HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Pati Sagu Pati merupakan bahan cadangan karbohidrat alami yang diakumulasikan oleh tanaman berklorofil dalam bentuk granula. Pati disusun oleh molekul polisakarida linier (amilosa) dan molekul bercabang (amilopektin). Polimer alami yang bersifat dapat diperbaharui dan murah menyebabkan pati banyak ditambahkan ke dalam polimer sintetik untuk menjadikan polimer lebih mudah terdegradasi dan mengurangi biaya produksi pada produk akhir. Namun demikian, perbedaan sifat antara pati dan polimer sintetis membutuhkan adanya perlakuan khusus agar keduanya dapat bercampur dengan sempurna. Karakterisasi pati sagu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal pati sagu sebelum dilakukan proses pencampuran dengan compatibilized Linier Low Density Polyethylene (compt.-LLDPE). Karakterisasi pati sagu meliputi analisis mutu dan sifat fisiko kimia. Analisis mutu mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3729-1995 tentang standar mutu pati sagu. Hasil analisis karakteristik pati sagu tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik pati sagu Standar mutu Kadar air (% bb) Kadar abu (% bk) Kadar serat kasar (% bk) Total asam (ml NaOH 0,1 N/g bahan) Kehalusan / Lolos saringan 100 mesh (%) Sifat Fisiko-kimia Bentuk granula Ukuran granula pati (μm) Kadar pati (% bk) Rasio amilosa (%) Kadar lemak (% bk) Kadar protein (% bk)
Persyaratan1 Maks. 13 Maks. 0,5 Maks. 0,1 Maks. 4
Data2 10,47 0,08 0,32 0,61
Pustaka3 14,08 0,20 1,06 1,57
Min. 95
100
47,70
Oval 9,4-91,5 88,80 30,95 0,0088 0,31
Oval 41,7-75,2 96,12 26,19 0,51 1,82
Pustaka4
82,35 29,52 0,07 0,12
SNI 01-3729-1995 tentang standar mutu pati sagu 2) Data penelitian dari 3 kali ulangan 3) Yuliasih (2008) 4) Limbongan (2007) 1)
33
Hasil analisis mutu pati sagu menunjukkan bahwa pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini dalam kondisi yang memenuhi standar mutu yang ditetapkan, yakni kadar air, abu, total asam dan kehalusan. Mutu pati sagu sangat bergantung pada jenis sagu yang digunakan dan proses pengolahan. Selain itu, mutu pati sagu yang dipersyaratkan akan memiliki perbedaan khusus yang bergantung pada kebutuhan produk yang akan diaplikasikan, misalnya untuk produk pangan atau non pangan. Dalam penelitian ini, pati akan digunakan sebagai bahan campuran plastik. Pengendalian mutu bahan dilakukan melalui pengkondisian awal terhadap kadar air dan tingkat kehalusan, dimana kedua faktor ini akan berpengaruh signifikan terhadap sifat mekanik plastik yang dihasilkan. Kadar air yang ada pada sagu dalam penelitian ini yaitu 10,47% (bb). Kadar air merupakan jumlah kandungan air yang terdapat dalam bahan dan dinyatakan dalam persen dari berat bahan. Kadar air ditentukan pada tahapan proses pengeringan dan penyimpanan. Proses pengeringan sagu yang dilakukan pada pengrajin umumnya dilakukan di bawah sinar matahari. Dalam penelitian ini, pengeringan dilakukan di oven untuk lebih mengontrol kadar air yang ada dalam sagu. Secara umum kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur dan bau asam. Jika dikaitkan dengan pati yang akan ditambahkan pada polimer plastik, kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi dan memberikan efek negatif terhadap interaksi interfasial antara pati dengan polimer. Demikian pula kadar air yang sangat rendah akan mengurangi aglomerasi granula pati selama proses pencampuran plastik yang dapat menurunkan sifat mekanik plastik yang dihasilkan. Selain itu, pada pembuatan pati termoplastis, air yang berlebih akan memunculkan gelembung dalam campuran polimer yang dihasilkan. Gelembung ini tidak hanya mempengaruhi estetika tapi juga mengurangi sifat mekanis (Favis 2005). Kandungan abu menunjukkan banyaknya mineral yang tersisa setelah bahan dipijarkan dan dinyatakan dalam persen berat bahan. Kadar abu dari sagu dalam penelitian ini cukup rendah yaitu 0,08% (bk). Abu merupakan bahan anorganik yang keberadaannya dipengaruhi oleh jenis sagu, tempat sagu tumbuh dan pengaruh lingkungan tanah dan air yang digunakan saat proses ekstraksi.
34
Kadar serat sagu dalam penelitian ini adalah 0,32% (bk) melebihi dari standar mutu yang mempersyaratkan serat maksimal sebanyak 0,1%. Tingginya serat dalam pati sagu dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati yang kurang sempurna, khususnya pada saat pemarutan dan penyaringan ampas sagu. Serat kasar dalam pati sagu berasal dari komponen selulosa batang pohon sagu yang terikut pada saat proses pengolahan. Namun demikian, serat dalam pati yang akan dicampurkan pada pembuatan plastik tidak memberikan pengaruh negatif dan justru dapat meningkatkan sifat mekanik pada plastik campuran. Serat merupakan polimer linier dengan struktur yang teratur, panjang dan tidak bercabang sehingga memiliki gaya dispersi yang maksimum. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat mekaniknya.
Bahkan, salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kelemahan pati termoplastis akan sifatnya yang rapuh adalah dengan cara menambahkan serat dan material organik lainnya (Corradini et al. 2007). Dengan demikian, nilai serat pati yang melebihi standar justru menjadi keuntungan dalam proses ini. Total asam pati sagu masih masuk dalam standar kurang dari 4 ml NaOH 0,1 N/g pati, yaitu 0,61 ml NaOH 0,1 N/g pati. Nilai total asam merupakan parameter yang dapat menunjukkan tingkat kerusakan. Penurunan kualitas dan terjadinya kerusakan dapat terjadi karena adanya air yang berlebihan terutama selama masa penyimpanan sehingga terbentuk bau dan memicu tumbuhnya mikroorganisme. Adanya air akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis pati baik secara enzimatis maupun fisik menjadi molekul-molekul gula. Hidrolisis gula lebih lanjut akan menghasilkan senyawa asam. Pati sagu berbentuk bubuk dengan ukuran tertentu. Pada umumnya pati sagu yang diproses secara tradisional memiliki ukuran bubuk yang tidak seragam. Pati sagu di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan jumlah yang lolos saringan 80 mesh relatif kecil yakni kurang dari 50% (Yuliasih 2008). Dalam penelitian ini, bubuk pati dilakukan pengecilan ukuran hingga 200 mesh agar pencampuran dengan polimer sintetis bisa lebih baik. Semakin kecil ukuran partikel akan mampu meningkatkan dispersitas dan homogenitas campuran. Pengecilan ukuran 200 mesh akan menghasilkan partikel berukuran 0,101 cm atau 1010µm.
