BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Keintegrasian Pengelolaan TNBT Hasil penelitian terhadap kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT dalam suatu wilayah pembangunan diuraikan berdasarkan tiga bentuk keintegrasian, yaitu ; integrasi kebijakan, integrasi fungsional, dan integrasi sistem (Kay and Alder, 1999).
1. Integrasi Kebijakan Integrasi kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi (Kay dan Alder, 1999). Integrasi kebijakan pengelolaan TNBT dalam suatu wilayah pembangunan pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten, sebagai berikut a. Tingkat Nasional Pada tingkat nasional terdapat beberapa kebijakan yang terkait dengan pengelolaan daerah penyangga taman nasional dan ekowisata di kawasan taman nasional, yaitu : 1)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
3)
Peraturan Pemerintah Nomor. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
4)
Paraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
5)
Paraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
6)
Paraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Paraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
7)
Paraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
72
8)
Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 3 tahun 1997 tentang Koordinasi
Perencanaan dan Pembangunan Kawasan Lindung dan Daerah Sekitarnya 9)
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 660.1/269/V/ Bangda/1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional.
10)
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 656/KMK.06/2001 tentang Tatacara Pengenaan, Pemungutan, Penyetoran Pungutan dan Iuran Bidang PHKA.
11)
Keputusan Direktur Jenderal PHPA
Nomor
49/Kpts/Dj-VI/1997
tentang
Petunjuk Teknis Pengembangan Daerah Penyangga. Berdasarkan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan daerah penyangga telah diatur beberapa hal sebagai berikut : 1)
Kriteria penetapan daerah penyangga (PP No. 68/1998),
2)
Proses penunjukan daerah penyangga (PP No. 68/1998, SE Mendagri No. 660.1/269/V/ Bangda/1999),
3)
Proses penetapan daerah penyangga (PP No. 68/1998, SE Mendagri No. 660.1/269/V/ Bangda/1999 ),
4)
Program dan kegiatan pengelolaan daerah penyangga (PP No. 68/1998, SE Mendagri No. 660.1/269/V/ Bangda/1999 ), dan
5)
Susunan organisasi pengelolaan daerah penyangga (SE Mendagri No. 660.1/269/V/ Bangda/1999) Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa sampai saat ini kebijakan
yang mengatur tentang pengelolaan daerah penyangga taman nasional tersebut masih belum diimplementasikan secara efektif. Beberapa hal yang membuktikan belum efektifnya implementasi kebijakan tersebut adalah : 1)
Daerah penyangga taman nasional belum ditunjuk dan ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada PP. maupun SE. Mendagri tersebut,
2)
Organisasi pengelolaan daerah penyangga taman nasional seperti diatur dalam SE Mendagri belum ada,
3)
Pemerintah daerah belum melaksanakan kegiatan-kegiatan
pengembangan
daerah penyangga taman nasional. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab belum efektifnya implementasi kebijakan di bidang pengelolaan daerah penyangga taman nasional adalah : 1)
Belum adanya Keputusan Menteri yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari PP, seperti dimaksud Pasal 56 PP No. 68/1998.
73
2)
Instruksi dan Surat Edaran Mendagri tidak ditindak lanjuti dengan penyusunan peraturan terkait di tingkat daerah.
3)
Kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah terhadap pentingnya pengelolaan daerah penyangga taman nasional.
4)
Lemahnya koordinasi antara pengelola taman nasional dengan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan daerah penyangga.
5)
Adanya persepsi bahwa pengelolaan daerah penyangga dianggap membatasi kewenangan pemerintah daerah dalam memanfaatkan sumberdaya alam di sekitar taman nasional,
hal tersebut tidak sejalan dengan kebijakan
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), Sedangkan berdasarkan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan ekowisata di kawasan taman nasional dinyatakan bahwa pungutan dari pengelolaan ekowisata disetor langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak dan dikelola dengan sistem APBN. Dengan demikian pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) tidak mendapatkan alokasi dari hasil pungutan pengelolaan ekowista pada taman nasional yang berada di wilayahnya. Kondisi tersebut tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah
dalam peningkatan PAD, padahal pada
periode sebelumnya pemerintah daerah mendapatkan alokasi dari hasil pungutan PNBP di kawasan taman nasional.. b. Tingkat Propinsi Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan adanya kebijakan pada tingkat propinsi (Riau dan Jambi) yang secara langsung terkait dengan pengelolaan ekowisata di TNBT. Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TNBT dan daerah penyangganya adalah dalam hal penetapan RTRW propinsi dan penyusunan dokumen “ Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah Penyangga”. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Riau Nomor 10 Tahun 1994
tentang
Rencana Tata Ruang
Wilayah
(RTRW) Propinsi Riau, dan
Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi Tentang RTRW Propinsi Jambi, kawasan TNBT ditetapkan dengan status Arahan Pembangunan Kehutanan. Saat ini kedua RTRW propinsi tersebut masih dalam proses revisi.
74
Berdasarkan draft RTRW Propinsi Riau tahun 2009 seperti dapat dilihat pada Gambar 16, kawasan TNBT ditetapkan sesuai SK Menteri Kehutanan No.607/KPTS-II/2000 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 111.223 ha.
Kawasan
hutan yang berbatasan langsung dengan TNBT ditetapkan sebagai hutan lindung dan penyangga TNBT. Kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai topografi berat dan mempunyai fungsi penting dari aspek hidroorologis, seperti kawasan hutan di Desa Sipang, Desa Alim, Desa Talang Lakat, Desa Rantau Langsat, Desa Siambul, Desa Usul, Desa Keritang, dan Desa Batu Ampar. Sedangkan kawasan yang ditetapkan sebagai penyangga TNBT adalah kawasan hutan yang berdampingan dengan kawasan TNBT yang berada di wilayah Desa Selensen, Desa Lahai, Desa Sungai Akar, Desa Punti Anai dan Desa Aur Cina. Sedangkan berdasarkan draft RTRW Propinsi Jambi tahun 2009 seperti dapat dilihat pada Gambar 17, kawasan TNBT ditetapkan sesuai SK Menteri Kehutanan No.607/KPTS-II/2000 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 33.000 ha.
Sedangkan
kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan TNBT ditetapkan sebagai hutan produksi terbatas dan hutan produksi. Kawasan hutan tersebut merupakan bekas areal konsesi HPH yang masih memiliki potensi tegakan cukup besar, karena sebagian perusahaan HPH menghentikan aktifitasnya sebelum berakhirnya masa konsesi. Berdasarkan hasil
pengamatan didapatkan bahwa implementasi kebijakan
penataan ruang daerah penyangga TNBT masih sering menimbulkan masalah. Hal tersebut terjadi karena tidak konsistennya implementasi kebijakan penataan ruang pada tingkat lapangan misalnya adanya tumpang tindih antar sektor.
