HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Nutrisi Dedak Gandum (Wheat Bran) setelah Fermentasi Berdasarkan hasil analisis proksimat yang disajikan pada Tabel 7, kandungan wheat bran yang difermentasi (WBF) mengalami beberapa perubahan zat nutrisi. Tabel 7. Kandungan Zat Nutrisi Dedak Gandum (WB) dan Dedak Gandum yang Difermentasi (WBF) Kandungan Nutrisi Zat Nutrisi
WB
WBF
BK (%)
88,77
95,43
Abu (%BK)
5,92
8,23
Bahan organik (%BK)
94,80
92,77
Protein kasar (%BK)
17,04
20,81
Lemak kasar (%BK)
1,04
0,995
Serat kasar (%BK)
16,83
20,98
BETN (%BK)
59,16
48,99
4528,577
4923,582
ADF (%BK)
16,20
23,61
NDF ((%BK)
47,22
57,45
Selulosa (%BK)
8,76
16,55
Hemiselulosa (%BK)
52,78
33,83
Lignin (%BK)
6,65
6,39
Energi bruto (Kkal/Kg) Fraksi Serat Van Soest
Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, (2012). BK = Bahan Kering, ADF = Acid Detergent Fiber , NDF = Neutral Detergent Fiber.
Kapang A. niger yang digunakan untuk memfermentasi WB efektif meningkatkan kadar BK sebesar 7,54%, abu sebesar 55,57%, PK sebesar 22,12%, SK sebesar 24,65% dan energi bruto sebesar 8,72%, akan tetapi menurunkan kandungan BETN sebesar 17,20% (Tabel 7). Menurut Suparjo (2002), perubahan ini diduga karena perubahan jumlah biomassa kapang dalam substrat yang menyebabkan perubahan BK; perombakan dan dekomposisi substrat oleh kapang melibatkan reaksi kimia dengan merubah bahan organik menjadi energi, gas CO2 dan H2O. Proses
19
fermentasi dapat merombak bahan kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dan dapat meningkatkan nilai gizi bahan asal (Soeharsono, 2001). Terjadi peningkatan kandungan abu dari 5,92% pada WB menjadi 8,23% pada WBF yang dikarenakan oleh peningkatan BK (Tabel 7). Peningkatan kadar abu ini menyebabkan penurunan kadar bahan organik (BO) yaitu sebesar 2,14%. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Taram (1995) bahwa kadar abu onggok yang difermentasi setelah 6 hari meningkat dari 2,25% menjadi 4,24%. Kandungan PK mengalami perubahan sebesar 55,57% yaitu 17,04% pada WB menjadi 20,81% pada WBF. Halid (1991) juga menyatakan bahwa peningkatan protein disebabkan oleh penyusutan BK selama fermentasi berlangsung, tetapi penyusutan tersebut tidak dapat diperlihatkan pada data BK di dalam tabel 7. Selain itu dilaporkan juga oleh Lubis (1996), kandungan PK hasil fermentasi dengan A. niger selama 6 hari dapat meningkatkan kadar PK dari 2,78% hingga 13,80%. Kandungan SK WBF mengalami peningkatan dari 16,83% pada WB menjadi 20,98% pada WBF. Frazier dan Westhoff (1981) menyatakan bahwa A. niger mampu menghasilkan enzim selulase. Kapang A. niger sangat mudah berkembangbiak pada substrat WB karena kandungan zat gizinya yang mencukupi. Meningkatnya kandungan SK pada WBF diduga karena terjadinya represi katabolit dimana A. niger menggunakan
kandung
karbohidrat
yang
mudah
dimetabolisme
untuk
pertumbuhannya sehingga produki enzim selulase pemecah serat terhambat. Taram (1995) melaporkan bahwa kandungan SK onggok dari A. niger mengalami peningkatan sebesar 3,15% pada fermentasi empat hari. Menurut Fardiaz (1988), represi katabolit dapat terjadi jika substrat mengandung komponen-komponen yang lebih larut dan mudah dimetabolis. Pada WBF terjadi penurunan kandungan BETN sebesar 20,32% karena adanya peningkatan kandungan SK dan peningkatan energi bruto yang dikarenakan terjadi perombakan karbohidrat. Kapang A. niger menggunakan karbohidrat untuk pertumbuhannya. Hal ini diindikasikan dari terbentuknya air (H2O) yang merupakan hasil akhir dari metabolisme karbohidrat, tetapi kadar air yang terbentuk tidak dapat diperlihatkan pada kadar BK WBF di dalam Tabel 7. Selain itu kandungan vitamin B kompleks yang meningkat. Sibbalb (1980) mengemukakan bahwa bahan makanan
