46
HASIL DAN PEMBAHASAN
A Verifikasi Data Hotspot Verifikasi data hotspot dilakukan terhadap data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei 2005 yang bersumber dari stasiun pengamat kebakaran JICA (Japan International Cooperation Agency ) yang berkedudukan di Jakarta dan ASMC (ASEAN Specialised Meteorological Center) yang berkedudukan di Singapura yang saat ini menjadi rujukan bagi negara-negara ASEAN untuk mendapatkan data dan informasi kejadian kebakaran. Data-data hotspot di wilayah penelitian dari stasiun pengamat JICA dan ASMC menunjukkan adanya perbedaan dalam jumlah dan posisi koordinat titik hotspot.
Masing -masing titik koordinat hotspot dari kedua stasiun
memiliki bias terhadap titik ho tspot hasil ground check d i lapangan Hasil verifikasi jarak titik hotspot stasiun pengamat terhadap titik hotspot di lapangan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil analisis statistik jarak koordinat titik hotspot stasiun pengamat JICA dan ASMC terhadap koordinat titik hotspot di lapangan Stasiun
Jarak rata-rata (m)
JICA
15273
ASMC
6853
T-value
p-value 6,52
0,000
Berdasarkan Tabel 8 jarak titik hotspot ASMC dan JICA terhadap titik hotspot lapangan diperoleh nilai p-value yang lebih kecil dari tarap nyata 95 persen. Hal ini menunjukkan, bahwa jarak rata-rata titik hotspot stasiun pengamat JICA terhadap hotspot lapangan berbeda sangat nyata dengan jarak rata-rata titik hotspot stasiun pengamat ASMC terhadap titik hotspot di lapangan dimana jarak rata-rata titik hotspot JICA lebih besar dari jarak ratarata stasiun pengamat ASMC. Apabila dilihat dari sebaran data jarak titik hotspot kedua stasiun pengamat terhadap hotspot lapangan, maka data hotspot yang bersumber dari stasiun pengamat ASMC dominan memiliki sebaran data jarak dibawah 10 km dan relatif lebih normal dibanding JICA dimana pada data hotspot ASMC
47
tidak terdapat pencilan data. Sementara pada data hotspot JICA dominan memiliki sebaran data jarak diatas 10 km. Beberapa data titik hotspot JICA memiliki jarak yang relatif lebih dekat terhadap titik hotspot real di lapangan dibanding data hotspot ASMC namun data jarak tersebut merupakan data pencilan dari sekumpulan data yang ada. Gambaran sebaran data hotspot dapat dilihat pada Gambar 13. Berdasarkan data pencilan seperti yang terlihat pada Gambar 13, maka diperoleh pandangan bahwa data hotspot stasiun pengamat ASMC tahun 2004 lebih konstan dalam menentukan posisi hotspot dipermukaan bumi dibanding stasiun pengamat JICA sehingga dalam pembangunan model spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan gambut data hotspot ASMC relatif akan lebih baik.
Selain itu penggunaan data
hotspot ASMC dalam pembuatan peta rawan kebakaran yang didasari atas sebaran hotspot relatif akan memberikan hasil yang mendekati kondisi real di lapangan.
20000 Meter
JARAK 10000 Meter
0
JICA
ASMC
STASIUN PENGAMAT KEBAKARAN
Gambar 13 Perbandingan sebaran data jarak titik hotspot stasiun pengamat JICA dan ASMC terhadap titik hotspot di lapangan.
48
Dalam usaha pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang efektif memerlukan deteksi dini dan pelaporan yang baik. Apabila rujukan data titik hotspot yang digunakan sebagai rujukan informasi memiliki bias yang besar terhadap posisi real hotspot di lapangan, maka deteksi dini tidak efisien, akibatnya kebakaran bisa menjadi demikian besar sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar pula. Pemadaman belum dilakukan sampai suatu kebakaran dapat diketahui atau dideteksi, oleh karena itu upaya-upaya penanggulangan menjadi terlambat. Untuk itu, deteksi kebakaran harus benarbenar diperhatikan agar upaya pemadaman dapat segera dan mudah dilakukan, sehingga kerugian yang diderita dapat ditekan sampai sekecil mungkin. B Klasifikasi Faktor Pendukung Kebakaran B.1 Infrastruktur Faktor infrastruktur (jaringan jalan, jaringan sungai dan pusat desa) dibagi atas beberapa kelas yang d idasari atas kemampuan jarak tempuh yang dapat dicapai oleh manusia untuk beraktivitas di lahan gambut. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, jarak tempuh terjauh yang dapat dicapai oleh manusia dari jalan adalah + 4 km. Informasi ini dijadikan sebagai dasar untuk membagi kelas jarak terhadap jalan, sungai dan pusat desa. Adapun kelas jarak dari jalan, sungai dan pusat desa secara berurutan ditunjukkan pada Tabel 9, 10 dan 11. Tabel 9 Kelas jarak tempuh manusia di lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan jalan Kelas Jarak 0 – 1000 meter 1000 – 2000 meter 2000 – 3000 meter 3000 – 4000 meter > 4000 meter
Luas (Hektar) 413.284,681 234.279,107 160.600,833 119.632,874 392.219,041
Persen Terhadap Luas Total 31,31 17,75 12,17 9,06 29,71
49
Tabel 10 Kelas jarak tempuh manusia di lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan sungai Kelas Jarak 0 – 1000 meter 1000 – 2000 meter 2000 – 3000 meter 3000 – 4000 meter > 4000 meter
Luas (Hektar) 492.708,019 311.580,457 213.598,909 137.706,921 171.665,068
Persen Terhadap Luas Total 37,12 23,48 16,09 10,38 12,93
Tabel 11 Kelas jarak tempuh manusia di lahan gambut dan luasannya terhadap pusat desa Kelas Jarak 0 – 1000 meter 1000 – 2000 meter 2000 – 3000 meter 3000 – 4000 meter > 4000 meter
Luas (Hektar) 28.742,635 657.03,226 781.92,283 808.40,335 1.115.882,529
Persen Terhadap Luas Total 2,10 4,80 5,71 5,90 81,49
Bila asumsi penyebab utama terjadinya kebakaran adalah kelalaian manusia baik yang disengaja maupun tidak disengaja dalam aktivitasnya di lahan gambut seperti dikutip dalam Bowen (2000), yang menyatakan bahwa semua kebakaran yang terjadi di Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya disebabkan oleh manusia sedangkan kebakaran yang disebabkan oleh petir sangat jarang terjadi pada kondisi seperti di Indonesia, kebakaran lapisan batu bara menyebabkan kerusakan yang tidak seberapa dan sangat terlokalisasi, maka Tabel 9 dan 10 memberi gambaran bahwa luas areal yang dapat dijangkau oleh manusia dari jaringan jalan dan sungai untuk beraktivitas dalam wilayah penelitian memiliki luas yang lebih besar dibanding jarak yang relatif jarang dijangkau oleh manusia (> 4 km). Hal ini dapat saja meningkatkan peluang semakin banyak lahan gambut yang terbakar dengan bertambahnya jaringan jalan dan sungai. B.2 Lingkungan Fisik B.2.1 Tipe Tutupan Lahan dan Vegetasi Wilayah Kabupaten Bengkalis terbagi atas beberapa tipe tutupan lahan dan vegetasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari PPLH dan
50
BAPLAN, wilayah penelitian terbagi atas delapan tipe tutupan lahan dan vegetasi seperti terlihat pada Tabel 12. Tabel 12
Tipe tutupan lahan dan vegetasi serta luasannya pada wilayah penelitian
Tipe Tutupan Lahan dan Vegetasi Hutan alam lahan kering Hutan alam rawa Hutan mangrove Hutan tanaman dan perkebunan Pemukiman Pertanian Rawa gambut Semak, alang -alang dan tanah terbuka