75
GAMBAR 16. PETA RTRW RIAU (file terpisah)
76
GAMBAR 17. PETA RTRW JAMBI (file terpisah)
77
Bentuk kebijakan lain pada tingkat propinsi yang berkaitan dengan pengelolaan TNBT dan
daerah penyangganya adalah tersusunnya dokumen “ Strategi dan
Rencana Aksi Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah Penyangga” yang dalam proses penyusunannya melibatkan empat pemerintah kabupaten yaitu: Kabupaten Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir, Kab. Tebo, dan Kab. Tanjung Jabung Barat Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi (SRA) tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya pengelolaan TNBT dan daerah penyangganya secara terpadu dan berkelanjutan yang didukung oleh pemangku kepentingan (stakeholders). Tujuan penyusunan dokumen tersebut adalah : 1) Memberikan acuan dan arahan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak lainnya dalam pengelolaan (pemanfaatan dan pelestarian) sumberdaya alam secara terpadu di TNBT dan daerah penyangga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. 2) Memberikan pedoman untuk pelaksanaan program pembangunan pusat dan daerah, seperti fasilitas fisik ( jalan, gedung, pasar, dan lain-lain) dan pemanfaatan sumberdaya alam TNBT dan daerah penyangganya. Sebagai tindak lanjut dari penyusunan SRA tersebut, pada tanggal 7 Desember 2006 dilakukan Deklarasi Bersama tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Terpadu Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah Penyangga. Deklarasi
bersama
tersebut
ditandatangani
oleh
Direktur
Jenderal
PHKA
Departemen Kehutanan, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan
KLH,
Bupati Indragiri Hulu, Bupati
Indragiri Hilir, Bupati Tebo, dan Bupati Tanjung Jabung Barat
Dokumen deklarasi
bersama dapat dilihat pada Lampiran 1. Walaupun dokumen perencanaan terpadu tersebut telah ditandatangani oleh masing-masing bupati, namun pemerintah kabupaten belum menjadikan acuan dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah penyangga TNBT. c. Tingkat Kabupaten Berdasarkan Peraturan Bupati Indragiri Hilir Nomor 27 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Indragiri Hilir dinyatakan bahwa salah satu kebijakan pokok
Kabupaten Indragiri Hilir adalah
mengembangkan kepariwisataan yang berbasis pertanian (agrowisata).
Untuk
78
mendukung kebijakan pokok tersebut maka ditetapkan kebijakan khusus yakni pembangunan ekonomi kerakyatan yang dalam pelaksanaannya antara lain dilakukan dengan
cara pengembangan sektor-sektor utama yang mempunyai
keterkaitan dengan pengembangan sektor-sektor lain, yaitu ; sektor industri, pertanian dalam arti luas, transportasi, perdagangan, pariwisata, serta sektor kelautan sesuai dengan potensi yang ada”. Adapun strategi adalah
pembangunan sektor pariwisata
“Mengembangkan
potensi
wisata
dengan
Kabupaten Indragiri Hilir melibatkan
stakeholders
(pemerintah, swasta dan masyarakat), kerjasama sistem paket wisata dengan daerah lain, peningkatan promosi investasi dan jaminan keamanan pada obyekobyek wisata, serta pengembangan agrowisata”. Sedangkan kebijakan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu sesuai Peraturan Bupati Indragiri Hulu Nomor 240 tahun 2006 Tentang RPJM Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2006 – 2010, kebijakan pembangunan sektor pariwisata tidak disebutkan secara eksplisit. Namun secara implisit, salah satu misi dari Kabupaten Indragiri Hulu berkaitan dengan pengembangan ekowisata, yaitu “Membangun dan mengembangkan sarana-prasarana infrastruktur yang mampu membuka isolasi daerah, mengembangkan potensi daerah, mengembangkan kawasan-kawasan produktif, meningkatkan aksessibilitas dan mobilitas faktor produksi serta membuka peluang pasar “. Adapun strategi pembangunan sektor pariwisata Kabupaten Indragiri Hulu adalah !) Mendorong berkembangnya potensi obyek wisata, memanfaatkan dan mengembangkan faktor produksi serta mengembangkan kemitraan secara vertikal maupun horizontal atas dasar saling membutuhkan, saling mendukung dan saling menguntungkan, 2)
Menggali mengembangkan dan melestarikan kebudayaan
daerah sebagai pendukung terwujudnya suasana kehidupan masyarakat yang harmonis.
Sedangkan kebijakan
sektor pariwisata
Kabupaten Indragiri Hulu
adalah 1) Menggali dan mengembangkan potensi pariwisata melalui peningkatan sarana dan prasarana, 2) Meningkatkan pengelolaan pariwisata yang profesional serta kegiatan dan promosi pariwisata yang dilakukan secara terarah, terencana, dan terpadu. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam hal pengelolaan taman nasional belum berjalan secara konsisten,
79
Sebagai salah satu contoh adalah dalam hal penetapan daerah penyangga taman nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998,
penyangga taman
nasional ditetapkan
oleh
daerah
menteri setelah mendapatkan
pertimbangan dari Gubernur. Sedangkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 660.1/269/V/Bangda Tahun 1999 daerah penyangga taman nasional ditetapkan dengan Perda Kabupaten/ Kota jika berada dalam satu kabupaten, Perda Propinsi jika
berada di lebih satu kabupaten, dan SK Mendagri jika mencakup
beberapa propinsi. Dengan kondisi tersebut maka banyak taman nasional yang sampai saat ini daerah penyangganya belum ditetapkan secara definitif. Demikian pula koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam hal pengelolaan taman nasional dan daerah penyangganya belum berjalan secara intensif.
Hal tersebut diduga karena tidak jelasnya kelembagaan yang
mengurusi taman nasional dan daerah penyangganya baik pada tingkat pemerintah kabupaten/ kota maupun pemerintah propinsi. Sebagai salah satu contoh berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 660.1/269/V/Bangda Tahun 1999, Tim Koordinasi Pengelola Daerah Penyangga Kawasan Konservasi diatur secara berjenjang mulai tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, sampai tingkat propinsi. Namun dalam implementasinya tim koordinasi tersebut tidak pernah terbentuk. Selain belum konsistennya kebijakan dan belum intensifnya koordinasi baik pada tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten, para pihak terkait (stakeholders) juga
belum memahami tentang kebijakan/ program/ kegiatan yang
perlu
diintegrasikan dalam pengelolaan taman nasional dan daerah penyangganya. Sesuai dengan pendapat Aunuddin et al. (2001), untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang terintegrasi, lembaga-lembaga yang terkait
harus
mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat diintegrasikan dan bagaimana cara mengintegrasikannya. 2. Integrasi Fungsional Integrasi fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti sasarannya.
konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
Integrasi ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi diantara
lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi yang
80
mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional (Kay dan Alder, 1999). Dalam penelitian ini kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT secara fungsional dikaji dari aspek sistem perencanaan, penataan ruang daerah penyangga
dan
pengelolaan ekowisata TNBT. Dokumen perencanaan pengelolaan taman nasional yang disusun oleh Balai Taman
Nasional
pada
prinsipnya
terpisah
dengan
sistem
perencanaan
pembangunan daerah yang disusun oleh BAPPEDA kabupaten maupun propinsi. Terpisahnya sistem perencanaan tersebut terkait dengan sistem penganggaran dan pertanggung jawaban dimana taman nasional dikelola oleh instansi vertikal dibawah Departemen Kehutanan. Sementara pemerintah daerah (kabupaten dan propinsi) walaupun diwilayahnya terdapat kawasan taman nasional tidak mempunyai kewenangan dalam pengelolaan taman nasional. taman nasional pemerintah daerah hanya
Dalam konteks pengelolaan
berfungsi serbagai jalur koordinasi,
sementara pengelolaan taman nasional sangat terkait dengan sektor lainnya. Penataan
ruang
merupakan
salah
satu
cara
dalam
pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT.
mengalokasikan Berdasarkan Tata
Ruang Daerah Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir, status kawasan TNBT adalah kawasan konservasi, sedangkan kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan TNBT ditetapkan sebagai arahan pembangunan kehutanan dan perkebunan.
