HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu dan lemak kasar. Kandungan protein yang tidak sama antar perlakuan disebabkan kandungan bahan baku pakan bungkil kedelai yang digunakan dalam membuat ransum memiliki kadar protein yang tidak sama atau lebih tinggi dibandingkan kadar protein yang diharapkan. Kandungan nutrien abu dalam ransum penelitian ini sedikit beragam pada perlakuan R3 dan R4, dimana kandungan abu tertinggi terdapat pada R3 yaitu 11,13% dan R4 yaitu 8,19%. Hal ini disebabkan bahan baku tepung ikan yang dipakai kemungkinan banyak mengandung bahan anorganik seperti tulang-tulang ikan. Kandungan lemak kasar yang tinggi pada perlakuan R1 yaitu sebesar 5,50% disebabkan oleh bahan pakan bungkil kelapa dimana memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi yaitu 14%-17%. Tabel 10. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian (%BK) Ransum penelitian Peubah Nutrien ransum
R1
R2
R3
R4
----------------------------(%)-----------------------------
BK
90,85
90,59
90,51
90,35
Abu
6,59
6,20
11,13
8,19
PK
15,06
19,01
14,69
15,31
LK
5,50
3,42
3,33
2,94
SK
14,58
14,06
13,94
13,79
BETN
58,26
57,30
56,91
59,77
TDN*
61,35
70,10
70,68
63,88
Keterangan : Hasil Analisa Laboratorium PAU IPB (2011). *) TDN dihitung berdasarkan Sutardi (1981). Rumus TDN = PK dapat dicerna + SK dapat dicerna + BETN dapat dicerna + (2,25 LK dapat dicerna).
Kandungan protein kasar dalam ransum penelitian ini berkisar antara 14,69%-19,01%. Menurut NRC (1985) kebutuhan protein domba jantan dengan bobot badan <40 kg sebesar 13,5%. Berdasarkan data tersebut maka kandungan protein ransum penelitian ini telah mencukupi dari minimal standar kebutuhan
pertumbuhan domba. Kebutuhan energi (TDN) untuk domba jantan dengan bobot badan <40 kg menurut NRC (1985) adalah 63%. Kandungan TDN untuk ransum penelitian ini berkisar antara 61,35%-70,68%, terlihat tidak jauh berbeda terhadap kebutuhan energi yang direkomendasikan NRC, meskipun pada ransum R1 kandungan TDN sedikit lebih rendah. Tabel 11. Rataan Konsumsi Bahan Kering, Bahan Organik, Protein Kasar, Serat Kasar, Lemak Kasar, BETN, dan TDN pada Domba Lokal Jantan yang Mendapat Ransum Kombinasi Sumber Protein Berbeda. Ransum Penelitian Peubah Konsumsi ransum BK
R1
R2
R3
R4
-------------------------------------------(g/ekor/hari)----------------------------------------741,16±37,19
804,05 ± 63,84 a
832,51 ± 66,10
b
749,64 ± 54,96 736,09 ± 53,97
767,17 ± 35,32 a
779,56 ± 35,89ab
BO
762,02 ± 38,23
PK
111,60 ± 5,60a
152,84 ± 12,13b
110,16 ± 8,08a
117,43 ± 5,41a
SK
108,09 ± 5,42
113,08 ± 8,98
104,52 ± 7,66
105,80 ± 4,87
Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Rata-rata Konsumsi BK= Bahan Kering, BO= Bahan Organik, PK= Protein Kasar, SK= Serat Kasar. R1 = kombinasi bungkil kelapa dan urea , R2 = kombinasi bungkil kelapa dan bungkil kedelai, R3= kombinasi bungkil kelapa dan tepung ikan, R4 = kombinasi bungkil kelapa, kedelai dan tepung ikan.
Konsumsi Bahan Kering Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein tidak nyata mempengaruhi (P>0,05) konsumsi bahan kering (Tabel 11). Palatabilitas yang hampir sama antara perlakuan diduga karena mempunyai keadaan fisik yang relatif sama, karena tongkol jagung digiling terlebih dahulu untuk semua perlakuan. Pada penelitian ini pemberian ransum dengan berbagai sumber
protein
kombinasi
tidak menyebabkan gangguan selera makan bagi ternak.
Penggilingan tongkol jagung bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel pakan. Menurut Arora (1989), ukuran partikel yang kecil dapat meningkatkan konsumsi pakan dibandingkan ukuran partikel yang lebih besar. Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar, pada penelitian ini kandungan serat kasar berkisar antara 13,79%-14,58%. Kandungan serat kasar yang hampir sama tersebut membuat konsumsi bahan kering tidak berbeda nyata (Toha et al., 1999).
