HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Cipatat merupakan salah satu Puskesmas di wilayah UPTD kesehatan Cipatat, termasuk Puskesmas DTP Rajamandala, dan Puskesmas Sumur Bandung. Puskesmas Cipatat terletak di Desa Cipatat Kecamatan Cipatat, tepatnya di Jl. Raya Padalarang-Cianjur, luas wilayah kerja Puskesmas Cipatat sekitar 4.355,94 Ha. Wilayah kerja Puskesmas Cipatat terdiri dari 4 desa, 78 RW, dan 253 RT. Adapun ke 4 desa
tersebut adalah : Desa Cipatat, Desa Citatah, Desa
Kertamukti, Desa Sarimukti. Diantara 4 desa tersebut, sebanyak 2 desa yaitu desa Cipatat dan desa Citatah berada di pinggir jalan Padalarang-Cianjur, dan 2 desa lainnya cukup jauh dari jalan raya provinsi sehingga cukup sulit untuk menjangkaunya sehingga sarana transportasi yang dipakai harus menggunakan kendaraan roda dua bila ingin mencapai pelosok. Karena dua desa berada di pinggir jalan maka kecenderungan kecelakaan lalu lintas sering terjadi Berdasarkan hasil pendataan tahun 2009 jumlah penduduk di Kecamatan Cipatat sebesar 37.939 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 18.833 jiwa dan penduduk wanita 19.106 jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani dan sebagiannya lagi sebagai buruh pabrik kapur dan batu marmer. Data puskesmas setempat menunjukan bahwa para buruh pabrik memiliki kecenderungan terkena penyakit saluran pernafasan dan TBC paru yang cukup tinggi. Dari data tersebut juga didapatkan bahwa jumlah balita yang menderita ISPA sekitar 349 dari 6.322 jiwa maka prevalensi balita ISPA di Puskesmas Kecamatan Cipatat adalah 5,52% (laporan Puskesmas Cipatat 2009). Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh Tingkat Pendidikan Sumber
daya
manusia
(SDM)
merupakan
hal
penting
dalam
pembangunan suatu bangsa dan mutunya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan latihan, kesehatan dan gizi, lingkungan hidup mereka tinggal serta kemampuan ekonomi suatu keluarga (Hapsari et al 2009). Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dapat mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, selain itu tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi terhadap keadaan status gizi anak. Menurut Sab’atmaja et al (2010) orang tua yang memiliki tingkat pendidikan
cukup tinggi mempunyai prevalensi gizi kurang yang rendah pada anaknya, sedangkan orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah umumnya balita memiliki prevalensi gizi kurang yang lebih tinggi. Karena variabel pendidikan merupakan indikator pengetahuan dan perilaku yang berhubungan dengan kesadaran individu terhadap kesehatan. Berikut adalah sebaran tingkat pendidikan orang tua contoh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran orang tua (ayah) contoh berdasarkan tingkat pendidikan Kategori
ISPA n
Tidak ISPA %
n
%
Tidak Tamat SD
1
3,3
0
0
Tamat SD
7
23,3
7
23,3
Tamat SLTP
11
36,7
7
23,3
Tamat SLTA
9
30
12
40
Perguruan Tinggi Total
2
6,7
4
13,3
30
100
30
100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan orang tua contoh balita ISPA hanya sampai tingkat SLTP (36,7%), sedangkan pada balita tidak ISPA sebanyak 40% sampai tingkat SLTA. Tingkat pendidikan mempengaruhi terhadap perilaku seseorang baik dalam pemilihan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizinya maupun pola asuh terhadap anak. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita yang rentan terhadap infeksi. Jika tingkat pendidikan rendah maka perilaku seseorang dalam upaya pencegahan maupun penanggulangan penyakit ISPA sangat rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila penanganan kurang atau buruk akan berpengaruh terhadap perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi lebih berat. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan orangtua dapat menggambarkan pendapatan keluarga maupun kemampuan seseorang dalam menyerap informasi. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut berpengaruh pada tingkat daya beli bahan makanan sebuah keluarga. Asupan makanan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pendapatan. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka daya beli bahan makanannya pun tinggi sehingga asupan makanan menjadi tinggi pula. Asupan
makanan yang kurang akan menimbulkan masalah gizi dimana masalah gizi akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat (Suhardjo 2003). Jenis pekerjaan masyarakat desa Citatah pada umumnya sebagai petani dan buruh pabrik penambang batu kapur maupun pengrajin batu marmer. Sebaran jenis pekerjaan orangtua ayah contoh dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran jenis pekerjaan ayah contoh Kategori Tidak bekerja
ISPA n
Tidak ISPA %
n
1
3,3
Petani
7
23,3
6
20
Buruh
18
60
10
33,3
Pegawai swasta
2
6,7
10
33,3
PNS
2
6,7
4
13,3
30
100
30
100
Total
0
% 0
Berdasarkan tabel diatas sebagian besar 60% jenis pekerjaan ayah contoh balita ISPA bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan pada balita tidak ISPA ayah contoh bekerja sebagai buruh dan pegawai swasta yaitu masingmasing sebesar 33,3%. Keadaan gizi erat kaitannya dengan keadaan sosial ekonomi keluarga terutama jenis pekerjaan yang mendukung terhadap tinggi rendahnya pendapatan keluarga. Jika pendapatan kurang maka masalah yang terjadi pada anak balita adalah keadaan gizi kurang dimana hal tersebut disebabkan oleh kekurangan sumber energi dan protein. Pada anak-anak, gizi kurang
dapat
menghambat
pertumbuhan,
rentan
terhadap
infeksi
dan
mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan (Almatsier 2003). Besar Keluarga Besar keluarga dalam suatu rumah tangga juga termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita. Besar keluarga juga menyebabkan bertambahnya biaya pengadaan pangan untuk dikonsumsi. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang di antara semua anggota keluarga, tahun-tahun awal masa kanakkanak yaitu pada umur satu hingga enam tahun berada dalam kondisi yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang (Suhardjo 1989).
