IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Seiring dengan kemajuan suatu bangsa, maka tidak dapat dihindari kemajuan industrialisasi, sehingga menimbulkan dampak lingkungan berupa bising yang berpengaruh terutama kepada karyawan. Mesin modern, disamping memberikan
dampak
positif
berupa
pencapaian
target
produksi,
juga
memberikan dampak negatif berupa kebisingan, khususnya pada bagian proses produksi. Menurut Mardji (2005), kebisingan di berbagai industri yang menggunakan peralatan modern pada proses produksi terjadi sebagai akibat dari proses mekanik, dan kebisingan yang terbentuk seringkali melebihi batas ambang yang diijinkan. Berdasarkan hasil investigasi National Institute for Occupational Safety and Health dalam Mardji (2005), tercatat beberapa industri dengan tingkat kebisingan yang melebihi batas ambang yang ditetapkan, antara lain mesin pemotong kertas (95-108 dB), perusahaan kimia pada area cleaning dan polishing (88-113 dB), pabrik gelas (79-92 dB), bengkel manufaktur (115 dB). Kebisingan yang timbul pada proses produksi memiliki kecenderungan mempengaruhi kesehatan para karyawan. Salah satu dampak negatif terhadap kesehatan karyawan yang diakibatkan oleh kebisingan adalah penurunan tinggkat pendengaran. Dewasa ini, pengaruh kebisingan terhadap penurunan tingkat pendengaran para karyawan merupakan salah satu topik yang memerlukan perhatian khusus bagi para ahli (Eleftheriou 2000). Guna mengantisipasi pengaruh negatif kebisingan terhadap
para
pekerja,
pemberlakuan
batas
ambang
kebisingan
yang
diperbolehkan ada selama prose produksi dalam bentuk regulasi, dan beberapa negara telah mengeluarkan ketetapan tersebut guna meningkatkan perlindungan terhadap para karyawan. Menurut Eleftheriou (2000), Amerika Serikat telah mengeluarkan kebijakan untuk meminimalkan efek kebisingan pada para karyawan pada berbagai industri sebesar 90 dB untuk 8 jam waktu kerja selama satu hari. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja, juga telah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan penetapan batas ambang kebisingan selama proses industri. Salah satu regulasi yang secara langsung mengatur batas ambang tersebut adalah KepMen LH Nomor: 48/MenLH/XI/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan untuk Kawasan
33 Perumahan dan Permukiman, dan KepMenLH Nomor: 51/MenLh/X/1996 tentang Baku
Mutu
Kebisingan
Indoor.
Berdasarkan
KepMenLH
Nomor:
48/MenLH/XI/1996 tersebut memberikan batas ambang tingkat kebisingan di perumahan dan permukiman sebesar 55 dB, dan baku mutu kebisingan di industri (indoor) adalah 85 dB (KepMenLH Nomor: 51/MenLH/X/1996). Eleftheriou (2000) menyatakan, berbagai kajian telah dilakukan untuk memperoleh
berbagai informasi berkaitan dengan bagaimana pengaruh
kebisingan terhadap penurunan tingkat pendengaran para karyawan. Kendala yang dihadapi pada berbagai kajian tersebut adalah adanya kenyataan bahwa sumber kebisingan tidak hanya ada di dalam indsutri selama proses produksi, tetapi juga terdapat di areal di luar lingkungan industri. Dugaan sementara yang diajukan adalah bahwa penurunan tingkat pendengaran dihasilkan oleh kebisingan di luar areal kerja sebagai bentuk lamanya interaksi karyawan di luar areal kerja lebih besar dibandingkan dengan interaksi karyawan dengan kebisingan di dalam areal kerja. Dugaan tersebut dapat diterima dengan asumsi adanya pengendalian dampak kebisingan yang diberlakukan oleh perusahaan untuk melindungi kesehatan karyawan. Kota Tangerang adalah salah satu kawasan industri di Indonesia. Berdasarkan karakteristik wilayahnya sebagai kawasan industri, di Kota Tangerang telah berdiri berbagai jenis industri. Guna memudahkan pencapaian target produksi, perusahaan telah menetapkan kebijakan penggunaan berbagai peralatan
modern
yang
dikombinasikan
dengan
penggunaan
tenaga
kerja/karyawan. Telah diuraikan sebelumnya bahwa kebisingan selama proses produksi, apabila tidak dikendalikan dengan baik akan berdampak negatif terhadap kesehatan karyawan, khususnya penurunan tingkat pendengaran. Mengacu pendapat Suma’mur (1980), penurunan tingkat pendengaran tersebut dapat bersifat sementara dan/atau permanen. Berdasarkan karakteristik Kota Tangerang sebagai kawasan industri, maka diduga penurunan tingkat pendengaran karyawan, khususnya yang bekerja di ruang produksi, telah terjadi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kisaran tingkat kebisingan industri, variabel yang dominan yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan, dan bentuk keterkaitan antara kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran. Total industri yang dijadikan obyek penelitian, dan jumlah responden pada masing-masing industri terpilih disajikan pada Tabel 2. Dasar pertimbangan penetapan 30
34 industri
tersebut
adalah
penggunaan
mesin
modern
yang
berpotensi
menimbulkan kebisingan, dan adanya karyawan yang bekerja dalam ruang proses industri, sedangkan penetapan responden adalah keseluruhan karyawan yang bekerja pada bagian proses produksi pada masing-masing industri terpilih. Tabel 2.
Jenis dan jumlah industri terpilih, dan jumlah reponden (karyawan) Sektor Industri Jumlah Jumlah Reponden (Orang) Pangan 8 72 Baja 6 72 Kayu/Furniture 5 40 Kulit dan Sepatu 3 36 Tekstil 4 40 Plastik 4 40 Total 30 300
4.2. Studi Tingkat Kebisingan Indoor dan Identifikasi Tingkat Pendengaran Karyawan Menurut Miyakita dan Ueda (1997), terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap penurunan tingkat pendengaran, diantaranya gaya hidup dan/atau kebiasaan hidup, trauma kepala, dan mengkonsumsi berbagai jenis obat-obatan, serta penyakit yang berhubungan langsung dengan pendengaran seperti otitis media. Lebih lanjut dijelaskan, sebagai dasar perlindungan karyawan dan kesehatan kerja mulai 1989, test terhadap tingkat pendengaran merupakan satandar operasional dalam pemantauan kesehatan karyawan. Upaya lain untuk melindungi para karyawan telah dilakukan sejak 1992, dalam bentuk sosialisasi panduan untuk pencegahan kebisingan sebagai salah satu bahan pencemar. Salah satu tujuan dari kebijakan tersebut adalah meminimalkan kerusakan dan/atau gangguan kesehatan akibat kebisingan dan mencegah perambatan kebisingan melalui upaya perlindungan yang sesuai. Namun kenyataannya, penurunan tingkat pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja masih tinggi (Miyakita dan Ueda 1997). Kenyataan yang muncul di masyarakat adalah bahwa mayoritas masyarakat di areal industri tidak merasa mengalami penurunan tingkat pendengaran. Kesalah pahaman tersebut selanjutnya diterima oleh para pekerja bahwa penurunan tingkat pendengaran yang mungkin dialami adalah salah satu konsekuensi bekerja di areal bising.