Luas (Hektar) 101,083 737.762,308 22.984,102 92.079,341 1.864,704 328.093,360 54.878,516 81.577,898
Persen Terhadap Luas Total 0,01 55,92 1,74 6,98 0,14 24,87 4,16 6,18
Tabel 12 menunjukkan, wilayah penelitian didominasi oleh tipe tutupan lahan dan vegetasi berupa hutan alam rawa dengan luasan 737.762,308 hektar atau mencakup 55,92% dari total luas wilayah penelitian. Tipe tutupan lahan ini senantiasa memiliki peluang terbakar yang relatif rendah bila berada dalam kondisi yang normal mengikuti ritme alam, namun bila melihat perkembangan dewasa ini yang terjadi terhadap hutan alam yang terus-menerus mengalami pembalakan baik legal maupun illegal serta terjadinya konversi lahan dari hutan menjadi hutan tanaman, perkebunan maupun pertanian, maka peluang terjadinya kebakaran akan besar mengingat kegiatan di atas terutama konversi lahan seringkali menggunakan api dalam kegiatan pembukaan lahan. Secara umum wilayah penelitian yang melingkupi wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis memiliki potensi yang besar mengalami kebakaran. Berdasarkan Tabel 12 selain hutan alam rawa tipe tutupan lahan dan vegetasi yang memiliki potensi besar megalami kebakaran baik akibat kegiatan manusia maupun kondisi bahan bakar didalamnya adalah hutan tanaman dan perkebunan; pertanian; alang alang, semak belukar dan tanah kosong.
Ketiga tutupan lahan dan
vegetasi di atas mencakup areal sebesar 38,03% dari total luas areal penelitian.
51
Kegiatan land clearing dengan mengunakan api pada hutan tanaman, perkebunan dan pertanian merupakan faktor utama besarnya peluang daerah tersebut mengalami kebakaran. Sedangkan pada daerah yang ditumbuhi alang-alang, semak belukar dan daerah gambut yang relatif terbuka bila berada dalam kondisi yang kering akan sangat mudah terbakar. B.2.2 Ketebalan Gambut Wilayah
administrasi
Kabupaten
Bengkalis
secara
umum
didominasi oleh satuan lahan berupa lahan gambut yang mencakup lebih dari 80% dari luas wilayah.
Tanah gambut di Kabupaten
Bengkalis memiliki ketebalan yang bervariasi mulai gambut tipis hingga gambut tebal yang dapat mencapai ketebalan 12 meter (Brady 1997, diacu dalam Otto 2004). Pengkelasan satuan lahan berupa lahan gambut berdasarkan ketebalan dibagi atas 4 kelas seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13
Kelas ketebalan lahan gambut dan luasannya pada wilayah penelitian
Kelas Ketebalan Gambut 0 – 25 cm 25 – 50 cm 50 – 200 cm > 200 cm
Luas (Hektar) 69.396,147 333.317,245 299.535,259 619.962,730
Persen Terhadap Luas Total 5,25 25,21 22,65 46,89
Tabel 13 memperlihatkan, lahan gambut dengan kelas ketebalan gambut dalam (> 200 cm) memiliki luasan terbesar yaitu 619.962,730 hektar atau mencakup 46.89% dari total luas lahan gambut yang ada dalam wilayah penelitian. Sedangkan gambut yang memiliki luasan terkecil adalah gambut dengan kelas ketebalan sangat dangkal (< 25 cm) dengan luas 69.396,147 hektar atau 5,25% dari luas total lahan gambut.
Lahan dengan ketebalan kurang dari 25 cm disebut
sebagai lahan bergambut (Anonim 2004) Berdasarkan definisi, gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah
52
berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya sed ikit mengalami perombakan.
Kondisi yang selalu basah dari gambut menyebabkan
lahan yang terbentuk dari gambut atau biasa disebut lahan gambut pada dasarnya sulit mengalami kebakaran terkecuali pada kondisi-kondisi yang ekstrim seperti musim kering yang luar biasa. Pengeringan
gambut
yang
terjadi
dewasa
ini
seringkali
disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan yang membangun kanalkanal tanpa memperhatikan permukaan air gambut serta pembalakan hutan yang marak terjadi hingga saat ini yang menyebabkan lahan gambut menjadi lebih terbuka. Pembukaan lahan dan pembalakan ini telah terjadi pada semua tingkatan ketebalan gambut. pembukaan
lahan
dan
pembalakan
pada
lahan
Kegiatan
gambut
telah
menyebabkan pengeringan pada gambut itu sendiri, kondisi ini akan memicu meningkatnya peluang terjadinya kebakaran apalagi didukung dengan teknik penggunaan api dalam kegiatan pembukaan lahan. Salah satu unsur terjadinya kebakaran ad alah unsur ketersediaan bahan bakar. Oleh karena itu gambut yang mengalami pengeringan merupakan bahan bakar yang potensial dalam memicu terjadinya kebakaran. Berdasarkan Tabel 13,
bila dikaitkan dengan fenomena yang
terjadi dewasa ini dimana telah banyak terjadi pembukaan lahan dan pembalakan, maka gambut yang memiliki ketebalan yang dalam memiliki potensi yang besar bagi terjadinya kebakaran mengingat jumlah bahan bakar yang tersedia dan luasan areal yang paling besar dari kelas ketebalan gambut lainnya. B.2.3 Tingkat Kehijauan Vegetasi Nilai NDVI merupakan cerminan tingkat kehijauan vegetasi (TKV) yang dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan. Kondisi TKV yang rendah dapat berakibat lanjut pada terjadinya kebakaran (LAPAN 2005). Semakin rendah TKV suatu wilayah, akan mengakibatkan wilayah tersebut cenderung lebih mudah terbakar. TKV dalam wilayah penelitian dibagi dalam 5 kelas berdasarkan atas
pengolahan
NDVI
pada
citra
Lansat
TM
tahun
2004
53
(path/raw 126/59 dan 127/59). Klasifikasi tingkat kehijauan vegetasi dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Klasifikasi tingkat kehijauan vegetasi dan luasannya dalam wilayah penelitian Kelas Tingkat Kehijauan Vegetasi Non Vegetasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
Luas (Hektar) 214.787,633 35.286,547 96.489,915 162.083,525 807.772,619
Persen Terhadap Luas Total 16,32 2,68 7,33 12,31 61,36
Tabel 14 menunjukkan, kelas tingkat kehijauan vegetasi yang tinggi memiliki luasan terbesar yaitu 807.772,619 hektar atau 61,36% dari total wilayah penelitian, sementara luasan terkecil dimiliki oleh kelas TKV sangat rendah yaitu seluas 35.286,547 hektar atau 2,68% dari total wilayah penelitian. Tingkat kehijauan vegetasi memiliki korelasi negatif dengan suhu dan berkorelasi positif dengan kelembaban. Daerah yang memiliki kondisi lingkungan dengan suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah memiliki potensi yang besar mengalami kebakaran. Oleh karena itu daerah yang memiliki tingkat kehijauan vegetasi yang rendah cenderung memiliki peluang yang lebih besar untuk terbakar. Berdasarkan Tabel 14 lahan gambut pada wilayah penelitian yang memiliki tingkat kehijauan vegetasi sangat rendah (NDVI 0,051 – 0,1) memiliki peluang yang paling besar mengalami kebakaran disebabkan pada daerah tersebut kelembaban udara sangat rendah dan kondisi bahan bakar (vegetasi) yang relatif kering sehingga api akan mudah timbul bila terdapat sumber panas. C Sebaran dan Kerapatan Hotspot C.1 Hubungan Kerapatan Hotspot dengan Infrastruktur Sebaran posisi dan jumlah hotspot memiliki keterkaitan dengan keberadaan infrastruktur. Adapun hubungan sebaran dan jumlah hotspot dilihat dari keberadaan jaringan jalan, jaringan sungai dan pusat desa secara berurutan dapat dilihat pada Tabel 15, 16 dan 17.
