HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Floss Floss merupakan bagian kokon yang berfungsi sebagai penyangga atau kerangka kokon. Pada saat akan mengokon, ulat sutera akan mencari tempat lalu menetap di tempat tersebut kemudian membuat lapisan kokon tipis sebagai penyangga (floss). Bobot floss akan semakin besar jika tempat pengokonan juga besar, hal ini menyebabkan larva harus mengeluarkan energi yang besar untuk membuat kerangka (floss) terlebih dahulu. Rataan bobot floss dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Floss dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan
Betina
Rataan
Rataan KK
Rataan KK
(g)
(%)
(g)
(%)
(g)
Kotak Tanpa Daun
0,25
80,0
0,15
33,3
0,20
Kotak Berdaun
0,15
33,3
0,24
33,3
0,19
Silinder Tanpa Daun
0,12
33,3
0,14
35,7
0,13
Silinder Berdaun
0,21
28,6
0,21
33,3
0,21
Rataan
0,18
43,8
0,18
33,9
0,18
Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%)
Bobot floss dari keempat alat pengokonan berkisar antara 0,12-0,25 g untuk kokon yang berisi pupa jantan dan yang berisi pupa betina antara 0,14-0,24 g. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot floss baik pada pupa jantan maupun betina masingmasing dengan rataan 0,18 g. Hasil perhitungan rataan bobot floss tanpa membedakan jenis kelamin adalah 0,18 g. Rataan bobot floss ini bernilai sama dengan rataan bobot floss kokon yang berasal dari alam yaitu sebesar 0,18 g (Baskoro, 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran alat pengokonan telah cukup efisien.
18
Meskipun rataan bobot floss tidak berbeda nyata, nilai koefisien keragaman bobot floss pada jantan (43,8%) lebih tinggi daripada betina (33,9%).
Nilai
keragaman ini menunjukkan bahwa ukuran alat pengokonan ini kurang sesuai untuk larva jantan, oleh karena itu disarankan untuk alat pengokonan pada jantan diberi ukuran yang lebih kecil. Nilai koefisien keragaman pada betina lebih kecil daripada jantan berarti lebih seragam. Hal ini mengindikasikan bahwa ukuran dan bentuk semua alat pengokonan lebih cocok untuk betina. Pernyataan ini didukung oleh persentase energi yang hilang dalam bentuk floss seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Floss terhadap Kulit Kokon Utuh dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan Rataan
Betina KK
Rataan
Rataan KK
---------------------------(%)-----------------------------Kotak Tanpa Daun
33,16 46,11
20,06 35,62
26,61
Kotak Berdaun
39,40 45,89
36,43 39,45
37,91
Silinder Tanpa Daun
29,48 43,39
29,10 41,51
29,29
Silinder Berdaun
55,10 37,38
28,16 31,97
41,63
Rataan
39,28 43,19
28,43 37,14
33,85
Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%)
Persentase floss terhadap kulit kokon utuh dari keempat alat pengokonan berkisar antara 29,48-55,10% untuk kokon yang berisi pupa jantan dan yang berisi pupa betina berkisar antara 20,06-36,43 %. Rataan persentase bobot floss terhadap bobot kulit kokon utuh ternyata jantan lebih tinggi daripada betina, berturut-turut yaitu 39,28% dan 28,43%. Berarti sekitar 72,57%
energi A. atlas betina digunakan untuk membuat serat kokon yang
merupakan bahan baku benang sutera, sedangkan jantan hanya menggunakan sekitar 60,72% dari energinya. Larva jantan lebih kecil dibandingkan betina sehingga jantan akan lebih banyak kehilangan energi dalam bentuk kerangka (floss) daripada betina. Apabila tidak mengidentifikasi jenis kelaminnya, maka rataan persentase floss adalah 33,85%. Penelitian Baskoro (2007) memperlihatkan bahwa A. atlas yang berasal dari alam menghasilkan persentase floss sekitar 27,61%. Persentase
19
floss di alam lebih kecil karena di lingkungan alam, larva dapat memilih daun tempat mengokon yang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Bobot Kokon Segar Kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutera pada fase pembentukan pupa (metamorfosa) yang terdiri dari kulit kokon dan pupa. Bobot kokon segar adalah bobot kokon yang tidak lagi mengandung floss.
