94
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta Profil anak jalanan pada semua peubah di tiga wilayah penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata, baik antara DKI Jakarta dengan Bogor, Bogor dengan Bandung dan Bandung dengan DKI Jakarta. Hal ini terlihat dari angka signifikansi yang kesemua memiliki nilai di atas (α) 0.05 yang menunjukkan bahwa hasil perbandingan peubah penelitian antar wilayah penelitian tidak berbeda nyata atau menunjukkan hasil yang sama, tersaji pada Tabel 11 (hasil uji analisis ANOVA terdapat pada Lampiran 1). Tabel 11. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian Peubah Latar belakang keluarga (X1)
Kota • DKI – Bogor • Bogor – Bandung • Bandung - DKI
Latar belakang lingkungan (X2)
• DKI – Bogor • Bogor – Bandung • Bandung - DKI
Ciri fisik anak jalanan (X3)
• DKI – Bogor • Bogor – Bandung • Bandung - DKI
Ciri psikologik anak jalanan (X4)
• DKI – Bogor • Bogor – Bandung • Bandung - DKI
Ciri sosiologik anak jalanan (X5)
• DKI – Bogor • Bogor – Bandung • Bandung – DKI
Perilaku anak jalanan (Y1)
• DKI – Bogor • Bogor – Bandung • Bandung - DKI
Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01 * Nyata pada α 0,05
Mean difference
Signifikansi (α)
1.053 0.751 1.804
0.520 0.707 0.139
0.413 0.213 0.200
0.773 0.932 0.939
0.093 0.461 0.367
0.989 0.754 0.835
0.453 0.250 0.703
0.780 0.925 0.539
0.147 0.185 0.331
0.967 0.947 0.839
0.053 0.048 0.101
0.985 0.988 0.947
95 Pada Tabel 11 terlihat perbandingan peubah latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik dan perilaku anak jalanan di antara ketiga lokasi penelitian Bandung, Bogor dan Jakarta secara umum tak tampak berbeda nyata, kecuali beberapa peubah terkait dengan perbandingan jenis kelamin terlihat ada perbedaan nyata pada peubah ciri fisik dengan nilai nyata di bawah α 0.01, ciri sosiologik dengan nilai nyata di bawah α 0.1 dan latar belakang keluarga dengan nilai nyata di bawah α 0.05, tersaji pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan Peubah
F
Signifikansi(α)
Latar belakang keluarga (X1)
4.427
0.036**
Latar belakang lingkungan (X2)
0.001
0.980
Ciri fisik anak jalanan (X3)
7.053
0.008***
Ciri psikologik anak jalanan (X4)
1.380
0.241
Ciri sosiologik anak jalanan (X5)
2.995
0.085*
Perilaku anak jalanan (Y1)
1.619
0.204
Keterangan : *** Sangat nyata pada α 0.01 ** Nyata pada α 0.05 * Nyata pada α 0.1
Hal di atas mengandung makna bahwa strategi pengentasan anak jalanan dengan memperhatikan profil dari anak jalanan, dapat dilakukan dengan melihat peubah-peubah yang cenderung sama di ketiga wilayah penelitian. Di samping memperhatikan peubah ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarga yang cenderung berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin anak jalanan di ketiga wilayah penelitian Bandung, Bogor dan Jakarta. Diharapkan dengan memperhatikan ketiga peubah yang berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin, strategi untuk mengubah anak jalanan dapat lebih mengenai sasaran dan tujuan yang diinginkan. Nilai tiap sub peubah di masing-masing wilayah penelitian serta nilai ratarata masing-masing peubah dari ketiga wilayah penelitian, termasuk di dalamnya perbedaan antara jenis kelamin, tersaji dalam penjelasan berikut :
96
Latar Belakang Keluarga (X1) Secara umum latar belakang keluarga anak jalanan di tiga wilayah penelitian berada pada situasi dan kondisi yang buruk, terutama untuk kondisi fisik keluarga sebesar 85 persen dan pelaksanaan fungsi keluarga sebesar 75 persen, tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Baik 2 39 8 3 39 3
Kondisi fisik keluarga Perlakuan terhadap anak Pendidikan orang tua Pelaksanaan fungsi keluarga Pola hubungan dengan keluarga Profesi/pekerjaan orang tua
Kondisi (%) Sedang 13 31 40 22 23 49
Jumlah (%) 100 100 100 100 100 100
Buruk 85 30 52 75 38 48
Secara lebih rinci kondisi masing-masing sub peubah latar belakang keluarga anak jalanan di tiga wilayah penelitian, tersaji pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian 1
2
3
4
5
6
Sub Variabel Kondisi fisik keluarga Tidak kumuh Kumuh Sangat kumuh Perlakuan orang tua Keinginan sendiri Kadang dipaksa Disuruh/dipaksa Pendidikan orang tua Berpendidikan Kurang berpendidikan Tidak berpendidikan Pelaksanaan fungsi keluarga Mampu laksanakan Kurang mampu laksanakan Tidak mampu laksanakan Pola hubungan dengan keluarga Selalu berhubungan Sesekali berhubungan Putus hubungan Profesi/pekerjaan orang tua Tetap Tidak tetap Seadanya
Bandung
Bogor
Jakarta
Rataan di tiga wilayah
2 13 85
2 14 84
2 13 85
2 13 85
39 32 29
39 31 30
40 31 29
39 31 30
10 38 52
9 39 53
8 42 50
8 40 52
3 22 75
2 23 75
3 22 75
3 22 75
40 23 37
39 23 38
38 23 39
39 23 38
2 51 47
2 50 48
3 47 50
3 49 48
Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%)
97 Tabel 13 dan 14 memperlihatkan 85 persen anak jalanan di tiga wilayah penelitian tinggal dan berasal dari daerah yang kumuh/padat/penuh sesak/daerah slum serta berhimpitan. Halaman rumah rata-rata sempit bahkan tidak ada, biasanya halaman rumah merangkap juga sebagai jalan umum. Tempat pembuangan limbah kurang terpelihara, bahkan banyak yang dibuang di tempattempat yang kurang terpelihara. Umumnya memanfaatkan fasilitas MCK umum sebagai sarana MCK keluarga. Sarana dan prasarana untuk menunjang lingkungan bersih dan sehat masih kurang. Sanitasi maupun kebersihan lingkungan kurang mendapat perhatian. Di samping tidak tersedianya sarana dan prasarana tempat bermain yang leluasa bagi anak di lingkungan sekitar rumahnya. Di satu sisi kondisi fisik keluarga yang buruk dan berada pada lingkungan yang kumuh, padat dan penuh sesak sudah berpotensi untuk menimbulkan permasalahan dan ketidaknyamanan. Di sisi lain terdapat permasalahanpermasalahan dalam keluarga yang juga menimbulkan permasalahan tersendiri seperti adanya konflik, kekerasan baik fisik maupun psikis dalam keluarga dan lain-lain. Akibatnya, baik anak maupun keluarga anak jalanan menanggapinya dengan perilaku yang sering kali dinilai abnormal seperti semaunya sendiri, bebas dan tidak mau ikut aturan serta liar. Terutama pada anak jalanan pria yang cenderung lebih berani mengekpresikan kekecewaan dan tekanan yang dialami dan dirasakan dalam perilakunya sehari-hari, dibandingkan dengan anak jalanan wanita. Fakta memperlihatkan keluarga anak jalanan cenderung tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan seimbang sebesar 75 persen, baik fungsi ekonomi, perlindungan, pendidikan maupun pengawasan. Pelaksanaan fungsi keluarga anak jalanan yang buruk disebabkan salah satunya oleh rendahnya tingkat pendidikan orang tua sebesar 52 persen berada pada kriteria lulus SD, tidak lulus SD atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali, sehingga kemampuan orang tua terbatas dalam menjabarkan peranan-peranan yang seyogyanya dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Redfield (1982) yang menyatakan adanya perbedaan antara kebudayaan yang tinggi dan kebudayaan yang rendah. Oleh karena itu, pembinaan kebudayaan pada keluarga yang
98 berpendidikan tinggi akan berbeda dengan pembinaan kebudayaan pada keluarga yang berpendidikan rendah. Keterbatasan pendidikan orang tua anak jalanan berpengaruh pada kemampuannya memperoleh pekerjaan seadanya (sebesar 48 persen) dan tidak tetap (sebesar 49 persen), dengan penghasilan yang kurang dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini terkait dengan pernyataan Salamun (1995) bahwa selain pendidikan, pekerjaan/profesi, dan keadaan ekonomi orang tua, pengalaman pribadi yang diterima orang tua pada masa kanak-kanak yang terkait dengan adat istiadat, berpengaruh pada cara orang tua mendidik anak-anaknya dan menjalankan fungsi dan peranannya sebagai orang tua dalam keluarga. Akibat buruknya pelaksaan fungsi keluarga, pola hubungan antara orang tua dengan anakpun menjadi relatif kurang baik yaitu sebesar 38 persen terputus dan 23 persen sesekali (seminggu sekali, sebulan sekali atau saat dibutuhkan saja), terutama terdapat pada anak jalanan pria tetapi relatif jarang terdapat pada anak jalanan wanita. Anak jalanan yang tetap menjalin hubungan dengan orang tuanya sebesar 40 persen. Pola hubungan antara anak jalanan dengan orang tuanya yang terputus atau dilakukan sesekali disebabkan anak cenderung kurang merasakan peranan orang tua dalam melaksanakan fungsi-fungsinya baik fungsi ekonomi, fungsi pendidikan maupun fungsi pengawasan bagi diri dan kehidupannya. Terlebih lagi orang tua banyak menghabiskan waktunya (10-14 jam sehari) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga di sektor-sektor non formal dengan penghasilan yang tidak tetap dan kadang tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarga. Akibat lebih lanjut dari kondisi tersebut, orang tua menjadikan anak sebagai aset yang dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan mempekerjakannya dan menyerahkan hasilnya pada keluarga guna memenuhi kebutuhan keluarga, terutama untuk anak jalanan wanita yang harus menyerahkan 75 persen penghasilannya. Fakta memperlihatkan pola perlakuan/pola asuhan yang dilakukan orang tua anak jalanan terhadap anak cenderung otoriter dengan pemaksaan/eksploitasi, tekanan serta tindakan kekerasan berupa hukuman bila anak tidak mengikuti
99 kehendak orang tua (29 persen), termasuk untuk mencari uang di jalanan, atau sebaliknya membebaskan anak tanpa adanya aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat (39 persen), termasuk untuk bebas turun ke jalanan. Pola perlakuan/pola asuhan di atas muncul disebabkan pengalaman yang diperoleh orang tua anak jalanan dalam asuhan keluarganya yang juga cenderung buruk. Perlakuan orang tua yang buruk terhadap anak cenderung disebabkan adanya pola-pola yang diwariskan secara kultural dalam keluarga (Salamun,1995) termasuk dalam keluarga anak jalanan. Wallace (1996) mengemukakan bahwa pengalaman yang diterima pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh susunan atau tata lingkungan tempat ia dibesarkan, sedangkan susunan tata lingkungan dipengaruhi masyarakat. Dalam kehidupan anak jalanan pengertian keluarga sebagai lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak serta sebagai dasar pertama pembentukan pribadi anak dan keluarga sebagai wadah yang secara dini para warganya dikondisikan dan disiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan sebagai orang dewasa (Goode, 1985), umumnya tidak didapatkan oleh anak jalanan. Demikian pula pengertian keluarga sebagai unit kesatuan sosial terkecil yang paling tepat dan efektif untuk menanamkan dan membina nilai-nilai budaya (social capital), yang di dalamnya terjalin hubungan emosianal dengan baik dan intensif, serta memungkinkan berlangsungnya proses pendidikan sedini mungkin (preventif) kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus (Sudrajat, 1999 ; Departemen Sosial, 1999), umumnya juga tidak didapatkan oleh anak jalanan. Demikian pula upaya keluarga mempersiapkan dan melatih anak untuk memasuki lingkungan yang lebih luas melalui penanaman nilai budaya pada anggota keluarga sebagai modal yang amat berharga sebelum anak dilepas ke dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas (Goode, 1985), umumnya tidak didapatkan oleh anak jalanan. Penelitian tentang keluarga anak jalanan terkait dengan kondisi fisik keluarga yang buruk, menguatkan sesuatu yang dikemukakan Popenoe (1989), yakni sebagian dari mereka merupakan masyarakat urban/masyarakat minoritas yang miskin dan tinggal di daerah-daerah slums, dengan wilayah yang berada di
100 bawah standar, serta perumahan yang padat dan penuh sesak, serta lingkungan yang kumuh dan sanitasi lingkungan yang juga di bawah standar. Lingkungan yang “padat/penuh sesak” dan tidak kondusif, tanpa sarana dan ruang untuk bermain bagi anak, serta lingkungan yang kurang “nyaman” dan secara kondusif dapat mendukung proses tumbuh kembang anak, akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang dan perilaku seorang anak (Popenoe, 1989). Ada pula keluarga anak jalanan yang merupakan penduduk asli di wilayah penelitian (36 persen), namun menjadi masyarakat kelas dua karena tersisih oleh keadaan. Penghasilan dan pekerjaan orang tua seadanya, tidak jelas serta tidak mencukupi kebutuhan keluarga, di tambah sikap mental yang cenderung pasrah dengan keadaan. Kondisi sosial ekonomi yang tidak jelas ini memicu orang tua menjadikan anak sebagai tumpuan untuk dapat menopang perekonomian keluarga. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya masalah anak jalanan bukan hanya di pusat kota, tetapi juga di kota kecamatan dan kota kabupaten. Penelitian ini membuktikan pula kemunculan masalah yang terkait dengan keluarga anak jalanan, salah satunya dipicu oleh kurang mampunya orang tua melaksanakan fungsi dan peranan-peranannya dengan baik dan seimbang (75 persen). Orang tua terlalu memaksakan kehendak dengan cara melakukan kekerasan, tekanan dan hukuman yang mengarah pada pola asuhan yang sifatnya otoriter karena mengandung pemaksaan, seperti anak di paksa untuk mencari uang dan menyerahkan hasilnya pada orang tua, bahkan disiksa dengan berbagai hukuman baik yang bersifat fisik maupun psikis bila tidak dapat menyerahkan uang pada orang tua (38 persen). Di sisi lain orang tua dalam keluarga anak jalanan terlalu membebaskan anggota keluarganya tanpa ada aturan dan ketentuan yang mengikat dan menjadi pedoman bersama dalam berperilaku. Kondisi ini mengarah pada pola asuhan yang sifatnya laisses faire (39 persen). Hasil penelitian ini sekaligus menguatkan hasil penelitian Tjahjorini (1991) bahwa pola asuhan yang paling efektif bagi seorang anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya adalah pola asuhan yang demokratis, yakni ada upaya yang seimbang dari orang tua terhadap anak untuk memberikan hadiah
101 dan hukuman dalam melaksanakan pola asuhannya, sehingga memunculkan perilaku positif yang ade kuat dalam diri anak. Latar Belakang Lingkungan (X2) Latar belakang lingkungan anak jalanan pada umumnya berada pada situasi dan kondisi yang buruk, seperti terlihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Keadaan lingkungan yang buruk ini tampaknya terkait dan menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam diri anak jalanan. Tabel 15. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Pendidikan non formal yg diberikan lingkungan Kondisi fisik lingkungan Penerapan sanksi Penanaman nilai dan norma masyarakat Situasi lingkungan
Baik 9 22 18 21 23
Kondisi (%) Sedang 20 25 20 32 30
Jumlah (%) 100 100 100 100 100
Buruk 71 63 61 45 47
Tabel 16. Sebaran Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di masing-masing Wilayah Penelitian 1
2
3
Sub Variabel Pendidikan non formal diberikan ling Ada Kadang ada Tidak ada Kondisi fisik lingkungan Polusi suara Rendah Sedang Tinggi Polusi udara Rendah Sedang Tinggi Polusi air Rendah Sedang Tinggi Tingkat kecelakaan Rendah Sedang Tinggi Tingkat kemacetan Rendah Sedang Tinggi Penerapan sanksi Tindakan memberi sanksi
Bandung
Bogor
Jakarta
Rataan di tiga wilayah
10 20 70
8 21 71
8 20 72
9 20 71
10 20 70
15 20 65
9 20 71
11 20 69
9 23 68
10 30 60
10 20 70
10 24 66
10 26 64
14 31 54
5 21 74
10 26 64
25 32 43
29 31 40
20 30 50
25 31 44
7 23 70
10 28 62
5 15 80
7 22 71
yg
102 Tabel 16. (lanjutan) Ada 20 20 15 Kadang ada 20 21 20 Tidak ada 60 59 65 Upaya hindari pelanggaran Ada 18 18 15 Kadang ada 22 23 23 Tidak ada 60 59 62 4 Penanaman nilai & norma masyarakat Aturan yang dipatuhi/disepakati Ada 27 28 26 Kadang ada 35 37 34 Tidak ada 38 35 40 Ketentuan yang mengikat Ada 32 33 31 Kadang ada 32 33 32 Tidak ada 36 34 37 Perilaku yg dipandang pantas/ tidak pantas Ada 3 4 3 Kadang ada 35 35 34 Tidak ada 62 61 63 5 Situasi lingkungan Konflik fisik Tidak ada 32 35 30 Kadang ada 25 25 25 Ada 43 40 45 Pertentangan Tidak ada 33 36 31 Kadang ada 27 24 29 Ada 40 40 40 Perbedaan pendapat Tidak ada 20 19 18 Kadang ada 39 39 39 Ada 41 42 43 Eksploitasi tenaga Tidak ada 22 28 18 Kadang ada 30 31 30 Ada 48 41 52 Eksploitasi seks Tidak ada 13 20 13 Kadang ada 38 40 35 Ada 49 40 52 Penindasan fisik Tidak ada 19 22 20 Kadang ada 36 38 34 Ada 45 40 46 Tekanan mental Tidak ada 21 25 21 Kadang ada 30 30 29 Ada 49 45 50 Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).
