memberikan perlindungan kepada korban 3) Memberikan perlindungan darurat 4) Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
96
Berdasarkan analisis tersebut di atas maka dapat dibedakan antara perumusan yang diatur di dalam UU PKDRT khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan ini berbeda ruang lingkupnya dengan KUHP. Untuk memudahkannya maka perbandingan ini akan dianalisis dengan menggunakan kriteria pembanding sebagai berikut: 1.
Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang Jika rumusan pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana
perkosaan di analisis, maka perbuatan yang dilarang untuk dilakukan adalah: a. Memaksa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya. b. Bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya dan sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. c. Bersetubuh dengan perempuan yang masih di bawah umur (belum 15 tahun atau belum masanya buat kawin). d. Bersetubuh
dengan
istri
yang
masih
di
bawah
umur
dan
mengakibatkan luka, luka berat atau meninggal dunia. Keseluruhan perbuatan yang dilarang tersebut pada dasarnya adalah melakukan persetubuhan. Yang membedakan antara satu pasal dengan pasal lainnya hanya terletak pada siapa yang menjadi korbannya. Dalam UU PKDRT, perbuatan yang dilarang dalam kaitannya dengan kekerasan seksual adalah: a. pemaksaan hubungan seksual.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
97
b. pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai. c. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial. d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan tertentu. Apa yang dimaksud dengan hubungan seksual dalam UU PKDRT ini memang tidak dijelaskan. Hanya saja melihat bentuk-bentuk yang dilarang di atas maka dapatlah dimaknai bahwa hubungan seksual yang dimaksud tidaklah semata-mata dipahami sebagai persetubuhan yang disyaratkan dalam KUHP yang mengharuskan terjadinya penetrasi antara kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai dengan mengeluarkan mani yang bertujuan untuk mendapatkan anak. Hal tersebut dijelaskan dengan adanya perbuatan lain yang juga dilarang dalam UU PKDRT ini yaitu pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai. Dengan demikian pemaksaan hubungan seksual tersebut tidak harus dilakukan dengan cara penetrasi kelamin lak-laki ke dalam kelamin perempuan, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara-cara lain seperti penetrasi kelamin laki-laki ke dalam mulut atau anus atau dengan cara menggunakan alat-alat atau objek lainnya. Dalam hal perbuatan yang dilakukan adalah pemaksaan seseorang untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial atau tujuan tertentu, maka bentuk pemaksaan tersebut juga berupa pemaksaan hubungan seksual
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
98
secara biasa atau pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar/ tidak dikehendaki. 2.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi Dalam ketentuan KUHP, maka unsur utama yang harus terpenuhi antar satu
pasal dengan pasal lainnya saling berbeda sebagaimana telah dikemukan di dalam BAB II Tesis ini. Namun secara umum unsur-unsur tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Adanya pemaksaan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. b. Terjadinya persetubuhan dalam pengertian adanya penetrasi kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai dengan mengeluarkan mani. c. Perempuan korban tersebut tidak terikat perkawinan dengan pelaku. d. Adanya kondisi pingsan atau tidak berdaya pada korban yang menyebabkan pelaku dapat menyetubuhinya. e. Umur korban belum 15 tahun atau belum masanya untuk kawin. f. Istri yang belum masanya untuk dikawinkan mengalami luka, luka berat atau meninggal dunia. Dalam rumusan UU PKDRT, unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah: a. Adanya hubungan dalam lingkup keluarga sebagaimana ketentuan dalam UU PKDRT ini antara pelaku dengan korbannya.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
99
b. Adanya pemaksaan hubungan seksual, hubungan seksual yang tidak wajar atau tidak disukai. c. Adanya pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersial atau tujuan lainnya. d. Adanya akibat-akibat yang ditimbulkannya. 3.
Akibat Dalam rumusan KUHP, pengaturan mengenai akibat hanya dapat dijumpai
dalam Pasal 288 yang berkaitan dengan pemaksaan hubungan seksual dengan istri yang belum cukup umur. Pasal 288 ini baru dapat dikenakan pidana pada pelaku jika perbuatan pelaku menyebabkan korban mengalami: a. luka b. luka berat c. Meninggal dunia Dalam Pasal 291 KUHP juga disebutkan beberapa akibat yang sama yaitu luka berat dan meninggal dunia. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pembuat kebijakan legislasi KUHP hanya melihat dampak fisik pada korban tindak pidana perkosaan. Dalam perumusan UU PKDRT, ada beberapa akibat yang ditegaskan di dalam undang-undang yaitu: a. Luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
100
b. Gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut. c. Gugur atau matinya janin dalam kandungan. d. Tidak berfungsinya alat reproduksi. Dari beberapa akibat yang dirumuskan dalam UU PKDRT tersebut dapat dijumpai beberapa bentuk kekerasan sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yaitu akibat dari aspek fisik (luka permanen), akibat dari aspek psikis (gangguan kejiwaan) dan akibat dari aspek seksual (rusaknya fungsi reproduksi dan gugurnya janin dalam kandungan). 4.
Pelaku Perumusan dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan
menggunakan istilah ”barang siapa” untuk menggambarkan pelaku. Istilah ”barang siapa” sesungguhnya dapat berarti siapa saja, laki-laki atau pun perempuan. Hanya saja dalam penjelasan pasal-pasal KUHP, khususnya yang dikemukakan oleh R. Soesilo, maka yang dapat dinyatakan sebagai pelaku untuk menggantikan istilah ”barang siapa” tersebut hanyalah laki-laki. Menurut R. Soesilo, hal ini dilandasi pemikiran bahwa pembuat undangundang ternyata menganggap tidak perlu menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi laki-laki persetubuhan tersebut tidak akan mengakibatkan sesuatu
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
101
yang buruk atau yang merugikan. Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perkosaan tersebut. 96 Dalam UU PKDRT walaupun secara tegas dinyatakan undang-undang ini ditujukan terutama untuk melindungi perempuan di dalam rumah tangganya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam bunyi pasal Pasal 53 yaitu “Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya ....” Pasal tersebut jelas menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual di dalam rumah tangga dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan kepada pasangannya atau anggota keluarganya yang lain dalam lingkup rumah tangganya. Penempatan perempuan dan laki-laki sebagai pelaku juga bisa terjadi dalam kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu lainnya. Analisis dari kondisi ini tentunya akan dapat dikaitkan dengan teori kekuasaan yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan cenderung untuk melakukan tindak kekerasan. 5.
Korban Dalam rumusan KUHP tentang tindak pidana perkosaan, yang menjadi korban
adalah:
96
Lihat, R. Soesilo, op. cit., hlm. 210.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
102
a. perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku. b. perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. c. perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku yang belum berumur 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin. d. perempuan yang terikat perkawinan dengan pelaku tapi belum masanya untuk dikawin. Dari sisi jenis kelamin, maka KUHP secara tegas menyatakan yang dapat menjadi korban tindak pidana perkosaan hanyalah perempuan. Dalam UU PKDRT, semua orang yang berada dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang
ini dapat menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam UU PKDRT tidak ada pembatasan korban berdasarkan jenis kelamin ataupun berdasarkan umur dan kondisinya. 6.
Jenis tindak pidana Jika dianalisis dari segi jenis tindak pidana, maka tindak pidana perkosaan
dalam KUHP dan UU PKDRT kedua-duanya terdiri dari dua jenis, yaitu tindak pidana biasa dan tindak pidana Aduan (delik aduan). Dalam KUHP, yang termasuk tindak pidana biasa adalah yang diatur di dalam Pasal 285 dan Pasal 286 serta Pasal 288. Sedangkan Pasal 287 merupakan delik aduan sepanjang yang bersangkutan berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun. Dengan demikian terhadap Pasal 287 yang korbannya adalah perempuan berusia di
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
103
bawah 12 tahun merupakan tindak pidana biasa. Jenis tindak pidana aduan dalam pasal 287 menjadi gugur dan berubah menjadi tindak pidana biasa jika akibat persetubuhan tersebut menyebabkan anak yang berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun tersebut mengalami luka, atau meninggal dunia. Tindak pidana aduan tersebut juga dapat berubah menjadi tindak pidana biasa apabila pelakunya adalah orang yang seharusnya memberikan perlindungan, mempunyai kewenangan atau berkewajiban memberikan bantuan secara profesional kepada korban. Di dalam UU PKDRT kedua jenis tindak pidana ini juga berlaku. Tindak Pidana aduan (delik aduan) diatur dalam Pasal 53, yaitu tindak pidana kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual atau pemaksaan hubungan seksual yang tidak wajar/tidak disukai yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan. Sementara tindakan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anggota di lingkup rumah tangga yang lain merupakan tindak pidana biasa. Demikian juga pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain yang bertujuan untuk komersial atau tujuan lainnya merupakan tindak pidana biasa. 7.
