HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Jombang Kabupaten Jombang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya 1.159,50 km2, dengan jumlah penduduk 1.165.720 jiwa. Kabupaten Jombang terdiri atas 21 kecamatan, yang mencakup 302 (desa) dan empat kelurahan, dengan pusat pemerintahan daerah adalah Kecamatan Jombang. Sedikitnya 42 persen lahan di Jombang digunakan sebagai area persawahan. Lokasi ini ditanami tanaman padi serta palawija seperti jagung, kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijay dan ubi kayu. Komoditas andalan tanaman pangan Kabupaten Jombang di tingkat propinsi adalah padi, jagung, kacang kedelai, dan ubi kayu. Besarnya produksi padi telah menempatkan Jombang sebagai daerah swasembada beras di provinsi Jawa ~ i m u r .Rata-rata produksi/produktivitas padi di Kabupaten Jombang pada tahun 2005 sebanyak 58,23 kwiha dengan luas panen bersih 59,66 ha dan produksi 347.350 ton. Kecamatan penyumbang produksi padi terbesar adalah Kecamatan Bareng dengan total produksi 34.230 ton clan luas panen bersih sebesar 5,976 ha (Bapeda Jombang, 2006). Kabupaten Deli Serdang Kabupaten Deli Serdang terletak di wilayah pantai timur Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 4.397,94
km2 atau 6,21 persen dari luas
Provinsi Surnatera Utara. Dari luas wilayahnya,
84,34 persen adalah areal
pertanian dan perkebunan, 8,15 persen kawasan hutan dan 4,12 persen merupakan pemukiman dan penggunaan lainnya. Wilayah Adminishasi Pemerintahaan terdii dari 33 kecamatan, 617 desa dan 20 kelurahaan. Pusat pemerintahan daerah Kabupaten Deli Serdang adalah Lubuk Pakam, yang terletak lebih kurang 30 km dari kota Medan sebagai Ibu Kota Propinsi Sumatera Utara. Ditinjau dari sudut etnis penduduk terdiri dari berbagai suku yaitu Jawa, Batak, Banjar, Melayu, Simalungun, dan Karo serta berbagai suku lainnya,
sehingga Kabupaten Deli Serdang sering disebut "Indonesia Mini" apabila melihat banyak suku yang ada. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan, Kabupaten Deli Serdang mempakan daerah swasembada beras di Propinsi Sumatra Utara. Produksi beras pada tahun 2000 mencapai 503.206 ton sehingga berhasil memperoleh surplus beras sebesar 198.144 ton, bila dibandingkan dengan kebutuhan sebesar 305.602 ton dan mentpakan kontribusi bagi pelestarian swasembada beras baik di tingkat propinsi ataupun nasional. Pada tahun 2001 produksi beras mencapai 491.642 ton dengan surplus beras yang juga dapat terus dipertahankan yaitu sebesar 179.100 ton.
Keadaan Umum Petani Jenis Keiamin Mayoritas jenis kelamin petani pada penelitian ini adalah laki-laki (88.7%) dan sisanya perempuan sebanyak 11.3% (Tabel 3). Lebih besamya komposisi petani laki-laki m e ~ p a k a nha1 yang umum terjadi. Di Indonesia mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai petani adalah laki-laki, sedangkan perempuan lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga. Selain karena laki-laki harus berperan sebagai pencari nafkah dalam keluarga, pekerjaan di bidang pertanian bukanlah pekerjaan yang ringan sehingga membutuhkan fisik yang kuat dari mulai proses pengolahan lahan sampai dengan pemanenan. Perempuan biasanya hanya betugas sebagai tenaga pembantu dalam proses pertanian dan bukan sebagai tenaga utama Pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh petani perempuan adalah menanam, memelihara sampai memanen, tidak termasuk membajak. Tabel 3 menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai petani lebih banyak terdapat di Kabupaten Jombang (15.3%) dibandingkan dengan petani perempuan di Kabupaten Deli Serdang (7.3%), dan hasil ini secara statistik berbeda nyata (p=0.029). Terjunnya petani perempuan ke sawah bukanlah sebuah persoalan tuntutan profesi
dalam rangka mengembangkan kompetensi, tetapi
lebih pada keadaan tidak adanya variasi pilihan dalarn dunia kerja bagi perempuan di daerah. Terjunnya perempuan sebagai petani antara lain disebabkan oleh
pendapatan. Pendapatan petani yang tidak besar dan peningkatan harga kebutuhan menyebabkan peran perempuan menjadi rangkap, selain menjadi ibu rumah tangga juga bekerja untuk membantu pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Tabel 3 Sebaran Petani berdasarkan Status Sosial dan Ekonomi No
Karakteristik Petani
1
Jenis Kelamin 1. Laki-Laki 2. Perempuan Umur (thn) 1. 20-39 2. 40-59 3. 60-78 4. >so Jumlah Anggota Keluarga (org) 1. 4 2. 5-6 3. > 7 Pendidikan Formal 1. Pendidikan Rendah 2. Pendidikan Tinggi
Jombang n
2
3
4
5 6
Sumber pendapatan utama 1. Pertanian Pangan 2. Pertanian non - Pangan Sumber pendapatan Lain I. Iasa 4. Lainnya
Besar rata-rata pengeluaran pangan (RpkeVbl) 1. < Rp. 500.000,2. Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000,3. Ro. 1.000.000-RD. 2.000.000.4. >kp.2.000.000 ' Besar rata-rata pengeluam nonpangan 8 (R~keybl) .. I. < kP. 500.000,2. Rp. 500.000-Rp. 1.000.000,3. Rp. 1.000.000- Rp. 2.000.000,4. > Rp. 2.000.000 Terdaffar dalam perkumpulad kelompok 9 tani 1. Ya 2. Tidak 10 Lama menjadi anggota kelompok tani (th) I. Tidak menjadi anggota 2. 1-10 3. 10-20 4. >20 11 Status keanggotaan dalam kelompok tani 1. Tidak menjadi anggota 2. Ketua kelompok 3. Anppota 4. ~ a i & ~ a * nyata pada taraf 5%
%
Deli Serdang n %
Total n
%
t test P
0.029 127 23
84.7 15.3
139 11
92.7 7.3
266 34
16 86 48
10.7 57.3 32.0
25 92 30 3
16.7 61.3 20.0 2.0
41 15.7 178 59.3 78 26.0 3 1.0
25 16.7 113 75.3 12 8.0
21 114 15
14.0 76.0 10.0
46 227 27
15.3 75.4 9.0
106 70.7 44 29.3
100 50
66.7 33.3
206 94
68.7 31.3
150 0
100 0
147 3
98.0 2.0
297 3
99.0 1.0
30
20.0
6
4.0
36
12.0
39
26.0
82
54.6
*
88.7 11.3 0.060
0.410
0.457
0.082 0.000
*
121 40.3 0.207
7
40 26.7 110 73.3 0 0 0 0
56 90 3 1
37.3 60.0 2.0 0.7
96 32.0 200 66.7 3 1.0 1 0.3
104 46 0
88 60 2
58.7 40.0 1.3
192 64.0 106 35.3 2 0.7
69.3 30.7 0
0.036 *
0.000 105 45
70.0 30.0
54 96
36.0 64.0
159 53.0 141 47.0
45 56 41 8
30.0 37.4 27.3 5.3
96 33 19 2
64.0 22.0 12.7 1.3
141 47.0 89 29.7 60 20.0 10 3.3
45 7 92 6
30.0 6.7 87.6 5.7
96 4 50 0
64.0 2.7 33.3 0
141 47.0 11 3.7 142 47.3 6 2.0
*
0.000 *
0.000 *
Umur Secara biologis umur menunjuk kepada jangka waktu seseorang sejak lahimya yang berada dalam keadaan hidup. Menurut Hurlock (1980) rentang usia antara 40 - 60 tahun termasuk dalam kelompok usia dewasa madya atau setengah baya.
Pada kelompok usia ini sudah terdapat kornitmen
yang lebih besar
terhadap pekejaan, dimana akan tejadi kecenderungan untuk bekeja dengan lebii serius dan lebih banyak mencurahkan diri pada pekerjaan dibandingkan dengan usia sebelumnya. Pada kelompok usia sebelumnya, cenderung masih mengadakan percobaan dengan pekerjaan yang dilakukan dan mencari jeNs pekejaan yang tepat (Santrock 1995). Sedangkan pada kelompok usia diatas 60 tahun atau biasa disebut usia lanjut, d i i a pada usia iN tejadi berbagai perubahan fisik dan penurunan fimgsi organ tubuh, sehingga berlanjut pada penurunan tingkat produktifitas dalam bekerja. Umur petani dalam penelitian ini berkisar antara 20 tahun sebagai umur petani yang termuda sampai dengan usia 88 tahun, untuk petani yang tertua. Karakteristik petani berdasarkan tingkatan umur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara petani di Kabupaten Jombang dan petani di Kabupaten Deli Serdang (p=0.060), dimana proporsi umur pe* 40
-
terbanyak berkisar antara umur
59 tahun sebesar 59.3% (Tabel 3). Pada umumnya umur petani tergolong
pada kategori usia produktif, sehingga secara fisik akan sangat membantu dan potensial untuk melakukan berbagai aktivitas usahatani yang dikelolanya.