35
Sifat fisiko kimia pati sagu dipengaruhi oleh varietas sagu dan tempat tumbuh karena terkait dengan komponen-komponen penyusunnya. Sifat fisik pati sagu dapat dijelaskan melalui bentuk dan ukuran granula pati. Bentuk granula pati sagu adalah oval dengan ukuran granula relatif besar yakni diameter berkisar antara 9,4-91,5 μm seperti digambarkan pada Lampiran 3. Ukuran granula yang besar akan mempengaruhi pengembangan granula pati. Hal ini dikarenakan granula pati yang besar menunjukkan ketahanan yang lebih baik terhadap perlakuan panas dan air dibandingkan granula yang lebih kecil. Namun demikian, ukuran granula pati yang besar akan berpengaruh negatif terhadap tingkat biodegradabilitas dan sifat mekanik pada plastik yang ditambahkan pati. Nikazar et al. (2005) menyatakan bahwa ukuran granula pati yang kecil akan meningkatkan kemampuan biodegradasi plastik campuran. Wang dan Liu (2002) melaporkan bahwa Sifat fisik film campuran pati-PE dengan menggunakan pati jagung berdiameter rata-rata 2μm, memiliki tingkat elongasi yang baik. Demikian pula dengan plastik yang dicampur dengan pati beras dengan diameter granula yang kecil menghasilkan plastik dengan sifat kuat tarik yang lebih baik dibandingkan dengan pati dengan diameter granula yang besar. Kadar pati sagu dalam penelitian ini adalah 88,80% (bk). Sifat kimia pati sagu menggambarkan komponen-komponen penyusun pati. Secara kimia, pati terdiri dari komponen mayor dan minor. Komponen mayor adalah amilosa dan amilopektin, sedangkan komponen minor seperti lemak, protein dan serat. Meskipun dalam jumlah kecil, komponen minor memberikan pengaruh penting terhadap sifat fungsional pati. Rasio amilosa sagu yang digunakan dalam penelitian ini cukup tinggi hingga mencapai 30,95%. Amilosa memiliki kecenderungan membentuk film yang kuat dibandingkan amilopektin (Thomas & Atwell 1999). Dalam pustaka lain dinyatakan aplikasi yang membutuhkan viskositas, stabilitas dan kekuatan mengental yang baik, digunakan pati dengan kandungan amilopektin tinggi, sedangkan untuk membentuk film dan gel yang kuat, digunakan pati dengan kandungan amilosa tinggi. Ciri film amilosa yaitu isotrop, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak berbahaya, buram dan absorbabel. Film amilosa tahan terhadap beberapa pelarut, minyak pelumas dan sangat tidak tembus oksigen
36
(Wolf et al. 1951). Hal ini ditegaskan kembali oleh Nikazar et al. (2005) yang menyatakan bahwa rasio amilosa dan amilopektin pada pati akan berpengaruh pada sifat fisik campuran pati-PE. Kadar protein pati sagu dalam penelitian ini adalah 0,31% (bk). Protein dalam pati sagu juga berpengaruh terhadap pencampuran dengan polimer sintetis. Hasil penelitian Wang dan Liu (2002) menyatakan bahwa adanya penghilangan protein pada pati beras menyebabkan dispersi pati lebih meningkat. Adanya protein dalam pati beras meningkatkan interaksi antar granula pati, sehingga menghalangi penyebaran pati yang dicampurkan kedalam matrik LDPE. Kadar lemak sagu dalam penelitian ini sangat rendah yaitu 0,0088% (bk). Adanya lemak dalam pati akan menghambat granula pati untuk mengikat air. Lemak akan membentuk lapisan yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Hasil karakterisasi pati sagu menunjukkan bahwa pati sagu dalam penelitian ini telah memenuhi standar mutu dan berdasarkan sifat fisiko kimia menunjukkan hasil yang baik sebagai bahan baku pembuatan pati sagu termoplastis untuk selanjutnya dicampurkan dengan polimer sintetis. Hal ini terutama dikaitkan dengan beberapa karakteristik pati yang berpengaruh signifikan dalam proses pencampuran dengan polimer sintetis, yaitu kadar air, amilosa, serat, bentuk dan ukuran granula pati, protein serta tingkat kehalusan. Pembuatan Pati Sagu Termoplastis Pati yang mengalami perlakuan panas disertai gesekan pada kisaran suhu 90-180oC dengan tambahan plasticizer seperti gliserol, akan bertransformasi membentuk molten plastic atau disebut thermoplastic starch (pati termoplastis) (Corradini et al. 2007). Selama proses termoplastisasi, air akan masuk dalam pati dan bahan pemlastis akan berperan sangat penting, yaitu membentuk ikatan hidrogen dengan pati, sehingga terjadi reaksi antara gugus hidroksil dan molekul pati yang membuat pati menjadi lebih plastis (Kalambur & Rizvi 2006). Pati termoplastis disebut juga sebagai plasticized starch, dimana pati diproses dengan kadar air rendah dan tingkat destrukturisasi yang tinggi, seperti diilustrasikan pada Gambar 15.
37
Kadarr air
Roti d dan makanan
Reinfo orced plastiic
Pati tergelatinisasi P Pati mengembang
Pati termoplasttis Pati terdestruk‐ turisasi
Tingkat deestrukturisasi
Gambaar 15 Peng garuh kadar air dan tinggkat destruktturisasi padaa pati sagu termooplastis (ww ww.biodeg.neet). Fenom mena yang teerjadi pada suhu s dan gessekan yang tinggi t dengaan kadar air y yang rendaah, menyebabkan pati terdestruktturisasi, plaastis, leleh dan juga m mengalami d depolimerisa asi. Tergangggunya granu ula pati mennyebabkan trransformasi g granula yan ng bersifat semi kristaalin menjadii amorf denngan rusaknnya ikatan h hidrogen an ntara makrom molekul. Prooses ini dappat berlangssung satu maupun m dua t tahap. Proses satu tahhap dilakukkan dalam ekstruder ddua ulir, diimana pati d diumpankan n dan diseppanjang barrrel, air sertta bahan peemlastis dittambahkan. P Proses dua tahap, dilakuukan dengan pencampuraan fisik terleebih dahulu agar a terjadi d difusi bahann pemlastis ke dalam granula. g Baahan pemlasstis ini akann membuat g granula patii mengembang. Berikuutnya campuuran akan diproses d daalam mixer d dengan suhu u dan kecepaatan tinggi. Nilai yang y dapat diamati d selam ma proses peencampuran dalam rheoomix adalah n nilai torque yang dibuttuhkan olehh ulir untuk mencampuur seluruh bahan b yang b berada didaalamnya. Niilai torque m menunjukkaan energi yaang dibutuh hkan untuk p proses penccampuran paati, air dan gliserol sebbagai fungsii waktu penncampuran. K Kurva torquue selama proses p plastisasi mempeerlihatkan peeningkatan maksimum m p pada tahap awal prosess. Setelah kkondisi penccampuran teercapai akan n diperoleh n nilai torque yang stabil. Gambar 16 merupakan torque pati sagu termopplastis pada k konsentrasi 2 dan 30%. Seperti tam mpak pada gliserol yanng berbeda, yakni 10, 20 G Gambar 16 waktu penccampuran seelama 8 men nit menunjukkkan nilai toorque yang c cenderung s stabil. Nilai torque yangg flat setelahh sebelumnyya terjadi peningkatan m mengindikas sikan bahwaa proses plaastisasi gliseerol telah teerjadi dan bahan b telah 38
bercampur sempurna. Jika lama waktu pencampuran semakin ditingkatkan, torque dapat menurun yang mengindikasikan bahan mengalami degradasi dan dapat pula teradi peningkatan torque jika terjadi cross linking atau hilangnya bahan pemlastis (Corradini et al. 2007). Kurva torque dari hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa peningkatan gliserol menurunkan nilai torque seperti tampak pada Gambar 16. Hal ini dikarenakan adanya gliserol yang mempermudah proses pencampuran sehingga energi yang dibutuhkan ulir untuk menghomogenkan semua bahan menjadi menjadi lebih rendah. Viskositas campuran yang terdiri dari bahan pemlastis dengan berat molekul rendah, akan menurun seiring dengan peningkatan jumlah bahan pemlastis (Favis et al. 2005).
Gambar 16.
Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap nilai torque pati sagu terrmoplastis.
Struktur morfologi dengan uji mikroskopik pati sagu termoplastis ditunjukkan pada Gambar 17. Dari hasil pengujian tampak bahwa dengan penggunaan suhu 90o C, kecepatan rotor 100 rpm dan lama pencampuran 8 menit memperlihatkan bahwa bentuk granula pati masih utuh dan memiliki sifat birefringent, namun terjadi pengembangan ukuran granula pati yang berbeda dengan ukuran granula pati awal dan tampak dari semakin pudarnya cahaya birefringent. Pengembangan pati terjadi dikarenakan adanya difusi bahan pemlastis ke dalam granula. Bahan pemlastis ini akan membuat granula pati
39
mengembang. Rendahnya kadar lemak dalam pati sagu ini memberikan efek yang positif karena tidak ada yang menghalagi absorbsi air dan gliserol oleh granula pati.
Mikroskop cahaya terpolarisasi
Mikroskop cahaya
Pati alami sagu Gliserol 10%
Gliserol 20%
Pati sagu termoplastis
Gliserol 30%
Gambar 17
Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap morfologi pati sagu termoplastis (Perbesaran 200x).
Granula pati yang utuh, tidak pecah dan sifat birefringent yang masih terlihat menunjukkan bahwa pati masih memiliki sifat kristalin. Namun demikian, jika dibandingkan dengan pati alami, pati termoplastis mengalami penurunan sifat kristalin. Adanya bahan pemlastis menurunkan sifat kristalinitas dan kekakuan polimer pati. Hal ini sebagai akibat dari menurunnya ikatan hidrogen antara makromolekul dan meningkatnya volume bebas polimer sehingga terbentuk
40
ruangan yang lebih luas untuk meningkatkan gerak segmental yang panjang dari molekul-molekul polimer. Kristalinitas yang semakin rendah menyebabkan pati termoplastis lebih mudah untuk dicetak ataupun dibentuk. Dalam tahapan proses ini, struktur granula pati yang pecah tidak diharapkan. Pecahnya granula pati akan menyebabkan terjadinya rekristalisasi saat dilakukan pemanasan kedua, yakni pada waktu pencampuran dengan polimer sintetis. Rekristalisasi berulang akan menyebabkan plastik bersifat rapuh. Suhu pencampuran yang tidak terlalu tinggi juga dipersyaratkan untuk mencegah terjadinya kerusakan pati selama proses. Pati termoplastis ini nantinya akan dicampur dengan polimer sintetis yang artinya akan kembali mendapatkan perlakuan panas (pemanasan berulang). Dengan demikian kontak panas diawal perlu dijaga agar tidak merusak struktur pati. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan hilangnya gliserol, karenanya suhu proses dijaga dibawah titik uap gliserol. Gliserol dibutuhkan sebagai bahan pemlastis dan lubrikan saat pencampuran dengan polimer sintetis (Corradini et al. 2007). Gambar 17 juga memperlihatkan bahwa gelatinisasi tidak terjadi dalam proses ini, meskipun suhu yang digunakan melebihi suhu gelatinisasi pati sagu. Proses gelatinisasi mempersyaratkan suhu tinggi dan jumlah air berlebih. Suhu gelatinisasi pati sagu terjadi pada kisaran 69,4-70,1oC (Ahmad et al. 1999), namun kadar air dalam proses ini hanya 25% dan berfungsi sebagai bahan pemlastis serta lubrikan, bukan sebagai moisture content. Air merupakan plasticizer, namun bersifat volatil yang berkaitan dengan kesetimbangan, yaitu sorbsi dan desorbsi dengan lingkungan. Dengan demikian, fenomena yang terjadi dalam proses ini adalah terjadinya destrukturisai, plastisasi, pelelehan dan depolimerisasi. Gelatinisasi pati yang tidak terjadi pada suhu 90oC dapat pula dikaitkan dengan ukuran granula pati sagu yang besar, yakni 9,4-91,5µm. Ukuran granula pati besar menyebabkan granula pati memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap perlakuan panas dibandingkan granula yang lebih kecil. Selain itu, tidak terjadinya gelatinisasi dalam proses ini juga dapat dikaitkan dengan sifat termal pati sagu termoplastis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan
41
gliserol meningkatkan suhu transisi gelas dan titik leleh pati sagu termoplastis, seperti tampak pada Tabel 8 dan Gambar 18. Tabel 8
Pengaruh gliserol terhadap suhu transisi gelas, titik leleh dan jumlah kalor pati sagu termoplastis
Konsentrasi gliserol dalam pati sagu termoplastis (%)
Suhu transisi gelas (oC)
Kebutuhan kalor pada suhu transisi gelas (mJ)
Titik leleh (oC)
Kebutuhan kalor pada titik leleh (mJ)
Kalor jenis (mJ/deg.mg)
10 20 30
36,6 36,6 38,9
5,608843 7,869861 3,947492
91,3 95,7 120,7
8,382615 12,70789 8,300895
0,015897 0,022492 0,011351
Kenaikan suhu transisi gelas dan titik leleh meningkat signifikan pada pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 30%. Penurunan kristalinitas pada pati termoplastis bukan berarti menyebabkan hilangnya sifat kristalin pati. Oleh karena itu, sifat kristalin yang belum hilang dengan penambahan gliserol pada suhu 90oC, menyebabkan suhu yang dibutuhkan menjadi lebih tinggi untuk bisa merubah sifat kristalin menjadi amorf maupun untuk merubah struktur pati dari padatan menjadi bisa meleleh. Hal ini dipertegas pula dengan uji mikroskopik pada Gambar 17, dimana pati sagu termoplastis dengan konsentrasi 30% memperlihatkan sifat birefringent yang lebih tegas dan jelas.