19
Data penelitian ini berbeda dari hasil penelitian Junaidi et al. (2011) yang melaporkan konsumsi BK domba berkisar antara 350–530 g/ekor/hari,
dengan
komposisi tongkol jagung : konsentrat yang sama sebesar 30:70. Perbedaan jumlah konsumsi BK ransum dari kedua penelitian tersebut dapat disebabkan oleh bobot badan masing-masing domba yang berbeda sehingga kebutuhan BK ransum juga berbeda. Konsumsi merupakan tolak ukur dari penilaian palatabilitas suatu bahan pakan. Menurut NRC (2006) kebutuhan bahan kering normal pada ternak domba dengan bobot badan 20-30 kg yaitu 690-1240 g/ekor/hari. Rataan konsumsi BK penelitian ini yaitu berkisar 703,97-867,89 g/ekor/hari. Hasil tersebut sesuai dengan kebutuhan bahan kering normal ternak domba bedasarkan NRC (2006), yang menunjukkan bahwa domba mampu mengkonsumsi pakan sesuai kebutuhan. Konsumsi Bahan Organik Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) konsumsi bahan organik (Tabel 11). Konsumsi BO domba lokal jantan berkisar antara 682,12-898,61 g/ekor/hari. Pada perlakuan kombinasi bungkil kelapa dan kedelai menghasilkan konsumsi BO yang nyata lebih tinggi dibandingkan kombinasi bungkil kelapa dan urea. Pada umumnya tingkat konsumsi bahan organik sejalan dengan konsumsi bahan kering. Apabila konsumsi bahan kering tinggi, maka konsumsi bahan organik juga tinggi dan sebaliknya bila konsumsi bahan kering rendah, maka konsumsi bahan organik juga rendah. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Chotimah (2002), yang menyatakan bahwa konsumsi BO pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi BK dari ternak tersebut. Penyebab perbedaan ini dikarenakan kandungan abu (anorganik) dalam ransum yang menggunakan tepung ikan lebih tinggi, sehingga kandungan bahan organik berkurang dan konsumsi bahan organik menurun. Hal ini terbukti dari penggunaan kombinasi bungkil kelapa dan tepung ikan menghasilkan konsumsi BO yang lebih rendah. Konsumsi Protein Kasar Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) konsumsi protein kasar (Tabel 11). Rataan konsumsi protein pada penelitian ini berkisar antara 102,08-164,97 g/ekor/hari. Konsumsi protein pada perlakuan kombinasi bungkil kelapa dan kedelai jauh lebih 20
tinggi dibandingkan konsumsi pada perlakuan kombinasi protein lainnya. Hal tersebut disebabkan kandungan protein perlakuan kombinasi bungkil kelapa dan kedelai yang mencapai 19,01%. Tingginya kandungan protein suatu bahan pakan mempengaruhi jumlah konsumsi protein. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa semakin tinggi kandungan protein di dalam pakan, maka konsumsi protein makin tinggi pula Konsumsi protein dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Kearl (1982) bahwa untuk domba muda dengan bobot hidup 25 kg dan dengan pertumbuhan bobot hidup harian 100 g dibutuhkan 85 g protein kasar. Konsumsi Serat Kasar Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein tidak nyata mempengaruhi (P>0,05) konsumsi serat kasar (Tabel 11). Rataan konsumsi serat kasar pada penelitian ini berkisar antara 96,86–122,06 g/ekor/hari. Tidak adanya perbedaan konsumsi SK antar perlakuan diduga disebabkan oleh penggunaan komposisi tongkol jagung yang sama dan juga kandungan serat dari berbagai sumber protein masing-masing perlakuan tidak jauh berbeda (Tabel 10). Pada penelitian ini konsumsi serat kasar berbanding lurus dengan konsumsi bahan kering pakan, ini terbukti bahwa perlakuan tidak nyata mempengaruhi konsumsi serat kasar dan bahan kering. Menurut Toharmat (2006), jenis pakan kaya serat dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering yang selanjutnya mempengaruhi konsumsi nutrien. Hal ini berarti bahwa konsumsi bahan kering pakan dapat dimanipulasi melalui pemilihan jenis