PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA NARKOBA DI SUMATRA UTARA
TESIS
Oleh
ELIZABETH SIAHAAN 077005036/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA NARKOBA DI SUMATRA UTARA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ELIZABETH SIAHAAN 077005036/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA NARKOBA DI SUMATERA UTARA : Elizabeth Siahaan : 077005036 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Tanggal lulus: 03 Maret 2009
Telah diuji pada Tanggal 03 Maret 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
:
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
:
1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH 3. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRAK Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak hukumdiharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Salah satu bagian aparat penegak hukum yang juga mempunyai peranan penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkoba ialah “Penyidik”, dalam hal ini penyidik POLRI ,dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran tindak pidana narkoba. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1997 Tentang narkotika dan UndangUndang No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika yang mengatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkoba dewasa ini. Untuk itu permasalahannya adalah bagaimana memerankan Polri sebagai penegak hukum dalam penyidikan kaitannya dalam pemberantasan Narkoba. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekan yang bersifat normatif yang mana diterangkan dengan secara diskritif yuridis dengan menggunakan penelitian kepustakaan. Pisau analisis yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah dengan penelusuran secara normatif. Sehingga terlihat kewajiban dalam pengungkapa kasus-kasus dan penyelesaiannya yang subatansi adalan peran dari penyidik itu. Kata Kunci : Penyidik Polri, Tindak Pidana Narkoba
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
ABSTRACT Plantation revitalization program intended to improve the welfare and economic growth of community can be seen from the pattern of patnership in the agreement made between the farmers and the company as business partner. The partnership in this context is in the form of the management of all plantations Key words: Partnership, Plantation Revitalization
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan atas Kasih yang telah diberikanNYA serta juga kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut
tentang
”Peranan
Penyidik
Polri
Dalam
Penanganan
Penyalahgunaan Narkoba Di Sumatera Utara”. Tesis ini di buat dan diselesaikan sebagai suatu syarat untuk mendapat gelar magister ilmu hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B. M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Megister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis. 5. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis. 6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku penguji penulis mengucapkan banyak terima kasih atas masukan dan sarannya guna perbaikan tesis ini. 7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini. 8. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya khususnya kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara beserta para pejabat utama Polda Sumatera Utara dan seluruh anggota Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara Terkhusus Pada Komandan Penulis yaitu Kombes. Pol. Drs. H. Anjan Pramuka, yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan motivasi
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk kedua orang tua yaitu Ayahanda Tercinta (Alm) Kolonel. Pol. Drs. B. Siahaan dan Ibunda Tersayang R.N. Br Tobing, semoga kasih Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya. Do’a-do’a beliau selalu mengiringi penulis sampai sekarang ini. Terkhusus juga untuk Saudara-Saudara Penulis : Abangda
Kombes. Pol. Drs. Jhonny
Siahaan,S.H, M.H, Adik-Adik Penulis : Drs. Jansen Siahaan, Drs. Viktor Siahaan, Sundey Siahaan, dan Farah Siahaan, SE yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini , penulis ucapkan terima banyak terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan secara Khusus pada MOKO KUSUMA yang telah banyak membantu penulis baik secara materil dan immateril sehinga dengan hal tersebut Penulis memiliki tanggungjawab besar untuk dapat menyelesaikan studi magister ini. Mungkin ucapan terima kasih ini bukan hanya ucapan biasa melainkan harapan penulis apa yang telah diberikan kepada penulis menjadikan hal yang berharga dalam menjalani persahabatan dikemudian hari. Kepada teman-teman angkatan IX Penulis mengucapakan terimakasih sedalam dalamnya atas apa yang telah kita jalani bersama baik suka maupun duka untuk dapat menyelesaikan studi kita di magister ilmu hukum ini, terkhusus pada
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
teman sebangku penulis Musa Rajeksah yang senantiasa membantu segala kesulitan teman-teman kita, semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang peran penyidik dalam penanggulangan penyalahgunaan Narkoba. Semoga kasih Tuhan senatiasa menyertai Kita dalam hidup damai dan tentram. Puji Tuhan Hormat penulis.
Elizabeth Siahaan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Elizabeth Siahaan
Temp/Tgl. Lahir
: Medan/ 18 Desember 1964
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen
Pendidikan
:
1. Sekolah Dasar Panglima Polim Rantau Prapat (1977) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan (1980) 3. Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Medan (1983) 4. Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung (1992) 5. SECAPA REG (1997) 6. Kelas Kekhususan Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (2009)
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK .........................................................................................................
i
ABSTRACT.......................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.......................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................
ix
DAFTAR ISI......................................................................................................
x
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................
xiii
BAB I
: PENDAHULUAN ........................................................................... A. B. C. D. E. F.
1
Latar Belakang ............................................................................ Rumusan Masalah ....................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................ Manfaat Penelitian ...................................................................... Keaslian Penelitian...................................................................... Kerangka Teori dan Konsepsional.............................................. 1. Kerangka Teori .....................................................................
1 20 21 21 23 23 23
2. Kerangka Konsepsiomal .......................................................
39
G. Metode Penelitian ....................................................................... 1. Jenis dan Sifat Penelitian ......................................................
42 42
2. Sumber Data..........................................................................
43
3. Teknik Pengumpulan Data....................................................
45
4. Analisis Data .........................................................................
46
BAB II : KETENTUAN - KETENTUAN KERJASAMA ANTARA PETANI PESERTA/KOPERASI DENGAN MITRA USAHA PERUSAHAAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN...........................
47
A. Program Revitalisasi Bertujuan Untuk Membangun Perkebunan Rakyat ..................................................................... B. Kepemilikan Lahan Sebagai Persyaratan Program Revitalisasi Perkebunan.................................................................................. C. Hubungan Hukum Antara Perusahaan Inti Dengan Plasma Pada Program Revitalisasi Perkebunan ...................................... Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
47 58 63
D. Contract Farming Melalui Pola Hubungan Perusahaan Inti Plasma ......................................................................................... 1. Hubungan Hukum Para Pihak...............................................
68 74
2. Hubungan Hukum Antara antara Petani dengan Perusahaan....
75
3. Hubungan Hukum antara Koperasi dengan Perusahaan.............
77
4. Hubungan Hukum antara Petani Plasma dengan Bank ...............
78
BAB III : PENERAPAN KERJASAMA PENGELOLAAN HAK ATAS TANAH USAHA PERKEBUNAN ANTARA PETANI PESERTA/KOPERASI DENGAN MITRA USAHA PERUSAHAAN PERKEBUNAN BERDASARKAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN...........................
81
A. Ruang Lingkup Perjanjian Inti Plasma di PT. Anugerah Langkat Makmur......................................................................... 1. Identitas para pihak ............................................................... 2. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Inti Plasma 3. Kewajiban dan Hak Para Pihak Dalam Perjanjian Inti Plasma....................................................................................... 4. Hubungan Perusahaan Inti sebagai Avalis dengan Bank ........ 5. Wanprestasi dan Ganti Kerugian ............................................. 6. Perselisihan dan Domisili......................................................... 7. Berakhirnya Perjanjian Inti Plasma.......................................... B. Perjanjian Inti Plasma Antara PT. Anugerah Langkat Makmur dengan KUD BAJA Perlok Sei Lepan Sebagai Sarana Mengembangkan Usaha Kecil di Kabupaten Langkat................ BAB IV : TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN...............................................................................
81 86 88 92 96 98 99 100
101
110
A. Revitalisasi Perkebunan Untuk Membangun Kemitraan Melalui Tanggungjawab Sosial Perusahaan ............................... B. Pengadaan Plasma Sebagai Kewajiban Tanggungjawab Sosial Perusahaan ..................................................................................
114
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
120
110
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
A. Kesimpulan ................................................................................. B. Saran ...........................................................................................
120 123
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
127
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR TABEL Nomor
1
Judul
Halaman
Jumlah Kasus Dan Tersangka Narkoba Tahun 2008 Sejajaran Polda Sumut.................... ........ ........................................................................
48
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR Nomor
Judul
Halaman
1 2 3
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kemajuan teknologi yang sedang berlangsung tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang semakin canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk menciptakan penaggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang. Akhir- akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak hukumdiharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa. 1 Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang
1
A. Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta :Sinar Grafika,1994), hal.6 Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda. 2 Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA. Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas kesehatan itu sendiri, bahkan para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat dibidang kesehatan jiwa, khususnya penyalahgunaan NAPZA. Bidang ini perlu dikembangkan secara lebih profesional, sehingga menjadi salah satu pilar yang kokoh dari upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA. Kondisi diatas
2
Sadar BNN Desember 2006 / Adi KSG IV, Mahalnya Biaya Rehabilitasi Korban Narkoba, tanggal 08 Januari 2007, http://www.geoogle.com, diakses tanggal 27 Mei 2008
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
mengharuskan pula Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dapat berperan lebih proaktif dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA di masyarakat. Dari hasil identifikasi masalah NAPZA dilapangan melalui diskusi kelompok terarah yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat bekerja sama dengan Direktorat Promosi Kesehatan – Ditjen Kesehatan Masyarakat DepkesKesos RI dengan petugas-petugas puskesmas di beberapa propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali ternyata pengetahuan petugas puskesmas mengenai masalah NAPZA sangat minim sekali serta masih kurangnya buku yang dapat dijadikan pedoman. 3 Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi antara factor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single cause) Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalagunaan NAPZA adalah sebagian berikut : 4
1. Faktor individu : Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan
3 4
Ibid Ibid
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain : 5 a. Cenderung membrontak dan menolak otoritas b. Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti Depresi,Ccemas, Psikotik, Kkeperibadian dissosial. c. Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku d. Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan memiliki citra diri negative (low self-esteem) e. Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif f. Mudah murung,pemalu, pendiam g. Mudah mertsa bosan dan jenuh h. Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran i. Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun) j. Keinginan untuk mengikuti mode,karena dianggap sebagai lambing keperkasaan dan kehidupan modern. k. Keinginan untuk diterima dalam pergaulan. l. Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan” m. Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas n. Kemampuan komunikasi rendah
5
Ibid
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
o. Melarikan diri sesuatu (kebosanan,kegagalan, kekecewaan,ketidak mampuan, kesepian dan kegetiran hidup,malu dan lain-lain) p. Putus sekolah q. Kurang menghayati iman kepercayaannya
2. Faktor Lingkungan : Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik disekitar
rumah,
sekolah,
teman
sebaya
maupun
masyarakat.
Faktor
keluarga,terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah : 6 a. Lingkungan Keluarga 1) Kominikasi orang tua-anak kurang baik/efektif 2) Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga 3) Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi 4) Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh 5) Orang tua otoriter atau serba melarang 6) Orang tua yang serba membolehkan (permisif) 7) Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan 8) Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA 9) Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten) 10) Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga 6
Ibid
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
11) Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahduna NAPZA b. Lingkungan Sekolah 1) Sekolah yang kurang disiplin 2) Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA 3) Sekolah
yang
kurang
mengembangkan diri
memberi
kesempatan
pada
siswa
untuk
secara kreatif dan positif
4) Adanya murid pengguna NAPZA c. Lingkungan Teman Sebaya 1) Berteman dengan penyalahguna 2) Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar d. Lingkungan masyarakat/sosial 1) Lemahnya penegakan hukum 2) Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung 3. Faktor Napza 1) Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau” 2) Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba 3) Khasiat farakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidur-kan, membuat euforia/fly/stone/high/teler dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selau membuat seseorang kelak menjadi penyalahguna NAPZA. Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahguna NAPZA.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Penyalahguna NAPZA harus dipelajari kasus demi kasus.Faktor individu, faktor lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar perannya dalam menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Karena faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis dan cukup kominikatif menjadi penyalahguna NAPZA Perkembangan kejahatan penyalahgunaan narkoba saat ini yang secara kualitas dan kuantitas cenderung meningkat, maka dapat diperkirakan bahwa kejahatan penyalahgunaan narkoba pada masa mendatang akan semakin menigkat seiring dengan perkembangan masyarakat.Hal ini ditandai dengan munculnya modus operandi kejahatan dengan memanfaatkan teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan informasi sebagai sarana dalam melakukan kejahatannya. Kejahatan penyalahgunaan narkoba adalah salah satu dari berbagai macam jenis kejahatan terorganisir yang sangat sulit untuk diungkapkan, baik secara kualitas dan kuantitas,karena mempunyai organisasi terselubung dan tertutup serta terorganisir secara internasional dengan jaringan yang meliputi hampir seluruh dunia. Saat ini Indonesia bukan hanya Negara transit narkoba lagi,tetapi sudah menjadi Negara konsumen dan produsen bahkan sudah menjadi Negara pengekspor narkoba jenis ekstasi dengan indikasi adanya pengiriman melalui paket dan kurir dari Indonesia ke luar negeri yang dialamatkan langsung ke Indonesia. 7
7
Harian KOMPAS, Dalam Pengobatan Napza-Butuh Dukungan Orang Tua, Tanggal 24 September 2001. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Perkembangan penyalahgunaan narkoba dari waktu ke waktu menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan kasus-kasus yang terungkap oleh jajaran kepolisian RI hanyalah fenomena gunung es,yang hanya sebagian kecil saja yang tampak di permukaan sedangkan kedalamannya tidak terukur. Disadari pula masalah penyalah gunaan narkoba merupakan masalah nasional dan Internasional karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional. 8 Sampai saat ini penyalah gunaan narkoba di belahan dunia manapun tidak pernah kunjung berkurang, bahkan di Amerika serikat yang dikatakan memiliki segala kemampuan sarana dan prasarana, berupa teknologi canggih dan sumber daya manusia yang profesional, ternyata angka penyalahgunaan narkoba makin hari makin meningkat sejalan dengan perjalanan waktu. Di Indonesia sendiri saat ini angka penyalahgunaan narkoba telah mencapai titik yang mengkhawatirkan, karena pada saat sekitar awal tahun 1900-an masalah narkoba masih belum popular dan oleh jaringan pengedar hanya dijadikan sebagai Negara transit saja. Belakangan ini Indonesia telah dijadikan Negara tujuan atau pangsa pasar dan bahkan dinyatakan sebagai Negara produsen/pengekspor narkoba terbesar di dunia. 9
8
Ibid Mulyono, Liliawati, Eugenia, Psikotropika, (Jakarta:Harvarindo,1998), hal.5 9
Peraturan
Perundang-undangan
Narkotika
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
dan
Keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang memburuk seperti sekarang ini, diprediksi akan munculnya pabrik-pabrik gelap baru dan penyalahgunaan narkoba lain akan semakin marak dimasa mendatang. Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan narkoba ini sehingga tidak sampai merusak sendisendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari bahwa penyalahgunaan narkoba ini sama halnya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, pencurian, dan pembunuhan yang sulit diberantas atau bahkan dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali dari muka bumi, maka apa yang dapat dilakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal mungkin angka penyalahgunaan narkoba serta bagaimana melakukan upaya untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkoba ini. Sampai dengan saat ini upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh lembaga formal pemerintah(Dep. Kes,Imigrasi, bea dan cukai,Polri,BNN,BNP,dan lain-lain) maupun oleh lembaga swadaya masyarakat lainnya masih belum optimal, kurang terpadu dan cenderung bertindak sendiri-sendiri secara sektoral. Oleh sebab itu masalah penyalahgunaan narkoba ini tidak tertangani
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
secara maksimal, sehingga kasus penyalahgunaan narkoba makin hari bukannya makin menurun tapi cenderung semkin menigkat baik secara kualitas dan kuantitas. 10 Bahwa belum ada upaya pembinaan khusus terhadap pengguna sebagai korban, karena masih beranggapan bahwa para pengguna itu adalah penjahat dan tanpa mendalami lebih jauh mengapa mereka sampai menkonsumsi atau menyalahgunakan narkoba. Menurut data dari Ditjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM bahwa pada tahun 2002 dari semua lembaga pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara yang ada di Indonesia saat ini 40% penghuninya adalah narapidana/Tahanan Narkoba. Tentunya Para”korban ini” belum tentu memiliki sifat/kepribadian jahat seperti pelajar SD/SMP, santri atau anak dari keluarga baikbaik, namun secara kebetulan terpengaruh untuk melakukan penyalahgunaan narkoba dan harus menjalani hukuman bersama dengan penjahat lain seperti pembunuh, perampok dan lain-lain, maka setelah menjalani hukuman pidana,mereka bukannya tambah baik tetapi justru dapat menjadi penjahat yang lebih besar lagi. 11 Salah satu unsur penegak hukum yang ada di Indonesia adalah Kepolisian Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya di singkat dengan POLRI) selaku alat Negara penegak hukum dituntut untuk mampu melaksanakan tugas penegakan hukum secara profesional denagn memutus jaringan sindikat dari luar negeri melalui kerjasama dengan instansi terkait dalam memberantas kejahatan penyalahgunaan narkoba, dimana pengungkapan kasus narkoba bersifat khusus yang 10
KOMPAS .Juli, 2008, Diakses pada http//www.kompas.com/infonarkoba/artikel.lebih.htm diakses pada tanggal 27 Juli 2008. 11 Ibid
situss
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
memerlukan proaktif POLRI dalam mencari dan menemukan pelakunya serta senantiasa berorientasi kepada tertangkapnya pelaku tindak pidana penerapan peraturan perundang-undangan di bidang narkoba. Salah satu bagian aparat penegak hukum yang juga mempunyai peranan penting terhadap adanya kasus penyalahgunaan narkoba ialah “Penyidik”, dalam hal ini penyidik POLRI ,dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran penyalahgunaan narkoba. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1997 Tentang narkotika dan UndangUndang No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika yang mengatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan penyalahgunaan narkoba dewasa ini. Efektifitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh instansi yang terkait langsung yakni penyidik POLRI serta para penegak hukum lainnya.bahwa dalam proses penegakan hukum dalam hal ini penegakan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika maupun psikotropik, untuk membuat terang tindak pidana yang diduga terjadi proses penyelidikan merupakan hal yang sangat substansi serta memiliki kepentingan yang sangat mendasar. Hal ini merupakan bagian dari kepolisian khususnya penyidik polisi karena fungsi penyidiklah yang dapat mengungkapkan penegakan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
maupun psikotropika. Peran penting penyidik dikepolisian akan memberikan sarana baik dalam mengungkap hingga menelusuri jalur peredaran narkotika maupun psikotropika. Disamping itu hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun 1997 Tentang psikotropika dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Maka peran penyidik bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus penyalahgunaan narkoba yang semakin marak dewasa ini. Sebagaimana yang telah diuraikan diatas tentang pentingnya penyidikan dalam mengungkapkan dan membuat terang dugaan adanya penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika maka harus didukung dengan faktor pendukung yang dapat memfasilitasi jalannya proses penyidikan. Dalam hal penegakan hukum penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika memiliki sedikt perbedaan jika dibandingkan dengan tindak pidana lain pada umumnya. Salah satu proses penegakan hukumnya dalam rangka penyidikan adalah dengan menciptakan dan atau menskenariokan suatu kondisi sebuah delik pidana atau peristiwa pidana narkotika maupun psikotropika tersebut. Penciptaan dan atau penskenariokan yang dimaksud adalah dalam rangka untuk mengungkap jalur peredarannya dengan kata lain siapa pengedarnya atau bahkan siapa yang menjadi produsen dari narkotika dan psikotropika tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara under cover buy (menyamar membeli kembali). Oleh karenanya untuk dapat mendukung penegakkan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
hukumnya maka diperlukan banyak biaya dalam hal ini biaya operasional dalam mengungkap dalam rangka penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika. Faktor biaya merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam proses penegakan hukum penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan. Minimnya anggaran membuat tidak maksimalnya atau tidak efektifnya dalam hal mengungkap penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika.saat ini, anggaran yang dikeluarkan dalam rangka penyelidikan dan penyidikan dalam mengugkap dan atau untuk dapat menegakkan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika belum mencukupi sehingga dalam menuntaskan penegakan hukum masih terkendala dan tidak memuaskan. Berdasarkan uraian diatas maka penulis memilih judul tesis adalah “Peranan penyidik POLRI Dalam Penanganan Penyalahgunaan narkoba di Sumatra Utara”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis ingin mengupas beberapa permasalahan yang dijadikan objek dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Bagaiman kondisi penyalah gunaan penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara dewasa ini?