Bobot kokon segar
merupakan faktor yang penting dalam hal reeling kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Tabel 3. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Kokon Segar dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan Rataan
Betina KK
Rataan
Rataan KK
(g)
(%)
(g)
(%)
(g)
Kotak Tanpa Daun
6,79
18,45
9,56
22,75
8,17
Kotak Berdaun
7,66
22,76
9,03
17,33
8,34
Silinder Tanpa Daun
7,47
31,23
7,06
16,37
7,26
Silinder Berdaun
6,54
12,03
9,42
14,37
7,98
17,71
7,94
Rataan
7,11
A
21,11
8,76
B
Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda Sangat nyata (P<0,01)
Bobot kokon segar dengan pupa jantan berkisar antara 6,54-7,66 g dan kokon segar dengan pupa betina berkisar 7,06-9,56 g seperti yang tampak pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bobot kokon segar, sebaliknya jenis kelamin berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot kokon segar. Rataan bobot kokon segar pada jantan (7,11 g) adalah sangat nyata lebih rendah daripada betina (8,76 g). Perbedaan bobot kokon segar jantan dan betina pada A. atlas ternyata sama dengan pada B. mori yaitu bobot kokon segar dengan pupa jantan lebih kecil daripada betina (Atmosoedarjo et al., 2000). Sama seperti bobot floss, koefisien keragaman bobot kokon segar jantan lebih besar daripada betina masing-masing 21,11% dibanding 17,71%. Nilai ini
20
mengindikasikan bobot kokon segar dengan pupa betina lebih seragam daripada jantan pada keempat alat pengokonan. Persentase terbesar dari bobot kokon segar adalah bobot pupa. Bobot kokon segar dengan pupa jantan (7,11 g) lebih rendah daripada betina (8,46 g). Hal ini disebabkan bobot pupa jantan memang lebih kecil dibandingkan dengan pupa betina yaitu 6,55 g berbanding 8,51 g seperti yang tercantum pada Tabel 4. Bobot Pupa Bobot pupa jantan berkisar antara 5,36-7,36 g dan pupa betina antara 7,449,04 g seperti tertera pada Tabel 4.
Analisis keragaman menunjukkan bahwa
perlakuan alat pengokonan tidak berpengaruh nyata (P>0,05), namun jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot pupa. Rataan bobot pupa jantan sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada betina yaitu 6,55 g dibanding 8,51 g.
Perbedaan ini
dikarenakan A. atlas memiliki sifat dimorfisme dimana jantan lebih kecil daripada betina. Tabel 4. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Pupa dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan
Betina
Rataan KK
Rataan KK
(g)
(%)
(g)
(%)
(g)
Kotak Tanpa Daun
5,36
13,25
9,04
23,23
7,20
Kotak Berdaun
7,36
24,05
8,59
17,22
7,97
Silinder Tanpa Daun
7,16
32,68
7,44
5,64
7,30
Silinder Berdaun
6,35
12,59
8,98
15,81
7,66
Rataan
6,55
A
20,64
8,51
B
15,47
Rataan
7,53
Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda Sangat nyata (P<0,01)
Koefisien keragaman bobot pupa jantan lebih besar daripada betina yaitu 20,64% dibanding 15,47%. Bobot pupa selain dipengaruhi oleh jenis kelamin, juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dan jumlah konsumsi saat fase larva, terutama larva instar enam.