Gambar 18 Termogram pati sagu termoplastis (PST). 42
Suhu transisi gelas merupakan suhu dimana terjadi perubahan sifat bahan yang semula padat seperti gelas, menjadi lunak seperti karet. Penentuan suhu transisi gelas ditentukan melalui interpolasi saat terjadi reaksi endotermis pertama kali dimana bahan mulai menyerap panas hingga terjadi pelepasan kalor ke lingkungan. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur bahan. Seiring dengan peningkatan suhu, bahan akan mengalami perubahan sifat hingga mampu meleleh atau berubah dari padat menjadi cair. Suhu dimana kondisi ini terjadi dinamakan titik leleh. Titik leleh ditandai dengan peristiwa eksotermis, yakni saat bahan tidak mampu lagi menyerap panas dan justru melepaskannya ke lingkungan. Dalam termogram Differential Scanning Calorimeter (DSC) (Gambar 18), nilai titik leleh ditentukan pada titik lembah yang paling curam. Luasan area dalam termogram DSC seperti ditunjukkan dalam Gambar 18, selain menginformasikan suhu transisi gelas dan titik leleh juga berkaitan langsung dengan perubahan entalpi, sehingga dapat dipakai untuk pengukuran kapasitas kalor, kalor jenis, entalpi reaksi dan sebagainya (Stevens 2007). Dalam tahapan penelitian ini, kalor jenis (c) dan jumlah kalor (Q) juga dilakukan pengukuran untuk mengetahui kebutuhan energi yang diperlukan. Kalor jenis didefinisikan sebagai jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 g zat sebesar 1oC. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa peningkatan gliserol hingga 20% dalam pati sagu termoplastis menunjukkan terjadinya peningkatan kalor jenis, namun pada konsentrasi gliserol 30% kalor jenis mengalami penurunan (Tabel 8). Artinya, adanya gliserol dalam pati termoplastis dapat meningkatkan kalor jenis, namun peningkatan gliserol hingga batasan tertentu, dalam hal ini 30%, justru menurunkan kalor jenis bahan. Kebutuhan energi atau kalor (Q) yang diperlukan untuk mencapai suhu transisi gelas dan titik leleh dapat pula ditentukan berdasarkan nilai massa bahan (m), kalor jenis (c) dan perubahan suhu (ΔT). Dari hasil perhitungan diketahui bahwa kalor yang dibutuhkan untuk mencapai transisi gelas maupun titik leleh juga mengalami peningkatan hingga 20% dan kebutuhan kalor menurun pada pada pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 30%. Nilai-nilai tersebut akan terkait dengan energi yang dibutuhkan dalam pemrosesan bahan untuk
43
mencapai suhu transisi gelas dan titik leleh. Semakin tinggi kalor jenis, maka kebutuhan energi yang diperlukan juga akan meningkat. Nilai kalor yang rendah akan lebih efisien dari segi energi dan biaya yang dibutuhkan. Pati sagu termoplastis yang dihasilkan dalam penelitian ini tersaji pada Gambar 19. Pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 10% memiliki sifat yang keras, kaku dan rapuh, sedangkan pada konsentrasi gliserol 20%, pati sagu termoplastis cenderung lebih kuat dan hampir tidak ditemukan bagian yang robek sama sekali. Pada konsentrasi 30%, pati sagu termoplastis yang dihasilkan bersifat soft dan weak. Bahan pemlastis memegang peranan penting dalam pembuatan pati termoplastis. Bahan pemlastis dapat berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis plastik, yakni jika berlebihan justru akan memberikan sifat soft dan weak, namun pati yang tidak ditambahkan bahan pemlastis akan bersifat rapuh dan getas (Kalambur & Rizvi 2006). Dengan demikian, pada kadar air pati sagu 25%, penambahan gliserol sebanyak 20% merupakan konsentrasi yang tepat dan mampu menghasilkan pati sagu termoplastis yang tidak rapuh serta tidak lemah. Tingginya kadar serat (0,32%) dan kadar amilosa (30,95%) pati sagu juga berkontribusi positif terhadap sifat fisik mekanik pati sagu termoplastis yang dihasilkan.
Gliserol 10%
Gambar 19
Gliserol 20%
Gliserol 30%
Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap sifat fisik lembaran pati sagu termoplastis.
Pemilihan pati sagu termoplastis terbaik yang akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya, selain didasarkan pada hasil pengamatan sifat fisik seperti tersaji pada Gambar 19, juga mengacu pada sifat mekanik, yakni kuat tarik dan elongasi. Untuk mendapatkan nilai kuat tarik dan elongasi, pati sagu termoplastis akan dicampur compt-LLDPE dengan perbandingan 20:80. 44
Hasil analisis mekanik pati sagu termoplastis, yakni nilai kuat tarik dan elongasi plastik tersaji pada Gambar 20 dan Lampiran 4. Dari gambar tersebut diketahui bahwa kuat tarik tertinggi adalah plastik campuran dengan konsentrasi gliserol pati sagu termoplastis sebesar 20%, yang menunjukkan kuat tarik 101,5 kgf/cm2, sedangkan pada konsentrasi gliserol 30% justru mengalami penurunan kuat tarik menjadi 100 kgf/cm2. Bahan pemlastis ditambahkan untuk memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas polimer (Julianti & Nurminah 2006). Penambahan gliserol yang
120
20
100
17 14
80
11
60
8
40
5
20
Elongasi (%)
Kuat Tarik (kgf/cm²)
berlebihan akan melemahkan plastik yang dihasilkan. (Kalambur & Rizvi 2006).
2
0
‐1 10
20
30
Konsentrasi Gliserol (%) Kuat tarik (kgf/cm²)
Elongasi (%)
Gambar 20 Pengaruh gliserol terhadap sifat mekanik pati sagu termoplastis. Lourdin et al. (1997) menyatakan bahwa konsentrasi bahan pemlastis dalam jumlah kecil menunjukkan efek antiplastisasi. Dengan adanya interaksi yang kuat antara bahan pemlastis dan pati, ikatan hidrogen muncul dan akan meningkatkan kekuatan bahan (material reinforcement). Pada konsentrasi bahan pemlastis yang lebih tinggi, interaksi antar bahan pemlastis terjadi, diikuti dengan pengembangan pati dan efek plastisasi. Sifat elongasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Elongasi pada pati sagu termoplastis dengan kandungan gliserol 30% tertinggi, namun nilainya tidak meningkat drastis jika dibandingkan dengan nilai elongasi pada konsentrasi gliserol 20%. Peningkatan elongasi terjadi dari 12,5% menjadi 15%. Hal ini berbeda dengan peningkatan elongasi pati termoplastis dengan konsentrasi gliserol 10% menjadi 20% yang cukup signifikan 45
yakni dari 3% menjadi 12,5%, seperti ditunjukkan pada Gambar 20.
Bahan
pemlastis, dalam hal ini gliserol mampu meningkatkan fleksibilitas bahan dikarenakan pemlastis yang memiliki bobot molekul rendah dapat menaikkan volume bebas polimer sehingga terbentuk ruangan yang lebih luas untuk meningkatkan gerak segmental yang panjang
dari molekul-molekul polimer.
