HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan penelitian, pada bagian ini secara berturut-turut akan dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan dengan 3 (tiga) pokok bahasan utama. Pertama adalah kronologis pemerintahan nagari sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, kedua pemerintahan nagari di era otonomi daerah, dan ketiga model serta strategi peningkatan mutu layanan pemerintahan nagari. Pokok bahasan pertama dihimpun dari sumber-sumber tertulis dalam bentuk data skunder serta dilengkapi dengan hasil wawancara khusus dengan sejumlah mantan wali nagari/kepala desa serta mantan perangkat nagari/perangkat desa, tokoh adat, pemuka masyarakat, dan pejabat terkait ditingkat kecamatan maupun kabupaten, pokok bahasan kedua dihimpun dari hasil pengumpulan data melalui kuesioner dan dilengkapi dengan hasil wawancara serta pengamatan, dan untuk pokok bahasan ketiga dihimpun dan didasarkan pada hasil temuan pokok bahasan sebelumnya. 1. Kronologis Pemerintahan Nagari sebe lum diberlakukannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Ada dua bentuk pemerintahan terendah di Sumatera Barat sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yaitu; Pemerintahan Nagari dan Pemerintahan Desa. Deskripsi kedua bentuk pemerintahan ini adalah sebagai berikut: 1.1. Pemerintahan Nagari Pemerintahan Nagari di Zaman Kolonial Terbentuknya sebuah nagari bermula dari taratak, yaitu semacam sebuah pemukiman baru yang relatif kecil jumlah penduduknya. Dengan pertambahan penduduk, baik karena kelahiran maupun pendatang, beberapa taratak kemudian berkembang menjadi dusun. Dusun kemudian menjadi koto, beberapa koto menjadi kampuang (kampung), dan gabungan dari beberapa kampung akhirnya menjadi atau
94
membentuk sebuah nagari (Anwar, 1967; Yakub, 1989; Sayuti, 1991; Manan, 1995). Dengan demikian, taratak, dusun, koto, dan kampung merupakan bagian dari teritorial sebuah nagari. Menurut Anwar (1967), sebelum bentukan nagari dikenal, orang Minangkabau masih hidup dalam suasana suku. Setelah bentuk nagari dikenal, pengaruh suasana suku terus dilanjutkan, sehingga dikenal bahwa yang menjadi dasar dari nagari adalah faktor genealogi (suku) dan faktor daerah (teritorial). Tradisi ini hingga sekarang masih diteruskan. Di dalam penjelasan Perda No.9 Tahun 2000 misalnya, antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah satu kesatuan genealogis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi; sistem pemerintahan, ekonomi, dan sosial budaya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa pengaturan pemerintahan nagari di era otonomi daerah sekarang ini disesuaikan dan didasarkan pada budaya lokal atau indigenous knowledge. Pemerintahan nagari pada mulanya merupakan pemerintahan adat (adat bestuur). Pemerintahan ini sudah terdapat berabad-abad lamanya jauh sebelum bangsa Belanda atau bangsa Eropa lainnya datang ke Indonesia. Tiap-tiap nagari memiliki pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh penghulu-penghulu suku dan pemimpinpemimpin kelompok matrilineal lainnya yang diatur menurut adat. Jumlah dan komposisi pemerintahannya desesuaikan dengan tradisi adat masing-masing nagari, karena adat hanya berlaku untuk selingkar nagari (adat salingka nagari). Susunan pemerintahan menurut adat itu dibedakan atas dua bentuk, yaitu; susunan pemerintahan dalam lingkungan adat Bodi Caniago dan susunan pemerintahan dalam lingkungan adat Koto Piliang (Anwar, 1967). Dalam lingkungan adat Bodi Caniago, pemerintahan diselenggarakan bersama-sama oleh penghulu-penghulu andiko atau kepala paruik (tuo kampung/ penghulu kampung) dalam suatu wadah yang dinamakan Kerapatan Nagari. Di dalam kerapatan ini, penghulu-penghulu andiko memiliki derajat yang sama dan bersama-sama pula mereka memegang tampuk kekuasaan di nagari. Sementara, di lingkungan adat Koto Piliang, nagari diperintah oleh
95
penghulu-penghulu suku yang dikenal dengan datuak nan kaampek suku (empat orang penghulu suku). Dari keempat penghulu ini dipilih seorang sebagai penghulu pucuk sebagai pimpinan. Di dalam memerintah suku, penghulu-penghulu suku ini dibantu oleh tiga orang pembantu, yang masing-masingnya adalah; seorang manti untuk administrasi pemerintahan, dubalang sebagai polisi, dan seorang malim untuk keperluan urusan agama Islam. Keempat orang ini (penghulu, manti, dubalang, dan malim) disebut juga dengan istilah urang ampek djiniah. Pada bagian lain, Anwar (1967) mengemukakan bahwa meskipun terdapat perbedaan susunan pemerintahan tersebut di atas, namun kedua sistem mempunyai dasar yang sama, yaitu musyawarah—suatu pemerintahan yang demokratis. Kemudian, kenyataannya sekarang menurut Anwar bahwa adat kelarasan Bodi Caniago dan kelarasan Koto Piliang itu sudah campur baur pemakaiannya dalam suatu nagari. Nagari tradisional di Minangkabau sering pula disebut sebagai "republik mini" yang berdiri sendiri (otonom). Nagari yang satu tidak ada hubungannya dengan nagari yang lainnya, kecuali untuk menjaga keamanan bersama, dua atau beberapa nagari bisa membentuk federasi. Demikian pula halnya bahwa nagari tidak ada hubungannya dengan kekuasaan supra-nagari. Sebagaimana misalnya dikutip oleh Manan (1995), bahwa ketika kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman pada pertengahan abad XIV, nagari-nagari di Minangkabau telah mengembangkan otonomi yang demikian tingginya dan pihak kerajaan tidak bisa lagi memaksakan bentuk sistem administrasi yang bisa mengurangi sifat otonomi yang telah dimiliki nagari-nagari tersebut. Kekuasaan raja ketika itu hanya dapat berfungsi sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik antar nagari dan sebagai penyatu simbolik dalam alam Minangkabau. Demikian pula Amran (1985), dalam tulisannya disebutkan bahwa raja di Pagaruyung hanya simbolis belaka dan tidak mempunyai kekuasaan terhadap pemerintahan nagari. Sebagai sebuah republik mini, Manan (1995) dalam tulisannya menggambarkan bahwa unit-unit sosial politik yang ada dalam masyarakat nagari seperti tungganai sebagai pemimpin rumah gadang, penghulu andiko, dan penghulu suku sebagai
96
pemimpin suku, kesemua ini dipilih oleh anggota unit sosial politiknya masing-masing dengan memperhatikan kebaikan dan kelemahan (dituahi dan dicilakoi) calon yang ada. Mereka yang terpilih merupakan wakil dalam sidang-sidang unit sosial, mulai dari sidang unit sosial terkecil hingga ke sidang dewan yang lebih besar atau sidang dewan nagari (Kerapatan Adat Nagari). Semua warga nagari yang termasuk dalam salah satu unit sosial politik (suku, kaum, maupun rumah gadang) mempunyai hak suara dalam memilih pemimpin-pemimpin dalam unit sosialnya masing-masing, sehingga kekuasaan tertinggi bersumber dari warga di unit sosial atau rakyat nagari. Seorang pemimpin yang telah terpilih oleh warga di unit sosial politiknya selalu harus berhati-hati, karena ia selalu berada dalam pengawasan konsituennya (kemenakan-kemenakannya). Dalam konsepsi orang Minangkabau, seorang pemimpin hanya seorang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Ia, dalam bentuk yang paling ekstrim, sebagai seorang pemegang otoritas bisa saja dicabut kekuasaannya oleh kemenakan-kemenakannya bila dalam kepemimpinannya tidak memenuhi ketentuan adat. Seperti diungkapkan dalam katakata adat; raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan pergantian zaman, sistem pemerintahan nagari tradisional yang telah mapan berjalan berabad-abad lamanya itu akhirnya juga goyah, yang diawali dengan kedatangan bangsa Belanda serta intervensinya terhadap urusan dalam nagari. Lindayanti (1988), dalam laporan penelitiannya mengenai Birokrasi Dalam Sistem Laras di Minangkabau pada Tahun 1823-1914 mengemukakan bahwa campur tangan Belanda pada urusan dalam nagari Minangkabau menyebabkan terganggunya kebebasan berpolitik secara tradisional, dan ini merupakan pemicu terjadinya serangan serentak pada tahun 1833, yang kemudian diikuti dengan keluarnya perjanjian Plakat Panjang. Plakat Panjang yang dibuat tanggal 11 Oktober 1883 adalah suatu perjanjian Belanda dengan orang Pesisir Barat Pulau Pertja (pulau Andalas) yang mengharuskan orang Minangkabau menanam kopi dan lada dan hasilnya dijual kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, hasil tanaman kopi dan
97
lada tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain selain kepada pemerintah Belanda. Dalam perjanjian ini disertai dengan kalimat yang terdapat pada Pasal 2, yang berbunyi bahwa Belanda tidak akan ikut campur dalam urusan pemerintahan dalam nagari (Dt.Batuah dan Dt.Madjoindo, 1956). Namun, dalam perkembangan selanjutnya Belanda kemudian menciptakan suatu pemerintahan paralel dengan membentuk sistim administrasi lokal yang disebut dengan sistim Laras, yang di dalamnya diciptakan beberapa jabatan untuk orang pribumi yang disertai dengan pemberian imbalan atau gaji (Dt.Batuah dan Dt.Madjoindo, 1956; Amran, 1985; Lindayanti, 1988). Diciptakannya sistim Laras ini agar lebih memudahkan pemerintah Belanda berhubungan dengan nagari-nagari, karena dalam sistim pemerintahan di Minangkabau tidak terdapat bentuk sistim pemerintahan yang terpusat (sentralisasi)---tiap-tiap nagari berdiri sendiri yang dipimpin oleh penghulu-penghulu sukunya. Pembentukan sistim Laras ini menurut Manan (1995) merupakan priode pertama terjadinya interaksi birokrasi modern dengan otoritas tradisional. Dalam sistim Laras tersebut, diciptakanlah beberapa jabatan baru untuk orang pribumi, seperti; Kepala Laras, Penghulu Kepala, Penghulu Suku, dan Penghulu Suku Rodi. Kepala Laras atau Tuanku Laras mengepalai daerah yang disebut Laras, yang merupakan federasi dari beberapa nagari. Penghulu Kepala mengepalai daerah yang disebut dengan nagari. Penghulu suku mengepalai dan mewakili suku-suku yang terdapat dalam nagari. Sedangkan Kepala Suku Rodi mengepalai atau mengawasi petani-petani kopi di sentra-sentra produksi kopi. Pemerintahan ciptaan Belanda tersebut di atas jelas sama sekali di luar ketentuan adat, baik struktur maupun pengangkatan pejabat-pejabatnya. Pengangkatan penghulu misalnya tanpa memperhatikan faktor keturunan sebagaimana yang sudah diatur menurut adat. Mereka yang diangkat didasarkan atas kedekatan hubungan dan mampu bekerjasama dengan Belanda. Seseorang yang sudah terpilih untuk menduduki jabatan tertentu bisa saja dibatalkan bila tidak sesuai dengan keinginan Belanda, karena sitim Laras merupakan bentukan pemerintah Belanda dan berada di luar sistim adat.
98
Meskipun sistim pemerintahan Laras tersebut pada awalnya mendapat banyak tantangan dari rakyat nagari karena tidak sesuai dengan ketentuan adat, namun sistim Laras yang sarat dengan aroma aristokrasi itu akhirnya juga berhasil dilaksanakan sejalan dengan bertambah kuatnya pemerintahan Belanda dan disertai dengan terjadinya perubahan sikap serta orientasi pada sejumlah orang pribumi yang hanya untuk mengejar keuntungan pribadi. Amran (1985) misalnya, dalam tulisannya mengemukakan bahwa orang-orang yang pada awalnya menentang dan mengejek Belanda malah akhirnya berbalik dan berharap untuk bisa diangkat menduduki jabatan terhormat dengan mengharapkan gaji dan kekuasaan. Setelah Tanam Paksa Kopi berakhir (1847-1908), pada tahun 1914 terjadi reorganisasi di Gubernemen Sumatera Barat dan Gubernemen kemudian kembali lagi menjadi Residensi. Sistim Laras kemudian dihapus dan territorial Laras diganti menjadi Distrik yang dikepalai atau dijabat oleh Demang. Kriteria pengangkatan Demang ini didasarkan kepada kualifikasi pendidikan, dan bukan berdasarkan pada asal usul keturunan seperti yang lazim terdapat dalam adat (Lindayanti, 1988). Dengan demikian, Belanda kembali menunjukkan arogansinya tanpa mengindahkan budaya lokal masyarakat (indigenous knowledge). Setelah sistem laras dihapus dan digantikan dengan Distrik yang dikepalai oleh Demang, sistem pemerintahan nagari kemudian diatur dengan dikeluarkannya IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengeswesten) pada tanggal 16 September Tahun 1938. IGOB ini merupakan ketentuan-ketentuan umum tentang cara mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga negeri-negeri di tanah seberang (di luar Jawa dan Madura), yang isinya tidak jauh berbeda dengan sistim Laras yang pernah diberlakukan di Minangkabau ketika dijalankannya Tanam Paksa Kopi. Di dalam IGOB tersebut, antara lain dinyatakan bahwa Negeri adalah suatu Badan Hukum Bumi Putera (Rechtspersoon Bumi Putera) yang diwakili oleh Kepala Negerinya (pasal 1 ayat 1). Dengan berpedoman pada hukum adat, Residen dapat membuat peraturan-peraturan tentang pemilihan atau penunjukan dan pemberhentian
99
Kepala Negeri dan kepala-kepala rakyat bawahan lainnya. Pemilihan dan penunjukan Kepala Negeri harus diminta persetujuan Residen dan bila ada persetujuan kepada yang bersangkutan diberikan tanda pengakuan (pasal 2 ayat 1 dan 2). Keputusan-keputusan negeri yang berlawanan dengan peraturan-peraturan pemerintah atasan, dengan hukum adat atau dengan kepentingan umum, dapat dibatalkan oleh Residen dengan suatu ketetapan yang memuat keterangan tentang sebab-sebab pembatalan itu (pasal 6 ayat 1). Pemerintahan di negeri-negeri yang telah ditunjuk dijalankan oleh Kepala Negeri dan Dewan Perwakilan Negeri (DPN). Kepala Negeri adalah ketua serta anggota dari DPN, yang memegang pimpinan sehari-hari dan pelaksanaan keputusan-keputusan dewan yang ditugaskan kepadanya (pasal 8 ayat 1 dan 2). Susunan selanjutnya dari DPN diatur berdasarkan peraturan yang akan ditetapkan oleh dewan itu, peraturan mana terlebih dahulu harus disyahkan oleh Residen (ayat 3). Negeri berhak memungut pajak jika menurut pertimbangan Residen memang diperlukan untuk membiayai belanja pemerintahan negeri dan untuk sekolah-sekolah negeri (pasal 4 ayat 1). Segala uang milik negeri harus distor dalam suatu kas. Penyelenggaraan keuangan negeri ini dilakukan menurut petunjuk Residen (pasal 16 ayat 1 dan 2). Di zaman pendudukan tentara Jepang (1942-1945), IGOB tidak diganggu gugat dan kedudukan nagari tetap diakui eksistensinya. Sebagaimana termuat dalam KANPO No.1 tahun 1942 bahwa Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat tetap berjalan seperti biasa, asal saja tidak bertentangan dengan kepentingan Meliter Jepang (Bakar, 2002). Namun berbeda di zaman pendudukan Belanda, di zaman pendudukan Jepang lebih menonjolkan kedudukan dan peranan kaum ulama ketimbang penghulu, sehingga kaum ulama mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan meliter sebagai Gyu-gun (barisan sukarela) untuk memenangkan perang Asia Timur Raya (Mansoer dkk., 1970). Kemudian, ketika Revolusi Fisik (1945-1950) yang segera meletus setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, dengan sendirinya kaum ulama di Minangkabau memainkan peranan penting sebagai pimpinan militer, pimpinan pemerintahan dan di partai-partai politik.
100
Pengaturan Pemerintahan Nagari setelah Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, pemerintahan nagari sebagai unit pemerintahan terendah dan terdepan di Provinsi Sumatera Barat kembali mendapat perhatian oleh pemerintahan supra nagari, baik oleh pmerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengaturan pemerintahan nagari ini diawali dengan dikeluarkannya Maklumat Residen Sumatera Barat No.20 Tahun 1946 pada tanggal 21 Mei 1946. Dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 Tahun 1946 itu, dirumuskan bahwa unsur pemerintahan nagari terdiri dari; Dewan Perwakilan Nagari (DPN), Dewan Harian Nagari (DHN), dan Wali Nagari. Wali Nagari dalam struktur pemerintahan ini langsung menjadi ketua DPN dan juga sekaligus menjadi ketua DHN. Dengan ketentuan ini, karena jabatannya sebagai ketua DPN dan DHN, Wali Nagari dengan sendirinya menjadi penguasa tunggal dalam nagari dan menjadi tokoh sentral dalam pemerintahan nagari. Syarat untuk menjadi anggota DPN dijelaskan pada pasal 3, yaitu; semua warga negara RI yang berdiam di nagari dan telah berumur 25 tahun, tidak dipecat dari hak memilih dan hak menjadi anggota dewan perwakilan, pandai menulis dan membaca setidak-tidaknya dalam huruf Arab, dan mencukupi syarat-syarat kepatuhan umum untuk menjadi wakil rakyat. Dalam ketentuan ini tidak dicantumkan persyaratan pendidikan formal. Dalam pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa DPN memilih seorang dari anggotanya untuk menjadi Wakil Ketua. Kemudian pada pasal 7 dirumuskan bahwa DPN memilih 3-5 orang di antara anggotanya untuk menjadi anggota DHN. Wakil ketua DPN langsung menjadi anggota dan wakil ketua DHN. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemilihan Wali Nagari dirumuskan dalam bagian V pasal 8. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Wali Negeri dipilih langsung oleh semua warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih anggota DPN. Yang boleh dipilih menjadi Wali Negeri ialah semua warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPN dengan ketentuan bahwa pandai membaca dan menulis dalam huruf latin. Pemilihan Wali Negeri wajib disyahkan oleh
101
Wali Daerah (Residen) dan dengan pengesahan itu, Wali Negeri diakui oleh Wali Daerah. Pada pasal 9 ayat 2 dan 3 dijelaskan bahwa DPN boleh mengusulkan kepada Wali Daerah (Residen) untuk memberhentikan Wali Nagari yang disertai dengan berbagai alasan. Rumah tangga Negeri diatur pada bagian VII pasal 12-13. Dalam pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa DPN bersama-sama dan dengan dipimpin oleh Wali Nagari menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga nagarinya, asal tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam ayat 3 dijelaskan bahwa DHN menjalankan putusan-putusan DPN dan menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari. Dalam persidangan DPN lengkap, DHN memberi laporan tentang yang telah diselenggarakannya dalam masa yang lalu. Sedangkan dalam pasal 13 dirumuskan bahwa setiap tahun selambat-lambatnya dua bulan sebelum habis tahun, DPN menetapkan anggaran belanja dan penghasilan negeri untuk tahun dimukanya. Anggaran belanja dan penghasilan itu, demikian juga peraturan iyuran penduduk, baru boleh dijalankan sesudah mendapat persetujuan Wali Daerah (Residen). Perbedaan paham antara DPN dan Residen dalam soal-soal yang tersebut dalam pasal ini, diputuskan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang putusannya tidak boleh dibanding lagi. Kurang lebih empat tahun setelah diberlakukannya Maklumat No.20 Tahun 1946 itu, kemudian digantikan dengan dikeluarkannya Perda Provinsi Sumatera Tengah No.50/GP/1950 tentang Pembentukan Wilayah Otonomi. Peraturan ini dinamakan "Peraturan Sementara Tentang Pokok-Pokok Pembentukan Wilayah Berotonomi." Isi dari Perda ini adalah menghapus Pemerintahan Nagari dengan menggantikannya dengan Pemerintahan Wilayah. Wilayah menurut pasal 1 butir a adalah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan pada butir b disebutkan bahwa Wali Wilayah adalah Kepala Daerah Wilayah. Pembentukan dan batas-batas wilayah dirumuskan dalam pasal 2 ayat 1 dan 2. Pada ayat 1 disebutkan bahwa daerah yang meliputi gabungan nagari-nagari, marga, mendapo, menurut yang ditentukan oleh Panitia Desentralisasi Sumatera Tengah
102
sebelum tanggal 19 Desember 1948 dijadikan wilayah-wilayah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan dalam ayat 2 dirumuskan bahwa dalam hal batas-batas tersebut yang tidak bersesuaian lagi dengan keadaan, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten dengan pengesahan Dewan Propinsi Sumatera Tengah boleh mengubah batas-batas tersebut. Keluarnya Perda Provinsi Sumatera Tengah No.50/GP/1950 itu diawali dengan diadakannya Konferensi Wali Nagari se Sumatera Barat pada tanggal 29-30 Maret 1947 di Bukit Tinggi (Manan, 1985; Pador dkk, 2002). Dalam konferensi ini, Residen Sumatera Barat menyampaikan gagasan untuk melakukan penggabungan beberapa nagari agar dapat dibentuk wilayah yang lebih besar sebagai sebuah wilayah otonom. Dari sebanyak 542 buah nagari yang ada di Sumatera Barat ketika itu diharapkan dapat dibentuk sebanyak 100 buah wilayah yang berotonomi. Pembentukan wilayah yang lebih bernuasa pertimbangan ekonomi (supaya keuangannya kuat) tersebut di atas ternyata kurang mendapat sambutan dari banyak masyarakat nagari, sehingga pada tanggal 16-19 Desember 1953 diadakanlah Konferensi Ninik Mamak Pemangku Adat se Sumatera Tengah. Konferensi ini menuntut dibubarkannya sistem otonomi wilayah hasil bentukan Perda Provinsi Sumatera Tengah No.50/GP/1950 dan kembali ke sistem otonomi nagari yang telah berjalan berabad-abat lamanya sebagai unit sosial politik tradisional (Manan, 1985). Sebagai respon dari hasil Konferensi Ninik Mamak Pemangku Adat se Sumatera Tengah tersebut kemudian keluar Ketetapan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Tengah No.2/G-55/1955 yang memuat dihentikannya sistem pemerintahan wilayah dan kembali kepada bentuk semula berupa nagari berotonomi. Dalam ketetapan ini, pemerintahan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) sebagai pengganti Kerapatan Nagari di zaman penjajahan Belanda. Pembentukan dan pemilihan anggota DPRN dan Wali Nagari di tahun 1955 itu bersamaan pula dengan masa persiapan pemilihan umum pertama di Republik
103
Indonesia. Situasi ini membuat banyak dari pemuka adat, alim ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya berafiliasi dengan partai-partai politik dengan harapan agar dapat menjembatani mereka untuk terpilih menjadi anggota DPRN dan Wali Nagari. Sementara itu, institusi pemerintahan nagari juga mejadi ajang perebutan dan alat politik bagi banyak partai politik ketika itu untuk dapat memenangkan partai politiknya. Setelah nagari kembali berotonomi dengan keluarnya Ketetapan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Tengah No.2/G-55/1955 itu, keadaan nagari tampaknya belum aman. Antara tahun 1959-1961 ketika terjadinya peristiwa PRRI, banyak nagari-nagari berada di bawah kekuasaan PRRI. Akibat dari ini, maka keluarlah SK Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat tanggal 31 Agustus 1958 No. GSB/1/KN/58 tentang pemilihan, penunjukan, pemberhentian dan perwakilan Kepala Nagari di daerah Sumatera Barat. SK ini dikeluarkan untuk mengatasi kekosongan pemerintahan nagari dikarenakan banyaknya wali nagari yang terlibat dengan peristiwa PRRI. Kemudian SK ini disusul dengan Peraturan No.32/Desa/GSB/1959 tentang susunan Kerapatan Nagari dan cara pembentukannya. Pemerintahan nagari menurut SK ini terdiri dari Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari. Kerapatan Nagari terdiri dari penghulu-penghulu, alim ulama, dan cerdik pandai, yang disebut juga dengan tungku tigo sajarangan. Setelah berakhirnya peristiwa PRRI, dikeluarkanlah Keputusan Peperda No.Prt-Peperda-/01/4/62 pada tanggal 7 April 1962 tentang Penertiban Pemerintahan Nagari. Kemudian keputusan ini disusul dengan keluarnya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat No. 2/Desa/Gsb/Prt-1963 tentang Peraturan Nagari-Nagari dalam Daerah Sumatera Barat, sambil menunggu Undang-Undang Nasional kedesaan yang akan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. SK Gubernur No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1963. Dalam pasal 3 pada SK Gubernur No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 tersebut dijelaskan bahwa pemerintahan nagari terdiri dari; Kepala Nagari (KN), Badan Musyawarah Nagari (BMN), dan Musyawarah Gabungan (MG). Selanjutnya dalam
104
pasal 9 dirumuskan bahwa alat-alat perlengkapan nagari terdiri dari; KN, BMN, MG, Pamong nagari (Kepala Kampung), Panitera nagari (Kepala Tata Usaha), dan Pegawai nagari (semua pegawai di bawah Panitera, termasuk pesuruh kantor, pembantupembantu Kepala Kampung, semua petugas dari pasar A atau pasar kepunyaan nagari). Hal-hal yang berhubungan dengan KN dijelaskan pada Bab II tentang KN. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa KN diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat I di antara calon-calon yang diajukan BMN. Bila dari calon-calon tersebut tidak ada calon yang dipandang cakap, maka BMN mengajukan pencalonan kedua. Kemudian bila pada pencalonan kedua tidak ada juga calon yang dipandang cakap, maka Kepala Daerah Tingkat I mengangkat seseorang menjadi Kepala Nagari di luar pencalonan. Dalam pasal 12 antara lain dijelaskan bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi KN adalah; Warga Negara Republik Indonesia yang menurut adat kebiasaan setempat telah menjadi warga nagari dan yang berpengaruh, disegani dan dihormati oleh masyarakat, sekurangkurangnya berumur 25 tahun, dan berpendidikan sekurang-kurangnya tamatan Sekolah Rakyat (SR) atau berpengetahuan yang sederajat dengan itu serta mempunyai pengalaman dan kecakapan pekerjaan yang diperlukan. Selanjutnya dalam pasal 18 dinyatakan bahwa Kepala Nagari tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan dari BMN dan atau MG. Dalam pasal 22 dijelaskan bahwa BMN adalah perwakilan dari masyarakat nagari, yang berasal dari golongan adat, agama, Front Nasional, lembaga sosial desa (LSD), koperasi desa, wanita, tani atau nelayan, buruh, pemuda, dan golongan veteran. Jumlah anggota BMN ini pada pasal 23 disebutkan sebanyak-banyaknya 10 orang atau 1 (satu) orang untuk setiap masing-masing golongan. Pada pasal 24 dijelaskan bahwa syarat-syarat untuk menjadi anggota BMN sama dengan syarat yang berlaku kepada KN, dengan ketentuan bahwa mengenai umur sekurang-kurangnya 21 tahun--lebih rendah 4 tahun dari syarat umur Kepala Nagari.
Pada pasal 28 dijelaskan bahwa
BMN diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat II di antara calon-calon yang jumlahnya tidak boleh lebih dari 3 (tiga) orang untuk tidap golongan. Selanjutnya pada pasal 30
105
ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa pimpinan BMN terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Kepala Nagari karena jabatannya menjadi ketua BMN. Mengenai MG dijelaskan dalam pasal 37. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa peserta MG terdiri dari; KN, semua anggota BMN, semua Pamong Nagari, dan seorang utusan dari tiap-tiap kampung. Dalam pasal 39 dijelaskan bahwa KN karena jabatannya menjadi ketua MG. Wakil Ketua MG dipilih oleh dan dari anggota MG dan disahkan oleh Kepala Daerah Tingkat II. Dengan demikian, SK No.2/Desa/Gsb/Prt1963 menempatkan KN kebali sebagai penguasa tunggal dan memiliki otoritas yang lebih besar di nagari. Selain dari jabatan KN, BMN, dan MG, jabatan-jabatan penting lainnya di nagari sangat ditentukan oleh pemerintah supra nagari. Dalam pasal 44 misalnya, dirumuskan bahwa Pamong Nagari diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat II atas usul BMN. Demikian pula dalam pasal 47 ayat 2, dijelaskan bahwa Panitera Nagari diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah Tingkat II atas usul dari KN. Dengan demikian, jabatan-jabatan penting di nagari tidak luput dari campur tangan pemerintah supra nagari, terutama Pemerintah Kabupaten. Sumber keuangan dan pertanggung jawaban keuangan nagari dalam SK Gubernur No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 itu dijelaskan dalam bab IV dan bab V. Dalam kedua bab ini, antara lain dirumuskan bahwa keuangan nagari diperdapat dari penghasilan nagari sendiri, bantuan pemerintah, dan bea-bea pasar. Dari penghasilan nagari sendiri adalah berupa; iyuran nagari, uang pas ternak, uang surat keterangan, uang bunga kayu, uang bunga pasir/batu/karang, uang tambahan (tuslah) penomoran rumah, uang biaya kartu penduduk, uang iyuran pengairan, keuntungan pasar, dan uang pembangunan. Uang ini digunakan antara lain untuk gaji atau tunjangan aparat pemerintahan atau alat-alat kelengkapan nagari, uang sidang, uang dinas, biaya kantor, pemeliharaan sarana dan prasarana umum, biaya pendidikan rakyat, biaya urusan agama, kesenian, dan dan kebudayaan. Setiap tahun dibuat pertanggung jawaban anggaran menurut petunjuk dari Kepala Daerah Tingkat II.
106
Selanjutnya dalam pasal 68 dijelaskan bahwa gaji untuk alat-alat kelengkapan nagari dan pasar disesuaikan dengan gaji pegawai negeri sipil menurut peraturan pemerintah (PP No.200/1961). Misalnya, nagari yang berpenduduk 4000 jiwa, gaji Kepala Nagari-nya setara dengan gaji pegawai negeri golongan D/I, Pamong nagari/Staf Kepala Nagari setara dengan golongan C/I, dan gaji Panitera Nagari setara dengan golongan C/I. Gaji petugas-petugas yang lain yang tidak disebutkan dalam peraturan pemerintah diatur oleh BMN atau Badan Komisi Pasar yang bersangkutan. Sedangkan uang sidang untuk BMN, MG dan Badan Komisi Pasar ditetapkan oleh masing-masing badan tersebut sesuai dengan kondisi keuangan nagari. Selain dari badan-badan yang telah disebutkan di atas, di tiap nagari terdapat pula Badan Pelaksana Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD). Dalam pasal 78 disebutkan bahwa BPMD diketuai oleh Kepala Nagari, Wakil ketua Pamong Nagari/Kepala Bagian Perekonomian, Setia Usaha Panitera Nagari, dan Anggota BPMD adalah semua anggota BMN dan semua Pamong Nagari. Tiap-tiap kegiatan yang akan dilakukan oleh BPMD harus dengan persetujuan Pimpinan Badan Koordinasi Pembangunan Masyarakat Desa (BKPMD) Kecamatan dan Daerah Tingkat II. Setelah kurang lebih empat tahun diberlakukannya SK No.2/Desa/Gsb/Prt1963 dan dengan memperhatikan perkembangan nagari serta UU No. 19 Tahun 1965 (UU Desapraja) yang belum bisa dijalankan karena perlu ditinjau kembali, maka SK No.2/Desa/Gsb/Prt-1963 tersebut kemudian diganti dengan keluarnya SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi
Sumatera Barat
No.015/GSB/1968 tentang Peraturan
Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, yang ditetapkan pada tanggal 18 Maret 1968. Berbeda
dengan
SK
sebelumnya,
dalam
pasal
2
SK
Gubernur
No.015/GSB/1968 disebutkan bahwa alat perlengkapan nagari (aparatur) adalah lembaga-lembaga nagari yang terdiri dari; Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN), dan Kerapatan Nagari (KN). Pemerintahan nagari adalah Wali Nagari dan DPRN, yang masing-masingnya sebagai lembaga eksekutif dan legislatif.
107
Sedangkan KN adalah badan peradilan agama dan adat serta penasehat pemerintah nagari. KN ini bukanlah termasuk unsur pemerintahan melainkan semacam badan permusyawaratan dari pemuka-pemuka masyarakat. Selain dari ketiga lembaga tersebut, diintrodusir pula sebuah lembaga baru yang dinamakan Rapat Nagari (RN). Dalam pasal 34 disebutkan bahwa RN adalah pertemuan antara Pemerintah Nagari dengan penduduk nagari secara langsung. Dalam pertemuan ini, Pemerintah Nagari memberi laporan tentang pelaksanaan Pemerintahan Nagari pada tahun yang lalu dan memberikan penjelasan untuk rencana kerja tahun berikutnya yang disertai dengan menampung aspirasi masyarakat. Pertemuan ini diadakan sekali dalam setahun dalam rangka hari ulang tahun proklamasi Republik Indonesia. Dibentuknya lembaga Rapat Nagari ini sebagai upaya untuk menumbuhkan demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan dengan kegiatan ini dimungkinkan pula terjadinya social control langsung dari masyarakat. Dalam pasal 7 disebutkan bahwa Wali Nagari ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat dari hasil pemilihan umum yang diadakan untuk itu. Wali Nagari dipilih sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh DPRN yang sudah mendapatkan penelitian dari Bupati Kepala Daerah Kabupaten. Persyaratan untuk dapat menjadi Wali Nagari seperti dijelaskan dalam pasal 8 antara lain adalah; mempunyai pengalaman dalam memimpin masyarakat, mempunyai program/rencana tentang pembangunan nagari, minimal berpendidikan Sekolah Dasar, dan telah berumur 25 tahun. Wali Nagari memegang pimpinan Pemerintahan Nagari, baik urusan rumah tangga nagari maupun dalam bidang pembantuan urusan pemerintah yang lebih atas. Dalam penyelenggaraan administrasi nagari, seperti disebutkan pada pasal 13, dilakukan oleh sekretariat nagari yang dipimpin oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris Nagari ini, yang karena jabatannya, ia menjadi Sekretaris Wali Nagari, Sekretaris DPRN, dan Sekretaris Kerapatan Nagari. Pada pasal 14 disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas pemerintahan, Wali Nagari dibantu oleh Kepala-Kepala Jorong. Kepala Jorong
108
diangkat dan diberhentikan oleh Wali Nagari dengan mengindahkan adat kebiasaan setempat. Pelaksanaan pemerintahan oleh Kepala Jorong dilakukan dengan mengindahkan kedudukan Penghulu/Kepala Kaum menurut adat kebiasaan yang berlaku. DPRN sebagai alat perlengkapan nagari dijelaskan pada bagian II. Dalam pasal 15 pada bagian II ini disebutkan bahwa DPRN menetapkan anggaran keuangan nagari dan peraturan-peraturan nagari untuk mengurus rumah tangga nagari atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan lebih atas yang pelaksanaannya diberikan kepada nagari. Pada pasal 18 dijelaskan bahwa anggota DPRN didasarkan kepada jumlah penduduk dengan pertimbangan setiap 1000 penduduk satu orang anggota DPRN. Ketua dan wakil ketua DPRN dipilih dari dan oleh anggota DPRN. Pada pasal 19 disebutkan bahwa anggota DPRN ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten berdasarkan hasil pemilihan umum. Tata cara dan hal-hal yang berhubungan dengan pemilihan anggota DPRN diatur oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan pasal 21 disebutkan bahwa anggota DPRN tidak boleh merangkap menjadi Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Pimpinan Harian Kerapatan Nagari, dan pejabat-pejabat lain yang bertanggung jawab mengenai keuangan nagari. Kerapatan Nagari (KN) merupakan badan permusyawaratan dari pemukapemuka masyarakat nagari yang meliputi seluruh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai dalam nagari. Kerapatan Nagari ini tidak sama dengan Kerapatan Adat Nagari. Pembentukan Kerapatan Nagari ini dimaksudkan untuk menghimpun sebanyak mungkin potensi yang ada di masyarakat sehingga tercipta suatu pemerintahan yang berwibawa dan kuat. Wali Nagari karena jabatannya menjadi Ketua Kerapatan Nagari. Pimpinan hariannya adalah Wali Nagari dan ditambah dengan 3 (tiga) orang wakil ketua, yang masing-masingnya seorang Ninik Mamak, Alim Ulama, dan seorang Cerdik Pandai dalam nagari. Tugas dan wewenang Kerapatan Nagari adalah memberi nasehat dan pertimbangan kepada Wali Nagari dan DPRN baik diminta maupun tidak dan
109
mengadili perkara di bidang perdata, adat, agama, dan umum terutama mencari perdamaian dalam nagari dengan semufakat pihak-pihak yang berkepentingan. Mengenai keuangan nagari yang terdapat pada SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi
Sumatera Barat
No.015/GSB/1968
tidak jauh berbeda dengan yang
terdapat pada SK sebelumnya. Sumber keuangan ini pada prinsipnya diperoleh dari sumber sendiri (yang sudah ada di nagari) dan bantuan dari pemerintah atasan yang berupa subsidi dan penerimaan nagari atas dasar prosentase dari pungutan yang dilakukan nagari.