22 20 58 17 23 60
27 35 38 32 32 36 3 35 62
32 25 43 33 27 40 19 39 42 23 30 47 15 38 47 20 36 44 23 30 47
103 Fakta memperlihatkan kondisi fisik lingkungan di sekitar anak jalanan cenderung buruk (63 persen), di mana anak jalanan berada di tempat-tempat yang memiliki tingkat polusi yang tinggi baik polusi udara, air maupun suara serta memiliki tingkat kecelakaan dan kemacetan yang cenderung tinggi pula. Kondisi ini memperlihatkan rentannya kondisi anak jalanan, bila tidak ada upaya perlindungan hukum yang kuat. Selain perlindungan hukum yang kuat, kehidupan jalanan juga menuntut adanya penerapan sanksi bagi para anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran, termasuk bagi anak jalanan. Fakta pada Tabel 15 dan Tabel 16 memperlihatkan tindakan penerapan sanksi yang jelas, tegas, nyata dan konsisten oleh lingkungan terhadap perilaku-perilaku yang melanggar dari anak jalanan cenderung lemah (61 persen), kalaupun ada biasanya berupa pengucilan. Demikian pula upaya menghindari pelanggaran, biasanya berupa penyesuaian diri dari anak jalanan sebagai salah satu pelaku. Di jalanan belum ada tindakan/sanksi yang tegas, nyata dan konsisten terutama dari pihak pemerintah terhadap individuindividu yang dipandang mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan yang dapat memunculkan efek jera bagi pelaku. Lingkungan tidak menyediakan wadah yang kondusif bagi anak jalanan untuk berkembang dan mengembangkan perilaku-perilaku yang normal, salah satunya melalui pendidikan non formal. Fakta memperlihatkan pendidikan non formal yang diberikan lingkungan di sekitar anak jalanan cenderung tidak ada (71 persen). Meski pendidikan non formal ada tidak diikuti oleh seluruh anak jalanan, tetapi diikuti oleh sebagian kecil anak jalanan. Pendidikan non formal yang diselenggarakan Pemerintah melalui Departemen Sosial dan Dinas Sosial maupun Lembaga Swadaya Masyarakat serta swasta pada anak jalanan, biasanya dilakukan dalam bentuk pembinaan dan penyuluhan, yang dirasakan kurang manfaatnya karena sulit untuk dapat diaplikasikan langsung guna mengubah hidup dan meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Faktanya situasi dan kondisi latar belakang lingkungan yang dialami oleh anak jalanan pria dan anak jalanan wanita di tiga wilayah penelitian tidak berbeda nyata.
104 Hasil penelitian tentang latar belakang lingkungan anak jalanan menguatkan hal-hal yang dikemukakan Doamekpor (Dokumen Proyek UNDPDepartemen Sosial, 1999) bahwa anak jalanan hidup dan berada dalam lingkungan/situasi sosial yang terdiri dari berbagai setting. Setting pertama adalah lingkungan yang terdekat dengan diri anak jalanan (bisa keluarga, atau kaum marginal jalanan yaitu kelompok sebaya diantara anak-anak jalanan). Setting kedua adalah lingkungan selanjutnya setelah lingkungan terdekat yang ada di sekitar anak jalanan. Di jalanan, melalui setting inilah anak jalanan melakukan interaksi dengan lingkungan dan memperoleh banyak pengalaman baik positif maupun negatif bagi hidup dan kehidupan selanjutnya. Fakta memperlihatkan dalam setting seperti dikemukakan Doamekpor di atas, anak jalanan hidup dengan situasi lingkungan yang cenderung penuh dengan konflik fisik, pertentangan, perbedaan pendapat, eksploitasi tenaga, eksploitasi seks, penindasan fisik dan tekanan mental (45 persen). Pada situasi lingkungan tersebut anak jalanan bisa menjadi korban atau sebagai pelaku, baik secara sendiri, berkelompok atau diperalat preman. Hal tersebut menjadi salah satu pencetus munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam diri anak jalanan yang merupakan mekanisme pertahanan diri (ego defence mechanism) bagi anak jalanan dan kelompoknya, agar tetap survive hidup di jalanan guna menghadapi situasi dan kondisi lingkungan yang keras. Munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam kehidupan anak jalanan dipicu pula oleh longgarnya upaya penerapan sanksi dan kurangnya upaya penanaman norma dan nilai (45 persen) tentang hal-hal yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan/dipatuhi/disepakati bersama serta kurang adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat dalam lingkungan masyarakat. Terlebih lagi lingkungan masyarakat kurang berupaya memberikan pendidikan non formal untuk dapat mengubah pola pikir, wawasan serta mentalitas anak jalanan. Anak jalanan dibiarkan hidup dan menjadi bagian dari anggota masyarakat kelas dua yang tersisih hak-haknya. Kondisi ini dialami oleh anak jalanan dari tiga wilayah penelitian, baik anak jalanan pria maupun anak jalanan wanita.
105
Ciri Fisik Anak Jalanan (X3 ) Penampilan fisik anak jalanan cenderung buruk, terutama mata (76 persen), rambut (68 persen) dan kulit (52 persen), terlihat pada Tabel 17 dan Tabel 18. Hal ini disebabkan sebagian besar waktu anak jalanan (± 14 jam/hari) dihabiskan di jalanan atau fasilitas umum lainnya di luar rumah. Tabel 17. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Fisik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Baik Penampilan fisik : Kulit Rambut Badan Mata Cara Berpakaian Kondisi kesehatan
0 0 0 0 0 85
Kondisi (%) Sedang 48 32 54 24 23 9
Jumlah (%) Buruk 52 68 46 76 77 6
100 100 100 100 100 100
Tabel 18. Sebaran Ciri Fisik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Kulit Berseri 0 0 0 Agak kusam 48 50 47 Kusam 52 50 53 2 Rambut Terawat 0 0 0 Agak terawat 32 33 34 Tidak terawat 68 67 66 3 Badan Gemuk 0 0 0 Sedang 53 55 54 Kurus 47 45 46 4 Mata Bening 0 0 0 Agak merah 24 30 22 Merah 76 70 78 5 Pakaian Rapih 0 0 0 Kurang rapih 23 24 22 Tidak rapih 77 76 78 6 Kondisi kesehatan Sehat 85 85 86 Kadang sakit 9 8 9 Sering sakit 6 7 5 Pengobatan Diobati dengan pentujuk medis 15 16 15 Diobati sekenanya 42 42 43 Tidak diobati 43 42 41 7 Umur 6-10 tahun 35 34 35 11-15 tahun 32 33 32 16-20 tahun 33 33 33 Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).
Rataan di tiga wilayah
1
0 48 52 0 32 68 0 54 46 0 25 75 0 23 77 85 9 6 15 43 42 35 32 33
106 Penampilan anak jalanan yang buruk salah satunya disebabkan oleh kebiasaan anak jalanan untuk duduk dan tidur di sembarang tempat, termasuk di tempat yang tidak bersih, serta jarang mandi. Akibatnya penampilan fisik anak jalanan terkesan kotor. Fakta di atas memperlihatkan bahwa anak jalanan cenderung memiliki kulit yang kusam, rambut yang tidak terawat dan mata yang cenderung merah. Fakta penampilan fisik anak jalanan yang cenderung buruk ini terlihat nyata terutama pada anak jalanan pria dibanding dengan anak jalanan wanita. Akan tetapi tubuh anak jalanan cenderung dalam kondisi sedang/ proporsional (54 persen) dan kurus (46 persen). Tabel 17 dan 18 memperlihatkan rata-rata cara berpakaian anak jalanan cenderung buruk (77 persen), karena keterbatasan kemampuan anak untuk dapat memiliki dan membeli pakaian dan memenuhi kebutuhan sandang yang layak dan pantas. Ada kebiasaan anak jalanan untuk tidak ganti pakaian selama berhari-hari dan berpakaian seadanya. Kondisi kesehatan rata-rata anak jalanan secara fisik terkesan cenderung baik, dengan daya tahan tubuh yang relatif kuat dan sehat serta jarang terkena sakit, meski sebagian besar waktunya dipergunakan di tempat terbuka di bawah sinar matahari. Kalaupun ada yang sakit berkisar pada kondisi penyakit yang sedang atau ringan, dan cenderung tidak diobati atau diobati seadanya, tanpa petunjuk medis, karena keterbatasan biaya dan keterbatasan kemampuan untuk mengakses sistem sumber. Fakta memperlihatkan kondisi pakaian yang buruk dan kesehatan yang relatif baik ini, pada anak anak jalanan pria terlihat sangat nyata dibanding pada anak jalanan wanita. Umur anak jalanan cenderung menyebar secara merata pada masingmasing kelompok usia antara 6-10 tahun sebesar 35 persen, 11-15 tahun sebesar 32 persen, dan 16-20 tahun sebesar 33 persen. Meski pada awal merebaknya permasalahan anak jalanan pada tahun 1997 cenderung berkisar pada usia 6-10 tahun. Hal ini disebabkan akhir-akhir ini, jalanan menjadi alternatif solusi dari sulitnya lapangan kerja serta semakin tertariknya anak usia dewasa mencari nafkah dan bekerja di sektor non formal yang tidak menghendaki keterampilan khusus dan dapat dengan mudah menghasilkan uang, baik untuk memenuhi
107 kebutuhannya atau untuk sekedar santai. Di samping karena adanya keterbatasan dana dan kemampuan anak usia dewasa serta keluarganya, untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi serta untuk bekerja di sektor formal. Beberapa ciri fisik anak jalanan seperti yang telah dikemukakan Departemen Sosial bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999) masih sama hingga saat ini, baik penampilan fisik, cara berpakaian maupun penyakit yang diderita, kondisi ini terlihat lebih nyata pada anak jalanan pria. Akan tetapi ciri fisik terkait dengan umur anak jalanan terjadi pergeseran dari yang semula cenderung berusia di bawah 10 tahun menjadi menyebar merata pada masing-masing kelompok umur. Ciri Psikologik Anak Jalanan (X4) Ciri psikologik anak jalanan tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di tiga wilayah penelitian. Hal ini tersaji salah satunya pada Tabel 19 yang memperlihatkan rata-rata mobilitas mental anak jalanan cenderung tinggi (62 persen), di mana anak jalanan sering mengalami perubahan kejiwaan. Anak jalanan cenderung sering mengalami mobilitas mental berupa perubahan perasaan, dari
rasa benci, senang, marah, sedih, susah, bahagia,
sayang, tidak puas, tidak berguna, dan lain-lain. Tingginya mobilitas mental ini mengakibatkan labilnya temperamen anak jalanan. Di sisi lain kondisi ini mengakibatkan munculnya perilaku yang berubah-ubah dari anak jalanan, menyesuaikan dengan kondisi kejiwaan yang dialaminya. Hal ini memperkuat hasil penelitian Departemen Sosial (1999) yang menunjukkan tingginya sifat acuh tak acuh anak jalanan, yang salah satunya dipicu oleh situasi kejiwaan anak yang bersangkutan. Tabel 19. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Psikologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Mobilitas mental Tingkat kreativitas Tingkat kebutuhan
Tinggi 62 17 57
Kondisi (%) Sedang 27 25 31
Jumlah (%) Rendah 11 58 12
100 100 100
108 Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah ciri psikologik anak jalanan di tiga wilayah penelitian terdapat pada Tabel 20. Tabel 20. Sebaran Ciri Psikologik Anak Jalanan di Masing-masing Daerah No 1
Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Mobilitas mental Sering 61 60 65 Kadang 28 28 25 Tidak pernah 11 12 10 2 Tingkat kreativitas Tinggi 14 20 16 Sedang 25 25 25 Rendah 61 55 59 3 Motivasi berada di jalan Pertemanan 18 18 18 Materi 64 64 65 Kesenagan 18 18 17 4 Riwayat jadi anak jalanan Coba-coba 25 24 23 Terdesak 50 51 50 Ikut-ikutan 25 25 27 5 Tingkat kebutuhan Terpenuhi 57 57 59 Kadang terpenuhi 31 30 31 Tidak terpenuhi 12 13 10 6 Pengalaman anak jalanan < 4 tahun 38 34 35 = 5-7 tahun 32 33 32 > 8 tahun 30 33 33 7 Umur pertama turun ke jalan < 10 tahun 51 50 51 = 11-15 tahun 24 25 25 > 16 tahun 25 25 24 Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).
Rataan di tiga wilayah 62 27 11 17 25 58 18 64 18 24 50 26 57 31 12 36 32 32 50 25 25
Tingkat pemenuhan kebutuhan anak jalanan cenderung tinggi (58 persen), di mana dengan keberadaannya di jalanan kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik. Dibandingkan bila mereka berada dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya terutama kebutuhan dasar, seperti kebutuhan pangan 3 kali sehari, sandang dengan memiliki 4-6 stel baju, dan papan untuk dapat berteduh dan berlindung di tempat-tempat yang luas dan tidak penuh sesak seperti di dalam rumahnya. Meski keberadaan anak di jalanan ini di satu sisi menyelesaikan masalah tapi di sisi lain mendatangkan masalah. Fakta memperlihatkan tingkat kebutuhan anak jalanan cenderung terpenuhi dengan baik karena berada di jalan, dibandingkan bila mereka tinggal dan berada dalam keluarga. Terutama untuk kebutuhan dasar anak jalanan seperti
109 dikemukakan Maslow (1984), yaitu kebutuhan fisiologis (Faali), berkaitan dengan kebutuhan yang sifatnya fisik. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Thee Kian Wie (1981) tentang kebutuhan dasar, yakni anak jalanan baru dapat memenuhi kebutuhan dasar mencakup kebutuhan konsumsi perorangan (personal consumption items), seperti pangan, sandang dan pemukiman (dengan tinggal di mana saja yang ia merasa nyaman). Sedangkan kebutuhan pada tingkatan selanjutnya dari Maslow (1984) dan Thee Kian Wie (1981), relatif masih harus diperjuangkan karena belum diperoleh anak dengan keberadaanya di jalanan. Meski kebutuhan dasar di atas saat ini dapat dipenuhi dengan baik, namun upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, membutuhkan perjuangan yang relatif lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan jumlah jam berada di jalanan yang lebih lama serta lokasi mencari nafkah yang dikuasai oleh lebih banyak anak jalanan. Hal ini disebabkan semakin banyaknya jumlah anak jalanan, di samping semakin meluasnya permasalahan anak jalanan sampai ke kota kabupaten, sehingga persaingan di antara sesama anak jalanan semakin kuat. Hasil penelitian ini, sekaligus kurang dapat membuktikan hasil penelitian Tjahjorini (2001) tentang pemenuhan kebutuhan anak jalanan, terutama untuk kebutuhan akan rasa aman dan rasa memiliki. Hal tersebut disebabkan anak jalanan harus lebih ketat menjaga wilayah tempatnya mencari nafkah bersama dengan kelompoknya dari kemungkinan masuknya anak jalanan dari kelompok lain. Kondisi ini mengakibatkan anak jalanan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (ego-defense mechanism) (Gibson dan Donnelly, 1994). Mekanisme pertahanan diri, dilakukan anak jalanan dengan mengembangkan subsub kultur yang dikembangkan dalam kelompoknya seperti dikemukakan Departemen Sosial (1999) yang ditujukan agar tetap dapat survive hidup di jalanan. Tingkat kreativitas anak jalanan cenderung rendah (58 persen), karena umumnya mereka mengikuti kebiasaan dalam bekerja dan bermain dengan pola yang sudah ada dan ditemukan/dilakukan oleh anak jalanan yang telah lebih dahulu turun ke jalanan. Tingkat kreativitas yang rendah ini mengakibatkan kemampuan anak jalanan untuk melakukan dan menemukan inovasi baru relatif
110 rendah. Akibatnya mereka terbiasa dengan pola kegiatan dan pola perilaku yang merupakan rutinitas, kalaupun ada yang memiliki kreativitas tinggi (17 persen) cenderung sedikit jumlahnya, dibanding dengan yang menjadi pengikut. Fakta memperlihatkan terjadi pergeseran tingkat kreativitas anak jalanan yang semula tinggi (Departemen Sosial dan Yayasan kesejahteraan Anak Indonesia, 1999 ; Tjahjorini, 2001) menjadi cenderung rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar anak jalanan saat ini cenderung mengikuti pola-pola, baik pola bermain, bekerja, berperilaku dan lain-lain mengikuti pola yang ada serta telah dilakukan oleh anak jalanan lain yang lebih dahulu turun ke jalanan. Sebagian anak jalanan cenderung kurang memiliki kreativitas karena kurang mampu menciptakan ide-ide baru, menemukan cara baru untuk memahami problem yang dihadapi dan kuranag memahami adanya peluang (Wirawan, 2003), meski tetap ada anak jalanan yang memiliki kreativitas tinggi. Rata-rata motivasi anak berada di jalanan di tiga wilayah penelitian cenderung dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup atau memenuhi kebutuhan materi (64 persen). Dibanding karena tujuan mencari dan diajak teman (18 persen) atau
mencari
kesenangan
(18
persen),
yang
bukan
bertujuan
untuk
mempertahankan hidup dan dilakukan sewaktu-waktu sehingga lebih mudah untuk dapat diatasi. Umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak mampu dan serba kekurangan. Akibatnya keberadaan anak di jalanan meski ada tujuan lain, selalu disertai oleh tujuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya. Hal ini memperlihatkan manakala orang tua dapat menjalankan fungsi ekonomi dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga, fenomena anak jalanan ini dapat ditekan seminim mungkin. Saat kondisi kekurangan ekonomi ini berada di perdesaan, orang tua lebih bisa menerima kehidupan apa adanya dan cenderung melindungi/mengawasi anakanaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang mereka nilai kurang pantas, seperti meminta-minta dan turun ke jalanan. Motivasi yang merupakan usaha yang mendorong anak jalanan untuk berbuat atau melakukan tindakan turun ke jalanan (Padmowihardjo, 1994) dan
111 melakukan aktivitas di jalanan, cenderung disebabkan oleh kebutuhan materi. Faktor ekonomi inilah yang cenderung menjadi motif yang kuat, sebagai penyebab turunnya anak ke jalanan, disamping adanya motif yang lemah seperti karena diajak atau mencari teman, mencari kesenangan, menghindari tekanan dan tidak adanya pengawasan dalam keluarga. Kenyataannya kekuatan motif tidak sama dalam setiap situasi (Jones, 1955), suatu saat motif ekonomi anak jalanan yang tinggi, motif lainnya rendah atau sebaliknya motif lain tinggi seperti motif mencari kesenangan dan motif ekonomi rendah. Rata-rata riwayat anak menjadi anak jalanan di tiga wilayah penelitian cenderung dengan alasan yang menyebar merata. Penyebaran berkisar antara coba-coba (25 persen) karena adanya daya tarik jalanan, terdesak keadaan (50 persen) karena alasan ekonomi atau karena adanya tindak kekerasan dan tidak nyamannya suasana dan lingkungan rumah yang sesak dengan jumlah penghuni yang banyak. Di samping alasan ikut-ikutan (25 persen) karena diajak teman, kakak, adik atau orang tua/orang dewasa. Riwayat anak turun ke jalanan pada dasarnya memiliki penyebab yang identik dengan motif anak turun ke jalanan, yaitu karena terdesak oleh keadaan ekonomi/faktor kemiskinan. Hal ini disebabkan keluarga dengan penghasilan yang seadanya dan diperoleh dari pekerjaan/profesi yang cenderung tidak jelas, tidak mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Hasil penelitian ini, sekaligus menguatkan hasil penelitian Sudrajat (1996) ; Departemen Sosial (1999); Tjahjorini (2001) ; dan Sulistiati (2001). Masalah kekurangan ekonomi inilah