Jumlah Anggota Keluarga Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi, serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami, istri, ayah, ibu, an&, saudara laki-laki, dan saudara perempuan serta mempakan pemelihara kebudayaan bersama. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya individu yang menetapl tinggal bersama dalam satu keluargal rumah. Jumlah anggota keluarga atau rumah tangga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang atau jasa (Sumarwan 2003). Besar kecilnya jumlah anggota rumah tangga dapat memberi
andil terhadap motivasi petani berusahatanj, karena faktor pendorong internal ini menyangkut kebutuhan keluarga. Kategori jumlah anggota keluarga dibagi menjadi tiga kelompok mengacu pada standarlaturan yang ditetapkan BKKBN, yaitu keluarga kecil dengan anggota keluarga kurang dari empat orang, keluarga sedang yang anggota keluarga terdiri dari lima sampai dengan enam orang dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga besar dari tujuh orang. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa petani di dua wilayah berada pada kelompok keluarga sedang. Hasil uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada jumlah anggota keluarga antara petani di Kabupaten Jombang dan petani di Kabupaten Deli Serdang (p=0.410), dimana persentase petani dengan jumlah anggota keluarga sedang adalah tertinggi (75.4%). Persentase terendah terdapat pada petani dengan jumlah anggota keluarga besar (9.0%).
Pendidikan Pendidikan merupakan suatu proses perubahan tingkah laku menuju kepada perilaku yang lebih baik dan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas surnber daya manusia. Tingkat pendidikan, khususnya pendidikan sekolah, merupakan salah satu faktor yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap pengetahuan, keterampilan, dan produktifitas kej a seseorang. Menurut Sumarwan (2003), pendidikan adalah salah satu karakteristik demografi yang penting. Pada umurnnya seseorang dengan tingkat pendidikan yang makin tinggi cendemng memiliki wawasan serta pengetahuan yang lebih luas, karena lebih mampu menyerap serta mengolah berbagai informasi yang diterimanya, serta akan menyebabkannya menjadi lebih respon terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Sebaliknya, rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan menjadikannya cenderung kurang peka terhadap berbagai perubahan yang terjadi (Ridwan 1997). Dari segi pendidikan formal yang diselesaikan, tingkat pendidikan petani yang terbanyak adalah SD, yaitu sebanyak 70.0% di Kabupaten Jombang dan 57.3% di Kabupaten Deli Serdang, dan tidak ada tingkat pendidikan petani yang rnencapai perguruan tinggi (Gambar 4).
Jombang
Deli Serdang
Gambar 4 Sebaran Petani berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Kategori tingkat pendidikan petani dalam penelitian ini di bagi menjadi dua kategori yaitu pendidikan rendah dan pendidikan menengah. Hasil e n Q data dengan program excel menunjukkan tidak ada petani yang berpendidikan sampai perguruan tinggi, sehingga pengkategorian tingkat pendidikan petani adalah petani yang tidak bersekolah sampai dengan Sekolah Dasar (SD) termasuk dalam kategori pendidikan rendah, sedangkan petani yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMF') sampai dengm Sekolah Menengah Atas (SMA) dikategorikan berpendidikan menengah. Mayoritas petani dalam penelitian ini berpendidikan rendah, yaitu tidak bersekolah sampai dengan Sekolah Dasar. Hal ini juga diungkapkan oleh Sastraatmadja (2008), bahwa masyarakat berpendidikan rendah lebih bmyak yang menjadi petani, sedangkan banyak lulusan perguruan tinggi dengan kajian ilmu pertanian lebih memilih bekerja di berbagai instansi, tidak terjun langsung ke lapangan menerapkan ilmunya di desa-desa. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara petani di Kabupaten Jombang dan Kabupaten Deli Serdang (p=0.457). Namun tidak ada petani yang tidak bersekolah di Kabupaten Jombang, sedangkan di Kabupaten Deli Serdang terdapat sebanyak 9.3% petani yang tidak bersekolah dan 57,3% petani dengan
tingkat pendidikan SD (Gambar 4). Hal ini juga terlihat pada data dari BPS privinsi Sumut (2003) yang menyatakan bahwa sektor pertanian umurnnya di dorninasi oleh pekerja dengan pendidikan rendah, dimana sebagian besar masyarakat menggeluti sektor pertanian sebagai pekerjaan utama adalah yang tid*
sekolabl belum tamat SD hingga tamat SD. Dengan kondisi sumber daya
petani yang mempunyai pendidiian formal relatif rendah diduga dapat berpengaruh terhadap keputusan adopsi teknologi pada usahatani yang diielolanya.
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga Tabel 3 menunjukkan bahwa sumber pendapatan utama petani di Kabupaten Jombang adalah dari pertanian pangan, sedangkan sumber pendapatan utama petani di Kabupaten Deli Serdang sebanyak 99% dari pertanian pangan dan sebanyak 1% dari pertanian nonpangan. Hasil uji t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan antara petani di dua wilayah (p=0.082). Hasil analisis menunjukkan sumber pendapatan pendukung yang dilakukan oleh petani untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya antara lain adalah bekerja sebagai buruh tani, bekej a di sektor industri, sektor jasa dengan menjadi pedagang, tukang ojek maupun pemilik kilang padi serta dalam bidang lain, seperti pensiunan, pembuat batu bata atau sebagai mandor (Gambar 5). Persentase tertinggi pekerjaan sebagai sumber pendapatan laid penunjang pada petani di Kabupaten Jombang adalah buruh (47.3%), dan persentase terendah adalah bekerja dalam bidang industri (6.7%).
Persentase tertinggi pekerjaan
sebagai sumber pendapatan laidpenunjang pada petani di Kabupaten Deli Serdang adalah bidang lain, seperti pembuat batu bata, pensiunan, petemak atau sebagai mandor (54.6%), dan persentase terendah adalah bekerja dalam bidang industri (0.7%). Hal ini ditunjukkan pula oleh hasil uji t, dimana menunjukkan adanya perbedaan sumber pendapatan lain antara petani di Kabupaten Jombang dan Kabupaten Deli Serdang (p=0.000). Besar rata-rata biaya pengeluaran pangan hampir sama
diantara dua
wilayah, dimana sebanyak 73.3% petani di Kabupaten Jombang dan 60.0% petani di Kabupaten Deli Serdang mengeluarkan biaya keperluan pangan untuk setiap
bulannya berkisar antara Rp. 500.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,- kelhl. Hal ini ditunjang pula oleh hasil uji t yang menunjukan tidak ada perbedaan besar pengeluaran pangan keluarga petani di Kabupaten Jombang dan di Kabupaten Deli Serdang (p=0.207).
r-l I B ! Jombang
H Deli Serdang
Jasa
Buruh
Industri
Lainnya
Gambar 5 Sebaran Petani berdasarkan Sumber Pendapatan Pendukung Besar rata-rata biaya pengeluaran nonpangan di dua wilayah penelitian adalah kurang dari Rp. 500.000,-ikelhl. Hasil uji t menunjukkan perbedaan pada besar pengeluaran nonpangan petani di dua wilayah (p=0.036). dimana persentase pengeluaran nonpangan kurang dari Rp. 500.000,-keluargalbulan yang tertinggi adalah di
Kabupaten Jombang, yaitu sebanyak 69.3% petani, sedangkan di
Kabupaten Deli Serdang sebanyak 58.7% petani. Untuk besar pengeluaran nonpangan yang berkisar antara Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- di kabupaten Jombang sebanyak 30,7% petani dan di Kabupaten Deli Serdang sebanyak 60% petani. Sebanyak 1,3% petani di Kabupaten Deli Serdang mengeluarkan biaya pengeluaran nonpangan Rp. 1.000.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,-/kel/bl, namun tidak ada petani di Kabupaten Jombang yang mengeluarltan biaya pengeluaran nonpangan diatas Rp. 1.000.00,- .