Hanya saja dalam SK No.015/GSB/1968 ini perhatian lebih
difokuskan pada pemeliharaan terhadap sumber-sumber keuangan yang sudah ada dan tertib administrasi serta penggunaannya. Di dalam SK No.015/GSB/1968 itu juga dicantumkan bahwa beberapa nagari dapat bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan bersama setelah memperoleh persetujuan dari Bupati Kepala Daerah Kabupaten. Penggabungan nagari-nagari menjadi satu nagari yang lebih besar dianjurkan. Ini didasarkan atas pertimbangan bahwa terdapat sejumlah nagari yang penduduknya sangat kecil yang dengan sendirinya sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki juga "kecil." Setelah pemerintahan nagari berjalan kurang lebih 5 (lima) tahun dan dengan mempertimbangkan berbagai hasil evaluasi dan penelitian, serta sambil menunggu ketentuan lebih lanjut dari pemerintah pusat, SK No.015/GSB/1968 kemudian disempurnakan dengan keluarnya SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I No.155/GSB-1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari di Wilayah Daerah Tingkat I Sumatera Barat. SK Gubernur No.155/GSB-1974 ini ditetapkan pada tanggal 24 Desember 1974. Dibanding dengan SK sebelumnya (SK No.015/GSB/1968), perubahan yang mendasar yang dibawa oleh SK Gubernur No.155/GSB-1974 adalah mengenai alat perlengkapan nagari. Disebutkan dalam pasal 2 bahwa alat perlengkapan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari. Kedua lembaga ini secara bersama-sama merupakan pemerintah nagari. Pemerintah nagari ini dibantu oleh Sekretariat Nagari,
110
Pembantu Wali Nagari, dan Kepala-Kepala Jorong. Sekretariat nagari dalam pasal 23 disebutkan sebagai penyelenggara administrasi yang berhubungan dengan tugas kewajiban Pemerintah Nagari. Pembantu Wali Nagari dalam pasal 25 dijelaskan sebagai pejabat yang diserahi oleh Wali Nagari memimpin pelaksanaan urusan-urusan tertentu dalam bidang Pemerintahan Nagari. Para pembantu ini diangkat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II atas usul Wali Nagari setelah mendengar Kerapatan Nagari. Dengan demikan, DPRN seperti yang diatur di dalam SK No.015/GSB/1968 dengan sendirinya ditiadakan. Dalam pasal 8 disebutkan bahwa Wali Nagari diangkat oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan pemilihan yang diadakan untuk itu. Wali Nagari dipilih dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang calon yang diajukan oleh Kerapatan Nagari yang sudah mendapatkan penelitian dan penetapan dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Persyaratan untuk diangkat menjadi Wali Nagari seperti dijelaskan pada pasal 9 relatif sama dengan SK sebelumnya. Misalnya mempunyai pengalaman dalam memimpin masyarakat dan mempunyai rencana dan program tentang pembangunan nagari. Perbedaannya terdapat pada kualifikasi orang yang dapat diangkat menjadi wali nagari. Bila dalam SK No.015/GSB/1968 misalnya berpendidikan SD dan telah berumur 25 tahun, maka dalam SK Gubernur No.155/GSB-1974 minimal berpendidikan SLP dan telah berumur 30 tahun. Dengan demikian, kualifikasi pendidikan dan umur untuk orang yang dapat diangkat menjadi Wali Nagari makin meningkat. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya di bidang urusan rumah tangga dan urusan perbantuan dalam pemerintahan, Wali Nagari bertanggung jawab kepada Kerapatan Nagari, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan atasan ia bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Dengan demikian, tugas dan fungsi DPRN pada SK No.015/GSB/1968, yang dalam SK Gubernur No.155/GSB-1974 menjadi tugas Kerapatan Nagari.
111
Dalam pasal 14 SK Gubernur No.155/GSB-1974 dijelaskan bahwa Kerapatan Nagari adalah lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-pemuka masyarakat, yang terdiri dari; Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai yang mewakili kepemimpinan Suku dan Kepala-Kepala Jorong, yang jumlahnya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing nagari. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa Pimpinan Kerapatan Nagari terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Wali Nagari karena jabatannya menjadi Ketua Kerapatan Nagari dan bukan sebagai anggota. Dalam menjalankan tugas sehari-hari, Wali Nagari dibantu oleh Wakil-Wakil Ketua, yang terdiri dari; Wakil Ketua bidang Adat, bidang Agama, dan Wakil Ketua bidang Umum. Anggota dari Kerapatan Nagari tidak boleh merangkap menjadi Wali Nagari, Sekretaris Nagari, dan pejabat-pejabat lain yang bertanggung jawab mengenai pengurusan keuangan dan kekayaan nagari. Selain menerima pertanggung jawaban dari Wali Nagari dalam bidang urusan rumah tangga dan urusan perbantuan dalam pemerintahan, Kerapatan Nagari menetapkan pula anggaran pendapatan dan belanja nagari dan peraturan-peraturan nagari dalam pengurusan rumah tangga nagari. Selain itu, sebagai lembaga musyawarah, Kerapatan Nagari melaksanakan pula peradilan adat, agama, dan memberikan pertimbangan kepada Wali Nagari, baik diminta maupun tidak. Dalam menjalankan administrasi pemerintahan nagari, Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris ini adalah sekretaris dari Wali Nagari dan sekretaris dari Kerapatan Nagari. Ia diangkat oleh pemerintah nagari. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat pula mempekerjakan pegawai negeri/pegawai daerah untuk menjadi sekretaris bila diminta oleh nagari yang bersangkutan. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, Wali Nagari dibantu pula oleh pembantu-pembantu Wali Nagari dan Kepala Jorong. Pembantu Wali Nagari adalah pejabat yang diserahi tugas untuk memimpin urusan-urusan tertentu dalam bidang pemerintahan nagari. Para pembantu itu diangkat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II atas usul Wali Nagari dengan pertimbangan Kerapatan Nagari.
112
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja Pemerintahan Nagari Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa pemerintahan nagari pada awalnya, ketika ia masih berstatus sebagai pemerintahan adat, dinilai sangat baik dan kegiatan pemerintahannya berjalan sangat demokratis. Para pemimpin yang duduk di pemerintahan ketika itu tidak dapat menyalahgunakan kekuasaannya atau yang dalam bahasa populernya disebut KKN. Sementara itu, Mansoer dkk. (1970) dalam bukunya menyebutkan bahwa pemerintahan nagari sangat berwibawa dan ditaati oleh seluruh penduduk nagari. Gambaran tentang kinerja pemerintahan nagari yang demikian, secara langsung maupun tidak langsung diduga akibat dari sistem pemerintahan yang dianut. Dalam pemerintahan adat, sistem pemerintahan didasarkan dan berakar pada tradisi adat dan hukum adat. Pemerintahan dan masyarakat menyatu dalam satu kesatuan sistem sosial yang diatur berdasarkan kaidah-kaidah adat dan hukum adat. Para pemimpin yang duduk dalam pemerintahan merupakan wakil-wakil dari setiap kelompok atau unit-unit sosial menurut adat yang ada dalam nagari dan kepemimpinan pemerintahan dijalankan secara kolektif. Rekrutmen dari pemimpin dilakukan menurut tradisi adat melalui suatu seleksi oleh anggota atau warga unit sosial di masing-masing unit sosialnya secara demokratis melalui musyawarah dan mufakat, dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing calon. Dengan demikian, di samping unsur keterwakilan kelompok (suku misalnya), indivdu-individu yang duduk di dalam pemerintahan tentunya mereka-mereka yang memiliki kelebihan di dalam unit sosialnya masing-masing, baik dari segi pengalaman, kemampuan, maupun pengetahuannya di bidang adat dan hukum adat yang memang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan. Dengan alasan ini, adalah sangat masuk akal bila para pemimpin di nagari ketika itu terdiri dari orang-orang yang disegani, dihormati, disenangi dan menjadi panutan bagi masyarakatnya, karena mereka merupakan orang-orang pilihan dan telah teruji di unit sosialnya masing-masing. Struktur organisasi atau lembaga pemerintahan nagari, baik menurut adat Bodi Caniago maupun Koto Piliang tampak lebih sederhana, tanpa disertai misalnya dengan
113
susunan yang bersifat hirarkis dan komplek. Unsur-unsur atau jabatan-jabatan yang terdapat di pemerintahan disesuaikan dengan ketentuan adat di masing-masing nagari. Pimpinan di tingkat unit sosial maupun di tingkat nagari dipilih dan ditentukan oleh warga unit sosial masing-masing, sehingga otoritas tertinggi tetap bersumber dan berada di warga unit sosial. Oleh karena itu, hubungan antara pemimpin dengan warga atau anggota unit sosialnya (jarak psikologis) dengan sendirinya akan terjalin dengan baik dan seorang pemimpin senantiasa harus memperhatikan aspirasi warga yang berkembang di unit sosialnya. Selain dari faktor individu anggota dan struktur lembaga di atas, faktor lain yang berkaitan dengan kinerja organisasi dapat dilihat dari proses organisasi, yaitu prosesproses yang berfungsi dalam organisasi itu. Dalam hal hubungan antar peranan, tingkat pemahaman anggota terhadap peranannya sendiri maupun pemahaman terhadap peranan anggota lain dalam lembaga pemerintahan tentu akan lebih baik, karena rekrutmen mereka didasarkan pada kriteria tertentu sesuai dengan ketentuan adat. Seseorang yang menempati posisi sebagai penghulu misalnya, pengalaman dan pengetahuannya di bidang adat tentu lebih baik di antara warga unit sosialnya. Demikian pula halnya dengan komunikasi sesama anggota dalam lembaga pemerintahan, karena mereka tergabung dalam sebuah lembaga kerapatan nagari, maka komunikasi sesama anggota tidak akan menjadi penghambat dalam penyelenggaraan pemerintahan di saat itu. Bila dianalisis lebih jauh, fungsi pengawasan sebagai bagian dari proses organisasi dapat dikatakan tidak terdapat dalam lembaga pemerintahan adat, karena kelembagaannya tanpa disertai dengan struktur yang bersifat hirarkis dan individuindividu yang ada di dalamnya adalah setara (egaliter). Kalaupun ada pemimpin misalnya, mereka ini hanyalah orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting yang pemilihannya dilakukan melalui musyawarah dan mufakat di antara penghulu-penghulu.
Pengawasan terhadap para pemimpin langsung dilakukan oleh
warga di unit sosial masing-masing yang sudah diatur menurut tradisi adat. Sementara
114
itu, persoalan-persoalan yang muncul dalam sistem pemerintahan adat diselesaikan secara bertingkat, mulai dari unit sosial yang terkecil, yaitu; mulai dari paruik, suku hingga ketingkat nagari. Dalam petuah adat disebutkan: Kusuik bulu, paruah manyalasaikan; Kusuik paruah, bulu manyalasaikan, yang artinya bahwa masingmasing unit sosial bertanggung jawab terhadap unit sosialnya. Setelah sistem pemerintahan adat diganti dengan sistem pemerintahan nagari, dengan menggunakan format atau sistem pemerintahan yang lebih modern yang dipelopori awalnya oleh sistem Laras, kinerja atau jalannya
pemerintahan nagari
kemudian mengalami banyak perubahan. Bachtiar (1964) misalnya, dalam field worknya di Negeri Taram pada tahun 1962, mengungkapkan bahwa wali nagari tidak mempunyai kekuasaan nyata yang dapat memaksa keputusan-keputusannya kepada warga nagarinya bila ia bukan sebagai seorang pejabat nagari berdasarkan normanorma adat yang mempunyai beberapa alat pemaksa yang disediakan oleh adat dan diakui oleh masyarakat nagari. Demikian pula Thalib (1974), dalam penelitiannya terhadap penerapan SK 015/GSB/1968 tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, menyebutkan bahwa jalannya pemerintahan nagari tidaklah begitu lancar. Kegiatan pemerintahan tidak lebih dari sekedar memenuhi tugas-tugas rutin yang diperintahkan dari atas (pemerintahan atasan), tetapi tidak mampu berinsiatif untuk memenuhi aspirasi rakyat nagari. Berbeda dengan itu, hasil wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat di lapangan, diperoleh kesan bahwa kinerja dan atau jalannya pemerintahan nagari tidaklah semuanya mengecewakan. Beberapa di antara tokoh masyarakat di lapangan menuturkan sebagai berikut: Ibu Lina (75 th), mantan kepala kampung dan juga mantan wali nagari (periode 1981-1983), menuturkan bahwa ketika ia mejabat sebagai wali nagari banyak kegiatan yang telah dilakukan atas inisiatif pemerintahan nagari sendiri, misalnya; gotong royong memperbaiki jalan dan irigasi, membuat bak sampah, pembuatan kebun rumah (berupa tanaman sayur-sayuran), rumah-rumah penduduk diusahakan dicat putih, membasmi tikus bersama-sama dengan masyarakat, dan gotong royong mengeluarkan batu kali untuk perbaikan sarana umum. Semua kegiatan ini disosialisasikan terlebih dahulu dengan memberitahukannya kepada
115
masyarakat sebelum dilaksanakan. Selama mejabat, tidak jarang pula Ibu Lina berurusan dengan bupati, camat, dansek, dan kodim untuk menyelesaikan kasus-kasus masyarakat nagari. Selain itu, pernah pula pemerintah nagari mengambil borongan proyek bangunan dan pekerjanya diambil dari warga masyarakat sekitar sehingga terbuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Sumber keuangan nagari ketika itu menurut Ibu Lina lebih banyak didapat dari komisi jual beli tanah dan ternak, bungo pasia (komisi penjualan pasir) dan bungo karang (komisi dari penjualan hasil laut) ketimbang minta iyuran dari masyarakat. Gambaran tentang kegiatan dan kepemimpinan Ibu Lina di atas memang dibenarkan dan diakui oleh banyak anggota masyarakat. Sejumlah responden dan tokoh masyarakat yang berhasil diwawancarai mengatakan bahwa jarang yang tidak kenal dengan Ibu Lina karena terkesan dengan ketegasan dan prestasi yang telah dicapainya ketika “menahkodai” Nagari Salido. Dengan keberhasilannya ini, sosok kepemimpinan Ibu Lina malah sering dijadikan sebagai referensi bagi sejumlah kepala kampung dan mantan kepala kampung hingga sekarang. Bila disebut kepada mereka tentang kepemimpinan Ibu Lina misalnya, mereka sering terkagum-kagum. Berbeda dengan sosok kepemimpinan Ibu Lina di atas, informan lain menilai kinerja pemerintahan nagari dengan membandingkannya dengan pemerintahan desa dan atau dengan kondisi sekarang. Beberapa di antaranya mengemukakan sebagai berikut: Alam (64 th), seorang tokoh masyarakat di Nagari Lansek Kadok, mengemukakan bahwa ketika bernagari dulu sangatlah mudah mengajak masyarakat untuk bergotong royong dan menyumbang (iyuran) untuk keperluan nagari dibandingkan ketika berdesa. Sementara itu, Syamsu (64 tahun), seorang mantan anggota Badan Musyawarah Nagari di tahun 60-an, mengemukakan bahwa ketika bernagari dulu, hubungan wali nagari dengan masyarakat sangat dekat. Soal keamanan ketika itu sangat baik dan tidak pernah misalnya ada judi seperti halnya sekarang ini. Para pemimpin yang ada di nagari ketika itu sangat berwibawa, disegani dan masyarakatpun patuh kepadanya. Dari kasus-kasus di atas, tampak bahwa kinerja atau jalannya pemerintahan nagari yang satu berbeda dengan nagari yang lainnya. Hal ini dapat merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari sejumlah faktor, baik faktor kebijakan pemerintahan supra nagari, adat, maupun faktor yang terdapat di lembaga pemerintahan
116
nagari yang bersangkutan. Bachtiar (1964) misalnya, dengan menggangkat kasus Negeri Taram, mengatakan bahwa karena Wali Negeri Taram bukan berasal dari pejabat adat berdasarkan norma adat sehingga ia terpaksa mencari persetujuan terlebih dahulu dari pejabat-pejabat adat untuk melaksanakan perintah atau proyek dari pemerintah. Dalam kasus ini, kelihatan bahwa faktor adat berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan nagari. Seorang wali nagari yang bukan berasal dari pejabat adat wibawanya berkurang dimata masyarakatnya. Sementara faktor adat ini memang tidak dirumuskan di dalam sistem dan pengaturan pemerintahan nagari, baik di dalam IGOB maupun di dalam SKSK Gubernur berikutnya, dalam arti bahwa tidak ada ketentuan bahwa seorang wali nagari harus berasal dari pejabat adat. Dengan demikian, faktor kebijakan pemerintahan supra nagari yang tidak sesuai dengan indigenous knowledge secara tidak langsung berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu. Thalib (1974), dalam penelitiannya melihat pengaruh dari kebijakan pemerintahan supra nagari melalui SK Gubernur No.015/GSB/1968 terhadap kinerja pemerintahan nagari. Dikatakan dalam penelitiannya bahwa kurang lancarnya jalan pemerintahan nagari ketika itu berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, umur, insentif (honorarium), dan motivasi aparat. Dari struktur, dikemukakan bahwa struktur organisasi pemerintahan nagari terlalu ideal---laju perubahan politik dan pemerintahan tidak sejalan dengan lajunya perubahan sosial, sehingga sering terjadi benturan-benturan antar alat perlengkapan pemerintahan nagari (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sedangkan dalam proses, dikatakan bahwa kinerja pemerintahan nagari berkaitan dengan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintahan supra nagari. Dengan demikian, faktor kebijakan pemerintahan supra nagari, yang dalam hal ini adalah SK Gubernur No.015/GSB/1968 secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja dan atau jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu. Selain itu, bila SK-SK yang mengatur pemerintahan nagari seperti yang telah diuraikan di atas dipahami satu-persatu, mulai dari IGOB hingga SK Gubernur No.155/GSB-1974, isi yang terkandung dalam SK Gubernur No.015/GSB/1968 pada
117
dasarnya tidak jauh berbeda dengan SK-SK sebelum maupun sesudahnya, baik yang menyangkut bentuk dan susunan alat perlengkapan nagari, tata kerja pemerintahan, rekrutmen dan pengangkatan aparat pemerintahan, kewajiban pemerintahan nagari, maupun pengaturan tentang keuangan nagari. Dalam susunan alat perlengkapan nagari misalnya selalu ada badan eksekutif dan badan legislatif nagari, meskipun tidak dinyatakan secara tegas. Dalam IGOB misalnya, pemerintahan nagari dijalankan oleh Kepala Nagari dan Dewan Perwakilan Nagari (DPN). Dalam Maklumat No.20 Tahun 1946 disebutkan bahwa pimpinan pemerintahan nagari terdiri dari; DPN, Dewan Harian Nagari, dan Wali Nagari. Pada SK Gubernur No.015/GSB/1968 dinyatakan bahwa pemerintahan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN). Sedangkan dalam
SK Gubernur No.155/GSB-1974 disebutkan bahwa
organisasi atau alat perlengkapan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari. Tugas dan fungsi DPRN pada SK Gubernur No.015/GSB/1968, yang dalam SK Gubernur
No.155/GSB-1974
menjadi
tugas
Kerapatan
Nagari. Kemudian,
pengangkatan Wali Nagari harus mendapat “restu” dari pimpinan pemerintahan supra nagari. Wali Nagari diposisikan sebagai penguasa tunggal dan menjadi tokoh sentral dalam nagari, karena sebagai pimpinan lembaga eksekutif, ia juga sekaligus menjadi pimpinan lembaga legislatif nagari. Demikian pula dalam hal kriteria calon, bila dalam SK Gubernur No.015/GSB/1968 misalnya syarat untuk menjadi Wali Nagari minimal berpendidikan SD dan telah berumur 25 tahun, maka dalam SK No.2/Desa/GSB/Prt1963 minimal tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan sekurang-kurangnya berumur 25 tahun. Dengan demikian, tidak hanya SK No.015/GSB/1968, tetapi SK-SK Gubernur yang lainnya itu yang mengatur pemerintahan nagari, secara langsung maupun tidak langsung diduga berpengaruh terhadap kinerja atau jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu. 1.2. Pemerintahan Desa Dari Nagari ke Desa
118
Pada tanggal 1 Desember 1979, Pemerintah Pusat memberlakukan UndangUndang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menggantikan undangundang atau peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Lahirnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu pada dasarnya dilatarbelakangi oleh tiga alasan utama. Pertama, Undang-Undang No.19 Tahun 1965 dinilai tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketika itu, kedua agar terdapat keseragaman dengan mengacu kepada bentuk Negara Kesatuan, ketiga untuk kemajuan masyarakat. Ketiga alasan ini dapat dilihat dari dasar pertimbangan yang terdapat pada butir a, b, dan c pada Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tersebut, yang dinyatakan sebagai berikut: a) bahwa Undang-Undang No.19 Tahun 1965 tentang Desapraja (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 84) tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan karenanya perlu diganti; b) bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif; c) bahwa berhubung dengan itu, dipandang perlu segera mengatur bentuk dan susunan pemerintahan Desa dalam suatu undang-undang yang dapat memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan Demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu, maka di Sumatera Barat terjadi perubahan kedudukan pemerintahan terendah, yaitu dari nagari ke desa. Perubahan ini bukanlah sekedar penggantian nama dengan wilayah yang sama pula, tetapi yang dijadikan desa adalah jorong atau kampung yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari. Dengan demikian, nagari akhirnya menjadi terpecah-pecah dengan munculnya desa-desa, yang sebelumnya tidak dikenal dalam khasanah budaya masyarakat adat di Minangkabau.
119
Dengan terjadinya perubahan dari nagari ke desa, jumlah pemerintahan terendah di Sumatera Barat akhirnya membengkak. Dari sebanyak 543 buah nagari yang ada ketika itu, akhirnya berubah menjadi sebanyak 3.138 buah desa. Penetapan jorong atau kampung menjadi desa sebenarnya bukanlah merupakan suatu keharusan bila dilihat dari Undang-Undang No.5 Tahun 1979 maupun penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang menghormati daerah-daerah istimewa seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dan dusun di Palembang. Akan tetapi karena pertimbangan yang dikedepankan atau yang dominan ketika itu adalah pertimbangan ekonomi ketimbang faktor budaya masyarakat lokal, terutama oleh pengambil kebijakan---makin banyak desa makin besar pula dana bantuan pembangunan desa (Bangdes) tiap tahunnya yang dikucurkan oleh pemerintah pusat, maka akhirnya jorong atau kampung ditetapkan menjadi desa (Manan, 1995; Zakaria, 2000; Sjahmunir, 2001; LKAAM, 2002; Pador, dkk, 2002). Undang-Undang No.5 Tahun 1979 itu baru berlaku efektif pada tanggal 1 Agustus 1983 dengan keluarnya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.162/GSB/1983. Selama masa transisi atau menjelang keluarnya SK No.162/GSB/1983 ini, pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya, yang antara lain adalah; (1) memasyarakatkan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 kepada pemukapemuka masyarakat tentang pelaksanaan pemerintahan desa, (2) mengadakan konsultasi/diskusi dengan para Bupati/Wali Kota Kepala Daerah Tingkat II akibat diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 agar tidak menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat dengan dihapuskannya pemerintahan nagari, (3) mengadakan konsultasi dan diskusi dengan berbagai instansi, lembaga serta cendekiawan, tokoh-tokoh adat dan agama, dan (4) mengadakan pilot proyek pelaksanaan pemerintahan desa pada 100 buah desa dalam Provinsi Sumatera Barat (Manan, 1995). Selain itu, dengan dihapuskannya nagari akibat ditetapkannya jorong atau kampung menjadi desa dan atau kelurahan sebagai unit pemerintahan terendah, serta menimbang bahwa nagari secara historis telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan di daerah
120
Sumatera Barat, maka pemerintah daerah mengeluarkan Perda No.13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Pada pasal 1 dari Perda ini, antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Wilayah nagari meliputi beberapa desa yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam pasal 3 dari Perda No.13 Tahun 1983 tersebut, dirumuskan pula bahwa fungsi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut: a) membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya; b) mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat dalam nagari; c) memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari guna kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat; d) menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau, dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khususnya; e) menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari. Fungsi nagari tersebut dilakukan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). KAN dalam pasal 1 butir j dari Perda No.13 Tahun 1983 tersebut dirumuskan sebagai lembaga perwakilan permusyawaratan dan permufakatan adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat ditengah-tengah masyarakat Nagari di Sumatera Barat. Dengan demikian, hal-hal yang berhubungan dengan adat yang terdapat dalam beberapa desa dan atau kelurahan yang termasuk dalam suatu wilayah nagari diurus dan dikelola oleh KAN nagari yang bersangkutan. Ini merupakan bentuk lain dari kedinamisan nagari bahwa di tengah terjadinya perubahan paradigma
121
penyelenggaraan pemerintahan ternyata nagari tetap eksis dan diberi fungsi memayungi beberapa desa terutama yang berkaitan dengan persoalan adat yang dibutuhkan masyarakat. Hubungan antara KAN sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan sepanjang adat dengan desa masing-masingnya dirumuskan dalam pasal 7 ayat 2 dan pasal 11. Dalam
pasal 7 dinyatakan bahwa keputusan-keputusan KAN menjadi
pedoman bagi Kepala Desa dalam menjalankan roda pemerintahan desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat nagari dan aparat pemerintahan berkewajiban membantu menegakkan sepanjang tidak bertentang dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Sedangkan dalam pasal 11 dijelaskan bahwa hubungan kerja antara KAN dengan Kepala Desa/Kepala Kelurahan bersifat konsultatif. Kemudian, bila dianggap perlu Kepala Desa/Kelurahan dapat memberikan pendapat serta penjelasan yang diperlukan. Dengan demikian, antara KAN
dan pemerintahan desa terlihat adanya
pemisahan kewenangan dan keduanya mempunyai hubungan kesetaraan. Selain itu, dilihat dari fungsi nagari, antara KAN dan desa terdapat pula hubungan kerjasama dimana dalam melaksanakan fungsi-fungsi nagari, KAN membantu pemerintah dalam memengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan disegala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya. Hubungan antara KAN sebagai lembaga yang menangani masalah adat di nagari dengan lembaga supra nagari atau dengan birokrasi yang lebih tinggi antara lain dijelaskan dalam pasal 10, 14, dan pasal 16. Dalam pasal 10 Perda No.13 Tahun 1983 itu, dirumuskan bahwa pembinaan KAN dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah beserta aparatnya sampai ketingkat kecamatan. Dalam pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa jenis dan jumlah kekayaan nagari serta pemanfaatannya diatur oleh Gubernur Kepala Daerah berdasarkan inventarisasi KAN. Dalam ayat 3 disebutkan bahwa pengawasan terhadap kekayaan nagari dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah atau pejabat lain yang ditunjuk. Sedangkan dalam pasal 16 dirumuskan bahwa
122
tata cara pengelolaan dan penggunaan pendapatan nagari diatur oleh Gubernur Kepala Daerah. Dengan demikian, dari pasal-pasal yang dituangkan dalam Perda No.13 Tahun 1983 tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam suatu nagari ada 2 (dua) pranata politik, yaitu Pemerintahan Desa di satu pihak dan pranata otoritas tradisional (KAN) di pihak lain, yang masing-masingnya diwakili oleh Kepala Desa beserta aparatnya dan KAN dengan pimpinan/fungsional adatnya. Pranata pertama mewakili birokrasi modern dan pranata kedua mewakili otoritas tradisional. Pemerintahan desa khusus mengatur aspek pemerintahan, sedangkan KAN mengatur hal-hal yang berhubungan dengan adat. Namun demikian, karena kedua pranata politik ini termasuk di bawah binaan kekuasaan supra nagari, baik oleh Pemerintah Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat, maka dengan sendirinya kehidupan dan kinerja kedua pranata tersebut tentu akan sangat dipengaruhi dan ditentukan pula oleh kekuasaan supra nagari (Manan, 1995). Sistem Pemerintahan Desa Di dalam pasal 1 butir a dan c Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa disebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan bagian dari wilayah desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa disebut dusun. Selanjutnya dalam pasal 3 disebutkan bahwa sistem pemerintahan desa terdiri dari; kepala desa dan lembaga musyawarah desa (LMD). Dalam pelaksanaan tugasnya, pemerintah desa dibantu oleh perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari; sekretariat desa dan kepala-kepala dusun. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa sekretariat desa terdiri dari sekretaris desa dan kepala-kepala urusan.
123
Mengenai pemilihan dan pengangkatan kepala desa dijelaskan pada bagian ketiga dari Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Dalam bagian ini antara lain dijelaskan bahwa Kepala Desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa yang telah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun atau telah pernah menikah dan sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama. Kepala Desa yang terpilih kemudian diangkat oleh bupati/walikotamadya atas nama gubernur dengan masa jabatan 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Berbeda dengan Kepala Desa, sekretaris desa diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikotamadya setelah mendengar pertimbangan camat atas usul Kepala Desa setelah mendengar pertimbangan LMD (pasal 15 ayat 2). Kepala-kepala urusan diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikotamadya atas usul Kepala Desa (pasal 15 ayat 4). Sedangkan kepala dusun diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikotamadya atas usul kepala desa (pasal 16 ayat 3). Selanjutnya, susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa dan perangkat desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1981. Dalam peraturan menteri itu, pasal 2 ayat (2), dinyatakan bahwa susunan organisasi pemerintahan desa terdiri dari; Kepala Desa, LMD, dan perangkat desa. Kemudian dalam pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatkan bahwa LMD adalah sebagai wadah permusyawaratan/permufakatan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. LMD ini
bertugas
untuk
menyalurkan
pendapat
masyarakat
di
desa
dengan
memusyawarahkan setiap rencana yang diajukan oleh Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi keputusan desa. Sementara dalam pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa ketua LMD dijabat oleh Kepala Desa karena jabatannya dan berkedudukan sebagai pimpinan LMD dengan tugas memimpin musyawarah/mufakat dan mempunyai fungsi membina kelancaran dan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat desa yang bersangkutan. Tugas Kepala Desa dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1981 dirumuskan dalam pasal 3 ayat (3) sebagai berikut; (a) melaksanakan kegiatan dalam
124
rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga desanya sendiri, (b) menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya, (c) melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, (d) melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, (e) melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di desa, dan (f) melaksanakan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga desanya sendiri. Kemudian dalam pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, Kepala Desa bertanggung jawab kepada bupati/walikotamadya melalui camat, dan memberikan keterangan pertanggung-jawaban kepada LMD sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun. Selain dari Kepala Desa, LMD, dan perangkat desa yang termasuk dalam susunan organisasi pemerintah desa, terdapat lembaga lain yang sifatnya non struktural tetapi fungsional dalam penyelenggarakan pemerintahan. Lembaga dimaksud adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk berdasarkan Kepres No.28 Tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa (LSD) menjadi LKMD. Dalam Kepres ini, pasal 5, dinyatakan bahwa tugas pokok LKMD adalah membantu pemerintah desa/kelurahan dalam; (a) merencanakan dan melaksanakan program pembangunan, (b) menggerakkan dan meningkatkan prakarsa masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari berbagai kegiatan pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat, dan (c) menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat untuk mengembangkan ketahanan di desa. Adapun susunan organisasi LKMD tersebut adalah: Ketua umum dijabat oleh Kepala Desa/Lurah; Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat; Ketua II dijabat oleh ketua tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) (umumnya adalah sistri Kepala Desa/Lurah); Sekretaris (umumnya dijabat oleh sekretaris desa); Bendahara, dan Anggota pengurus lainnya yang terbagi dalam seksi-seksi (Seksi agama;
125
Pembudayaan; Penghayatan dan pengamalan Pancasila; Keamanan, ketentraman, dan ketertiban;
Pendidikan
dan
penerangan;
Lingkungan
hidup;
Pembangunan,
perekonomian, dan koperasi; Kesehatan, kependudukan, dan KB; Pemuda, olah raga, dan kesenian; Kesejahteraan sosial, dan Seksi PKK). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja Pemerintahan Desa Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa pemerintahan desa sebagai pengganti pemerintahan nagari tidak dapat berfungsi secara efektif. Zakaria (2000), dalam bukunya yang berupa hasil studi mengenai desa di beberapa provinsi (termasuk di Provinsi Sumatera Barat) menyebutkan bahwa banyak kendala yang ditemukan dalam pemberlakuan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 terutama pada komuniti-komuniti adat, sehingga kinerja dan atau jalannya pemerintahan desa masih jauh dari yang diharapkan. Manan (1995), dalam kajiannya tentang “Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau” yang dilakukan pada tahun 1987, antara lain disebutkan bahwa administrasi pemerintahan desa sering terbengkalai, tidak teraturnya kehadiran aparat desa di kantor menjadi kendala untuk berurusan, kepala desa kurang berwibawa dan sukar baginya untuk menggerakkan gotong royong dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berbagai sarana dan prasarana desa. Sedangkan Biro Pemerintahan Desa dan Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Barat (2000) dalam bukunya yang berjudul: “Menuju Pengembalian Bentuk dan Susunan Pemerintahan Desa ke Nagari” mensinyalir bahwa desa kurang mampu berbuat banyak dalam pembangunan, kurang dukungan dari warga, dan juga kurang mampu mengangkat dan menggerakkan potensi ekonomi sosial masyarakat karena memiliki kewenangan terbatas. Hal senada dengan itu juga terungkap dari wawancara di lapangan dengan sejumlah responden dan tokoh masyarakat serta pejabat di tingkat kecamatan maupun di tingkat kabupaten. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh keterangan bahwa pemerintahan desa sulit untuk menggerakkan masyarakat untuk bergotong royong. Penggunaan dana bandes dan uang yang didapat dari sumber lainnya kurang transparan.
