KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN ANALISIS TERHADAP PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DAN SANKSI DALAM UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001) TESIS Oleh
IFRANSKO PASARIBU 057005009/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN ANALISIS TERHADAP PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DAN SANKSI DALAM UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No. 20 TAHUN 2001)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
IFRANSKO PASARIBU 057005009/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Judul Tesis
: KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DAN SANKSI DALAM UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No. 20 TAHUN 2001)
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Ifransko Pasaribu : 057005009 : Ilmu Hukum Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Daud, SH) Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Prof. Chainur Arrasjid, SH) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B.MSc)
Tanggal lulus : 20 September 2007
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 20 September 2007
PANITIA UJIAN TESIS Ketua
: 1. Prof. Muhammad Daud, SH
Anggota
: 2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 3. Prof. Chainur Arrasjid, SH 4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum 5. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
ABSTRAK Tindak pidana korupsi semakin merajalela terjadi yang disertai dengan tidak adanya lagi rasa malu untuk melakukan perbuatan tersebut dikalangan pegawai negeri dan penyelenggara negara, serta semakin tersistematis dan canggihnya perbuatan tersebut dilakukan akhirnya memunculkan pandangan bahwa peraturan perundangundangan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi ini, yaitu UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 diyakini tidak lagi mampu dan efektif untuk diberlakukan. Ketidakmampuan dan ketidak efektifan dari undang-undang tersebut khususnya dalam hal pembebanan pembuktian dan sanksi yang diterapkan. Penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelaahan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data primer, dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen, dengan penelusuran kepustakaan. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa sistem pembebanan pembuktian yang dianut oleh undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini tidak mampu menjawab dan menanggulangi permasalahan pokok yang dihadapi. Dimana permasalahan utama yang dihadapi adalah penyidik dan penuntut umum sangat sulit untuk membuktikan dan mengungkap hal-hal yang menyangkut perkara pokok. Di satu sisi untuk dapat menghukum orang yang didakwakan melakukan tindak pidana korupsi adalah jika perkara pokok benar-benar terbukti. Artinya sistem pembebanan pembuktian yang menganut unsur-unsur dari pengertian pembuktian terbalik yang terdapat dalam pasal 12 B ayat 1 huruf (a) dan (b), pasal 37, pasal 37 A, serta pasal 38 B UU No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999, hanya sebagai bukti pendukung bila perkara pokok telah terbukti. Kebijakan hukum pidana dalam hal perumusan sanksi sebagai mana yang terdapat dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diyakini belum mendukung tujuan dari pembentukan UU ini. Adapun pasal-pasal yang menyangkut rumusan sanksi yang diyakini belum mendukung yakni pasal 2 ayat 1 UU No.31 Tahun 1999, yang mengatur mengenai pidana seumur hidup sebagai ancaman hukuman maksimum terhadap tindak pidana yang bersifat umum. Selanjutnya adalah pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 yang hanya mengancam hukuman penjara paling singkat 1 tahun terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana, Tindak Pidana Korupsi
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
ABSTRACT Corruption is a crime that conducted in anywhere and anytime without a shy on the crime among the civil servant and government official and will be systematic and advanced. There is opinion that the act regulate the corruption, i.e Act No. 31 Of 1999 Jo Act No. 20 Of 2001 can not implemented effectively and efficiently specially ni the review on evidences and witnesses. The study on this thesis is a normative law an analysis descriptive study by normative juridical approach, i.e a study by a review on any law subjects matters from the primary date by the date collecting method is document study in a library study. The law subject matters from the library research are analyzed by qualitative analysis method. Based on the results of study, it is indicated that the with of evidences system applied by Act of eradication of corruption can not handle and eliminate any main problem in the eradication of corruption. In which the main problem is the difficult for investigator and general prosecutor to proof and investigate the main case. In one hand, to punish a suspected for a corruption if the main case have be proved. It means the evidences system that contain the elements of the reverse evidences in article 12 B paragraph 1 point (a) (b), article 37, article 37 A, and article 38 B of Act No. 20 Of 2001 concerning to the revision on Act No. 31 Of 1999 only as support evidences if the main case have been proved. The penal policy in the sanction formulation in Act No. 31 Of 1999 Jo Act No. 20 Of 2001 concerning to eradication of corruption has not yet support the objective of this Act. The articles related to the formulation of the sanction that has not yet support i.e article 2 paragraph (1) of Act No. 31 Of 1999 that related to the life sentences as maximum sentences on the general corruption. And then article 3 on Act No. 31 Of 1999 that only determine a sanction as prison not less than 1 year on the civil servant and government official who do corruption. Keywords: Penal Policy, Corruption.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah begitu banyak melimpahkan karunia dan berkahNya kepada kita semua, terutama sekali kepada penulis walaupun begitu besar cobaan dan rintangan yang penulis alami dalam penyusunan tesis ini, namun dengan kasih karunia yang dari padaNya dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulis berhasil menyelesaikan tesis ini, yang penulis beri judul “Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian dan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001). Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tesis ini, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, untuk itu penulis sangat mengharapkan pengarahan dan sumbangan pemikiran dari semua pihak untuk menyempurnakan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH, Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum sekaligus Pembimbing II Penulis. 4. Prof. Muhammad Daud SH, selaku Pembimbing I Penulis. 5. Prof. Chainur Arrasjid SH, selaku Pembimbing III Pernulis. 6. Prof. Dr. Syafrudin Kalo SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji Penulis. 7. Dr. Syafrudin Hasibuan SH, M.H, DFM selaku dosen penguji penulis. Terima kasih yang tidak terhingga dan kasih sayang penulis persembahkan untuk Ayahanda A. Pasaribu, dan Ibunda SD. Siahaan atas iringan doa dan kasih sayang yang tidak terhingga sehingga studi perguruan tinggi ini dapat penulis Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
selesaikan.Kakakku Imerta dan Adik-adikku Ifriyenti, Ikaheleni, dan Ifoando doa dan dorongan kalian merupakan rahmat bagiku dalam menyelesaikan studi dan tugas akhir ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Nur Siti, Viktor Kenan, Zefri Simamora, Julifer Lolo, Ariffudin Harahap, Sangkot Azhar dan seluruh teman-teman S2 yang telah memberikan dukungan dan semangat hingga selesainya tesis ini. Tak lupa pula ucapan terima kasih penulis ucapkan buat Amang Boru dan Nam Boru Lala, serta ucapan salut dan terimakasih penulis ucapkan buat ketiga sahabat sejatiku Octo Siregar, Hendri Siagian, dan Eliston Hasugian, sebab dukungan semangat dari kalianlah akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi ini. Akhirnya Penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis ber doa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan Bangsa dan Agama. Amin…
Medan, 20 September 2007 Penulis,
Ifransko Pasaribu
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ................................................................................................................. i ABSTRACT............................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP.................................................................................................... v DAFTAR ISI.............................................................................................................. vi BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8 D. Keaslian Penelitian................................................................................ 8 E. Manfaat Penelitian ................................................................................ 9 F. Kerangka Teoritis.................................................................................. 10 F.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ................................................ 10 F.2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) .................... 20 F.3. Pidana (Sanksi) dan Pemidanaan ................................................... 23 F.4. Pembuktian .................................................................................... 41 G. Metode Penelitian ................................................................................. 43 G.1. Jenis dan Sifat Penelitian .............................................................. 44 G.2. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 45 G.3. Analisis Data ................................................................................ 46 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
BAB II. Pembebanan Pembuktian dalam
UU No.31 Tahun 1999 Jo.UU
No.20 Tahun 2001....................................................................................... 47 A. Pembebanan Pembuktian .................................................................... 47 A.1. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Korupsi .................... 47 A.2. Sistem Pembuktian Terbalik Merupakan Langkah Preventif dan Represif ................................................................................. 54 A.3.
Hal-hal
Yang
Mengharuskan
Sistem
Pembebanan
Pembuktian Terbalik Harus Diterapkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi ............................................................................. 66 BAB. III. Perumusan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999/UU No. 20 Tahun 2001 ........................................................................................... 86 a. Tujuan Sanksi/Pemidanaan ............................................................. 86 b. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi dan Sanksinya............................ 90 c. Patokan Sanksi/Pemidanan...............................................................103 d. Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Hukuman Maksimum ..........................................................111 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................120 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................122
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada tahun 2004 Lembaga Transparency Corupption mengeluarkan sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Menanggapi pernyataan ini negara Indonesia tidak melakukan gregat politik yang menggeliat, tidak ada gerakan massif kebudayaan, tidak juga langkah hukum, yang lantang menyuarakan gegap gempitanya tekad dan aksi yang tertata langkahnya karena sudah dijurang kehancuran karena korupsi yang sistemik dan merata vertikal dan horizontal, dan bahwa pemberantasan korupsi bisa menyelamatkan Indonesia. 1 Ternyata korupsi telah menjadi gaya hidup di Indonesia. Banyak orang begitu nikmat dan enjoy melakukan korupsi. Sedemikian banyak manusia yang melakukan korupsi, dari pusat sampai daerah. Koruptor-koruptor ini terutama adalah manusia yang menduduki jabatan strategis dalam berbagai institusi negara dan pemerintahan, dari bawah sampai atas. Korupsi telah menjadi virus ganas di tanah air yang menyebar keberbagai wilayah dengan cepat dan sungguh menakjubkan. Di mana-mana, orang yang menduduki jabatan strategis pada institusi negara/pemerintahan, berlomba-lomba melakukan korupsi. Secara bangga, gagah berani, dan riang gembira, mereka berpacu menjarah uang negara dan rakyat, tidak 1
Surat Kabar Harian Kompas, 17 Januari 2005, Hal 5.
1
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
ada rasa malu dan bersalah lagi memerankan diri sebagai koruptor yang tentunya sama persis dengan garong dan maling. Di balik pakaian rapi dan trendi, dengan pemikiran yang intelektual, para koruptor di negeri ini sebenarnya adalah garong dan maling kelas kakap, bahkan superkakap. Di negeri ini, korupsi telah dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Kelebihan mereka dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi sepertinya dijadikan modal guna memuluskan perbuatan dan keinginannya dalam mengambil uang negara tersebut. Himbauan moral, bahkan dengan menyertakan wacana agama dan Tuhan sekalipun, tidak bisa mengubah perilaku para koruptor menjadi jujur dan baik kembali. Para koruptor telah mengidap krisis moral yang sangat parah dan ketumpulan hati nurani yang akut, sehingga faktor agama tidak punya ruang dalam basis kesadaran mereka. Justru agama dijadikan kedok untuk melakukan korupsi. Terbukti, Departemen Agama adalah salah satu institusi pemerintahan yang tingkat korupsinya sangat tinggi, Karena himbauan moral dan gerakan sosial tidak mampu membendung laju korupsi, maka penegakan hukum secara tegas adalah salah satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Hukum harus memberikan sanksi yang berat kepada para koruptor. Praktik jual-beli hukum dan perkara, telah menjadi pemandangan yang biasa di negeri ini. Siapa yang kuat (kekuasaan, materi), dialah yang akan menguasai lapangan hukum dan peradilan. Dalam sejarah negeri ini, sebagaimana juga lapangan kehidupan yang lain, institusi hukum dan peradilan telah menjadi ajang korupsi dan kolusi yang kian mengganas, bahkan hingga kini. Jaringan korupsi di negeri ini Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
merupakan mafia tingkat tinggi yang sulit dilawan dan diberantas dan telah merusak institusi hukum dan peradilan. Jika dimasa orde baru, korupsi lebih banyak dilakukan dalam lingkaran eksekutif dan kroni-kroninya, maka di era kini (yang katanya “era reformasi”) korupsi telah menyebar dan merata di lembaga legislatif juga judikatif, dari pusat sampai daerah. Saat ini skala korupsi jauh lebih luas, lebih sistematis, dan lebih canggih. Di era reformasi, korupsi juga dilakukan oleh manusia-manusia “sampah” yang mengatas namakan dirinya “wakil rakyat”. Tentu saja kondisi ini jauh lebih parah dibanding zaman orde baru. Di era reformasi inilah justru terjadi megakorupsi (korupsi maha luas dan maha besar). Korupsi dinegeri ini merupakan lingkaran setan yang sulit ditebas, karena jaringan korupsi telah sedemikian luas dan dalam, serta antara para koruptor yang satu dengan koruptor lainnya saling membantu, bekerja sama, dan saling melindungi. Para koruptor saling melindungi, karena korupsi ibarat fenomena “bola salju”, jika satu atau sekelompok orang terbongkar, maka kelompokkelompok lain yang bahkan jauh lebih besar, akan terbongkar pula. Di era reformasi ini juga dengan segera perundangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi dibentuk. Dimana secara praktis dapat terlihat tujuan utama pembentukannya diarahkan untuk mampu mengembalikan dan menutupi kerugian uang negara yang terjadi pada waktu itu. Lahirnya Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibarengi dengan di undangkannya Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, jelas bertujuan untuk sesegera Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
mungkin mampu menanggulangi dan memberantas semakin maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi serta tidak lupa tujuan utama lainnya yaitu se efisien dan se efektif mungkin dapat mengurangi dan mengembalikan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan perbuatan korupsi tersebut. Kondisi negara Indonesia dari segi fiskal dan moneter pada kurun waktu pembentukan dan masa akan di undangkannya peraturan perundang-undangan yang menyangkut tentang tindak pidana korupsi tersebut diatas adalah sangat kritis dimana utang luar negeri sangat tinggi jumlahnya, usaha untuk meminta pinjaman luar negeri ini dilakukan bertujuan untuk mengisi kekosongan kas negara yang terjadi pada kurun waktu tersebut. Akan tetapi kebijakan hukum pidana (penal policy) yang diambil dalam pembentukan dan dalam usaha melahirkan perundangan tindak pidana korupsi sebagai mana tersebut diatas dirasa dan diyakini oleh sebahagian besar kalangan masyarakat pada bangsa ini benar-benar belum mampu menyentuh hakikat dari pembentukan hukum itu sendiri. Salah satu ketidak jelasan dan ketidak tegasan tersebut dapat dilihat pada pengaturan mengenai pembebanan pembuktian dan sanksi hukuman yang dirasa kurang berat dan setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tersebut. Sulit untuk dapat menyangkal bahwa korupsi sudah menjadi kultur dan kebudayaan, telah menjadi peradaban yang mendarah daging di tubuh bangsa ini, serta telah menjadi gaya hidup. Dalam fenomena korupsi dan ketimpangan sosial-
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
politik lainnya, manusia Indonesia adalah sosok yang berwatak hipokrit, tamak, korup, tidak jujur, tidak sportif, dan semacamnya. Di Indonesia yang terjadi adalah para pejabat-pejabat tetap bertahan dan mencoba mencari pembenaran atas tindakan-tindakannya. Sementara tindakantindakan pejabat ini jelas-jelas merupakan upaya menyalah gunakan wewenang, jabatan, dan kekuasaan. Jangankan mundur dari jabatannya secara sadar dan sportif, para pejabat negara, elit politik, pengusa negeri ini serta aparatur penyelenggara negara lainnya justru bergandengan tangan untuk menghempang dan menyerang orang-orang yang ingin menjadikan negara ini bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Wujud nyata dari semua perbuatan para pejabat serta aparat negara yang enggan memberangus perbuatan korupsi tersebut ialah dihasilkannya peraturanperaturan tentang pemberantasan korupsi yang setengah hati dan tanpa ketegasan menyangkut sanksi maupun hal yang esensial lainnya. Makin disadari oleh masyarakat luas bahwa korupsi merupakan masalah besar pada bangsa ini yang harus segera diatasi se efekktif mungkin. Sebab korupsi telah menimbulkan kemiskinan yang meluas, pengangguran terus menumpuk, utang negara kian membubung, layanan publik buruk, pembangunan terhambat, penyalahgunaan wewenang merajalela, pencuriaan uang rakyat secara besar-besaran dan lemahnya penegakan hukum. Bangunan logika diatas yang mendorong
praktek korupsi layak, bahkan
wajib, digolongkan dalam tindak kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime). Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Kategorisasi ini tidak lepas dari faktor kuatnya ekses atau akibat dari pencurian uang rakyat yang begitu masif tersebut, dan tidak cuma ekses yang muncul pada masyarakat saja yang membuktikan bahwa korupsi merupakan jenis kejahatan luar biasa, faktor dan alasan lain yang mendukung pernyataan tersebut yakni bahwa modus operandi dan para pelaku korupsi tersebut notabene merupakan orang-orang yang berintelektual, dan dengan keintelektualannya tersebut para koruptor berusaha memuluskan perbutannya. Bagi negara-negara industri maju, korupsi sudah dianggap sebagai penyakit dunia yang harus dikepung, dicegah dan diberantas oleh semua negara dan warga dunia. Dengan pemahaman tersebutlah maka diadakan konvensi perserikatan bangsabangsa tentang Anti Korupsi (KAK) pada tahun 2004 di Merida (Meksiko). 2 Dari konvensi tersebut maka dihasilkanlah kesepakatan-kesepakatan yang akhirnya ditandatangani secara bersama-sama oleh negara peserta yang hadir termasuk Indonesia. Pelaksanaan asas KAK sangat tergantung kemauan politik pemerintah dari negara peserta. Dalam pelaksanaan asas-asas KAK di Indonesia, yang perlu dilakukan adalah pertama, melakukan proses penyesuaian peraturan perundangan yang ada, dan kedua, melakukan pembentukan peraturan perundangan yang baru untuk mendukung asas-asas yang terkandung dalam KAK yang belum tertampung dalam peraturan perundangan yang ada. Salah satu bagian terpenting dari KAK
2
Bismar Nasution, “Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan”, (Forum No.36, 9 Januari 2005), Hal 68- 69 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
adalah satu pesan yang jelas bahwa tugas pokok pemerintah adalah: (i) melakukan pembentukan strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dituangkan dalam peraturan perundangan yang tegas dan efektif, (ii) melakukan proses pemantauannya secara berkesinambungan, dan (iii) melaksanakan penegakan hukum yang terkait dengan
penyelesaian
perkara-perkara
korupsi,
sedangkan
tugas
lainnya
didistribusikan kepada peran lembaga yudikatif, parlemen dan masyarakat sipil termasuk lembaga swadaya masyarakat. 3 Di lain pihak, jika hukum (substansi serta aparat penegak hukum) bisa berlaku efektif tentunya pencegahan dan pemberantasan terhadap para koruptor tersebut dapat segera direalisasikan, sehingga uang negara yang dikorupsi para koruptor tersebut. 4 dapat kembali kepada negara, maka bisa jadi bangsa ini tidak terpuruk, terutama dari segi ekonomi.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan Uraian latar belakang masalah di atas, maka setelah memilih mana yang perlu diteliti dan yang tidak, maka dapat dirumuskan masalah yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menanggulangi Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:
3 4
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 2003), Hal Surat Kabar Harian Kompas, OpCit, Hal 5
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
1. Bagaimana Perumusan Pembebanan Pembuktian dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi? 2. Bagaimana Perumusan Sanksi dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui
sejauh mana kebijakan hukum pidana (Penal Policy)
menyangkut Pembuktian dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mendukung penanggulangan tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menyangkut sanksi dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
telah
mendukung
penanggulangan tindak pidana korupsi.
