HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform, sedangkan ekstraksi DNA dari bulu dilakukan menggunakan kit extraction. Kualitas DNA yang dihasilkan dari dua sumber tersebut diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran kualitas DNA secara kuantitatif dilakukan menggunakan spektrofotometer, sedangkan pengukuran kualitas DNA secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan agarose gel electrophoresis dengan konsentrasi 1,5%. Kualitas DNA bersumber dari darah yang diukur menggunakan spektrofotometer ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Pengukuran Kualitas DNA yang Bersumber dari Darah No.
Sampel
Kemurnian
Konsentrasi (µg/ml)
1.
Ayam Kampung (a)
1,546
1670
2.
Ayam Kampung (b)
1,438
230
3.
Ayam Kampung (c)
0,996
5640
4.
Ayam Kampung (d)
1,741
1010
5.
Puyuh (a)
1,417
340
6.
Puyuh (b)
1,417
170
7.
Puyuh (c)
1,391
320
8.
Puyuh (d)
1,100
110
9.
Itik (a)
1,100
110
10.
Itik (b)
1,200
60
11.
Itik (c)
1,433
2020
12.
Itik (d)
1,611
580
13.
Merpati (a)
1,571
110
14.
Merpati (b)
1,667
100
15.
Merpati (c)
1,429
100
16.
Merpati (d)
1,500
150
Rataan
1,410
795
Kemurnian DNA yang bersumber dari darah tergolong rendah, karena molekul DNA dikatakan murni menurut Marerro et al. (2009) apabila kemurniannya lebih dari 1,8. Hal ini disebabkan adanya pengotor DNA yang berupa protein darah. Seperti yang dijelaskan oleh Tataurov et al. (2008), bahwa sampel asam nukleat dapat terkontaminasi dengan molekul lain seperti protein, senyawa organik dan lainlain. Rodwell (1983) mendefinisikan protein darah sebagai salah satu bentuk makromolekul disamping asam nukleat dan polisakarida, biokatalisator, hormon reseptor, dan tempat penyimpanan informasi genetik. Darah adalah jaringan yang beredar dalam sistem pembuluh darah yang tertutup. Darah terdiri dari unsur-unsur sel darah (merah dan putih) dan trombosit yang terdapat dalam medium cair yang disebut plasma, campuran yang sangat kompleks tidak hanya terdiri dari protein sederhana tetapi juga protein campuran seperti glikoprotein dan berbagai jenis lipoprotein. Adanya protein ini menyebabkan kemurnian DNA pada darah tergolong rendah. Sedangkan kualitas DNA bersumber dari bulu yang diukur menggunakan spektrofotometer ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas DNA yang Bersumber dari Bulu No.
Sampel
Kemurnian
Konsentrasi (µg/ml)
1.
Beo nias
1,429
200
2.
Kakatua maluku (a)
1,273
280
3.
Kakatua maluku (b)
1,643
230
4.
Kakatua-kecil Jambulkuning (a)
1,250
200
5.