126
Pengurusan surat-surat sering ke rumah Kepala Desa karena kantor desa jarang dibuka. Lembaga KAN yang di dalamnya terdiri dari pemuka-pemuka adat kurang berfungsi dan lembagai ini hanya sebagai asesoris. Pemilihan kades sering diwarnai dengan sukuisme dan keluargaisme. Persoalan laporan pertanggung-jawaban keuangan pemerintahan desa bisa "main mata" dengan camat. Pemerintahan desa kurang mendapat dukungan atau legitimasi dari masyarakat. Pemerintahan supra desa kurang perhatian terhadap pemerintahan desa. Tidak banyak orang yang terdidik berminat di pemerintahan desa. Di masa pemerintahan desa, rasa bernagari menjadi berkurang karena masyarakat lebih berkonsentrasi memikirkan desanya masing-masing. Kemudian, diperoleh juga keterangan bahwa honor atau insentif aparat pemerintahan desa relatif kecil, yang bahasa setempat disebut kering. Angku (63 tahun) misalnya, seorang mantan Kades periode 1983-1990, mengemukakan bahwa honor yang diterimanya
ketika
itu
adalah
sebesar
Rp.20.000/bulan,
untuk
sekretaris
Rp.15.000/bulan, sedangkan untuk kepala urusan sebesar Rp.5.000/bulan. Honorarium ini dibayarkan tiga bulan sekali. Diakui memang, bahwa tidak setiap desa mempunyai kondisi kinerja seperti disebutkan di atas. Manan (1995) misalnya, dalam penelitiannya pada tahun 1987 menemukan bahwa di desa-desa yang dulunya merupakan pusat-pusat nagari di mana penduduknya relatif maju dan lebih terdidik, pembagian kerja antara berbagai lembaga pemerintahan desa yang bersifat struktural dan non struktural dapat berjalan dengan baik. Desa-desa ini juga mendapat bantuan dana dari perantau-perantau dalam jumlah yang relatif besar, sehingga sumber pembiayaan pembangunan desa dan penyempurnaan pemerintahan desa dapat berjalan lebih baik. Gambaran tentang lemahnya kinerja pemerintahan desa seperti diuraikan di atas merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari penerapan kebijakan pemerintahan supra desa yang kurang dan atau tidak sesuai dengan budaya lokal (adat). Dijadikannya jorong atau kampung menjadi desa misalnya, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
127
kinerja atau jalannya pemerintahan desa ketika itu. Jorong, sebagaimana ditulis Zakaria (2000), hanyalah semata merupakan perangkat dari wilayah nagari, yang tidak memiliki persyaratan menjadi unit pemerintahan yang utuh, karena tidak mempunyai basis ekonomi, budaya dan politik, sebagaimana yang dimiliki oleh sebuah
nagari.
Kemudian, dengan mengutip Mochtar Naim, Zakaria (2000) menyebutkan pula bahwa jorong tidak pernah berfungsi sebagai sub-unit yang berdiri sendiri, sementara nagari mempunyai perangkat-perangkat kelembagaan adat dan agama di samping juga memiliki hak milik berupa tanah ulayat dan hak-hak adat lainnya, seperti hak bunga kayu, bunga tanah, dan lain sebagainya. Sedangkan Manan (1995) dalam tulisannya mengemukakan; karena dasar sosiologisnya tidak kuat maka otoritas pemerintahan desa tidak sekuat pemerintahan nagari yang lama, karena dasar ekonomisnya tidak kuat maka kehidupan dan efektivitas pemerintahan desa sangat tergantung pada bantuan dari otoritas supra-desa, dan karena dasar politisnya tidak berakar ke bawah sehingga kemampuan pemerintah desa untuk menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan menjadi terbatas. Sementara itu, Baharin (Kompas, 15 Februari 2001) mengatakan bahwa setelah berjalan selama 16 tahun penetapan jorong menjadi desa, telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena terbatasnya sumber pendapatan asli desa, masyarakat hanya mengharapkan bantuan dan subsidi pemerintah, sehingga tingkat ketergantungan kepada pemerintah sangat tinggi. Terbatasnya sumber daya manusia dalam satu desa yang rata-rata penduduk setiap desa di bawah 1.000 jiwa sehingga sulit untuk menggerakkan potensi desa dan masyarakat secara maksimal. Kualitas sumber daya aparatur pemerintahan desa rendah karena secara psikososiologis masyarakat yang terdidik kurang berminat untuk mengabdi sebagai aparat desa. Rendahnya dukungan dari perantau karena secara sosial budaya mereka cenderung berorientasi kepada nagari ketimbang kepada pemerintahan desa. Rengganggnya ikatan sosial masyarakat sehingga sering terjadi sengketa mengenai harta pusaka (harta bersama), baik harta pusaka kaum, suku, maupun antar desa yang
128
sulit didamaikan secara adat. Kemudian, terlalu banyaknya jumlah desa dalam suatu kecamatan menyebabkan camat tidak mampu melakukan pembinaan dan pengawasan secara efektif. Dari urian di atas, dapat dikatakan bahwa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya kinerja pemerintahan desa adalah akibat dari ketidak-cocokan antara kebijakan pemerintahan supra desa dengan kebijakan masyarakat lokal (indigenous knowledge) tentang sistem pemerintahan itu sendiri. Ditetapkannya jorong atau kampung menjadi desa, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari, merupakan faktor utama (primus interpares) yang berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan desa. Dengan ditetapkannya jorong menjadi desa berarti menempatkan pemerintahan desa berada di luar sistem sosial-budaya masyarakat pendukungnya (masyarakat nagari). Dengan demikian, pemerintahan desa kemudian kurang mendapat legitimasi dari masyarakat dan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap pemerintahan desa menjadi rendah, karena pemerintahan desa dianggap kepunyaan pemerintahan supra desa. Akibat dari ini, dan tentunya di samping rendahnya insentif, orang-orang yang terdidik akan kurang tertarik untuk mengabdi di pemerintahan desa. Rendahnya tingkat pendidikan dan insentif yang diterima oleh aparat pemerintahan desa menyebabkan pula rendahnya motivasi, rendah tingkat keinovatifan, kurangnya pemahaman terhadap tugas, dedikasi rendah, dan pelayanan terhadap masyarakat menjadi tidak maksimal, yang pada akhirnya mengganggu kinerja
atau jalannya
pemerintahan desa. Rendahnya kinerja pemerintahan desa tentunya akan lebih diperburuk dengan kurangnya pengawasan, baik dari dalam maupun dari pemerintahan supra desa.
130
2. Pemerintahan Nagari di Era Otonomi Daerah Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa penelitian ini dilakukan dan dikonsentrasikan di 6 (enam) nagari setelah melalui suatu proses sampling. Keenam nagari tersebut adalah: Nagari Salido dan Nagari Punggasan di Kabupaten Pesisir Selatan yang mewakili daerah rantau pesisir; Nagari Sungai Batang dan Nagari Kampung Tangah di Kabupaten Agam yang mewakili daerah inti; dan Nagari Ganggo Hilia dan Nagari Lansek Kadok di Kabupaten Pasaman yang mewakili daerah rantau pedalaman. Gambaran umum dari masing-masing nagari tersebut di atas dapat diikuti pada uraian berikut. Nagari Salido Nagari Salido merupakan salah satu nagari dari 4 (empat) nagari yang termasuk dalam wilayah Kecamatan IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan. Nagari ini berjarak kurang lebih 77 km dari ibu kota provinsi. Sebelah Utara dari nagari ini berbatasan dengan Nagari Pasar Baru, sebelah Selatan dengan Nagari Painan, sebelah Barat dengan Samudera Indonesia, dan sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Tambang. Luas wilayah Nagari Salido adalah 3096 ha. Tanah seluas ini antara lain digunakan untuk perumahan/pekarangan seluas 491 ha, sawah teknis 258,9 ha, sawah setengah teknis 218 ha, sawah tadah hujan 139,5 ha, perkebunan 165,9 ha, dan sisanya berupa rawa, sungai, jalan dan lainnya. Tingkat kesuburan tanah termasuk sedang terdapat seluas 769,5 ha, subur 152 ha, dan yang tergolong tidak suber/kritis terdapat seluas 40 ha. Jumlah penduduk nagari ini berjumlah sebanyak 15.096 jiwa, yang terdiri dari; 7151 jiwa penduduk laki-laki dan sebanyak 7945 jiwa penduduk perempuan. Mata pencaharian penduduk nagari hampir terdapat pada setiap sub-sektor, seperti; subsektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan/nelayan, pertambangan, kerajinan, dan di sub-sektor jasa/perdagangan. Di antara sub-sektor ini,
131
sub-sektor peternakan dan pertanian tanaman pangan paling banyak menyerap tenaga kerja,
kemudian
diikuti
oleh
sub-sektor
jasa/perdagangan,
perkebunan,
perikanan/nelayan, pertambangan, dan industri kecil/kerajinan. Di sektor pertanian tanaman pangan, jumlah buruh tani relatif cukup besar. Dari 2193 orang yang bergerak di sektor tanaman pangan ini, 42 persen di antaranya status mereka adalah sebagai buruh tani. Di sub-sektor peternakan, jenis usaha penduduk yang dominan adalah ternak ayam dan ternak sapi, yang masing-masingnya terdapat sekitar 56 dan 29 persen. Nagari Punggasan Nagari Punggasan merupakan salah satu nagari dari 2 (dua) nagari yang terdapat dalam wilayah Kecamatan Linggo Sari Baganti, Kabupaten Pesisir Selatan. Nagari ini berjarak kurang lebih 80 km dari ibu kota kabupaten dan 160 km dari ibu kota provinsi. Jalan menuju nagari ini relatif cukup baik dan beraspal. Demikian pula beberapa jalan nagari yang menghubungkan kampung yang satu dengan kampung yang lain, kecuali jalan menuju kampung Tandikek Air Jambu yang masih berupa jalan tanah dan berbatuan. Di nagari ini terdapat 15 kampung, dengan jumlah penduduk sebanyak 21.056 jiwa. Penduduk ini terdiri dari 10.061 laki-laki dan 10.995 penduduk perempuan. Nagari ini menempati sebuah kantor yang terletak di Pasar Punggasan. Kantor ini tampaknya belum begitu memadai sebagai sebuah kantor meskipun sudah direhab dengan menggunakan Dana Alokasi Umum Nagari (Daun). Dari 4 (empat) ruangan yang ada di kantor ini, hanya dua ruangan yang bisa dimanfaatkan karena sarana seperti meja dan kursi tidak mencukupi. . Luas Nagari Punggasan mencapai 1.724.100 ha. Tanah seluas ini diperuntukan untuk pemukiman penduduk, sawah, ladang, kebun, jalan dan fasilitas umum. Lahan pertanian berupa sawah dan kebun di nagari ini relatif cukup luas dan sebagian dari lahan ini kelihatannya belum maksimal dimanfaatkan karena tingkat kesuburan tanahnya kurang dan di daerah ini tergolong sulit untuk mendapatkan air. Namun tidak mustahil
132
bila lahan ini diolah dan diupayakan dengan baik akan menjadi lahan produktif yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mayoritas mata pencaharian penduduk di nagari ini adalah sebagai petani sawah dan nelayan. Nelayan yang terdapat di 2 (dua) kampung di nagari ini, yaitu Kampung Muaro Kandis dan Kampung Tandikek Air Jambu, jumlahnya relatif cukup besar, yang masing-masing terdapat sekitar 70 dan 96 persen. Di kedua kampung ini terdapat sebanyak 81 buah kapal penangkap ikan yang berupa payang. Di samping petani dan nelayan, jenis mata pencaharian penduduk lainnya adalah berupa dagang/warung, peternakan ayam dan sapi, usaha meuble, PNS dan pensiunan PNS/ABRI. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, di nagari ini juga terdapat berbagai fasilitas umum, seperti; sarana kesehatan, pendidikan, olah raga, pasar, listrik, sumber air bersih, dan lembaga ekonomi. Jenis sarana kesehatan adalah berupa puskesmas pembantu, posyandu, dan polindes. Sarana pendidikan yang tersedia baru berupa SD dan SLTP. Bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi tersedia SLTA di nagari tetangga, yakni Nagari Air Haji. Terdapat pula di nagari ini sarana olah raga berupa lapangan sepak bola dan volly ball. Sarana lainnya yang tersedia di nagari adalah KUD, pasar, dan kelompok tani/nelayan. Sementara listrik dan sumber air bersih berupa PAM belum merata untuk setiap kampung. Nagari Sungai Batang Nagari Sungai Batang merupakan salah satu nagari dari 7 nagari yang terdapat di wilayah Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Nagari ini berjarak kurang lebih 150 km dari ibu kota provinsi. Sebelah Utara dari nagari ini berbatasan dengan Maninjau, sebelah Selatan dengan Tanjung Sani, sebelah Timur dengan Kecamatan IV Koto, dan sebelah Barat berbatasan dengan Danau Maninjau. Jarak nagari ini ke ibu kota kecamatan 5 km, ke ibu kota kabupaten 27 km, dan jarak ke ibu kota provinsi 156 km. Luas Nagari Sungai Batang adalah 1738 ha. Sebagian besar nagari ini masih merupakan hutan. Menurut data skunder, penggunaan tanah seluas ini terdiri dari; hutan
133
seluas 720 ha, persawahan 390 ha, perkebunan 279 ha, perumahan/pekarangan seluas 180 ha, dan selebihnya berupa tanah kering, kolam, jalan raya dan jalan nagari. Jumlah penduduk nagari Sungai Batang berjumlah sebanyak 3253 jiwa, dengan komposisi; sebanyak 1598 laki-laki dan 1655 perempuan. Mayoritas mata pencaharian penduduk ini adalah bergerak di bidang pertanian, yakni terdapat sekitar 45 persen. Jenis mata pencaharian penduduk dalam bidang perkebunan, perdagangan, dan perikanan, yang masing-masingnya terdapat sekitar 15, 13, dan 13 persen. Sedangkan jenis mata pencaharian penduduk lainnya adalah berupa; peternakan, industri kecil, PNS, ABRI, pensiunan, dan pegawai swasta. Pemukiman penduduk di nagari ini tersebar di 7 (tujuh) jorong, mulai dari pinggir Danau Maninjau hingga mengarah ke perbukitan. Jalan-jalan nagari yang menghubungkan jorong yang satu dengan jorong yang lainnya tampak belum begitu baik, terutama jalan-jalan yang mengarah ke perbukitan. . Di samping banyaknya tanjakan misalnya, jalan tersebut masih banyak yang berupa jalan tanah. Sarana umum yang terdapat di nagari ini adalah; pasar nagari, KUD, sarana pendidikan dan keagamaan. Sarana pendidikan tersedia 5 buah TK, 5 buah SD, dan 1 buah MTs. Sarana keagamaan relatif banyak terdapat di nagari ini, yakni; 18 buah surau, 6 buah MDA, 13 buah TPA, dan 7 buah TPSA. Setiap jorong sudah dialiri penerangan listrik, kecuali jorong Batu Ajung. Selain itu juga terdapat di nagari ini sejumlah kelompok tani dan pos KB. Tingkat pendidikan penduduk di nagari ini relatif cukup baik. Dari data skunder misalnya, diperoleh informasi bahwa sekitar 24 persen dari penduduk telah menamatkan pendidikan setingkat SLTP, 39 persen SLTA dan sekitar 3 persen di antaranya telah menamatkan akademi/perguruan tinggi. Sementara itu, dari sebanyak 524 orang jumlah remaja, yang drop-out SD hanya sekitar 0,15 persen, SLTP 0,95 persen, dan dropout SLTA sekitar 0,25 persen. Nagari Kampung Tangah
134
Nagari Kampung Tangah merupakan salah satu nagari dari 5 (lima) nagari yang terdapat di Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam. Jarak nagari ini ke ibu kota provinsi kurang lebih 114 km. Luas nagari ini adalah 12278 ha. Tanah seluas ini diperuntukan antara lain untuk sawah sebanyak 937 ha, kebun dan ladang 474 ha, hutan 6690 ha, dan selebihnya dipergunakan untuk pemukiman penduduk, jalan, dan juga kolam. Nagari ini memiliki 4 (empat) jorong. Pemerintahan nagari
ini menempati
sebuah kantor yang kondisi fisiknya relatif baik. Di kantor ini terdapat ruangan wali nagari, ruangan rapat, papan data, dan sarana kantor lainnya seperti; meja dan kursi yang jumlah cukup memadai, satu unit komputer, mesin ketik, dan alat tulis-menulis lainnya. Sarana umum yang tersedia di nagari ini relatif cukup memadai untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat nagari, seperti; sarana pendidikan, sarana ibadah, sarana olah raga, kelompok tani, posyandu, dan pos kamling. Sarana pendidikan terdapat TK sebanyak 3 (tiga) buah, SD 7(tujuh), SLTP 1 (satu). dan SLTA 2 (dua) buah. Sarana ibadah berupa mesjid, musholla, TPA, MTsN masing-masingnya terdapat 4, 1, 14, dan 1 buah. Sarana olah raga relatif cukup lengkap terdapat di nagari ini, seperti; lapangan bola kaki, lapangan volly, lapangan bulu tangkis, tenis meja, dan lapangan takraw. Poskamling terdapat 11 buah, dan kelompok tani terdapat 7 (tujuh) kelompok. Selain itu, lokasi nagari ini relatif berdekatan dengan Lubuk Basung, ibu kota Kabupaten Agam. Penduduk yang mendiami nagari ini berjumlah sebanyak 5547 jiwa. Mayoritas mata pencaharian penduduk nagari ini adalah sebagai petani sawah. Sementara jenis mata pencaharian lainnya adalah sebagai pedagang, industri rumah tangga (pembuatan atap rumbia), ternak, dan pegawai negeri sipil. Nagari Ganggo Hilia Nagari Ganggo Hilia merupakan salah satu nagari dari 6 (enam) nagari yang terdapat dalam wilayah Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman. Jarak nagari ini ke ibu
135
kota provinsi kurang lebih 147 km. Nagari ini sebelah Utara berbatasan dengan Nagari Ganggo Mudiak, sebelah Selatan dengan Nagari Koto Kaciak, sebelah Barat dengan Nagari Alahan Mati, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten 50 Kota. Luas Nagari Ganggo Hilia adalah 4572 ha. Tanah seluas ini antara lain diperuntukan dan digunakan untuk perumahan dan pekarangan seluas 162 ha, sawah 450 ha, perkebunan 1072 ha, hutan 2806,5 ha, dan selebihnya diperuntukan sebagai jalan, kolam dan lainnya. Nagari ini dilewati jalan lintas Sumatera. Jarak nagari ke Ibu Kota Kabupaten adalah 25 km dan ke Ibu Kota Provinsi adalah 156 km. Kondisi jalan nagari relatif cukup baik, kecuali di Jorong Tanjung Alai yang masih berupa jalan setapak. Untuk menempuh jorong ini harus melewati rajang (jembatan gantung) yang hanya bisa dilewati pejalan kaki atau kendaraan roda dua. Jumlah penduduk Nagari Ganggo Hilia berjumlah sebanyak 7178 jiwa dengan 1577 Kepala Keluarga (KK). Jumlah penduduk ini terdiri dari 3574 laki-laki dan 3604 penduduk perempuan. Struktur mata pencaharian penduduk nagari ini mayoritas bergerak di sub-sektor pertanian tanaman pangan, kemudian juga sub-sektor peternakan, perkebunan, jasa/perdagangan, dan di sub-sektor perikanan. Di sub-sektor pertanian tanaman pangan sebagian besar dari mereka berupa petani sawah, sedangkan di sub-sektor peternakan lebih dominan mereka bergerak di bidang peternakan ayam. Tingkat pendidikan penduduk pada umumnya relatif rendah. Dari mutu angkatan kerja yang dirinci menurut pendidikan yang ditamatkan misalnya, yang menamatkan setingkat SLTA dan Akademi (D1 dan D3) hanya masing-masingnya terdapat sekitar 5 (lima) persen dan 4 (empat) persen. Sedangkan yang tamat sarjana setingkat S1 hanya terdapat sekitar 0,9 persen. Nagari Ganggo Hilia diresmikan pada bulan November tahun 2001. Pemerintahan nagari ini menempati sebuah kantor yang kondisi fisiknya relatif cukup baik. Di kantor ini juga tersedia sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk keperluan kegiatan-kegiatan kepemerintahan, seperti adanya ruangan wali nagari,
136
ruangan staf dan kaur, ruangan pertemuan, mesin ketik, satu unit komputer, almari, kursi dan meja kerja, dan papan data. Sejak diresmikannya nagari ini, berbagai kegiatan telah dilakukan, baik yang berupa perbaikan fisik nagari maupun pembinaan mental spritual, misalnya kegiatan tahun 2002 antara lain meliputi; perwatan kantor, perbaikan jalan nagari, rehap jembatan, bantuan bencana alam, PKK dan posyandu, pembinaan iman dan taqwa, adat istiadat, berupa ceramah dan pembinaan generasi muda, perbaikan irigasi, rehap surau, perbaikan rajang, dan pengadaan air bersih. Di nagari ini juga terdapat berbagai sarana umum, berupa sarana kesehatan, pendidikan, olah raga, dan sarana ibadah. Untuk sarana kesehatan terdapat apotik satu buah, posyandu 51 buah, puskesmas dan puskesmas pembantu, sarana air bersih berupa PAM, perpipaan, sumur pompa, dan mata air. Sarana pendidikan terdapat TK 2 buah, SD 8 buah, SLTP 2 buah, dan SLTA 1 buah. Terdapat pula sarana olah raga berupa lapangan sepak bola, lapangan bulu tanggkis, lapangan bola volly. Sarana ibadah terdapat berupa mesjid 8 buah dan langgar 13 buah. Untuk wadah pendidikan keagamaan terdapat 12 buah TPA, 1 buah TPSA, dan 1 buah MDA. Nagari Lansek Kadok Nagari Lansek Kadok merupakan salah satu nagari dari 7 (tujuh) nagari yang yang terdapat di wilayah Kecamatan Rao. Nagari ini memiliki 5 (lima) buah jorong, yakni jorong I, II, III, IV, dan jorong V. Jarak nagari ke pusat ibu kota kecamatan kurang lebih 7 km, ke ibu kota kabupaten 50 km, dan ke ibu kota provinsi 222 km. Pusat pemerintahan Nagari Lansek Kadok menempati sebuah kantor, yang kondisi fisiknya relatif cukup baik. Kantor ini dilengkapi dengan berbagai sarana, seperti; ruangan wali nagari, ruangan data, papan data, alat-alat kantor berupa meja, kursi, alat tulis-menulis, mesin ketik, dan satu unit komputer. Luas nagari ini adaah 1342,7 ha. Penggunaan tanah seluas ini antara lain diperuntukan sebagai daerah pemukiman seluas 23 ha, sawah 290 ha, kebun 100 ha, dan selebihnya adalah berupa hutan, jalan, dan kolam.
Jumlah penduduk yang
137
mendiami nagari ini berjumlah sebanyak 6541 jiwa, yang terdiri dari; 3213 penduduk laki-laki dan 3328 penduduk perempuan Di samping petani sawah, petani tambak merupakan mayoritas kegiatan ekonomi masyarakat di nagari ini. Ikan yang diproduksi di nagari tidak hanya untuk dikonsumsi oleh masyarakat nagari tetapi juga dipasarkan ke luar provinsi, seperti Provinsi Riau dan Jambi. Namun tidak seperti halnya sekitar lima tahun yang lalu, dewasa ini kegiatan ekonomi petani tambak agak mengalami kemunduran karena modal yang dikeluarkan petambak tidak sesuai dengan nilai jual hasil produksi. Di samping sebagai petani sawah dan petambak, jenis mata pencaharian penduduk yang lainnya adalah sebagai pedagang, industri rumah tangga, dan pegawai negeri sipil. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, di nagari ini tersedia pula berbagai sarana umum, seperti; sekolah, mesjid dan mushalla, pasar, listrik, sumber air bersih (PAM dan sumur gali), dan lapangan olah raga. Sarana pendidikan berupa sekolah terdapat 1 (satu) buah TK dan 6 (enam) buah SD. Nagari ini belum memiliki sarana pendidikan yang setingkat SLTP dan SLTA, tetapi bisa ditemukan di nagari tetangga. Sarana ibadah seperti mesjid dan mushalla masing-masingnya terdapat 8 dan 14 buah. Sarana olah raga terdapat pula seperti lapangan sepak bola kaki. Tingkat pendidikan penduduk nagari ini relatif cukup baik. Dari data skunder yang diperoleh misalnya, mereka yang telah menamatkan pendidikan setingkat SLTP terdapat sebanyak 975 orang, SLTA 1250 orang, dan yang menamatkan akademi/perguruan tinggi terdapat sebanyak 165 orang. Mutu Layanan Pemerintahan Nagari Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, secara umum diperoleh kesan bahwa dalam beberapa hal, kembali ke nagari telah membawa berbagai perubahan ke arah yang agak lebih baik, terutama bila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya atau ketika ber-desa. Kehadiran aparatur pemerintahan nagari di kantor misalnya sudah mulai agak teratur sehingga memudahkan bagi masyarakat untuk berurusan. Administrasi pemerintahan dan keuangan sudah mulai agak baik. Peranan
138
lembaga adat (KAN) dan lembaga legislatif nagari tampak lebih meningkat sehingga kerjasama maupun pengawasan terhadap lembaga eksekutif nagari-pun kelihatan lebih baik. Aparatur pemerintahan nagari telah banyak diisi oleh orang-orang yang berpendidikan, seperti tamatan SLTA dan bahkan perguruan tinggi. Kemudian, rasa bernagari yang sebelumnya sudah agak memudar sekarang mulai marak kembali, misalnya dalam bentuk gotong-royong nagari dengan melibatkan masyarakat jorong atau kampung yang sebelumnya cenderung terkotak-kotak akibat disekat dengan desa. Sementara itu, berdasarkan hasil suvai dengan menggunakan kuesioner, secara umum dapat dikatakan bahwa mutu layanan pemerintahan nagari atau tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan yang diterimanya dari aparat pemerintahan nagari dewasa ini adalah relatif agak baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 1,82. Distribusi frekuensi tingkat kepuasan responden terhadap layanan pemerintahan nagari ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Tingkat kepuasan responden terhadap layanan pemerintahan nagari Nagari Kategori tingkat kepuasan (Skala 0 – 3)
Kabupaten Total F %
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
> 2,3 (puas)
0 0
0 0
0 0
12 40,0
0 0
2 6,7
0 0
12 20,0
2 3,3
14 7,8
1,6 – 2,3 (agak puas)
20 66,7
23 76,7
20 66,7
12 40,0
24 80,0
23 76,7
43 71,7
32 53,3
47 78,3
122 67,8
0,8 – 1,5 (kurang puas)
9 30,0
7 23,3
10 33,3
6 20,0
6 20,0
4 13,3
16 28,3
16 26,7
10 16,7
42 23,3
= 0,7 (tidak puas)
1 3,3
0 0
0 0
0 0
0 0
1 3,3
1 1,6
0 0
1 1,7
2 1,1
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Keterangan: NLK = Nagari Lansek Kadok; NGH = Nagari Ganggo Hilia; NSB = Nagari Sungai Batang; NKT = Nagari Kampung Tangah; NSL = Nagari Salido; NPG = Nagari Punggasan; KP = Kabupaten Pasaman; KA = Kabupaten Agam; KPS = Kabupaten Pesisir Selatan.
139
Tabel 6 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar penilaian responden terhadap pelayanan aparatur pemerintahan nagari secara keseluruhan tersebar pada kategori agak puas, baik dilihat per-nagari, kabupaten maupun total responden. Sebanyak 67,8 persen dari total responden misalnya menyatakan agak puas terhadap layanan yang diperolehnya dari aparatur pemerintahan nagari. Ini berarti bahwa sebagian besar responden memberikan penilaian dalam kategori agak puas terhadap pelayanan umum, penyelesaian konflik, pembinaan ekonomi, pembinaan ketentraman dan ketertiban, penyaluran aspirasi, dan terhadap pelayanan yang berkaitan dengan pelestarian adat-istiadat yang diperolehnya dari aparatur pemerintahan nagari. Meskipun penilaian responden lebih banyak terkonsentrasi pada kategori agak puas, namun dilihat dari perolehan angka persentase pada kategori kurang puas ternyata relatif cukup besar jumlahnya. Sebanyak 23,3 persen dari total responden atau lebih dari seperlimanya memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan aparatur pemerintahan nagari. Bahkan untuk nagari tertentu, seperti Nagari Lansek Kadok dan Nagari Sungai Batang, sepertiga dan malahan lebih dari sepertiga dari jumlah responden memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan aparatur pemerintahan nagari. Ini menandakan bahwa pelayanan kepada masyarakat oleh aparatur pemerintahan nagari ke depannya perlu lebih ditingkatkan. Mutu pelayanan tersebut atau tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan pemerintahan nagari menurut jenis pelayanannya dapat pula dilihat dari subvariabel pelayanan. Untuk pelayanan umum misalnya, dalam bentuk pelayanan pemberian macam-macam izin dan macam-macam surat keterangan yang dibutuhkan masyarakat, mutu pelayanannya dapat dikatakan relatif agak baik, dengan angka ratarata diperoleh sebesar 1,97. Sebagian besar atau sebanyak 77,9 persen dari 149 orang responden misalnya menyatakan agak puas terhadap pelayanan umum yang diterimanya dari aparatur pemerintahan nagari. Sementara itu, responden yang menilai kurang puas terhadap pelayanan umum dari aparatur pemerintahan nagari dapat dikatakan relatif
140
kecil jumlahnya, baik dilihat per-nagari maupun kabupaten. Sebaran frekuensi tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan umum ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan umum Nagari Kategori tingkat kepuasan (Skala 0 – 3)
Kabupaten Total F %
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
> 2,3 ( puas)
0 0
1 3,8
0 0
15 57,7
0 0
1 4,0
1 1,9
15 33,3
1 1,9
17 9,4
1,6 – 2,5 (agak puas)
21 80,8
22 84,6
15 78,9
8 30,8
27 100
24 92,0
43 82,7
23 51,1
50 96,2
116 79,9
0,6 – 1,5 (kurang puas)
5 19,2
3 11,6
0 0
3 11,5
0 0
1 4,0
8 15,4
3 6,7
1 1,9
12 8,1
= 0,5 (tidak puas)
0 0
0 0
4 21,1
0 0
0 0
0 0
0 0
4 8,9
0 0
4 2,6
Total
26 100
26 100
19 100
26 100
27 100
25 100
52 100
45 100
52 100
149 100
Dibandingkan dengan pelayanan umum di atas, pelayanan penyelesaian konflik dari aparatur pemerintahan nagari ternyata mutunya relatif lebih rendah, dalam arti bahwa responden yang memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan konflik relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat pada pelayanan umum, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 1,65. Sebanyak 63,9 persen dari responden memberikan penilaian agak puas terhadap pelayanan penyelesaian konflik yang mereka terima dari aparatur pemerintahan nagari. Sementara yang menyatakan kurang puas terhadap pelayanan konflik tersebut terdapat sebanyak 27,8 persen atau lebih dari seperlima dari jumlah mereka. Malahan bila dilihat dari angka per-nagari, di Nagari Sungai Batang dan Nagari Salido misalnya, lebih dari separuh jumlah responden di masing-masing nagari tersebut memberikan penilaian kurang puas terhadap penyelesaian konflik yang diterimanya dari aparatur pemerintahan nagari yang bersangkutan. Ini menunjukkan pelayanan penyelesaian konflik yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat perlu lebih ditingkatkan.
