HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi. Komponen antinutrisi dalam bahan pakan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kesehatan. Salah satu senyawa antinutrisi yang terdapat dalam pakan ternak adalah asam fitat. Asam fitat adalah salah satu senyawa antinutrisi yang mampu mengikat mineral, sehingga penyerapan mineral oleh tubuh akan menurun. Beberapa bahan pakan seperti dedak padi mengandung asam fitat 6,9%, pollard 4,46%-5,56%; barley 1,08%-1,16%; jagung 0,76%; oats 0,8%-1,02% (Sumiati, 2006). Kadar nutrien dan asam fitat komponen ransum ditunjukkan dalam Tabel 2.
Kadar asam fitat bahan
pakan yang digunakan dalam penelitian dapat dinyatakan tinggi yaitu 3,57%. Kadar tersebut dapat menyebabkan ketersediaan fosfor dan mineral lain terbatas kecuali jika asam fitatnya mengalami degradasi. Tabel 2. Kadar Nutrien dan Asam Fitat Ransum yang Diberikan pada Kambing Laktasi Pakan Campuran 1 85,69
Pakan Campuran 2 84,18
Ampas Tempe 20,59
Rumput Lapang 22,42
Abu
10,85
10,85
4,42
11,69
Protein Kasar
21,96
16,27
18,02
13,29
Serat Kasar
17,62
19,29
51,68
39,16
2,26
2,77
2,23
1,29
47,31
50,82
23,65
34,57
3,75
3,77
3,77
3,18
Kode Bahan Kering(%) Komponen (% BK)
Lemak Kasar Beta-N Asam Fitat
Keterangan : Data diperoleh dari analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, dan analisis kadar fitat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2012).
Pakan perlakuan yang diberikan pada kambing percobaan tidak berbeda, walaupun terdapat perbedaan komponen pakan khususnya kedelai sangrai. Menurut 15
Sumiati (2006), kedelai dan hasil olahannya yang mengandung protein tinggi juga mengandung asam fitat tinggi. Muchtadi (1998) menyebutkan bahwa asam fitat sangat tahan terhadap pemanasan selama pengolahan. Produk olahan kedelai tanpa fermentasi tetap mengandung asam fitat. Fermentasi dapat mengurangi bukan menghilangkan asam fitat, namun tempe dan kecap sudah tidak mengandung senyawa tersebut. Konsumsi Nutrien Kebutuhan nutrisi kambing laktasi lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan kambing dengan status fisiologis lain. Menurut Orskov (2001), kondisi fisiologis ternak juga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ternak. Sehingga kambing dengan status fisiologis laktasi mampu mengkonsumsi pakan lebih banyak untuk menunjang kebutuhan nutrisi saat laktasi. Konsumsi nutrien pada kambing laktasi yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Rataan Konsumsi Nutrien pada Kambing Laktasi yang Digunakan dalam Penelitian Konsumsi
Perlakuan 1
Perlakuan 2
(g/ekor/hari)
Bahan Kering
1796±30,0
1719±61,0
Bahan Organik
1659±27,0
1588±57,0
291±5,0
283±10,0
786±12,0
762±36,0
35±0,7
33±1,1
Protein Kasar Serat Kasar Lemak Kasar
Keterangan: Perlakuan 1 = tidak mendapat suplemen vitamin dan mineral, Perlakuan 2 = mendapat suplemen vitamin dan mineral serta kedai sangrai.
Tingkat konsumsi nutrien kambing yang tidak mendapat suplemen (perlakuan 1) dan yang mendapat suplemen (perlakuan 2) tidak berbeda nyata (P>0,05). Konsumsi bahan kering cenderung menurun jika ransum disuplementasi dengan vitamin dan mineral serta ditambah kedelai sangrai. Penurunan konsumsi bahan kering tidak mengurangi konsumsi nutrien lain (protein kasar, lemak kasar, serat kasar). Tambahan vitamin dan mineral dan kedelai sangrai ke dalam ransum cenderung mempengaruhi palatabilitas dan selera makan kambing laktasi.