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan hasil-hasil penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian mengenai kebijakan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
hukum pidana (penal policy) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi ini belum pernah ada dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama Jadi penelitian ini merupakan hal yang baru dan dapat disebut “asli”, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yang
jujur, rasional, objektif dan terbuka,
sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya konstruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.
E. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan,
khususnya
kebijakan
hukum
pidana
(penal
policy)
dalam
penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan masyarakat. Dengan pemahaman yang lebih luas tentang kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam pemberantasan korupsi diharapkan penyelenggaraan negara dapat bersih dan bebas dari korupsi dimasa kini dan yang akan datang.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
F. Kerangka Teoritis F.I. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah Delik pidana atau Strafbarfeit berasal dari bahasa Belanda dan bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai tindak pidana. Untuk terjemahan itu dalam bahasa Indonesia, istilah tindak pidana mempunyai ragam pengertian dan istilah, antara lain perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan pidana. Perumusan tindak pidana, ialah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman. Tindak pidana, memuat unsur-unsur: Suatu perbuatan manusia, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan perbuatan tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan itu. Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruptio berarti penyogokan. 5 Korupsi secara harafiah berarti jahat atau busuk, 6 sedangkan A.I.N. Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuap.7 Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.
5
S. Adiwinata, Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia, (Jakarta: P.T. Intermasa, Cetakan I1997), Hal 30 6 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama,1997), Hal 149 7 A.I.N. Kramer ST, Kamus Kantong Inggris-Indonesia, (Jakrta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Hal 62 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Gurnar Myrdal menyebutkan “to include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one accupies in the public life but also the activity of the bribers”. Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan,
aktivitas-aktivitas
pemerintah
atau
usaha-usaha
tertentu
untuk
memperoleh kedudukan secara tidak patut serta kegiatan lainnya seperti penyogokan). 8 Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. 9 Di Malaysia juga terdapat peraturan anti korupsi. Menurut Andi Hamzah disana tidak digunakan kata korupsi tetapi memakai istilah peraturan anti kekuasaan. Selain itu sering pula dipakai istilah resuah yang artinya sama dengan korupsi. 10 Lebih lanjut menurut Andi Hamzah, arti harfiah dari kata korupsi ialah, kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 11 Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan
8
Gurnar Myrdal, (New York, Pantheon: Asia Drama Volume II, 1968), Hal 973 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Hal 527 10 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), Hal 19 11 Ibid., Hal 9 9
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. 12 Baharuddin Lopa dan Mohamad Yamin mengatakan pengertian korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. 13 Menurut Undang-undang No.3 Tahun 1971, pengertian korupsi tercantum di dalam pasal 1 yang berbunyi: Dihukum karena tindak pidana korupsi, ialah: 1.a. barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum yang secara langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. b. barang siapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum, menyalahgunakan wewenang, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara c. barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP
12 13
Korupsi
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), Hal 31 Mohamad Yamin dan Baharuddin Lopa, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana (UU No.3 Tahun 1971), (Bandung: Alumni, 1987), Hal 6
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
d. barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan itu e. barang siapa tanpa alasan yang wajar, dan dalam waktu yang sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti tersebut pada pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada pihak yang berwajib. 2. barang siapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindakantindakan pidana tersebut dalam ayat (1) a,b,c,d,e, pasal ini. 14 Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh orang perorangan dan atau korporasi yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 15
14 15
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
E. Ciri-ciri Khusus Tindak Pidana Korupsi Korupsi dimanapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam. Beberapa diantaranya antara lain sebagai berikut 16 : 1) Dalam Proyek pengadaan barang dan jasa. Proyek pengadaan barang dan jasa merupakan lahan yang sangat empuk untuk melakukan korupsi, karena biasanya mark up harga sangat mudah dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan menaikkan harga beberapa kali lipat dari harga di pasaran; 2) Pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya tingkat pendidikan nya relatif tinggi. Oleh karena itu pelaku secara dini mampu menyembunyikan atau menutupi perbuatannya,
serta
menghilangkan
barang
bukti
yang
berkaitan
dengan
perbuatannya; 3) Perbuatan tindak pidana korupsi pada umumnya dilakukan oleh beberapa orang, baik secara bersama-sama maupun melalui perantaraan staf atau bawahan; 4) Perkara tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara; 5) Perkara korupsi umumnya terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama, akibatnya sulit untuk mendapatkan alat bukti dan barang bukti; 6) Pelaku pada umumnya adalah atasan/pimpinan dari saksi sehingga terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang sebenarnya, saksi biasanya mengatakan tidak ingat lagi kejadiannya, apakah benar-benar lupa atau
16
Muljatno Sindhudarmoko, (et al), Ekonomi Korupsi, (Jakarta: Penerbit Pustaka Quantum, 2001), Hal 21 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
sengaja untuk membantu pelaku sebagai atasannya, bahkan dipersidangan sering kali saksi mencabut keterangannya yang pernah diberikan pada tahap penyidikan, apakah karena sudah dipengaruhi
atau mendapat sesuatu imbalan atau bahkan
tekanan/ancaman, sehingga mengaburkan alat bukti atau melemahkan pembuktian. Di samping itu, pada saat persidangan saksi berhadapan langsung dengan atasannya, sehingga menimbulkan beban psikologis bagi saksi unutk mengatakan fakta yang sebenarnya di lapangan dalam memberikan keterangan; 7) Alat atau sarana dan prasarana serta modus opernadi yang dipergunakan bersifat canggih, misalnya melalui sarana multi media seperti komputer, internet, dan lain sebagainya; 8) Berbeda dengan tindak pidana umum, yang dirugikan adalah individu, sehingga korbannya cepat melaporkan kasusnya kepada aparat yang berwenang, sedangkan korban tindak pidana korupsi atau pihak yang dirugikan bukan perseorangan, melainkan negara. F. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi Perkembangan pembangunan khususnya disektor bidang ekonomi dan keuangan telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan perubahan dan peningkatan kesejahteraan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tatanan nilai di masyarakat, perubahan tatanan nilai tersebut diantaranya banyaknya sekelompok orang atau individu-individu yang menggunakan dan melakukan tindakan-tindakan penyimpangan berupa manipulasi data dan korupsi. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan eksport, peningkatan investasi melalui penanaman modal, kemudian Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
dibidang perbankan merupakan wadah-wadah yang sangat banyak ditemukan terjadinya perbuatan korupsi. Bahwa mengingat ciri-ciri khusus tindak pidana korupsi yang multi dimensi terkait dengan kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi, dan struktur/sistem ekonomi, masalah lingkungan hidup/sosial dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/budaya politik, masalah peluang yang ada didalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayanan publik. 17 Faktor-faktor yang berasal dari masa silam dan masih melekat pada masyarakat yang bersangkutan seperti solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah dianggap sebagai sebab korupsi yang lain. 18 Jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu baik dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, kesenjangan sosial ekonomi, kelemahan birokrasi/administrasi, dan lain sebagainya. Secara singkat korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain: 1) Korupsi dapat terjadi karena faktor kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri. Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa cikal bakal korupsi adalah
17
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti, 1998), Hal 72 18 Syeid Hussain Alatas, Korupsi Sifat Sebab dan Fungsi, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1987), Hal 126 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
memberi kekuasaan kepada seseorang, tetapi pendapatan yang diberikan padanya hanya cukup untuk hidup satu atau dua minggu, jelas kekuasaannya dijual untuk mempertahankan hidup. Pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya korupsi dengan sebab yang paling gampang dihubungkan, misalnya kurangnya gaji, buruknya perekonomian, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen yang buruk. 2) Korupsi dapat terjadi karena kultur (budaya). Korupsi karena kultur contohnya adalah budaya memberi hadiah sebagai ucapan terima kasih yang akhirnya sudah membudaya pada masyarakat Indonesia, sehingga mengakibatkan semakin suburnya tindak pidana korupsi di Indonesia. 3) Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang akan mudah melakukan penggelapan keuangan (korupsi). 4) Korupsi juga dapat terjadi karena arus modernisasi, Korupsi lebih banyak dijumpai pada masyarakat/negara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi yang cepat. Modernisasi yang dapat menyuburkan korupsi, dibagi dalam tiga kategori, yaitu: a) Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar masyarakat; b) Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi, karena modernisasi membuka sumber kekayaan dan kekayaan baru, hubungan sumber ini dengan kehidupan politik Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
yaitu tidak diaturnya norma-norma yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-golongan yang berpengaruh dalam masyarakat; c) Modernisasi merangsang korupsi, karena perubahan-perubahan mengakibatkan bidang kegiatan sistem politik menjadi pangkal untuk memperbesar kekuasaan pemerintah dalam melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh pemerintah. 5) Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi Kondisi ekonomi yang buruk dan tidak stabil menyebabkan timbulnya kejahatankejahatan terutama kejahatan-kejahatan terhadap harta benda. Lebih jauh bahwa kondisi ekonomi yang buruk dapat berakibat fatal yaitu sebagai faktor lahirnya kemiskinan global, kemiskinan disini dalam artian suatu faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan sering menetralisir pengaruh penting dari pendidikan, akibat yang timbul dari kemiskinan ini banyak orang-orang berpendidikan yang tidak mempunyai moral dan tanggung jawab, sehingga dengan mudahnya melakukan perbuatanperbuatan kriminal atau delik demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Selain faktor kemiskinan, faktor kesenjangan ekonomi juga menjadi faktor dan sumber terjadinya kejahatan yang dimotivasi oleh ketamakan. Pada masa ini orang melakukan korupsi bukan karena mempertahankan kehidupannya akan tetapi untuk mencukupi kelebihan materi dan kemewahan. Sebenarnya, penyebab terjadinya korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa “kesempatan dan jabatan/kekuasaan” sebagai sumber utama dari korupsi. Semua orang yang mempunyai kedua faktor tersebut cenderung menyalahgunakan jabatan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
dan menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, dengan asumsi sifat “mumpung isme/aji mumpung”, seperti dikemukakan ilmuwan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolut power tends to corrupt absolutely”. 19 Salah satu penyebab korupsi ialah lemahnya integritas moral yang turut melemahkan disiplin dari aparatnya. Disamping itu lemahnya sistem juga merupakan salah satu penyebab, tidak dapat disangkal lemahnya mekanisme diberbagai sektor birokrasi dewasa ini, seperti dikeluhkan pengusaha kecil maupun pengusaha asing, karena masih banyaknya mata rantai yang harus mereka lalui untuk memperoleh suatu izin atau fasilitas kredit. Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu bentuk perbuatan korupsi, namun kelemahan sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Ia adalah produk dari integritas moral, dan untuk memperbaiki sistem tergantung pada integritas moral, karena yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas, karena korupsi ini dilakukan dengan rapi. Selain itu umumnya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga pemberantasannya sering menghadapi hambatan.
19
Abdul Fickar Hadjar, Pengadilan Asongan:Realitas Sosial dalam Perspektif Hukum, (Jakarta: CV.Mitra Karya, 2001), Hal 127 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Di samping itu pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan negara serta partisipasi masyarakat yang lemah dalam menjalankan fungsi kontrol merupakan faktor penyebab meningkatnya korupsi di Indonesia. Faktor lain yang sering dianggap sebagai penyebab merebaknya korupsi adalah korupsi dianggap sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari. F.2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Secara umum, pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisiean untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif. 20 David L. Sills menyatakan bahwa pengertian kebijakan (policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan. 21 Dalam beberapa tulisan, ada pula yang menterjemahkan “policy” dengan kebijaksanaan, seperti Muhadjir Darwin menterjemahkan “publik policy analysis” karya William N. Dunn dengan “analisa kebijaksanaan publik”. 22 Solichin Abbdul
20
Sultan Zanti Arbi, dan Wayan Ardana, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, (Jakarta: CV.Rajawali Jakarta, 1997), Hal.63, yang terjemahan dari `The Design Of Sosial Policy` tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood. 21 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Disertasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Hal 63. 22 William N. Dunn, Analisa Kebijaksanaan Publik, Penyadur Muhadjir Darwin (Yogyakarta: PT. Hadindita Graha Widia, 2000), Cet 6, Hal 37. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Wahab juga menggunakan istilah Kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah “policy”. Akan tetapi di dalam bukunya yang berjudul “Analisa Kebijaksanaan”, beliau juga memakai istilah kebijakan untuk menterjemahkan istilah “policy”. 23 Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 24 Selanjutnya Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundangundangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Di samping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komperatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. 25 Barda Nawawi Arief mengemukakan pola hubungan antaral Penal Policy dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengemukakan bahwa, pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus digunakan dengan pendekatan integral dan ada 23
Solichin Abdul Wahab, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, (Jakarta: Edisi Kedua, PT. Bumi Aksara, 1997), Hal 24. 24 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), Hal 23 25 Ibid, Hal 24 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
keseimbangan antara “penal” dan “non penal”. Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “ penal policy” atau “Penal Law Enforcement Policy” yang fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu : a) Formulasi (kebijakan legislatif/legislasi) b) Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) 26 c) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administrasi) 27 Masih menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan penanggulangan
kejahatan
dengan
menggunakan
pidana
(penal).
Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).28 Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan
26
Tahap Aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, yang dapat disebut juga dengan tahap kebijakan yudikatif, lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), Hal 13 - 14 27 Tahap Eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana yang dapat disebut juga dengan tahap kebijakan eksekutif atau administrasi, lihat Muladi, Ibid 28 Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai, Op Cit, Hal 29 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
(politik kriminil) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka
kebijakan
hukum
pidana
(penal
policy),
khususnya
pada
tahap
formulasi/kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undangundang (aparat legislatif), harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”. 29
F.3.Pidana (Sanksi) dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana (Sanksi) Didalam kehidupan masyarakat, seseorang atau sekelompok orang akan berhadapan dengan anggapan-anggapan perbuatan yang sedikit banyak mengikat mereka.