pakan kaya serat yang diberikan. Kecernaan Bahan Kering Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein tidak nyata mempengaruhi (P>0,05) kecernaan bahan kering (Tabel 11). Tidak adanya perbedaan nilai kecernaan bahan kering disebabkan komposisi pakan pada semua perlakuan sama yaitu terdiri dari 30% tongkol jagung dan 70% konsentrat, selain itu tekstur dari ransum tongkol jagung yang sama dalam semua ransum menyebabkan laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan sama sehingga nilai kecernaan bahan kering juga tidak jauh berbeda. Pernyataan ini sesuai dengan Tillman et al. (1989) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, faktor hewan, serta laju perjalanan melalui alat pencernaan. 21
Tabel 12. Rataan Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Protein Kasar, Serat Kasar, Lemak Kasar, BETN, dan Nilai TDN pada Domba Lokal Jantan yang Mendapat Ransum Kombinasi Sumber Protein Berbeda. Ransum Penelitian Peubah Kecernaan BK
Nilai
R1
R2
R3
R4
------------------------------------------(%)----------------------------------------59,29 ± 5,65 a
68,30 ± 3,88 69,00 ± 4,04
b
67,14 ± 4,29 69,54 ± 4,05
63,03 ± 3,32 b
62,74 ± 3,17ab
BO
59,29 ± 5,13
PK
71,10 ± 4,28a
82,20 ± 0,62b
72,91 ± 5,04a
73,18 ± 3,11a
SK
33,33 ± 8,72a
48,91 ± 8,05bc
58,71 ± 8,04c
42,69 ± 3,79ab
LK
89,28 ± 4,90ab
94,30 ± 1,56ab
95,01 ± 0,95b
88,28 ± 2,34a
BETN
59,91 ± 4,72a
68,04 ± 4,44ab
69,83 ± 4,45b
63,47 ± 3,35ab
TDN*
61,35 ± 5,04a
70,10 ± 3,91ab
70,68 ± 3,91b
63,88 ± 3,13ab
Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). *) TDN dihitung berdasarkan Sutardi (1981). Rumus TDN = PK dapat dicerna+SK dapat dicerna+BETN dapat dicerna+(2,25 LK dapat dicerna).
Tillman et al. (1991), menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dalam hal ini adalah bahan kering. Konsumsi bahan kering yang tidak berbeda nyata dalam penelitian ini menyebabkan kecernaan bahan kering domba lokal jantan juga tidak berbeda nyata. Data kecernaan bahan kering di atas sesuai dengan kisaran normal kecernaan bahan kering pada domba yang diberi pakan mengandung kombinasi sumber protein yaitu 59,55%-65,99% (Fanindi, 2000). Terlihat pada perlakuan kombinasi protein bungkil kelapa dan kedelai serta perlakuan kombinasi protein bungkil kelapa dan tepung ikan melebihi kisaran normal kecernaan bahan kering. Meskipun kecernaan bahan kering ransum tidak berbeda nyata, perlakuan kombinasi protein bungkil kelapa dan kedelai memberikan nilai kecernaan lebih tinggi dibandingkan perlakuan kombinasi sumber protein lainnya. Kecernaan Bahan Organik Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) kecernaan bahan organik (Tabel 12). Berdasarkan statistik perlakuan R2 atau R3 nyata lebih tinggi dari R1 namun sama dengan R4. Perlakuan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan atau bungkil kelapa dan bungkil kedelai menghasilkan kecernaan bahan organik yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan sumber protein bungkil kelapa dan
22
urea. Tingginya kecernaan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan atau bungkil kelapa dan kedelai disebabkan karena tingginya aktivitas mikroba di dalam rumen, terlihat kecernaan serat pada kedua perlakuan ini cukup tinggi dibanding perlakuan lain. Pernyataan ini sesuai dengan Puastuti (2005) yang menyatakan kecernaan bahan organik yang tinggi terjadi karena aktivitas mikroba di dalam rumen juga tinggi yang ditunjukkan dengan nilai laju produksi purin yang besar. Kecernaan bahan organik dalam penelitian ini berkisar 54,16%-73,59%, masih terbilang normal bila dibandingkan dengan penelitian Yulistiani (2010) yang menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik pada domba yang diberikan ransum tongkol jagung dengan penambahan konsentrat berprotein tinggi memiliki rataan sebesar 66,09%. Kecernaan Protein Kasar Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) kecernaan protein kasar (Tabel 12). Berdasarkan statistik perlakuan R2 nyata lebih tinggi dari R1, R3, dan R4. Perlakuan kombinasi bungkil kelapa dan kedelai menghasilkan nilai kecernaan tertinggi yaitu sebesar 82,19%. Ini disebabkan kandungan protein bahan pakan dan konsumsi protein kasar yang cukup tinggi berturut-turut
