30
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kuantan Singingi – Kepulauan Riau Kabupaten Kuantan Singingi merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Daerah Tingkat II Indragiri Hulu pada tahun 1999, yang terletak di Provinsi Riau. Kabupaten yang memiliki Ibu Kota Taluk Kuantan ini secara geografis terletak pada 0º00' LU - 1º00' LS dan 101º02' BT - 101º55' BT dan mempunyai batasbatas wilayah sebagai berikut: Kabupaten Kampar dan Pelalawan (sebelah utara), Provinsi Jambi (sebelah selatan), Provinsi Sumatera Barat (sebelah barat), dan Kabupaten Indragiri hulu (sebelah timur). Kuantan Singingi memiliki luas wilayah 7 656.03 Km2 dan terdiri dari 12 kecamatan. Cerenti, Kuantan Hilir, Benai, Kuantan Tengah, Kuantan Mudik, Singingi, Inuman, Pangean, Logas Tanah Darat, Hulu Kuantan, Gunung Toar, dan Singingi Hilir merupakan ke-12 kecamatan yang berada di Kuantan Singingi. Penduduk di Kuantan Singingi berjumlah 270 320 jiwa (tahun 2007). Masyarakat yang tinggal di Kabupaten Kuantan Singingi merupakan masyarakat yang cukup heterogen, yaitu suku asli masyarakat melayu kuantan dan beberapa suku pendatang. Mayoritas pendatang berasal dari suku jawa dan mendiami wilayah yang terletak di daerah perdesaan atau perkebunan. Lebih dari setengah jumlah penduduk Kuantan Singingi bekerja pada sektor pertanian. Daya dukung dan luas lahan yang besar, ketrampilan dasar yang dimiliki, dan tersedianya pasar dengan infrastruktur yang sedang digalakkan, merupakan modal dasar pengembangan agribisnis di Kuantan Singingi. Pemerintah daerah Kuantan Singingi mencanangkan beberapa progam dengan tujuan untuk meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manumur, antara lain: pemberian insentif kepada guru-guru SD, SLTP, dan SMU negeri/swasta di seluruh Kabupaten Kuantan Singingi; peningkatan kualitas guru SD, SLTP, dan SMU melalui penataran, Semiloka dan Lokakarya, menggalakan program orang tua asuh; pendirian Puskesmas/Puskesmas Pembantu pada setiap kecamatan dan desa; dan pemberian bantuan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat yang tergolong tidak mampu/miskin. Sampai dengan tahun 2001, jumlah Sekolah Dasar di Kabupaten Kuantan Singingi sebanyak 222 buah, pendidikan menengah ada sebanyak 34 SLTP dan 20 Madrasah Tsanawiyah, sedangkan SLTA ada sebanyak 15 SLTA dan 7 Madrasah Aliyah.
31
Rokan Hilir – Kepulauan Riau Rokan Hilir adalah sebuah kabupaten di Provinsi Riau yang memiliki ibu kota di Bagan Siapi-api. Kabupaten ini memiliki luas sebesar 8 941 Km2 dan secara geografis terletak pada 1°14'-2°45' LU dan 100°17'-101°21' BT dan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara (sebelah utara), Kota Dumai (sebelah timur), Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hulu (sebelah selatan), dan Kabupaten Pelabuhan BatuSumatera Utara (sebelah barat). Kabupaten Rokan Hilir mempunyai 13 kecamatan, yaitu: Bangko, Sinaboi, Rimba Melintang, Bangko Pusako, Tanah Putih Tanjung Melawan, Tanah Putih, Kubu, Bagan Simembah, Pujud, Simpang Kanan, Pasir Limau Kapas, Batu Hampar, dan Rantau Kopar. Penduduk di Rokan Hilir sejumlah 510 857 (tahun 2007). Mayoritas penduduk Rokan Hilir bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Hal ini didasarkan pada topografi dan potensi wilayah setempat. Sebagian besar wilayah Kabupaten Rokan Hilir terdiri dari dataran rendah dan rawa-rawa, terutama di sepanjang Sungai Rokan hingga ke muaranya. Wilayah ini memiliki tanah yang sangat subur dan menjadi lahan persawahan padi terkemuka di Propinsi Riau. Wilayah ini juga memiliki potensi agroindustri dan agrowisata dengan wilayah perkebunan yang luas. Pendidikan
merupakan
salah
satu
sarana
untuk
meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Pemeritah daerah Rokan Hilir mulai menggalakkan peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan salah satunya dapat dilihat dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Pada tahun 2006, rata-rata lama sekolah di Kabupaten Rokan Hilir adalah 7.2 tahun, meningkat dari tahun 2004 yang hanya mencapai 7.0 tahun. Usaha peningkatan pendidikan juga terlihat dari perubahan angka melek huruf yaitu 97.4% (tahun 2007), meningkat daripada tahun 2004 (88.8%). Peningkatan pendidikan
tersebut
diharapkan dapat menjadi salah
satu
cara untuk
meningkatkan kualitas SDM secara menyeluruh. Wonogiri – Jawa Tengah Wonogiri adalah sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah dan secara geografis terletak pada 7º32’ - 8º15’ LS dan 110º41’ 111º18’ BT. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 182 236,02 Ha dan penduduk sejumlah 77 134 jiwa. Batas-batas wilayah Kabupaten Wonogiri adalah sebagai
32
berikut: Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar (sebelah utara), Kabupaten Karanganyar dan Ponorogo (sebelah timur), Kabupaten Pacitan dan Samudra Indonesia (sebelah selatan), dan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Klaten (sebelah barat). Wilayah ini terdiri dari 25 kecamatan 294 desa/kelurahan dengan perincian 251 desa dan 43 kelurahan. Potensi pertanian yang dimiliki oleh Kabupaten Wonigiri adalah padi gogo, jagung, dan palawija. Potensi perkebunannya adalah kelapa, cengkeh, kopi, dan tebu. Potensi perikanan berasal dari pembenihan ikan dan penangkapan ikan laut maupun ikan darat. Kondisi tanah yang banyak mengandung batu kapur, membuat Wonogiri terkenal dengan penambangan batu kapur/batu gamping. Banyaknya potensi wilayah tersebut membuat beranekaragamnya mata pencaharian penduduk. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Namun topografi daerah yang tidak rata, perbedaan antara satu kawasan dengan kawasan lain, membuat kondisi sumber daya alam juga saling berbeda. Keadaan alamnya sebagian besar terdiri dari pegunungan yang berbatu gamping, terutama di bagian selatan, termasuk jajaran Pegunungan Seribu yang merupakan mata air Sungai Bengawan Solo. Hampir sebagian besar tanah/lahan di Wonogiri tidak terlalu subur untuk pertanian (berbatu dan kering), sehingga penduduknya lebih banyak yang merantau (boro). Salatiga – Jawa Tengah Salatiga adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis kota ini terletak di 110°28' 37.79" - 110°32' 39.79" BT. Kota salatiga memiliki luas wilayah 1 787 275 Ha dan penduduk sejumlah 159 000 (tahun 2003). Kota Salatiga letaknya dikelilingi wilayah Kabupaten Semarang. Salatiga terdiri dari 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Suatu wilayah yang secara morfologis berada di daerah cekungan kaki Gunung Merbabu dan diantara gunung-gunung kecil antara lain Gajah Mungkur, Telomoyo, Payung, dan Rong. Kondisi tersebut membuat Kota Salatiga berpotensi tinggi dalam sektor agroindustri dan agrowisata. Selain sektor pertanian, perkebunan dan pariwisata, Kota Salatiga juga memiliki sektor industri yang cukup maju. Wilayah tersebut memiliki 4 industri besar dan ratusan industri menengah maupun industri kecil. Industri besar yang ada di Salatiga antara lain adalah industri tekstil, sedangkan industri menengahnya adalah industri pangan olahan hasil pertanian atau perkebunan
33
setempat seperti tepung pisang, keripik/dodol salak dan minuman berbahan dasar umbi jahe. Sektor peternakan yang cukup maju di wilayah ini antara lain usaha sapi perah, budidaya perikanan laut dan usaha penggemukan sapi. Pendidikan di Kota Salatiga sudah cukup baik. Tersedianya lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membuat terbukanya akses pendidikan dan informasi yang tinggi. Daerah ini memiliki berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta, baik Universitas (strata 1) maupun Akademi dan Sekolah Tinggi (diploma). Hal inilah yang menyebabkan tingginya jumlah mahasiswa/pelajar di Kota Salatiga.
Karakteristik Contoh Karakteristik contoh yang diamati pada penelitian ini terdiri dari karakteristik individu, karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik gaya hidup. Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, dan status gizi berdasarkan kategori IMT; karakteristik sosial ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan, tipe wilayah, status perkawinan dan pengeluaran rumah tangga perkapita; sedangkan karakteristik gaya hidup meliputi aktivitas fisik, kebiasaan makan, dan stres. Karakteristik Individu Umur Menurut Hurlock (1980), masa kedewasaan seseorang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu young adult/dewasa awal (18-40 tahun), middle life/dewasa menengah (40-60 tahun), dan late adulthood/dewasa lanjut (>60 tahun). Umur contoh pada penelitian ini berkisar antara 18 hingga 97 tahun, dengan rata-rata umur 42.04±16.26 tahun (Tabel 3). Secara umum proporsi terbanyak umur contoh pada keempat daerah berkisar antara 25-35 tahun (23.0%) (umur dewasa awal). Rata-rata umur contoh di Kuantan Singingi adalah 38.56±14.24 tahun, Rokan Hilir 37.34±14.29 tahun, Wonogiri 47.27±16.92 tahun, sedangkan ratarata umur contoh di Salatiga adalah 42.92±16.78 tahun. Jenis Kelamin Secara umum, proporsi perempuan pada penelitian ini lebih besar daripada laki-laki. Sebanyak 2 613 contoh (51.2%) berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 2 491 contoh (48.8%) berjenis kelamin laki-laki. Proporsi contoh perempuan dari masing-masing lokasi penelitian juga menunjukkan nilai yang lebih besar yaitu lebih dari 50%, kecuali di Kabupaten Rokan Hilir yang
34
proporsinya senilai 48.4%. Rincian sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3. Status Gizi (Kategori IMT) Status gizi merupakan indikator bahwa penduduk mengkonsumsi pangan secara
cukup
dan
seimbang.
Ketidakseimbangan
konsumsi
pangan
menyebabkan timbulnya masalah gizi yang dicerminkan oleh penyakit gizi lebih maupun gizi kurang. Gizi lebih disebabkan oleh konsumsi karbohidrat dan lemak yang berlebihan sehingga memicu timbulnya penyakit degeneratif (Khomsan 1996). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi adalah dengan kategori indeks massa tubuh (IMT), yang ditentukan berdasarkan berat badan dan tinggi badan. Contoh pada penelitian ini memiliki IMT rata-rata 22.38±3.7 dan sebagian besar contoh memiliki IMT normal (66.7%). Namun demikian, beberapa contoh memiliki berat badan lebih yang berisiko obesitas (10.8%) dan obesitas (11.3%). Sebaran status gizi contoh pada keempat daerah juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Sebaran contoh berdasarkan status gizi (kategori IMT) dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik individu Kabupaten/Kota (n (%)) Karakteristik Individu
Kuantan Singingi (n=1 119)
Umur 18-24 176 (15.7) 25-34 331 (29.6) 35-44 250 (22.3) 45-54 192 (17.2) 55-64 91 (8.1) 65-74 56 (5.0) >=75 23 (2.1) Mean±SD 38.56±14.24 Jenis Kelamin Laki-laki 553 (49.4) Perempuan 566 (50.6) Status Gizi Kurus 136 (12.2) Normal 777 (69.4) BB lebih 96 (8.6) Obesitas 110 (9.8) Mean±SD 22.08±3.6
Total (n=5104)
Rokan Hilir (n=1 218)
Wonogiri (n=1 586)
Salatiga (n=1 181)
235 (19.3) 353 (29.0) 284 (23.3) 197 (16.2) 83 (6.8) 46 (3.8) 20 (1.6) 37.34±14.29
140 (8.8) 248 (15.6) 355 (22.4) 301 (19.0) 257 (16.2) 186 (11.7) 99 (6.2) 47.27±16.92
181 (15.3) 241 (20.4) 247 (20.9) 228 (19.3) 132 (11.2) 84 (7.1) 68 (5.8) 42.92±16.78
732 (14.3) 1 173 (23.0) 1 136 (22.3) 918 (18.0) 563 (11.0) 372 (7.3) 210 (4.1) 42.04±16.26
628 (51.6) 590 (48.4)
742 (46.8) 844 (53.2)
568 (48.1) 613 (51.9)
2491 (48.8) 2613 (51.2)
86 (7.1) 818 (67.2) 189 (15.5) 125 (10.3) 22.85±3.2
223 (14.1) 1 108 (69.9) 125 (7.9) 130 (8.2) 21.69±3.5
123 (10.4) 702 (59.4) 142 (12.0) 214 (18.1) 23.09±4.2
568 (11.1) 3 405 (66.7) 552 (10.8) 579 (11.3) 22.38±3.7
35
Karakteristik Sosial Ekonomi Pendidikan Pendidikan contoh dibedakan menjadi enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD (Sekolah Dasar), tamat SD, tamat SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), tamat SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), dan tamat PT (Perguruan Tinggi). Tabel 4 menyajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikannya. Proporsi terbesar contoh berpendidikan tamat SD (26.4%), hanya sebagian kecil contoh yang melanjutkan ke perguruan tinggi (4.9%). Proporsi terbesar contoh dari Kuantan Singingi berpendidikan tamat SD (28.3%), dan sebanyak 9.3% contoh tidak pernah sekolah. Pendidikan contoh di Kabupaten Rokan Hilir dan Kota Salatiga sudah lebih baik, yaitu 26.4% dan 34.3% telah tamat SLTA. Tingkat pendidikan contoh yang paling rendah adalah Kabupaten Wonogiri, yaitu 19.4% contoh tidak pernah bersekolah dan 32.3% contoh yang berpendidikan tamat SD. Pekerjaan Pekerjaan berhubungan dengan tingkat penghasilan. Sementara itu, penghasilan berhubungan dengan gaya hidup seseorang. Berbagai jenis pekerjaan akan menimbulkan respon stress atau tekanan psikis yang berbeda. Pegawai tetap cenderung lebih stabil daripada pegawai tidak tetap. Jenis pekerjaan juga berhubungan dengan aktivitas fisik. Petani, nelayan, dan buruh cenderung melakukan aktivitas fisik lebih besar daripada pegawai kantor. Tabel 4 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaannya. Proporsi terbesar contoh bekerja sebagai petani (34.8%), demikian juga dengan contoh dari Kuantan Singingi (51.4%) dan Wonogiri (58.5%). Hal tersebut diduga karena topografi wilayah kedua kabupaten tersebut yang sebagian besar berupa pegunungan dan lahan persawahan. Proporsi terbesar contoh di Rokan Hilir bekerja sebagai ibu rumah tangga (31.1%), demikian halnya dengan Kota Salatiga (20.0%). Tipe wilayah Tipe wilayah dibedakan menjadi 2, yaitu perkotaan dan perdesaan. Sebagian besar contoh berasal dari perdesaan (63.2%), kecuali contoh dari Kota Salatiga (Tabel 4). Kebiasaan dan gaya hidup seseorang dipengaruhi oleh budaya yang tercipta di lingkungan tempat tinggalnya (Suhardjo 1989), salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan budaya di perkotaan dan perdesaan.