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
2. Bagaimana
langkah-langkah
POLRI
sebagai
penyidik
dalam
menanggulangi dan mengungkapkan masalah penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara? 3. Hambatan-hambatan apa yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba?
C.Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kondisi penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis langkah-langkah POLRI sebagai penyidik dalam menanggulangi dan mengungkap masalah penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara. 3. Untuk mengetahui secara mendalam hambatan-hambatan yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba.
D. Manfaat Penelitian Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
1. Secara Teoritis Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya ilmu hukum acara pidana dan hukum yang terkait dalam penyidikan dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba. 2. Secara Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi seperti Advokat dan penegak hukum khususnya petugas penyidikan yang ada dikepolisian dan juga masyarakat dalam hal ini para keluarga korban narkoba, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam membantu penyelesaian penyalahgunaan narkoba.
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai masalah terhadap peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asasasas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang ‘peranan penyidik dalam
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
membantu penyelesaian penyalahgunaan narkoba’, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya baik di longkungan Universitas Sumatera Utara maupun Perguruan Tinggi Lainnya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Untuk mengetahui tentang peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori yang belakangan merupakan reaksi atau perbaikan dari teori sebelumnya. Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep struktur hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut friedman, yaitu: 12 1. Fungsi kontrol sosial (social control). Menurut Donald Black bahwa semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah. 2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute stlement) dan konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (micro). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik.
12
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,(Jakarta :PT.Rajagrafindo Persada,2004), hal.69-70 Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
3. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial (retribution function and social engineering function). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah. 4. Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game). Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work) yang ditetapkan oleh suatu Undang-undang atau hukum. 13 Criminal justice system di Indonesia dapat dilihat dari berbagai mekanisme dan sistem sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Kelembagaan yang termasuk dalam sistem tersebut adalah: Pertama, Penyelidik dan penyidik (Kepolisian RI), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, selaku Pengemban Fungsi Kepolisian, dibantu oleh Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kedua, Penuntut adalah Kejaksaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, diberikan wewenang tambahan melakukan penyidikan atas tindak pidana 13
Ibid
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
khusus seperti tindak pidana narkotika. Ketiga, Pengadilan yang menurut UndangUndang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Hakim, menjadi lembaga yudikatif, terpisah dari lembaga eksekutif, dibantu oleh Panitera dan Staf, yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Keempat, Penahan (Lembaga Pemasyarakatan), mengelola Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka pemidanaan dan pengelola Rumah Tahanan (Rutan) dan Rumah Penitipan Barang Sitaan (Rupbasan). Keempat institusi ini merupakan jalinan yang harus bekerja dalam sistem guna mewujudkan tujuan pembangunan bidang hukum acara pidana agar mayarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya serta tercapai dan ditingkatkannya pembinaan setiap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing. Kemudian, guna mantapnya hukum, keaditan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum, maka keempat institusi tersebut harus seiring sejalan dalam proses penegakan hukum. Namun dalam pelaksanaan tak jarang ditemui berbagai penyimpangan terhadap sistem yang selama ini diatur Undang. Criminal Justice System adalah masalah Pelayanan Publik oleh Pemerintah dan dituntut kesadaran untuk penghormatan terhadap hak-hak asasi dan privacy warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memperluas cakupan penanganan Criminal justice System seyogyanya, sementara belum ada pengganti acuannya maka dipergunakan terlebih dahulu KUHP yang ada.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Bila hal itu dikaitkan dengan pembangunan hukum, maka pendekatannya tidak sekedar pembaharuan aturan-aturan hukum. Pembangunan hukum bertujuan membentuk atau mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional (legal system). Dalam pembangunan, pembaharuan atau pembinaan sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional harus diikuti oleh pembangunan, pembaharuan atau pembinaan substansi dari sistem hukumnya. Substansi dari sistem hukum itulah yang akan menentukan sejauh mana sistem hukum Indonesia yang bersifat nasional mencerminkan Indonesia baru dan mampu melayani kebutuhan Indonesia baru. Dengan demikian dalam pembangunan sistem hukum nasional harus mencakup pembangunan bentuk dan isi dari peraturan perundang-undangan. 14 Bagaimana pembangunan,pembaharuan atau pembinaan bentuk dan isi dari peraturan perundangundangan inilah yang menjadi substansi dari kebijakan legislatif.Kebijakan legislatif atau kebijakan perundang-undangan adalah kebijakan politik dalam menyusun dan mewujudkan ide-ide para pembuat Undang-Undang (legislator) dalam bentuk normanorma baku yang terumus secara eksplisit dalam bentuk peraturan perundangundangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan oleh Austin,”The Command of the Sovereign”. 15
14
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian).(Yogyakarta:FH UII Prees, 2005).Hal.157-158.Lihat juga pendapat Von Savigny yang dikutip Theo Huijbers.. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. (Yogyakarta:Kanisius, 1990), hal.114, Yang menyatakan, hukum adalah pernyataan jiwa bangsa –Volgsgeist- Karena pada dasarnya hukum tidak di buat oleh manusia tetapi tumbuh dalam masyarakat,yang lahir,berkembang, dan lenyap dalam sejarah. Dalam pembentukan hukum perlu pula diperhatikan cita-cita bangsa dan nilai-nilai yang terdapat dalam bangsa tersebut. 15 Oko Setyono dalam Muladi (Edt), Hak Asasi Manusia, Hakekat,Konsep & Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. (Bandung :PT.Refika Aditama, .2005.), Hal.123. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Dalam perkembangannya, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Kelemahan hukum alam adalah karena ide atau konsep tentang apa yang disebut hukum bersifat abstrak. Hal ini akan menimbulkan perubahan orientasi berpikir dengan tidak lagi menekankan pada nilai-nilai yang ideal dan abstrak, melainkan lebih mempertimbangkan persoalan yang nyata dalam pergaulan masyarakat. Latar belakang ini yang pada akhirnya melahirkan aliran hukum positif. 16 Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan pada norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentifikasikan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturanaturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu,hukum harus dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum
16
Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandungn:Mandar Maju,1990),hal
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
harus disandarkan pada ide-ide baik dan buruk yang didasarkan pada ketetapan kekuasaan yang tertinggi. 17 Positivisme adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Agust Comte (1798-1857) dengan judul Cuorse de Philoshopie positive. Positifisme hanya mengakui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi dengan hubungan objektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi. Demikian juga halnya untuk dapat menjawab permasalahan dalam proposal Penelitian kaedah positif terimplikasi kepada bahwa dalam negara manapun semuanya mengakui adanya suatu asaspersamaan di depan hukum atau Equaliti before the law, seperti asas hukum rule of law yang dipakai dalam negara Anglo saxon bahwa rule of law melingkupi: 1. Supremacy of law 2. Equality before the law 3. Constitrution based on human right 18 Secara teoritis, Presiden atau pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan 17
J. Austin dalam M. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana,1991).hal.28 18 Miriam Budiarjo,Dasar-dasar ilmu politik,(Jakarta:Gramedia,1999),hal.25. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
(regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintah yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara. 19 Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan, ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintah ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state. Seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi walfare state. Tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat. 20 Secara ilmiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan Undang-Undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan UndangUndang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat.Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan Undang-Undang, maka aka banyak persoalan kemasyaakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi walfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarka asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada Freies Ermessen, yakni kewenangan
19
Ibid Prajudi,Hukum Administrasi Negara,(Jakarta:Ghalia Indonesia,1981).hal.27
20
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum. Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau disebut sarana terakhir dalam rangka menentukan perbuatan apa saja yang akan dikriminalisasi (dijadikan delik atau perbuatan yang apabila dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan). Sedangkan langkah kriminalisasi sendiri termasuk dalam teori kebijakan kriminal (criminal policy), yang salah satu pendapat pakar Peter G Hoefnagels mengartikan sebagai criminal policy is the rational organization of the control of crime by society yang diartikan sebagai upaya rasional dari suatu Negara untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kebijakan kriminal tersebut selanjutnya diuraikan bahwa Criminal policy sebagai ascience of responses, science of crime prevention, policy of designating human behavior as a crime dan rational total of the responses to crime. Selain terdapat persyaratan bahwa menentukan perbuatan mana yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa perbuatan itu tercela, merugikan dan mendapat pengakuan secara kemasyarakatan bahwa ada kesepakatan untuk mengkriminalisasi dan mempertimbangkan cost and beneft principle,tetapi juga harus dipikirkan jangan sampai terjadi over criminalization. 21 Untuk menghindari over criminalization maka diingatkan beberapa ramburambu antara lain bahwa:
21
Barda Nawawi Alumni,1984),hal.31-32
Arief,Bunga
Rampai
Kebijakan
Hukum
Pidana,
(Bandung:
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
1. Fungsi Hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. 2. Ilmu
Hukum
pidana
dan
perundang-undangan
hukum
pidana
harus
memperhatikan hasil-hasil penelitian anthropologis dan sosiologis. 3. Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan merupkan satu-satunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan sosial lainnya, khususnya dalam kombinasi dengan tindakantindakan preventif. (pemikiran dari Von Liszt, Priens, Van Hammel pendiri Internationale Association for Criminology). 22 Berkaitan dengan pemikiran Hoenagles maka ditekankan kembali penting mempertimbangkan berbagai faktor untuk melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain: 23 a. Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan emosional. b. Jangan menggunakan Hukum Pidana untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya. c. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan.
22
Ibid. Muladi, Kapita Selecta Hukum Pidana,(Semarang:Badan Penerbit Universitas Dipenogoro,1995),Hal.127-129. 23
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat. e. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya tidak efektif. f. Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan. g. Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan. Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka perlu diingat adanya dalil Ultimum Remedium sebagai sarana terakhir yaitu berkaitan dengan masalah bagaimana menentukan dapat dipidana atau tidak dapat dipidana suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau dengan kelalaian. Dalam suatu pidato menteri moderman dinyatakan bahwa untuk menentukan perbuatan tersebut di atas harus diingat adanya 2 asas pokok. 24 Asas pokok itu yang pertama ialah, orang yang melanggar hukum (ini sebagai syarat mutlak dari teori condition sine qua non). Kedua , bahwa perbuatan itu melanggar hukum dan menurut pengalaman tidak dapat dicegah dengan sarana apapun (tentu dengan memperhatikan keadaan masyarakat tertentu). Ancaman pidana harus tetapmerupakan Ultimum remedium. Hal ini tidak berarti bahwa ancaman pidana ditiadakan namun harus selalu mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat
24
Muladi dan Barda Nawawi Pidana,(Bandung:Alumni,1984),hal 149
Arief,Teori-Teori
dan
Kebijakan
Hukum
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
daripada penyakit.Artinya bahwa untuk mencapai tujuan pemidanaan maka Negara dengan
sengaja
memberikan
pidana
dan
menambah
penderitaan
pada
pelakunya.Namun dalam hal ini juga ditambahkan bahwa dalam hukum pidana yang lebih modern, selalu diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ditambahkan dengan sengaja itu. Ultimum remedium juga berarti bahwa hukum pidana mempunyai tujuan yang menyimpang atau dikatakan lebih dari tujuan pada umumnya yang terdiri dari menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat tanpa adanya kesengajaan menimbulkan penderitaan. Ternyata hukum pidana tidak dapat menghindari adanya pemberian penderitaan ketika hukum dilanggar dan kemudian harus ditegakkan. Untuk itulah maka harus dipikirkan mendalam bahwa Ultimum remedium diperhatikan, apalagi dalam menegakkan hukum pidana akan berlaku hukum acara pidana yang juga berwenang yang luas kepada polisi dan kejaksaan, maka bila tidak dibatasi justru tujuan penegakan hukum itu akan berdampak sangat merugikan kepada pelaku. Ultimum Remedium juga akan bersinggungan langsung dengan tujuan pemidanaan dan antara lain menurut Cesare Beccaria Bonesana (1764) dikatakan ada dua hal yaitu untuk tujuan prevensi khusus dan prevensi umum.tujuan pemidanaan hanyalah supaya sipelanggar tidak merugikan sekali lagi kepada masyarakat dan untuk menakut-nakuti orang lain agar jangan melakukan hal itu.menurut Beccaria yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat. Keyakinan bahwa tidak
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya diterima, begitu pula dengan hilangnya keuntungan yang dihasilkan oleh kejahatan itu. Namun Beccaria mengingatkan sekali lagi bahwa segala kekerasan yang melampaui batas tidak perlu karena itu berarti kelainan. 25
2. Landasan konsepsional a. Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undangundang untuk melakukan penyidikan. 26 b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 27 c. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang ini. 28 d. Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk dapat melakukan penyidikan. 29
25
Ibid Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 27 Pasal 1 angka (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 28 Pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 29 Pasal 1 angka (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 26
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. 30 f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 31 g. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. 32 h. Penyalahgunaan
adalah
orang
yang
menggunakan
narkotika
tanpa
sepengetahuan dan pengawasan dokter. 33 i. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindah tanganan. 34
30
Pasal 1 angka (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika 32 Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika 33 Pasal 1 angka (14) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika 34 Pasal 1 angka (5) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika 31
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
j. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 35 k. Kejahatan
adalah
perbuatan
jahat
(strafrechtelijk
misdaadsbegrip)
sebagaimana terwujud in abtracto dalam peraturan pidana. Perbuatan yang dapat dipidana dibagi menjadi perbuatan yang dilarang Undang-undang dan orang yang melanggar larangan itu. 36 l. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya menurut wujudnya atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana. 37 m. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal maupun yang lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penindakan /pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non
35
Pasal 1 angka (17) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Sudarto, Op.Cit,hal.38 37 Mulyanto dalam Faisal Salam,Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Pustaka, 2004),hal.84 36
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
penal
lebih
menitikberatkan
sifat
preventif
(pencegahan/
penangkalan/pengendalian) sebelum terjadi kejahatan. 38
G. Metodelogi Penelitian Berdasarkan objek penelitian yang merupakan hukum positif, maka metode yang akan dipergunakan adalah juridis normatif yaitu mengkaji kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara. Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut : 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomenafenomena hukum yang terkait dengan kepastian hukum dalam peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara, akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan. 2. Metode Pendekatan
38
Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan,makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi VI,Semarang, Tanggal 16-18 September 1991).hal.2 Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum tentang peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai hasil penelitian. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 39 Dalam penelitian ini, selain untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang kecukupan kaidah-kaidah hukum dalam hukum pidana khususnya tersebut dengan hukum Acara Pidana sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 dan peraturan lainnya yang terkait dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan dengan memperbandingkan kaidah-kaidah hukum dalam Hukum Pidana dengan kaidah hukum Acara Pidana dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1985, Hukum Acara Pidana dan peraturan lainnya yang tidak terdapat pengaturan yang jelas tentang peranan penyidik dalam membantu penyelesaian penyalahgunaan narkoba. 39
Bismar Nasution,Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,disampaikan pada dialog Interaktif TentangPenelitian Hukum dan Hasil Penilisan Hukum Pada Majalah Akreditasi,Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003),hal.2 Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
3. Sumber Data Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan melakukan pendekatan yuridis normatif. Penelitian deskriptif lebih mengutamakan data sekunder atau library research, yakni: a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang KUHAP, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika dan Undang-undang No. 5 tahun 1997, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian adalah merupakan bahan hukum primer. b. Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder. c. Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa Inggris, Indonesia,Belanda dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun common law yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder. Disamping data sekunder diatas dilakukan pula penelitian terhadap data primer sebagai bahan pendukung penelitian ini, yakni yang diperoleh dari informasi dan narasumber. 4. Teknik Pengumpulan Data
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahuluyang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. 5. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi pustaka (library research). Data
primer
dikumpulkan
melalui
penelitian
lapangan
dengan
mempergunakan teknik wawancara dan questioner, terhadap informasi yakni penyidik yang pernah menyidik kasus narkoba sebanyak 10 (sepuluh) orang. Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventarisasi seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah di pilih. 6. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berfikir secara deduktif. Dipilihnya metode analisis kualitatif adalah agar gejala-
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
gejala normatif yang diperhatikan dapat dianalisis dari berbagai aspek secara mendalam dan terintegral antara aspek yang satu dengan yang lainnya.