20
yang mempunyai kandungan vitamin B akan mempunyai kandungan energi yang lebih tinggi. Untuk perubahan fraksi serat Van Soest yaitu ADF, NDF, sellulosa, hemisellulosa dan lignin disajikan pada Table 7. Fraksi serat Van Soest dari WBF untuk ADF, NDF dan sellulosa berubah lebih tinggi, sedangkan hemisellulosa dan lignin berubah lebih rendah akibat fermentasi A. niger. Perubahan fraksi serat Van Soest ini disebabkan oleh penggunaan karbohidrat mudah difermentasi (BETN) oleh A. niger, tetapi A. niger tidak menggunakan semua fraksi serat Van Soest WB untuk pertumbuhannya. Konsumsi Bahan Segar, Bahan Kering dan Zat Makanan selama Penelitian Konsumsi pakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian besar untuk kebutuhan energi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan yaitu kandungan energi, kecepatan pertumbuhan dan bentuk pakan. Konsumsi pakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan rataan berat yang dikonsumsi per ekor pada fase grower-finisher. Rataan konsumsi as fed, BK dan zat makanan selama penelitian per ekor disajikan pada Tabel 8. Hasil ANOVA memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap konsumsi as fed, BK dan BETN. Namun, terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada konsumsi PK, SK, LK dan GE fase finisher (14-35 hari). Konsumsi as fed merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ayam selama penelitian. Rataan konsumsi as fed berkisar antara 1291,70-1573,20 g/ekor (Tabel 8). Charoen Phokpand (2006) menyatakan bahwa konsumsi as fed pakan pada fase finisher sebanyak 2771 g/ekor. Dengan demikian konsumsi as fed pada penelitian ini lebih rendah daripada standar. Hal ini dapat disebabkan oleh suhu rata-rata harian selama penelitian dapat mencapai 29,970C (Tabel 9) sehingga diduga terjadi stress panas pada ayam broiler. Menurut North dan Bell (2000), suhu optimal untuk pemeliharaan broiler agar dapat berproduksi dengan baik adalah 21–22° C. Dengan suhu kandang yang tinggi akan mengakibatkan ayam mengurangi konsumsi pakan untuk mengurangi panas dari dalam tubuhnya yang dapat menyebabkan stress panas. Untuk mengatasi stress panas ini ayam akan melakukan panting dan banyak minum sehingga berdampak terhadap pengurangan konsumsi pakan (Amrullah, 2004). Konsumsi pakan dipengaruhi oleh bentuk pakan, kandungan energi pakan, kesehatan 21
pakan, suhu lingkungan, zat-zat nutrien, kecepatan pertumbuhan dan stress (Lesson dan Summers, 2005). Tabel 8. Rataan Konsumsi As fed, Bahan Kering, dan Zat Makanan selama Penelitian per ekor selama Penelitian Konsumsi /ekor
R0 Perlakuan (14 - 35 hari) As fed (g) 1291,70 ± 161,77 BK (g) 1122,35 ± 140,56 PK (g) 255,46a ± 31,37 LK (g) 77,76b ± 9,74 SK (g) 43,14a ± 5,40 BETN (g) 621,21 ± 77,79 GE(kkal/ekor) 5110,00a ± 639,97 Total (0-35 hari) As fed (g) 1746,72 ± 161 77 BK (g) 1565,41 ± 140,56 PK (g) 350,47 ± 31,37 LK (g) 68,81a ± 5,40 SK (g) 93,22b ± 9,73 BETN (g) 840,16 ± 77,79 GE(kkal/ekor) 6920,45 ± 639,96 Keterangan