Kelompok Tani ICelompolc tani adalah wadah perkumpulan bagi petani untuk belajar dan berprestasi, mnemperln~atkerjasana diantara sesama petani di dalam kelompok maupun antar lcelompok tani dan dengan pihak lain, serta mendapatkan arahan dan inforrnasi yang berlcaitan dengan bidang pertanian dari dinas pertanian setempat. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/kpts/ot.160/4/2007, Tanggal: 13 April 2007 tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompolc Tali d m Gabungan Kelompok Tani, disebutkan bahwa fungsi kelompok tani yaitu 1) merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta tumbuh dan berkembangnya lcemandirian dalam berusaha tani sehingga produktifitasnya meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera; 2) merupakan tempat untulc memperkuat lcerjasama diantara sesama petani dalam lcelompok tani dan antar lcelompok tani serta dengan pihak lain. Sebanyalc 53,0% petani terdafia- dalam kelompok tani yang ada di masingmasing wilayall. Persentase terbesar petani yang terlibat dalam keanggotaan kelompolc tani adalah di ICabupaten Jombang. Tabel 3 menunjukkan petani Kabupaten Jombang yang terdaftar pada keanggotaan kelompok tani adalah sebanyalc 70.0%, sedanglcan persentase petani di Kabupaten Deli Serdang yang terdafiar pada lceanggotaan lcelompolc tani adalah sebanyak 36.0%. Hal ini didukung pula oleh hasil uji t yang menunjukkan adanya perbedaan dalam keanggotaan petani dalam kegiatan kelompok tani di Kabupaten Jombang dan Kabupaten Deli Serdang (p=0.000). Berdasarlcan jawaban petani yang terdaftar pada perkumpulan kelompolc tani, tentang lananya menjadi anggota perkumpulan kelompok tani diperoleh hasil bahwa sebanyak 29.7% petani telah terlibat dalarn perkumpulan ini berkisar antara 1-10 t a h ~ u ~dan , 20.0% petani telah terlibat dalam perlcumpulan tani berkisar antara 10 - 20 t a h ~ ~ n . Persentase janglca walctu/lamanya terlibat dalam lceanggotaan kelompok tani di Kabupaten Jomnbang adalah 1-10 tahun (37.4%), 10-20 tahun (27.3%) dan lebih dari 20 tahun (5.3%), sedangkan di Kabupaten Deli Serdang persentase jangka walctu lcete~libatanpetani dalam perkumpulan ini adalah 1-10 tahun
(22.0%), 10-20 tahun (12.7%) dan lebih dari 20 tahun (3.3%). Adanya perbedaan
dalam persentase lama inenjadi anggota kelompok tani di Icabupaten Jombang dan kabupaten Deli Serdang di dukung pula oleh hasil uji t @=0.000). Status lceanggotaan petani di ICabupaten Jombang dalam kelompok tani yaitu sebagai lcetna lcelompok (6.7%), anggota (87.6) dan Iainnya (5.7%) dalam ha1 ini petani inenjadi wdcil lcetua kelompok, sekretaris, ataupun bendahara. Status keanggotaan petani di ICabupaten Deli Serdang dalam kelompok tani adalah sebanyak 2.7% sebagai ketua kelompok dan 33.3% sebagai anggota kelompok tani. Hasil uji t menunjukkan adanya perbedaan terhadap status keanggotaan petani dalam kegiatan kelompok tani pada petani di Kabupaten Jombang dan ICabupaten Deli Serdang (p=0.000). Pengadaan dan Peredaran PRG di Indonesia Biotelcnologi adalah salah satu bentuk pemuliaan non konvensional yang dapat dipakai untuk meningkatkan mutu pemuliaan tanaman. Dengan bioteknologi diharapkan dapat inenyelesaikan masalah-masalah di bidang pertanian yang tidak dapat diselesaikan dengan cara lconvensional. Rekayasa genetika merupakan salah satu bentulc biotelcnologi yang belakangan ini berlcembang dengan pesat dan menjadi perhatian d~mia.Rekayasa genetika dilakukan dengan cara pemindahan gen dari satu mdchluk hidup Ice makhlulc hidup lainnya, yang dikenal juga dengan istilah transgenik. Relcayasa genetika mempunyai peran yang sangat besar dalam memperbaiki lcualitas inaupun laantitas pangan, relcayasa genetika juga memilki peran nyata dalam menjaga lcelestarian pangan. Walaupun begitu, hingga kini masih beltu~lada lcesepakatan untuk menggunakan tanaman transgenik hasil rekayasa tersebut. Masih banyak ilmuwan dan tokoh masyarakat yang menyangsilcail alcibat penggunaan telcnologi transgenik. Dislcusi lnasyarakat dunia sekarang juga mulai ramai, karena tanaman transgenilc sudah inulai dikomersiallcan. Banyak orang khawatir tanaman transgenilc bisa menjadi gulina baiu atau bahkan bisa dinlungkinkan pangan hasil transgenilc dapat inenjadi racun atau alergen bagi manusia. Akan tetapi ada juga pihalc-pihalc lain y a ~ glnendorong agar relcayasa genetilca dilcembangkan dengan
alasan, tanaman transgenik sangat menjanjikan karena bisa memberi makanan dunia dengal pola tananan ramah lingkungan dan harganya murah. Pemerintah Indonesia telah mengambil sikap pro dengan penuh kehatihatian dalam pengeinbangan tananan transgenilc di Indonesia. Pro dan ltontra keberadaan PRG di dalam negeri hanya terjadi pada tingkatan pengambil kebijalcan dan Lembaga Swadaya Masyaralcat (LSM/NGO), tidak terjadi pada peldcu agribisnis. Icondisi ini memerlukan pencematan tingkat petani selalc~~ yang mendalam, mengingat peluang yang mungkin dihasilkan atau dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya PRG ini membawa konsekuensi langsung terhadap petani.
Tanaman transgenik yang akan dilepas di Indonesia
hendaknya telah secara teruji melalui penelitian dan pengembangan yang baik, terencana, dan berkelanjutan. Pengambilan keputusan untuk mengembangkan tanaman transgenilc di berbagai daerab perlu dilakukan melalui proses penelitian dan pengembangan yang terpadu antara peinerintah, perguruan tinggi, pelaku bisnis, LSM, swasta, dan masyaraltat. Pada tanggal 29 September 1999, pemerintah mengeluarkan Surat Iceputusan Bersana (SIB) Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri ICesehatan, d m Menteri Negara Pangan dan Hoitikultura, Nomor.
998.1/I(pts/OT,210/9/99;790.a/Kpts-W1999;1145A/MENKES/SKB/W1999;
015A/NmenegPHOR/09/1999, tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PPHRG). Dalam SKB ini disebutkan bahwa pengkajian lceamanan hayati dan lceamanan pangan tanaman transgenilc, bagian-bagiamya, dan hasil olahannya harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Mencantumkan nama genus, spesies, dan kultivar tetuanya, b. Mencantuinlcan inetode modifilcasi genetik yang digunakan dalam merelcayasa tanaman transgenik, c. Vektor yang digunaltan bbuan inerupalcan organisme patogen, baik terl~adap manusia maupun organisme lain, jika modifikasi genetik menggundcan vektor, d. Mencanturnlcan lceterangan lengltap sumber gen yang digunakan dan metode pemusnal~ansisa velctor, e. Meucanhunlcan sistem reprodulcsi tetuanya,
f. Mencantumkan sifat barn yang dipindahkan ke tanaman transgenik, g. Mencantumkan keterangan keberadaan kerabat liar tetua tanaman transgenik, h. Mencantumkan cara pemusnahannya apabila terjadi penyimpangan. Disamping memenuhi syarat di atas, tanarnan transgenik yang digunakan untuk bahan pangan dan pakan juga harus disertai keterangan tentang hal-ha1 berikut: a. Stabilitas gen sisipan dan efikasi gen, b. Kualitas gizi, c. Kandungan senyawa beracun, antigizi, dan penyebab alergi yg bersifat alarni atau hasil modifkasi d. Dipenuhi persyaratan kesepadanan substansial, e. Secara urnum aman untuk diionsumsi, f. Kemungkiman menyerbuki kerabat liar, g. Kemungkinan terjadinya ketahanan pada tanaman yang diserbuki terhadap organisme pengganggu tumbuhan, maupun herbisida, h. Penampilan fungsi dan pengaruh dari modifikasi genetik. Selain semua persyaratan di atas, SKB ini juga mengatur tentang Tata Cara Pengkajian Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan PPHRG. Setiap orang atau badan hukum yang akan memanfaatkan PPHRG harus mengajukan permohonan pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan secara tertulis, dengan formulir yang telah disiapkan kepada keempat menteri, melalui direktoratdirektorat jenderal yang ditunjuk di keempat departemen, serta pusat karantina, dan komisi pestisida. Sikap kehati-hatian pemerintah terhadap kemungkiian dampak negatif dari PPHRG nampak jelas dan tetap dipertahankan. Hal ini terlihat dari pemerintah mengeluarkan lagi PP RI No.21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan Pemerintah ini lebih fokus pada PPHRG, mulai dari jenis, persyaratan, penelitian dan pengembangan (Litbang), pemasukan dari luar negeri, pengkajian, pelepasan dan peredaran, pemanfaatan, sampai kelembagaan yang menangani PPHRG.
Berdasarkan PP RT No.
21
Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik, PRG yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan sebelum diusulkan untuk dilepas danlatau diedarkan hams diuji efikasi dan memenuhi persyaratan keamanan hayati. Alur prosedur pengkajian penelitian dan pengembangan PRG disajikan pada Gambar 6 .
Sumber: http//www.indonesiabch.org. Gambar 6 Prosedur Pengkajian Penelitian dan Pengembangan PRG di Indonesia
Pengkajian, penelitian dan pengambangan PRG dilaksanakan berdasarkan permohonan tertulis yang diajukan oleh pemohon kepada menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang benvenang. Dalam rangka pemberian rekomendasi keamanan hayati PRG, menteri atau Kepala LPND yang benvenang menugaskan Komisi Keamanan Hayati O(KH) PRG untuk melakukan pengkajian. Selanjutnya KKH menugaskan Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH) PRG untuk melakukan pengkajian dokumen teknis dan uji lanjutan. Hasil evaluasi dan kajian teknis kearnanan hayati PRG yang dilakukan oleh TTKH disampaikan kepada KKH sebagai bahan penyusunan usul rekomendasi keamanan hayati PRG.
Tabel 4 Evaluasi dan Penglcajian Teknis Iceamanan Hayati PRG No. Produlr Rekomendasi KKH Dinyatakan "aman terhadap 1. K a ~ a Transeenik s Roundup Ready lingkungan dan Varietas DP 5690 RR keanekaragaman hayati" oleh (alias 1220 RRA 680221 Komisi Keamanan Hayati & DP 90 RR (alias 90 pada 17 Mei 1999. RE 60012)(Event
Keputusan Deptan Pelepasan secara terbatas berdasarkan Kepntusan Menteri Pertanian No.l07/Kpts/KB.430/2/2001, Kepucusan Menteri Pertanian N0.03/KDts/KB.430/1/2002, dan Keputusan Menteri Pertanian No.l02/K~tslKB.430/2/2003.
2. Kapas Transgenik Bt Varietas Bt DP 90 B (alias 90 BE 60023)& PM 1560 B (alias 1560 BE 72022) (Event 5311 3. Kedelai Transeenik
Dinyatakan "aman terhadap lu~gkungandan keanekaragaman hayati" oleh Komisi Iceamanan Hayati pada 17 Mei 1999. Dinyatakan "aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati" oleh Komisi Keamanan Hayati pada 17 Mei 1999.