36
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi Kabupaten/Kota (n (%)) Karakteristik Sosial Ekonomi
Kuantan Singingi (n=1 119)
Rokan Hilir (n=1 218)
Wonogiri (n=1 586)
Pendidikan Tidak sekolah 104 (9.3) 98 (8.0) 308 (19.4) Tidak tamat SD 188 (16.8) 184 (15.1) 309 (19.5) Tamat SD 317 (28.3) 289 (23.7) 512 (32.3) Tamat SLTP 232 (20.7) 302 (24.8) 212 (13.4) Tamat SLTA 240 (21.4) 322 (26.4) 205 (12.9) Tamat PT 38 (3.4) 23 (1.9) 40 (2.5) Pekerjaan Tidak kerja 81 (7.2) 122 (10.0) 128 (8.1) Sekolah 29 (2.6) 36 (3.0) 12 (0.8) Ibu umah tangga 196 (17.5) 379 (31.1) 107 (6.7) TNI/Polri 2 (0.2) 8 (0.7) 6 (0.4) PNS 32 (2.9) 5 (0.4) 25 (1.6) Pegawai BUMN 1 (0.1) 23 (1.9) 2 (0.1) Pegawai swasta 25 (2.2) 59 (4.8) 53 (3.3) Wiraswasta/ 89 (8.0) 172 (14.1) 185 (11.7) Pedagang Pelayanan Jasa 10 (0.9) 30 (2.5) 25 (1.6) Petani 575 (51.4) 228 (18.7) 928 (58.5) Nelayan 3 (0.3) 85 (7.0) 0 (0.0) Buruh 60 (5.4) 39 (3.2) 94 (5.9) Lainnya 16 (1.4) 32 (2.6) 21 (1.3) Tipe Wilayah Perkotaan 154 (13.8) 342 (28.1) 270 (17.0) Perdesaan 965 (86.2) 876 (71.9) 1316 (83.0) Status Perkawinan Belum kawin 169 (15.1) 188 (15.4) 147 (9.3) Kawin 903 (80.7) 959 (78.7) 1 256 (79.2) Cerai hidup 10 (0.9) 8 (0.7) 26 (1.6) Cerai mati 37 (3.3) 63 (5.2) 157 (9.9) Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Kuintil 1 229 (20.5) 260 (21.3) 359 (22.6) Kuintil 2 243 (21.7) 257 (21.1) 346 (21.8) Kuintil 3 231 (20.6) 249 (20.4) 314 (19.8) Kuintil 4 213 (19.0) 247 (20.3) 293 (18.5) Kuintil 5 203 (18.1) 205 (16.8) 274 (17.3)
Salatiga (n=1 181)
Total (n=5 104)
80 (6.9) 124 (10.7) 225 (19.3) 189 (16.3) 399 (34.3) 146 (12.6)
590 (11.6) 805 (15.8) 1343 (26.4) 935 (18.4) 1166 (22.9) 247 (4.9)
157 (13.3) 58 (4.9) 235 (20.0) 6 (0.5) 72 (6.1) 7 (0.6) 145 (12.3)
488 (9.6) 135 (2.6) 917 (18.0) 22 (0.4) 134 (2.6) 33 (0.6) 282 (5.5)
199 (16.9)
645 (12.6)
43 (3.7) 43 (3.7) 0 (0.0) 176 (15.0) 36 (3.1)
108 (2.1) 1774 (34.8) 88 (1.7) 369 (7.2) 105 (2.1)
1 112 (94.2) 69 (5.8)
1 878 (36.8) 3 226 (63.2)
230 (19.5) 838 (71.0) 22 (1.9) 91 (7.7)
734 (14.4) 3 956 (77.5) 66 (1.3) 348 (6.8)
268 (22.7) 250 (21.2) 253 (21.4) 219 (18.5) 191 (16.2)
1 116 (21.9) 1 096 (21.5) 1 047 (20.5) 972 (19.0) 873 (17.1)
Status Perkawinan Emosi seseorang akan semakin stabil setelah menikah dan menurun kembali ketika berpisah dengan pasangannya. Adanya rasa saling berbagi dan menghadapi masalah secara bersama diduga dapat menurunkan tekanan psikis (stress) pada beberapa orang. Menurut Hurlock (1980) yang diacu dalam Widyaningsih (2008), keadaan jasmani, keadaan ekonomi dan kematian istri dapat menyebabkan stress yang banyak dialami pada masa dewasa menengah. Sebanyak 77.5% contoh pada penelitian ini telah menikah dan 6.8% contoh
37
mengalami cerai mati. Sebaran contoh berdasarkan status perkawinan disajikan dalam Tabel 4. Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Pengeluaran rumah tangga perkapita perbulan dihitung berdasarkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga baik kebutuhan pangan maupun non-pangan dalam sebulan. Tabel 4 menyajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga perkapita. Secara umum tingkat pengeluaran contoh cenderung menyebar normal pada setiap kuintil pengeluaran, dengan proporsi tertinggi pada kuintil ke-1 (21.9%). Tingkat pengeluaran pada keempat kabupaten/kota juga memiliki kecenderungan yang sama, yaitu proporsi yang lebih kecil pada pengeluaran yang lebih tinggi. Karakteristik Gaya Hidup Aktivitas Fisik Masih banyak contoh yang kurang melakukan aktivitas fisik (82.7%), tidak melakukan aktivitas fisik berat (61.4%), tidak melakukan aktivitas fisik sedang (26.0%), dan tidak beraktivitas jalan kaki/bersepeda (45.6%). Aktivitas fisik contoh pada masing-masing daerah juga menunjukkan kecenderungan yang hampir sama (Tabel 5). Hal ini perlu diberikan perhatian khusus mengingat aktivitas fisik berhubungan dengan pengeluaran energi (Supariasa 2001), peningkatan High Density Lypoprotein (HDL) (Khomsan 2004), dan penurunan tekanan darah (Kelley 2001). Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik Kabupaten/Kota (n (%)) Aktivitas Fisik
Kuantan Singingi (n=1 119)
Rokan Hilir (n=1 218)
Aktivitas Fisik Aktivitas Fisik Kumulatif Cukup 164 (14.7) 131 (10.8) Kurang 955 (85.3) 1 087 (89.2) Aktivitas Fisik Berat Ya 447 (39.9) 429 (35.2) Tidak 672 (60.1) 789 (64.8) Aktivitas Fisik Sedang Ya 819 (73.2) 785 (64.4) Tidak 300 (26.8) 433 (35.6) Berjalan kaki/bersepeda kayuh Ya 487 (43.5) 580 (47.6) Tidak 632 (56.5) 638 (52.4)
Wonogiri (n=1 586)
Salatiga (n=1 181)
Total (n=5 104)
452 (28.5) 1 134 (71.5)
138 (11.7) 1 043 (88.3)
885 (17.3) 4 219 (82.7)
814 (51.3) 772 (48.7)
279 (23.6) 902 (76.4)
1 969 (38.6) 3 135 (61.4)
1 275 (80.4) 311 (19.6)
899 (76.1) 282 (23.9)
3 778 (74.0) 1 326 (26.0)
974 (61.4) 612 (38.6)
736 (62.3) 445 (37.7)
2 777 (54.4) 2 327 (45.6)
38
Kebiasaan Makan Tabel 6 menunjukkan kebiasaan makan contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi buah dan sayur; makanan berisiko, minuman beralkohol, dan minuman berkafein. Masih banyak contoh yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur (95.0%); sering mengkonsumsi (≥1 kali per hari) makanan/minuman manis (73.3%), makanan asin (22.3%), makanan berlemak (15.9%), jeroan (2.4%), makanan awetan (4.2%), minuman beralkohol (94.3%), dan minuman berkafein (27.9%).