Pembuktian Dalam proses pembuktian terjadinya tindak pidana perkosaan, dalam KUHP
secara tegas menggunakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
104
Di dalam KUHAP Bagian ke empat mengenai Pembuktian dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa antara lain diatur mengenai sistem pembuktian, macammacam alat bukti dan kekuatan pembuktiannya. Sistem pembuktian di atur dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pada dasarnya hal-hal yang telah diketahui secara umum tidak perlu lagi untuk dibuktikan. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah: 1) keterangan saksi: yaitu apa yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan. Keterangan satu orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, kecuali bila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. 97 2) keterangan ahli: yaitu apa yang seorang ahli nyatakan di depan sidang pengadilan. Keterangan ahli juga dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatannya. 98 3) Surat: yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dalam bentuk berita acara yang berisikan informasi yang lengkap
97 98
Lihat pasal 185 KUHAP Lihat Pasal 186 KUHAP dan penjelasannya
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
105
tentang suatu keadaan yang diketahuinya, surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yang ditujukan untuk pembuktian suatu keadaan, surat keterangan dari seorang ahli yang dimintakan secara resmi, atau surat lain yang hanya bisa berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 99 4) Petunjuk: yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari katerangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. 100 5) keterangan terdakwa: yaitu apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang dialami dan diketahuinya sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dipersidangan sepanjang keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Namun keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. 101
99
Lihat Pasal 287 KUHAP Lihat Pasal 188 KUHAP 101 Lihat Pasal 189 KUHAP. 100
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
106
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus benar-benar meyakini bahwa keterangan tersebut diberikan secara bebas, jujur dan objektif dengan sungguh-sungguh memperhatikan: 102 1) Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan saksi lainnya. 2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya. 3) Alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu. 4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat atau tidaknya keterangan itu dipercaya. Dengan demikian dalam pelaksanaanya selama ini penyidik selalu berusaha mengumpulkan alat-alat bukti tersebut yang tentu saja sangat sulit untuk dilakukan. Pada kenyataannya, tindak pidana perkosaan seringkali dilakukan ditempat yang sepi atau tidak ada orang yang melihat kejadiannya. Dalam perumusan UU PKDRT, secara tegas memang dinyatakan bahwa Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU PKDRT. Satu hal yang membedakan di dalam UU PKDRT adalah diakuinya sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban yang disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Dengan diakuinya keterangan saksi korban sebagai alat bukti yang sah, akan memudahkan hukum untuk membuktikan kesalahan tersangka. 102
Lihat Pasal 186 ayat 6 KUHAP dan penjelasannya
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
107
8.
Ketentuan Pidana Dalam Pasal 285, 286, 287 dan 288 KUHP, batasan hukuman yang ditetapkan
hanyalah batasan maksimal semata tanpa adanya batasan minimal. Karena itu berat ringannya sanksi yang dijatuhkan sangat tergantung pada pertimbangan hakim. Seringkali kasus tindak pidana perkosaan dihukum dengan ringan. Rendahnya hukuman terhadap kasus perkosaan dapat dilihat dalam kasus perkosaan yang menimpa Dewi (15 tahun) yang disekap dan diperkosa oleh tetangganya Darwin Hartono (26 tahun). Pelaku memang dinyatakan terbukti bersalah, namun Jaksa hanya menuntut dengan delapan bulan penjara dan hakim Pengadilan Negeri Bekasi hanya menjatuhan vonis dengan hukuman lima bulan empat belas hari potong masa tahanan. Hal ini tentunya sangat tidak adil bagi korban dan keluarganya. 103 Berkaitan dengan ketentuan pidana khususnya kekerasan seksual di dalam UU No 23 tahun 2004 Tentang PKDRT, diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 46: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau dengan paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enan juta rupiah) Pasal 47: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 103
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan, op cit. hlm. 24
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
108
12.000.000,- (Dua Belas Juta Rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah). Pasal 48: Dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah). Selain ketentuan pidana berupa penjara dan denda, UU PKDRT juga menetapkan hukuman tambahan yaitu: 1) Pembatasan gerak bagi pelaku untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu. 2) Pembatasan hak-hak tertentu bagi pelaku 3) Penetapan pelaku untuk mengikuti konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP setelah dianalisis dan dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam UU PKDRT dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
109
Tabel 3. Perbandingan Ketentuan Pidana Antara KUHP dan UU PKDRT No
1
Tindak Pidana Yang
Diatur dalam
dilakukan
Pasal
Penjara
Memaksa bersetubuh dengan 285 KUHP
Maks: 12 thn
-
Maks: 9 thn
-
(1) Maks: 9 thn
-
perempuan
yang
Ketentuan pidana Denda
bukan
istrinya 2
Memaksa bersetubuh dengan 286 KUHP perempuan
yang
bukan
istrinya yang sedang dalam keadaan
pingsan/
tidak
berdaya 3
Bersetubuh perempuan
dengan 287 ayat yang
bukan KUHP
istrinya, yang belum cukup 15 atau belum masanya untuk kawin. 4
Bersetubuh dengan perempu 287 ayat (2) jo Maks: 12 thn an yang bukan istrinya, yang 291
ayat
belum cukup 15 atau belum KUHP masanya untuk kawin dan mengakibatkan luka berat.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
(1)
-
110
5
Jika
salah
satu
kejahatan 291
ayat
(2) Maks: 15 thn
-
ayat
(2) Maks: 7 Thn
-
berdasarkan pasal 285, 286, KUHP 287,
289
dan
290
mengakibatkan kematian 6
Melakukan perbuatan cabul 294
dengan anaknya, anak tirinya, angka 1 KUHP anak
angkatnya,
anak
di
bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendi dikan atau penjagaannya dise rahkan
kepadanya
ataupun
dengan bujangnya/ bawahan nya yang belum dewasa. 7
Pejabat
yang
melakukan 294
ayat
(2) Maks: 7 Thn
perbuatan cabul dengan orang angka 2 KUHP yang karena jabatan adalah bawahannya/ dengan orang yang penjagaannya dipercaya kan/ diserahkan kepadanya.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
-
111
8
Pengurus,
dokter,
pegawai,
pengawas
pesuruh
dalam
penjara,
tempat pekerjaan
negara,
tempat
pendidikan,
guru, 294
ayat
(1) Maks: 7 Thn
atau KUHP
rumah
piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang
melakukan perbuatan
cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya. 9
kekerasan
seksual
dalam 8 huruf a jo 46
Maks: 12 thn
bentuk pemaksaan hubungan UU PKDRT seksual
atau
Maks:
36
Juta
pemaksaan
hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar/tidak disukai 10
Memaksa menetap
hubungan lain
yang 8 huruf b jo 47 rumah UU PKDRT
dalam
tangganya
orang
orang
melakukan seksual untuk
dengan tujuan
komersial atau tujuan lainnya.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
Min: 4 thn
Min:
Maks: 15 thn
juta
12
Maks: 300 Juta
112
11
Pemaksaan hubungan seksual 48 UUPKDRT
Min: 5 thn
Min:
yang mengakibatkan korban
Maks : 20 Thn
Juta
mendapat
luka
permanen,
gangguan daya pikir atau
25
Maks: 500 Juta
kejiwaan, gugur atau matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan
tidak
berfungsinya alat reproduksi. 9.
Upaya Perlindungan Dalam Ketentuan KUHP untuk tindak pidana perkosaan tidak diatur
mengenai hak korban atau upaya perlindungan apa yang akan diberikan kepada korban. Di dalam UU PKDRT beberapa tindakan penting yang ditetapkan oleh pembuat UU untuk dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait yaitu perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Untuk memudahkan memahami perlindungan dan pelayanan apa saja yang harus diberikan oleh para pihak dan yang berhak didapatkan oleh korban dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
113
Tabel 4. Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban KDRT (Kekerasan Seksual) NO 1
PIHAK Kepolisian
TUGAS − Memberikan perlindungan − Menyampaikan hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan − Melakukan penyelidika
2
Tenaga kesehatan
− Memeriksa kesehatan korban − Membuat laporan tertulis (visum) − Memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban
3
Pekerja Sosial
− Melakukan konseling untuk penguatan dan rasa aman − Menginformasikan perlindungan
hak
kepolisian
korban dan
tentang penetapan
pengadilan − Mengantar ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif 104 − Melakukan koordinasi dengan pihak lain yang terkait
104
Yang dimaksud dengan rumah aman adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan standar yang ditentukan. Sedangkan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
114
4
Relawan Pendamping
− Menginformasikan
hak
korban
untuk
mendapatkan pendamping − Mendampingi
korban
diberbagai
tingkatan
pemeriksaan − Mendengarkan secara empati − Memberikan penguatan psikis dan fisik kepada korban 5
Pembimbing Rohani
− Menjelaskan tentang hak dan kewajiban − Penguatan iman dan taqwa
6
Advokat
− Memberikan konsultasi hukum − Mendampingi korban dalam pemeriksaan − Mengkoordinasilkan dengan sesama pihak yang terlibat
B. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah Subhanahuwataala, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. yang dimaksud dengan tempat tinggal alternatif adalah tempat tinggal untuk korban yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan dan / atau dijauhkan dari pelaku.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
115
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Untuk memberikan perlindungan kepada anak, pemerintah dan negara membutuhkan suatu undang-undang sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian dalam pembentukan Undang-undang Perlindungan Anak ini didasarkan pada pertimbangan bahwa anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Undang-undang
Perlindungan
Anak
ini
menegaskan
bahwa
pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
116
spritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin sejak janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) Non Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak membedakan-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik atau mentalnya. 2) Kepentingan yang terbaik bagi anak yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. 3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan yaitu hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. 4) Penghargaan terhadap pendapat anak yaitu penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
117
keputusan
terutama
jika
menyangkut
hal-hal
yang
mempengaruhi
kehidupannya. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, sangat dibutuhkan peran serta masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa dan lembaga pendidikan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan yang ingin dicapai melalui undang-undang ini adalah menjamin terpenuhi dan terlindunginya hak-hak anak untuk mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Yang menjadi hak anak adalah: 1) Hidup 2) Tumbuh dan berkembang 3) Berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. 4) Mendapatkan nama 5) Identitas diri 6) Statur kewarganegaraan 7) Beribadah menurut agamanya
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
118
8) Berfikir 9) Berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya. 10) Mengetahui orang tuanya, diasuh dan dibesarkan oleh orang tuanya. 11) Pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. 12) Memperoleh pendidikan dan pengajaran. 13) Didengar pendapatnya 14) Menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai usia dan tingkat kecerdasannya, nilai kepatutan dan kesusilaan. 15) Beristiharat, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekreasi 16) Berkreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain yang bertanggungjawab
atas
pengasuhannya,
anak
berhak
untuk
mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Selain itu setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam konflik bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan pelibatan dalam peperangan.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
119
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum atau diproses sesuai dengan hukum. Kepada anak-anak yang terampas kebebasannya maka berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, membela diri dan memperoleh keadilan yang objektif. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan. Bantuan hukum dan bantuan lainnya juga berhak didapatkan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi tertentu yaitu: 1) Anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, anak dalam situasi konflik bersenjata) 2) Anak yang berhadapan dengan hukum, (yang berkonflik dengan hukum, dan korban tindak pidana) 3) Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi. 4) Anak yang tereksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual 5) Anak yang diperdagangkan (trafficking)
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
120
6) Anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya 7) Anak korban penculikan, perdagangan dan penjualan. 8) Anak korban kekerasan baik fisik maupun psikologis. 9) Anak penyandang cacat 10) Anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Tanggung jawab dalam melaksanakan perlindungan khusus merupakan kewajiban pemerintah dan masyarakat, dengan bentuk perlindungan yang berbeda sesuai dengan kondisi khusus dari anak-anak yang perlu untuk dilindungi. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan dengan cara memberikan perlakuan yang manusiawi terhadap anak sesuai dengan haknya, menyediakan petugas pendamping khusus untuk anak, penyedian sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan yang terus-menerus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum Berkaitan dengan tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual terhadap anak akan dianalisis lebih lanjut dengan pembahasan sebagai berikut: 1.
Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan
bahwa:
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
121
1). setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, …”. 2). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Berdasarkan Pasal 81 tersebut di atas, maka perbuatan yang dilarang adalah melakukan persetubuhan dengan anak. Hal ini tertuang juga di dalam pasal 287 KUHP yang menggunakan istilah perempuan yang belum masanya untuk kawin atau yang belum berumur 15 tahun. Hanya saja undang-undang ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bersetubuh”. 2.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi Berdasarkan rumusan Pasal 81 UU No 23 Tahun 2002, maka unsur-unsur
yang harus dipenuhi dalam menerapkan kekerasan seksual terhadap anak adalah: a. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan d. Adanya tipu muslihat, e. Adanya serangkaian kebohongan f. Adanya bujukan g. Adanya persetubuhan dengan seorang anak Jika dibandingkan dengan rumusan yang dikemukan dalam Pasal 287 KUHP, maka cara-cara yang dilarang dalam Pasal 81 ini jauh lebih lengkap karena merumuskan beberapa perbuatan selain kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai cara untuk memaksa seseorang anak bersetubuh, yaitu dengan mengakui adanya
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
122
cara-cara lain yang dapat digunakan seperti melalui tipu muslihat, serangkaian kebohongan ataupun bujuk rayu. Bahwa apabila salah satu dari cara-cara tersebut unsurnya terpenuhi dan anak yang dipaksa untuk bersetubuh masih belum berumur 18 tahun, maka kepada pelaku dapat dijerat dengan Pasal 81 ini. 3.
Akibat Undang-undang No 23 Tahun 2002 khususnya pada Pasal 81 yang berkaitan
dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak, tidak merumuskan dengan tegas apa yang diperkirakan menjadi akibat dari kekerasan yang dialami korban, yang juga berkaitan dengan tiadanya pemberatan hukuman/ sanksi terhadap kondisi atau akibatakibat tertentu dari kekerasan seksual terhadap anak tersebut. Tiadanya pengaturan mengenai akibat yang ditimbulkan dari kekerasan seksual tersebut terhadap anak tentunya sangat merugikan bagi anak yang menjadi korban. Apapun bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, apakah dengan kekerasan atau dengan bujukan tetap akan menimbulkan akibat ganguan fisik, seksual dan psikis bagi anak yang menjadi korban. 4.
Pelaku Ketentuan mengenai pelaku sebagai mana yang diatur di dalam UU No. 23
Tahun 2002 ini, menggunakan istilah ”setiap orang” yang dapat merujuk pada kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini dimungkinkan karena dalam konteks korban adalah anak, maka perempuan juga mungkin untuk menjadi pelaku bagi anak laki-laki yang belum memahami dengan benar mengenai hubungan seksual
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
123
dan mudah untuk diintimidasi dengan kekerasan, tipu muslihat atau dibujuk oleh orang yang lebih dewasa. Laki-laki dan atau perempuan juga dapat menjadi pelaku dalam bentuk kekerasan seksual berupa pemaksaan bersetubuh dengan orang lain. 5.
Korban Dalam kaitannya dengan Undang-undang Perlindungan Anak, maka yang
dapat menjadi korban adalah anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Untuk tindak pidana kekerasan berdasarkan undang-undang ini tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Dengan asumsi bahwa anak-anak baik laki-laki maupun perempuan belum memahami tentang hubungan seksual, cara dan akibatnya. Maka anak-anak baik lakilaki maupun perempuan berpeluang untuk menjadi korban kekerasan seksual. Ketentuan ini dapat digunakan untuk menjerat para pelaku yang melakukan perkosaan terhadap anak laki-laki, karena di dalam KUHP hal tersebut tidak diatur dengan tegas. 6.
Jenis Tindak Pidana Berdasarkan rumusannya, maka tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan tindak pidana biasa, karena itu tidak mensyaratkan adanyanya pengaduan. Hal ini agak berbeda dengan jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 KUHP yang membedakan jenis tindak pidana berdasarkan batasan umurnya, dengan ketentuan bahwa jika perempuan korban adalah anak yang berumur di bawah 12
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
124
tahun, maka merupakan tindak pidana biasa, sedangkan jika perempuan korban berumur antara 12 sampai dengan 15 tahun atau diketahui belum masanya untuk kawin maka merupakan tindak pidana aduan. 7.
Pembuktian Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tidak mengatur mengenai hukum
pembuktian yang khusus, karenanya seluruh prosedur yang berkaitan dengan proses pembuktian di dasarkan pada Undang-undang No. 1 tahun 1981 tentang Hukum Acara Indonesia. Dengan demikian, meskipun secara substansi rumusan ketentuan mengenai kekerasan seksual dalam undang-undang ini jauh lebih lengkap, namun karena adanya keterbatasan dalam tata cara pembuktian maka pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan bagi korban masih tetap sulit untuk diwujudkan. 8.
Ketentuan Pidana Berkaitan dengan kekerasan seksual (perkosaan) terhadap anak, maka Pasal
81 Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang UU Perlindungan Anak
ini
menyatakan: (1)
(2)
setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,(Tiga Ratus Juta Rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (Enam Puluh Juta Rupiah). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
125
kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. 105 Ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah mengatur secara lebih spesifik tentang perkosaan terhadap anak dengan sanksi yang jauh lebih berat dari pada yang ditetapkan dalam pasal 287 KUHP. Adalah penting untuk memberikan perlindungan khusus terhadap perempuan yang belum dewasa, sehingga setiap laki-laki yang berniat untuk bersetubuh dengan perempuan tersebut akan mengetahui dan memahami resiko yang lebih besar. Hal ini disebut ”statutory rape”. 106 Tabel 5. Perbandingan Ketentuan Pidana Antara KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak No
1
Tindak Pidana Yang
Diatur dalam
dilakukan
Pasal
Bersetubuh dengan perempuan 287 ayat
Ketentuan pidana Penjara
(1) Maks: 9 thn
Denda -
yang bukan istrinya, yang KUHP belum cukup 15 atau belum masanya untuk kawin. 2
Bersetubuh dengan perempuan 287 ayat (2) jo Maks: 12 thn yang bukan istrinya, yang 291
ayat
(1)
belum cukup 15 atau belum KUHP masanya untuk kawin dan
105 106
Ibid, Pasal 81 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan, op. cit., hlm. 51.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
-
126
mengakibatkan luka berat. 3
Dengan sengaja melakukan Pasal 81 (1) UU Maks: 15 thn kekerasan/ ancaman kekerasan No 23 Tahun Minimal: memaksa anak untuk melaku 2002
Maks: 300
3 Juta
thn
Minimal:
kan persetubuhan dengannya
60 Juta
atau dengan orang lain, 4
Dengan sengaja melakukan Pasal 81 (2) UU Maks: 15 thn tipu
muslihat,
serangkaian No 23 Tahun Minimal:
kebohongan atau membujuk 2002
thn
anak melakukan persetubuhan
Maks: 300
3 Juta Minimal: 60 Juta
dengannya atau orang lain
9.
