25
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) Bahan dasar pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil, adalah daun murbei varietas Kanva. Hal ini karena daun murbei varietas Kanva kandungan klorofilnya lebih tinggi yaitu sebesar 844 ppm (Kusharto et al. 2008) dibandingkan dengan daun murbei varietas Multicaulis (682 ppm), Lembang (420 ppm) dan Cathayana (324 ppm) (Nurdin et al. 2009). Selain itu daun murbei
memiliki khasiat
kesehatan seperti menurunkan glukosa darah, bersifat diuretik dan menurunkan tekanan darah (Sianghal et al. 2001); meredakan gejala gelisah (Yadav et al. (2008); mengurangi perkembangan lesi aterosklerosis pada tikus dengan cara meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi (Enkhma et al. 2008);
dan
menurunkan tekanan darah sistol dan diastol (Hahm et al. 2008). Budidaya tanaman murbei di Indonesia telah lama dilakukan, khususnya untuk pakan ulat sutera. Namun peternakan ulat sutera hanya menghasilkan produk berupa kokon sebagai bahan baku benang sutera yang harga jualnya relatif rendah.
Gambar 5 Daun murbei varietas Kanva di Teaching Farm Sutera Alam, University Fam IPB Pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan klorofil. Klorofil merupakan senyawa yang larut
26
dalam pelarut organik (Gross 1991). Klorofil a larut dalam alkohol, eter, dan aseton. Klorofil a dalam keadaan murni agak sukar larut dalam petroleum eter dan tidak larut dalam air. Klorofil b dan pheophytin b larut dalam alkohol, eter, aseton, dan benzen. Klorofil b dan pheophytin b dalam keadaan murni sangat sukar larut dalam petroleum eter dan tidak larut dalam air (Cydesdale et al. 1969 diacu dalam Nurdin 2009). Oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih alkohol sebagai pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi, karena alkohol relatif lebih aman dibanding pelarut lain (dietil eter, aseton, methanol, petroleum eter) dalam pembuatan produk pangan yang akan dikonsumsi manusia (Mahmud 1994; Alsuhendra 2004). Menurut Mahmud (1994) proses ektraksi menggunakan pelarut etanol mampu memberikan kemurnian klorofil yang lebih baik dibandingkan dengan aseton dan air. Hal ini berkaitan dengan kemiripan sifat struktural etanol dengan klorofil sehingga klorofil lebih mudah larut dalam etanol. Untuk menghalangi aktivitas klorofilase, maka digunakan pelarut murni yang tidak diencerkan (Gross 1991). Oleh karena itu digunakan alkohol atau etanol 96% sebagai pelarut dalam proses ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan di ruangan gelap atau redup karena klorofil sangat peka terhadap cahaya (Gross 1991). Daun murbei yang telah dicuci dan ditiriskan kemudian diblender dengan menambahkan pelarut etanol 96% selama 3 menit secara terputus setiap 1 menit. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kerusakan klorofil. Daun murbei yang telah dihaluskan disaring menggunakan kain saring 60 mesh. Proses ekstraksi diulangi sampai klorofil dari daun murbei terekstrak secara sempurna yang ditandai dengan warna etanol yang tetap bening ketika ditambahkan ke dalam ampas daun murbei. Proses ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak tiga kali. Pembentukan turunan klorofil yaitu pheophytin dilakukan dengan cara mengasamkan ekstrak klorofil dengan menambahkan HCl 13% (Gross 1991) yang setara dengan HCl 4 N ke dalam ekstrak klorofil daun murbei, sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi coklat zaitun yang merupakan indikator Mg terlepas dari klorofil (Marquez et al. 2005). Penurunan pH dilakukan secara bertahap dan tetap diaduk selama pereaksian. Selama proses reaksi terjadi penggantian atom Mg pada klorofil dengan 2 atom H. Pheophytin dengan warna coklat zaitun yang stabil dalam penelitian ini diperoleh setelah mereaksikan larutan selama dua jam pada suhu ruang. Turunan klorofil berbentuk pheophytin ini tidak larut dalam air (Gross 1991).