Anggapan-anggapan
itu
memberi
petunjuk
tentang
bagaimana
seseorang/masyarakat harus berbuat atau tidak berbuat. Anggapan-anggapan itu lazim disebut norma atau kaidah. 30 Tiap masyarakat atau golongan menghendaki agar normanya dipatuhi. Kenyataan yang terjadi tidak semua orang bisa dan mau mematuhi norma tersebut, agar norma tersebut dipatuhi, masyarakat atau golongan itu membuat/menerapkan sanksi. 31 Sebagian dari norma adalah norma hukum. Norma hukum menjadi aturan apabila norma tersebut berbentuk suatu rumusan tertentu. Salah satu norma hukum
29
Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Op Cit, Hal
73 dan 74 30
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), Hal 13 Ibid, Hal 29
31
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
adalah norma pidana. Norma hukum pidana mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana dan mengatur tentang sanksi-sanksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam norma pidana tersebut. Sanksi dalam hukum pidana yang berupa pidana merupakan sanksi negatif dan hal inilah yang membedakan sanksi hukum pidana dengan sanksi bidang-bidang hukum lain. Istilah pidana sama dengan hukuman dalam arti sempit, yakni penghukuman dalam perkara pidana. Para sarjana mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pidana, diantaranya sebagai berikut: 32 1).Sudarto Yang dimakksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 2).Roeslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. 3). Ted Honderich Pidana adalah suatu pengenaan yang dijatuhkan oleh penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada pelaku tindak pidana. (punishment is an authorities infliction of penalty something involving deprivation or distress on an offender for on offence)
32
Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang: Averroes Press, 2002),
Hal 20 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
4).H.L.A. Hart Pidana harus: a. Mengandung penderitaan atau konsekwensi-konsekwensi lainnya yang tidak menyenangkan; b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c. Dikenakan berhubungan suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum; d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar. 5). Alf Ross Pidana adalah reaksi sosial yang: a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap aturan hukum; b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar; c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekwensi-konsekwensi lain yang tidak menyenangkan; d. Menyatakan pencelaan terhadap pelanggar. Dari beberapa definisi diatas dapat disebutkan unsur-unsur atau ciri-ciri yang terkandung dalam pidana yaitu:
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
1). Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat tidak menyenangkan; 2). Pidana itu memang diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) 3). Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 33 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita, masalah tindakan ini penerapannya hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya tumbuh dengan tidak sempurna atau karena tergangu kejiwaannya (sakit jiwa). Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidana/sanksi tersebut. Menurut Rose, perbedaan antara “punishment”dengan “treatment” didasarkan pada ada atau tidak nya unsur penderitaan. Herbert L.Packerr berpendapat bahwa perbedaan antara punishment dengan treatment haruslah dilihat dari tujuannya dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan
33
Ibid, Hal 31
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
perlakuan. 34 Jadi perbedaan itu bukanlah didasarkan pada derajat ketidak kenaan atau kekejaman. Menurut Packer, dasar pembenaran dari treatment ialah pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi baik. Jadi, tujuan utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang. Jelas bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masih menurut H.L packer, pembenarannya didasarkan pada dua tujuan yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah dan untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada sipelanggar. 35 Jadi, dalam hal pidana, perbuatan mempunyai hal yang besar dan merupakan syarat yang harus ada, untuk adanya punishment tersebut. Dengan demikian, punishment memperlakukan seseorang karena orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang salah, dengan tujuan untuk mencegah terulangnya perbuatan itu dan untuk menderitakan sipelaku. Berbeda halnya dengan punishment, treatment tidak memerlukan adanya hubungan dengan perbuatan. Salah satu contoh yang dikemukakan Packer adalah memasukkan seseorang penderita sakit jiwa kerumah sakit jiwa adalah merupakan treatment tetapi bila tindakan itu atas tuntutan keluarganya dengan alasan agar tidak mengganggu tanpa suatu harapan akan menjadi
34 35
Ibid, Hal 5 Ibid, Hal 6
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
baik, tindakan demikian adalah suatu punishment. Mengenai perbedaan pidana dengan tindakan ini, Sudarto mengemukakan bahwa pidana itu adalah pembalasan atas kesalahan sipembuat, sedangkan tindakan semata-mata dilakukan untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan sipelaku pidana. 36 Secara dogmatis dapat dikatakan bahwa pidana itu ditujukan pada orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang mampu bertanggung jawablah yang mempunyai kesalahan. Bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan, oleh karena itu ia tidak dapat dipidana. Maka alternatif yang lain adalah tindakan. Dilihat secara empiris, memang pidana itu merupakan suatu penderitaan walaupun bukan merupakan suatu keharusan, hal ini disebabkan ada pidana tanpa penderitaan. Berdasarkan uraian diatas, terlihat adanya perkembangan sanksi dalam hukum pidana, yaitu berupa tindakan, ini berarti bahwa sanksi dalam hukum pidana makin dihumanisasikan terhadap pelaku tindak pidana, sementara pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan menjadi semakin tidak populer dan ketinggalan zaman. Jadi, sanksi yang merupakan tindakan serta rehabilitas narapidana menjadi semakin dianggap penting karena dianggap lebih manusiawi. 2. Aliran-aliran dalam ilmu Hukum Pidana Tujuan mengupas tentang aliran-aliran ilmu hukum pidana adalah unutuk mencari dan menemukan sistem dan teori hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Secara garis besar, aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana dapat dibagi dalam: 36
Ibid, Hal 8
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
a. Aliran Klasik Aliran klasik ini muncul sebagai reaksi terhadap ancient regime yang menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum, ketidakadilan. Aliran ini terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis, aliran ini ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi sipelaku. 37 Cesare Beccaria, yang merupakan salah satu tokoh aliran klasik, menulis essaya yang terkenal dei deliti edele pene berjudul on crimes and punishment. Menurut Beccaria, prinsip yang terpenting ialah: a). Bahwa pidana harus ditentukan sebelumnya oleh undang-undang dan bahwa hakim terikat pada undang-undang ini, dan bahwa pidana yang kejam tidak ada gunanya; b). Hakim tidak boleh menginterpretasikan undang-undang untuk menjaga kezaliman; c). Pembuat undang-undang bertugas menetapkan apa yang diancam dengan pidana dengan bahasa yang dapat dimengerti; d). Dalam mengadili setiap kejahatan hakim harus menarik kesimpulan dari dua pertimbangan, yang pertama dibentuk oleh undang-undang dengan batas berlakunya, yang kedua adalah pertanyaan apakah perbuatan konkrit yang akan dia adili itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak. 38 Pada kesempatan lain Beccaria menghendaki agar susunan hukum pidana tetap ada dan tidak berubah-ubah dengan cara hukum pidana harus tertulis seehingga 37
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), Hal 38 38 Ibid, Hal 27 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
perlindungan hukum terhadap individu dapat terlindungi. Dalam hal ini Beccaria mengemukakan
tujuan
pemidanaan
hanyalah
untuk
menghindari
supaya
sipenjahat/sipelaku jangan sampai merugikan masyarakat untuk kedua kalinya dan untuk menakuti orang lain supaya jangan melakukan kejahatan seperti itu yang sangat penting adalah akibat yang ditimbulkan oleh rakyat. 39 Tokoh lain dari aliran klasik adalah Jeremmy Bentham, ia adalah seorang filsuf Inggris yang diklasifikasikan sebagai penganut Utilitarian Hedonist. Salah satu teorinya yang sangat penting adalah dinamakan felcific calculus. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan atau diberikan pada setiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih kuat dari pada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini merupakan sumber pemikiran yang menyatakan bahwa pidana harus cocok dengan kejahatannya, sebagai mana yang ditegaskan oleh Hide Filsafat mengenai Let the punishment fit the crime, sebagai seorang pembaharu hukum pidana Bentham mengemukakan beberapa tujuan dari pidana diantaranya yaitu: a)
Mencegah semua pelanggaran;
b)
Mencegah pelanggaran yang paling kuat;
c)
Menekan kejahatan;dan
d)
Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya. 40
39 40
Ibid, Hal 30 Ibid, Hal 31
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Masih menurut Bentham, huku pidana jangan digunakan sebagai sarana pembalasan terhadap penjahat, tetapi harus digunakan untuk mencegah kejahatan. Aliran Klasik berpijak pada tiga tiang berikut: a) Asas Legalitas, yang menyatakan bahwa tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang; b) Asas Kesalahan, yang menyatakan bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan; c) Asas Pengimbalan yang sekuler, yang menyatakan bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai hasil yang bermanfaat. b. Aliran Modern Aliran Modern ini lahir pada akhir abad -19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah usaha-usaha untuk menemukan sebab kejahatan dengan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Aliran modern ini dipelopori Lambroso, Ferri, dan Garofalo. Lambroso dalam karyanya uomo delin quente menyampaikan bahwa penjahat adalah manusia yang dilahirkan sebagai penjahat yang karena keturunan tetap tinggal pada tingkat manusia primitif. Menurut pemeriksaan yang dilakukan 2/5 dari penjahat adalah penjahat karena keturunan, sedangkan yang 3/5 lagi faktor lingkungan lah yang memainkan peranan disamping telah ditentukan secara biologis. Lambroso percaya bahwa setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda sehingga merupakan kebodohan.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
3. Tujuan Pemidanaan Setelah kita membahas pengertian pidana dan aliran dalam hukum pidana maka selanjutnya, akan dibicarakan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan dapat dikemukakan dalam dua sudut pandangan, yaitu didasarkan pada tujuan pemidanaan yang tradisional dan tujuan pemidanaan sebagai perlindungan masyarakat. a. Tujuan Pemidanaan yang Tradisional Secara tradisional tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu sebagai berikut: a). Teori Absolut atau teori Pembalasan Menurut teori absolut (retributive/ver-gelding theorien), pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. 41 Dasar pembenaran dari pidana menurut teori absolut ini terletak adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Hugo de Grootius sebagai salah satu penganut teori absolut mengatakan bahwa adalah merupakan kehendak alam barang siapa yang telah melakukan sesuatu yang bersifat jahat, maka sudah layak akan diperlakukan secara jahat pula. 42 Penganut teori absolut lainnya ialah Immanuel Kant, Kant mengatakan bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat didalam apa yang disebut Kategorischen Imperative, yakni menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus 41
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), Hal 12 42 Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), Hal 12 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
dibalas. Keharusan menurut keadilan dan menurut hukum tersebut bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembalasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus di kesampingkan. 43 Tuntutan keadilan bersifat absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant didalam bukunya Philosophy of Law sebagaimana dikutip Muladi, beliau mengatakan, “Pidana
tidak
pernah
dilaksanakan
semata-mata
sebagai
sarana
untuk
mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat karena apabila demikian mereka semua dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pelanggaran terhadap keadilan umum.” Tokoh lain penganut teori absolut ialah Hegel, beliau berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekwensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban umum negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila maka pidana merupakan peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran (negation der negation). 44
43 44
Ibid, Hal 13 Ibid, Hal 12
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Seorang tokoh lagi yang menganut teori absolut ini ialah Polak, beliau menyatakan bahwa kesamaan antara sesama manusia membawa akibat bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi antara mereka secara nyata. Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan yang dialami oleh tiap-tiap individu yang menghormati hukum dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan terhadap suatu kejahatan. Masih menurut beliau, keuntungan yang semula diperoleh seorang penjahat harus diobjektifkan, karena itulah teorinya disebut “teori yang mengobjektifkan” atau objectiverings theorie. 45 Pendapat-pendapat penganut teori absolut ini pada intinya menyatakan bahwa pidana mengandung nilai moral. Cateris Paribus, dunia akan menjadi baik, bila mana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. Dengan pernyataan ini, pendapat retributif dikategorikan sebagai teori pembalasan. b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Teori relatif (utilitarian atau doeltheorieen) berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, semata-mata pada suatu tujuan tertentu. Para penganut teori relatif ini tidak melihat pidana itu sebagai pembalasan, dan karena itu, tidak mengakui bahwa pemidanaan itulah yang menjadi tujuan utama, melainkan pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain dari pemidanaan itu sendiri. Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh karena itu teori ini sering juga disebut dengan teori tujuan (utilitarian theory). Jadi, dasar pembenaran
45
Muladi, Lembaga Lepas Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), Hal 50
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
adanya pidana menurut teori tujuan terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang berbuat jahat melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. 46 Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka teori relatif ini masih dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut: i) Teori Pencegahan Umum Menurut teori ini, tujuan yang ingin dicapai adalah membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Menurut Andenaes, ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian general prevention, yaitu: a)
Pengaruh Pencegahan
b)
Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral
c)
Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum Dalam pengertian general prevention tidak hanya tercakup pengaruh
pencegahan (deterrent effect) tetapi juga termasuk didalamnya pengaruh moral atau pengaruh yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral of social paedagigcal influence of punishment) ii) Teori Pencegahan Khusus (bijzondere preventie theorieen) Para sarjana yang menganut teori ini ialah Grolman, Von List dan Karl O.Christiansen. 46
Ibid, hal 16
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Menurut Grolman, tujuan dari pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat, dengan membuat penjahatnya menjadi tidak berbahaya atau dengan membuat penjahatnya itu menjadi jera untuk melakukan sesuatu kejahatan kembali. Von List mengemukakan bahwa hukum itu gunanya untuk melindungi kepentingan hidup manusia, yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingankepentingan hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan batas-batas dari kepentingan-kepentingan hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan orang yang lain. Hukum telah menetapkan norma-norma yang harus ditegakkan oleh negara, dan negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah melanggar norma-norma tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa ancaman pidana itu sifatnya memperingatkan dan mempunyai sifat yang menjerakan, sedangkan pidana itu adalah untuk kepentingan semua warga masyarakat. Berkenaan dengan teori relatif, Christiansen mengemukakan secara terperinci tentang ciri-ciri pokok atau karakteristik dari teori tersebut sebagai berikut: 1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) 2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat 3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada sipelaku yang memenuhi syarat untuk adanya pidanya 4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah kejahatan 5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
6) Pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. iii). Teori Gabungan Sebagai pelopor teori gabungan (vereniging theorieen) adalah Pellegrino Rossi (1787-1884). Menurut pandangan teori gabungan, selain dimaksudkan sebagai upaya pembalasan atau pengimbalan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh seseorang, pidana tersebut tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil. Dengan menyimak pandangan teori gabungan ini terlihat gambaran bahwa teori ini mempunyai kecenderungan yang sama dengan yang dikatakan oleh Muladi sebagai retributivisme teleologis atau aliran integratif. Pandangan ini menganjurkan untuk mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus dan bersifat utilitarian, misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang kesemuanya harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak
pidana
yang
dengan
satu
cara
tertentu
diharapkan
untuk
dapat
mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat. b. Tujuan pemidanaan Sebagai Perlindungan Masyarakat Perbuatan jahat atau tindak pidana merupakan gejala sosial yang perlu ditanggulangi secara serius. Usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan biasa disebut sebagai politik kriminal.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Politik kriminal adalah usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. 47 Politik kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bentuk dari kebijakan mengenai perencanaan perlindungan sosial (social defence planning), yang tujuan akhirnya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 48 Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilaksanakan dengan sarana hukum pidana (penal) ataupun dengan sarana tidak menggunakan hukum pidana (non penal). Dengan demikian, pelaksanaan politik kriminal dengan sarana hukum pidana (penal) pada akhirnya juga tidak dapat dilepaskan dengan tujuan untuk mewujudkan
kebijakan
penyelenggaraan
perlindungan
dan
kesejahteraan
masyarakat. 49 Menurut Ancel, ada dua konsepsi atau interpretasi pokok mengenai social defence (perlindungan masyarakat), yaitu interpretasi tradisional dan interpretasi modern. 50 Secara tradisional, pengertian perlindungan masyarakat yaitu “penindasan kejahatan” (repression of crime). Jadi, menurut penafsiran pertama ini social defence diartikan sebagai perlindungan masyarakat terhadap kejahatan (the protection of society againts crime). Oleh karena itu, penindasan kejahatan merupakan “the essential needs of social defence”, sedangkan interpretasi modern tentang perlindungan masyarakat
47
Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1975), Hal 38 Muladi & Arif Barda Nawawi, Loc Cit, Hal 54-55 49 Ibid, Hal 55 50 Ibid, Hal 149 48
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
dalam arti pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelanggar (the prevention of crime and the treatment of offenders) Senada dengan pendapat Ancel tentang makna perlindungan masyarakat dalam penafsiran yang modern, Bassiouni mengemukakan tujuan yang ingin dicapai oleh pidana, yaitu kepentingan-kepentingan sosial yang ingin dilindungi oleh hukum pidana, yaitu: a) Pemeliharaan tertib masyarakat; b) Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahayabahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; c) Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum; d) Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. 51 Menurut Arief, tujuan pemidanaan berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahtaraan masyarakat merupakan induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori mengenai tujuan pidana (pemidanaan). Lebih lanjut Arief mengemukakan secara ringkas tujuan pemidanaan yang mengandung dua aspek pokok, yaitu: (1) aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana dan (2) aspek perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. Aspek pokok pertama meliputi tujuantujuan: mencegah, mengurangi/mengendalikan tindak pidana, dan memulihkan keseimbangan masyarakat yang perwujudannya antara lain: menyelesaikan konflik, 51
Ibid, Hal 70
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau kerusakan yang timbul, memperkuat nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aspek pokok yang kedua bertujuan
memperbaiki
sipelaku,
seperti:
melakukan
rehabilitasi
dan
memasyarakatkan kembali sipelaku, mempengaruhi tingkah laku sipelaku untuk tertib dan patuh pada hukum, melindungi sipelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang diluar hukum. 52 Masih berkaitan dengan tujuan pemidanaan berupa perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, Roeslan Saleh mengemukakan ada tiga tujuan yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana, yang pertama koreksi, kedua resosialisasi, ketiga pengayoman kehidupan masyarakat. 53 Koreksi artinya bahwa terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan itu sebagai peringatan bahwa perbuatan seperti itu tidak boleh berulang lagi. Resosialisasi adalah usaha yang bertujuan untuk menjadikan terpidana dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan kejahatan lagi ketika ia telah selesai menjalani hukumannya. Dengan demikian tujuan pemidanaan disini adalah pengayoman kehidupan masyarakat berupa pengenaan sanksi/pidana bagi mereka yang melakukan kejahatan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, tidak ditemukan tujuan pemidanaan, tetapi bisa dilihat dari usul rancangan KUHP pada pasal 51 ayat (1) dan (2) yakni:
52 53
Ibid, Hal 167 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Grafika Baru, 1984), Hal 5
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
(1) Pemidanaan bertujuan untuk: (1) a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; (1) b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; (1) c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 54 Sehubungan dengan perumusan tujuan pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP tersebut diatas, Sudarto mengatakan, bahwa dalam tujuan pertama tersimpul pandangan perlindungan masyarakat (social defence), sedang dalam tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat mengenai “adat reactie”, sedangkan tujuan yang keempat bersifat spritual yang sesuai dengan sila pertama Pancasila. 55 F.4. Pembuktian Yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu usaha atau peristiwa untuk menentukan dan menemukan kebenaran mengenai bersalah tidaknya terdakwa terhadap tindak pidana yang didakwakan padanya. 56
54
Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991-1992, Naskah Rancangan KUHP (baru), Hal 12 Muladi, Jenis-Jenis Pidana Pokok Dalam KUHP Baru, (Jakarta: BPHN, 1986), Hal 4 56 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana (suatu Pengantar), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1989), Hal 106 55
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, Hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau seseorang memang bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat dan atau jangan terlalu ringan, tetapi hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya. Teori tentang pembuktian ada empat (4) macam, yaitu: (1). Teori Pembuktian Positif, Bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Keyakinan hakim menurut teori ini harus dikesampingkan; (2). Teori Pembuktian Negatif, bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. Terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, apabila alat-alat bukti ada ditambah keyakinan hakim sendiri. Artinya kewajiban atau beban pembuktian awal guna membuktikan bahwa terdakwa bersalah berada pada Jaksa Penuntut Umum, dan jika JPU tidak mampu menghadirkan bukti-bukti yang memberatkan terdakwa, maka hakim berdasarkan pembuktian tersebut dapat menarik keyakinannya yang selanjutnya menjatuhkan putusan, KUHAP menganut teori ini; Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
(3). Teori Pembuktian bebas, Bahwa alat-alat bukti dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam undang-undang. Teori ini mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, akan tetapi tidak ditentukan atau tidak diatur dalam undang-undang; (4). Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan, bahwa hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusan tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. 57 Asas pembuktian yang dianut oleh KUHAP, adalah asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah). Dengan demikian dapat dimaklumi, bahwa hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) menganut teori pembuktian negatif. Hal ini jelas terlihat dari bunyi pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. G. Metode Penelitian Kata metode berasal dari bahasa yunani “methods” yang berarti jalan dan cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 58
57 58
Ibid, Hal 110 Koentjara Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997),Hal
16 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Penelitian 59 dalam bahasa Inggris “research”, yang berawal dari kata “re” yang berarti “kembali” dan “to research” yang berarti “mencari”, pada dasarnya yang dicari itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan yang didapatkannya lewat kegiatan berfikir dengan menggunakan logika yang ditempuh melalui proses penalaran.