Upaya perlindungan Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan. Bantuan hukum dan bantuan lainnya juga berhak didapatkan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi tertentu termasuk anak yang tereksploitasi secara seksual atau anak yang berhadapan dengan hukum sebagai korban kekerasan seksual.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
127
Tanggung jawab dalam melaksanakan perlindungan khusus merupakan kewajiban pemerintah dan masyarakat, dengan bentuk perlindungan yang berbeda sesuai dengan kondisi khusus dari anak-anak yang perlu untuk dilindungi. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai korban tindak pidana termasuk kekerasan seksual dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: -
Memberikan upaya rehabilitasi baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
-
Memberikan upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
-
Memberikan jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental dan sosial
-
Memberikan
aksesibilitas
untuk
mendapatkan
perkembangan perkara.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
informasi
mengenai
128
BAB IV KONSEP TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM RANCANGAN KUHP NASIONAL A. Urgensi KUHP Nasional Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting yang perlu ditinjau dari segala aspek. Hukum pidana seringkali dikiaskan oleh ahli hukum sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, namun pada pihak lain adakalanya merenggut hak asasi manusia yang berwujud perampasan kemerdekaan seseorang untuk sementara atau untuk selama-lamanya. 107 Pembaharuan hukum pidana di Indonesia telah dimulai sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dimana dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan: ”Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini” Adanya aturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum. Dengan demikian maka peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan masih tetap berlaku yang disesuaikan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara yang sudah merdeka. Pada tanggal 26 Februari 1946, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Peraturan dalam hukum 107
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1987),
hlm. 1.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
129
pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan konsisten. Dapat dibayangkan bahwa KUHP dari negara-negara Eropa Barat yang bersifat individualistis-kapitalis, bercorak lain dari KUHP negara-negara Eropa Timur yang berpandangan politik sosialis. Perbedaan itu tentunya juga terjadi pada KUHP di negara Indonesia yang berpandangan politik berdasarkan Pancasila. Pandangan tentang hukum pidana erat sekali hubungannya dengan pandangan umum tentang hukum, masyarakat dan kriminalitas (kejahatan) 108 Dengan demikian telah tiba saatnya untuk merombak tata hukum pidana dan hukum pidana yang masih berpijak pada asas-asas yang berasal dari zaman kolonial dan menggantinya dengan tata hukum pidana dan hukum pidana Indonesia yang asasasasnya berlandaskan Pancasila. 109 Dalam kaitannya dengan pembaharuan dalam hukum pidana, maka ada tiga alasan urgensi diperbaharuinya KUHP menurut Sudarto, 110 yaitu : 1) Alasan Politik Adalah wajar jika suatu Negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP
yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan suatu
kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukannya sebagai negara yang telah 108
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983),
hlm. 63. 109
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 78. 110 Sudarto, op. cit., hlm. 66-68.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
130
melepaskan diri dari penjajahan. Adalah tugas dari pembentuk undang-undang untuk “menasionalkan” semua perundang-undangan warisan zaman kolonial, dan harus didasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. 2) Alasan Sosiologis Suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa karena memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang negatif yang berupa pidana. Pengaruh hukum pidana merupakan pencerminan idiologi politik suatu bangsa, dimana hukum itu berkembang. Ini berarti bahwa nilai sosial dan budaya bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan hukum pidana. Ukuran mengkriminalisasikan suatu perbuatan, tergantung dari nilai dan pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar, yang bermanfaat atau sebaliknya. Jadi pandangan masyarakat tentang kesusilaan dan agama sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum khususnya hukum pidana. Selain menyangkut masalah kriminalisasi perbuatan tertentu, adalah penting pandangan masyarakat mengenai masalah pertanggungjawaban pidana dari si pelaku dan sanksi pidananya sendiri. Banyaknya muncul ketentuan pidana di luar KUHP dapat memberikan gambaran bagi kita bahwa ada banyak hal yang belum ditampung dalam KUHP
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
131
tersebut dan nilai-nilai yang diatur didalamnya walaupun sebagaian besar bersifat universal, belum dapat dikatakan mencerminkan budaya dan nilai sosial masyarakat Indonesia. 3) Alasan Praktis (kebutuhan dalam praktek) Alasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa teks asli KUHP Indonesia masih disusun dalam bahasa Belanda walaupun telah ditetapkan sebagai Undang-undang No 1 tahun 1946. Adanya berbagai terjemahan bebas yang dilakukan oleh para ahli hukum menyebabkan banyaknya penafsiran yang mungkin ditimbulkannya. Sangat sedikit aparat penegak hukum kita yang mampu memahami KUHP dalam bahasa Belanda tersebut. Hal ini juga sangat menyulitkan masyarakat dalam memahami ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUHP. Suatu kondisi yang Ironis sekali karena sebagai bangsa yang sudah merdeka dan memiliki bahasa kebangsaan, Indonesia masih menggunakan KUHP yang teks resminya menggunakan bahasa Belanda. Karena itu adalah penting untuk segera melakukan perubahan terhadap KUHP menjadi KUHP nasional. Di samping alasan politik, sosiologis dan praktis tersebut, maka Muladi menambahkan satu alasan lagi yaitu alasan adaptif: 111 yaitu bahwa KUHP Nasional dimasa-masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembanganperkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Khusus sepanjang yang menyangkut alasan sosiologis, hal 111
Nyoman Serikat Putra Jaya, op. cit., hlm. 83. Alasan tersebut disampaikan oleh Muladi pada Pidato Pengukuhan Guru Besarnya dengan judul Proyeksi Hukum Pidana Materiil Idonesia di Masa Datang, di Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 24 Februari 1990.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
132
ini dapat menyangkut baik hal-hal yang bersifat ideologis, yang bersumber pada filsafat bangsa Pancasila maupun hal-hal yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi Indonesia, sepanjang hal-hal tersebut tetap dalam kerangka bagian budaya bangsa (subculture) dan bukan merupakan budaya tandingan (counter culture). Berdasarkan Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional yang diadakan di Semarang pada tanggal 28 sampai dengan 30 Agustus 1980 antara lain menentukan: 112 a. Pembaharuan hukum pidana nasional pada hakekatnya adalah usaha yang langsung menyangkut harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia serta merupakan sarana pokok bagi tercapainya tujuan nasional. b. Sampai saat ini hukum pidana yang diberlakukan secara formal di Indonesia adalah hukum pidana warisan kolonial Belanda yang sudah sejak lama dirasakan sebagian besar tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia meskipun telah ada penambahan secara parsial. c. Oleh karenanya, berdasarkan alasan politis, sosiologis, psikologis dan alasan praktis, pembaharuan hukum pidana di Indonesia sudah dirasakan sebagai suatu kebutuhan negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia yang sangat mendesak. Usaha mewujudkan hukum nasional sesuai dengan GBHN Republik Indonesia, kemudian telah dijabarkan pula di dalam Repelita. d. Pembaharuan hukum pidana tersebut haruslah dilakukan secara menyeluruh, sistematis dan bertahap dengan tetap mengakui asas legalitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan pola Wawasan Nusantara. Lingkup pembaharuan yang dimaksud meliputi: 1). Pidana material 2). Pidana Formal 3). Hukum Pelaksanaan Pidana e. Usaha pembaharuan hukum pidana agar didasarkan pada politik hukum pidana dan politik kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional serta kebutuhan masyarakat dewasa ini dan pada masa yang akan datang dapat berkomunikasi dengan perkembangan hukum dalam dunia yang maju. 112
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departeman Kehakiman, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: Binacipta, 1986), hlm. 160-161.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
133
1). Sejauh mana efektivitas ketentuan undang-undang pidana (umum dan khusus) yang dipakai sekarang 2). Hukum pidana adat dan agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia. 3). Keinginan yang mendasar dalam masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, terutama untuk menentukan asas-asas/prinsip hukum pidana Indonesia yang tepat, termasuk materi pokoknya yang memerlukan pengaturan dalam hukum pidana baru yang akan datang. f. Atas dasar itu, prinsip yang telah ada harus diteruskan atas dasar prinsip Wawasan Nusantara di bidang hukum dan kodifikasi atas dasar keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga pada saatnya tidak lagi berlaku hukum pidana yang tidak tertulis. Pencapaian sasaran ini dimaksudkan untuk menjamin keadilan hukum dan perasaan keadilan oleh masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, sebab bagaimanapun juga, objek pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah berdasarkan Pancasila, sehingga pembaharuan itu tidak boleh meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan di samping nilai-nilai kemasyarakatan dalam rangka kepentingan bangsa dan negara.
Saat ini pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilakukan melalui dua jalur yaitu 113 1) Pembaharuan perundang-undangan pidana dengan cara mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang ada sekarang. 2) Pembuatan konsep rancangan KUHP Nasional. Penyusunan konsep KUHP yang baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/ penggantian KUHP lama (Wet Boek van Strafrecht) warisan kolonial Belanda. Jadi hal ini berkaitan erat dengan ide ”penal reform” (pembaharuan hukum pidana) yang pada hakekatnya juga merupakan bagian dari ide yang lebih besar yaitu pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional.