BAB II NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
A. Pengaturan dan Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika di Indonesia Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usahausaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapih, dan sangat rahasia. Bahwa itu, kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasilhasil kejahatan narkotika. Perkemb angan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Untuk
lebih
meningkatkan
pengendalian
dan
pengawasan
serta
meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan, hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Dengan demikian, undang-undang narkotika yang baru diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dengan membentuk undang-undang baru. Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktorfaktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung, dan permufakatan jahat untuk melakukan penyalahgunaan narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan penyalahgunaan narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional di bidang narkotika dengan tetap memperhatikan secara sungguh-sungguh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait antara lain Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana,
Kesehatan,
Kepolisian,
Kepabeanan,
Psikotropika,
dan
Pertahanan
Keamanan. Saat ini payung hukum yang ada sebagai bagian dalam penegakan hukum Narkotika dan Psikotropika adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang mana Undang-Undang ini terdiri dari 104 Pasal. Selain itu juga Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika disahkan untuk dapat menambah dan memperkuat penegakan hukum Narkotika dan Psikotropika tersebut. Rumusan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak mengatur bahwa tindak pidana yang diaturnya adalah tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 100. Akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa tindak pidana di dalam Undang-undang tersebut merupakan kejahatan. 40 Alasannya, kalau narkotika hanya
40
Lihat, Chairul Huda, Op.cit, hlm. 25, bahwa pengertian tindak pidana hanya berisi tentang karakteristik perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, pemahaman mengenai pengertian tindak pidana ini penting bukan saja untuk kepentingan akademis, tetapi juga dalam rangka pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat dapat berbuat sesuai yang diharapkan oleh hukum (pidana), jika pedoman bertingkah laku itu tidak dipahami. Oleh karena itu, yang penting bukan hanya apa yang masyarakat ketahui mengenai tindak pidana, tetapi apa yang seharusnya mereka ketahui. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan. Undang-Undang Narkotika yang mengatur tentang ketentuan pidana dalam BAB XII dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya menjadi sebagai berikut: 41 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit narkotika. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu (dalam kasus narkotika). Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi; lembaga (dalam kasus narkotika). Bahwa itu, Undang-Undang Narkotika mengenai adanya ancaman pidana
minimal, hal tersebut dimaksudkan untuk pemberatan hukuman saja, bukan untuk dikenakan perbuatan pokoknya. Ancaman pidananya hanya dapat dikenakan apabila tindak pidananya: 42 a. Didahului dengan pemufakatan jahat b. Dilakukan secara terorganisasi. pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hamel. Dua ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia saat ini. Lihat juga, S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986), hlm. 205 bahwa Simons mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 41 Lihat, Gatot Suparmono, Hukum Narkoba di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm.193-194. 42 Ibid. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
c. Dilakukan oleh korporasi. Ketentuan tindak pidana di bidang psikotropika diatur dalam BAB XIV Pasal 59 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997. Perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 66, dan seluruhnya merupakan delik kejahatan. Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi atau mengedarkan secara gelap, maupun penyalahgunaan psikotropika yang merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara. Memproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika dengan tujuan dikonsumsi masyarakat luas akan berakibat timbulnya ketergantungan bahkan menimbulkan penyakit karena tanpa diawasi dan tidak disesuaikan dengan pengawasan penggunaan Narkoba. Peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba secara luas dapat berdampak pada keresahan dan ketidaktentraman masyarakat. Bahwa itu pelaku peredaran gelap akan memanfaatkan kondisi ini untuk mengambil keuntungan dari transaksi Narkoba. Akan tetapi karena transaksinya gelap tidak ada penarikan pajaknya, sehingga negara dirugikan. Di situlah letak persoalannya mengapa tindak pidana di bidang psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Bahwa itu jika dilihat dari akibat-akibatnya tersebut, pengaruhnya sangat merugikan bagi bangsa dan negara. Dapat menggoyahkan ketahanan nasional, karena itu terhadap pelakunya diancam dengan pidana yang tinggi dan berat, yaitu maksimal
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
pidana mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp. 5 Milyar (Pasal 59 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997). 43 Dari seluruh tindak pidana yang diatur di dalam Undang-undang psikotropika jika dilihat dari segi bentuk perbuatannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yang antara lain sebagai berikut: (1). Kejahatan yang menyangkut produksi psikotropika; (2). Kejahatan yang menyangkut peredaran psikotropika; (3). Kejahatan yang menyangkut ekspor dan impor psikotropika, (4). Kejahatan yang menyangkut penguasaan psikotropika; (5). Kejahatan yang menyangkut penggunaan psikotropika; (6). Kejahatan yang menyangkut pengobatan dan rehabilitasi psikotropika; (7). Kejahatan yang menyangkut label dan iklan psikotropika; (8). Kejahatan yang menyangkut transito psikotropika; (9). Kejahatan yang menyangkut pelaporan kejahatan di bidang psikotropika; (10). Kejahatan yang menyangkut sanksi dalam perkara psikotropika; (11). Kejahatan yang menyangkut pemusnahan psikotropika. 44 Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dari kejahatan dalam penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berdasarkan ketentuan peraturan di Indonesia, dalam hal ini adalah ketentuan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dapat berupa sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, Barda Nawawi di dalam kebijakan yang
43 44
Ibid, hlm. 65. Ibid, hlm. 66.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
tertuang dalam kedua Undang-Undang tersebut telah mengidentifikasikannya secara umum sebagai berikut: 45 Undang-undang tentang Narkotika mengkualifikasi sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 500. 000. 000,00 terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum melakukan perbuatan menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman; atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I bukan tanaman. 46
Apabila
tindak pidana tersebut didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (Dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sedangkan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,- (Dua milyar lima ratus juta Rupiah) dan apabila tindak pidana dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah). Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menegaskan bahwa terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan untuk dimiliki dan untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II, dipidana dengan pidana 45
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Narkoba Dengan Hukum Pidana, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum, Universitas Gunung Djati, Cirebon, tanggal 19 Mei 2000. 46 Pasal 78 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah.) dan memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,(Seratus juta rupiah). Apabila tindak pidana ini didahului dengan pemufakatan jahat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah). Terhadap tindak pidana menguasai narkotika golongan III yang didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (Seratus lima puluh juta rupiah). Hal ini tentunya berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh organisasi. 47 Selanjutnya menyangkut memproduksi, mengolah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika, sebagaimana dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, atau penjara paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling banyak Rp. 1.000.0000.000,- (Satu milyar rupiah). Apabila pelaku yang melakukan perbuatan 47
Lihat Pasal 79 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 bahwa: Ayat (2). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar juta rupiah). b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah). Ayat (4). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: ayat (1) huruf a dilakukan oleh organisasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar rupiah). ayat (1) huruf a dilakukan oleh organisasi, dipidana denda paling banyak Rp. 1.000 000.000,- (Satu milyar rupiah). Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
berupa memproduksi, mengolah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) sedangkan memproduksi, mengolah, mengekstraksi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujun tahun) dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah). Terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum melakukan perbuatan dengan pemufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir dan oleh korporasi telah dirumuskan oleh Pasal 80 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (2). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 20 (Dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah), dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah). b. ayat (1) huruf b didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.G00.000,- (Satu milyar rupiah); c. ayat (1) huruf c didahului dengan pemufakatan jahat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah); Ayat (3). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah); b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar rupiah). c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah). Ayat (4). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,- (Tujuh milyar rupiah); b. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Pp. 4.000.000.000,- (Empat milyar rupiah); c. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar Rupiah); Menyangkut ketentuan tentang mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, membeli, menyerahkan, menerima menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika tanpa hak dan melawan hukum, diatur pada Pasal 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan ketentuan terhadap narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000r (Satu milyar rupiah). Terhadap narkotika golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) sedangkan terhadap narkotika golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (Tiga ratus juta rupiah). Apabila tindak pidana ini dilakukan dengan didahului pemufakatan jahat terhadap narkotika golongan I maka sanksi pidananya adalah dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah),dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah). Terhadap narkotika golongan II dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (Dua milyar rupiah). Sedangkan terhadap narkotika golongan III maka dipidana dengan pidana
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,(Empat ratus juta Rupiah). Sanksi pidana ini tentunya sangat berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan terorganisir. 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 mengatur mengenai perbuatan menggunakan, membawa,
memproduksi,
mengangkut,
mengedarkan,
mengekspor,
mengimpor,
memiliki,
menyimpan,
mencantumkan label dan mengiklankan
psikotropika yang bertentangan dengan ketentuan UU diancam sanksi pidana pidana paling singkat 4 (empat) tahun paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,-(Seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,(Tujuh ratus juta rupiah). Adapun perbuatan dimaksud secara rinci dapat dideskripsikan sebagai berikut:49 1. Menggunakan psikotropika golongan I tanpa izin dan pengawasan.
48
Lihat, Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagai berikut: Ayat (3). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar rupiah); b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan banyak Rp. 4.000.000.000,- (Empat milyar rupiah). c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah). Ayat (4). Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,- (Tujuh milyar rupiah); b. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (Empat milyar rupiah); c. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milyar rupiah); 49 Lihat, Pasal 59 s/d Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
2. Mengedarkan Psikotropika golongan I 3. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan 4. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan, dan/atau membawa psikotropika golongan I Apabila tindak pidana psikotropika dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,(Tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan jika tindak pidana ini dilakukan secara oleh korporasi, maka bahwa pidananya pelaku tidak pidana kepada korporasi dikenakan denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah). Sedangkan menyangkut perbuatan
menghalangi
upaya
pengobatan/perawatan
penderita
dan
menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah). 50 Menyangkut perbuatan tidak melaporkan adanya penyalahgunaan/pemilikan psikotropika secara tidak sah, sebagaimana dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 sebagai berikut: “Barang siapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau 50
Lihat, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa: (1) Barang siapa: a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi, sebagaimana dimaksud dalam 39 ayat (2), atau b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah). Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah).” Terhadap pengungkapan identitas pelapor dalam perkara psikotropika, telah diatur pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 bahwa ”Saksi dan orang lain yang bersangkutan dalam perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tanpa hak dan melawan hukum melakukan tindak pidana psikotropika tentunya berbeda dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan permufakatan jahat berupa bersekongkol atau bersepakat untuk
melakukan,
melaksanakan,
membantu,
menyuruh
turut
melakukan,
menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana maka pelaku tindak pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut. 51 Sedangkan dalam menggunakan anak belum 18 tahun dalam melakukan tindak pidana psikotropika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 telah melarangnya, hal ini diatur pada Pasal 72 sebagai berikut: “Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang dibawah pengampunan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut”.
51
Lihat, Pasal 71 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Selanjutnya, dalam hal subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) menurut kedua Undang-undang di atas dapat berupa orang perorangan maupun korporasi. Namun disamping itu ada pula subjek yang bersifat khusus, yaitu pimpinan rumah sakit/Puskesmas/Balai Pengobatan, Apotek, Dokter, Pimpinan Lembaga Ilmu Pengetahuan, Pimpinan Pabrik Obat, dan Pimpinan Pedagang besar farmasi, sebagaimana Pasal 99 UU Narkotika dan Pasal 60 ayat 4 dan 5 UU Psikoropika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menegaskan bahwa pada dasarnya pengadaan narkotika dan psikotropika secara legal sudah menjadi kebijakan Negara, sebab narkotika dan psikotropika pada kenyataannya sangat diperlukan untuk kepentingan
pelayanan
kesehatan
dan
ilmu
pengetahuan
oleh
karenanya
ketersediaannya harus tetap terjamin. Dengan demikian, sepanjang pengadaan dan peredarannya secara legal menyebabkan Negara bertanggung jawab atas segala dampak negatif yang ditimbulkannya. Namun bagi para pelaku peredaran gelap harus tetap menjadi perhatian yang serius dalam penanggulangannya. Hal ini telah tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, kedua perangkat undang-undang ini lazim dikategorikan sebagai kriminalisasi Narkoba. 52
52
Sudarto, Loc.cit, menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan (materiil Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika menyebutkan betapa pentingnya pengadaan narkotika dan psikotropika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan serta mengakui betapa pentingnya untuk mengupayakan pencegahan dan penanggulangan narkotika dan psikotropika. Konsideran menimbang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyatakan bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat namun di sisi lain tetap melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. dan atau spritual) atas warga masyarakat, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Lihat, juga Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan (cet kedua), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 2, bahwa Antisipasi atas kejahatan tersebut diantaranya dengan memfungsikan instruen hukum pidana dan kebijakan kriminalisasi. Melalui instrumen hukum, perilaku yang melanggar hukum dapat ditanggulangi secara preventif maupun refresif. Selanjutnya, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 16, bahwa menurut teori relatif, mempidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan dan melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Sedangkan Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 36 berpendapat bahwa, masalah kriminalisasi yang harus diperhatikan adalah tujuan hukum pidana, penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, perbandingan antara sarana serta hasil dan kemampuan badan penegak hukum. Sebagai bagian integral dari keseluruhan politik kriminal yang merupakan bagian dari politik sosial maka kriminalisasi oleh pembuat undang-undang berarti harus memperhatikan kemampuan dari badan penegak hukum lainnya yang terlibat dalam pelaksanaan politik kriminal itu. Artinya kriminalisasi jangan menyebabkan kelampauan beban tugas dari aparataparat penegak hukum. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Narkoba di satu sisi dapat dijadikan sebagai obat atau bahan yang sangat bermanfaat di bidang pengobatan, namun di sisi lain Narkoba dapat menyebabkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan. Pasal 3 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 menyebutkan bahwa pengaturan narkotika bertujuan untuk menjamin ketersediaan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika serta memberantas peredaran gelap narkotika. Hal serupa juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa konsideran menimbang undang-undang tersebut menyatakan bahwa untuk mewujudkan pembangunan nasional perlu dilakukan upaya secara berkelanjutan di segala bidang, antara lain pembangunan kesejahteraan rakyat termasuk kesehatan dengan memberikan perhatian terhadap pelayanan kesehatan. Dalam
hal
ini
ketersediaan
dan
pencegahan
penyalahgunaan
obar
serta
pemberantasan peredaran gelap, khususnya psikotropika. Kebijaksanaan untuk memberi perhatian yang sama antara ketersediaan psikotropika dan pencegahan peredaran gelap dan/atau penyalahgunaannya juga tercermin dalam perumusan norma pada beberapa pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika telah menyebutkan bahwa tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika serta memberantas peredaran gelap psikotropika. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa Negara sangat sadar betul menyangkut masalah kejahatan narkotika dan psikotropika adalah merupakan masalah global karena mengingat sifat kesehatan ini adalah transnasional dan berdimensi internasional. Oleh karena itu dalam menanggulangi masalah ini Negara memiliki kebijakan penyelesaian memerlukan keterlibatan dunia internasional. Masalah narkotika dan psikotropika bukanlah masalah baru sebab masalah ini sesungguhnya sudah ada sejak lama dan dilakukan umat manusia di seluruh belahan dunia bahkan telah menjadi budaya. Penggunaan narkotika dan psikotropika pada setiap acara pesta sudah merupakan hal yang biasa. Penggunaan morfin dan kokain merupakan gambaran sehari-hari di Eropa maupun di Amerika utara pada akhir abad kesembilan belas. 53 Demikian pula penggunaan narkotika dan psikotropika tidak hanya terjadi di kota-kota besar di dunia seperti New York akan tertapi hal serupa juga biasa dilakukan di pedesaan kota India, Cina dan masyarakat Asia tenggara dimana menggunakan kokain merupakan hal biasa. 54 Kesemua tadi menunjukkan bahwa masalah tersebut merupakan masalah global yang menimpa hampir seluruh belahan dunia, sebab masalah ini tidak hanya dialami oleh neegara-negara maju, akan
53 54
http://www.google.com, diakses tanggal 22 Mei 2008. http://www.yahoo.com, diakses tanggal 23 Mei 2008.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
tetapi juga menjadi masasalah Negara-negara berkembang dan Negara miskin. Pendeknya bahwa masalah narkotika dan pasikotropika sudah menjadi masalah global umat manusia di dunia. Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia sudah muncul sejak tahun 1968. Meluasnya jalur peredaran narkoba di dunia juga tidak terlepas dari dampak globalisasi yang memicu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang transportasi dan komunikasi yang menjadikan dunia tanpa batas, sehingga memudahkan terjadinya penyelundupan ke negara lain termasuk Indonesia. Demikian juga letak geografis Indonesia yang sangat strategis merupakan daya tarik tersendiri bagi sindikat Narkoba untuk menembangkan jalur peredarannya, sehingga mengubah posisi Indonesia yang pada awalnya hanya sebagai tempat transit namun kemudian berkembang menjadi salah satu daerah tujuan peredaran. Bahkan dewasa ini sudah mampu
memproduksi,
meracik,
atau
mengolah
sendiri.
Dengan
adanya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan komunikasi sebagai dampak dari globalisasi, telah mendorong meningkatkan teknik dan taktik serta proses penyebaran penyalahgunaan narkoba di Indonesia, sehingga korban dan pelaku penyalahgunaan narkoba telah berkembang hampir ke seluruh lapisan masyarakat. Dampak penyalahgunaan narkoba bukan hanya berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan psikis dari individu pengguna saja, tetapi telah berkembang menjadi ancaman terhadap ketahanan nasional. Masyarakat dunia Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
khususnya bangsa Indonesia, saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya penggunaan narkoba, kekhawatiran ini semakin dipertajam akibat meluasnya peredaran narkoba di kalangan generasi muda. Selain itu Indonesia yang beberapa waktu lalu menjadi tempat transit dan pasar bagi peredaran narkoba, saat ini sudah berkembang menjadi produsen narkoba. 55 Penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Pernyataan perang terhadap narkoba telah diupayakan pemerintah dengan melibatkan unsur masyarakat, perangkat hukum telah dibuat untuk menangkap para pelaku, baik pemakai, pengedar dan juga pengguna narkoba. Namun belum memperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan harapan masyarakat. Dilihat dari pendekatan moral, penyalahgunaan dan pengedar gelap Narkoba merupakan perbuatan yang buruk dan dianggap oleh masyarakat sebagai perbuatan tercela moralitasnya. Sementara dilihat dari sudut pandangan medis, seseorang yang mengkonsumsi narkotika dan/atau psikotropika yang bukan atas anjuran untuk keperluan terapi dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun mental yang ditandai adanya perubahan perubahan prilaku seperti menjadi agresif, depresi, cemas, apatis, paranoid dan ketergantungan. Bahkan berdasarkan penelitian WHO yang dilakukan di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta menunjukkan bahwa pelaku
55
www.legalitas.org, diakses tanggal 24 Mei 2008.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
penyalahgunaan narkotika atau psikotropika di kalangan pejankis (bahasa komunitas pemakai-pen) dengan menggunakan jarum suntik berisiko tinggi untuk terkena penyakit HIV/AIDS dan Hepatesis C. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hampir 60% dari jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit itu telah positif terkena virus yang mematikan ini. 56 Yang tidak kalah buruknya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika ataupun psikotropika bagi pemakainya dalam waktu lama munculya sifat-sifat yang buruk dan sangat dominan seperti “licik, manipulatif, pembohong dan jahat”.