R1 1573,20 ± 119,51 1365,54 ± 103,74 303,47b ± 23,05 112,01d ± 8,51 59,94b ± 4,55 762,06 ± 57,88 6347,90b ± 482,21
Perlakuan R2 R3
R4
R5
1356,89 ± 101,16 1176,42 ± 87,71 268,66a ± 20,02 57,53a ± 4,28 80,07c ± 5,97 663,79 ± 49,48 5559,20a ± 414,46
1388,35 ± 187,54 1193,28 ± 161,19 265,17a ± 35,82 58,31a ± 7,87 86,21c ± 11,64 688,20 ± 92,96 5831,10a ± 787,69
1564,38 ± 187,99 1347,71 ± 161,95 311,46b ± 37,43 94,49c ± 11,35 139,86d ± 18,42 675,97 ± 81,23 6530,40b ± 784,76
1475,28 ± 51,42 1270,95 ± 44,29 293,73b ± 10,24 89,11c ± 3,10 131,89d ± 4,60 637,47 ± 22,21 6171,10b ± 215,80
2028,22 1811,91 ± 119,51 ± 101,16 1823,32± 1630,18 103,74 ± 87,71 403,48 368,67 ± 23,05 ± 20,02 85,61b 105,72c ± 4,55 ± 5,96 d 127,47 72,99a ± 8,50 ± 4,28 981,02 882,75 ± 57,88 ± 49,48 8158,37 7369,68 ± ± 482,21 414,45
1843,37 ± 187,54 1660,78 ± 161,19 327,23 ± 35,82 113,93c ± 10,12 82,05a ± 14,10 774,66 ±32,34 6359,60 ± 305,68
2019,40 ± 187,99 1821,56 ± 161,95 411,47 ± 37,43 165,52d ± 16,8 109,94c ± 11,35 894,93 ± 81,23 8340,00 ± 784,76
1930,3 ± 51,42 1743,83 ± 44,29 393,74 ± 10,24 157,56d ± 4,59 104,56c ± 3,10 856,43 ± 22,21 7981,00 ±215,07
: R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh terhadap konsumsi BK. Rataan konsumsi BK berkisar 1122,35 – 1365,54 g/ekor (Tabel 8). Konsumsi pakan pada perlakuan R1, R2, R3, R4 dan R5 menunjukkan konsumsi BK yang tidak berbeda dengan R0.
22
Tabel 9. Rataan Suhu Harian selama Penelitian (0C) Waktu Minggu
Pagi
Siang
Sore
Rataan Harian*
Pukul 07.00
Pukul 13.00
Pukul 16.30
1
26,07
30,64
27,85
28,19
2
25,43
29,6
26,71
27,24
3
25,33
30,31
26,12
27,25
4
25,66
30,03
27,98
27,89
5
26,93
29,28
27,3
27,83
Ratan
25,88
29,97
27,19
27,68
Keterangan: *Perhitungan berdasarkan rumus (t07.00 + t13.00 + t16.30)/5 dimana t = suhu (Handoko, 1993)
Hal ini diduga karena produk WBF mengandung vitamin B.Murugesan et al. (2005) menyatakan bahwa produk fermentasi lebih palatabel bila dibandingkan produk asalnya karena mempunyai flavour yang lebih disukai dan menghasilkan vitamin B seperti B1, B2 dan B12. Vitamin B1 dapat berfungsi sebagai perangsang nafsu makan (Kamalzadeh et al., 2009). Selain itu juga disebabkan oleh kandungan BK pakan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 85,48 – 86,89% sehingga menghasilkan konsumsi BK yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Konsumsi PK dipengaruhi oleh perlakuan (P<0,05) yang selama penelitian berkisar antara 255,46-311,46 g. Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan bahwa R1, R4 dan R5 lebih tinggi dibandingkan dengan R0, R2 dan R3 pada konsumsi PK (P<0,05). Rataan Konsumsi PK yang tertinggi yaitu pada perlakuan R4 dapat dilihat pada Gambar 2. Hal ini diduga karena jumlah konsumsi BK dan kandungan PK pada pakan R1, R4 dan R5 merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut. Menurut Okmal (1993), kadar protein pakan yang tinggi disertai dengan konsumsi BK yang tinggi akan menghasilkan konsumsi PK yang tinggi pula. Jadi tingginya konsumsi pada perlakuan R4 (pakan mengandung 25% WBF) disebabkan oleh dua faktor yaitu kandungan kadar protein yang terkandung dalam pakan R4 dan jumlah konsumsi BK ayam terhadap pakan R4. Menurut Cahyono (2004), fungsi protein pada ternak ayam digunakan untuk pembentukan dan pertumbuhan jaringan tubuh, seperti uraturat, daging, kulit, bulu, jeroan dan lain-lain.