113
Nyoman Serikat Putra Jaya, op. cit., hlm. 82.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
134
Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakekatnya termasuk bidang ”penal policy” yang merupakan bagian dan terkait erat dengan ”law enforcement policy”, ”criminal policy” dan ”social policy”, ini berarti pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya adalah: a. merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. b. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/ menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. c. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu ”social defence” dan” social welfare” d. Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau nilai-nilai sosiofilosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dan hukum pidana lama warisan penjajah. 114
Dengan demikian pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach). Bertolak dari pemikiran di atas, maka penyusunan KUHP yang baru tidak dapat dilepaskan dari ide akan kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional yang berlandasarkan Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebanggsaan yang dicitacitakan. Ini berarti pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga dilatar
114
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Persfektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 3.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
135
belakangi dan beorientasi pada ide-ide dasar Pancasila yang didalamnya mengandung keseimbangan nilai, ide dan paradigma ketuhanan (moral religius), kemanusiaan (humanistik), kebangsaan, demokrasi dan keadilan sosial. B. Pengertian, Unsur-Unsur dan Sistematisasi Tindak Pidana Perkosaan Dalam Rancangan KUHP Nasional Pasal yang mengatur mengenai tindak pidana perkosaan di dalam rancangan KUHP Nasional ini adalah perluasan dari pasal yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan dalam KUHP. Hanya saja di dalam Rancangan KUHP Nasional tersebut ditegaskan bahwa tindak pidana perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan. Rancangan KUHP Nasional tahun 1999/2000 yang direvisi pada tahun 2004/2005 mengatur tindak pidana perkosaan dalam BAB XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan, pada bagian kelima dengan sub bagian tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul, pada paragraf 1 tentang Perkosaan, Pasal 489 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling sedikit 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun: a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut. b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut. c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan itu dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai. d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
136
e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya, atau f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (2). Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan b. Laki-laki yang memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. 115
Di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa persetubuhan yang dilakukan bertentangan dengan kehendak perempuan dapat dilihat dari adanya perlawanan dari pihak perempuan. Namun karena secara psikis maupun fisik keadaan perempuan terlalu lemah untuk melawan, maka persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan perempuan tersebut juga dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini. Penjelasan pasal ini juga menegaskan bahwa ketentuan dalam ayat (1) ini tidak berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan. Karena pada dasarnya dalam perkawinan tidak dapat terjadi perkosaan suami terhadap istri 116 Sesungguhnya bagian yang secara tegas menyatakan bahwa persetubuhan tersebut dilakukan terhadap perempuan diluar ikatan perkawinan pada dasarnya hanya ada pada huruf a dan b. Dengan demikian dapat dinafsirkan bahwa pada hurufhuruf yang tidak dinyatakan secara eksplisit dan tegas didalam rumusan perundangundangan, maka dimungkinkan bahwa perkosaan tersebut terjadi dalam suatu ikatan perkawinan.
115
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 216-217. Lihat HR Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 481. 116
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
137
Berkaitan dengan ayat 1 huruf (e) dalam penjelasannya dinyatakan bahwa huruf ini mengatur mengenai tindak pidana perkosaan yang dikenal dengan statutory rape, yaitu bahwa meskipun pihak perempuan memberikan persetujuan, namun karena perempuan tersebut belum mencapai umur 14 (empat belas) tahun, maka perbuatan tersebut tetap dikategorikan sebagai perkosaan menurut peraturan perundang-undangan. Rumusan hukum mengenai tindak pidana perkosaan di dalam Rancangan KUHP Nasional,
memperlihatkan adanya upaya untuk melindungi hak asasi
perempuan dengan seluas mungkin dapat menjerat pelaku tindak pidana perkosaan sehingga sulit untuk dapat luput dari penuntutan dan pemidanaannya. Jika diamati secara teliti dan mendalam, rumusan ketentuan tersebut di atas mengandung makna dan dampak yang luas di dalam sistem pembuktian yang akan diterapkan untuk mengungkapkan kasus tindak pidana perkosaan di depan sidang pengadilan. Bahkan sistem pembuktian yang akan diterapkan memiliki perbedaaan fundamental dengan sistem pembuktian yang selama ini selalu dipergunakan di dalam menerapkan ketentuan Pasal 285 KUHP. Perbedaan fundamental tersebut adalah, pertama terletak pada rumusan kalimat yang dipergunakan pada pasal-pasal dalam KUHP dan Pasal dalam Rancangan KUHP Nasional yang secara mendasar memang berbeda. Perbedaan kedua terletak pada sistem pembuktian dan alat-alat bukti yang menentukan di dalam persidangan atas kasus tindak pidana perkosaan yang akan terjadi di kemudian hari.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
138
Selama ini dalam praktek pembuktian vide pasal 285 KUHP, alat bukti yang paling menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah keterangan ahli dalam bentuk visum et repertum dari seorang dokter ahli yang ditunjuk menurut undang-undang. Selain itu juga harus ada keyakinan hakim bahwa benar telah terjadi tindak pidana perkosaan. Merujuk pada rumusan pasal 489 dalam Rancangan KUHP Nasional, maka yang akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai segala hal yang mendukung bahwa selama terjadinya tindak pidana perkosaan tersebut, korban tidak menghendakinya, atau korban tidak menyetujuinya, atau korban menyetujuinya karena adanya ancaman, atau korban menyetujuinya karena pelaku adalah orang yang dianggap sebagai suaminya atau orang yang dipercayainya, atau korban ternyata belum mencapai usia 14 (empat belas) tahun. Keterangan saksi korban ini harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di depan sidang pengadilan. Persoalan yang relevan dan amat penting dalam konteks kasus tindak pidana perkosaan di kemudian hari yang diatur di dalam pasal 489 Rancangan KUHP Nasional adalah bagaimana apabila korban adalah seorang perempuan yang memiliki latar belakang dan reputasi buruk di masyarakat. Bagaimana jika tertuduh atau kuasa hukumnya meminta ”cross-examination” atas saksi korban. Apakah faktor latar belakang kehidupan dapat dimasukkan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuktian? Dalam pasal 185 ayat (6) huruf d KUHAP, apabila faktor latar belakang
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
139
kehidupan ini tidak dapat merupakan bukti yang mendukung bagi kepentingan pelaku, apakah proses penuntutan dan pembuktian atas pelaku tindak pidana perkosaan dapat dianggap merupakan proses peradilan yang jujur dan adil baik bagi kepentingan saksi korban maupun pelakunya? Permasalahan ini harus dipertimbangkan sejak awal karena dalam pelaksanaannya nanti akan dapat menjadi kendala yang serius khususnya dalam pembuktian kasus tindak pidana perkosaan. Hal ini akan menjadi semakin sulit jika berdasarkan budaya masyarakat yang berkembang bahwa persoalan yang berkaitan dengan kesusilaan masih amat tabu untuk dibicarakan dimuka umum, apalagi masalah tindak pidana perkosaan. Sekalipun masyarakat kita sangat mencela perbuatan tersebut, akan tetapi kultur masyarakat yang demikian akan membentuk sikap korban tindak pidana perkosaan untuk enggan melapor kepada polisi, apalagi untuk diajukan menjadi saksi korban dimuka sidang pengadilan. Dari sudut pandang kriminologi dan viktimologi, kultur masyarakat demikian ini, dalam konteks kasus tindak pidana perkosaan, akan menumbuhkan dan memperkuat akar bagi terjadinya stigmatisasi dan viktimisasi struktural bagi terutama pihak korban tindak pidana perkosaan, jika dibandingkan dengan pihak pelakunya. Proses stigmatisasi yang terjadi adalah sebagai akibat adanya
cap atau label masyarakat dan lingkungan terdekat korban. Sedangkan
viktimisasi struktural terjadi karena ketentuan pasal tersebut justru di dalam
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
140
penerapannya nanti semakin jauh dari tercapainya tujuan atas harkat dan martabat seorang perempuan yang menjadi korban perkosaan. C. Rekomendasi Tentang Pembaharuan Rumusan dan Sistematika Legislasi Tindak Pidana Perkosaan. Masalah sosial yang dikemukakan berkaitan dengan tindak pidana perkosaan pada dasarnya membutuhkan perubahan pandangan umum tentang apa sesungguhnya perkosaan tersebut dan siapa yang disebut sebagai korban perkosaan. Perlu terus menerus dibangun sensitivitas dari aparat penegak hukum dan masyarakat untuk menghindari reviktimisasi dan stigmatisasi terhadap korban perkosaan. Dengan demikian diharapkan korban tindak pidana perkosaan atau masyarakat akan lebih banyak membuat pelaporan yang diikuti dengan semakin meningkatnya penangkapan dan penuntutan atas pelaku perkosaan. Selama ini masalah yang seringkali menjadi penghambat adalah pelaku perkosaan tidak ditangkap dan dikenakan penahanan kerana kebanyakan korban enggan untuk melaporkan tindakan perkosaan tersebut. Sementara itu pelaku perkosaan yang ditangkap atau ditahan sebagai besar tidak dituntut atau hanya dituntut dengan sanksi hukum yang relatif ringan dan tidak sebanding dengan sanksi moral yang berlebihan dari masyarakat kepada korban perkosaan. Pelaku perkosaan yang dikenal baik oleh korban misalnya pacar atau tunangan, seringkali mengaburkan tindak pidana perkosaan sebagai hubungan seksual suka sama suka.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
141
Persepsi masyarakat sebelum dilakukannya studi intensif mengenai perkosaan adalah bahwa tindakan memperkosa terkandung di dalamnya motifasi kepuasan seksual (sexually motivated). Apabila persepsi tersebut dibiarkan berkembang di masyarakat, maka di dalam tindak pidana perkosaan akan selalu digambarkan adanya kontak antara pelaku (laki-laki) dengan korban (yang umumnya perempuan) mengungkapkan bahwa perkosaan semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan non seksual.