35 Penurunan tingkat pendengaran serupa, diduga telah terjadi di Kota Tangerang. Kajian serupa telah dilakukan dengan menggunakan beberapa variebel yaitu umur, masa kerja, kebisingan tempat tingal, riwayat penyakit, dan kebisingan di areal kerja pada 30 industri terpilih sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Kelima variabel tersebut dibahas secara dekriptif untuk mengetahui pola sebaran umur karyawan yang bekerja di bagian produksi. Pengujian tingkat pendengaran karyawan (responden) dilakukan untuk mengetahui ketajaman tingkat pendengaran karyawan pada saat ini, yang selanjutnya digunakan sebagai bahan pendugaan keterkaitan antar variabel yang diamati. Berdasarkan hasil pegamatan terhadap tingkat pendengaran 300 karyawan pada 30 industri terpilih, sebagaimana disajikan pada Lampiran 2, diperoleh hasil bahwa sebanyak 86 orang (28,67%) responden memiliki tingkat pendengaran berkisar antara 0-25 dB, 166 orang (53,33%) responden memiliki tingkat pendengaran berkisar antara 26-40 dB, 41 orang (13,67%) responden memiliki tingkat pendengaran berkisar antara 41-55 dB, dan 7 orang (2,33%) responden memiliki tingkat pendengaran diatas 55 dB. Pola sebaran tingkat pendengaran karyawan (responden) pada 30 industri terpilih disajikan pada Gambar 7.
40
Jumlah Karyawan (Orang)
35 30 25 20 15 10 5 0 0-25 dB
26-40 dB
41-55 dB
>55 dB
Kisaran Hasil Pemeriksaan Audiometrik (4000 Hz) Indus tri Pangan
Indus tri Baja
Indus tri Kayu/furniture
Indus tri Kulit/Sepatu
Indus tri Teks til
Indus tri Plas tik
Gambar 7.
Komposisi kisaran tingkat pendengaran karyawan yang bekerja pada proses produksi
36 Berdasarkan Gambar 7, jumlah karyawan yang bekerja di Industri pangan memiliki tingkat pendengaran berkisar antara 0-26 dB lebih mendominasi dibandingkan dengan kelima industri lainnya, sedangkan jumlah karyawan dengan tingkat pendengaran berkisar antara 26-41 dB relatif seragam untuk keenam industri terpilih. Nilai ekstrim pada kisaran tingkat pendengaran antara 41-55 dB dan lebih dari 55 dB dimiliki oleh karyawan pada industri baja. Kondisi tersebut
menggambarkan
bahwa
penurunan
tingkat
pendengaran
pada
karyawan di keenam industri terpilih telah terjadi. Menurut Supardi (2002), tingkat kemampuan mendengar dibagi dalam empat kategori antara lain kategori normal apabila hasil pemeriksaan audiometrik tidak lebih dari 25 dB, tuli ringan apabila hasil pemeriksaan audiometrik berada pada kisaran 26-40 dB, tuli sedang apabila hasil pemeriksaan audiometrik berada pada kisaran 41-55 dB, dan tuli berat apabila hasil pemeriksaan audiometrik tidak lebih dari 55 dB. Berdasarkan uraian tersebut maka 86 orang (28,67%) responden memiliki tingkat pendengaran normal, 166 orang (53,33%) responden mengalami tuli ringan, 41 orang (13,67%) responden mengalami tuli sedang, dan 7 orang (2,33%) responden mengalami tuli berat. Pola peningkatan jumlah karyawan yang mengalami penurunan tingkat pendengaran terbesar, sebagaimana disajikan pada Gambar 7, adalah industri baja. Hal ini disebabkan adanya fluktuasi lonjakan suara secara tiba-tiba yang sangat ekstrim dari mesim yang digunakan atau pemajanan secara tiba-tiba lebih dari 4 dB, sehingga dapat dikatakan bahwa kebisingan di industri baja bersifat impulsive atau impact. Pada kondisi pemajanan tersebut telinga belum beradaptasi dengan lonjakan suara tersebut. Pengukuran kebisingan di tempat kerja merupakan tahapan kedua dalam managemen kebisingan di tempat kerja. Berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia, batas ambang kebisingan yang diperbolehkan ada di lingkungan kerja adalah 85 dB. Hasil pengamatan, sebagaimana disajikan pada Lampiran 8, menunjukkan bahwa tingkat kebisingan pada enam industri terpilih relatif bervariasi, dan memiliki kecenderungan melebihi batas ambang yang telah ditentukan. Kisaran tingkat kebisingan di tempat kerja pada enam industri terpilih disajikan pada Gambar 8.
37
Rerata Hasil Pengukuran Kebisingan (dB)
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 Rerata Minimum
Rerata Maksimum Kisaran Nilai Kebisingan
Rata-rata
Industri Pangan
Industri Baja
Industri Kayu/furniture
Industri Kulit/Sepatu
Industri Tekstil
Industri Plastik
Gambar 8.
Komposisi kisaran tingkat kebisingan maksimum masing-masing industri
minimum
dan
Berdasarkan Gambar 8, nilai minimum keenam industri terpilih masih berada di bawah batas ambang, yaitu sebesar 63-83 dB, namun dari keenam industri tersebut, industri tekstil telah memiliki nilai minimum kebisingan mendekati batas ambang yang telah ditetapkan (85 dB). Nilai kisaran maksimum kebisingan yang telah melebihi batas ambang adalah industri baja, industri kayu/furniture, dan tekstil, sedangkan nilai rata-rata kebisingan yang telah melebihi batas ambang berada pada industri kulit/sepatu, dan industri tekstil. Fenomena tersebut sebagai akibat dari pola kebisingan di industri tekstil dan kulit sepatu bersifat kontinyu. Pemajanan kebisingan bersifat kontinyu dimaksudkan adalah pajanan bising yang timbul terus menerus atau relatif konstan, sehingga telinga telah beradaptasi dengan lonjakan intensitas kurang dari 3 dB.
4.3.