Kakatua-kecil Jambulkuning (b)
1,400
210
Rataan
1,399
224
Hal yang menyebabkan rendahnya kemurnian DNA yang bersumber pada bulu adalah adanya keratin pada bulu. Bulu burung merupakan suatu modifikasi dari jaringan kulit yang menanduk. Pough et al. (2005) menjelaskan bahwa lebih dari 90% bagian bulu adalah beta keratin, 1% lipid, 8% air, dan sisanya protein dan pigmen, seperti melanin. Keratin pada bulu dapat menjadi pengotor DNA maupun penghambat (inhibitor) pada saat proses PCR (Schill, 2007). Adanya faktor penghambat menyebabkan ekstraksi DNA dari bulu sulit dilakukan dengan metode 19
phenol-chloroform, sehingga ekstraksi dilakukan dengan menggunakan kit. Schill (2007) menjelaskan bahwa ekstraksi DNA dengan menggunakan kit umumnya menghasilkan DNA dengan kualitas yang lebih baik. Pengukuran jumlah DNA dengan spektrofotometer didasarkan pada prinsip iradiasi sinar ultraviolet yang diserap oleh nukleotida dan protein dalam larutan. Analisis asam nukleat umumnya dilakukan untuk penentuan konsentrasi rata-rata dan kemurnian DNA yang terdapat dalam sampel. Jumlah dan kemurnian tertentu diperlukan untuk kinerja optimal sampel DNA yang digunakan. Asam nukleat menyerap sinar ultraviolet dengan pola tertentu. Sampel ditembus sinar ultraviolet dan fotodetektor cahaya pada 260 nm, semakin besar cahaya yang diserap sampel, maka semakin tinggi konsentrasi asam nukleat dalam sampel (Sambrook dan Russel, 2001). Spektrofotometer dapat digunakan untuk penentuan tingkat kemurnian DNA yang berkorelasi dengan kualitas DNA yaitu dengan melihat rasio absorbansi pada panjang gelombang 260 dan 280 nm (A260/280). Rasio absorbansi pada 260 nm dan 280 nm umumnya digunakan untuk menilai kontaminasi DNA oleh protein karena protein menyerap cahaya pada panjang gelombang 280 nm (Tataurov et al., 2008). Jumlah atau kuantitas DNA yang diukur menggunakan spektrofotometer menunjukkan jumlah DNA yang bersumber dari darah lebih tinggi daripada DNA yang bersumber dari bulu. Darah mengandung lebih banyak sel berinti daripada bulu. Bagian bulu yang digunakan untuk ekstraksi adalah bagian calamus. Sel berinti dari bulu diperoleh dari sel epitel dan darah yang menempel pada calamus. Calamus merupakan bagian bulu yang tertanam pada kulit (Pough et al., 2005). Selain menggunakan spektrofotometer, kualitas DNA ditentukan oleh intensitas cahaya pita DNA yang muncul pada agarose gel (Gambar 5). Pita DNA dari darah lebih terang daripada DNA dari bulu. Hal ini menunjukkan konsentrasi DNA yang berasal dari darah lebih tinggi daripada DNA yang berasal dari bulu. Konsentrasi DNA yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 50 μg/ml, adapun untuk sampel yang memiliki konsentrasi DNA di atas 50 μg/ml dilakukan pengenceran dengan menambahkan air destilata. Penggunaan sampel dengan konsentrasi DNA yang sama dilakukan agar keberhasilan amplifikasi seragam.
20
(-)
(+) Gambar 5. Elektroforesis DNA Hasil Ekstraksi dengan Agarose Gel 1,5% Amplifikasi dan Visualisasi Gen CHD DNA
hasil
ekstraksi
kemudian
diamplifikasi
menggunakan
proses
Polymerase Chain Reaction (PCR). Sebanyak 21 sampel DNA Aves berhasil diamplifikasi dengan suhu annealing 60 oC untuk sampel DNA ayam dan puyuh, dan suhu annealing 55 oC untuk sampel DNA itik, merpati, beo nias, kakatua maluku, dan kakatua-kecil Jambul-kuning. Sambrook et al. (1989) menjelaskan bahwa setiap 1% ketidakcocokan dari basa dalam DNA untai ganda (double-stranded DNA) mengurangi melting temperature (Tm) 1-1,5 oC. Sebanyak 21 sampel DNA hasil PCR dielektroforesis menggunakan agarose gel dengan konsentrasi 1,5%, dan berhasil diidentifikasi jenis kelaminnya (Gambar 6). Secara fisik, agarose tampak seperti bubuk putih yang sangat halus. Agarose yang dijual secara komersial terkontaminasi dengan polysacarida, garam dan protein. Banyak sedikitnya kontaminasi di dalam gel dapat mempengaruhi migrasi DNA di dalam gel dan kemampuan mengambil DNA dari dalam gel untuk digunakan sebagai substrat dalam reaksi enzimatis (Muladno, 2002).