Sedangkan
berdasarkan Tata Ruang Daerah
Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kawasan TNBT ditetapkan sebagai kawasan lindung, sedangkan daerah penyangganya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi terbatas untuk pembangunan HPH, HTI, pertambangan skala kecil. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dalam pelaksanan penataan ruang
daerah penyangga TNBT masih sering menghadapi masalah yang
menunjukkan lemahnya integrasi fungsional diantara instansi / lembaga yang terlibat baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten. Contoh permasalahan penataan ruang di daerah penyangga TNBT yang menunjukkan lemahnya integrasi fungsional diantara lembaga yang terlibat antara lain :
81
1)
Areal konsesi tambang batu bara (PT. RBH ) hanya berjarak sekitar 100 meter dari batas kawasan TNBT, yakni di Desa Rantau Langsat Kec. Batang Gansal Kab. Indragiri Hulu. Padahal sesuai ketentuan yang berlaku untuk kawasan konservasi yang telah ditata batas jarak minimal dengan kegiatan non kehutanan adalah 500 meter.
2)
Adanya tumpang tindih antar sektor, seperti tumpang tindih antara areal konsesi pertambangan batu bara dengan areal IUPHHK .
3)
Adanya ketidaksesuaian lokasi antara ijin yang diberikan dengan pelaksanaan di lapangan, seperti IUPHHK atas nama PT. SbMl.
Berdasarkan hasil
investigasi yang dilakukan oleh Balai TNBT, areal IUPHHK tersebut berjarak sekitar 350 meter dari batas kawasan TNBT, padahal sesuai ijin yang diberikan seharusnya areal IUPHHK tersebut berada pada jarak yang cukup jauh dengan batas kawasan TNBT Peta tata ruang daerah penyangga TNBT dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Peta Tata Ruang Daerah Penyangga TNBT (Sumber: Balai TNBT 2009) Sedangkan dalam hal pengelolaan ekowisata,
walaupun masih sangat
terbatas integrasi secara fungsional terlihat dari adanya
kegiatan pengelolaan
ekowisata yang dilakukan secara bersama oleh Balai TNBT dan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu.
Program / kegiatan pengembangan ekowisata TNBT
yang telah dilakukan oleh Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata
82
Kabupaten Indragiri Hulu, antara lain: 1) Penyusunan master plan, 2) Pembangunan sarana –prasarana pengunjung, 3) Pelatihan keterampilan pembuatan souvenir bagi masyarakat sekitar,
4) Pemeliharaan obyek wisata alam, 5) Promosi melalui
melalui media cetak, media elektronik, dan pameran, 6) Pengembangan hutan wisata di daerah penyangga TNBT, dan lain-lain. 3. Integrasi Sistem Integrasi sistem
memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal
sistem sumberdaya alam dalam persyaratan fisik, perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya alam, dan penataan sosial ekonomi.
Integrasi ini
menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara cukup. Integrasi ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Kay dan Alder, 1999). . Dalam penelitian ini kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT secara sistem dikaji berdasarkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT.
Berdasarkan
hasil
pengamatan
ditemukan
adanya
pemberian
ijin
pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT yang kurang mempertimbangkan kondisi bio–fisik kawasan. Hal ini menunjukkan masih lemahnya integrasi secara sistem dalam pemanfaatan sumberdaya alam di penyangga TNBT. Sebagai contoh adalah dalam hal pertambangan batu bara, terdapat beberapa ijin pertambangan batu bara yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang wilayah kerjanya mencakup daerah penyangga TNBT bertopografi berat / curam yang tidak sesuai untuk kegiatan pertambangan terbuka (open mining). Lemahnya integrasi pengelolaan taman nasional, pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah tidak terlepas dari aspek kewenangan yang dimiliki oleh para pihak yang terkait. Sesuai dengan peraturan perundangan, kewenangan pengelolaan taman nasional berada pada Balai Besar/ Balai Taman Nasional yang merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHKA). Pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/ kota) walaupun di wilayahnya terdapat kawasan taman nasional tidak mempunyai kewenangan dalam pengelolaan taman nasional. Sementara itu pengelolaan taman nasional mempunyai cakupan luas, yang tidak saja berkaitan langsung dengan
83
kawasan taman nasional tetapi juga dengan kehidupan masyarakat sekitar (sosial ekonomi dan budaya) dan pembangunan sektor lain. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan taman nasional memerlukan dukungan kuat dari pemerintah daerah yang mempunyai otoritas pembangunan di daerah. Tidak adanya kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan taman nasional
menyebabkan
lemahnya
integrasi
pengelolaan
taman
nasional,
pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah. Pemerintah daerah belum menjadikan pengembangan taman nasional sebagai salah satu fokus pembangunan di daerah, sehingga pembangunan sektor lain seperti sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, pariwisata, kimpraswil, dan lain-lain, belum mendukung secara penuh pengembangan taman nasional. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada hakekatnya membuka peluang desentralisasi. Pasal 38
ayat
(1)
undang-undang
tersebut
menyatakan
bahwa
“Dalam
rangka
pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah”.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 62
Tahun 1998 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan kepada Daerah,
pengelolaan taman nasional tidak termasuk urusan
yang diserahkan baik kepada Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten. Sementara itu dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah, tidak diatur adanya kewenangan dan atau kewajiban bagi pemerintah daerah yang diwilayahnya terdapat kawasan konservasi termasuk taman nasional. Kondisi tersebut menjadikan pengelolaan taman nasional sulit untuk diintegrasikan dengan pembangunan daerah. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini integrasi pengelolaan taman nasional dengan pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah masih lemah. Hasil penelitian terhadap kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT menjadi input/ masukan dalam mengidentifikasi faktor-faktor strategis pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata pada Sub Bab V. D. dan membangun model dinamik pada Sub Bab V. E.
84
B. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan TNBT Sesuai pendapat Pomeroy (1994) bahwa pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi merupakan integrasi dari pengelolaan berbasis pada sumberdaya (resource based management), pengelolaan berbasis pada kemampuan masyarakat (community based management) dan pengelolaan berbasis pada kemampuan dalam memanfaatkan basis-basis kompetisi (marketing based management). Untuik mengetahui kemampuan masyarakat tradisional dan masyarakat penyangga dalam pengelolaan TNBT maka dilakukan penelitian terhadap persepsi dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNBT.