Dalam kondisi seperti ini maka pertanyaan apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan perkosaan menjadi wajar jika dipertanyakan kembali. Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui pendekatan hukum, sosiologis maupun psikologis. Ketiga pendekatan ini akan menghasilkan konsepsi tentang perkosaan yang berbeda-beda. Dari sisi hukum, konsepsi perkosaan justru telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi pihak korban perkosaan itu sendiri. Bahkan sering korban perkosaan menjadi ”tertuduh” dalam peradilan atas pelaku perkosaan ini. Karakteristik umum dari suatu tindak pidana perkosaan adalah bahwa perkosaan bukanlah semata-mata ekspresi agresivitas dalam bentuk kekerasan dari seksualitas. Akan tetapi perkosaan dapatlah dikatakan sebagai ekspresi seksual dari suatu kekerasan. 117
117
Lihat Romli Atmasasmita, Kapita Selekta, hlm. 108
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
142
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas maka dapat dikembangkan beberapa karakteristik umum tindak pidana perkosaan sebagai berikut: 118 -
Agresivitas merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan.
-
Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata
-
Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu atau keinginan semata-mata.
-
Tindak pidana perkosaan merupakan pencerminan seksual dari kekerasan, maka tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu: a. anger rape dalam bentuk kemarahan dan kekerasan b. power rape dalam bentuk kontrol dan dominasi c. sadistic rape dalam bentuk pengalaman erotis
-
Kepribadian pelaku pemerkosaan memiliki 5 ciri karakteristik yaitu: 119 a. adanya mispersepsi pelaku atas sikap, cara bicara atau gerakan korban, sehingga pelaku seringkali merasa tidak bersalah dan tidak mengakui telah melakukan pemerkosaan (self image)
118 119
Ibid Kadish, 1983, hlm. 1354 dalam Romli Atmasasmita, ibid. hlm. 108-109.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
143
b. pelaku sering mengalami pengalaman buruk dalam hubungan personal atau pribadi baik dalam pekerjaan, percintaan atau persahabatan dengan orang lain dan perkosaan yang dilakukan merupakan kompensasi dari pengalaman buruknya (masculine identity) c. pelaku pada umumnya merupakan orang yang terasing dalam pergaulan sosialnya dan kebanyakan merupakan pribadi yang rendah diri (social relationship) d. kegagalan dalam hubungan personal dan sosial telah mengakibatkan pelaku menjadi orang yang rendah diri dan penuh kekecewaan (mood state) e. Pelaku
pada
umumnya
ketidakseimbangan
pribadi
emosional
dan
yang memiliki
dikhianati oleh orang lain dan perkosaan
mengalami perasaan merupakan
penyaluran untuk mengisi kebutuhan akan keseimbangan perasaannya dan sekaligus merupakan tindakan balas dendam (management of aggression). -
kepribadian korban perkosaan seringkali digambarkan sebagai pribadi yang ”berpartisipasi” di dalam tindak pidana perkosaan itu sendiri. Sifat pribadi demikian dikenal dengan istilah ”victim precipitation”. Hasil penelitian atas kasus perkosaan menunjukkan bahwa tingkat ”victim precipitation” dalam
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
144
kasus perkosaan adalah sekitar 4 – 19% yang disebabkan karena kelalaian dari pihak korban. Selain itu digambarkan pula bahwa korban perkosaan pada umumnya adalah perempuan, baik dewasa maupun anak di bawah umur. -
Kasus perkosaan secara yuridis memiliki karakteristik sebagai kasus yang mudah untuk dilakukan penuntutan, namun sulit untuk dapat dibuktikan. Dari berbagai analisis yang berkembang, perdebatan yang paling mendasar
adalah mengenai : 1.
Perkosaan dalam perkawinan Banyak pihak yang masih belum mau mengakui adanya pemaksaan hubungan
seksual dalam perkawinan. Kasus sejenis ini memang tidak banyak terangkat ke permukaan karena korban lebih sering menyembunyikan penderitaan yang dialaminya. Malu karena menganggap apa yang dialaminya adalah hal yang tabu untuk diketahui orang lain dan ketidaktahuan bahwa pemaksaan hubungan seksual adalah merupakan kekerasan yang dapat dipidana, adalah beberapa alasan yang sering ditemukan. Sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa tidak ada perkosaan di dalam perkawinan. Dalam pandangan ini, setiap hubungan seksual yang berlangsung antara suami-istri dalam ikatan perkawinan yang sah secara hukum dan agama adalah suatu kewajaran dan rutinitas yang memang sudah seharusnya dilakukan. Anggapan lain di dalam masyarakat yang tidak tepat adalah istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual. Kuatnya anggapan tersebut
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
145
menyebabkan ketika suami melakukan pemaksaan dan kekerasan seksual terhadap istrinya, kecenderungan masyarakat adalah justru menyalahkan si istri. Istri yang menolak permintaan suaminya untuk berhubungan seksual akan dipandang sebagai istri yang melawan suami. Menurut pandangan ini istri harus selalu siap kapan pun suami menginginkan hubungan seksual. Padahal adakalanya istri sedang tidak bergairah, sedang menstruasi atau tertidur karena kelelahan setelah beraktivitas seharian baik di luar rumah maupun di dalam rumah. Tidak jarang pula ada suami yang memaksa melakukan variasi hubungan seksual dengan gaya atau cara yang tidak ingin dilakukan oleh si istri karena istri menganggapnya di luar kewajaran. Sebagai perempuan yang memiliki tubuhnya sendiri, istri tentu memiliki hak untuk mengatakan tidak dan menolak setiap bentuk hubungan seksual yang tidak diinginkannya. Berikut ini adalah beberapa variasi kasus pemaksaan hubungan seksual yang seringkali terjadi menurut hasil penelitian maupun kasus-kasus yang pernah ditangani oleh LBH APIK Jakarta: 120 1) Pemaksaan hubungan seksual sesuai keinginan seksual suami. Istri dipaksa melakukan anal seks (memasukkan penis ke dalam anus), Oral Seks (memasukkan penis ke dalam mulut), dipaksa menonton vidio porno dan diminta meniru segala adegan dalam vidio tersebut dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak diinginkan oleh istri.
120
Lihat, Pemaksaan Hubungan Seksual Dalam Perkawinan Adalah Kejahatan Perkosaan, Lembar Info Seri 60/2005, LBH APIK Jakarta,
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
146
2) Pemaksaan hubungan seksual saat istri teridur. 3) Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupinya. 4) Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan seksual tanpa persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya. 5) Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah seksual dan istri tidak menghendakinya. 6) Pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang haid, nifas, hamil tua ataupun sakit. 7) Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki. 8) Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri seperti memasukkan benda-benda ke dalam vagina istri, mengikat kaki dan tangan istri, mengoleskan balsem ke vagina istri dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Pemaksaan hubungan seksual terjadi karena rentannya posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat yang antara lain di dukung oleh: 1) Masih dominannya nilai patriarkhi dalam masyarakat (nilai-nilai yang lebih mengutamakan kepentingan laki-laki). Nilai-nilai yang berpihak pada laki-laki tersebutlah yang kemudian membentuk aturan tidak tertulis bahwa ”istri
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
147
adalah milik suami”. Dengan kata lain perkawinan dipandang sebagai penyerahan diri sepenuhnya oleh istri terhadap suaminya dan sudah menjadi tugas seorang istri untuk melayani suami dalam segala hal. Hal ini jugalah yang kemudian membuat suami merasa ”berhak” untuk menggunakan kekerasan seperti pemukulan, melukai tubuh, hati atau jiwa istri melalui hardikan, hinaan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika istri menolak keinginan suami untuk melakukan hubungan seksual. Di lain sisi, istri yang cara pandangnya telah dibentuk oleh masyarakat yang mengutamakan kepentingan laki-laki, merasa sudah menjadi kewajibannya perempuan untuk tetap siap sedia melayani suami, sehingga istri tidak mampu menolak hubungan seksual meskipun pada saat itu dirinya sedang tidak ingin atau tidak bisa. Akibatnya hubungan seksual seringkali berlangsung dengan dingin dan tidak dinikmati bahkan menyakiti istri, walaupun tanpa perlawanan atau penolakan langsung dari istri. 2) Pemahaman keliru mengenai penafsiran agama. Seringkali ajaran-ajaran agama disalah tafsirkan yang berdampak pada pembedaan posisi perempuan dengan laki-laki atau menghadirkan perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. 3) Sebagai contoh, di dalam ajaran agama Islam terdapat hadist: ”Jika seorang laki-laki mengajak istrinya untuk (melayaninya) di tempat tidur, lantas si istri enggan untuk mendatanginya, sehingga suami tidur dengan memendam
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
148
kemarahan, maka malaikat melaknatnya hingga tiba waktu pagi” 121 Hadist ini tentu saja menimbulkan ketakutan istri untuk menolak keinginan suami. Padahal menurut Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) yang menelaah kitab U’qud al Lujjayn (mengatur relasi antara suami – istri) dalam hadist di atas terdapat kata ”al-la’nah” yang seringkali dipahami secara kurang tepat dengan pengertian laknat. Sebaiknya kata ”al-la’nah” diartikan sesuai dengan konteks sosial
kemanusiaan dengan pengertian hilangnya kasih sayang dan
kedamaian dalam kehidupan. Jika diartikan secara kontekstual dalam kehidupan nyata suami – istri, hadis ini tidak hanya ditujukan kepada istri tetapi juga ditujukan kepada suami. Lebih jauh hal yang penting untuk diingat adalah agama pada dasarnya tidak pernah menyetujui adanya pemaksaan dan kekerasan dalam bentuk apapun. Ajaran agama Islam misalnya menekankan konsep kesetaraan dan saling menyempurnakan sebagai landasan hubungan suami istri, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 187: ”Mereka (kaum perempuan) adalah pakaian bagimu (laki-laki) dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. Selain itu suami juga dianjurkan untuk memperlakukan perempuan dengan baik sesuai dengan Al-Qur’an Surat AnNisaa’ ayat 19 yang menyatakan: ”...dan hendaklah kalian memperlakukan mereka (perempuan/ istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruuf (baik)....” Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dibangun suatu pemahaman bahwa perkawinan tidak menyebabkan salah satu pihak berhak untuk melakukan 121
Riwayat Bukhari IX/293 dengan Fathul Bari dalam Pemaksaan Hubungan ... Ibid
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
149
kesewenangan terhadap pasangannya dalam hal ini perkosaan. Peluang untuk mengangkat tindak pidana perkosaan terhadap pasangan yang terikat dalam perkawinan telah dicantumkan dalam UU No. 23 tahun 2004 dengan menggunakan istilah kekerasan seksual. Karena itu tentunya penyusun kebijakan legislasi Rancangan KUHP Nasional harusnya tidak lagi menutup diri dengan membatasi bahwa istri tidak dapat menjadi korban perkosaan dengan tidak lagi menggunakan rumusan ”Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan...” Bahwa adanya pengaturan tentang hal tersebut di dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT tidak dengan serta merta menyebabkan perkosaan terhadap istri tidak perlu dirumuskan lagi di dalam Rancangan KUHP Nasional. Hanya saja agar tidak terdapat pertentangan dengan UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, maka perkosaan terhadap istri hendaknya juga dinyatakan sebagai tindak pidana aduan. Hal ini secara logika tentunya akan dapat dirumuskan oleh pembuat kebijakan legislasi bahwa budaya disetiap rumah tangga adalah berbeda dan tindak pidana ini baru dapat terjadi jika salah satu pihak dalam hal ini istri tidak menghendakinya. Dengan demikian, penting untuk dirumuskan
bahwa perkosaan dalam
perkawinan adalah setiap hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bersama, dilakukan dengan paksaan, di bawah ancaman atau dengan kekerasan.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
150
2.