23
350
Konsumsi PK (g)
300
311,46b
303,47b 255,46a
268,66a
265,17a
R2
R3
293,73b
250 200 150 100 50 0 R0
R1
R4
R5
Perlakuan pakan Gambar 2. Konsumsi Protein Kasar Selama 3 Minggu Perlakuan dengan Penambahan WB dan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
Perlakuan juga mempengaruhi konsumsi SK (P<0,05). Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan konsumsi SK terendah pada R0 (P<0,05), kemudian konsumsi SK meningkat pada R1 dan semakin meningkat pada R2 dan R3 (P<0,05), dan konsumsi SK yang tertinggi pada perlakuan R4 dan R5 (P<0,05). Peningkatan terjadi karena meningkatnya kadar SK seiring meningkatnya kadar WBF dalam ransum. Konsumsi SK selama penelitian berkisar antara 43,14-139,86 g dapat dilihat pada
Konsumsi SK (g)
Gambar 3. 160 140 120 100 80 60 40 20 0
80,07c
86,21c
R2
R3
139,86d
131,89d
R4
R5
59,94b 43,14a
R0
R1
Pakan perlakuan Gambar 3. Konsumsi Serat Kasar Selama 3 Minggu Perlakuan dengan Penambahan WB dan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
24
Konsumsi SK yang tinggi menyebabkan laju pergerakan zat makanan didalam saluran pencernaan lebih cepat, sehingga lambung cepat kosong dan mendorong ternak untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak (McDonald et al., 2002). Hal ini terlihat pada konsumsi as fed perlakuan R4 dan R5 lebih tinggi dibandingkan dengan R0. Konsumsi LK selama penelitian berkisar 57,53–112,01 g. Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi LK (P<0,05). Konsumsi LK terendah yaitu pada R2 dan R3, kemudian konsumsi meningkat pada R0, R4 dan R5 serta R1 yang memiliki konsumsi LK tertinggi diperlihatkan pada Gambar 4. Tingginya konsumsi pada perlakuan R1 (pakan mengandung 15% WB) disebabkan oleh dua faktor yaitu kandungan kadar LK dalam pakan R1 dan jumlah konsumsi BK ayam terhadap pakan R1. Rendahnya konsumsi LK pada R2, R3, R4 dan R5 dibandingkan R1 karena rendahnya kandungan LK dalam pakan. Rendahnya kandungan LK dalam pakan karena pada pakan R2, R3, R4 dan R5 adanya penambahan WBF yang menyebabkan berkurangnya sumber pakan lainnya dan meningkatkan komposisi CPO. Kandungan LK CPO rendah walaupun kandungan lemaknya 99% (Lesson dan Summer, 2005). Hal ini karena bentuk CPO yang cair sehingga menyebabkan kandungan LKnya rendah.
112,01d
Konsumsi LK (g)
120 100 80
94,49c
89,11c
R4
R5
77,76b
60
57,53a
58,31a
R2
R3
40 20 0 R0
R1
Perlakuan pakan Gambar 4. Konsumsi Lemak Kasar Selama 3 Minggu Perlakuan dengan Penambahan WB dan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
25
Konsumsi BETN tidak dipengaruhi oleh perlakuan dan selama penelitian berkisar antara 774,66-981,02 g/ekor. Konsumsi EB (GE) dipengaruhi oleh perlakuan Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan R0, R2 dan R3 berbeda nyata dengan R1, R4 dan R5 pada konsumsi EB (P<0,05) dan selama penelitian konsumsi
Konsumsi GE (kal/g)
EB berkisar antara 5110,00-6530,4 kkal/ekor yang dapat dilihat pada Gambar 5.
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
6530,4b
6347,9b 5110a
R0
R1
5559,2a
5831,1a
R2
R3
6171,1b
R4
R5
Pakan perlakuan Gambar 5. Konsumsi Gross Energi Selama 3 Minggu Perlakuan dengan Penambahan WB dan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
Dari hasil pengamatan, perbedaan konsumsi PK, SK, LK dan EB karena kandungan PK, SK, LK dan EB yang terdapat di dalam pakan dan jumlah konsumsi baik as fed maupun BK. Menurut Kukuh (2010), jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu paling penting yang menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan berpengaruh pada tingkat produksi. Pengaruh Perlakuan terhadap Kinerja Ayam Broiler Tabel 10 menampilkan data pengaruh perlakuan penggunaan WB dan WBF terhadap kinerja ayam broiler. Perlakuan penggunaan WB dan WBF menggunakan A. niger pada ayam broiler menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan, konversi pakan dan bobot badan akhir,
sedangkan
terhadap persentase karkas dan persentase lemak abdomen tidak berbeda nyata.