Penelitian dilakukan
terhadap masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT dan masyarakat daerah penyangga yang
bermukim di desa-desa penyangga TNBT. Penelitian
difokuskan pada aspek pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan kawasan TNBT, pengetahuan masyarakat terhadap tujuan pengelolaan TNBT, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata TNBT, dan harapan masyarakat terhadap pengelolaan ekowisata TNBT. 1. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Tradisional Berdasarkan
hasil
pengamatan
dan
wawancara
dengan
masyarakat
tradisional yang tinggal di kawasan TNBT didapatkan bahwa 100% responden menyatakan telah tinggal dikawasan TNBT sejak mereka dilahirkan, atau tidak ada seorangpun responden yang berasal dari luar kawasan TNBT. Berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tradisional terhadap keberadaan kawasan TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 70%
responden
mengetahui kalau mereka
tinggal di kawasan TNBT, dan 30% menyatakan tidak mengetahui kalau tinggal di kawasan TNBT. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan TNBT adalah murni masyarakat tradisional yang telah tinggal di kawasan TNBT secara turun temurun. Namun demikian walaupun mereka telah tinggal di kawasan TNBT sejak lahir ada sebagian dari mereka yang belum mengetahui kalau mereka tinggal di kawasan taman nasional. Berkaitan dengan persepsi masyarakat tradisional terhadap pengelolaan TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa sekitar 22% responden menyatakan
85
mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional, dan sebagian besar lainnya (78%) belum mengetahui maksud dan tujuan pengelolaan taman nasional. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan karena ternyata walaupun masyarakat tradisional telah tinggal di kawasan TNBT secara turun temurun, namun sebagian besar mereka masih belum mengetahui maksud / tujuan pengelolaan taman nasional. Masyarakat tradisional yang mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional menyatakan bahwa taman nasional dikelola dengan tujuan untuk mempertahankan keberadaan hutan, melindungi binatang buas, melindungi jernang, petai dan jenis tumbuhan lain yang bermanfaat, dan melindungi masyarakat Suku Talang Mamak. Tingkat pengetahuan responden terhadap tujuan pengelolaan taman nasional dapat dilihat pada Gambar 19. 22%
Keterangan : Tahu Tidak tahu 78%
Gambar 19.
Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud / Tujuan Pengelolaan Taman Nasional.
Berkaitan dengan persepsi masyarakat tradisional terhadap adanya kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 38% masyarakat tradisional mengetahui adanya kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional, dan sisanya 62% menyatakan tidak mengetahui. Menurut masyarakat tradisional,
kegiatan-kegiatan yang dilarang
dilakukan di kawasan taman nasional adalah menebang pohon, merusak hutan, membuka hutan keramat, membunuh binatang buas, membakar lahan, meracun ikan, menebang pohon sialang, menangkap burung, dan mencari gaharu, Walaupun sebagian besar masyarakat tradisional tidak mengetahui tentang kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional namun budaya yang melekat dalam kehidupan mereka telah melarang melakukan merusak
alam.
kegiatan yang
Pada umumnya masyarakat Suku Melayu dan Talang Mamak
memiliki dasar dan konsep pengelolaan konservasi. Bahkan masyarakat tersebut
86
telah memiliki konsep pengelolaan ruang / wilayah secara tradisional. Batas antara kampung dengan kampung lainnya diatur dengan baik. Dalam pembatasan wilayah mereka mengenal pepatah "Cucur Ayik Sinding Pematang" di mana batas antara batin atau kampung dibatasi oleh sungai dan aliran sungai ke induk sungai. Selain itu mereka juga mengenal
“puaka‘ yaitu hamparan hutan yang
dikeramatkan dan dipercayai adanya roh-roh gaib dari leluhur yang bersemayam di daerah tersebut. Pada kampung juga terdapat banyak sialang (pohon yang dihinggapi lebah yang menghasilkan madu). Menebang pohon sialang merupakan kesalahan kedua setelah membunuh manusia. Jika pohon sialang tertebang maka masyarakat akan mengadakan upacara menebus kematian pohon kehidupan dengan memberi sepucuk kain putih. Kalau sialang tertebang akan dilakukan denda baik bagi masyarakat setempat ataupun pihak luar. Sialang juga mempunyai fungsi sosial karena dalam pemanfaatan madu semua unsur dalam masyarakat mendapatkannya, dan fungsi ekonomi, karena satu pohon sialang bisa menghasilkan madu yang bernilai ekonomis. Dalam pengelolaan wilayah masyarakat Suku Melayu dan Talang Mamak memiliki pepatah " tindik dabu, lupak pendanauan, sialang pendulangan, cucur ayik sinding pematang" (sesuatunya didasarkan pada adat, sungai dilindungi untuk mendapatkan ikan, sialang untuk mendapatkan madu, batas desa dan kekuasaan didasarkan pada sungai yang mengalir pada sungai besar (DAS). Berkaitan dengan keterlibatan masyarakat tradisional dalam kegiatan ekowisata di TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 66 % masyarakat tradisional menyatakan terlibat dalam kegiatan ekowisata di TNBT, dan 34 menyatakan tidak terlibat
dalam kegiatan ekowisata
TNBT.
%
Adapun bentuk
keterlibatan masyarakat tradisional dalam pengelolaan ekowisata di TNBT adalah sebagai pemandu, penyewaan sarana transportasi air (perahu), penjualan souvenir (tikar, sumpit), dan jasa pengobatan. Menurut masyarakat tradisional, disamping mendapatkan manfaat secara ekonomi, manfaat lain keterlibatan mereka dalam kegiatan
ekowisata
memperbanyak kawan.
adalah
menambah
pengetahuan/
pengalaman
dan
Persentase responden berdasarkan keterlibatan dalam
kegiatan ekowisata TNBT dapat dilihat pada Gambar 20.
87
Keterangan :
34%
Terlibat Tidak terlibat 66%
. Gambar 20. Persentase Responden Berdasarkan Keterlibatannya dalam Kegiatan Ekowisata di TNBT. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pengelolaan ekowisata TNBT secara langsung telah memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat tradisional, namun mengingat masih berlum berkembangnya pengelolaan ekowisata TNBT maka jumlah masyarakat tradisional yang mendapatkan manfaat tersebut masih sangat terbatas. Berkenaan dengan hal tersebut masyarakat tradisional mengharapkan agar hutan TNBT dapat terus dijaga (tidak dirusak oleh orang luar) dan dimasa mendatang semakin banyak masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan ekowisata. 2. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Daerah Penyangga Hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan formal penduduk di daerah penyangga TNBT menunjukkan bahwa sebagian besar (46%) responden tidak sekolah/ tidak tamat SD, 9% tamat pendidikan SD, 12% tamat pendidikan SLTP, 33% tamat pendidikan SLTA, dan tidak ada seorang responden yang berpendidikan Diploma / Sarjana.
Sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada
Gambar 21. Keterangan : 33% 46%
12%
Tidak tamat SD SD SLTP SMU
9%
Gambar 21. Tingkat Pendidikan Responden dari Masyarakat Daerah Penyangga Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di daerah penyangga TNBT disebabkan oleh kurangnya sarana pendidikan terutama sarana pendidikan tingkat lanjut, minimnya sarana transportasi untuk menjangkau daerah yang ada sarana
88
pendidikan tingkat lanjut, kurangnya biaya sekolah, dan adanya keengganan dari para orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi setelah tamat sekolah dasar.
Para orang tua cenderung memanfaatkan
tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan mereka dalam kegiatan sehari-hari. Berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 90% responden mengetahui keberadaan TNBT dan 10 %
menyatakan tidak mengetahui adanya TNBT.
Responden yang mengetahui
adanya TNBT menyatakan mendapatkan informasi tentang keberadaan kawasan TNBT dari petugas Balai TNBT. Responden yang menyatakan mengetahui maksud / tujuan pengelolaan taman nasional sebanyak 59% , dan 41% lainnya menyatakan tidak mengetahui maksud / tujuan pengelolaan taman nasional.
Tingkat
pengetahuan responden terhadap maksud / tujuan pengelolaan taman nasional seperti pada Gambar 22.
Keterangan : Tahu Tidak tahu
41%
59%
Gambar 22. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud / Tujuan Pengelolaan Taman Nasional. Masyarakat yang mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional menyatakan bahwa taman nasional dikelola dengan tujuan untuk melindungi hutan TNBT, mencegah banjir dan erosi, melindungi tempat hidup satwa, sebagai sumber air bersih, sebagai tempat wisata,
dan memberikan manfaat bagi kehidupan
masyarakat sekitar. Berkaitan dengan manfaat taman nasional bagi kehidupan masyarakat, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 78% responden menyatakan mendapatkan manfaat dari kawasan TNBT dan 22% menyatakan tidak mendapatkan manfaat. Masyarakat yang mendapatkan manfaat menyatakan bahwa kawasan TNBT bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam hal (diurut berdasarkan yang paling sering disebut): jasa lingkungan (air dan udara bersih), wisata alam, hasil hutan non kayu (buah, jernang, madu, rotan dll.), dan satwa liar
89
Berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam kegiatan ekowisata di TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa hanya 13% responden yang menyatakan terlibat dalam kegiatan ekowisata di TNBT, dan 87% lainnya menyatakan tidak terlibat.
Persentase responden berdasarkan keterlibatannya dalam kegiatan
ekowisata di TNBT seperti pada Gambar 23.
Adapun bentuk keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan ekowisata di TNBT adalah sebagai pemandu dan penyedia jasa transportasi. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang berada desa-desa penyangga di jalur ekowisata TNBT yang terlibat dalam kegiatan ekowisata TNBT. 13%
Keterangan : Terlibat Tidak terlibat 87%
Gambar 23.
Persentase Responden Berdasarkan Keterlibatannya dalam Kegiatan Ekowisata di TNBT.
Harapan masyarakat daerah penyangga terhadap pengelolaan ekowisata di TNBT adalah perbaikan jalan dan sarana wisata, pengembangan obyek wisata baru yang menarik, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata, meningkatkan keamanan bagi wisatawan, dan dikembangkannya daerah penyangga TNBT sebagai daerah tujuan wisata. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat daerah penyangga dalam pengelolaan ekowisata TNBT
tidak sejalan dengan prinsip ekowisata
yang
dikemukakan oleh The International Ecotourism Society (2005 ) dimana masyarakat dituntut untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan ekowisata. Hasil penelitian terhadap persepsi dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNBT, menjadi input / masukan dalam mengidentifikasi faktor-faktor strategis pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata pada Sub Bab V. D. dan membangun model dinamik pada Sub Bab V. E.
90
C. Potensi Pengembangan Pengelolaan TNBT Berbasis Ekowisata Potensi pengembangan pengelolaan TNBT dikaji berdasarkan kondisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) ekowisata sebagai berikut : 1. Kondisi Penawaran Ekowisata TNBT Menurut Damanik & Weber (2006), elemen penawaran wisata sering disebut sebagai triple A’s yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Selain ketiga elemen tersebut juga dikaji kegiatan promosi dan pelayanan kepada ekowisatawan yang telah dilaksanakan oleh Balai TNBT. a. Attraksi Ekowisata Atraksi adalah
objek ekowisata (baik yang bersifat tangible maupun
intangible) yang memberikan kenikmatan kepada ekowisatawan yang terdiri dari alam, budaya, dan buatan. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitally / keramah-tamahan (Damanik & Weber, 2006). 1) Sumber daya alam dan budaya Taman Nasional Bukit Tigapuluh mempunyai potensi sumberdaya alam dan budaya masyarakat tradisional yang sangat tinggi ditinjau dari aspek ekowisata. Saat ini terdapat sembilan obyek yang telah dikelola sebagai attraksi ekowisata TNBT dengan deskripsi masing-masing obyek sebagai berikut : a) Panorama Alam Camp Granit “Camp
Granit” merupakan
lokasi
ekowisata
TNBT
yang
mempunyai
aksessibilitas paling mudah dikunjungi karena berada pada jarak hanya sekitar 13 km dari jalan Lintas Timur Sumatera, tepatnya di Desa Talang Lakat Kecamatan Batang Gangsal, Kab. Indragiri Hulu. Lokasi tersebut disebut Camp Granit, karena sebelum ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, terdapat camp perusahaan pertambangan batu granit PT. Isatama Bumi Nusa. Sejak kawasan tersebut ditunjuk sebagai taman nasional, lokasi tersebut dikembangkan sebagai obyek ekowisata dan bekas camp tersebut difungsikan sebagai Pusat Pelatihan Pemadam Kebakaran Hutan sekaligus sebagai sarana pendukung ekowisata (visitor centre, information centre, dan akomodasi).
91
Kondisi bentuk lahan (land form) Camp Granit dengan topografi berat memberikan keuntungan tersendiri karena dikelilingi lembah dan bukit sehingga memungkinkan untuk melihat panorama alam perbukitan. Sambil menikmati indahnya panorama alam, ekowisatawan dapat mendengarkan suara berbagai jenis primata seperti owa (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), dan lutung ( Presbytis cristata), serta dapat melihat beranekaragam jenis burung. Panorama alam Camp Granit akan semakin menarik di pagi hari atau sore hari dimana aktifitas jenis-jenis primata dan burung tersebut meningkat, ditambah lagi oleh indahnya kabut tipis yang menutupi kawasan perbukitan.
Gambar 24. Panorama Alam di Camp Granit b) Air Terjun Granit Air terjun Granit dapat ditempuh dari Camp Granit dengan berjalan kaki selama 20 menit dengan jarak tempuh 700 m. Untuk menuju air terjun juga dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat.