Perkosaan tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan Pola relasi yang tidak seimbang seringkali dapat dengan mudah dijadikan cara
oleh pelaku untuk memaksa
perempuan yang berada di bawah kekuasaannya
melakukan keinginannya, dalam hal ini hubungan seksual. Dalam kondisi seperti ini kecil kemungkinan dibutuhkannya tindak kekerasan atau ancaman kekerasan yang disyaratkan oleh KUHP dari pelaku dalam sebuah tindak pidana perkosaan (Pasal 285 KUHP) Analisis tentang hal ini dapat dipandang dari dua sisi yaitu dengan memperluas rumusan kebijakan legislasi yang juga mengakui adanya tindak pidana perkosaan yang mungkin dilakukan tanpa adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan karena adanya pola relasi yang tidak seimbang antara pelaku dengan korbannya. Dalam contoh kasus pada bagian pendahuluan telah digambarkan bagaimana anak-anak perempuan dari pelaku bersedia melakukan hubungan seksual berulangulang dengan ayah kandungnya karena mereka sangat takut kepada pelaku. Contoh kasus lain yang banyak terjadi adalah pemaksaan hubungan seksual antara atasan dengan bawahan dengan ancaman-ancaman pemutusan hubungan kerja, tidak dibayarnya gaji atau diadukan kepada pihak berwajib untuk kejahatan yang tidak dilakukannya. Dalam pola relasi yang tidak seimbang, penggunaan bujukan dan tipu daya juga dapat dengan mudah dilakukan oleh orang yang memiliki posisi lebih tinggi.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
151
Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah mengubah penjelasan tentang kekerasan dengan memperluas maknanya. Sampai saat ini KUHP hanya mengakui kekerasan sebagai bentuk serangan secara fisik dan mengabaikan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Dengan adanya perluasan makna kekerasan tersebut sehingga didalamnya kemudian juga termasuk pengertian kekerasan secara psikis, seksual dan ekonomi. Jika makna kekerasan diperluas, maka bentuk rumusan tindak pidana perkosaan dapat saja tetap menggunakan istilah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi dengan pengertian bahwa didalamnya sudah termasuk tiga bagian kekerasan lainnya. Dengan demikian ancaman pemutusan hubungan kerja juga merupakan ancaman kekerasan dalam bentuk kekerasan ekonomi. 3.
Perkosaan tanpa penetrasi penis Pasal 285 KUHP dan pasal-pasal tentang perkosaan lainnya dipahami secara
kuat oleh para aparat hukum mensyaratkan adanya penetrasi antara kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan sampai dengan mengeluarkan mani. Hal ini tentu saja sangat mempersempit pengertian dari perkosaan. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perkosaan pada dasarnya tidak semata-mata ditujukan untuk mendapatkan kepuasan seksual bagi pelakunya (ekspresi agresivitas dalam bentuk kekerasan dari seksualitas), melainkan lebih pada keinginan untuk melakukan kekerasan dalam bentuk seksual (ekspresi seksual dari suatu kekerasan).
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
152
Karena itu penetrasi penis ke dalam vagina bukanlah satu-satunya cara yang dapat atau akan dilakukan oleh pelaku. Banyak contoh kasus yang terjadi khususnya pada kondisi-kondisi darurat seperti kerusuhan Mei 1998 dan konflik bersenjata di timor-timur dan Aceh. Menggunakan alat-alat/benda-benda keras yang dimasukkan ke dalam vagina yang berrtujuan untuk menghancurkan fungsi reproduksi perempuan. Perkosaan juga dapat berwujud penyimpangan prilaku seksual dengan melakukan anal seks atau oral seks yang sama sekali tidak dalam bentuk prilaku adanya penetrasi penis ke dalam vagina namun tetap saja akan membuat perempuan korban merasa harkat dan martabatnya direndahkan dengan perlakuan dari si pelaku. Bahwa perkosaan bukanlah dimaksudkan untuk menghasilkan anak, karena itu penetrasi penis ke dalam vagina bukanlah satu-satunya cara yang dapat dikategorikan sebagai perkosaan. Perbedaan antara perkosaan dengan makna yang luas ini dengan tindak pidana penganiayaan adalah bahwa pada tindak pidana perkosaan bentuk kekerasan yang dilakukan adalah merendahkan harkat dan martabat korban dengan cara menyerang seksualitas dan fungsi reproduksinya. Pemikiran seperti ini sesungguhnya sudah dituangkan dalam Rancangan KUHP Nasional yang secara rinci telah merumuskan bentuk-bentuk perlakuan lainnyanya yang juga dikategorikan sebagai perkosaan yaitu melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan yang bertentangan, tidak dikehendaki,
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
153
menggunakan ancaman kekerasan, penipuan, atau sedang berada dalam keadaan pingsan, bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 14 tahun atau melakukan oral dan anal seks. Dengan pengertian yang diperluas tersebut, maka penyusun kebijakan tentunya juga tidak lagi harus selalu mengkaitkan antara tindak pidana perkosaan dengan persetubuhan. Karena selain persetubuhan yang menghendaki adanya penetrasi antara kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan, tindakan anal seks dan oral seks juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan. 4.
Perkosaan sebagai kejahatan terhadap tubuh (Penempatan dalam sistematika legislasi) Tindak pidana perkosaan di dalam KUHP dituangkan dalam Bab XIV Buku II
KUHP mengenai Kejahatan Terhadap Kesopanan (Misdrijven tegen de zeden) dan Bab VI buku III KUHP mengenai Pelanggaran Terhadap Kesopanan (Overtredingen betreffende de zeden). Sebagaimana telah dikemukanan dalam pembahasan pada BAB II, maka penempatan tindak pidana perkosaan dalam sistematika legislasi KUHP ini tidaklah tepat karena akan menjadikan tindak pidana perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang menggunakan rasa moral dan susila masyarakat yang dianggap telah dirusak. Para pembuat kebijakan Rancangan KUHP Nasional tahun 1999/2000 yang direvisi pada tahun 2004/2005 ternyata masih memiliki pandangan yang
sama
dengan pemerintahan kolonial Belanda, karena dalam Rancangan KUHP Nasional,
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
154
tindak pidana perkosaan diatur dalam BAB XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan, pada bagian kelima dengan sub bagian tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul. Perkosaan pada dasarnya merupakan penyerangan terhadap tubuh dan martabat korbannya, karena itu sesungguhnya perkosaan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap tubuh sebagaimana dengan penganiayaan dan pembunuhan. Dalam sistematika seperti ini diharapkan perhatian terhadap korban yang mengalami perkosaan menjadi lebih baik karena sebagai orang yang tubuh dan harkat martabatnya diserang, korban berhak mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang manusiawi dan pelaku dapat dijatuhkan sanksi yang lebih berat. Secara lebih spesifik penempatan tindak pidana perkosaan sebagai kejahatan terhadap tubuh dapat dikelompokkan menjadi bagian Kekerasan Seksual, dimana di dalamnya para perancang kebijakan dapat merumuskan berbagai kebijakan legislasi yang berkaitan dengan kekerasan seksual seperti perkosaan, perbuatan cabul, pelecehan seksual dan sebagainya. 5.