Menurut Robert et al (1994) bahwa pertambahan jumlah anggota keluarga akan memberikan dampak merugikan kepada status gizi anggota rumah tangga termasuk anak berumur di bawah dua tahun. Bertambahnya jumlah anggota keluarga akan menyebabkan masalah kelaparan dan kesempitan ruang. Hal ini menyebabkan terbatasnya ruang gerak dan menghambat jalan sirkulasi udara sehingga memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kesehatan. Berikut adalah sebaran besar keluarga contoh dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran besar keluarga pada contoh Kategori
ISPA n
Tidak ISPA %
n
%
Keluarga kecil
15
50
22
73.3
Keluarga sedang
12
40
7
23.3
Keluarga besar
3
10
1
3.3
30
100
30
100
Total
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 30 balita yang dikategorikan menderita ISPA sebesar 50% termasuk dalam keluarga kecil dan 40% temasuk kedalam keluarga sedang, sedangkan pada kategori tidak ISPA mayoritas sebesar 73,3% termasuk kedalam keluarga kecil dan 23,3% termasuk kedalam keluarga sedang. Pada penelitian ini menunjukan bahwa besar keluarga tidak ada kaitaannya dengan kejadian ISPA di Puskesmas Cipatat, namun besar keluarga merupakan faktor yang menyebabkan anak-anak terkena penyakit ISPA. Karena banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam suatu rumah akan menghambat jalan sirkulasi udara, jika besar keluarga tidak diiringi dengan luas rumah yang sesuai maka ruangan akan menjadi sempit sehingga menyebabkan tempat tinggal menjadi kumuh dan berisiko tinggi terhadap tertularnya penyakit ISPA (Endah et al 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Victoria pada tahun 1993 menyatakan bahwa makin meningkat jumlah orang per kamar akan meningkatkan kejadian ISPA. Semakin banyak penghuni rumah berkumpul dalam suatu ruangan kemungkinan mendapatkan risiko untuk terjadinya penularan penyakit akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif rentan terhadap penularan penyakit (Depkes RI 2001). Dalam penelitian ini luas rumah dan ketersediaan fentilasi udara tidak diteliti, karena keterbatasan penelitian dan waktu yang diperlukan.
Tingkat Pendapatan Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Menurut Madanijah (2004) keadaan ekonomi keluarga relatif lebih mudah diukur dan mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Pada golongan miskin mereka menggunakan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Faktor ekonomi yang paling berperan adalah keluarga dan harga (baik harga pangan, maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Berikut adalah Tabel 10 menampilkan sebaran tingkat pendapatan keluarga contoh. Tabel 10 Sebaran pendapatan keluarga contoh ISPA
Kategori
Tidak ISPA
n
%
n
%
Miskin (
19
63,3
11
36,7
Tidak miskin (≥Rp. 139.000)
11
36,7
19
63,3
Total
30
100
30
100
Tingkat pendapatan berdasarkan BPS pusat (2004) yaitu sebesar Rp. 139.000,- per kapita per bulan, didapatkan bahwa sebagian besar (63,3%) dari rumah tangga balita ISPA tergolong miskin, sedangkan pada balita tidak ISPA sebagian besar (63,3%) tidak miskin. Dalam hal ini ISPA lebih banyak diderita oleh keluarga yang miskin, karena pada keluarga miskin rata-rata mempunyai kondisi lingkungan yang kurang baik misalnya lantai dasar rumah masih memakai semen, dinding rumah masih memakai bilik kayu, dan ketersediaan fentilasi yang kurang ditambah dengan kurangnya daya beli terhadap makanan. Jika daya beli kurang maka konsumsi makan akan menjadi kurang dan asupan energi dan zat gizi akan kurang dan tidak memenuhi kecukupan gizi. Kebiasaan Merokok dalam Rumah Determinasi tempat tinggal menentukan daerah rural dan urban dengan asumsi ada perbedaan antara daerah urban yang dihubungkan dengan kepadatan penduduk, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daerah tersebut, misalnya sanitasi lingkungan, polusi udara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslit Penyakit Menular dalam Cermin Dunia kedoteran no.70.th 1991 no 15 tentang pengaruh lingkungan terhadap penyakit ISPA menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh antara lain jumlah orang yang merokok, jumlah
rokok yang dihisap, masuknya asap dapur kedalam ruangan keluarga, fentilasi rumah yang tidak baik, jarak antara rumah dengan tempat sampah. Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi episode kejadian ISPA pada anak. Sebaran kebiasaan merokok adalam rumah contoh dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Sebaran kebiasaan merokok dalam rumah contoh
Kategori
ISPA
Tidak ISPA
n
%
n
%
Merokok
23
76,7
19
63,3
Tidak merokok
7
23,3
11
36,7
30
100
30
100
Total
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada balita ISPA dan tidak ISPA mayoritas kepala keluarga atau anggota keluarga memiliki kebiasaan merokok dalam rumah dengan anggota keluarga, masing-masing sebanyak 23 orang (76,7%) dan 19 orang (63,3%). Hampir sebagian besar keluarga mempunyai kebiasaan merokok bersama dengan anggota keluarga lain, baik pada kelompok balita ISPA maupun pada kelompok balita tidak ISPA. Kaitannya antara asap rokok dengan kejadian ISPA karena produksi CO terjadi selama merokok. Asap rokok mengandung CO dengan konsentrasi lebih dari 20.000 ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencerkan menjadi 400-500 ppm. Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terisap mengakibatkan kadar COHb di dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang merokok, adanya asap rokok yang mengandung CO juga berbahaya bagi orang yang berada di sekitarnya karena asapnya dapat terisap (Fardiaz 1992). Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI 2001). Dalam penelitian ini tidak menguji apakah kebiasaan merokok dalam rumah berhubungan dengan kejadian ISPA, namun perlu diwaspadai bahwa udara yang sudah tercemar karena penambangan kapur ditambah dengan asap dari rokok dalam rumah dapat menambah episode kejadian ISPA pada anak dan mempengaruhi proses penyembuhan penyakit ISPA menjadi lama.