54
Tabel 15 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masingmasing kelas jarak dari jaringan jalan Kelas Jarak Sangat Dekat Dekat Sedang Jauh Sangat Jauh
Luas (Hektar) 413.284,68 234.279,11 160.600,83 119.632,87 392.219,04
Jumlah Hotspot
Kerapatan Hotspot Terhadap Luas Kelas
165 103 59 32 79
0,00040 0,00044 0,00037 0,00027 0,00020
Tabel 15 menunjukkan wilayah yang berjarak lebih dekat dengan jaringan jalan cenderung memiliki kerapatan hotspot yang lebih tinggi dibanding wilayah yang jauh dari jaringan jalan.
Kerapatan hotspot
tertinggi pada wilayah penelitian terdapat pada kelas jarak yang dekat dengan jalan sedangkan yang terendah terdapat pada kelas jarak sangat jauh dari jaringan jalan. Kondisi ini memberikan gambaran awal bahwa kebakaran yang terjadi di Kabupaten Bengkalis merupakan kebakaran yang dipicu oleh aktivitas manusia dimana masyarakat menggunakan jaringan jalan untuk meningkatkan akses mereka terhadap lahan gambut. Seperti terlihat pada Tabel 15 jumlah dan sebaran hospot berada pada wilayah yang relatif dapat dijangkau oleh manusia dari jaringan jalan untuk beraktivitas baik berladang maupun kegiatan lainnya seperti pembalakan dan berburu. Tabel 16 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masingmasing kelas jarak dari jaringan sungai Kelas Jarak Sangat Dekat Dekat Sedang Jauh Sangat Jauh
Luas (Hektar) 492.708,02 311.580,46 213.598,91 137.706,92 171.665,07
Jumlah Hotspot
Kerapatan Hotspot Terhadap Luas Kelas
93 102 77 78 88
0,00019 0,00033 0,00036 0,00057 0,00051
Tabel 16 menunjukkan bahwa pada daerah yang dekat dengan jaringan sungai memiliki kerapatan hotspot yang lebih rendah dibanding kerapatan hotspot pada wilayah yang lebih jauh dari jaringan sungai. Kerapatan hotpot tertinggi terdapat pada kelas jarak
3000 – 4000 m
55
(kelas jarak jauh) dari jaringan sungai.
Sedangkan kerapatan hotspot
terendah terdapat pada kelas sangat dekat dari jaringan sungai. Kondisi ini memberikan gambaran awal bahwa sebagian besar jaringan sungai pada wilayah
penelitian
tidak
dimanfaatkan
oleh
masyarakat
sebagai
infrastruktur untuk meningkatkan akses mereka terhadap lahan gambut. Hal ini sangat dimungkinkan karena tidak seluruh jaringan sungai dapat digunakan sebagai jalur transportasi. Berbeda halnya dengan jalan dimana pada umumnya jaringan jalan yang ada dapat dijadikan sebagai sarana transportasi. Oleh karena itu jaringan sungai tidak dapat dijadikan sebagai faktor pembangun model kerawanan kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis Tabel 17 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masingmasing kelas jarak dari pusat desa Kelas Jarak Sangat Dekat Dekat Sedang Jauh Sangat Jauh
Luas (Hektar) 28.742,64 65.703,23 78.192,28 80.840,34 1.115.882,53
Jumlah Hotspot
Kerapatan Hotspot Terhadap Luas Kelas
0 2 3 8 425
0 0,00003 0,00004 0,00010 0,00038
Tabel 17 menunjukkan bahwa daerah yang jauh dari pusat desa cenderung memiliki kerapatan hotspot yang lebih tinggi dibanding daerah atau wilayah yang lebih dekat. Berdasarkan Tabel 17 daerah yang memiliki kerapatan tertinggi adalah daerah yang berada dalam kategori kelas yang sangat jauh dari pusat desa.
Kondisi ini mencerminkan bahwa aktivitas masyarakat di
lahan gambut baik berupa kegiatan pembukaan lahan maupun aktivitas hidup lainnya yang menggunakan api senantiasa dilakukan pada daerah yang relatif jauh dari pusat desa tempat mereka tinggal.
Hal ini
memberikan gambaran bahwa pusat desa tidak dapat dijadikan dasar untuk menggambarkan kejadian kebakaran, karena masyarakat dapat melakukan aktivitas hidupnya pada tempat yang jauh dari pusat desa selama ada jaringan jalan yang dapat digunakan sebagai sarana aksesibilitas.
56
C.2 Hubungan Kerapatan Hotspot dengan Faktor Lingkungan Fisik C.2.1 Hubungan Kerapatan Hotspot terhadap Tipe Tutupan Lahan dan Vegetasi Setiap tipe tutupan lahan dan vegetasi memiliki tingkat kemudahan mengalami kebakaran yang berbeda-beda.