Kebiasaan
makan
contoh
pada
masing-masing
daerah
juga
menunjukkan kecenderungan yang sama. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan Kabupaten/Kota (n (%)) Kebiasaan Makan
Kuantan Singingi (n=1 119)
Buah dan Sayur Cukup 29 (2.6) Kurang 1 090 (97.4) Makanan/ minuman manis > 1 kali per hari 206 (18.4) 1 kali per hari 520 (46.5) 3 – 6 kali per minggu 84 (7.5) 1 – 2 kali per minggu 123 (11.0) < 3 kali per bulan 78 (7.0) Tidak pernah 108 (9.7) Makanan Asin > 1 kali per hari 34 (3.0) 1 kali per hari 85 (7.6) 3 – 6 kali per minggu 318 (28.4) 1 – 2 kali per minggu 396 (35.4) < 3 kali per bulan 226 (20.2) Tidak pernah 60 (5.4) Makanan Berlemak > 1 kali per hari 74 (6.6) 1 kali per hari 173 (15.5) 3 – 6 kali per minggu 107 (9.6) 1 – 2 kali per minggu 371 (33.2) < 3 kali per bulan 300 (26.8) Tidak pernah 94 (8.4) Makanan Jeroan > 1 kali per hari 26 (2.3) 1 kali per hari 17 (1.5) 3 – 6 kali per minggu 25 (2.2) 1 – 2 kali per minggu 122 (10.9) < 3 kali per bulan 437 (39.1) Tidak pernah 492 (44.0) Makanan Awetan > 1 kali per hari 24 (2.1) 1 kali per hari 28 (2.5) 3 – 6 kali per minggu 87 (7.8) 1 – 2 kali per minggu 308 (27.5)
Rokan Hilir (n=1 218)
Wonogiri (n=1 586)
Salatiga (n=1 181)
Total (n=5 104)
32 (2.6) 1 186 (97.4)
175 (11.0) 1 411 (89.0)
17 (1.4) 1 164 (98.6)
253 (5.0) 4 851 (95.0)
321 (26.4) 455 (37.4) 89 (7.3) 154 (12.6) 128 (10.5) 71 (5.8)
839 (52.9) 474 (29.9) 89 (5.6) 80 (5.0) 20 (1.3) 77 (4.9)
429 (36.3) 497 (42.1) 109 (9.2) 84 (7.1) 20 (1.7) 39 (3.3)
1 795 (35.2) 1 946 (38.1) 371 (7.3) 441 (8.6) 246 (4.8) 295 (5.8)
168 (13.8) 188 (15.4) 359 (29.5) 251 (20.6) 114 (9.4) 138 (11.3)
205 (12.9) 134 (8.4) 350 (22.1) 395 (24.9) 271 (17.1) 223 (14.1)
87 (7.4) 238 (20.2) 258 (21.8) 338 (28.6) 122 (10.3) 131 (11.1)
494 (9.7) 645 (12.6) 1 285 (25.2) 1 380 (27.0) 733 (14.4) 552 (10.8)
14 (1.1) 78 (6.4) 234 (19.2) 326 (26.8) 406 (33.3) 160 (13.1)
84 (5.3) 27 (1.7) 135 (8.5) 349 (22.0) 457 (28.8) 525 (33.1)
124 (10.5) 235 (19.9) 262 (22.2) 309 (26.2) 152 (12.9) 95 (8.0)
296 (5.8) 513 (10.1) 738 (14.5) 1 355 (26.5) 1 315 (25.8) 874 (17.1)
19 (1.6) 20 (1.6) 77 (6.3) 383 (31.4) 476 (39.1) 243 (20.0)
4 (0.3) 15 (0.9) 36 (2.3) 116 (7.3) 361 (22.8) 1 047 (66.0)
9 (0.8) 15 (1.3) 93 (7.9) 220 (18.6) 408 (34.5) 432 (36.6)
58 (1.1) 67 (1.3) 231 (4.5) 841 (16.5) 1 682 (33.0) 2 214 (43.4)
17 (1.4) 19 (1.6) 111 (9.1) 255 (20.9)
8 (0.5) 27 (1.7) 102 (6.4) 219 (13.8)
14 (1.2) 77 (6.5) 200 (16.9) 298 (25.2)
63 (1.2) 151 (3.0) 500 (9.8) 1 080 (21.2)
39
Kabupaten/Kota (n (%)) Kebiasaan Makan
Kuantan Singingi (n=1 119) 297 (26.5) 375 (33.5)
< 3 kali per bulan Tidak pernah Minuman Beralkohol Ya 93 (8.3) Tidak 1 026 (91.7) Minuman Berkafein > 1 kali per hari 94 (8.4) 1 kali per hari 197 (17.6) 3 – 6 kali per minggu 43 (3.8) 1 – 2 kali per minggu 102 (9.1) < 3 kali per bulan 131 (11.7) Tidak pernah 552 (49.3)
Rokan Hilir (n=1 218)
Wonogiri (n=1 586)
Salatiga (n=1 181)
Total (n=5 104)
331 (27.2) 485 (39.8)
212 (13.4) 1 010 (63.7)
226 (19.1) 364 (30.8)
1 066 (20.9) 2 234 (43.8)
109 (8.9) 1 109 (91.1)
16 (1.0) 1 570 (99.0)
75 (6.4) 1 106 (93.6)
293 (5.7) 4 811 (94.3)
186 (15.3) 338 (27.8) 201 (16.5) 106 (8.7) 50 (4.1) 337 (27.7)
84 (5.3) 175 (11.0) 212 (13.4) 224 (14.1) 211 (13.3) 673 (42.4)
101 (8.6) 252 (21.3) 103 (8.7) 143 (12.1) 84 (7.1) 496 (42.0)
465 (9.1) 962 (18.8) 559 (11.0) 575 (11.3) 476 (9.3) 2 058 (40.3)
Kebiasaan Merokok Kebiasaan merokok contoh dibagi menjadi 4, yaitu merokok setiap hari, merokok kadang-kadang, tidak merokok tetapi sebelumnya pernah, dan tidak pernah merokok sama sekali. Proporsi contoh yang memiliki kebiasaan merokok setiap hari sebesar 29.5% dan sebelumnya pernah merokok sebesar 5.3% (Tabel 7). Angka tersebut lebih tinggi daripada prevalensi nasional, yaitu 23.7% perokok setiap hari dan 3.0% mantan perokok (Depkes 2008). Hal ini perlu diwaspadai mengingat banyaknya dampak negatif rokok, seperti penyakit degeneratif, gangguan pernapasan, gangguan kehamilan, dll. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok Kabupaten/Kota (n (%)) Kebiasaan Merokok
Kuantan Singingi (n=1 119) Setiap hari 371 (33.2) Kadang-kadang 37 (3.3) Sebelumnya pernah 48 (4.3) Tidak pernah 663 ( 59.2)
Rokan Hilir (n=1 218) 371 (30.5) 74 (6.1) 50 (4.1) 723 (59.4)
Wonogiri (n=1 586)
Salatiga (n=1 181)
449 (28.3) 88 (5.5) 52 (3.3) 997 (62.9)
314 (26.6) 83 (7.0) 119 (10.1) 665 (56.3)
Total (n=5 104) 1 505 (29.5) 282 (5.5) 269 (5.3) 3 048 (59.7)
Stress Status stress dinilai dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) WHO, yang berisi 20 pertanyaan mengenai gangguan mental emosional. Kondisi tertekan (stress) dapat berpengaruh terhadap kondisi fisik seseorang dan diduga dapat memicu kenaikan tekanan darah seseorang (Yan et al. 2003). Sebanyak 13.4% contoh mengalami stress (Tabel 8), sementara itu pada masing-masing daerah juga menunjukkan angka yang lebih tinggi dari prevalensi nasional yaitu 11.6% (Depkes 2008). Berdasarkan sejumlah pertanyaan yang diajukan untuk
40
menilai stress, proporsi terbesar contoh menjawab menderita sakit kepala (45.8%), sulit tidur (22.8%), tidak memiliki nafsu makan (19.8%), mudah lelah (36.1%), dan merasa tidak enak perut (17.3%) (Lampiran 1). Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan status stress Kabupaten/Kota (n (%)) Stress Tidak stress Stress
Kuantan Singingi (n=1 119) 957 (85.5) 162 (14.5)
Rokan Hilir (n=1 218)
Wonogiri (n=1 586)
Salatiga (n=1 181)
Total (n=5 104)
975 (80.0) 1 475 (93.0) 1 011 (85.6) 4 418 (86.6) 243 (20.0) 111 (7.0) 170 (14.4) 686 (13.4)
Profil Kejadian Hipertensi Hipertensi merupakan suatu kondisi seseorang yang memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik diatas normal. Ada beberapa cut-off point yang dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi hipertensi, namun pada penelitian ini digunakan klasifikasi hipertensi berdasarkan The Seventh Report of Joint National Committee (JNC-7) tahun 2003. Klasifikasi hipertensi menurut JNC-7 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 9 Klasifikasi hipertensi Klasifikasi Hipertensi TDS* (mmHg) Normal <120 Pre-hipertensi 120-139 Hipertensi tingkat 1 140-159 Hipertensi tingkat 2 ≥160 *TDS Tekanan Darah Sistolik **TDD Tekanan darah Diastolik Sumber : U.S. Department of Health and Human Services (2004)
TDD** (mmHg) <80 80-89 90-99 100
Berdasarkan klasifikasi tersebut dapat diketahui bahwa sebanyak 20.0% contoh mengalami hipertensi tingkat 2 (yang selanjutnya disebut hipertensi 2). Sebanyak 29.2% contoh mengalami hipertensi tingkat 1 (yang selanjutnya disebut hipertensi 1) dan sebanyak 38.9% contoh mengalami pre-hipertensi (Tabel 10). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada contoh di keempat kabupaten/kota. Pada pembahasan selanjutnya, yang dimaksud dengan hipertensi adalah hipertensi 1 dan hipertensi 2. Hasil perhitungan prevalensi hipertensi yang diperoleh pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hasil survei Riskesdas 2007. Hasil survei tersebut menemukan prevalensi hipertensi di Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Wonogiri dan Salatiga berturut-turut adalah 46.29%, 47.74%, 49.48%, dan 45.19%. Sementara itu, pada penelitian ini ditemukan prevalensinya berturut-
41
turut adalah 48.8%, 49.8%, 50.7%, dan 47.0%. Hal ini mungkin disebabkan oleh penghilangkan sejumlah data yang tidak lengkap dan/atau memiliki nilai ekstrim pada proses cleaning. Contoh yang drop out ditemukan sejumlah 460 orang. Selain itu data ibu hamil tidak diikutsertakan dalam analisis karena pada masa kehamilan terjadi perubahan fisiologis tubuh (fungsi hormonal), yang mempengaruhi pengaturan tekanan darah. Tekanan darah pada trimester pertama kehamilan biasanya sama dengan sebelum hamil, pada trimester kedua tekanan darah cenderung turun tetapi pada trimester ketiga biasanya tekanan darah naik kembali (Anonim 2008). Hipertensi merupakan gejala menonjol pada toksemia kehamilan, suatu keadaan yang mungkin disebabkan oleh polipeptida presor yang disekresikan plasenta (Ganong 1998). Kelebihan berat badan, tekanan psikologis, stress, dan ketegangan pada ibu hamil bisa menyebabkan hipertensi (Khomsan 2004). Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan klasifikasi hipertensi Kabupaten/Kota Total Kuantan Rokan Hilir Wonogiri Salatiga n (%) Singingi n (%) n (%) n (%) n (%) Normal 108 (9.7) 132 (10.8) 169 (10.7) 196 (16.6) 605 (11.9) Prehipertensi (ringan) 465 (41.6) 479 (39.3) 612 (38.6) 430 (36.4) 1986 (38.9) Hipertensi 1 (sedang) 354 (31.6) 350 (28.7) 467 (29.4) 319 (27.0) 1490 (29.2) Hipertensi 2 (berat) 192 (17.2) 257 (21.1) 338 (21.3) 236 (20.0) 1023 (20.0) Total 1 119 (100.0) 1 218 (100.0) 1 586 (100.0) 1 181 (100.0) 5 104 (100.0) Klasifikasi Hipertensi
Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Individu Umur Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh golongan umur ≥75 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil survei Riskesdas 2007 yang menetapkan prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia pada golongan umur ≥75 tahun. Lebih dari separuh contoh pada golongan umur ≥35 tahun telah mengalami kejadian hipertensi di Kuantan Singingi dan Rokan Hilir. Sementara itu kejadian hipertensi di Wonogiri dan Salatiga mulai banyak dialami oleh golongan ≥45 tahun. Hal ini sejalan dengan Krummel (2004) yang menyatakan bahwa penyakit hipertensi paling banyak dialami oleh kelompok umur 31-55 tahun. Sejalan dengan bertambahnya umur hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan sistolik terus meningkat sampai umur 80 tahun dan tekanan
42
diastolik terus meningkat sampai umur 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kondisi individu dengan kejadian hipertensi Hipertensi (n (%)) Kondisi Individu Umur 18-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 >=75 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Status Gizi Kurus Normal BB lebih Obesitas Total
Kuantan Singingi
Rokan Hilir
Wonogiri
Salatiga
Total
52 (29.5) 118 (35.6) 139 (55.6) 113 (58.9) 59 (64.8) 45 (80.4) 20 (87.0)
64 (27.2) 139 (39.2) 161 (56.7) 131 (66.5) 62 (74.7) 34 (73.9) 16 (80.0)
36 (25.7) 83 (33.5) 143 (40.3) 165 (54.8) 152 (59.1) 145 (78.0) 81 (81.8)
39 (21.5) 72 (29.9) 97 (39.3) 133 (58.3) 91 (68.9) 70 (83.3) 53 (77.9)
191 (26.1) 412 (35.1) 540 (47.5) 542 (59.0) 364 (64.7) 294 (79.0) 170 (81.0)
278 (50.3) 268 (47.3)
338 (53.8) 269 (45.6)
373 (50.3) 432 (51.2)
262 (46.1) 1 251 (50.2) 293 (47.8) 1 262 (48.3)
57 (41.9) 367 (47.2) 46 (47.9) 76 (69.1) 546 (48.8)
43 (50.0) 389 (47.6) 102 (54.0) 73 (58.4) 607 (49.8)
101 (45.3) 548 (49.5) 73 (58.4) 83 (63.8) 805 (50.8)
42 (34.1) 243 (42.8) 282 (40.2) 1 586 (46.6) 86 (60.6) 307 (55.6) 145 (67.8) 377 (65.1) 555 (47.0) 2 513 (49.2)
Jenis Kelamin Tabel 11 menyajikan sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Secara umum prevalensi hipertensi pada laki-laki (50.2%) lebih tinggi daripada perempuan (48.3%), namun prevalensi hipertensi pada lakilaki di Wonogiri dan Salatiga lebih rendah daripada perempuan. Hal tersebut diduga karena adanya hormon estrogen yang dapat melindungi wanita dari penyakit kardiovaskuler. Sementara itu, contoh perempuan di Wonogiri dan Salatiga diduga berumur dewasa menengah atau dewasa akhir sehingga kadar hormon estrogennya menurun. Hormon estrogen kadarnya akan semakin menurun
setelah
menopause.