Identifikasi Komponen Pendengaran Karyawan
Utama
Yang
Berpengaruh
Terhadap
Di samping kebisingan di tempat kerja, kebisingan di tempat tinggal karyawan juga berpengaruh pada tingkat pendengaran karyawan (Eleftheriou 2000). Berdasarkan hasil pengamatan sebagaimana disajikan pada Lampiran 5, 32 orang (10,67%) karyawan tinggal pada areal tempat tinggal dalam kategori
38 bising (lebih dari 70 dB), sedangkan 268 orang (89,33%) karyawan tinggal pada areal tidak bising (kurang dari 70 dB). Pola sebaran tempat tinggal karyawan pada keenam industri terpilih disajikan pada Gambar 9.
Jumlah Karyawan (Orang)
70 60 50 40 30 20 10 0 BISING
TIDAK BISING
Kategori Kebisingan Tempat Tinggal Karyawan Indus tri Pangan Indus tri Baja Indus tri Kayu/furniture Indus tri Kulit/Sepatu
Gambar 9.
Indus tri Teks til
Indus tri Plas tik
Pola sebaran karakteritik kebisingan tempat tinggal para karyawan pada keenam industri
Berdasarkan Gambar 9, secara umum para karyawan tinggal pada areal tempat tinggal yang tidak bising. Namun demikian, berdasarkan tingkat kebisingan tempat tinggal, karyawan industri baja bertempat tinggal dilingkungan dengan kategori bising. Hal ini diduga berpengaruh secara simultan terhadap penurunan tingkat pendengaran para karyawan yang bekerja di industri baja dengan tingkat kebisingan tempat kerja sebagaimana disajikan pada Gambar 8. Penurunan tingkat pendengaran karyawan, bukan saja sebagai akibat dari kebisingan di tempat kerja dan/atau kebisingan tempat tinggal, melainkan juga dipengaruhi oleh umur, riwayat penyakit, dan kebisingan di tempat tinggal (Miyakita dan Ueda 1997). Eleftheriou, P.C. (2001) menyatakan, seseorang yang bekerja di tempat bising akan mulai mengalami gangguan pendengaran secara nyata terlihat pada umur di atas 30 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin bertambahnya umur (di atas 30), kemungkinan penurunan pendengaran seseorang, secara alami, akan terjadi tanpa adanya pengaruh faktor eksternal (kondisi tempat kerja, tempat tinggal, dan riwayat penyakit.
39 Berdasarkan hasil pengamatan, sebagaimana disajikan pada Lampiran 4, sebanyak 147 responden berumur kurang dari 30 tahun (49%), sedangkan 153 responden berumur di atas 30 tahun (51%). Komposisi umur pada masingmasing industri terpilih disajikan pada Gambar 10.
Jumlah Karyawan (Orang)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 ≤ 30 TAHUN
> 30 TAHUN
Se baran umur Karyawan (Tahun) Industri Pangan Industri Kulit/Sepatu
Gambar 10.
Industri Baja Industri Tekstil
Industri Kayu/furniture Industri Plastik
Komposisi umur karyawan yang bekerja pada produksi pada masing-masing industri
proses
Berdasarkan Gambar 10, industri dengan jumlah karyawan terbesar dengan berumur di atas 30 tahun secara berturut-turut adalah industri pangan, baja, kayu/furniture, kulit/sepatu, plastik, dan tekstil. Penurunan tingkat pendengaran karyawan pada keenam industri terpilih, selain dikarenakan tingkat kebisingan di tempat kerja, juga diduga dipengaruhi oleh umur karyawan. Variabel lainnya yang berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran selain umur, tingkat kebisingan tempat kerja, dan kebisingan tempat tinggal, adalah masa kerja. Masa kerja seseorang, terutama yang bekerja di tempat bising akan memperbesar peluang seseorang untuk kontak langsung dan besarnya kemungkinan terpajan bising. Semakin lama masa kerja seseorang yang bekerja di tempat bising diduga penurunan tingkat pendengaran akan semakin besar bila dibandingkan dengan seseorang yang baru bekerja pada tempat yang sama.
40 Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 5), 121 orang karyawan (40,33%) pada industri terpilih memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun, sedangkan 179 orang karyawan (59,67%) memiliki masa kerja di atas 5 tahun. Pola sebaran masa kerja pada masing-masing industri terpilih disajikan pada Gambar 11, apabila dikaitkan dengan hasil pengukuran dengan audiometri, sebagaimana disajikan pada Gambar 7, sebagian besar karyawan telah mengalami gangguan pendengaran dari tuli ringan hingga tuli berat, maka banyaknya karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun diduga secara bersamasama berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran.
Jumlah Karyawan (Orang)
60 50 40 30 20 10 0 ≤ 5 TAHUN
> 5 TAHUN
Masa Kerja (Tahun) Pangan
Gambar 11.
Pekerja Baja
Kayu/furniture
Kulit/Sepatu
Tekstil
Plastik
Komposisi masa kerja karyawan yang bekerja pada proses produksi pada masing-masing industri
Variabel eksternal lainnya yang diduga berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran karyawan pada penelitian ini adalah riwayat penyakit juga berpengaruh langsung terhadap gangguan pendengaraan. Seseorang dengan riwayat penyakit yang berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan organ pendengaran, memiliki peluang lebih besar mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan seseorang tanpa riwayat penyakit. Namun demikian, pada dua orang yang sama-sam memiliki riwayat penyakit
41 yang sama, kondisi penyakit yang diderita juga berpengaruh terhadap gangguan pendengaran yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan sebagaimana disajika pada Lampiran 6, 47
orang
(15,67%)
karyawan
pernah
memiliki
riwayat
penyakit
yang
berhubungan dengan pendengaran, sedangkan 253 orang (84,33%) karyawan tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran. Pola sebaran karyawan dengan ada dan tidak memiliki riwayat penyakit disajikan pada Gambar 12.
Jumlah Karyawan (Orang)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Memiliki
Tidak Memiliki
Riw ayat Penyakit yang Berhubungan dengen Pendengaran Indus tri Pangan
Indus tri Baja
Indus tri Kayu/furniture
Indus tri Kulit/Sepatu
Indus tri Teks til
Indus tri Plas tik
Gambar 12.
Pola sebaran riwayat penyakit para karyawan pada keenam industri
Berdasarkan Gambar 12, para karyawan yang bekerja di industri baja memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pedengaran. Kondisi ini diduga juga berpengaruh terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan di industri baja. Hubungan antara riwayat penyakit dengan penurunan tingkat pendengaran akan dilakukan pengujian lanjutan dengan menggunakan Khikuadrat, sedangkan analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui keberadaan riwayat penyakit bila dibandingkan dengan variabel lainnya, dan akan dibahas pada sub pokok bahasan berikutnya.