Selain itu, titik didih gliserol yang tinggi, polar dan bersifat non volatil juga memberikan keuntungan dalam proses ini. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengujian yang telah dilakukan, baik sifat fisik, mekanik dan data pendukung dari nilai torque, uji mikroskopik dan sifat termal, maka pati sagu termoplastis yang akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya adalah pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 20%. Pemilihan pati sagu termoplastis 20% juga memperhatikan efisiensi bahan baku, energi dan biaya produksi, hal ini dikarenakan konsentrasi gliserol juga akan berpengaruh terhadap lama pencampuran dalam rheomix. Semakin tinggi konsentrasi gliserol, waktu pencampuran semakin lama. Artinya kebutuhan energi dan biaya produksi juga akan meningkat. Pencampuran pati sagu termoplastis dan compt.-LLDPE Kelemahan pati termoplastis yang utama adalah lemahnya sifat mekanik dan higroskopis. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini adalah melakukan pencampuran dengan polimer sintetis. Penambahan pati terhadap polimer sintetis juga akan memperbaiki kemampuan degradasi. Selain itu, pencampuran dua material ini juga dinilai sebagai jalan tengah untuk menghasilkan biodegradable plastic dengan biaya yang rendah. Dengan demikian faktor lingkungan dan ekonomi keduanya dapat tercapai. Plastik yang menggunakan biodegradable polymer sepenuhnya sebagai bahan baku menuntut biaya yang tinggi dalam pembuatannya, sehingga produk plastik jenis ini hanya diperuntukkan untuk kebutuhan yang lux, seperti dalam dunia kedokteran. Untuk kebutuhan sehari-hari dengan umur pakai yang singkat (sekali pakai atau dapat langsung dibuang) seperti kemasan, maka dibutuhkan plastik dengan biaya yang terjangkau, dengan tetap memperhatikan sifat mekanis dan kemampuan degradasinya.
46
Tahap ketiga dari penelitian ini adalah pencampuran pati sagu termoplastis dengan compt.-LLDPE pada tiga komposisi, yaitu 20:80 ; 40:60 ; 60:40. Pati sagu termoplastis dan compt.-LLDPE yang digunakan dalam tahapan penelitian ini tersaji pada Gambar 21.
a
b
Gambar 21 (a) Pati sagu termoplastis dan b) compt.-LLDPE. Kurva torque pencampuran pati sagu termoplastis dan compt.-LLDPE disajikan pada Gambar 22 yang menunjukkan bahwa peningkatan komposisi pati sagu termoplastis akan menurunkan nilai torque namun dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat semua bahan tercampur sempurna. Sebaliknya pada komposisi pati sagu termoplastis 20%, energi pencampuran yang dibutuhkan lebih tinggi, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pencampuran lebih singkat.
Gambar 22
Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis (PST) terhadap nilai torque plastik.
47
Pening gkatan kompposisi pati saagu termoplaastis akan menurunkan m n nilai torque d dikarenakan n sifat pati sagu termopplastis yangg memiliki nilai Tm leb bih rendah d dibandingka an polimer siintetis, sehinngga pati cennderung lebih cepat bersifat amorf d leleh. Namun dan N dem mikian, pati sagu termopplastis tidak memiliki kemampuan k a alir, sehingg ga membutuuhkan wakttu yang lebbih lama unntuk bisa membentuk m c campuran yaang homogen dengan ccompt.-LLDP PE. Damayaanti (2003) menyatakan m b bahwa pati tidak memiliki sifat aliir yang akaan memudahhkan untuk bercampur d dengan mollekul lain. Dengan dem mikian, sem makin banyaak jumlah pati p dalam c campuran, maka m dibutuuhkan wakttu yang lebbih lama, m meskipun en nergi yang d dibutuhkan lebih l sedikitt. Sriroth (19998) juga meelaporkan baahwa pati terrmoplastis, d dalam hal ini i pati singgkong termooplastis dappat dicetak pada suhu 200-240oC s selama 1-3 menit m untuk dapat dilakuukan proses pencetakan. p
PST 20%
PST 40%
PST 60%
(a) G Gambar 23
((b)
Pengaruhh komposisi pati sagu termoplastiis (PST) terrhadap (a) bongkahaan dan (b) lembaran plasstik.
Hasil plastik p camppuran berdaasarkan komp mposisi pati ssagu termop plastis yang d ditambahkan n tampak pada p Gambaar 23. Camppuran pati ssagu termopplastis dan dilakukan c compt.-LLD DPE awalny ya berbentuuk bongkahhan yang selanjutnya s p pengecilan u ukuran agar dapat dibuatt lembaran. Hasil H pengam matan secaraa fisik, dari s segi warna tidak t ada peerbedaan yanng mencolok k antara plastik campuran baik itu p pada kompoosisi pati sagu termoplaastis 20:80 ; 40:60 ; 600:40. Namun n dari segi
48
tekstur, plastik campuran dengan penambahan pati 20% menunjukkan tampilan yang berbeda dibandingkan dua plastik campuran yang lain, sebagai akibat dominasi polimer sintetis yang memang tinggi dalam campuran tersebut yakni 80%.
Karakterisasi Plastik A. Karakteristik Mekanik Salah satu karakteristik utama plastik dan memegang peranan penting adalah karakteristik mekanik. Karakteristik ini masih menjadi permasalahan utama pada plastik yang dicampur pati karena pada umumnya plastik akan mengalami penurunan sifat mekanik saat ditambahkan pati. Pada penelitian ini, karakteristik mekanik yang dianalisis meliputi kekuatan tarik dan elongasi. Kekuatan tarik adalah tegangan yang dibutuhkan untuk menahan tegangan yang diberikan. Elongasi didefinisikan sebagai salah satu jenis deformasi. Deformasi merupakan perubahan ukuran yang terjadi saat material di beri gaya. % Elongasi adalah panjang polimer setelah di beri gaya (L) dibagi dengan panjang sampel sebelum diberi gaya (Lo) kemudian dikalikan 100. Pengujian sifat mekanik dari hasil penelitian ini disajikan pada Lampiran 5 dan 6. Dari lampiran tersebut dapat diketahui bahwa kekuatan tarik tertinggi dimiliki oleh plastik campuran dengan komposisi pati 20% sebesar 120 kgf/cm2. Pada peningkatan komposisi pati sagu termoplastis menjadi 40%, kuat tarik mengalami penurunan menjadi 110 kgf/cm2. Komposisi pati 60% pada plastik campuran, menghasilkan plastik yang getas sehingga tidak dapat diuji nilai kuat tarik dan elongasinya. Perbedaan sifat yang sangat mendasar pada LLPDE adalah sifat hidrofobik dan polaritas rendah. Hal ini berkebalikan dengan pati sagu termoplastis yang bersifat hidrofilik dengan tingkat polaritas yang tinggi. Selain itu, LLDPE memiliki struktur kristalin dimana molekul-molekulnya tersusun rapat, teratur, dan saling berdekatan sehingga interaksi tarik menarik antar ikatan molekulnya menjadi kuat. Dengan demikian dibutuhkan gaya yang besar untuk memutuskan ikatan antar molekulnya. Masuknya molekul-molekul pati sagu termoplastis ke
49
dalam struktur LLDPE menghadirkan molekul amorf yang dapat menyebabkan susunan molekul LLDPE menjadi terganggu dan tidak teratur. Penurunan kuat tarik seiring dengan peningkatan komposisi pati sagu termoplastis terjadi dikarenakan penambahan pati dalam jumlah tinggi menyebabkan kesulitan dalam proses pembentukan plastik (Nikazar et al. 2005). Pati memiliki kemampuan alir yang sangat rendah, sehingga membutuhkan polimer sintetis yang memiliki kemampuan alir lebih tinggi untuk memperbaiki kemampuan alirnya. Komposisi pencampuran pati sagu termoplastis hingga 60% menunjukkan bahwa pati menjadi komponen mayor sedangkan polimer sintetis, dalam hal ini compt.-LLDPE merupakan fase minor. Kondisi ini akan menyebabkan proses pembentukan atau pencetakan plastik menjadi sulit karena bahan menjadi susah mengalir sebagai akibat sedikitnya jumlah compt.-LLDPE dalam campuran. Pada pemrosesan dengan menggunakan ekstruder, kondisi ini menyebabkan die tersumbat dan ulir sulit bergerak (Kalambur & Rizvi 2006). Sifat plastik yang getas pada komposisi pati sagu termoplastis 60%, juga dapat disebabkan kurangnya bahan pemlastis dalam campuran. Semakin tinggi jumlah pati sagu termoplastis yang ditambahkan dalam campuran dengan polimer sintetis dibutuhkan bahan pemlastis dan bahan aditif yang lebih tinggi pula dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat dan proses pencampuran. Pada saat akan dibentuk, campuran plastik dengan pati sagu termoplastis dalam komposisisi yang tinggi akan bersifat agak keras dan rapuh. Untuk membuat lentur dan lebih mudah dalam pemrosesan perlu ditambahkan bahan pemlastis dalam jumlah cukup yang berfungsi sebagai lubrikan. Skema kerja pemlastis untuk memberikan sifat lentur dan lembut dalam campuran polimer disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24 Skema kerja bahan pemlastis (http://www.ptli.com).