Air terjun Granit
merupakan air terjun yang jatuh dari puncak bukit batu granit dengan ketinggian sekitar 20 m. Air terjun tersebut terbentuk akibat proses penambangan batu granit yang memotong bukit tempat mengalirnya Sungai Akar yang kemudian menyisakan suatu tebing terjal dan air terjun yang jatuh dari puncak tebing tersebut. Di atas lokasi air terjun terdapat hamparan tanaman anggrek tanah (Spathoglotis plicata Blume) sehingga sering disebut dengan kebun anggrek. Pada waktu berbunga akan
92
terlihat satu hamparan kebun anggrek yang mempesona sehingga memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung. c) Keanekaragaman Jenis Flora Bukit Lancang Keanekaragaman jenis flora dapat ditemukan di jalur trecking Bukit Lancang. Pada jalur trecking sepanjang sekitar 3,4 km dengan waktu tempuh selama 2- 4 jam dari Pusat Informasi Camp Granit tersebut, ekowisatawan dapat menikimati keanekaragaman jenis flora hutan hujan dataran rendah khususnya dari suku Dipterocarpaceae misalnya jenis Meranti (Shorea sp.)
diantaranya
Shorea
abovoidae dan Shorea acuminate. Pada puncak Bukit Lancang ekowisatawan dapat melihat pohon mersawa dengan ukuran raksasa berdiameter lebih dari dua meter serta jenis flora langka lainnya seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia). Selain dapat menikmati keanekaragaman jenis flora, dengan melalui jalur trecking tersebut ekowisatawan akan menikmati tantangan mendaki bukit ber-topografi curam dan licin. d) Keanekaragaman Jenis Fauna Bukit Tengkorak Keanekaragaman jenis fauna dapat ditemukan di jalur Trecking Bukit Tengkorak. Pada jalur trecking yang terletak di sebelah utara Camp Granit dengan panjang sekitar 3,5 km dan dengan waktu tempuh selama 2 – 3 jam tersebut ekowisatawan dapat mengamati berbagai jenis burung seperti
Cucak kuricang
(Pycnonotus atriceps), Layang-layang api (Hirundo rustica) dan Kirik-kirik biru (Merops viridis).
Berdasarkan hasil pengamatan Program Konservasi Harimau
Sumatera (PKHS) jalur
tersebut merupakan home range (daerah jelajah) dari
harimau sumatera dan beruang madu. e) Panorama Alam Anak Sungai Akar Jalur trecking Anak Sungai Akar mempunyai panjang sekitar 3,3 km yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu 1,2 km perjalanan menembus hutan hujan tropis, 1,1 km menyusuri anak sungai akar, dan 1 km melalui jalan eks-pertambangan. Waktu tempuh perjalanan pada jalur ini sekitar 1,5 jam. Jalur trecking ini mempunyai panorama alam yang indah dan udara perbukitan yang segar. Disamping menikmati indahnya panorama alam, pada jalur tersebut
ekowisatawan dapat menikmati
93
pengalaman berupa berjalan melalui batu-batu sungai yang besar dan berlapis-lapis. Beberapa jenis flora yang dapat ditemukan pada jalur tersebut antara lain anggrek, jernang, rotan, pinang dan liana.
Sedangkan jenis fauna yang menambah
keindahan panorama alam jalur tersebut adalah Rangkong badak (Buceros rhinoceros) dan Serindit (Loriculus galgulus), serta beberapa jenis primata terutama dari famili Hylobatidae. f) Air Terjun Sutan Limbayang Air terjun Sutan Limbayang berada di aliran Sungai Kuning yang bermuara ke Sungai Datai. Untuk mencapai lokasi tersebut dari
Dusun Tua Datai ditempuh
dengan jalan kaki selama sekitar 3 jam melewati hutan dan menyusuri Sungai Kuning. Nama Sutan Limbayang diambil dari nama pendahulu masyarakat Talang Mamak. Menurut kepercayaan masyarakat setempat konon air terjun ini merupakan tempat keramat dan kerap dijadikan sebagai tempat bersemedi. Air terjun Sutan Limbayang memiliki tinggi sekitar 25 meter dan menurut informasi dari masyarakat airnya tidak pernah kering. Kondisi di sekitarnya masih sangat alami dengan dikelilingi rimbunnya vegetasi hutan hujan tropis yang masih asli, ada dua pohon besar jenis pulai dan jelutung yang kokoh berdiri tegak seakanakan menjadi pengawal setia air terjun. Keunikan lain dari air terjun tersebut adalah tebing air terjun yang nampak seperti tersusun atas empat susunan batuan.
Gambar 25. Air Terjun Sutan Limbayang
94
g) Sungai Batang Gangsal Sungai Batang Gangsal merupakan sungai terbesar yang terdapat di kawasan TNBT. Sungai tersebut membelah kawasan TNBT dari arah selatan ke utara yang melewati beberapa dusun yang dihuni oleh masyarakat tradisional Suku Talang Mamak dan Melayu Tua, yaitu Dusun Tua Datai, Dusun Suwit, Sadan, Air Bomban, Nunusan, Dusun Air Tabo, dan Dusun Lemang. Perjalanan dari Dusun Tua Datai ke
Dusun Lemang dapat ditempuh selama 2 hari.
Menyusuri Sungai Batang
Gangsal dengan menggunakan perahu atau rakit merupakan atraksi ekowisata yang sangat mengasikkan.
Gambar 26. Menyusuri Sungai Batang Gansal h) Air Terjun Papunawan Air Terjun Papunawan
merupakan air terjun bertingkat dengan ketinggian
sekitar 15 m. Lokasi air terjun tersebut dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar 2 jam dari lokasi pemukiman penduduk di Desa Rantau Langsat. Di sekitar air terjun terdapat areal untuk berkemah yang biasa digunakan ekowisatawan. i) Budaya Suku Talang Mamak Suku Talang Mamak
dapat ditemui pada dusun-dusun yang berada di
sepanjang Sungai Batang Gangsal. Suku tersebut memiliki budaya yang sangat menarik misalnya pelaksanaan upaca pernikahan, sunatan, kelahiran, pengobatan dan penghormatan roh yang telah meninggal. Selain itu ekowisatawan dapat melihat kehidupan sehari-hari Suku Talang Mamak yang sangat dekat dengan alam.
95
Peta lokasi obyek ekowisata yang berada di Camp Granit dan jalur Sungai Batang Gangsal disajikan pada Gambar 27. dan 28.
Gambar 27.