yang kemudian berpengaruh terhadap pola pikir anak jalanan dengan
keberadaannya di jalanan, yaitu agar dapat uang banyak dan dapat memenuhi keinginan serta kebutuhan-kebutuhan yang selama ini tidak dapat dipenuhinya. Riwayat anak jalanan umumnya berkaitan pula dengan pengalaman yang diperoleh oleh anak di jalanan. Rata-rata pengalaman anak menjadi anak jalanan di tiga wilayah penelitian berkisar antara 2 sampai 10 tahun. Umumnya pertama kali turun ke jalanan di usia yang relatif muda (60 persen) pada usia 5 sampai 6 tahun. Walau ada pula anak yang turun ke jalan untuk pertama kalinya pada usia yang relatif dewasa. Rata-
112 rata anak berada di jalanan bukan dalam waktu yang singkat. Hal ini memiliki konsekuensi terhadap kemungkinan terinternalisasinya nilai dan norma jalanan dalam diri dan kehidupan anak jalanan. Terlebih bagi anak yang sudah turun ke jalan pada usia yang relatif muda. Pengalaman anak berada di jalanan yang sudah cukup lama, umumnya berpengaruh pada pola pikir (mind set) anak jalanan dengan pola pikir untuk dapat sukses dan memiliki uang banyak. Meski aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan anak jalanan di sektor non formal, tidak dapat menjanjikan hal tersebut dapat terwujud tanpa usaha dan kerja keras. Ciri Sosiologik Anak Jalanan (X5) Ciri sosiologik anak jalanan untuk beberapa sub peubah cenderung tinggi, yaitu yang terkait dengan aktivitas sosial ekonomi (65 persen), interaksi (67 persen), Jaringan (79 persen) dan mobilitas fisik (66 persen). Beberapa sub peubah lain cenderung rendah seperti pendidikan formal anak jalanan (73 persen) dan pendidikan non formal anak jalanan (78 persen), tersaji pada Tabel 21 dan secara lebih rinci pada Tabel 22. Tabel 21. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Aktivitas Sosial Ekonomi Interaksi Jaringan Mobilitas fisik Pendidikan formal anjal Pendidikan non formal anjal
Tinggi 65 67 79 66 9 2
Kondisi (%) Sedang 29 16 19 33 18 20
Jumlah (%) Rendah 6 17 2 1 73 78
100 100 100 100 100 100
Pendidikan formal dan non formal anak jalanan cenderung rendah, bahkan sebagian ada yang drop out pada tingkat Sekolah Dasar atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali (73 persen). Hal ini disebabkan akses anak jalanan sangat minim
terhadap kedua hal tersebut, akibat terbatasnya
sumber dana dan sumber daya yang mereka miliki serta kurangnya kesempatan dan adanya penyebab lain, seperti ketidakmampuan dan ketidaksiapan keluarga untuk membiarkan anaknya mengikuti program pendidikan. Kondisi ini terjadi baik pada anak jalanan pria maupun wanita, namun pada anak jalanan wanita
113 lebih nyata, yang menganggap anak wanita tidak memerlukan pendidikan, cukup dapat mengurus rumah tangga dan keluarga. Tabel 22. Sebaran Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian No 1
Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Aktivitas sosial ekonomi Ada aktivitas sosial ekonomi 65 66 64 Kadang ada aktivitas sosial 30 29 29 ekonomi Tidak ada aktivitas sosial 5 5 7 ekonomi 2 Interaksi Berinteraksi dengan teman/ 68 64 69 kelompoknya Berinteraksi dengan petugas/ 16 17 15 orang di luar kelompok Berinteraksi dengan keluarga 16 19 16 3 Jaringan Jaringan kerjasama dengan 80 78 79 sesama Jaringan dengan orang dewasa 18 20 18 jalanan/orang tua Jaringan kerjasama dengan 2 2 3 dinas terkait 4 Mobilitas fisik Mobilitas fisik dalam wilayah 66 65 66 Mobilitas fisik antar wilayah 33 34 33 Mobilitas fisik antar provinsi 1 1 1 5 Pendidikan formal anak jalanan DO SMA/ Tamat SMA 8 9 10 DO SMP/ Tamat SMP 18 18 17 Tidak sekolah/DO SD/Tamat 74 73 73 SD 6 Pendidikan non formal anak jalanan Ada 2 2 2 Kadang ada 20 20 21 Tidak ada 78 78 77 7 Bahasa Gunakan bahasa yang umum 8 8 9 Gabungkan antara yang 90 90 90 dimengerti kelompok dan yang dipakai secara umum Gunakan bahasa yang hanya 2 2 1 dimengerti kelompok 8 Asal daerah Asal dari dalam wilayah 66 65 66 Asal dari sekitar wilayah 33 34 33 Asal dari luar provinsi 1 1 1 9 Kelompok anak jalanan Ada aktivitas kelompok 50 50 50 Kadang ada aktivitas kelompok 30 29 30 Tidak ada aktivitas kelompok 20 21 20 Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).
Rataan di tiga wilayah 65 29 6 67 16 17 79 19 2 66 33 1 9 18 73
2 20 78 8 90 2 66 33 1 50 20 20
114 Keberadaan anak di jalanan umumnya dilakukan dengan aktivitas sosial ekonomi yang tertentu dan tidak semata-mata untuk bersantai (65 persen). Namun demikian rendahnya pendidikan yang dimiliki anak jalanan mengakibatkan saat anak melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung pada sektor-sektor non formal yang tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu yang sifatnya khusus. Aktivitas sosial ekonomi yang biasa dilakukan di antaranya menjadi pengamen, pemulung, jual koran, semir sepatu, nyapu kereta, dan lain-lain. Di sisi lain saat anak melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung dieksploitir karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini menonjol terutama pada anak jalanan wanita. Terlebih anak jalanan berinteraksi dan membentuk jaringan kerjasama dengan intensitas yang tinggi terutama dengan rekan sesama anak jalanan yang berpengetahuan dan berkemampuan cenderung sama dan terbatas, sehingga tidak ada penambahan pengetahuan dan kemampuan baru. Mobilitas fisik anak jalanan cenderung tinggi (66 persen) terutama pada anak jalanan pria, terutama mobilitas fisik dalam satu wilayah serta antar wilayah di sekitar tempat anak jalanan berdomisili, walau ada sebagian anak yang melakukan mobilitas fisik antar provinsi, tetapi persentasenya relatif kecil. Mobilitas fisik ini dilakukan anak jalanan untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi atau sekedar bersantai. Mobilitas
fisik anak
jalanan
ditunjang
oleh
asal
daerah
yang
memperlihatkan anak jalanan lebih banyak berasal dari daerah di mana anak jalanan berdomisili (66 persen) dan mereka cenderung melakukan mobilitas fisik sesuai dengan domisilinya, berasal dari sekitar wilayah penelitian (33 persen) dengan jumlah anak jalanan berasal dari luar provinsi yang relatif kecil (1 persen). Asal daerah anak jalanan umumnya berpengaruh pada bahasa yang digunakan dalam melakukan komunikasi. Dalam hal ini bahasa yang digunakan cenderung merupakan penggabungan dari bahasa daerah, bahasa yang umum digunakan (bahasa Indonesia), serta bahasa yang digunakan oleh kelompoknya (90 persen). Fakta memperlihatkan jumlah anak jalanan wanita lebih tinggi dibandingkan anak jalanan pria dalam menggunakan bahasa yang merupakan
115 penggabungan. Penggunaan bahasa saat anak jalanan berkomunikasi dan berinteraksi, dilakukan salah satunya untuk melakukan aktivitas dalam kelompok. Aktivitas kelompok dilakukan dengan melibatkan sebagian besar anak jalanan (50 persen responden menyatakan ada aktivitas kelompok, 30 persen responden menyatakan kadang ada aktivitas kelompok) baik untuk bermain, bernyanyi atau kegiatan lainnya. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi dan interaksi inilah yang kemudian menguatkan ikatan antar anak jalanan dalam komunitas kelompoknya. Hasil penelitian ciri sosiologik anak jalanan terkait dengan aktivitas sosial ekonomi, asal daerah, bahasa, interaksi, jaringan, mobilitas fisik, pendidikan formal, pendidikan non formal dan sub kultur anak jalanan secara umum menguatkan hasil-hasil penelitian terdahulu (Sudrajat, 1996 ; Departemen Sosial, 1999 ; Tjahjorini 2001), yang meski sudah berjalan beberapa tahun situasi dan kondisinya tidak berbeda nyata. Demikian pula ciri sosiologik anak jalanan terkait dengan kelompok anak jalanan. Hasil penelitian tentang kelompok anak jalanan menguatkan pernyataan Homans (Johnson, 1988) terkait dengan Teori Pertukaran dalam Kelompok Kecil. Terkait dengan teori ini memperlihatkan sebagian besar anak jalanan melakukan aktivitas/kegiatan dalam kelompok, yang didalamnya juga terjadi interaksi serta adanya perasaan-perasaan tertentu sebagai anggota kelompok. Aktivitas/kegiatan ditujukan untuk memperkuat ikatan dalam kelompok, dilakukan dengan cara bermain, bernyanyi, melakukan aktivitas tertentu atau sekedar santai. Dalam kelompok terdapat komunikasi, rasa memiliki, kesetiaan terhadap nilai yang dibentuk, kebersamaan antar individu anak jalanan, serta ada rasa senang dan terhindar dari tekanan yang timbul dari luar kelompok. Dalam kelompok ini berkembang pula sub kultur dengan nilai-nilai kebersamaan, saling bantu, dan saling berbagi, serta ada kebiasaan yang melembaga di lingkungan anak jalanan, di antaranya : jarang mandi, jarang ganti baju dan tidur di mana saja, sehingga dengan kebiasaan tersebut keberadaan anak jalanan mudah dikenali di manapun. Tata kelakuan yang biasa dilakukan, diantaranya : saling berbagi, waspada dan setia dengan teman kelompoknya
116 (Departemen Sosial, 1999).
Keterikatan anak jalanan dengan kelompoknya
terlihat lebih nyata pada anak jalanan pria dibandingkan pada anak jalanan wanita. Terkait dengan penjelasan tentang ciri-ciri anak jalanan Linton (1984) menyatakan bahwa tingkah laku seorang individu tidak hanya dibentuk oleh kebudayaan dan oleh kontak pribadinya dengan anggota masyarakat lainnya, melainkan juga dibentuk oleh pengalaman individu tersebut. Demikian pula anak jalanan, tingkah laku dan ciri-ciri (ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik) yang dimiliki dan muncul saat ini adalah juga merupakan produk dari pengalamannya bertahun-tahun berada di jalanan. Semakin lama pengalaman anak berada di jalanan, semakin terinternalisasi ciri-ciri dan nilai-nilai jalanan pada diri dan kehidupan anak jalanan. Perilaku Anak Jalanan (Y1) Anak jalanan memiliki beberapa perilaku yang nampak cenderung tinggi, baik perilaku normal maupun perilaku abnormal. Perilaku normal anak jalanan yang cenderung tinggi diantaranya keberanian menanggung resiko (67 persen), kemandirian (64 persen), semangat hidup (69 persen), tersaji pada Tabel 23. Tabel 23. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Normal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Aspek kepekaan Keberanian menanggung resiko Kemandirian Semangat hidup
Kondisi (%) Tinggi 32 67 64 69
Sedang 32 25 29 24
Jumlah (%) Rendah 36 8 7 7
100 100 100 100
Perilaku normal anak jalanan seperti keberanian menanggung resiko, diperlihatkan anak dalam bentuk perilaku yang bertanggung jawab atas hal-hal yang dilakukannya, dengan tidak melempar kesalahan pada orang lain. Kemandirian, diperlihatkan dalam bentuk kemampuan mereka untuk tidak tergantung kepada orang lain dan berusaha sendiri terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Semangat hidup, ditunjukkan dalam bentuk perilaku tidak mudah menyerah pada situasi dan kondisi yang dihadapi di jalanan, dalam upaya memenuhi kebutuhan-
117 kebutuhannya. Ketiga kondisi sub peubah tersebut menunjukkan hasil persentase yang cenderung tinggi, sedang perilaku normal aspek kepekaan cenderung menyebar merata pada ketiga kategori kondisi. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah perilaku normal anak jalanan di tiga wilayah penelitian tersaji pada Tabel 24. Tabel 24. Sebaran Perilaku Normal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian 1
2
3
4
Sub Variabel Aspek kepekaan Peduli Kadang peduli Tidak peduli Keberanian menanggung resiko Bertanggung jawab Kadang bertanggung jawab Tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Kemandirian Tidak tergantung Kadang tergantung Tergantung Semangat hidup Tidak mudah menyerah Kadang mudah menyerah Mudah menyerah pada keadaan
Bandung
Bogor
Jakarta
Rataan di tiga wilayah
32 32 36
31 31 37
31 33 36
32 32 36
69 25 6
68 25 7
65 25 10
67 25 8
64 29 7
63 30 7
64 28 8
64 29 7
70 24 6
69 24 7
67 24 9
69 24 7
Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).
Fakta memperlihatkan perilaku normal anak jalanan merupakan produk dari kehidupan jalanan, di mana mereka harus tetap survive dalam situasi dan kondisi jalanan yang cenderung keras. Perilaku normal anak jalanan tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di ketiga wilayah penelitian. Perilaku normal yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan diantaranya keberanian menanggung resiko yang diartikan juga sebagai kesediaan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab ini diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatu, bila hal tersebut dituntut, dipermasalahkan, diperkarakan (Poerwadarminta dan Walters, 1993), dalam hal ini anak jalanan cenderung konsekuen dengan resikonya berada di jalanan. Selain keberanian menanggung resiko, perilaku normal lain yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan adalah tingkat kemandirian yang tinggi. Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti berdiri sendiri
118 (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Kata kemandirian dimaksudkan bahwa seseorang dapat menguasai dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri tidak tergantung atau mengandalkan bantuan orang lain. Pengertian mandiri ini bersifat relatif, tidak dapat diartikan secara kaku, tergantung pada siapa yang melakukan atau menjalankan. Pada sebagian orang perilaku mandiri dapat dimiliki atau terbentuk dalam dirinya apabila sudah dibiasakan atau dilatih sejak kecil atau sejak usia kanak-kanak. Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan, sejak kecil mereka cenderung dituntut oleh situasi dan kondisinya untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa tergantung pada bantuan orang lain. Akibatnya anak menjadi terbiasa tidak tergantung pada bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannnya, terutama pada anak jalanan yang terbiasa hidup di jalanan (Children of the Street). Hal di atas terkait dengan pendapat Koentjaraningrat (1994) yang mengatakan bahwa perbedaan antara keluarga priyayi yang tinggal dekat keraton, dengan keluarga petani yang jauh dari keraton, dalam tahun pertama anak keluarga priyayi sangat menggantungkan diri pada pembantu untuk segala keperluannya. Oleh karena itu anak priyayi biasanya kurang mampu melakukan segala sesuatunya sendiri, bila dibandingkan dengan anak petani. Anak Jalanan dalam hal ini diumpamakan sebagai anak petani, yang sejak usia kanak-kanak dibiasakan untuk mandiri, sehingga setelah remaja atau dewasa mereka juga cenderung memiliki kemandirian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Perilaku normal yang dilakukan oleh anak jalanan merupakan perilaku yang adekuat (serasi, tepat) yang bisa diterima oleh masyarakat serta sesuai dengan norma-norma sosial tempat anak jalanan berada, seperti dikemukakan Kartono (1992). Perilaku normal yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan di antaranya semangat hidup yang tinggi, di mana sejak usia belia sudah hidup dan berada di jalanan dan di fasilitas umum lain yang cenderung keras. Di lingkungan yang keras anak jalanan harus tetap survive, dengan panas terik, hujan, tingkat polusi yang tinggi, serta tingkat kekerasan yang tinggi pula. Kondisi tersebut tidak mungkin bisa dilalui oleh orang-orang yang semangat
119 hidupnya lemah, tanpa optimisme, dan cenderung pesimis dalam memandang hidup dan kehidupan yang dijalaninya. Walau mungkin pada sebagian anak muncul rasa pesimisme, tapi karena keadaan keras jalanan menempa mereka, rasa tersebut lambat laun terkikis. Perilaku abnormal anak jalanan yang cenderung tinggi diantaranya bebas (63 persen), liar (70 persen), masa bodoh ( 68 persen), penuh curiga (77 persen), susah diatur ( 69 persen), tersaji pada Tabel 25. Tabel 25. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Bebas Liar Masa bodoh Penuh curiga Reaktif Susah diatur
Rendah 13 9 8 3 36 10
Kondisi (%) Sedang 24 21 24 20 28 21
Jumlah (%) Tinggi 63 70 68 77 36 69
100 100 100 100 100 100
Perilaku abnormal anak jalanan yang cenderung menonjol, di antaranya perilaku bebas dan semaunya sendiri dalam bersikap dan bertingkah laku berdasarkan pada apa yang dikehendaki/diinginkannya. Liar, semaunya sendiri, serta susah diatur terutama bagi anak
yang sudah terbiasa hidup di jalanan
(Children of the Street). Walau tetap ada anak yang mau ikut aturan, terutama terdapat pada anak yang rentan menjadi anak jalanan (Vulnerable to be Street Children) serta biasanya masih tinggal dan berhubungan dengan orang tua/keluarganya. Masa bodoh, terutama terhadap sesuatu yang tidak menyangkut kepentingan dan kebutuhannya. Penuh curiga, terutama terhadap orang yang baru dikenal dan bukan anggota kelompoknya. Perilaku reaktif cenderung menyebar merata pada ketiga kategori kondisi di atas. Kondisi ini tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di ketiga wilayah penelitian. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah perilaku abnormal anak jalanan di tiga wilayah penelitian tersaji pada Tabel 26.