Karakteristik Contoh Umur Umur merupakan faktor gizi sehingga umur berkaitan erat dengan status gizi (Apriadji 1986). Usia balita merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan dan gizi, karena masih berlangsungnya proses tumbuh kembang yang sangat pesat, yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotor, mental dan sosial. Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya perkembangan psikososial yang optimal. Oleh karena itu, pada usia ini balita sangat membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria maupun wanita pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 5 tahun karena daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga mudah menderita ISPA. Umur diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh, bayi dan balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Hal senada dikemukakan oleh Suwendra (1988), bahkan semakin muda usia anak makin sering mendapat serangan ISPA. Berikut sebaran umur contoh dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12 Sebaran umur contoh Kategori 12-36 bulan 37-59 bulan Total
ISPA
Tidak ISPA
n
%
n
%
25
83,3
24
5
16,7
6
20
30
100
30
100
80
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas 83,3% responden yang menderita ISPA berumur satu sampai tiga tahun, sedangkan 16,7% berumur empat sampai lima tahun. Hampir sama pada kelompok tidak ISPA mayoritas 80% responden berumur satu sampai tiga tahun dan 20% responden berumur empat sampai lima tahun. Menurut Endah et al (2009) umur 12-36 bulan merupakan umur yang paling sering dijumpai menderita infeksi saluran pernafasan akut dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Hal ini dikarenakan seiring bertambahnya umur asupan makan balita yang berumur 37-59 bulan jenis makanannya lebih beragam dan bervariasi sehingga asupan vitamin dan mineral dari makanan semakin baik.
Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor yang menentukan dalam status gizi, antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sangat berbeda dari segi aktifitas fisik maupun metabolisme dalam tubuh. Pada balita kebutuhan akan zat gizi belum dibedakan, namun pada saat usia 10 tahun kebutuhan akan zat gizi dibedakan menurut jenis kelamin. Berikut sebaran jenis kelamin contoh dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini : Tabel 13 Sebaran jenis kelamin contoh ISPA
Kategori
Tidak ISPA
n
%
n
%
Laki-Laki
19
63,3
13
43,3
Perempuan
11
36,7
17
56,7
Total
30
100
30
100
Berdasarkan jenis kelaminnya sebagian besar responden laki-laki mempunyai persentase sebesar 63,3% menderita ISPA, sedangkan 43,3% tidak menderita ISPA. Namun pada jenis kelamin perempuan sebesar 56,7% tidak menderita ISPA, hal ini tidak sejalan dengan pernyataan dari Depkes RI (2002) yang menyatakan bahwa balita perempuan lebih rentan menderita ISPA dari pada laki-laki disebabkan karena daya tahan tubuh laki-laki lebih kuat di bandingkan dengan perempuan. Hal ini diduga karena anak laki-laki lebih banyak beraktifitas bermain diluar rumah, dan sering menghirup udara yang sudah tercemar akibat penambangan batu kapur tersebut. Akan tetapi hal tersebut merupakan asumsi saja, disini peneliti akan melakukan percobaan analisis sebab akibat perbedaan sebaran jenis kelamin dengan membandingkan rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA menurut jenis kelamin. Tabel 14 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh balita ISPA dan tidak ISPA menurut jenis kelamin per hari Rata-rata asupan per hari Energi (kkal) Protein (gram) Vitamin A (RE) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Seng (mg) Besi (mg)
ISPA Laki-laki (n=19) 820,26 24,06 517,47 1,78 21,38 2,99 7,35
Perempuan (n=11) 862,3 24,73 163,53 1,51 26,12 2,91 3,5
Tidak ISPA Laki-laki (n=13) 981,92 30,11 214,06 1,85 26,5 3,42 5,3
perempuan (n=17) 946,93 33,96 871,6 2,5 35,7 3,64 4,89
Dari tabel 14 terlihat bahwa laki-laki yang menderita ISPA mempunyai asupan energi lebih rendah (820,26 kkal) dibandingkan dengan perempuan (862,3 kkal), sedangkan pada balita yang tidak ISPA jenis kelamin laki-laki mempunyai asupan energi lebih tinggi (981,92 kkal) dibandingkan dengan perempuan (946,93 kkal). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini laki-laki yang menderita ISPA mempunyai asupan energi lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang menderita ISPA Tingkat kecukupan energi dan zat gizi Konsumsi dan tingkat kecukupan energi Kekurangan energi terjadi bila asupan energi melalui konsumsi makanan kurang dari energi sesuai dengan kebutuhan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif, akibatnya adalah berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya (ideal). Kekurangan energi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa akan terjadi penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan dirubah menjadi lemak tubuh, akibatnya adalah berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan, dalam hal karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang bergerak. Kegemukan merupakan faktor resiko penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, PJK, kanker dan memperpendek usia harapan hidup (Almatsier 2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi pangan sumber energi dapat dilihat pada Tabel 15 : Tabel 15 Rata-rata konsumsi pangan sumber energi per hari Jenis pangan Nasi Biskuat Roti Tahu Tempe Susu Mie Bubur