56
Ibid, bahwa Narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya atau dengan kata lain NAPZA) merupakan masalah global yang dapat merusak dan mengancam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Maraknya distribusi dan konsumsi narkoba menjadikan Indonesia semakin terpuruk. Apalagi peningkatan kasus narkoba ini berimbas pada menyebarnya HIV/AIDS. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif atau biasa disebut narkoba seolah-olah tidak bisa lepas dari HIV/AIDS. Itu salah satu akibat dari penyalahgunaan narkoba, belum akibat yang lainnya, seperti ketagihan, keracunan, dan ketergantungan (baik mental maupun fisik), yang pada akhirnya menyebabkan kematian. Perkembangan perederan gelap narkoba pada saat ini sudah sampai pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang ada pada Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat bahwa masalah penyalahgunaan narkoba di tanah air telah merambah sebagian besar kelompok usia produktif yakni yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Narkoba bukan saja problem bagi anak-anak dari keluarga broken home, namun kini sudah merambah pada semua elemen masyarakat, bahkan digunakan pula oleh anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis dan mampu. Penyebabnya bukan lagi sebagai akibat pelarian dari masalah, melainkan justru cenderung sebagai media rekreasi atau hiburan yang dianggap sebagai lambang kemajuan dalam pergaulan. Realitas tersebut patut menjadi perhatian kita semua. Permasalahan penyalahgunaan dan perederan gelap narkoba adalah berlakunya hukum pasar yang ironisnya barang yang diperjualbelikan adalah barang haram yang bersifat merusak hidup pembeli/penggunanyal. Hal ini terkait dengan permintaan (demand) di mana semakin besar demand, maka akan meningkatkan pasokan narkoba baik berupa produksi maupun perdagangan atau peredaran gelap narkoba. Dalam RPJM disebutkan bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup bangsa. Sebagian besar yaitu sekitar 90 persen dari 2 (dua) juta pecandu narkoba adalah generasi muda. Dampak dari masalah peredaran dan penyalahgunaan narkoba mencakup dimensi kesehatan baik jasmani dan mental, dimensi ekonomi dengan meningkatnya biaya kesehatan, dimensi sosial dengan meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban, serta dimensi kultural dengan rusaknya tatanan perikaku dan norma masyarakat secara keseluruhan. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Dalam kondisi pelaku dan/atau pemakai narkotika atau psikotropika yang demikian untuk mengembalikan kepada keadaan semula harus dilakukan terapi dan rehabibilitasi baik medis maupun sosial dalam jangka waktu lama yang tingkat keberhasilannya sangat kecil. Dalam perspektif hukum, peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika jelas merupakan perbuatan illegal yang diancam dengan pidana. 57 Sementara itu dari perspektif kesehatan masyarakat, bahwa peredaran gelap narkotika dan psikotropika membawa konsekuensi sosial dengan terjangkit dan menjalarnya berbagai penyakit masyarakat seperti timbulnya kriminilitas, perjudian serta kegiatan lain yang meresahkan. Upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah dan instansi terkait maupun potensi masyarakat atau LSM serta organisasi kemasyarakatan yang 57
Lihat, George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 455 dalam Chairul Huda, Op.cit, hlm. 15, menyatakan bahwa “we distinguish berween characteristics of teh act (wrongful, criminal) and characteristic of actor (insane, infant)”. Dalam konteks ini perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukannya. Karakteristis orang yang melakukan tindak pidana berhubungan dengan penentuan dapat dipertanggungjawabkannya yang bersangkutan. Dikatakan dengan hal diatas, maka mestinya antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dibedakan, tetapi lebih jauh lagi harus dapat dipisahkan. Selain itu, argumentasi di atas juag diperkuat dengan tinjauan secara filosofis bahwa aturan hukum mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana memiliki perbedaan fungsi, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsinya sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, “the rules which tell all of us what we can and cannot do”. Lihat, juga Andi Hamzah, AsasAsas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 90 bahwa Pasal 1 Ayat (1) KUH Pidana menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah berdasar suatu ketentuan peraturan perundangundangan, sekalipun dalam rancangan KUH Pidana prinsip ini sedikit banyak disimpangi, tetapi penentuan tindak pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan masih merupakan inti ketentuan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan nullum crimen sine lege dan nulla poena sine lege merupakan prinsip utama dari asas legalitas sehingga penyimpangannya sejauh mungkin dihindari. Suatu tindak pidana karenanya berisi tentang rumusan tentang perbuatan yang dilarang dan ancaman pidana terhadap orang yang melanggar larangan tersebut. Keduanya, yaitu rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan dan ancaman pidana bagi pembuatnya, tunduk kepada asas legalitas. Artinya, keduanya mesti ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
bergerak dan peduli terhadap ancaman bahaya Narkoba. Indonesia dewasa ini telah mengarah kepada negara produsen dan pengekspor narkoba bukan lagi daerah yang dijadikan sebagai transit peredaran gelap Narkoba dan konsumen penyalahgunaan Narkoba. Untuk itu, pencegahan secara komprehensif dan integral perlu dilakukan dengan melakukan koordinasi antar instansi pemerintah dan pengerahan tokoh masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dan bersinergi secara berkelanjutan (sustainable). Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkoba dan peredaran gelap Narkoba mengharuskan untuk dibentuknya peraturan perundang-undangan. Indonesia telah mengaturnya di dalam beberapa perangkat peraturan perundangundangan maupun perundang-undangan uang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkoba, adapun perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi on Psychotropic Substances 1971
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika Meskipun Narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun apabila disalahgunakan atau tidak sesuai dengan standar pengobatan medis terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika dan psikotropika secara gelap akan menimbulkan akibat sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Perlu diwaspadai bahwa karakteristik peredaran gelap narkotika dan psikotropika terkadang dilakukan oleh pelalu kejahatan dengan cara terorganisir sangat rapi namun terputus-putus tidak terstruktur, hal ini dimaksudkan untuk menghilangkah jejak sehingga berdasarkan karakteristik ini maka kejahatan peredaran gelap Narkoba merupakan white collar crime. 58 Oleh karena itu
58
Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika sangat diperlukan karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh orang perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara rapi dan sangat rahasia. Dalam rangka peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pemberantasan penyalahgunaan Narkoba maka pemerintah telah menetapkan beberapa langkah kebijakan strategis di dalam matriks program pembangunan tahun 2007 sebagai berikut: 59 1. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Kegiatan-kegiatan pokok: b. Peningkatan kualitas penegakan hukum di bidang narkoba; c. Peningkatan pendayagunaan potensi dan kemampuan masyarakat; d. Peningkatan pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahguna (korban) narkoba; e. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi; f. Upaya dukungan koordinasi, kualitas kemampuan sumberdaya manusia, administrasi, anggaran, sarana dan prasarana; g. Pembangunan sistem dan model perencanaan dan pengembangan partisipasi pemuda dalam pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan Narkoba sebagai pedoman penanganan narkoba di seluruh Indonesia; h. Penyelenggaraan kampanye nasional dan sosialisasi anti narkoba; i. Pengembangan penyidikan dan penegakan hukum di bidang obat dan makanan.
Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004), bahwa konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf trnasnasional, tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk memberantas pelaku kejahatan. 59 http://www.yahoo.com, Matriks Program Pembangunan Tahun 2007, diakses pada tanggal 24 Mei, 2008. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
2. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba yang meliputi kegiatan-kegiatan pokok: a. Penegakan Hukum dibidang Narkoba 1). Peningkatan kualitas penegakan hukum di bidang narkoba; 2). Operasi intelijen narkoba, kultivasi gelap ganja, dan pemutusan jaringan peredaran gelap narkoba 3). Operasi rutin pemberantasan narkoba; 4). Penyidikan, penuntutan, pemberantasan terhadap pelanggaran kejahatan dan penanganan perkara perdata/tun; 6). Perketatan pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif/rokok; serta pengawasan pengamanan pangan dan bahan makanan; 7). Peningkatan pemutusan jaringan peredaran gelap narkoba serta penindakan kultivasi ganja. 8). Peningkatan penindakan terhadap penyelundup narkoba di pelabuhan udara dan pelabuhan laut; 9). Pengedalian dan pengawasan jalur resmi narkoba; 10).Penyitaan, penyimpanan dan pemusnahan barang sitaan penyalahgunaan narkoba; 11).Pengembangan penyidikan dan penegakan hukum di bidang obat dan makanan; 12).Peningkatan sarana dan prasarana bidang penegakan hukum; b. Pencegahan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba 1). Peningkatan pendayagunaan potensi dan kemampuan masyarakat; 2). Pembinaan dan pengembangan pengabdian kepada masyarakat; 3). Pembangunan sistem dan model perencanaan dan pengembangan partisipasi pemuda dalam pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba sebagai pedoman penanganan narkoba di seluruh Indonesia; 4). Penyelenggaraan kampanye nasional dan sosialisasi anti narkoba; 5). Peningkatan pelaksanaan penyuluhan dan advokasi di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalagunaan dan peredaran gelap narkoba. c. Terapi dan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkoba 1). Peningkatan pelayanan terapi, rehabilitasi dan perlindungan sosial kepada penyalahguna/korban narkoba dan napza; 2). Penyusunan standarisasi pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahguna/korban narkoba; 3). Pembangunan/peningkatan sarana dan prasarana pelayanan bidang terapi dan rehabilitasi korban narkoba; 4). Peningkatan pendayagunaan peran serta masyarakat dalam rangka pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahguna/korban narkoba. d. Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Informatika Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
e.
3). 4). 5).
1). Peningkatan komunikasi informasi dan edukasi, penelitian dan pengembangan pelayanan terapi dan rehabilitasi korban narkoba; 2). Peningkatan penelitian dan pengembangan dibidang P4GN; 3). Peningkatan pembangunan sarana dan prasarana Penelitian dan 4). Pengembangan dan Teknologi Informatika dalam rangka BNN sebagai pusat pengetahuan, pusat sistem pendukung dan pusat pertukaran informasi; 5). Upaya pemetaan kultivasi gelap narkoba; Kegiatan Penguatan Kelembagaan anti narkoba 1). Penguatan kelembagaan peran serta masyarakat dibidang P4GN 2). Peningkatan kerjasama, koordinasi rencana dan program, anggaran, sarana dan prasarana, administrasi dan kualitas kemampuan sumber daya manusia; Penguatan institusi BNN melalui pengembangan sumber daya manusia BNN dan sarana pendukungnya. Pembinaan, perencanaan, harmonisasi, kerjasama dan publikasi peraturan perundang-undangan; Penyelenggaraan kerjasama luar negeri;
Berdasarkan matrik pembangunan nasional tahun 2007 di atas telah menetapkan beberapa kebijakan di bidang terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba sebagai berikut: 60 a. Peningkatan pelayanan terapi, rehabilitasi dan perlindungan sosial kepada penyalahguna/korban narkoba dan napza; b. Penyusunan
standarisasi
pelayanan
terapi
dan
rehabilitasi
kepada
penyalahguna/korban narkoba; c. Pembangunan/peningkatan sarana dan prasarana pelayanan bidang terapi dan rehabilitasi korban narkoba;
60
Ibid.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
d. Peningkatan pendayagunaan peran serta masyarakat dalam rangka pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahguna/korban narkoba. Selanjutnya, Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menyatakan bahwa penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa yang pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional dengan demikian masalah narkotika dan psikotropika adalah merupakan masalah nasional. Hal ini dapat diartikan bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika bukan semata-mata menjadi masalah dalam negeri suatu Negara melainkan telah menjadi masalah yang melintas batas antar Negara atau berdimensi internasional secara terorganisir.61 Sehingga dalam upaya penanggulangan terhadap kejahatan ini harus dilakukan secara bersama antara pemerintah, lembaga swasta, segenap unsur masyarakat bahkan kerjasama lintas negara. Instrumen internasional yang memuat kebijakan mengenai narkotika dan psikotropika seperti hanya konvensi-konvensi harus diperhatikan. Indonesia telah 61
Lihat, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang: BP. Universitas Diponegoro, 2002), hlm, 190-192 bahwa elemen Internasional lainnya terdiri dari atas ancaman baik langsung maupun tidak langsung terhadap kedamaian dunia dan menimbulkan perasaan terguncang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Merujuk Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional yang terorganisir, di Palermo Tahun 2000 telah memberikan karakteristik tentang kejahatan transnasional sebagai berikut: a. Dilakukan lebih dari satu negara. b. Dilakukan di suatu negara tetapi bagian substansi dari persiapan, perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain. c. Dilakukan di sebuah negara tetpai melibatkan organisasi kejahatan yang terikat dalam tindak kejahatan lebih dari satu negara. d. Dilakukan di suatu negara, tetapi menimbulkan efek substansial bagi negara-negara lain. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
meratifikasi beberapa kesepakatan internasioal termasuk yang diratifikasi belakangan adalah “The United Nations Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1998” dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 dan pengaturan psikotropika berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dal ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan psikotropika serta pemberantasan peradaran gelap psikotropika. Penyelenggaraan konferensi tentang psikotropika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adoption of Protocol on Pscyhotropic Substances mulai tanggal 11 Januari-21 Februari di Wina, Australia telah menghasilkan Convention Psyhotropic Substances 1971. Materi muatan konvensi tersebut berdasarkan pada resolusi The United Nations Economic and Social Council Nomor 1474 (XLVIII) tanggal 24 Maret 1970 merupakan aturan-aturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara. 62 Baik konvensi maupun undang-undang kesemuanya menekankan begitu pentingnya penanggulangan terhadap penyalahgunn dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika untuk dilakukan secara bersama-sama. Dari segi kebijakan berarti bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika dijadikan masalah internasional sehingga kerjasama internasional perlu terus dikembangkan, kerjasama tersebut bukan saja antar Negara 62
Siswanto Sunarso, Op.cit, hlm. 1.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
melainkan kerjasama antara negara-negara dengan organisasi-organisasi internasional yang bergerak menangani masalah ini. 63 Konsekuensi dijadikannya masalah tersebut menjadi
masalah
internasional
adalah
apabila
penanggulangan
terhadap
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dilakukan dengan terpadu yang dimulai dari penyelidikan penyalahgunaan narkoba oleh institusi Polri, 64 hal ini dilihat dari sifatnya bahwa penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah sebagai kejahatan internasional,
maka
menyebabkan
di
dalam
penanggulangannyapun
harus
memberdayakan hukum pidana internasional. Selanjutnya, Pasal 64 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentag Narkotika dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika sebagai payung hukum (umbrella provision) penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan Narkoba yang
telah menempatkan perkara narkotika dan
63
Ibid, hlm. 52 bahwa dalam konteks hubungan hukum Internasional secara subtansial telah mengatur beberapa hal, yakni: a. Merupakan perangkat hukum Internasional yang mengatur kerjasama Internasional tentang penggunaan dan peredaran psikotropika. b. Lebih menjamin kemungkinan penyelenggaraan kerja sama dengan negara-negara lain dalam pengawasan peredaran psikotropika dan usaha-usaha penanggulangan atas penyalahgunaan psikotropika. c. Dari aspek kepentingan dalam negeri, Indonesia dapat lebih mengonsolidasikan upaya pencegahan dan perlindungan kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika. d. Disamping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar-dasar tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri. e. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika akan lebih dapat dimantapkan. 64 Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf j undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian telah menyebutkan bahwa kepolisian negara berwenang untuk mengadakan hubungan kerjasama dengan International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol) dan Asianapol, dalam hal ini Polri berfungsi sebagai National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
psikotropika termasuk perkara yang harus didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya. Ini artinya bahwa semua sangat tergantung pada peran aparat penegak hukum khususnya Hakim sebagai lembaga yudikatif, sehingga meskipun ketentuan undang-undang tentang perkara narkotika dan psikotropik harus didahulukan namun demikian keputusan akhir apakah perkara itu akan didahulukan atau tidak sangat tergantung pada pertimbangan yang diambil oleh Hakim. Untuk itu diharapkan penjatuhan hukuman terhadap pelaku peredaran gelap narkotika dan psikotropika oleh Hakim diarahkan untuk mengadakan penegakan hukum secara tegas dan konsisten. Sementara terhadap korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika semestinya digunakan dengan melihat berat ringannya tingkat pelanggaran. Hal ini meskipun “penyalahgunaan” juga merupakan suatu tindak pidana namun demikian pemidanaan bukanlah merupakan satu-satunya yang digunakan untuk menanggulangi. Deteksi dini penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika bukanlah hal yang mudah,tapi sangat penting artinya untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan yang patut dikenali atau diwaspadai adalah : 1. Kelompok Risiko Tinggi Kelompok Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat dalam penggunaan Narkotika dan Psikotropika tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal tersebut, mereka disebut juga Potential User (calon pemakai, golongan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
rentan). Sekalipun tidak mudah untuk mengenalinya, namun seseorang dengan ciri tertentu (kelompok risiko tinggi) mempunyai potensi lebih besar untuk menjadi penyalahguna Narkotika dan Psikotropika dibandingkan dengan yang tidak mempunyai ciri kelompok risiko tinggi. Mereka mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Anak : Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan Narkotika dan Psikotropika antara lain : 1) Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun) 2) Anak yang sering sakit 3) Anak yang mudah kecewa 4) Anak yang mudah murung 5) Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar 6) Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib 7) Anak denga IQ taraf perbatasan (IQ 70-90) b. Remaja : Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan narkotika dan psikotropika : 1) Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai citra diri negatif 2) Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
3) Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas) 4) Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko tinggi/bahaya 5) Remaja yang cenderung memberontak 6) Remaja yang tidak mau mengikutu peraturan/tata nilai yang berlaku 7) Remaja yang kurang taat beragama 8) Remaja yang berkawan dengan penyalahguna Narkotika dan Psikotropika 9) Remaja dengan motivasi belajar rendah 10) Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler 11) Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan psikoseksual (pepalu,sulit bergaul, sering masturbasi,suka menyendiri, kurang bergaul dengan lawan jenis). 12) Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung. 13) Remaja yang cenderung merusak diri sendiri c. Keluarga Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain : 1) Orang tua kurang komunikatif dengan anak 2) Orang tua yang terlalu mengatur anak 3) Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi diluar 4) kemampuannya
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
5) Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk 6) Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau ayah 7) menikah lagi 8) Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar-salah yang jelas 9) Orang tua yang todak dapat menjadikan dirinya teladan 10) Orang tua menjadi penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika
2. Gejala Klinis Penyalahgunaan Narkotika dan Psikitropika a. Perubahan Fisik Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum dapat digolongkan sebagai berikut : 1) Pada saat menggunakan Narkotika dan Psikotropika : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga 2) Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal. 3) Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang, kesadaran menurun.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
4) Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik) b. Perubahan Sikap dan Perilaku 1)
Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.
2)
Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau tampat kerja.
3)
Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu lebih dulu
4)
Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah
5)
Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian
6)
menghilang
7)
Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
8)
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik keluarga,
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
mencuri, mengomengompas terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi. Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia. Ada beberapa peralatan yang dapat menjadi petunjuk bahwa seseorang mempunyai kebiasaan menggunakan jenis NAPZA tertentu. Misalnya pada pengguna Heroin, pada dirinya, dalam kamarnya, tasnya atau laci meja terdapat antara lain : 1) Jarum suntik insulin ukuran 1 ml,kadang-kadang dibuang pada saluran air di kamar mandi, 2) Botol air mineral bekas yang berlubang di dindingnya, 3) Sedotan minuman dari plastik 4) Gulungan uang kertas,yang digulung untuk menyedot heroin atau kokain, 5) Kertas timah bekas bungkus rokok atau permen karet, untuk tempat heroin dibakar. 6) Kartu telepon,untuk memilah bubuk heroin, 7) Botol-botol kecil sebesar jempol,dengan pipa pada dindingnya
B. Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Di Sumatera Utara Persoalan kenakalan remaja di negara ini beberapa tahun belakangan ini telah memasuki titik kritis. Selain frekuensi dan intensitasnya terus meningkat, kenakalan remaja saat ini sudah mengarah pada perbuatan yang melanggar norma, hukum, dan agama. Betapa sering kita sekarang ini dikejutkan oleh berita-berita kenakalan remaja Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
yang sudah kelewat batas. Ada anak-anak yang tega membunuh ayah kandungnya garagara tidak mau membelikan sepeda motor. Ada pula yang dengan sadis mencederai atau menganiaya teman sekolahnya hanya sekedar untuk meminta sejumlah uang. Bahkan tidak sedikit yang berani kurang ajar menipu, mencuri atau merampok karena ingin hidup enak dan foya-foya tanpa mau bekerja keras. Belum lagi banyaknya remaja yang sudah memiliki kebiasaan buruk seperti merokok, minum-minuman keras, berjudi, berkelahi, membuat keonaran, merusak serta melakukan seks bebas dan mengkonsumsi narkoba. Peristiwa makin banyaknya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar saat ini benar-benar telah menggelisahkan masyarakat dan keluarga-keluarga di Indonesia. Betapa tidak, meskipun belum ada penelitian yang pasti berapa banyak remaja pengguna narkoba, namun dengan melihat kenyataan di lapangan bahwa semakin banyak remaja kita yang terlibat kasus narkoba menjadi indikasi betapa besarnya pengaruh narkoba dalam kehidupan yang terjadi di kalangan remaja saat ini ibarat fenomena gunung es dimana kasus yang terlihat hanya sebagian kecil saja, sementara kejadian yang sebenarnya sudah begitu banyak. Hasil Survai Badan Narkoba Nasional (BNN) tahun 2007 terhadap 13.710 responden di kalangan pelajar dan mahasiswa menunjukkan penyalahgunaan narkoba usia termuda 7 tahun dan rata-rata pada usia 10 tahun. Survai dari BNN ini memperkuat hasil penelitian Prof. Dr. Dadang Hawari pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa 97% pemakai narkoba adalah para remaja. Di Sumatera Utara sendiri kasus peredaran narkoba sudah begitu marak. Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara hingga akhir tahun 2007 menemukan 5.561 orang
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
pengguna narkoba. Di tahun 2006 saja, Polda Sumatera Utara menangani 181 perkara narkoba, yang meliputi 85 perkara psikotropika dan 96 narkoba, dengan 210 tersangka (201 orang laki-laki dan 9 orang perempuan). Yang mengerikan, dari kasus itu 28% di antara mereka yang terlibat adalah remaja berusia 17 – 24 tahun. Menurut dr. Inu Wicaksono dari RSU Pringadi Medan, Sumatera Utara telah menjadi kota nomor tiga penyebaran narkoba di Indonesia setelah Jakarta. Di Polda Sumatera Utara berdasarkan data Tahun 2008 kejahatan Narkoba yang diungkap dapat dilihat sebagaimana di uraikan dalam tabel di bawah ini : 65
Tabel 1.