Perempuan
yang
mengalami
masa
premenopause cenderung memiliki tekanan darah lebih tinggi daripada laki-laki (Armilawati 2007). Status Gizi Prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh contoh yang memiliki kategori IMT obesitas, baik secara keseluruhan maupun pada masing-masing daerah. Sementara itu prevalensi hipertensi pada contoh yang berstatus gizi normal lebih tinggi daripada status gizi kurus (Tabel11). Hal ini sesuai dengan Tesfaye et al. (2007) yang menemukan adanya hubungan linear positif antara IMT dengan
43
tekanan darah. Sabunga (2007) menambahkan, contoh berstatus gizi gemuk memiliki tekanan darah sistolik maupun diastolik yang lebih tinggi. Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Pendidikan Tabel 12 menyajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dengan kejadian hipertensi. Prevalensi hipertensi tertinggi terjadi pada contoh yang tidak tamat sekolah (65.3%). Hal ini sesuai dengan hasil survei nasional, dimana prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia dialami oleh golongan tidak sekolah (14.5%) (Depkes 2008). Sementara itu prevalensi hipertensi tertinggi pada keempat daerah masing-masing terjadi pada contoh tidak sekolah 61.5% (Kuantan Singingi), tamat perguruan tinggi 55.2% (Rokan Hilir), tidak sekolah 68.8% (Wonogiri), dan tidak sekolah 78.8% (Salatiga). Contoh yang tidak sekolah cenderung tidak bekerja, sekalipun bekerja tidak akan mendapatkan penghasilan yang besar. Golongan ini diduga memiliki tekanan psikis yang lebih besar dari lingkungan sekitar. Rasa tertekan (depresi) berhubungan dengan kejadian hipertensi (Yan et al. 2003). Sementara itu, contoh yang memiliki tingkat pendidikan tinggi diduga memiliki penghasilan yang tinggi, sehingga mempermudah akses terhadap pangan (Suhardjo 1989). Konsumsi pangan berlebih (khususnya pangan berisiko) diduga berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Pekerjaan Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan dengan kejadian hipertensi dapat dilihat pada Tabel 12. Secara umum prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh golongan tidak bekerja (60.9%). Sementara itu prevalensi hipertensi tertinggi di Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Wonogiri, dan Salatiga masing-masing terjadi pada golongan pegawai swasta (64.0%), petani (58.3%), tidak bekerja (72.7%), dan tidak bekerja (61.8%). Ditemukan hal yang senada dengan tingkat pendidikan contoh, dimana prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh golongan tidak sekolah dan tidak bekerja. Pekerjaan berhubungan dengan penghasilan dan kebiasaan makan seseorang (Suhardjo 1989). Tipe Wilayah Prevalensi hipertensi di perdesaan (50.1%) lebih tinggi daripada di perkotaan (47.8%). Prevalensi pada keempat daerah juga menunjukkan kecenderungan yang sama (Tabel 12). Hal ini berbeda dengan asumsi bahwa
44
perkotaan (dengan gaya hidup yang kurang baik) memiliki kecenderungan mengalami hipertensi lebih tinggi. Sebelumnya terdapat asumsi bahwa di perkotaan cenderung lebih mudah mengakses informasi dan teknologi yang membuat rendahnya aktivitas fisik dan konsumsi serat; tingginya konsumsi makanan/minuman berisiko, pangan tinggi kalori, merokok, alkohol, serta tingginya tingkat stress dapat memicu kejadian hipertensi. Asumsi ini mungkin sedikit berkurang dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya hidup sehat dan upaya memperpanjang umur harapan hidup. Status Perkawinan Berdasarkan status perkawinan, prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh contoh yang telah bercerai, baik cerai hidup (74.2%) maupun cerai mati (73.6%). Prevalensi pada keempat daerah juga menunjukkan kecenderungan yang sama (Tabel 12). Hal ini diduga karena contoh yang telah bercerai mengalami tekanan dan rasa sedih berpisah dengan pasangannya, sehingga ia mengalami depresi. Selain itu, contoh diduga memiliki kebiasaan yang kurang baik; seperti kurang beraktivitas fisik, tinggi konsumsi pangan berisiko, dan rendah konsumsi serat; sehingga memicu peningkatan tekanan darah. Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Pada Tabel 12 dapat terlihat bahwa prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh golongan pengeluaran kuintil ke-5, yakni golongan pengeluaran tertinggi (52.5%). Sementara itu prevalensi hipertensi tertinggi di Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Wonogiri, dan Salatiga masing-masing dialami oleh kuintil ke-5 (52.5%), kuintil ke-5 (67.3%), kuintil ke-2 (54.3%), dan kuintil ke-4 (51.1%). Meskipun demikian, prevalensi hipertensi hampir menyebar merata pada masing-masing golongan pengeluaran. Tingkat pengeluaran seseorang berhubungan dengan gaya hidupnya (Suhardjo 1989). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kondisi sosial ekonomi dengan kejadian hipertensi Hipertensi n (%) Kondisi Sosial Ekonomi Pendidikan Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat perguruan tinggi
Kuantan Singingi
Rokan Hilir
64 (61.5) 101 (53.7) 157 (49.5) 102 (44.0) 100 (41.7) 22 (57.9)
46 (46.9) 95 (51.6) 142 (49.1) 144 (47.7) 168 (52.2) 12 (52.2)
Wonogiri
Salatiga
212 (68.8) 63 (78.8) 177 (57.3) 74 (59.7) 255 (49.8) 114 (50.7) 71 (33.5) 77 (40.7) 75 (36.6) 156 (39.1) 15 (37.5) 64 (43.8)
Total 385 (65.3) 447 (55.5) 668 (49.7) 394 (42.1) 499 (42.8) 113 (45.7)
45
Hipertensi n (%) Kondisi Sosial Ekonomi Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Ibu rumah tangga TNI/ Polri PNS Pegawai BUMN Pegawai swasta Wiraswasta/ pedagang Pelayanan jasa Petani Nelayan Buruh Lainnya Tipe Wilayah Perkotaan Perdesaan Status Perkawinan Belum kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati Tingkat Pengeluaran Kuintil ke-1 Kuintil ke-2 Kuintil ke-3 Kuintil ke-4 Kuintil ke-5 Total
Kuantan Singingi
Rokan Hilir
41 (50.6) 12 (41.4) 84 (42.9) 1 (50.0) 18 (56.3) 0 (0) 16 (64.0) 48 (53.9) 6 (60.0) 295 (51.3) 2 (66.7) 15 (25.0) 8 (50.0)
66 (54.1) 10 (27.8) 174 (45.9) 3 (37.5) 2 (40.0) 13 (56.5) 32 (54.2) 90 (52.3) 17 (56.7) 133 (58.3) 36 (42.4) 16 (41.0) 15 (46.9)
93 (72.7) 97 (61.8) 3 (25.0) 15 (25.9) 51 (47.7) 111 (47.2) 1 (16.7) 2 (33.3) 11 (44.0) 31 (43.1) 0 (0) 4 (57.1) 17 (32.1) 65 (44.8) 72 (38.9) 98 (49.2) 9 (36.0) 16 (37.2) 496 (53.4) 23 (53.5) 41 (43.6) 68 (38.6) 11 (52.4) 23 (63.9)
71 (46.1) 475 (49.2)
169 (49.4) 438 (50.0)
136 (50.4) 521 (46.9) 897 (47.8) 669 (50.8) 34 (49.3) 1 616 (50.1)
52 (30.8) 462 (51.2) 6 (60.0) 26 (70.3)
62 (33.0) 495 (51.6) 6 (75.0) 44 (69.8)
54 (36.7) 70 (30.4) 238 (32.4) 610 (48.6) 403 (48.1) 1 970 (49.8) 20 (76.9) 17 (77.3) 49 (74.2) 121 (77.1) 65 (71.4) 256 (73.6)
106 (46.3) 124 (51.0) 104 (45.0) 106 (49.8) 106 (52.2) 546 (48.8)
111 (42.7) 113 (44.0) 124 (49.8) 121 (49.0) 138 (67.3) 607 (49.8)
174 (48.5) 188 (54.3) 160 (51.0) 157 (53.6) 126 (46.0) 805 (50.8)
Wonogiri
Salatiga
Total 297 (60.9) 40 (29.6) 420 (45.8) 7 (31.8) 62 (46.3) 17 (51.5) 130 (46.1) 308 (47.8) 48 (44.4) 947 (53.4) 38 (43.2) 140 (37.9) 57 (54.3)
126 (47.0) 517 (46.3) 113 (45.2) 538 (49.1) 116 (45.8) 504 (48.1) 112 (51.1) 496 (51.0) 88 (46.1) 458 (52.5) 555 (47.0) 2 513 (49.2)
Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup Aktivitas Fisik Aktivitas fisik yang teratur mempunyai manfaat yang penting bagi kesehatan antara lain mengurangi risiko faktor penyakit jantung, stroke, diabetes mellitus, kanker payudara, kanker kolon, dan osteoporosis. Selain itu, aktivitas fisik yang teratur juga dapat membantu menurunkan berat badan, memelihara berat badan, dan mengurangi risiko jatuh pada orang umur lanjut (Supariasa 2001). Pada penelitian ini aktivitas fisik dikatakan cukup apabila dilakukan terusmenerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Berdasarkan pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa contoh yang kurang melakukan aktivitas fisik mengalami hipertensi lebih tinggi daripada contoh yang cukup melakukan aktivitas fisik. Jika dilihat dari masing-masing jenis kegiatan, contoh yang tidak melakukan aktivitas fisik berat memiliki proporsi yang lebih
46
tinggi terkena hipertensi daripada yang melakukannya, kecuali di Rokan Hilir. Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada contoh yang tidak memiliki kebiasaan aktivitas fisik sedang daripada yang melakukannya. Sementara itu, prevalensi hipertensi pada contoh yang tidak memiliki kebiasaan berjalan kaki atau bersepeda kayuh lebih tinggi daripada yang melakukannya, kecuali di Salatiga. Namun
demikian,
hasil
dari
tabulasi
silang
ini
hanya
menunjukkan
kecenderungannya saja. Analisis lanjut dibutuhkan untuk mengetahui tingkat signifikansi hubungan aktivitas fisik dengan hipertensi. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi Hipertensi (n %) Kategori
Kuantan Singingi
Rokan Hilir
Aktivitas fisik kumulatif Kurang 472 (49.4) Cukup 74 (45.1) Aktivitas fisik berat Ya 213 (47.7) Tidak 333 (49.6) Aktivitas fisik sedang Ya 399 (48.7) Tidak 147 (49.0) Berjalan kaki/bersepeda kayuh Ya 207 (42.5) Tidak 339 (53.6)
Wonogiri
Salatiga
Total
559 (51.4) 48 (36.6)
576 (50.8) 229 (50.7)
492 (47.2) 63 (45.7)
2 099 (49.8) 414 (46.8)
228 (53.1) 379 (48.0)
393 (48.3) 412 (53.4)
123 (44.1) 432 (47.9)
957 (48.6) 1 556 (49.6)
344 (43.8) 263 (60.7)
635 (49.8) 170 (54.7)
412 (45.8) 143 (50.7)
1 790 (47.4) 723 (54.5)
250 (43.1) 357 (56.0)
468 (48.0) 337 (55.1)
349 (47.4) 206 (46.3)
1 274 (45.9) 1 239 (53.2)
Kebiasaan Makan Kebiasaan makan merupakan cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan pengaruh fisiologis, psikologis, budaya, dan sosial. Banyak faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan, diantaranya adalah perbedaan etnis, tingkat sosial ekonomi, geografi, iklim, agama dan kepercayaan, serta tingkat kemajuan teknologi (Suhardjo 1989). Pada penelitian ini kebiasaan makan yang dinilai berhubungan dengan kejadian hipertensi adalah konsumsi buah dan sayur; makanan manis, makanan asin, makanan berlemak, jeroan, makanan awetan, minuman beralkohol, dan minuman berkafein. Berdasarkan kebiasaan konsumsi buah dan sayur, contoh yang memiliki kebiasaan kurang (49.4%) cenderung mengalami hipertensi lebih tinggi daripada yang mengkonsumsinya dalam jumlah cukup (46.2%). Prevalensi pada keempat daerah juga menunjukkan kecenderungan yang sama (Tabel 14). Pada penelitian ini seseorang dikatakan “cukup” konsumsi buah dan sayur apabila
47
makan buah dan/atau sayur sekurangnya 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2005), konsumsi serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena dapat mengurangi pemasukan energi dan obesitas, yang akhirnya akan menurunkan risiko hipertensi. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan dengan kejadian hipertensi Hipertensi (n %) Kebiasaan Makan
Kuantan Singingi
Buah dan Sayur Kurang 533 (48.9) Cukup 13 (44.8) Makanan/ minuman manis > 1 kali per hari 89 (43.2) 1 kali per hari 274 (52.7) 3 – 6 kali per minggu 34 (40.5) 1 – 2 kali per minggu 61 (49.6) < 3 kali per bulan 37 (47.4) Tidak pernah 51 (47.2) Makanan Asin > 1 kali per hari 18 (52.9) 1 kali per hari 31 (36.5) 3 – 6 kali per minggu 184 (57.9) 1 – 2 kali per minggu 177 (44.7) < 3 kali per bulan 110 (48.7) Tidak pernah 26 (43.3) Makanan Berlemak > 1 kali per hari 32 (43.2) 1 kali per hari 64 (37.0) 3 – 6 kali per minggu 53 (49.5) 1 – 2 kali per minggu 195 (52.6) < 3 kali per bulan 156 (52.0) Tidak pernah 46 (48.9) Jeroan > 1 kali per hari 17 (65.4) 1 kali per hari 5 (29.4) 3 – 6 kali per minggu 10 (40.0) 1 – 2 kali per minggu 60 (49.2) < 3 kali per bulan 197 (45.1) Tidak pernah 257 (52.2) Makanan Awetan > 1 kali per hari 8 (33.3) 1 kali per hari 11 (39.3) 3 – 6 kali per minggu 40 (46.0) 1 – 2 kali per minggu 142 (46.1) < 3 kali per bulan 142 (47.8) Tidak pernah 203 (54.1) Minuman Beralkohol Ya 44 (47.3) Tidak 502 (48.9) Minuman Berkafein > 1 kali per hari 44 (46.8)