Surat Hasil Evaluasi Tanaman Transpenik oleh Kepala B a d a a e t u a Komisi Keamanan
Dinyatakan "aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati" ole11 Komisi Keamanan Hayati pada 17 Mei 1999. Jarme Transeenik Bt Dinyatakan "aman terhadap Varietas Bt Mon 810-1 lingkungan dan & Bt Mon 810-2(Event keanelcaragaman hayati" oleh Mon 8 10) Komisi Keamanan Hayati pada 17 Mei 1999.
Surat Hasil Evaluasi Tanaman Transeenik oleh Kepala BadanKetua Komisi Keamanan
Round up Ready Varietas Cristdina RR & Jatoba R R (Event GTS 40-3-2)
4.
5.
6.
Jaeung Transeenik Round up Ready Varietas RR-I & RR-2 (Event GA 211
&y&
Surat Hasil Evaluasi Tanaman Transeenik oleh Kepafa B a d a a e t u a Komisi Keamanan
Havati Surat Hasil Evaluasi Tanaman Transeenik oleh Ke~ala BadanlKetua Komisi Keamanan
Havati
Ronozytne-P (probiotik Dillyataka11 "aman terhadap pakan) lingkungan dan keanekaragaman hayati" oleh Komisi Keanlanan Hayati ftahun 2001\.
7. Finase-P dan Finase-L
Dinyatakan "aman terhadap Rekomendasi aman havati ~ r o d u k lingkungan dan Finase-P dan Finase-L. Badan lceanekaragaman hayati" ole11 Penelitian danpeneembanean Pertanian. Departemen Pertanian Komisi Keamanan Hayati (tahun 2001). Sumber : Balai Kli~ingIceamanan Hayati Indonesia, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, 2007 (probiotik pakan)
Terhadap hasil evaluasi dan kajian telcnis yang disampaikan, maka Balai Kliring Icea~nananHayati (BI(KH) PRG, selaku perangkat 1033 mengumumkan penerimaan pe~mlohonan,proses dan ringltasan hasil pengltajian di tempat yang dapat dialtses ole11 masyaraltat untuk membeiikan kesempatan kepada masyarakat
menyampaikan tanggapan. Apabila masyarakat tidak memberikan tanggapan, maka masyarakat dianggap tidak berkeberatan atas usul rekomendasi dari KKH, dan selanjutnya KKH menyampaikan rekomendasi
keamanan lingkungan,
keamanan pangan, dadatau keamanan pakan kepada Menteri atau Kepala LPND yang berwenang. Kemudian Menteri atau Kepala LPND yang berwenang menggunakan sertifikat dan rekomendasi sebagai dasar pertimbangan untuk penerbitan Keputusan Pelepasan dadatau Peredaran PRG sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (tabel 4). Data dari Departemen Pertanian menyatakan bahwa status tanaman PRG terutama tanaman pangan masih dalam tahap penelitian dan pengembangan di tingkat institusi dan belum ada tanaman PRG yang telah dilepas untuk ditanam di areal produsen Indonesia. Satu-satunya produk PRG yang telah dilepas dilingkungan adalah kapas NU Cotton 35B (Bolgard) di Sulawesi Selatan pada tahun 2000 sampai dengan 2002 (Mulya 2003). Data Jenis tanaman yang sedang diteliti di Indonesia disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis dan Status Pengujian Tanaman Transgenik di Indonesia Tanamam
Sifat
Status
Agen
Jagung Bt
Tahan hama
Monsanto dan Pioneer
Uji lapangan
J a y n g Pin 11
Tahan bama
Balitbio
Sedang dikembanaan
Jagung RR
Tahan herbisida
Monsanto
Uji lapangan
Kapas Bt
Tahan hama
Monsanto
Uji lapangan
Kapas RR
Tahan herbisida
Monsanto
Uji lapangan
Kacang tanah
Tahan virus
Balitbiogen & ACIAR
Uji lapangan
Kedelai
Tahan herbisida
Monsanto
Uji lapangan
Kentang Bt
Tahan hama
Balitsa/MSU
Uji lapangan
Padi Bt &GNA
Tahan hama
LIP1
Sedang dikernbangkan
Kedelai Pin I1
Balitbiogen
Uji laboratonurn
Balitbiogen
Uji laboratonurn
Pepaya
Tahan hama & pin I1 Tahan penggerek Buah Tahan virus & CP
Tebu
Tahan penggerek
Balitbiogen, Balitbun P3GI
Ketela pohon
Tahan virus
Blitbiogen
Uji laboratoriurn
Cabe rawit
Tahan virus &CP
1PB
Uji laboratorium
Kopi
Tahan karat
Balitbun
Uji laboratonurn
lndah kiat
Uji laboratoriurn
Kakao Bt
Tahan hama Pohon Penghi,jauan Sumber : Yayasan IDEP, 2008
Balitsa,
Uji laboratoriurn Uji laboratonurn
Sebel~un dilepas atau diedarkan, PRG terlebih dahulu harus melalui tahapan pengujian persyaratan lceamanan bagi lingkungan, pangan dan pakan, sebagaimana tercant~lmdalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005, bahwa PRG bailc yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang akan dikaji atau diuji untuk dilepas danlatau diedarkan di Indonesia harus disertai informasi dasar sebagai petunjulc bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan keamanan linghmgan, keamanan pangan danlatau keamanan pakan. Pengadaan dan Peredaran PRG Pangan di Indonesia Penyediaan pangan pada waktu yang tepat dalam jumlah yang cukup, sehat, bergizi, anlan, dan terjanglcau oleh sebagian besar masyarakat, inasih merupakan masalah utama bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kekurangan pangan yang terjadi secara meluas di suatu negara dapat menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut. Meslcip~m berbagai upaya keras telah dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan, namun pencapaian peningkatan produksi belum mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan, baik karena laju pertumbuhan pendudulc, peninglcatan lconsumsi per~capita,maupun pesatnya perkembangan industri palcan dan pangan olahan (Swastika et al. 2007). Akibatnya, sampai saat ini Indonesia masill tergantung pada impor pangan (beras, jagung, dan kedelai). Jika tidak dilakukan terobosan yang berarti, maka di masa mendatang ketergantungan pada impor akan makin berat, baik dari sisi pengeluaran devisa maupun dari sisi nlalcin tipisnya pasolcan lcomoditas pangan dipasar dunia. Oleh karena itu perlu dilalallcan percepatan penemuan dan inovasi teknologi serta pembahanlan yang berlcaitan dengan produksi pertanian. Biotelrnologi dipandang sebagai salah satu terobosan teknologi dalam pemuliaan tananla11 atau hewan, dengan memanfaatlcan sumberdaya genetik untuk menciptalcan spesiesivarietas berbagai komoditas pertanian dengan produktifitas tinggi dan toleran terhadap celcaman linglcungan. Salah satu bentuk biotelcnologi yang belalcangan ini berlcembang dengan pesat dan menjadi perhatian dunia
adalah teknologi pemindahan sifat genetik antar-makhluk hidup yang hasilnya dikenal dengan istilah Produk Rekayasa Genetika (F'RG) atau transgenik. Menurut Swastika dan Hardinsyah (2008), tujuan dari pengembangan bioteknologi PRG adalah untuk menjawab tantangan kesulitan me~ngkatkan produktifitas dan kualitas panga~bagi penduduk. Dalam teknologi iN diharapkan dapat dihasilkan spesies baru yang merupakan perpaduan dari sifat-sifat positif (unggul) dari makhluk hidup yang sudah ada. Dengan demikian, produktifitas spesies dan kualitas hasil yang diperoleh dari teknologi transgenik akan lebii tinggi. Lebih lanjut Swastika dan Hardinsyah (2008) mengungkapkan bahwa Indonesia mengimpor tidak h a n g dari 300 ribu ton beras, dan masing-masing sekitar 1 juta ton jagung dan kedelai tiap tahun. Sebagian besar (71%) jagung diimpor dari Argentina dan (83%) kedelai dari Amerika serikat, dimana PRG untuk kedua komoditas ini berkembang dengan pesat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa semua jagung dan kedelai yang diimpor adalah produk transgenik. Indonesia berada pada posisi yang sulit untuk menghindari masuknya PRG. Di satu sisi jumlah penduduk yang padat menghendaki penyediaan pangan yang selalu melampaui kemampuan produksinya, di sisi lain sulit memperoleh pasokan jagung dan kedelai dari negara yang tidak mengembangkan teknologi transgenik dalam proses produksi kedua komoditas ini. Santosa (2002) menyebutkan bahwa bahan pangan dari tanaman transgenik telah masuk ke Indonesia, terutama kedelai dan jagung, sedangkan pemerintah sendiri belum melakukan kajian untuk menetapkan jenis kedelai, jagung dan bahan pangan transgenik apa saja yang boleh masuk ke Indonesia. Hasil penelitian YLKI selama tahun 2002 sampai tahuan 2005 menyatakan bahwa telah ditemukan kandungan transgenik pada 10 produk pangan yang beredar di Indonesia. Produk-produk tersebut diantaranya adalah produk tahu, tempe, dan susu kedelai. Selain itu, berdasarkan laporan USDA yang berjudul Agricultural Biotechnology Report diketahui bahwa sejumlah produk pertanian (berupa jagung
Bt, kedelai tahan herbisida serta bunglulnya) yang diimpor Indonesia dari Amerika mempakan pangan transgenik atau PRG (Anonirn 2006b).
Secara legal formal, Indonesia telah melakukan upaya perlindungan dengan mengeluarkan berbagai undang-undang dan peratwan pemerintah tentang pangan, keamanan hayati, dan keamanan pangan produk pertanian rekayasa genetik.