sebesar 19,01%
dan 152,84
g/ekor/hari jauh lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya, yang mengakibatkan nilai kecernaan ikut meningkat. Pernyataan ini sesuai dengan Parakkasi (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan protein di dalam pakan, maka konsumsi protein makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai kecernaan bahan pakan tersebut. Selain itu bungkil kedelai yang termasuk ke dalam protein low-bypass diperkirakan sebagian protein dapat didegradasi di dalam rumen dengan baik sehingga menghasilkan protein mikroba, dimana sebagian
protein
mikroba dan protein yang tidak terdegradasi di rumen akan diserap di usus halus sehingga akan meningkatkan kecernaan protein. Pernyataan ini sesuai dengan Nolan (1993) protein ransum yang tak terdegradasi dalam rumen bersama protein mikroba akan mengalir ke abomasum menuju usus halus dan dihidrolisis oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh ternak dan untuk selanjutnya diserap. Kecernaan dalam penelitian ini berkisar antara 66,82%-82,82%, lebih tinggi dibandingkan
23
kecernaan protein kasar menurut Yulistiani (2010) yang diberikan ransum tongkol jagung dengan penambahan konsentrat berprotein tinggi memiliki rataan sebesar 78,4%. Kecernaan Serat Kasar Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) kecernaan serat kasar (Tabel 12). Berdasarkan statistik perlakuan R3 nyata lebih tinggi dari R1 dan R4 namun sama dengan perlakuan R2. Kecernaan serat kasar pada domba tertinggi yaitu pada perlakuan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan, sedangkan kecernaan serat kasar tertinggi kedua terdapat pada kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan bungkil kedelai . Hal ini disebabkan kedua ransum (R2 dan R3) mengandung protein yang dapat meningkatkan SPM (Sintesis Protein Mikroba), serta dapat menstimulasi bakteri untuk mencerna serat tongkol jagung. Menurut Nurhajah (2007), besarnya kecernaan SK salah satunya dipengaruhi oleh konsumsi BK ransum, dan ruminansia
komposisi kimia bahan pakan, selain itu pemanfaatan pakan oleh bergantung
pada
kecernaan
fermentatif
oleh
mikroba
rumen,
pertumbuhan bakteri ini dipacu selama tersedianya prekursor, populasi mikroba rumen pada hewan yang mendapat ransum serat kasar tinggi dibatasi oleh ketersediaan protein dan energi fermentabel. Puastuti (2005) menyatakan bahwa ransum yang diberi tambahan tepung ikan memiliki jumlah mikroba rumen lebih banyak dibandingkan tanpa tambahan tepung ikan (2,20±0,76 vs 1,52±0,39)x109 koloni/ml. Bungkil kedelai yang memiliki tingkat degradasi dalam rumen yang tinggi kemungkinan dapat menghasilkan sumber N yang tinggi yang berguna bagi pertumbuhan mikroba, sehingga jumlah mikroba rumen pun meningkat. Banyaknya bakteri rumen pada kedua perlakuan memungkinkan kandungan serat tongkol jagung lebih banyak dicerna oleh bakteri pencerna serat, sehingga kecernaan serat pun ikut meningkat. Pengaruh lainnya yang menyebabkan kecernaan serat meningkat mungkin disebabkan kandungan asam amino yang lebih baik dalam tepung ikan dan bungkil kedelai, contohnya yaitu methionin dan lisin yang sangat penting dalam sintesis protein mikroba, sementara asam amino dalam bungkil kelapa sangatlah defisien akan methionin dan lisin.