Pembaharuan dalam Pembuktian dan perlindungan saksi Berdasarkan berbagai prilaku bermasalah yang telah dianalisis pada Bab II,
maka salah satu penyebab yang sangat berpengaruh dalam rendahnya penanganan tindak pidana perkosaan adalah proses pembuktian dan perlindungan kepada saksi khususnya saksi korban. Karena itu dalam perumusan Rancangan KUHP ke depan dan juga dalam revisi hukum acara pidana yang juga sedang dalam proses, penting
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
155
untuk melakukan suatu pembaharuan dalam sistem pembuktian khususnya yang terkait dengan tindak pidana perkosaan harus lebih berpihak pada korban. Untuk itu sangat penting adanya kebijakan yang mewajibkan institusi penegakan hukum menyediakan ruang pelayanan khusus untuk korban tindak pidana perkosaan
atau kekerasan seksual lainnya. Penyediaan ruangan khususnya ini
tentunya juga harus diikuti dengan penyediaan tenaga-tenaga profesional yang bertugas mendampingi dan memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana perkosaan.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
156
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1.
Rumusan tindak pidana dalam pasal 285 KUHP sampai dengan Pasal 289 KUHP yang merupakan produk hukum kolonial tentunya disusun dengan nilai-nilai dan asas yang masih membedakan antara masyarakat pribumi sebagai kelompok masyarakat tradisional, berhadapan dengan masyarakat kolonial sebagai masyarakat modern. Dari sisi asas persamaan dihadapan hukum, tentunya ada ketidaksesuaian dalam perumusannya. Berkaitan dengan asas legalitas yang sangat dipedomani oleh aparat penegak hukum, seringkali menyebabkan kekakuan di dalam penerapan hukumnya khususnya dalam kasus perkosaan yang akan sangat merugikan bagi korbannya. Perlakukan hukum yang tidak mampu melokalisir kerugian bagi korban juga akan bertentangan dengan asas personalitas dan subsideritas. Dengan berbagai analisis yang dikaitkan dengan asas-asas dalam perumusan kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa KUHP masih sangat kurang dalam memberikan perlindungan yang sepenuhnya kepada perempuan korban perkosaan. KUHP tidak memperhatikan kepentingan korban dan lebih memperhatikan kepentingan pelaku tindak pidana. Pengaturan mengenai hak korban hanya ditemukan dalam menempatan beberapa tindak pidana sebagai delik aduan. Dalam tindak pidana perkosaan walaupun tidak semua pasal mengaturnya
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
157
sebagai delik aduan, aparat penegak hukum hanya akan menindaklanjuti kasus tindak pidana perkosaan hanya apabila ada pengaduan dari korban atau keluarganya. Hal ini akan menyebabkan semakin sedikit tindak pidana perkosaan yang laporkan dan diselesaikan melalui jalur hukum. Dari sisi rumusan perundangan, dapat ditemukan sempitnya defenisi tindak pidana perkosaan yang hanya melarang prilaku pemaksaan seksual tertentu berupa penetrasi penis ke dalam vagina yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, perkosaan yang dilakukan kepada perempuan yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, perkosaan terhadap perempuan yang belum cukup umur dan perkosaan terhadap istri yang belum cukup umur dan menyebabkan luka fisik. 2.
Kebijakan legislasi di luar KUHP khususnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sesungguhnya telah mengatur mengenai tindak pidana perkosaan dengan menggunakan istilah kekerasan seksual. Dalam kedua undang-undang tersebut, bentuk perbuatan yang dilarang lebih luas dari KUHP dengan sanksi yang jauh lebih berat dan perlindungan khusus yang wajib diberikan kepada korban.
3.
Dalam Rancangan KUHP Nasional, rumusan tindak pidana perkosaan sudah mengalami perluasan sehingga bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya juga dirumuskan sebagai tindak pidana perkosaan dengan sanksi hukuman yang
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
158
lebih berat dari yang diatur dalam KUHP dan pendekatan proses pembuktian yang berbeda dengan yang selama ini diterapkan dalam KUHAP. Beberapa perluasan pasal yang juga akan dituangkan sebagai tindak pidana perkosaan adalah: Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut, tanpa persetujuan dari perempuan tersebut, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan itu dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah, melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya, atau melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan, atau Laki-laki yang memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan. B. Saran 1.
Dalam sistematika legislasi Rancangan KUHP Nasional, tindak pidana perkosaan sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam BAB XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan, pada bagian kelima dengan sub bagian tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul, melainkan disusun tersendiri dalam Bab tentang
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
159
Kejahatan Seksual. Dengan demikian permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak korban dapat menjadi lebih dipertimbangkan dan penjatuhan sanksi terhadap pelaku dapat menggunakan ukuran yang lebih tegas. 2.
Perumusan tindak pidana perkosaan sebagai suatu tindak pidana dengan permasalahan yang kompleks hendaknya disusun dalam
suatu rumusan
kebijakan yang komprehesif dengan menekankan perlindungan dan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan korban.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
160
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Primer : Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang RI Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LN RI Tahun 2002 No.109 Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN RI tahun 2004 No. 53 Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LN RI Tahun 2004 No. 95
Bahan Sekunder : Adi, Rianto, Metodelogi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislasi Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Disertasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Dionegoro, 1994 -------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001 -------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002 -------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Persfektif Kajian Perbandingan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
161
-------, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Arivia, Gadis, Logika Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000 Atmasasminta, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Enresco, 1988 -------, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung, Mandar Maju, 1995 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departeman Kehakiman, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Binacipta, 1986
Simposium
Bentham, Jeremy, Teori Perundang-undangan, Prinsip-prinsip Legislasi Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Bandung: Nuansa, 2006 Chazawi, Adami Persada, 2005
Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo
Diarsi, Mira, dkk, Layanan Yang Berpihak, Yogyakarta: Galang Offset Yogyakarta – Komnas Perempuan: 2001 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: Utomo, 2004 -------, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2006 Fatimahsyam, dkk, Modul Pendidikan Paralegal, Lhokseumawe, LBH APIK Aceh, 2007 Hakimi, Moehammad, dkk, Membisu Demi Harmoni, Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia, Yogyakarta: LPKGM-FK-UGM, 2001 Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994 Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Bandung: Alumni, 1994
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
162
H.R. Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat (1) Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Restu Agung, 2006 -------, Kriminologi, Jakarta, Restu Agung, 2007 Jaya, Nyoman Serikat Putra, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 J.E. Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 Kansil, CST dan Christine ST Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004 Kartanegara, Sataochid, Hukum Pidana I, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa tahun Komnas Perempuan, Seri Dokumentasi Kunci, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Laporan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 1999 --------, Laporan Tiga Tahun Pertama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 1998 - 2001, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2001 --------, Laporan Pertanggungjawaban Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2001 -------, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Jakarta: SGIFF-CIDA, The Asia Foundation dan Yayasan TIFA, 2002 -------, Seri Dokumen Kunci, Laporan Pelapor Khusus PBB Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2002 -------, Seri Dokumen Kunci 4, Laporan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur, Maluku, Tanjung Priok dan Papua, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2003 -------, Seri Dokumen Kunci 5 Laporan Pelapor Khusus PBB Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Terhadap Perempuan Yang Dilakukan dan/atau Dibiarkan Oleh Negara Selama Berlangsungnya Konflik Bersenjata (1997-2000), Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2004
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
163
-------, Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2004 -------, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004, Rumah, Pekarangan dan Kebun, Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2005 Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum (Delik), Jakarta: Sinar Grafika, 1991 -------, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995 Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta: Djambatan, 2004 M. Hamdan, Politik hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1997 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Noerhadi, Toeti Heraty, Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000 Nursiti, dkk, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Penelitian Terhadap Kasus Cerai Gugat di Pengadilan Agama Banda Aceh tahun 2000 s.d. 2003), Laporan hasil Penelitian, Banda Aceh: Balai Syura Ureung Inong Aceh, 2004 PSHK, Sembilan Jurus Merancang Peraturan Untuk Transformasi Sosial, Sebuah Manual Untuk Praktisi, Jakarta, PSHK, 2007 Prakoso, Djoko, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1987
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
164
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003 --------, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003 Purniati dan Rita Serena Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Mitra Perempuan, 2003 Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Alummni, 1986 Reksodiputro, Mardjono, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1994 Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Hukum Pidana Islam dalam Konteks Modernitas, Jakarta: Asy-Syaamil Press dan Grafika, 2001 Saraswati A, Luh Ayu, Kekerasan Negara, Perempuan dan Refleksi Negara Patriarkhi, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000 Sasangka, Hari dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986 -------, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983 Suparno, Indriyati dan Agung Ratih K, Persepsi, Pengetahuan Perempuan dan Gambaran Situasi Kekerasan Terhadap Istri, Solo: SPEK-HAM – CSSP, 2002 Wahid, Abdul dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Refika Aditama, 2001
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
165
Wandita, Galuh, Memahami Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Prasyarat sebuah Transformasi, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000
Bahan Tertier : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005 Garner, Bryan A. (ed), Black’s Law Dictionary, USA: Thomson Business, 2004 Gifis, Steffen H., Dictionary of Legal Terms; A Siplified Guide To the Language of Law, New York: Barron’s Educational Series, 1993 Soekanto, Soerjono dan Pudji Santoso, Kamus Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.