Konsumsi (gr/hari) 174 11,73 11,33 28,17 10,33 21 9,23 55,7
ISPA Kontribusi terhadap AKG Energi (%) 37 6,5 4,4 4,3 4,0 2,7 3,71 3,9
Konsumsi (gr/hari) 221,67 11,73 4,5 34,3 25,5 127,67 23,5 26,6
Tidak-ISPA Kontribusi terhadap AKG Energi (%) 41,0 5,7 1,5 4,6 8,7 8,6 8,2 1,7
Pada tabel 15 hanya menampilkan bahan makanan sumber energi yang mempunyai nilai kontribusi paling besar saja. Jenis pangan sumber energi yang di konsumsi balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, biskuat 11,73 gr/hari dan roti 11,33 gr/hari, dibandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber energi yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 221,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan susu 127,67 gr/hari. Sumber energi yang mempunyai konsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, setelah itu bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi menjamin tercukupinya kebutuhan energi dan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, berikut adalah sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan energi
ISPA
Tidak ISPA
n
%
n
%
Defisiensi berat
17
56,70
12
40,00
Defisiensi sedang
4
13,30
6
20,00
Defisiensi ringan
3
10,00
3
10,00
Normal
5
16,70
8
26,70
Lebih
1
3,30
3
3,30
30
100,0
30
100,00
Total Rata-rata asupan
837±264,234
962±198,308
Rata-rata tingkat kecukupan (%)
68,32
78,53
Berdasarkan tingkat kecukupan energi diketahui bahwa sebagian besar 56,7% balita ISPA dan balita tidak ISPA (40%) mengalami defisiensi berat. Pada penelitian ini asupan energi yang paling rendah yaitu 409 kkal dan tertinggi yaitu 1521 kkal dengan rata-rata asupan energi pada balita ISPA yaitu 837 kkal dan standar deviasi sebesar 264,234. Sedangkan balita yang tidak ISPA mempunyai rata-rata asupan energi sebesar 962 kkal dan standar deviasinya 198. Berdasarkan uji statistik nilai p = 0,043 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan energi pada balita ISPA dan tidak ISPA. Asupan energi berasal dari sejumlah bahan makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Balita yang terinfeksi ISPA akan mengalami kehilangan nafsu makan dikarenakan karena batuk-batuk, pilek, dan kelelahan sehingga mempengaruhi kemampuan mengkonsumsi makanan karena kegiatan makan
menambah sesak nafas. Oleh karena itu mengapa balita yang menderita ISPA mengalami defisiensi tingkat berat kecukupan energi. Konsumsi dan tingkat kecukupan protein Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein dapat juga berfungsi sebagai bahan bakar apabila keperluan energi tubuh tidak terpenuhi dari karbohidrat dan lemak. Protein dapat mengatur keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah, yaitu dengan menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam pembuluh darah (Winarno 2002). Fungsi lain dari protein yaitu untuk tumbuh kembang anak dan pembentukkan hormon, enzim, dan antibodi (Hartono 2000). Kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi bergantung pada kemampuannya untuk memproduksi antibodi terhadap organisme yang menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Tingkat kematian pada anakanak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebabkan oleh menurunnya daya tahan terhadap infeksi karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup (Almatsier 2004). Tabel 17 Rata-rata konsumsi pangan sumber protein per hari Jenis pangan Nasi Telur Tempe Tahu Susu Mie Ikan Segar
Konsumsi (gr/hari) 174 18,73 10,33 28,17 21 9,23 2,3
ISPA Kontribusi terhadap AKG Protein (%) 15,04 8,69 7,82 6,49 2,29 3,0 1,31
Konsumsi (gr/hari) 221,67 36,84 25,5 34,3 127,67 23,5 14,67
Tidak-ISPA Kontribusi terhadap AKG Protein (%) 14,41 13,14 14,53 5,95 27,67 5,75 6,18
Pada tabel 17 menyajikan bahan makanan yang mempunyai nilai kontribusi protein paling besar. Jenis pangan sumber protein yang di konsumsi balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, telur 18,33 gr/hari dan tempe 10,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber protein yang dikonsumsi adalah susu rata-rata konsumsi sebesar 127,67 gr/hari, tempe 25,5 gr/hari, dan nasi 217,67 gr/hari. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, dan ikan. Sedangkan sumber protein nabati adalah
kedelai dan hasilnya seperti tempe dan tahu. Berikut sebaran tingkat kecukupan protein pada contoh dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan protein
ISPA n
Tidak ISPA %
n
%
Defisiensi berat
12
40
3
10
Defisiensi sedang
2
6,7
3
10
Defisiensi ringan
2
6,7
3
10
Normal
8
26,7
8
26,7
Lebih
6
20
13
43,3
30
100,00
30
100,00
Total Rata-rata asupan
24,3±9,86
32,3±10,9
Rata-rata tingkat kecukupan (%)
75,93
100,9