Peta Lokasi Obyek Ekowisata di Camp Granit
Camping ground
96
Gambar 28. Peta Lokasi Obyek Ekowisata di Sungai Batang Gangsal 2) Hospitality (keramah-tamahan) Ekowisatawan
TNBT akan dilayani oleh masyarakat penyedia jasa yang
terkait dengan ekowisata (akomodasi, transportasi, pemandu, dll)
dengan penuh
keramah-tamahan sesuai budaya masyarakat Melayu. Sesampaikan di kawasan TNBT, masyarakat Suku Talang Mamak
juga akan menyambut kedatangan
ekowisatawan dengan akrab dan ramah sesuai dengan adat dan tradisi mereka. Terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas ekowisata Balai TNBT, 37,5 % ekowisatawan menyatakan petugas telah melayani dengan ramah, dan 62,5 % ekowisatawan menyatakan petugas telah melayani dengan cukup ramah. b. Aksessibilitas Aksesibilitas
mencakup
keseluruhan
infrastruktur
transportasi
yang
menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan wisata (Inskeep 1994 dalam Damanik & Weber 2006). Untuk menuju ke Kantor Balai TNBT yang berlokasi di Rengat Barat, dari Kota Pekanbaru dapat ditempuh dengan jalan darat dengan jarak 180 Km dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Sedangkan dari kota Jambi dapat ditempuh dengan jalan darat sejauh 310 km dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Kondisi jalan dari Kota
97
Pekanbaru ke Rengat Barat lebih baik dibandingkan dengan kondisi jalan dari Kota Jambi. Demikian pula kondisi jalan dari Kota Jambi ke Rengat Barat disamping sangat jauh juga berbelolk-belok sehingga sering kurang menyenangkan bagi ekowisatawan. Dari Kantor Balai TNBT ke lokasi TNBT ditempuh melalui Jalan Lintas Timur Sumatera dengan jarak sekitar 60 km dan waktu tempuh sekitar satu jam. Dari jalan Lintas Timur Sumatera, terdapat tiga jalan masuk ke lokasi ekowisata TNBT, yakni : 1) Dari Simpang Pendowo Desa Keritang ke Simpang Datai (batas kawasan TNBT) sepanjang sekitar 20 Km, 2) Dari Simpang Granit Desa Talang Lakat ke lokasi ekowisata Camp Granit sepanjang 13 Km, dan 3) Dari Simpang Siberida Desa Siberida ke Desa Rantau Langsat sepanjang 15 Km.
Jalur pertama
merupakan jalan bekas HPH yang berupa jalan tanah dimana pada saat musim hujan kondisinya berlumpur dan hanya bisa dilalui kendaraan roda empat double gardan atau kendaraan roda dua. Jalur kedua merupakan jalan bekas perusahaan tambang batu Granit yang berupa jalan diperkeras. Karena kondisi topografi yang terjal dan kurangnya perawatan, sebagian besar jalan tersebut sudah rusak, namun masih bisa dilalui oleh semua jenis kendaraan roda empat dan roda dua. Kedua jalan tersebut melalui kawasan hutan produksi eks HPH yang sebagian telah dirambah oleh masyarakat untuk dijadikan kebun sawit.
Sedangkan jalur ketiga
merupakan jalan kabupaten yang kondisinya sebagian sudah diaspal dan sisanya baru diperkeras. Jalur tersebut melalui beberapa desa penyangga TNBT. Pada ketiga jalan masuk ke lokasi ekowisata TNBT tersebut belum tersedia sarana angkutan umum kecuali ojek.
Gambar 29. Kondisi Jalan dari Simpang Granit ke Camp Granit
98
Dengan kondisi aksessibilitas tersebut, 52,5% ekowisatawan menyatakan mengalami kesulitan untuk mencapai lokasi ekowisata TNBT. Jenis kesulitan yang dihadapi oleh ekowisatawan untuk mencapai lokasi ekowisata TNBT adalah karena faktor jalan rusak (55,6%), medan berat (27,8 %), lokasi terpencil (11,1%) dan tidak adanya papan petunjuk arah (5,6%). Rusaknya jalan dan beratnya medan pada ketiga ruas jalan yang menghubungkan Jalan Lintas Timur Sumatera dengan lokasi ekowisata TNBT menyebabkan rendahnya tingkat aksesibilitas ke lokasi ekowisata TNBT. c. Amenities Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan pariwisata tapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti Bank, money changer, sarana telekomonikasi, dan lain-lain. Semua jenis infrastruktur pendukung ekowisatawan tersebut telah tersedia di Kota Rengat, sehingga ekowisatawan dapat menyelesaikan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke kawasan TNBT. d. Promosi Dalam rangka menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke TNBT,
Balai
TNBT telah melakukan beberapa bentuk kegiatan promosi dan publikasi. . Kegiatan promosi dan publikasi dilakukan dalam bentuk pembangunan
pusat informasi
pemasangan billboard, penerbitan media cetak seperti leaflet, booklet, poster dan kalender.
Selain itu pada beberapa kesempatan Balai TNBT mengadakan/
mengikuti pameran baik di tingkat kabupaten maupun propinsi. Berdasarkan
hasil
pengisian
kuesioner
didapatkan
bahwa
36,1%
ekowisatawan menyatakan mendapatkan informasi tentang ekowisata TNBT dari kegiatan sosialisasi/ kampanye/ pameran yang dilaksanakan oleh Balai TNBT, 26,2% mendapatkan informasi dari teman/ saudara, 22,9% mendapatkan informasi dari media cetak (leaflet, booklet, majalah, koran), 11,5% mendapatkan informasi dari media elektronik, dan hanya 3,3% mendapatkan informasi dari sumber lain. Upaya promosi yang dilakukan oleh Balai TNBT tersebut telah mampu menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke TNBT. Sebanyak 49,2% ekowisatawan yang
99
berkunjung ke TNBT menyatakan terdorong oleh keinginan untuk membuktikan informasi yang telah diperoleh.
Gambar 30. Pusat Informasi TNBT e. Pelayanan Pengunjung Pelayanan terhadap ekowisatawan TNBT dimulai dari tahap pemberian informasi, pengurusan tiket masuk, pengaturan akomodasi, dan pelayanan jasa pemandu.
Saat ini terdapat 2 orang pegawai Balai TNBT yang secara khusus
bertugas dibagian pelayanan ekowisawa. Pemberian informasi dilakukan dengan tiga cara yaitu penjelasan secara lisan dengan alat peraga berupa display yang ada di Pusat Informasi, pemberian informasi secara tertulis (leaflet dan booklet), dan/ atau pemutaran film di ruang audio visual Pusat Informasi. Pemilihan metode/ cara pemberian informasi kepada ekowisatawan disesuaikan dengan karakteristik pengunjung (umur, jenis pekerjaan) dan sifat kunjungan (sendiri, nerkelompok). Pelayanan tiket masuk ekowisatawan dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.223/Menhut-II/2004 yang mengatur tentang pembagian rayon Taman Nasional dalam rangka penerimaan negara bukan pajak. Berdasarkan ketentuan tersebut harga tiket masuk ekowisatawan kawasan TNBT (termasuk Rayon III) sebesar Rp nusantara dan Rp 10.000,-
1.000,-
untuk wisatawan mancanegara.
ke
untuk wisatawan Harga tiket masuk
kendaraan roda dua sebesar Rp 1.000,- dan roda empat sebesar Rp 2.000,-
100
2. Kondisi Permintaan Ekowisata TNBT Berdasarkan hasil pengisian kuesioner oleh 60 rersponden yang diambil dari ekowisatawan TNBT selama periode penelitian didapatkan bahwa 80% ekowisawan TNBT merupakan ekowisatawan domestik yang berasal dari tiga kabupaten terdekat dengan kawasan TNBT yaitu Kab. Pelalawan.
Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir dan Kab.