Jumlah Kasus Dan Tersangka Narkoba Tahun 2008 Sejajaran Polda Sumut
Tahun Heroin Morfin Ganja Jenis Narkoba
Shabu Ecstasy Putaw
Obat/Zat Berbahaya Jumlah
2008 Kasus Tersangka Kasus Tersangka Kasus Tersangka Kasus Tersangka Kasus Tersangka Kasus Tersangka Kasus Tersangka Kasus Tersangka
2 2 2 2 1621 2361 28 35 543 786 456 695 15 15 2663 3893
Sumber : Data Polda Sumut 2008
65
Dit. Narkoba Satuan I Polda Sumut
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
1. Akibat Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Mau tidak mau saat ini harus mengakui, narkoba akan menjadi bahaya laten bagi remaja dan masa depan keluarga, masyarakat dan bangsa bila tidak segera dicari cara-cara penanggulangan yang efektif dan efisien. Mudahnya untuk mendapatkan Narkoba merupakan salah satu faktor yang membahayakan remaja dan masa depannya. Kemudahan mendapatkan narkoba ini merupakan motif yang selalu dilakukan para pengedar narkoba sebagai upaya untuk membuat kalangan remaja ketagiha untuk menggunakan narkoba. Adanya pergaulan dan sex bebas dijadikan sebagai cara untuk mendapatkan narkoba. Dengan pergaulan bebas bagi kalangan remaja putri dengan mudah menyerahkan keperawanannya dan tubuhnya untuk ”disantap” pria hidung belang atau teman sejawatnya guna mendapatkan barang haram tersebut. Semuanya itu jelas akan memburamkan masa depan keluarga, masyarakat, dan bangsa termasuk masa depan remaja itu sendiri. Logika yang dapat ditarik sangat sederhana. Remaja yang menyalahgunakan narkoba sudah menjadi generasi yang rusak dan sulit dibenahi. Tubuhnya tidak lagi fit dan fresh untuk belajar dan bekerja membantu orangtua, sementara mentalnya telah dikotori oleh niat-niat buruk untuk mencari cara mendapatkan barang yang sudah membuatnya kecanduan. Bila sudah demikian, apa yang dapat diharapkan dari mereka? Sudah produktifitasnya rendah, kemampuan berpikirnya lemah, masih ditambah perilakunya liar tanpa kendali. Apalagi mengindahkan nilai moral, etika hukum dan agama. Artinya, mereka tidak dapat diharapkan lagi menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas yang mampu mengangkat harkat diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya ke arah yang lebih baik. Khusus dalam lingkungan keluarga,
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
remaja pengguna narkoba akan memporakporandakan ketahanan keluarga yang dengan susah payah dibangun oleh kedua orang tuanya. Keluarga menjadi tidak lagi mampu mencapai ketenangan hidup, komunikasi antar anggota keluarga terganggu, tumbuh rasa was-was serta kondisi ekonomi yang morat-marit karena ulah sang anak. Belum lagi timbulnya rasa saling curiga saat terjadi peristiwa kehilangan uang / barang karena dicuri oleh anaknya yang telah kecanduan narkoba. Atau munculnya sikap saling menyalahkan, menyesal atau bahkan bersumpah serapah melihat perilaku anaknya yang bak binatang karena tanpa perasaan. Disini bisa dibayangkan betapa pedih dan perih hati orang tua yang akan mengganggu perasaan dan aktifitas sehari-hari, sehingga bisa pula diramalkan betapa fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih dan melindungi serta fungsi pendidikan dalam keluarga akan menjadi luntur dan sirna. Sementara pelaksanaan fungsifungsi tersebut secara baik menjadi pilar utama untuk dapat membangun keluarga berketahanan sebagai syarat pokok untuk dapat menjadi keluarga yang berkualitas. Sementara kita pun tahu bahwa betapapun kecil kontribusinya, ketahanan keluarga akan mempengaruhi ketahanan bangsa. Karena sebuah negara terdiri dari kumpulan-kumpulan keluarga yang membentuk lingkungan masyarakat dan lingkungan kewilayahan yang menjadi bagian dari negara dimaksud. Jadi bila keluarga-keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat ketahanannya hancur akibat remajanya banyak yang menggunakan narkoba, ketahanan bangsa pun akan hancur pula tanpa menunggu waktu lama. Perlu dimengerti bahwa sebenarnya narkoba yang merupakan akronim dari narkotika dan obat-obatan terlarang sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam dunia
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
medis. Narkotika merupakan zat atau tanaman / bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat mengakibatkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU No 22 tahun 1997). Sementara obat-obatan terlarang (psikotropika) yang dimaksud adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku (UU No 5 Tahun 1997). Narkoba bila digunakan pada takaran tertentu menurut resep dokter akan memberikan resep kesegaran dan dapat menghilangkan rasa sakit pada pasien. Namun apabila dikonsumsi secara berlebihan yang dalam hal ini diistilahkan dengan penyalahgunaan, akan menimbulkan berbagai efek negatif sebagaimana telah dipaparkan di muka. Itu pun baru sebagian kecil dari bahaya narkoba. Sebab secara detil, pecandu narkoba akan mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa. Mulai dari mata nerocos, hidung meler-meler, mual-mual sampai muntah, diare, tulang dan sendi nyeri, tidak bisa tidur serta tidak doyan makan, selalu curiga, mudah emosi, hingga selalu gelisah, kacau dan sering mengalami halusinasi penglihatan. Penderitaan ini masih harus ditambah dengan adanya rasa hampa, depresi, ingin mati, tekanan darah meningkat sampai bisa stroke. Dengan mengingat segala efek negatif penyalahgunaan narkoba tersebut, sudah selayaknya remaja-remaja di Indonesia dibebaskan dari narkoba. Karena dampaknya sungguh-sungguh tidak sepadan dengan manfaat yang diperoleh.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Kita tahu bahwa remaja adalah generasi muda harapan bangsa. Mereka yang akan mewarisi tanah air kita berikut segala potensi sumber dayanya. Hal ini berarti remaja suka tidak suka dan mau tidak mau harus siap memikul tanggung jawab yang tidak ringan namun mulia tersebut. Sehingga mereka harus dibebaskan dari narkoba yang nyata-nyata memiliki efek merusak. Upaya membangun remaja bebas narkoba menjadi semakin penting untuk saat ini, karena kita telah memasuki era millenium tiga yang penuh persaingan akibat kehidupan yang mengglobal. Dunia sekarang ini tidak lagi disekat oleh ruang dan waktu. Berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, semua orang dapat mengakses segala informasi dari belahan bumi lain. Dengan diterapkannya pasar bebas, maka bangsa-bangsa yang memiliki SDM majulah yang mampu bersaing. Apa makna dari semuanya itu? Bangsa kita akan terus terjebak dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan tanpa harapan masa depan bila generasi remajanya banyak yang terbelenggu oleh narkoba. Sehingga upaya mewujudkan remaja bebas narkoba menjadi upaya strategis yang tidak bisa ditawarkan ataupun ditunda. Membangun remaja yang bebas dari penyalahgunaan narkoba harus didasarkan pada pencermatan terhadap karakteristik pengguna narkoba sekaligus tindakan yang melatarbelakanginya. Menurut analisis Dr. Graham Blaine (psikiater), penyebab seseorang mengkonsumsi narkoba tidak hanya berasal dari keinginan individu itu sendiri akan tetapi juga berasal dari lingkungan sekitarnya. Selanjutnya dari beberapa studi yang pernah dilakukan, karakteristik pengguna narkoba biasanya adalah remaja-remaja kita
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
yang “bermasalah”. Bermasalah disini artinya memiliki beban mental/kejiwaan yang menurut mereka sangat berat dan sulit untuk ditanggung. Misalnya terlalu sering dimarahi orang tua, tidak disukai lingkungan, merasa bersalah karena orang tuanya bercerai, tidak mendapat kasih sayang, prestasi belajar jelek, merasa diremehkan teman yang membuat sakit hati, merasa kurang percaya diri, dan sebagainya. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri diantara sekian banyak pengguna narkoba juga disebabkan keinginan yang besar remaja itu sendiri untuk mencobanya setelah mendapat desakan atau tawaran dari teman dekat, pacar atau mungkin orang yang tak dikenal. Keinginan yang besar ini sedikit banyak dipengaruhi oleh sedikitnya pengetahuan mereka tentang narkoba, serta sedikitnya yang diterima ataupun pengaruh tayangan televisi yang kurang mendidik. Oleh karena itu, menurut hemat penulis ada tiga langkah penting untuk membangun remaja masa depan yang bebas narkoba. Pertama, dalam lingkungan keluarga, orang tua berkewajiban memberikan kasih sayang yang cukup terhadap para remajanya. Mereka tidak boleh cepat marah dan main pukul tatkala sang remaja melakukan kesalahan baik dalam tutur kata, sikap maupun perbuatannya, tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Sebaliknya orang tua harus bersikap demokratis terhadap anaknya. Anak harus diposisikan sebagai insan yang juga membutuhkan penghargaan dan perhatian. Tidak cukup hanya diperhatikan kebutuhan fisiknya, tetapi juga kebutuhan psikisnya. Sehingga komunikasi yang hangat antara orang tua dan anak-anaknya menjadi langkah utama yang jitu untuk menjalin hubungan yang harmonis agar sang remaja menjadi tenteram dan nyaman tinggal di
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
rumah. Jadi mereka tidak membutuhkan pelampiasan atau pelarian di luar rumah tatkala menghadapi persoalan yang rumit. Kedua, dalam lingkungan sekolah, pihak sekolah berkewajiban memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang narkoba sebagai bentuk antisipasi terhadap informasi serba sedikit namun salah tentang narkoba yang selama ini diterima dari pihak lain. Pihak sekolah juga perlu mengembangkan kegiatan yang berhubungan dengan penanggulangan
narkoba
dalam
rangka
mencegah
dan
mengatasi
meluasnya
penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, seperti melakukan pembinaan dan pengawasan secara rutin terhadap siswa baik dengan melibatkan pihak lain (kepolisian, komite sekolah, orang tua), menggiatkan kegiatan ekstra kurikuler yang bermanfaat, serta mengembangkan suasana yang nyaman dan aman bagi remaja untuk belajar. Bahwa itu pihak sekolah perlu berupaya keras “mensterilkan” lingkungan sekolah dari peredaran dan penyalahgunaan narkoba, dengan tidak membolehkan sembarang orang memasuki lingkungan sekolah tanpa kepentingan yang jelas dan mencurigakan. Ketiga, dalam lingkungan masyarakat, para tokoh agama, tokoh masyarakat, perangkat pemerintahan di semua tingkatan mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, Camat, Lurah, Dukuh, hingga Pak RT dan Pak RW perlu bersikap tegas dan konsisten terhadap upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya masing-masing yang didukung penuh oleh pihak keamanan dan kepolisian. Mereka perlu terus-menerus memberi penyadaran pada seluruh warga masyarakat akan bahaya mengkonsumsi narkoba tanpa indikasi medik dan pengawasan ketat dari dokter dalam rangka penyembuhan. Khusus para tokoh masyarakat dan tokoh agama tidak boleh mengenal
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
lelah dan bosan menanamkan norma-norma dan kebiasaan yang baik sebagai warga masyarakat, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhannya. Melalui ketiga langkah penting tersebut, dapat dipastikan akan mampu membangun remaja bebas narkoba di masa depan. Agar hasilnya lebih efektif pihak pemerintah perlu mencanangkan gerakan bebas narkoba dengan berbagai kegiatan yang menarik dan bernilai pesan tinggi seperti menyelenggarakan pentas seni, pengajian akbar, lomba karya tulis, talkshow, dan sebagainya. Disamping mensosialisasikan UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika secara luas dan berjenjang. Tindakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah meminimalisir kegiatan yang bisa bersinggungan dengan peredaran narkoba seperti membabat habis kegiatan pornografi dan pornoaksi, club malam atau tempat dansa yang menyalahi prosedur perijinan, salon plus, atau tempat-tempat pelacuran/perjudian yang secara langsung maupun tidak langsung akan memberi jalan terhadap maraknya peredaran narkoba.
C. Jenis-Jenis Narkotika Dan Psikotropika Yang Sering Di Gunakan Oleh Remaja
1. OPIOID (OPIAD) Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan hydromorphone (Dilaudid). Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis.
a. Gejala Intoksitasi (Keracunan) Opioid Konstraksi pupil ( atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat ) dan satu ( atau lebih ) tanda berikut, yang berkembang selama , atau segera setelah pemakaian opioid, yaitu mengantuk atau koma bicara cadel ,gangguan atensi atau daya ingat. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis misalnya: euforia awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardasi psikomotor, gangguan pertimbangaan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan ) yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid. b. Gejala Putus Obat
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Gejala putus obat dimulai dalam enam sampai delapan jam setelah dosis terakhir. Biasanya setelah suatu periode satu sampai dua minggu pemakaian kontinu atau pemberian antagonis narkotik. Sindroma putus obat mencapai puncak intensitasnya selama hari kedua atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10 hari setelahnya. Tetapi beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan atau lebih lama. c. Gejala Putus Obat Dari Ketergantungan Opioid Kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi takikardia disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia. Seseorang dengan ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid, kecuali orang tersebut memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit jantung. Gejala residual seperti insomnia, bradikardia, disregulasi temperatur, dan kecanduan opiat mungkin menetap selama sebulan setelah putus zat. Pada tiap waktu selama
sindroma
abstinensi,
suatu
suntikan
tunggal
morfin
atau
heroin
menghilangkan semua gejala. Gejala penyerta putus opioid adalah kegelisahan, iritabilitas, depresi, tremor, kelemahan, mual, dan muntah. Gambar 1. Opiad
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
d. Turunan OPIOID (OPIAD) yang sering disalahgunakan adalah : 1. Candu Getah tanaman Papaver Somniferum didapat dengan menyadap (menggores) buah yang hendak masak. Getah yang keluar berwarna putih dan dinamai "Lates". Getah ini dibiarkan mengering pada permukaan buah sehingga berwarna coklat kehitaman dan sesudah diolah akan menjadi suatu adonan yang menyerupai aspal lunak. Inilah yang dinamakan candu mentah atau candu kasar. Candu kasar mengandung bermacam-macam zat-zat aktif yang sering disalahgunakan. Candu masak warnanya coklat tua atau coklat kehitaman. Diperjual belikan dalam kemasan kotak kaleng dengan berbagai macam cap, antara lain ular, tengkorak,burung elang, bola dunia, cap 999, cap anjing, dsb. Pemakaiannya dengan cara dihisap. Gambar 2. Candu
2. Morfin
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. Gambar 3. Morfin
3. Heroin ( putaw ) Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik. Gambar 4. Heroin (Putaw)
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
4. Codein Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.
Gambar 5. Codein
5. Demerol Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna. Gambar 6. Demerol
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
6. Methadon Saat
ini
Methadone
banyak
digunakanorang
dalam
pengobatan
ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik (opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (Dolphine), pentazocine (Talwin), dan propocyphene (Darvon). Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas obat tersebut adalah nalaxone (Narcan), naltrxone (Trexan), nalorphine, levalorphane, dan apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine, butorphanol (Stadol), dan buprenorphine (Buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid. Nama popoler jenis opioid : putauw, etep, PT, putih. Gambar 7. Methadon
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
7. Kokain Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek stimulan. Saat ini Kokain masih digunakan sebagai anestetik lokal, khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan, karena efek vasokonstriksifnya juga membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai suatu narkotik, bersama dengan morfin dan
heroin
karena
efek
adiktif
dan
efek
merugikannya
telah
dikenali.
Nama lain untuk Kokain : Snow, coke, girl, lady dan crack ( kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih kuat ). Kokain digunakan karena secara karakteristik menyebabkan elasi, euforia, peningkatan harga diri dan perasan perbaikan pada tugas mental dan fisik. Kokain dalam dosis rendah dapat disertai dengan perbaikan kinerja pada beberapa tugas kognitif. Pada penggunaan Kokain dosis tinggi gejala intoksikasi dapat terjadi, seperti agitasi iritabilitas gangguan dalam pertimbangan perilaku seksual yang impulsif dan kemungkinan berbahaya agresi peningkatan aktivitas psikomotor Takikardia Hipertensi Midriasis.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Setelah menghentikan pemakaian Kokain atau setelah intoksikasi akut terjadi depresi pascaintoksikasi ( crash ) yang ditandai dengan disforia, anhedonia, kecemasan,
iritabilitas,
kelelahan,
hipersomnolensi,
kadang-kadang
agitasi.
Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala putus Kokain menghilang dalam 18 jam. Pada pemakaian berat, gejala putus Kokain bisa berlangsung sampai satu
minggu,
dan
mencapai
puncaknya
pada
dua
sampai
empat
hari.
Gejala putus Kokain juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang mengalami putus Kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif, hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam ( Valium ).
Gambar 8. Kokain
2. Jenis-Jenis Psikotropika Adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetris, bukan narkotika, yang bersifat atau berkhasiat psiko aktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabjan perubahankahas pada aktivitas mental dan perilaku.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian. Sebagaimana Narkotika, Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu Psikotropika gol. I, Psikotropika gol. II, Psyko Gol. III dan Psikotropik Gol IV. Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan adalah psikotropika Gol I, diantaranya yang dikenal dengan Ecstasi dan psikotropik Gol II yang dikenal dengan nama Shabu-shabu. 1. Ecstasy Rumus kimia XTC adalah 3-4-Methylene-Dioxy-Methil-Amphetamine (MDMA). Senyawa ini ditemukan dan mulai dibuat di penghujung akhir abad lalu. Pada kurun waktu tahun 1950-an, industri militer Amerika Serikat mengalami kegagalan didalam percobaan penggunaan MDMA sebagai serum kebenaran. Setelah periode itu, MDMA dipakai oleh para dokter ahli jiwa. XTC mulai bereaksi setelah
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
20 sampai 60 menit diminum. Efeknya berlangsung maksimum 1 jam. Seluruh tubuh akan terasa melayang. Kadang-kadang lengan, kaki dan rahang terasa kaku, serta mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik". Dalam keadaan seperti ini, kita merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan halhal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan. Gambar 9. Ecstasy
2. Shabu-Shabu Shabu-shabu berbentuk kristal, biasanya berwarna putih, dan dikonsumsi dengan cara membakarnya di atas aluminium foil sehingga mengalir dari ujung satu ke arah ujung yang lain. Kemudian asap yang ditimbulkannya dihirup dengan sebuah
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Bong (sejenis pipa yang didalamnya berisi air). Air Bong tersebut berfungsi sebagai filter karena asap tersaring pada waktu melewati air tersebut. Ada sebagian pemakai yang memilih membakar Sabu dengan pipa kaca karena takut efek jangka panjang yang mungkin ditimbulkan aluminium foil yang terhirup. Sabu sering dikeluhkan sebagai penyebab paranoid (rasa takut yang berlebihan), menjadi sangat sensitif (mudah tersinggung), terlebih bagi mereka yang sering tidak berpikir positif, dan halusinasi visual. Masing-masing pemakai mengalami efek tersebut dalam kadar yang berbeda. Jika sedang banyak mempunyai persoalan / masalah dalam kehidupan, sebaiknya narkotika jenis ini tidak dikonsumsi. Hal ini mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut: MASALAH + SABU = SANGAT
BERBAHAYA.