16
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi adalah faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kondisi ternak itu sendiri), yang meliputi suhu lingkungan, palatabilitas, selera, status fisiologis (umur, jenis kelamin, kondisi tubuh), konsentrasi nutrisi, bentuk pakan, bobot badan dan produksi (Mulyono, 2005). Konsumsi bahan kering ternak juga dapat dipengaruhi oleh sistem pencernaan ternak. Pengurangan konsumsi pakan pada ternak ruminansia terjadi apabila waktu retensi pakan meningkat, sehingga kapasitas rumen dalam menampung pakan berkurang (Orskov, 2001). Namun dalam hal ini jenis pakan yang diberikan sama kecuali terdapat penambahan kedelai sangrai. Penambahan kedelai sangrai sebanyak 13,16% dalam ransum yang diberikan pada kelompok kambing perlakuan 2, meningkatkan kadar protein dan lemak ransum, sehingga ransum semakin padat nutrien dibandingkan dengan ransum tambahan pada perlakuan 1. Kecernaan Nutrien Nutrien tercerna adalah nutrien yang tidak terdapat dalam feses karena diabsorbsi oleh dinding saluran pencernaan. Tingkat konsumsi bahan kering yang berbeda-beda akan mempengaruhi tingkat kecernaan nutrien tiap individu. Selain itu, kecernaan nutrien juga dipengaruhi oleh komposisi pakan, formulasi ransum, teknik pengolahan pakan, suplementasi enzim, jenis ternak, dan tingkat konsumsi ternak (Apdini, 2011). Oleh karena itu, setiap individu kambing memiliki tingkat kecernaan bahan kering yang berbeda-beda. Nilai kecernaan nutrien pada kambing percobaan ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Rataan Kecernaan Nutrien Ransum yang Diberikan pada Kambing Laktasi yang Digunakan dalam Penelitian Kecernaan
Perlakuan 1 (%)
Perlakuan 2 (%)
BK
85,20±2,94
84,75±3,12
PK
81,50±1,90
81,19±3,48
LK
73,30±5,33
72,25±4,62
SK
85,31±4,80
86,15±3,38
Keterangan: BK = bahan kering, PK = protein kasar, LK = lemak kasar, SK = serat kasar, Perlakuan 1 = tidak mendapat suplemen kedelai sangrai, vitamin dan mineral, Perlakuan 2 = mendapat suplemen kedelai sangrai, vitamin dan mineral.
17
Kecernaan nutrien antara kambing yang mendapat suplemen kedelai sangrai, vitamin mineral dan yang tidak, memiliki nilai kecernaan yang tidak berbeda nyata (Tabel 4). Hal tersebut dapat diartikan bahwa suplementasi kedelai sangrai, vitamin dan mineral ke dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kecernaan nutrien ransum. Rataan kecernaan bahan kering pada kambing percobaaan dapat dinyatakan tinggi karena mencapai nilai 84,98±2,82%. Nilai kecernaan yang tinggi dapat diartikan bahwa nutrien yang dikonsumsi dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Rataan kecernaan protein kasar pada penelitian ini juga tergolong tinggi. Kecernaan protein kasar dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan dan komposisi kimia protein pakan. Kandungan protein pakan yang digunakan dalam penelitian ini berkisar antara 16,46%, hasil ini dapat dinyatakan bahwa kadar protein pakan tergolong tinggi. Rataan kecernaan lemak kasar pada penelitian ini adalah 72,78±4,65%. Hal tersebut menunjukan bahwa kecernaan lemak dapat dinyatakan normal dan tinggi. Rataan kecernaan serat kasar dalam penelitian ini tergolong tinggi. Menurut Nurhajah (2007) kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan pakan seperti kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Tingginya nilai
kecernaan serat kasar diduga disebabkan karena komponen serat pakan dalam penelitian ini mudah dicerna, karena rumput yang diberikan diperkirakan cukup muda. Demikian juga serat ampas tempe walaupun berkadar serat tingi namun mudah dicerna, sehingga kecernaan secara kesuluruhan menjadi tinggi. Hubungan Kecernaan Bahan Kering Metode Koleksi Total dengan Metode AIA Kandungan serat kasar dalam pakan yang tinggi, akan menyebabkan berkurangnya nilai kecernaan. Komponen serat kasar yang sulit dicerna dibentuk dari selulosa, hemiselolsa, lignin dan silika (Putra, 2011). Tinginya silika berkorelasi dengan tingginya komponen serat yang tahan terhadap fermentasi oleh mikroba rumen. Kadar abu yang larut dalam asam, atau selisih dari kadar abu sebelum dan setelah pencucian dengan asam dapat memberikan gambaran kecernaan komponen bahan pakan (Apdini, 2011). Hasil pengukuran rataan kecernaan bahan kering metode koleksi total mencapai 84,98±2,82%, sedangkan rataan pengukuran metode AIA mencapai 18
75,20±3,75%. Regresi antara koefisien cerna bahan kering dengan metoda koleksi total dengan metode AIA mempunyai nilai korelasi r2 = 0,39 (P>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa koefisien cerna yang diukur dengan metode koleksi total dan AIA tidak sama. Koefisien cerna bahan kering yang diukur dengan metode koleksi total menunjukkan nilai simpangan baku yang rendah. Koefisien regresi yang kecil menggambarkan variasi yang besar pada pengukuran kecernaan dengan metoda AIA. Variasi yang cukup besar pada koefisen cerna metode AIA diduga terkait diantaranya dengan pemberian tambahan pakan lengkap yang diberikan kepada kambing.