26
Tabel 10. Pengaruh Perlakuan terhadap Kinerja Ayam Broiler selama Penelitian Perlakuan
Peubah PBB umur 0-2 minggu (g/ekor) PBB umur 3-5 minggu (g/ekor) Konversi (umur 3-5 minggu) BB akhir umur 5 minggu (g/ekor) Persentase karkas (%) umur 5 minggu Persentase lemak abdomen (%) umur 5 minggu Keterangan
R0
R1
R2
R3
R4
R5
295,57 ±29,96
284,73 ±31,26
290,28 ±12,27
281,78 ± 9,12
307,19 ± 22,22
280,35 ± 15,45
603,65b ±44,10
653,68c ±42,95
893,22d ±10,55
600,03b ±11,17
532,40a ±14,62
510,53a ±20,11
2,31d ±0,17
2,41b ±0,13
1,52e ±0,15
2,34c ±0,48
2,93a ±0,28
2,91a ±0,28
942,9b ±89,08
982,09c ±69,20
1227,18d ±40,12
925,49b ±57,26
883,27a ±21,98
834,56a ±67,69
77,96 ±1,70
74,97 ±2,56
75,33 ±0,80
74,64 ± 0,96
75,69 ± 2,83
73,87 ± 1,73
1,39 ±0,21
1,26 ±0,11
1,27 ±0,26
1,53 ±0,14
1,34 ±0,19
1,36 ±0,10
: R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF. BB = bobot badan dan PBB = pertambahan bobot badan. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Pertambahan Bobot Badan dan Bobot Badan Akhir Pertambahan bobot badan (PBB) dan bobot badan (BB) merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa penggantian R0 dan R1 dengan WBF pada fase finisher memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap BB akhir dan PBB selama perlakuan, hal ini ditunjukkan pada Tabel 10. Hasil BB akhir dan PBB selama penelitian berkisar antara 834,56-1227,18 g dan 510,53-893,22 g. Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan bahwa pemberian pakan R2 berbeda nyata dengan R0, R1 dan R3 serta R4 dan R5 terhadap BB akhir dan PBB (P<0,05). Hal ini dipengaruhi oleh kandungan zat makanan dalam pakan yang berbeda dan banyaknya pakan serta zat makanan yang dikonsumsi. Kandungan SK yang meningkat akan mempengaruhi konsumsi pakan dan laju pengosongan saluran pencernaan yang mempengaruhi penyerapan nutrisi zat makanan oleh tubuh ternak. Parakkasi (1999) menyatakan
27
bahwa kadar SK yang tinggi akan menurunkan daya cerna PK dan mengakibatkan energi kurang dapat dimanfaatkan. Rataan PBB dan BB akhir tertinggi dicapai oleh perlakuan yang mengandung 15% WBF (R2) apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan jumlah konsumsi pakan (Tabel 8). Konsumsi pada perlakuan pakan yang mengandung 15% WBF (R2) lebih rendah dari semua perlakuan kecuali pada perlakuan kontrol baik konsumsi as fed maupun konsumsi BK (Tabel 8), namun menghasilkan PBB dan BB akhir yang lebih tinggi dari kontrol maupun perlakuan lainnya yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Hal ini diduga karena ransum R2
memiliki kandungan imbangan Ca:P yang cukup yaitu 2:1 jika dibandingkan ransum kontrol dan R1 yang seharusnya memiliki PBB dan BB akhir yang lebih tinggi. Untuk perlakuan R3, R4 dan R5 yang mengandung 20%, 25% dan 30% WBF mengalami penurunan PBB dan BB akhir yang diduga karena kandungan SK yang terdapat dalam masing-masing pakan perlakuan.
1400
1227,18d
1200
g/ekor
1000
942,9b
800 603,65b
982,09c 893,22d 653,68c
925,49b 883,27a 600,03b
600
532,4a
834,56a
510,53a
400
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor) Bobot Badan Akhir (g/ekor)
200 0
R0
R1
R2
R3
R4
R5
Pakan Perlakuan Gambar 6.
Pertambahan Bobot Badan selama Perlakuan (minggu ke 2-5) dan Bobot Badan Akhir Broiler Umur 5 Minggu dengan Penambahan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
Zat makanan seperti karbohidrat (pati dan gula), protein dan lemak di dalam tubuh akan dioksidasi menjadi energi. Data dari Tabel 8 menunjukkan bahwa kadar
28
SK yang meningkat akan mempengaruhi konsumsi pakan dan laju pengosongan saluran pencernaan sehingga dapat mempengaruhi penyerapan nutrien oleh tubuh ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kadar SK yang tinggi akan menurunkan daya cerna PK dan mengakibatkan energi kurang dapat dimanfaatkan. Konversi Pakan Konversi pakan dapat digunakan untuk menilai tingkat efisiensi suatu usaha peternakan. Nilai tersebut menunjukkan kemampuan ternak dalam merubah pakan yang dikonsumsi menjadi BB tertentu dalam waktu tertentu. Perlakuan mempengaruhi konversi pakan (P<0,05) dengan kisaran antara 1,52-2,93. Hasil uji orthogonal kontras terhadap konversi pakan menunjukkan bahwa
perlakuan R2
secara nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan konversi perlakuan R0, R1, R3, R4 dan R5. Dengan demikian perlakuan R2 merupakan perlakuan yang paling baik.