27
Menurut Hendry dan Houghton (1996) turunan klorofil bebas logam seperti pheophytin dan pheophorbide dengan cincin siklopentanon akan teroksidasi bila terpapar cahaya. Stabilitas klorofil dapat dicapai apabila Mg diganti dengan Cu. Pemilihan Cu sebagai logam pengompleks karena tingkat stabilitas kompleks Cu dengan cincin porfirin klorofil lebih tinggi dibandingkan Mg (Cheng et al. 1992 diacu dalam Alsuhendra 2004) dan Cu merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan tubuh sebagai bagian dari enzim (Anderson 2004; Almatsier 2009). Cu terlibat dalam pembentukan energi di dalam mitokondria melalui transport elektron protein. Cu yang berada dalam sel darah merah sebagian besar berbentuk metaloenzim superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan serta membantu sintesis melanin dan katekolamin. Cu dalam seruloplasmin berperan pada proses oksidasi besi sebelum ditransportasikan ke dalam plasma (Anderson 2004). Cu dalam enzim metaloprotein berperan pada proses sintesis protein kompleks jaringan kolagen di dalam kerangka tubuh dan pembuluh darah serta pada proses sintesis pembawa rangsangan saraf (neurotransmitter) seperti noradrenalin dan neuropeptida seperti ensefalin (Almatsier 2009). Oleh sebab itu penambahan Cu ke dalam turunan klorofil diduga tidak membahayakan kesehatan. Turunan klorofil yang berikatan dengan Cu, tidak peka terhadap cahaya dan tidak terjadi dekomposisi dengan adanya asam mineral (Sweetman 2005). Demikian juga disebutkan oleh Canjura et al. (1999) bahwa kompleks cincin porfirin klorofil dengan Cu membentuk suatu ikatan kuat, yang lebih tahan terhadap asam dan panas dibandingkan dengan klorofil asal (porfirin berikatan dengan Mg). Sebanyak 4 atom Nitrogen (N) pada cincin porfirin mampu membentuk kompleks atau khelat dengan ion Cu2+ pada molekul klorofil dan turunannya. Dua atom N melakukan ikatan kovalen dengan atom Cu non-ionik, sedangkan 2 atom lainnya melakukan ikatan kovalen koordinat melalui pembagian bersama satu pasang elektronnya dengan atom Cu. Hal ini membuat kompleks Cu-porfirin atau Cu-turunan klorofil yang terbentuk menjadi stabil. Aktivitas antioksidan kompleks Cu-turunan klorofil lebih tinggi dibanding klorofil alami (Marquez et al. 2005) dan turunan klorofil alami (Ferruzi et al. 2002; Marquez et al. 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan khelat logam dengan klorofil pada cincin porfirin. Selain itu Nurdin (2009) menyatakan bahwa alasan penambahan Cu pada ekstrak turunan klorofil adalah untuk mempertahankan kestabilan warna hijau klorofil serta meningkatkan kelarutan dan pH produk
28
bubuk yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan Gross (1991) yang menyatakan bahwa ikatan khelat Cu dengan turunan klorofil berwarna hijau cerah. Menurut La Borde dan Von Elbe (1994) dalam Alsuhendra (2004)
ion
logam hanya bereaksi dengan turunan klorofil, sehingga penambahan jumlah Cu disesuaikan dengan jumlah turunan klorofil. Konsentrasi Cu yang ditambahkan diantaranya 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol; 0,006 mol; 0,008 mol. Garam Cu yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cu-asetat. Hal ini dikarenakan asam asetat (CH3COOH) merupakan asam lemah yang tidak bersifat korosif dan dikenal tubuh karena merupakan bahan organik serta reaksinya bersifat hidro dengan produk akhir H2o dan CO2. Selain itu jika ditinjau dari segi teknis dalam sebuah aplikasi untuk industri makanan, penggunakan Cu2+ terlalu mahal. Hal ini dapat berpengaruh terhadap biaya produksi bubuk Cuturunan klorofil. Cu-asetat pada berbagai perlakuan terlebih dahulu dilarutkan dalam 10 ml akuades agar Cu-asetat mudah terlarut dan bereaksi dengan larutan pheophytin. Reaksi ini menghasilkan Cu-pheophytin atau lebih dikenal dengan nama CuChlorophyllin (Hendry & Houghton 1996). Ekstrak turunan klorofil yang telah ditambahkan Cu2+ dinaikkan pH-nya mencapai 8,5 (Von Elbe 1992 diacu dalam Alsuhendra 2004 & Nurdin 2009) dengan cara menambahkan NaOH 4 N. Hal ini bertujuan untuk membuat Cu-Chlorophyllin menjadi larut dalam air karena fitil alkohol dan metal alhokol yang bersifat hidrofobik akan terlepas (Sweetman 2005). Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 24 jam pada suhu ruang dan terlindung dari cahaya serta diaduk menggunakan magnetic stirrer. Alasan penggunaan waktu pereaksian selama 24 jam mengacu pada penelitian Petrovic et al. (2005) yang menyatakan bahwa periode waktu pembentukan kompleks klorofil dengan Cu berkisar antara 2 jam sampai 3 minggu. Kandiana (2010) melakukan penelitian serupa dengan mereaksikan Cu dengan turunan klorofil daun cincau hijau selama 2 jam, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah Cu bebas lebih besar dibandingkan Cu terikat yang membentuk Cu-Chlorophyllin. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dipilih waktu 24 jam dengan tujuan menghasilkan Cu-Chlorophyllin yang lebih besar dibandingkan Cu bebas. Selain itu aspek teknis pembuatan bubuk Cu-turunan klorofil juga menjadi pertimbangan dimana 24 jam dirasa masih memungkinkan untuk dilakukan dalam skala industri dibandingkan dengan periode pereaksian selama 3 minggu.
29
Produk akhir sebagai bahan baku suplemen makanan yang diinginkan adalah bentuk bubuk, maka ekstrak harus dikeringkan. Alat pengering yang digunakan adalah spray dryer. Hal ini dikarenakan proses pengeringan menggunakan spray dryer lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan menggunakan freeze dryer. Spray dryer mampu mengeringkan satu liter larutan dalam jangka waktu 40-60 menit, sedangkan freeze dryer memerlukan waktu 12 jam (Nurdin 2009). Jika ditinjau dari aspek teknis dalam skala industri penggunakan spray dryer ini lebih efisien. Waktu pengeringan yang lebih singkat dan performa bubuk Cu-turunan klorofil yang relatif bagus dapat diperoleh dengan cara menambahkan bahan pengisi pada larutan sebelum dikeringkan. Selain itu bahan pengisi juga digunakan untuk mengikat ekstrak. Hasil penelitian Bianca (1993) dalam Alsuhendra (2004) menunjukkan bahwa bahan pengisi dekstrin lebih baik dibandingkan gum arab dan CMC dilihat dari kelarutan bubuk yang dihasilkan. Hasil penelitian Alsuhendra (2004) menunjukkan bahwa penambahan dekstrin sebesar lebih dari 3% menghasilkan produk yang lebih baik dengan kelarutan tinggi, namun menurunkan konsentrasi Zn-turunan klorofil yang terdapat dalam bubuk. Oleh sebab itu dalam penelitian ini penambahan bahan pengisi ke dalam larutan Cu-turunan klorofil sebesar 3% (Alsuhendra 2004; Nurdin 2009; Nurdin et al. 2009 dan Kandiana 2010). Bahan pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin yang merupakan salah satu jenis dekstrin yang biasa digunakan dalam produk makanan. Hal ini dikarenakan maltodekstrin mempunyai tingkat kelarutan lebih baik dalam air, sehingga dalam aplikasinya akan lebih luas. Maltodekstrin memiliki sifat kelarutan yang kurang baik dalam etanol. Untuk mendapatkan kelarutan maltodekstrin yang lebih baik maka ditambahkan akuades dengan perbandingan akuades dan etanol sebesar 3:7. Perbandingan ini diperoleh melalui percobaan pendahuluan dengan cara menambahkan akuades sedikit demi sedikit secara kuantitatif sampai maltodekstrin terlarut dengan baik. Hal ini akan membuat mobilisasi partikel dalam serbuk klorofil menjadi lebih merata sehingga menghasilkan warna yang merata dan tersalut dengan baik. Bubuk Cu-turunan klorofil yang diperoleh dari berbagai konsentrasi Cu pada penelitian ini menghasilkan performa bubuk yang baik. Bubuk Cuturunan klorofil daun murbei dapat dilihat pada Gambar 6.