Pemberian tambahan pakan lengkap diduga menurunkan
kecernaan komponen serat. Penambahan vitamin, mineral serta kedelai sangrai ke dalam ransum diduga juga berkontribusi terhadap variasi kecernaan komponen serat yang diekpresikan oleh nilai AIA yang bervariasi dibandingkan dengan koefisen cerna dengan metode koleksi total. Degradasi Asam Fitat Degradasi asam fitat merupakan proses pemutusan antara ikatan gugus myoinositol dan gugus asam fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan oleh mikroba rumen (Bedford dan Partridge, 2001). Fosfat yang terlepas dari asam fitat, akan dapat dimanfaatkan oleh ternak. Pencernaan ruminansia mampu menyediakan unsur P antara 0,33% sampai 0,99 % BK (Mc Donald et al., 2002). Tabel 5 menunjukkan rataan konsumsi dan degradasi asam fitat pada kambing laktasi yang mendapat suplemen kedelai sangrai, vitamin, dan mineral. Total konsumsi bahan kering dapat mempengaruhi total asam fitat yang dikonsumsi.
Konsumsi asam fitat pada
kelompok kambing perlakuan 2 cenderung menurun mengikuti konsumsi bahan kering ransum. Tidak terdapat perbedaan konsumsi, ekskresi dan degradasi asam fitat pada kedua kelompok kambing dengan tambahan pakan yang berbeda. Suplementasi kedelai sangrai, vitamin, dan mineral ke dalam ransum tidak mempengaruhi tingkat degradasi asam fitat. Asam fitat merupakan suatu senyawa yang tidak larut, sehingga sukar dicerna dan tidak dimanfaatkan oleh tubuh, hal ini mengakibatkan diekskresikannya fosfor dalam jumlah besar yang akan mencemari lingkungan (Oatway et al., 2001). Namun pada kambing, seperti halnya kecernaan nutrien komponen pakan, mikroba rumen mampu mendegradasi fitat dalam pakan yang dikonsumsinya.
Rataan tingkat 19
degradasi asam fitat dalam rumen mencapai 86,32±3,49%.
Nilai tersebut
menggambarkan bahwa asam fitat dapat didegradasi dengan baik dalam rumen kambing.
Mikroflora dalam rumen ternak ruminansia menghasilkan fitase yang
dapat menghidrolisis senyawa tersebut dalam jumlah besar. Sebagian kecil asam fitat yang tidak mampu di degradasi oleh mikroba rumen, dikeluarkan kembali melalui feses, sehingga di dalam feses juga masih terdapat kandungan asam fitat. Tabel 5. Rataan Konsumsi dan Degradasi Asam Fitat pada Kambing Laktasi yang Mendapat Suplementasi Kedelai Sangrai, Vitamin dan Mineral Fitat Konsumsi (g/ekor/hari) Feses (g/ekor/hari) Degradasi (%) Keterangan:
Perlakuan 1
Perlakuan 2
64,02±1,09
61,14±2,15
9,41±2,83
7,74±1,57
85,33±4,27
87,31±2,75
Perlakuan 1 = ransum tambahan tidak mendapat suplemen vitamin dan mineral, Perlakuan 2 = ransum tambahan yang mendapat suplemen vitamin dan mineral serta kedelai sangrai.