Konversi Pakan
3,5 3 2,5
2,31d
2,41b
2,93a
2,91a
R4
R5
2,34c
2 1,52e
1,5 1 0,5 0
R0
R1
R2
R3
Pakan Perlakuan Gambar 7.
Konversi Pakan Minggu ke 2-5 dengan Penambahan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
Nilai konversi pakan berbanding terbalik dengan efisiensi pakan, bila nilai konversi pakan semakin rendah maka efisiensi pakan semakin tinggi dan sebaliknya. Faktor yang mempengaruhi konversi pakan yaitu konsumsi dan PBB. Pertambahan bobot badan yang berbeda dengan konsumsi pakan yang sama akan menghasilkan konversi yang berbeda, karena konversi pakan diperoleh dari perbandingan pakan yang dikonsumsi dengan PBB dalam waktu tertentu. Menurut Phokpand (2006),
29
konversi pakan untuk strain CP 707 umur lima minggu yaitu sebesar 1,6. Pada percobaan ini, hanya R2 yang mempunyai konversi pakan yang terkecil dan masih dalam kisaran standar Phokpand (2006), dengan demikian R2 adalah ransum yang terbaik (Gambar 7). Persentase Karkas Karkas ayam adalah bobot tubuh ayam setelah dipotong dikurangi kepala, kaki, darah, bulu dan organ dalam. Persentase karkas penelitian berkisar antara 73,87-77,96%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa pemberian pakan perlakuan tidak mempengaruhi persentase karkas. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ariana dan Bidura (2001), suplementasi ragi tape pada pakan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase karkas. Cahyono (2004) melaporkan bahwa persentase karkas ayam broiler normal yaitu antara 65–75% dari bobot hidupnya. Menurut Lubis (1992), persentase karkas tidak dipengaruhi oleh bobot hidup, rendahnya berat hidup tidak selalu menghasilkan persentase berat karkas yang semakin rendah.
Seperti halnya pada perlakuan R0 (942,9 g) yang memiliki
persentase karkas lebih tinggi daripada R2 walaupun bobot hidupnya lebih rendah daripada R2 (1227,18 g). Hal ini diperlihatkan pada Gambar 8. Selain itu, Murugesan et al. (2005) menyatakan bahwa penanganan ternak pada saat proses pemotongan
Persentase Karkas (%)
dapat mempengaruhi produksi karkas. 79 78 77 76 75 74 73 72 71
77,96 75,69 74,97 75,33 74,64 73,87
R0
R1
R2
R3
R4
R5
Pakan Perlakuan Gambar 8. Persentase Karkas Ayam Broiler umur 5 Minggu dengan Penambahan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
30
Lemak Abdomen Perlakuan tidak mempengaruhi persentase lemak abdomen dengan kisaran yang diperoleh sebesar 1,26-1,53%. North dan Bell (2002) menyatakan bahwa persentase lemak abdomen ayam berkisar antara 2,64-3,3% dari bobot hidup. Deaton et al. (1981) lebih lanjut menyatakan bahwa peningkatan persentase lemak abdominal dipengaruhi oleh umur dan level energi pakan, dimana dengan meningkatnya umur dan level energi pakan maka semakin tinggi kandungan lemak abdominal. Namun Palo et al. (1995) mengemukakan bahwa jumlah lemak abdomen karkas semakin menurun, tetapi tidak memberikan efek yang nyata terhadap persentase bobot lemak abdomen.
Persentase Lemak Abdomen (%)
2 1,5
1,39
1,53 1,26
1,27
R1
R2
1,34
1,36
R4
R5
1 0,5 0 R0
R3
Pakan Perlakuan Gambar 9.