Tingkat kecukupan protein pada balita ISPA umumnya (40%) mengalami defisiensi berat, sedangkan pada balita tidak ISPA umumnya (43,3%) mengalami tingkat kecukupan lebih. Rata-rata asupan protein pada balita ISPA sebesar 24,33 gr dan standar deviasinya adalah 910,94. Pada balita tidak ISPA rata-rata asupan protein sebesar 32,3 gr dan standar deviasinya 10,93. Berdasarkan uji terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein pada balita ISPA dan tidak ISPA (p<0,05). Sumber protein yang dikonsumsi antara balita ISPA dan tidak ISPA hampir sama antara lain nasi, telur, tempe, tahu, susu dan ikan akan tetapi jumlah yang dikonsumsi berbeda. Hal ini disebabkan karena nafsu makan yang menurun diakibatkan karena kondisi tubuh yang sakit karena infeksi merupakan faktor utama konsumsi protein menjadi berkurang. Selain itu keadaan sosial ekonomi juga sangat mempengaruhi terhadap kecukupan protein dan kejadian ISPA. Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin A Menurut Winarno (2002) fungsi vitamin A yaitu sebagai salah satu zat gizi yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Anak yang cukup mendapatkan asupan vitamin A, apabila mengalami diare, campak / penyakit infeksi lain, maka penyakit tersebut tidak menjadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak. Asupan vitamin A sering dijumpai tidak cukup karena faktor musim dan tidak didapatkannya makanan yang kaya vitamin A pada anak. Vitamin A mudah rusak karena pengaruh pemasakan atau penyimpanan. Absorpsi vitamin A kurang apabila kandungan provitamin A dan vitamin A dalam
tubuh juga kurang sehingga akan menyebabkan terjadinya penurunan daya tahan tubuh yang berakibat pada kejadian infeksi. (Husaini dan Muhilal 1996). Banyak studi yang mengakaitkan antara KVA dan ISPA dengan berbagai hasilnya, namun pada umumnya menunjukkan bahwa KVA memiliki risiko relatif tinggi terhadap terjadinya ISPA. Studi Sommer dkk, di Indonesia dan studi Milton dkk, di India menunjukkan asosiasi yang kuat antara Xeroftalmia moderat dengan menunjukkan peningkatan kejadian ISPA, sementara penelitian Mamdani. Di Australia menunjukkan rendahnya kejadian ISPA pada anak-anak yang diberi suplemen vitamin A dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diberi suplemen vitamin A. Keadaan tersebut dapat dijelaskan melalui percobaan pada binatang, dimana didapatkan adanya kreatinisasi dan kerusakan sel-sel penghasil cairan pada saluran nafas, baik bagian atas maupun bawah (Santoto 1992). Berikut rata-rata konsumsi bahan makanan yang mengandung sumber vitamin A. Tabel 19 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin A per hari Jenis pangan Telur Bayam Wortel Ubi Jalar Kangkung Semangka
Konsumsi (gr/hari) 18,33 5,33 1,67 1,33 3,67 12,67
ISPA Kontribusi terhadap AKG vitamin A (%) 13,6 7 6,7 2,9 2,9 1,4
Konsumsi (gr/hari) 36,83 3 10 3,33 1,3 23,33
Tidak-ISPA Kontribusi terhadap AKG vitamin A (%) 17,48 2,53 25,6 4,1 0,68 1,67
Vitamin A terdapat didalam pangan hewani sedangkan karoten terutama didalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, dan kuning telur, sedangkan sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau serta buah-buahan seperti kangkung, bayam, wortel, pepaya, mangga dan jeruk. Tabel 19 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi vitamin A paling besar. Jenis pangan sumber vitamin A yang di konsumsi balita ISPA adalah telur rata-rata konsumsi sebesar 18,33 gr/hari, bayam 5,33 gr/hari dan wortel 1,67 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber vitamin A yang dikonsumsi adalah wortel rata-rata konsumsi sebesar 10 gr/hari, telur 36,83 gr/hari, dan ubi 3,33 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan vitamin A dapat dilihat pad Tabel 20 berikut ini :
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A ISPA
Tingkat kecukupan vitamin A
n
Tidak ISPA %
n
%
Defisiensi berat
24
80
21
70
Defisiensi sedang
1
3,3
2
6,7
Defisiensi ringan
3
10
3
10
Normal
1
3,3
0
0
Lebih Total
1
3,3
4
13,3
30
100,00
30
100,00
Rata-rata asupan
375±1.141
586±1.835
Rata-rata tingkat kecukupan (%)
88,23
137,88
Sebaran tingkat kecukupan vitamin A yang terlihat pada tabel 20 menunjukan bahwa balita yang menderita ISPA mengalami defisensi berat sebesar 80%, sedangkan balita yang tidak menderita ISPA sebesar 70%. Ratarata kecukupan vitamin A balita ISPA dan balita tidak ISPA adalah 375 RE dan 587 RE, sedangkan standar deviasinya adalah 1.141 dan 1.835. Hasil analisis menggunakan Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin A pada balita ISPA dan tidak ISPA (p=0,595) (p>0,05). Hal ini disebabkan karena pada saat anak menginjak usia balita yaitu umur 12-59 bulan, banyak permasalahan yang dihadapi terutama makan. Pada usia ini anak sangat sulit sekali makan, suka makanan jajanan dan tidak menyukai sayuran. Sedangkan sumber vitamin A yang paling baik terdapat pada sayuran hijau dan buah-buahan. Jika balita yang menderita ISPA terus mengalami defisiensi berat vitamin A maka fungsi sel-sel kelenjar kulit menjadi kering, kasar dan luka sukar sembuh. Membran mukosa tidak dapat mengeluarkan cairan ende dengan sempurna sehingga mudah terserang bakteri (infeksi). Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh manusia (Almatsier 2004). Sehingga, fungsi kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan ender sehingga mudah dimasuki mikroorganisme atau virus dan menyebabkan infeksi saluran pernafasan (Almatsier 2004). Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin E Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat
merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Tabel 21 menyajikan rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E. Tabel 21 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin E per hari Jenis pangan
Konsumsi (gr/hari) 18,33 5,23 5,00 10,33 2,33
Telur Kue Chiki Tempe Ikan segar
ISPA Kontribusi terhadap AKG vitamin E (%) 22 18,8 18 12,4 2,8