Hal ini mencerminkan kepedulian pemerintah secara formal untuk
melindungi masyarakat dari kemungkiinan pengaruh negatif pangan PRG. H a i l kegiatan rekayasa genetika yang diharapkan sesuai dengan undang-undang adalah jenis, spesies, atau varietas baru yang mempunyai keunggulan dalam hal produktifitas dan kualitas hasil. Ini berarti bahwa PRG diharapkan dapat menyumbang produksi pangan bermutu melalui peningkatan produktifitas dan mutu hasil. Dalam Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan PP nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan telah dijelaskan bahwa peredaran pangan di Indonesia harus melalui uji keamanan terlebih dahulu. Demikian pula dengan pelabelan bahan pangan, ketentuan dan penjelasan tentang label pangan pun tercantum pada UU tersebut. Pelabelan pangan diiaksudkan untuk memberikan penjelasan kepada pihak lain terutama konsumen mengenai jenis pangan, kandungan gizi dan jenis bahan tambahan yang digunakan dalam kegiatanfproduksi pangan tersebut. Bermawie et al. (2003) mengatakan bahwa, pelabelan merupakan sumber informasi penting bagi konsumen, sebagai dasar untuk
memutuskan
pilihannya,
meskipun
berdampak
kepada
sedikit
bertambahnya nilai jual ditingkat konsumen. Dalam peraturan Pemerintah nomor
69 tahun 1999 tentang Label dan Wan Pangan, pada pasal 35 menyatakan bahwa untuk tanaman produk rekayasa genetika hams diberi label sebagai tanaman rekayasa genetika. Narnun demikian, implementasi dari undang-undang tersebut belum mendapat perhatian yang memadai. Belurn pemah terdengar bahwa jagung dan kedelai impor diuji kemanannya sebelum dipasarkan. Bahkan label tentang asalusul kedua komoditas tersebut di Indonesia belum ada. Sebaliknya, juga belum pemah ada laporan tentang adanya gangguan kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi kedelai dan jagung asal impor. Fenomena ini menyebabkan pelabelan dan uji keamanan pangan untuk jagung dan kedelai impor tidak dipandang penting.
Tantangan lain yang dihadapi adalah implementasi dari peraturan pemerintah ini di tingkat pelaksana lapangan. Sejak keluarnya Undang-Undang
RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, belum ada perkembangan berarti pelaksanaan undang-undang maupun peraturan pemerintah yang ditetapkan (Andang 2007). Nampaknya belum ada penegakan hukum yang berarti, selama tidak ada sanksi yang jelas dan tegas bagi pelaksana yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik serta bagi importir dan distributor PRG, maka selama itu peraturan pemerintah tidak akan efektif. Produk pertanian hasil rekayasa genetika akan tetap dengan bebas mas& ke dalam negeri tanpa melalui uji keamanan panganJaminan keamanan dan keselamatan bagi konsumen juga tertulis dalam Undang-Undang Perlindungan Konsurnen No.8 Tahun 1999 yang dinyatakan dalam Bab 111 Bagian Pertama dan Pasal4. Konsumen berhak untuk memperoleh keamanan dari berbagai produk dan jasa yang dionsumsinya Makanan hams sesuai dengan keyakinan konsumen dan
aman dikonsumsi bagi kesehatan.
Makanan yang aman berarti tidak mengandung zat-zat yang membahayakan tubuh manusia Makanan yang aman adalah makanan yang tidak terkontaminasi oleh bakteri atau zat-zat kimia yang secara potensial membahayakan manusia dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Sumarwan 2003). Sampai saat ini memang belum ada laporan tentang dampak negatif pangan asal impor terhadap kesehatan manusia maupun temak. Narnun demikian, kekhawatiran sebagian masyarakat akan dampak negatif tersebut hams diantisipasi dengan melaksanakan peraturan dan undang-undang tentang PRG. Manfaat yang didapat dari pelaksanaan peraturan tersebut antara lain adatah: (1) dapat mencegah peredaran PRG yang berdasarkan hasil uji mengandung bahan yang dapat mengganggu lingkungan atau kesehatan manusia; (2) masyarakat lebih tahu tentang produk yang dikonsumsi (transparansi melalui label), sehinga bisa mernilih untuk mengkonsumsi PRG atau tidak, (3) tidak ada penyesalan di kemudian hari, jika kekhawatiran sebagian masyarakat akan akumulasi dampak negatif PRG terbukti. Dengan demikian, masyarakat terlindungi, dan pemerintah tidak dipersalahkan.
Pengadaan dan Peredaran PRG Nonpangan di Indonesia Di Indonesia tanaman transgenik masuk pada tahun 1997. Tanaman kapas transgenik tahan serangga (Bt) merupakan tanaman transgenik yang pertama kali dilepas ke lapangan untuk skala uji coba, di Sulawesi Selatan. Lokasi ini dipilii karena Propinsi Sulawesi Selatan termasuk salah satu provinsi penghasil kapas terbesar di Indonesia. Pertanian kapas terdapat hampir di seluruh Kabupaten di propinsi ini dan melibatkan ribuan petani. Sementara itu, komersialisasi kapas transgenik, berupa izin pengembangan kapas transgenik di Sulawesi Selatan dikeluarkan pemerintah melalui Departemen Pertanian pada tahun 2001. Mardiana (2007) menyatakan bahwa alur proses pelepasan kapas transgenik didahului dengan pengajuan permohonan pengujian Produk Bioteknologi Pertanian Hail Rekayasa Genetik (PBPHRG) oleh PT. Monagro Kimia (nama Monsanto di Indonesia) kepada Menteri Pertanian c.q. Ditjen Bina Produksi Perkebunan yang kemudian diteruskan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan untuk selanjutnya dimintakan rekomendasi dari Ketua Komisi Keamanan Hayati terhadap dua jenis produk tanaman kapas transgenik, yakni : a.
Tanaman kapas transgenik Roundup Ready, dengan varietas DP 5690 RR (identik dengan 1220 RRA 68022) dan DP 90 RR (identik dengan 90 RE 60012).
b.
Tanaman kapas transgenik Bt, dengan varietas Bt DP 90B (identik dengan 90 BE 60023) dan PM 1560B (identik dengan 1560 BE 72022). Selanjutnya dilakukan pengujian skala laboratorium dalam rumah kaca di
Fasilitas Uji Terbatas (FUT) oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi (Balitbio) Deptan. Setelah melewati pengujian di FUT, dilakukan pengujian skala lapangan di fasilitas Lapangan Uji Terbatas (LUT) guna melakukan uji keamanan hayati. Pengujian keamanan hayati kapas transgenik dilaksanakan pada tiga lokasi di Sulawesi Selatan, yaitu kabupaten Takalar, Jeneponto, dan Bantaeng. Pada tahun 1999 dikeluarkan surat hasil evaluasi tanaman kapas transgenik oleh Ketua Komisi Keamanan Hayati, yang menyatakan bahwa
kapas
transgenik
aman terhadap
lingkungan
dan
keanekaragaman hayati. Namun demikian, pengujian yang dilakukan belum mencakup aspek keamanan pangan dan pelepasan varietas. Pada tahun 1999 itu pula dilakukan pengujian observasi lapangan secara lebih luas sebanyak 10 hektar setiap unit pada kabupaten Bantaeng, Bulukurnba, dan Bone.
Tahun 2000
dilaksanakan uji multilokasi sekaligus uji azaptasi (daya hasil) terhadap varietas kapas NuCOTN 35B dengan kapas varietas Kanesia 7 sebagai pembandiig, di Sulawesi Selatan pada 20 lokasi percobaan. Izin pengembangan kapas transgenik di tujuh Kabupaten di Sulawesi Selatan terbit pada 7 Februari 2001. Perbandingan benih transgenik dengan benih lokal menunjukkan bahwa hasil produksi benih transgenik lebih unggul, sebagaimana dinyatakan oleh Gubernur Sulawesi Selatan (2001) bahwa: (1) produktifitas kapas Bt lebii tinggi, (2) biaya produksi rendah karena biaya pengendalian hama target dapat ditekan secara drastis, (3) meningkatkan keuntungan petani, dan (4) mengurangi penggunaan insektisida dan risiko keanekaragaman hayati serta keracunan terhadap petanilmasyarakat. Hasil penelitian Lokollo et al. (2001) & Bermawie et al. (2003) menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kapas Bollgard adalah bahwa produksi lebih tinggi dari pada kapas nontransgenik, penggunaan benih jauh lebih sedikit walaupun harganya mahal, penggunaan pestisida lebii sedikit dan penysahaannya memerlukan tenaga kerja relatif lebih kecil dibanding kapas nontransgenik. Hal ini tentu membawa liarapan baru bagi kehidupan petani. Sosialisasi keuntungan menanam benih transgenik ditekankan pada pertimbangan ekonomis.
Namun, pada akhir November 2003 pemerintah secara resmi menghentikan komersialisasi program kapas transgenik dan petani kembali menanam kapas lokal jenis kanesia (kapas Indonesia), yang tadinya ditinggalkan sebagian besar petani. Hal ini dikarenakan Monsanto gaga1 menyediakan benih kapas transgenik, sehingga mernicu meledaknya konflik antara Gubemur Sulawesi Selatan yang baru dengan Monsanto (Dokumentasi www.beritabumi.or.id).