42 Telah dikemukakan sebelumnya bahwa perusahaan dihimbau untuk melakukan upaya perlindungan terhadap para pekerja dari pemajanan kebisingan. Beberapa upaya untuk mengantisipasi pemajanan kebisingan tersebut adalah memantau kondisi peralatan dan/atau mesin yang digunakan selama proses produksi, mendesain ruangan (sumber kebisingan) untuk meminimalkan pemajanan, dan penggunaan alat pelindung telinga (APT). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Mardji (1997) yang menyatakan, ketulian sebagai dampak negatif dari pemajanan kebisingan dapat dicegah melalui pengendalian secara teknik diantaranya dengan memberikan peredaman pada sumber kebisingan, pengendalian secara administratif yaitu dengan merotasi job karyawan atau peraturan setiap karyawan diwajibkan menggunakan APT, namun demikian upaya ini tidak terlepas dari faktor individu yang terdiri dari pendidikan, pengalaman pelatihan, dan umur yang menentukan perilaku pemakaian APT. Berdasarkan ketiga upaya tersebut, pemberlakuan penggunaan APT merupakan standar oprasional prosedure minimal pada industri yang potensial menimbulkan kebisingan. Berdasarkan hasil pengamatan sebagaimana disajikan pada Lampiran 7, 196 orang (65%) karyawan tidak pernah menggunakan APT, 81 orang (27%) karyawan kadang-kadang menggunakan APT, dan 23 orang (7,67%) karyawan selalu menggunakan APT. Pola sebaran penggunaan APT pada masing-masing industri terpilih disajikan pada Gambar 13.
50 Jumlah Karyawan (Orang)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 TDK PERNAH
KADANG-KADANG
SELALU
Pe nggunaan Alat Pe lindung Te linga (APT) Industri Pa nga n
Industri Ba ja
Industri Ka yu/furniture
Industri Kulit/Se pa tu
Industri Te kstil
Industri Pla stik
Gambar 13.
Pola sebaran penggunaan apt bagi para karyawan pada masing-masing industri
43 Berdasarkan Gambar 13, karyawan pada industri pangan dan industri baja relatif lebih banyak tidak menggunakan APT dibandingkan dengan industri kulit/sepatu, tekstil, plastik, dan kayu/furniture. Kondisi ini semakin memperkuat kemungkinan para karyawan terpajan kebisingan. Dari keenam industri terpilih, industri
tekstil
dan
kulit/sepatu
terdapat
karyawan
yang
tidak
selalu
menggunakan APT. Keseluruhan uraian tersebut di atas hanya menggambarkan pola persebaran umur, riwayat penyakit, kebisingan tempat tinggal, masa kerja dan kebisingan pada masing-masing industri terpilih dan pengaruhnya terhadap tingkat pendengaran karyawan. Pembahasan selanjutnya bertujuan untuk mengkaji keterkaitan variebel eksternal (kemungkinan pengaruh kebisingan di luar tempat kerja), dan variabel internal (kemungkinan pengaruh kebisingan di tempat kerja). Variebel eksternal pada kajian ini antara lain umur, masa kerja, tingkat kebisingan tempat tinggal karyawan, dan riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran yang pernah diderita para karyawan. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada Gambar 9 dan 12, 89,33% karyawan bermukim pada areal tidak bising dan 84,33% karyawan tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran, namun demikian diketahui bahwa sejumlah karyawan didapati mengalami gangguan pendengaran. Kebisingan tempat tinggal dan riwayat penyakit merupakan faktor kedua yang berkaitan langsung dengan pendengaran. Faktor pertama yang berhubungan langsung dengan kesehatan organ pendengaran pekerja adalah kebisingan tempat kerja. Fenomena tersebut merupakan salah satu dasar untuk dilakukan upaya identifikasi lanjutan terhadap jumlah karyawan yang tidak bermukim di tempat bising dan tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran namun pada kenyataannya menderita gangguan pendengaran. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa 144 orang karyawan dari 300 karyawan atau sekitar 48% karyawan menderita gangguan pendengaran dari tuli ringan hingga tuli berat. Kisaran karyawan pada masing-masing industri dengan karakteristik tidak bermukin di areal bising dan tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3.
Karyawan dengan karakteristik tidak bermukim di areal bising
44 dan tidak memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran namun menderita gangguan pendengaran Industri Pangan Baja Kayu/furniture Kulit/sepatu Tekstil Plastik Total
Tuli ringan Jumlah % 27 37,50 34 47,22 25 62,50 16 44,44 23 57,50 19 47,50 144 48,00
Tuli sedang Jumlah % 2 2,78 9 12,50 1 2,50 0 0,00 1 2,50 0 0,00 13 4,33
Tuli berat Jumlah 0 0 0 0 0 1 1
% 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 2,50 0,33
Berdasarkan hasil penelitian, sebagaimana disajikan pada Gambar 9, 10, dan 11, terdapat beberapa karyawan yang memiliki indikasi adanya sumber pemajanan yang bersama-sama di duga berpengaruh terhadap tingkat pendengaran
karyawan.
Guna
mengetahui
faktor-faktor
dominan
yang
berpengaruh terhadap tingkat pendengaran karyawan, dilakukan analisis lanjutan yaitu analisis komponen utama (AKU) atau Principle Component Analysis (PCA). Analisis komponen utama merupakan analisis yang digunakan apabila terdapat keterkaitan antar peubah yang diamati. Berdasarkan hasil analisis data tentang pola sebaran masing-masing variabel ekternal (umur, masa kerja, riwayat penyakit, dan kebisingan tempat tinggal) terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan, terdapat beberapa karyawan yang menunjukkan adanya keterkaitan empat peubah tersebut dengan penurunan tingkat pendengaran. Analisis komponen utama dilakukan pada kategori tuli ringan, sedang, dan tuli berat. Analisis komponen utama terhadap kategori penyakit tuli ringan dan sedang dilakukan pada keenam industri terpilih, sedangkan analisis komponen utama terhadap kategori penyakit tuli berat hanya melibatkan industri baja dan tekstil. Hal ini berdasarkan sebaran tuli berat hanya terdapat pada industri baja dan tekstil. Berdasarkan hasil analisis komponen utama tehadap kategori penyakit tuli ringan, sebagaimana disajikan pada Lampiran 15, terdapat dua komponen utama yaitu komponen utama pertama (KU1) dengan eigenvalue sebesar 2,79 yang telah mampu menjelaskan 69,84% data, dan komponen utama kedua (KU2) dengan eigenvalue sebesar 0,807 yang telah mampu menjelaskan 20,17%. Akumulasi kedua komponen utama tersebut sebesar 90,01%, sehingga
45 diputuskan pada analisis komponen utama terhadap penyekit tuli ringan menggunakan dua komponen utama. Hasil
analisis
komponen
utama
terhadap
empat
variabel
yang