21
(-)
600 bp 400 bp
(+) Gambar 6. Hasil PCR Gen CHD-Z dan CHD-W pada Tujuh Spesies Aves: (a) Ayam Kampung, (b) Puyuh, (c) Itik, (d) Merpati, (e) Beo Nias, (f) Kakatua Maluku, dan (g) Kakatua-kecil Jambul-kuning dengan Agarose Gel Electrophoresis 1,5% (-)
600 bp 400 bp
(+) Gambar 7. Rekonstruksi Hasil PCR Gen CHD-Z dan CHD-W pada Tujuh Spesies Aves: (a) Ayam Kampung, (b) Puyuh, (c) Itik, (d) Merpati, (e) Beo Nias, (f) Kakatua Maluku, dan (g) Kakatua-kecil Jambul-kuning dengan Agarose Gel Electrophoresis 1,5% Seluruh sampel dari Aves jantan menunjukkan pita tunggal, sedangkan pada betina menunjukkan pita ganda, kecuali pada itik dan merpati (Gambar 6 dan Gambar 7). Pita tunggal pada Aves jantan dikarenakan gen CDH yang teridentifikasi adalah gen CHD-Z, yaitu gen CHD yang berada pada kromosom Z. Sedangkan pada betina, gen CHD berada pada kromosom Z (CHD-Z) dan juga W (CHD-W), sehingga muncul dua buah pita DNA (Cerit dan Avanus, 2007; Dubiec dan ZagalskaNeubauer, 2006). Dubiec dan Zagalska-Neubauer (2006) menjelaskan bahwa primer
22
2550F/2718R menghasilkan satu pita pada beberapa spesies Aves betina. Namun, betina dan jantan pada itik dan merpati dapat dibedakan secara mudah karena keduanya memiliki panjang fragmen yang berbeda. Situs penempelan primer forward dan reverse pada merpati dan ayam Hutan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Sedangkan untuk jenis Aves lainnya yang diteliti belum ada sekuen gen CHD-Z maupun CHD-W, sehingga tidak diketahui letak situs penempelan primer dan panjang sekuen gen CHD-Z dan CHD-W. CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
1
ATTGAAATGATCCAGTGCTTGTTTCCTTAGTTCCCCTTTTATTG GTTACTGATTCGTCTACGAGAACGTGGCAACAGAGTACTGATTT GCTACTGATTCGTCTGCGAGAACGTGGCAACAGAGTTCTGATTT GTTACTGATTCGTCTACGAGAACGTGGCAACAGAGTACTGATTT
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
45
ATCCATCAAGTCTCTAAAGAGATTGAATACTATAGTTAAAAAGC TCTCTCAGATGGTTAGGATGCTAGACATATTAGCAGAGTATTTG TCTCTCAGATGGTGAGGATGCTGGACATCCTAGCAGAATATCTG TCTCTCAGATGGTGAGGATGCTAGACATCCTAGCAGAATACTTG
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
89
AATTTTATATTCAAAATATTCTAATATTCTCTATACAAAATCTC AAGTATCGTCAATTTCCCTTTCAGGTGAGAATTTTTCTGGTAGT AAGTATCGCCAGTTTCCCTTCCAGGTAACAATCTCGAGTAACCA AAGTATCGTCAGTTTCCTTTTCAGGTAAGAATTTTGATGGTAGT
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
133
AGAGCACCTTGAATTCTCAACTGCTAAAACTGTTATGTGAAGGT AGCCAAGAAGCCTTGATCTTTACCACTTTATCCTTTTTGTAGAT AGAGGTCTTGATCCTGAACTTAAGAAAAATCATGTTTATATTCT AGCCAAGAAGCCTTGATCTTTGCCACTTTATCTTAAGTAAAAGT