120 Tabel 26. Sebaran Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian 1
2
3
4
5
6
Sub Variabel Bebas Tidak bebas Kadang bebas Bebas Liar Ikut aturan yang ada Kadang semaunya sendiri Semaunya sendiri Masa bodoh Tidak masa bodoh Kadang masa bodoh Masa bodoh Penuh curiga Tidak curiga Kadang curiga Curiga Reaktif Cepat tanggap Kadang cepat tanggap Tidak cepat tanggap Susah diatur Mudah diarahkan Kadang mudah diarahkan Tidak mudah diarahkan
Bandung
Bogor
Jakarta
Rataan di tiga wilayah
14 24 62
14 24 62
12 24 64
13 24 63
8 22 70
10 20 70
10 20 70
9 21 70
9 23 68
8 24 68
7 24 69
8 24 68
2 20 78
4 20 76
2 20 78
3 20 77
36 29 35
36 27 37
37 28 35
36 28 36
10 21 69
11 21 68
10 21 69
10 21 69
Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).
Perilaku abnormal/menyimpang adalah perilaku yang tidak adekuat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada (Kartono, 1992). Pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering didera oleh konflik batin, dan tidak jarang dihinggapi gangguan mental, demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan. Sebagian anak jalanan cenderung menunjukkan perilaku abnormal yang tidak taat dan tidak patuh terhadap aturan, ketentuan dan tata tertib yang berlaku umum. Ketaatan diartikan sebagai suatu sikap kepatuhan atau kesetiaan terhadap sesuatu hal. Kata ketaatan ini berasal dari kata taat yang berarti patuh, menurut dan setia (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Kata taat ini identik dengan disiplin yang diartikan sebagai suatu latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib. Tata tertib diartikan sebagai peraturan-peraturan yang harus dituruti atau dilakukan (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Dapat diformulasikan tata tertib adalah suatu peraturan yang mengatur perilaku dan perbuatan manusia di dalam hidup bermasyarakat, agar
121 tindakan dan perilakunya tidak menyimpang dari peraturan-peraturan yang berlaku. Seyogyanya konsepsi taat, patuh dan disiplin berfungsi sebagai pengarah seseorang dalam menentukan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat, demikian pula untuk anak jalanan. Upaya mendapatkan perilaku taat dan disiplin diperoleh manusia salah satunya melalui pembinaan dan pelatihan sejak dini, yaitu sejak masa kanakkanak, agar setelah dewasa anak terbiasa hidup berdisiplin. Hal ini menjadi tugas dan kewajiban orang tua sesuai dengan peran dan fungsinya dalam keluarga untuk membina dan melatih anak-anaknya. Akan tetapi pada orang tua anak jalanan sebagian besar kurang bahkan tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dan seimbang. Akibatnya pada sebagian besar anak jalanan tidak terbiasa hidup berdisiplin (indisipliner), seperti terbiasa hidup bebas, liar, dan susah diatur, di samping terdapat pula perilaku-perilaku abnormal lainnya. Perilaku tersebut cenderung menunjukkan penyimpangan dari aturan, ketentuan, tata tertib dan kebiasaan yang berlaku umum. Sesungguhnya perilaku abnormal yang ditunjukkan anak jalanan terkait dengan proses simbolisasi diri atau penamaan-diri atau konsepsi-diri (Kartono, 1992). Hal ini terjadi saat anak-anak tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan sosial yang kriminal dan a-susila. Anak jalanan mentransfer warisanwarisan sosial yang buruk dari masyarakat akibat adanya interaksi sosial dan kontak sosial. Kontak sosial yang dilakukan menanamkan konsepsi mengenai nilai-nilai moral dan kebiasaan bertingkah laku yang buruk, baik secara sadar maupun tidak sadar, sehingga anak-anak terkondisi untuk bertingkah laku serupa. Bila anak melakukan proses penamaan-diri atau simbolisasi-diri dengan melambangkan dirinya, dipersamakan dengan tokoh-tokoh tertentu yang dikagumi di jalanan, maka konsep tersebut ditransfer dan terjadi proses imitasi pada dirinya. Proses konsepsi-diri atau simbolisasi-diri umumnya berlangsung secara berangsur-angsur serta perlahan-lahan. Bersamaan dengan proses tersebut, berlangsung pula proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang dalam diri anak, sejak usia mereka masih sangat muda, sampai remaja dan dewasa. Berlangsung pula pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progresif sifatnya,
122 yang kemudian dirasionalisasi secara sadar, untuk kemudian dikembangkan menjadi kebiasaan-kebiasaan patologis dan menyimpang dari tingkah laku umum (Kartono, 1992). Demikian pula dengan anak jalanan, dalam dirinya terjadi proses penamaan-diri atau simbolisasi-diri yang melambangkan dirinya dipersamakan dengan tokoh-tokoh jalanan seperti preman jalanan, dengan perilaku yang menyimpang dan cenderung mengarah pada kriminalitas dan a-susila. Lambat laun baik sadar maupun tidak sadar anak jalanan akan melakukan proses imitasi terhadap perilaku tokoh yang dikagumi dan merasionalisasinya, untuk kemudian mengembangkan menjadi kebiasaan-kebiasaan patologis dan menyimpang dari tingkah laku anak pada umumnya. Proses simbolisasi dan proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang yang ada dalam lingkungan, secara berangsur-angsur membentuk pola tingkah laku yang deviatif serta progresif, kemudian berkembang dalam diri anak jalanan. Munculnya tingkah laku menyimpang pada anak jalanan juga disebabkan adanya transfer/warisan sosial yang buruk dari masyarakat akibat adanya interaksi sosial dan kontak sosial anak jalanan dengan lingkungan, baik lingkungan terdekat dalam hal ini keluarga maupun lingkungan di luar keluarga. Perilaku abnormal yang ditunjukkan anak jalanan dan keluarganya, mulanya merupakan respon atas situasi dan keadaan yang menghimpit. Akan tetapi disebabkan tidak adanya sarana yang kondusif untuk mereka dapat menyalurkan permasalahan yang dihadapi, yang terakumulasi dari waktu ke waktu, mengakibatkan perilaku tersebut menjadi melembaga dan terinternalisasi dalam diri anak jalanan maupun keluarganya. Hasil penelitian tentang perilaku anak jalanan ini memperkuat
hasil
penelitian terdahulu (Departemen Sosial, 1999), yakni anak jalanan cenderung memiliki semangat hidup tinggi, berani menanggung resiko, mandiri (yang merupakan perilaku normal), di samping memiliki perilaku curiga, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, tertutup dan bebas (yang merupakan perilaku abnormal).
123
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan Perilaku anak jalanan secara nyata baik langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh peubah latar belakang keluarga (22 persen) dibanding oleh peubah latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik maupun oleh ciri sosiologiknya, tersaji pada Tabel 27 dan Tabel 28. Tabel 27. Hasil Uji Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant ) X1
Standardized Coefficients
Std. Error
14,681
3,490
T
Beta
Sig.
4,207
,000
,075
,025
,222
2,973
,003
X2
,036
,038
,069
,989
,324
X3
,003
,034
,006
,091
,928
X4
,032
,033
,066
,963
,336
X5
,003
,039
,005
,077
,939
a Dependent Variable: Y1
Rumusan model efektif faktor yang mempengaruhi perilaku anak jalanan dengan menggunakan uji regresi berganda. Persamaan regresinya adalah : Y1 = β0 + β1X1 + β1X2 + β1 X3 + β1X4 + β1X5 Hasil Uji regresi berganda diperoleh nilai koefisien regresi seperti yang disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Nilai Koefisian Regresi Berganda Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Perilaku Anak Jalanan (Y1) Faktor-faktor Berpengaruh Latar Belakang Keluarga (X1) Latar Belakang Lingkungan (X2) Ciri Fisik Anak Jalanan (X3) Ciri Psikologik Anak Jalanan (X4) Ciri Sosiologik Anak Jalanan (X5) Konstanta R2 F hitung Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01
Koefisien Regresi 0.075** 0.037 0.003 0.032 0.003 14.681 0,045 2.063
124 Tabel 27 memperlihatkan hanya peubah bebas latar belakang keluarga yang berpengaruh nyata secara langsung relatif cukup besar terhadap peubah terikat perilaku anak jalanan (p= 0.222) dibanding peubah bebas lain terhadap perilaku anak jalanan. Hal ini dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 22 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor keluarga berperan besar pada terbentuk dan munculnya perilaku anak jalanan, baik perilaku positif maupun negatif. Di samping disebabkan oleh buruknya latar belakang lingkungan, yang berpengaruh terutama terhadap ciri psikologik dan ciri sosiologik anak jalanan. Tabel 28 memperlihatkan F hitung sebesar 2.063 dengan taraf nyata 0.071 (di bawah α 0.1), maka model regresi ini dapat dipakai untuk memperkirakan perilaku anak jalanan. Uji regresi linear berganda yang dilakukan menghasilkan R2 sebesar 0.045 (4.5%). Koefisien ini tergolong kecil, hal ini berarti perilaku anak jalanan banyak dipengaruhi oleh faktor lain. Hal tersebut terlihat pula dari nilai kostanta model regresi di atas yang bernilai positif, dengan makna bahwa perilaku anak jalanan selain dipengaruhi oleh peubah bebas latar belakang keluarga (X1), latar belakang lingkungan (X2), ciri fisik (X3), ciri psikologik (X4) dan ciri sosiologik anak jalanan (X5) juga dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Peubah bebas yang masuk dalam model adalah latar belakang keluarga (X1). Empat peubah lainnya : latar belakang lingkungan (X2), Ciri Fisik (X3), Ciri Psikologik (X4) dan Ciri Sosiologik (X5) dikeluarkan (excluded) dari model, sehingga persamaan regresi untuk model tersebut menjadi : Y1 = β0 + β1X1 Persamaan regresi model tersebut Y1 = 14.681 + 0.075 X1
125
0.222**
Ciri Fisik Anjal (X3)
0.182** Latar belakang keluarga (X1) 0.262**
0.198**
Latar belakang lingkungan (X2)
0.001
E=0.632
Ciri Psikologik Anjal (X4)
0.349**
0.154* 0.148*
0.006
0.066
Perilaku anak jalanan (Y1)
0.005
Ciri Sosiologik Anjal (X5) 0.069*
Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01 * Nyata pada α 0,05
Gambar 8. Model Efektif Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan Gambar 8 memperlihatkan latar belakang keluarga berhubungan nyata pada taraf nyata α 0,01 dengan latar lingkungan (p=0.262). Hal ini mengindikasikan bahwa
seseorang dari latar belakang keluarga yang buruk
(seperti tersaji pada Tabel 13 dan Tabel 14), kecenderungannnya memiliki latar belakang lingkungan di luar keluarga yang buruk pula (seperti tersaji pada Tabel 15 dan Tabel 16). Demikian pula sebaliknya seseorang yang berada pada latar belakang lingkungan yang buruk cenderung berasal dari latar belakang keluarga yang buruk. Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang termasuk anak jalanan dan keluarganya yang berada pada suatu habitat tertentu, cenderung memilih dan memiliki habitat lain yang cenderung tidak berbeda dari habitatnya.
126 Pengaruh latar belakang keluarga terhadap perilaku anak jalanan melalui ciri fisik menyumbang sebesar p = 0.182, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 18 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri fisik anak jalanan. Pengaruh latar belakang keluarga melalui ciri psikologik menyumbang sebesar p = 0.198, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak
20 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri
psikologiknya. Pengaruh latar belakang keluarga melalui ciri sosiologik menyumbang sebesar p = 0.349, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 35 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri sosiologik anak jalanan. Gambar 8 memperlihatkan bahwa latar belakang lingkungan mempunyai pengaruh langsung yang relatif kecil (p= 0.069) terhadap perilaku anak jalanan. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan sebanyak 7 persen dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan. Pengaruh latar belakang lingkungan terhadap perilaku anak jalanan melalui ciri fisik relatif kecil sebesar 0,01 persen. Latar belakang lingkungan melalui ciri psikologik menyumbang sebesar 15,4 persen. Latar belakang lingkungan melalui ciri sosiologik menyumbang sebesar 14,8 persen. Gambar 8 memperlihatkan bahwa ciri fisik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif kecil (p= 0.006), dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 0.06 persen dipengaruhi oleh ciri fisiknya. Ciri psikologik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif lebih besar dibandingkan ciri fisik dan ciri sosiologik anak jalanan, yaitu sebesar p= 0.066. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 7 persen dipengaruhi oleh ciri psikologiknya. Ciri sosiologik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif paling kecil dibanding dua ciri yang lain yaitu sebesar p= 0.005, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 0.05 persen dipengaruhi oleh ciri sosiologiknya. Meski ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik memiliki pengaruh yang relatif kecil terhadap perilaku anak jalanan, namun tetap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan saat akan dilakukan upaya pengentasan anak jalanan, karena model berdasarkan hasil uji statistik merupakan model yang efektif.
127 Diharapkan dengan memperhatikan ciri anak jalanan yang berpengaruh terhadap perilakunya ini, perubahan yang terjadi lebih bersifat komprehensif, mendasar dan menetap. Gambar 8 memperlihatkan untuk melakukan perubahan perilaku anak jalanan (Y1) dapat dilakukan terutama dengan membenahi latar belakang keluarga (X1) baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak langsung dengan cara membenahi latar belakang keluarga (X1) agar ciri fisik (X3), ciri psikologik (X4) dan ciri sosiologik (X5) anak jalanan berubah. Di samping membenahi latar belakang lingkungan (X2) agar ciri psikologik (X4) dan ciri sosiologik (X5) anak jalanan berubah, dengan harapan hal tersebut dapat memberikan dampak lebih lanjut pada terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Gambar 8 juga memperlihatkan secara keseluruhan peubah bebas dalam penelitian secara total menyumbang pengaruh sebesar p= 0.368 terhadap perilaku anak jalanan. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 36,8 persen dipengaruhi oleh peubah penelitian. Selebihnya, sebesar E= 0.632 atau sekitar 63,2 persen dipengaruhi oleh peubah lain. Peneliti menduga pengaruh peubah lain salah satunya adalah adanya masalah kemiskinan yang dialami oleh anak jalanan dan keluarganya. Di sisi lain juga adanya struktur sosial dalam masyarakat, yang menyebabkan terjadinya differensiasi sosial sebagai dampak adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi
sosial diartikan Sorokin (Sajogyo, 1985) sebagai pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkhis). Manifestasi dari gejala stratifikasi sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Sajogyo (1985) lebih lanjut menjelaskan dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat ini adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban dan tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara para anggota masyarakat. Stratifikasi sosial ini memberikan gambaran mengenai adanya “ketidaksamaan” (inequality) dalam kehidupan masyarakat. Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah “grassroots” dengan
128 status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas. Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004). Weber (Svalastoga, 1989) membedakan empat sistem tingkatan sosial, di mana anak jalanan berada pada tingkatan sosial paling bawah, tingkatan sosial tersebut adalah :1) Tingkatan kekayaan yang menimbulkan kelas-kelas kekayaan. Kelas atas adalah orang yang hidup dari hasil kekayaannya. Kelas bawah adalah orang yang terbatas kekayaannya atau mereka sendiri mungkin menjadi milik orang lain. 2) Tingkatan menurut kekuatan ekonomi yang menimbulkan kelaskelas pendapatan : kelas atas adalah bankir, pemodal ; kelas bawah adalah buruh. 3) Tingkatan yang tercermin menurut kekayaan dan pendidikan. 4) Tingkatan status sosial : kelas atas adalah orang yang memiliki gaya hidup yang paling dapat diterima, berpendidikan tinggi, dan memegang posisi dengan gengsi sosial yang tinggi pula, serta anak keturunan orang yang berstatus sosial tinggi. Lebih lanjut Weber (Svalastoga, 1989) membedakan empat faktor yang menentukan status sosial, yaitu : 1) Gaya hidup atau cara hidup. 2) Pendidikan atau latihan formal berkenaan dengan kemampuan, sikap dan aktivitas. 3) Asal usul keturunan, dan 4) Gengsi pekerjaan. Terkait dengan status sosial inipun, anak jalanan beserta keluarganya cenderung berada pada status yang tidak jelas pula. Peneliti menduga, di samping struktur sosial
peubah lain yang turut
berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan adalah adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahaan sosial merupakan perubahan pada segi struktur sosial dan hubungan sosial (Iskandar, 1995). Perubahan sosial diartikan sebagai suatu proses yang berlangsung dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial (Rogers, 1969). Diartikan pula sebagai segala yang berlaku dalam suatu jangka waktu, pada peranan institusi atau hal lainnya yang meliputi struktur sosial, termasuk kemunculan dan kemusnahannya. Perubahan sosial juga berarti perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas (Sajogyo, 1985). Penjelasan di atas memperlihatkan perubahan sosial adalah suatu kondisi yang bisa terjadi di semua lini, sebagai akibat adanya pergeseran/perubahan dalam
129 masyarakat, dengan norma, sistem nilai (value system), kebiasaan (adat istiadat), pola interaksi, pola komunikasi, struktur dan hal-hal lain yang ada di dalamnya, yang turut berubah seiring dengan perubahan yang terjadi. Peubah lain yang juga berpengaruh adalah tidak adanya perhargaan sosial (social rewards) atau tidak adanya pengakuan sosial (social recognition) yang mengakui eksistensi, harkat dan martabat anak jalanan sebagai manusia, baik dari pihak keluarga maupun lingkungan, karena walaupun mereka sering dinilai negatif tetap ada sisi-sisi positif. Hal ini terkait dengan pernyataan Skinner (Zimbardo dan Maslach, 1977) yang secara tegas menunjuk penghargaan sosial (social rewards) sebagai faktor yang dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku. Termasuk perilaku anak jalanan salah satunya diduga dibentuk oleh perlakuan yang ditunjukkan dalam bentuk penghargaan dan pengakuan keluarga serta lingkungan yang diterima oleh anak jalanan. Pada prinsipnya kehadiran anak jalanan dengan ciri-ciri serta perilakunya terkait dan tidak terlepas dari sistem yang ada di sekitarnya, serta berhubungan saling pengaruh mempengaruhi, baik dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Masing-masing sub sistem menjalani dan mengalami perubahan-perubahan serta menanggapi perubahan yang ada di dalam sistem atau di luar sistem, dalam derajat yang minimal. Sekaligus masing-masing melakukan upaya penyesuaian dari ketegangan, disfungsi serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Daya yang dapat mengintegrasikan sub sistem tersebut adalah
konsensus dari semua anggota masyarakat, untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada. Termasuk mengatasi permasalahan sosial anak jalanan secara bersamasama, sehingga tercapai stabilitas sosial di dalam masyarakat. Hal di atas sekaligus membuktikan Teori Fungsional dari Parsons (Johnson, 1988; Ritzer dan Godman, 2004) dengan skema A G I L nya, yaitu : (A) adaptation (G) goal attainment (I) integration (L) latency. Di dalamnya sekaligus terjadi upaya-upaya pemeliharan terhadap pola yang terbentuk guna menstabilisir keadaan.