Persentase Lemak Abdomen Ayam Broiler umur 5 Minggu dengan Penambahan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
Hasil persentase lemak abdomen penelitian yang lebih rendah daripada standar (2,64-3,3%), hal ini disebabkan oleh kandungan LK dan SK dalam pakan. Hasil persentase lemak abdomen penelitian disajikan pada Gambar 9. Leenstra (1989) menyatakan bahwa deposit lemak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetik dan keberadaan nutrisi. Menurut James dan Groper (1990), serat memiliki sifat absortif sehingga akan mengikat misel lemak dan mengurangi absorpsi lemak. Kolesterol Daging dan Fraksi Lemak Darah Hasil rataan pengukuran kadar kolesterol daging dan fraksi lemak darah disajikan pada Tabel 11. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa pemberian pakan
31
perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap kolesterol daging, kolesterol darah, trigliserida, HDL dan LDL serum darah. Kolesterol (C27H45OH) merupakan kelompok sterol yang khas terdapat pada hewan (Anggorodi, 1994). Pengaruh yang tidak nyata diperoleh pada kolesterol daging. Pada penelitian ini didapat kandungan kolesterol daging berkisar 83,49103,15 mg/100 g yang cenderung meningkat pada R2, R3 dan R5 dibandingkan R0 dan R1, kecuali pada R5 yang lebih rendah daripada R0, namun lebih tinggi daripada R1 (Gambar 10). Hasil penelitian menunjukkan kandungan kolesterol daging R0 (pakan kontrol) tidak berbeda dengan kolesterol daging yang diberi perlakuan penambahan WB maupun WBF. Menurut Hendrawati (1999), kandungan kolesterol daging ayam broiler yang baik berkisar antara 80-91 mg/100 g. Kandungan kolesterol berasal dari dua sumber yaitu kolesterol endogenous yang diproduksi oleh tubuh dan eksogenous yang disintesis dari makanan (Piliang dan Djojosoebagio, 2002). Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Kolesterol Daging dan Fraksi Lemak Darah Ayam Broiler Umur 5 Minggu Perlakuan Peubah
Standart R0
Kolesterol 97,86 ±26,90 daging (mg/100g) Fraksi Lemak Darah Kolesterol darah 98,42 ±13,96 (mg/dL) Trigliserida 32,94 ±4,29 darah (mg/dL) HDL darah 42,47 ± 2,67 (mg/dL) LDL darah 49,36 ±6,73 (mg/dL) Keterangan
R1
R2
R3
R4
R5
Normal
83,49 ±11,81
97,44 ±22,09
100,09 ±9,36
103,15 ±21,95
91,95 ±11,28
80 -911)
105,12 ±13,07 24,70 ±7,31 45,92 ±1,82 54,25 ±13,03
120,87 ±13,32 23,53 ±1,92 45,25 ±4,57 70,91 ±12,08
116,14 ±28,09 24,12 ±11,90 44,90 ±4,60 66,42 ±21,61
112,20 ±14,79 26,4 ±7,77 50,37 ±7,05 56,53 ±16,85
105,12 ±10,32 22,35 ±8,69 44,50 ±4,27 56,15 ±8,31
125 – 2002) ≤ 1502) ≥ 402) ≤ 1002)
: 1) = Hendrawati (1999), 2) National Cholesterol Education Research, R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF. Laboratorium Terpadu, INTP, FAPET, IPB (2012)
32
Kolesterol Daging (mg/100g)
120
97,86
100
97,44
100,09
103,15
R2
R3
R4
91,95
83,49
80 60 40 20 0
R0
R1
R5
Pakan Perlakuan Gambar 10. Kolesterol Daging Ayam Broiler umur 5 Minggu dengan Penambahan WBF dalam Pakan Perlakuan. R0 = pakan kontrol, R1 = pakan mengandung 15%WB, R2 = pakan mengandung 15%WBF, R3 = pakan mengandung 20%WBF, R4 = pakan mengandung 25%WBF, dan R5 = pakan mengandung 30%WBF
Fraksi Lemak Darah Fraksi lemak darah merupakan hasil metabolisme dari lemak yang berasal dari pakan. Kolesterol disintesis seperti umumnya asam lemak, yaitu dari asetil–KoA yang mengandung dua karbon dan terkondensasi melalui beberapa jalur yang berbeda. Menurut Mayes et al. (1996), biosintesis kolesterol dibagi atas lima tahap yaitu : (1) Sintesis mevalonat yaitu terbentuknya senyawa enam karbon dari AsetilKoA akibat reaksi kondensasi dan reduksi yang berlangsung dalam mitokondria, (2) Pembentukan unit isoprenoid dari mevalonat melalui pelepasan CO2 pada reaksi fosforilasi oleh ATP, (3) Pembentukan senyawa antar skualen melalui kondensasi 6 unit isoprenoid, (4) Pembentukan lanosterol dari siklisasi skualen dalam retikulum endoplasma dan (5) Kolesterol terbentuk dari lanosterol dalam beberapa tahapan di membran retikulum endoplasma. Hasil ANOVA menunjukkan perlakuan tidak mempengaruhi kadar kolesterol dan trigliserida serum darah. Kandungan kolesterol darah berkisar 98,4-120,87 mg/dL dan kadar trigliserida darah berkisar antara 22,35-32,94 mg/dL. Kadar kolesterol ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar kolesterol menurut Mangisah (2005), kadar kolesterol normal dalam darah broiler adalah 125-200 mg/dl dan
trigliserida
darah
pada
ayam
broiler
berkisar
antara
26,23-52,63%
(Erfinanta,2002).