Dalam
penelitian ini tingkat kemudahan terbakar dari tipe tutupan lahan dan vegetasi ditunjukkan dengan melihat sebaran dan kerapatan hotspot pada masing-masing tipe tutupan lahan dan vegetasi. Hubungan antara kerapatan hotspot dengan tipe tutupan lahan dan vegetasi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18
Hubungan kerapatan hotspot terhadap tipe tutupan lahan dan vegetasi Jumlah Hotspot
Kerapatan Hotspot Terhadap Luas Kelas
Tipe Tutupan Lahan dan Vegetasi
Luas (Hektar)
Hutan alam lahan kering Hutan alam rawa Hutan mangrove Hutan tanaman dan perkebunan Pemukiman Pertanian Rawa gambut Semak, Alang -alang dan tanah terbuka
101,083 737762,308 22984,102
0 275 0
0 0,00037 0
92079,341
26
0,00028
1864,704 328093,36 54878,516
0 74 27
0 0,00023 0,00049
81577,898
36
0,00044
Tabel 18 memperlihatkan tipe tutupan lahan dan vegetasi berup a rawa gambut; hutan alam rawa; dan semak, alang-alang dan tanah terbuka memiliki kerapatan hotspot yang tinggi dibanding tipe tutupan lahan dan vegetasi lainnya. Sedangkan tipe tutupan lahan dan vegetasi yang memiliki kerapatan hotspot terendah adalah tipe tutupan lahan dan vegetasi berupa hutan alam lahan kering, hutan mangrove dan pemukiman, dimana pada ketiga tipe tutupan lahan dan vegetasi ini tidak ditemukan adanya hotspot. Hutan -hutan rawa gambut dalam kondisi yang alamiah tidak akan mudah terbakar. Keteledoran ulah manusia, pembuatan kanalkanal dan aktivitas logging yang tidak selektif akan membuat hutan rawa gambut menjadi terbuka, tanah dan tumbuhan mengering
57
sehingga akan memudahkan terjadinya kebakaran (Bechteler & Siergert 2004, diacu dalam Miettinen 2004). Berdasarkan Tabel 16 dan uraian tersebut, kebakaran pada daerah rawa dapat terjadi apabila ada faktor pemicunya, salah satu faktor pemicu yang memiliki peluang yang besar adalah aktivitas penggunaan api oleh manusia pada daerah tersebut. Hal ini didukung oleh kondisi sebagian besar daerah rawa di Kabupaten Bengkalis yang telah terdegradasi akibat berbagai aktivitas manusia didalamnya. C.2.2. Hubungan Kerapatan Hotspot terhadap Ketebalan Gambut Ketebalan gambut merupakan indikator ketersediaan bahan bakar pada lahan gambut. Semakin tebal lapisan gambut pada suatu areal, maka semakin besar pula ketersediaan bahan bakar. Hubungan antara sebaran dan kerapatan hotspot dengan ketebalan gambut ditunjukkan pada Tabel 19. Tabel 19 Hubungan kerapatan hotspot terhadap ketebalan gambut Kelas Kedalaman Gambut Sangat dangkal Dangkal Agak dalam Dalam
Luas (Hektar) 69.396,15 333.317,25 299.535,26 619.962,73
Jumlah Hotspot 24 32 97 285
Kerapatan Hotspot Terhadap Luas Kelas 0,00035 0,00010 0,00032 0,00046
Tabel 19 menunjukkan bahwa pada gambut dengan ketebalan diatas 200 cm atau kategori gambut dengan ketebalan yang dalam memiliki kerapatan hotspot tertinggi sedangkan kerapatan hotspot terendah terdapat pada lahan gambut dengan kategori ketebalan gambut dangkal.
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan gambut
pada wilayah penelitian relatif telah mengalami deradasi akibat berbagai kegiatan eksploitasi yang telah berlangsung selama ini. Pembukaan lahan-lahan pertanian dan perkebunan dengan pembangunan kanal-kanal berskala lebar dan panjang tanpa disertai perawatan terhadap sirkulasi air menyebabkan pengeringan pada gambut, kondisi ini selain menyebabkan hilangnya gambut akibat erosi
58
juga
dapat
menyebabkan
mudahnya
gambut
untuk
terbakar.
Perubahan sifat fisik gambut juga disebabkan oleh penebangan hutan hutan pada lahan gambut yang mengakibatkan gambut menjadi terbuka dan berkurang kemampuannya dalam menahan air sehingga lebih mudah mengalami kekeringan pada musim kemarau yang berlanjut pada kebakaran bila ada sumber panas yang menimbulkan api, sementara pembalakan hutan di Provinsi Riau termasuk hutan rawa gambut masih terus berlangsung hingga saat ini. Anderson (2000) menginformasikan, bahwa Provinsi Riau mempunyai peluang frekuensi kebakaran tertinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia dalam hal banyaknya kebakaran per kilometer persegi. Provinsi ini secara cepat dan kasar sedang menebang sisa-sisa hutannya. Berdasarkan fenomena yang terjadi pada lahan gambut yang terdegradasi dalam wilayah penelitian yang merupakan bagian dari wilayah Provinsi Riau, maka ketebalan gambut dapat dijadikan indikator yang cukup relevan untuk menilai kerawanan kebakaran di lahan gambut. C.2.3. Hubungan Kerapatan Hotspot terhadap Tingkat Kehijauan Vegetasi Tingkat kehijauan vegetasi merupakan cerminan dari tingkat kekeringan suatu areal. Tingkat kehijauan vegetasi yang rendah pada suatu areal menunjukkan areal tersebut memiliki tingkat kekeringan yang tinggi yang akan berimplikasi pada kejadian kebakaran. Hubungan antara sebaran dan kerapatan hotspot dengan tingkat kehijauan vegetasi dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tingkat kehijauan vegetasi Kelas Tingkat Kehijauan Vegetasi Non Vegetasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
Luas (Hektar) 214.787,63 35287 96.489,92 162.083,53 807.772,62
Jumlah Hotspot 200 30 35 62 111
Kerapatan Hotspot Terhadap Luas Kelas 0,00093 0,00085 0,00036 0,00038 0,00014
59
Tabel 20 menunjukkan bahwa kerapatan hotspot yang tinggi ditemukan pada kelas tingkat kehijauan vegetasi yang sangat rendah dan tidak vegetasi, sedangkan areal yang memiliki tingkat kehijauan vegetasi yang tinggi memiliki kerapatan hotspot yang rendah. Kerapatan hotspot yang tinggi pada wilayah dengan tingkat kehijauan vegetasi yang rendah disebabkan karena kondisi fisik yang kering dari vegetasi itu sendiri.