Selain
itu,
pengguna
Sabu
sering
mempunyai
kecenderungan untuk memakai dalam jumlah banyak dalam satu sesi dan sukar berhenti kecuali jika Sabu yang dimilikinya habis. Hal itu juga merupakan suatu tindakan bodoh dan sia-sia mengingat efek yang diinginkan tidak lagi bertambah (The Law Of Diminishing Return). Beberapa pemakai mengatakan Sabu tidak mempengaruhi nafsu makan. Namun sebagian besar mengatakan nafsu makan berkurang jika sedang mengkonsumsi Sabu. Bahkan banyak yang mengatakan berat badannya berkurang drastis selama memakai Sabu. Gambar 10. Shabu-Shabu
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Apabila dilihat dari pengaruh penggunaannya terhadap susunan saraf pusat manusia, Psikotropika dapat dikelompokkan menjadi : a. Depresant yaitu yang bekerja mengendorkan atau mengurangi aktifitas susunan saraf pusat (Psikotropika Gol 4), contohnya antara lain : Sedatin/Pil BK, Rohypnol, Magadon, Valium, Mandrak (MX). b. Stimulant yaitu yang bekerja mengaktif kerja susan saraf pusat, contohnya amphetamine, MDMA, N-etil MDA & MMDA. Ketiganya ini terdapat dalam kandungan Ecstasi. c. Hallusinogen yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan halusinasi atau khayalan contohnya licercik acid dhietilamide (LSD), psylocibine, micraline. Disamping itu Psikotropika dipergunakan karena sulitnya mencari Narkotika dan mahal harganya. Penggunaan Psikotropika biasanya dicampur dengan alkohol atau minuman lain seperti air mineral, sehingga menimbulkan efek yang sama dengan Narkotika. 3. Jenis-Jenis Bahan Berbahaya Lainnya
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yabf dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan Narkotika dan Psikotropika atau Zat-zat baru hasil olahan manusia yang menyebabkan kecanduan. A. Minuman Keras Adalah semua minuman yang mengandung Alkohol tetapi bukan obat. Minuman keras terbagi dalan 3 golongan yaitu: 1. Gol. A berkadar Alkohol 01%-05% 2. Gol. B berkadar Alkohol 05%-20% 3. Gol. C berkadar Alkohol 20%-50%
Beberapa jenis minuman beralkohol dan kadar yang terkandung di dalamnya : 1. Bir,Green Sand 1% - 5% 2. Martini, Wine (Anggur) 5% - 20% 3. Whisky, Brandy 20% -55%. Efek yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi alkohol dapat dirasakan segera dalam waktu beberapa menit saja, tetapi efeknya berbeda-beda, tergantung dari jumlah / kadar alkohol yang dikonsumsi. Dalam jumlah yang kecil, alkohol menimbulkan perasaan relax, dan pengguna akan lebih mudah mengekspresikan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
emosi, seperti rasa senang, rasa sedih dan kemarahan. Bila dikonsumsi lebih banyak lagi, akan muncul efek sebagai berikut : merasa lebih bebas lagi mengekspresikan diri, tanpa ada perasaan terhambat menjadi lebih emosional ( sedih, senang, marah secara berlebihan ) muncul akibat ke fungsi fisik - motorik, yaitu bicara cadel, pandangan menjadi kabur, sempoyongan, inkoordinasi motorik dan bisa sampai tidak sadarkan diri. Kemampuan mental mengalami hambatan, yaitu gangguan untuk memusatkan perhatian dan daya ingat terganggu, mulut rasanya kering. Pupil mata membesar dan jantung berdegup lebih kencang. Mungkin pula akan timbul rasa mual. Bisa juga pada awalnya timbul kesulitan bernafas (untuk itu diperlukan sedikit udara segar). Jenis reaksi fisik tersebut biasanya tidak terlalu lama. Selebihnya akan timbul perasaan seolah-olah kita menjadi hebat dalam segala hal dan segala perasaan malu menjadi hilang. Kepala terasa kosong, rileks dan "asyik". Dalam keadaan seperti ini, kita merasa membutuhkan teman mengobrol, teman bercermin, dan juga untuk menceritakan hal-hal rahasia. Semua perasaan itu akan berangsur-angsur menghilang dalam waktu 4 sampai 6 jam. Setelah itu kita akan merasa sangat lelah dan tertekan. Pengguna biasanya merasa dapat mengendalikan diri dan mengontrol tingkahlakunya. Pada kenyataannya mereka tidak mampu mengendalikan diri seperti yang mereka sangka mereka bisa. Oleh sebab itu banyak ditemukan kecelakaan mobil yang
disebabkan
karena
mengendarai
mobil
dalam
keadaan
mabuk.
Pemabuk atau pengguna alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak. Kadang-kadang
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
alkohol digunakan dengan kombinasi obat - obatan berbahaya lainnya, sehingga efeknya jadi berlipat ganda. Bila ini terjadi, efek keracunan dari penggunaan kombinasi akan lebih buruk lagi dan kemungkinan mengalami over dosis akan lebih besar. Gambar 11. Minuman Keras
b. Nikotin Adalah obat yang bersifat adiktif, sama seperti Kokain dan Heroin. Bentuk nikotin yang paling umum adalah tembakau, yang dihisap dalam bentuk rokok, cerutu, dan pipa. Tembakau juga dapat digunakan sebagai tembakau sedotan dan dikunyah (tembakau tanpa asap). Walaupun kampanye tentang bahaya merokok sudah menyebutkan betapa berbahayanya merokok bagi kesehatan tetapi pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak orang yang terus merokok. Hal ini membuktikan bahwa sifat adiktif dari nikotin adalah sangat kuat. Secara perilaku, efek stimulasi dari nikotin menyebabkan peningkatan perhatian, belajar, waktu reaksi, dan kemampuan untuk memecahkan maslah. Menghisap rokok meningkatkan mood, menurunkan ketegangan dan menghilangkan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
perasaan depresif. Pemaparan nikotin dalam jangka pendek meningkatkan aliran darah
serebral
tanpa
mengubah
metabolisme
oksigen
serebtral.
Tetapi pemaparan jangka panjang disertai dengan penurunan aliran darah serebral. Berbeda dengan efek stimulasinya pada sistem saraf pusat, bertindak sebagai relaksan otot skeletal. Komponen psikoaktif dari tembakau adalah nikotin. Nikotin adalah zat kimia yang sangat toksik. Dosis 60 mg pada orang dewasa dapat mematikan, karena paralisis ( kegagalan ) pernafasan.
Gambar 12. Nikotin
c. Volatile Solvent Atau Inhalensia Volatile Solvent : Adalah zat adiktif dalam bentuk cair. Zat ini mudah menguap. penyalahgunaannya adalah dengan cara dihirup melalui hidung. Cara penggunaan seperti ini disebut inhalasi. Zat adiktif ini antara lain : 1. Lem UHU
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
2. Cairan PEncampur Tip Ex (Thinner) 3. Aceton untuk pembersih warna kuku, Cat tembok 4. Aica Aibon, Castol 5. Premix Gambar 13. Inhalansia
Zat inhalan tersedia secara legal, tidak mahal dan mudah didapatkan. Oleh sebab itu banyak dijtemukan digunakan oleh kalangan sosial ekonomi rendah. Contoh spesifik dari inhalan adalah bensin, vernis, cairan pemantik api, lem, semen karet, cairan pembersih, cat semprot, semir sepatu, cairan koreksi mesin tik ( tip-Ex ), perekat kayu, bahan pembakarm aerosol, pengencer cat. Inhalan biasanya dilepaskan ke dalam paru-paru dengan menggunakan suatu tabung. Dalam dosis awal yang kecil inhalan dapat menginhibisi dan menyebabkan perasaan euforia, kegembiraan, dan sensasi mengambang yang menyenangkan. Gejala psikologis lain pada dosis tinggi dapat merupa rasa ketakutan, ilusi sensorik, halusinasi auditoris dan visual, dan distorsi ukuran tubuh. Gejala neurologis dapat termasuk bicara yang tidak jelas (menggumam, penurunan kecepatan bicara, dan ataksia ) . Penggunaan dalam waktu lama dapat menyebabkan iritabilitas, labilitas
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
emosi dan gangguan ingatan. Sindroma putus inhalan tidak sering terjadi, Kalaupun ada muncul dalam bentuk susah tidur, iritabilitas, kegugupan, berkeringat, mual, muntah, takikardia, dan kadang-kadang disertai waham dan halusinasi. Efek merugikan yang paling serius adalah kematian yang disebabkan karena depresi pernafasan, aritmia jantung, asfiksiasi, aspirasi muntah atau kecelakaan atau cedera. Penggunaan inhalan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal yang ireversibel dan kerusakan otot yang permanent.
d. Zat Desainer Zat Desainer adalah zat-zat yang dibuat oleh ahli obat jalanan. MEreka membuat obat-obat itu secara rahasia karena dilarang oleh pemerintah. Obat-obat itu dibuat tanpa memperhatikan kesehatan. Mereka hanya memikirkan uang dan secara sengaja membiarkan para pembelinya kecanduan dan menderita. Zat-zat ini banyak yang sudah beredar dengan nama speed ball, Peace pills, crystal, angel dust rocket fuel dan lain-lain. Gambar 14. Beberapa macam pil
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB III LANGKAH-LANGKAH PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
A. Polisi Sebagai Aparatur Penegak Hukum Narkotika dan Psikotropika Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebelum Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3710) sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian
Negara
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2289). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memuat pokok-pokok mengenai tujuan, kedudukan, peranan dan tugas serta pembinaan profesionalisme kepolisian, tetapi rumusan ketentuan yang tercantum di dalamnya masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369) sehingga watak militernya masih terasa sangat dominan yang pada gilirannya berpengaruh pula kepada sikap perilaku pejabat kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan penegasan watak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan Catur Prasatya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila. Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya
fenomena
supremasi
hukum,
hak
asasi
manusia,
globalisasi,
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung
jawab
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
yang
selanjutnya
menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya. Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Undang-Undang ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi. Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar tindakan pejabat Kepolisian
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Negara Republik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia. Begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia telah membentuk Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang di atas. Bahwa memperhatikan hak asasi manusia dalam setiap melaksanakan tugas dan wewenangnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib pula memperhatikan perundangundangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya, antara lain UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan perundangundangan yang mengatur otonomi khusus, seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua serta peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini menampung pula pengaturan tentang keanggotaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Tahun 1974 tentan Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890) yang meliputi pengaturan tertentu mengenai hak anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia baik hak kepegawaian, maupun hak politik, dan kewajibannya tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Substansi lain yang baru dalam Undang-Undang ini adalah diaturnya lembaga kepolisian nasional yang tugasnya memberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijakan kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga kemandirian dan profesionalisme Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat terjamin. Dengan landasan dan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam kebulatannya yang utuh serta menyeluruh, diadakan penggantian atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tidak hanya memuat susunan dan kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang serta peranan kepolisian, tetapi juga mengatur tentang keanggotaan, pembinaan profesi, lembaga kepolisian nasional, bantuan dan hubungan serta kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Meskipun demikian, penerapan Undang-Undang ini akan ditentukan oleh komitmen para pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelaksanaan tugasnya dan juga komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri, profesional, dan memenuhi harapan masyarakat.
B. Peranan Penyidik POLRI Dalam Mengungkap Penyalahgunaan narkotika dan Psikotropika Penyidik dalam menangani Penyalahgunaan narkotika dan Psikotropika memiliki tahapan yang jelas serta proses yang terinci dimana semua didasarkan atas peraturaan perundang-undangan yang berlaku. Penyidik tindak pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya penegakan hukum yang bersifat pembatasan dan atau pengekangan hak-hak asasi sesorang dalam rangka usaha untuk memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karenanya, penyidik tindak pidana sebagai salah satu tahap dari pada penegakan hukum pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa dalam melaksanakan penyidikan penyidik dalam hal ini terikat pada suatu koridor yang dijadikan patokan dalam pelaksanaan penyidikan yaitu berupa petunjuk pelaksana yang mana merupakan penjabaran dari pada naskah fungsi reserse Polri dengan maksud untuk memberikan pedoman dan penjelasan mengenai proses penyidikan tindak pidana sehingga diperoleh keseragaman pengertian tentang
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
kegiatan-kegiatan pokok yang harus dilaksankan dalam hal ini adalah penanganan penyalahgunaan Narkoba dan Psikotropika. Tujuan dari petunjuk pelaksana dalam penyidikan adalah agar penyidik tindak pidana dalam menangani penyalahgunaan narkoba dan psikotropika dapat dilaksanakan secara berdaya dan berhasil guna dengan tidak melanggar hukum. Adapun ruang lingkupnya adalah : 1. Kegiatan Penyidikan 2. Bantuan Teknis Operasional 3. Administrasi Penyidikan 4. Komando dan Pengendalian Dalam melaksanakan tugasnya perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana yang menyangkut hak-hak asasi manusia, antara lain : 1. Praduuga tak bersalah (Presemption of Innocence) 2. Persamaan di muka hukum (Equality Before the Law) 3. Hak pemberian bantuan/penasihat hukum (Legal aid/assistance) artinya setiap orang yang tersangkut perkara penyalahgunaan narkoba wajib diberikan kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan. Sebelum dimulainya pemeriksaan kepada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
haknya untuk mendapat bantuan hukum atau dalam perkaranya itu wajib didampingi penasihat hukum. 4. Penangkapan, Penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh UndangUndang dan hanya dalam hal dan dengan yang diatur dengan Undang-Undang. 5. Kepada seroang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas am yang berdasarkan Undang-Undang dan atau karena keliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti ganti kerugian dan rehablitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut di langgar, dituntut, dipiidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
BAB IV HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
A. Penegakan Hukum Obyektif Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy). Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat. Penegakan hukum di dalam criminal justice system tidak dapat dipisahkan dari peran Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (selanjutnya disebut BNN) sebagai ius operatum 66 khususnya pada penanganan penyalahgunaan narkoba berupa
66
Siswanto Sunarso, Op.cit, hlm. 94, bahwa operasionalisasi hukum (ius operatum) terhadap tindak pidana psikotropika berhubungan dengan kewenangan penegakan hukum, secara substansial mengatur tentang fungsi penyelidikan, fungsi penyidikan, memberikan informasi, memberikan pelayanan yang adil, memberikan perlindungan kepada masyarakat dan para saksi baik untuk Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
penindakan dan pemberantasan peredaran gelap Narkoba sebelum sampai pada proses penjatuhan sanksi pidana oleh Hakim. Penegakan hukum melalui penanganan terhadap pelaku penyalahgunaan Narkoba oleh penyidik Kepolisian dimulai dari pemenuhan unsur pelaku penyalahgunaan Narkoba yang selanjutnya ditentukan pola penanganannya sebagaimana diatur dalam taktik dan teknik penyelidikan dan penyidikan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara sebagai berikut: 67 ” Berbicara mengenai pola penanganan terhadap pelaku penyalahgunaan Narkoba, tentunya kita terlebih dahulu berbicara mengenai pelaku penyalahgunaan Narkoba itu sendiri. Pada prinsipnya sebagaimana di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UndangUndang RI Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika serta Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, bahwa pelaku penyalahgunaan adalah seseorang yang memiliki, menguasai, menyimpan, membawa, mengangkut, menyerahkan, menerima penyerahan dan lain sebagainya menunjukkan pelaku penyalahgunaan Narkoba harus ada padanya. Untuk dapat dipenuhinya unsur pelaku penyalahgunaan Narkoba, maka dapatlah ditentukan pola penanganannya sebagaimana diatur dalam taktik dan teknik penyelidikan dan penyidikan. Taktik dan teknik penyelidikan berupa under cover buy, observasi, survaillance untuk mengetahui dengan jelas dan pasti bahwa seseorang itu memenuhi unsur pelaku penyalahgunaan Narkoba. Maka kita harus menggunakan taktik dan teknik under cover buy dan controlled delivery dilanjutnya RPE (Read Planning Execution) atau penggerebekan pada saat terjadi penawaran atau saat petugas menunjukkan uang dan pelaku menunjukkan Narkobanya sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Setelah pelaku penyalahgunaan dan barang bukti Narkoba sudah dikuasai petugas kemudian dilanjutkan dengan introgasi dan pemeriksaan barang bukti Narkoba ke Laboratorium Forensik untuk mengetahui secara pasti apa benar barang bukti tersebut mengandung Narkoba dan bagaimana jenis serta penggolongannya guna penerapan pasal yang diatur dalam undang-undang. Bila hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik mengatakan bahwa barang bukti positif mengandung kepentingan penyelidikan maupun pada saat pemeriksaan di sidang Pengadilan serta penerapan sanksi pidana. 67 Hasil wawancara dengan Kam Sinambela, Kabag Analis pada Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara, tanggal 3 Juni 2008. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Narkoba dengan jenis dan penggolongannya sudah jelas barulah kita lakukan suatu pemeriksaan dengan membuat berita acara pemeriksaan saksi penangkap, dilanjutkan berita acara pemeriksaan tersangka sebagai pelaku penyalahgunaan Narkoba dengan menerapkan pasal sesuai materi Undang-Undang yang dilanggarnya. Dari hasil berita acara pemeriksaan dan administrasi lainnya sudah terpenuhi dilanjutkan dengan pemberkasan untuk diteruskan penyerahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum pada tahap pertama guna dilakukan penelitian berkas perkara. Manakala hasil penelitian Jaksa Penuntut Umum mengatakan bahwa berkas perkara tersebut sudah lengkap, maka penyidik selanjutnya menyerahkan berkas perkara tahap ke dua disertai penyerahan tersangka dan barang bukti. Pola penanganan penyalahgunaan Narkoba dalam bentuk skemanya: 1. Lidik a. Under Cover b. Observasi c. Survaillance d. Under Cover Buy dan Controlled Delivery, membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat penghubung lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam penyidikan, menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau telekomunikasi elektronik lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari, sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 2. Sidik a. Raid Planning Execution (RPE): Penangkapan dalam posisi tertangkap tangan b. Sita Barang Bukti Narkoba c. Interogasi pra BAP tersangka d. Pemeriksaan barang bukti ke Labfor e. BAP: Saksi dan Tersangka f. Resume g. Berkas perkara h. Penyerahan perkara tahap I i. Penyerahan perkara tahap II ”.