30
0 mol Cu
0,001 mol Cu
0,002 mol Cu
0,004 mol Cu
0,006 mol Cu
0,008 mol Cu
Gambar 6 Bubuk Cu-Turunan Klorofil pada beberapa konsentrasi Cu
31
Karakteristik Fisiko-Kimia Karakteristik Fisik Karakertistik fisik yang dianalisis dalam penelitian ini adalah rendemen, kelarutan dan warna yang ditunjukkan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Hasil analisis karakteristik fisik bubuk Cu-turunan klorofil Penambahan Kelarutan Rendemen (%) Warna Cu-asetat (mol) (%) Yellow 2 D 0 97.30a 14,91a a b Yellow-Green 144 A 0.001 97.37 15,65 a b Yellow-Green 146 C 0.002 97.31 15,93 a b Yellow-Green 146 C 0.004 98.12 15,57 a b Yellow-Green 146 A 0.006 97.71 15,78 a b Yellow-Green 146 A 0.008 96.00 16,14 Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p = 0.05
Rendemen dihitung berdasarkan jumlah massa (gram) bubuk Cu-turunan klorofil (mengandung maltodektrin) yang diperoleh dibandingkan dengan berat daun murbei yang digunakan untuk membuat ekstrak klorofil dan berat pengisi (maltodektrin) yang ditambahkan. Berdasarkan data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa rendemen bubuk Cu-turunan klorofil berkisar antara 14,91% - 16,14% (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen bubuk Cu-turunan klorofil. Bubuk Cu turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol atau disebut bubuk klorofil alami memiliki rendemen paling rendah yaitu sebesar 14,91% (bb). Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa rendemen bubuk klorofil alami berbeda nyata (p<0,05) dengan bubuk Cu-turunan klorofil pada berbagai perlakuan penambahan Cu-asetat lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengaruh berat molekul Cu-asetat yang ditambahkan. Bubuk Cu-turunan klorofil pada perlakuan penambahan Cu-asetat 0,001 mol – 0,008 mol memiliki rendemen yang berkisar antara 15,57 % - 16,14% (bb). Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa rendemen pada semua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena unsur yang terlibat dalam semua perlakuan penambahan Cu sama kecuali jumlah Cu-asetat yang ditambahkan, namun perbedaan jumlah Cu-asetat yang ditambahkan pada setiap perlakuan relatif kecil.
32
Kelarutan menunjukkan bahwa banyaknya bagian dari suatu produk yang dapat larut dalam suatu pelarut dengan volume tertentu. Berdasarkan data pada Tabel 4 kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil berkisar antara 96% - 98,12% (bk). Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini secara keseluruhan masuk dalam kategori tinggi kelarutannya dalam air. Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini diduga karena perbedaan jumlah Cu-asetat yang ditambahkan relatif kecil. Kelarutan bubuk Cu-turunan klorofil dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan bubuk Cu-turunan klorofil yang dihasilkan dalam penelitian Nurdin et al. (2009) dan Kandiana (2010). Penelitian Nurdin et al. (2009) menghasilkan bubuk Cu-turunan klorofil daun murbei dengan kelarutan 60,56%-62,99% (bk). Kandiana (2010) melakukan penelitian pembentukkan bubuk Cu-turunan klorofil daun cincau hijau dengan kelarutan berkisar antara 91,96%-94,42% (bk). Hal ini diduga karena waktu pereaksian Cu terhadap turunan klorofil dengan penambahan senyawa alkali dalam penelitian ini lebih lama dibandingkan penelitian Nurdin et al. (2009) dan Kandiana (2010). Semakin lama waktu pereaksian maka semakin banyak gugus fitil alkohol dan metal alkohol yang terpisah sehingga kelarutan bubuk Cu-Chlorophyllin dalam air semakin tinggi. Warna
ditentukan
menggunakan
Colour
Chart
RHS
(The
Royal
Horticultural Society) dan dianalisis secara deskriptif. RHS merupakan referensi standar untuk menentukan warna tanaman. Warna tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu hue, brightness dan saturation. Hue berfungsi membedakan jenis warna utama seperti hijau, merah, biru dan lain-lain. Brightness (tingkat kecerahan) merupakan jumlah total cahaya yang dipantulkan oleh warna tersebut atau seberapa banyak cahaya yang diterima oleh mata secara normal pada skala terang sampai gelap. Nilai brightness dalam metode Colour Chart RHS ini dinyatakan dengan skala angka 1 yang mewakili warna kuning (Yellow) sampai dengan 202 yang mewakili warna hitam (Black). Saturation atau intensity merupakan atribut yang membedakan kejernihan ataupun greyness sebuah warna yang ditentukan dengan 4 skala dari skala A yang mewakili intensitas warna paling gelap sampai skala D yang mewakili intensitas warna paling pudar (RHS 2001). Keterangan lengkap mengenai hue, brightness dan saturation serta contoh warna yang terdapat dalam Colour Chart RHS disajikan dalam Lampiran 1.