141
Gambaran tentang sebaran frekuensi tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan penyelesaian konflik tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan penyelesaian konflik
Kategori tingkat kepuasan (Skala 0 – 3)
Nagari
Kabupaten Total F %
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
> 2,3 ( puas)
1 12,5
0 0
0 0
1 25,0
0 0
0 0
1 7,1
1 8,3
0 0
2 5,6
1,6 – 2,3 (agak puas)
7 87,5
4 66,7
4 44,4
2 75,0
1 33,3
5 71,4
11 78,6
6 50,0
6 60,0
23 63,9
0,8 – 1,5 (kurang puas)
0 0
2 33,3
5 55,6
0 0
2 66,7
1 14,3
2 14,3
5 41,7
3 30,0
10 27,8
= 0,7 (tidak puas)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 14,3
0 0
0 0
1 10,0
1 2,7
Total
8 100
6 100
9 100
3 100
3 100
7 100
14 100
12 100
10 100
36 100
Dibandingkan dengan pelayanan konflik di atas, pelayanan pembinaan ekonomi oleh aparatur pemerintahan nagari tampak relatif lebih baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 1,69. Hasil penelitian mengenai tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan pembinaan ekonomi ini dalam bentuk distribusi frekuensi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 70,2 persen dari responden menilai bahwa mutu kinerja pelayanan pembinaan ekonomi oleh aparatur pemerintahan nagari termasuk dalam kategori agak memuaskan dan sebanyak 26,9 persen lainnya menyatakan kurang puas. Bila dilihat dari angka persentase per-nagari, pelayanan pembinaan ekonomi oleh aparatur pemerintahan nagari tampaknya juga masih jauh dari harapan. Di nagari Ganggo Hilia dan Nagari Sungai Batang misalnya, sepertiga dari jumlah responden di masing-masing nagari itu memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan pembinaan ekonomi. Sedangkan di Nagari Kampung Tangah,
142
responden yang memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan pembinaan ekonomi terdapat 50 persen atau Tabel 9 Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan pembinaan ekonomi Nagari Tingkat Kepuasan (Skala 0 – 3)
Kabupaten
Total
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
F %
> 2,3 (puas)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1,6 – 2,3 (agak puas)
14 73,7
11 68,8
17 60,7
3 50,0
18 75,0
10 90,9
25 71,4
20 58,8
28 80,0
73 70,2
0,8 – 1,5 (kurang puas)
3 15,8
5 31,2
10 35,7
3 50,0
6 25,0
1 9,1
8 22,9
13 38,3
7 20,0
28 26,9
= 07 (tidak puas)
2 10,5
0 0
1 3,6
0 0
0 0
0 0
2 5,7
1 2,9
0 0
3 2,9
Total
19 100
16 100
28 100
6 100
24 100
11 100
35 100
34 100
35 100
104 100
setengah dari jumlah responden di nagari itu. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi, pelayanan pembinaan ekonomi oleh aparatur pemerintahan nagari perlu lebih ditingkatkan lagi. Berbeda dengan pelayanan pembinaan ekonomi di atas, pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban tampak relatif lebih baik, dengan angka ratarata diperoleh sebesar 1,74. Gambaran tentang tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban ini dalam bentuk distribusi frekuensi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan bahwa sebanyak 75,3 persen dari responden memberikan penilaian agak puas dan sebanyak 21,2 persen lainnya menilai kurang puas terhadap pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban yang diterimanya dari aparatur pemerintahan nagari. Dilihat dari angka-angka per-nagari, pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban dari aparatur pemerintahan nagari di Nagari
143
Lansek Kadok relatif lebih rendah mutunya dibandingkan dengan yang terdapat di lima nagari lainnya. Di nagari Lansek Kadok ini, sebanyak 61,5 persen dari jumlah responden menilai bahwa pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban oleh aparatur pemerintahan nagari termasuk dalam kategori kurang puas. Tabel 10 Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban
Kategori tingkat kepuasan (Skala 0 – 3)
Nagari NSB NKT F F % %
NLK F %
NGH F %
> 2,3 (puas)
0 0
0 0
0 0
1,6 – 2,3 (agak puas)
5 38,5
14 87,5
0,8 – 1,5 (kurang puas)
8 61,5
= 0,7 (tidak puas) Total
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
23 82,1
3 75,0
8 72,7
11 84,6
19 65,5
26 81,3
19 79,2
64 75,3
2 12,5
4 14,3
1 25,0
3 27,3
0 0
10 34,5
5 15,6
3 12,5
18 21,2
0 0
0 0
1 3,6
0 0
0 0
2 15,4
0 0
1 3,1
2 8,3
3 3,5
13 100
16 100
28 100
4 100
11 100
13 100
29 100
32 100
24 100
85 100
Tidak seperti halnya jenis-jenis pelayanan yang telah dijelaskan di atas, kinerja pelayanan penyaluran aspirasi dari aparatur pemerintahan nagari relatif lebih rendah mutunya, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 1,60. Gambaran tentang tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan penyaluran aspirasi ini dalam bentuk distribusi frekuensi disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 52,1 persen atau lebih dari separuh dari jumlah responden memberikan penilaian agak puas terhadap pelayanan penyaluran aspirasi yang didapatkannya dari aparatur pemerintahan nagari dan sebanyak 39,5 persen lainnya memberikan penilaian kurang puas. Sementara itu, bila dilihat menurut nagari atau kabupaten, ternyata di nagari atau di kabupaten tertentu persentase responden yang memberikan penilaian kurang puas ternyata relatif lebih banyak
144
jumlahnya dibandingkan dengan yang memberikan penilaian agak puas. Di Kabupaten Agam misalnya, responden yang memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan penyaluran aspirasi terdapat sebanyak 53,3 persen, sedangkan yang memberikan penilaian agak puas terdapat sebanyak 40,0 persen. Demikian pula di Nagari Lansek Kadok, Tabel 11 Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan penyaluran aspirasi Kategori tingkat kepuasan (Skala 0 – 3)
Nagari NSB NKT F F % %
NLK F %
NGH F %
> 2,3 ( puas)
0 0
0 0
0 0
1,6 – 2,3 (agak puas)
4 40,0
6 50,0
0,8 – 1,5 (kurang puas)
5 50,0
= 0,7 (tidak puas) Total
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
1 9,1
0 0
2 13,3
0 0
1 6,7
2 5,9
3 4,2
2 50,0
4 36,4
12 63,2
9 60,0
10 45,5
6 40,0
21 61,8
39 52,1
5 41,7
2 50,0
6 54,5
7 36,8
3 20,0
10 45,5
8 53,3
10 29,4
28 39,5
1 10,0
1 8,3
0 0
0 0
0 0
1 6,7
2 9,0
0 0
1 2,9
3 4,2
10 100
12 100
4 100
11 100
19 100
15 100
22 100
15 100
34 100
71 100
responden yang memberikan penilaian agak puas terhadap pelayanan penyaluran aspirasi terdapat sebanyak 40 persen, sedangkan yang memberikan penilaian kurang puas terdapat sebanyak 50 persen. Oleh karena itu, peningkatan pelayanan penyaluran aspirasi ini terutama oleh anggota legislatif nagari dapat dijadikan sebagai prioritas untuk kedepannya. Dibandingkan dengan pelayanan penyaluran aspirasi, pelayanan pelestarian adat-istiadat oleh aparatur pemerintahan nagari tampak relatif lebih baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 1,75. Sebanyak 72,5 persen dari 109 orang responden memberikan penilaian agak puas terhadap pelayanan pelestarian adat istiadat yang diperolehnya dari aparatur pemerintahan nagari, sedangkan sebanyak 19,3 persen
145
lainnya memberikan penilaian kurang puas. Namun demikian, dilihat dari angka persentase per-nagari maupun per-kabupaten, seperti halnya juga mutu pelayanan lainnya itu,
pelayanan pelestarian adat-istiadat ini masih perlu ditingkatkan. Di
Kabupaten Pasaman misalnya, 24,3 persen atau hampir seperempat dari jumlah responden di kabupaten itu memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan pelestarian adat-istiadat. Di Nagari Lansek Kadok dan Nagari Ganggo Hilia, seperempat dari jumlah responden di masing-masing nagari ini juga memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan pelestarian adat-istiadat. Demikian pula di Nagari Kampung Tangah dan Nagari Salido, lebih seperlima dari jumlah responden di masing-masing nagari ini memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan adatistiadat tersebut. Gambaran mengenai tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan pelestarian adat-istiadat tersebut dalam bentuk distribusi frekuensi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan pelestarian adat istiadat Kategori tingkat kepuasan (Skala 0 – 3)
Nagari NSB NKT F F % %
NLK F %
NGH F %
> 2,3 (puas)
0 0
0 0
0 0
1,6 – 2,3 (agak puas)
9 75,0
16 64,0
0,8 – 1,5 (kurang puas)
3 25,0
= 0,7 (tidak puas) Total
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
1 11,1
0 0
2 8,7
0 0
1 3,3
2 4,8
3 2,7
17 81,0
6 66,7
14 73,7
17 73,9
25 67,6
23 76,7
31 73,8
79 72,5
6 24,0
3 14,3
2 22,2
4 21,0
3 13,0
9 24,3
5 16,7
7 16,6
21 19,3
0 0
3 12,0
1 4,7
0 0
1 5,3
1 4,4
3 8,1
1 3,3
2 4,8
6 5,5
12 100
25 100
21 100
9 100
19 100
23 100
37 100
30 100
42 100
109 100
Dari ke enam jenis pelayanan pemerintahan nagari yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan penyaluran aspirasi relatif lebih rendah
146
mutunya dibandingkan dengan mutu pelayanan yang lainnya itu. Persentase responden yang memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan penyaluran aspirasi ini relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat pada jenis pelayanan lainnya itu. Demikian pula angka rata-rata dari pelayanan penyaluran aspirasi relatif lebih kecil dibandingkan dengan angka rata-rata pada pelayanan lainnya itu. Oleh karena itu, sekiranya dibuat skala prioritas untuk peningkatan mutu pelayanan pemerintahan nagari menurut jenisnya dapat diurutkan sebagai berikut; pelayanan penyaluran aspirasi, pelayanan penyelesaian konflik, pelayanan pembinaan ekonomi, pelayanan pelestarian adat-istiadat, pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban, dan pelayanan umum. Sebagai gambaran, tingkat kepuasan responden terhadap layanan dan sublayanan pemerintahan nagari seperti telah dijelaskan di atas dapat dirangkum kembali pada Tabel 13. Tabel 13 Tingkat kepuasan responden terhadap layanan dan sub-layanan pemerintahan nagari Kategori tingkat kepuasan (skala 0-3) > 2,3 (puas) 1,6-2,3 (agak puas) 0,8-1,5 (kurang puas) = 0,7 (tidak puas) Keterangan:
Layanan dan sub-layanan pemerintahan nagari Y (%)
Y1 (%)
Y2 (%)
Y3 (%)
Y4 (%)
Y5 (%)
Y6 (%)
7,8
14,4
5,6
0,0
0,0
4,2
2,7
67,8
77,9
63,9
70,2
75,3
52,1
72,5
23,3
8,1
27,8
26,9
21,2
39,5
19,3
1,1
2,6
2,7
2,9
3,5
4,2
5,5
Y = Total pelayanan; Y1 = Pelayanan umum; Y2 = Pelayanan penyelesaian konflik; Y3 = Pelayanan pembinaan ekonomi; Y4 = Pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban; Y5 = Layanan penyaluran aspirasi; Y6 = Pelayanan pelestarian adatistiadat.
Karakteristik Responden Masyarakat Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa karakteristik responden masyarakat yang diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi; kebutuhan, pendidikan, sikap terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari,
147
sistem nilai, dan kekosmoplitanan. Gambaran tentang masing-masing karakteristik responden ini dapat dilihat pada uraian berikut. Kebutuhan Kebutuhan adalah segala sesuatu yang dirasakan kekurangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu untuk mencapai kekurangan itu. Kebutuhan dalam penelitian ini terdiri dari empat sub-variabel, yaitu; kebutuhan ekonomi, rasa aman dan tentram, sosial, dan kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi. Secara umum tingkat kebutuhan responden masyarakat secara keseluruhan (tingkat kebutuhan untuk peningkatan ekonomi, adanya rasa aman, terjalinnya hubungan sosial, dan tingkat kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi) termasuk kategori tinggi, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 2,19. Distribusi frekuensi tingkat kebutuhan responden masyarakat ini disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Tingkat kebutuhan responden masyarakat
Tingkat kebutuhan (Skala 0 – 3)
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
> 2,3 (sangat membutuhkan)
13 43,3
7 23,3
5 16,7
16 53,3
5 16,7
12 40,0
20 33,3
21 35,0
17 28,3
58 32,2
1,6 – 2,3 (membutuhkan)
17 56,7
20 66,7
25 83,3
14 46,7
24 80,0
18 60,0
37 61,7
39 65,0
42 70,0
118 65,6
0,8 – 1,5 (kurang membutuhkan)
0 0
3 10,0
0 0
0 0
1 3,3
0 0
3 5,0
0 0
1 1,7
4 2,2
= 0,7 (tidak membutuhkan)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Tabel 14 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 65,6 persen dari responden tingkat kebutuhan mereka secara keseluruhan termasuk dalam kategori membutuhkan (tinggi) dan sebanyak 32,2 persen atau hampir sepertiga dari mereka
148
termasuk dalam kategori sangat membutuhkan (sangat tinggi). Dilihat dari angka persentase per-kabupaten atau daerah, mereka yang tingkat kebutuhannya tergolong sangat tinggi terhadap keempat jenis kebutuhan tersebut lebih banyak terdapat di Kabupaten Agam dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Tingkat kebutuhan responden masyarakat menurut jenis kebutuhannya dapat pula dilihat dari sub-peubah kebutuhan. Tingkat kebutuhan responden untuk peningkatan ekonomi misalnya termasuk tinggi, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 2,00. Sebaran frekuensi tingkat kebutuhan responden untuk peningkatan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Tingkat kebutuhan responden untuk peningkatan ekonomi
Tingkat kebutuhan (Skala 0 – 3)
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
> 2,3 (sangat membutuhkan)
9 30,0
4 13,3
1 3,3
18 60,0
3 10,0
9 30,0
13 21,7
19 31,7
12 20,0
44 24,4
1,6 – 2,3 (membutuhkan)
21 70,0
21 70,0
28 93,4
9 30,0
19 63,3
17 56,7
42 70,0
37 61,7
36 60,0
115 63,9
0,8 – 1,5 (kurang membutuhkan)
0 0
5 16,7
1 3,3
3 10,0
8 26,7
4 13,3
5 8,3
4 6,6
12 20,0
21 11,7
= 0,7 (tidak membutuhkan)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Tabel 15 memperlihatkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 63,9 persen dari total responden menyatakan bahwa mereka membutuhkan untuk peningkatkan ekonomi dan sebanyak 24,4 persen menyatakan sangat membutuhkan. Ini berarti bahwa hampir seperempat dari jumlah responden merasa sangat membutuhkan penambahan lahan dan tempat berusaha, tambahan modal, butuh pengetahuan baru untuk mengelola usaha, dan sangat membutuhkan tambahan sarana untuk berusaha. Bila
149
dilihat dari angka persentase per-kabupaten atau daerah, jumlah responden yang sangat membutuhkan untuk peningkatan ekonomi ini paling banyak terdapat di Kabupaten Agam atau di daerah inti ketimbang di daerah rantau. Sedangkan bila dilihat per-nagari, jumlah responden yang sangat membutuhkan untuk peningkatan ekonomi paling banyak terdapat di Nagari Kampung Tangah ketimbang yang terdapat di lima nagari lainnya. Hampir sama dengan kebutuhan untuk peningkatan ekonomi di atas, tingkat kebutuhan responden untuk memperoleh rasa aman dan rasa tentram termasuk dalam kategori tinggi, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 2,24. Sebagian besar atau sebanyak 62,8 persen dari responden tingkat kebutuhan mereka untuk memperoleh rasa aman dan rasa tentram termasuk dalam kategori tinggi (membutuhkan) dan sebanyak 35 persen termasuk dalam kateori sangat membutuhkan (sangat tinggi). Ini berarti bahwa lebih dari sepertiga dari jumlah responden tingkat kebutuhan mereka untuk mendapatkan rasa aman dan rasa tentram termasuk sangat tinggi. Sebaran frekuensi tingkat kebutuhan responden untuk mendapatkan rasa aman dan rasa tentram ini disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Tingkat kebutuhan responden untuk memperoleh rasa aman dan rasa tentram
Tingkat kebutuhan (Skala 0 – 3)
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
> 2,3 (sangat membutuhkan)
10 33,3
12 40,0
9 30,0
13 43,4
5 16,7
14 46,7
22 36,7
22 36,6
19 31,7
63 35,0
1,6 – 2,3 (membutuhkan)
20 66,7
16 53,3
21 70,0
15 50,0
25 83,3
16 53,3
36 60,0
36 60,0
41 68,3
113 62,8
0,8 – 1,5 (kurang membutuhkan)
0 0
2 6,7
0 0
1 3,3
0 0
0 0
2 3,3
1 1,7
0 0
3 1,7
= 0,7 (tidak membutuhkan)
0 0
0 0
0 0
1 3,3
0 0
0 0
0 0
1 1,7
0 0
1 0,5
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
150
Bila dilihat angka persentase per-kabupaten, Tabel 16 menunjukkan bahwa responden yang tingkat kebutuhannya untuk memperoleh rasa aman dan rasa tentram termasuk dalam kategori sangat tinggi relatif lebih banyak terdapat di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Agam dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan kata lain, mereka yang sangat membutuhkan adanya rasa aman dan rasa tentram, seperti; adanya pekerjaan tetap, pendapatan yang lebih memadai, memiliki rumah sendiri, dan adanya tambahan penghasilan selain dari penghasilan dari usaha yang sudah ada, jumlahnya relatif lebih banyak terdapat di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Agam dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan. Tingkat kebutuhan sosial responden seperti keinginan untuk bisa berinteraksi dan berhubungan baik dengan kerabat, dengan tetangga, dan keinginan untuk bisa ikutserta dalam berbagai kegiatan sosial yang ada di nagari kelihatannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dua jenis kebutuhan terdahulu, dengan angka rata-rata deperoleh sebesar 2,34. Gambaran tentang distribusi tingkat kebutuhan sosial responden ini disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Tingkat kebutuhan sosial responden
Tingkat kebutuhan (Skala 0 – 3)
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
> 2,3 (sangat membutuhkan)
12 40,0
12 40,0
7 23,3
12 40,0
6 20,0
14 46,7
24 40,0
19 31,7
20 33,3
63 35,0
1,6 – 2,3 (membutuhkan)
18 60,0
18 60,0
23 76,7
18 60,0
24 80,0
16 53,3
36 60,0
41 68,3
40 66,7
117 65,0
0,8 – 1,5 (kurang membutuhkan)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
= 0,7 (tidak membutuhkan)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
151
Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa tidak seorangpun dari responden yang menyatakan tidak dan atau kurang membutuhkan mengenai kebutuhan sosial. Sebanyak 65 persen dari responden tingkat kebutuhan sosial mereka termasuk dalam kategori tinggi (membutuhkan) dan sebanyak 35,0 persen atau lebih dari sepertiganya termasuk dalam kategori sangat tinggi (sangat membutuhkan). Di Kabupaten Pasaman, jumlah responden yang tingkat kebutuhan sosialnya termasuk dalam kategori sangat tinggi relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Dibandingkan dengan tingkat kebutuhan sosial di atas, tingkat kebutuhan responden untuk menyalurkan aspirasi dan mewujudkan diri kelihatannya sedikit lebih rendah, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 2,23. Mereka yang tingkat kebutuhannya untuk menyalurkan aspirasi dan mewujudkan diri termasuk dalam kategori sangat membutuhkan (sangat tinggi) terdapat sebesar 27,8 persen dan yang termasuk dalam kategori membutuhkan (tinggi) terdapat sebanyak 69,4 persen. Gambaran dalam bentuk distribusi frekuensi tentang tingkat kebutuhan responden untuk menyalurkan aspirasi dan mewujudkan diri ini disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Tingkat kebutuhan responden untuk menyalurkan aspirasi dan mewujudkan diri
Tingkat kebutuhan (Skala 0 – 3)
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
> 2,3 (sangat membutuhkan)
12 40,0
10 33,3
6 20,0
6 20,0
5 16,7
11 36,7
22 36,7
12 20,0
16 26,7
50 27,8
1,6 – 2,3 (membutuhkan)
18 60,0
16 53,3
24 80,0
24 80,0
25 83,3
18 60,0
34 56,7
48 80,0
43 71,7
125 69,4
0,8 – 1,5 (kurang membutuhkan)
0 0
4 13,4
0 0
0 0
0 0
1 3,3
4 6,6
0 0
1 1,6
5 2,8
= 0,7 (tidak membutuhkan)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
152
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Tabel 18 di atas memperlihatkan pula bahwa responden yang terdapat di Kabupaten Pasaman yang sangat membutuhkan untuk menyalurkan aspirasi dan mewujudkan diri relatif lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Dengan kata lain, jumlah responden yang terdapat di Kabupaten Pasaman atau di daerah rantau pedalaman yang sangat membutuhkan agar usaha mereka menjadi lebih baik dan gagasan-gagasan yang mereka miliki bisa ditampung dan diperhatikan oleh aparatur pemerintahan nagari relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pesisir dan di daerah inti. Sikap terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari Sikap dalam penelitian ini adalah kecenderungan responden untuk menerima dan atau menolak kebijakan tentang ketentuan-ketentuan pokok yang berhubungan dengan pemerintahan nagari. Sikap responden ini dapat dilihat dari tingkat kesetujuan atau ketidak-setujuannya terhadap ketentuan-ketentuan pokok mengenai pemerintahan nagari tersebut. Sikap responden masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan pokok yang berhubungan dengan pemerintahan nagari ternyata belum begitu memuaskan, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,57. Distribusi frekuensi sikap responden ini dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sikap responden terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari
Sikap (Skala 1 – 5)
NLK F %
NGH F %
> 4,5 (sangat setuju)
0 0
0 0
Nagari NSB NKT F F % % 0 0
0 0
NSL F %
NPG F %
KP F %
0 0
0 0
0 0
Kabupaten KA KPS F F % % 0 0
0 0
Total F %
0 0
153
3,6 – 4,5 (setuju)
13 43,3
14 46,7
24 80,0
15 50,0
20 66,7
19 63,3
27 45,0
39 65,0
35 58,3
101 56,1
2,6 – 3,5 (ragu-ragu)
17 56,7
16 53,3
6 20,0
15 50,0
10 33,3
11 36,7
33 55,0
21 35,0
25 41,7
79 43,9
1,6-2,5 (tidak setuju)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
= 1,5 (sangat tidak setuju)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa sikap responden terhadap ketentuanketentuan pokok tentang pemerintahan nagari hanya menyebar pada dua kategori, yaitu; kategori setuju dan ragu-ragu. Tidak seorangpun dari responden yang menyatakan sangat setuju dan tidak setuju terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari. Sebanyak 56,1 persen dari total responden menyatakan setuju terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari dan 43,9 persen lainnya menyatakan ragu-ragu. Ini menunjukkan bahwa masih relatif banyak di antara responden yang belum bisa menentukan pilihannya atau mereka masih ragu terhadap pokok-pokok yang berhubungan dengan pemerintahan nagari. Di Kabupaten Pasaman, sebagai daerah rantau pedalaman misalnya, sebanyak 55 persen atau lebih dari setengah dari jumlah responden menyatakan ragu-ragu terhadap ketentuan-ketentuan pokok yang berhubungan dengan pemerintahan nagari. Sementara di daerah inti, responden yang menyatakan setuju terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari relatif lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pedalaman dan di daerah rantau pesisir. Responden yang menyatakan ragu-ragu terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari itu dapat berarti
bahwa dukungan mereka terhadap
pemerintahan nagari relatif masih rendah. Dan diakui memang, bahwa di lapangan masih sering terdengar suara sumbang terhadap pemerintahan nagari, misalnya dikatakan bahwa pemerintahan nagari sama saja dengan pemerintahan desa, pemerintahan nagari
154
adalah pemerintahan desa jilid dua, dan bahkan ada yang diungkapkan dengan bahasa kiasan yang mengatakan bahwa perubahan pemerintahan desa ke pemerintahan nagari tak obahnya seperti batuka baruak jo cigak (artinya pemerintahan nagari dan pemerintahan desa sama saja). Dengan demikian, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pemerintahan nagari agar mereka memiliki sikap yang lebih positif terhadap ketentuan-ketentuan pokok yang berhubungan dengan pemerintahan nagari, maka sosialisasi tentang pemerintahan nagari perlu terus dilakukan. Pendidikan Pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan formal yang telah ditamatkan dan atau yang sedang ditempuh oleh responden. Rata-rata tingkat pendidikan responden ini adalah sebesar 10,83 atau setara dengan SLTA. Hasil penelitian dalam bentuk distribusi frekuensi mengenai tingkat pendidikan formal responden ini disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang telah ditamatkan responden relatif cukup baik. Sebanyak 18,9 persen dari total responden misalnya telah menamatkan pendidikannya setingkat perguruan tinggi (D1-S1) dan sebanyak 33,9 persen menamatkan pendidikannya setingkat SLTA. Sementara itu, bila dilihat perolehan frekuensi per-kabupaten, tingkat pendidikan responden masyarakat yang pernah berurusan dengan pemerintahan nagari di Kabupaten Pesisir Selatan ternyata relatif lebih baik dibanding dengan yang terdapat di dua Tabel 20 Tingkat pendidikan formal responden
Pendidikan
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
Kabupaten KA KPS F F % %
= 6 (SD)
6 20,0
7 23,3
10 33,3
4 13,3
3 10,0
4 13,3
13 21,7
14 23,3
7 11,7
34 18,9
7-9 (SLTP)
10 33,3
10 33,3
9 30,0
7 23,3
5 16,7
10 33,3
20 33,3
16 26,7
15 25,0
51 28,3
10-12
8
13
10
14
8
8
21
24
16
61
Total F %
155
(SLTA)
26,7
43,4
33,3
46,7
26,7
26,7
35,0
40,0
26,7
33,9
= 13 (Perguruan Tinggi)
6 20,0
0 0
1 3,4
5 16,7
14 46,6
8 26,7
6 10,0
6 10,0
22 36,6
34 18,9
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
kabupaten lainnya. Di kabupaten ini, responden yang berhasil menamatkan pendidikannya setingkat perguruan tinggi (D1-S1) terdapat sebesar 36,6 persen, sedangkan di Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman masing-masing terdapat sebanyak 10 persen. Selain itu, responden yang pendidikannya setingkat SD di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pasaman jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan. Sistem Nilai Budaya Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa sistem nilai budaya adalah rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran seseorang atau masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap sangat bernilai atau penting yang berfungsi sebagai pedoman dalam hidup. Sistem nilai ini menyangkut persoalan mengenai hakekat hidup, hakekat karya, hakekat waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hakekat hubungan manusia dengan sesamanya. Sebaran frekuensi orientasi nilai budaya responden mengenai hakekat hidup disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 ini memperlihatkan bahwa sebagian besar atau 87,2 persen dari total responden menganggap bahwa hidup memang sulit dan buruk akan tetapi manusia wajib berusaha dan harus selalu Tabel 21 Orientasi nilai budaya responden mengenai hakekat hidup
Orientasi Nilai Budaya Mengenai Hakekat Hidup
Buruk
NLK F %
NGH F %
2 6,7
0 0
Nagari NSB NKT F F % % 0 0
0 0
NSL F %
NPG F %
KP F %
0 0
0 0
2 3,3
Kabupaten KA KPS F F % % 0 0
0 0
Total F %
2 1,1
156
Baik
7 23,3
2 6,7
3 10,0
2 6,7
3 10,0
4 13,3
9 15,0
5 8,3
7 11,7
21 11,7
Manusia wajib berusaha memperbaiki hidup
21 70,0
28 93,3
27 90,0
28 93,3
27 90,0
26 86,7
49 81,7
55 91,7
53 88,3
157 87,2
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
memperbaikinya. Responden yang menganggap bahwa hidup adalah baik terdapat sebesar 11,7 persen dan sebesar 1,1 persen lainnya menganggap bahwa hidup adalah buruk dan sulit tanpa ada upaya untuk memperbaikinya. Mereka yang berorientasi dengan menganggap bahwa hidup memang sulit tetapi manusia wajib berusaha memperbaikinya lebih banyak terdapat di daerah inti daripada yang terdapat di daerah rantau pesisir maupun daerah rantau pedalaman. Mengenai hakekat karya, sebagian besar atau sebanyak 88,9 persen dari total responden menganggap bahwa berkarya adalah untuk menambah potensi berkarya berikutnya sehingga karya akan lebih baik dari hari kehari dan dari waktu kewaktu. Namun demikian, masih ada di antara responden yang menganggap bahwa berkarya adalah agar bisa hidup, dan berkarya adalah untuk mendapatkan kedudukan sehingga terpandang di masyarakat meskipun persentasenya relatif kecil. Sebaran frekuensi orientasi nilai budaya responden mengenai hakekat karya ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 menunjukkan bahwa orientasi nilai budaya responden yang menganggap bahwa karya untuk menambah potensi berkarya, yang merupakan salah suatu mentalitas yang diperlukan untuk membangun, lebih banyak terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan dan di Kabupaten Agam daripada yang terdapat di Kabupaten Pasaman. Tabel 22 Orientasi nilai budaya mengenai hakekat karya
Orientasi Nilai Budaya Mengenai Hakekat Karya
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
157
Karya untuk hidup
1 3,3
4 13,3
0 0
1 3,3
1 3,3
0 0
5 8,3
1 1,7
1 1,7
7 3,9
Karya untuk kedudukan
6 20,0
2 6,7
5 16,7
0 0
0 0
0 0
8 13,4
5 8,3
0 0
13 7,2
Karya untuk menambah potensi berkarya
23 76,7
24 80,0
25 83,3
29 96,7
29 96,7
30 100
47 78,3
54 90,0
59 98,3
160 88,9
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Hasil penelitian berupa frekuensi orientasi nilai budaya responden mengenai hakekat waktu dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Orientasi nilai budaya responden mengenai waktu Orientasi Nilai Budaya Mengenai Hakekat Waktu
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
Masa lalu
2 6,7
4 13,3
1 3,3
Masa kini
11 36,7
4 13,3
Masa depan
17 56,6
Total
30 100
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
0 0
0 0
0 0
6 10,0
1 1,7
0 0
7 3,9
4 13,3
4 13,3
9 30,0
3 10,0
15 25,0
8 13,3
12 20,0
35 19,4
22 73,4
25 83,4
26 86,7
21 70,0
27 90,0
39 65,0
51 85,0
48 80,0
138 76,7
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Tabel 23 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 76,7 persen dari total responden orientasinya mengenai waktu tertuju ke masa depan, sedangkan sebanyak 19,4 persen ke masa kini, dan sebanyak 3,9 persen lainnya tertuju ke masa lalu. Dilihat dari sebaran frekuensi per-kabupaten, orientasi nilai budaya mengenai hakekat waktu yang dimiliki responden di Kabupaten Pesisir Selatan sebagai daerah rantau pesisir dan di Kabupaten Agam sebagai daerah inti relatif lebih baik daripada yang terdapat di Kabupaten Pasaman sebagai daerah rantau pedalaman. Di daerah rantau pesisir dan di daerah inti jumlah responden yang berorientasi ke masa depan relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pedalaman.
158
Hasil penelitian dalam bentuk distribusi frekuensi orientasi nilai budaya responden mengenai masalah hubungan manusia dengan alam disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Orientasi nilai budaya hubungan manusia dengan alam Orientasi Nilai Budaya Mengenai Hubungan Manusia dengan Alam
NLK F %
NGH F %
Nagari NSB NKT F F % %
Tunduk terhadap alam
0 0
6 20,0
0 0
Mencari keselarasan dengan alam
4 13,3
2 6,7
Menguasai alam
26 86,7
Total
30 100
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
1 3,3
0 0
1 3,3
6 10,0
1 1,7
1 1,7
8 4,4
5 16,7
3 10,0
6 20,0
3 10,0
6 20,0
8 13,3
9 15,0
23 12,8
22 73,3
25 83,3
26 86,7
24 80,0
26 86,7
48 80,0
51 85,0
50 83,3
149 82,8
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Tabel 24 di atas menunjukkan bahwa dalam hubungan manusia dengan alam, sebagian besar atau sebanyak 82,8 persen dari total responden mempersepsikan bahwa manusia harus dapat menguasai alam. Mentalitas yang seperti ini akan menambah keinginan manusia untuk menemukan terobosan-terobosan baru atau untuk berinovasi. Bila ada musibah banjir misalnya, manusia harus dapat mencegah dengan mencari terlebih dahulu faktor penyebab musibah tersebut tanpa harus menerima dengan pasrah kejadian itu. Jumlah responden yang mempersepsikan bahwa manusia harus dapat menguasai alam relatif lebih banyak terdapat di daerah inti dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pesisir dan di daerah rantau pedalaman. Orientasi nilai budaya responden mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesamanya dalam kaitannya dengan mentalitas pembangunan disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Orientasi nilai budaya responden mengenai hubungan manusia dengan sesamanya Orientasi Nilai Budaya
Nagari
Kabupaten
Total
159
Mengenai Hubungan Manusia dengan Sesamanya
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
F %
Tergantung pada orang yang lebih tua, keluarga dan sanak famili
1 3,3
3 10,0
0 0
5 16,7
2 6,7
3 10,0
4 6,7
5 8,3
5 8,3
14 7,8
Tergantung sesama manusia dengan tidak membedakan
14 46,7
8 26,7
8 26,7
2 6,7
6 20,0
4 13,3
22 36,7
10 16,7
10 16,7
42 23,3
Tidak tergantung pada orang lain
15 50,0
19 63,3
22 73,3
23 76,7
22 73,3
23 76,7
34 56,6
45 75,0
45 75,0
124 68,9
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
Tabel 25 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 68,9 persen dari total responden mempersepsikan bahwa manusia harus bangga untuk tidak tergantung pada orang lain dan berjiwa individual. Ini dapat berarti bahwa bila seseorang misalnya menemukan masalah, ia harus terlebih dahulu berusaha dengan menggali potensi dan kemampuan yang ada tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain. Sebanyak 23,3 persen dari responden mempersepsikan bahwa manusia memiliki rasa ketergantungan dengan sesamanya meskipun tidak membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Bila seseorang membutuhkan modal untuk berdagang misalnya, ia bisa minta bantuan kepada sesama (misalnya teman) tanpa harus minta bantuan kepada pihak keluarga atau sanak famili. Sedangkan sebanyak 7,8 persen lainnya dari responden, orientasinya mengenai hubungan sesama masih cenderung kepada keluarga dan sanak famili. Dengan demikian, hampir sepertiga dari jumlah responden orientasinya belum mengarah untuk menghargai potensi sendiri, yakni suatu mentalitas yang diperlukan bagi manusia pembangunan. Kekosmopolitan Kekosmopolitan adalah hubungan atau kontak seseorang dengan masyarakat atau kebudayaan lain, baik dengan cara bepergian ke daerah lain dan atau dengan memanfaatkan media massa serta media elektronika yang ada. Makin sering seseorang bepergian ke daerah lain serta makin banyak ragam dan jenis media yang dimanfaatkan
160
untuk melakukan kontak dengan masyarakat atau kebudayaan lain akan makin kosmopolit orang tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat kekosmopolitanan responden masyarakat tergolong rendah, dengan skor rata-rata diperoleh sebesar 3,2. Sebanyak 63,9 persen dari total responden tingkat kekosmopolitanan mereka terdapat pada kategori rendah dan sebanyak 32,8 persen lainnya terdapat pada kategori sedang. Distribusi frekuensi tingkat kekosmopolitanan responden ini menurut nagari dan kabupaten dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Tingkat kekosmopolitanan responden masyarakat Kekosmopolitansi ( skor 1-9)
Nagari NSB NKT F F % %
NSL F %
NPG F %
KP F %
0 0
1 3,3
1 3,3
1 3,3
0 0
3 5,0
2 3,3
1 1,7
6 3,3
13 43,3
9 30,0
5 16,7
9 30,0
12 40,0
11 36,7
22 36,7
14 23,4
23 38,3
59 32,8
1-3 (rendah)
14 46,7
21 70,0
24 80,0
20 66,7
17 56,7
19 63,3
35 58,3
44 73,3
36 60,0
115 63,9
Total
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
30 100
60 100
60 100
60 100
180 100
NLK F %
NGH F %
7-9 (tinggi)
3 10,0
4-6 (sedang)
Kabupaten KA KPS F F % %
Total F %
Tabel 26 di atas memperlihatkan bahwa jumlah responden dengan tingkat kekosmopolitanannya tergolong rendah yang terdapat di Kabupaten Agam jumlahnya relatif lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pasaman dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Hal ini berarti bahwa responden yang terdapat di daerah rantau pedalaman dan di daerah rantau pesisir relatif lebih banyak jumlah mereka yang melakukan kontak dengan masyarakat atau dengan kebudayaan lain dibandingkan dengan responden yang terdapat di daerah inti.
160
Unsur-Unsur Lembaga Pemerintahan Nagari Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari yang dipilih untuk diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi; individu atau karakteristik aparatur pemerintahan nagari, tujuan, struktur, proses, dan teknologi/sarana yang terdapat di lembaga pemerintahan tersebut. Individu aparatur pemerintahan nagari terdiri dari; pendidikan, umur, kekosmopolitanan,
pengalaman
di
pemerintahan
sebelumnya,
insentif,
kemandirian, keinovatifan, persepsi terhadap tugas, motivasi, sikap mental, dedikasi, dan sifat-sifat kepelayanan. Struktur meliputi; jumlah anggota, struktur peranan/tugas, dan jarak psikologis. Sementara, proses terdiri dari; hubungan antar peranan, komunikasi, pengendalian, koordinasi, dan pembinaan atau supervisi. Gambaran tentang unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari tersebut masing- masingnya dapat diikuti uraian berikut. Karakteristik Aparatur Pemerintahan Nagari Pendidikan Pendidikan adalah pendidikan formal yang sedang dan atau yang telah ditamatkan oleh individu aparat pemerintahan yang dijadikan responden dalam penelitian.