Penerimaan Petani terhadap PRG Penerimaan petani terhadap Produk Rekayasa Genetika (PRG) meliputi manfaat dan kemgian ekonomi dan lingkungannya serta tindakan petani terhadap PRG bagi dirinya dan bagi orang di sekitarnya. Hasil analisa untuk perbandingan dalam konsumsi pangan PRG dengan beberapa pangan yang diduga dapat menimbulkan bahaya bagi tubuh, diperoleh hasil bahwa sebagian petani setuju bila mengkonsumsi pangan PRG aman bagi tubuh dan kesehatan (Tabel 6). Hal ini dapat dilihat dari jawaban petani tentang dampak konsumsi pangan, petani dapat membedakan antara pangan yang dapat menimbulkan resiko bagi tubuh dan kesehatan dengan pangan yang aman untuk dikonsumsi. Hasil jawaban yang diberikan petani mengindikasii bahwa kesadaran penduduk secara umum terhadap kesehatan pangan cukup baik. Petani pun sependapat bahwa mengkonsumsi pangan PRG tidak membahayakan dan sama amannya dengan mengkonsumsi pangan sehari-hari, mengkonsumsi pangan PRG bukanlah sesuatu yang
hams di takuti. Hal ini dimungkinkan karena belum ada isu yang
berkembang tentang dampak yang di timbulkan oleh pangan PRG. Hasil analisis penerimaan petani untuk pernyataan manfaat PRG dari aspek nonpangan, sebagian besar petani menjawab tidak setuju bahwa produkproduk hasil tanaman PRG lebih baik dari tanaman lokal. Hal ini dapat dilihat dari persentase jawaban yang diberikan oleh petani terhadap pemyataan yang diberikan. Sebanyak 49% petani setuju jika menggunakan pakaian yang terbuat dari kapas PRG lebih nyaman bila dibandingkan dengan menggunakan produk pakaian dari kapas bukan PRG, dan 48% petani setuju bahwa perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu jati PRG lebih awet dibandingkan dengan perabot dari kayu jati bukan PRG. Jawaban setuju ini di duga hanya bersifat dugaan saja bahwa produk-produk hasil rekayasa genetika lebih baik, karena petani sendii belum memakai dan menggunakan produk dari kapas dan jati PRG. Untuk jawaban dari pemyataan tentang penerimaanlpraktek penggunaan produk PRG, sebanyak 39.3% petani (Tabel 6 ) menyatakan bahwa untuk menjaga kesehatan, (saya) petani dan keluarga tidak akan mengkonsumsi produk pangan PRG. Bila dilihat, jawaban yang diberikan petani tidak sesuai dengan jawaban yang telah diberikan pada aspek persepsi tentang manfaat ataupun kerugian.
Dalam hal ini diduga, banyak petani yang masih merasa ragu untuk mengkonsumsi pangan PRG dikarenakan sosialisi tentang produk PRG belum berkembang di masyarakat. Hal ini merupakan hal yang logis, dimana seseorang akan sulit mengambil sikap dengan segala keterbatasan informasi yang ada sekarang ini terkait bidang PRG, maka adalah hal yang wajar dan logis jika masyarakat bersikap hati-hati, namun juga tidak bersikap ekstrim. Sebanyak 42.3% petani memberikan jawaban setuju pada pernyataan
untuk menjaga kesehatan, (saya) petani dan keluarga tidak akan menggunakan produk nonpangan PRG.
Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa walaupun
mayoritas petani memberikan nilai yang positif terhadap perkembangan dan pemanfaatan produk h a i l rekayasa genetika di Indonesia, namun tidak memberikan jawaban positif untuk pemanfaatan produk PRG untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Tabel 6 Sebaran Petani berdasarkan Jawaban Setujuhfenerima untuk Setiap Pemyataan Penerimaan terhadap PRG No 1
2
3
4
5
6
7
8
Variabel Pernyatann Men~onsnmsi~ r o d u k~ a n g a n berfimalin lebih berbhaia dibandimgkan mengkonsumsi pangan PRG Mengonsumsi daging ayam yang terinfeksi virus flu b u n g lebih berbahaya dibandingkan dengan mengkonsumsi pangan PRG Mengonsumsi pangan yang menimbulkan diare lebii berbahaya dibandimgkan dengan mengonsumsi pangan PRG Mengonsumsi produk pangan yang diberi pewama yang dilarang lebii berbahaya dibandingkan dengan mengonsumsi pangan PRG Menggunakan pakaian yang terbuat dari kapas PRG lebih nyaman dibandingkan dengan menggunakan produk pakaian dari kapas bukan PRG Menggunakan perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu jati PRG lebih awet dibandingkan dengan perabot dari kayu jati bukan PRG Untuk menjaga kesehatan, saya dan keluarga tidak akan mengonsumsi produk pangan PRG Untuk menjaga kesehatan, saya dan keluarga tidak menggunakan produk nonpangan PRG
Jombang n %
Deli Serdang % n
n
Total %
148 98.7
138
92.0
286
95.3
149 99.3
149
99.3
298
99.3
145
96.7
126
84.0
271
90.3
144 38.7
129
86.0
273
91.0
57
38.0
90
60.0
147
49.0
58
38.7
88
58.7
146
48.0
0
0.0
118
78.7
118
39.3
0
0.0
127
84.7
127
42.3
Mayoritas petani memberikan jawaban tidak akan mengkonsumsi produk pangan PRG dan menggunakan produk nonpangan PRG untuk alasan kesehatan. Hal ini merupakan hal yang wajar, dimana seseorang akan bersikap hati-hati dalam menerima dan mengambil keputusan untuk menggunakan produk teknologi yang baru dengan segala keterbatasan informasi yang dimiliki. Dalam ha1 ini peran pihak pemerintah sangat diperlukan dalam pemberian informasi pada masyarakat. Hasil analisis penerimaan petani terhadap PRG dihitung berdasarkan skor total yang diperoleh dengan menjumlahkan beberapa pertanyaan terkait dengan penerimaan petani terhadap PRG. Berdasarkan hasil penelitian diketahui 59.7 % petani menyatakan menerima PRG dan 40.3% petani tidak menerima PRG. Dengan tingkat pengetahuan yang kurang memadai dan keterbatasan informasi yang ada mengenai PRG, petani akan sulit mengambil sikap untuk menerima atau
Ini merupakan hal yang wajar dan logis jika petani
tidak menerima PRG.
bersikap hati-hati, namun juga tidak bersikap ekstrim untuk menolak. Skor penerimaan terhadap PRG pada petani di Kabupaten Deli Serdang lebih baik (rata-rata 80.56
* 20.91) bila dibandingkan dengan skor penerimaan
petani di Kabupaten Jombang (58.45
* 11.99). Hal ini berarti pet&
di Kabupaten
Deli Serdang lebih terbuka untuk menerima dan menggunakan PRG baik pangan maupun nonpangan. Hasil analisis penerimaan tersebut, didukung oleh h a i l uji t (t test) yang dilakukan untuk melihat perbedaan penerimaan antara petani di Kabupaten Jombang dan petani di Kabupaten Deli Serdang (Tabel 7). Hasil pengujian menunjukkan bahwa penerimaan petani terhadap PRG berbeda antara petani di Kabupaten Jombang dan petani di Kabupaten Deli Serdang (p=0.000). Tabel 7 Sebaran Petani berdasarkan Tingkat Penerimaan dan Wilayah Kategori
Menerima Tidak Menerima Total
Jombang
Deli Serdang
56 94
37.3 62.7
122 27
82 18
179 121
150
100.0
150
100.0
300
Rata-rata * SD 58.45 1 11.99 * = nyata pada tamf 5 %
80.56 1 20.91
Total
69.50
59.7 40.3 100.0
* 20.30
t Test -1 1.24 0.000*
Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan PRG Uji regresi logistik dilakukan untuk melihat faktor yang diduga berpengaruh terhadap penerimaan petani terhadap PRG. Variabel dependen pada analisis ini adalah penerimaan petani dan variabel independennya adalah faktor yang diduga berpengaruh terhadap penerimaan petani terhadap PRG, yaitu pendidikan petani, pengetahuan tentang PRG, persepsi tentang PRG, pendapatan petani, dan keanggotaan dalam perkumpulan kelompok tani. Pada uji regresi logistik ini variabel penerimaan, pengetahuan dan persepsi petani di bagi menjadi dua kategori. Nilai 1 bila petani menerima dan pengetahuan
akan PRG baik, nilai 0 bila petani tidak menerima dan pengetahuan akan PRG kurang. Kategori tingkat pendidikan petani dalam penelitian ini di bagi menjadi 2 kategori yaitu 0 untuk pendidikan rendah dan 1 untuk pendidikan menengah. Pendidikan rendah yaitu petani yang tidak sekolah dan petani yang pendidikan sampai SD, sedangkan pendidikan menengah adalah petani yang pendidikan SLTP dan SLTA. Keanggotaan dalam kelompok tani dibagi menjadi 2 kategori, 1 bila terdaftar sebagai anggota kelompok tani dan 0 bila tidak terdaftar sebagai anggota kelompok tani. Kategori untuk pendapatan didasarkan pada 1 bila pendapatan tinggi, dan 0 bila pendapatan rendah. Data pendapatan diperoleh dari jumlah pengelauaran pangan dan nonpangan keluarga selama satu bulan. Kategori tinggi bila pendapatan keluarga besar dari I juta rupiah setiap bdan dan kategori rendah bila pendapatan keluarga kurang dari 1juta rupiah setiap bulannya. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan petani terhadap PRG menggunakan analisis regresi logistik dapat diliat pada Tabel 8. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya variabel pengetahuan yang nyata mempengaruhi penerimaan petani terhadap PRG, dengan nilai signifkansi sebesar 0.04, dimana nilai tersebut <0.05. Namun, nilai Beta
(P)
dari komponen
pengetahuan menunjukkan hubungan negatif (-0.79) sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tabu petani tentang PRG maka semakin tidak akan rnenerirna PRG atau semakin tahu responden tentang keberadaan PRG, penerimaannya terhadap PRG semakin kurang. Dalam hal ini petani diduga hanya sekedar tahu akan ada
atau tidaknya PRG, dan belum memahami dengan baik akan manfaat maupun kerugiannya. Pengetahuan tentang PRG diperoleh petani dari berbagai sumber seperti televisi, anggota kelompok tanilteman, dan dari penyuluh pertanian. Diduga petani belum secara detail mendapatkan informasi tentang PRG terutama tentang manfaat dan kebaikan PRG. Petani baru sekedar tahu bahwa ada PRG, narnun belum punya pemahaman yang lebih rinci tentang apa itu PRG dan apa yang dihasilkan, serta belum melihat secara nyata hasil pertanian atau produk pangan melalui rekayasa genetika secara langsung, sehingga petani bersikap waspada dan penuh kehati-hatian. Tabel 8 Hasil Uji Regresi Logistik Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan PRG Pada Petani
Variabel Pengetahuan (1) Persepsi (1) Pendidikan (1) Kelompok tani (1) Pendapatan (1) Constant
Sig.