130 Penelitian ini membuktikan teori konflik (Dahrendorf, 1959) terjadi pula dalam kehidupan anak jalanan dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal ini terkait dengan perubahan sosial yang terjadi akibat faktor-faktor yang ada di dalam sistem (intra systemic change). Anak jalanan dan lingkungan di sekitarnya senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. Manakala hal-hal dalam keluarga anak jalanan mengalami perubahan, maka akan terjadi perubahan pula dalam diri anak jalanan serta dalam lingkungannya. Begitupun sebaliknya, manakala anak jalanan mengalami perubahan maka keluarga akan berubah demikian pula lingkungan. Dalam hal ini manakala terjadi perubahan dalam keluarga, misalnya ayah terkena Pemutusan Hubungan Kerja, ibu terpaksa keluar rumah untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Manakala hasil yang diperoleh ibu tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarga dan ayah belum memperoleh pekerjaan pengganti, maka anak menjadi aset untuk dapat menopang ekonomi keluarga dengan turun ke jalanan. Manakala anak sudah terlalu sering berada di jalanan dan nilai jalanan sudah terinternalisasi dalam diri anak jalanan, maka hubungan anak dengan orang tua menjadi kurang/tidak intensif. Semakin terinternalisasinya nilai jalanan dalam diri anak jalanan, lingkungan di sekitar anak jalanan relatif semakin menganggap kehadiran anak jalanan sebagai troublemaker dan memberi “stigma” atas keberadaannya di jalanan. Saat mengalami perubahan terkandung pula konflik-konflik di dalamnya, yang disumbang oleh sub-sub sistem sebagai unsur yang ada dalam masyarakat. Setiap sub sistem (anak jalanan, keluarga, lingkungan) menyumbang bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Di sisi lain masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain, yang terjadi pula dengan kehidupan anak jalanan. Di mana terdapat penguasaan atau dominasi anak jalanan terhadap anak jalanan lain atau anak jalanan oleh orang dewasa jalanan atau oleh orang tuanya. Akibat lebih lanjut dari adanya dominasi atau penguasaan terhadap anak jalanan muncul masalah-masalah sosial, yang merupakan kondisi obyektif yang
131 dipandang oleh beberapa anggota masyarakat dari suatu sudut sebagai suatu masalah yang tidak diinginkan (Vembriarto, 1981). Masalah sosial ini dapat berkembang menjadi patologi sosial yang merupakan penyakit-penyakit masyarakat atau keadaan abnormal pada suatu masyarakat (Vembriarto, 1981 dan Asyari, 2000), karena adanya kontak sosial. Patologi sosial anak jalanan ini terlihat dari ciri dan perilaku anak jalanan yang menyimpang dari norma yang berlaku umum. Baik buruknya perilaku seorang anak cenderung merupakan cerminan dari perilaku orang tuanya (orang terdekatnya), karena anak cenderung meniru/ meneladani
apa
yang
dilihat,
dirasa
dan
dialami
pada
masa-masa
perkembangannya terutama dari lingkungan terdekatnya, dalam hal ini orang tua dalam keluarga. Akibatnya manakala terjadi hal-hal yang kurang pantas pada diri anak baik dalam bersikap, berperilaku dan berbahasa, orang tua/orang terdekatlah yang pertama kali dipermalukan. Bagi anak tidak ada pemberian yang lebih baik dari orang tua, kecuali pendidikan yang baik dalam menanamkan budi pekerti yang luhur, juga bimbingan untuk belajar mengucapkan kata-kata yang baik dan diajarkan cara untuk menghormati orang lain serta menghormati dirinya sendiri. Faktor terpenting sebagai upaya menanamkan tata krama dan membentuk perilaku yang baik pada anak adalah dengan memberi contoh langsung melalui keteladanan dari sikap orang tua sehari-hari. Melalui keteladanan anak melihat bagaimana sikap dan perilaku orang tua ketika bergaul dengan orang yang lebih tua, lebih muda dan sebayanya serta bagaimana caranya bersikap, bertutur kata/ berbahasa, makan, duduk, dan berpakaian sehingga anak akan cenderung bersikap seperti itu pula. Hasil penelitian ini juga memperkuat sesuatu yang dikemukakan oleh Linton (1984) bahwa pembinaan budaya tidak sama bentuknya pada setiap suku bangsa bahkan keluarga, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan pendukungnya, antara lain : latar belakang pendidikan, mata pencaharian, keadaan ekonomi, dan adat istiadat. Selain hal-hal yang dikemukakan oleh Linton Wallace (1996) mengemukakan bahwa pengalaman yang diterima pada masa kanak-kanak
132 dipengaruhi oleh susunan atau tata lingkungan di mana ia dibesarkan, sedangkan susunan tata lingkungan dipengaruhi oleh masyarakat. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa ada saling pengaruh mempengaruhi antara individu terhadap keluarga dan lingkungan, lingkungan terhadap keluarga dan individu, keluarga terhadap individu dan lingkungan. Antara masa lalu dan masa kini, serta masa kini dan masa yang akan datang, serta apa yang dilakukan/diberikan dengan apa yang pernah diterima seseorang. Demikian pula kemampuan orang tua dalam menjalankan fungsinya dengan baik sehingga keseimbangan (equilibrium) dapat dicapai dan terhindar dari terjadinya difungsional yang dapat mengakibatkan broken home dan kondisi homeless dipengaruhi oleh pengalaman orang tua di masa lalu. Hasil penelitian lapangan sekaligus memperkuat teori yang dikemukakan oleh Popenoe (1989) tentang rumah dan lingkungan yang padat/penuh sesak, bahwa kondisi tersebut dapat memunculkan berbagai masalah yang berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang dan perilaku anak selanjutnya. Penjelasan Popenoe memperlihatkan bahwa perilaku yang diperlihatkan anak jalanan saat ini, adalah merupakan produk dari situasi kondisi keluarga dan lingkungan yang ada disekitarnya. Produk perilaku yang abnormal muncul salah satunya akibat kondisi fisik keluarga dan lingkungan yang tidak aman, tidak nyaman, padat penuh sesak dan menimbulkan perasaan kegagalan pada individu-individu yang berada di dalamnya, terutama pada anak-anak dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak selanjutnya (Popenoe, 1989), di samping akibat tidak adanya penerapan sanksi bagi para pelanggar peraturan, terhadap pelanggaran yang dilakukan baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Keluarga dan lingkungan berjalan dengan bebas nilai (value free), tanpa ada disiplin dan rasa tanggung jawab dari warganya, sehingga memunculkan permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan adalah hadirnya anak-anak jalanan, yang oleh sebagian orang dirasakan mengganggu keamanan, ketertiban dan keindahan kota. Kehadiran anak jalanan dianggap tidak patuh dengan ketentuan-ketentuan dan
133 aturan-aturan yang ada, dengan berada di tengah jalan, di kendaraan-kendaraan, di perempatan-perempatan dan di fasilitas umum lainnya. Hal di atas terkait dengan pernyataan Soekanto (1991), manusia sebagai pengguna jalan raya memerlukan disiplin dan kebebasan. Artinya manusia dapat menggunakan jalan raya dengan bebas, asal tidak mengganggu kebebasan orang lain sesama pengguna jalan raya. Ketertiban dan disiplin jalan raya terletak pada kepatuhan pengguna jalan raya untuk tidak menimbulkan gangguan terhadap orang lain, sedangkan kehadiran anak di jalanan dengan berbagai aktivitasnya, seringkali dirasakan menganggu sebagian orang. Anak jalanan dengan berbagai aktivitasnya di jalanan merupakan produk dari tidak jelasnya penerapan sanksi hukum bagi mereka yang dinilai melanggar ketertiban, keamanan dan kenyamanan. Hal ini disebabkan belum adanya undangundang atau peraturan pemerintah yang memberikan sanksi hukum yang jelas bagi mereka yang mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan di jalanan atau di fasilitas umum lainnya. Akibatnya situasi dan kondisi anak untuk turun ke jalan menjadi salah satu solusi serta kebiasaan, yang semakin melembaga bagi anak yang terdesak dan merasa tidak nyaman berada dalam lingkungan keluarganya, karena berdomisili di daerah slum yang padat/penuh sesak dengan situasi dan kondisi yang berada di bawah standar. Hasil penelitian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan membuktikan teori fungsional struktural (Berghe dalam Demerath, 1967) terjadi pula dalam hidup dan kehidupan anak jalanan. Anak jalanan sebagai sub sistem yang langsung maupun tidak, dipengaruhi dan mempengaruhi sub sistem lain yang ada dalam sistem sosialnya. Sistem ini secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium yang bersifat dinamis, yang antar bagian sistem terjadi hubungan pengaruh mempengaruhi yang bersifat bolak-balik (reciprocal) satu sama lain.
134
Strategi Pengentasan Anak Jalanan Gambar 9 memperlihatkan peubah latar belakang keluarga memiliki pengaruh yang nyata lebih besar terhadap perilaku anak jalanan, dibandingkan peubah lainnya. Hal ini memperlihatkan buruknya perilaku anak jalanan disebabkan terutama oleh buruknya latar belakang keluarga. Di samping buruknya perilaku anak jalanan juga disebabkan oleh buruknya latar belakang lingkungan, serta adanya pengaruh ciri-ciri anak jalanan terhadap perilaku yang ditampilkan oleh anak. Strategi pengentasan anak jalanan disusun berdasarkan komponenkomponen sub peubah dari peubah profil anak jalanan yang secara nyata berpengaruh dan berhubungan terhadap munculnya perilaku tertentu pada diri anak jalanan, tersaji pada Gambar 9. Diharapkan dengan memperhatikan sub peubah yang berpengaruh dan berhubungan terhadap munculnya perilakuperilaku tertentu pada anak jalanan, dapat dilakukan dan terjadi perubahan perilaku pada diri anak jalanan karena kesadarannya sendiri. Perubahan perilaku yang terjadi diharapkan dapat mengantarkan anak jalanan pada pola perilaku baru yang dapat mendorongnya keluar dari jalanan karena malu dengan pola perilakunya yang lama. Hasil uji SEM pada Gambar 9 memperlihatkan beberapa sub peubah dari peubah eksogen dan endogen memiliki nilai C.R (critical ratio) yang menunjukkan adanya pengaruh dan hubungan terhadap munculnya perilakuperilaku tertentu pada diri anak jalanan. Hasil pengujian model pada Gambar 9 menunjukkan bahwa model tersebut nyata pada α = 0,05, dengan tingkat nyata chi-square model menunjukkan angka 762, 98<1418,57 ini berarti data secara empiris sesuai dengan model. Data secara nyata tidak berbeda dengan model dan teori-teori yang mendasarinya (Cochran dalam Ghozali dan Fuad, 2005).
135 Gambar 9. Hasil Uji Structural Equation Model dari Profil Anak Jalanan
136 Gambar 9 memperlihatkan nilai indeks RMSEA (root mean square error of approximation) sebesar 0,060<0,08 mengindikasikan adanya model yang fit. Nilai indeks GFI (goodness of fit index) sebesar 0,82 dan AGFI (adjusted goodness of fit index) sebesar 0,79 keduanya mendekati 0,9 yang menunjukkan bahwa model cukup fit (Diamantopaulus dan Siguaw dalam Ghozali dan Fuad, 2005). Nilai Indeks PGFI (parsimony goodness of fit index) sebesar 0.70 menunjukkan bahwa model fit. Menurut Byrne (Ghozali dan Fuad, 2005) model yang baik apabila memiliki nilai PGFI lebih besar dari 0,6. Analisis descriptive statistic ini menunjukkan bahwa data layak digunakan dan dinyatakan masuk akal (plausible) atau fit termasuk model diterima dan tidak perlu dilakukan modifikasi, dengan Standardized RMR (Root Mean Square Residual) sebesar 0.083. Gambar
9
memperlihatkan
nilai
C.R
(Critical
Ratio)
peubah
independence (eksogen) latar belakang keluarga berpengaruh nyata terhadap perilaku anak jalanan baik langsung maupun tidak langsung melalui peubah antara (bisa menjadi eksogen atau endogen) ciri fisik anak jalanan (-0.13), ciri psikologik anak jalanan (-0,30) dan ciri sosiologik anak jalanan (-0,52), serta pada peubah terikat (endogen) perilaku anak jalanan (-0,03), dengan nilai indek lebih kecil daripada -1.96 pada taraf nyata α 0.05. Angka pada Gambar 9 memperlihatkan nilai pengaruh latar belakang keluarga cenderung lebih besar melalui ciri sosiologik anak jalanan, kemudian melalui ciri psikologik, selanjutnya melalui ciri fisik anak jalanan. Dibandingkan dengan yang berpengaruh langsung terhadap perilaku anak jalanan. Hasil uji dengan menggunakan Stuctural Equation Model ini, sekaligus memperkuat hasil pengujian dengan menggunakan Path Analysis pada hipotesis kedua. Nilai C.R peubah latar belakang lingkungan kurang tampak nyata terhadap perilaku anak jalanan, baik langsung maupun tidak langsung melalui peubah ciri fisik anak jalanan (0.10), ciri psikologik anak jalanan (0,13) dan ciri sosiologik anak jalanan (0,15), serta pada peubah terikat (endogen) perilaku anak jalanan (0,01). Meski kurang nyata, pengaruh latar belakang lingkungan tetap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan dan strategi.
137 Demikian pula dengan ciri anak jalanan, meski pengaruhnya kurang nyata terhadap perilaku anak jalanan, namun dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menyusun strategi, mengingat standardized model yang cukup masuk akal (plausible) atau fit berdasarkan teori dan data empiris yang diperoleh. Gambar 9 memperlihatkan peubah latar belakang keluarga menunjukkan pengaruh yang nyata lebih besar terhadap perilaku anak jalanan, dibandingkan aspek lainnya. Hal ini memperlihatkan buruknya perilaku anak jalanan disebabkan terutama oleh buruknya latar belakang keluarga. Di samping buruknya perilaku anak jalanan juga disebabkan oleh buruknya latar belakang lingkungan, serta adanya pengaruh ciri-ciri anak jalanan terhadap perilaku yang ditampilkan oleh anak. Nilai C.R. sub-sub peubah yang berpengaruh dan berhubungan terhadap munculnya perilaku anak jalanan tersaji pada Tabel 29, yang telah disusun berdasarkan besarnya tingkat pengaruh. Tabel 29. Hasil Uji SEM Nilai Pengaruh dan Hubungan Sub Peubah Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkangan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, dan Ciri Sosiologik Terhadap Perilaku Anak Jalanan Peubah
Sub Peubah
Nilai C.R
Latar Belakang keluarga X1
Kondisi fisik keluarga (X1.1) Perlakuan terhadap anak (X1.2) Pelaksanaan fungsi keluarga (X1.4) Pendidikan non formal yang diberikan lingkungan (X2.1) Kondisi fisik lingkungan (X2.2) Penerapan sanksi (X2.3) Penampilan fisik (X3.3) Jenis kelamin (X3.1) Umur (X3.5) Pakaian (X3.2) Penyakit yang diderita (X3.4) Mobilitas mental (X4.2) Tingkat kreativitas (X4.7) Pengalaman anak jalanan (X4.4) Asal daerah (X5.2) Mobilitas fisik (X5.7) Perilaku normal (Y1.1) Perilaku abnormal (Y1.2)
-0,28 -0,30 1,00 -0,05
Latar Belakang Lingkungan X2
Ciri Fisik X3
Ciri Psikologik X4 Ciri Sosiologik X5 Perilaku Anak Jalanan Y1 Keterangan : C. R = Critical Ratio.