Hal ini tentu saja merupakan dampak dari
tingginya suhu dan kelembaban yang rendah pada lingkungan dimana vegetasi tersebut tumbuh. Kondisi yang kering pada vegetasi akan berdampak pada mudahnya vegetasi mengalami kebakaran dan kebakaran yang terjadi dapat berupa kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire) maupun kebakaran
tajuk
(crown fire). D Nilai Kerawanan Hubungan antara faktor-faktor pendukung kebakaran lahan gambut dengan keberadaan hotspot dalam wilayah penelitian digunakan sebagai dasar untuk menentukan nilai skor dan bobot untuk masing-masing subfaktor dan faktor pendukung kejadian kebakaran. Berdasarkan Tabel 16 dan 17 kerapatan hotspot terhadap jaringan sungai dan pusat desa bertentangan dengan asumsi awal, dimana pada asumsi awal diharapkan pada jarak yang lebih dekat dengan jaringan sungai dan pusat desa kerapatan hotspot akan lebih besar d ibanding jarak yang lebih jauh. Oleh karena itu faktor jarak dari sungai dan pusat desa tidak dimasukkan sebagai bagian dari faktor penyusun model spasial yang dibangun. D.1 Skor Relatif Sub Faktor Penyusun Model Kerapatan hotspot pada setiap luasan subfaktor merupakan cerminan tingkat kerawanan pada subfaktor tersebut. Agar kerapatan hotspot dapat digambarkan secara spasial, maka melalui perhitungan dengan menggunakan metode CMA, tingkat kerapatan diwakilkan dalam bentuk nilai skor. Adapun nilai skor setiap sub faktor dari faktor jarak jalan, tipe tutupan lahan dan vegetasi, ketebalan gambut dan tingkat kehijauan vegetasi dapat dilihat pada Tabel 21, 22, 23 dan 24
60
Tabel 21 Nilai skor setiap subfaktor jarak dari jaringan jalan Hotspot yang Diharapkan (ei)
Hotspot Observasi (oi)
Jarak dari Jalan Sangat Dekat Dekat Sedang Jauh Sangat Jauh
165 103 59 32 79
137,134 77,737 53,290 39,696 130,144
oi/ei 1,203 1,325 1,107 0,806 0,607
Skor 23,833 26,245 21,930 15,968 12,024
Berdasarkan Tabel 21 diperoleh gambaran bahwa rata-rata daerah yang berada pada jarak yang lebih dekat dengan jaringan jalan memiliki tingkat kerawanan kebakaran yang lebih besar dibanding daerah yang memiliki jarak yang lebih jauh. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan jalan yang ada pada lokasi penelitian pada umumnya digunakan oleh masyarakat untuk meningkatkan akses mereka untuk beraktivitas pada lahan gambut.
Salah satu aktivitas yang umum dilakukan adalah
pembukaan lahan yang cenderung tidak lepas dari penggunaan api sebagai alternatif pembukaan lahan yang cepat dan murah dimana pembukaan lahan tersebut relatif tidak jauh dari jaringan jalan yang ada. Tabel 22 Nilai skor masing-masing subfaktor tipe tutupan lahan dan vegetasi Tipe Landcover dan Vegetasi Htn Alam Lhn Kering Htn Alam Rawa Htn Mangrove Htn Tanaman, Perkebunan Pemukiman Pertanian Rawa gambut Semak, Alang-alang, Tanah Terbuka
Hotspot Observsi (oi)
Hotspot yang Diharapkan (ei)
oi/ei
Skor
0 275 0
0,034 244,925 7,630
0 1,123 0
0 20,549 0
26
30,569
0,851
15,566
0 74 27
0,619 108,922 18,219
0 0,679 1,482
0 12,434 27,123
36
27,083
1,329
24,328
Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai skor yang tinggi dimiliki oleh tipe tutupan lahan dan vegetasi berupa hutan dan lahan rawa gambut serta daerah gambut yang ditumbuhi oleh semak dan alang -alang. Hutan rawa gambut pada dasarnya adalah hutan hujan dataran rendah yang tumbuh di atas tanah-tanah basal yang dibentuk dari sisa-
61
sisa angkatan hutan sebelumnya dimana kondisi hutan tersebut selalu basah dan sulit mengalami kebakaran (Miettinen 2004). Bila dilihat dari definisi hutan rawa gambut tersebut, nilai skor yang pada Tabel 22. memberikan gambaran bahwa lahan gambut yang ada di dalam wilayah penelitian telah mengalami degradasi dan sebagian besar degradasi tersebut dipicu oleh aktivitas manusia dalam bentuk pembalakan hutan, ekspansi dan konversi hutan rawa gambut, dimana aktivitas manusia tersebut seringkali memicu terjadinya kebakaran terutama pada areal hutan yang dikonversi menjadi hutan tanaman, perkebunan dan pertanian. Kegiatan
pembalakan
dan
konversi
hutan
mengakibatkan
kemampuan tegakan hutan maupun gambut dalam mengkonservasi air menjadi berkurang, akibatnya lahan gambut mengalami penurunan kemampuan untuk menyerap air dan lebih lanjut gambut pada daerah tersebut akan mengalami pengeringan.
Pengeringan dapat mengubah
sifat gambut hidrofil (menyukai air) menjadi hidrofob (tidak menyukai air) sehingga air yang telah hilang tidak dapat dikembalikan seperti kondisi sebelumnya.
Berubahnya sifat gambut dari hidrofil menjadi
hidrofob menyebabkan hutan rawa gambut menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran apalagi didukung oleh perilaku manusia yang cenderung menggunakan api untuk membuka dan menyiapkan lahan Dampak lain dari kegiatan pengkonversian lahan gambut adalah terbentuknya daerah yang lebih terbuka yang akan memberi peluang bagi tumbuhnya berbagai jenis semak dan alang -alang. Lahan terbuka yang ditumbuhi oleh semak dan alang -alang tersebut memiliki potensi yang besar mengalami kebakaran baik secara alami maupun oleh faktor manusia. Seperti terlihat pada Tabel 22, semak dan alang -alang memiliki nilai skor tertinggi kedua. Hal ini disebabkan karena kondisi fisik semak dan alang-alang itu sendiri dimana pada saat kondisi kering akan sangat mudah terbakar apalagi bila semak dan alang-alang tersebut tumbuh pada lahan gambut bekas terbakar yang masih menyimpan bara pada lapisan dibawah permukaan.
62
Tabel 23 Nilai skor masing-masing subfaktor kedalaman gambut Kelas Kedalaman Gambut Sangat dangkal Dangkal Agak dalam Dalam
Hotspot Observasi (oi) 24 32 97 285
Hotspot yang Diharapkan (ei) 22,988 110,416 99,225 205,371
oi/ei 1,044 0,290 0,978 1,388
Skor 28,223 7,835 26,427 37,515
Tabel 23 menunjukkan nilai skor tertinggi terdapat pada gambut dengan kelas ketebalan gambut yang dalam (> 200 cm). Gambut dengan ketebalan yang lebih besar memiliki jumlah bahan organik yang besar pula. Apabila lahan gambut mengalami degradasi, maka keberadaan bahan organik yang besar tersebut akan memberikan peluang yang besar pula bagi terjadinya kebakaran karena keberadaan bahan organik pada lahan gambut yang terdegradasi merupakan cerminan potensi ketersediaan bahan bakar sebagai salah satu unsur terjadinya api atau kebakaran. Berdasarkan Tabel 23, tingginya nilai skor dimiliki oleh gambut dengan ketebalan diatas 200 cm menunjukkan bahwa pada daerah penelitian kondisi sebagian besar lahan gambut telah terdegradasi baik akibat pembuatan kanal-kanal maupun pembakaran yang mengakibatkan lahan gambut tersebut menjadi kering. Kebakaran gambut menimbulkan kerusakan fisik secara langsung pada gambut terutama disebabkan oleh sifat irreversible yang dimilikinya sehingga apabila tidak dilakukan rehabilitasi untuk mengembalikan kondisi gambut seperti semula, maka keberadaan gambut tersebut dapat meningkatkan peluang terjadinya kebakaran. Hal ini disebabkan karena gambut tersebut akan berpotensi sebagai bahan bakar yang menunjang terjadinya kebakaran.