Gambaran
tentang
tingkat
pendidikan
responden
aparatur
pemerintahan ini dalam bentuk tabel distribusi frekuensi disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendidikan aparatur pemerintahan nagari relatif baik. Angka rata-rata tingkat pendidikan responden aparat ini diperoleh sebesar 12,40 atau setara dengan SLTA. Sebanyak 30,7 persen dari total responden menamatkan pendidikannya setingkat perguruan tinggi (D1-S1), 43,3 persen setingkat SLTA, dan sebanyak 17,3 persen menamatkan pendidikannya setingkat SLTP. Sedangkan responden yang pendidikannya setingkat SD jumlahnya relatif kecil, yaitu terdapat sebanyak 8,7 persen dari total responden. Sementara itu, hal yang menarik adalah bila dilihat dari sebaran frekuensi tingkat pendidikan responden per-nagari. Tidak ada lembaga pemerintahan nagari
161
Tabel 27 Tingkat pendidikan formal aparatur pemerintahan Pendidikan
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
=6 (SD)
2 9,5
2 11,1
2 14,3
1 5,9
1 6,3
1 5,6
4 10,3
3 9,7
2 5,9
9 8,7
7-9 (SLTP)
3 14,3
3 16,7
5 35,7
5 29,4
1 6,3
1 5,6
6 15,4
10 32,3
2 5,9
18 17,3
10-12 (SLTA)
7 33,3
9 50,0
4 28,6
7 41,2
7 43,7
11 61,1
16 41,0
11 35,4
18 52,9
45 43,3
= 13 (Perguruan Tinggi)
9 42,9
4 22,2
3 21,4
4 23,5
7 43,7
5 27,7
13 33,3
7 22,6
12 35,3
32 30,7
Total
21
18
14
17
16
18
39
31
34
104
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
yang kosong dari orang-orang yang terdidik, dalam arti bahwa di setiap lembaga pemerintahan nagari, baik di daerah inti maupun di daerah rantau terdapat orangorang yang tingkat pendidikannya setingkat perguruan tinggi dan jumlahnya-pun tampaknya cukup signifikan bila dibandingkan dengan jumlah
aparatur
pemerintahan yang ada di masing- masing nagari tersebut. Di Nagari Lansek Kadok dan Nagari Salido misalnya, aparatur pemerintahan yang tingkat pendidikannya setingkat perguruan tinggi masing- masingnya terdapat sebanyak 42,9 persen dan 43,7 persen. Umur Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur tertinggi dari aparatur pemerintahan nagari adalah 76 tahun dan umur terendah 20 tahun. Range umur responden aparatur pemerintahan ini adalah 56 tahun, yaitu suatu angka yang cukup besar. Sedangkan rata-rata umur aparat pemerintahan nagari ini diperoleh sebesar 45,72. Distribusi frekuensi kelompok umur aparatur pemerintahan nagari ini menurut nagari dan kabupaten dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 memperlihatkan bahwa komposisi dan sebaran frekuensi umur aparatur pemerintahan nagari relatif cukup baik, dalam arti bahwa frekuensi kelompok “umur tua dan umur muda” relatif cukup berimbang. Sementara, kelompok umur yang paling dominan adalah berkisar antara 31-40 tahun dan 51-
162
60 tahun, yang masing- masingnya terdapat sebanyak 32,7 persen dan 26,0 persen dari total responden. Tabel 28 Umur responden aparatur pemerintahan nagari Umur (dalam tahun)
Nagari
Kabupaten Total F %
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
> 60
1 4,8
3 16,7
4 28,6
4 23,5
2 12,5
0 0
4 10,3
8 25,8
2 5,9
14 13,5
51-60
4 19,0
2 11,1
6 42,9
6 35,3
6 37,5
3 16,7
6 15,4
12 38,7
9 26,4
27 26,0
41-50
4 19,0
4 22,2
0 0
2 11,8
1 6,2
6 33,3
8 20,5
2 6,5
7 20,6
17 16,3
31-40
9 42,9
4 22,2
3 21,4
4 23,5
6 37,5
8 44,4
13 33,3
7 22,5
14 41,2
34 32,7
= 30
3 14,3
5 27,8
1 7,1
1 5,9
1 6,3
1 5,6
8 20,5
2 6,5
2 5,9
12 11,5
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Bila dilihat per-kabupaten, umur aparatur pemerintahan nagari di Kabupaten Agam yang merupakan daerah inti lebih banyak termasuk pada kelompok umur 51-60 tahun, yaitu terdapat sebanyak 38,7 persen, sedangkan di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pesisir Selatan yang merupakan daerah rantau lebih banyak termasuk pada kelompok umur 31-40 tahun, yang masingmasingnya terdapat sebanyak 33,3 persen dan 41,2 persen. Dengan demikian, ada kecenderungan bahwa di daerah inti aparatur pemerintahan nagari berumur tua, sedangkan di daerah rantau cenderung berumur muda. Sementara itu, bila dilihat responden yang berumur 50 tahun keatas, frekuensinya relatif cukup banyak, yaitu hampir mencapai sekitar 40 persen dari jumlah keseluruhan responden. Mereka ini berdasarkan wawancara di lapangan umumnya terdiri dari mantan aparat pemerintahan desa dan pensiunan, baik pensiunan pegawai negeri, ABRI, maupun pensiunan Polri. Kontribusi mereka ini di lembaga pemerintahan nagari dari pengamatan di lapangan ternyata cukup signifikan, baik di badan eksekutif maupun di legislatif nagari.
163
Kekosmopolitan Umumnya tingkat kekosmopolitanan responden aparatur pemerintahan nagari tergolong sedang, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,80. Sebanyak 47,1 persen dari total responden tingkat kekosmopolitannya tergolong sedang dan sebanyak 45,2 persen lainnya tergolong rendah. Sedangkan responden yang tingkat kekosmopolitannya tergolong tinggi hanya terdapat sebesar 7,7 persen. Ini menandakan bahwa tingkat kekosmopolitanan aparatur pemerintahan nagari perlu lebih ditingkatkan lagi, misalnya dengan memasok surat kabar atau sumber tertulis lainnya ke setiap lembaga pemerintahan nagari. Sebaran frekuensi mengenai tingkat kekosmopolitan responden tersebut menurut nagari dan kabupaten disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Tingkat kekosmopolitan aparatur pemerintahan nagari Tingkat Kekosmopolitan (skor 1-9)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
7-9 (tinggi)
4 19,0
0 0
0 0
1 5,9
1 6,3
2 11,2
4 10,3
1 3,2
3 8,8
8 7,7
4-6 (sedang)
11 52,4
7 38,9
10 71,4
3 17,6
10 62,5
8 44,4
18 46,2
13 42,0
18 53,0
49 47,1
1-3 (rendah)
6 28,6
11 61,1
4 28,6
13 76,5
5 31,2
8 44,4
17 43,5
17 54,8
13 38,2
47 45,2
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 29 menunjukkan bahwa dilihat dari perbedaan kabupaten atau daerah, jumlah responden yang memiliki tingkat kekosmopolitan rendah lebih banyak terdapat di Kabupaten Agam atau di daerah inti dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau. Sementara itu, bila dilihat sebaran frekuensi pernagari, tingkat kekosmopolitan responden yang tergolong rendah lebih banyak ditemukan di Nagari Ganggo Hilia dan Nagari Kampung Tangah. Pengalaman Pengalaman adalah pernah-tidaknya responden duduk atau ikut-serta dalam pemerintahan desa dan atau di pemerintahan nagari sebelum pemerintahan
164
desa. Pengalaman responden ini relatif cukup baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 0,83. Gambaran berupa distribusi frekuensi pengalaman aparatur pemerintahan nagari ini disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Pengalaman aparatur pemerintahan nagari Pengalaman (skor 0-2)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
Belum perpengalaman (skor 0)
10 47,6
10 55,5
4 28,6
6 35,3
5 31,3
3 16,7
20 51,3
10 32,3
8 23,5
38 36,5
Cukup berpengalaman (skor 1)
7 33,3
3 16,7
6 42,8
9 52,9
9 56,2
11 61,1
10 25,6
15 48,3
20 58,8
45 43,3
Sangat berpengalaman (skor 2)
4 19,1
5 27,8
4 28,6
2 11,8
2 12,5
4 22,2
9 23,1
6 19,4
6 17,7
21 20,2
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 30 memperlihatkan bahwa sebanyak 43,3 persen dari total responden ternyata cukup berpengalaman di pemerintahan sebelumnya dan 20,2 persen lainnya sangat berpengalaman. Sementara, bila dilihat dari kolom yang belum berpengalaman angkanya relatif cukup besar, yakni terdapat sebesar 36,5 persen dari total responden. Demikian pula bila dilihat per-nagari maupun perkabupaten angka persentase aparatur pemerintahan yang belum berpengalaman di pemerintahan sebelumnya frekuensinya relatif cukup besar. Di Nagari Lansek Kadok dan Nagari Ganggo Hilia misalnya, jumlah responden yang belum berpengalaman sama sekali di pemerintahan desa atau di pemerintahan nagari sebelum pemerintahan desa masing- masingnya terdapat sebanyak 47,6 dan 55,5 persen. Sementara itu, dilihat dari perolehan frekuensi pada setiap kolom berdasarkan tingkat pengalaman responden aparatur pemerintahan nagari ternyata komposisinya relatif cukup baik. Jumlah mereka yang belum berpengalaman, cukup berpengalaman, dan sangat berpengalaman di pemerintahan sebelumnya tampaknya relatif cukup berimbang. Dengan demikian, dalam bekerja, aparatur
165
pemerintahan nagari yang belum berpengalaman diduga akan terbantu dengan mereka yang sudah berpengalaman. Insentif Insentif adalah imbalan atau reward yang diterima responden aparatur pemerintahan
nagari
sebagai
konsekuensi
pengabdiannya
di
lembaga
pemerintahan nagari yang bersangkutan. Insentif ini dihitung dari rata-rata perbulan yang diterima responden untuk 6 bulan terakhir dalam bentuk nilai rupiah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa insentif yang paling tinggi diterima responden aparat pemerintahan nagari per-bulan sebagai pengabdiannya di pemerintahan nagari adalah sebesar Rp.400.000 dan yang paling kecil adalah sebesar Rp.13.000. Modus insentif responden ini adalah sebesar Rp.200.000, yakni terdapat sebanyak 14,4 persen dari total responden. Mereka yang menerima rata-rata per-bulan sebesar Rp.100.000 dan Rp.25.000 masing- masingya terdapat 11,5 persen. Sementara itu, disejumlah nagari ditemukan pula bahwa masih ada responden yang belum pernah menerima insentif sama sekali dan frekuensinya relatif cukup besar, yaitu terdapat sebanyak 18,3 persen dari total responden. Dari informasi yang didapat, alasan mereka belum pernah menerima insentif adalah karena mereka belum pernah mengikuti rapat dan atau kegiatan lainnya yang diselenggarakan oleh pemerintahan nagari. Gambaran tentang distribusi frekuensi insentif responden tersebut disajikan pada Tabel 31, yang memperlihatkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 57,7 persen dari total responden tersebut menerima insentif per-bulan adalah = Rp.100.000, yakni terdapat sebanyak 57,7 persen dari total responden. Sementara, angka rata-rata penerimaan aparat pemerintahan nagari ini adalah sebesar Rp.86.800. Mereka yang menerima insentif = Rp.100.000 ini lebih banyak terdapat di daerah inti dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau. Relatif kecilnya insentif aparat pemerintahan nagari ini memang mendapat banyak tanggapan oleh sejumlah responden di lapangan. Mereka terutama mengeluhkan tentang kecilnya insentif yang mereka terima dan waktu penerimaan juga tidak teratur. Malahan sejumlah aparatur pemerintahan nagari di lapangan mengatakan
166
bahwa insentif yang mereka terima lebih kecil dari upah seorang buruh sawah, yang bisa mencapai Rp.15.000 hingga Rp.20.000 per-hari. Tabel 31 Insentif aparatur pemerintahan nagari Insentif (dalam ribuan Rp.)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 300
1 4,8
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 2,6
0 0,0
0 0,0
1 1,0
201– 300
1 4,8
1 5,6
0 0,0
2 11,8
2 12,5
1 5,6
2 5,1
2 6,5
3 8,8
7 6,7
101– 200
9 42,8
2 11,1
1 7,1
3 17,6
2 12,5
0 0,0
11 28,2
4 12,9
2 5,9
17 16,3
= 100
5 23,8
14 77,7
12 85,8
11 64,7
12 75,0
6 33,3
19 48,7
23 74,1
18 52,9
60 57,7
Belum pernah mendapat insentif
5 23,8
1 5,6
1 7,1
1 5,9
0 0,0
11 61,1
6 15,4
2 6,5
11 32,4
19 18,3
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Kemandirian Kemandirian (autonomy) adalah sifat-sifat yang dimiliki seorang responden dalam bekerja dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tingkat kemandirian aparat pemerintahan tergolong cukup, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 2,94. Gambaran tentang tingkat kemandirian responden aparatur pemerintahan nagari ini dalam bentuk tabel frekuensi disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat kemandirian responden termasuk dalam kategori sedang, yakni terdapat sebanyak 53,8 persen dari total responden. Tingkat kemandirian responden yang tergolong tinggi dan rendah masing- masingnya terdapat sebanyak 17,3 dan 26,9 persen. Sementara itu, tidak seorang-pun dari responden yang tingkat kemandiriannya termasuk dalam kategori sangat tinggi. Bila dilihat berdasarkan kabupaten atau daerah, tingkat kemandirian aparatur pemerintahan nagari yang terdapat di Kabupten Pasaman relatif lebih
167
Tabel 32 Tingkat Kemandirian (skala 1-5)
Tingkat kemandirian aparatur pemerintahan nagari Nagari
Kabupaten
NLK
NGH
NSB
NKT
NSL
F %
F %
F %
F %
> 4,5 (sangat tinggi)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
3,6 – 4,5 (tinggi)
6 28,6
3 16,7
2,6 – 3,5 (sedang)
11 52,3
1,6-2,5 (rendah)
Total F %
KP
KA
KPS
F %
NP G F %
F %
F %
F %
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
3 21,4
2 11,8
3 18,8
1 5,6
9 23,1
5 16,1
4 11,8
18 17,3
13 72,2
6 42,9
8 47,0
10 62,4
8 44,4
24 61,5
14 45,2
18 52,9
56 53,8
3 14,3
2 11,1
5 35,7
7 41,2
3 18,8
8 44,4
5 12,8
12 38,7
11 32,4
28 26,9
= 1,5 (sangat rendah)
1 4,8
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 5,6
1 2,6
0 0,0
1 2,9
2 2,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
baik dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Di Kabupaten Pasaman ini, yang merupakan daerah rantau pedalaman, jumlah responden yang tingkat kemandiriannya termasuk pada kategori tinggi dan sedang relatif lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Keinovatifan Keinovatifan adalah sifat-sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan keuletan dan kegigihannya untuk mencari informasi atau cara-cara baru agar pekerjaannya lebih sempurna. Seseorang yang inovatif akan selalu mencari informasi serta cara-cara baru dan ia tidak akan pernah puas dengan hasil pekerjaannya. Secara umum, tingkat keinovatifan aparat pemerintahan nagari relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 4,20. Sebanyak 48,1 persen dari total responden, tingkat keinovatifannya terdapat pada kategori tinggi dan sebanyak 38,5 persen lainnya terdapat pada kategori sangat tinggi. Distribusi frekuensi tingkat keinovatifan responden ini dapat dilihat pada Tabel 33.
168
Tabel 33 Keinovatifan aparatur pemerintahan nagari Tingkat Keinovatifan (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total
> 4,5 (sangat tinggi)
6 28,6
8 44,4
4 28,6
8 47,1
4 25,0
10 55,5
14 35,9
12 38,7
14 41,2
40 38,5
3,6 – 4,5 (tinggi)
11 52,4
8 44,4
9 64,3
7 41,1
8 50,0
7 38,9
19 48,7
16 51,6
15 44,1
50 48,1
2,6 – 3,5 (sedang/cukup)
4 19,0
2 11,2
0 0,0
1 5,9
4 25,0
1 5,6
6 15,4
1 3,2
5 14,7
12 11,5
1,6-2,5 (rendah)
0 0,0
0 0,0
1 7,1
1 5,9
0 0,0
0 0,0
0 0,0
2 6,5
0 0,0
2 1,9
= 1,5 (sangat rendah)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
F %
Tabel 33 di atas juga memperlihatkan bahwa tidak seorangpun dari responden yang tingkat keinovatifannya terdapat pada kategori sangat rendah. Mereka yang tingkat keinovatifannya terdapat pada kategori rendah hanya ditemukan 1,9 persen dari total responden. Bila dilihat sebaran angka frekuensi per-kabupaten, responden yang tingkat keinovatifannya termasuk pada kategori sangat tinggi lebih banyak terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan atau di daerah rantau pesisir dibandingkan dengan yang terdapat di daerah inti dan di daerah rantau pedalaman. Persepsi terhadap Tugas Persepsi
terhadap
tugas
adalah
pemahaman
individu
aparatur
pemerintahan nagari terhadap tugas dan peranan yang diberikan kepadanya. Apakah ia memandang misalnya bahwa tugas dan pekerjaan yang diembannya sebagai sesuatu yang penting atau tidak. Persepsi aparatur pemerintahan nagari terhadap tugas dan peranannya secara umum dapat dikatakan relatif baik, dengan angka rata-rata dip eroleh sebesar 3,79. Hasil penelitian tentang persepsi responden terhadap tugas ini dalam bentuk distribusi frekuensi dapat dilihat pada Tabel 34.
169
Tabel 34 Persepsi aparatur pemerintahan nagari terhadap tugas Persepsi terhadap tugas (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat baik)
0 0,0
6 33,3
1 7,1
2 11,8
0 0,0
3 16,7
6 15,4
3 9,7
3 8,8
12 11,5
3,6 –4,5 (baik)
14 66,6
9 50,0
10 71,4
8 47,1
10 62,5
9 50,0
23 59,0
18 58,1
19 55,9
60 57,7
2,6 – 3,5 (cukup baik)
6 28,6
2 11,1
2 14,4
7 41,1
6 37,5
6 33,3
8 20,5
9 29,0
12 35,3
29 27,9
1,6-2,5 (kurang)
1 4,8
1 5,6
1 7,1
0 0,0
0 0,0
0 0,0
2 5,1
1 3,2
0 0,0
3 2,9
= 1,5 (sangat kurang)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 34 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 57,7 persen dari total responden ternyata memahami tugas dan peranannya dengan baik, 11,5 persen dikategorikan sangat baik, dan 27,9 persen cukup baik. Sementara, mereka yang kurang dapat memahami tugas dan peranannya dengan baik hanya terdapat sebanyak 2,9 persen dari total responden. Ini dapat berarti bahwa sebagian besar responden memahami dengan baik bahwa tugas yang mereka lakukan merupakan bagian dari tugas lembaga pemerintahan nagari. Mereka juga menganggap bahwa setiap pekerjaan, apakah ia sebagai kepala urusan, ketua jorong, atau sekretaris memerlukan keahliannya masing- masing. Di samping itu, mereka juga memahami dengan baik bahwa tujuan dibentuknya badan eksekutif dan lagislatif nagari adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, bila dilihat sebaran frekuensi per-kabupaten atau daerah, tampak bahwa persepsi responden terhadap tugas yang terdapat di Kabupaten Pasaman sebagai daerah rantau pedalaman relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Di Kabupaten Pasaman ini, persepsi responden terhadap tugas yang termasuk pada kategori sangat baik dan baik relatif
170
lebih banyak jumlahnya dibandingk an dengan yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Motivasi Motivasi responden memasuki dan atau untuk mengabdi di pemerintahan nagari dapat dilihat dari relevansi antara dorongannya memasuki lembaga pemerintahan itu dengan tujuan/fungsi lembaga pemerintahan nagari tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak seorangpun dari responden yang mempunyai motivasi kurang relevan dengan tujuan lembaga pemerintahan nagari tempat ia mengabdikan diri. Umumnya motivasi mereka adalah sangat baik, dengan angka rata-rata motivasi responden ini diperoleh sebesar 4,55. Sebagian besar atau sebanyak 77,9 persen dari mereka memiliki motivasi yang sangat relevan dan sebanyak 22,1 persen lainnya cukup relevan. Ini berarti bahwa sebagian besar dari aparatur pemerintahan na gari motivasinya untuk masuk dan atau untuk mengabdi di pemerintahan nagari adalah searah dan sejalan dengan tujuan dan fungsi pemerintahan nagari itu sendiri, yaitu ingin membantu masyarakat nagari dalam memenuhi pelbagai kebutuhannya. Distribusi frekuensi motivasi aparatur pemerintahan nagari tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Motivasi aparatur pemerintahan nagari Motivasi (skor 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
Sangat relevan (skor 5)
15 71,4
16 88,9
11 78,6
11 64,7
11 68,7
17 94,4
31 79,5
22 71,0
28 82,4
81 77,9
Relevan (skor 4)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Cukup relevan (skor 3)
6 28,6
2 11,1
3 21,4
6 35,3
5 31,3
1 5,6
8 20,5
9 29,0
6 17,6
23 22,1
Kurang relevan (skor 2)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Sangat kurang (skor 1)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
171
Bila dilihat sebaran frekuensi per-kabupaten pada Tabel 35 di atas, motivasi responden untuk mengabdi di pemerintahan nagari yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan sebagai daerah rantau pesisir relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Di daerah rantau pesisir ini, responden yang memiliki persepsi sangat relevan dengan tujuan dan fungsi lembaga pemerintahan nagari jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di daerah inti dan di daerah rantau pedalaman. Sikap Mental Sikap
mental
responden
aparatur
pemerintahan
nagari
adalah
kecenderungannya terhadap tugas dan peranan yang diembannya di pemerintahan nagari yang bersangkutan. Sikap ini dapat dinyatakan responden dalam bentuk penerimaan-penolakan dan atau kebanggaannya dengan tugas dan peranan yang diembannya di pemerintahan nagari tersebut. Sikap mental responden terhadap tugas dan peranan yang diembannya di pemerintahan nagari umumnya relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,57. Hasil penelitian dalam bentuk distribusi frekuensi sikap mental responden ini disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 43,3 persen dari total responden cukup bangga atau cukup senang dengan tugas dan peranan mereka di pemerintahan nagari dan sebanyak 40,4 persen lainnya menyatakan bangga atau senang. Sedangkan mereka yang menyatakan kurang bangga atau kurang menyenangi
tugas dan peranan yang mereka lakukan di lembaga
pemerintahan nagari hanya terdapat 9,6 persen dari total responden. Sementara itu, bila dilihat sebaran frekuensi per-kabupaten, sikap mental responden terhadap tugas dan peranannya di lembaga pemerintahan nagari yang terdapat di daerah rantau pedalaman relatif lebih baik dibanding dengan yang terdapat di daerah inti maupun di daerah rantau pesisir. Di daerah rantau pedalaman ini, responden yang menyatakan bangga atau senang serta mereka yang menyatakan sangat bangga dengan tugas dan peranannya di lembaga pemerintahan nagari jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di daerah inti maupun di daerah rantau pesisir.
172
Tabel 36 Sikap mental responden terhadap tugas dan peranannya di pemerintahan nagari
Nagari
Sikap mental (skala 1-5)
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat bangga/senang)
0 0,0
4 22,2
1 7,1
1 5,9
0 0,0
1 5,6
4 10,3
2 6,5
1 2,9
7 6,7
3,6 – 4,5 (bangga/senang)
9 42,9
12 66,7
5 35,7
5 29,4
7 43,7
4 22,2
21 53,8
10 32,3
11 32,4
42 40,4
2,6 – 3,5 (cukup bangga/senang)
10 47,6
2 11,1
6 42,9
9 52,9
5 31,3
13 72,2
12 30,8
15 48,3
18 52,9
45 43,3
1,6-2,5 (kurang bangga/senang)
2 9,5
0 0,0
2 14,3
2 11,8
4 25,0
0 0,0
2 5,1
4 12,9
4 11,8
10 9,6
= 1,5 (sangat kurang bangga/senang)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Dedikasi Dedikasi adalah keterlibatan dan atau partisipasi responden dalam malaksanakan
pekerjaan
atau tugas-tugas
kepemerintahan,
baik
berupa
memberikan pelayanan kepada masyarakat di dalam maupun di luar jam kerja, membantu mengerjakan pekerjaan teman sejawat ketika berhalangan, kehadiran di kantor, maupun berupa kehadiran dalam rapat atau pertemuan-pertemuan yang sudah dijadwalkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dedikasi aparatur pemerintahan nagari dalam mengerjakan tugas-tugas kepemerintahan relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,65. Gambaran tentang sebaran frekuensi tingkat dedikasi aparatur pemerintahan nagari ini dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 menunjukkan bahwa sebanyak 36,5 persen dari total responden, tingkat dedikasinya dalam me lakukan tugas-tugas kepemerintahan termasuk dalam kategori cukup tinggi, 42,3 persen tinggi, dan sebanyak 14,4 persen lainnya
173
Tabel 37 Dedikasi responden dalam melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugas kepemerintahan
Dedikasi (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat tinggi)
6 28,6
3 16,7
1 7,1
2 11,8
1 6,3
2 11,1
9 23,1
3 9,7
3 8,8
15 14,4
3,6 – 4,5 (tinggi)
9 42,8
5 27,8
7 50,0
9 52,9
7 43,7
7 38,9
14 35,9
16 51,6
14 41,2
44 42,3
2,6 – 3,5 (cukup tinggi)
5 23,8
8 44,4
5 35,8
5 29,4
6 37,5
9 50,0
13 33,3
10 32,2
15 44,1
38 36,5
1,6-2,5 (rendah)
1 4,8
2 11,1
1 7,1
1 5,9
2 12,5
0 0,0
3 7,7
2 6,5
2 5,9
7 6,8
= 1,5 (sangat rendah)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
termasuk dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan mereka yang tingkat dedikasinya tergolong rendah hanya ditemukan sebesar 6,8 persen dari total responden. Sementara itu, bila dilihat perolehan frekuensi per-kabupaten, tingkat dedikasi
responden
dalam
melaksanakan
pekerjaan
dan
tugas-tugas
kepemerintahan yang terdapat di Kabupaten Pasaman sebagai daerah rantau pedalaman relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Di daerah rantau pedalaman ini, jumlah responden yang memiliki dedikasi
sangat
tinggi
dalam
melaksanakan
pekerjaan
dan tugas-tugas
kepemerintahan nagari relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pesisir dan di daerah inti. Sifat-sifat Kepelayanan Sifat-sifat kepelayanan adalah perilaku-perilaku tertentu yang seharusnya dipunyai dan atau yang ditampilkan oleh aparatur pemerintahan nagari sebagai pelayan masyarakat.
174
Dibandingkan dengan dedikasi, sifat-sifat kepelayanan yang dimiliki aparatur pemerintahan nagari relatif lebih baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 4,03. Sebaran frekuensi sifat-sifat kepelayanan aparatur pemerintahan nagari ini disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Sifat-sifat kepelayanan aparatur pemerintahan nagari Sifat-sifat kepelayanan (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat tinggi/ sangat baik)
0 0,0
2 11,1
3 21,4
2 11,8
0 0,0
4 22,2
2 5,1
5 16,1
4 11,8
11 10,6
3,6 – 4,5 (tinggi/baik)
17 81,0
14 77,8
7 50,0
13 76,4
14 87,5
12 66,7
31 79,5
20 64,5
26 76,5
77 74,0
2,6 – 3,5 (cukup)
4 19,0
2 11,1
4 28,6
2 11,8
2 12,5
2 11,1
6 15,4
6 19,4
4 11,7
16 15,4
1,6-2,5 (rendah/kurang )
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
= 1,5 (sangat rendah)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 38 memperlihatkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 74,0 persen dari total responden aparatur pemerintahan nagari memiliki sifat-sifat kepelayanan yang termasuk dalam kategori tinggi. Ini berarti bahwa sebagian besar dari aparatur pemerintahan nagari memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat yang berurusan dengan pemerintahan nagari, memiliki tingkat percaya diri yang tinggi, dapat berlaku adil dengan baik, bisa menjaga kebersihan dan kerapian dalam memberikan pelayanan, dan selalu berusaha untuk bisa berkomunikasi secara baik dengan masyarakat pelanggan. Sifat-sifat kepelayanan semacam ini memang sering tampak oleh peneliti selama berada di lapangan. Masyarakat misalnya masih ada yang berurusan di kantor wali nagari pada hari libur (minggu), urusan kantor sering pula diselesaikan di warung atau di rumah tanpa birokrasi yang berbeli-belit, masyarakat tampak pula lebih “leluasa dan lebih relax” berurusan di kantor wali nagari ketimbang berurusan di kantor camat.
175
Sifat-sifat kepelayanan yang dimiliki aparatur pemerintahan nagari ini tentunya merupakan modal yang baik yang perlu dipertahankan dan dikembangkan guna terwujudnya pelayanan terbaik untuk ke depannya. Sementara itu, dilihat dari sebaran frekuensi per-kabupaten, sifat-sifat kepelayanan yang dimiliki aparatur pemerintahan nagari di daerah inti dan di daerah rantau pesisir relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pedalaman. Di daerah rantau pedalaman, responden yang memiliki sifat-sifat kepelayanan yang termasuk kategori sangat tinggi jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan yang terdapat di di daerah inti dan di daerah rantau pesisir. Tujuan Tujuan sebuah lembaga atau organisasi adalah segala sesuatu yang ingin dicapai oleh lembaga atau organisasi tersebut. Tujuan lembaga dalam penelitian ini dilihat dari tingkat kekonsistenan tujuan responden sebagai pribadi dengan tujuan lembaga pemerintahan nagari dan bagaimana tingkat kemampuan mereka memahami tujuan lembaga pemerintahan nagari tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat kekonsistenan tujuan pribadi responden dengan tujuan lembaga pemerintahan nagari serta tingkat kemampuan mereka memahami tujuan lembaga tersebut relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh
sebesar
3,82. Gambaran
tentang distribusi
frekuensi tingkat
kekonsistenan dan tingkat pemahaman responden ini disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 62,5 persen dari total responden aparat pemerintahan nagari ternyata konsisten antara tujuan pribadinya dengan tujuan lembaga pemerintahan nagari dan mereka memahami tujuan lembaga pemerintahan nagari tersebut. Sedangkan, mereka yang kurang konsisten dan kurang memahami tujuan lembaga pemerintahan nagari terdapat sebanyak 14,4 persen dari total responden. Sementara itu, bila dirunut sebaran frekuensi berdasarkan kabupaten, tampak bahwa jumlah responden ya ng menyatakan kurang konsisten dan kurang paham terhadap tujuan lembaga pemerintahan nagari relatif lebih banyak terdapat di Kabupaten Pasaman dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Agam
176
Tabel 39 Tingkat kekonsistenan dan pemahaman responden terhadap tujuan lembaga pemerintahan nagari
Tujuan (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat konsistenan)
0 0,0
0 0,0
2 14,3
0 0,0
1 6,3
2 11,1
0 0,0
2 6,5
3 8,8
5 4,8
3,6 – 4,5 (konsisten/paham)
14 66,7
11 61,1
9 64,3
9 52,9
12 75,0
10 55,6
25 64,1
18 58,0
22 64,7
65 62,5
2,6 – 3,5 (cukup konsisten/ paham)
2 9,5
3 16,7
2 14,3
6 35,3
0 0,0
5 27,8
5 12,8
8 25,8
5 14,7
18 17,3
1,6-2,5 (kurang konsisten)
5 23,8
4 22,2
1 7,1
2 11,8
2 12,4
1 5,5
9 23,1
3 9,7
3 8,8
15 14,4
= 1,5 (tidak konsisten )
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 6,3
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 3,0
1 1,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan demikian, dari sisi tingkat kekonsistenan dan pemahaman terhadap tujuan lembaga pemerintahan, aparat pemerintahan nagari yang terdapat di daerah inti dan di daerah rantau pesisir relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pedalaman. Struktur Struktur lembaga atau organisasi adalah cara-cara lembaga tersebut mengatur
dirinya
dalam
upaya
mencapai
tujuannya.
Struktur
lembaga
pemerintahan nagari dalam penelitian ini dapat diketahui dengan mengukur tingkat kesesuaian antara jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang ada, tingkat kejalasan dan kesesuaian struktur peranan/tugas, dan tingkat hubungan antara bawahan dan atasan (jarak psikologis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum struktur lembaga pemerintahan nagari dapat dikatakan relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,76. Distribusi frekuensi struktur lembaga pemerintahan nagari ini dapat dilihat pada Tabel 40.
177
Tabel 40 Struktur (skala 1-5)
Struktur lembaga pemerintahan nagari Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat sesuai/sangat baik)
1 4,8
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
2 11,2
1 2,6
0 0,0
2 5,9
3 2,9
3,6 – 4,5 (sesuai/baik)
15 71,4
14 77,8
12 85,7
11 64,7
12 75,0
8 44,4
29 74,4
23 74,2
20 58,9
72 69,2
2,6 – 3,5 (cukup)
5 23,8
4 22,2
2 14,3
6 35,3
4 25,0
8 44,4
9 23,0
8 25,8
12 35,2
29 27,9
1,6-2,5 (kurang sesuai )
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
= 1,5 (sangat kurang)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 40 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 69,2 persen dari total responden menyatakan bahwa struktur lembaga pemerintahan nagari tergolong baik atau sesuai. Bila dilihat dari sebaran frekuensi perkabupaten, struktur lembaga pemerintahan nagari di Kabupaten Pasaman dan di Kabupaten Agam relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan kata lain, di Kabupaten Pasaman dan di Kabupaten Agam, responden yang menyatakan struktur lembaga pemerintahan nagari termasuk dalam kategori sesuai relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan. Kualitas struktur lembaga di atas relatif sama dengan komponen atau subbagian dari struk tur tersebut. Kesesuaian jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang ada sebagai salah satu komponen dari struktur lembaga dapat dikatakan relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,64. Sebaran frekuensi tingkat kesesuaian jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan ini dapat dilihat pada Tabel 41.
178
Tabel 41 Kesesuaian jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang ada.