Konsumsi (gr/hari) 36,83 12,63 5,06 25,50 14,67
Tidak-ISPA Kontribusi terhadap AKG vitamin E (%) 35 34,4 4,5 23,2 13,3
Vitamin E banyak terdapat dalam bahan makanan, sumber utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan terutama minyak kecambah gandum dan biji-bijian. Sayuran, buah-buahan dan juga daging, ikan merupakan sumber vitamin E yang baik namun dalam jumlah yang terbatas. Tabel 21 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi vitamin E paling besar. Jenis pangan sumber vitamin E yang di konsumsi balita ISPA adalah telur rata-rata konsumsi sebesar 18,33 gr/hari, kue 5,23 gr/hari dan chiki 1,67 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber vitamin E yang dikonsumsi adalah telur rata-rata konsumsi sebesar 36,83 gr/hari, kue 12,63 gr/hari, dan tempe 25,5 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan vitamin E dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini : Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin E Tingkat kecukupan vitamin E
ISPA n
Tidak ISPA %
n
%
Defisiensi berat
28
93,3
29
96,7
Defisiensi sedang
1
3,3
1
3,3
Defisiensi ringan
1
3,3
0
0
Normal
0
0
0
0
Lebih
0
0
0
0
100,00
30
Total
30
100,00
Rata-rata asupan
1,67±1,27
2,2±1,12
Rata-rata tingkat kecukupan (%)
25,69
33,8
Pada penelitian ini asupan vitamin E yang paling rendah yaitu 0 mg dan tertinggi yaitu 4,8 mg dengan rata-rata asupan vitamin E pada balita ISPA yaitu 1,67 mg dan standar deviasi sebesar 1,27. Anjuran angka kecukupan gizi vitamin E umur 1-3 tahun yaitu 6 mg sedangakn umur 4-5 tahun yaitu 7 mg. Sebagian
besar tingkat kecukupan vitamin E mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA (93,3%) sedangkan pada balita tidak ISPA (96,7%). Hasil analisis menggunakan Independent samples t-test menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin E pada balita ISPA dan tidak ISPA. nilai p=0,088 (p>0,05). Defisiensi vitamin E jarang ditemukan oleh sebab makanan sehari-hari mengandung cukup vitamin E, akan tetapi dalam penelitian ini hampir sebagian besar balita mengalami defisiensi berat vitamin E. Hal ini diduga karena balita mengalami defisiensi juga protein dan vitamin A. Seperti yang kita ketahui bahwa sumber vitamin E terdapat pada sayuran, buah-buahan dan daging. Namun sumber vitamin E yang banyak dikonsumsi oleh balita ISPA maupun tidak ISPA berasal dari makanan jajanan seperti kue dan chiki, dimana minyak tumbuhtumbuhan sebagai sumber vitamin E digunakan dalam proses pengolahan makanan tersebut. Konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin C Fungsi vitamin C yaitu membantu enzim dalam melakukan fungsinya dan juga bekerja sebagai antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk kolagen, serat, struktur protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi dan membantu tubuh menyerap zat besi. Keadaan kekurangan vitamin C akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan proses pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan dentin, vitamin C mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi 2001). Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi (Almatsier 2004). Berikut adalah rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C. Tabel 23 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber vitamin C per hari Jenis pangan Jeruk Pepaya Ale-ale Mangga Bayam Kentang
Konsumsi (gr/hari) 13 4 36,67 4,33 5,33 6,67
ISPA Kontribusi terhadap AKG vitamin C (%) 19,7 10,1 9,5 8,8 7,3 4,1
Konsumsi (gr/hari) 11,33 25 13,3 0 3 0
Tidak-ISPA Kontribusi terhadap AKG vitamin C (%) 46,12 12,61 2,52 0 3,03 0
Vitamin C pada umumnya hanya terdapat didalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang berasa asam, seperti jeruk, nanas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Tabel 23 menampilkan konsumsi bahan makanan yang mempunyai nilai kontribusi vitamin C paling besar. Jenis pangan sumber vitamin C yang di konsumsi balita ISPA adalah jeruk rata-rata konsumsi sebesar 13 gr/hari, pepaya 4 gr/hari dan minuman ale-ale 1,67 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber vitamin C yang dikonsumsi adalah pepaya rata-rata konsumsi sebesar 25 gr/hari, jeruk 11,33 gr/hari, dan bayam 3 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan vitamin C dapat dilihat pada Tabel 24 berikut ini : Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C Tingkat kecukupan vitamin C
ISPA
Tidak ISPA
n
%
n
%
Defisiensi berat
21
70
19
63,3
Defisiensi sedang
1
3,3
1
3,3
Defisiensi ringan
1
3,3
2
6,7
Normal
3
10
2
6,7
Lebih
4
13,3
6
20
30
100,00
30
100,00
Total Rata-rata asupan
23,27±28,74
31,71±35,53
Rata-rata tingkat kecukupan (%)
54,75
74,61
Pada penelitian ini asupan vitamin C yang paling rendah yaitu 0,6 mg dan tertinggi yaitu 165,4 mg dengan rata-rata asupan vitamin C pada balita ISPA yaitu 23,27 mg dan standar deviasi sebesar 28,74. Sebaran tingkat konsumsi vitamin C yang terlihat pada tabel 24 menunjukan bahwa balita yang menderita ISPA mengalami defisensi berat sebesar 70%, sedangkan balita yang tidak menderita ISPA sebesar 63,3%. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,316 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan vitamin C pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena faktor ketidaksukaan balita terhadap buah-buahan dan sayuran, dan lebih menyukai makanan jajanan seperti chiki.