G.1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan di Indonesia. Mengambil istilah Ronald Dworkin, Penelitian semacam ini juga disebut dengan peneltian doctrinal (doctrine research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.60 Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisir dan menganalisis teori-teori dan peraturanperaturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. 59
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20,(Bandung: Alumni, 1994), Hal 94 60 Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada dialog interktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,18 Februari 2003), Hal 1 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
G.2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi, teori, atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Dari sudut informasi, maka penelitian kepustakaan dapat dibagi atas tiga kelompok, 61 yaitu: a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian ini. 62
61
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press 2003), Hal 17 62 Ronny Haitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta: Ghalian Indonesia, 1982), Hal 24 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
c. bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, majalah dan jurnal ilmiah. 63 G.3. Analisis Data Dalam analisis data akan dilakukan penelaahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. Data yang berupa penelitian tersebut akan dianalisis secara deduktif agar sampai pada suatu kesimpulan akhir yang akan menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian ini. 64
63
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Raja Grafindo Persada, 1995), Hal 13 64 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), Hal 196 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
BAB II PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DALAM UU NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pembebanan Pembuktian A.1. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Korupsi Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha untuk membuktikan seseuatu (objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan caracara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu benar-benar terbukti menunjukkan kesalahan atau tidak. Sistem pembuktian mengacu pada ketentuan tentang standar-standar dalam hal membuktikan sesuatu in casu kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana yang didakwakan. Seperti dalam sistem negatif menurut undang-undang yang terbatas (negatief wettelijk) dalam pasal 183 KUHAP, standar bukti untuk menyatakan terbuktinya kesalahan terdakwa, ialah : (1). Harus ada atau berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; (2). Dari dua alat bukti itu hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya. Sedangkan sistem pembebenan pembuktian mengacu pada pihak mana yang dibebani kewajiban membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan, juga mengenai standar pengukur untuk menemukan terbukti tidaknya pembuktian.
47
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Berpijak dari sistem pembuktian dan sistem pembebanan pembuktian tersebut diatas, maka kekhususan dalam hukum acara pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan pembuktian (burden of proof). Pada dasarnya, sistem pembuktiannya sama dengan memberlakukan pasal 183, kususnya bagi hakim dalam menilai alat-alat bukti. Standard yang harus diturut untuk menyatakan terbuktinya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan tetap terikat pada ketentuan pasal 183 KUHAP. Ini merupakan ketentuan asas pokok atau merupakan fondasi hukum pembuktian acara pidana, yang tidak dengan mudah disimpangi oleh hukum pembuktian acara pidana khusus. Jadi, sungguh berbeda dengan apa yang sering didengar, bahwa sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem terbalik. Sesungguhnya yang dimaksud adalah
sistem
pembebanannya
yang
menganut
sistem
terbalik
(walaupun
sesungguhnya semi terbalik) Di dalam sistem pembebanan pembuktian yang khusus dan lain dari pembuktian umum, disamping memuat ketentuan pihak mana (jaksa penuntut umum atau terdakwa) yang dibebani untuk membuktikan, memuat pula pelbagai ketentuan, antara lain: 1. Tentang tindak pidana atau dalam hal mana berlakunya beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau penasihat hukum atau kedua-duanya. Misalnya, beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau terdakwa dalam hal korupsi suap menerima gratifikasi, jika nilainya Rp 10 juta atau lebih ada
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
pada terdakwa, dan bila kurang dari Rp 10 juta beban pembuktiannya ada pada jaksa penuntut umum (pasal 12 B) 2. Tentang untuk kepentingan apa beban pembuktian itu diberikan pada satu pihak. Seperti pada sistem terbalik, untuk membuktikan mengenai harta benda yang belum didakwakan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta benda tersebut bukan dari hasil korupsi, ditujukan untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana perampasan barang harta benda yang belum didakwakan (pasal 38 B). Berhasil atau tidaknya bergantung kepada terdakwa dalam membuktikan tentang sumber harta benda yang belum didakwakan tersebut. 3. Walaupun hanya sedikit, hukum pembuktian khusus korupsi juga memuat tentang cara membuktikan, seperti pada sistem pembuktian semi terbalik mengenai harta benda yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara korupsi yang didakwakan. Beban pembuktian menurut pasal ini dibebankan kepada terdakwa, dilakukan terdakwa dengan cara membuktikan bahwa kekayaannya, kekayaan isteri atau suami atau anaknya dll yang sesuai dengan sumber penghasilannya atau sumber tambahan kekayaan itu (pasal 37 A ayat 2), atau dalam hal terdakwa membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah bukan dari hasil korupsi, yang dilakukannya dalam pembelaannya (pasal 38 B ayat 4). 4. Tentang akibat hukum dari apa yang diperoleh dari hasil pembuktian pihakpihak yang dibebani pembuktian, seperti hakim akan menyatakan dakwaan tidak terbukti, dalam hal terdakwa dapat membuktikan tidak melakukan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
tindak pidana korupsi dalam sistem pembebanan pembuktian terbalik (pasal 37 ayat 2). Tentunya di ikuti dengan amar pembebasan (vrijspraak) terdakwa, atau dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang belum didakwakan bukan hasil dari korupsi, akibat hukumnya harta benda tersebut dianggap hasil korupsi dan hakim akan memutus barang tersebut dirampas untuk negara (pasal 38 B ayat 2). Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam perkara korupsi terdapat dalam: 1) Pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b; 2) Pasal 37; 3) Pasal 37 A; 4) Pasal 38 B. Apabila ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas dicermati, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana korupsi tentang pembuktian membedakan antara tiga sistem. Pertama sistem terbalik, kedua sistem biasa (seperti KUHAP, kewajiban pembuktian ada pada JPU dengan prinsip: negatif berdasarkan UU yang terbatas), dan ketiga semi terbalik atau biasa juga disebut sistem berimbang terbalik Sistem terbalik, maksudnya beban pembuktian sepenuhnya berada dipihak terdakwa, untuk membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi. Dalam perkara korupsi suap menerima gratifikasi (pasal 12 B) yang nilainya diatas Rp 10 juta, terdakwa dianggap bersalah. Oleh karena itu, terdakwa wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Jadi, sistem terbalik ini adalah kebalikan dari asas presumption of innocence. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Sistem terbalik hanya berlaku pada: Pertama, tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya diatas Rp 10 juta (pasal 12 B ayat (1) huruf adalah), dan kedua, terhadap harta benda yang belum didakwakan tetapi diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (pasal 38 B). Sistem semi terbalik atau berimbang terbalik, maksudnya beban pembuktian diletakkan baik pada terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang mengenai hal objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (pasal 37 A). Sistem biasa, maksudnya beban pembuktian untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut umum. Sistem ini digunakan untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya dalam hal tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta (pasal 12 B ayat (1) huruf b). Apabila beban pembuktian yang diletakkan pada syarat nilai Rp 10 juta atau lebih atau kurang dari Rp 10 juta pada korupsi menerima suap gratifikasi, maka pembebanan pembuktian mengenai tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi ini dapat disebut juga dengan sistem pembebanan pembuktian berimbang bersyarat. Disebut berimbang, karena beban pembuktian itu diberikan pada jaksa penuntut umum atau terdakwa secara berimbang. Disebut dengan bersyarat, maksudnya ialah dalam hal perimbangan beban pembuktian kepada jaksa atau terdakwa adalah diletakkan pada syarat mengenai nilai korupsi suap menerima gratifikasi yang
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
diperoleh pegawai negeri (si pembuat), apakah lebih atau kurang dari nilai Rp10 juta. 65 Menurut pengamatan peneliti Pemberlakuan pembuktian terbalik dalam UU No. 20 Tahun 2001 sesungguhnya hanya ditujukan terhadap pertambahan harta benda dan kekayaan yang dimiliki oleh terdakwa. Artinya langkah awal dalam mengusut dan membuktian bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum dan atau KPK bermuara pada ada tidaknya pertambahan harta benda dan kekayaan tersangka atau terdakwa, sedangkan untuk membuktikan perkara pokoknya, beban pembuktiannya sepenuhnya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum dan atau KPK. Hal sebagaimana tersebut diatas dapat dilihat dari bunyi pasal 37 A ayat 1 sampai dengan 3, dimana pasal tersebut menyatakan bahwa terdakwa dibebankan kewajiban pembuktian hanya terhadap adanya pertambahan harta yang dimilikinya, dan untuk membuktikan perkara pokoknya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum dan atau terdakwa ( pasal 37 A ayat (3) ). Dari rumusan pasal-pasal yang menyangkut pembebanan pembuktian tersebut timbul beberapa pertanyaan yang akhirnya menjadi masalah dalam upaya percepatan pemberantasan korupsi. Salah satu permasalahan yang muncul adalah, Apakah beban pembuktian perkara pokok berkaitan erat dan tidak berdiri sendiri dengan beban pembuktian pertambahan harta benda dan kekayaan terdakwa. Maksudnya ialah jika terdakwa
65
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2006), Hal 113 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
mampu membuktikan bahwa pertambahan harta bendanya bukan bersal dari korupsi, sementara disisi lain JPU dan atau KPK mampu membuktikan bahwa telah terjadi kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh terdakwa. Selanjutnya beban pembuktian mana yang harus digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan putusannya, dalam hal ini pasal-pasal yang menyangkut beban pembuktian yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001 ini tidak mengaturnya. Pembebanan pembuktian terbalik terhadap pertambahan harta benda dan kekayaan tersangka dan atau terdakwa sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 37 A dan Pasal 38 B ayat (1) adalah sebuah hal yang tepat akan tetapi pengaturan ini harus disertai dengan pernyataan yang menyebutkan tentang kedudukan beban pembuktian mana yang lebih tinggi dan akhirnya yang dijadikan sebagai patokan dalam menjatuhkan putusan tentang bersalah tidaknya tersangka atau terdakwa. Sesungguhnya
rumusan
pasal-pasal
yang
menyangkut
pembebanan
pembuktian sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001 belum tepat perumusannya. Hal ini dibuktikan dengan tidak dianutnya Sistem pembebanan pembuktian terbalik secara penuh terhadap perkara pokok tindak pidana korupsi. Adapun perkara-perkara pokok yang dimaksud adalah sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001. Disatu sisi pembuktian menyangkut perkara-perkara pokok sebagaimana yang dimaksud diatas adalah yang merupakan hal yang sangat sulit melakukannya, dan
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
yang semestinya pembebanan pembuktiannya dibebankan kepada terdakwa. Hal ini tentunya diakui secara tegas oleh KPK. 66 Rumusan Pasal 38 A Menyatakan bahwa segala pembuktian yang menyangkut pembuktian terbalik dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Demikianlah juga terhadap pembebanan pembuktian terbalik terhadap perkara pokok ini, adalah sebuah keharusan untuk menerapkannya dalam persidangan pengadilan.
A.2.
Sistem
Pembebanan
Pembuktian
Terbalik
Merupakan
Langkah
Preventif dan Represif Salah satu masalah paling serius yang dihadapi oleh negara Republik Indonesia adalah bagaimana memberantas korupsi di Indonesia. Setiap penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap para koruptor. Umumnya janji tersebut tidak pernah dilaksanakan secara efektif. Namun janji-janji serupa yang dibuat oleh penguasa berikutnya, tetap disambut dengan suatu harapan bahwa janji tersebut dilaksanakan secara serius. Begitu pula ketika penguasa orde baru tumbang pada bulan Mei 1998, penguasa yang menggantikannya juga bertekad memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela semasa orde baru.