Tingkat kesesuaian (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat sesuai)
6 28,6
3 16,6
4 28,6
0 0,0
0 0,0
3 16,7
9 23,0
4 12,9
3 8,8
16 15,4
3,6 – 4,5 (sesuai)
7 33,3
5 27,8
5 35,7
10 58,8
9 56,2
6 33,3
12 30,8
15 48,4
15 44,1
42 40,4
2,6 – 3,5 (cukup sesuai)
4 19,0
5 27,8
5 35,7
4 23,6
6 37,5
4 22,2
9 23,1
9 29,0
10 29,4
28 26,9
1,6-2,5 (kurang sesuai )
3 14,3
5 27,8
0 0,0
3 17,6
0 0,0
4 22,2
8 20,5
3 9,7
4 11,8
15 14,4
= 1,5 (tidak sesuai)
1 4,8
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 6,3
1 5,6
1 2,6
0 0,0
2 5,9
3 2,9
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 41 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 40,4 persen dari total responden menilai bahwa perbandingan jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang tersedia adalah baik atau sesuai. Responden yang menilai sangat sesuai perbandingan jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang ada lebih banyak terdapat di Kabupaten Pasaman ketimbang di dua kabupaten lainnya. Sementara, untuk tingkat nagari, responden yang me nilai sangat sesuai perbandingan jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang ada tersebut lebih banyak terdapat di Nagari Lansek Kadok dan Nagari Sungai Batang. Tingkat kejelasan dan kesesuaian struktur peranan dan tugas juga dapat dikatakan relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,82. Namun dibandingkan dengan kesesuaian jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang ada, distribusi frekuensi tingkat kejelasan dan kesesuaian struktur tersebut relatif lebih baik. Sebagian besar atau sebanyak 64,5 persen dari total responden menilai bahwa struktur peranan dan tugas adalah jelas atau sesuai. Untuk tingkat kabupaten, jumlah responden yang menilai jelas atau sesuai ini lebih banyak terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan daripada di Kabupaten Agam dan
179
Kabupaten Pasaman. Distribusi frekuensi tingkat kejelasan dan kesesuaian struktur peranan/tugas ini dapat dilihat Tabel 42. Tabel 42
Tingkat kejelasan/kesesuaian (skala 1-5)
Tingkat kejelasan dan kesesuaian struktur peranan/tugas
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat jelas)
1 4,8
1 5,6
3 21,4
1 5,9
1 6,3
1 5,6
2 5,1
4 12,9
2 5,9
8 7,7
3,6 – 4,5 (jelas)
14 66,6
12 66,6
10 71,4
7 41,2
11 68,7
13 72,2
26 66,7
17 54,8
24 70,6
67 64,5
2,6 – 3,5 (cukup jelas)
5 23,8
5 27,8
1 7,2
9 52,9
4 25,6
4 22,2
10 25,6
10 32,3
8 23,5
28 26,9
1,6-2,5 (kurang jelas)
1 4,8
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 2,6
0 0,0
0 0,0
1 0,9
= 1,5 (tidak jelas)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Jarak psikologis sebagai salah satu sub-komponen dari struktur lembaga pemerintahan nagari adalah relatif baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,77. Sebaran frekuensi jarak psikologis ini disajikan pada Tabel 43. Tabel 43 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 52,9 persen dari total responden menilai bahwa jarak psikologis atau hubungan antara bawahan dan atasan di lembaga pemerintahan nagari tempat mereka bekerja termasuk mudah. Responden yang menilai mudahnya hubungan antara bawahan dan atasan ini lebih banyak terdapat di Kabupaten Pasaman ketimbang yang terdapat di Kabupaten Agam dan Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan demikian, di daerah rantau pedalaman, responden yang menilai hubungan antara bawahan dan atasan lebih mudah relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat di daerah inti dan di daerah rantau pesisir. Sementara, untuk nagari, mereka yang menilai hubungan atasan-bawahan mudah tersebut lebih banyak terdapat di Nagari Lansek Kadok.
180
Tabel 43
Tingkat hubungan (skala 1-5)
Tingkat kemudahan hubungan antara bawahan dan atasan (jarak psikologis)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangatmudah)
1 4,8
2 11,1
2 14,3
0 0,0
1 6,3
1 5,6
3 7,7
2 6,4
2 5,9
7 6,7
3,6 – 4,5 (mudah)
15 71,4
8 44,4
7 50,0
8 47,1
10 62,4
7 38,8
23 58,9
15 48,4
17 50,0
55 52,9
2,6 – 3,5 (cukup mudah)
5 23,8
7 38,9
3 21,4
7 41,2
4 25,0
9 50,0
12 30,8
10 32,3
13 38,2
35 33,7
1,6-2,5 (sulit )
0 0,0
1 5,6
2 14,3
2 11,7
1 6,3
1 5,6
1 2,6
4 12,9
2 5,9
7 6,7
= 1,5 (sangat sulit)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Proses Proses organisasi atau lembaga adalah proses-proses yang berfungsi di dalam organisasi yang bersangkutan, yang diperlukan bagi kelangsungan hidup organisasi tersebut. Proses organisasi pemerintahan nagari dapat diketahui dengan mengukur; tingkat pemahaman responden dalam hubungan antar peranan, tingkat kelancaran komunik asi dalam lembaga pemerintahan nagari, pengawasan dalam lembaga, tingkat koordinasi, dan kualitas sistem pembinaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum proses-proses yang berfungsi dalam organisasi pemerintahan nagari relatif cukup, dengan angka ratarata diperoleh sebesar 3,30. Sebagian besar atau sebanyak 69,2 persen dari total responden menyatakan bahwa proses-proses yang bekerja dalam organisasi pemerintahan nagari termasuk dalam kategori cukup dan sebanyak 25,0 persen menyatakan baik. Sebaran frekuensi proses-proses organisasi berdasarkan nagari dan kabupaten tersebut dapat dilihat pada Tabel 44.
181
Tabel 44 Proses organisasi pemerintahan nagari Proses organisasi (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat baik)
0 0,0
1 5,6
0 0,0
1 5,9
0 0,0
1 5,6
1 2,6
1 3,2
1 3,0
3 2,9
3,6 – 4,5 (baik)
3 14,3
2 11,1
8 57,1
5 29,4
5 31,3
3 16,7
5 12,8
13 42,0
8 23.5
26 25,0
2,6 – 3,5 (cukup)
16 76,2
15 83,3
6 42,9
10 58,8
11 68,7
14 77,7
31 79,5
16 51,6
25 73,5
72 69,2
1,6-2,5 (kurang )
2 9,5
0 0,0
0 0,0
1 5,9
0 0,0
0 0,0
2 5,1
1 3,2
0 0,0
3 2,9
= 1,5 (sangat kurang)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 44 di atas menunjukkan bahwa dilihat dari sebaran frekuensi perkabupaten, proses-proses yang berfungsi dalam lembaga pemerintahan nagari yang terdapat di Kabupaten Agam tampak relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Di Kabupaten Agam ini, responden yang menilai proses orangisasi pemerintahan nagari tergolong baik relatif lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pasaman dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Sementara itu, bila dilihat frekuensi per-nagari, aparat pemerintahan nagari Sungai Batang relatif lebih banyak yang menilai proses orangisasi pemerintahan nagari tergolong baik dibandingkan dengan yang terdapat di lima nagari lainnya. Bila kualitas proses organisasi pemerintahan nagari tersebut di atas tergolong cukup, tingkat pemahaman responden dalam hub ungan antar peranan sebagai sub-bagian dari proses organisasi tergolong baik, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,66. Sebaran frekuensi tingkat pemahaman responden dalam hubungan antar peranan tersebut dapat dilihat pada Tabel 45.
182
Tabel 45 Tingkat pemahaman responden dalam hubungan antar peranan
Tingkat pemahaman (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat baik)
0 0,0
2 11,1
1 7,1
3 17,6
2 12,5
2 11,2
2 5,1
4 12,9
4 11,8
10 9,6
3,6 – 4,5 (baik)
9 42,9
6 33,3
8 57,1
6 35,3
11 68,8
8 44,4
15 38,5
14 45,2
19 55,9
48 46,2
2,6 – 3,5 (cukup)
12 57,1
9 50,0
5 35,8
8 47,1
3 18,7
8 44,4
21 53,8
13 41,9
11 32,3
45 43,3
1,6-2,5 (kurang)
0 0,0
1 5,6
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 2,6
0 0,0
0 0,0
1 0,9
= 1,5 (kurang sekali)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 45 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 46,2 persen dari total responden menilai bahwa tingkat pemahaman mereka dalam hubungan antar peranan tergolong baik. Mereka ini dapat memahami dengan baik akan peranan sendiri, peranan orang lain, dan hubungan timbal balik antar peranan sendiri dan peranan orang lain dalam lembaga pemerintahan nagari. Bila dilihat pada tingkat kabupaten, pemahaman responden dalam hubungan antar peranan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan tampak relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Di Kabupaten Pesisir Selatan ini, jumlah responden yang menyatakan bahwa mereka dapat memahami dengan baik terhadap hubungan antar peranan dalam organisasi pemerintahan nagari terdapat sebanyak 55,9 persen, sedangkan di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Agam masing- masingnya hanya terdapat sebanyak 38,5 dan 45,2 persen. Berbeda dengan tingkat pemahaman responden dalam huibungan antar peranan tersebut di atas, tingkat kelancaran proses komunikasi dalam lembaga pemerintahan nagari dapat dikatakan tergolong cukup, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,15.
183
Sebaran frekuensi tingkat kelancaran proses komunikasi dalam lembaga pemerintahan nagari tersebut dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46 Tingkat kelancaran komunikasi dalam lembaga pemerintahan nagari
Tingkat kelancaran (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat lancar)
0 0,0
0 0,0
1 7,1
1 5,9
0 0,0
0 0,0
0 0,0
2 6,5
0 0,0
2 1,9
3,6 – 4,5 (lancar)
6 28,6
4 22,2
6 42,9
2 11,8
6 37,5
3 16,7
10 25,7
8 25,8
9 26,5
27 25,9
2,6 – 3,5 (cukup lancar)
10 47,6
12 66,7
7 50,0
7 41,2
10 62,5
12 66,6
22 56,4
14 45,2
22 64,7
58 55,8
1,6-2,5 (kurang lancar)
5 23,8
2 11,1
0 0,0
6 35,2
0 0,0
3 16,7
7 17,9
6 19,3
3 8,8
16 15,5
= 1,5 (tidak lancar)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 5,9
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 3,2
0 0,0
1 0,9
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 46 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 55,8 persen dari total responden menyatakan bahwa komunikasi dalam lembaga pemerintahan nagari termasuk cukup lancar. Dilihat dari perolehan frekuensi per-kabupaten, proses komunikasi dalam lembaga pemerintahan nagari yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnya. Di Kabupaten Pesisir Selatan ini, responden yang menilai bahwa proses komunikasi dalam lembaga pemerintahan nagari dalam kategori cukup lancar relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pasaman. Sama halnya dengan kualitas proses komunikasi di atas, tingkat pengendalian dan pengawasan di lembaga pemerintahan nagari dapat dikatakan tergolong cukup, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,17. Sebagian besar atau sebanyak 47,2 persen dari total responden menilai bahwa tingkat pengendalian dan pengawasan dalam lembaga pemerintahan nagari termasuk
184
dalam kategori cukup dan sebanyak 31,7 persen menilai tergolong baik. Distribusi frekuensi tingkat pengendalian dan pengawasan ini dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47 Tingkat kebaikan penendalian/pengawasan dalam lembaga pemerintahan nagari
Tingkat pengendalian (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat baik)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
1 5,9
0 0,0
2 11,1
0 0,0
1 3,2
2 5,9
3 2,9
3,6 – 4,5 (baik)
4 19,0
4 22,2
5 35,7
8 47,1
5 31,3
7 38,9
8 20,5
13 41,9
12 35,3
33 31,7
2,6 – 3,5 (cukup )
11 52,4
10 55,6
6 42,9
6 35,2
8 50,0
8 44,4
21 53,8
12 38,7
16 47,0
49 47,2
1,6-2,5 (kurang )
5 23,8
3 16,7
3 21,4
2 11,8
3 18,7
1 5,6
8 20,5
5 16,2
4 11,8
17 16,3
= 1,5 (sangat kurang)
1 4,8
1 5,5
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
2 5,2
0 0,0
0 0,0
2 1,9
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 47 di atas menunjukkan bahwa dilihat per-kabupaten, tingkat pengendalian dan pengawasan dalam lembaga pemerintahan nagari yang terdapat di Kabupaten Pasaman tampak relatif lebih rendah mutunya dibandingkan dengan yang terdapat di dua kabupaten lainnnya. Di Kabupaten Pasaman ini, responden yang menilai tingkat pengawasan dalam lembaga pemerintahan nagari yang termasuk dalam kategori baik relatif lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pesisir Selatan. Seperti halnya dengan tingkat pengendalian dan pengawasan di atas, tingkat koordinasi dalam lembaga pemerintahan nagari dapat dikatakan cukup, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,41. Sebagian besar atau sebanyak 56,7 persen dari total responden menyatakan bahwa tingkat koordinasi dalam lembaga pemerintahan nagari termasuk dalam kategori cukup dan sebanyak 31,7 persen menyatakan baik.
185
Sebaran frekuensi tingkat koordinasi dalam lembaga pemerintahan nagari tersebut berdasarkan nagari dan kabupaten dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48 Tingkat koordinasi dalam lembaga pemerintahan nagari
Tingkat koordinasi (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat baik)
0 0,0
1 5,6
1 7,2
1 5,9
1 6,3
2 11,1
1 2,6
2 6,5
3 8,8
6 5,8
3,6 – 4,5 (baik)
2 9,5
4 22,2
5 35,7
3 17,6
7 43,7
6 33,3
6 15,4
8 25,8
13 38,3
27 25,9
2,6 – 3,5 (cukup )
16 76,2
13 72,2
6 42,8
7 41,2
8 50,0
9 50,0
29 74,3
13 41,9
17 50,0
59 56,7
1,6-2,5 (kurang )
3 14,3
0 0,0
2 14,3
6 35,3
0 0,0
1 5,6
3 7,7
8 25,8
1 2,9
12 11,6
= 1,5 (sangat kurang)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 48 menunjukkan bahwa tingkat koordinasi dalam lembaga pemerintahan nagari yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Agam dan di Kabupaten Pasaman. Di Kabupaten Pesisir Selatan ini, responden yang menilai tingkat koordinasi dalam lembaga pemerintahan nagari dalam kategori baik relatif lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pasaman dan di Kabupaten Agam. Dengan demikian, tingkat koordinasi dalam lembaga pemerintahan nagari yang terdapat di daerah rantau pesisir relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pedalaman dan di daerah inti. Pembinaan atau supervisi dalam lembaga pemerintahan nagari sebagai satu bagian dari proses dalam organisasi dapat dikatakan cukup, dengan angka rata-rata diperoleh sebesar 3,30. Gambaran tentang sebaran frekuensi kualitas pembinaan/supervisi dalam lembaga pemerintahan nagari ini disajikan pada Tabel 49.
186
Tabel 49 Pembinaan/supervisi dalam lembaga pemerintahan nagari
Pembinaan (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat baik)
2 9,5
1 5,6
0 0,0
2 11,8
1 6,3
1 5,6
3 7,7
2 6,5
2 5,9
7 6,7
3,6 – 4,5 (baik)
5 23,8
1 5,6
8 57,1
6 35,3
4 25,0
3 16,7
6 15,3
14 45,2
7 20,6
27 26,0
2,6 – 3,5 (cukup)
3 14,3
9 50,0
4 28,6
3 17,6
8 50,0
6 33,3
12 30,8
7 22,5
14 41,2
33 31,7
1,6-2,5 (kurang )
11 52,4
7 38,8
2 14,3
6 35,3
3 18,7
8 44,4
18 46,2
8 25,8
11 32,3
37 35,6
= 1,5 (sangat kurang)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Tabel 49 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 35,6 persen dari responden me nilai bahwa kualitas pembinaan dan supervisi dalam lembaga pemerintahan nagari termasuk kurang dan sebanyak 31,7 persen termasuk cukup. Di Kabupaten Agam, responden yang menilai bahwa pembinaan dalam lembaga pemerintahan nagari termasuk dalam kategori baik relatif lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan dan di Kabupaten Pasaman. Dengan demikian, kualitas pembinaan dan supervisi yang terdapat di daerah inti relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat di dua daerah rantau pedalaman dan di daerah rantau pesisir. Sementara, untuk tingkat nagari, responden yang menyatakan bahwa pembinaan dalam lembaga pemerintahan nagari termasuk dalam kategori baik lebih banyak terdapat di Nagari Sungai Batang dibandingkan dengan yang terdapat di lima nagari lainnya. Teknologi/Sarana Teknologi/sarana adalah cara-cara/alat yang digunakan oleh lembaga pemerintahan nagari dalam upayanya mencapai tujuan. Teknologi/sarana dalam
187
penelitian ini dilihat dari; tingkat kelengkapan, kekomplekan, dan tingkat kemampuan aparat pemerintahan nagari dalam menggunakan teknologi/sarana yang ada di lembaga pemerintahan nagari yang bersangkutan. Teknologi/sarana yang terdapat pada lembaga pemerintahan nagari umumnya dapat dikatakan masih kurang. Angka rata-rata untuk teknologi/sarana ini diperoleh sebesar 2,5. Sebaran frekuensi tentang teknologi/sarana ini berdasarkan nagari dan kabupaten disajikan pada Tabel 50. Tabel 50 Teknologi/sarana lembaga pemerintahan nagari Teknologi/sarana (skala 1-5)
Nagari
Kabupaten
NLK F %
NGH F %
NSB F %
NKT F %
NSL F %
NPG F %
KP F %
KA F %
KPS F %
Total F %
> 4,5 (sangat lengkap/mampu)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
3,6 – 4,5 (lengkap/mampu)
1 4,8
0 0,0
2 14,3
1 5,9
0 0,0
1 5,6
1 2,6
3 9,6
1 3,0
5 4,8
2,6 – 3,5 (cukup)
5 23,8
11 61,1
9 64,3
5 29,4
10 62,5
5 27,8
16 41,0
14 45,2
15 44,1
45 43,3
1,6-2,5 (kurang )
15 71,4
7 38,9
3 21,4
11 64,7
6 37,5
12 66,6
22 56,4
14 45,2
18 52,9
54 51,9
= 1,5 (sangat kurang)
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
0 0,0
Total
21 100
18 100
14 100
17 100
16 100
18 100
39 100
31 100
34 100
104 100
Dari Tabel 50 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar atau sebanyak 51,9 persen dari total responden menyatakan bahwa teknologi/sarana yang dipunyai pemerintahan nagari termasuk dalam kategori kurang. Kurangnya teknologi dan sarana ini lebih banyak dirasakan oleh aparatur pemerintahan nagari di Kabupaten Pasaman atau di daerah rantau pedalaman. Di daerah rantau pedalaman ini, mereka yang menilai bahwa teknologi/saranan termasuk dalam kategori kurang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang terdapat di daerah rantau pesisir dan di daerah inti. Sementara, untuk tingkat nagari, kekurang-lengkapan teknologi dan sarana ini lebih banyak dirasakan oleh aparat
188
pemerintahan Nagari Lansek Kadok dibandingkan dengan aparat pemerintahan nagari yang terdapat di lima nagari lainnya. Di samping itu, berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan sejumlah aparat pemerintahan nagari di lapangan, ketersediaan teknologi/ sarana di setiap lembaga pemerintahan nagari memang masih belum memadai, terutama untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan tugas-tugas kepemerintahan. Misalnya, alat transportasi (seperti kendaraan roda dua) yang dimiliki lembaga pemerintahan nagari masih terbatas, bangunan fisik serta sarana kantor untuk sejumlah nagari belum memadai, dan dana alokasi umum nagari (DAUN) sebagai sumber utama keuangan nagari yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan pengadaan teknologi/sarana pemerintahan nagari juga jumlahnya masih sangat terbatas. Oleh karena itu, persoalan peningkatan dan pengadaan teknologi dan sarana lembaga pemerintahan nagari ini untuk ke depannya perlu mendapatkan perhatian yang lebih proporsional, terutama oleh pemerintahan supra-nagari, baik oleh pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi.
189
Analisis Hubungan dan Perbedaan di antara Peubah Pada bagian ini bahasan difokuskan untuk melihat hubungan dan perbedaan di antara peubah, dengan menggunakan teknik perhitungan statistik nonparametrik. Urutan pembahasan disesuaikan denga n hipotesis penelitian seperti telah dirumuskan di awal tulisan ini. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti uraian berikut. Hubungan antara Karakteristik Responden Masyarakat dengan Mutu Layanan Pemerintahan Nagari Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik masyarakat sebagai peubah bebas (independent variable) dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari sebagai peubah tidak bebas (dependent variable) digunakan teknik korelasi Spearman (rho). Hasil uji statistik korelasi Spearman ini disajikan pada Tabel 51. Tabel 51 Korelasi antara karakteristik responden masyarakat dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari Mutu dan sub-mutu layanan pemerintahan nagari Karakteristik responden masyarakat
Y rho
Y1 rho
Y2 rho
Y3 rho
Y4 rho
Y5 rho
Y6 rho
Kebutuhan (X1)
0.030
0.116
0.429**
-0.055
-0.232*
-0.078
Keb.ekonomi (X1.1)
0.103
0.118
0..346*
0.005
-0.151
-0.024
0.066
Keb.rasa aman (X1.2)
0.033
0.132
0.405*
0.087
-0.112
-0.009
-0.042
Keb.sosial (X1.3)
0.016
0..236**
0.369*
-0.187
-0.371**
-0.096
-0.048
Keb. meny.aspirasi (X1.4)
-0.137
-0.057
0.486**
-0.138
-0.159
-0.076
-0.155
Sikap (X2)
0.076
0.170*
0.085
-0.019
0.032
0.298*
0.246**
Pendidikan (X4)
-0.119
0.010
-0.006
-0.211*
-0.309**
-0.189
-0.360**
Kekosmopolitanan (X5)
-0.101
-0.040
0.116
-0.076
-0.256*
-0.103
-0.127
-0.027
Keterangan: ** = sangat nyata = a 0.01 * = nyata = a 0.05 Y = total pelayanan; Y1 = pel. umum; Y2 = pel. konflik; Y3 = pel. ekonomi; Y4 = pel. ketentraman & ketertiban; Y5 = pel. penyaluran aspirasi; Y6 = pel. adat-istiadat
Tabel 51 di atas menunjukkan bahwa dari 8 (delapan) peubah bebas, tidak satupun di antaranya yang berhubungan nyata dengan total mutu layanan pemerintahan nagari (Y), baik untuk alpha 0.05 maupun 0.01. Akan tetapi, dilihat dari sub-peubah layanan, masing- masing peubah bebas ini terbukti berhubungan nyata dengan sejumlah sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Untuk alpha 0.01
190
misalnya, kebutuhan secara keseluruhan (X1) berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasinya sebesar 0.429, kebutuhan sosial (X1.3) berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan umum (Y1) dan dengan mutu pelayanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4) dengan angka indeks korelasinya masing- masing sebesar 0.236 dan -0.371, kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi (X1.4) berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasinya sebesar 0.486, sikap terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari (X2) berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan adat-istiadat (Y6) dengan angka indeks korelasinya sebesar 0.246, dan tingkat pendidikan formal (X4) berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4) serta dengan mutu layanan pelestarian adat- istiadat (Y6) dengan angka indeks korelasinya masing- masing sebesar -0.309 dan -0.360. Sementara itu, untuk alpha 0.05, kebutuhan secara keseluruhan (X1) berhubungan nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4) dengan angka indeks korelasinya sebesar -0.232, kebutuhan ekonomi (X1.1) berhubungan nyata dengan mutu pelayanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasinya sebesar 0.346, kebutuhan untuk memperoleh rasa aman (X1.2) berhubungan nyata dengan mutu pelayanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasinya sebesar 0.405, kebutuhan sosial (X1.3) berhubungan nyata dengan mutu pelayanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasinya sebesar 0.369, sikap terhadap ketentuanketentuan pokok tentang pemerintahan nagari (X2) berhubungan nyata dengan mutu pelayanan umum (Y1) dan dengan mutu penyaluran aspirasi (Y5) dengan angka indeks korelasinya masing- masing sebesar 0.170 dan 0.298, tingkat pendidikan formal (X4) berhubungan nyata dengan mutu pelayanan pembinaan ekonomi (Y3) dengan angka indeks korelasinya sebesar -0.211, dan tingkat kekosmopolitanan (X5) berhubungan nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4) dengan angka indeks korelasinya sebesar -0.256. Dengan demikian, untuk meningkatkan mutu laya nan pemerintahan nagari, baik mutu pelayanan umum, pelayanan konflik, pelayanan pembinaan ekonomi, pelayanan pembinaan ketentraman dan ketertiban, pelayanan penyaluran
191
aspirasi, maupun mutu layanan pelestarian adat- istiadat, karakteristik responden masyarakat yang dilayani perlu diperhatikan dan dipertimbangkan oleh aparatur pemerintahan nagari, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan sosial (X1.3), sikap terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari (X2), dan tingkat pendidikan formal (X4), karena ketiga bentuk karakteristik masyarakat ini ternyata relatif lebih banyak berhubungan signifikan dengan sub- mutu layanan pemerintahan nagari ketimbang karakterisk yang lainnya. Berbeda dengan 8 (delapan) peubah bebas di atas, orientasi nilai budaya responden masyarakat sebagai salah satu peubah bebas yang juga diidentifikasi dalam penelitian ternyata tidak satupun yang berhubungan nyata dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari, baik untuk alpha 0.05 maupun 0.01. Hasil uji statistik dengan menggunakan teknik Kruskal Wallis untuk mengetahui hubungan orientasi nilai budaya dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari dimaksud disajikan pada Tabel 52. Tabel 52 Hubungan antara orientasi nilai budaya responden masyarakat dengan mutu dan sub-mutu layanan pemerintahan nagari Mutu dan sub-mutu layanan pemerintahan nagari Orientasi Nilai Budaya Y Nilai p
Y1 Nilai p
Y2 Nilai p
Y3 Nilai p
Y4 Nilai p
Y5 Nilai p
Y6 Nilai p
Hakekat hidup (X3.1)
0.554
0.391
0.215
0.141
0.993
0.483
0.567
Hakekat karya (X3.2)
0.762
0.354
0.605
0.218
0.695
0.252
0.684
Hakekat waktu (X3.3)
0.079
0.081
0.358
0.400
0.659
0.527
0.999
Hak. hub.manusia-alam (X3.4)
0.623
0.243
0.916
0.305
0.180
0.343
0.626
Hak.hub.man.dg.sesama (X3.5)
0.376
0.856
0.860
0.314
0.840
0.840
0.797
Keterangan: ** = sangat nyata = a 0.01 * = nyata = a 0.05 Y = total pelayanan; Y1 = pel. umum; Y2 = pel. konflik; Y3 = pel. ekonomi; Y4 = pel. ketentraman & ketertiban; Y5 = pel. penyaluran aspirasi; Y6 = pel. adat-istiadat
Tabel 52 di atas mengandung arti bahwa cara responden masyarakat mengkonsepsikan persoalan-persoalan mengenai hakekat hidup, mengenai hakekat karya, mengenai hakekat waktu, mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan mengenai hakekat hubungan manusia sesamanya ternyata tidak dan/atau kurang berhubungan nyata dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari dipersepsikannya. Dengan kata lain, bagaimanapun
192
baiknya orientasi nilai budaya yang dimiliki responden masyarakat seperti disajikan pada Tabel 21, 22, 23, 24, dan 25, namun orientasi nilai budaya tersebut ternyata tidak dan/atau kurang “berpengaruh” terhadap mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari dipersepsikannya. Dengan demikian, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, perhatian terhadap orientasi nilai budaya yang dimiliki masyarakat dapat saja diabaikan. Perbedaan Mutu Layanan Pemerintahan Nagari berdasarkan perbedaan Nagari dan Kabupaten Untuk mengetahui perbedaan mutu layanan pemerintahan nagari berdasarkan perbedaan nagari maup un kabupaten dipergunakan teknik statistik Kruskal Wallis. Hasil uji statistik Kruskal Wallis mengenai perbedaan mutu layanan dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari berdasarkan perbedaan nagari dirangkum pada Tabel 53. Tabel 53 Pebedaan mutu layanan dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari berdasarkan perbedaan nagari Mutu dan sub-mutu layanan pemerintahan nagari
N
Nilai p
Total pelayanan (Y)
180
0.001**
Pelayanan umum (Y1)
149
0.000**
36
0.058
104
0.306
Pelayanan pemeliharaan ketentraman/ketertiban (Y4)
85
0.233
Pelayanan penyaluran aspirasi (Y5)
71
0.542
109
0.910
Pelayanan penyelesaian perselisihan/konflik (Y2) Pelayanan pembinaan ekonomi (Y3)
Pelayanan pelestarian adat-istiadat (Y6) Keterangan: ** = sangat nyata = a 0.01
* = nyata = a 0.05
Tabel 53 di atas menunjukkan bahwa dari 7 (tujuh) mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari, terdapat 2 (dua) yang berbeda secara nyata berdasarkan perbedaan nagari. Mutu total layanan pemerintahan nagari (Y) berbeda secara sangat nyata berdasarkan perbedaan nagari. Ini berarti bahwa tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan umum, layanan penyelesaian
konflik,
layanan pembinaan ekonomi masyarakat,
layanan
193
pemeliharaan ketentraman dan ketertiban, layanan menyalurkan aspirasi, dan terhadap layanan pelestarian adat- istiadat berbeda secara sangat nyata berdasarkan perbedaan nagari. Sebagai ilustrasi, rata-rata mutu total layanan pemerintahan nagari (Y) tersebut berdasarkan perbedaan nagari dapat dilihat Gambar 5.
Mutu Kinerja
2.5 2 1.5 1 0.5 0 SB
KT
SL
PG
LK
GH
Nagari
Gambar 5 Rata-rata tingkat kepuasan responden terhadap layanan Pemerintahan Nagari berdasarkan perbedaan nagari Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata mutu layanan atau rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan pemerintahan nagari secara total berbeda antara nagari yang satu dengan nagari yang lainnya. Di Kampung Tangah (KT) misalnya, rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan pemerintahan nagari tampak relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata tingkat kepuasan masyarakat yang terdapat di lima nagari yang lainnya. Tabel 53 di atas juga menunjukkan bahwa mutu pelayanan umum (Y1) berbeda sangat nyata berdasakan perbedaan nagari, dengan nilai p diperoleh sebesar 0.000. Rata-rata mutu pelayanan umum (Y1) ini berdasarkan perbedaan nagari dapat pula dilihat Gambar 6. Gambar 6 memperlihatkan bahwa rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan umum berbeda antara nagari yang satu dengan nagari yang lainnya. Di Kampung Tangah (KT) misalnya, rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan umum relatif lebih tinggi di bandingkan dengan rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat yang
194
Mutu Pelayanan
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 SB
KT
SL
PG
LK
GH
Nagari
Gambar 6 Rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan umum berdasarkan perbedaan nagari terdapat dilima nagari lainnya. Sebaliknya, rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan umum yang terdapat di nagari Sungai Batang (SB) ternyata relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat kepuasan responden yang terdapat dilima nagari lainnya. Sementara itu, hasil uji statistik Kruskal Wallis mengenai perbedaan mutu layanan dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari berdasarkan perbedaan kabupaten (daerah) disajikan pada Tabel 54. Tabel 54 Pebedaan mutu layanan dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari berdasarkan perbedaan kabupaten Mutu dan s ub-mutu layanan pemerintahan nagari
N
Nilai p
Total pelayanan (Y)
180
0.021*
Pelayanan umum (Y1)
149
0.000**
36
0.259
104
0.079
Pelayanan pemeliharaan ketentraman/ketertiban (Y4)
85
0.440
Pelayanan penyaluran aspirasi (Y5)
71
0.216
109
0.716
Pelayanan penyelesaian perselisihan/konflik (Y2) Pelayanan pembinaan ekonomi (Y3)
Pelayanan pelestarian adat-istiadat (Y6) Keterangan: ** = sangat nyata = a 0.01
* = nyata = a 0.05
Hampir sama dengan Tabel 53 di atas, Tabel 54 menunjukkan bahwa untuk alpha 0.05, dari 7 (tujuh) mutu dan sub- mutu pelayanan pemerintahan
195
nagari terdapat 2 (dua) yang berbeda nyata berdasarkan perbedaan kabupaten atau daerah. Mutu total layanan pemerintahan nagari (Y) berbeda nyata berdasarkan perbedaan kabupaten, dengan nilai p diperoleh sebesar 0.021. Perbedaan ini berarti bahwa tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan umum, layanan penyelesaian konflik, laya nan pembinaan ekonomi masyarakat, layanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban, layanan menyalurkan aspirasi, dan terhadap layanan pelestarian adat- istiadat yang diperolehnya dari aparat pemerintahan nagari berbeda secara nyata antara kabupaten yang satu dengan kabupaten yang lainnya. Dengan kata lain, perbedaan kabupaten atau daerah menyebabkan pula terdapat perbedaan mutu total layanan (Y) pemerintahan nagari. Sebagai ilustrasi, perbedaan mutu total layanan pemerintahan nagari (Y)
Mutu Kinerja
tersebut berdasarkan perbedaan kabupaten dapat dilihat Gambar 7. 1.95 1.9 1.85 1.8 1.75 1.7 1.65 1.6 Agam
Pesisir S
Pasaman
Kabupaten
Gambar 7 Rata-rata tingkat kepuasan responden terhadap layanan pemerintahan nagari berdasarkan perbedaan kabupaten Gambar 7 di atas memperlihatkan bahwa rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan pemerintahan nagari secara total yang terdapat di Kabupaten Agam relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata tingkat kepuasan responden yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan dan di Kabupaten Pasaman. Dengan kata lain, tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan pemerintahan nagari secara total yang terdapat di daerah inti relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat di daerah rantau pedalaman dan di daerah rantau pesisir.
196
Selain itu, Tabel 54 juga memperlihatkan bahwa mutu pelayanan umum (Y1) berbeda secara sangat nyata berdasarkan perbedaan kabupaten.
Sebagai
ilustrasi, rata-rata mutu pelayanan umum (Y1) berdasarkan perbedaan kabupaten
Pelayanan Umum
ini disajikan pada Gambar 8.