-0,17 1,00 -0,20 -0,29 -0,33 -0,45 1,00 -0,04 -0,35 1,00 -0,50 1,00 1,00 -0,81
138 Tabel 29 memperlihatkan latar belakang keluarga dipengaruhi oleh sub peubah Kondisi fisik keluarga (X1.1), Perlakuan terhadap anak (X1.2) dan Pelaksanaan fungsi keluarga (X1.4). Kondisi fisik keluarga (X1.1) mengindikasikan bahwa semakin buruk sanitasi dan ventilasi rumah, serta semakin sempit tanpa adanya sarana, prasarana serta fasilitas yang memadai bagi anak untuk dapat bermain dan mengekpresikan diri, di rumah dari mana anak jalanan berasal semakin menonjol perilaku abnormal yang ditampilkan oleh anak jalanan. Perlakuan terhadap anak (X1.2) mengindikasikan bahwa semakin besar keinginan anak untuk membantu keluarga dan semakin besar eksploitasi keluarga terhadap anak untuk membantu perekonomian keluarga dengan adanya hukumanhukuman yang diperoleh anak bila mereka menolak eksploitasi, semakin menonjol perilaku yang ditampilkan oleh anak jalanan seperti perilaku liar, bebas dan susah diatur. Pelaksanaan fungsi keluarga (X1.4) secara timbal balik mengindikasikan semakin buruk dan tidak seimbang pelaksanaan fungsi keluarga oleh orang tua anak jalanan semakin nampak nyata perilaku abnormal anak jalanan, begitupun sebaliknya. Di sisi lain semakin abnormal perilaku anak jalanan, semakin buruk dan tidak seimbang pelaksanaan fungsi keluarga oleh orang tua. Hal ini disebabkan antara ayah dan ibu menjadi saling menyalahkan, dan saling mencari pembenaran atas hal-hal yang dilakukan, sehingga tidak ada keseimbangan dalam pelaksanakan fungsi keluarga, baik fungsi ekonomi, fungsi perlindungan atau pengawasan dan fungsi pendidikan. Hal ini berhubungan dengan perilaku anak di satu sisi, dan di sisi lain perilaku anak jalanan berpengaruh terhadap cara orang tua dalam melaksanakan fungsi keluarganya. Seyogyanya dengan adanya keseimbangan dan meningkatnya pelaksanaan fungsi keluarga oleh orang tua, dapat ditekan perilaku abnormal dan lebih memunculkan perilaku normal yang positif pada anak jalanan. Latar belakang lingkungan dipengaruhi oleh sub peubah Pendidikan non formal yang diberikan lingkungan (X2.1), Kondisi fisik lingkungan (X2.2), Penerapan sanksi (X2.3).
139 Pendidikan non formal yang diberikan lingkungan (X2.1) mengindikasikan semakin jarang anak jalanan menerima/melakukan kegiatan belajar di lingkungan/ masyarakatnya (yang merupakan pendidikan non formal, yang bisa dilakukan atau diberikan dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan) semakin nampak nyata perilaku yang ditampilkan anak jalanan. Hal ini memperlihatkan bahwa pengaruh lingkungan terhadap perilaku anak jalanan, sangat efektif bila dilakukan melalui pendekatan pendidikan non formal (penyuluhan) yang berkesinambungan, serta dilakukan oleh para penyuluh/pendamping di lapangan guna mengubah/ menghilangkan perilaku yang abnormal dan meningkatkan perilaku normal dari anak jalanan.
Di sinilah peran penyuluh dengan penyuluhan yang dilakukan
sebagai pendidikan non formal menjadi sangat penting untuk dapat mengubah perilaku anak jalanan.
Kegiatan/proses penyuluhan dilakukan dengan upaya
pemberian penghargaan dan hukuman yang bisa menjadi penguat bagi tingkah laku anak jalanan. Kondisi fisik lingkungan (X2.2) mengindikasikan semakin kumuh/padat/ sesak daerah asal anak, di samping semakin banyak polusi suara, udara, air dan tindak kekerasan di lingkungan sekitar anak jalanan semakin menonjol perilaku yang ditampilkan anak jalanan. Hal ini memiliki makna bahwa strategi untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memperbaiki/ memanfaatkan lingkungan di sekitar anak jalanan berasal. Penerapan sanksi (X2.3) secara timbal balik mengindikasikan bahwa semakin longgar atau tidak adanya sanksi dalam masyarakat semakin menonjol perilaku anak jalanan. Kondisi ini disebabkan tanpa adanya penerapan sanksi, anak jalanan menjadi leluasa untuk melakukan hal-hal yang diinginkan dan mengekpresikan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada aturan yang membatasi. Hal ini memiliki makna bahwa strategi untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan lingkungan di sekitar anak jalanan. Di antaranya dengan cara memberikan sanksi bagi anak-anak yang berada di jalanan untuk tidak membentuk sub kultur tersendiri yang berbeda dari yang ada di sekitarnya. Di samping adanya penerapan sanksi hukum bagi anak-anak yang berada di jalanan agar tidak menggangu dan menimbulkan
140 ketidakamanan, ketidaknyamanan dan ketidaktertiban. Dalam hal ini penerapan sanksi penting dilakukan agar perilaku anak jalanan terkendali dan patuh terhadap aturan yang berlaku umum, di sisi lain terkendalinya perilaku anak jalanan akan berdampak pada
kurangnya hukuman yang diperoleh anak jalanan akibat
pelanggaran yang dilakukan. Ciri fisik anak jalanan dipengaruhi oleh sub peubah Penampilan fisik (X3.3), Jenis kelamin (X3.1), Umur (X3.5), Pakaian (X3.2) dan berhubungan dengan Kondisi kesehatan atau Penyakit yang diderita (X3.4) oleh anak jalanan. Hal ini memiliki makna untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan/memperbaiki ciri fisik anak jalanan, terkait dengan penampilan fisik untuk berpenampilan yang pantas dipandang mata dengan pembiasaan menjaga penampilan dengan mencuci pakaian dan mandi dua kali sehari pada masing-masing jenis kelamin di semua kelompok umur anak jalanan. Di samping memperhatikan kondisi kesehatan anak jalanan yang berpengaruh terhadap ciri fisik yang ditampilkan, di satu sisi, dan di sisi lain tampilan ciri fisik merupakan pengaruh dari kondisi kesehatan yang dimiliki anak jalanan. Ciri psikologik dipengaruhi oleh sub peubah Mobilitas mental (X4.2), Tingkat Kreativitas (X4.7) dan Pengalaman anak jalanan (X4.4). Mobilitas mental (X4.2) mengindikasikan untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan/memperbaiki ciri psikologik anak jalanan. Khususnya sub peubah mobilitas mental, agar anak tidak terlalu sering mengalami mobilitas mental dan lebih stabil emosinya sehinggga berdampak pada seimbang dan stabilnya kondisi kejiwaan anak. Diharapkan dengan kondisi jiwa yang stabil, perilaku yang ditampilkan stabil dan tidak emosional. Tingkat kreativitas (X4.7) mengindikasikan semakin banyak kegiatan yang dapat menggali dan mengembangkan daya kreativitas anak jalanan, semakin potitif ciri psikologik anak jalanan yang akan berdampak pada positifnya perilaku anak jalanan, begitupun sebaliknya. Pengalaman anak jalanan. (X4.4) secara timbal balik mengindikasikan semakin lama anak tinggal di jalan dengan pengalaman yang negatif akan berpengaruh terhadap ciri psikologik, dan selanjutnya berpengaruh pada perilaku
141 yang ditampilkan. Dalam hal ini pengalaman terkait dengan lamanya anak tinggal di jalan berpengaruh pada ciri psikologik anak dan selanjutnya pada perilaku anak. Di sisi lain secara timbal balik perilaku anak dapat dilihat dari pengalaman lamanya anak tinggal di jalan. Semakin lama anak tinggal di jalanan dengan pengalaman-pengalaman yang negatif, semakin abnormal perilaku yang di tampilkannya. Di samping semakin terinternalisasinya nilai-nilai dan kehidupan jalanan dalam diri anak, sehingga upaya untuk mengentaskannya relatif menjadi lebih sulit. Ciri sosiologik anak jalanan dipengaruhi oleh sub peubah Asal daerah (X5.2) dan Mobilita fisik (X5.7). Asal daerah (X5.2) mengindikasikan upaya untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan terkait dengan asal daerah anak jalanan. Baik dalam hal bahasa, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan. Diharapkan dengan pendekatan menggunakan atribut sesuai dengan daerah asal anak jalanan, seperti bahasa dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di daerah anak jalanan, agent of change lebih dapat diterima oleh anak jalanan, di samping penyesuaian anak jalanan terhadap kegiatan serta program/treatment menjadi lebih mudah. Mobilitas fisik (X5.7) secara timbal balik mengindikasikan semakin sering anak jalanan melakukan mobilitas fisik semakin nyata perilaku-perilaku yang di tampilkanya. Hal ini disebabkan, dengan semakin seringnya anak melakukan mobilitas fisik, semakin sering pula anak berinteraksi dengan lingkungan dan orang yang berbeda. Ini berarti semakin besar pula pengaruh lingkungan terhadap diri dan perilakunya. Perilaku normal (Y1.1) anak jalanan berhubungan nyata secara timbal balik dengan sub-sub peubah dari peubah seperti dikemukakan di atas. Hal ini mengindikasikan perilaku normal dipengaruhi dan di sisi lain mempengaruhi peubah dengan sub-sub peubah di atas. Perilaku abnormal (Y1.2) dipengaruhi oleh peubah dengan sub-sub peubah di atas. Baik peubah latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan maupun ciri-ciri anak jalanan.
142 Diharapkan dengan memperhatikan pengaruh dan hubungan sub peubah dari tiap peubah, perubahan yang terjadi lebih bersifat komprehensif, mendasar dan menetap. Hal ini bermakna, upaya mengentaskan anak dari jalanan dengan cara mengubah perilakunya, dapat dilaksanakan melalui pendekatan keluarga, pendekatan lingkungan serta dengan memperhatikan ciri-ciri yang dimiliki oleh anak jalanan. Berdasarkan hasil analisis SEM seperti terlihat pada Gambar 9, dibahas pengaruh indikator dari sub peubah pelaksanaan fungsi keluarga. Meliputi pelaksanaan fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi/pendidikan dan fungsi pengawasan tersaji pada Gambar 10. Gambar 10 memperlihatkan bahwa Pelaksanaan fungsi keluarga dalam kaitannya dengan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anak jalanan, secara nyata dan berurutan dipengaruhi oleh Pelaksanaan fungsi perlindungan/ pengawasan keluarga (X1.4.4), Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga (X1.4.2) dan Pelaksanaan fungsi sosialisasi keluarga (X1.4.3). Pelaksanaan fungsi reproduksi keluarga X141 0.50 Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga X142
-0.77 -0.88
Pelaksanaan fungsi sosialisasi keluarga X143
Pelaksanaan fungsi i keluarga X14
-0.55
Pelaksanaan fungsi pengawasan keluarga X144
Gambar 10. Hasil Uji SEM Pengaruh Indikator Sub Peubah Pelaksanaan Fungsi Keluarga
143 Pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan (X1.4.4) dengan nilai C.R sebesar -0.55 lebih kecil dari -1.96, yang menunjukkan adanya pengaruh pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi keluarga. Fungsi pengawasan/perlindungan diberikan keluarga tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan moral. Pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan ini ditujukan untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang timbul, baik dari dalam maupun dari luar keluarga. Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga dengan nilai C.R sebesar -0.77. Fungsi ekonomi ini dilihat selain dari kemampuan materi juga dari kemampuan keluarga untuk mengatur keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran. Pelaksanaan fungsi sosialisasi keluarga dengan nilai C.R sebesar -0.88, yang merupakan proses penanaman nilai, norma dan pengetahuan mengenai kelompok atau masyarakat dari orang tua pada anak-anaknya. Di samping belajar mengenai peran sosial yang cocok dengan kedudukannya. Fungsi reproduksi tidak berpengaruh nyata terhadap pelaksanaan fungsi keluarga dalam kaitannya dengan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anak jalanan. Hal ini memiliki makna berfungsi atau tidak berfungsi, fungsi reproduksi orang tua dalam keluarga tidak memberi pengaruh yang nyata bagi muncul dan berkembangnya perilaku-perilaku tertentu pada diri anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM tentang pengaruh indikator sub peubah pelaksanaan fungsi keluarga terhadap munculnya perilaku-perilaku anak jalanan, maka untuk menyeimbangkan dan mengharmonisasi pelaksanaan fungsi keluarga dapat dilakukan dengan prioritas utama mengubah/memperbaiki pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan orang tua terhadap anak, kedua mengubah/ memperbaiki fungsi ekonomi keluarga dan ketiga mengubah/memperbaiki fungsi sosialisasi atau fungsi pendidikan. Berdasarkan hasil analisis SEM seperti terlihat pada Gambar 9 tentang pengaruh serta hubungan masing-masing sub peubah terhadap peubah eksogen dan endogen, disusun “Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan.” Sekaligus “Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan” secara terurut memuat tahapan-
144 tahapan berdasarkan skala prioritas perubahan yang dapat dilakukan, disajikan pada Gambar 11. “Strategi TRIDAYA Pengentasan anak Jalanan” seperti disajikan pada Gambar 11 memperlihatkan bahwa upaya pengentasan anak jalanan dilaksanakan dengan melakukan Pemberdyaan Manusia baik manusia anak jalanan, keluarga anak jalanan dan pendamping anak jalanan, Pemberdayaan Lingkungan dan Pemberdayaan Kegiatan. Pemberdayaan manusia anak jalanan dilakukan dengan cara mengubah ciri fisik, ciri psikologik maupun ciri sosiologik dari anak jalanan terkait dengan beberapa sub peubah yang berpengaruh nyata. Di antaranya dengan mengubah ciri fisik terkait dengan sub peubah penampilan fisik, cara berpakaian, dan kesehatan dengan memperhatikan jenis kelamin serta umur anak jalanan. Ciri psikologik dengan mengubah pengaruh mobilitas mental, tingkat kreativitas dan pengalaman menjadi anak jalanan. Ciri sosiologik dengan mengubah pengaruh asal daerah dan mobilitas fisik anak jalanan. Pemberdayaan keluarga anak jalanan dilakukan dengan mengubah kondisi fisik keluarga, perlakuan keluarga terhadap anak serta pelaksanaan fungsi keluarga. Bina pendamping anak jalanan dilakukan dengan upaya mengubah perilaku melalui pemberian pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan tugas dan peranan sesuai dengan tanggung jawabnya serta dilakukan sertifikasi bagi para penyuluh sosial/pekerja sosial/pendamping sosial yang menangani permasalahan sosial anak jalanan. Pemberdayaan lingkungan dilakukan dengan mengubah/memperbaiki/ meningkatkan pendidikan non formal yang diberikan oleh lingkungan, mengubah/ memperbaiki kondisi fisik lingkungan dan upaya penerapan sanksi yang nyata, jelas, tegas dan konsisten.
145 Gambar 11. Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan
146 Kegiatan Pemberdayaan Manusia dan Pemberdayaan Lingkungan dilakukan melalui Pemberdayaan Kegiatan. Pemberdayaan Kegiatan dilakukan dengan cara penyuluhan/pendidikan non formal dan sosialisai ‘Strategi TRIDAYA“
serta
konsolidasi
dengan
pihak-pihak
terkait.
Kegiatan
diselenggarakan secara bersama dan berkesinambungan antara Pemerintah, Swasta, LSM dan Masyarakat di bawah koordinasi Departemen Sosial. Tujuan dari ketiga bina di atas adalah terjadinya perubahan perilaku anak jalanan dari abnormal menjadi normal, serta dari perilaku normal semakin meningkat. Diharapkan dengan terjadinya perubahan perilaku, anak jalanan dapat menyadari bahwa jalanan bukan satu-satunya solusi untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Dampak lebih lanjut diharapkan dengan adanya perubahan perilaku muncul kesadaran dari anak jalanan untuk dapat keluar dari kehidupannya di jalanan dan mencari kehidupan yang lebih layak dengan ciri diri yang berubah. Upaya menyusun strategi pengetasan anak jalanan penting dilakukan guna menjawab hal-hal yang selama ini belum dapat diatasi oleh Pemerintah terutama melalui Departemen Sosial. Tersedianya strategi pengentasan anak jalanan yang efektif dan efisien, diharapkan dapat menjadi langkah perbaikan/perubahan situasi dan kondisi anak jalanan. Hal ini penting menjadi sasaran target perubahan, karena terbukti program-program pengentasan anak jalanan yang selama ini dilakukan kurang dapat mengubah situasi dan kondisi kehidupan anak jalanan. Hal di atas penting dilakukan mengingat situasi dan kondisi kehidupan anak jalanan bila tidak diubah, dapat meluas dan menarik anak rumahan yang rentan menjadi anak jalanan untuk turun ke jalanan. Anak yang rentan menjadi anak jalanan ini, lambat laun menyerap nilai jalanan sehingga terinternalisasi dan kemudian menjadi anak jalanan baru dengan nilai jalanan yang melembaga dalam diri. Di sisi lain, bila permasalahan anak jalanan tidak diatasi dapat memancing muncul dan berkembangnya permasalahan sosial lain yang lebih serius dan komplek, seperti terjadinya eksploitasi tenaga, eksploitasi seks, paedofilia, penyalahgunaan obat dan zat adiktif lainnya, child trafficing dan lain-lain.