50
Polimer yang tidak ditambahkan bahan pemlastis akan bersifat kaku, sedangkan dengan adanya bahan pemlastis, zat ini akan mengisi rongga diantara molekul-molekul besar, mengubah gaya antar molekul dan membuat plastik bersifat lebih lembut. Pemlastis dapat hilang melalui proses penguapan dan difusi. Hal ini dapat ditemukan pada produk plastik tua yang menjadi rapuh dan pecah. Contoh lain adalah pemlastis yang menguap pada jok mobil dapat melekat pada kaca jendela menyerupai kabut yang sulit dibersihkan. Nilai elongasi dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai elongasi dari hasil penelitian ini juga mengalami penurunan seiring dengan peningkatan jumlah pati sagu termoplastis yang ditambahkan. Elongasi pada plastik campuran dengan komposisi pati 20% memberikan hasil elongasi 47%, lebih tinggi dari elongasi pati termoplastis 40%. Pencampuran pati dalam polimer sintetis pada konsentrasi pati 20-30% akan meningkatkan kuat tarik, namun pada penambahan pati lebih lanjut hingga 40% akan menurunkan sifat mekanis cukup signifikan khususnya pada nilai elongasi (Nikazar et al. 2005). Theresia (2003) melaporkan bahwa penambahan konsentrasi tapioka diatas 30% pada pencampuran dengan LLDPE menyebabkan penurunan nilai kuat tarik elongasi yang cukup tajam. Nawang et al. (2001) dalam Nikazar et al. (2005) menunjukkan terjadinya penurunan elongasi dan peningkatan kekuatan tarik pada peningkatan jumlah pati dengan konsentrasi 525% dalam campuran LLDPE – pati sagu. Chandra dan Rustgi (1997) dalam Nikazar et al. (2005) menyatakan bahwa peningkatan kuat tarik dan penurunan elongasi terjadi seiring dengan peningkatan pati pada konsentrasi 10-60% campuran maleated LLDPE dengan pati jagung. Dari hasil-hasil penelitian tersebut maka dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara jenis pati dan komposisi pati yang ditambahkan dalam plastik campuran yang akan berpengaruh pada sifat mekanis plastik. Jenis pati yang memiliki ukuran granula pati kecil dan ukuran partikel yang halus akan berpengaruh positif terhadap sifat mekanis. Penggunaan pati jagung yang memiliki diameter granula lebih kecil dibandingkan pati sagu, dapat ditambahkan dalam campuran plastik dengan konsentrasi pati yang lebih banyak (Nikazar et al. 2005). Hasil karakterisasi pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini relatif
51
besar yakni berkisar 9,4-91,5 µm. Hal ini turut menyebabkan menurunnya sifat mekanis dari plastik campuran yang dihasilkan. Komposisi pati yang lebih tinggi menjadi titik kritis dalam pendispersian partikel pati dalam matrik LLDPE (Favis et al. 2005). Pada campuran polimer, dispersi antara minor dan matrik merupakan faktor kunci untuk menentukan sifat mekanis. Penggunaan ukuran partikel yang halus untuk fase terdispersi dan pendistribusian yang merata akan meningkatkan kemampuan material untuk mentoleransi beban yang diberikan. Artinya distribusi yang merata pati dalam matrik LLDPE akan menurunkan tingkat tegangan, sehingga material cenderung lebih kuat. Selain ukuran partikel, konsentrasi fase terdispersi dan tingkat dispersi, sifat mekanik plastik juga dikendalikan oleh sifat ikatan interfacial pati dalam matrik LLDPE. Dengan kata lain ikatan gugus hidroksil pada pati dan gugus anhidros pada LLDPE akan sangat berpengaruh (Wang & Liu 2002). Hal ini ditegaskan juga oleh Park et al. (2002) yang menyatakan bahwa sifat mekanik bergantung pada ikatan interfacial yang baik antara gugus hidroksil pada pati dan gugus karboksil pada LLDPE yang telah ditambahkan maleat anhidrida. Dengan kata lain daya rekat dan kemampuan pengikatan compt.-LLDPE semakin menurun dengan peningkatan konsentrasi pati sagu termoplastis dalam campuran, sehingga luas permukaan yang terikat juga berkurang. Perbaikan pada ikatan interfacial berperan penting dalam mentransfer tegangan yang diterima material (Wang & Liu 2002). Gambar 25 menunjukkan grafik kuat tarik dan elongasi plastik campuran dengan komposisi pati sagu termoplastis 20 dan 40%. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa kuat tarik plastik campuran mengalami penurunan yang yang tidak drastis, yakni hanya selisih 10 kgf/cm2. Hal ini berbeda dengan sifat elongasi yang mengalami penurunan sangat tajam seiring dengan peningkatan jumlah pati yang ditambahkan dalam campuran. Penurunan nilai elongasi pada plastik campuran dari komposisi pati 20% ke 40% mencapai 42%. Berdasarkan nilai standar deviasi, diketahui bahwa penambahan pati sagu termoplastis pada komposisi 20 dan 40% tidak berbeda nyata terhadap nilai kuat tarik, namun terdapat beda nyata untuk nilai elongasi (Lampiran 5 & 6). Artinya,
52
jumlah pati sagu termoplastis dalam campuran plastik hingga 40% tidak mempengaruhi kuat tarik plastik yang dihasilkan. Konsentrasi bahan pemlastis 20% pada komposisi ini mampu menjaga fleksibilitas dan mengurangi kekakuan polimer. Selain itu, compatibilizer maleat anhidrida pada konsentrasi 1% mampu menjaga kompatibilitas campuran sehingga kuat tarik tidak mengalami penurunan hingga penambahan pati sagu termoplastis 40%. Namun demikian, kondisi ini memberikan respon yang berbeda untuk komposisi pati sagu termoplastis 60%, sehingga plastik yang dihasilkan pada komposisi ini bersifat sangat rapuh dan getas. Nilai standar deviasi memperlihatkan bahwa penambahan pati sagu termoplastis justru sangat mempengaruhi nilai elongasi yang ditunjukkan dengan adanya beda nyata pada komposisi pati sagu termoplastis 20 dan 40%. Pati sagu termoplastis unggul dalam sifat elastisitas sehingga cenderung menurunkan sifat elongasinya.
90
120 70
100
50
80 60
30
Elongasi (%)
Kuat Tarik (kgf/cm²)
140
40 10
20 0
‐10 20
40
Komposisi Pati Sagu Termoplastis (%) Kuat tarik (kgf/cm²)
Elongasi (%)
Gambar 25 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis terhadap kuat tarik dan elongasi plastik. Dari Gambar 25 juga dapat dilihat bahwa plastik dengan komposisi pati sagu termoplastis 20% memiliki nilai kuat tarik dan elongasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan plastik dengan komposisi pati sagu termoplastis 40%, dimana memiliki nilai kuat tarik yang tinggi namun elongasi sangat rendah. Jenis plastik pertama dapat dikategorikan ke dalam plastik dengan sifat keras dan kuat.
53
jenis plastik ini lebih plastis jika ditarik dan tidak mudah patah. Jenis plastik kedua adalah keras dan getas. Profil ini akan menentukan dalam aplikasi produk, dimana plastik yang dihasilkan akan lebih sesuai sebagai bahan untuk kemasan, barang-barang yang kaku dan tidak membutuhkan sifat elongasi atau pemuluran bahan. Dua pengaruh negatif yang muncul saat menambahkan pati kedalam polimer plastik adalah penurunan nilai kuat tarik dan elongasi (Nikazar et al. 2005). Jika dibandingkan dengan kontrol LLDPE yang digunakan dalam penelitian ini, telah terjadi penurunan kuat tarik sebesar 40-45% (Tabel 9). LLDPE memiliki nilai kuat tarik 200 kgf/cm2 (19,62 MPa), sedangkan kuat tarik plastik campuran dengan komposisi pati sagu termoplastis 20% sebesar 120 kgf/cm2 (11,78 MPa) dan pada pencampuran pati sagu termoplastis 40%, kuat tariknya yaitu 110 kgf/cm2 (10,79 MPa). Nilai elongasi LLDPE dinyatakan sebesar 500% (http://en.wikipedia.org). Dengan demikian, telah terjadi penurunan elongasi yang sangat drastis dari plastik campuran yang dihasilkan dalam penelitian ini. Hal tersebut diduga belum maksimalnya ikatan interfacial antara LLDPE dan pati. Polimer sintetis dan pati berbeda dalam tingkat kepolaran dan hidrofilitas yang menyebabkan reaksi antara gugus hidroksil pati dan ikatan hidrogen atau kovalen polimer sintetis masih belum terbentuk sempurna (Ong & Charoenkongthum 2002).