Penerapan prinsip ius operatum di dalam melakukan tindakan pengungkapan dan penindakan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkoba oleh penyidik Polri
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
dilandasi oleh kekhasan pengaturan tindak pidana penyalahgunaan Narkoba di dalam undang-undang. Karakter kekhasan itu mengharuskan Polri berperan memainkan peranan yang lebih efektif dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika dan psikotropika, di antaranya adalah adanya sejumlah ketentuan yang memperluas wewenang dan bertanggung jawab Polri sebagai lembaga penyidik yang khusus diberikan dalam rangka menanggulangi peredaran gelap narkotika dan psikotropika 68 berupa penerapan asas “Lex specialis derogate lex generalis” dari KUHP. Perluasan wewenang ini dimaksudkan untuk lebih mempersenjatai Polri dalam mengungkap penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Beberapa wewenang yang diberikan kepada Polri melalui ketentuan undang-undang, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kabag Analis Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara bahwa ”dalam hal penerapan hukum acara, terhadap penyalahgunaan narkoba terdapat kekhususan yakni melakukan teknik penyelidikan, penyerahan yang diawasi, teknik pembelian terselubung, membuka dan memeriksa setiap barang kiriman yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara narkoba serta wewenang untuk melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lainnya yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba. Dalam hal penanganan perkara narkoba termasuk perkara yang lebih didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke
68
Lihat, Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara dan peraturan perundangundangan lainnya. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Pengadilan guna pemeriksaan dan penyelesaian secepatnya”. 69 Adapun kekhususan dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut: 70 ”Pertama, Polri diberi wewenang untuk memeriksa dan membuka barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga, keras mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang sedang dalam penyidikan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, demikian pula ketentuan dalam Pasal 55 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Ketentuan tersebut setidaknya berkaitan dengan undang-undang Nomor. 6 tahun 1984 tetang Pos serta undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia. Di satu sisi Undang-Undang Narkotika 1997 dan Undang-Undang Psikotropika 1997 sangat bertentangan dengan UndangUndang Pos 1984 yang melarang semua pihak untuk membuka surat atau barangbarang yang dikirim melalui kantor pos. Namun perlu dipahami bahwa sejak lahirnya undang-undang narkotika 1997 dan undang-undang Psikotropika 1997 maka sejauh menyangkut kedua tindak pidana ini ketentuan undang-undang Pos 1984 dibatasi. Di sisi lain ketentuan ini merupakan perluasan wewenang yang dimiliki oleh Polri, hal ini ditentukan dalam Pasak 7 ayat (1) huruf e KUHAP yang menyatakan bahwa Polri berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, namun dalam Pasal 47 ayat (1) KUHAP dijelaskan lebih lanjut bahwa penyidik berhak membuka, 69
Hasil wawancara dengan Kam Sinambela, Kabag Analis pada Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara, tanggal 3 Juni 2008. 70 Ibid. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan harus diberikan surat tanda pemeriksaan. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa benda-benda yang berada atau pengirimannya melalui kantor pos atau alat perhubungan lainnya yang dapat dikenai tindakan oleh penyidik adalah surat atau paket yang memenuhi persyaratan tertentu, yaitu dalam hal “tertangkap tangan”. Namun Undang-Undang Narkotika 1997 dan Undang-undang Psikotropika 1997 telah memperluas wewenang Polri untuk dapat melakukan pemeriksan dan membukabahkan menyita terhadap baik surat, barang kiriman maupun paket pos. Jadi di sisi pemahaman terhadap kalimat “tertangkap tangan” bukan hanya berarti yang nyata-nyata (peristiwa penyerahan terlihat langsung) perihal benda tersebut berasal dan/atau diperuntukkan bagi pelaku, namun demikian sepanjang barang-barang tersebut diduga keras mempunyai pertalian yang erat dengan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang sedang diteliti, maka paket pos tersebut dapat diperiksa, dibuka dan disita. Dalam penjelasan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Narkotika 1997 menyebutkan bahwa kewenangan tersebut diberikan untuk mempercepat proses penyidikan karena barang bukti yang menyangkut narkotika dan psikotropika sangat mudah dilenyapkan sehingga akan menyulitkan penyidikan. Tindakan ini tidak hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, tetapi juga dapat dilakukan pada tahan penuntutan. Disamping itu, pemberian wewenang tersebut
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
dimaksudkan untuk mengantisipasi modus operandi peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang memanfaatkan kantor pos dan saran perhubungan lainnya. Kedua, Polri diberi wewenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan paskotropika. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Pasal 55 huruf c Undang-undang No. 5 Tahun 1997 Tantang Psikotropika, dalam Pasal 1 angka 18 Undang-undang narkotika 1997 menjelaskan bahwa penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronika lainnya. Hal ini juga merupakan perluasan wewenang Polri sebagaimana yang memuat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHP. Mengenai hal ini menurut hemat penulis agar Polri tidak sematamata bersikap reaktif dalam menangani penyalahgunaan narkotika dan psikotropika melainkan agar dapat bersikap lebih proaktif dalam menjalankan tugasnya, sebab wewenang yang diberikan oleh KUHAP kepada Polri selama ini hanya memungkinkan aparat kepolisian “menunggu” laporan atau pengaduan masyarakat atas tindak pidana yang terjadi dan/atau dialami, artinya tindakan kepolisian yang diambil Polri hanya merupakan “reaksi” atas pengaduan atau laporan dari masyarakat, sehingga hal ini tidak dapat diteruskan dengan usaha menanggulangi tindakan pidana narkotika dan psikotropika itu sendiri, padahal kebijakan nasional
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
sebagiamana telah dilakukan Badan Narkotika Nasional terhadap tindak pidana ini menekankan untuk mengutamakan upaya pencegahan lebih dini. Salah satu upaya yang dipandang cakup efektif untuk menggagalkan peredaran gelap narkotika dan psikotropika adalah memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat untuk hidup sehat tanpa narkotika dan psikotropika serta memberikan pemahama yang cakup terhadap bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahguna maupun pelakunya. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana tersebut adalah dengan memberdayakan tugas intelijin maupun dengan memanfaatkan peralatan komunikasi atas pembicaraan yang diduga keras ada hubungannya dengan tndak pidana narkotika dan psikotropika yang sedang dalam tahap penyidikan. Adanya perkembangan yang pesat terhadap media elektronika dan sistem komunikasi yang sangat canggih seperti SMS melalui hand phone, e-mail melalui internet, eletric data processing melalui computer, penyadapan dan pengintaian melalui peralatan ini dapat dilakukan. Dari beberapa wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Polri tersebut jika diperhatikan ada satu persoalan yang perlu dijawab, pernyataannya adalah apakah memeriksa, membuka paket dan penyadap pembicaraan orang lain tidak bertentangan dengan prinsipprinsip hak asasi manusia? Bukanlah membuka paket pos atau mendengarkan percakapan telepon orang lain merupakan pelanggaran atas kebebasan pribadi atau privacy orang ? Bukanlah Negara mestinya memberikan perlindungan dan/atau melindungi segenap bangsa sekaligus memberikan kebebasan pribadi kepada
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
warganya untuk menyampaikan pendapat? Beberapa pertanyaant tersebut perlu penulis sampaikan karena pertanyaan demikian tidak dapat dihindarkan. Deklarasi universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa atau Universal Declaration of Human Right Pasal 12 piagam hak-hak asasi manusia sedunia tersebut menyebutkan bahwa “tidak seorangpun dapat diganggu dengan sewenang-wenang dalam urusan perseorangannya, keluarga rumah tangannya atau hubungan surat menyurat, juga tak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Di sini jelas bahwa nampaknya masyarakat dunia sepakat bahwa hak atas kebebasan pribadi merupakan salah satu hak dasar yang paling asasi yang dimiliki manusia, artinya bahwa setiap tindakan yang menganggu hak tersebut merupa pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini jika dihubungkan dengan Undang-undang Pos No. 6 tahun 1934 khususnya perihal telepon, surat menyurat dan penyadapan hubungan-hubungan berkomunikasi di atas bisa dikaitkan juga dalam kerangka untuk melindungi hak asasi manusia. Kebijakan nasional dan internasional adalah merupakan kejahatan yang harus dicegah, ditanggulangi bersama karena disamping membahayakan generasi muda, juga mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan Negara. Bahkan konvensi menyerukan agar peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dinyatakan sebagai tindak pidana, Indonesia melalui Undang-Undang Narkotika 1997 dan Undang-Undang Psikotropika 1997 dan undang-undang lainnya itu menentukan kemungkinan harus mengesampingkan hak atas kebebasan pribadi untuk kepentingan penyidikan. Artinya bahwa selama ini apabila terjadi tindakan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Polri yang membuka surat atau paket pos atau menyadap pembicaraan telepon yang diduga keras berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika yang sedang disidik atau diteliti dapat dibenarkan dan dapat dikatakan tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Ketiga, Polri sebagai lembaga penyidik berwenang melakukan teknik penyidik penyerahan yang diawasi dan tehnik penyidikan penyerahan yang diawasi dan tehnik pembelian terselubung, wewenang ini diberikan kepada Polri melalui Pasal 68 Undang-Undang Narkotika 1997 wewenang yang sama juga diberikan dalam Pasal 55 Undang-Undang Psikotropika 1997. sehingga ketentuan ini dapat dikatakan merupakan penambahan kewenangan Polri sebagia penyidik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1)
KUHAP. Namun perlu diperhatikan bahwa
ketentuan ini sebenarnya merupakan bentuk desakan agar Polri bertindak proaktif terhadap peredaran gelap narkotika dan psikotropika, hanya sangat disayangkan bahwa undang-udnang ini tidak membeirkan keterangan cukup mengenai apa dan bagiamana teknik demikian dapat dilakukan bahkan mengenai penyerahan yang diawasi nampaknya ketentuan mengenai hal ini semata-mata merupakan pasal “titipan” Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka lebih memperketat pengawasan tentang peredaran gelap narkotika dan psikotropika 1988 yang kemudian konvensi ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui undang-undang Nomor: 7 Tahun 1997. dalam penjelasan undang-undang tersebut menyebutkan bahwa salah satu isi konvensi adalah mengenai penyerahan yang diawasi. Di sana dikatakan bahwa untuk
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
kepentingan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) konvensi ini (tindak pidana peredaran gelap narkotika yang mencakupmulai penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya). Para pihak dapat mengambil berbagai tindakan yang perlu dalam batas kemampuannya untuk menggunakan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan Persetujuan atau Pengaturan yang disepakati bersama oleh masing-masing pihak sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya. Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus, barang kiriman gelap yang penyerahannya diawasi telah disetujui, atas persetujuan para pihak yang bersangkutan dapat diperiksa dan dibiarkan lewat dan membiatkan narkotika dan psikotropika tetap utuh, dikeluarkan atau diganti seluruhnya atau sebagian Disamping ketiga wewenang tersebut di atas, Polri juga diberi tanggung jawab lain terhadap narkotika dan psikotropika illegal, yaitu seperti yang ditegaskan dalam Pasal 60 dan Pasal 62 Undang-Undang Narkotika 1997 dan Pasal 53 UndangUndang Psikotropika 1997 yang menegaskan bahwa Polri dalam tahap penyelidikan dan penyidikan untuk memusnahkan narkotika yang berkaitan dengan tindak pidana, yang disaksikan pejabat-pejabat lain seperti dari kejaksaan dan Departemen Kesehatan. Dalam pasal 71 Undang-undang Narkotika 1997 memerintahkan Polri untuk memusnahkan tanaman narkotika yang ditemukan selambat-lambatnya duapuluh empat jam sejak saat ditemukan setelah sebagian disisihkan untuk
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di bidang pengadilan. Selanjutya mengenai tanggung jawab dan wewenang Polri dalam mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika umumnya dilakukan dalam kerangka peran serta masyarakat secara keseluruhan, sehingga hal ini sejalan dengan konsep “integrated” dalam sistem peradilan pidana. Konsep peradilan pidana yang terpadu sangat memerlukan koordinasi dan integrasi diantara subsistemsubsistem”. Dewasa ini penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba
menunjukkan
perkembangan yang cukup mengkhawatirkan, misalnya dalam tahun 2005 penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba menunjukkan kenaikan yang paling signifikan terutama sejak terungkapnya pabrik gelap ekstasi dan shabu yang diklasifikasikan sebagai pabrik ketiga terbesar di dunia. Hal ini merupakan masalah kronis yang perlu mendapat perhatian serius, karena selain merupakan jenis transnational crime, penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba merupakan masalah kompleks bukan hanya dari faktor-faktor penyebabnya, tetapi juga dari akibat-akibat multidimensional yang ditimbulkannya. adapun mengenai masalah penyalahgunaan Narkoba selama tahun 2005 71 dapat digambarkan secara kuantitatif dari hasil upaya penegakan hukum, sebagai berikut: 72
71
http://www.yahoo.com, diakses tanggal 28 Mei 2008, bahwa kasus-kasus menonjol yang berhasil diungkap pada tahun 2005, antara lain : 1. tanggal 8 April 2005, pengungkapan pabrik gelap ekstasy di desa Pangradin, Jasinga – Bogor, dengan tersangka filip wijayanto alias hans philip yang tertembak mati. Pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi 504.000 butir ekstasy perhari. 2. tanggal 17 April 2005, pengungkapan 9,2 kg heroin di bandara Ngurah rai – Bali, dengan tersangka andrew chan, renae lawrence, stephens martin dan scot anthony rush. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
1. Jumlah kasus Narkoba yang dapat diungkap sebanyak 12.256 kasus yang terdiri atas 6.179 kasus narkotika, 5.143 kasus psikotropika dan 934 kasus bahan berbahaya. 2. Jumlah tersangka Narkoba yang ditangkap sebanyak 16.702 orang, terdiri atas wni sebanyak 16.632 orang dan WNA 70 orang. 3. Jumlah barang bukti yang dapat disita : a. Ganja sebanyak 20.904.654,45 gr b. Kokain sebanyak 1.003,4 gr c. Heroin sebanyak 17.714,45 gr d. Shabu sebanyak 93.156,424 gr e. Ecstasy sebanyak 233.467 tablet
3.
tanggal 21 April 2005, penangkapan tersangka samai as alias is (WNI) di Penjaringan – Jakut, dengan barang bukti ekstasy sebanyak 3.827 butir. 4. tanggal 21 april 2005, penangkapan tersangka aijal marcus (WN Belanda) dengan barang bukti ekstasy sejumlah 29.970 butir melalaui perusahaan jasa angkutan dhl di bandara Soekarno – Hatta. 5. tanggal 22 April 2005, penemuan 4.840 butir ekstasy pada paket kardus yang dikirim dari belanda melalui jasa angkutan kargo ekspor impor dengan tersangka aijal marcus di bandara Soekarno – Hatta. 6. tanggal 27 April 2005, penangkapan man singh ghale (wn nepal) seorang buronan internasional di Teluk Pucung Bekasi – Jawa Barat, tersangka tertembak di TKP dengan barang bukti heroin 1.250 gr, kokain 276 gr, ekstasy 7000 butir dan 1 buah pistol fn kaliber 22. 7. tanggal 10 Mei 2005, penggerebekan rumah di komplek Green Garden Blok E-1 No.37A Jakbar, dengan tersangka tjik wang alias akwang dan hariono agus tjahyono alias seng hwat dengan bb shabu kristal sebanyak 50 kg, shabu cair 4 kg, ekstasy 70.000 butir, 6 unit mobil serta uang tunai Rp. 1.050.000.000,-. 8. tanggal 12 Mei 2005, penemuan 1 kg kokain di bawah tempat duduk No. 18A pesawat terbang klm dengan nomor penerbangan 809 di bandara Soekarno – Hatta. 9. pada pasca bencana tsunami di aceh, operasi satgas bnn menemukan areal kultivasi ganja di : a. kab. aceh besar (10 lokasi ladang ganja). b. kampung Lapeng, desa Pulau Breh, Kec. Pulau Aceh terdapat 3 lokasi penanaman ganja di areal 8 hektar. c. kampung Lampuyang, desa Pulau Breh, Kec. Pulau Aceh terdapat 1 lokasi penyemaian ganja dan ribuan bibit ganja siap tanam. d. desa Cisuum Indrapuri ditemukan 2 titik ladang ganja (setara dengan 20.000 batang pohon ganja) seluas 4 hektar. 10. tanggal 11 November 2005, pengungkapan pabrik gelap pembuatan ekstasy dan shabu dengan kapasitas produksi 100 kg perminggu, di desa Cemplang Cikande, Serang – Banten. 11. tanggal 23 November 2005, pengungkapan pabrik gelap ekstasy di Banyuwangi dan Malang dengan kapasitas produksi 8.000 butir ekstasy perjam. tersangka adalah warga negara Indonesia, Singapura, Hongkong dan Malaysia. 72 Sadar BNN Desember 2006 / Adi KSG IV, Mahalnya Biaya Rehabilitasi Korban Narkoba, tanggal 08 Januari 2007, http://www.geoogle.com, diakses tanggal 27 Mei 2008. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Selanjutnya pada tahun 2001 – 2007 (belum terhitung sampai 2008), berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa: 73 Pertama, jumlah penyalahguna sebesar 1,5% dari populasi (3,2 juta orang), dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang, terdiri dari: 69% kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu dari kelompok teratur pakai terdiri dari penyalahguna ganja (71%), shabu (50%), ekstasi (42%), penenang (22%). Kedua, dari kelompok pecandu terdiri dari: Penyalahguna ganja (75%), Heroin/putaw (62%), shabu (57%), ekstasi (34%), penenang (25%). Ketiga, biaya ekonomi & sosial penyalah-gunaan narkoba yg terjadi diperkirakan sebesar Rp 23,6 triliun. Keempat, penyalahguna IDU sebesar 56% (572 ribu orang) dengan kisaran 515 sampai 630 ribu orang. Kelima, angka kematian pecandu 1,5% per tahun (15 ribu orang mati/tahun). Sedangkan perkembangan penyalahgunaan Narkoba di Wilayah Hukum Polda Sumatera Utara dalam kurun waktu 2007 s/d 2008 dapat dideskripsikan sebagai berikut: 74 ”Kurun waktu 2007 s/d 2008 (Januari-Mei) di wilayah hukum Polda Sumatera Utara terdapat 2.958 jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba dengan jumlah tersangka sebanyak 4.160 tersangka pada tahun 2007, sedangkan pada tahun 2008 terdapat 1.055 kasus penyalahgunaan Narkoba dengan jumlah tersangka sebanyak 1.587 tersangka, sehingga dalam kurun waktu 2007 s/d 2008 (Januari-Mei) jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba sebanyak 4.013 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 73
www.legalitas.org, diakses tanggal 27 Mei 2008. Hasil wawancara dengan Kam Sinambela, Kabag Analis pada Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara, tanggal 4 Juni 2008. 74
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
5.747 tersangka. Jumlah kasus dan tersangka penyalahgunaan Narkoba yang terbesar di wilayah hukum Polda Sumatera Utara adalah jenis ganja dengan jumlah kasus sebanyak 2.778 dan tersangka sebanyak 3.969 sedangka jumlah kasus dan tersangka penyalahgunaan Narkoba yang terkecil di wilayah hukum Polda Sumatera Utara adalah jenis Obat/Zat Berbahaya dengan jumlah kasus sebanyak 28 kasus dan tersangka sebanyak 30 orang”. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perkembangannya pada saat ini sudah sampai pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data yang ada pada BNN, tercatat bahwa masalah penyalahgunaan narkoba di tanah air telah merambah pada sebagian besar kelompok usia produktif yakni yang masih berstatus pelajar maupun mahasiswa. Hasil survei BNN dan Universitas Indonesia Tahun 2005 menyebutkan bahwa setiap hari 40 orang Indonesia meninggal karena narkoba, 3,2 juta orang atau 1,5% penduduk Indonesia menjadi pengguna dan penyalahguna narkoba. 75 Menghadapi perkembangan penyalahgunaan Narkoba sebagaimana data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) maka BNN telah melakukan berbagai upaya penanggulangan baik dalam bidang pencegahan, penegakan hukum, laboratorium terapi dan rehabilitasi serta penelitian pengembangan dan informatika, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Bidang pencegahan 75
www.legalitas.org, diakses tanggal 27 Mei 2008.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Bidang pencegahan berorientasi pada peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang masalah Narkoba serta upaya pencegahannya. program yang telah dilakukan bnn diwujudkan dalam berbagai kegiatan penyuluhan, pembinaan potensi masyarakat serta pendidikan dan pelatihan.