berpengaruh terhadap penyakit tuli ringan pada enam industri terpilih masingmasing adalah kebisingan tempat tinggal, penyakit, dan masa kerja (berada pada faktor 1 atau KU1), dan diikuti dengan umur (berada pada faktor 2 atau KU2). Kebisingan tempat tinggal, penyakit, dan masa kerja merupakan tiga variabel ekternal yang berpengaruh pada munculnya penyakit tuli ringan karyawan pada enam industri terpilih, sedangkan umur karyawan relatif lebih kecil pengaruhnya terhadap peluang menimbulkan penyakit tuli ringan para karyawan. Analisis lanjutan dilakukan untuk mengetahui pola kebisingan pada keenam industri terpilih dengan menggunakan analisis kluster. Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui kelompok industri yang memiliki kemiripan pada pemicu munculnya penyakit tuli ringan. Hasil analisis klaster menghasilkan sebaran kedekatan industri pada komponen variabel ekternal yang memicu munculnya penyakit tuli ringan. Berdasarkan hasil analisis klaster terdapat tiga kelompok industri yaitu industri pangan, kayu/furniture dan plastik (kelompok 1), industri kulit/sepatu (kelompok 2), dan industri tekstil dan baja (kelompok 3). Dendogram pengelompokan industri dengan kemiripan variabel eksternal pemicu penyakit tuli ringan hasil analisis klaster disajikan pada Gambar 14 (atas). Analisa serupa juga dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel ekternal yang potensial memicu munculnya penyakit tuli sedang, sedangkan analisis pengaruh variabel ekternal terhadap munculnya penyakit tuli berat tidak dilakukan, karena penyakit tersebut hanya ditemukan pada industri baja dan tekstil. Berdasarkan hasil analisis komponen utama tehadap kategori penyakit tuli sedang, sebagaimana disajikan pada Lampiran 16, terdapat dua komponen utama yaitu komponen utama pertama (KU1) dengan eigenvalue sebesar 3,71 yang telah mampu menjelaskan 92,7% data, dan komponen utama kedua (KU2) dengan eigenvalue sebesar 0,2736 yang telah mampu menjelaskan 6,8%%. Akumulasi kedua komponen
utama tersebut sebesar 99,5%, sehingga
diputuskan pada analisis komponen utama terhadap penyekit tuli ringan menggunakan dua komponen utama. Hasil
analisis
komponen
utama
terhadap
empat
variabel
yang
berpengaruh terhadap penyakit tuli sedang pada enam industri terpilih masing-
46 masing adalah umur dan masa kerja (berada pada faktor 1 atau KU1), dan penyakit dan kebisingan tempat tinggal (berada pada faktor 2 atau KU2). Umur dan masa kerja merupakan dua variabel ekternal yang berpengaruh pada munculnya penyakit tuli sedang karyawan pada enam industri terpilih, sedangkan penyakit dan kebisingan tempat tinggal karyawan relatif lebih kecil pengaruhnya terhadap peluang menimbulkan penyakit tuli sedang para karyawan. Analisis lanjutan dilakukan untuk mengetahui pola kebisingan pada keenam industri terpilih dengan menggunakan analisis kluster. Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui kelompok industri yang memiliki kemiripan pada pemicu munculnya penyakit tuli sedang. Hasil analisis klaster menghasilkan sebaran kedekatan industri pada komponen variabel ekternal yang memicu munculnya penyakit tuli sedang. Berdasarkan hasil analisis klaster terdapat tiga kelompok industri yaitu industri pangan, kayu/furniture dan plastik (kelompok 1), industri kulit/sepatu (kelompok 2), dan industri tekstil dan baja (kelompok 3) (Gambar 14). Berdasarkan Gambar 14 (a) dan (b) tertera persamaan pengelompokan industri berdasarkan kemiripan variabel eksternal dominan yang berpengaruh pada munculnya penyakit tuli ringan dan sedang. Berdasarkan hasil pengujian dengan analisis komponen utama terhadap variabel dominan yang berpengaruh pada munculnya penyakit tuli ringan dan munculnya penyakit tuli sedang, diperoleh hasil bahwa penyakit tuli ringan lebih dominan disebabkan oleh kebisingan tempat tinggal, penyakit, dan masa kerja, dan variabel ekternal dominan ke dua adalah umur karyawan. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat perbedaan antara variabel ekternal terhadap munculnya penyakit tuli ringan dan pemicu munculnya penyakit tuli sedang. Variabel umur dan masa kerja merupakan variabel ekternal dominan pertama yang memicu munculnya penyakit tuli sedang, sedangkan variabel ekternal dominan ke dua yang berpengaruh pada munculnya penyekit tuli sedang adalah penyakit dan kebisingan tempat tinggal. Hal ini diduga umur dan masa kerja berinteraksi positif terhadap peluang munculnya penyakit tuli sedang. Telah diuraikan sebelumnya bahwa, penambahan umur secara alami berpengaruh terhadap penurunan tingkat pendengaran, dan diperkuat dengan masa kerja karyawan pada tempat bising juga berpengaruh positif terhadap penurunan tingkat pendengaran. Fenomena tersebut dapat dihubungkan dengan histogram pada Gambar 10, bahwa kisaran umur karyawan di atas 30 tahun lebih
47 besar dari persentase umur karyawan di bawah 30 tahun. Oleh karena itu, peluang komponen umur terhadap penurunan tingkat pendengaran relatif lebih besar dibandingkan variabel lainnya seperti penyakit dan kebisingan tempat tinggal.
Pangan Kayu/Furniture Plastik Baja Tekstil Kulit/Sepatu
0.0 0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
Jarak Kedekatan
(a)
Kesamaan 94,71
95,43
98,24
100
Pangan
Kayu
Plastik
Kulit
Baja
Tekstil
(b) Gambar 14.
Dendogram sebaran kelompok industri hasil analisis klaster: (a) variabel eksternal pemicu penyakit tuli ringan, dan (b) variabel eksternal pemicu penyakit tuli sedang
48 Kebisingan tempat kerja merupakan variabel internal yang berpengaruh terhadap penurunan tingak pendengaran karyawan. Interaksi pemajanan kebisingan dan penurunan tingkat pendengaran karyawan berhubungan dengan masa kerja karyawan pada industri yang berpotensi menimbulkan kebisingan selama proses produksi. Masa kerja dinyatakan sebagai lama bekerja karyawan dalam satuan tahun, dan dengan jam kerja tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan, masa kerja karyawan terbagi menjadi 2 golongan yaitu kurang dari 5 tahun dan lebih dari lima tahun. Lamanya masa kerja karyawan berpeluang memperbesar peluang pemajanan kebisingan pada karyawan. Dengan demikian semakin lama masa kerja maka peluang pemajanan kebisingan akan semakin besar. Pola sebaran masa kerja karyawan pada masing-masing industri terpilih disajikan pada Gambar 15.
Jenis Industri
Plastik Tekstil Kulit/Sepatu Kayu/furniture Baja Pangan 0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Karyawan (Orang) ≤ 5 TAHUN
Gambar 15.