Rokan Hilir
Wonogiri
596 (50.3) 11 (34.4)
719 (51.0) 86 (49.1)
548 (47.1) 2 396 (49.4) 7 (41.2) 117 (46.2)
172 (53.6) 184 (40.4) 38 (42.7) 100 (64.9) 77 (60.2) 36 (50.7)
444 (52.9) 223 (47.0) 51 (57.3) 37 (46.3) 7 (35.0) 37 (48.1)
212 (49.4) 228 (45.9) 37 (33.9) 40 (47.6) 10 (50.0) 25 (64.1)
917 (51.1) 909 (46.7) 160 (43.1) 238 (54.0) 131 (53.3) 149 (50.5)
105 (62.5) 71 (37.8) 135 (37.6) 114 (45.4) 76 (66.7) 106 (76.8)
106 (51.7) 54 (40.3) 163 (46.6) 192 (48.6) 159 (58.7) 123 (55.2)
41 (47.1) 116 (48.7) 113 (43.8) 150 (44.4) 53 (43.4) 76 (58.0)
270 (54.7) 272 (42.2) 595 (46.3) 633 (45.9) 398 (54.3) 331 (60.0)
8 (57.1) 34 (43.6) 103 (44.0) 132 (40.5) 205 (50.5) 125 (78.1)
48 (57.1) 14 (51.9) 60 (44.4) 163 (46.7) 223 (48.8) 290 (55.2)
64 (51.6) 103 (43.8) 113 (43.1) 148 (47.9) 76 (50.0) 48 (50.0)
152 (51.4) 215 (41.9) 329 (44.6) 638 (47.1) 660 (50.2) 509 (58.2)
13 (68.4) 15 (75.0) 39 (50.6) 188 (49.1) 233 (48.9) 119 (49.0)
2 (50.0) 9 (60.0) 18 (50.0) 47 (40.5) 173 (47.9) 550 (52.5)
4 (44.4) 6 (40.0) 38 (40.9) 92 (41.8) 182 (44.6) 230 (53.2)
36 (62.1) 35 (52.2) 105 45.5) 387 (46.0) 785 (46.7) 1 156 (52.2)
10 (58.8) 13 (68.4) 45 (40.5) 124 (48.6) 179 (54.1) 236 (48.7)
3 (37.5) 17 (63.0) 52 (51.0) 106 (48.4) 95 (44.8) 526 (52.1)
5 (35.7) 26 (41.3) 31 (40.3) 72 (47.7) 89 (44.5) 226 (45.2) 136 (45.6) 508 (47.0) 105 (46.5) 521 (48.9) 187 (51.4) 1 152 (51.6)
49 (45.0) 558 (50.3)
3 (18.8) 802 (51.1)
23 (30.7) 119 (40.6) 532 (48.1) 2 394 (49.8)
111 (59.7)
36 (42.9)
Salatiga
40 (39.6)
Total
231 (49.7)
48
Hipertensi (n %) Kebiasaan Makan 1 kali per hari 3 – 6 kali per minggu 1 – 2 kali per minggu < 3 kali per bulan Tidak pernah
Kuantan Singingi 101 (51.3) 19 (44.2) 57 (55.9) 52 (39.7) 273 (49.5)
Rokan Hilir 198 (58.6) 85 (42.3) 40 (37.7) 24 (48.0) 149 (44.2)
Wonogiri
Salatiga
82 (46.9) 102 (48.1) 95 (42.4) 115 (54.5) 369 (54.8)
Total
122 (48.4) 503 (52.3) 45 (43.7) 251 (44.9) 56 (39.2) 248 (43.1) 30 (35.7) 221 (46.4) 260 (52.4) 1 051 (51.1)
Makanan berisiko seperti makanan/minuman manis, makanan asin, makanan berlemak, jeroan, dan makanan yang diawetkan diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi. Prevalensi hipertensi tertinggi terjadi pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan/minuman manis 1-2 kali per minggu (54.0%), tidak pernah mengkonsumsi makanan asin (60.0%) dan makanan berlemak (58.2%), mengkonsumsi jeroan >1 kali per hari (62.1%), dan tidak pernah mengkonsumsi makanan yang diawetkan (51.6%) (Tabel 14). Prevalensi hipertensi tertinggi di Kuantan Singingi terjadi pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan/minuman manis 1 kali per hari (52.7%), mengkonsumsi makanan asin >1 kali per hari (52.9%), makanan berlemak 1-2 kali per minggu (52.6%); tidak pernah mengkonsumsi jeroan (65.4%) dan makanan yang diawetkan (54.1%). Kejadian hipertensi tertinggi di Rokan Hilir terjadi pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan/minuman
manis
1-2
kali
per
minggu
(64.9%),
tidak
pernah
mengkonsumsi makanan asin (76.8%), makanan berlemak (78.1%) dan jeroan (68.4%); dan konsumsi mengmakanan yang diawetkan 1 kali per hari (68.4%). Kejadian hipertensi tertinggi di Wonogiri terjadi pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan/minuman manis 3-6 kali per minggu (57.3%), mengkonsumsi makanan asin <3 kali per bulan (58.7%), mengkonsumsi makanan berlemak >1 kali per hari (57.1%), mengkonsumsi jeroan 1 kali per hari (60.0%), dan makanan yang diawetkan 1 kali per hari (63.0%). Sementara itu, kejadian hipertensi tertinggi di Salatiga terjadi pada contoh yang memiliki kebiasaan tidak pernah mengkonsumsi makanan/minuman manis (64.1%) dan makanan asin (58.0%), mengkonsumsi makanan berlemak >1 kali per hari (51.6%), tidak pernah mengkonsumsi jeroan (53.2%), dan tidak pernah mengkonsumsi makanan yang diawetkan (51.4%) (Tabel 14). Berdasarkan pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa contoh yang memiliki kebiasaan
mengkonsumsi
minuman
beralkohol
memiliki
kecenderungan
mengalami hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang tidak
49
mengkonsumsi alkohol. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada keempat daerah. Sementara itu, contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkafein 1 kali perhari dan tidak pernah mengkonsumsi kopi memiliki proporsi kejadian hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi konsumsi lainnya. Kebiasaan Merokok Berdasarkan pada Tabel 15, dapat diketahui kebiasaan merokok contoh terhadap kejadian hipertensi. Kebiasaan merokok dibedakan menjadi merokok setiap hari, kadang-kadang, sebelumnya pernah merokok, dan tidak pernah merokok sama sekali. Prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh contoh yang sebelumnya pernah memiliki kebiasaan merokok (68.8%), demikian pula pada masing-masing daerah. Contoh yang sebelumnya pernah merokok memiliki prevalensi hipertensi yang lebih tinggi dari kelompok lain : 68.8% di Kuantan Singingi, 80.0% di Rokan Hilir, 67.3% di Wonogiri, dan 64.7% di Salatiga. Sementara itu contoh yang merokok setiap hari memiliki prevalensi hipertensi yang lebih rendah. Hal ini diduga karena contoh yang merokok setiap hari memiliki gaya hidup yang lebih baik daripada yang lain. Selain itu, jenis rokok yang dihisap juga diduga mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Orang yang sebelumnya pernah merokok mungkin menghisap jenis rokok tanpa filter, sementara orang yang setiap hari merokok menghisap rokok dengan filter. Filter pada rokok terbuat dari bahan busa serabut sintetis yang berfungsi menyaring nikotin. Orang yang menghisap rokok tanpa filter akan memasukkan nikotin yang lebih banyak ke dalam tubuhnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa nikotin dapat mengganggu kesehatan (Tandra 2003). Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi Kebiasaan Merokok Setiap hari Kadang-kadang Sebelumnya pernah Tidak pernah
Hipertensi (n %) Kuantan Singingi 162 (43.7) 20 (54.1) 33 (68.8) 331 (49.9)
Rokan Hilir 195 (52.6) 33 (44.6) 40 (80.0) 339 (46.9)
Wonogiri
Salatiga
Total
213 (47.4) 51 (58.0) 35 (67.3) 506 (50.8)
124 (39.5) 45 (54.2) 77 (64.7) 309 (46.5)
694 (46.1) 149 (52.8) 185 (68.8) 1485 (48.7)
Stress Prevalensi hipertensi pada contoh yang mengalami stress (52.9%) lebih tinggi daripada contoh yang tidak stress (48.7%), demikian pula di Rokan Hilir dan Wonogiri. Prevalensi hipertensi di Salatiga lebih tinggi dialami oleh contoh
50
yang tidak stress (47.5%) daripada yang mengalami stress (44.1%), sedangkan di Kuantan Singingi tidak ditemukan prevalensi yang berbeda antara contoh yang stress maupun yang tidak. Faktor psikososial dari waktu terdesak, tidak sabar, prestasi kerja, kompetisi, permusuhan, depresi, dan rasa gelisah berhubungan dengan hipertensi (Yan et al. 2003). Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stress dengan kejadian hipertensi Hipertensi (n %) Stress Tidak Ya Total
Kuantan Singingi 467 (48.8) 79 (48.8) 546 (48.8)
Rokan Hilir 478 (49.0) 129 (53.1) 607 (49.8)
Wonogiri
Salatiga
725 (49.2) 80 (72.1) 805 (50.8)
480 (47.5) 75 (44.1) 555 (47.0)
Total 2 150 (48.7) 363 (52.9) 2 513 (49.2)
Hubungan Faktor Risiko dengan Hipertensi Kejadian hipertensi berhubungan dengan banyak faktor, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikut akan disajikan hubungan antara faktorfaktor yang diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tipe wilayah, status perkawinan, pengeluaran rumah tangga, aktivitas fisik, kebiasaan makan, kebiasaan merokok, stress, dan status gizi. Hubungan Umur dengan Hipertensi Berdasarkan pada Tabel 11, dapat diketahui bahwa kejadian hipertensi cenderung meningkat pada usia yang lebih tinggi. Hal ini didukung dengan hasil analisis korelasi Spearman yang menunjukkan adanya hubungan nyata positif antara umur dan hipertensi (r=0.327, p<0.05). Hasil korelasi nyata positif juga ditemukan pada keempat daerah, yang masing-masing memiliki nilai koefisien korelasi sebesar (r=0.298, p<0.05) Kuantan Singingi, (r=0.325, p<0.05) Rokan Hilir, (r=0.333, p<0.05) Wonogiri dan (r=0.298, p<0.05) Salatiga (Tabel 20). Hubungan bersifat positif berarti bahwa meningkatnya umur akan diikuti dengan meningkatnya kejadian hipertensi. Sejalan dengan Krummel (2004), semakin bertambahnya umur hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah. Hal ini diduga karena penurunan elastisitas pembuluh darah yang disebabkan oleh aterosklesoris, yang terbentuk dari penumpukan lemak, kolesterol, karbohidrat kompleks, lipoprotein, jaringan ikat, dan pengapuran kalsium. Secara alamiah proses ini berlangsung di dalam tubuh, yang semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan keberadaan faktor pemicu.
51
Tabel 17 Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi
Variabel Kelompok umur Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Tipe Wilayah Status perkawinan Pengeluaran Aktivitas fisik AF berat 10 menit AF sedang 10 menit AF jalan kaki/ bersepeda Kebiasaan makan Buah dan sayur Makanan manis Makanan asin Makanan berlemak Jeroan Makanan awetan Minuman beralkohol Minuman berkafein Kebiasaan merokok Stress Status gizi * Hubungan nyata (p<0.05)
Kuantan Singingi
Hipertensi (Koefisien korelasi (r)*) Rokan Wonogiri Salatiga Hilir
Total
0.298* 0.029 -0.097* 0.067 0.021 0.096* 0.028 -0.030 0.019 0.002 0.110*
0.325* 0.082* 0.016 0.061 0.005 0.068* 0.142* -0.092* -0.049 0.162* 0.128*
0.333* 0.009 -0.232* 0.137* 0.003 0.085* -0.010 -0.001 0.051* 0.039 0.068*
0.394* 0.017 -0.169* 0.068 0.011 0.034 0.013 -0.010 0.032 0.042 -0.011
0.327* 0.019 -0.133* 0.029 0.022 0.021 0.039* -0.023 0.010 0.063* 0.073*
-0.013 0.005 -0.040 0.074* 0.048 0.081* 0.009 0.001 0.046 0.000 0.109*
-0.051 0.050 0.121* 0.173* -0.030 0.004 0.031 -0.134* -0.058* 0.032 0.061*
-0.011 -0.038 0.079* 0.058 0.061* 0.033 0.065* 0.086* 0.015 0.117* 0.091*
-0.014 -0.025 0.028 0.028 0.099* 0.068* 0.085* 0.070* 0.028 -0.024 0.233*
-0.014 -0.005 0.063* 0.083* 0.048* 0.049* 0.043* 0.011 0.008 0.029* 0.120*
Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipertensi Berdasarkan pada Tabel 11, terlihat bahwa prevalensi hipertensi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sementara itu prevalensi hipertensi di Wonogiri dan Salatiga cenderung lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Hubungan yang nyata (p<0.05) hanya terdapat di Rokan Hilir saja, sedangkan yang lainnya tidak. Hal ini menunjukkan kecenderungan hipertensi yang berbeda pada masing-masing daerah terkait jenis kelamin. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyebutkan hasil yang berbeda mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap hipertensi. Khomsan (2004) menyebutkan bahwa hipertensi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, karena perempuan memiliki hormon estrogen yang berperan sebagai protektor peningkatan tekanan darah. Sementara itu Tesfaye et al. (2007) menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi pada wanita (25%) lebih besar daripada pria (24%). Hal ini diduga karena pengaruh genetik dan umur. Wanita dewasa muda cenderung lebih terlindungi daripada wanita dewasa akhir, karena kadar hormon estrogen yang semakin menurun seiring dengan masa menopouse.