ketiga program tersebut
dilaksanakan dalam bentuk beberapa kegiatan besar, antara lain : a. Pelaksanaan kegiatan advokasi bidang pencegahan penyalahgunaan narkoba/ parenting skill di 7 (tujuh) propinsi. b. Pelaksanaan forum pertemuan dan penyuluhan antar instansi pemerintah dengan LSM di 7 (tujuh) propinsi. c. Pelatihan dan penataran instruktur penyuluh narkoba untuk kalangan guru SD, SLTP dan SLTA, tokoh masyarakat, tokoh agama serta remaja masjid, pemuda gereja, pemuda hindu, pemuda budha. d. Temu pakar dalam rangka penyusunan modul pelatihan / penataran dan penyuluhan, tanggal 17 – 19 april 2005 di Jakarta. e. Penyusunan modul pelatihan instruktur penyuluh narkoba di 9 (sembilan) propinsi. f. Lomba karya tulis tingkat nasional yang diikuti 124 pelajar dan 408 mahasiswa se-Indonesia. g. Pemasangan 40 set billboard tentang bahaya narkoba di 4 propinsi, yaitu dki jakarta, jawa barat, D I Yogyakarta dan bali. untuk dki jakarta dipasang di bandara Soekarno – Hatta.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
h. Pembuatan CD interaktif bahaya penyalahgunaan narkoba dan pemasangan iklan layanan masyarakat di media massa. 1. Bidang penegakan hukum Selain upaya penegakan hukum secara operasional yang memberikan hasil sebagaimana dijelaskan di atas, kegiatan lain yang telah dilaksanakan selama tahun 2005, antara lain: a. Pelaksanaan task force meeting on law enforcement, tanggal 22 – 23 Agustus 2005 di Bali dengan peserta berjumlah 47 orang dari 11 negara, dengan tujuan terwujudnya kawasan ASEAN dan China bebas dari narkoba tahun 2015. b. Pelatihan teknik dan taktik penyalahgunaan narkoba bagi 15 anggota kepolisian Laos, tanggal 20 juni – 2 juli 2005 di Jakarta. c. Pembangunan sarana CBT (Computer Based Training) di 55 lokasi, hasil kerjasama dengan UNODC. Untuk tahap pertama telah dipasang di 39 lokasi, sedangkan pada tahap kedua akan dipasang di 16 lokasi. d. Sosialisasi undang-undang narkotika dan psikotropika di Pontianak, Pekanbaru, Medan, Makassar dan Jambi.
Peserta sosialisasi terdiri dari
personel BNP, BNK dan instansi pemerintah daerah lainnya. e. Pemusnahan barang bukti narkoba yang disita selama tahun 2005 di Puspitek Serpong – Tangerang, tanggal 23 Juni 2005. f. Pendistribusian alat-alat dukungan operasional seperti teskit narkoba & prekursor, x-ray machine portable, alat deteksi narkoba jenis gt 200, itemiser
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
dan screening surat dan paket pos kepada para anggota BNN serta satgassatgas. 2. Bidang laboratorium terapi dan rehabilitasi bidang laboratorium, Terapi dan Rehabilitasi (lab T & R) merupakan upaya untuk mewujudkan pelayanan laboratorium uji narkoba terapi dan rahabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba secara komprehensif: Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan meliputi: b. Pembentukan satgas T & R BNN dan satgas T & R di BNP nusa tenggara timur. Satgas ini bertugas untuk melakukan pendataan, monitoring dan evaluasi kegiatan pelayanan terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba sesuai standar pelayanan terapi dan rehabilitasi. c. Penyediaan sarana rawat inap pelayanan terapi medik dan rehabilitasi sosial terpadu (one stop center) bagi korban penyalahgunaan narkoba di 11 propinsi, yaitu DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. d. Penyediaan sarana rawat jalan untuk pelayanan terapi medik dan rehabilitasi sosial berbasis masyarakat berbentuk rumah dampingan (outreach center) bagi korban penyalahgunaan narkoba di 5 propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Bali.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
e. Pembangunan sarana pelayanan terapi & rehabilitasi terpadu di 4 (empat) lapas khusus narkotika, yaitu Lapas Cipinang Jakarta, Lapas Gintung Cirebon, Lapas Krobokan Denpasar dan Lapas Pamekasan Madura. f. Pelaksanaan program uji narkoba oleh laboratorium pusat terapi dan rehabilitasi sebagai rujukan nasional dalam screening dan konfirmasi untuk kepentingan pro yustisia bagi para penegak hukum. g. Penyusunan buku panduan pelaksanaan terapi dan rehabilitasi terpadu di Lapas/Rutan dan buku panduan pelaksanaan terapi dan rehabilitasi berbasis masyarakat melalui rumah dampingan. h. Pelatihan bagi petugas terapi dan rehabilitasi pemerintah Laos pada tanggal 20 Juni – 2 Juli 2005 di Jakarta. i. Penyusunan buku ”guide book on understanding drug addiction from the islamic perspective”,
bekerjasama dengan drug advisory programme
colombo plan pada bulan Februari 2005 di Jakarta. j. Pembangunan sarana dan prasarana pusat rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba di Lido Jawa Barat, sebagai pusat rujukan nasional dalam upaya terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba. Menyangkut terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba maka pembangunan nasional telah memberikan arahan yakni: 76
76
Matriks Program Pembangunan Tahun 2007, Loc.cit.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
a. Peningkatan pelayanan terapi, rehabilitasi dan perlindungan sosial kepada penyalahguna/korban narkoba dan napza; b. Penyusunan
standarisasi
pelayanan
terapi
dan
rehabilitasi
kepada
penyalahguna/korban narkoba; c. Pembangunan/peningkatan sarana dan prasarana pelayanan bidang terapi dan rehabilitasi korban narkoba; d. Peningkatan pendayagunaan peran serta masyarakat dalam rangka pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahguna/korban narkoba.
B. Hambatan Aparatur Penegak Hukum Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya,
dan
(iii)
perangkat
peraturan
yang
mendukung
baik
kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu: (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule making), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
hukum ( socialization and promulgation of law) dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
C. Hambatan Dalam Penerapan Pembiayaan Penyelidikan dan Penyidikan Terhadap Penanganan Penyalahgunaan Narkoba dan Peredaran Gelap Narkoba Besarnya biaya yang timbul akibat penyalahgunaan Narkoba tentunya harus dibarengi dengan peningkatan biaya yang dipergunakan untuk pembiayaan pengunggakapan penyalahgunaan Narkoba, tanpa dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah maka penyidikan dalam penanganan pelanyalahgunaan narkoba dan spikortopika akan sulit dilakukan. Faktor biaya merupakan salah satu faktor yang menghambat dalam proses penegakan hukum penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan. Minimnya anggaran membuat tidak maksimalnya atau tidak efektifnya dalam hal mengungkap penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika.saat ini, anggaran yang dikeluarkan dalam rangka penyelidikan dan penyidikan dalam mengugkap dan atau untuk dapat menegakkan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika belum mencukupi sehingga dalam menuntaskan penegakan hukum masih terkendala dan tidak memuaskan. Selanin itu dengan tidak memadainya dana penyidikan tersebut hal ini dikarenakan juga adanya faktor tumpang tindih tugas yang dilimpahkan kepada seorang penyidik. Hal ini dapat terjadi karena jumlah dan kemampuan personal
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
belum memadai. Penyalahgunaan narkoba dan Psikotropika merupakan tindak pidana yang khusus jika dibandingkan dengan tindak pidana umum oleh karena penanganan dalam kapasitas penyidikan dalam penyalahgunaan narkoba dan Psikotropika memerlukan ektara kerja yang tidak bisa disamakan dengan penanganan tindak pidana umum lainny. Selain itu juga pada dasarnya dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkotika dan Psikotropika merupakan kejahatan yang sangat terorganisir rapi dalam melakukannya karena penyalahgunaan narkoba ini bukan semata bagi pemakai bahkan jauh lebih besar lagi yaitu mengungkap bisnis Narkotika dan Psikotropika tersebut. Selain itu juga yang perlu diperhatikan dalam penangananan penyalahgunaan narkotika dan Psikotropika bukan hanya pada tingkat Penyidik keterpaduan sistem peradilan pidana dapat mengatasi masalah yang menyangkut pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan Narkoba yang berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana. Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika tidak mengkualifikasi delik pidana penyalahgunaan Narkoba pada tatanan pelaku dan korban penyalahgunaan Narkoba, Undang-Undang Narkoba hanya merumuskan delik pidana atas perbuatan penyalahgunaan Narkoba. Hal inilah yang menjadi kerangka Hakim di dalam memutus setiap perkara yang berkenaan dengan penyalahgunaan Narkoba tanpa mempertimbangkan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan Narkoba, untuk itu
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
diperlukan keterpaduan sistem peradilan pidana. Adapun kerangka hukum yang digunakan Hakim dalam memutus perkara ini sebagai berikut: Pertama, dilandasi oleh beberapa prinsip di dalam hukum pidana berlaku asas legalitas (nullum delictum sine praevia poenali) artinya “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum kecuali atas kekuatan hukum pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu”. Apakah orang yang melakukan kesalahan itu dapat dipidana atau tidak hal itu tergantung apakah ia mempunyai kesalahan. Untuk memberikan arti tentang kesalahan yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, delik merupakan pengertian psyikologis berhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dengan terjadinya
unsur-unsur
delik
karena
perbuatannya.
Kesalahan
adalah
pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de veranttwoordelijkheid rechtens). Kedua, beban pembuktian menurut undang-undang secara negatif. 77 Ketiga, adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan lebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku untuk suatu tindak pidana tertentu. Bertolak dari persyaratan objektif yang konvensional (asas legalitas), pertanggung jawaban pidana penyalahgunaan Narkoba tentunya harus didasarkan pada sumber hukum perundangundangan yang berlaku saat ini (baik di dalam KUHP maupun Undang-Undang Khusus di luar KUHP). 78 Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung
77
Lihat, Pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdawalah yang bersalah melakukannya. 78 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 74. Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
makna pelaku (subyek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana terdiri dari 2 (dua) hal, yaitu pertanggungjawaban objektif dan subyektif. Secara objektif pelaku telah melakukan tindak pidana menurut hukum yang berlaku (asas legalitas) dan secara subyektif pelaku patut dicela atau dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya itu (asas culpabilitas atau kesalahan) sehingga pelaku patut dipidana. 79 Adanya pertanggungjawaban pidana, harus dipenuhi persyaratan obyektif di dalamnya, artinya perbuatan tersebut harus merupakan tindak pidana menurut hukum berlaku. Sehingga harus dipenuhi asas legalitas, yaitu adanya dasar atau sumber hukum atau sumber legitimasi yang jelas, baik di bidang hukum pidana material atau substantif maupun hukum pidana formal. 80
79 80
Ibid, hlm. 101. Ibid, hlm. 74.
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Payung hukum yang ada sebagai bagian dalam penegakan hukum Narkotika
dan Psikotropika adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang mana Undang-Undang ini terdiri dari 104 Pasal. Selain itu juga Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika disahkan untuk dapat menambah dan memperkuat penegakan hukum Narkotika dan Psikotropika tersebut. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Pernyataan perang terhadap narkoba telah diupayakan pemerintah dengan melibatkan unsur masyarakat, perangkat hukum telah
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
dibuat untuk menangkap para pelaku, baik pemakai, pengedar dan juga pengguna narkoba. Namun belum memperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan harapan masyarakat. Khusus di Sumatera Utara sendiri kasus peredaran narkoba sudah begitu marak. Dinas Sosial Propinsi Sumatera Utara hingga akhir tahun 2007 menemukan 5.561 orang pengguna narkoba. Di tahun 2006 saja, Polda Sumatera Utara menangani 181 perkara narkoba, yang meliputi 85 perkara psikotropika dan 96 narkoba, dengan 210 tersangka (201 orang laki-laki dan 9 orang perempuan), Sumatera Utara telah menjadi kota nomor tiga penyebaran narkoba di Indonesia setelah Jakarta. Di Kota Medan berdasarkan data Unit Narkoba Polsek Medan Baru, dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 1 kasus narkoba. Namun hasil patroli minum-minuman keras pada bulan Maret 2008 telah menemukan 11 kasus anak minum-minuman keras yang kemungkinan besar juga terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang. 2. Penyidik dalam menangani Penyalahgunaan narkotika dan Psikotropika
memiliki tahapan yang jelas serta proses yang terinci dimana semua didasarkan atas peraturaan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan dari petunjuk pelaksana dalam penyidikan adalah agar penyidik tindak pidana dalam
menangani
penyalahgunaan
narkoba
dan
psikotropika
dapat
dilaksanakan secara berdaya dan berhasil guna dengan tidak melanggar hukum. Adapun ruang lingkupnya adalah : a. Kegiatan Penyidikan b. Bantuan Teknis Operasional
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
c. Administrasi Penyidikan d. Komando dan Pengendalian 3. Ada dua gambaran besar yang menjadi faktor penghambat dalam penanganan penyalahgunaan Narkotika. Hal ini dapat dibagi atas Faktor Ekstern dan Faktor Intern. Faktor ekstern terkait atas adanya peran serta masyarakat. Masalah
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Bahwa kemudian Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh Polri khususnya para panyidik, faktor biaya merupakan salah satu faktor
yang menghambat dalam proses penegakan hukum penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan. Minimnya anggaran membuat tidak maksimalnya atau tidak efektifnya dalam hal mengungkap penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika.saat ini
B. Saran 1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum khususnya penyidik yang menyidik perkara penyalahgunaan Narkoba terhadap pemakai/pecandu
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
sebagai korban peredaran gelap Narkoba dapat mereduksi ketentuan yang terdapat pada UU Narkoba . 2. Diharapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dapat dirubah atau setidak-tidaknya direvisi dengan mengklasifikasi di dalam rumusan norma hukumnya menyangkut perbedaan antara pelaku sebagai pengedar dan pelaku sebagai korban penyalahgunaan Narkoba, disamping itu diperlukan dukungan
anggaran
dari
pemerintah
pusat
maupun
daerah
dalam
pengembangan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abidin, Andi Zainal, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni, 1987 Amirin, Tatang M., Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet. I. Jakarta, 1986 Arief Nawawi Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung: Alumni,1984 ----------------------, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, 1994 ------------------, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998 -------------------, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Binacipta, 1996
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
------------------, Penyalahgunaan narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,1997 Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996 Arif Nawawi Barda, Upaya Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan, makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang,Tanggal 16-18 September 1991 ------------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998 ----------------------, dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002 ------------------, dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984 ---------------, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990 -----------------------, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 -----------------------, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbitan Universitas Dipenogoro, 2002 ------------, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981 Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995 Austin J. Dalam M.Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta.:PT.Tiara Wacana,1991. Bemmelen, J.V.Van, Hukum Pidana I, Bandung: Bina Cipta Cetakan Kedua, 1997 Budiarjo Miriam, Dasar-dasar ilmu Politik,Jakarta : Gramedia,1999
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004 Dwidja, Priyatno, editor, Aep Gunarsa., Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Cet.1 Bandung : Refika Aditama, 2006 Fletcher,George P, Rethinking Criminal Law, Oxford: Oxford University Press, 2000 Friedmen, Lawrence, Amrerica Law An Introduction , sebagaimana diterjamahkan oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984 Gani, Ikin A, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan Penanggulangannya, Jakarta: Yayasan Bina, tanpa tahun Hamzah A. dan Surachman RM.,Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta : Sinar Grafika, 1994 Hamzah,Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994 ----------------, Hukum Pidana I, cetakan ke II, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990 ----------------------, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, 2002
Semarang: BP.
-------------------, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: BP Undip, 2000 --------------------, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung, 2002 Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Kencana Prenada Kencana, 2006 Karmen, Andrew, Crime Victim An Introduction to Victimology, (California: Books/Cole Publishing Company Monterey, 1984
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003 Kusumaatmaja, Mochtar, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat, Landasan Pikiran Pola dan Mekanisme pelaksana Pembaharuan Hukum, Jakarta: BPHN-LIPI, 1996 L. Herbert, The Limits of the criminal sanction, Stanford: Stanford University Press, 1968 Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984 Loqman, Loebby, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Datacom, 2002 Manan Bagir. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Yogyakarta: FH UI Press, 2005. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 1988 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori dan kebijakan Pidana, Bandung: Alumni,1984 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang :Badan Penerbit Universitas Dipenogoro,1995 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995 Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Bandung: pustaka,2004 Mulyono, Liliawati, Eugenia, Peraturan perundang-undangan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta : Harvarindo, 1998 Nasution Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Disampaikan pada dialog Interaktif Tentang penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003 Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, California: Stanford University Press, 1968 Parthiana Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung,:Mandar Maju, 1990
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Poernomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia,1981 Rasidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Rosdakarya, 1993 Reid, Sue Titus, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publising Company, New York, 1987 Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1997 Salam , Faisal, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Pustaka, 2004 Saleh, Roeslan, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1973 Setiadi, Edi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004 Setyono oko dalam Muladi (Edt). Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT.Refika Aditama, 2005 Sianturi, S.R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHAEM-PTHAEM, 1986 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981 Soehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981 Sunarso Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2004
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004 Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998 Suparmono, Gatot, Hukum Narkoba di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2001 Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003 Waluyo,Bambang, Pidana dan Pemidanaan (cet kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2004 B. Peraturan perundang-undangan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana C. Harian Surat Kabar dan Situs Internet KOMPAS, Dalam Pengobatan Napza-Butuh Dukungan Orang September 2001 KOMPAS,
Tua,Tanggal 24
Juli 2008, Diakses pada http//www.kompas.com/infonarkoba/artikel/lebih.htm diakses tanggal 27 Juli 2008.
situs pada
Panitia Pengembangan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan, Konsensus tentang Masalah Medis dan Pelaksanaannya, BPFKUI, Jakarta, 2000 Rahardjo, Satjipto, Kontribusi Lembaga Sosial Mendorong Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, dalam http://www.yahoo.co.id, diakses tanggal 4 Agustus 2008 Sadar BNN Desember 2006 / Adi KSG IV, Mahalnya Biaya Rehabilitasi Korban Narkoba, tanggal 08 Januari 2007, http://www.geoogle.com, diakses tanggal 27 Mei 2008 www.legalitas.org, diakses tanggal 27 Mei 2008 http://www.yahoo.com
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008
http//www.geogle.com, Sistem Pemidanaan di Indonesia, diakses tanggal 17 Januari 2008 http//www.kompas.co.id, Pemakai Cukup di Rehabilitasi, diakses tanggal 17 Januari 2008 http://www.yahoo.com, diakses tanggal 23 Mei 2008 H
H
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/21/politikhukum/3469255.htm H
http//www.kompas.co.id, Pemakai Cukup di Rehabilitasi, diakses tanggal 19 Januari 2008
Elizabeth Siahaan : Peranan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Narkoba Di Sumatra Utara, 2009 USU Repository © 2008