21
Persentase bobot pupa jantan dan betina berturut-turut berkisar antara 81,37%-95,88% dan 86,06%-94,42% dengan rataan sekitar 91% seperti tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Bobot Pupa terhadap Kokon Segar dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan Rataan
Betina KK
Rataan
Rataan KK
------------------------------(%)-------------------------Kotak Tanpa Daun
81,37
24,18
Kotak Berdaun
95,88
Silinder Tanpa Daun
94,42
0,97
87,89
1,84
86,06 18,64
90,97
95,59
2,33
94,25
2,52
94,92
Silinder Berdaun
94,32
4,35
92,56
5,92
93,44
Rataan
91,79
8,18
91,82
7,01
91,80
Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%)
Dilihat dari persentasenya, sebagian besar bobot kokon segar adalah bobot pupa, sedangkan bobot kulit kokon hanya sebagian kecil dari total keseluruhan bobot kokon segar. Bobot Kulit Kokon Utuh Bobot kulit kokon utuh dari pupa jantan berkisar antara 0,32-0,42 g dan kulit kokon utuh dari pupa betina berkisar 0,52-0,79 g seperti pada Tabel 6. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bobot kulit kokon utuh, tetapi jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot kulit kokon utuh. Rataan bobot kulit kokon utuh pada jantan sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada betina, yaitu 0,39 g dibanding 0,68 g. Bentuk kokon utuh dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kulit Kokon Utuh
22
Tabel 6. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon Utuh dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan
Betina
Rataan
Rataan
KK
Rataan KK
(g)
(%)
(g)
(%)
(g)
Kotak Tanpa Daun
0,32
31,25
0,79
18,98
0,55
Kotak Berdaun
0,42
35,71
0,68
11,76
0,55
Silinder Tanpa Daun
0,42
14,28
0,52
17,31
0,47
Silinder Berdaun
0,41
31,70
0,74
4,05
0,57
Rataan
0,39 A 28,23
0,68B 13,02
0,54
Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat Nyata berbeda (P<0,01)
Rataan bobot kulit kokon utuh hasil penelitian tanpa membedakan jenis kelamin adalah 0,54 g. Nilai ini lebih rendah daripada bobot kulit kokon utuh A. atlas dari perkebunan teh di daerah Purwakarta (Baskoro, 2008) yaitu sebesar 0,68 g, yang dipelihara di dalam ruangan yaitu 1,29 g (Awan, 2007) dan yang dipelihara dalam ruangan mulai dari telur hingga mengokon dengan pakan yang berbeda yaitu 1,74 g pada pakan daun sirsak, 1,07 g dengan pakan daun kaliki dan 1,16 g pada pakan daun jarak pagar (Mulyani, 2008) seperti tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Bobot Kulit Kokon Utuh pada Beberapa Penelitian Peneliti Awan ( 2007)
BKKU (g) 1,29
Keterangan Pemeliharaan di laboratorium dan pengokonan secara alamiah
Baskoro (2008)
0,68
Mulyani (2008) Sirsak Kaliki Jarak pagar Sakinah (2009)
Pemeliharaan dan pengokonan di alam Pemeliharaan di laboratorium dan pengokonan
1,74 1,07 1,16
secara alamiah
0,54
Pemeliharaan di alam dan pengokonan di alat pengokonan
23
Rataan bobot kokon utuh yang lebih rendah dapat disebabkan oleh cekaman yang dialami oleh larva A. atlas dalam penelitian ini mulai dari pengambilan, penimbangan hingga peletakan dalam alat pengokonan. Attacus atlas merupakan hewan yang belum pernah dibudidayakan dalam ruangan terlebih lagi mendapat perlakuan. Cekaman tersebut membuat hilangnya sebagian energi yang diperolehnya dari pakan yang seharusnya digunakan dalam pembuatan kokon. Baskoro (2008) memperoleh kokon dari alam yang merupakan habitat aslinya. Awan (2007) dan Mulyani (2008) memelihara larva dalam ruangan, tetapi proses pengokonannya dibiarkan secara alamiah di tempat pemeliharaan, tidak dimasukkan ke alat pengokonan sehingga cekaman dapat berkurang. Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss Bobot kulit kokon tanpa floss adalah bobot kulit kokon utuh setelah dikurangi bobot floss. Kulit kokon merupakan lapisan serat sutera alam yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa (Standar Nasional Indonesia, 2002). Kulit kokon menentukan jumlah serat sutera yang dihasilkan saat pemintalan. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka semakin banyak pula benang yang akan dihasilkan (Atmosoedarjo et al., 2000). Rataan bobot kulit kokon tanpa floss hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan dan Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis kelamin Alat Pengokonan
Jantan Rataan KK
Betina Rataan
Rataan
KK
(g)
(%)
(g)
(%)
(g)
Kotak Tanpa Daun
0,19
47,40
0,54
14,80
0,36
Kotak Berdaun
0,30
40,00
0,44
22,70
0,37
Silinder Tanpa Daun
0,26
30,70
0,36
27,70
0,31
Silinder Berdaun
0,19
31,60
0,47
12,70
0,33
Rataan
0,24 A 37,42
0,45 B 19,47
0,34
Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata berbeda (P<0,01)
24
Bobot kulit kokon tanpa floss dari pupa jantan berkisar antara 0,19-0,30 g sedangkan pupa betina berkisar antara 0,36-0,54 g.
Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot kulit kokon tanpa floss, sedangkan jenis kelamin berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Rataan bobot kulit kokon tanpa floss dari pupa jantan sangat nyata lebih rendah daripada betina yaitu 0,24 g dibanding 0,45 g. Koefisien keragaman pada bobot kulit kokon tanpa floss dari pupa jantan (37,42%) lebih tinggi daripada betina (19,47%), mengindikasikan bahwa alat pengokonan yang dicobakan cukup optimal bagi betina. Keseragaman bobot kulit kokon tanpa floss akan mempermudah pendugaan terhadap nilai ekonominya. Rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang tidak membedakan jenis kelamin adalah 0,34 g. Nilai ini lebih rendah daripada rataan bobot kulit kokon tanpa floss yang berasal dari alam (Baskoro, 2008) yaitu 0,50 g. Seperti pada pembahasan sebelumnya, bahwa A. atlas yang diberi perlakuan alat pengokonan dalam penelitian ini mengalami cekaman yang berpengaruh terhadap kurang optimalnya penggunaan energi untuk pembuatan kokon. Ulat sutera liar akan menggunakan energi yang didapat dari pakan untuk tetap mempertahankan hidupnya sehingga energi untuk membentuk kokon berkurang. Tabel 9. Persentase Kulit Kokon Tanpa Floss terhadap Kokon Segar dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan Rataan KK
Betina Rataan
Rataan
KK
------------------------------(%)--------------------------Kotak tanpa Daun
2,70
37,32
5,84
26,41
4,27
Kotak Berdaun
4,29
56,70
4,97
34,19
4,63
Silinder Tanpa Daun
3,50
23,20
5,21
30,88
4,30
Silinder Berdaun
3,02
39,37
5,08
9,99
4,05
Rataan
3,38
39,14
5,27
25,36
4,31
Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%)
25
Persentase kulit kokon tanpa floss terhadap kokon segar dari keempat alat pengokonan berkisar antara 2,70-4,29% untuk kokon dari pupa jantan dan dari pupa betina antara 4,97-5,84 % seperti yang tampak pada Tabel 9. Diameter Kokon Diameter kokon dari pupa jantan dan betina masing-masing berkisar antara 24,65-26,85 mm dan 26,07-29,72 mm seperti tertera pada Tabel 10. Analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap diameter kokon baik yang berisi pupa jantan maupun betina dengan rataan berturut-turut yaitu 25,62 mm dan 27,47 mm. Tabel 10. Rataan dan Koefisien Keragaman Diameter Kokon dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan
Betina
Rataan
Rataan
KK
Rataan
KK
(mm)
(%)
(mm)
(%)
(mm)
Kotak Tanpa Daun
25,02
9,15
26,07
22,36
25,54
Kotak Berdaun
24,65
8,47
29,72
8,78
27,18
Silinder Tanpa Daun
25,97
8,04
26,47
3,58
26,22
Silinder Berdaun
26,85
9,16
27,65
1,73
27,25
Rataan
25,62
8,70
27,47
9,11
26,55
Keterangan : KK= Koefisien Keragaman (%)
Jenis kelamin tidak dapat ditentukan oleh diameter kokonnya karena rataan diameter kokon jantan tidak berbeda nyata dengan betina yaitu 2,6 cm. Diameter cukup seragam, diindikasikan oleh nilai koefisien keragaman yang rendah yaitu 89%. Ukuran diameter ini sama dengan ukuran diameter kokon yang berasal dari alam (Baskoro, 2008) yaitu 2,61 cm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran diameter kokon lebih dipengaruhi oleh genetika A. atlas. Pernyataan ini dapat lebih diperkuat dengan nilai koefisien determinasi diameter kokon. Nilai koefisien determinasi diameter kokon adalah 16,91%. Nilai ini dapat mengindikasikan pengaruh yang mampu dijelaskan oleh faktor alat pengokonan
26
hanya sebesar 16,91%.