52
Hubungan Pendidikan dengan Hipertensi Secara umum, prevalensi hipertensi pada contoh yang memiliki tingkat pendidikan tinggi lebih rendah daripada contoh yang memiliki tingkat pendidikan rendah (Tabel 12). Hal ini didukung dengan hasil uji statistik yang menemukan adanya hubungan nyata negatif (r=-0.133, p<0.005). Hubungan nyata negatif antara pendidikan dengan hipertensi juga ditemukan di Kuantan Singingi, Wonogiri, dan Salatiga (Tabel 17). Namun demikian, tidak ditemukan adanya hubungan yang nyata di Rokan Hilir (p>0.05). Hanya terdapat kecenderungan positif, artinya orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung lebih tinggi mengalami hipertensi daripada orang yang memiliki pendidikan rendah. Pendidikan juga berhubungan nyata dengan gaya hidup, stress dan status gizi (Lampiran 2). Hubungan Pekerjaan dengan Hipertensi Secara keseluruhan tidak terdapat hubungan yang nyata antara jenis pekerjaan dengan kejadian hipertensi (p>0.05), namun di Wonogiri terdapat hubungan yang nyata (Tabel 17). Hal ini berarti semua jenis pekerjaan memiliki peluang yang sama untuk mengalami hipertensi. Namun demikian, berdasarkan pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa kejadian hipertensi pada contoh yang tidak bekerja lebih tinggi daripada jenis pekerjaan lainnya. Hal ini juga diduga karena pekerjaan berhubungan dengan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Pada umumnya orang yang tidak bekerja tidak memiliki pendapatan ataupun memiliki pendapatan yang rendah, sehingga pola konsumsinya kurang beragam dan hanya mengkonsumsi nasi dengan ikan asin, tempe goreng dan sayur seadanya. Hubungan Tipe Wilayah dengan Hipertensi Hasil analisis statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara tipe wilayah dengan hipertensi (p>0.05) (Tabel 17). Hal ini berarti bahwa orang yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan memiliki peluang yang sama untuk mengalami hipertensi. Namun demikian, kejadian hipertensi di perdesaan cenderung lebih tinggi daripada di perkotaan (Tabel 12). Hal ini diduga
karena
rendahnya
pengetahuan
gizi masyarakat
perdesaan. Informasi gizi melalui media cetak dan elektronik di perkotaan telah berkembang pesat, sehingga memungkinkan tingginya tingkat pengetahuan gizi.
53
Pengetahuan gizi yang baik serta tersedianya aspek finansial dan teknologi yang memadai, mendukung masyarakat perkotaan untuk hidup sehat. Hubungan Status Perkawinan dengan Hipertensi Berdasarkan pada Tabel 12, dapat diketahui bahwa contoh yang ditinggal oleh pasangan (cerai) memiliki prevalensi hipertensi lebih tinggi daripada golongan lainnya. Fakta tersebut diperkuat dengan hasil analisis statistik yang menunjukkan hubungan nyata (p<0.05) di Kuantan Singingi, Rokan Hilir, dan Wonogiri (Tabel 17). Hal ini diduga karena orang yang ditinggal oleh pasangannya memiliki tekanan psikis (stress) yang lebih tinggi daripada orang yang belum menikah. Seperti telah diketahui, stress dapat memicu kenaikan darah seseorang. Hubungan Pengeluaran Perkapita dengan Hipertensi Hasil uji statistik secara umum dan di Rokan Hilir menunjukkan hubungan nyata positif antara pengeluaran dengan hipertensi (p<0.05), sedangkan di Kuantan Singingi dan Salatiga hanya menunjukkan kecenderungan positif. Hubungan bersifat positif artinya bahwa kejadian hipertensi lebih tinggi pada kuintil pengeluaran ke-5 daripada kuintil ke-1. Sementara itu, terdapat kecenderungan hubungan negatif di Wonogiri (Tabel 17). Secara umum, pengeluaran rumah tangga juga berhubungan nyata dengan gaya hidup dan status gizi. Semakin tinggi pengeluaran perkapita, seseorang memiliki kebiasaan tidak melakukan aktivitas fisik (r=0.106, p<0.05), semakin sering mengkonsumsi makanan/minuman manis (r=-0.053, p<0.05), makanan berlemak (r=-0.050, p<0.05), makanan jeroan (r=-0.112, p<0.05), minuman beralkohol (r=-0.041, p<0.05), dan mengalami obesitas (r=0.039, p<0.05) (Lampiran 2). Hubungan Aktivitas Fisik dengan Hipertensi Berdasarkan pada Tabel 17, dapat diketahui bahwa aktivitas fisik sedang dan kebiasaan berjalan kaki atau bersepeda kayuh yang masing-masing dilakukan minimal 10 menit berhubungan nyata positif dengan hipertensi. Hal ini berarti bahwa kejadian hipertensi lebih tinggi pada orang yang tidak memiliki kebiasaan aktivitas fisik tersebut daripada orang yang melakukannya (p<0.05). Sementara itu, orang yang memiliki aktivitas fisik kumulatif yang cukup
54
cenderung lebih kecil mengalami hipertensi dan orang yang tidak melakukan aktivitas fisik berat cenderung lebih tinggi mengalami hipertensi (p>0.05). Hubungan nyata negatif antara aktivitas fisik kumulatif hanya ditemukan di Rokan Hilir. Hubungan nyata positif antara aktivitas fisik berat dengan hipertensi hanya ditemukan di Wonogiri. Hubungan nyata positif antara aktivitas fisik sedang dengan hipertensi ditemukan pada keseluruhan contoh dan di Rokan Hilir. Hubungan nyata positif antara aktivitas berjalan kaki atau bersepeda kayuh dengan hipertensi ditemukan pada setiap daerah kecuali Salatiga (Tabel 17). Olahraga isotonik, seperti jalan kaki, jogging, dan berenang, mampu menekan hormon noradrenalin dan hormon-hormon lain penyebab menyempitnya pembuluh darah. Sementara itu, olahraga isometrik seperti angkat beban justru akan meningkatkan tekanan darah (Perdughi 2006). Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi Tidak ada hubungan yang nyata antara konsumsi buah dan sayur dengan kejadian hipertensi (p>0.05) (Tabel 17). Namun demikian berdasarkan pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa prevalensi hipertensi tertinggi terdapat pada contoh yang kurang mengkonsumsi buah dan sayur. Hal ini sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah dan penurunan konsumsi lemak pangan disertai dengan penurunan konsumsi lemak total dan lemak jenuh dapat menurunkan tekanan darah (Dauchet et al. 2007). Selain itu, tingginya konsumsi biji-bijian dengan kulit berhubungan dengan penurunan risiko hipertensi pada orang dewasa dan lansia wanita (Wang et al. 2007). Krisnatuti dan Yenrina (2005) menambahkan, tingginya serat pangan dalam buah dan sayur dapat mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan menurunkan risiko hipertensi. Hubungan Konsumsi Makanan Manis dengan Hipertensi Berdasarkan pada Tabel 14, dapat diketahui bahwa prevalensi hipertensi tertinggi dialami oleh contoh yang memiliki kebiasaaan mengkonsumsi makanan/minuman manis dengan frekuensi jarang. Namun demikian, hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata (Tabel 17). Hal ini sejalan dengan Johnson et al. (2007) yang menyatakan bahwa dosis fruktosa yang tinggi dapat meningkatkan tekanan darah dan perubahan mikrovaskular. Selain itu fruktosa (gula sederhana) yang menghasilkan rasa manis tidak memberikan efek kepuasan setelah makan. Seseorang yang mengkonsumsi
55
makanan/minuman yang manis tidak akan merasa puas dan akan makan terus menerus (Johnson et al. 2007). Konsumsi yang berlebihan akan meningkatkan asupan energi yang selanjutnya disimpan tubuh sebagai cadangan lemak. Penumpukan lemak tubuh pada perut akan menyebabkan obesitas sentral sedangkan penumpukan pada pembuluh darah akan menyumbat peredaran darah dan membentuk plak (aterosklerosis) yang berdampak pada hipertensi dan jantung koroner. Hubungan Konsumsi Makanan Asin dan Awetan dengan Hipertensi Sesuai dengan Tabel 14, hasil uji statistik juga menemukan bahwa konsumsi makanan asin dan makanan awetan berhubungan nyata positif dengan hipertensi (Tabel 17). Hal ini berarti bahwa kejadian hipertensi lebih tinggi pada orang yang memiliki kebiasaan konsumsi makanan asin dan makanan awetan dengan
frekuensi
kadang-kadang
atau
jarang,
daripada
orang
yang
mengkonsumsinya dengan frekuensi sering. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Williams (1991) yang menjelaskan bahwa makan natrium berlebih dapat mengganggu kerja ginjal. Krummel (2004) menambahkan, populasi yang mengkonsumsi garam dalam jumlah yang kecil (70mEq/hari) terbukti memiliki riwayat hipertensi yang rendah pula. Hal ini diduga karena contoh penderita hipertensi tidak mengalami sensitivitas garam yang tinggi. Beberapa orang penderita hipertensi tidak mengalami kenaikan tekanan darah dengan mengkonsumsi garam yang tinggi (salt-resistant hypertension). Sekitar 30-50% penderita hipertensi dan 15-25% bukan penderita hipertensi mengalami sensitivitas garam yang tinggi, yang banyak ditemukan pada orang kulit hitam, obesitas, lanjut usia, diabetes, disfungsi ginjal, dan pengguna obat cyclosporine (Johnson et al. 2002). Hubungan Konsumsi Makanan Berlemak dan Jeroan dengan Hipertensi Hubungan nyata positif antara makan makanan berlemak dengan hipertensi hampir ditemukan pada setiap daerah, kecuali di Wonogiri dan Salatiga
(Tabel
17).
Pada
kedua
daerah
tersebut
hanya
ditemukan
kecenderungan positif, artinya kejadian hipertensi lebih tinggi dialami oleh contoh yang tidak pernah mengkonsumsi makanan berlemak. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Tesfaye et al. (2007) yang menyatakan bahwa konsumsi pangan tinggi lemak dan energi dapat menyebabkan obesitas dan berakhir pada peningkatan tekanan darah.
56
Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa prevalensi hipertensi lebih tinggi pada contoh yang mengkonsumsi jeroan dengan frekuensi kadang-kadang atau jarang, daripada yang mengkonsumsinya dengan frekuensi sering. Fakta ini diperkuat dengan uji statistik yang menemukan adanya hubungan nyata positif antara frekuensi makan jeroan dengan hipertensi (p<0.05). Namun demikian, pada beberapa daerah seperti Kuantan Singingi dan Rokan Hilir tidak ditemukan adanya hubungan yang nyata (Tabel 17). Hal ini tidak sesuai dengan Almatsier (2003) yang menyatakan bahwa konsumsi jeroan berlebih dapat menimbulkan penimbunan kolesterol LDL dan meningkatkan penyempitan pembuluh darah. Hubungan Konsumsi Minuman Beralkohol dengan Hipertensi Berdasarkan pada Tabel 14, dapat diketahui bahwa prevalensi hipertensi pada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol lebih tinggi daripada orang yang mengkonsumsinya. Fakta ini didukung dengan uji statistik yang menemukan adanya hubungan nyata positif antara konsumsi minuman beralkohol dengan hipertensi (Tabel 17). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Krummel (2004), yang menyatakan bahwa konsumsi alkohol merupakan faktor penting yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Sementara itu Renaud et al. (2004) menemukan adanya efek dari salah satu jenis minuman beralkohol, yaitu wine, yang bersifat protektif terhadap hipertensi, penyakit jantung, dan stroke. Hal ini diduga karena kelemahan jenis studi yang digunakan. Salah satu kelemahan studi cross sectional ini adalah tidak dapat mempelajari pengaruh paparan (exposure) dan penyakit (outcome), karena pengumpulan datanya dilakukan sewaktu. Adanya budaya atau norma agama di suatu masyarakat yang melarang atau hanya mengkonsumsi alkohol pada perayaan hari-hari penting saja menyebabkan kerancuan data yang dikumpulkan. Boleh jadi pada saat pengumpulan data bersamaan dengan upacara keagamaan tertentu, sehingga seseorang yang mengkonsumsi alkohol pada saat itu dianggap memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Hubungan Konsumsi Minuman Berkafein dengan Hipertensi Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara konsumsi minuman berkafein dengan hipertensi (Tabel 17). Namun demikian, terdapat dua hubungan yang saling berlawanan. Hubungan nyata negatif ditemukan di Rokan Hilir, sedangkan hubungan nyata positif ditemukan di Wonogiri dan Salatiga. Hal ini sejalan dengan Uiterwaal et al. (2007) yang
57
menyatakan bahwa penelitian mengenai pengaruh kafein terhadap kejadian hipertensi belum menunjukkan hasil yang konsisten. Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif antara konsumsi kafein dengan kejadian hipertensi, sebagian lagi menunjukkan adanya pengaruh positif. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Hipertensi Hubungan yang nyata antara kebiasaan merokok dengan hipertensi hanya ditemukan di Rokan Hilir (Tabel 17). Hubungan bersifat negatif, artinya contoh yang tidak pernah merokok lebih rendah mengalami kejadian hipertensi. Berdasarkan Tabel 15, prevalensi hipertensi tertinggi (68.8%) terdapat pada contoh yang sebelumnya merokok. Hal ini diduga karena pengaruh nikotin dalam
rokok.