33
Pada penelitian ini, kandungan kolesterol dan trigliserida di dalam darah ayam broiler yang dihasilkan tergolong dalam katagori rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan zat nutrisi dalam pakan. Menurut Anggorodi (1994), semakin tinggi tingkat serat dalam pakan maka semakin rendah kolesterol daging yang dihasilkan pada ayam broiler. Linder (1992) menyatakan bahwa penyerapan kembali kolesterol dan garam-garam empedu dipengaruhi oleh peningkatan kandungan serat. Kandungan trigliserida perlakuan lebih rendah daripada kontrol. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya perubahan sintesis trigliserida dalam hati yang disebabkan oleh kandungan SK yang berasal dari penambahan WB dan WBF. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 11, kandungan LDL ayam broiler pada semua perlakuan lebih tinggi dibandingkan kandungan HDL. Hal ini dikarenakan LDL mencakup 65% total kolesterol darah (Astawan, 2005). Kandungan LDL penelitian berkisar antara 49,36-70,91 mg/dl dan jumlah kandungan HDL penelitian ini berkisar antara 42,47-50,37 mg/dl. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa pemberian pakan yang mengandung WB dan WBF tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan HDL dan penurunan LDL, akan tetapi menghasilkan nilai fluktuatif yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Menurut Hartoyo et al. (2005), kadar HDL dengan pemberian asam lemak dan kadar serat yang berbeda menghasilkan kadar LDL serum darah ayam broiler berkisar 46,82-61,145 mg/dl dan HDL serum darah ayam broiler 28,26-38,85 mg/dl. Secara umum, semakin tinggi kadar LDL dan semakin rendah HDL maka semakin besar resiko athereosclerosis. Nilai LDL yang tinggi dapat dikaitkan dengan resiko tinggi terhadap serangan jantung, sedangkan nilai HDL tinggi dapat dikaitkan dengan resiko yang rendah terhadap serangan jantung (Marks et al., 2000). Hasil penelitian menunjukkan penambahan WB dan WBF sampai dengan taraf 30% tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan kolesterol daging, kolesterol, HDL dan LDL dalam serum darah ayam broiler. Dapat dilihat pada Gambar 13, bahwa kolesterol daging, kolesterol darah, LDL dan HDL perlakuan lebih tinggi dibandingkan kontrol kecuali pada trigliserida. Hal ini tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh Linder (1992), bahwa penambahan serat kasar akan mengganggu proses penyerapan kolesterol dan garam-garam empedu sehingga mengurangi kandungan kolesterol yang disintesis. Begitu pula dengan pendapat
34
Bidura et al. (1996), bahwa konsumsi serat yang meningkat akan berperan mengikat lemak terutama kolesterol, sehingga penyerapan kolesterol berkurang disertai laju
Konsumsi SK (g)
aliran pakan yang meningkat pada saluran pencernaan.
150 100 50 0
SK (g) R0
R1
R2
R3
R4
R5
Pakan Perlakuan Gambar 11. Konsumsi Serat Kasar
CPO (%)
8
6
5,8
4
5,5
7,4
6,7
6
3
2
Crude Palm Oil
0 R0
R1
R2
R3
R4
R5
Pakan Perlakuan
Fraksi Lemak Darah (mg/dL)
Gambar 12. Komposisi Crude Palm Oil dalam Pakan Perlakuan
140 120 Kolesterol darah (mg/dL)
100 80
60
Trigliserida darah (mg/dL)
40
HDL darah (mg/dL)
20 0
LDL darah (mg/dL) R0
R1
R2
R3
R4
R5
Pakan Perlakuan Gambar 13. Jumlah Fraksi Lemak Darah Ayam Umur 5 Minggu
35
Dapat dilihat pada Gambar 11, yaitu konsumsi SK yang semakin meningkat dengan penambahan WB dan WBF seharusnya dapat menurunkan kandungan kolesterol dalam daging dan darah, namun hal ini tidak terjadi. Peningkatan kandungan kolesterol daging dan fraksi lemak darah diduga karena penambahan CPO dalam pakan perlakuan yang semakin meningkat dengan adanya penambahan WB dan WBF. CPO merupakan bahan pakan yang mengandung asam lemak jenuh tinggi. Asam lemak jenuh yang terkandung dalam CPO yaitu palmitat 44,33%, stearat 4,6% dan miristat 1% sebagai prekursor pembentuk kolesterol (Mukherjee dan Mitra, 2009).
36