P -0.79 -0.33 0.10 0.39 0.01 0.89
OR
0.04* 0.27 0.70 0.1 1 0.96 0.02
0.50 0.72 1.11 1.49 1.01 2.43
= Nyata pada taraf 5%
Selain kurangnya informasi dan sosialisasi tentang PRG dimungkinkan karena usia rata-rata responden yang berada pada rentang 40-60 tahun (Tabel 3), diiana pada usia ini cenderung sulit untuk menerima sesuatu yang baru dan perlu waktu untuk menerima teknologilinovasi baru yang sama sekali belum pemah dilakukan. Dalam ha1 ini teknologi PRG dianggap sesuatu yang baru dan belum tampak secara nyata hasil dan dampaknya bagi sistem pertanian bila dibandingkan dengan sistem pertanian yang selama ini dilakukan, sebab PRG belum berkembang secara luas. Nilai Odd Ratio (OR) menunjukkan bahwa petani yang tahu tentang keberadaan PRG berpeluang untuk menerima PRG sebesar 0.5 kali lebih kecil dibandingkan petani yang belum tahu.
Analisis dilanjutkan dengan melihat kecenderungan petani untuk menerima PRG berdasarkan tingkat pengetahuan dengan menggunakan model persamaan logistik. Bila nilai Beta (P) dari komponen pengetahuan dimasukkan kedalam kategori 1 (tahu tentang PRG) di dapatkan hasil sebagai berikut :
F (z) = 0,312
= 31,2 %
Kecendemgan petani yang tahu tentang PRG untuk menerima PRG adalah 31,2%. Sedangkan bila nilai Beta (P) dari komponen pengetahuan dimasukkan kedalam kategori 0 (belum tahu PRG) di dapatkan hasil sebagai berikut :
F (z) = 0,5
= 50 %
Kecenderungan petani yang belum tahu PRG untuk menerima PRG adalah 50%. Berdasarkan hasil analisis menngunakan model persarnaan logistik dapat disimpulkan bahwa kecenderungan petani yang belum tahu PRG untuk menerima PRG lebih banyak dibandingkan dengan petani yang tahu tentang PRG. Melalui perkurnpulan kelompok tani pemerintah dan instansi terkait dapat memberikan pemahaman yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang PRG disertai dengan fakta-fakta dilapangan baik dari segi manfaat maupun kemgian PRG sehingga tingkat pengetahuan, persepsi dan penenmaan masyarakat terhadap PRG menjadi lebih baik.
Pengetahuan Petani tentang PRG Wacana mengenai Produk Rekayasa Genetika memang masih santer diperdebatkan di level praktisi dan akademisi. Perdebatan ini memunculkan dua kubu yang berseberangan yaitu kubu yang pro PRG dan kubu yang kontra PRG. Kelompok yang pro PRG melihat potensi manfaat yang besar dari penerapan teknologi ini,diantaranya adalah dengan diterapkannya teknologi ini oleh para ahli yang dapat mengubah "gen" suatu tanaman sehingga produktifitas dan kualitasnya lebih tinggi. Selain itu, transgenik juga menawarkan kemungkinan pengurangan penggunaan pestisida kimia. Namun kelompok yang kontra PRG melihat teknologi ini dari sudut pandang yang berbeda, yaitu potensi bahaya yang ditimbulkan oleh teknologi ini. Makna transgenik dikhawatirkan mengandung senyawa-senyawa yang membahayakan kesehatan manusia misalnya senyawa
Allergen yaitu zat yang dapat menirnbulkan alergi. Tabel 9 Sebaran Petani berdasarkan Jawaban Benar untuk Setiap Pernyataan Pengetahuan tentang PRG No Variabel Pertanyaan Jombang Deli Serdang Total n % n % n % 1 Tahu Tentang istilah PRG 14 9.3 58 38.7 72 24.0 2 Tahu tentangdefmisi PRG dengan benar 3 Tahu tentang peredaran PRG di lingkungan tempat tinggal 4 Tahu tentang praktek penanaman PRG di lingkungan tempat tinggal 5 Pengetahuan tentang pengaruh buruk PRG 6 Pengetahuan tentang manfaat PRG 7 Pengetahuan petani terhadap manfaat PRG 8 Pengetahuan tentang adanya pakaian yang berasal dari kapas PRG 9 Pengetahuan tentang adanya meubel yang berasal dari jati PRG Perdebatan ini hanya sampai pada kalangan elit saja, sedangkan di tataran masyarakat awam terutama petani, perdebatan ini tidak terlalu dipahami. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan terhadap pengaruh buruk dari PRG,
sebanyak 87.3% petani menjawab tahu bahwa tidak ada pengaruh burukfkerugian dari PRG. Sedangkan dari aspek pengetahuan petani terhadap manfaat PRG, 96.7% petani menjawab tahu akan manfaat PRG. Jawaban ini merupakan dugaan saja dari petani, berdasarkan asumsi petani setelah diberikan sedikit penjelasan tentang PRG oleh enumerator (Tabel 9). PRG nonpangan masih sangat asing ditelinga masyarakat, indikasi ini terlihat dari 26.7% petani yang menjawab "tahu" mengenai adanya pakaian yang berasal dari kapas PRG. Dernikian pula halnya untuk perabot rumah tangga, hanya sekitar 17% petani yang mengetahui akan adanya perabot rumah tangga dari kayu jati PRG (Tabel 9). Berdasarkan hasil analisis aspek pengetahuan tentang PRG, diketahui bahwa sekitar 14.3% petani yang tahu tentang PRG. Pengetahuan petani masih terbatas pada tahu tentang keberadaan PRG, namun belum secara detail dan mendalam tahu seperti apa PRG tersebut, baik produk hasil,
manfaat, dan
dampak dari adanya PRG. Skor pengetahuan petani di Kabupaten Deli Serdang lebih baik (rata-rata 46.67
&
17.82) bila dibandingkan dengan skor pengetahuan
petani di Kabupaten Jombang (rata-rata 39.85
&
12.22). Kurangnya tingkat
a tingkat pendidikan pengetahuan petani terhadap PRG diduga k a r ~ rendahnya dari petani serta kurangnya informasi dan sosialisasi tentang PRG pada petani. Tabel 10 Sebaran Petani berdasarkan Tingkat Pengetahuan dan Wilayah Kategori
Jombang n
Baik
%
Deli Serdang n
%
n
'YO
t -3.861
(260%)
10
6.6
33
21.4
43
14.3
Kurang (<60%)
140
93.4
117
78.6
257
85.7
100.0
150
100.0
300
100.0
Total
150
t Test
Total
P O.OOO*
* = nyata pada taraf 5 % Pengetahuan petani tentang transgenik di kedua Kabupaten secara umum masih rendah, ha1 ini dapat dimengerti karena ilmu pengetahuan
tentang
transgenik di Indonesia tergolong masih b m , terutama bagi petani. Pemahaman akan PRG mayoritas dimengerti oleh kalangan ilmuwan dan mahasiswa yang
biasa bersumber dari buku-buku, publikasi ilmiah dan majalah (Bermawie, et al. 2003). Dari hasil uji t yang dilakukan diperoleh nilai p =0.000, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan petani terhadap PRG berbeda antara petani di Kabupaten Jombang dan petani di Kabupaten Deli Serdang
Persepsi tentang PRG Peneiitian mengenai persepsi petani terhadap Produk Rekayasa Genetika (PRG) ini di bagi dalam beberapa aspek, yaitu persepsi tentang peredaran PRG, persepsi tentang manfaat PRG dan persepsi tentang kerugian PRG. Persepsi petani tentang PRG dihitung berdasarkan skor total yang diperoleh dengan menjumlahkan beberapa pertanyaan terkait dengan persepsi petani tentang PRG. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 80.3% petani memiliki persepsi menerima terhadap PRG. Meskipun tingkat pemahaman petani secara umum masih sangat terbatas, narnun petani bersedia memberikan persepsinya tentang PRG, baik dari peredaran, manfaat dan kerugian dari PRG. Mayoritas petani setuju jika di Indonesia telah beredar produk pangan dan nonpangan PRG. Sebanyak 68% petani setuju jika pangan PRG mempunyai kualitas yang baik, 96.3% petani menyatakan setuju bahwa ketika pemerintah akan melepas PRG, hendaknya ada informasi dan keterbukaan kebijakan. Selain itu sebanyak 66% petani menyatakan bahwa PRG yang diperuntukkan bagi manusia dan temak hams melalui uji keamanan sebelum diedarkan dan 65.8% menyatakan bahwa pangan PRG hams mencantumkan label pada kemasannya. Pada Tabel 11, terlihat bahwa skor menerima untuk persepsi petani tentang PRG di Kabupaten Jombang sedikit lebih baik (rata-rata 74.29
* 15.39) bila
dibandingkan dengan skor persepsi petani di Kabupaten Deli Serdang (rata-rata 70.50
* 16.89). Hasil Uji t menunjuWian bahwa persepsi tentang PRG tidak
berbeda antara petani di Kabupaten Jombang dan petani di Kabupaten Deli Serdang (p=0.360). Persentase petani yang menyatakan menerima PRG hampir sama banyaknya pada kedua wilayahkabupaten.