Nikotin
dapat
mengganggu
sistem
saraf
simpatis
yang
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak dan banyak bagian tubuh lainnya (Tandra 2003). Selain itu, merokok juga dapat mengubah metabolisme kolesterol ke arah aterogenik, meningkatkan kadar kolesterol darah, meningkatkan LDL, menurunkan kadar HDL (Karyadi 2002), dan mengaktifkan platelet (sel-sel penggumpal darah) (Khomsan 2004). Hubungan Stress dengan Hipertensi Secara umum ditemukan adanya hubungan nyata positif antara stress dengan hipertensi (r=0.029, p<0.05). Sementara itu, hubungan tingkat stress dengan hipertensi di masing-masing daerah tidak menunjukkan hubungan yang nyata (Tabel 17). Hasil penelitian ini sesuai dengan Peebles dan Hammer (2006) yang menyatakan bahwa aktivitas sistem syaraf simpatik berlebih karena stress dan resistansi insulin berkontribusi dalam kejadian hipertensi pada anak maupun orang dewasa. Hasil yang berbeda ini diduga karena adanya bias informasi dari contoh dan bias rentang waktu pengumpulan data. Bias informasi dapat terjadi jika contoh merasa malu dan tidak jujur atau lupa saat menjawab pertanyaan yang diajukan. Sementara itu, bias rentang waktu pengumpulan data dapat terjadi karena pertanyaan yang diajukan hanya berlaku pada 30 hari terakhir saja. Sedangkan seperti telah diketahui, hipertensi dapat disebabkan oleh tekanan atau stress yang berlangsung lama.
58
Hubungan Status Gizi dengan Hipertensi Hasil uji statistik menemukan adanya hubungan nyata positif antara status gizi dengan hipertensi pada masing-masing daerah (Tabel 170). Hubungan positif berarti bahwa kejadian hipertensi lebih tinggi pada contoh yang memiliki kategori IMT tinggi (BB lebih dan Obesitas) daripada orang yang memiliki IMT rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Peebles & Hammer (2006) dan Sabunga (2007) yang menyatakan bahwa risiko hipertensi meningkat seiring dengan peningkatan BMI. Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi diduga karena perubahan fisiologis, yaitu resistensi insulin dan hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotenin; dan perubahan organ ginjal. Peningkatan asupan energi juga berhubungan dengan peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor natriuretik dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah (Krummel 2004).
Faktor Risiko Hipertensi Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju maupun negara berkembang. Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal. Sebanyak 49.2% contoh dalam penelitian ini mengalami hipertensi dan 38.9% contoh mengalami pre-hipertensi. Faktor risiko diartikan sebagai faktor-faktor yang keberadaannya dapat meningkatkan (faktor pemicu) atau menurunkan (faktor protektif) peluang kejadian suatu penyakit. Hubungan faktor-faktor risiko dengan kejadian hipertensi dianalisis secara bersama-sama menggunakan analisis multivariat regresi logistik. Variabel yang masuk dalam analisis multivariat ini adalah yang memiliki nilai signifikansi p<0.05. Faktor-faktor risiko tersebut (Tabel 17) dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik multivariat. Banyak faktor yang diduga dapat menyebabkan hipertensi di keempat kabupaten/kota dengan prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia ini. Akan tetapi, setelah dianalisis lebih lanjut dengan analisis multivariat, ada beberapa variabel yang sebelumnya signifikan tetapi setelah dibandingkan dengan variabel lain menjadi tidak signifikan. Hal ini dapat terjadi karena ada kemungkinan
59
pengaruh variabel tersebut tidak cukup besar apabila dibandingkan dengan variabel-variabel lain, sehingga variabel tersebut akan keluar dengan sendirinya. Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi secara keseluruhan di keempat daerah tersebut disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Faktor risiko hipertensi di keempat daerah Faktor Risiko
B
Umur (tahun) (0=18-40 40-60 >60 Pendidikan (0=
Sig.
OR
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
-1.475 -.691
.000 .000
.229 .501
.188 .412
.278 .609
.256
.003
1.292
1.090
1.531
-.206
.003
.814
.712
.931
-.296
.000
.744
.661
.837
.230
.002
1.258
1.092
1.450
-.609 -.989 1.546
.000 .000 .000
.544 .372 4.692
.472 .299
.628 .463
Negelkerke R Square = 12.8%
Berdasarkan pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa umur, aktivitas fisik sedang, berjalan kaki/bersepeda kayuh, dan status gizi merupakan faktor protektif (OR<1); sedangkan pendidikan dan konsumsi makanan asin merupakan faktor pemicu hipertensi (OR>1). Faktor protektif adalah faktor risiko yang dapat menurunkan peluang kejadian hipertensi, sedangkan faktor pemicu adalah faktor risiko yang dapat meningkatkan peluang kejadian hipertensi. Faktor protektif yang pertama adalah umur. Orang yang berumur 40-60 tahun memiliki peluang 77% lebih rendah (OR=0.229) dan orang yang berumur >60 tahun mengalami peluang 50% lebih rendah (OR=0.501) mengalami kejadian hipertensi daripada orang yang berumur 18-40 tahun. Berbeda dengan hasil analisis bivariat, dalam analisis multivariat umur yang lebih tua memiliki peluang hipertensi yang lebih rendah daripada umur yang lebih muda. Orang yang lebih tua mungkin lebih menyadari bahwa dirinya memiliki peluang mengalami berbagai penyakit komplikasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, adanya sikap waspada dan pengelolaan gaya hidup yang baik dilakukan untuk
mencegah
timbulnya
penyakit
tersebut.
Hal inilah
menyebabkan umur lebih tua bersifat protektif terhadap hipertensi.
yang
diduga
60
Faktor kedua adalah aktivitas fisik sedang. Orang yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang memiliki peluang 19% lebih rendah (OR=0.814) daripada orang yang melakukannya. Faktor ketiga adalah berjalan kaki/bersepeda, yang memiliki peluang hipertensi 26% lebih rendah (OR=0.744) daripada orang yang melakukannya. Pada penelitian ini, kurangnya aktivitas fisik dapat mencegah kejadian hipertensi. Hal ini diduga karena intensitas aktivitas fisik dan energi yang dikeluarkan. Karena dalam penelitian ini hanya menekankan aspek kualitatif, maka tidak dapat diketahui intensitas aktivitas fisik dan jumlah energi yang dikeluarkan. Selain itu, orang yang tidak melakukan aktivitas fisik diduga memiliki pola konsumsi pangan yang lebih baik, sehingga dapat terhindar dari kejadian hipertensi. Orang yang tidak melakukan aktivitas fisik berhubungan dengan kebiasaan mengkonsumsi buah dan sayur dalam jumlah cukup (r=-0.028, p<0.05); jarang mengkonsumsi makanan/minuman manis (r=0.057, p<0.05), makanan berlemak (r=0.065, p<0.05), makanan awetan (r=0.037, p<0.05); dan tidak merokok setiap hari (r=0.042, p<0.05) (Lampiran 2). Faktor keempat adalah status gizi. Baik status gizi kurus maupun obesitas memiliki peluang hipertensi sebesar 46% dan 63% lebih rendah daripada status gizi normal. Status gizi kurus yang bersifat protektif diduga karena rendahnya konsumsi pangan, termasuk makanan berisiko. Orang yang memiliki status gizi kurus relatif terlindungi dari gangguan dislipidemia dan aterosklerosis yang dapat meningkatkan tekanan darah. Sementara itu, status gizi obesitas juga berperan sebagai faktor protektif. Hal ini diduga karena seseorang tidak mengkonsumsi makanan berisiko (khususnya makanan asin) meskipun dirinya mengalami obesitas. Faktor pemicu yang pertama adalah pendidikan. Pendidikan tamat SD dan tamat SLTP memiliki peluang mengalami hipertensi 29% lebih tinggi daripada pendidikan
yang lebih mudah. Suhardjo (1989)
mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin tinggi harga energi yang dikonsumsi.
61
Faktor kedua adalah makanan asin. Orang yang sering mengkonsumsi makanan asin memiliki peluang 26% lebih tinggi daripada orang yang jarang mengkonsumsinya. Orang yang sering mengkonsumsi makanan asin memiliki peluang hipertensi yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena beberapa hal, antara lain: ketidakmampuan ginjal untuk mengeskresikan natrium, pengaturan sirkulasi ginjal yang tidak normal, dan sekresi aldosteron (Williams 1991). Pembatasan konsumsi garam perlu dilakukan untuk mencapai tekanan darah normal, khususnya bagi yang memiliki sensitivitas garam yang tinggi. Salah satu rekomendasi pencegahan hipertensi di Amerika adalah dengan membatasi konsumsi garam 6 g/hari (100 mEq atau 2400 mg Na per hari). Nilai Negelkerke R Square menunjukkan persentase peluang kejadian yang dapat ditentukan oleh variabel-variebel pengaruh (Suharjo 2008). Berdasarkan nilai Negelkerke R Square model tersebut hanya dapat mewakili 12.8% dari variabel yang mempengaruhi hipertensi. Dengan kata lain, sebanyak 87.2% variabel yang berpengaruh terhadap hipertensi tidak diteliti. Variabel tersebut antara lain: faktor keturunan/genetik, kelainan hormon, penggunaan obat tertentu, intoleransi glukosa, kadar kolesterol darah, dan kelainan organ lain (ginjal, jantung, aterosklerosis). Faktor Risiko Hipertensi di Kuantan Singingi Umur, berjalan kaki/bersepeda, dan status gizi merupakan faktor protektif hipertensi di Kuantan Singingi. Orang yang berumur 40-60 tahun memiliki peluang 85% lebih rendah dan orang yang berumur >60 tahun memiliki peluang 55% lebih rendah mengalami hipertensi daripada orang yang berumur 18-40 tahun. Orang yang tidak memiliki kebiasaan berjalan kaki/bersepeda kayuh memiliki peluang mengalami hipertensi 35% lebih rendah daripada orang yang melakukannya. Orang yang memiliki status gizi kurus memiliki peluang hipertensi 43% lebih rendah dan orang yang berstatus gizi obesitas memiliki peluang hipertensi 71% lebih rendah daripada orang yang berstatus gizi normal. Sementara itu, konsumsi makanan berlemak merupakan faktor pemicu yang paling besar (OR=1.642). Makanan yang digoreng memiliki rasa yang gurih, renyah, enak, dan kaya lemak. Hal ini menyebabkan seseorang ingin makan terus menerus, sehingga memiliki densitas energi yang tinggi dan tingkat kepuasan yang rendah (Johnson et al. 2007). Rendahnya tingkat kepuasan dapat berpengaruh terhadap kemampuan respon insulin dan leptin, hormon yang menstimulasi rasa lapar-kenyang (Castillon et al. 2007). Konsumsi pangan tinggi
62
lemak juga dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan aterosklerosis (Almatsier 2003). Penumpukan dan pembentukan plak tersebut membuat pembuluh darah semakin sempit dan elastisitasnya berkurang. Peluang masing-masing faktor risiko terhadap kejadian hipertensi dapat dilihat dari nilai OR pada Tabel 19. Tabel 19 Faktor risiko hipertensi di Kuantan Singingi Faktor Risiko Umur (tahun) (0=18-40) 40-60) >60 Berjalan kaki/bersepeda (0=Ya) Tidak Makanan berlemak (0=Jarang) Sering Status gizi (0=Normal) Kurus Obesitas Constant
B
Sig.
OR
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
-1.916 -.797
.000 .005
.147 .451
.085 .257
.254 .791
-.435
.001
.647
.501
.836
.496
.002
1.642
1.199
2.249
-.555 -1.252 1.720
.001 .000 .000
.574 .286 5.587
.411 .175
.801 .468
Negelkerke R Square = 16.0%
Faktor risiko tersebut hampir sama dengan dengan faktor-faktor sebelumnya. Hal ini menguatkan fakta bahwa faktor-faktor tersebut berpengaruh kuat terhadap kejadian hipertensi, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius agar dapat mencegah dan mengelola kejadian hipertensi. Masyarakat Kuantan Singingi hendaknya mengurangi konsumsi makanan berlemak mengingat konsumsi makanan berlemak merupakan faktor pemicu hipertensi di daerah ini. Salah satu cara mensosialisasikannya adalah dengan poster (Lampiran 4). Berdasarkan nilai Negelkerke R Square, faktor risiko tersebut dapat menjelaskan kejadian hipertensi sebanyak 16.0%, sedangkan 84.0% kejadian hipertensi dijelaskan oleh faktor atau variabel lain. Tanpa adanya faktor risiko yang mempengaruhinya (Tabel 19), orang dewasa di Kuantan Singingi memiliki peluang mengalami hipertensi sebesar 1.720 kali (Lampiran 3). Faktor Risiko Hipertensi di Rokan Hilir Faktor risiko yang ditemukan di Rokan Hilir semuanya merupakan faktor protektif, tidak ada yang merupakan fator pemicu. Faktor-faktor tersebut adalah umur, tingkat pengeluaran, aktivitas fisik sedang, berjalan kaki/bersepeda dan konsumsi minuman berkafein. Besar peluang masing-masing faktor risiko dapat dilihat pada Tabel 20.