2.1 2.05 2 1.95 1.9 1.85 1.8 Agam
Pesisir S
Pasaman
Kabupaten
Gambar 8 Rata-rata tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan umum berdasarkan perbedaan kabupaten Gambar 8 memperlihatkan bahwa rata-rata tingkat kepuasan responden masyarakat terhadap layanan umum (Y1) pemerintahan nagari yang terdapat di Kabupaten Agam relatif lebih tinggi ketimbang rata-rata tingkat kepuasan responden yang terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan dan di Kabupaten Pasaman. Dengan demikian, mutu pelayanan umum (Y1) pemerintahan nagari yang terdapat di daerah inti tampak relatif lebih baik dibandingkan dengan mutu pelayanan umum yang terdapat di daerah rantau pedalaman dan di daerah rantau pesisir. Bila dirunut kembali Tabel 53 dan 54 di atas, ternyata sebagian besar submutu pelayanan pemerintahan nagari tersebut tidak berbeda secara signifikan, baik berdasarkan perbedaan nagari maupun berdasarkan perbedaan kabupaten atau daerah. Perbedaan terletak pada mutu pelayanan umum (Y1), sedangkan mutu layanan penyelesaian konflik (Y2), mutu layanan pembinaan ekonomi (Y3), mutu layanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban (Y4), mutu layanan penyaluran aspirasi (Y5), dan mutu layanan pelestarian adat istiadat (Y6) ternyata tidak berbeda secara signifikan. Oleh karena itu, untuk peningkatan mutu layanan pemerintahan nagari, perbedaan mutu layanan umum pada setiap nagari perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Di Kampung Tangah misalnya, mutu layanan
197
umum pemerintahan nagarinya relatif lebih baik dibandingkan dengan yang terdapat dilima nagari lainnya. Hubungan antara unsur-unsur Lembaga Pemerintahan Nagari dengan Mutu Layanan Untuk mengetahui hubungan antara unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari sebagai peubah bebas (independent variable) dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari sebagai peubah tidak bebas (dependent variable) digunakan teknik korelasi Spearman (rho). Rangkuman hasil uji statistik korelasi Spearman ini disajikan pada Tabel 55. Tabel 55 menunjukkan bahwa dari 24 peubah bebas, terdapat 10 peubah di antaranya berhubungan signifikan dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Untuk tingkat alpha 0.01, struktur organisasi (X8), yaitu cara oganisasi mengatur dirinya dalam usaha mencapai tujuan organisasi berhubungan sangat nyata dengan mutu total pelayanan (Y) dan dengan mutu layanan umum (Y1) dengan angka indeks korelasinya masing- masing sebesar 1.00 dan -0.943, proses orangisasi (X9) berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasinya sebesar -0.943, dan teknologi/sarana (X10) berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasi sebesar -0.943. Sedangkan untuk tingkat alpha 0.05, pengalaman aparat di pemerintahan sebelumnya (X6.4) berhubungan nyata dengan mutu pelayanan penyaluran aspirasi (Y5) dengan angka indeks korelasi sebesar 0.829, dedikasi (X6.11) berhubungan nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4) dengan angka indeks korelasi sebesar -0.829, sifat-sifat kepelayanan (X6.12) berhubungan nyata dengan mutu total layanan (Y) dengan angka indeks korelasi sebesar 0.829, jumlah anggota (X8.1) berhubungan nyata dengan mutu total layanan (Y) dengan angka indeks korelasi sebesar -0.886, struktur peranan dan tugas (X8.2) berhubungan nyata dengan mutu layanan umum (Y1) dengan angka indeks korelasi sebesar -0.829, hubungan antar peranan (X9.1) berhubungan nyata dengan mutu layanan umum (Y1) dengan angka indeks korelasi sebesar 0.886, dan komunikasi dalam lembaga
198
Tabel 55 Korelasi antara unsur- unsur lembaga pemerintahan nagari dengan mutu dan sub-mutu layanan Unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari •
Y rho
Mutu dan sub-mutu layanan pemerintahan nagari Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 rho rho rho rho rho
Y6 rho
Aparat pemerintahan nagari (X6)
1. Pendidikan (X6.1)
0.143
0.257
0.029
0.657
-0.771
0.143
-0.429
2. Umur (X6.2)
-0.029
0.086
-0.371
-0.543
0.543
0.200
0.257
3. Kekosmopolitanan (X6.3)
-0.771
-0.714
-0.429
0.086
-0.543
-0.371
-0.257
4. Pengalaman (X6.4)
0.200
0.086
-0.657
0.371
0.143
0.829*
0.429
5. Insentif (X6.5)
-0.086
0.143
0.429
-0.257
-0.600
-0.486
-0.314
6. Kemandirian (X6.6)
-0.543
-0.314
0.029
-0.029
-0.429
-0.657
-0.714
7. Keinovatifan (X6.7)
0.371
0.086
0.200
0.200
0.543
0.257
0.314
8. Persepsi terhadap tugas (X6.8)
-0.371
-0.543
-0.314
0.486
0.486
-0.143
-0.429
9. Motivasi (X6.9)
-0.257
-0.486
-0.371
0.600
0.314
0.086
-0.200
10. Sikap mental (X6.10)
0.200
0.086
0.771
-0.314
0.429
-0.486
-0.029
11. Dedikasi (X6.11)
0.257
0.143
0.429
0.086
-0.829*
0.086
0.486
12.Sifat kepelayanan (X6.12)
0.829*
0.657
0.200
0.314
0.314
0.714
0.429
•
Tujuan (X7)
-0.314
-0.371
-0.771
0.200
-0.200
0.429
0.314
•
Struktur organisasi (X8)
-1.000**
-0.943**
-0.486
-0.143
0.086
-0.657
-0.486
1. Jumlah anggota (X8.1)
-0.886*
-0.714
-0.429
-0.371
-0.086
-0.600
-0.371
2. Struktur peranan/tugas (X8.2)
-0.714
-0.829*
-0.600
0.143
0.543
-0.257
-0.314
3. Jarak psikologis (X8.3)
-0.714
-0.543
-0.314
0.143
-0.543
-0.486
-0.600
•
-0.257
-0.200
-0.943**
0.257
0.314
0.486
-0.086
1. Hub. antar peranan (X9.1)
0.771
0.886*
-0.029
0.257
-0.029
0.771
0.143
2. Komunikasi (X9.2)
-0.771
-0.600
-0.829*
0.086
0.200
-0.200
-0.600
3. Pengawasan (X9.3)
0.543
0.314
-0.029
0.029
0.429
0.657
0.714
4. Koordinasi (X9.4)
0.143
0.200
-0.771
0.657
0.029
0.771
-0.143
5. Pembinaan/supervisi (X9.5)
-0.086
0.029
-0.600
-0.257
-0.029
0.429
0.371
•
-0.600
-0.486
-0.943**
0.257
0.314
0.086
-0.486
Proses organisasi (X9)
Teknologi/sarana (X10)
Keterangan: ** = sangat nyata = a 0.01 * = nyata = a 0.05 Y = total pelayanan; Y1 = pel. umum; Y2 = pel. konflik; Y3 = pel. ekonomi; Y4 = pel. ketentraman. & ketertiban; Y5 = pel. penyaluran aspirasi; Y6 = pel. adat-istiadat
pemerintahan nagari (X9.2) berhubungan nyata dengan mutu layanan konflik (Y2) dengan angka indeks korelasinya sebesar -0.829. Secara umum, Tabel 55 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar peubah bebas atau unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari terbukti tidak dan/atau kurang nyata hubungannya dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Sementara sejumlah peubah bebas tersebut ternyata belum
199
memberikan “kontribusi” yang signifikan terhadap mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan na gari, dalam arti bahwa masih relatif banyak terdapat angka indeks korelasi antara unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari yang relatif baik kualitasnya dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari yang bertanda minus, yang memberikan petunjuk bahwa korelasi tersebut adalah korelasi negatif (korelasi berlawanan arah). Oleh karena itu, untuk peningkatkan mutu layanan pemerintahan nagari, unsur- unsur lembaga pemerintahan nagari tersebut perlu dibangun kembali atau direvitalisasi, baik melalui pendidikan dan pelatihan yang ditujukan untuk peningkatan mutu sumber daya manusia lembaga pemerintahan nagari, peningkatan teknologi/sarana pemerintahan, dan/atau bila perlu dilakukan peninjauan dan pengkajian kembali terhadap sistem yang berlaku secara menyeluruh.
200
3. Model dan Strategi Peningkatan Mutu Layanan Pemerintahan Nagari Sebelum menyusun model dan merumuskan strategi, uraian pada bagian ini akan diawali dengan mengemukakan temuan penelitian secara ringkas dalam bentuk gambaran tentang perkembangan pemerintahan nagari di Sumatera Barat dari dulu hingga sekarang. Temuan penelitian ini kemudian dipergunakan sebagai data dasar dalam penyusunan model dan formulasi strategi. Temuan Penelitian Pemerintahan Nagari Secara historis, nagari di Sumatera Barat sudah ada jauh sebelum bangsa Belanda atau bangsa Eropa lainnya datang ke Indonesia. Setiap nagari memiliki pemerintahan sendiri, yang sistem pemerintahannya didasarkan pada tradisi dan adat masing- masing nagari (adat salingka nagari). Pemerintahan nagari sebagai pemerintahan adat ini dipimpin oleh penghulu-penghulu suku dan pemimpinpemimpin kelompok materilineal lainnya yang ada di nagari. Rekrutmen pemimpin ini dilakukan sesuai dengan tradisi adat. Mereka diseleksi dan dipilih melalui musyawarah dan mufakat di kelompok atau di masing- masing unit sosial yang ada di nagari dan kepemimpinan mereka dijalankan secara kolektif, yang tergabung dalam sebuah lembaga yang disebut Kerapatan Nagari. Lembaga ini merupakan badan eksekutif, legislatif, dan juga sekaligus sebagai badan yudikatif nagari. Dari sejumlah literatur diperoleh informasi bahwa ketika pemerintahan nagari berstatus sebagai pemerintahan adat, kinerja pemerintahannya tergolong relatif baik dan kegiatan pemerintahannya berjalan sangat demokratis. Para pemimpin yang duduk di lembaga pemerintahan nagari (sebut saja aparat pemerintahannya) di saat itu tidak pernah menyalah-gunakan kekuasaannya atau yang lazim desebut KKN. Mereka juga disebutkan sangat berwibawa, dihormati, serta ditaati oleh penduduk nagari dan kegiatan mereka dikontrol langsung oleh anggota unit sosialnya masing- masing. Gambaran tentang kinerja dan penyelenggaraan pemerintahan nagari tersebut di atas dapat merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari
201
sistem pemerintahan yang dianut. Sistem pemerintahan nagari ketika itu didasarkan dan berakar pada tradisi adat yang didukung oleh masyarakatnya. Format pemerintahan nagari relatif sederhana sesuai dengan ketentuan adat, dan tidak memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Organisasi dan struktur pemerintahannya juga tidaklah begitu ketat dan komplek, yang lengkap dengan pembagian-pembagian tugas seperti terdapat pada birokrasi modern dewasa ini. Rekrutmen pemimpin dilakukan melalui seleksi di unit- unit sosial yang ada di nagari sesuai dengan tradisi dan ketentuan adat, sehingga setiap kelompok atau unit sosial yang ada di nagari memiliki perwakilannya di pemerintahan nagari. Dengan adanya seleksi, berarti pula bahwa mereka yang terpilih merupakan orang-orang yang terbaik di dalam unit sosialnya masingmasing, baik dari segi kepemimpinannya, pengalaman, pengetahuan dan wawasannya di bidang adat, motivasi, maupun dedikasinya di dalam unit sosialnya masing- masing. Dengan demikian, sistem pemerintahan yang dia nut menyatu dengan masyarakatnya dalam satu kesatuan sistem sosial yang diatur menurut adat. Sementara adat adalah merupakan semacam aturan hidup seharihari yang mengikat orang-perorang maupun masyarakat untuk tunduk dan mematuhi aturan itu. Di sisi lain, diakui pula bahwa ketika pemerintahan nagari masih berstatus sebagai pemerintahan adat, kondisi masyarakat nagari ketika itu tentunya masih tergolong sangat sederhana. Menurut Jatiman (1993), masyarakat sederhana adalah masyarakat dimana di dalam struktur dan sistem sosialnya belum terjadi diversifikasi sosial dalam bentuk pemisahan dan pembedaan fungsi- fungsi dalam kehidupan masyarakat. Karena belum adanya pemisahan dan pembedaan fungsifungsi ini maka dalam sistem sosial masyarakat tersebut belum terjadi pemisahan yang tegas antara berbagai pranata sosial seperti pranata keluarga, ekonomi, agama, hukum, dan pranata pemerintahan. Lebih lanjut, Jatiman mengemukakan bahwa dalam masyarakat yang masih sederhana, pemerintahan dan masyarakatnya merupakan satu kesatuan sistem sosial yang diatur berdasarkan ketentuanketentuan adat. Antara pimpinan pemerintahan dan pimpinan kemasyarakatan tidak terdapat pemisahannya. Demikian pula halnya di nagari, para pemimpin
202
yang tergabung dalam Kerapatan Nagari, mereka juga pemimpin dalam kelompok atau di unit sosialnya masing- masing. Setelah sistem pemerintahan adat diganti dengan sistem pemerintahan modern dengan mengikuti keinginan dan format pemerintahan pusat, baik di zaman kolonial maupun pasca kemerdekaan, penyelenggaraan dan kinerja pemerintahan nagari mengalami banyak perubahan. Sejumlah informan yang berhasil ditemui di lapangan, yang berpengalaman dan pernah menjabat di pemerintahan nagari di tahun 60-an, mengaku bahwa kebijakan pemerintahan supra nagari mengenai sistem pemerintahan nagari tidak begitu berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan nagari dan penyelenggaraan pemerintahan tetap berjalan seperti biasa. Namun, dari sejumlah hasil penelitian diperoleh informasi bahwa kebijakan pemerintahan supra nagari itu ternyata berpengaruh terhadap penyelenggaraan dan kinerja pemerintahan nagari. Bachtiar (1964) misalnya, dalam penelitiannya dengan mengangkat kasus Negeri Taram, mengatakan bahwa karena wali nagari bukan berasal dari pejabat adat sehingga sulit baginya melaksanakan perintah dan menjalankan proyek-proyek pembangunan. Hal ini berarti bahwa seorang wali nagari seharusnya juga berasal dari pejabat adat di nagari
yang
bersangkutan,
sehingga
memudahkan baginya
menjalankan
kepemimpinannya di nagari. Sementara, di dalam ketentuannya atau kebijakan pemerintahan supra nagari, mulai dari IGOB (1938) yang mengatur cara menyelenggarakan rumah tangga negeri- negeri di tanah seberang (di luar Jawa dan Madura) hingga SK Gubernur No.155/GSB-1974 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari, seorang wali nagari tidak harus berasal dari pejabat adat di nagari yang bersangkutan. Kemudian, Thalib (1974) dalam penelitiannya menyebutkan pula bahwa kurang lancarnya jalan pemerintahan nagari berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, umur, insentif, dan motivasi aparat pemerintahan nagari. Dari segi struktur, dikatakan oleh Thalib bahwa struktur organisasi pemerintahan nagari terlalu ideal—laju perubahan sosial politik dan pemerintahan tidak sejalan dengan lajunya perubahan sosial, sehingga sering terjadi benturan antara alat perlengkapan pemerintahan nagari (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sedangkan dari segi proses, dikatakan pula bahwa
203
kinerja pemerintahan nagari berkaitan dengan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintahan supra nagari. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang pemerintahan nagari yang berasal dari pemerintahan supra nagari, baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap penyelenggaraan dan kinerja pemerintahan nagari ketika itu. Pemerintahan Desa Setelah diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, di Sumatera Barat terjadi perubahan kedudukan pemerintahan terendah, yaitu dari nagari ke desa. Perubahan ini bukanlah sekedar pengga ntian nama dengan wilayah yang sama pula, akan tetapi yang dijadikan desa ketika itu adalah jorong atau kampung yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah nagari. Pilihan untuk menetapkan jorong atau kampung menjadi desa ini kelihatannya lebih diwarnai oleh pertimbangan ekonomi ketimbang pertimbangan sosial budaya masyarakat. Dengan perubahan ini, jumlah pemerintahan terendah di Sumatera Barat akhirnya menjadi membengkak---dari yang semula sebanyak 543 buah nagari kemudian berkembang menjadi 3.138 buah desa. Tidak seperti gambaran pemerintahan nagari di atas (pemerintahan nagari sebelum pemerintahan desa), berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat di lokasi penelitian serta temuan dari sejumlah studi tentang pemerintahan desa, diperole h kesan bahwa penyelenggaraan dan kinerja pemerintahan desa kelihatannya jauh dari harapan. Pemerintahan desa misalnya kurang mampu melaksanakan fungsi- fungsinya secara efektif sebagai pengganti dari pemerintahan nagari. Hal ini diduga disebabkan karena desa serta sistem pemerintahannya tidak berakar dari sitem sosial dan sistem budaya masyarakat pendukungnya seperti halnya pada pemerintahan nagari, sehingga desa kurang mendapat dukungan atau legitimasi dari masyarakat nagari sebagai masyarakat adat di Sumatera Barat. Menurut Mochtar Naim (Zakaria, 2000) misalnya, jorong tidak pernah berfungsi sebagai sub-unit yang berdiri sendiri, sementara nagari mempunyai perangkat-perangkat kelembagaan adat dan agama di samping juga memiliki hak milik berupa tanah ulayat dan hak-hak adat lainnya, seperti hak
204
bunga kayu, bunga tanah, dan lain sebagainya. Demikian pula Manan (1995), dalam tulisannya mengemukakan bahwa; karena dasar sosiologisnya tidak kuat maka otoritas pemerintahan desa tidak sekuat pemerintahan nagari ya ng lama, karena dasar ekonomisnya tidak kuat maka kehidupan dan efektivitas pemerintahan desa sangat tergantung pada bantuan dari otoritas supra desa, dan karena dasar politisnya tidak berakar ke bawah sehingga kemampuan pemerintahan desa untuk menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan menjadi terbatas. Oleh karena lemahnya dukungan masyarakat nagari sebagai masyarakat adat terhadap pemerintahan desa, akibatnya wibawa pemerintahan desa dimata rakyatnya menjadi berkurang. Berkurangnya wibawa pemerintahan desa ini mengakibatkan pula masyarakat menjadi pasif, bekerja di pemerintahan desa kurang diminati masyarakat, rasa memiliki (sense of belonging) pemerintahan desa lemah, dan masyarakat (bisa jadi) menganggap bahwa pemerintahan desa kepunyaan pemerintah supra desa dan pemerintahan desa itu berada di luar sistem sosialnya. Akibat dari semua itu, dampak berikutnya adalah; kepala desa dan aparatnya sukar mengajak dan menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, aparatur pemerintahan desa yang terdidik dan terampil serta yang mempunyai wawasan luas sulit didapatkan, aparat pemerintahan desa yang sudah ada kurang serius dan kurang termotivasi untuk bekerja di samping insentifnya juga kecil, administrasi pemerintahan desa sering terbengkalai karena mutu sumberdaya aparatur pemerintahannya
rendah,
kehadiran aparatur
pemerintahan desa di kantor tidak teratur sehingga masyarakat sulit berurusan, pemerintahan desa kurang mampu menggali dan menggerakkan potensi ekonomi sosial masyarakat, dan sumber pendapatan asli desa terbatas sehingga tingkat ketergantungannya pada pemerintah supra desa sangat tinggi. Kesemua ini merupakan
persoalan-persoalan
yang
dihadapi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan desa dan tentunya secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap penyelenggaraan dan kinerja pemerintahan desa tersebut di saat itu.
205
Pemerintahan Nagari di Era Otonomi Daerah Kurang lebih 16 tahun diterapkannya jorong atau kampung menjadi desa, dan
dengan
berbagai
pertimbangan,
termasuk
karena
dimungkinkannya
melakukan perubahan sesuai dengan Pasal 93 ayat 1 UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lihat juga Pasal 200 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan SK Menteri Dalam Negeri No.63 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Penyesuaian Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan, pemerintahan desa kemudian dikembalikan lagi ke pemerintahan nagari, yang ditandai dengan dikeluarkannya Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Dalam Perda ini antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah Provinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya. Kampung atau jorong yang terdapat dalam nagari merupakan bagian dari wilayah nagari. Dengan demikian, wilayah pemerintahan nagari dikembalikan ke bentuk asli atau kebentuk semula dengan segala hak yang melekat padanya. Hasil pengamatan dan wawancara selama di lapangan diperoleh kesan bahwa dalam beberapa hal penyelenggaraan pemerintahan nagari dewasa ini kelihatannya relatif agak lebih baik, terutama bila dibandingkan dengan pemerintahan desa. Kehadiran aparatur pemerintahan nagari di kantor misalnya sudah mulai agak teratur dan bahkan dihari liburpun (peneliti pernah me lihat sendiri) kantor tetap dibuka
untuk
melayani masyarakat. Administrasi
pemerintahan dan keuangan sudah mulai agak baik. Aktivitas lembaga adat (KAN) dan lembaga legislatif nagari tampak lebih meningkat. Aparatur pemerintahan nagari telah relatif banyak diisi oleh orang-orang yang berpendidikan seperti tamatan SLTA dan bahkan perguruan tinggi. Kemudian, rasa bernagari yang sebelumnya sudah mulai memudar sekarang tampak marak kebali, misalnya dalam bentuk gotong-royong nagari dengan melibatkan masyarakat jorong atau kampung yang sebelumnya disekat oleh desa.
206
Sementara itu, hasil survai yang dilakukan di enam nagari dengan menggunakan kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar atau sebanyak 67,8 persen dari total responden masyarakat yang pernah berur usan dengan pemerintahan nagari menyatakan agak puas terhadap pelayanan aparatur pemerintahan nagari, dalam arti bahwa mereka memberikan penilaian agak puas terhadap
pelayanan
umum,
pelayanan
penyelesaian
perselisihan/konflik,
pelayanan pembinaan ekonomi, pelayanan pembinaan ketentraman dan ketertiban, pelayanan penyaluran aspirasi, dan terhadap pelayanan kegiatan pelestarian adatistiadat. Dari 6 (enam) jenis pelayanan pemerintahan nagari tersebut, pelayanan penyaluran aspirasi (Y5) ternyata relatif lebih rendah mutunya, dalam arti bahwa responden yang memberikan penilaian kurang puas terhadap pelayanan penyaluran aspirasi ini relatif lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang terdapat pada jenis pelayanan lainnya itu. Oleh karena itu, sekiranya dibuat skala prioritas untuk peningkatan mutu pelayanan pemerintahan nagari ke depan berdasarkan persentase penilaian tingkat kepuasan responden, maka pelayanan penyaluran aspirasi dapat dijadikan sebagai prioritas pertama, dan kemudian diikuti dengan pelayanan penyelesaian konflik, pelayanan pembinaan ekonomi, pelayanan pelestarian adat- istiadat, pelayanan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban, dan pelayanan umum. Memprioritaskan pelayanan penyaluran aspirasi tentunya lebih banyak terkait dengan anggota legislatif nagari, yang fungsinya memang untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat nagari. Hasil uji beda dengan menggunakan statistik Kruskal Wallis, untuk alpha 0.05 membuktikan bahwa mutu total layanan pemerintahan nagari (Y) dan mutu layanan umum (Y1) berbeda nyata berdasarkan perbedaan nagari maupun kabupaten. Akan tetapi, mutu layanan penyelesaian konflik (Y2), mutu layanan pembinaan ekonomi (Y3), mutu layanan pemeliharaan ketentraman (Y4), mutu layanan penyaluran aspirasi (Y5), dan mutu layanan pelestarian adat- istiadat (Y6) tidak berbeda secara nyata berdasarkan perbedaan nagari maupun berdasarkan perbedaan kabupaten. Dengan demikian, mutu layanan pemerintahan nagari menurut jenis pelayanannya yang terdapat di daerah inti (asal), daerah rantau
207
pesisir, dan yang terdapat di daerah rantau pedalaman sebagian besar tidak berbeda secara nyata. Tingkat kebutuhan responden masyarakat secara keseluruhan (X1) tergolong tinggi. Sebagian besar atau sebanyak 65,6 persen dari mereka menyatakan membutuhkan untuk peningkatan ekonomi, memperoleh rasa aman, menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan, dan membutuhkan untuk menyalurkan aspirasi dan mewujudkan diri. Hasil uji korelasi membuktikan bahwa tingkat kebutuhan responden secara keseluruhan ini (X1) berhubungan sangat nyata dengan mutu layanan konflik (Y2) dan berhubungan nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4). Dilihat dari sub-peubah kebutuhan, sebanyak 63,9 persen dari responden masyarakat tingkat kebutuhannya untuk meningkatkan ekonomi, 62,8 persen tingkat kebutuhannya untuk mendapatkan rasa aman dan rasa tentram, 65,0 persen tingkat kebutuhannya untuk kebutuhan sosial, dan sebanyak 69,4 persen tingkat kebutuhannya untuk menyalurkan aspirasi termasuk dalam kategori tinggi (membutuhkan). Dari keempat jenis kebutuhan ini, kebutuhan untuk memperoleh rasa aman dan kebutuhan sosial kelihatannya dianggap lebih urgen dibandingkan dengan dua jenis kebutuhan yang lainnya. Pada kedua jenis kebutuhan ini (kebutuhan rasa aman dan kebutuhan sosial), jumlah responden yang merasa sangat membutuhkan relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat pada dua jenis kebutuhan lainnya. Hasil uji statistik korelasi membuktikan bahwa kebutuhan untuk peningkatan ekonomi (X1.1) berhubungan nyata dengan mutu layanan konflik (Y2), kebutuhan untuk memperoleh rasa aman dan rasa tentram (X1.2) berhubungan nyata dengan mutu layanan konflik (Y2), kebutuhan sosial (X1.3) berhubungan sangat nyata dengan mutu layanan umum (Y1), berhubungan nyata dengan mutu layanan konflik (Y2), dan berhubungan sangat nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4), dan kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi dan mewujudkan diri (X1.4) berhubungan sangat nyata dengan mutu layanan konflik (Y2). Sikap responden masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari tampaknya belum begitu memuaskan. Sebanyak 43,9 persen
208
dari mereka menyatakan ragu-ragu terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari. Hasil uji korelasi membuktikan bahwa sikap responden ini (X2) berhubungan nyata dengan mutu pelayanan umum (Y1), dengan mutu pelayanan penyaluran aspirasi (Y5), dan berhubungan sangat nyata dengan mutu pelayanan pelestarian adat- istiadat (Y6). Tingkat pendidikan formal responden masyarakat yang pernah berurusan dengan pemerintahan nagari relatif cukup baik. Sebanyak 18,9 persen dari mereka menamatkan pendidikannya setingkat perguruan tinggi (D1-S1) dan 33,9 persen menamatkan pendidikannya setingkat SLTA. Angka rata-rata tingkat pendidikan responden ini diperoleh sebesar 10,83 atau setingkat SLTA. Hasil uji statistik korelasi membuktikan bahwa tingkat pendidikan formal responden ini (X4) berhubungan nyata dengan mutu layanan pembinaan ekonomi (Y3), dan berhubungan sangat nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4) serta dengan mutu layanan pelestarian adat- istiadat (Y6). Orientasi nilai budaya atau cara responden masyarakat mengkonsepsikan persoalan-persoalan dalam kehidupan, baik mengenai hakekat hidup, hakekat karya, hakekat waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hakekak hubungan manusia dengan sesamanya dalam kaitannya dengan sikap mental yang diperlukan dalam pembangunan adalah relatif baik. Mengenai masalah hakekat hidup, sebagian besar atau sebanyak 87,2 persen dari total responden mengkosepsikan bahwa hidup memang sulit tetapi manusia wajib dan selalu berusaha memperbaikinya. Mengenai hakekat karya, sebanyak 88,9 persen menganggap bahwa karya adalah untuk menambah potensi berkarya berikutnya sehingga karya tersebut akan lebih baik dari hari kehari dan dari waktu ke waktu. Mengenai hakekat waktu, sebanyak 76,7 persen orientasi responden tertuju ke masa depan. Mengenai hubungan manusia dengan alam terdapat sebanyak 82,8 persen dari responden mempersepsikan bahwa manusia harus dapat menguasai alam. Sedangkan mengenai hakekat hubungan manusia dengan sesamanya terdapat sebanyak 68,9 persen dari responden mempersepsikan bahwa manusia harus bangga untuk tidak tergantung pada orang lain.
Koentjaraningrat (1974)
dalam tulisannya mengemukakan bahwa suatu bangsa yang akan mengintensifkan
209
usaha pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan dan memperhitungkan hidupnya di masa depan, lebih menilai tinggi hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi, lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya, dan menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya kapada diri sendiri, berdisiplin serta bertanggung jawab. Hasil uji statistik Kruskal Wallis membuktikan bahwa orientasi nilai budaya responden masyarakat tidak berhubungan signifikan dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari, baik untuk alpha 0.05 maupun 0,01. Tingkat kekosmopolitanan (X5) responden masyarakat umumnya rendah. Sebanyak 63,9 persen dari total responden, tingkat kekosmopolitanannya termasuk dalam kategori rendah, 32,8 persen sedang, dan sebanyak 3,3 persen lainnya termasuk pada kategori tinggi. Hasil uji statistik membuktikan bahwa tingkat kekosmopolitanan responden ini (X5) berhubungan nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4). Seperti halnya faktor karakteristik responden masyarakat di atas, unsurunsur lembaga pemerintahan nagari sebagai faktor internal lembaga yang menentukan kinerja lembaga pemerintahan nagari tersebut kualitasnya cukup bervariasi. Tingkat pendidikan (X6.1) formal aparatur pemerintahan nagari misalnya relatif baik, dengan rata-rata tingkat pendidikan setara dengan SLTA. Sebanyak 30,7 persen dari mereka berpendidikan setingkat perguruan tinggi dan 43,3 persen berpendidikan setingkat SLTA. Hasil uji statistik korelasi membuktikan bahwa tingkat pendidikan formal aparatur pemerintahan ini tidak berhubungan nyata dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Umur (X6.2) aparatur pemerintahan nagari berkisar antara 20-76 tahun. Komposisi umur responden ini relatif cukup baik, dalam arti bahwa jumlah mereka yang berumur “tua dan yang berumur muda” relatif berimbang. Misalnya, mereka yang berumur > 60 tahun terdapat sebanyak 13,5 persen dan mereka yang berumur = 30 tahun terdapat sebanyak 11,5 persen. Hasil uji statistik korelasi membuktikan bahwa umur aparatur pemerintahan nagari ini tidak berhubungan nyata dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari.
210
Tingkat kekosmopolitanan (X6.3) aparatur pemerintahan nagari umumnya termasuk kategori sedang. Sebagian besar atau sebanyak 47,1 persen tergolong sedang dan sebanyak 45,2 persen lainnya tergolong rendah. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat kekosmopolitanan aparatur pemerintahan nagari tidak berhubungan nyata dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Pengalaman aparatur pemerintahan nagari (X6.4) di pemerintahan sebelumnya relatif cukup baik. Sebanyak 43,3 persen dari mereka pernah duduk di pemerintahan sebelumnya, meskipun bukan sebagai wali nagari atau kepala desa, dan sebanyak 20,2 persen lainnya sudah pernah mejabat sebagai kepala desa atau wali nagari. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa pengalaman aparatur pemerintahan nagari ini berhubungan nyata dengan mutu layanan penyaluran aspirasi (Y5). Insentif (X6.5) yang diterima aparatur pemerintahan nagari sebagai pengabdiannya di pemerintahan nagari tergolong rendah dan atau belum memadai, dan malahan ada di antara mereka yang mengaku belum pernah menerima insentif sama sekali sejak ia dilantik sebagai aparatur pemerintahan nagari oleh pejabat terkait. Modus insentif responden ini adalah sebesar Rp.200.000/bulan. Sebagian besar atau sebanyak 57,7 persen dari mereka mengaku bahwa rata-rata insentif yang diterima per-bulan adalah = Rp.100.000, dan yang menyatakan belum pernah mendapatkan insentif terdapat sebanyak 18,3 persen. Hasil uji statistik me mbuktikan bahwa insentif ini tidak berhubungan signifikan terhadap mutu layanan pemerintahan nagari, baik mutu secara keseluruhan maupun sub- mutu layanan. Sifat-sifat kemandirian (autonomy) aparatur pemerintahan nagari (X6.6) dalam bekerja umumnya tergolong cukup. Sebagian besar atau sebanyak 53,8 persen dari mereka memiliki sifat kemandirian yang termasuk dalam kategori sedang dan sebanyak 26,9 persen lainnya termasuk dalam kategori rendah. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa sifat kemandirian ini tidak berhubungan signifikan terhadap mutu layanan pemerintahan nagari, baik secara keseluruhan maupun sub- mutu layanan.
211
Berbeda dengan sifat kemandirian di atas, tingkat keinovatifan (X6.7) aparatur pemerintahan nagari relatif baik. Sebagian besar atau sebanyak 48,1 persen dari mereka tingkat keinovatifannya termasuk dalam kategori tinggi dan sebanyak 38,5 persen lainnya termasuk pada kategori sangat tinggi. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa tingkat keinovatifan aparatur pemerintahan nagari ini tidak berhubungan signifikan terhadap mutu layanan pemerintahan nagari, baik secara keseluruhan maupun sub-mutu layanan. Persepsi (X6.8) atau pemahaman aparatur pemerintahan nagari terhadap tugas dan peranannya di dalam lembaga pemerintahan nagari umumnya relatif baik. Sebanyak 57,7 persen dari mereka mengaku dapat memahami tugas dan peranan mereka dengan baik dan sebanyak 27,9 persen lainnya dapat memahaminya dengan cukup baik. Hasil uji statistik me mbuktikan bahwa persepsi ini tidak berhubungan nyata terhadap mutu dan sub-mutu layanan pemerintahan nagari. Berbeda dengan persepsi di atas, motivasi (X6.9) atau relevansi dorongan aparat memasuki lembaga pemerintahan nagari dengan tujuan dan fungsi lembaga pemerintahan nagari tersebut umumnya sangat baik. Sebanyak 77,9 persen motivasi mereka memasuki lembaga pemerintahan nagari ternyata sangat relevan dengan tujuan dan fungsi lembaga pemerintahan tersebut dan sebanyak 22,1 persen lainnya termasuk dalam kategori cukup relevan. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa motivasi ini tidak berhubungan nyata terhadap mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Sikap mental (X6.10) aparatur pemerintahan nagari atau kebanggaan/ senang-tidaknya mereka terhadap peranan dan tugas yang mereka emban di dalam pemerintahan nagari umumnya tergolong baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 43,3 persen dari mereka cukup bangga atau cukup senang dengan tugas dan peranan mereka di lembaga pemerintahan nagari tersebut dan sebanyak 40,4 persen lainnya menyatakan bangga dan senang. Sikap mental aparatur pemerintahan nagari ini berdasarkan uji statistik korelasi ternyata tidak berhubungan signifikan terhadap mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari.
212
Dedikasi
(X6.11)
aparatur
pemerintahan
nagari
dalam
bentuk;
melaksanakan tugas-tugas di lembaga pemerintahan nagari, kehadiran di kantor, kehadiran mengikuti rapat dan pertemuan-pertemua n, dan kegiatan membantu mengerjakan pekerjaan teman sejawat ketika yang bersangkutan berhalangan umumnya relatif baik. Sebanyak 42,3 persen dari aparatur pemerintahan nagari ini tingkat dedikasi mereka termasuk kategori tinggi dan sebanyak 36,5 persen termasuk kategori cukup tinggi. Dedikasi aparatur pemerintahan nagari ini berdasarkan uji statistik korelasi terbukti berhubungan nyata dengan mutu layanan pembinaan ketentraman dan ketertiban (Y4). Sifat-sifat kepelayanan (X6.12) aparatur pemerintahan naga ri seperti; tingkat
kepeduliannya
terhadap
masyarakat,
kepercayaan
diri,
keadilan,
kebersihan, kerapian, dan tingkat kesabaran mereka dalam melayani masyarakat umumnya relatif baik. Sebanyak 74,0 persen dari mereka memiliki sifat-sifat kepelayanan yang termasuk dalam kategori tinggi dan 10,6 persen lainnya termasuk dalam kategori sangat tinggi. Hasil uji statistik korelasi membuktikan bahwa sifat-sifat kepelayanan (X6.12) aparatur pemerintahan nagari ini berhubungan nyata dengan mutu total layanan pemerintahan nagari (Y). Tujuan (X7) atau tingkat kekonsistenan dan tingkat kemudahan aparatur pemerintahan nagari memahami tujuan lembaga pemerintahan nagari secara umum adalah baik. Sebagian besar atau sebanyak 62,5 persen dari aparatur pemerintahan nagari kons isten antara tujuan pribadinya dengan tujuan lembaga dan mereka relatif mudah memahami dan membayangkan tujuan lembaga pemerintahan nagari tersebut. Tingkat kekonsistenan dan tingkat kemudahan aparatur pemerintahan nagari memahami tujuan lembaga pemerintahan ini berdasarkan hasil uji statistik korelasi ternyata tidak berhubungan nyata dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Struktur (X8) lembaga pemerintahan nagari pada umunya adalah baik. Sebanyak 69,2 persen dari aparatur pemerintahan nagari menyatakan bahwa struktur lembaga pemerintaha n nagari sudah sesuai atau cocok dan sebanyak 27,9 persen menyatakan cukup sesuai. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa struktur lembaga pemerintahan nagari ini (X8) berhubungan sangat nyata dengan
213
mutu total layanan pemerintahan nagari (Y) dan dengan mutu layanan umum (Y1). Hampir sama dengan struktur di atas, komponen-komponen dari struktur tersebut juga tergolong baik. Kesesuaian jumlah anggota dengan sarana dan pekerjaan yang ada tergolong baik. Sebanyak 40,4 persen dari total responden aparatur pemerintahan nagari menyatakan bahwa jumlah anggota (X8.1) dengan sarana serta pekerjaan yang tersedia termasuk sesuai dan sebanyak 26,9 persen lainnya menyatakan cukup sesuai. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa jumlah anggota ini (X8.1) berhubungan nyata dengan mutu total layanan pemerintahan nagari (Y1). Tingkat kejelasan dan kesesuaian struktur peranan/tugas (X8.2) sebagai bagian dari struktur lembaga termasuk baik. Sebanyak 64,5 persen dari aparatur pemerintahan nagari menyatakan bahwa bagian-bagian yang dikerjakan dalam pemerintahan nagari serta tujuan pekerjaan adalah jelas. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan pula bahwa struktur peranan/tugas ini berhubungan nyata dengan mutu layanan umum (Y1). Jarak psikologis atau hubungan antara bawahan dan atasan di lembaga pemerintahan nagari relatif baik. Sebanyak 52,9 persen dari total responden aparatur pemerintahan nagari menyatakan bahwa mereka mudah bertemu dan berkomunikasi dengan atasan mereka. Jarak psikologis ini berdasarkan hasil uji statistik korelasi ternyata tidak berhubungan signifikan dengan mutu dan submutu layanan pemerintahan nagari. Dibandingkan dengan struktur di atas, proses-proses (X9) yang berfungsi dalam organisasi pemerintahan nagari ternyata mutunya relatif lebih rendah. Sebanyak 69,2 persen dari total responden aparatur pemerintahan nagari menilai bahwa proses-proses yang berfungsi dalam organisasi pemerintahan nagari termasuk kategori cukup. Proses-proses yang berfungsi dalam organisasi pemerintahan nagari ini berdasarkan uji statistik korelasi berhubungan sangat nyata dengan mutu layanan penyelesaian konflik (Y2). Kualitas hubungan antar peranan (X9.1) sebagai salah satu komponen yang terdapat dalam proses organisasi pemerintahan nagari umumnya relatif baik.