Dalam hal
ini,
peran
bahan
pemlastis
dan
compatibilizer yang ditambahkan masih belum optimal, khususnya pada penambahan pati sagu termoplastis 60%. Tabel 9 Penurunan sifat mekanik plastik
Komposisi PST
Kuat tarik (kgf/cm2)
Elongasi (%)
20% 40% 60% LLDPE
120 110 0 200
47 5 0 500
Penurunan sifat mekanik plastik pada PST 20% thdp PST 40%
Penurunan sifat mekanik plastik thdp kontrol
Kuat tarik (kgf/cm2)
Kuat tarik (kgf/cm2)
Elongasi (%)
40 45
90,6 99
10
Elongasi (%)
42
54
Peningkatan pati secara umum menyebabkan tahap ikatan yang cukup lemah dan penyebaran yang kurang merata (Park et al. 2002). Namun, penurunan kuat tarik yang hanya berbeda 10 kgf/cm2 pada peningkatan pati dari 20% menjadi 40%, memberikan hasil yang dinilai cukup baik. Corneliussen (2002) menyatakan bahwa nilai kuat tarik LLDPE berada pada kisaran 9-19 MPa. Dengan demikian, plastik campuran yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki nilai kuat tarik yang masih masuk dalam kisaran kuat tarik LLDPE murni, yakni 11,78 MPa dan 10,79 MPa. Jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan kuat tarik plastik campuran (Tabel 10). Tabel 10 Sifat Mekanik Plastik dari Penelitian-Penelitian Sebelumnya Referensi
Kuat Tarik (MPa)
Elongasi (%)
Keterangan Perlakuan
Damayanti 2003
Pati 25% = 10,64 Pati 30% = 8,48
Pati 25% = 426,55 Pati 30% = 302,20
Shujun et al. 2004
Pati 50% = 8,75
Pati 50% = 625%
LLDPE-tapioka Asam asetat, natrium bikarbonat,hyamin LLDPE-pati jagung 30% gliserol, 11% air PE+pati ÆG+MA+DCP
Huang et al. 2005
Pati 50% = 6,7
Nikazar et al. 2005
Pati 40% = 9,059
Pati 40% = 18,915
Garg et al. 2007 Hasil Penelitian 2009
Pati 15% = 4,21 Pati 20% = 11,78 Pati 40% = 10,79 10,07 7,8
Pati 15% = 79,72 Pati 20% = 40 Pati 40% = 5 11 8
LDPE-tapioka Argon plasma treatment MA+GÆ C+pati+PE LDPE-Pati Jagung 2% MA, 5% asam oleat, 0,1% BPO LDPE-pati jagung LLDPE - sagu
Novon Mater BI (Pranamuda 2001)
Produk komersial
Karakteristik bahan yang ditambahkan dalam suatu polimer campuran, dalam hal ini pati berpengaruh sangat penting pada sifat mekanis plastik campuran yang dihasilkan, khususnya terkait dengan volume, ukuran, bentuk partikel, pendispersian dan ikatan terhadap mariks polimer. Plastik campuran yang dihasilkan dalam penelitian ini telah mengalami peningkatan kuat tarik dibandingkan hasil penelitian sebelumnya walaupun masih belum maksimal. 55
Penggunaan maleat anhidrida sebagai compatibilizer mampu membuat campuran kompatibel dengan pendistribusian fase terdistribusi yang baik, meskipun belum membentuk ikatan interfacial yang kokoh antara LLDPE dan pati sagu termoplastis.
B. Karakteristik Termal Pengukuran DSC (Differential Scanning Calorimeter) dilakukan untuk mengetahui suhu transisi gelas (glass temperature, Tg) dan titik leleh (melting point, Tm). Berbeda dengan logam, plastik umumnya tidak memiliki titik leleh yang spesifik. Plastik mengalami perubahan sifat atau perilaku mekanik yang jelas pada rentang suhu tertentu yang sangat sempit. Suhu dimana terjadi transisi tersebut dikenal sebagai suhu transisi gelas. Pada suhu tersebut, plastik berubah keadaaan dan perilakunya dari kaku, getas, padat seperti gelas, menjadi fleksibel, lunak dan elastis. Perubahan ini dikarenakan sifat-sifat kristalin pada polimer menjadi amorf. Tingginya suhu transisi gelas tergantung pada struktur rantai molekul polimer yang umumnya sekitar 1/3 hingga 2/3 dari titik leleh (Saptono 2008). Titik leleh mengindikasikan suhu dimana terjadi perubahan wujud padat menjadi cair. Titik leleh disebut juga transisi orde pertama, sedangkan suhu transisi gelas disebut transisi orde kedua (Geoffroy 2004). Perubahan sifat plastik karena pengaruh termal diilustrasikan pada Gambar 26.
Gambar 26 Perubahan sifat plastik karena pengaruh termal (Surdia & Saito 1985)
56
Termograf DSC memperlihatkan nilai Tg, Tm dan jumlah kalor seperti ditunjukkan pada Gambar 27. Nilai Tg dan Tm plastik campuran pati sagu termoplastis dan compt.-LLDPE ditunjukkan pada Lampiran 7 dan 8. Dari data tersebut diketahui bahwa untuk nilai Tg adalah 36-39oC, sedangkan Tm berada pada kisaran 115-118oC.
Gambar 27 Termogram DSC LLDPE, plastik campuran dan pati sagu termoplastis. Nilai termal dalam penelitian ini dipertegas pada Gambar 28 yang memperlihatkan grafik Tg dan Tm plastik campuran. Dari grafik dapat dijelaskan bahwa nilai Tg untuk plastik dengan komposisi pati sagu termoplastis 20%, yakni 38,4oC. Pada komposisi pati 40 dan 60%, nilai Tg keduanya 36oC. Nilai Tg bervariasi bergantung pada struktur molekul spesifik dari polimer dasarnya, berat molekul, distribusi berat molekul dari polimer tersebut, aditif yang ditambahkan ke dalam formula, serta beberapa faktor lain (Umam et al. 2007). Nilai Tm pada konsentrasi pati 20 dan 40% cenderung sama, yakni 117o C, namun mengalami penurunan Tm pada konsentrasi pati sagu termoplastis 60%. Hal ini diduga karena pada komposisi pati 60%, material yang dominan adalah
57
pati dan bukan LLDPE, sebaliknya, pada plastik campuran dengan konsentrasi
125
45 44 43 42 41 40 39 38 37 36
120 115 110 105 100
Titik leleh (°C)
Suhu transisi gelas (°C)
pati 20 dan 40%, material yang dominan adalah LLDPE.
95 90 LLDPE
20
40
60
PST
Komposisi pati sagu termoplastis (%) suhu transisi gelas (°C)
titik leleh (°C)
Gambar 28 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis terhadap titik leleh dan suhu transisi gelas plastik. Nilai-nilai tersebut tidak menunjukkan beda nyata pada α=0,05 untuk semua komposisi pati sagu termoplastis dan compt.-LLDPE (Lampiran 7 & 8). Nilai Tg dan Tm plastik campuran merupakan perpaduan dari nilai Tg dan Tm dari bahan penyusun, yaitu pati sagu termoplastis dan LLDPE, khususnya bahan yang dominan. Tabel 11 menunjukkan perbandingan nilai Tg dam Tm plastik campuran dan komponen penyusun yaitu pati sagu termoplastis dan LLDPE. Nilai Tg dan Tm plastik campuran pada berbagai komposisi pati sagu termoplastis cenderung sama dan tidak ada peningkatan yang drastis. Idemat (1998) menyatakan bahwa pati termoplastis memiliki nilai Tg 35-85oC dan nilai Tm 105-115oC. LLDPE memiliki nilai Tm 120 hingga 160 °C (http://en.wikipedia.org). Nilai Tg dan Tm sangat diperlukan untuk menentukan kondisi proses dan aplikasi produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, polimer dengan Tm tinggi membutuhkan energi lebih besar untuk bisa mencairkan dan mencetak polimer. Plastik agar dapat berfungsi dengan baik dalam penentuan fungsional suatu produk plastik, maka suhu Tg harus cukup lebih tinggi daripada suhu lingkungan kerja ketika dipakai (Stevens 2007).