Selebihnya dijelaskan oleh faktor lain diluar perlakuan,
seperti genetik, pakan dan sebagainya. Panjang Kokon Rataan panjang kokon dari pupa jantan dan pupa betina berturut-turut adalah antara 47,95-57,92 mm dan 57,5-60 mm seperti terlihat pada Tabel 11. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan alat pengokonan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap panjang kokon, namun panjang kokon jantan sangat nyata (P<0,01) lebih pendek daripada betina. Tabel 11. Rataan dan Koefisien Keragaman Panjang Kokon dari Kokon Jantan dan Betina dengan Alat Pengokonan yang Berbeda Jenis Kelamin Alat Pengokonan
Jantan
Betina
Rataan KK
Rataan KK
(mm)
(%)
(mm)
(%)
(mm)
Kotak Tanpa Daun
50,30
12,78
60,00
9,05
55,15
Kotak Berdaun
47,95
6,36
59,02
7,33
53,48
Silinder Tanpa Daun
57,92
8,77
57,50
3,11
57,71
Silinder Berdaun
51,95
5,17
58,65
4,75
55,30
6,06
55,41
Rataan
52,03
A
8,27
58,79
B
Rataan
Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%) A,B = Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda Sangat nyata (P<0,01)
Rataan panjang kokon tanpa mengidentifikasi jenis kelamin adalah 55,41 mm. Nilai rataan ini hampir sama dengan rataan panjang kokon yang diperoleh dari alam (Baskoro, 2008) yaitu 53,3 mm. Nilai koefisien determinasi panjang kokon yaitu 42,77%, Hal ini menunjukkan terdapat faktor lain selain faktor perlakuan alat pengokonan dan jenis kelamin yang lebih berpengaruh terhadap panjang kokon, misalnya genetik.
27
Tabel 12. Hasil ANOVA, Koefisien Keragaman dan Koefisien Determinasi dari Keseluruhan Peubah Kualitas Kokon yang Diamati Karakteristik
Hasil ANOVA
KK
R2
>
7,46
Alat Pengokonan
Jenis Kelamin
Bobot Floss
tidak nyata
tidak nyata
BKS
tidak nyata
<
>
26,04
BP
tidak nyata
<
>
32,65
BKKU
tidak nyata
<
>
62,42
BKKTF
tidak nyata
<
>
56,06
Diameter Kokon
tidak nyata
Panjang Kokon
tidak nyata
tidak nyata <
16,91 42,77
Tabel 12 menunjukkan bahwa semua jenis alat pengokonan menghasilkan kualitas kokon yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Sebaliknya, jenis kelamin
berpengaruh hampir pada sebagian besar peubah kualitas kokon, dimana kokon jantan lebih rendah daripada betina kecuali pada bobot floss dan diameter kokon. Hal ini didukung oleh nilai koefisien determinasi yang juga kecil pada kedua peubah tersebut.
Berdasarkan nilai koefisien keragaman, keempat alat pengokonan
menghasilkan karakteristik kokon yang lebih seragam pada betina daripada jantan, sehingga alat pengokonan yang dicobakan lebih cocok untuk betina. Hal ini didukung pula oleh bobot floss yang dihasilkan pada penelitian ini tidak berbeda dengan kokon yang berasal dari alam.
28