Sedangkan 20% lainnya merupakan ekowisatawan domestik yang
berasal dari luar wilayah tiga kabupaten tersebut, seperti Pekanbaru, Medan, Jambi, dan Bandar Lampung Berdasarkan kelas umurnya, 55% ekowisatawan berumur antara 31 – 40 tahun, 25% berumur antara 41 – 50 tahun, 13% berumur 20 -30 tahun, dan 7% berumur lebih dari 51 tahun.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, 37,5%
ekowisatawan berpendidikan SLTA, 35% berpendidikan Sarjana, 20% berpendidikan Diploma,
5% berpendidikan SD, dan 2,5 % berpendidikan
Pasca Sarjana.
Berdasarkan jenis pekerjaannya, 45 % ekowisatawan adalah pegawai negeri sipil (PNS), 27,5% pegawai swasta, 15% wiraswastawan, 7,5% mahasiswa, dan 5% mempunyai jenis pekerjaan lain. Sedangkan berdasarkan tingkat penghasilan perbulan,
76% ekowisatawan berpenghasilan 1,5 – 3,5 juta rupiah, 19%
berpenghasilan 3,5 – 6,5 juta rupiah, dan 5% berpenghasilan 500 ribu – 1, 5 juta rupiah. Persentase jumlah ekowisatawan berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Gambar 31. Sedangkan daftar jumlah ekowisatawan TNBT mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2.
2%
Keterangan :
5%
35% 38%
SD SLTA Diploma Sarjana Pasca Sarjana
20%
Gambar 31. Persentase Jumlah Ekowisatawan Berdasarkan Tingkat Pendidikannya.
101
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa
sebagian besar ekowisatawan
TNBT berasal dari daerah kabupaten di sekitar kawasan TNBT dengan tingkat pendidikan SLTA dan Sarjana serta bekerja sebagai PNS dan pegawai swasta. Terhadap besarnya nilai tariff tersebut, 60% ekowisatawan menyatakan tidak terlalu mahal dan 40% lainnya menyatakan terlalu mahal. Terhadap kondisi pelayanan secara keseluruhan, 55% ekowisatawan menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan sudah cukup baik, 25% menyatakan baik, dan 20% menyatakan kurang baik.
Terhadap jumlah petugas yang melayani ekowisata , 65%
ekowisatawan menyatakan kurang memadai, 25 % menyatakan cukup memadai, dan hanya 10% yang menyatakan sudah memadai.
Sedangkan
ekowisatawan
52,5%
terhadap
kondisi
sarana-prasarana,
tanggapan
ekowisatawan
menyatakan kondisi sarana-prasarana ekowisata TNBT saat ini masih kurang baik, 40% menyatakan sedang atau cukup baik, dan hanya 7,5 % yang menyatakan sudah baik. Secara umum, sebagian besar (62,5%) ekowisatawan menyatakan cukup puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pengelola ekowisata TNBT, 35% menyatakan puas, dan hanya 2,5 % yang menyatakan tidak puas. Selama melakukan kunjungan ke lokasi ekowisata TNBT,
sebagian besar
(92,5 %) ekowisatawan menyatakan mendapat kesan yang menyenangkan dan hanya 7,5 % yang menyatakan mendapat kesan yang tidak menyenangkan. Alasan mereka menyatakan mendapat kesan yang menyenangkan adalah karena dapat menikmati hutan yang masih asli, panorama alam yang indah, mengenal flora dan fauna, serta dapat melihat budaya masyarakat tradisional. Sedangkan mereka yang menyatakan mendapat kesan yang tidak menyenangkan adalah karena jalan menuju lokasi ekowisata kondisinya rusak. Namun demikian seluruh ekowisatawan menyatakan berminat untuk berkunjung kembali ke TNBT dengan alasan ingin tahu lebih banyak TNBT, menyukai hutan yang masih asli, menambah pengalaman, dan mengetahui lebih banyak budaya masyarakat tradisional. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui adanya kesenjangan (gaps) antara kondisi penawaran dan permintaan ekowisata TNBT, sebagai berikut : 1) Ekowisatawan tertarik mengunjungi obyek ekowisata TNBT namun mengalami kesulitan mencapai lokasi karena jalan akses rusak,
102
2) Promosi dapat menarik minat ekowisatawan berkunjung
ke TNBT, namun
kegiatan promosi yang dilakukan oleh Balai TNBT belum intensif karena keterbatasan anggaran, 3) Kondisi hutan TNBT yang masih asli / alami menjadi faktor yang paling menarik bagi ekowisatawan untuk berkunjung ke TNBT, namun di kawasan TNBT terjadi perladangan berpindah yang merusak hutan alam. 4) Menurut ekowisatawan, pelayanan oleh petugas Balai TNBT sudah cukup baik namun jumlah petugas yang melayani ekowisata masih belum memadai Terhadap kondisi pengelolaan ekowisata TNBT, ekowisatawan memberi saran sebagai berikut : 1) Perlu adanya peningkatan promosi (28%), 2) Pengembangan sarana-prasarana termasuk perbaikan jalan akses (27,1%), 3) Pengembangan atraksi (jumlah / daya tarik) ekowisata (22,9%), dan 4) Peningkatan pelayanan pengunjung (22%). Peningkatan promosi 22%
28%
23% 27%
Pengembangan sarana-prasarana Pengembangan atraksi ekowisata Peningkatan pelayanan
Gambar 32. Saran Ekowisatawan Terhadap Pengembangan Ekowisata TNBT Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat
didapatkan bahwa
masyarakat tradisional dan masyarakat yang tinggal di daerah penyangga TNBT berharap pengembangan ekowisata TNBT akan membuka lapangan kerja dan meningkatkan
pendapatan
masyarakat.
Selain
itu
masyarakat
berharap
ekowisatawan TNBT menghormati adat dan budaya masyarakat setempat dan ikut menjaga hutan alam TNBT. Selain keterlibatan masyarakat sebagai
pemandu,
penyedia jasa transportasi, penyedia jasa akomodasi, dan penjualan souvenir, mereka juga berharap dapat dilibatkan dalam proses pengembangan obyek ekowisata di kawasan TNBT. Hal ini karena masyarakat lebih tahu tentang kondisi alam TNBT dimana mereka tinggal selama bertahun-tahun.
103
Sedangkan harapan pemerintah daerah terhadap pengembangan ekowisata TNBT adalah adanya kontribusi langsung pengelolaan ekowisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD) setempat.
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
Pengelolaan ekowisata TNBT diharapkan dapat dikaitkan dengan
pengelolaan obyek wisata lain yang ada di sekitar TNBT seperti Danau Raja di Kota Rengat .
Selain itu promosi
ekowisata TNBT
diharapkan
juga dapat
mempromosikan potensi daerah baik pada tingkat nasional maupun internasional. Hasil penelitian terhadap kondisi penawaran dan permintaan ekowisata TNBT seperti diuraikan di atas, menjadi input / masukan dalam mengidentifikasi faktorfaktor strategis pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata pada Sub Bab V. D. dan membangun model dinamik pada Sub Bab V E.
104