58
Tabel 11 Perbandingan suhu transisi gelas (Tg), titik leleh (Tm), Kalor Jenis (c) dan Jumlah Kalor (Q) plastik campuran serta bahan penyusun Komposisi pati sagu termoplastis dalam plastik (%)
Tg (oC)
Kebutuhan energi pada suhu transisi gelas (mJ)
Tm (oC)
Kebutuhan energi pada titik leleh (mJ)
Kalor jenis (mJ/deg.mg)
20 40 60
38,4 36,9 36,8 37,7
9,835056 7,549134 3,056761 7,853291
117,70 117,50 115,25 94,40
20,539118 16,409146 6,467779 11,811183
0,030562 0,024844 0,010182 0,023337
Kontrol Pati Sagu Termoplastis Kontrol LLDPE
37,9 1,450402 124,50 3,382976 0,004777 * Data rata-rata dari dua ulangan, tidak ada beda nyata pada α = 0,05 Pada umumnya polimer dengan Tg dibawah suhu ruang menunjukkan sifat fleksibilitas dan ketahanan yang tinggi terhadap cracking, tetapi dengan adanya penurunan suhu, sifat tersebut dapat berubah drastis dan polimer menjadi getas hanya dengan beban yang rendah. Hal tersebut dikarenakan polimer memiliki rantai molekul yang panjang dan saling tumpang tindih. Jika polimer berada pada suhu ruang, gerakan antar rantai polimer dapat saling menyesuaikan dan meregang. Namun, jika polimer itu didinginkan, rantai tersebut akan menempel satu sama lain dan tidak dapat meregang lagi, sehingga polimer tersebut akan menjadi kaku. Titik leleh pada polimer ditentukan oleh tipe polimer yang digunakan. Pada polimer amorf, suhu yang penting adalah Tg, sedangkan pada polimer kristalin dan semi-kristalin, suhu yang lebih utama adalah Tm. Suhu transisi gelas umumnya tidak memiliki transisi yang jelas antara rubbery state dan glass regions dan umumnya berkisar antara 10-50oC. Jika polimer didinginkan di bawah Tg, polimer menjadi stabil dan tidak terjadi transisi lagi. Polimer dengan Tg di atas suhu ruang akan mengalami glassy state pada suhu ruang. Polimer dengan Tg di bawah suhu ruang akan mengalami rubbery state pada suhu ruang sehingga akan cenderung fleksibel dan sulit dihancurkan pada suhu ruang (Umam et al. 2007). Jumlah kalor pada transisi gelas maupun titik leleh menunjukkan terjadinya penurunan seiring dengan meningkatnya komposisi pati sagu termoplastis dalam campuran plastik. Hal ini disajikan pada Tabel 11 dan Lampiran 9-11. Dominasi komponen penyusun turut menentukan nilai kalor yang dibutuhkan pada suhu
59
transisi gelas, titik leleh, maupun kalor jenis. Jumlah kalor akan berkaitan dengan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai suhu transisi gelas maupun titik leleh. Namun demikian, sama halnya dengan suhu transisi gelas dan titik leleh, kebutuhan kalor tidak menunjukkan beda nyata pada α=0,05. Artinya, meskipun terjadi kecenderungan penurunan kebutuhan kalor dengan peningkatan komposisi pati sagu termoplastis dalam campuran, namun hal tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap energi yang dibutuhkan. C. Karakteristik Biodegradasi Pati termoplastis dapat diproduksi dari berbagai sumber tanaman seperti gandum, jagung, kentang, beras, tapioka dan sagu. Pati termoplastis dapat terdegradasi dengan adanya air, energi mekanis, peningkatan suhu dan enzim (Idemat 1998). Pati dalam pencampuran dengan polimer sintetis dapat meningkatkan kemampuan biodegradasi dikarenakan terjadi peningkatan luasan permukaan polimer sebagai akibat dari hidrolisis pati oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang mengkonsumsi pati akan membentuk pori-pori dalam matrik polimer dan memberikan gugus-gugus yang rentan untuk terdegradasi (Park et al. 2002). Dalam penelitian ini pengujian kemampuan biodegradasi plastik dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengujian Biodegradabilitas Plastik Campuran secara Kualitatif Pengujian kualitatif biodegradabilitas plastik dilakukan berdasarkan ASTM G-21-70. Dalam metode ini, sampel plastik berbentuk lembaran tipis berukuran 3x3 cm2 ditempatkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan diinokulasikan dengan kapang Penicillium sp. Sampel diinkubasi pada suhu 29±1oC selama 1 minggu. Pada penelitian ini, digunakan dua jenis kapang, yakni Penicillium sp. dan Aspergillus niger Pertumbuhan koloni kapang diterjemahkan dalam bentuk ranking 0-4, dimana ranking 1 menunjukkan pertumbuhan koloni kapang terendah, artinya tingkat biodegradabilitas juga rendah, sedangkan ranking 4 menunjukkan pertumbuhan koloni kapang tertinggi, dengan kata lain tingkat biodegradabilitasnya juga tinggi. Pengujian biodegradabilitas secara kualitatif ditunjukkan pada Gambar 29. Pada plastik LLDPE yang digunakan sebagai kontrol sama sekali tidak ada 60
pertumbuhan
kapang.
Konsentrasi
pati
sagu
termoplastis
(PST)
20%
menunjukkan pertumbuhan koloni yang sedikit, atau berada pada ranking ke-1, yakni hanya 10% koloni kapang yang tumbuh menutupi sampel plastik, sedangkan pada komposisi pati sagu termoplastis 40 dan 60%, pertumbuhan koloni kedua sampel sama, yaitu koloni yang tumbuh berada pada ranking ke-4 dengan pertumbuhan koloni mencapai 85-100%, baik pada sampel yang menggunakan kapang Penicillium sp. maupun Aspergillus niger. Kapang dapat tumbuh maksimal dalam campuran pati dan LLDPE hanya ketika konsentrasi pati diatas 30% dan memunculkan peningkatan pori-pori yang signifikan. Hal ini dikarenakan adanya penetrasi dan proses metabolisme kapang dalam pati (Nikazar et al. 2005). Mikroorganisme, dalam hal ini kapang akan memproduksi enzim yang mampu memecah pati dalam plastik menjadi segmen yang lebih kecil dengan berat molekul yang lebih rendah. Kondisi ini menyebabkan material polimer dapat terdegradasi dalam lingkungan (Nakamura et al. 2005). Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis pati oleh enzim akan digunakan kapang sebagai sumber karbon (Vinhas et al. 2007).
Gambar 29 Pengujian biodegradabilitas plastik secara kualitatif menggunakan kapang Penicillium sp. (atas) dan Aspergillus niger (bawah).
61
Pengujian Biodegradabilitas Plastik Campuran secara Kuantitatif Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin yang memiliki daerah kristalin dan amorph. Adanya enzim mampu memutus molekul-molekul penyusun pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana yang terdiri dari unit-unit glukosa. Pengujian kuantitatif biodegradabilitas plastik campuran dilakukan dengan mereaksikan sampel plastik berbentuk lembaran tipis berbobot 10 mg dengan 1 ml enzim αamilase (26.087,09 IU) dalam 9 ml larutan buffer phosphate pH 7 dan diinkubasi selama 17 jam pada suhu 37oC. Dari reaksi ini akan diketahui berapa jumlah pati yang terhidrolisis yang ditunjukkan dengan banyaknya nilai gula reduksi yang dihasilkan. Nilai gula reduksi ini dapat diasumsikan sebagai bagian bobot yang hilang karena proses degradasi. Nilai-nilai tersebut dapat dikonversi kedalam nilai persentase bagian terdegradasi yang merepresentasikan tingkat degradasi dari plastik campuran. Biodegradabilitas plastik dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 30.
Biodegradabilitas (%)
60 50 40 30 20 10 0 20
40
60
Komposisi pati sagu termoplastis (%)
Gambar 30 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis terhadap biodegradabilitas plastik. Hasil pengujian kuantitatif biodegradabilitas dan analisis sidik ragam disajikan pada Lampiran 11 yang menunjukkan bahwa komposisi pati sagu termoplastis berbeda nyata terhadap nilai biodegradabilitas plastik campuran. Uji lanjut yang dilakukan memperlihatkan hasil bahwa beda nyata terjadi pada semua komposisi pati sagu termoplastis dan compt.-LLDPE, baik itu pada komposisi 20:80, 40:60 dan 60:40.
62
Seperti tampak pada Gambar 30, biodegradabilitas plastik mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan konsentrasi pati yang ditambahkan, yakni 3,15; 24,7 dan 50,45% masing-masing pada komposisi pati sagu termoplastis 20, 40 dan 60% yang dicampurkan dengan compt-LLDPE. Dari data-data diatas dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi komposisi pati dalam campuran, maka bobot bahan yang hilang karena terdegradasi juga semakin besar. Keberadaan pati jelas akan meningkatkan nilai degradasinya karena semakin banyak bagian yang mampu dipecah oleh enzim. Hasil pengujian ini juga memperlihatkan bahwa pada plastik campuran dengan konsentrasi pati sagu termoplastis rendah, persentase bagian yang terdegradasi sangat kecil, yakni 3,15%. Nilai tersebut mempertegas hasil uji biodegradabilitas secara kualitatif, dimana pada komposisi ini pertumbuhan koloni kapang yang menutup sampel hanya 10%.