63
Tabel 24. Nilai skor masing-masing subfaktor tingkat kehijauan vegetasi Hotspot Observasi (oi)
Tingkat Kehijauan Vegetasi Non Vegetasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
Hotspot yang Diharapkan (ei)
200 30 35 62 111
71,464 11,741 32,104 53,929 268,763
oi/ei 2,799 2,555 1,090 1,150 0,413
Skor 34,953 31,914 13,616 14,359 5,158
Tabel 24 menunjukkan, nilai skor yang besar pada wilayah dengan tingkat kehijauan vegetasi yang sangat rendah. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi yang kering pada suatu wilayah baik vegetasi maupun lingkungannya
akan
menyebabkan
tingginya
peluang
terjadinya
kebakaran sebaliknya kondisi yang basah pada vegetasi maupun lingkungan dimana vegetasi tersebut tumbuh akan memiliki peluang terbakar yang rendah. D.2 Bobot Relatif Faktor-faktor Pembangun Model Bobot relatif dari fakto r pembangun model menunjukkan keeratan hubungan masing-masing faktor terhadap kejadian kebakaran dengan asumsi bahwa titik hotspot yang terpantau oleh stasiun pengamat merupakan kejadian kebakaran.
Adapun bobot setiap faktor seperti
terlihat pada tabel 25. Tabel 25 Bobot relatif faktor-faktor pembangun model Faktor Tingkat Kehijauan Vegetasi Tipe Tutupan Lahan dan Vegetasi Ketebalan gambut Jarak Jalan
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Persen hotspot terhadap luas
Bobot
1316420,239
438
0,0333
0,25
1319341,312
438
0,0332
0,25
1322211,381 1320016,536
438 438
0,0331 0,0332
0,25 0,25
Tabel 25 menunjukkan bahwa semua faktor terpilih yang digunakan sebagai faktor pembangun model memiliki keeratan hubungan yang sama terhadap keberadaan hotspot sebagai gambaran kejadian kebakaran.
Kondisi yang ada pada keempat faktor tersebut secara
64
simultan bersama-sama saling berkaitan dalam menentukan tingkat kerawanan kebakaran lahan gambut pada wilayah penelitian. Semakin banyak jaringan jalan yang dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan aksesibilitas oleh masyarakat dan didukung oleh kondisi lingkungan yang kering yang tercermin dari tingkat kehijauan vegetasi yang rendah serta jumlah dan kondisi bahan bakar baik dalam bentuk vegetasi maupun gambut yang kering akan meningkatkan peluang terjadinya kebakaran. D.3 Bobot Relatif Aspek Infrastruktur dan Lingkungan Fisik Pembobotan terhadap aspek infrastruktur dan lingkungan fisik didasari atas jarak tempuh yang dicapai oleh manusia dari jaringan jalan. Jaringan jalan merupakan faktor pembangun model terpilih dari aspek infrastruktur. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, jarak tempuh maksimum yang dapat ditempuh oleh manusia dari jaringan jalan dengan berjalan kaki adalah + 4 km.
Atas dasar tersebut, maka diasumsikan bahwa
kebakaran yang terjadi pada radius yang lebih kecil dari 4 km merupakan kejadian kebakaran yang dominan disebabkan oleh aktivitas manusia sedangkan kebakaran yang terjadi di luar radius 4 km merupakan kejadian kebakaran yang dominan dipicu oleh faktor-faktor alam. Hasil
pembobotan
memperhitungan
luas
berdasarkan wilayah
asumsi
yang
di
dapat
atas
dan
dijangkau
juga oleh
manusia/masyarakat untuk beraktivitas pada lahan gambut, maka diperoleh informasi bahwa aspek infrastruktur memiliki peranan yang lebih besar dalam mendukung terjadinya kebakaran pada wilayah penelitian dibanding faktor lingkungan. Aspek infrastruktur berdasarkan perhitungan dengan metode CMA memiliki bobot yang lebih besar dibanding aspek lingkungan fisik seperti terlihat pada Tabel 26.
65
Tabel 26 Bobot relatif aspek infrastruktur dan lingkungan fisik Aspek Infrastruktur Lingkungan Fisik
hs (oi)
ei
oi/ei
Bobot
359
307,860
1,166
0,658
79
130,140
0,607
0,342
Tabel 26 memberi penjelasan bahwa kebakaran yang terjadi pada lahan gambut dalam wilayah penelitian pada dasarnya dipicu oleh aktivitas manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan pembakaran. Untuk melakukan aktivitasnya tersebut manusia secara langsung memanfaatkan jaringan jalan yang ada sebagai sarana aksesibilitas untuk mencapai suatu tempat di lahan gambut. Kebakaran yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan pembukaan lahan dalam sekala kecil hingga besar dimana pada kegiatan pembukaan lahan tersebut manusia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap api, hal ini disebabkan karena penggunaan api dapat menekan biaya dan relatif dapat mempercepat kegiatan pembukaan lahan.
Menurut
Rusdiyanto (2000) 90% penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah karena perbuatan manusia secara sengaja mis alnya pembukaan lahan (land clearing) dengan cara dibakar untuk keperluan perkebunan, pengembangan
Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pemukiman
transimigrasi serta perladangan berpindah oleh masyarakat sekitar hutan. D.4 Analisis Tingkat Kerawanan Kebakara n Tingkat kerawanan kebakaran pada wilayah penelitian ditentukan berdasarkan perhitungan nilai skor dari setiap sub faktor dan nilai bobot dari masing-masing faktor serta aspek pembangun model. Berdasarkan nilai skor dan bobot tersebut diperoleh persamaan model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut sebagai berikut:
66
V = (L∑ wixi + I ∑ ziyi ) V = {0,342 [(0,25 x 1) + (0,25 x2 ) + (0,25 x3 )] + 0,658 (0,25 y1 )} Dimana: V L I wi zi xi. yi x1 x2 x3 y1
= = = = = = = = = = =
nilai kerawanan kebakaran di lahan gambut bobot aspek lingkungan berkaitan dengan bobot aspek infrastruktur bobot aspek infrastruktur berkaitan dengan bobot aspek lingkungan bobot setiap fakor dari aspek lingkungan bobot setiap fakor dari aspek infrastruktur skor subfaktor-subfaktor dari aspek lingkungan skor subfaktor-subfaktor dari aspek infrastruktur skor subfaktor-subfaktor dari faktor ketebalan gambut skor subfaktor-subfaktor dari faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi skor subfaktor-subfaktor dari faktor tingkat kehijauan vegetasi skor subfaktor-subfaktor dari faktor jarak jalan
Perhitungan total skor menggunakan persamaan di atas diperoleh nilai kerawanan antara 2,645 sampai dengan 12,830 dimana sebaran data dari data total skor tersebut menunjukkan sebaran data yang relatif normal seperti terlihat pada Gambar 14 dengan nilai tengah (mean) 8,688 dan standar deviasi sebesar 1,608. Semakin tinggi skor yang dimiliki oleh suatu areal, maka semakin tinggi pula tingkat kerawanan kebakaran pada areal tersebut. mean
16 14 12 10 Persentase Frekuensi (%)
8 6 4 2 0 R1
R4
R6
R8
R10
R12
R14
R16
R18
R20
R22
R24
R26
Nilai Total Skor Kerawanan Kebakaran
Gambar 14 Sebaran data nilai total skor kerawanan kebakaran.