147 Berdasarkan hasil pengamatan serta beberapa hasil penelitian, kurang berhasilnya upaya mengatasi permasalahan anak jalanan dan keluarganya yang selama ini telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain, disebabkan program/upaya yang dilaksanakan terlalu bersifat “Top down” masih kental warna pemerintah, serta “project oriented” mengejar pemenuhan berdasarkan pada target proyek dan “economic oriented”
di mana
kegiatan/program terselenggara bila ada dana bantuan dari pemerintah, sedang manakala dana bantuan dihentikan, program/kegiatan cenderung terhenti. Belum merupakan upaya pemberdayaan yang bersifat “bottom up” atau “hybrid”, “subject oriented” dan “social oriented.” Namun demikian di tiga wilayah penelitian telah dilaksanakan upaya pengentasan anak jalanan meski warna situasi dan kondisi di atas masih tetap kental, yang melibatkan baik Pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Akan tetapi peran serta swasta dan masyarakat secara individu relatif masih kecil. Di sisi lain masih ada upaya “penyeragaman” program, serta belum adanya upaya menerima “keberagaman” program yang memberikan keleluasaan pada pihak daerah untuk dapat mengembangkan program sesuai dengan kemampuan, situasi, kondisi dan lingkungan strategis yang ada di wilayahnya. Selain itu program kegiatan belum dilakukan secara komprehensif masih pada tahap penanganan masalah pada satu segmen/bagian-bagian tertentu dengan disiplin ilmu yang banyak terlibat adalah disiplin Ilmu Pekerjaan Sosial dan tidak berkesinambungan. Seyogyanya penanganan permasalahan sosial (termasuk permasalahan sosial anak jalanan) dapat melibatkan berbagai disiplin ilmu. Hal ini senaga dengan yang dikemukakan oleh (Compton dan Galaway, 1979) bahwa tidak mungkin penanganan permasalahan sosial ditangani oleh disiplin Ilmu Pekerjaan Sosial saja, tetapi harus melibatkan ilmu-ilmu lainnya. Termasuk Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang merupakan disiplin ilmu yang dibutuhkan hampir di semua bidang pelayanan yang mempunyai sasaran masyarakat. Ilmu Penyuluhan Pembangunan terutama diperlukan dalam proses mengubah perilaku, khususnya pada proses penyadaran individu, kelompok atau
148 masyarakat akan masalah, potensi, kekuatan dan sumber-sumber yang dimiliki (Rogers, 1983). Penyadaran disini bukanlah proses penyadaran yang terjadi pada tahap awal tetapi proses penyadaran yang berlangsung selama penanganan masalah dilakukan, baik pada tahap awal, tahap pelaksanaan hingga tahap akhir. Semua tahapan membutuhkan proses penyadaran hingga tumbuh sikap dan perilaku untuk mau bertindak dan berbuat. Demikian pula yang dilakukan dengan upaya pengentasan anak jalanan yang disusun dalam strategi-strategi tertentu berdasarkan hasil penelitian, tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu disiplin ilmu tertentu, serta hanya oleh Departemen Sosial. Perlu ada kerjasama antar berbagai disiplin ilmu serta berbagai pihak terkait, baik Pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat di semua lini secara bersama-sama dan berkesinambungan. Diharapkan dengan mekanisme yang jelas serta metode yang tepat, tumbuh kesadaran dan kepedulian untuk mau bertindak dan berbuat dari pihak-pihak yang berkompeten juga dari penyandang permasalahan itu sendiri guna mengatasi permasalahan dan menolong dirinya sendiri (self help) secara nyata. Kesadaran dan kepedulian untuk mau bertindak dan berbuat yang dibangun berdasarkan hasil penelitian, salah satunya dengan menggunakan uji SEM yang memperlihatkan kondisi fisik keluarga anak jalanan dan kondisi fisik lingkungan anak jalanan ternyata berpengaruh nyata pada perilakunya, sekaligus hal ini memperkuat pernyataan Popenoe (1989) tentang pengaruh negatif keluarga dan lingkungan yang padat/penuh sesak/berada di daerah “slum”, pada muncul dan berkembangnya perilaku-perilaku negatif. Hasil penelitian terkait dengan strategi pengentasan anak jalanan yang dilakukan melalui uji SEM, sekaligus membuktikan bahwa kegagalan keluarga menjalankan fungsinya cenderung disebabkan yang pertama oleh tidak terlaksananya
dengan
baik
fungsi
pengawasan/perlindungan,
kemudian
disebabkan tidak terlaksananya dengan baik fungsi ekonomi dan selanjutnya tidak terlaksananya fungsi sosialisasi/pendidikan. Berdasarkan hasil uji lapangan ini dapat disimpulkan bahwa meski faktor kemiskinan dan ketidakmampuan keluarga menjadi penyebab utama turunnya
149 anak-anak ke jalanan (Tjahjorini, 2001 ; Sulistiati, 2001), namun “bukan sematamata kemiskinan dan ketidakmampuan keluarga” yang menyebabkan munculnya perilaku anak jalanan yang mendorongnya lebih senang berada di jalanan. Ada faktor lain yang utama yaitu tidak berfungsinya dengan baik fungsi pengawasan/ perlindungan keluarga. Orang tua cenderung membiarkan anak lepas bebas tanpa ada aturan yang dapat membatasi dan mengarahkan perilaku anak pada hal-hal yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Orang tua lebih menekankan pola asuhannya pada cara yang membebaskan anak tanpa ada aturan-aturan yang mengikat perilakunya (laisses faire). Pola asuhan dari orang tua anak jalanan seperti inilah yang dapat memicu anak turun ke jalanan, dan hidup bebas, lepas, liar dan masa bodoh dengan apa yang terjadi pada lingkungan. Sekaligus hal tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi anak yang rentan untuk turun ke jalan, karena adanya tekanan di mana anak dipaksa turun ke jalan baik dengan siksaan maupun tidak kemudian menyerahkan hasilnya pada orang tua, serta adanya rasa tidak senang berada dalam lingkungan keluarga dan mencari kebebasan serta kesenangan di jalanan. Pemerintah tidak dapat ditunjuk sebagai satu-satunya pihak yang dipersalahkan atas makin maraknya masalah anak jalanan, akibat gagalnya upaya pengentasan kemiskinan. Namun keluarga serta lingkunganpun turut andil terhadap semakin maraknya masalah anak jalanan, sehingga untuk mengatasinya diperlukan kerjasama berbagai pihak secara berkesinambungan, dengan mengembangkan “Strategi TRIDAYA” yang memberdayakan anak jalanan, keluarga, pendamping dan lingkungan secara komprehensif. Penerapan upaya pengentasan anak jalanan seperti tersaji pada Gambar 11 dapat dilaksanakan dengan memadukan “Strategi TRIDAYA” dengan ‘Strategi Model Holistik-Komprehensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak’ (Suharto, 1997) bahkan dipadukan dengan strategi lain. Diharapkan dengan menggunakan strategi yang refresentatif dan komprehensif, upaya pengentasan anak jalanan dapat lebih berhasil dan berdaya guna, yang dapat memunculkan perilaku normal dan menekan bahkan menghilangkan perilaku abnormal. Perubahan perilaku diharapkan lambat laun dapat terjadi dan melembaga dalam
150 diri anak, yang dapat mengantarkannya pada kehidupan normal sebagai anggota masyarakat serta dapat mengantarkan anak untuk keluar dari kehidupannya di jalanan karena kesadaran sendiri dan adanya rasa malu dengan perilaku lama. Penjabaran dari masing-maing “Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak jalanan“ pada Gambar 11, yang dapat dilaksanakan guna mengentaskan anak dari jalanan, tersaji pada Tabel 30. Di dalamnya memuat tentang kegiatan-kegiatan apa yang dapat dilakukan, pihak-pihak mana yang terlibat dalam kegiatan, alasan mengapa kegiatan tersebut dilakukan, di mana dilakukan, bagaimana kegiatan dapat dilakukan serta bagaimana metode yang dapat digunakan
Tabel 30. Penjabaran Tahapan “Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan” Tahap 1 A.1.Pemberdayaan Keluarga Anak Jalanan, dilakukan dengan : a.Mengubah kondisi fisik keluarga
b.Mengubah Perlakuan terhadap anak
Mengapa harus diubah 2 Berdasarkan hasil uji SEM latar belakang keluarga merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar baik langsung maupun tidak terhadap perubahan perilaku anak jalanan Berdasarkan hasil uji SEM kondisi fisik keluarga (-0,28) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar terhadap upaya mengubah latar belakang keluarga. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah latar belakang keluarga anak jalanan, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM Perlakuan terhadap anak (-0,30) merupakan faktor yang menyumbang pengaruh nyata terbesar kedua terhadap upaya mengubah latar belakang keluarga anak jalanan, sehingga menjadi prioritas kedua, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan
Bagaimana cara mengubahnya 3 Cara mengubah latar belakang keluarga anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu :
1) Melibatkan pihak pemerintah (Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah setempat) sebagai inisiator, LSM, swasta dan masyarakat untuk menata pemukimanpemukiman yang padat/kumuh dan penuh sesak menjadi tertata rapih dan bersih. 2) Dilakukan penyuluhan-penyuluhan oleh lembaga/instansi terkait secara kontinyu melalui media masa atau langsung terhadap keluarga-keluaraga anak jalanan, terkait dengan pentingnya lingkungan dan suasana rumah yang bersih dan sehat.
1) Upaya dilakukan baik oleh pemerintah (Departemen Sosial, Departemen Tanaga Kerja dan Pemerintah Daerah setempat), LSM, swasta dan masyarakat, untuk menyadarkan dan mengembalikan hak dan kewajiban masing-masing. Dengan dimilikinya kesadaran dari masingmasing pihak akan hak dan kewajibannya, manakala hal tersebut tidak diperoleh ia bisa menuntut atau melaporkan ke lembaga terkait agar pihak yang melalaikan kewajibannya bisa ditindak jelas, nyata dan tegas. Masing-masing pihak juga disadarkan akan kewajibannya sehingga dengan segala resiko dapat menjalankannya dengan penuh rasa tanggung jawab. 2) Dibentuk lembaga tempat pengaduan yang disyahkan oleh pemerintah sehingga secara hukum kuat dan manakala orang tua atau anak tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik, dapat diberikan tindakan hukum yang nyata, jelas dan tegas yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.
151
Tabel 30. (lanjutan) 1
2
c.Mengubah pelaksanaan fungsi keluarga
Berdasarkan hasil uji SEM pelaksanaan fungsi keluarga (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan latar belakang keluarga anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan.
3 3) Dilakukan penyuluhan-penyuluhan oleh lembaga terkait melalui media masa secara kontinyu, tentang pentingnya memberikan hak-hak pada anak pada masa perkembangannya dan tidak mengeksploitir anak. 1) Bersama pemerintah (Departemen Sosial, BKKBN, Meneg PP, Pemerintah Daerah setempat dan Departemen Agama), LSM, swasta dan masyarakat, membentuk/lebih mengaktifkan lembagalambaga konsultasi keluarga, hingga ke daerah-daerah kecamatan, seperti yang dimiliki Departemen Sosial dengan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3). Tujuan utamanya adalah menjadi wadah ventilasi/penyaluran permasalahan keluarga yang diakibatkan tidak terlaksananya dengan baik fungsi-fungsi keluarga terutama fungsi pengawasan/ perlindungan disamping fungsi ekonomi dan fungsi pendidikan/sosialisasi, sebelum permasalahan itu sendiri menjadi besar dan menghancurkan lembaga keluarga. 2) Melibatkan keluarga-keluarga anak jalanan dalam usaha ekonomis produktif melalui kelompokkelompok yang ada di daerah, yang telah lebih dahulu maju berkembang sehingga dapat memberikan motivasi. Baik melalui program KUBE (Kelompok Usaha Bersama) maupun PKH (Program Keluarga Harapan) yang digulirkan oleh Departemen Sosial. Diharapkan dengan usaha ekonomis produktif yang dilakukan oleh keluarga-keluarga anak jalanan dapat meningkatkan taraf perekonimian dan kesejahterannya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga terutama anak-anak. 3) Melibatkan masyarakat terutama keluarga-keluarga yang mampu secara ekonomi untuk mau menjadikan keluarga anak jalanan sebagai ‘keluarga angkat’ dan bersedia membantu perekonomian keluarga anak jalanan dengan memberikan modal usaha sesuai dengan kemampuan keluarga anak jalanan, demikian pula pengembalian modal usaha sesuai dengan kemampuan keluarga anak jalanan. Diharapkan dengan program keluarga angkat ini keluarga anak jalanan dapat belajar langsung bagaimana mengelola keuangan dengan prinsip-prinsip kekeluargaan. Di antaranya dengan prinsip : membeli hanya yang betul-betul dibutuhkan keluarga, membiasakan anggota keluarga untuk cukup puas dengan makan di rumah dan tidak membelanjakan uang untuk makan di luar rumah sehingga dapat menekan pengeluaran, membiasakan untuk puasa Senin Kamis selain untuk ibadah, kesehatan juga penghematan
152
Tabel 30. (lanjutan) 1
2
3 4) Memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendididikan yang sifatnya informal oleh keluarga penting dilakukan terutama dalam kaitannya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang normal. Hal ini perlu diimbangi dengan realisasi ketentuan-ketentuan yang ada dengan jelas dan tegas, khususnya dalam hal penerapan sanksi. Kontrol eksternal berupa penerapan sanksi sangat membantu untuk meminimalisir atau menghilangkan perilaku-perilaku yang abnormal dari anak jalanan. Upaya kegiatan terutama dilakukan guna menyentuh aspek afektif anak. 5) Lebih menggalakkan kegiatan pada Hari Keluarga Nasional oleh Bapak Presiden, dengan motto tertentu yang menggambarkan tentang pentingnya harmonisasi dan keseimbangan fungsi dan peran orang tua dalam keluarga, serta penanaman pentingnya nilai-nilai keluarga bagi kesejahteraan dan kesehatan jasmani dan rohani para anggota keluarga. 6) Dilakukan penyuluhan-penyuluhan oleh lembaga/instansi terkait secara kontinyu melalui media masa atau secara langsung tentang pentingnya menciptakan harmonisasi dan keseimbangan fungsi keluarga dan peranan orang tua dalam keluarga. Sekaligus dengan penyuluhan dilakukan upaya menghilangkan ’image tabu’ dalam masyarakat untuk berani mengkonsultasikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam keluarga kepada orang lain yang dapat membantu mengeluarkan dari permasalahan. Terlebih bila sudah mengarah pada terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan dan disharmoni keluarga.
A.2.Pemberdayaan Anak Jalanan dilakukan dengan mengubah : 2.1.Mengubah ciri fisik anak jalanan
Berdasarkan hasil uji SEM ciri fisik anak jalanan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan. Namun karena model merupakan model yang fit, peubah ini tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mengentaskan anak dari jalanan
Cara mengubah ciri fisik anak jalanan dilakukan melalui aspek-aspek yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu :
153
Tabel 30. (lanjutan) 1 a.Penampilan fisik
b.Jenis kelamin
c.Umur
d.Pakaian
2 Berdasarkan hasil uji SEM penampilan fisik (-0,20) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar terhadap upaya mengubah ciri fisik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah ciri fisik anak jalanan, yang dapat memberi efek perubahan perilaku. Berdasarkan hasil uji SEM jenis kelamin (-0,29) merupakan faktor kedua terbesar berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri fisik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas kedua untuk mengubah ciri fisik anak jalanan Berdasarkan hasil uji SEM umur (0,33) merupakan faktor ketiga terbesar berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri fisik, sehingga menjadi prioritas ketiga untuk mengubah anak jalanan Berdasarkan hasil uji SEM cara berpakaianan anak jalanan (-0,45) merupakan faktor keempat yang berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri fisik anak jalanan dan menjadi prioritas keempat.
3 1) Upaya mengubah penampilan fisik anak jalanan (kulit, rambut, mata, postur tubuh) dilakukan dengan cara mensosialisasikan kepada anak jalanan dan anak yang berpotensi menjadi anak jalanan, tentang pentingnya menjaga tubuh dari kondisi yang tidak sedap dipandang mata. Salah satunya melalui kebiasaan mandi dua kali sehari pagi sore. 2) Proses sosialisasi, penyuluhan dan pembiasaan dilakukan secara berkesinambungan dengan menyediakan sarana dan prasarananya. Seperti menyediakan kamar mandi umum di mana anak jalanan bisa menggunakannya, serta dibiasakan bagi anak yang menggunakan sarana umum ini untuk menjaga kebersihan dengan membagi piket-piket kebersihan. 1) Cara mengubah anak jalanan wanita relatif lebih mudah dibanding pria. Dilakukan dengan memberi penjelasan, sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan secara berkesinambungan tentang hal-hal/kondisi/situasi yang dikehendaki untuk berubah. Baik terkait dengan perubahan ciri fisik maupun ciri psikologik dan ciri sosiologik. 2) Sedangkan pada anak jalanan pria dilakukan selain melalui memberian penjelasan, sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan secara berkesinambungan tentang hal-hal/kondisi/situasi yang dikehendaki untuk berubah, juga dilakukan pemantauan dan pendampingan langsung. Baik terkait dengan perubahan ciri fisik maupun ciri psikologik dan ciri sosiologik. 1) Cara mengubah ciri fisik anak jalanan terkait dengan umur anak jalanan dilakukan dengan cara memberi contoh dan keteladanan tentang bagamana cara berpakaian dan berpenampilan yang baik, dapat dilakukan di semua kelompok umur anak jalanan. 2) Serta dengan cara persuasif guna menumbuhkan kesadaran dan keinginan anak jalanan untuk mengubah ciri fisik dirinya menjadi lebih positif. Dilakukan melalui pembinaan dan penyuluhan secara berkesinambungan, sehingga kondisi bisa terjaga seperti yang diharapkan. 1) Dilakukan dengan cara membiasakan mencuci/berganti pakaian setiap hari/dua hari sekali. 2) Mengumpulkan baju layak pakai dari warga masyarakat dan membagikannya kepada anakanak jalanan, terutama yang berpakaian lebih seadanya dibandingkan anak-anak jalanan lain. 3) Kegiatan di atas dilakukan melalui pembinaan dan penyuluhan secara berkesinambungan, karena bila kegiatan hanya sesekali, dan anak jalanan tidak memiliki pakaian pengganti maka penampilan pakaian anak jalananpun akan kembali menjadi seadanya.
154
Tabel 30. (lanjutan) 1 e.Penyakit diderita
yang
2.2.Mengubah ciri psikologik anak jalanan
a.Mobilitas mental
b.Tingkat kreativitas
2 Berdasarkan hasil uji SEM penyakit yang diderita (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan ciri fisik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM ciri psikologik anak jalanan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan. Namun karena model merupakan model yang fit, tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mengentaskan anak dari jalanan Berdasarkan hasil uji SEM mobilitas mental (-0,04) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar terhadap upaya mengubah ciri psikologik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah ciri psikologik anak jalanan, yang dapat memberi efek perubahan perilaku. Berdasarkan hasil uji SEM tingkat kreativitas (-0,35) merupakan faktor kedua terbesar berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri psikologik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas kedua untuk mengubah ciri psikologik.
3 1) Kondisi anak jalanan cenderung jarang sakit, sehingga pada kondisi ini cara yang dilakukan adalah bagaimana menjaga agar kondisi ini tetap bertahan. Dilakukan dengan cara menjaga asupan makanan yang teratur dan seimbang. 2) Kegiatan dilakukan melalui pembinaan dan penyuluhan
Cara mengubah ciri psikologik anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu :
1) Cara mengubah kondisi mental anak jalanan yang cenderung sering berubah di antaranya melalui pembinaan, penyuluhan dan bimbingan mental spiritual tentang budi pekerti tentang bagaimana menekan perasaan tanpa harus menjadi tertekan, secara bertahap sesuai dengan tingkat kematangan anak jalanan. 2) Pembinaan dan penyuluhan psikologi kejiwaan tentang bagaimana mengendalikan stress dan tekanan, tanpa harus lari pada hal-hal yang negatif. 3) Pembinaan dan penyuluhan agama tentang hal yang baik dan buruk, yang pantas dan tidak pantas dilakukan, sebagai ekspresi dari suasana jiwa yang sedang dialami.