Nilai degradasi asam fitat dalam penelitian ini menunjukan bahwa tidak semua unsur P dalam pakan tidak seluruhnya dapat digunakan kambing, karena sebagian masih terikat dalam bentuk asam fitat. Adanya bagian asam fitat yang tidak terdegradasi menunjukkan bahwa sejumlah mineral lainnya pun dapat ikut terekresikan dalam feces, karena asam fitat yang tidak terdegradasi mampu mengikat usur esensial lain khususnya yang bervalensi dua. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam suplementasi mineral perlu mempertimbangkan keberadaan asam fitat yang tidak terdegradasi. Hubungan Degradasi Asam Fitat dengan Kecernaan Nutrien Asam fitat merupakan suatu senyawa anti nutrisi yang mampu mengikat mineral dan komponen nutrien lainnya. Adanya degradasi asam fitat diharapkan mampu melepaskan ikatan fitat dengan komponen nutrien, sehingga kecernaan nutrien dapat meningkat. Tabel 6 menunjukkan hubungan antara tingkat degradasi asam fitat dengan kecernaan bahan kering (KcBK), protein kasar (KcPK), lemak kasar (KcLK) dan serat kasar (KcSK) serta absorbsi mineral. Degradasi asam fitat mempunyai hubungan regresi positif dengan kecernaan bahan kering dan serat kasar, 20
namun mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan kecernaan protein dan lemak kasar serta absorbsi mineral. Hubungan regresi antara kecernaan bahan kering dan serat kasar menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dan serat kasar yang tinggi seiring dengan tingginya degradasi asam fitat. Data tersebut menunjukkan bahwa degradasi asam fitat diperkirakan bersamaan dengan fermentasi komponen pakan lainnya khususnya karbohidrat mudah dicerna dan keduanya mempunyai laju degradasi yang sama cepatnya. Tabel 6. Hubungan Regresi antara Degradasi Asam Fitat dengan Kecernaan Nutrien serta Hubungan Regresi Degradasi Asam Fitat dengan Absorbsi Mineral Degradasi Fitat vs. KcBK
A
B
P
r2
-1,8
1,04
0,009
0,70
KcPK
-
-
>0,05
-
KcLK
-
-
>0,05
-
KcSK
15,4
0,827
0,001
0,84
*Absorbsi P
-
-
>0,05
-
*Absorbsi Mg
-
-
>0,05
-
*Absorbsi Na
-
-
>0,05
-
*Absorbsi Ca
-
-
>0,05
-
*Absorbsi Zn
-
-
>0,05
-
*Absorbsi K
-
-
>0,05
-
Keterangan: a = intersep/perpotongan, b = gradien/kemiringan, P = nilai probability regresi, r2 = koefisien regresi. *Data absorbsi mineral diperoleh dari penelitian Altami Nurmila Daniari yang belum dipublikasikan.
Asam fitat mudah bereaksi dengan protein membentuk
kompleks fitat-
protein yang dapat menurunkan kelarutan protein. Laju hidrolisis protein oleh enzimenzim proteolisis menurun akibat protein terikat oleh fitat. Asam fitat juga mengikat karbohidrat sehingga memberikan efek merugikan bagi ternak (Oatway et al., 2001). Tidak adanya hubungan regresi antara degradasi asam fitat dengan kecernaan protein dan asam lemak menunjukkan bahwa asam fitat tidak berpengaruh terhadap kecernaan protein kasar, karena degradasi asam fitat sangat tinggi dan laju degradasinya lebih tinggi dari laju degradasi protein dan asam lemak. Asam fitat tidak mengikat baik protein maupun lemak komponen pakan. Degradasi asam fitat 21
yang mencapai 86,32% menunjukkan bahwa asam fitat dalam ransum tersebut diduga tidak mengganggu aktifitas enzim mikroba rumen dan tidak menggangu pencernaan protein dan lemak. Degradasi asam fitat yang mencapai 86,32% pada kambing laktasi, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak berpengaruhnya kadar asam fitat terhadap absorbsi mineral P, Mg, Na, K, Ca dan Zn.
Adanya asam fitat
sebanyak 13,68% yang tidak mampu terdegradasi, tidak mengganggu penyerapan mineral dalam tubuh. Kambing mampu menggunakan unsur P yang dilepaskan dari degradasi asam fitat yang terdapat pada pakan.
Tidak adanya korelasi tingkat
degradasi asam fitat dengan absorpsi P menunjukkan bahwa P dalam ransum diperkirakan tidak saja berasal dari asam fitat. Fitat diperkirakan hanya mempunyai nilai guna P sekitar 46% atau kurang (Widodo, 2005). Degradasi asam fitat yang tinggi menunjukkan bahwa asam fitat menyumbangkan unsur P dalam jumlah yang banyak. Namun unsur P yang tersedia untuk tubuh ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bentuk ransum yang diberikan, struktur kimia P dan perbandingannya dengan Ca dalam pakan, umur dan jenis kelamin ternak (Widodo, 2005).
22