R28
R30
67
Daerah penelitian dibagi atas empat zone tingkat kerawanan kebakaran yaitu zone tidak rawan, kurang rawan, rawan dan sangat rawan. Setiap kelas kerawanan diupayakan memiliki rentang nilai yang relatif sama yang didasari atas nilai standar deviasi dari data nilai total skor kerawanan. Untuk memperoleh rentang nilai yang relatif sama, maka dalam penelitian ini nilai skor total dibagi sebesar dua kali standar deviasi yang dimulai dari nilai tengah sebaran data. Adapun rentang nilai skor dari setiap zone dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Nilai skor zone rawan kebakaran pada lahan gambut Kelas Kerawanan Kebakaran
Skor
Tidak rawan
2,645 – 3.864
Kurang rawan
3.864 – 7,080
Rawan
7,080 – 10,296
Sangat Rawan
10,296 – 12,830
Berdasarkan pembagian kelas tersebut, pada wilayah penelitian keberadaan hotspot sebagian besar berada pada kelas rawan dan sangat rawan dengan jumlah hotspot secara berurutan sebanyak 195 dan 205 titik hotspot dengan persentase jumlah hotspot sebesar 44,52% untuk kelas rawan dan 46,80% untuk kelas sangat rawan sehingga total jumlah titik hotspot pada kedua kelas tersebut sebanyak 400 titik hotspot atau setara dengan 91,32% dari total keseluruhan titik hotspot yang digunakan untuk membangun model seperti terlihat pada Gambar 15 dan 16 berikut.
68
250 200
Jumlah Hotspot
150 100 50 0
Jml Hotspot
Tidak Rawan
Kurang Rawan
Rawan
Sangat Rawan
0
38
195
205
Kelas Kerawanan Kebakaran
Gambar 15 Jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan kebakaran.
100 90 80 70 Persentase Jumlah Hotspot
60 50 40 30 20 10 0
Persentase (%)
Tidak Rawan
Kurang Rawan
Rawan & Sangat Rawan
0
8,68
91,32
Kelas Kerawanan Kebakaran
Gambar 16 Persentase jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan.
Keberadaan hotspot diatas 80% pada kelas rawan dan sangat rawan menunjukkan bahwa model yang dibangun untuk sementara cukup mampu menggambarkan kelas kerawanan kebakaran yang ada di lapangan. E Validasi Model Model yang dibangun telah dapat memplotposisikan hotspot sebesar 91,32% pada kelas rawan dan sangat rawan. Hal ini merupakan gambaran
69
awal bahwa model yang dibangun tersebut cukup mampu menjelaskan dan menggambarkan kelas-kelas kerawanan kebakaran pada wilayah penelitian. Namun untuk mengetahui keakuratan model apakah berlaku secara umum, maka perlu dilakukan validasi terhadap model dengan menggunakan data-data hotspot pada waktu yang berbeda. Adapun hasil validasi model dapat dilihat pada Gambar 17, 18 dan 19. 100 80 Persentase 60 Jumlah Hotspot 40 20 0
Persentase (%)
Tidak Rawan
Kurang Rawan
Rawan & Sangat Rawan
0,23
10,83
88,94
Kelas Kerawanan Kebakaran
Gambar 17 Persentase jumlah hotspot tahun 2004 (hotspot validasi*) pada setiap kelas kerawanan.
100 80 Persentase Jumlah Hotspot
60 40 20 0
Persentase (%)
Tidak Rawan
Kurang Rawan
Rawan & Sangat Rawan
0
7,45
92,55
Kelas Kerawanan Kebakaran
Gambar 18 Persentase jumlah hotspot tahun 2003 pada setiap kelas kerawanan.
*Hotspot validasi: hotspot 2004 yang tidak digunakan untuk membangun model
70
100 80 Persentase Jumlah Hotspot
60 40 20 0
Persentase (%)
Tidak Rawan
Kurang Rawan
Rawan & Sangat Rawan
0
5,32
94,68
Kelas Kerawanan Kebakaran
Gambar 19 Persentase jumlah hotspot tahun 2002 pada setiap kelas kerawanan.
Diagram pada Gambar 17, 18 dan 19 memperlihatkan bahwa hotspot yang digunakan untuk validasi model mampu diplotposisikan pada kelas rawan dan sangat rawan oleh model yang telah dibangun dengan rata-rata diatas 85%. Hotspot tahun 2004 yang tidak digunakan untuk membangun model sebagian besar berada pada kelas rawan dan sangat rawan yakni sebesar 88,94% sedangkan hotspot tahun 2003 diplotposisikan oleh model sebesar 92,55% dan hotspot tahun 2002 sebesar 94,68%. Berdasarkan hasil validasi tersebut, maka dapat diyakini bahwa model spasial yang dibangun telah mampu menjelaskan dan menggambarkan zonezone kebakaran pada wilayah penelitian karena akurasi dari model yang dibangun diatas batas minimum yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu 80%. F. Analisis Tingkat Kerawanan Kebakaran Pada Wilayah Penelitian Dilihat dari luas wilayah, secara umum sebagian besar wilayah Kabupaten Bengkalis termasuk dalam kelas rawan dan sangat rawan dengan luas areal 728.219,62 Ha atau mencakup 73,33% dari keseluruhan wilayah seperti terlihat pada Gambar 20 dan 21. Hal ini menunjukkan bahwa lahan gambut yang ada dalam wilayah Kabupaten Bengkalis memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kejadian kebakaran dikarenakan kondisi lahan gambut tersebut telah terdegradasi akibat berbagai tekanan oleh aktivitas manusia
71
yang memanfaatkan lahan gambut tanpa didasari sistem pengelolaan yang memperhatikan kelestarian fungsi lahan gambut. 800000 700000 600000 500000 Luas (Ha) 400000 300000 200000 100000 0 Luas (Ha)
Tidak Rawan
Kurang Rawan
Rawan & Sangat Rawan
473,102
264421,866
728219,619
Kelas Kerawanan Kebakaran
Gambar 20 Luas areal kelas kerawanan kebakaran. 80 70 60 50 Persentase 40 Luas 30 20 10 0 Persentase (%)
Tidak Rawan 0,05
Kurang Rawan
Rawan & Sangat Rawan
26,63
73,33
Kelas Kerawanan Kebakaran
Gambar 21 Persentase luas kelas kerawanan kebakaran terhadap total luas wilayah Kabupaten Bengkalis.