1) Cara mengubah tingkat kreativitas anak jalanan yang cenderung rendah pada sebagian besar anak dengan cara antara lain memberikan kegiatan-kegiatan seperti kegiatan membuat hasta karya dan pelatihan keterampilan tertentu, yang dapat memancing daya kreativitas. 2) Sedangkan pada sebagian kecil anak jalanan yang memiliki tingkat kreativitas relatif tinggi, dapat dilakukan kegiatan-kegiatan untuk dapat mengembangkan daya kreativitasnya dengan cara membaurkan mereka pada kelompok anak yang memiliki tingkat kreativitas rendah untuk bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan.
155
Tabel 30. (lanjutan) 1 c.Pengalaman anak jalanan
jadi
2.3.Mengubah ciri sosiologik anak jalanan
a.Asal daerah
b.Mobilitas fisik
2 Berdasarkan hasil uji SEM pengalaman menjadi anak jalanan (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan ciri psikologik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM ciri sosiologik anak jalanan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan. Namun karena model merupakan model yang fit, tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mengentaskan anak dari jalanan Berdasarkan hasil uji SEM asal daerah (-0,50) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri sosiologik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah ciri sosiologik anak jalanan, yang dapat memberi efek perubahan perilaku. Berdasarkan hasil uji SEM mobilitas fisik anak jalanan (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan ciri sosiologik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan.
3 Mengisi pengalaman jiwa berada di jalan dengan hal-hal positif yang dapat memunculkan perilakuperilaku normal dalam diri anak jalanan. Seperti mandi sehari dua kali, berkata dan bersikap yang sopan, ganti dan mencuci baju secara rutin paling tidak dua hari sekali, pentingnya persahabatan, menabung, saling berbagi dengan kawan dalam susah serta senang, dan lain-lain. Di samping mengubah perilaku anak jalanan dengan membuka wawasan untuk meraih peluang di luar jalanan. Cara mengubah ciri sosiologik anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu :
Kesamaan asal daerah anak jalanan berpengaruh terhadap ciri sosiologiknya sehingga untuk mengubah perilaku anak jalanan, asal daerah ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk upaya mengubah perilaku. Dilakukan dengan cara melakukan pendekatan pada anak jalanan menggunakan kebiasaan-kebiasaan serta bahasa daerah setempat, sehingga pendamping sebagai agent of change dapat lebih diterima oleh anak jalanan di wilayahnya.
1) Mobilitas fisik anak jalanan cenderung tinggi di dalam wilayah kotanya sehingga, dengan ini bisa lebih mudah dilakukan pembinaan dan penyuluhan dengan di fokuskan pada suatu wilayah tertentu yang dapat dijangkau oleh anak jalanan dari sekitar wilayahnya. 2) Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan dilakukan dengan memperhatikan tingkat kreativitas dan asal daerah anak jalanan, dengan menggunakan pendekatan, bahasa dan kebiasaan sesuai dengan asal daerahnya. Dengan pembinaan yang di fokuskan pada daerah tertentu dan melihat potensi yang ada pada anak jalanan, diharapkan dapat menekan mobilitas fisik anak jalanan sehingga biaya dan energi yang digunakan untuk melakukan mobilitas fisikpun dapat ditekan
156
Tabel 30. (lanjutan) 1 A.3.Pemberdayaan Pendamping Anak Jalanan dilakukan melalui : 3.1.Diklat 3.2.Pelaksanaan peran sesuai dengan tugas dan tanggung jabanya 3.3. Sertifikasi
2 Berdasarkan hasil uji SEM mobilitas fisik anak jalanan (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan ciri sosiologik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan.
B.Pemberdayaan Lingkungan Anak Jalanan
Berdasarkan hasil uji SEM latar belakang lingkungan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku, namun karena model merupakan model yang fit, tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya pengentasan anak dari jalanan.
3 1) Dilakukan rekruting pendamping anak jalanan di lingkungan Pemerintahan, yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan menjadi Penyuluh Sosial/Pekerja Sosil yang akan menjadi pendamping sosial anak jalanan dan ditempatkan pada posisi strategis di pokja-pokja yang dekat dengan kantung-kantung masalah anak jalanan. 2) Disamping dilakukan rekruting pendamping anak jalanan dari kalangan LSM, swasta dan masyarakat yang pemantauannya ada di bawah Departemen Sosial. 3) Memberikan pendidikan dan pelatihan pada Pendamping atau Pekerja Sosial/Penyuluh Sosial anak jalanan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan saat melakukan pendampingan. Seperti memberi pendidikan dan pelatihan tentang : konseling, case conference, penggalian dan pendayagunaan sumber, dan lain-lain. Guna meningkatkan kompetensi dan profesionalisme Pendamping atau Pekerja Sosial/Penyuluh Sosial anak jalanan dalam menangani permasalahan anak jalanan terutama dengan menggunakan “Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan” 4) Pelaksanaan peran sesuai tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendamping atau penyuluh sosial anak jalanan, diantaranya peran sebagai : (a) Mediator, (b) Advokator, (c) Fasilitator, (d) Dinamisator, (e) Evaluator, (f) Enabler, dan lain-lain 5) Melakukan sertifikasi bagi para Penyuluh Sosial/Pekerja Sosial sebagai pendamping sosial anak jalanan dengan terlebih dahulu mendirikan Asosiasi Penyuluh Sosial/Asosiasi Pekerja Sosial kemudian bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melakukan Sertifikasi, sehingga penempatan individu dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan/ kompetensi yang dimiliki berdasarkan standar tertentu. Dengan tipe kepribadian yang diharapkan ada pada diri seorang pendamping anak jalanan (Tjahjorini, 2001) dimanapun mereka berada, diantaranya : (a) Penuh perhatian, (b) Penuh motivasi, (c) Memberi contoh, (d) Dinamis, (e) Tangguh, (f) Mau berkorban, (g) Hubungan informal, (h) Memiliki kemampuan berkomunikasi Cara mengubah latar belakang lingkungan anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu :
157
Tabel 30. (lanjutan) 1 a.Pendidikan formal diberikan lingkungan
non yang
b.Mengubah kondisi fisik lingkungan
2 Berdasarkan hasil uji SEM pendidikan non formal yang diberikan lingkungan (-0,05) merupakan faktor terbesar yang cenderung secara nyata pengaruh terhadap upaya mengubah latar belakang lingkungan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah latar belakang lingkungan anak jalanan, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM kondisi fisik keluarga (-0,17) merupakan faktor yang berpengaruh nyata terbesar kedua terhadap upaya mengubah latar belakang lingkungan. Sehingga menjadi prioritas kedua mengubah latar belakang lingkungan anak jalanan, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan.
3 1) Meningkatkan dan melaksanakan kegiatan belajar/pendidikan non formal berupa penyuluhanpenyuluhan, pembinaan maupun pemberian keterampilan di lingkungan masyarakat. Hal ini penting dilakukan terutama mengenai aspek psikomotorik, guna meningkatkan bargaining position anak jalanan dalam dunia kerja serta memberi masa depan yang lebih baik. 2) Pendidikan non formal berupa pendidikan dan pelatihan (Diklat) dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Sosial bekerja sama dengan Balai Diklat di daerah serta dengan Pemerintah Daerah setempat. 3) Penyuluhan dan pembinaaan dapat dilakukan oleh Departemen Sosial melalui Pusat Penyuluhan Sosial dan Direktorat Anak, bekerjasama dengan instansi dan pihak terkait.
1) Upaya dilakukan dengan meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya lingkungan yang bersih, sehat, aman, dan nyaman terhindar dari polusi, tindak kekerasan dan lain-lain. Salah satunya seperti yang dicanangkan pemerintah untuk memperhatikan gas emisi buangan tidak hanya pada kendaraan-kendaraan umum tapi juga terhadap kendaraan-kendaraan pribadi, yang akan mulai diberlakukan. Juga dengan membentuk taman-taman kota yang sejuk dan bersih. Terlebih dengan adanya anak-anak di jalanan, hal tersebut menjadi semakin penting untuk mendapat perhatian. 2) Kesadaran semua pihak tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa upaya nyata secara bersama dari pihak pemerintah (Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah setempat), LSM, swasta dan masyarakat, melalui peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak pemerintah serta melalui penyuluhan-penyuluhan tentang pentingnya lingkungan yang aman dan nyaman bagi kesehatan. Juga tentang pentingnya mematuhi rambu-rambu jalan raya untuk keamanan dan kenyamanan bersama.
158
Tabel 30. (lanjutan) 1 c.Penerapan sanksi
2 Berdasarkan hasil uji SEM penerapan sanksi (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan latar belakang lingkungan anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan.
C.Pemberdayaan Kegiatan dilakukan melalui : 1.Penyuluhan/ pendidikan non formal 2.Sosialisasi dan konsolidasi
Bina usaha penting dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak terkait untuk bersama-sama melakukan kegiatan secara berkesinambungan
3 1) Upaya penerapan sanksi secara tegas, jelas, nyata dan konsisten oleh lingkungan terhadap pelanggaran yang dilakukan anggota masyarakat penting dilakukan sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku, termasuk pada anak jalanan, dan tidak membiarkan leluasa para pelaku. 2) Hukuman atau sanksi yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan proses perkembangan anak, tidak menimbulkan kehancuran bagi mental dan tidak menghambat proses tumbuh kembang mereka selanjutnya. Mengingat usia mereka yang masih belia dan sedang mencari jati diri. 3) Penyuluhan penting dilakukan oleh pihak pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bersama akan pentingnya penerapan sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku dengan jelas, tegas, nyata dan konsisten tetapi menyesuaikan dengan usia dan tidak merusak mental yang bersangkutan serta dapat menimbulkan efek jera dan dapat mencegah turunnya anak ke jalanan. Di sini dilibatkan para penegak hukum, di antaranya Aparat Kepolisian, Aparat Dinas Keamanan dan Ketertiban Kota, dan instansi lain yang terkait. Menyosialisasikan/memasarkan gagasan/ide sosial (Social Marketing) dengan berbagai cara, di antaranya melalui kampanye di media massa. Dilakukan oleh Departemen Sosial khususnya Pusat Penyuluhan Sosial (Puspensos) dan Direktorat Anak kepada Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta dan Masyarakat, tentang “Strategi TRIDAYA” 1) Kegiatan proaktif dari Departemen Sosial khusunya Pusat Penyuluhan Sosial (Puspensos) dan Direktorat Anak dengan membentuk lembaga atau Badan Koordinasi berupa “Kelompok Kerja Perbaikan Nasib Anak Jalanan”. 2) Mengukuhkan Pokja menjadi Forum Koordinasi antar organisasi terkait. 3) Menumbuhkembangkan kesepakatan bersama dalam upaya mengentaskan permasalahan sosial khususnya anak jalanan antar anggota Forum yang dikuatkan dengan adanya MOU. 4) Dari Pokja Pusat, kemudian dibentuk Pokja-Pokja di daerah dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial yang ada di daerah, dengan berdasar pada uraian tugas yang jelas dan tegas yang disepakati bersama oleh pusat dan daerah. 5) Membentuk Forum Koordinasi antar Pokja. 6) Melakukan upaya perubahan perilaku sebagai esensi utama dari kegiatan penyuluhan, bukan semata-mata hanya pada obyek penyandang masalah , tetapi juga pada stakeholder terkait.
159
Tabel 30. (lanjutan) 1 D.Perubahan perilaku anak jalanan
a.Perilaku normal
b.Perilaku abnormal
Metode yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan
2 Berdasarkan hasil uji SEM dipengaruhi oleh sub peubah dari peubah di atas untuk perilaku abnormal. Serta berhubungan dengan sub peubah dari peubah di atas untuk perilaku normal. Berdasarkan hasil uji SEM perilaku normal anak jalanan (1,00) secara nyata berhubungan dengan peubah peubah eksogen Berdasarkan hasil uji SEM perilaku abnormal anak jalanan (-1,81) secara nyata dipengaruhi oleh peubah independen/peubah eksogen Ada tiga metode alternatif yang dapat digunakan baik secara terpisah maupun simultan pada tiap tahap
3 Cara mengubah perilaku anak jalanan dengan memperhatikan sub-sub peubah dari peubah eksogen yang cenderung memiliki pengaruh dan hubungan nyata di atas
Untuk perilaku normal berhubungan dengan peubah eksogen dengan sub-sub peubah yang memiliki pengaruh dan hubungan nyata, yang akan meningkatkan perilaku normal anak jalanan diantaranya : semangat hidup yang tinggi, keberanian menanggung resiko, mandiri, dan kepekaan. Untuk perilaku abnormal dipengaruhi oleh peubah eksogen dengan sub-sub peubah yang memiliki pengaruh dan hubungan nyata, yang akan mengubah perilaku abnormal anak jalanan diantaranya : bebas, liar, masa bodoh, curiga, reaktif, dan susah diatur.
1) Metode Pendekatan Perorangan (Personal Approach Method ) 2) Metode Pendekatan Kelompok (Group Approach Method ) 3) Metode Pendekatan Massal/Umum (Mass Approach Method )
160
161 Penjabaran peranan dari masing-masing pihak terkait dalam “Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan”, tersaji pada Tabel 31. Tabel 31. Peran Masing-Masing Pihak Terkait dalam Upaya Pengentasan Anak Jalanan Pihak Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Peran 1) Memberikan fasilitasi terhadap berbagai pihak yang peduli, baik dalam bentuk keuangan, dukungan secara politik dan informasi kebijakan serta program terkait dengan upaya pengentasan anak jalanan. 2) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang peduli terhadap upaya pengentasan anak jalanan, termasuk dengan pihak daerah. 3) Meningkatkan/menciptakan jaringan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, untuk dapat konsisten melaksanakan upaya-upaya pengentasan anak jalanan dengan komitmen yang tinggi. 4) Melakukan penyuluhan-penyuluhan melalui media massa seperti televisi, guna meningkatkan kesadaran dan kepedulian berbagai pihak untuk mau berbuat dan bertindak nyata dalam upaya mengatasi permasalahan anak jalanan. 5) Memfasilitasi terselenggaranya Training of the Trainers (TOT) bagi berbagai pihak terkait tentang permasalahan dan upaya pengentasan anak jalanan. Termasuk di dalamnya bagaimana menggalang dan menggali dana baik dari masyarakat yang diorganisir melalui lembaga khusus bekerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah setempat atau murni diorganisir masyarakat. Juga menggalang dan menggali bantuan dana dari luar negeri yang diakses melalui jaringan internet. 6) Melakukan pembinaan secara berkesinambungan. 1) Melakukan mediasi antara pemerintah pusat dengan pihak-pihak terkait yang peduli terhadap upaya pengentasan anak jalanan di daerah. 2) Melakukan mediasi dalam pemanfaatan fasilitas, dukungan dan informai dari pusat untuk daerah. 3) Berkoordinasi dengan pemerintah pusat serta pihak-pihak yang ada di daerah yang peduli terhadap pemasalahan anak jalanan. 4) Memfasilitasi terselenggaranya Pendidikan dan Pelatihan bagi berbagai pihak terkait di daerah tentang permasalahan dan upaya pengentasan anak jalanan. Termasuk di dalamnya bagaimana menggalang dan menggali dana baik dari masyarakat yang diorganisisr melalui lembaga khusus yang ada di daerah bekerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah setempat atau murni diorganisir masyarakat. Juga menggalang dan menggali bantuan dana dari luar negeri yang diakses melalui jaringan internet. Sebagai kelanjutan dari Training of the Trainers (TOT) yang dilakukan di Pemerintah Pusat. 5) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan di daerahnya, dengan mengacu pada kebijakan dan program dari pemerintah pusat.
162 Tabel 31. (lanjutan) Pihak
Peran 1) Memanfaatkan potensi dan sistem sumber yang dimiliki guna membantu Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mengatasi permasalahan anak jalanan. 2) Memanfaatkan dukungan politis serta informasi kebijakan dan program yang disediakan Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah dalam rangka mengatasi permasalahan anak jalanan. 3) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan anak jalanan yang ditanganinya, mengacu pada kebijakan dan program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lembaga Swadaya 1) Memanfaatkan potensi dan sistem sumber yang dimiliki Masyarakat masyarakat dan penyandang dana lain, guna membantu Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mengatasi permasalahan anak jalanan. 2) Memanfaatkan dukungan politis serta informasi kebijakan dan program yang disediakan Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah dalam rangka mengatasi permasalahan anak jalanan. 3) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan anak jalanan yang ditanganinya, mengacu pada kebijakan dan program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Masyarakat 1) Memanfaatkan potensi dan sistem sumber yang dimiliki masyarakat dan penyandang dana lain, guna membantu Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mengatasi permasalahan anak jalanan. 2) Memanfaatkan dukungan politis serta informasi kebijakan dan program yang disediakan Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah dalam rangka mengatasi permasalahan anak jalanan. 3) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan anak jalanan yang ditanganinya, mengacu pada kebijakan dan program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Swasta
Diharapkan dengan menggunakan strategi yang refresentatif dan komprehensif, upaya pengentasan anak jalanan dapat lebih berhasil dan berdaya guna, yang dapat memunculkan perilaku-perilaku normal dan menekan bahkan menghilangkan perilaku-perilaku abnormal. Dengan hal tersebut, diharapkan lambat laun terjadi perubahan perilaku yang melembaga terutama dalam diri anak, yang dapat mengantarkannya pada kehidupan normal sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut dengan munculnya perilaku baru yang melembaga dalam diri anak, diharapkan dapat mengantarkan anak untuk keluar dari kehidupannya di jalanan karena kesadaran sendiri dan adanya rasa malu dengan perilaku lamanya.
163 Pelaksanaan strategi pengentasan anak jalanan dengan melibatkan berbagai pihak sesuai dengan perannya, dilakukan dengan memperhatikan situasi, kondisi, kemampuan, kebijakan serta sumber daya yang dimiliki oleh daerah. Penelitian yang dilakukan memberikan strategi/alternatif/solusi berdasarkan pada hasil penelitian
bukan keseragaman. Pelaksanaan tergantung pada
komitmen daerah, sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi keberagaman dalam pemilihan strategi/alternatf/solusi di tiap wilayah.