33
Berdasarkan data pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa warna bubuk klorofil alami adalah yellow dan warna bubuk Cu-turunan klorofil pada berbagai perlakuan lainnya adalah yellow-green. Tingkat kecerahan (brightness) bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,001 mol – 0,008 mol berkisar antara 144-146. Intensitas warna (saturation) bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol sampai 0,008 mol cenderung semakin gelap. Hal ini diduga karena peran Cu-asetat yang dapat mengembalikan warna hijau klorofil setelah Mg terlepas serta mempertahankan kestabilan warna hijau klorofil (Nurdin 2009). Karakteristik Kimia Karakertistik kimia yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kadar air, pH, kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin yang ditunjukkan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Hasil analisis karakteristik kimia bubuk Cu-turunan klorofil Penambahan Kadar Air Cu-Chlorophyllin Cu Total pH Cu-asetat (mol) (mg/g) (%) (mg/g) 0 3.39a 5.26a 0a 0a a b a 0.001 3.86 7.21 1.13 12.68a 0.002 3.71a 7.46b 2.85b 31.14b 0.004 4.84a 7.24b 4.71c 50.94c a b d 0.006 5.40 7.49 7.51 80.99d 0.008 5.98a 7.43b 8.57d 91.97d Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p = 0.05
Kadar air atau susut pengeringan menunjukkan mutu dari suatu produk. Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kadar air berkisar antara 3.39%-5.98%
(bb).
Angka
ini
memenuhi
persyaratan
Kepmenkes
No.
661/MENKES/SK/VII/1994 tentang persyaratan obat tradisional dalam bentuk serbuk yang menyatakan bahwa kadar air tidak boleh melebihi 10% (Kepmenkes 1994). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat tidak berpengaruh terhadap kadar air bubuk Cu-turunan klorofil. pH menunjukkan tingkat keasaman suatu produk. La Borde dan Von Elbe (1994) diacu dalam Alsuhendra (2004) menyatakan bahwa penambahan beberapa bahan yang bersifat alkali pada sayuran dapat mempertahankan warna hijau klorofil karena terjadinya kenaikan pH. Semakin tinggi pH maka stabilitas klorofil semakin tinggi. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa penambahan Cu
34
dalam bentuk Cu-asetat dan NaOH 4 N yang bersifat alkali mampu meningkatkan pH bubuk Cu-turunan klorofil sehingga stabilitasnya meningkat. Menurut Alsuhendra (2004) nilai pH produk yang tinggi menyebabkan warna hijau produk lebih dapat dipertahankan dibandingkan pada kondisi pH rendah. Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pH bubuk Cu-turunan klorofil. Bubuk klorofil alami memiliki pH sebesar 5,26. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa pH bubuk klorofil alami berbeda nyata (p<0.05) dengan pH bubuk Cu-turunan klorofil pada semua perlakuan penambahan Cu-asetat lainnya. pH bubuk Cu-turunan klorofil pada perlakuan penambahan Cu-asetat sebesar 0,001 mol-0,008 mol berkisar antara 7,21-7,49. Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada semua perlakuan penambahan Cu-asetat tersebut. Kadar Cu Total dan Kandungan Cu-Chlorophyllin digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih. Penentuan kadar Cu total bubuk Cu-turunan klorofil terpilih mengacu pada peraturan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 yang menyatakan bahwa batas maksimal jumlah Cu yang diizinkan terdapat dalam produk suplemen makanan adalah 3 mg/hari (BPOM RI 2005) yang diasumsikan sebagai kadar Cu total yang terdapat dalam setiap gram bubuk Cu-turunan klorofil (Kandiana 2010). Selanjutnya bubuk Cu-turunan klorofil tersebut dipilih berdasarkan kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara semua perlakuan. Berdasarkan data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah Cu-asetat yang ditambahkan maka kadar Cu total dan kandungan CuChlorophyllin semakin meningkat. Kadar Cu total bubuk Cu turunan klorofil berkisar antara 1,13-8,57 mg/g (bb) dan kandungan Cu-Chlorophyllin berkisar antara 12,68-91,97 mg/g (bb). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin bubuk Cu-turunan klorofil. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa dalam 1 gram bubuk Cu-turunan klorofil (Cu-Chlorophyllin) dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol dan 0,002 mol kandungan Cu totalnya adalah 0 mg; 1,13 mg dan 2,85 mg, secara berurutan, telah memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 (BPOM RI 2005). Angka ini masih berada di bawah Tolerable Upper Level Intake Cu yang mencapai 10 mg/hari (Young et al. 2001).