Konsumsi dan tingkat kecukupan seng Di Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas. Sejauh ini belum dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini disebabkan rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan
dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan seng. Secara keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun berkaitan dengan defisiensi seng. Kematian dan peningkatan penyakit infeksi ini mengakibatkan 1,9% dari keseluruhan DALYs (Disability Adjusted Life Years) yang berkaitan dengan defisiensi seng. Menurut WHO, secara global jumlah tersebut terjadi 10,8 juta kematian anak per tahun berkaitan dengan defisiensi seng, vitamin A, dan besi, atau sekitar 19% keseluruhan kematian anak. Berikut rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng. Tabel 25 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber seng per hari ISPA Jenis pangan
Konsumsi (gr/hari) 174 28,16 18,33 10,33 3,5
Nasi Tahu Telur Tempe Baso
Tidak-ISPA
Kontribusi terhadap AKG seng (%) 20,9 5,9 5,5 5 4
Konsumsi (gr/hari) 221,67 7,2 11,1 12,2 13
Kontribusi terhadap AKG seng (%) 25 6,8 10,5 11,5 13,9
Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati, kerang, dan telur. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah. Tabel 25 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi seng paling besar. Jenis pangan sumber seng yang di konsumsi balita ISPA adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 174 gr/hari, tahu 28,16 gr/hari dan telur 18,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber seng yang dikonsumsi adalah nasi rata-rata konsumsi sebesar 221,67 gr/hari, baso 13 gr/hari, dan tempe 12,2 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan seng dapat dilihat pada Tabel 26 berikut ini : Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan seng Tingkat kecukupan seng
ISPA n
Tidak ISPA %
Defisiensi berat
29
Defisiensi sedang Defisiensi ringan
n
%
96,7
29
0
0
0
0
1
3,3
1
3,3
Normal
0
0
0
0
Lebih
0
0
0
0
30
100,00
30
100,00
Total
96,7
Rata-rata asupan
2,95±1,13
3,54±0,99
Rata-rata kecukupan (%)
32,96
39,55
Secara keseluruhan berdasarkan tingkat kecukupan seng diketahui bahwa balita yang menderita ISPA maupun tidak menderita ISPA mayoritas mengalami defisiensi berat sebesar 96,7%. Pada penelitian ini asupan seng yang paling rendah yaitu 1,5 mg dan tertinggi yaitu 6,8 mg dengan rata-rata asupan seng pada balita ISPA yaitu 2,95 mg dan standar deviasi sebesar 1,13. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,036 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan seng dengan balita ISPA dan tidak ISPA. Walaupun sama-sama mengalami defisiensi berat, akan tetapi asupan seng pada balita tidak ISPA lebih tinggi dengan rata-rata asupan 3,54 mg atau rata-rata kecukupan sebesar 39,55%. Dari hasil penelitian bahwa di Indonesia tingkat konsumsi seng pada kelompok umur 12-59 bulan rata-rata sebesar 2336% AKG. Tidak seperti zat gizi lainnya, tubuh tidak memiliki cadangan seng, akan tetapi seng ada di hampir semua sel dan jaringan tubuh terkadang dalam konsentrasi yang tinggi. Beberapa studi memperlihatkan suplementasi seng dapat meningkatkan pertumbuhan anak, menurunkan kejadian diare, malaria dan pneumonia serta mortalitas (Herman 2009). Konsumsi dan tingkat kecukupan besi Mineral yang penting bagi pekerja adalah zat besi (Fe). Fungsi zat besi adalah untuk membentuk Hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen yang sangat di perlukan pada proses metabolisme di dalam sel, pembentukan energi. Kekurangan zat besi akan berakibat anemia (Mahan 2000). Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan. Yaitu sebanyak 3-5 gr di dalam tubuh manusia dewasa, besi mempunyai beberapa fungsi essensial dalam tubuh, sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi di dalam jaringan tubuh. (Almatsier 2004). Tabel 27 Rata-rata konsumsi bahan makanan sumber besi per hari Jenis pangan Tempe Nasi Roti Telur Bayam Mie
Konsumsi (gr/hari) 10,33 174 11,33 18,33 5,33 9,23
ISPA Kontribusi terhadap AKG Besi (%) 18,64 14,97 10,40 7,67 5,23 4,45
Konsumsi (gr/hari) 25,5 221,67 4,5 36,83 3 23,5
Tidak-ISPA Kontribusi terhadap AKG Besi (%) 52,61 21,9 4,74 17,69 3,38 13,00
Sumber paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati, unggas dan ikan. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga beberapa jenis buah, jumlah besi perlu diperhatikan kualitas besi didalam makanan, dinamakan juga ketesediaan biologik (bioavabilitas) pada umumnya besi didalam daging mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi dibandingkan dengan sayuran, terutama yang mengandung asam okslalat yang tinggi seperti bayam. Tabel 27 menampilkan bahan makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai kontribusi besi paling besar. Jenis pangan sumber besi yang di konsumsi balita ISPA adalah tempe rata-rata konsumsi sebesar 10,33 gr/hari, nasi 174 gr/hari dan roti 11,33 gr/hari, di bandingkan dengan kelompok tidak ISPA jenis pangan sumber besi yang dikonsumsi adalah tempe 25,5 rata-rata konsumsi sebesar 25,5 gr/hari,nasi 221,67 gr/hari, dan telur 36,83 gr/hari. Sebaran tingkat kecukupan besi dapat dilihat pada tabel 28 berikut ini : Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan besi Tingkat kecukupan Fe
ISPA
Tidak ISPA
n
Defisiensi berat
23
Defisiensi sedang Defisiensi ringan
%
n
%
76,7
19
3
10
3
10
2
6,7
2
6,7
Normal
1
3,3
4
13,3
Lebih
1
3,3
2
6,7
30
100,00
30
100,00
Total
63,3
Rata-rata asupan
5,816±10,64
5,06±2,75
Rata-rata kecukupan (%)
68,42
59,5
Secara keseluruhan berdasarkan tingkat konsumsi besi diketahui bahwa sebagian besar tingkat kecukupan besi mengalami defisiensi berat, pada balita ISPA sebesar 76,7% sedangkan pada balita tidak ISPA sebesar 63,3%. Pada penelitian ini rata-rata asupan besi pada balita ISPA yaitu 5,81 mg dan standar deviasi sebesar 10,64. Berdasarkan uji statistik nilai p=0,169 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara asupan besi pada balita ISPA dan tidak ISPA. Hal ini diduga karena sumber makanan yang kaya akan zat besi seperti daging, hati dan ikan jarang dikonsumsi. Sedangkan zat besi yang dikonsumsi oleh balita ISPA dan tidak ISPA sebagian besar berasal dari serealia dan kacang-kacangan, dimana bioavabilitasnya yang rendah.