24
Kecernaan terendah terdapat pada perlakuan kombinasi protein bungkil kelapa dengan penambahan urea 1,5%, meskipun ransum ini memiliki serat kasar yang paling tinggi (14,58%), dapat disimpulkan bahwa kadar serat yang tinggi tidak menjamin kecernaan serat juga tinggi, namun kecernaan serat memang di pengaruhi oleh komposisi kimia bahan pakan dimana komposisi kimia bahan pakan berpengaruh
pada
kecernaan
fermentatif
oleh
mikroba
rumen,
terkadang
suplementasi nitrogen selain protein (NPN) dalam ransum ruminansia sering kali menghasilkan performa yang kurang baik dibandingkan dengan suplemen protein alami. Pernyataan ini sesuai dengan Grisworld et al. (1996) meskipun NH3 merupakan sumber N utama bagi bakteri selulolitik, namun secara in vitro laju pertumbuhan mikroba lebih optimal ketika pasokan N dalam rumen berasal dari deaminasi asam amino. Kecernaan Lemak Kasar Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) kecernaan lemak kasar (Tabel 12). Berdasarkan statistik perlakuan R3 nyata lebih tinggi dari R4 namun sama dengan perlakuan R1 dan R2. Terlihat kecernaan lemak kasar ransum penelitian ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 85,94%-95,96% dimana kecernaan tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan. Hasil kecernaan lemak kasar yang tinggi dapat disebabkan bahwa lemak yang diserap mengandung trigliserida (lemak sederhana) sehingga lebih mudah dicerna. Trigliserida banyak terpadat dalam pakan mengandung konsentrat tinggi, sehingga menghasilkan kecernaan yang tinggi. Tingginya daya cerna lemak kasar disebabkan oleh struktur kimia lemak yang mudah dicerna (Wiseman, 1990). Kecernaan lemak kasar yang tinggi pada perlakuan kombinasi bungkil kelapa dan tepung ikan mungkin dipengaruhi oleh jumlah mikroba rumen pencerna lemak, sesuai dengan Puastuti (2005) bahwa ransum yang diberi tambahan tepung ikan memiliki jumlah mikroba rumen lebih banyak dibandingkan tanpa tambahan tepung ikan. Kecernaan BETN Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) kecernaan BETN (Tabel 12). Berdasarkan statistik perlakuan R3 nyata lebih tinggi dari R1 namun sama dengan perlakuan R2 25
dan R4. Nilai kecernaan BETN pada perlakuan kombinasi protein bungkil kelapa dan tepung ikan tidak jauh berbeda terhadap perlakuan kombinasi protein bungkil kelapa dan bungkil kedelai yaitu 69,83% dan 68,04%. Ini disebabkan bahwa ransum perlakuan kombinasi protein bungkil kelapa dan tepung ikan atau kombinasi bungkil kelapa dan kedelai mendukung tercernanya serat kasar secara optimal dalam rumen, dimana kecernaan BETN dipengaruhi oleh kandungan BETN yang menggambarkan fraksi karbohidrat mudah tercerna seperti pati dan gula dalam pakan tinggi. Menurut Tilmann et al. (1991) kandungan BETN yang tinggi menggambarkan fraksi karbohidrat mudah tercerna seperti pati dan gula juga tinggi. Pada penelitian ini kecernaan BETN sejalan dengan kecernaan serat kasar dimana perlakuan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan atau kombinasi bungkil kelapa dan kedelai dapat memecah kandungan serat pada tongkol jagung dengan optimal. Nilai TDN Penambahan sumber serat tongkol jagung dengan kombinasi berbagai sumber protein nyata mempengaruhi (P<0,05) nilai TDN (Tabel 12). Berdasarkan statistik perlakuan R3 nyata lebih tinggi dari R1 namun sama dengan perlakuan R2 dan R4. Nilai TDN pada perlakuan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan tidak jauh berbeda dengan perlakuan kombinasi bungkil kelapa dan bungkil kedelai yaitu 70,68% dan 70,10%. Terlihat nilai TDN kedua perlakuan cukup tinggi yang berarti jumlah zat makanan yang dapat dicerna, diantaranya protein kasar, serat kasar, lemak kasar, dan BETN memiliki kecernaan yang tinggi pula. Ini membuktikan bahwa perlakuan ransum tongkol jagung dengan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan atau kombinasi bungkil kelapa dan bungkil kedelai memiliki kecernaan lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Perry et al. (2003) menyatakan tongkol jagung mempunyai kadar protein yang rendah 3,6% dengan kadar lignin 7,8% dan selulosa 31,1%. Terdapatnya kandungan selulosa yang cukup tinggi dan merupakan komponen serat yang dapat dicerna maka tongkol jagung dapat menyediakan energi yang cukup untuk pertumbuhan mikroba dalam rumen. Ransum dengan kombinasi sumber protein bungkil kelapa dan tepung ikan atau kombinasi bungkil kelapa dan bungkil kedelai pada ransum berbasis tongkol jagung dirasa tepat karena dengan tercukupinya kebutuhan protein, mikroorganisme rumen meningkat dan selulosa menjadi mudah untuk difermentasi di
26
dalam rumen. Pernyataan ini sesuai dengan Siregar (1994) pakan mengandung protein cukup dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme rumen yang akhirnya dapat meningkatkan kecernaan pakan tersebut. Semakin tinggi TDN dari suatu pakan, maka pakan tersebut akan semakin baik karena banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan.
27