35
Penambahan Cu-asetat yang menghasilkan kadar Cu-Chlorophyllin tertinggi adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,008 mol yaitu 91.97 mg/g (bb), namun kandungan Cu totalnya sebesar 8.57 mg/g (bb). Hasil ini tidak memenuhi persyaratan BPOM RI No. HK.00.05.23.3644 (BPOM RI 2005). Kandungan Cu-Chlorophyllin tertinggi diantara bubuk Cuturunan klorofil yang memenuhi persyaratan tersebut adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol yaitu 31.14 mg/g (bb). Berdasarkan parameter kadar Cu total dan kandungan Cu-Chlorophyllin tersebut, bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol. Hasil Analisis Toksisitas Analisis toksisitas bubuk Cu-turunan klorofil dari beberapa perlakuan penambahan Cu-asetat menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). BSLT merupakan suatu metode yang menghitung respon kematian 50% larva udang yang dinyatakan dalam nilai Lethal Concentration (LC50) pada beberapa konsentrasi uji dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila nilai LC50 kurang dari 1000 ppm, maka ektrak tumbuhan yang diuji dikatakan toksik. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai anti kanker (Meyer et al. 1982). BSLT menggunakan larva udang laut sebagai bioindikator. Larva udang laut memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya. Zat dan senyawa asing yang ada di lingkungannya akan terserap ke dalam tubuh dengan cara difusi dan langsung mempengaruhi kehidupan larva. Larva udang yang sensitif ini akan mati apabila zat atau senyawa asing dalam larutan bersifat toksik (Parwati & Simanjuntak 1998; Carballo et al. 2002). Tabel 6 Hasil uji toksisitas (LC50) bubuk Cu-Turunan Klorofil Penambahan Cu-asetat (mol)
LC50 (ppm)
0 0.001 0.002 0.004 0.006 0.008
1602,84ab 1419,65a 2347,93b 1276,84a 891,20a 763,11a
Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada p = 0.05
36
Hasil uji toksisitas dijadikan sebagai parameter untuk menentukan bubuk Cu-turunan klorofil terpilih. Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0 mol; 0,001 mol; 0,002 mol; 0,004 mol tidak mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina Leach. karena LC50>1000 ppm (Meyer et al. 1982). Nilai LC50 pada bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,006 mol dan 0,008 mol mengindikasikan adanya toksisitas terhadap Artemia salina Leach. karena LC50<1000 ppm (Meyer et al. 1982). Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa penambahan Cu-asetat berpengaruh nyata (p<0,05) terhdap nilai LC50 bubuk Cu-turunan klorofil. Berdasarkan parameter ini bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cu-turunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0; 0,001; 0,002; dan 0,004 mol. Menurut Darmansjah (1995) tahap uji toksisitas selanjutnya setelah metode BSLT adalah uji pra klinis dengan hewan coba yaitu uji toksisitas sub kronik dan kronik. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui efek buruk yang berpengaruh terhadap hewan coba, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan penggunakan untuk manusia mengenai efek buruk tersebut. Aktivitas Antioksidan dan Kadar Alkohol Analisis aktivitas antioksidan dan kadar alkohol hanya dilakukan terhadap bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih. Penentuan ini berdasarkan hasil analisis kadar Cu total yang mengacu pada persyaratan BPOM RI (2005), kandungan Cu-Chlorophyllin dan uji toksisitas metode BSLT dengan penentuan tingkatan toksisitas yang mengacu pada metode Meyer et al. (1982). Berdasarkan ketiga parameter tersebut bubuk Cu-turunan klorofil yang terpilih adalah bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat sebesar 0,002 mol. Aktivitas Antioksidan Ferruzzi et al. (2002) menguji kapasitas menangkap radikal bebas berbagai turunan klorofil dalam sistem in vitro. Klorofil yang kehilangan logamnya (yaitu Mg) pada pusat cincin porfirin akan menurun kapasitas antioksidannya. Hal ini disebabkan
karena
logam
yang
terkelat
akan
mengakibatkan
lebih
terkonsentrasinya densitas elektron di pusat cincin dan menjauhi kerangka porfirinnya, sehingga meningkatkan kemampuan mendonorkan elektron dari sistem porfirin yang terkonyugasi. Klorofil yang kehilangan gugus fitilnya menunjukkan peningkatan antioksidasi. Berdasarkan pernyataan tersebut
37
tampak bahwa kerangka porfirin dan keberadaan logam terkelat adalah 2 hal yang penting untuk kapasitas antioksidan. Kemampuan klorofil dan pheophytin dalam mendegradasi hidroperoksida, yaitu
dengan
hidroperoksida.