Status Gizi Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001). Penelitian yang dilakukan smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi. Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan seperti ISPA. Disamping kurang gizi, anak yang mengalami gizi lebih juga mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh Chandra (1991) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih mempunyai penurunan jumlah limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (sel-NK) dan penurunan stimulasi limposit T jika dibandingkan dengan anak status gizi normal. Penurunan sistem kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak potensial terkena penyakit infeksi. Status Gizi BB/U Untuk menentukan atau menaksir status gizi seseorang dilakukan pengukuran untuk menilai berbagai tingkatan kurang gizi yang ada atau mungkin ada. Pengukuran yang dipakai biasanya menunjuk kepada indikator atau parameter dan dinamakan demikian karena berguna sebagai indeks untuk menunjukan kepada tingkatan status gizi dan kesehatan yang berbeda (Suhardjo 1996). Indikator berat badan dipergunakan pada masa bayi sampai balita untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis. Seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Disamping itu pula, berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat dan protein otot menurun. Pada orang yang edema dan ascites, terjadi penambahan
cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi (Supariasa 2001). Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting, dipakai pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat badan merupakan hasil peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh. Antara lain tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain-lain. Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik pada saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan dapat diulangi, dapat digunakan timbangan apa saja yang relatif murah, mudah dan tidak memerlukan banyak waktu. Kerugiannya, indikator berat badan ini tidak sensitif terhadap proporsi tubuh. Misalnya pendek gemuk atau tinggi kurus (Soetjiningsih 2004). Indikator berat badan sering dimanfaatkan dalam klinik sebagai bahan informasi untuk menilai keadaan gizi, baik akut maupun kronis, serta untuk penilaian tumbuh kembang anak dan kesehatan. Selain itu, berat badan juga dapat digunakan untuk memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada pengobatan penyakit (Soetjiningsih 2004). Berikut sebaran status gizi contoh menurut BB/U. Tabel 29 Sebaran status gizi contoh menurut BB/U Kategori
ISPA n
Tidak ISPA %
n
%
Kurang (-3.0 SD s/d -2.0 SD)
13
43,3
13
43,3
Baik (-2.0 SD s/d 2.0 SD)
17
56,7
17
56,7
Lebih (< - 3 SD)
0
0
0
0
100,00
30
Total Rata-rata z-skor
30 -1,71±0,84
100,00 -1,59±0,93
Secara keseluruhan berdasarkan indikator BB/U diketahui bahwa balita yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA mayoritas sebesar 56,7% memiliki status gizi normal atau baik. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi balita menurut BB/U pada balita ISPA dan tidak ISPA yang ditunjukan oleh nilai p=0,60 (p>0,05). Hal tersebut diduga karena kondisi ISPA yang diamati dalam penelitian ini adalah terbatas sekitar 2 minggu, sehingga kurang menggambarkan efek dari ISPA. Namun jika balita pada keadaan gizi yang normal atau baik akan lebih cepat mengalami penyembuhan dibandingkan dengan balita gizi kurang, dimana
pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama dan lebih mudah terserang ISPA kembali dibandingkan karena faktor daya tahan tubuh yang rendah. Di samping itu penyakit infeksi sendiri menyebabkan nafsu makan balita menurun dan mengakibatkan kekurangan gizi. Status gizi TB/U Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Berikut adalah sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U. Tabel 30 sebaran status gizi contoh berdasarkan TB/U Kategori
ISPA n
Tidak ISPA %
n
%
Buruk (<-3,0)
0
0
1
1,00
Pendek/Stunted (-3,0 SD s/d -2,0)
12
40,00
8
26,0
Normal (-2,0- s/d 2,0)
18
60,00
21
70,00
Total
30
100,00
30
Rata-rata z-skor
-1,42±1,54
100,00 -1,45±1,28
Sebagian besar contoh mengalami status gizi normal berdasarkan TB/U, pada balita ISPA (60%) sedangkan pada balita tidak ISPA (70%). Berdasarkan hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi berdasarkan TB/U dengan balita ISPA dan tidak ISPA yang ditunjukan dengan nilai p=0,932 (p>0,05). Penderita ISPA dapat berlangsung sampai dengan 14 hari karena berdasarkan proses akut tersebut, akan tetapi jika ditangani dengan baik dan status gizi seseorang baik maka proses penyembuhan bisa lebih cepat. Oleh karena itu mengapa dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan status gizi antara penderita ISPA dan tidak ISPA, karena parameter yang digunakan adalah tinggi badan menurut umur, dimana parameter tersebut menggambarkan keadaan gizi masa lampau.
Status Gizi BB/TB Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Hal ini didukung dengan faktor-faktor seperti konsumsi, pengetahuan dalam memilih makanan, pendapatan, akses pangan, pelayanan kesehatan, serta pola asuh yang baik. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini/sekarang (Supariasa 2001). Berikut adalah sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB. Tabel 31 Sebaran status gizi contoh berdasarkan BB/TB ISPA
Kategori n
Tidak ISPA %
n
%
Kurus (-2.00 SD)
6
20,00
5
16,70
Normal (-2.00 SD ± 2.00 SD)
24
80,00
85
83,30
Gemuk (>2.00 SD)
0
00,00
0
00,00
30
100,00
30
100,00
Total Rata-rata z-skor
-1,054 ± 1,124
-0,898 ± 1,057
Status gizi berdasarkan berat badan menurut tinggi badan secara umum berkategori normal. Balita yang menderita ISPA mayoritas 80% dan balita tidak menderita ISPA 83,30%. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi balita yang menderita ISPA dan tidak menderita ISPA berdasarkan BB/TB yang ditunjukan oleh p=0,74 (p>0,05). Hal ini dikarenakan berat badan balita mayoritas normal, pertumbuhan dan perkembangan berat badan dan tinggi badan berlangsung normal. Artinya meningkatnya berat badan diiringi dengan bertambahnya tinggi badan balita sehingga anak terlihat normal. ISPA pada balita dapat menyebabkan tubuh menjadi kurus karena zat gizi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan terganggu melawan infeksi yang masuh kedalam tubuh. Namun dalam penelitian ini efek dari infeksi tersebut terhadap status gizi tidak terlihat.