> 5 TAHUN
Pola sebaran masa kerja karyawan pada masing-masing industri
Mengacu pola sebaran masa kerja karyawan, sebagaimana disajikan pada Gambar 15, terlihat bahwa kelima industri, kecuali industri plastik, memiliki pola sebaran masa kerja di atas 5 tahun lebih besar dibandingkan dengan masa kerja di bawah 5 tahun. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa kelima industri (tekstil, kulit/sepatu, kayu/furniture, baja, dan pangan) mempekerjakan karyawan tetap dan memilih mengoptimalkan karyawan yang ada. Kondisi
49 tersebut memperbesar peluang karyawan mengalami penyakit tuli sedang, terlebih pada karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun Guna mengetahui variabel eksternal dominan yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat pendengaran dan/atau munculnya penyakit tuli ringan hingga tuli sedang pada masing-masing karyawan, maka analisis komponen utama merupakan analisis lanjutan pada pembahasan lebih lanjut. Analisis ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa masing-masing industri memiliki karakteristik karyawan yang berbeda. Jenis industri yang dianalisis secara berurutan, sebagaimana hasil analisis klaster sebagaimana tertera pada Gambar 14, adalah industri pangan, kayu/furniture, plastik, kulit/sepatu, tekstil dan baja. Berdasarkan hasil analisis komponen utama terhadap variabel ekternal yang berpengaruh pada peluang munculnya penyakit tuli ringan hingga tuli berat yang relatif berbeda pada keenam industri terpilih. Variabel ekternal dominan terhadap munculnya penyakit tuli ringan hingga berat pada masing-masing industri disajikan pada Tabel 4. Pembahasan selanjutnya difokuskan terhadap variabel ekternal yang berpeluang menimbulkan penurunan tingkat pendengaran dibahas berdasarkan karakter masing-masing industri. Berdasarkan Tabel 4, karyawan dengan penyakit tuli berat terdapat pada industri
baja
dan
tekstil,
yang
secara
keseluruhan-berdasarkan
hasil
pengamatan, variabel eksternal yang dominan berpengaruh adalah masa kerja. Mengacu pada tabel yang sama, karyawan dengan penyakit tuli sedang terdapat pada industri plastik, tekstil, baja, dan pangan. Variabel ekternal yang dominan berpengaruh pada munculnya penyakit tersebut adalah masa kerja pada industri plastik, tekstil, dan baja, sedangkan pada industri pangan adalah umur, penyakit, kebisingan tempat tinggal. Karyawan dengan penyakit tuli ringan menyebar merata pada semua industri terpilih. Mengacu Tabel 4, variabel ekternal dominan berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran karyawan (tuli ringan) masing-masing industri adalah sebagai berikut: 1) Variabel dominan pada industri pangan adalah kebisingan tempat tinggal, penyakit, umur (KU1), sedangkan masa kerja merupakan variabel ekternal dominan kedua (KU2); 2) Variabel dominan pada industri baja adalah masa kerja (KU1) dan umur (KU2).
50 3) Variabel dominan pada industri kayu/furniture adalah masa kerja (KU1) dan umur (KU2). Pada industri ini, dapat dijumpai penyakit penurunan tingkat pendengaran dengan kategori hanya tuli ringan; 4) Variabel dominan pada industri kulit/sepatu adalah kebisingan tempat tinggal dan penyakit (KU1), sedangkan masa kerja dan umur merupakan variabel ekternal dominan kedua (KU2). Sama halnya dengan industri kayu/furniture, pada industri kulit/sepatu, dapat dijumpai penyakit penurunan tingkat pendengaran dengan kategori hanya tuli ringan; 5) Variabel dominan pada industri tekstil adalah umur (KU1) dan masa kerja (KU2); 6) Variabel dominan pada industri plastik adalah penyakit (KU1), sedangkan umur dan masa kerja merupakan variabel ekternal dominan kedua (KU2)
Tabel 4.
Industri Pangan
Hasil analisis komponen utama terhadap variabel eksternal dominan yang berpengaruh pada peluang munculnya penyakit tuli ringan hingga tuli berat yang diderita karyawan Kategori Penyakit Tuli ringan
Tuli sedang
Baja
Tuli ringan Tuli sedang Tuli berat
Kayu/ furniture Kulit/ sepatu Tekstil
Tuli ringan Tuli ringan
Tuli ringan Tuli sedang Tuli berat
Variabel Umur Masa Kerja Penyakit Kebisingan Tempat Tinggal Umur Masa Kerja Penyakit Kebisingan Tempat Tinggal Umur Masa Kerja Umur Masa Kerja Umur Masa Kerja Penyakit Kebisingan Tempat Tinggal Umur Masa Kerja Penyakit Kebisingan Tempat Tinggal Umur Masa Kerja Umur Masa Kerja Umur
KU1 0.544 0.048 -0.550 -0.632 0.544 0.048 -0.550 -0.632 0.707 -0.707 0.707 -0.707 0.707 -0.707 0.707 -0.707 -0.480 0.372 -0.560 -0.564 0.685 0.247 0.707 -0.707 0.707
KU2 * -0.404 -0.822 * -0.396 * -0.065 * -0.404 -0.822 * -0.396 * -0.065 0.707 * 0.707 0.707 * 0.707 0.707 * 0.707 0.707 * 0.707 -0.562 -0.790 * -0.195 * 0.151 * 0.174 -0.969 0.707 * 0.707 0.707
*
*
* *
*
51 Industri Plastik
Kategori Penyakit Tuli ringan Tuli sedang
Variabel Masa Kerja Umur Masa Kerja Penyakit Umur Masa Kerja
KU1 -0.707 -0.575 -0.570 -0.587 0.707 -0.707
KU2 * 0.707 0.638 -0.761 * 0.114 0.707 * 0.707
* *
Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil analisis data terdapat hubungan antara variabel ekternal berupa umur, masa kerja, penyakit dan kebisingan tempat tinggal terhadap peluang penurunan tingkat pendengaran karyawan pada enam industri terpilih. Pembahasan selanjutnya adalah keterkaitan antara tingkat kebisingan tempat tinggal dengan peluang penurunan tingkat pendengaran karyawan pada enam industri terpilih. Berbeda dengan keterkaitan antara variabel ekternal dan peluang penurunan tingkat pendengaran karyawan, analisis keterkaitan kebisingan tempat kerja dan peluang penurunan tingkat pendengaran dilakukan hingga diperoleh besarnya keterkaitan dan pola keterkaitan yang terjadi. 4.4. Studi Keterkaitan Tingkat Pendengaran Karyawan
Kebisingan
Dengan
Penurunan
Analisis keterkaitan antara tingkat kebisingan tempat kerja dan penurunan tingkat pendengaran menggunakan korelasi. Tingkat kebisingan yang dianalisi terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kebisingan maksimun, minimum, dan ratarata untuk masinh-masing industri terpilih. Nilai R pada hasil analisis menunjukkan keeratan hubungan antara tingkat kebisingan tempat kerja dan penurunan tingkat pendengaran karyawan. Kisaran nilai R adalah antara 0 sampai dengan 1, dengan ketentuan nilai hubungan tingkat kebisingan tempat kerja dan penurunan tingkat pendengaran semakin besar apabila nilai R mendekati 1, dan semakin lemah apabila nilai R mendekati 0. Penurunan tingkat pendengaran karyawan untuk keperluan analisis regresi diperoleh dari pengurangan antara kisaran tingkat pendengaran normal dengan tingkat pendengaran karyawan pada saat dilaksanakannya penelitian ini. Asumsi yang digunakan adalah bahwa secara keseluruhan, karyawan atau responden dinyatakan memiliki nilai tingkat pendengaran normal sebelum bekerja pada masing-masing industri terpilih. Dasar pertimbangan menggunakan asumsi tersebut adalah masing-masing industri terpilih tidak melakukan