cara
menginkubasikannya
Hasilnya
menunjukkan
dalam
bahwa
substrat
keduanya
metil tidak
linoleat memiliki
kemampuan mendegradasi hidroperoksida. Terjadinya reaksi antara klorofil dengan radikal lipid dapat diketahui dengan bantuan spektrum electron spin resonance (ESR). Kesimpulannya adalah struktur penting untuk aktivitas antioksidan klorofil ditemukan pada porfirin bukan pada pirol, fitol, logam maupun cincin isosiklik. Radikal -kation dari komponen porfirin merupakan senyawa yang memegang peranan dalam mekanisme antioksidan klorofil. Antioksidan pada umumnya berperan sebagai donor atom hidrogen kepada radikal bebas, sehingga dapat memutuskan rantai oksidasi (Endo et al. 1985). Mekanisme antioksidan yang dikemukakan oleh Endo et al.., (1985) adalah: ROO. + CHL ROO: (-)CHL.(+) ROO:(-)CHL.(+) + ROO. produk inaktif Klorofil bereaksi dengan radikal peroksi ROO. Yang dihasilkan pada tahap awal oksidasi minyak dan berubah menjadi radikal -kation. Radikal -kation dari klorofil ini berikatan dengan radikal peroksi bermuatan negatif dengan ikatan yang lemah, dan membentuk kompleks yang bersifat antara (intermediat). Kompleks ini kemudian bereaksi dengan radikal peroksi yang lain dan akhirnya menjadi tidak aktif. Kesimpulan yang diperoleh diantaranya: (1) efek antioksidatif klorofil adalah berasal dari struktur porfirinnya, (2) Mg dapat memperkuat aktivitas antioksidan klorofil hanya jika dalam bentuk terkelat, (3) klorofil mereduksi radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
(4) radikal
-kation
dihasilkan oleh klorofil jika klorofil dioksidasi dalam sistem metil linoleat. Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan bubuk Cu turunan klorofil terpilih adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-pycrilhydrazil). Menurut Koleva et al. (2001) metode DPPH merupakan suatu metode kolorimetri yang sederhana, cepat dan mudah serta sensitif untuk memperkirakan aktivitas antiradikal. Selain itu metode DPPH menggunakan jumlah sampel yang sedikit dengan waktu analisis yang singkat. Aktivitas antioksidan sampel diukur pada panjang gelombang 516 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum DPPH, dengan konsentrasi DPPH 1 mM. Perubahan warna pada larutan DPPH dalam methanol menunjukkan adanya aktivitas antioksidan sampel. Warna ungu
38
larutan DPPH dalam penelitian ini perlahan berubah menjadi warna kuning ketika ditambahkan sampel yang mengandung komponen antioksidan (Blois 1958). Perubahan
warna
larutan
DPPH
mengakibatkan
penurunan
nilai
absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Semakin besar penurunan nilai absorbansi menunjukkan bahwa radikal bebas yang diserap antioksidan tersebut semakin banyak. Besarnya aktivitas antioksidan dinyatakan dalam persen (%) aktivitas antioksidan. Standar dalam pengukuran aktivitas antioksidan dalam penelitian ini adalah Vitamin C. Hal ini dikarenakan Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Selain itu Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang mudah diperoleh (Blois 1958). Berdasarkan hasil analisis tersebut, bubuk Cu-turunan klorofil terpilih memiliki
aktivitas
antioksidan
sebesar
47,07%
yang
berarti
komponen
antioksidan yang terdapat dalam bubuk tersebut mampu mereduksi
47,07%