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
177
GAAAAAAGTAACGCAACACTGCACATAATTTTTAAATTAATCTA TTATGAAAGTTTAATTTTACATACAGGAAAAGACTGGCAATTAA GAGGGTGACATGGTGGAGTGAGCTGTACAGATGTCGTGAAATCT GTCCTTTCTGTAGAAAAGACTTCTAAAAGTTTAATTTTATGTAT
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
221
TTTCCTTTCAAAATACTACTTAGTACAAAACCACATTTTCTTTT TGCATGCTAAATAGTATTTTGAAGTTAAACTGATGAATTAGAAA CCATTCTCTGTGATACATAAAAGTCAACTGGGCACTGTCCTGGT AGAAAAAGACTGGCAATTACTATGGTGTGAGGTGTTGCATTATT
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
265
ATCTTTTCTTAAGCAAAGTGGTAAAGATCATATAATTGCAAAAC GATGAAGTGTTTACATTACTTTTATTCCACCCCACCCCCTCAGT TAGCCTGCTGTAGCAGACCTTGCTTGGAAACAGGACAAGATGAC CTCCTCCTCCTCCTTCCCCCCCATTCCTCCCCTTGCCCTCAGTT
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
309
AGTCGAATTTGGAAAGGACTGCTGGAGGTCATCTTGTCTAAGTC TGTTTTGGCAATTGAGAATTAAAGTTGCTCTGATTAGAATATAG CTCTAGAGGTCGTTGCCAGTATTTCAACCATCTGTGATTATTTG GTTTTGGCAATTGAGTATTCAGGTTGCTCTGATTAGAATATAGT
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
353
CCCTACTCAGGTGGGGACAGTTAAAGCAGGTTTCACACGGTTAT AAGGAATTCCTTTTTAACTGTATTATTCAATCTCTTTAGAGACT ATCTTCACCATTTTGCTTAAGAAAAGAAAGCAACTTTCAGTTAA ATGAGTTCCTTTTTAACTGTAATATTTGATCTCTTTAGAGACTT
dilanjutkan... 23
lanjutan... CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
397
GTCCAGGTGGCTTTTGAATGTCAAAGAGGATGGAGATTCCATGA TGATGGATCAATAAAAGGGGAATTGAGGAAACAAGCACTGGATC AAAGATTATGTGAACAAATATGTTAACATTCCTTCTTTTTGTTC GATGGATCAATAAAAGGAGAACTGAGGAAACAAGCACTGGATCA
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
441
CCTCTGGGCAACTTGTTCAGTGCTCCGTCAGCCTCAGAGTAAAG ATTTCAAT-----------------------------------CTTCACATTGCTGTTTTATCAGTTAAAAAGTCAAGTTACTGTGA TTTCAAT-------------------------------------
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
485
AAAAGATTTTTCTTATATTCAAGGTCAAAGCTTCTTGGCTACTA -------------------------------------------TGGGAATATAGCTAAAGAATTACTTTTAGACTGTAGTTTTCAAT --------------------------------------------
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
529
CCACCACAACTCTTACCTGAAAAGGAAACTGACGATACTTCAGA -------------------------------------------CTCTTTAGAGACTTGATGGATCAATAAAAGGGGAATTGAGGAAG --------------------------------------------
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
573
TATTCTGCTAAGATGTCCAGCATCCTCACCATCTGTGAGAAAAT -------------------------------------------CAAGCACTGGATCATTTCAAT------------------------------------------------------------------