66
http://www.komisihukum.go.id, Komisi Hukum Nasional, Pembuktian Terbalik dalam Revisi UU Pemberantasan Korupsi, April , 2007
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Istimewa tahun 1998, telah mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketetapan tersebut antara lain menyatakan upaya pemberantasan korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Suharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia. Dan untuk mencegah praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, ditentukan pula bahwa seorang Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
yang menjabat suatu jabatan negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara. Untuk melaksanakan kemauan politik dari MPR tersebut, Undang-Undang baru kemudian dibentuk yakni Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang disahkan tanggal 19 Mei 1999. Undang-Undang ini antara lain menentukan kewajiban setiap penyelenggara negara untuk: 1) Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya. 2) Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. 3) Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. 4) Tidak melakukan KKN 5) Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan. 6) Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela. Selain itu untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi, maka Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan pemberantasan secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
merugikan keuangan negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Kembali mengenai langkah-langkah menghentikan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme akhir-akhir ini, khususnya korupsi dalam hal penyelesaiannya selalu terbentur pada masalah pembuktian. Permasalahan inilah yang hendak penulis kaji, kaitannya dengan efektif tidaknya sistem pembuktian terbalik yang tertuang dalam rancangan amandemen UU No. 31 Tahun 1999 dalam upaya menaggulangi masalah korupsi di Indonesia serta kendala-kendala yang ada didalam sistem pembuktian tersebut. 67 Beberapa perubahan penting yang termuat dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 antara lain : 1. Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang ini meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formal dan materiil. Dengan demikian pengertian melawan hukum dalam Undang-Undang ini mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. 2. Tindak pidana korupsi dirumuskan sebagai tindak pidana formil 3. Korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi. 4. Ditentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
67
http://www.kimpraswil.go.id, AA Oka Mahendra, Pemberantasan Korupsi di Indonesia, 02/02/2006 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
5. Pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. 6. Memperluas pengertian pegawai negeri termasuk orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menggunakan modal atau fasilitas dari Negara dan masyarakat. 7. Bagi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dibentuk Tim Gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung. 8. Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim, diberi kewenangan untuk meminta langsung keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada Bank dengan mengajukan permintaan kepada Gubernur Bank Indonesia. 9. Menerapkan asas pembuktian terbalik yang bersifat terbatas yakni dengan mengatur hak terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya termasuk harta benda isteri, suami, anak-anak atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara korupsi yang bersangkutan. 9. Masyarakat diberi kesempatan untuk berperan dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Salah satu hal terpenting dalam penanganan suatu perkara pidana ialah masalah pembuktian. Hal itu dikarenakan tindakan aparat penyidik maupun penuntut umum diarahkan kepada upaya pencarian alat-alat bukti yang berkaitan dengan apa yang dilakukan tersangka yang akhirnya harus dibuktikan oleh jaksa di depan sidang pengadilan. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Dalam UU No 31 Tahun 1999 dirumuskan mengenai pengertian yang menyatakan bahwasanya tindak pidana korupsi merupakan delik formil sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan pasal 16, selain itu dalam pasal 2 dan pasal 3, bukti bahwa UU ini menganut delik formil ialah dengan dicantumkannya kata "dapat" sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsurunsur perbuatan bukan dengan timbulnya akibat kerugian negara atau perekonomian negara. Di samping itu pasal 4 UU No 31 Tahun 1999 menghapuskan keraguan selama ini dan ketidakpastian hukum serta kontroversi yang berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang selama ini menjadi alasan yang dapat menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana korupsi, dalam pasal ini ditegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana, ketentuan ini sungguh-sungguh akan menjadi tonggak penting dalam upaya pemberantasan korupsi di masa depan. Tinggal sejauh mana para pelaksana UU mampu menjadi alat efektif memberantas korupsi. Dengan demikian dalam memfungsikan suatu UU, faktor yang terpenting ialah manusia pelaksananya seperti dikatakan Prof Taverne: Berilah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik. Dengan UU yang kurang baik sekali pun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik. Sejarah panjang pemberantasan korupsi di Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Indonesia telah dimulai sejak awal-awal kemerdekaan, namun dalam kenyataannya korupsi itu semakin menjadi-jadi. Berbagai ungkapan dilontarkan untuk menggambarkan peningkatan korupsi itu, antara lain dikatakan “kalau dulu korupsi hanya di bawah meja, sekarang mejanya juga ikut dikorupsi”; Kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh jajaran eksekutif, pada masa sekarang kalangan legislatif juga ambil bagian. 68 Korupsi merupakan musuh bangsa, karena korupsi sumber kemiskinan massal dan memperlebar jurang antara kemiskinan dan kemakmuran rakyat. J.E. Sahetapy, Guru besar Hukum Pidana dari UNAIR menyatakan bahwa pengalaman selama ini memperlihatkan betapa korupsi adalah suatu binatang jalang yang sulit ditaklukkan. Mohammad Hatta beberapa dekade yang lalu benar kalau menguatirkan bila korupsi suatu waktu akan menjadi bagian dari budaya kita yang kini dipandang sebagai rancu itu. Berkorupsi seolah-olah dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Adalah suatu realita bahwa seseorang yang berurusan dengan pelayan publik merasa tidak enak kalau tidak memberikan sesuatu. Berbagai ungkapan dijadikan alasan pembenar, seperti “ucapan terima kasih”. Akankah dalam hal ini terjadi dekriminalisasi (suatu perbuatan yang dulunya dianggap kejahatan menjadi tidak jahat). 69 Proses penyempurnaan UU Pemberantasan Korupsi sungguh sangat diharapkan, khususnya yang menyangkut pembuktian dan sanksi. Alasan mengapa revisi dan penyempurnaan terhadap UU ini adalah merupakan keharusan karena hal 68
http://www.said – okezone.or.id, Mansur Kartayasa, UU Pemberantasan TP Korupsi dan Prospeknya 69 http:www.sindo.go.id, Maju Mundur Revisi UU Pemberantasan Korupsi Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
mengenai pembuktian dan sanksi yang terdapat dalam UU ini dirasakan tidak mampu mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi baik saat ini maupun pada masamasa mendatang. Harapan masyarakat dan berbagai kalangan lainnya agar revisi itu mampu menetaskan konsep politik hukum dan politik penegakan hukum secara lebih konkrit dan tegas serta merumuskan pola pengendalian tindak pidana korupsi secara lebih komprehensif, efisien, dan efektif tidak terjadi. Hal lain yang mengharuskan revisi dan penyempurnaan harus dilakukan terhadap UU ini adalah perkembangan modus korupsi kian canggih, karena kejahatan korupsi tidak hanya suatu tindakan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara. Tetapi tindak pidana itu telah menjelajah dan merasuk makin dalam pada ruang-ruang pembuat kebijakan publik sehingga dapat terjadi immunitas, kekebalan hukum pada orang tertentu dan kecenderungan legalisasi tindak korupsi. Revisi dan Penyempurnaan UU Tindak Pidana Korupsi didefinisikan sebagai rangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi sesuai Pasal 1 angka 3 UU No 30 Tahun 2002. Di dalam revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut justru tidak dirumuskan sama sekali hal ihwal mengenai tindakantindakan pencegahan tindak pidana korupsi yang di dalam UNCAC 2003 justru dirumuskan secara lebih utuh. Hal penting lain yang seharusnya dikemukakan sebagai pijakan utama revisi UU tentang Pemberantasan Korupsi tidak terlihat jelas dan tegas, yaitu, menyangkut apa yang menjadi dasar dan tujuan keadilan yang hendak
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
diletakkan dan dicapai oleh revisi UU No 20 Tahun 2001 jo UU 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Apakah revisi UU akan tetap berpijak pada teori keadilan retributive yang berakar pada mazhab Kantianisme, seperti yang dapat dilihat pada rumusan Pasal 4 UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 31/1999 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan tindak pidana, sementara, politik penegakan hukum in concreto, pemerintah juga telah menerapkan kebijakan release and discharge bagi debitor yang mau mengembalikan pinjamannya pada batas waktu tertentu, khususnya pada kasus BLBI (pada periode Presiden Megawati). 70 Begitu pun dengan sinyalemen diberikannya kebijakan karpet merah bagi debitor nakal yang ingin mengembalikan uang hasil curiannya juga pernah terjadi pada periode Presiden SBY. Perumusan pasal mengenai assets recovery berpijak pada teori keadilan pada mazhab utilitarian yang lebih menekankan manfaat dari suatu tujuan pemidanaan, bukan sekadar pembalasan sebagai suatu hukuman. Pendeknya dapat dikatakan, revisi UU Pemberantasan Tipikor telah gagal merumuskan pijakan dasar keadilan yang hendak digunakan sebagai politik penegakan hukum pemberantasan korupsi. Selama ini upaya untuk pemberantasan korupsi selalu mengandalkan keampuhan perundang-undangan yang dalam hal ini jelas-jelas merupakan produk politik. Betapa tidak, sejak pembahasan undang-undang Nomor 3 tahun 1971, 70
Ibid
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
keinginan untuk menggunakan sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) dalam Undang-undang korupsi selalu terhalang. Adakah dalam hal ini berlaku pepatah “tiba di perut dikempiskan dan tiba di mata dipincingkan”? Karena dalam pembuktian terbalik, terdakwalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yakni dengan membuktikan bahwa apa yang diperoleh bukan dari korupsi. Sulitnya pembuktian selalu dirasakan dalam penanganan korupsi, jaksa yang tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa menyebabkan terdakwa harus dibebaskan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistematisasi pemberian dalam korupsi itu terbungkus sangat rapi sehingga sulit untuk dilacak, antara lain pemberian sejumlah uang selalu diberikan dalam bentuk fisik (tunai), bukan dengan cara transfer, sebab dengan cara transfer mudah dilacak dari dan ke nomor rekening mana. Sejak kemerdekaan, Indonesia sudah memiliki sederet panjang peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dapat digambarkan sebagai berikut: Pada awal-awal kemerdekaan, pemberantasan korupsi dilakukan dengan menggunakan pasal-pasal KUHP, kemudian dengan Peraturan Penguasa Militer No.PRT/PM/06/1957 tentang pemberantasan Korupsi, Peraturan Penguasa Militer No.PRT/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda, Peraturan Penguasa Militer No.PRT/PM/011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan harta Benda yang asal mulanya diperoleh dengan perbuatan yang melawan hukum, Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.PRT/PEPERPU/013/1958 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan perbuatan korupsi pidana dan penilikan harta benda, Undang-Undang No 24/PNPS/1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
tindak pidana korupsi, Undang-Undang No 3 Tahun 1971, Undang-undang No 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No 20 Tahun 2001. 71 Biasanya kelahiran undang-undang yang baru adalah sebagai koreksi terhadap undang-undang yang lama. Salah satu masalah yang mencuat ketika pembahasan Undang-Undang No 3 Tahun 1971 adalah masalah beban pembuktian yang diarahkan pada sistem pembebanan pembuktian terbalik. Pada akhirnya Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tidak mengenal sistem pembuktian terbalik itu dengan alasan pembuktian terbalik bertentangan dengan praduga tak bersalah. Masalah yang sama juga terjadi pada saat pembahasan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang disebut sebagai undang-undang tindak pidana korupsi menganut sistem pembebanan pembuktian terbalik yang terbatas. Kemudian Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ini diperbaharui dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Di dalam undang-undang ini juga sistem pembebanan pembuktian terbalik terbatas hanya pada gratifikasi yang juga terdapat pembatasan jumlah yang dikorupsi baru dapat dilakukan pembuktian terbalik (pembalikan beban pembuktian), yaitu kalau nilai gratifikasi Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih. Gambaran di atas menunjukkan bahwa setiap pembahasan Undang-undang itu selalu dipertentangkan akan adanya keinginan dianutnya sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. Walaupun ada kecenderungan ke arah pembuktian
71
http//www.qanun-antikorupsi. Co.id, Moh Din SH MH, Qanun Anti Korupsi, Pengaturan Yang Bagaimana Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
terbalik, namun masih ada pembatasan, di satu sisi sistem pembuktian terbalik relatif ampuh dalam pemberantasan korupsi seperti yang dipraktikkan di Malaysia dan Cina. Problema pembuktian terbalik adalah dipertentangkannya sistem pembuktian ini dengan “asas praduga tak bersalah” (presumstiont of innocent). Pengertian praduga tak bersalah adalah seorang yang disangka dan didakwa wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya yang tentunya dengan bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Jaksa Penuntut Umum lah yang harus membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan melimpahkan pembuktian kepada terdakwa dalam pembuktikan terbalik, maka sudah menganggap terdakwa bersalah. Dalam hal ini yang dianut bukan lagi asas praduga tak bersalah (presumstion of innocent) malainkan praduga bersalah (presumstion of guilt). Dalam pembuktian terbalik terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah selayaknya jaksa harus membuktikan kesalahan terdakwa dalam sistem pembuktian biasa. Terdakwa yang didakwa karena ada persangkaan bahwa harta yang diperolehnya dari ketidakwajaran, harus membuktikan bahwa yang diperolehnya itu dengan cara yang halal. konsekwensinya adalah kalau dia tidak dapat membuktikan, maka dia dinyatakan korupsi. Kalaulah Sistem pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan praduga tak bersalah dijadikan suatu alasan untuk tidak sepenuhnya menganut sistem pembuktian terbalik itu, maka perlu diingat bahwa asas praduga tak bersalah bukan satu-satunya asas dalam hukum pidana. Masih banyak asas lainnya yang Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
memungkinkan asas itu dapat dikesampingkan dalam hal-hal tertentu, antara lain asas pengecualian dalam hukum dan asas lex specialis de rogat lex generalis. Adanya ketentuan (perundang-undangan) yang khusus tentu menggambarkan adanya penyimpangan ketentuan dari yang umum. Terlebih dalam hal korupsi yang sementara
kalangan
sudah
menganggap
sebagai
extra
ordinary
crime.
Melihat gejala korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, maka sebenarnya perlu kebijakan integral dalam penanggulangganya, dalam arti bukan hanya diarahkan kepada praktis operasionalnya saja, akan tetapi langkah awal yang harus diterapkan adalah legislasi, legislasi yang baik merupakan awal dari penerapan yang baik. karena perumusan ketentuan undang-undang yang dibentuk secara baik (keadilan, kemanfaatan, dan kepastian) tentu akan menjadi pijakan dasar atau landasan filosofis yang baik bagi praktis operasionalnya. Praktis operasional yang dimaksud ialah tindakan preventif dan represif harus ada didalamnya. Sebab kedua langkah dan tindakan tersebut akan menghasilkan penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari korupsi.
A.3. Hal-Hal yang Mengharuskan Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik Harus Diterapkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi
Banyaknya tindak korupsi yang dilakukan pejabat negara dan atau pegawai negeri pada birokrasi selama ini dan sebagian menjadi sorotan media publik dan dari sekian perkara yang dipublikasikan, ternyata hanya sedikit perkara tindak pidana
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu mengapa pihak berwenang sulit membuktikan tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan atau pegawai negeri.