52 pengukuran tingkat pendengaran pada masa rekrutmen karyawan, dan diperkuat dengan kenyataan bahwa 95% responden menyatakan belum pernah kerja di tempat bising sebelum berkerja pada masing-masing industri terpilih. Hasil analisis regeresi untuk mengetahui keterkaitan tingkat kebisingan tempat kerja dengan penurunan tingkat pendengaran karyawan pada industri terpilih dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Industri pangan. Mengacu pada Lampiran 18, diperoleh hasil bahwa keterkaitan tingkat kebisingan maksimum tempat kerja (R=0,028) dengan penurunan tingkat pendengaran karyawan lebih besar dibandingkan dengan kebisingan minimum (R=0,06) dan kebisingan rata-rata (R=0,00013). Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa kebisingan maskimum pada industri pangan berpeluang besar memicu penurunan tingkat pendengaran. Namun demikian, apabila dilihat dari nilai R (kebisingan maksimum, minimum, dan rata-rata), keterkaitan kebisingan tempat kerja dengan penurunan tingkat kerja sangat kecil, sehingga dapat dinyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran karyawan dipengaruhi oleh variabel ekternal yang juga berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran. 2) Industri baja. Mengacu pada Lampiran 19, diperoleh hasil bahwa keterkaitan tingkat kebisingan rata-rata ( R=0,041) dan kebisingan masksimum tempat kerja (R=0,043) dengan penurunan tingkat pendengaran karyawan lebih besar
jika
dibandingkan
dengan
kebisingan
minimum
(R=0,0047).
Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa kebisingan rata-rata dan kebisingan maskimum pada industri baja berpeluang besar memicu penurunan tingkat pendengaran. Nilai R yang relatif sama antara hasil analisis regresi pada tingkat kebisingan rata-rata dan kebisingan maksimum pada industri baja sebagai akibat bahwa kebisingan di industri baja relatif tinggi. Namun demikian, apabila dilihat dari nilai R (kebisingan rata-rata, maksimum, dan minimum), keterkaitan kebisingan tempat kerja dengan penurunan tingkat kerja sangat kecil, sehingga dapat dinyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran karyawan dipengaruhi oleh variabel ekternal yang juga berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran. 3) Industri kayu/furniture. Mengacu pada Lampiran 20, diperoleh hasil bahwa keterkaitan tingkat kebisingan rata-rata tempat kerja (R=0,026) terhadap penurunan tingkat pendengaran karyawan relatif lebih besar dibandingkan dengan kebisingan maksimum (R=0,00085) dan kebisingan rata-rata
53 (R=0,00058) pada pengaruh yang sama. Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan
bahwa
berpeluang
besar
kebisingan memicu
rata-rata
penurunan
pada tingkat
industri
kayu/furniture
pendengaran.
Namun
demikian, apabila dilihat dari nilai R (kebisingan rata-rata, maksimum, dan minimum), keterkaitan kebisingan tempat kerja dengan penurunan tingkat kerja sangat kecil, sehingga dapat dinyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran karyawan dipengaruhi oleh variabel ekternal yang juga berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran. 4) Industri kulit/sepatu. Mengacu pada Lampiran 21, diperoleh hasil bahwa keterkaitan tingkat kebisingan rata-rata tempat kerja (R=0,022) dan kebisingan minimum tempat kerja (R=0,026) dengan penurunan tingkat pendengaran karyawan lebih besar dibandingkan dengan kebisingan maksimum (R=0,00085). Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa kebisingan rata-rata dan tingkat kebisingan minimum pada industri kulit/sepatu berpeluang besar memicu penurunan tingkat pendengaran karyawan. Namun demikian, apabila dilihat dari nilai R (kebisingan rata-rata, minum, maksimum), keterkaitan kebisingan tempat kerja dengan penurunan tingkat kerja sangat kecil, sehingga dapat dinyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran karyawan dipengaruhi oleh variabel ekternal yang juga berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran. 5) Industri tekstil. Mengacu pada Lampiran 22, diperoleh hasil bahwa keterkaitan tingkat kebisingan maksimum tempat kerja (R=0,0038) dan kebisingan minimum tempat kerja (R=0,0032) dengan penurunan tingkat pendengaran karyawan lebih besar dibandingkan dengan kebisingan ratarata (R=0,0017). Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa kebisingan maksimum dan tingkat kebisingan minimum pada industri tekstil berpeluang besar memicu penurunan tingkat pendengaran karyawan. Namun demikian, apabila dilihat dari nilai R (tingkat kebisingan maksimum, minimum, rata-rata), keterkaitan kebisingan tempat kerja dengan penurunan tingkat kerja sangat kecil, sehingga dapat dinyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran karyawan dipengaruhi oleh variabel ekternal yang juga berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran. 6) Industri plastik. Mengacu pada Lampiran 23, diperoleh hasil bahwa keterkaitan tingkat kebisingan rata-rata tempat kerja (R=0,027) dengan penurunan tingkat pendengaran karyawan lebih besar dibandingkan dengan
54 tingkat kebisingan rata-rata (R=0,018) dan tingkat kebisingan minimum (.R=0,018). Berdasarkan nilai tersebut dapat dinyatakan bahwa kebisingan rata-rata pada industri plastik berpeluang besar memicu penurunan tingkat pendengaran karyawan. Namun demikian, apabila dilihat dari nilai R (tingkat kebisingan rata-rata, maksimum, minimum), keterkaitan kebisingan tempat kerja dengan penurunan tingkat kerja sangat kecil, sehingga dapat dinyatakan bahwa penurunan tingkat pendengaran karyawan dipengaruhi oleh variabel ekternal yang juga berpengaruh pada penurunan tingkat pendengaran. Hasil analisis data hubungan antara variabel eksternal disajikan pada Tabel 5. Nilai spearman correlation menunjukkan nilai korelasi antar dua variabel. Tujuan dari analisis ini adalah untuk melihat hubungan variabel eksternal dengan penurunan tingkat pendengaran karyawan. Selain itu juga melihat apakah antar variabel eksternal terdapat hubungan yang bermakna sehingga menjelaskan terjadinya penurunan tingkat pendengaran karyawan. Oleh karena itu hubungan antar variabel eksternal yang tidak bermakna secara logika tidak dapat dijelaskan. Nilai peluang (p-value) menjelaskan validitas dari data yang dianalisis. P value ≤ 0.05 (beda nyata) berarti sebagian besar data yang dianalisis menjelaskan nilai korelasi yang ada. Hasil
analisis
korelasi
menunjukkan
bahwa
penurunan
tingkat
pendengaran karyawan berkorelasi positif nyata dengan umur, masa kerja, dan penggunaan alat pelindung telinga. Semakin tinggi usia (semakin tua) semakin besar penurunan pendengaran dengan korelasi 55.7%. Demikian juga dengan masa kerja, bahwa semakin lama masa kerja semakin besar penurunan pendengaran dengan korelasi 56.2%.