Apab ila dilihat dari karakteristik penyusunnya, kelas kerawanan sangat rawan dalam wilayah Kabupaten Bengkalis cenderung disusun oleh tipe tutupan lahan berupa rawa dengan kondisi lingkungan yang kering dan memiliki jumlah bahan bakar (gambut) yang besar serta berada tidak jauh dari jaringan jalan.
72
45 40 35 30 Persentase 25 Luas 20 15 10 5 0 Persentase (%)
Sangat Dekat
Dekat
Sedang
Jauh
Sangat Jauh
41,16
35,12
14,48
8,99
0,25
Kelas Jarak Jalan
Gambar 22 Persentase luas setiap kelas jarak dari jaringan jalan pada kelas kerawanan sangat rawan.
Gambar 22 menunjukkan bahwa, areal yang memiliki tingkat kerawanan yang tinggi (sangat rawan) terhadap kebakaran cenderung berada pada daerah yang tidak jauh dari jaringan jalan.
Hal ini memperkuat
pandangan bahwa kejadian kebakaran yang terjadi pada wilayah Kabupaten Bengkalis disebabkan oleh faktor manusia yang memanfaatkan jaringan jalan untuk meningkatkan akses untuk beraktivitas pada lahan gambut. Tingkat ekspansi manusia terhadap hutan dan rawa gambut di Kabupaten Bengkalis akan semakin tinggi bila izin pembukaan areal konsesi baru dalam bentuk HPH, HTI dan perkebunan yang mengakibatkan hutan -hutan alam yang tersisa menjadi terbuka dan lebih dapat dijangkau oleh manusia karena akan tersedia jaringan jalan didalamnya. Selanjutnya Gambar 23 menjelaskan bahwa daerah yang sangat rawan mengalami kebakaran pada wilayah Kabupaten Bengkalis adalah daerah dengan tipe tutupan lahan dan vegetasi berupa hutan alam rawa dengan luasan mencakup 83,13% dari total seluruh tipe tutupan lahan dan vegetasi penyusun kelas kerawanan kategori sangat rawan. Besarnya jumlah hutan rawa gambut yang mengalami kebakaran pada tahun 2004 memberikan kontribusi yang besar dalam penyusunan kelas kerawanan kebakaran kategori sangat rawan. Kondisi ini diduga disebabkan akibat maraknya kegiatan pengkonversian hutan rawa gambut menjadi perkebunan dan pertanian baik dalam skala kecil
73
maupun besar yang menggunakan api untuk kegiatan pembukaan lahan serta kegiatan pembalakan dalam hutan rawa gambut. Kondisi ini juga dipicu oleh banyaknya lahan bekas HPH yang masih belum jelas peruntukkannya sehingga banyak diklaim oleh masyarakat untuk dijadikan perkebunan dan ladang. Bila hal ini terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan sisa hutan rawa gambut yang belum tergolong dalam kelas yang sangat rawan mengalami kebakaran akan menjadi daerah yang sangat rawan bagi terjadinya kebakaran pada tahun -tahun mendatang. 90 80 70 60 Persentase 50 Luas 40 30 20 10 0
Htn Alam Htn Alam Htn Htn Pemukim Pertanian Lhn Rawa Mangrov Tanaman an 0
Persentase (%)
83,13
0
3,44
0
4,03
Rawa
Semak, Alang2,
6,14
3,27
Tipe Landcover dan Vegetasi
Gambar 23 Persentase luas tipe tutupan lahan dan vegetasi pada kelas kerawanan sangat rawan. 90 80 70 60 Persentase Luas
50 40 30 20 10 0
Persentase (%)
Non Vegetasi
Sangat Rendah
78,28
9,81
Rendah
Sedang
Tinggi
4,80
7,12
0
Kelas TKV
Gambar 24 Persentase luas tingkat kehijauan vegetasi pada kelas kerawanan sangat rawan.
74
Gambar 24 menunjukkan bahwa tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap kebakaran ditentukan oleh tingkat kehijauan vegetasi pada daerah tersebut.
Kondisi vegetasi yan g kering yang dicerminkan dari tingkat
kehijauan vegetasi yang rendah cenderung lebih mudah mengalami kebakaran. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 24 dimana daerah yang sangat rawan mengalami kebakaran disusun oleh daerah yang tidak bervegetasi dan daerah dengan tingkat kehijauan vegetasi yang sangat rendah. 80 70 60 50 Persentase 40 Luas 30 20 10 0 Persentase (%)
Sangat Dangkal
Dangkal
Agak Dalam
Dalam & Sgt Dalam
4,16
0
19,69
76,15
Kelas Kedalaman Gambut
Gambar 25 Persentase luas kelas kedalaman gambut pada kelas kerawanan kebakaran dalam kategori sangat rawan.
Gambar 25 menunjukkan bahwa daerah yang sangat rawan terhadap kebakaran sebagian besar terdiri atas daerah yang memiliki gambut dengan ketebalan diatas 200 cm. Hal ini dimungkinkan karena kondisi sebagian besar gambut yang ada pada wilayah Kabupaten Bengkalis sudah tidak berada pada kondisinya yang alami karena telah terdegradasi oleh berbagai bentuk aktivitas manusia seperti pengkonversian lahan maupun pembalakan. Bila dilihat dari ketebalan gambut yang rawan terhadap kebakaran (> 200 m), maka kemungkinan besar daerah tersebut merupakan daerah yang sering dikenal sebagai dome pada gambut. Apabila dome tersebut terus menerus mengalami kebakaran, maka tentu saja akan menyebabkan terjadinya subsiden pada gambut yang sangat besar sehingga akan sangat berpengaruh terhadap fungsi gambut sebagai konservasi air dan bukan hal yang mustahil lahan
75
gambut dalam yang ada saat ini akan terdegradasi menjadi lahan gambut dangkal. Dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi ekologis yang penting yaitu mengatur air di dalam dan dipermukaan tanah.
Gambut mampu menyerap air yang berlebihan dan
kemudian secara kontinyu dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten sehingga mampu menghindari terjadinya banjir dan kekeringan.
Sebagian besar bentuk degradasi gambut adalah
perubahan kondisi fisik gambut dalam bentuk pengeringan yang akan memudahkan gambut untuk terbakar. Secara umum daerah yang tergolong sangat rawan mengalami kebakaran pada wilayah Kabupaten Bengkalis tersusun atas kombinasi tipe vegetasi hutan alam rawa yang memiliki tingkat kehijauan vegetasi yang rendah dan memiliki ketebalan gambut diatas 200 cm serta terletak pada jarak yang mudah dijangkau oleh manusia untuk beraktivitas yaitu jarak sangat dekat dengan jaringan jalan sebagai saran a aksesibilitas.