LLDPE yang dominan dalam
campuran, yakni mencapai 80% mempengaruhi rendahnya reaksi enzimatis yang terjadi. Pada komposisi campuran ini terjadi enkapsulasi pati dalam matrik LLDPE, sehingga enzim tidak mampu menghidrolisis pati. Ukuran granula pati juga berpengaruh terhadap tingkat kemudahan degradasi. Semakin kecil ukuran granula, maka proses degradasi akan lebih mudah. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa ukuran granula pati sagu dalam penelitian ini cukup besar yakni berkisar 9,4-91,5 µm. Hal ini menjadi dasar nilai degradasi plastik campuran yang belum maksimal. Pada plastik campuran dengan konsentrasi pati tinggi, presentase plastik yang dapat terdegradasi mencapai 50,45%. Dalam campuran ini, pati sagu termoplastis merupakan komponen yang mendominasi sebesar 60%, sedangkan LLDPE sebagai fase minor. Artinya, proses hidrolisis yang dilakukan oleh enzim hampir sempurna. Dengan demikian, tingkat biodegradabilitas plastik akan berkesesuaian dengan komposisi pati dalam campuran plastik. D. Karakteristik Morfologi Morfologi campuran polimer berpengaruh penting dalam menentukan sifat produk akhir, khususnya pada sifat mekanis. Pada umumnya, komponen mayor dalam campuran akan membentuk fase continuous, sedangkan komponen minor
63
sebagai fase terdispersi. Namun demikian, karena volume dari komponen minor meningkat hingga volume tertentu, hal ini akan merubah fase dari terdispersi menjadi fase continuous (Shujun et al. 2005). Morfologi pencampuran yang baik bergantung pada adanya pendistribusian dan ikatan interfacial antara fase terdispersi dan fase continuous. Ikatan interfacial terbentuk jika fase pemisahan antara bagian penyusun mayor dan minor tidak tampak secara jelas. Pada komposisi 20:80 dan 40:60 fase terdispersi adalah pati sagu termoplastis, sedangkan fase continuous adalah compt.-LLDPE, sebaliknya pada komposisi 60:40, fase terdispersi adalah compt.-LLDPE dan fase continuous adalah pati sagu termoplastis. Namun demikian, pada komposisi 40:60 dan 60:40, dengan jumlah pati sagu termoplastis dan LLDPE yang hampir seimbang, diharapkan fase terdispersi akan berubah menjadi fase continuous. Gambar 31 menunjukkan pengaruh komposisi campuran pati sagu termoplastis
dan
compt-LLDPE
terhadap
sifat
morfologi
plastik
dan
homogenitasnya. Gambar yang ditunjukkan adalah struktur morfologi sebelum dan sesudah plastik campuran mengalami reaksi enzimatis dengan α-amilase sehingga sifat pencampuran dan homogenitas akan semakin jelas. Dengan adanya reaksi enzimatis, bagian yang mampu terhidrolisis oleh pati tidak akan tampak dan hanya akan menyisakan lubang-lubang yang bisa memperlihatkan tingkat dispersi pati dan sifat permukaan pencampuran. Seperti terlihat pada
Gambar 31, plastik campuran sebelum mengalami
perlakuan enzim, menunjukkan permukaan yang rata dan cenderung halus, baik pada pengamatan SEM dengan perbesaran 200x maupun 5000x. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pati sagu termoplastis dan compt.-LLDPE dapat bercampur dengan baik. Pengecilan ukuran pati sagu hingga 200 mesh pada saat persiapan bahan berpengaruh positif terhadap dispersi kedalam matrik polimer. Permukaan yang kasar mengartikan bahwa campuran masih belum kompatibel. Permukaan yang halus dikarenakan compatibilizer maleat anhidrida mampu meningkatkan kompatibilitas antara pati sagu termoplastis dan polimer sintetis serta menstabilkan morfologi dalam proses pencampuran (Nikazar et al. 2005). Namun demikian, seiring dengan peningkatan pati sagu termoplastis dalam campuran hingga 60% terlihat partikel-partikel yang tidak bercampur merata dan -
64
Morfologi plastik sebelum dann sesudah direakksikan dengan en nzim α-amilase Perbesaran 200 0x Perrbesaran 5000 x Sebelum reakksi Sesudah reaksi S Sebelum reaksi Sesudah reaksi
Komposisi Pati sagu term moplastis dan compt-L LLDPE 20:80 0
Komposisi moplastis Pati sagu term dan compt-L LLDPE 40:60 0
Komposisi moplastis Pati sagu term dan compt-L LLDPE 60:40 0
Gambar 31 Pengaruh komp posisi pati sagu u termoplastis tterhadap morfollogi dan homog genitas plastik sebelum dan seesudah direaksik kan dengan enzim α α-amilase. 65
mempengaruhi morfologi permukaan plastik. Hal ini semakin menegaskan terjadinya penurunan sifat mekanik plastik pada pencampuran pati sagu termoplastis 40% dan 60%. Bentuk asli granula pati tidak tampak dan hal ini mengindikasikan bahwa pati sagu telah membentuk pati termoplastis secara sempurna (Ishiaku et al. 2002). Proses termoplastisasi pati terjadi melalui perubahan granula pati dari sifat semi kristalin menjadi amorf dengan rusaknya ikatan hidrogen antar makromolekul. Perubahan granula dapat terjadi dengan adanya perlakuan termomekanis. Morfologi permukaan plastik sesudah mengalami reaksi enzimatis, memperlihatkan sifat yang kasar dengan munculnya lubang-lubang pati yang terhidrolisis. Homogenitas campuran cukup baik dengan ditunjukkan distribusi lubang-lubang pati terhidrolisis yang cukup rata. Kondisi tersebut tampak pada komposisi 20:80, dimana lubang-lubang pati yang muncul lebih halus dan merata. Sifat permukaan seperti yang ditunjukkan pada komposisi 20:80 berpengaruh positif terhadap sifat mekanik plastik dimana pada komposisi ini, kuat tarik dan elongasi yang dihasilkan adalah terbaik dibandingkan dengan dua komposisi yang lain. Selain itu dari pengujian morfologi juga terlihat bahwa pada komposisi pati sagu termoplastis 20 dan 40%, partikel pati tampak bercampur, masuk ke dalam matrik dan tidak hanya menempel pada matrik LLDPE. Dalam hal ini LLDPE sebagai fase continuous. Sebaliknya, plastik pada komposisi pati sagu termoplastis 60%, hasil pengujian morfologi menunjukkan terjadinya fase pemisahan antara fase continuous dan fase terdispersi. Partikel pati terlihat menempel dan tidak bercampur menyatu dengan fase terdispersi LLDPE. Dalam komposisi tersebut, pati sagu termoplastis merupakan fase continuos karena jumlahnya yang mendominasi. Sifat morfologi ini berkesesuaian dengan sifat mekanik dan tingkat biodegradabilitas plastik yang dihasilkan. Pada komposisi tersebut
plastik
bersifat
rapuh
dan
getas,
namun
memiliki
tingkat
biodegradabilitas tertinggi. Compatibilizer dalam campuran pati dan polimer sintetis berpengaruh terhadap menurunnya ukuran partikel dalam campuran sehingga reaksi interfacial terjadi. Reaksi interfacial yang terbentuk akan dapat menurunkan tegangan antar
66
muka sehingga sifat mekanik plastik akan lebih baik. Ukuran partikel pati sagu termoplastis yang besar akan menghasilkan serpihan-serpihan partikel yang juga besar saat proses pembuatan plastik campuran. Hal ini sesungguhnya tidak diinginkan karena akan menurunkan sifat mekanis dan morfologi yang kurang halus. Huneault dan Li (2007) menyatakan penurunan ukuran partikel pati termoplastis dapat terjadi dengan adanya compatibilizer dari 5-30µm menjadi 2,24,2 µm dengan bentuk partikel menyerupai bola dan relatif homogen. Huang et al. (2005) juga melaporkan bahwa terjadi penurunan ukuran partikel polyethylene (PE) dari 30µm menjadi 10 µm. Hal ini terjadi karena adanya reaksi esterifikasi antara gugus karboksil pada compatibilizer dan fase PE dengan gugus hidroksil pada gliserol. Reaksi lain yang mungkin terjadi adalah adanya reaksi gugus anhidrida dengan gugus hidroksil pati yang akan membentuk ikatan ester dan gugus karboksil. Hasil pengujian morfologi dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa pati sagu termoplastis belum membentuk ikatan interfacial dengan matrik LLDPE. Compatibilizer masih belum maksimal dalam mengikat pati sagu termoplastis dan LLDPE. Pada campuran dengan komposisi pati sagu termoplastis 60%, partikel pati cenderung menempel dalam matrik PE tanpa adanya ikatan. Hal ini yang menyebabkan sifat mekanik plastik yang dihasilkan menurun bahkan bersifat getas (Corradini et al. 2007). Dengan demikian morfologi plastik dalam campuran ini cukup baik yang diperlihatkannya dengan tingkat distribusi fase terdispersi yang merata, namun ikatan interfacial yang terjadi masih belum optimal dan hanya terjadi ikatan fisik saja dan belum membentuk ikatan interfacial secara kimia. Ikatan interfacial dapat diperbaiki dengan kontrol bahan pemlastis, konsentrasi pati sagu termoplastis maupun compatibilizer. Kondisi ini akan memberikan variasi struktur morfologi seperti bentuk menyerupai bola, serat, serta morfologi yang bersifat continuous dan co-continuous yang nantinya akan mempengaruhi sifat mekanik plastik yang dihasilkan (Favis et al. 2005).
67
Aplikasi Biodegradable Plastic Aplikasi biodegradable plastic yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat merujuk kembali pada hasil karakterisasi plastik yang telah dilakukan, yakni kuat tarik 110-120 kgf/cm2, elongasi 5-47%, Tg 36-39 oC, Tm 115-118oC dan tingkat biodegradasi 24,70-50,45%. Plastik yang dihasilkan cenderung bersifat plastis dan tidak elastis dengan kekuatan menahan beban yang tidak terlalu tinggi. Nilai Tg menunjukkan bahwa plastik yang dihasilkan kurang sesuai untuk aplikasi panas karena titik transisi gelas, dimana bahan berubah sifat dari glassy menjadi rubbery tercapai pada suhu 36-39oC. Nilai Tm yang tidak terlalu tinggi memberikan keuntungan dalam proses pembuatan plastik karena tidak dibutuhkan energi yang besar untuk mencapai titik leleh bahan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan bahwasanya plastik yang dihasilkan memiliki nilai melt flow index rendah. Artinya kemampuan mencair dan mengalir bahan tidak maksimal, sehingga dalam proses pencetakan tidak bisa dilakukan dengan teknik blowing (hembusan), namun dapat dilakukan dengan injeksi, cetak panas ataupun cetak kompresi. Namun demikian, kelemahan ini dapat diperbaiki dengan penambahan aditif melt flow index improver, sehingga kemampuan alirnya akan lebih baik. Dengan kata lain, komposisi bahan dalam penelitian ini masih berupa formulasi dasar yang masih membutuhkan bahan aditif untuk memperbaiki karakteristik plastik yang dihasilkan. Berdasarkan karakteristik yang dihasilkan, biodegradable plastic dalam penelitian ini dapat diaplikasikan untuk produk-produk seperti kemasan maupun wadah makanan dan minuman yang tidak membutuhkan sifat mulur. Dengan kata lain, jika diaplikasikan untuk produk seperti plastik cling wrap yang memiliki elongasi dan elastisitas tinggi, plastik ini tidak sesuai dikarenakan nilai elongasi yang rendah. Polybag, shopping bag, disposable bag juga merupakan contoh produk lain yang dapat diaplikasikan dengan tetap memperhatikan kekuatan tarik plastik, yakni 110-120 kgf/cm2. Penggunaan biodegradable plastic untuk aplikasi produk yang menjadi konsumsi masyarakat luas serta penggunaan sekali pakai (umur pakai singkat) akan sangat sesuai dengan tujuan pengembangan plastik yang dapat terdegradasi.
68