Sedangkan korelasi antara penurunan
tingkat pendengaran dengan penggunaan alat pelindung telinga adalah 50.5%, artinya semakin jarang menggunakan alat pelindung telinga (skor 3) akan semakin besar penurunan tingkat pendengaran. Pada penelitian ini juga terdeteksi bahwa korelasi antara penurunan tingkat pendengaran dengan penyakit cukup besar yaitu sebesar 48,5% (p = 0.00). Sehingga dari sini dapat juga disimpulkan bahwa semakin banyak penyakit yang diderita karyawan akan semakin besar resiko penurunan tingkat pendengaran karyawan. Penurunan tingkat pendengaran karyawan tidak berkorelasi (kurang dari 50%) dengan, kebisingan tempat tinggal, sifat kebisingan di dalam pabrik dan kebisingan di dalam pabrik.
55 Tabel 5.
Hasil analisis spearman correlation hubungan antara variabel eksternal dan tingkat pendengaran karyawan
Variabel
Umur
Masa Kerja
Kebisingan Tempat Tinggal
Masa Kerja
0.496 0.000
Kebisingan Tempat Tinggal
0.185 0.001
0.140 0.015
Riwayat Penyakit
0.332 0.000
0.236 0.000
0.279 0.000
Penggunaan Pelindung Telinga
0.439 0.000
0.428 0.000
0.116 0.045
0.229 0.000
Penurunan Pendenga ran
0.557 0.000
0.562 0.000
0.201 0.000
0.485 0.000
0.505 0.000
Sifat Kebisinga n
0.041 0.475
0.124 0.032
0.025 0.663
0.010 0.868
-0.032 0.582
0.288 0.000
Kebisinga n
-0.018 0.760
0.113 0.051
-0.005 0.925
0.119 0.039
-0.049 0.401
0.216 0.000
Riwayat Penggu- Penurunan Sifat Penyakit naan PendeKebisiPelindungngaran ngan Telinga
0.477 0.000
Keterangan: atas = nilai spearman correlations bawah = P-Value (nyata jika ≤ 0.05)
Pada penelitian ini juga dilakukan uji regresi berganda untuk melihat faktor-faktor eksternal yang paling menentukan penurunan tingkat pendengaran karyawan. Variabel penduga yang menentukan penurunan tingkat pendengaran adalah umur (X1), masa kerja (X2), kebisingan tempat tinggal (X3), riwayat penyakit (X4), penggunaan alat pelindung telinga (X5), sifat bising (X6) dan kebisingan di dalam pabrik (X7).
Analisis varian (anova) regresi berganda
titampilkan pada Tabel 6. Nilai probability (P) =
0.000 menunjukkan bahwa
persamaan regresi berganda adalah nyata dan dapat dijelaskan dari data yang ada.
56 Tabel 6.
Sumber
Analisis varian regresi hubungan antara penurunan tingkat pendengaran dengan variabel penentu Derajat Bebas 7
Jumlah Kuadrat 91.711
Kuadrat Tengah 13.102
Galat
292
60.085
0.206
Total
299
151.797
Regresi
Nilai F 63.67
Probabili ty 0.000
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa penurunan tingkat pendengaran karyawan (Y) mengikuti pola persamaan sebagai berikut: Y = - 0.936 + 0.322 X1 + 0.346 X2 + 0.0243 X3 + 0.516 X4 + 0.277 X5 + 0.192 X6 + 0.0769 X7
Dari hubungan diatas, maka pada kondisi seteris paribus, penurunan tingkat pendengaran karyawan akan meningkat dengan semakin banyaknya riwayat penyakit yang pernah diderita karyawan (X4). Beberapa penyakit dilaporkan secara tidak langsung berhubungan langsung dengan pendengaran seseorang, salah satunya diakibatkan oleh konsumsi beberapa jenis obat pada rentang waktu yang relatif lama, sebagai contoh penderita TBC paru yang diharuskan mengkonsumsi obat dalam jangka waktu 6 bulan. Lamanya mengkonsumsi obat tersebut berpengaruh pada saraf pendengaran seseorang (Supardi 2002). Penyakit lainnya yang berpengaruh dengan pendengaran seseorang adalah otitis media sebagaimana dilaporkan oleh (Miyakita dan Ueda 1997). Otitis media adalah suatu penyakit yang berhubungan langsung dengan kerusakan pada beberapa bagian telinga sebagai akibat dari peradangan pada bagian dalam telinga. Mengacu pada hasil penelitian dan pola sebaran riwayat penyakit pada masing-masing industri sebagaimana disajikan pada Gambar 12, 84.33% responden
tidak
memiliki
riwayat
penyakit
yang
berhubungan
dengan
pendengaran. Namun walaupun hanya 15.77% responden yang mempunyai riwayat penyakit yang berhubungan dengan pendengaran tetap berkorelasi positif nyata dalam menurunkan kesehatan pendengaran. Menurut Supardi (2002), akumulasi beberapa penyakit, dalam hal ini penyakit yang berhubungan dengan pedengaran, yang pernah diderita seseorang, berpengaruh secara simultan terhadap gangguan pendengaran seseorang.
57 Dari persamaan regresi berganda, variabel penduga yang berperan dalam menurunkan tingkat pendengaran karyawan setelah riwayat kesehatan penyakit adalah masa kerja. Hal ini berarti semakin lama karyawan bekerja dan terekspose oleh kebisingan akan semakin besar tingkat penurunan pendengaran. Selanjutnya diikuti oleh variabel penduga umur karyawan yang menunjukkan bahwa semakin tinggi usia akan semakin besar penurunan pendengaran.