Kesulitan pembuktian tersebut juga diakui oleh pejabat KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean ketika Komisi III DPR mengkritik kinerjanya. Kinerja KPK dinilai mengendur dalam tahun 2006 karena pemberantasan korupsi tidak sehebat di tahun 2005 lalu Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial transnasional, disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2006. 72
Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi te1ah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa
72
http:www.sindo.go.id, Op Cit
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
negara Afrika lainnya. Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. Alasan ketiga pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi adalah karena didalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antar negara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti, Kepulauan Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset hasil korupsi didukung oleh teknlogi informasi modern telah diakui sangat menyulitkan pemberantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya. 73 Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses 73
http://www.portalhukum.com, Romli Atmasasmita
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan. Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang tidak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi. Alternatif sistem pembebanan pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju adalah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian"
(balanced
probability
of
principles),
yaitu
mengedepankan
keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembebanan pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar. UU Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 12 B) dan UU Nomor 15 Tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai sistem pembebanan pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of). Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembebanan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembebanan pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik. Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999. Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karena nya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasan korupsi. Senin 24 Juli 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan menyangkut judicial review yang diajukan oleh Ir.Dawud Djatmiko, salah satu isi Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
putusan MK yakni menyatakan bahwa pembuktian dalam tipikor harus dengan menggunakan delik formil. Konsekwensi dari keputusan MK ini bagi KPK adalah KPK akan lebih sulit dalam upaya pembuktian. Keputusan MK menyimpulkan bahwa dalam pembuktian terhadap tindak pidana korupsi KPK harus menggunakan delik formil berupa peraturan perundang-undangan, dan bukan delik materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat sebagai suatu norma keadilan. MK berpendapat bahwa penggunaan hukum materiil merupakan ukuran yang tidak pasti. Keputusan MK ini sejalan dengan asas nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya, "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada sebelumnya". Korupsi yang telah disadari sebagai extra ordinary crime yang berdampak secara multiplier terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, menuntut penindakan yang extra ordinary juga. Olehnya, kehadiran Pembuktian Terbalik secara mutlak (penuh) dalam sistem pembebanan pembuktian menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam upaya pemberantasan korupsi. 74 Pemberantasan korupsi harus dengan legalitas, artinya hukum formil satusatunya ukuran yang dapat dikenakan pada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, alasannya adalah suatu kebenaran bahwa asas nullum delictum sine
74
http://www.transparansi.or.id, Fauziah Rasad, Pemberantasan Korupsi Bermula dan Berakhir Berdasar Legalitas, Agustus, 2006 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
praevia lege poenali ditujukan untuk menjamin kepastian hukum, dan didalam kepastian hukum tersebut dengan sendirinya terkandung rasa keadilan masyarakat. Adapun beberapa temuan penulis dalam legal opini ini, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencetuskan sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof) dalam kasus KKN secara selektif. Bahwa dalam sistem pembuktian terbalik, tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik
merupakan
pengingkaran,
penyimpangan,
pengecualian
terhadap
"presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam sistem pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dan menyeluruh ini akan tertuang dalam Rancangan Amandemen Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan di dalamnya yaitu Pembuktian terbalik juga bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimanfaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengusut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya peran serta masyarakat. Dengan demikian, masalah pembuktian memang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Untuk itu penulis menganggap bahwa masalah pembutian ini benar-benar harus dilakukan secara cermat selain itu yang harus juga diperhatikan adalah perlunya perbaikan-perbaikan dalam upaya penanggulangan korupsi. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan dapat mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang maka untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan Undang-undang ini juga mengatur penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suaminya, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya (sesuai dengan pasal 28 dan Pasal 37) Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Presiden Abdurrahman Wahid akhir Maret lalu menunjukkan sikap yang lebih nyata untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden menawarkan pemberlakuan asas pembuktian terbalik. Dengan pembuktian terbalik, seorang tersangka kasus korupsi atau peredaran narkotika harus mampu membuktikan asal kekayaannya. Kalau tidak bisa, dia langsung dinyatakan bersalah dan bisa dikenai sanksi. Praktisi hukum Frans Hendra Winarta mengakui, sistem pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast) merupakan cara yang jitu untuk "mematikan" pelaku korupsi. "Dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak pidana itulah yang harus membuktikan di depan pengadilan, bahwa ia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, di mana jaksa yang harus membuktikan seseorang bersalah atau tidak dalam hal terjadi tindak pidana," ungkap anggota Tim Persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Antikorupsi) itu, pada lokakarya Antikorupsi di Jakarta, akhir Maret lalu. Walaupun demikian, Frans mengakui, tak sedikit ahli hukum yang menentang penerapan asas pembuktian terbalik ini karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi, karena korupsi sudah mengakar dalam masyarakat dan bisa merusak kehidupan berbangsa, tak ada jalan lain pembuktian terbalik harus diterapkan. Apalagi sudah banyak negara yang berhasil menekan korupsi dengan menggunakan asas pembuktian terbalik. 75
75
http://www.kompas.com, Tri Agung Kristanto, Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Pembuktian terbalik sebenarnya bukanlah hal yang baru di negeri ini. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun UU Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, secara tegas mengatur penerapan asas pembuktian terbalik itu walaupun berbeda alasan yang mendasarinya dan penerapannya pada persidangan. Misalnya penerapan asas pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8/1999, adalah sebab konsumen tidak mengetahui bahan untuk proses produksi dan ketentuan distribusi yang dilakukan produsen. Konsumen perlu dilindungi, kalau dirugikan oleh produsen. Di pengadilan produsen yang harus membuktikan bahwa bahan produksi dan proses distribusi yang dilakukannya tak akan merugikan konsumen. Kalau produsen bisa membuktikan dirinya tidak "mencurangi" konsumen, dia bisa terbebas dari tuntutan ganti rugi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi) yang kini berlaku pun memberikan tempat pada asas pembuktian terbalik itu. Namun, penerapannya masih amat terbatas. Keterbatasan itu karena jaksa juga masih berkewajiban membuktikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa, sekalipun dia (terdakwa) telah gagal menjelaskan asal kekayaannya. Secara jelas, ini disebut dalam Pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 31/ 1999, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kalau dia dapat membuktikan asal kekayaanya maka keterangan tersebut dapat menjadi hal yang meringankannya. Akan tetapi, Ayat (4) Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
menyebutkan, dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik pun secara "tak langsung" dimungkinkan dalam Ketetapan (Tap) Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang hal yang sama. Pada kedua perundangan itu, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya, baik sebelum, selama, dan sesudah menjabat. Laporan kekayaan pejabat ini sebenarnya bisa menjadi "jendela" untuk melihat, apakah seorang pejabat memiliki kekayaan melebihi penghasilannya. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 pun memberikan amanat agar penyelenggara negara menjelaskan asal kekayaannya apabila dimintai keterangan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Masyarakat pun bisa berperan mengawasi, sebab kekayaan pejabat akan diumumkan. Sayang, ini pun belum bisa berjalan sesuai harapan. Harus diakui, pembuktian terbalik yang terbatas itu, yang juga diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi-UU Antikorupsi lama dan digantikan UU Nomor 31 Tahun 1999, namun untuk kasus korupsi sebelum UU Antikorupsi baru berlaku tetap dipergunakan-tidak memuaskan banyak pihak. Korupsi tetap merajalela. Ini yang mendorong pemerintah berpaling Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
pada asas pembuktian terbalik. Sekalipun lontaran usul pembuktian terbalik dari Presiden ini dinilai bernuansa politis, karena disampaikan saat Dewan Perwakilan Rakyat sedang meneguhkan niat untuk mengeluarkan memorandum kedua. Seperti berteriak di dalam gua, usul penerapan asas pembuktian terbalik dari Presiden bergema di mana-mana. Seperti seragam, hampir tidak ada orang yang menyatakan keberatan dengan usulan itu. Kalangan Dewan yang biasanya berseberangan dengan Presiden pun satu suara, mendukung mewujudkan usulan tersebut. Artinya, memang banyak orang merasakan betapa korupsi atau narkotika sudah merongrong dan hampir meluluh-lantakkan negeri ini. Sebenarnya Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR pun sudah melangkah untuk mewujudkan ide penerapan asas pembuktian terbalik itu. Pada tanggal 23 Februari 2001, 40 anggota F-PPP sudah memberikan Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Pembentukan Komisi Antikorupsi kepada pimpinan DPR untuk dibahas, sehingga menjadi RUU inisiatif Dewan. Pasal 8 Ayat (1) draf RUU usul wakil rakyat itu menandaskan, dalam melakukan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menerapkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai pembuktian terbalik sepanjang terdapat petunjuk, tersangka patut diduga telah melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 28 UU Nomor 31/ 1999 mengemukakan, dalam penyidikan tersangka wajib menerangkan seluruh hartanya, harta istri atau suaminya, harta anak-anaknya, dan harta korporasi yang terkait dengan perkara itu. Dalam penjelasan draf RUU Komisi
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Antikorupsi usulan F-PPP DPR disebutkan, bila tersangka tak bisa menjelaskan asal kekayaannya, itu cukup untuk mendakwanya di pengadilan. 76 Perdebatan asas pembuktian terbalik memang tak lagi menyangkut perlu atau tidak perlu diterapkan di Indonesia. Hampir tak ada yang keberatan asas itu diberlakukan. Persoalannya adalah dengan bentuk perundangan yang bagaimana asas pembuktian terbalik tersebut akan diterapkan. Bahkan, masyarakat lebih berharap, asas pembuktian terbalik itu bisa diberlakukan surut, sehingga bisa menjerat pelaku korupsi di masa lalu pula. Pemberlakuan surut itu rasanya tidak akan terwujud. Sebab, akan bertentangan dengan asas hukum universal, yakni seseorang tidak bisa dipidana berdasarkan peraturan yang belum ada sebelumnya. Pasal 28i Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun tegas menyatakan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Perdebatan mengenai pembuktian terbalik akhirnya mengarah pada sebuah persoalan, yakni bentuk aturan yang mewadahi asas itu, sehingga harapan masyarakat yang menginginkan pemberantasan KKN bisa lebih nyata dan tegas.
76
http://www.kompas.com, Tri Agung Kristanto, Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Bulan November 2006, KPK mengusulkan perlunya ketentuan tentang pembuktian terbalik penanganan perkara korupsi dalam UU Pemberantasan Korupsi. Menurut KPK, dalam Pembuktian terbalik, yang melakukan pembuktian adalah terdakwa, Artinya, terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Pernyataan tersebut mengingatkan kembali pada wacana pembuktian terbalik. Dimana sebelumnya pada Desember 2004, KPK meminta Pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang pembuktian terbalik. Menurut KPK, perpu ini dibutuhkan untuk mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi. 77 Kemudian pada bulan Desember 2005, KPK juga pernah mendesak pemerintah untuk segera membuat rancangan undang-undang pembuktian terbalik agar pemberantasan korupsi mengalami peningkatan. Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan didalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999. Di dalam bagian penjelasan umum, disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
77
http://www.komisihukum.go.id, Komisi Hukum Nasional, Pembuktian Terbalik dalam Revisi UU Pemberantasan Korupsi, April , 2007 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Ketentuan dalam pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari pasal 66 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Juga merupakan penyimpangan dari pasal 14 ayat (3) huruf g kovenant internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yang telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan international covenant on civil and political rights, yang menyebutkan “dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberi kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah”. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut, tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 78 Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas sebagai mana tersebut diatas, hanya terjadi disidang pengadilan. Jika pembuktian terbalik diwajibkan pada saat berstatus sebagai tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian terbalik itu dapat menjadi timbulnya permasalahan baru bagi penegakan hukum pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut disalah gunakan oleh penyidik. Penyidik dapat melakukan penyalahgunaan wewenang, dengan memeras seseorang yang telah menjadi tersangka yang diduga telah melakukan korupsi. Kekhawatiran itu selalu ada dalam wacana pembuktian terbalik sejak lama. J.E.Sahetapy mengatakan bahwa lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematik beban pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum: omkering van de bewijlast, begitulah problematik pembahasan pada waktu 78
Ibid
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak jauh berbeda secara substansial dengan apa yang dirasakan dewasa ini. Masih menurut J.E.Sahetapy, pembuktian terbalik lebih layak hanya digunakan oleh hakim, dan sama sekali tidak boleh digunakan oleh penyidik. Hal itu karena pemeriksaan yang transparan hanya terdapat di persidangan pengadilan, terlepas dari praktik yang sudah tercemar dewasa ini di kepolisian dan atau kejaksaan, penerapan beban pembuktian terbalik dalam penyidikan itu dapat menjadikan pembuktian terbalik sebagai sarana pemerasan. 79 Meski demikian, yang menyetujui pembuktian terbalik terhadap tersangka perkara korupsi, beranggapan bahwa jika pembuktian terbalik dilaksanakan secara benar, maka dapat lebih mempercepat atau mengoptimalkan pemberantasan korupsi. Hal itu karena, jika tersangka perkara korupsi diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka bukti-bukti yang diajukannya dapat menjadi bahan bagi penyidik untuk menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan pada tahap penuntutan di sidang pengadilan atau tidak. Jika dilanjutkan, bukti-bukti yang diajukan tersangka dapat menjadi bahan bagi jaksa penuntut umum untuk menguatkan dakwaan di sidang Pengadilan. Selain itu, pembuktian yang selama ini diakui, yaitu terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim, serta tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Berkaitan dengan sulitnya proses pembuktian perkara 79
Ibid
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
korupsi, oleh karena itu perlu ada langkah baru, salah satunya adalah menggunakan teori “keseimbangan kemungkinan pembuktian” (balanced probability of principles), yaitu keseimbangan yang proporsional antara perlindungan individu dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Dengan demikian, atas dasar bahwa harta kekayaan diduga kuat berasal dari korupsi, maka tersangka dapat diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa Ia tidak bersalah. Pembuktian terbalik sebagai mana diuraikan diatas, masih dalam lingkup hukum acara pidana. Dalam perkara korupsi, dikenal pula pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen hukum perdata, dan hal ini telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Instrumen hukum perdata ini belum operasional, karena hukum acara perdata yang berlaku adalah hukum acara perdata biasa tanpa ada kekhususan. Pembuktian terbalik sebagai bagian hukum acara perdata khusus, perlu dipikirkan, agar tercapai efisiensi dan efektifitas dalam penangan perkara korupsi. Wacana mengenai pembuktian terbalik ini juga ikut disuarakan oleh komisi hukum nasional, tajuk mengenai wacana pembuktian terbalik ini dimunculkan melalui seminar yang bertajuk “Beban Pembuktian Terbalik dalam Penanganan Perkara korupsi. Permasalahan yang dibahas dalam seminar tersebut yaitu mengapa pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 hanya diberlakukan terhadap tindak pidana korupsi suap menyuap saja, sementara kerugian keuangan negara yang paling banyak terjadi disebabkan oleh Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
tindak pidana korupsi penggelapan dan pencurian keuangan negara, sebuah hal yang memang patut untuk dijadikan pembahasan tentunya. 80 Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertema Beban Pembuktian Terbalik dalam Perkara Korupsi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional di Jakarta. Pembicara yang hadir dalam diskusi itu adalah pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda, perwakilan dari KPK Rooseno, dan pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji.81 Indriyanto mengatakan, setelah ia mempelajari dari sejarah hukum di Indonesia dan juga negara Anglo Saxon, pembuktian terbalik tidak dikenal, kecuali delik suap. Sebab, suap merupakan kejahatan yang tersembunyi dan sulit untuk dibuktikan. Di Indonesia, pasal suap merupakan pasal impoten. Beberapa pakar hukum berusaha menghidupkan pasal suap, tetapi tidak juga bisa. "Beban pembuktian terbalik bukan dilakukan terhadap semua pasal korupsi. Beban pembuktian terbalik hanya ada dalam satu delik, yaitu yang tercantum dalam Pasal 12 B UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 37 a yang terkait dengan perampasan harta benda terhadap para terdakwa yang didakwa dengan pasal-pasal korupsi," kata Indriyanto. Romli mengatakan, teori pembuktian yang selama ini diakui adalah pembuktian negatif atau Pasal 193 KUHAP yang menuntut pembuktian dan sejalan dengan prinsip praduga tak bersalah. Ini menyulitkan proses pembuktian kasus megakorupsi. Direktur Perdata Kejaksaan Agung (Kejagung) Yoseph Suardi 80
http://www.komisihukum.go.id, Komisi Hukum Nasional, Pembuktian Terbalik dalam Revisi UU Pemberantasan Korupsi, April, 2007 81 Ibid Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
mengusulkan, sistem pembuktian terbalik dapat dijadikan landasan hukum dan dipergunakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi "Sistem ini tidak bertentangan dengan asas hukum umum, termasuk asas yang berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM)," 82 Beliau menjelaskan, telah mencatat tiga poin penting dalam menggagas landasan hukum ini. Pertama, hukum dari ketentuan tersebut harus diperluas. Artinya, jika terdakwa tidak mampu membuktikan keabsahan kepemilikan kekayaan atau tambahan kekayaan tersebut yang dimiliki oleh terdakwa isteri, suami, anak-anak atau orang lain yang mempunyai hubungan dengannya atau perusahaannya, akibat hukumnya dapat dijadikan faktor yang memperkuat alat bukti yang ada, dan menunjukkan terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi tidak hanya instrumen pidana saja, tetapi juga melibatkan pengajuan gugatan perdata. "Maka, sistem pembuktian terbalik tentang keabsahan kepemilikan harta kekayaan berlaku bukan saja untuk proses peradilan pidana. Tetapi, juga untuk proses peradilan perdata. Sepanjang proses tersebut dapat dikualifikasikan sebagai korupsi," imbuhnya. Ketiga, kewajiban membuktikan harta kekayaan tidak hanya dibebankan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi, namun juga ahli waris."Jika ahli waris menggunakan haknya untuk menolak warisan dari koruptor (tolak boedel). Berdasarkan ketentuan pasal 1057 dan 1058 KUH Perdata, artinya jika ahli waris
82
http://www.okezone.com, Hariyanto Kurniawan, Sistem Pembuktian Terbalik Dapat Dijadikan UU, , Senin, 09 April, 2007 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
tidak mampu membuktikan harta kekayaan berasal dari kekayaan yang halal, maka hukum berasumsi dia menerima dari korupsi. Jadi, dia harus bertanggung jawab membayar kewajiban ganti rugi terhadap negara atas kerugian yang diakibatkannya," paparnya. 83
83
Op Cit
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
BAB III PERUMUSAN SANKSI DALAM UNDANG - UNDANG NO 31 TAHUN 1999 JO UNDANG – UNDANG NO 20 TAHUN 2001
1. Tujuan Sanksi/Pemidanaan Di bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions, Profesor Thomas S Kuhn mengemukakan pemikiran yang merupakan terobosan perubahan paradigma dan menentang konsep lama yang berlaku umum di kalangan ilmuwan yang berpendapat bahwa perkembangan ilmu selalu bersifat kumulatif. Thomas S Kuhn menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, perubahan tidak boleh lagi berproses lambat secara kumulatif, tetapi harus dilakukan secara 'revolusioner'. Kuhn menggambarkan adanya situasi yang dinamainya sebagai 'anomalia' yang melahirkan 'krisis'. Situasi anomalia ini muncul ketika paradigma lama tak mampu lagi menyelesaikan konflik-konflik dan penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung. Pada saat itulah dibutuhkan 'loncatan' paradigma, dari paradigma lama langsung secara revolusioner ke suatu paradigma baru. Keterpurukan hukum di Indonesia dewasa ini, dan kegagalan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak lain karena para petinggi hukum, penentu kebijakan hukum, dan para penegak hukum masih menggunakan 'paradigma hukum' lama yang tidak lagi mampu menyelesaikan berbagai problem hukum. Situasi 'anomalia' dan 'krisis' seperti yang digambarkan Thomas S Kuhn itu kini menjadi kenyataan. Untuk itu, penulis menekankan perlunya sesegera mungkin 'revolusi' keparadigmaan dalam legal thought (pemikiran hukum). Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
86
Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat (extra ordinary crime) dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan di pelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatankejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata masih akan dan harus diterapkan pada masa sekarang. Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatankejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan. 84 Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi 84
A.Zainal Abidin, et.al. Hukum Pidana (Makasar: Taufik, 1962), Hal. 133.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan. Masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Pada masa sekarang ini telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: Pemerintah harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah / negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah / negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah / negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pada pihak lain, pemerintah / negara menyerang pribadi manusia yang hendak menyerang dan mengganggu manusia lain. 85 Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang
85
http://www.usu library.com, Syahruddin Husein, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, 26 Mei, 2005 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan. Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau
menahan
calon
pelanggar
melakukan
perbuatan
jahat
yang
telah
direncanakannya. Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada. 86 Tujuan pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP 1991/1992 dinyatakan dalam pasal 51, adalah sebagai berikut : 86
Sudarto, Hukum dan Hakim Pidana (Bandung: Alumni, 1977), Hal 152.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat b. Memasyarakatkan
terpidana
dengan
mengadakan
pembinaan
sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna. c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Keseluruhan teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus, pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah tercakup didalamnya. Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.
2. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi dan sanksinya Jenis tindak pidana korupsi ini bisa kita lihat pada pasal 2 dan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001. Ada dua rumusan dalam kelompok tindak pidana ini:
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi. Rumusan ini paling banyak dipakai oleh KPK dalam menjerat para koruptor. 2. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi. Salah satu rumusan favorit yang sering digunakan untuk menjerat para koruptor, terutama para pejabat.
Suap Menyuap
Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, pasal 13, pasal 12 huruf a dan b, pasal 11, pasal 6 ayat (1) a dan b, pasal 6 ayat (2), dan pasal 12 huruf c dan d UU No. 20 Tahun 2001. Ada sekitar 8 rumusan dalam kelompok suap menyuap:
1. Menyuap pegawai negeri adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar supaya berbuat dan tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya. Selain itu menyuap pegawai negeri bisa dikatakan memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
2. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. 3. Pegawai negeri yang menerima suap adalah korupsi. Jadi menyuap maupun yang disuap adalah dikategorikan sebagai korupsi. 4. Pegawai negeri yang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya adalah korupsi. Jadi hampir mirip dengan rumusan di atas, hanya bedanya adalah pada kategori menerima hadiah, bukan memberi hadiah. 5. Menyuap hakim adalah korupsi. Hampir mirip dengan rumusan di atas, namun dalam konteks bahwa menyuap hakim untuk mempengaruhi putusan perkara. 6. Menyuap advokat adalah korupsi. Hampir sama dengan menyuap hakim namun dalam konteks untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 7. Hakim yang menerima suap adalah korupsi. Intinya adalah yang menyuap dan yang disuap adalah korupsi. 8. Advokat yang menerima suap adalah korupsi.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Pemerasan
Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 12 huruf e, g, dan f UU No. 20 Tahun 2001. Ada beberapa rumusan dalam kelompok pemerasan:
1. Pegawai negeri memeras adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Selain itu bisa dikatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang. 2. Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Dua rumusan ini seringkali terjadi di sebagian lingkungan
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
instansi pemerintah. Bagi mereka yang bekerja di instansi pemerintah pasti paham. Maka, perlu diwaspadai bahwa praktek-praktek pemotongan yang terjadi di instansi pemerintah bisa dijadikan temuan oleh KPK dan dianggap sebagai jenis tindak pidana korupsi.
Kita tahu bahwa dampak dari budaya korupsi itu adalah adanya kerugian keuangan negara. Namun dampak yang lebih mengerikan adalah hilangnya sejumlah potensi keuntungan bagi rakyat untuk hidup lebih baik. Gara-gara korupsi, rakyat harus menghadapi terpaan krisis moneter yang melanda Indonesia di tahun 1997 dan hingga sekarang dampak tersebut belum sepenuhnya hilang. Gara-gara korupsi, rakyat harus menghadapi kenyataan bahwa biaya pendidikan di negeri ini yang selangit. Gara-gara korupsi, investor asing harus mengeluarkan biaya ekstra agar bisa berbisnis di Indonesia, yang ujung-ujungnya biaya tersebut dibebankan juga pada rakyat.
Sebelumnya telah dibahas tentang rumusan korupsi mengenai kerugian uang negara, suap menyuap, dan pemerasan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai rumusan yang lainnya, yaitu penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Penggelapan dalam Jabatan
Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, b, dan c UU No. 20 Tahun 2001. Ada sekitar 5 rumusan dalam kelompok penggelapan dalam jabatan:
1. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. 2. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. 3. Pegawai negeri merusakkan bukti adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. 4. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. 5. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Perbuatan Curang
Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 7 ayat (1) huruf a sampai dengan d, pasal 7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h UU No. 20 Tahun 2001. Ada sekitar 6 rumusan dalam kelompok perbuatan curang:
1. Pemborong berbuat curang adalah korupsi. Definisinya adalah pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. 2. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. 3. Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI/Polri melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. 4. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
keperluan TNI/Polri dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. 5. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. Definisinya adalah orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI/Polri yang membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. 6. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Hanya terdapat satu rumusan dalam benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurus adalah korupsi, yang terdapat dalam pasal 12 huruf i UU No. 20 Tahun 2001. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Gratifikasi
Sama halnya dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi atau hadiah hanya memiliki satu rumusan, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK adalah korupsi, yang terdapat dalam pasal 12 B jo. pasal 12 C UU no. 20 Tahun 2001. Rumusan definisi ini agak rumit, yaitu setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun rumusan ini tidak berlaku bila penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Ada beberapa sebab mengapa korupsi di Indonesia sangat sulit diberantas. Selain karena korupsi telah menjadi budaya, juga korupsi terjadi karena adanya kerjasama dengan pihak lain yang ikut menikmatinya atau bahasa populernya, korupsi berjamaah. Dengan kata lain, pihak satu dengan lainnya akan berusaha sekuat tenaga menutupi perbuatan tersebut. Untuk itu, dalam tulisan kali ini akan dipaparkan beberapa jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana tersebut adalah:
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
1) Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001. Definisinya adalah setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. 2) Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 yang dikaitkan dengan pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Definisinya adalah setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar tentang seluruh harta bendanya dan harta benda suami atau istri, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. 3) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 yang dikaitkan dengan pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Definisinya hampir mirip dengan jenis tindak pidana sebelumnya, namun lebih mengarah pada pihak Bank yang diduga menyimpan harta benda hasil korupsi.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
4) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 yang dikaitkan dengan pasal 35 UU No. 31 Tahun 1999 No UU No. 20 Tahun 2001. Definisinya hampir mirip dengan jenis tindak pidana sebelumnya, namun lebih berkaitan dengan kesaksian atau saksi ahli. 5) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 yang dikaitkan dengan pasal 36 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Definisinya hampir mirip dengan jenis tindak pidana sebelumnya, namun lebih berkaitan dengan orang yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya yang diwajibkan menyimpan rahasia. Hal ini dikecualikan bagi petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia. 6) Saksi yang membuka identitas pelapor. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 yang dikaitkan dengan pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001. Definisinya adalah saksi yang dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Perlu diketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan bentuk kejahatan luar biasa, sehingga perlu adanya upaya-upaya hukum yang tegas, tidak hanya yang terkait langsung dengan tindak pidana korupsi itu sendiri, tetapi juga tindak pidana lain yang memungkinkan terhambatnya proses hukum para koruptor. Ibarat tikus, para koruptor tidak akan pernah berhenti untuk mencari celah apapun yang memungkinkan proses hukum terhadap mereka bisa terhambat, bahkan membebaskan mereka dari segala upaya hukum. Sanksi yang diancamkan terhadap pelanggar pasalpasal sebagaimana yang telah disebutkan diatas tentunya beragam, keberagaman ancaman sanksi tersebut didasarkan pada seberapa besar dampak yang akan timbul dari perbuatan korupsi tersebut kepada masyarakat dan atau negara.Akan tetapi terdapat kejanggalan menyangkut ancaman sanksi ini.
Kejanggalan tersebut terdapat pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, dimana pasal ini hanya mengancamkan hukuman penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun terhadap pegawai negeri dan atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangannya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Perumusan Pasal ini terlihat kurang tepat alasannya karena, Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 yang mengatur mengenai ancaman hukuman terhadap yang bukan pegawai negeri dan atau penyelenggara negara jauh lebih berat bila dibanding dengan ancaman hukuman yang dibebankan terhadap pegawai negeri dan atau penyelenggara negara sebagi mana yang disebutkan dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Seharusnya ancaman hukuman yang terdapat dalam pasal 3 undangundang tersebut jauh lebih berat, alasannya bahwa pegawai negeri dan penyelenggara negara diberikan kewenangan, kesempatan dan tanggung jawab untuk menjaga, mengatur serta mengelola keuangan dan atau fasilitas negara. Akan tetapi kewenangan, kesempatan dan tanggung jawab tersebut justru dia pergunakan untuk memuluskan langkahnya dalam melakukan perbuatan korupsi tersebut.
3. Patokan Sanksi/pemidanaan
Salah satu permasalahan dalam hukum pidana adalah belum adanya patokan pemidanaan minimum dan maksimum untuk tindak pidana yang menarik perhatian masyarakat seperti korupsi, narkoba, terorisme dan money laundring. Padahal salah satu kesimpulan dalam Rapat Kerja Nasional Terbatas MA dengan para Ketua PT seIndonesia pada bulan September 2001 lalu adalah menyepakati perlunya patokan pemidanaan minimum dan maksimum untuk tindak pidana yang menarik perhatian masyarakat. Namun hingga kini, patokan yang dimaksudkan belum juga terbentuk. Akibatnya hakim masih memiliki kewenangan yang sangat luas dalam menjatuhkan pidana. "Tanpa adanya patokan pemidanaan tersebut bisa jadi putusan di atas dijadikan pedoman atau jurisprudensi bagi hakim lain dalam memutus kasus serupa". Karena itu banyak akademisi, meminta agar MA segera menyusun patokan
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
pemidanaan agar disparitas putusan dapat dihindari dan ada konsistensi dalam pemidanaan.
Untuk kasus korupsi, hukuman maksimal hanya dijatuhkan berdasarkan pertimbangan keadaan sosial yang tengah berlangsung di dalam negeri. Adapun bagi kasus narkotika dan terorisme hal semacam itu tidak ada. Begitu pula dengan keterlibatan pejabat publik dalam ketiga jenis kasus tersebut. Baik dalam kasus narkotika maupun terorisme, keterlibatan pejabat publik hanya dapat dinyatakan "tidak jelas". Artinya, walau sementara masyarakat menduga ada oknum pejabat publik yang kadangkala ikut bermain dalam kedua kasus tersebut, tetapi sampai saat ini dugaan itu belum dapat dibuktikan secara hukum. Dalam kasus korupsi, keterlibatan pejabat publik menjadi sesuatu yang jelas, karena seringkali pejabat bersangkutanlah yang merupakan pelaku tindak pidana tersebut, dan tentunya tanpa keterlibatan pejabat publik niscaya tidak mungkin terjadi tindak pidana korupsi. 87
Dengan adanya keterlibatan pejabat publik dan adanya "catatan" dalam ancaman sanksi maksimal kasus korupsi, bakal tidak mengherankan bila proses penerapan hukuman maksimal (hukuman mati) pun tidak akan "semulus" kasus narkotika dan terorisme. Maksud hukuman mati "dengan catatan" dalam penjelasan di atas adalah sebagaimana isi dari Pasal 2 (2) UU No 31 Tahun 1999 yang menyatakan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu 87
http://www.pu.go.id, Achmad Ali, Ambisi Untuk Memberantas Korupsi
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Pidana mati dapat dijatuhkan". Berdasarkan penjelasan UU ini, yang dimaksud "keadaan tertentu" adalah "apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter". Dari keempat keadaan tertentu itu, hanya keadaan krisis ekonomi dan moneter yang dapat dengan mudah dirasakan. Kendati demikian walau Indonesia mengalami krisis semacam itu pada 1998 hingga tahun 2000, toh tidak ada tersangka koruptor yang divonis mati. UU No 31 Tahun 1999 pun diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Batasan keadaan tertentu merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan. Dalam penjelasannya, batasan tersebut dinyatakan sebagai keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi". Dengan digunakannya batasan baru "keadaan tertentu" tersebut, ancaman hukuman mati pun semakin jauh dari realita. Bahkan terhadap bencana tsunami pun, jika pemerintah menilai peristiwa itu sebagai peristiwa lokal, karena dampak kerugian
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
yang ditimbulkan tidak merata di hampir sebagian besar wilayah Indonesia, bila terdapat koruptor, ia akan sulit dijerat dengan pasal tersebut. Hal paling pokok yang akan menghadang penerapan sanksi hukuman mati bagi koruptor adalah UUD 45 yang secara hierarki berada di atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 28 I (1) UUD 45 dinyatakan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Keberadaan Pasal 28 I (1) UUD 45 di atas pada dasarnya cukup untuk meniadakan hukuman mati, bukan saja didalam kasus korupsi, tetapi juga kasus-kasus lainnya. 88 Ancaman hukuman seumur hidup untuk kasus korupsi, sudah dikenal sejak pemberlakuan UU No 3/1971. UU No 31/1999 yang menggantikannya membawa kemajuan, yakni sanksi hukuman mati (Pasal 2 ayat 2). Pasal 2 dari UU tentang pemberantasan korupsi ini membangun harapan masyarakat terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor, sebagaimana diberlakukan atas kasus-kasus narkotika dan terorisme. Pertimbangannya, tindak pidana korupsi telah menimbulkan dampak sosial yang luas. Seperti China, ekonominya melaju pesat beriringan kencangnya pemberantasan korupsi. Dalam kurun waktu lima tahun (2000-2005), belasan koruptor kakap bertitel gubernur, wakil gubernur, wali kota, wakil wali kota, pimpinan partai dan presiden direktur bank telah dieksekusi mati. Di negara ini 88
http://www.polarhome.com, Widoyoko, Dilema Menghukum Mati Koruptor
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
seseorang cukup mengkorup uang negara setara Rp 4 miliar dapat dihukum mati.Berdasarkan data yang disampaikan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dalam kurun 1945-2003, dari 52 orang yang dijatuhi hukuman mati hanya 15 yang telah dieksekusi. Itupun tidak terdapat terpidana korupsi.