radikal bebas yang mengoksidasinya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap gram bubuk tersebut mampu mereduksi DPPH 1 mM sebesar 18,51 mg. Besarnya aktivitas antioksidan bubuk Cu-turunan klorofil kemudian disetarakan dengan kemampuan Vitamin C yang dinyatakan dalam Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity atau biasa disingkat AEAC (mg Vit C/100 g). Bubuk Cuturunan klorofil dengan penambahan Cu-asetat 0,002 mol memiliki aktivitas antioksidan sebesar 47,07 % yang setara dengan 106,64 mg Vitamin C/100 g. Aktivitas antioksidan klorofil yang diekstrak dari daun murbei segar sebesar 13,36% yang menunjukkan bahwa komponen antioksidan dalam daun murbei mampu meredam radikal bebas yang mengoksidasinya sebesar 13,36%. Berdasarkan
kedua
hasil
analisis
aktivitas
antioksidan
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan bubuk Cu-Chlorophyllin daun murbei lebih tinggi dibandingkan ekstrak klorofil daun murbei. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Marquez et al. (2005) yang menyatakan bahwa CuChlorophyllin memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi yaitu sebesar 39% dibandingkan klorofil alami sebesar 12%. Kadar Alkohol Indonesia yang didominasi penduduk beragama Islam
mengharuskan
semua produk yang beredar memiliki sertifikasi halal. Salah satu hal yang menyebabkan suatu produk tidak halal adalah kandungan alkohol didalamnya. Bubuk Cu-turunan klorofil menggunakan alkohol (etanol 96%) sebagai pelarut,
39
sehingga perlu dilakukan analisis kadar alkohol. Analisis kadar alkohol dapat dijadikan sebagai pertimbangan kehalalan produk bubuk Cu turunan klorofil. Peraturan LPPOM-MUI (2008) menyebutkan bahwa penggunaan etanol (alkohol) yang berasal dari industri non khamr di dalam produksi pangan diperbolehkan, selama tidak terdeteksi pada produk akhir. Kadar alkohol bubuk Cu turunan klorofil terpilih dalam penelitian ini dianalisis menggunakan alat kromatografi gas (USPC 2006 yang dimodifikasi). Kromatografi gas adalah teknik kromatografi yang bisa digunakan untuk memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-senyawa yang dapat ditetapkan dengan kromatografi gas sangat banyak, namun terdapat batasan-batasan. Senyawa-senyawa tersebut harus mudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian yaitu pada suhu 50°C – 300°C. Jika senyawa tidak mudah menguap atau tidak stabil pada temperatur pengujian, maka senyawa tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan kromatografi gas (Day & Underwood 1991). Berdasarkan hasil uji menggunakan kromatografi gas diketahui bahwa kadar klorofil pada bubuk Cu-turunan klorofil terpilih sebesar 0%. Hasil ini dapat dijadikan pertimbangan untuk menilai kehalalan bubuk Cu-turunan klorofil. Hal ini diduga karena spray dryer mampu mengubah larutan menjadi serbuk dengan baik. Langkah pertama mekanisme kerja pada spray dryer yaitu mengubah seluruh cairan dari bahan yang ingin dikeringkan ke dalam bentuk butiran-butiran cairan dengan cara diuapkan menggunakan atomizer. Cairan dari bahan yang telah berbentuk tetesan-tetesan tersebut kemudian di kontakan dengan udara panas. Peristiwa pengontakkan ini menyebabkan cairan dalam bentuk tetesantetesan tersebut mengering dan berubah menjadi serbuk. Selanjutnya proses pemisahan antara uap panas dengan serbuk dilakukan dengan cyclone atau penyaring. Setelah di pisahkan, serbuk kemudian kembali diturunkan suhunya sesuai dengan kebutuhan produksi (Setijahartini 1980).