214
Sebanyak 46,2 persen dari total responden aparatur pemerintahan nagari menyatakan bahwa hubungan antar peranan seperti; pemahaman akan peranan sendiri dan pemahaman akan peranan orang lain tergolong baik. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa hubungan antar peranan ini berhubungan nyata dengan mutu layanan umum (Y1). Berbeda dengan hubungan antar peranan tersebut, komunikasi (X9.2) di lembaga pemerintahan nagari sebagai bagian dari komponen dari proses organisasi tergolong cukup. Sebanyak 55,8 persen dari total responden menyatakan bahwa komunikasi yang terjadi di lembaga pemerintahan nagari termasuk cukup lancar. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa komunikasi yang terjadi di lembaga pemerintahan nagari ini berhubungan nyata dengan mutu layanan konflik (Y2). Tingkat pengendalian dan pengawasan (X9.3) di lembaga pemerintahan nagari umumnya tergolong cukup. Sebanyak 47,2 persen dari total responden aparatur pemerintahan nagari menyatakan bahwa tingkat pengawasan yang dilakukan di lembaga pemerintahan nagari, ketepatan orang yang mengawasi, dan keefektifan pengawasan yang dilakukan tergolong cukup. Hasil uji statistik korelasi membuktikan bahwa tingkat pengendalian dan pengawasan ini tidak berhubungan nyata dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Seperti halnya tingkat pengawasan, tingkat koordinasi (X9.4) di lembaga pemerintahan nagari tergolong cukup. Sebanyak 56,7 persen dari total responden menyatakan bahwa tingkat koordinasi ya ng dilakukan di lembaga pemerintahan nagari untuk mencapai efisiensi yang tinggi dalam mencapai tujuan termasuk kategori cukup. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa tingkat koordinasi ini tidak berhubungan nyata dengan mutu layanan pemerintahan nagari, baik mutu secara keseluruhan maupun sub- mutu layanan. Kegiatan pembinaan dan supervisi (X9.5) yang dilakukan di pemerintahan nagari sebagai baigan dari proses organisasi juga termasuk dalam kategori cukup. Sebanyak 35,6 persen dari total responden menyatakan bahwa kegiatan pembinaan yang dilakukan di lembaga pemerintahan nagari, baik pembinaan yang berasal dari wali nagari maupun dari pemerintahan supra nagari tergolong kurang
215
dan sebanyak 26,0 persen lainnya menyatakan baik. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan bahwa kegiatan pembinaan ini tidak berhubungan nyata dengan mutu layanan pemerintahan nagari, baik mutu secara keseluruhan maupun submutu layanan. Teknologi/sarana (X10) yang dimiliki lembaga pemerintahan nagari sebagai salah satu unsur yang menentukan kinerja pemerintahan nagari umumnya termasuk kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 51,9 persen dari total responden aparatur pemerintahan nagari menyatakan bahwa tingkat kelengkapan dan kekomplekan teknologi/sarana yang dimiliki serta tingkat kemampuan anggota menggunakan teknologi/sarana tersebut termasuk kurang dan sebanyak 43,3 persen lainnya menyatakan cukup. Hasil uji statistik korelasi membuktikan bahwa
teknologi/sarana
lembaga
pemerintahan
nagari
ini
berhubungan sangat nyata dengan mutu layanan konflik (Y2). Model Peningkatan Mutu Layanan Pemerintahan Nagari Gaspersz (1992) mengemukakan bahwa suatu sistem terdiri dari elemenelemen yang saling tergantung satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Proses bekerjanya sistem sangat komplek dan untuk melihat hubungan elemen-elemen dalam keadaan sebenarnya adalah sangat tidak mungkin atau mustahil. Oleh karena itu, hubungan tersebut perlu disederhanakan dengan cara merangkumkan ke dalam suatu bentuk tertentu yang disebut model. Berdasarkan alur berfikir serta temuan penelitian sebagaimana telah dikemukakan di atas, secara sederhana model peningkatan mutu layanan pemerintahan nagari disajikan pada Gambar 9 (rangkaian di dalam model ini diolah dan dimodifikasi dari Wahyudi, 1988; Gaspersz, 2001; dan Martin, 1993). Gambar 9 menunjukkan bahwa inputs merupakan data dasar atau peubahpeubah yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan pemerintahan nagari/desa, yang terdiri dari faktor adat, kebijakan pemerintahan supra nagari/desa, karakteristik masyarakat pelanggan, dan unsur- unsur lembaga pemerintahan nagari. Process adalah
“sinergi inputs” yang melahirkan strategi dan
implementasi. Outputs merupakan keluaran atau produk berupa kinerja pelayanan
216
217
pemerintahan nagari. Sedangkan outcome dalam model adalah dampak dari pelayanan publik atau manfaat pelayanan bagi publik. Formulasi Strategi David (2002) dalam bukunya menyebutkan bahwa strategi merupakan cara untuk mencapai sasaran jangka panjang. Proses perencanaan strategis terdiri tiga tahap, yaitu; perumusan strategi, implementasi, dan evaluasi strategi. Perumusan strategi meliputi; pengembangan misi, mengenali peluang dan ancaman eksternal organisasi, menetapkan kekuatan dan kelemahan interna l organisasi, menetapkan tujuan jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif, dan memilih serta menetapkan strategi tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi adalah diwujudkan dalam bentuk tindakan dari strategi yang telah diformulasikan. Sedangkan evaluasi strategi merupakan tahap akhir dari perencanaan strategis dengan maksud untuk meninjau kembali implementasi strategi berdasarkan formulasi strategi, yang hasilnya kelak dapat dijadikan masukan untuk perencanaan strategi berikutnya. Sesuai dengan tujuan penelitian sebagaimana telah dirumuskan di awal tulisan ini, berikut ini akan diuraikan tentang formulasi strategi. Formulasi strategi ini dianalisis dengan menggunakan SWOT. Data yang dipergunakan dalam analisis SWOT ini diperoleh dari hasil penggunaan metode pengumpulan data, baik melalui kuesioner, wawancara mendalam, focus group, pengamatan, maupun melalu analisis data skunder. Analisis Lingkungan Analisis lingkungan meliputi analisis lingkungan internal dan lingkungan eksternal lembaga pemerintahan nagari. Analisis lingkungan internal difokuskan pada kekuatan dan kelemahan dalam berkinerja dan analisis lingkungan eksternal difokuskan pada peluang dan ancaman yang bersumber dari lingkungan lembaga pemerintahan nagari tersebut.
218
1. Lingkungan internal 1.1. Kekuatan (Strengths): •
Pemerintahan nagari memiliki landasan hukum yang jelas dengan adanya Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten dan dibandingkan dengan pemerintahan desa menurut UU No.5 Tahun 1979 keberadaan nagari lebih kuat karena diakui di dalam UUD.
•
Nagari memiliki batas-batas tertentu, mempunyai harta kekayaan sendiri, berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya ;
•
Wilayah pemerintahan nagari dikembalikan ke bentuk asli;
•
Masing- masing pemerintahan nagari telah memiliki bangunan kantor tetap;
•
Waktu dan tempat berurusan dengan aparatur pemerintahan nagari relatif lebih adaptif dan fleksibel;
•
Adanya Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) dari APBD;
•
Tingkat pendidikan formal aparatur pemerintahan naga ri relatif cukup baik (43,3 persen berpendidikan setingkat SLTA dan 30,7 persen berpendidikan setingkat perguruan tinggi);
•
Umur aparatur pemerintahan nagari relatif cukup baik, dalam arti bahwa mereka yang berumur “tua” (› 60 th) dan yang berumur “muda” (= 30 th) jumlahnya relatif berimbang, yang masing- masingnya terdapat 13,5 dan 11,5 persen;
•
Pengalaman aparatur pemerintahan nagari relatif cukup baik, dalam arti bahwa sebagian besar dari mereka sudah pernah di pemerintahan sebelumnya, baik di pemerintaha n desa maupun di pemerintahan sebelum pemerintahan desa;
•
Tingkat keinovatifan aparatur pemerintahan nagari relatif baik;
•
Persepsi aparatur pemerintahan nagari terhadap tugas dan peranannya relatif baik;
219
•
Motivasi atau relevansi dorongan aparatur pemerintahan nagari memasuki lembaga pemerintahan nagari dengan tujuan/fungsi lembaga pemerintahan nagari tersebut tergolong sangat baik ;
•
Sikap mental aparatur pemerintahan nagari terhadap tugas dan peranannya di dalam pemerintahan tersebut relatif baik;
•
Dedikasi aparatur pemerintahan nagari dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan nagari relatif baik;
•
Sifat-sifat kepelayanan yang dimiliki aparatur pemerintahan nagari relatif baik;
•
Tingkat kekonsistenan tujuan pribadi aparat pemerintahan nagari dengan tujuan lembaga serta tingkat kemampuannya memahami tujuan lembaga pemerintaha n nagari tersebut relatif baik;
•
Struktur atau tingkat kesesuaian jumlah aparat pemerintahan dengan sarana dan pekerjaan yang ada, kejelasan dan kesesuaian struktur peranan/tugas, serta tingkat hubungan antara bawahan dengan atasan (jarak psikologis) relatif baik ;
•
Tingkat pemahaman aparatur pemerintahan nagari dalam hubungan antar peranan relatif baik;
•
Kehadiran aparatur pemerintah nagari di kantor sudah agak teratur sehingga masyarakat lebih mudah berurusan;
•
Ada pemisahan lembaga eksekutif nagari dan lembaga legislatif nagari;
•
Aktivitas lembaga adat dan lembaga legislatif nagari agak lebih meningkat; dan
•
Dalam beberapa hal, penyelenggaraan pemerintahan nagari dewasa ini relatif agak lebih baik terutama bila dibandingkan dengan pemerintahan desa. Hasil suvai menunjukkan pula bahwa sebanyak 67,8 persen dari total responden masyarakat memberikan penilaian agak puas terhadap pelayanan yang diterimanya dari aparatur pemerintahan nagari.
220
1.2. Kelemahan (Weaknesses) •
Tingkat kekosmopolitanan aparatur pemerintahan nagari relatif sedang;
•
Insentif yang diterima aparatur pemerintahan ngari sebagai pengabdiannya di lembaga pemerintahan nagari rendah atau kurang memadai;
•
Tingkat kemandirian aparatur pemerintahan nagari dalam bekerja relatif cukup;
•
Proses-proses yang berfungsi dalam organisasi, seperti; supervisi, koordinasi, pengawasan, dan komunikasi termasuk kategori cukup ;
•
Teknologi dan sarana yang dimiliki lembaga pemerintahan nagari kurang memadai;
•
Sebagian besar unsur- unsur lembaga pemerintahan nagari yang diidentifikasi dalam penelitian belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap mutu layanan pemerintahan nagari;
•
Pendapatan dan penerimaan nagari masih terbatas dan belum memadai;
•
Pengabdian sejumlah perangkat nagari, seperti; sekretaris nagari, kepala urusan, dan kepala jorong/kampung serta sejumlah anggota legislatif nagari untuk nagari- nagari tertentu kelihatannya belum begitu maksimal;
•
Kemitraan dan kerjasama antara anggota eksekutif dan le gislatif nagari di sejumlah nagari belum begitu “mesra”;
•
Pembinaan dari pemerintahan supra nagari belum memadai;
•
Administrasi perkantoran di sejumlah nagari belum begitu baik;
•
Penerimaan nagari dari APBD masih terbatas;
•
Pengelolaan keuangan yang berupa pendapatan nagari belum begitu baik;
•
Nagari belum mempunyai program kerja yang jelas dan rinci;
•
Penerimaan dari pendapatan asli nagari belum memadai;
221
•
Sebanyak 23,3 persen dari total responden masyarakat menyatakan kurang puas terhadap pelayanan yang diterimanya dari aparatur pemerintahan nagari.
2. Lingkungan eksternal 2.1. Peluang (Opportunities): •
Dukungan masyarakat terhadap pemerintahan nagari relatif cukup baik, dalam arti sebanyak 56,1 persen dari responden masyarakat menyatakan setuju terhadap ketentuan-ketentuan pokok tentang pemerintahan nagari;
•
Tingkat pendidikan formal responden masyarakat dan masyarakat nagari pada umumnya relatif baik;
•
Orientasi nilai budaya masyarakat relatif baik, dalam arti bahwa masyarakat pelanggan sebagian besar lebih berorientasi ke masa depan, menilai tinggi hasrat untuk bereksplorasi dan berinovasi, mementingkan karya dan menghargai potensi yang dimiliki;
•
Dukungan perantau terhadap pemerintahan nagari relatif cukup kuat, paling tidak secara moral;
•
Adanya subsidi dari APBD dan penerimaan serta pendapatan lainnya yang sah untuk penyelenggaraan pemerintahan nagari;
•
Pemerintahan supra nagari berkewajiban memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan nagari;
•
Terdapatnya lembaga adat dan lembaga sosial lainnya yang me njadi mitra dari pemerintah nagari;
•
Nagari memiliki sumberdaya alam (SDA) yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nagari pada umumnya.
2.2. Ancaman (Threats): •
Subsidi dari APBD kabupaten jumlahnya terbatas;
222
•
Penerimaan dari sumbangan pihak ketiga, pinjaman nagari, hasil kerjasama dengan pihak lain, yang telah dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan pokok pemerintahan nagari belum terlaksana;
•
Masih ada citra negatif terdapat di kalangan masyarakat terhadap kembalinya desa ke nagari;
•
Masih ada kecenderungan di sejumlah nagari bahwa pembangunan di nagari masih diwarnai dengan egoisme desa (desaisme) atau jorongisme;
•
Kebutuhan masyarakat makin beragam dan makin meningkat, yang perlu diimbangi dengan peningkatan pelayanan pemerintahan nagari sebagai pengayom dan pelingdung masyarakat. Arah Lembaga Pemerintahan Nagari Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, berikut dapat
dirumuskan visi, misi, dan tujuan, yang merupakan arah dari pemerintahan nagari ke depan. Visi: Pemerintahan nagari dapat menjadi lembaga pelayanan publik yang efektif dan bermutu yang mampu memberikan pelayanan sesuai dan/atau melebihi kebutuhan serta harapan masyarakat nagari. Misi: 1. Menyelenggarakan
pemerintahan,
pembangunan
dan
memberdayakan
masyarakat nagari. 2. Melaksanakan tugas pembantuan dari pemerintah pusat, provinsi, maupun pemerintah kabupaten. 3. Membina
perekonomian
masyarakat
nagari,
memelihara
keamanan,
ketentraman dan ketertiban masyarakat. 4. Menumbuh-kembangkan dan melestarikan adat dan syarak yang hidup di nagari.
223
5. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Tujuan: Berdasarkan visi dan misi di atas, tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan
dan
pemberdayaan masyarakat nagari. 2. Berhasilnya penyelenggaraan tugas pembantuan dari pemerintahan supra ngari. 3. Meningkatnya pelayanan pembinaan perekonomian, pemelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat nagari. 4. Meningkatnya pelayanan untuk menumbuh-kembangkan dan pelestarikan adat dan syarak yang hidup di nagari. 5. Meningkatnya keinginan dan frekuensi masyarakat untuk aktif menyalurkan aspirasinya bagi kepentingan masyarakat nagari. Pengembangan Strategi Sebagaimana telah dikemukakan di atas, alat bantu ya ng digunakan untuk mengembangkan strategi adalah analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Analisis ini akan melahirkan empat strategi, yaitu; strategi SO, strategi WO, strategi ST, dan strategi WT. Strategi SO (strategi kekuatan-peluang) adalah menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang eksternal. Strategi WO (strategi kelemahan-peluang) dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang. Strategi ST (strategi kekuatan-ancaman) bertujuan untuk menggunakan kekuatan untuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal. Sedangkan strategi WT (strategi kelemahanancaman) merupakan taktik defensif untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Berdasarkan analisis lingkungan internal dan lingkungan eksternal tersebut di atas serta hasil dari analisis SWOT sebagaimana terlampir dalam tulisan ini
224
(Lampiran 1 ), kemudian dilahirkan 4 (empat) strategi. Keempat strategi dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Strategi SO (kekuatan-peluang): •
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nagari;
•
Terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good governance) di nagari.
2. Strategi WO (kelemahan-peluang) : •
Meningkatkan profesionalisme dan kemampuan aparatur pemerintahan nagari dalam pelayana n publik yang berfokus pada pelanggan;
•
Pengadaan dan penambahan sarana dan prasarana untuk mewujudkan pelayanan prima (excellent service);
•
Mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan perantau dan lembaga lain guna membangun SDM dan memanfaatkan SDA nagari.
•
Memperbaiki reward system aparatur pemerintahan nagari;
•
Meningkatkan peran serta lembaga adat dan lembaga sosial lainnya yang ada di nagari dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari yang lebih baik.
3. Strategi ST (kekuatan-ancaman): •
Mengoptimalkan potensi yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari;
•
Mensosialisasikan tentang kehidupan bernagari kepada masyarakat secara kontinu;
•
Memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat dalam upaya pemenuha n kebutuhannya.
4. Strategi WT (kelemahan-ancaman): •
Pengalihan asset desa ke nagari;
•
Memelihara dan mempertahankan kinerja pelayanan yang sudah diraih.
225
Bila dipahami isi yang terkandung dari masing- masing strategi tersebut di atas, strategi itu dapat dik lasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu; pertama kelompok kelembagaan dan kedua kelompok masyarakat. Dengan demikian, untuk membangun kembali atau merevitalisasi pemerintahan nagari ke depan diperlukan dua strategi pokok, yakni; (1) memperkuat kelembagaan pemerintahan nagari, dan (2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nagari. Revitalisasi Pemerintahan Nagari dan Penyuluhan Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa pendidikan penyuluhan (istilah lain untuk ilmu penyuluhan) mempunyai cakupan kegiatan yang cukup luas. Ia tidak hanya membangun dan mengembangkan kualitas kelompok dan institusi serta sumberdaya manusia yang terdapat di dalam kelompok dan institusi tersebut, melainkan juga membantu mengidentifikasi dan menyediakan data tentang persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat yang diperlukan oleh perencana dan pengambil kebijakan. Dalam kegiatannya itu, seorang penyuluh dapat berperan sebagai katalis, penemu solusi, pendamping, dan/atau sebagai perantara. Oleh karena itu, untuk membangun kembali atau merevitalisasi pemerintahan nagari ke depan, kontribusi penyuluhan sangatlah diperlukan. Sesuai dengan uraian di atas, berikut akan dikemukakan dua strategi pokok dalam upaya merevitalisasi pemerintahan nagari serta melihat bagaimana kontribusi penyuluhan sebagai pendidikan non- formal di dalam ke dua strategi tersebut. Memperkuat Kelembagaan Pemerintahan Nagari Strategi pertama untuk memperkuat
kelembagaan
merevitalisasi pemerintahan nagari adalah
pemerintahan
nagari
tersebut.
Memperkuat
kelembagaan pemerintahan ini dilakukan dengan cara; (a) peningkatkan dan pengembangan mutu sumberdaya aparatur pemerintahan nagari, dan (b) peningkatan teknologi/sarana lembaga pemerintahan nagari tersebut.
226
Berdasarkan hasil analisis statistik dan analisis SWOT sebagaimana telah dipaparkan di atas, yang perlu dilakukan dan diberi perhatian khusus untuk memperkuat kelembagaan pemerintahan nagari dalam kaitannya dengan peningkatan dan pengembangan mutu sumberdaya aparatur pemerintahan adalah; (1) peningkatkan kemampuan serta profesionalisme aparatur pemerintahan nagari dalam pelayanan publik (public service), (2) peningkatkan pengalaman serta keterampilan kerja aparat di bidang pemerintahan, (3) mengembangkan sifat-sifat kepelayanan aparat pemerintahan, seperti; kepedulian terhadap masyarakat, adil, percaya diri, berkomunikasi dengan baik, dan sabar, serta (4) peningkatan pemahaman aparat dalam hubungan antar peranan, seperti; pemahaman akan peranan sendiri, pemahaman akan peranan orang lain, dan pemahaman akan hubungan timbal-balik antar peranan sendiri dengan peranan orang lain di lembaga pemerintahan nagari. Ketiga peubah yang terakhir ini, yaitu; pengalaman aparat di pemerintahan sebelumnya, sifat-sifat kepelayanan, dan hubungan antar peranan terbukti berkorelasi positif dengan sejumlah mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari. Sementara itu, perhatian khusus juga perlu diberikan pada teknologi/sarana yang terdapat di lembaga pemerintahan nagari. Meskipun teknologi/sarana ini berkorelasi negatif terhadap mutu layanan konflik sebagai salah satu jenis layanan pemerintahan nagari, tetapi teknologi/sarana ini menurut penilaian aparat pemerintahan nagari termasuk dalam kategori kurang. Dengan demikian, dengan meningkatkan teknologi/sarana akan meningkat pula mutu layanan pemerintahan nagari, terutama mutu layanan konflik sebagai salah satu jenis layanan pemerintahan nagari. Untuk meningkatkan mutu sumberdaya aparatur pemerintahan nagari tersebut di atas, seperti; peningkatan kemampuan dalam pelayanan publik, pengalaman dan keterampilan bekerja di pemerintahan, pengembangan sifat-sifat kepelayanan, dan peningkatan pemahaman hubungan antar peranan dalam organisasi dapat dilakukan melalui kursus atau pelatihan. Pelatihan dilakukan dengan maksud untuk mengubah kinerja (performance) orang-orang yang terdapat dalam organisasi pemerintahan nagari. Sementara, pengembangan program latihan dapat diawali dengan melakukan analisis jabatan, kemudian identifikasi
227
kesenjangan kinerja (performance discrepancy), merumuskan tujuan pelatihan, merancang kegitan pelatihan, pelaksanaan pelatihan, dan diakhiri dengan tindak lanjut serta evaluasi. Pelatihan memang tidak selalu merupakan kegiatan yang tepat untuk meningkatkan mutu kinerja pelayanan pemerintahan nagari. Oleh karena itu, untuk pengadaan dan peningkatan teknologi/sarana pemerintahan nagari dapat dilakukan melalui bantuan atau subsidi, baik dari pemerintah daerah sebagai pemerintah supra nagari, stakeholders, perantau dan/ atau dengan mempercepat pengalihan asset desa ke nagari. Dari hasil pengamatan di lapangan, peningkatan teknologi/sarana ini tampaknya perlu disegerakan guna peningkatan mutu pelayanan pemerintahan nagari kepada masyarakat, misalnya berupa; pengadaan komputer, mesin ketik, telephon kantor, kendaraan operasional kantor, dan pengadaan alat-alat mobiler kantor, serta bantuan berupa dana atau material lainnya terutama untuk perbaikan atau rehab kantor pemerintahan nagari. Bantuan pengadaan dan peningkatan sarana ini tentunya dapat disesuaikan dengan kondisi masing- masing lembaga pemerintahan nagari. Dan dengan adanya bantuan ini dengan sendirinya dana alokasi umum nagari (DAUN) yang selama ini juga dialokasikan untuk pengadaan dan pengingkatan teknologi/sarana pemerintahan nagari dapat pula dihemat dan dialihkan untuk kepentingan pembangunan masyarakat nagari. Selain itu, hasil uji statistik korelasi menunjukkan pula bahwa sebagian besar dari unsur-unsur lembaga pemerintahan tersebut terbukti tidak dan/atau kurang berhubungan nyata dengan mutu dan sub-mutu layanan pemerintahan nagari. Sementara sejumlah unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari tersebut ternyata belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap mutu dan submutu layanan pemerintahan nagari, dalam arti bahwa angka indeks korelasi antara unsur-unsur lembaga pemerintahan nagari dengan mutu dan sub- mutu layanan pemerintahan nagari ditandai dengan minus, yang memberikan petunjuk bahwa korelasi tersebut adalah korelasi negatif (korelasi berlawanan arah). Ini
228
menunjukkan bahwa unsur- unsur lembaga pemerintahan nagari tersebut perlu dilakukan peninjauan dan pengkajian kembali secara lebih komprehensif. Dalam upaya memperkuat kelembagaan pemerintahan nagari tersebut, baik pengembangan mutu aparatur pemerintahan nagari maupun peningkatan teknologi/sarana pemerintahan, kedudukan dan peranan pemerintah daerah sebagai pemerintahan supra nagari sangatlah strategis. Di dalam Perda provinsi maupun Perda kabupaten tentang Pemerintahan Nagari misalnya, dirumuskan bahwa
pemerintah
daerah
berkewajiban
membina
dan
memfasilitasi
penyelenggaraan pemerintahan nagari dalam bentuk memberikan pedoman, bimbingan, pelatihan, dan supervisi yang bertujuan memberdayakan pemerintahan nagari. Dengan demikian, pemerintah daerah, terutama pemerintah daerah kabupaten sebagai pemerintahan supra nagari kiranya dapat menjadi lokomotif dan berperan lebih aktif lagi dalam meperkuat kelembagaan pemerintahan nagari ke depan. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan dan Pembangunan Nagari Strategi kedua untuk membangun kembali pemerintahan nagari adalah dengan meningkatkan partisipasi masyarakat nagari dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nagari. Partisipasi masyarakat nagari adalah keikut-sertaan atau keterlibatan masyarakat nagari tersebut serta kelembagaan sosial setempat dalam setiap bentuk kegiatan pembangunan yang diselenggarakan di nagari. Keterlibatan masyarakat ini tidak hanya dalam bentuk menyumbangkan pikiran, tenaga, materi, melainkan juga dalam memelihara dan menikmati hasil- hasil pembangunan serta peduli terhadap objek-objek pembangunan yang ada di nagari. Oleh karena itu, untuk memotivasi dan memaksimalkan keterlibatan masyarakat nagari di dalam setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan di nagari seyogyanya diperlukan dukungan dan intervensi penyuluhan. Keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan di nagari dilaksanakan pada setiap jenis kegiatan, yakni mulai dari
229
kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga kegiatan evaluasi. Sebelum
kegiatan
perencanaan
dimulai,
masyarakat
seyogyanya
sudah
mendapatkan informasi dan wawasan tentang pembangunan yang akan dilakukan di nagari. Di dalam kegiatan perencanaan, paling tidak ada sembilan bentuk kegiatan dimana diperlukan keterlibatan masyarakat di dalam kegiatan tersebut, yaitu; (1) identifikasi masalah dan penentuan kebutuhan, (2) identifikasi peranan dan stakeholders dalam pemecahan masalah, (3) identifikasi alternatif pemecahan masalah, (4) merumuskan sasaran dan kegiatan pencapaian sasaran, (5) membuat rencana kegiatan dan pembiayaan, (6) menyusun jadwal kerja, (7) menyusun rencana monitoring, dan (8) menyusun rencana evaluasi (dimodifikasi dari Padmowihardjo, 2000). Secara sederhana, model pengembangan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nagari tersebut disajikan pada Gambar 10.
Informasi tentang pembangunan serta dorongan untuk melakukan perubahan kea rah yang lebih baik
Perencanaan: 1. identifikasi masalah & kebutuhan 2. identifikasi peranan dan stakeholders 3. identifikasi alternatif pemecahan masalah 4. merumuskan sasaran dan kegiatan pencapaian 5. membuat rencana kegiatan dan pembiayaan 6. menyusun jadwal kerja 7. menyusun rencana monitoring 8. menyusun rencana evaluasi
Pelaksanaan dan monitoring
Evaluasi
Umpan balik
Penyuluhan Pendampingan Partisipatif
Gambar 10. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Nagari
Dalam Gambar 10 di atas, pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan diawali dengan memberikan informa si kepada masyarakat tentang pembangunan nagari serta dorongan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sesuai dengan struktur pemerintahan nagari, pemberian informasi serta dorongan untuk melakukan perubahan ini seyogyanya dilakukan oleh ketua-ketua jorong atau kepala kampung bersama anggota legislatif nagari di masing- masing
230
jorong atau kampung. Dalam kegiatan perencanaan, masyarakat diikut-sertakan dan dilibatkan dalam setiap bentuk kegiatan. Dengan memposisikan masyarakat sebagai aktor atau pelaku aktif dalam setiap jenis kegiatan yang dilakukan, bersama penyuluh pendamping, mereka mengidentifikasi masalah-masalah sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan. Setelah menentukan prioritas masalah, mereka mengidentifikasi peranan pihak-pihak yang terkait
(stakeholders) dalam
pemecahan masalah. Dalam identifikasi peranan ini, penyuluh pendamping misalnya dapat membantu dengan menggunakan diagram Venn dan matrik keterlibatan. Kemudian masyarakat dilibatkan dalam mengidentifikasi alternatif pemecahan
masalah.
Dalam
penentuan
alternatif
tindakan
ini
perlu
dipertimbangkan potensi nagari dan faktor luar, baik yang mendukung maupun yang menghambat. Untuk membangun sebuah masjid misalnya, tersedia pasir dan batu kali sebagai potensi nagari dan adanya bantuan perantau sebagai faktor luar yang
mendukung.
Berikut,
masyarakat
bersama
penyuluh
pendamping
merumuskan sasaran, misalnya terbangunnya sebuah masjid dengan ukuran 20x20 m dan menetapkan kegiatan untuk mencapai sasaran tersebut. Kemudian membuat rencana kegiatan dan pembiayaan, yang lengkap dengan deskripsi kegiatan yang dilakukan, pihak yang terlibat dalam kegiatan, berapa lama dikerjakan, serta sumber biaya. Kegiatan berikut adalah menyusun jadwal kerja oleh masyarakat agar kegiatan yang telah direncanakan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu. Kemudian membuat rencana pemantauan yang memuat jenis kegiatan yang dipantau, realisasi kegiatan, jadwal, dan realisasi biaya. Kegiatan terakhir dalam perencanaan
yang
menghendaki
keterlibatan
masyarakat
selaku
subyek
pembangunan di nagari adalah merumuskan rencana evaluasi. Dalam rencana evaluasi ini harus tergambar sasaran yang hendak dievaluasi, indikator hasil, dan indikator evaluasi dampak. Selesai kegiatan perencanaan, masyarakat dan kelembagaan nagari bekerja sesuai dengan fungsi dan peranannya masing- masing berdasarkan rencana yang telah dibuat. Kemudian dipenghujung kegiatan, sesuai dengan jadwal kegiatan yang telah dirumuskan, masyarakat bersama penyuluh pendamping melakukan evaluasi, baik evaluasi hasil maup un evaluasi dampak dari kegitan yang telah dilakukan.
231
Dalam penyuluhan pendampingan yang partisipatif tersebut di atas, seorang penyuluh selalu hadir bersama dengan masyarakat dalam setiap bentuk dan jenis kegiatan pembangunan yang dilakukan di nagari. Ia misalnya tidak hanya datang sesaat atau sewaktu-waktu untuk menyampaikan informasi dan teknologi dalam suatu pertemuan kepada masyarakat seperti lazimnya terjadi pada pelatihan atau kursus, melainkan seorang penyuluh pendamping harus “hidup” dan hadir di tengah-tengah masyarakat dan mensolusi masalah bersama mereka dengan cara mengenal dan mendefinisikan kebutuhan mereka, mendiagnosa dan menetapkan tujuan yang hendak dicapai, memberitahukan cara memperoleh sumber informasi, sarana dan prasarana yang diperlukan, mengkreasi dan memodifikasi suatu solusi permasalahan, mengevaluasi manfaat suatu solusi serta mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan muncul di masa datang (lihat misalnya Padmowihardjo, 2005; Hubeis, Aida V.S, 1992). Di era otonomi daerah dewasa ini, konsekuensi melakukan peyuluhan pendampingan yang partisipatif seperti diuraikan di atas adalah bahwa pemerintah daerah terutama pemerintah kabupaten perlu memikirkan dan menyiapkan tenagatenaga penyuluh yang berkualitas, yang mampu membaca keinginan dan kebutuhan masyarakat nagari, mampu memotivasi masyarakat untuk berubah, dapat
memberikan
gagasan-gagasan
yang
positif
sehingga
masyarakat
menemukan solusi yang terbaik, terampil melakukan pendampingan dengan baik, dan mampu berperan sebagai perantara antar masyarakat nagari dan/ atau antara masyarakat nagari dengan pemerintahan supra nagari, stakeholders, dan perantau. Sementara itu, sebagai pelayanan masyarakat, seorang penyuluh pendamping juga dituntut memiliki sifat-sifat kepelayanan yang baik, seperti; jujur, adil, disiplin, percaya diri, obyektif, berpenampilan baik, penuh perhatian (empathy), dan cepat tanggap (responsiveness). Berdasarkan pengalaman di lapangan, tenaga-tenaga penyuluh yang hendak disiapkan tersebut seyogyanya direkrut dari daerah atau nagari setempat, karena mereka lebih memahami keadaan nagari mereka sendiri dan lagi pula calon-calon untuk tenaga penyuluh tersebut kelihatan cukup tersedia pada setiap
232
nagari. Kemudian, tenaga-tenaga penyuluh yang sudah diseleksi dan disiapkan tersebut misalnya dididik dan dilatih untuk menjadi pendamping masyarakat di daerah atau di nagari mereka sendiri nantinya. Agar mereka dapat pula bekerja dengan baik, kepada mereka tentunya disediakan dan diberi gaji atau insentif yang layak serta sarana kerja yang memadai. Kemudian, agar mereka juga dapat konsentrasi dan tenang dalam melakukan pendampingan, masa depan dan karir mereka juga perlu diperhatikan, baik mereka sebagai pegawai pemerintah daerah nantinya maupun sebagai tenaga honorer.