CHDZ CHDW CHDZ CHDW
C. C. G. G.
livia livia gallus gallus
617
GAGTACTCTGTTGCCACGTTCTCGTAGACGAATCAGTAAC-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gambar 8. Situs Penempelan Primer pada Sekuen Gen CHD-Z dan CHD-W pada Columba livia dan Gallus gallus. Situs Penempelan Primer Forward (Warna Kuning), Situs Penempelan Primer Reverse (Warna Hijau) Sekuen target gen CHD-Z yang dibatasi oleh primer 2550F/2718R pada merpati berukuran lebih panjang daripada gen CHD-W. Panjang sekuen gen CHD-Z pada merpati adalah 656 bp, dan panjang CHD-W 448 bp. Sekuen target gen CHD-Z dan CHD-W tidak ditemukan pada ayam Kampung, tetapi ditemukan pada ayam Hutan. Sekuen gen CHD-Z pada ayam Hutan (593 bp) juga berukuran lebih panjang daripada sekuen gen CHD-W (447 bp) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Panjang pita CHD-Z yang lebih panjang daripada CHD-W menyebabkan pita CHDZ berada di atas pita CHD-W. Muladno (2002) menjelaskan bahwa migrasi molekul DNA berukuran besar lebih lambat daripada migrasi molekul berukuran kecil. Perbedaan panjang antara sekuen gen CHD-Z dan CHD-W berjarak 146 bp pada ayam Hutan dan 208 bp pada merpati. Dubiec dan Zagalska-Neubauer (2006) menyatakan bahwa primer 2550F/2718R dapat mengamplifikasi gen CHD-Z dan CHD-W dengan perbedaan sekitar 150-250 bp.
24
Implementasi Penentuan Jenis Kelamin Aves di Indonesia Metode ini akan berguna untuk studi, program pemuliaan dan program konservasi burung-burung langka seperti kakatua dan beo. Pengembangan keilmuan dapat dilakukan seperti untuk mengobservasi gen-gen lain yang berada di kromosom jenis kelamin untuk keperluan penentuan jenis kelamin. Hasil penelitian juga dapat dijadikan acuan untuk menentukan jenis kelamin bangsa-bangsa lain dalam species yang sama. Misalnya, dengan diketahuinya pola pita CHD-Z dan CHD-W pada Gallus gallus maka dapat dijadikan acuan untuk bangsa-bangsa ayam lain, seperti ayam pelung, ayam cemani, ayam arab, dsb. Penentuan jenis kelamin juga penting untuk kepentingan pemulian ternak, salah satunya untuk seleksi pejantan dan indukan, sehingga dapat mengembangkan ternak sesuai dengan tujuan. Beo nias, kakatua maluku dan kakatua-kecil Jambul-kuning termasuk dalam daftar Appendix CITES. CITES merupakan peraturan yang mengatur perdagangan internasional flora dan fauna yang dilindungi. Beo nias dan kakatua-kecil Jambulkuning terdaftar dalam Appendix II, sedangkan kakatua maluku tercatat dalam kategori Appendix I. Kedua kategori ini dilarang diperdagangkan kecuali dalam kondisi tertentu, misalnya keturunannya (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Ketiga jenis burung endemik Indonesia ini sangat diminati di pasar internasional. Pasar terbesar untuk kakatua maluku dan kakatua-kecil Jambul-kuning diantaranya Amerika Serikat dan Eropa, sedangkan pasar beo nias adalah negaranegara Asia (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Tingginya permintaan burungburung tersebut menyebabkan populasinya menurun drastis di alam, sehingga dibuatlah peraturan perdagangan seperti yang tertera dalam CITES. Namun, hingga kini permintaan ketiga jenis burung tersebut masih tinggi. Penangkaran atau captive breeding merupakan solusi dari tingginya permintaan pasar ketiga jenis burung tersebut. Penangkaran diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam, bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan yang meliputi pula kegiatan mengumpulkan bibit atau induk, pembiakan atau perkawinan atau penetasan telur, pembesaran anak, serta restocking atau pemulihan populasinya di alam (Thohari, 1987).
25
Penangkaran beo nias, kakatua maluku maupun kakatua-kecil Jambul-kuning belum banyak berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena para penangkar kesulitan untuk mengawinkan burung akibat sulitnya menentukan burung jantan dan betina. Dengan penentuan jenis kelamin yang akurat seperti dengan menggunakan pendekatan molekuler, diharapkan dapat memperbaiki manajemen perkawinan dan meningkatkan populasi jenis-jenis endemik Indonesia.
26