Pernyataan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan tentang lebih penting untuk mengedepankan pengembalian kerugian negara dibanding dengan pidananya dalam perkara korupsi, mendapat kecaman dari kalangan aktivis antikorupsi dan akademisi. Koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng Abhan Misbah menuding bahwa pernyataan Bagir itu merupakan upaya penggembosan terhadap hukum korupsi di Indonesia. Seperti diberitakan, Ketua MA dalam "Seminar Internasional Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia" di IAIN Walisongo Semarang, mengatakan, pemberantasan korupsi yang sedang digencarkan pemerintah saat ini mestinya bukan mencari tersangka pidana. Melainkan, lebih mengedepankan pengembalian uang negara.
“Hal inilah yang sekarang dilakukan di Amerika dan negara-negara Eropa. Hukum tujuannya adalah mencari keadilan. Sistem pemidanaan secara universal sudah gagal. Kalau ada solusi selain pemidanaan untuk mencari keadilan, kenapa tidak” tutur Bagir. Abhan Misbah mengatakan, secara prinsip, besar-kecil nilai kerugian tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan pidana penjara. Ia
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
berpendapat, justru pemidanaan penjara terhadap terpidana kasus korupsi kecil sebagai upaya preventif pemberantasan korupsi. "Kalau yang kecil saja dipidana penjara, apalagi yang besar, gitu kan?" 89 Abhan mengkhawatirkan, wacana yang dilontarkan Bagir itu akan menjadi preseden, terutama bagi hakim-hakim di daerah. Abhan ber argumen, semestinya sebagai Ketua MA, Bagir memberi semangat.
Hal senada diutarakan dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Sudaryono SH. Ia mengatakan, dirinya tidak sependapat dengan ide Bagir bahwa dalam pemberantasan korupsi yang terpenting adalah pengembalian uang negara. "Kalau cuma seperti itu, nanti akan ada yang berpikir, paling mengembalikan. Kalau hanya mengembalikan, orang tidak akan takut melakukan korupsi." 90 Mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta Sahlan Said yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada mengatakan, tujuan dari pemidanaan dalam perkara korupsi, selain menghukum, juga untuk mengembalikan kerugian negara. "Pemberantasan korupsi tidak akan selesai jika tidak ada hukuman berat. Jadi tidak ada solusi lain." Sekecil apa pun kerugian negara, tetap harus dilakukan pemidanaan dengan memberi hukuman penjara, denda, dan uang pengganti untuk mengembalikan kerugian negara. Guru besar hukum pidana UNDIP Prof Dr Nyoman Serikat Putra Jaya SH MH mengatakan, dalam Pasal 12 UU No 31/1999 yang diubah dan ditambah dengan 89
http://www.pu.go.id, Achmad Ali, Ambisi Untuk Memberantas Korupsi Ibid
90
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, sudah diatur hukuman terhadap terpidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5 juta. Mengenai hukuman untuk perkara korupsi di bawah Rp 5 juta, terhukum bisa dikenai pidana penjara maksimal tiga tahun dan denda Rp 50 juta. "Jadi menurut saya agak aneh jika Ketua MA mengeluarkan wacana seperti itu. Memang Ketua MA ini bikin kejutan saja," ujar dia. Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara, maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan negara. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan tentang pengertian keuangan negara Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) menyatakan penyertaan negara dalam BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Pemahaman terhadap Pasal ini adalah pada saat kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di ranah hukum privat.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Undang-undang tentang Keuangan Negara memposisikan BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik. Pada sisi lain, Pasal 11 Undang-Undang BUMN menyebutkan pengelolaan BUMN Persero dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Berarti, Undang-Undang PT sesuai dengan asas lex specialis derograt lex generalis yang berlaku bagi BUMN Persero, dengan demikian, jika terjadi kerugian di suatu BUMN Persero maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara melainkan kerugian perusahaan atau lazim juga disebut resiko bisnis sebagai badan hukum privat. Dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan aparat negara, berpegang pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan penjelasan umum. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyatakan bahwa “Penyertaan Negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara”, sifatnya tetap berada di wilayah hukum publik. Paparan diatas menunjukkan tidak adanya keseragaman mengenai pengertian keuangan negara antara kedua undang-undang sebagaimanatersebut diatas, yakni Undang-Undang tentang keuangan Negara dan Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Perbedaan pemaknaan aturan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
perundang-undangan tersebut menimbulkan kesulitan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 4. Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Hukuman Maksimum Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam- macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain-lain. Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Di Batak, jika pembunuh tidak membayar sejumlah uang atau menyerahkan sesuatu dalam bentuk barang kepada keluarga dari yang terbunuh, maka pidana mati segera dilaksanakan. Demikian pula bila seseorang melanggar perintah perkawinan yang eksogami. Kalau
di
Minangkabau
menurut
pendapat
konservatif
dari
Datuk
Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Bali pidana mati juga diancamkan bagi pelaku kawin sumban. Dikalangan suku dari Kalimantan Tenggara orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang. Di Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Sulawesi Tengah seorang wanita kabisenya yaitu seorang wanita yang berhubungan dengan seorang pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses dipidana mati. Di Kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia dipidana mati. Di Pulau Bonerate, pencuri-pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga mati. Di Nias bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan. Di pulau Timor, tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di lampung terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan, delik salah putih (zinah antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan menantu dsb) dan berzinah dengan istri orang lain. Dengan melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suku-suku bangsa Indonesa telah mengenal pidana mati jauh sebelum bangsa Belanda datang. Jadi bukan bangsa Belanda dengan WvS-nya yang memperkenalkan pidana mati itu pada bangsa Indonesia. Ancaman pidana mati juga dikenal dalam hukum Islam yang dikenal dengan nama Qishash. Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Surat AIbaQarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya sebagai berikut. Ayat 178: "Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar fidiyah kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih." Ayat 179 : “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa". Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu fidiyah. Fidiyah adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash. Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah : 91 1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden) 2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang) 91
http://www.usu library.com, Syahruddin Husein, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, 26 Mei, 2005
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang) 4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut) 5. Pasal 340 (pembunuhan berencana) 6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati) 7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati) 8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian). Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain: 1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan. 2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi. 3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak. 4. Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom. Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
6. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika 7. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati. Di Indonesia yang berlaku KUHP buatan pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918, dalam pasal 10 masih mencantumkan pidana mati dalam pidana pokoknya, padahal di Belanda sendiri pidana mati sudah dihapuskan Pada tahun 1870. Hal tersebut tak diikuti di Indonesia karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati. De Bussy membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan yang sangat terhadap ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar. Jonkers membela pidana mati dengan alasan bahwa walaupun ada keberatan terhadap pidana mati yang seringkali diajukan adalah bahwa pidana mati itu tak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui bahwa ada kekhilafan atau kekeliruan dalam putusan hakim, lalu tak dapat diadakan pemulihan hak yang sesungguhnya. Terhadap orang mati ketidak adilan yang dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi. Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita dapat menggunakannya. Bichon van Tselmonde menyatakan : saya masih selalu berkeyakinan, bahwa Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hakim maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, kedua-duanya jure divino humano. Hukuman pidana seperti juga pedang harus ada pada negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkan begitu saja. Tapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakannya. Lombrosso dan Garofalo juga termasuk yang mendukung pidana mati. Mereka berpendapat bahwa pidana mati adalah alat mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tak mungkin dapat diperbaiki lagi. Para sarjana hukum di Indonesia juga ada yang mendukung pidana mati. Diantaranya adalah Bismar Siregar yang menghendaki tetap dipertahankannya pidana mati dengan maksud untuk menjaga sewaktu-waktu kita membutuhkan masih tersedia. Sebab beliau menilai kalau seseorang penjahat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan, pidana apa lagi yang mesti dijatuhkan kalau bukan pidana mati. Sedangkan Oemar Seno Adji menyatakan bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati. Hartawi AM memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu social defence. Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama. Adanya bahaya-bahaya dan kejahatan-kejahatan besar yang menimpa dan mengancam kehidupan masyarakat, memberikan hak pada masyarakat sebagai kesatuan untuk menghindarkan dan pembelaan terhadap kejahatan dengan memakai senjata, salah satunya adalah pidana mati. Penjelasan-penjelasan diatas dapat dijadikan sebagai pandangan mengapa pidana mati layak dan harus diterapkan. Kaitan pidana mati ini terhadap tindak pidana korupsi dalam hal ini ialah bahwa undang-undang tindak pidana korupsi belum menggunakan pidana mati sebagai sanksi maksimum yang bersifat umum. Artinya konsep pidana mati memang telah dianut dalam undang-undang ini, akan tetapi belum diterapkan sebagai hukuman maksimum, karena hukuman maksimum yang dianut dalam undang-undang ini ialah pidana seumur hidup. Sebagaimana yang tertulis dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Pidana seumur hidup yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 ini haruslah dirubah, kemudian diganti dengan dianutnya pidana mati sebagai hukuman maksimum. Sehingga pidana mati tidak hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) undang-undang ini. Pemberlakuan pidana mati sebagai hukuman pokok yang bersifat maksimum tentunya harus bersifat adil dan seimbang. Artinya pidana mati hanya diancamkan terhadap tindak pidana korupsi: Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
a. Yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara diatas 1 milyar. b. Yang dilakukan terhadap dana bantuan sosial, baik itu dana bantuan sosial bencana alam maupun dana-dana bantuan sosial lainnya, yang kesemuanya diperuntukkan untuk meringankan penderitaan masyarakat yang tertimpa bencana. c. Yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. d. Serta yang dilakukan sebagai pengulangan tindak pidana korupsi. Landasan pemikiran mengapa perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara diatas Rp. 1 milyar diancam dengan hukuman mati ialah didasarkan pada: a. pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. b. Penetapan upah yang masih jauh dari taraf hidup yang layak. Yaitu hanya berkisar pada Rp.600,000,00 c. Subsidi yang diberikan oleh negara sebagai kompensasi kenaikan BBM, yang hanya Rp. 100,000,00 perbulannya Pendapatan perkapita masyarakat Indonesia berdasarkan hasil survey Bank Indonesia, edisi per November 2006 menetapkan bahwa, pendapatan perkapita masyarakat Indonesia saat ini berada pada kisaran Rp. 300,000,00. Tentunya analisaanalisa ekonomi keuangan inilah yang dijadikan pedoman dan perbandingan mengapa pidana mati sangat layak dan tepat diancamkan terhadap perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara pada batasan diatas Rp.1 milyar. Artinya jumlah uang sebesar Rp.1 milyar telah mampu menyelamatkan dan meringankan kekurangan dan Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
penderitaan manusia Indonesia sebanyak 20 orang, bila perbandingan analisa ekonomi keuangan tersebut diatas digunakan. Tentunya sangat tidak manusiawi jika masih ada aparat pegawai negeri dan penyelenggara negara yang tanpa berperikemanusiaan melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara, berdasarkan patokan minimum Rp.1 milyar hanya untuk mensejahterakan kehidupannya sendiri, sementara disisi lain manfaat dari uang sebesar Rp.1 milyar tersebut sangat dibutuhkan oleh banyak orang di bangsa ini.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka penulis mengambil kesimpulan: 1. Penerapan pembuktian terbalik terhadap pelaku tindak pidana korupsi sudah seharusnya dirumuskan dalam UU tindak pidana korupsi. Alasannya karena pembebanan pembuktian yang sekarang dianut dalam UU ini sangat tidak mendukung dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebab jaksa penuntut umum dirasakan sangat kesulitan dalam membuktikan tentang telah terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi. Kesulitan tersebut terjadi karena modus yang dilakukan oleh pelaku-pelaku tindak pidana korupsi sangat ter sistematis dan canggih, kecanggihan yang dimaksud dalam hal ini ialah perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih seperti layanan internet dan lain sebagainya. 2. Alasan mengapa hukuman mati harus dianut dalam UU ini karena sanksi yang berat dirasakan masih sangat tepat diterapkan sebagai langkah pencegahan dalam menanggulangi dan meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan negara. Mengingat tingkat pengetahuan dan kedekatan para pelaku tindak pidana korupsi dengan arus informasi dan teknologi, haruslah Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008 120
diimbangi
dengan
langkah
preventif
yang
ekstrim.
Artinya
kewenangan, kekuasaan, pengetahuan dan pemahaman mereka dengan banyak hal, haruslah diredam dan diantisipasi dengan tindakan yang tegas, ketegasan yang dimaksud adalah dengan memberikan ancaman pidana mati bagi setiap kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, pengetahuannya. Dimana kelebihan yang ada padanya seyogyanya ditujukan untuk membantu dan menolong masyarakatnya.
B. Saran 1. Pembebanan pembuktian terbalik harus diterapkan hanya didalam proses persidangan, hal ini dilakukan guna menghindari pemerasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, sebab tingkat pemeriksaan dipengadilan terbuka untuk umum, sedangkan tingkat penyelidikan dan penuntutan tidak terbuka untuk umum.
2 Penerapan sanksi pidana mati tidak ditujukan sebagai upaya balas dendam melainkan diarahkan sebagai upaya preventif. Sehingga tujuan dan cita-cita dari berdirinya negara Idonesia benar-benar dapat terwujud.
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku
Abidin A.Zainal, et.al. Hukum Pidana Makasar: Taufik, 1962 Agus Muhari Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, 2002 Alatas, Syed Hussain, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1987 Arif, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: P.T. Citra Aditya Bhakti, 1998 _____,Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Disertasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994 _______, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya, 2003
Chazawi Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2006 Dunn, N William, Analisa Kebijaksanaan Publik, Penyadur Muhadjir Darwin, Yogyakarta: PT. Hadindita Graha Widia, 2000 Hadjar Abdul Fickar, Pengadilan Asongan:Realitas Sosial dalam Perspektif Hukum, Jakarta: CV.Mitra Karya, 2001 Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT. Gramedia, 1984 Hamzah Andi dan A.Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lain, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Haitijo, Ronny, Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, Jakarta: Ghalian Indonesia, 1988) Hartono, Sunaryati C.F.G, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994 Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
122
Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998 Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty,199) Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995) Myrdal, Gurnar, Asia Drama Volume II New York: Pantheon, 1968 Ningrat, Koentjara, metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Solichin Abdul Wahab, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, Edisi Kedua, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1997 Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003 Yamin, Mohamad, dan Baharuddin Lopa, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.3 Tahun 1971), Bandung: Penerbit Alumni, 1987 Makalah Nasution Bismar, “Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan”, Forum No.36, 2005 Nasution Bismar, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada dialog interktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 18 Februari 2003 Raida
L.Tobing, “Perkembangan Kejahatan Kerah Putih Sebagai Akibat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)”, Majalah Hukum, 2002 Surat Kabar Harian Kompas, 17 Januari 2005 UNAFEI, Nikiforov dimuka peserta kursus, 1965 UNAFEI, United Nations, “Summary Report”, Resource Material Series No 7, 1974
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Sumber Internet: Syahruddin Husein, “Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia”. http://www.usulibrary.com, 26 Mei, 2005 AA Oka Mahendra, “Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. http://www.kimpraswil.go.id, 02 Februari 2006 Mansur Kartayasa, UU Pemberantasan TP Korupsi dan Prospeknya. http://www.said – okezone.or.id, “Maju Mundur Revisi UU Pemberantasan Korupsi” http:www.sindo.go.id. Moh Din SH MH, “Qanun Anti Korupsi, PengaturanYang Bagaimana” http//www.qanun-antikorupsi. Co.id Romli Atmasasmita http://www.portalhukum.com Fauziah Rasad, “Pemberantasan Korupsi Bermula dan Berakhir Berdasar Legalitas”. http://www.transparansi.or.id,Agustus, 2006 Tri Agung Kristanto, “Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999”. http://www.kompas.com Komisi Hukum Nasional, “Pembuktian Terbalik dalam RUU KUHP”. http://www.komisihukum.go.id, April, 2007 Hariyanto Kurniawan, “Sistem Pembuktian Terbalik Dapat Dijadikan UU”,. http://www.okezone.com, Senin, 09 April, 2007 Achmad Ali, ”Ambisi Untuk Memberantas Korupsi” http://www.pu.go.id,
Kamus/Peraturan Perundang-undangan A.I.N. Kramer ST, “Kamus Kantong Inggris-Indonesia”, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008
Echols, Jhon M, dan Hassan Shadil, “Kamus Inggris-Indonesia”, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1997) S. Adiwinata, “Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia”, Jakarta: P.T. Intermasa, Cetakan I, 1997 Soerjono Soekanto, Pudji Santoso,” Kamus Kriminologi”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka, 1999 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Ifransko Pasaribu : Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam Uu No. 31 Tahun 1999 Jo Uu No. 20 Tahun 2001), 2007 USU Repository © 2008