63
Tabel 20 Faktor risiko hipertensi di Rokan Hilir Faktor Risiko Umur (tahun) (0=18-40) 40-60 Tingkat pengeluaran (0=
B
Sig.
OR
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
-.843
.000
.430
.272
.682
-.470
.000
.625
.491
.796
-.480
.000
.619
.478
.801
-.341
.005
.711
.559
.904
-.423
.001
.655
.512
.838
1.435
.000
4.202
Negelkerke R Square = 12.5%
Orang yang berumur 40-60 tahun memiliki peluang hipertensi sebesar 57% lebih rendah daripada orang yang berumur 18-40 tahun. Orang yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang memiliki peluang hipertensi 38% lebih rendah daripada orang yang melakukannya. Sementara itu, orang yang tidak melakukan kebiasaan berjalan kaki/bersepeda kayuh memiliki peluang hipertensi 29% lebih rendah daripada yang melakukannya. Tingkat pengeluaran kuintil ≥ke-3 memiliki peluang mengalami hipertensi 38% lebih rendah daripada
64
model tersebut hanya dapat mewakili 12.5% dari variabel yang mempengaruhi hipertensi. Dengan kata lain, sebanyak 87.5% variabel yang berpengaruh terhadap hipertensi tidak diteliti. Faktor Risiko Hipertensi di Wonogiri Umur, pekerjaan, berjalan kaki/bersepeda, stress, dan status gizi merupakan faktor protektif hipertensi di Wonogiri; sedangkan pendidikan dan status perkawinan merupakan faktor pemicu hipertensi. Peluang masing-masing faktor risiko hipertensi di Wonogiri dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 21 Faktor risiko hipertensi di Wonogiri Faktor Risiko Umur (tahun) (0=18-40) 40-60 >60 Pendidikan (0=
B
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Sig.
OR
-1.166 -.675
.000 .000
.312 .509
.228 .380
.426 .683
.508
.007
1.662
1.147
2.409
-.407
.011
.665
.486
.911
.349
.014
1.418
1.073
1.873
-.278
.016
.758
.604
.951
-.799
.001
.450
.283
.714
-.630 -1.140 .620
.000 .000 .399
.533 .320 1.858
.395 .214
.718 .477
Negelkerke R Square = 15.4%
Golongan umur 40-60 tahun memiliki peluang hipertensi 69% lebih rendah dan golongan umur >60 tahun memiliki peluang 49% lebih rendah daripada golongan umur 18-40 tahun. Pendidikan tamat SD dan SLTP memiliki peluang 66% lebih tinggi daripada pendidikan
65
yang telah menikah memiliki peluang 42% lebih tinggi daripada yang belum atau berpisah dengan pasangannya. Hal ini diduga karena orang yang telah menikah cenderung menyesuaikan diri dengan pasangannya, termasuk dalam hal gaya hidup dan perilaku makan. Sementara itu, orang yang stress memiliki peluang 55% lebih rendah mengalami hipertensi daripada orang yang tidak stress. Hal ini diduga karena orang yang tidak mengalami stress mengkonsumsi makanan berisiko lebih banyak dan memiliki kebiasaan hidup yang dapat meningkatkan tekanan darah, seperti merokok, konsumsi alkohol, dll. Tanpa adanya faktor risiko seperti pada Tabel 21, peluang kejadian hipertensi pada orang dewasa di Wonogiri sebesar 0.620 kali (Lampiran 3). Dengan kata lain orang dewasa di daerah tersebut memiliki peluang hipertensi yang lebih rendah. Namun demikian, model yang didapat tidak signifikan (p>0.05) dan berdasarkan nilai Negelkerke R Square model tersebut hanya dapat mewakili 15.4% dari variabel yang mempengaruhi hipertensi. Dengan kata lain, sebanyak 84.6% variabel yang berpengaruh terhadap hipertensi tidak diteliti. Faktor Risiko Hipertensi di Salatiga Tabel 22 Faktor risiko hipertensi di Salatiga Faktor Risiko Umur (tahun) (0=18-40) 40-60 >60 Pendidikan (0=
B
95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper
Sig.
OR
-1.988 -1.116
.000 .000
.137 .328
.089 .216
.210 .498
.566
.005
1.761
1.191
2.604
-1.172 -1.496 2.036
.000 .000 .000
.310 .224 7.662
.233 .138
.412 .363
Negelkerke R Square = 23.3%
Faktor protektif hipertensi di Salatiga adalah umur dan status gizi, sedangkan faktor pemicunya adalah pendidikan. Umur 40-60 tahun memiliki peluang mengalami hipertensi 86% lebih rendah, sedangkan umur >60 tahun memiliki peluang 67% lebih rendah daripada umur 18-40 tahun. Pendidikan tamat SD dan tamat SLTP memiliki peluang 76% lebih tinggi daripada pendidikan
66
hipertensi daripada status gizi normal. Peluang kejadian hipertensi dapat dilihat dari nilai OR pada Tabel 22. Tanpa adanya faktor risiko tersebut (Tabel 22), peluang kejadian hipertensi pada orang dewasa di Salatiga sebesar 2.036 kali (Lampiran 3). Model tersebut sangat signifikan pada nilai p<0.01, namun berdasarkan nilai Negelkerke R Square model tersebut hanya dapat mewakili 23.3% dari variabel yang mempengaruhi hipertensi (Lampiran 3). Dengan kata lain, sebanyak 76.7% variabel yang berpengaruh terhadap hipertensi tidak diteliti.
Pembahasan Umum Prevalensi hipertensi di keempat daerah menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada prevalensi nasional (31.7%). Pada masing-masing daerah prevalensi hipertensi adalah sebagai berikut: Kuantan Singingi (48.8%), Rokan Hilir (49.8%), Wonogiri (50.7%), dan Salatiga (47.0%). Tingkat keparahan hipertensi contoh pada masing-masing juga berbeda, mulai dari pre-hipertensi, hipertensi sedang, dan hipertensi berat. Penatalaksanaan yang baik perlu dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan hipertensi yang diderita. Sementara itu, faktor risiko yang ditemukan pada penelitian ini masih mengundang pedebatan. Artinya, hasil analisis yang diperoleh berlawanan dengan literatur atau teori yang sudah ada. Oleh karena itu perlu adanya benang merah yang dapat mendasari diterimanya hasil penelitian ini. Penatalaksanaan Hipertensi Beaglehole (WHO, 1993) membagi upaya pencegahan menjadi 3 bagian: primordial prevention (pencegahan awal) yaitu pada pre patogenesis, primary prevention (pencegahan pertama) yaitu health promotion dan general and specific protection, secondary prevention (pencegahan tingkat kedua) yaitu early diagnosis and prompt treatment dan tertiary prevention (pencegahan tingkat ketiga)
yaitu
dissability
limitation.
Penerapan
upaya
tersebut
dalam
penatalaksanaan hipertensi dapat disesuaikan dengan tingkat keparahannya. Hipertensi tingkat berat (hipertensi 2) perlu mendapatkan tertiary prevention yaitu dengan upaya pengobatan dan pencegahan komplikasinya, hipertensi tingkat sedang (hipertensi 1) perlu mendapatkan secondary prevention yaitu dengan upaya diagnosis dini penanganan yang tepat sesuai penyebabnya, sedangkan pre hipertensi perlu mendapatkan promosi kesehatan (edukasi dan konseling) sebagai upaya peringatan dini dan pencegahan fluktuasi peningkatan
67
tekanan darah lebih lanjut. Pemilihan tindakan yang tepat perlu dilakukan mengingat
perbedaan
tingkat
keparahan
hipertensi
dan
karakteristik
patofisiologinya. Selain penatalaksanaan medis seperti pemberian obat antihipertensi (diuretics, beta blockers, vasodilators, ACE-inhibitors) dan modifikasi gaya hidup (aktivitas fisik, pengendalian stress, konseling gaya hidup); penatalaksanaan gizi seperti pengaturan berat badan, pembatasan natrium dan alkohol, peningkatan konsumsi buah dan sayur serta pendidikan gizi perlu dilakukan (Anderson & Garner
2000).
Edukasi
dan
pendidikan
gizi
dapat
dilakukan
dengan
menempelkan poster di tempat-tempat umum seperti sarana kesehatan (rumah sakit, puskesmas, apotek), pusat kebugaran dan kecantikan (fitness and spa centre) dan supermarket (khususnya di retail penjaja makanan). Contoh poster yang digunakan untuk promosi kesehatan dapat dilihat di Lampiran 4. Keterbatasan Penelitian Berdasarkan analisis yang dilakukan, telah ditemukan adanya faktorfaktor yang berpengaruh maupun berhubungan dengan hipertensi. Keberadaan dan sifat hubungan tersebut berbeda-beda pada masing-masing daerah. Beberapa faktor mengalami perubahan sifat hubungan dari analisis bivariat ke analisis multivariat; seperti umur, pengeluaran, yang sebelumnya bersifat sebagai pemicu serta pendidikan, konsumsi makanan asin, makanan berlemak, dan minuman berkafein, yang sebelumnya bersifat sebagai protektif. Hal ini diduga karena pada analisis bivariat hanya menghubungkan dua faktor, sedangkan multivariat menghubungkan lebih dari dua faktor. Faktor lain tersebut dimungkinkan sebagai faktor pengganggu (confounding factor), yang dapat bersifat sinergis sehingga menguatkan hubungan, maupun kontradiktif sehingga dapat melemahkan/mengubah sifat hubungan. Pada penelitian ini ditemukan hubungan beberapa faktor, seperti aktivitas fisik dan status gizi terhadap hipertensi, yang tidak sesuai dengan teori yang ada. Hal ini diduga karena keterbatasan desain studi yang digunakan. Studi cross sectional tidak dapat digunakan untuk mengetahui dapak langsung dari faktor risiko (paparan) terhadap penyakit (out come). Hal ini dikarenakan pengumpulan data paparan maupun out come dilakukan dalam satu waktu. Berbeda dengan studi kohort maupun eksperimental yang dapat langsung melihat pengaruhnya. Selain itu, apabila pengumpulan data dilakukan pada saat seseorang telah mengubah gaya hidupnya menjadi lebih baik, maka hubungan yang
68
dihasilkan akan bersifat negatif. Kebiasaan atau gaya hidup sebelumnya, yang mungkin mempengaruhi terjadinya hipertensi, tidak terekam dalam pengumpulan data. Misalnya seseorang yang didiagnosa hipertensi, sebelumnya memiliki kebiasaan makan tinggi natrium, tinggi kalori, dan merokok; namun atas saran dokter ia mulai mengubah kebiasaan tersebut. Data yang terekam pada saat pengambilan contoh adalah data kebiasaan baru tersebut, bukan data kebiasaan lama yang mungkin berhubungan positif dengan hipertensi. Data kebiasaan makan diperoleh dengan mengumpulkan data kualitatif yaitu frekuensi makan. Salah satu kelemahan pengumpulan data dengan metode ini adalah tidak diketahuinya jumlah pangan yang benar-benar dikonsumsi. Sehingga apabila ada dua orang, seorang mengkonsumsi satu cangkir kecil kopi kental satu kali sehari dan seorang lainnya mengkonsumsi satu gelas besar kopi encer satu kali sehari, maka kedua orang tersebut akan terekam mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi
minuman
berkafein
satu
kali
sehari,
tidak
memperhatikan jumlah kopi yang diminum. Hal ini juga diduga mempengaruhi hasil analisis yang tidak sesuai dengan teori. Penelitian Lanjutan Melihat hasil yang diperoleh pada penelitian ini masih mengundang perdebatan, yakni hasilnya berbeda dengan teori, maka penelitian dan kajian lebih lanjut sangat diperlukan. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, faktor gaya hidup yang berpengaruh nyata terhadap hipertensi adalah konsumsi makanan berlemak dan minuman berkafein. Penelitian yang bisa dilakukan antara lain adalah studi kohort (longitudinal design) mengenai pengaruh konsumsi makanan berlemak di Kuantan Singingi dan pengaruh konsumsi minuman berkafein di Rokan Hilir. Benarkah faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap hipertensi dan seberapa besar pengaruhnya terhadap peningkatan tekanan darah. Penelitian lain mengenai pengaruh intoleransi glukosa, gangguan hormon, kolesterol, dan kelainan organ lain perlu dilakukan mengingat kontribusi variabel gaya hidup dan status gizi hanya mewakili 12.8% dari total variabel yang mempengaruhi hipertensi. Faktor genetik, seperti riwayat hipertensi keluarga dan umur mulai menderita hipertensi, perlu dikaji lebih lanjut mengingat faktor ini memiliki proporsi yang cukup besar (20%-25%) dalam menyebabkan hipertensi.