Tabel 11 Sebaran Petani berdasarkan Tingkat Persepsi dan Wilayah Kategori
Jombang n
Menerima
n
84
115
76.7
241
24
16
35
23.3
59
150
100.0
150
100.0
300
* 15.39
70.50
* 16.89
74.29
t Test
Total
126
Tidak Menerima Total Rata-rata * SD
%
Deli Serdang n %
72.39
%
t
80.3 2.030
P 0.360
19.7 100.0
* 16.24
Persepsi Petani tentang Peredaran PRG
Salah satu hal yang ingin diketahui dari penelitian ini adalah mengenai persepsi petani terhadap peredaran PRG, baik yang m e ~ p & a nproduk pangan maupun nonpangan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 65.3% petani menyatakan setuju bahwa saat ini di Indonesia telah beredar produk pangan PRG karena saat ini banyak informasi dari berbagai media (baik cetak maupun elektronik) yang menyatakan ha1 tersebut. Sebagai contoh adalah informasi tentang hasil penelitian YLKI selama tahun 2002 sampai tahun 2005 yang menyatakan bahwa telah ditemukan kandungan transgenik pada 10 produk pangan yang beredar di Indonesia. Produk-produk tersebut diantaranya adalah produk tahu, tempe, susu kedelai, dan sebagainya (Anonim 2006a). Sebagian petani lain yang menyatakan tidak setuju bahwa di Indonesia telah beredar produk pangan PRG, hal ini di duga karena akses mereka terhadap sumber infomasi tentang PRG masih kurang (Tabel 12). Mayoritas petani juga menyatakan setuju bahwa di Indonesia telah beredar produk nonpangan PRG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani yang menyatakan setuju sebanyak 61.7%.
Secara resmi di Indonesia telah beredar
benih kapas transgenik yang didatangkan oleh PT Monsanto dari Mexico, dan menurut laporan Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan tahun 2001 menyebutkan bahwa benih kapas tersebut sebelumnya telah mengalami uji multi lokasi (Dewan Ketahanan Pmgan 2001). Informasi mengenai hal-ha1 tersebut kemungkinan menjadi dasar bagi mayoritas petani sehingga mereka menyatakan setuju bahwa saat ini di Indonesia telah beredar produk nonpmgan PRG, atau
jawaban yang diberikan hanya berupa dugaan d m perkiraan saja, setelah mendapatkan penjelasan dari petugas enumerator. Persepsi petani terhadap peredaran produk pertanian impor (kedelai, beras, jagung, dan tomat) sangat beragam. Ada yang menyatakan setuju bahwa produkproduk tersebut ada yang mempakan pangan PRG tetapi ada pula yang menyatakan tidak setuju. Menurut Sitepoe (2001), Indonesia telah mengimpor berbagai komoditi dari negara-negara yang menggunakan teknologi rekayasa genetika sehingga dapat dipastikan Indonesia telah menggunakan dan mengkonsumsi PRG. Mayoritas petani setuju bahwa kedelai dan jagung impor merupakan pangan PRG. Petani yang menyatakan setuju terhadap pemyataan bahwa kedelai impor mempakan pangan PRG sebanyak 62.7%, dan petani yang menyatakan setuju terhadap pemyataan bahwa jagung impor mempakan pangan PRG sebanyak 61.3% (Tabel 12). Persepsi petani bahwa kedelai dan jagung impor merupakan pangan PRG sangat beralasan, Santosa (2002) menyebutkan bahwa bahan pangan dari tanaman transgenik masuk ke Indonesia, terutama kedelai dan jagung sedangkan pemerintah sendiri belurn melakukan kajian untuk menetapkan jenis kedelai, jagung dan bahan pangan transgenik apa saja yang boleh masuk ke Indonesia. Tabel 12 Sebaran Petani berdasarkan Jawaban Benar untuk Setiap Pemyataan Persepsi tentang Peredaran PRG No Variabel Pernyatann Jombang Deli Total Serdang n % n % n % 1 Saat ini di Indonesiddi daerah 129 86.0 67 44.7 196 653 saya telah beredar produk pangan PRG 2 Saat ini di Indonesiddi daerah 127 84.7 58 38.7 185 61.7 sava telah beredar ~roduk ninpangan PRG 3 Sebagian besar kedelai yang 149 99.3 39 26.0 188 62.7 diirnior me~pakanp a " g & P ~ ~ 4 Sebagian besar beras yang 149 99.3 43 28.7 192 64.0 diimpor merupakan pangan PRG 5 Sebagian besarjagung yang 95 63.3 89 59.3 184 61.3 diimpor mempakan pangan PRG 6 Sebagian besar tomat yang 85 56.7 79 52.7 164 54.7 diimpor merupakan pangan PRG
-
Sebagian besar petani di Kabupaten Jombang menyatakan produk rekayasa genetika, baik pangan maupun nonpangan telah beredar di Indonesia. Produk pangan PRG yang beredar pada umumnya adalah produk kedelai impor, jagung impor dan tomat impor, sedangkan produk nonpangan PRG yang telah beredar adalah kapas impor. Narnun, sebagian petani di Kabupaten Deli Serdang menyatakan tidak setuju bahwa PRG baik yang berupa produk pangan maupun nonpangan telah beredar di Indonesia. Perbedaan ini dapat dimengerti karena tingkat pengetahuan hemahaman mengenai PRG) petani yang beragam. Merujuk pada penelitian tentang PRG sebelumnya yang dilakukan oleh Barmawie et al. (2003), dietahui bahwa responden yang betul-betul memahami tentang PRG
jumlahnya hanya kurang dari 35%, dimana responden dalam penelitian tersebut berasal dari kelompok pengusahalpedagang, aparat pemerintah, mahasiswa, ihnuwan dan ibu nunah tangga dengan proporsi menjawab terbesar berasal dari kelompok mahasiswa dan ihnuwan. Jadi bukan hal yang mengejutkan jika ada petani yang belum mengetahui tentang peredaran PRG di Indonesia dan akhirnya mempunyai persepsi yang salah. Selain itu, kemungkinan akses terhadap informasi yang terkait PRG bagi sebagian petani juga terbatas sehingga sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai peredaran PRG di Indonesia. Persepsi tentang Manfaat PRG Selain mempunyai peran sangat besar dalam memperbaiki kualitas maupun kuantitas pangan, rekayasa genetika juga memiliki peran nyata dalam menjaga kelestarian pangan. Walau begitu, hingga kini masih belum ada kesepakatan untuk menggunakan tanaman transgenik hasil rekayasa tersebut. Masih banyak ilmuwan dan tokoh masyarakat, yang menyangsikan akibat penggunaan teknologi transgenik. Diskusi masyarakat dunia sekarang juga mulai ramai, karena tanaman transgenik itu sudah mulai dikomersialkan. Banyak orang khawatir tanaman transgenik bisa menjadi gulma baru, atau bahkan bisa dimungkinkan pangan hasil transgenik dapat menjadi racun atau alergen bagi manusia. Akan tetapi ada juga pihak-pihak lain mendorong agar rekayasa genetika dikembangkan dengan alasan, tanaman transgenik sangat menjanjikan karena bisa
memberi makanan dunia dengan pola tanaman ramah lingkungan, dan harganya murah. Menurut Prakash (2002), diacu dalam Winarno (2002) teknologi rekayasa genetika dapat membantu menangani masalah dunia yang mendesak yaitu kekurangan pangan dan kelaparan. Teknologi tersebut mampu meningkatkan produktifitas tanaman, menawarkan varitas tanaman baru yang tahan terhadap hama dan penyakit, serta membantu melapangkan jalan, bagaimana caranya menumbuhkan tanaman pangan pada lahan-lahan kritis yang bila dibiarkan begitu saja tak akan dapat mendukung pertanian. Pada lahan kritis yang kering dan yang kurus haranya atau lahan yang kondisinya kekurangan aluminium dan besi, teknologi baru itu ternyata menjanjikan dalam menjawab tantangan tersebut.
Dalam penelitian ini skor tentang manfaat atau kebolehan PRG dinilai dari persepsi para petani tentang kualitas pangan Produk Rekayasa Genetika (I'RG), nilai gizi pangan PRG, daya simpan pangan PRG, manfaat pangan PRG bagi kesehatan, produktifitas dan keuntungan tanaman PRG, perbanding& efek hasil konsumsi pangan produk PRG dengan pangan yang menimbulkan penyakit, perbandingan kebaikan menggunakan pakaian dan meubel yang berasal dari PRG dengan yang berasal bukan dari PRG. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 68.0% petani setuju bahwa pangan PRG mempunyai kualitas yang meliputi rasa, aroma, warna dan tekstur lebih baik (Tabel 13). Hasil Jawaban ini mengindikasikan bahwa petani berpendapat produk pangan PRG lebih baik dari pada tanaman lokal, kemungkinan jawaban dapat berasal dari pengetahuannya akan pangan PRG, telah mengkonsumsinya atau karena dugaan saja. Dari hasil analisis untuk aspek manfaat kesehatan, sebanyak 73.0% petani setuju bahwa pangan PRG mempunyai manfaat bagi kesehatan. Menurut Sitepoe (2001), selain reaksi alergis (yang dalam ha1 ini gen dan produknya pun telah ditarik dari peredaran) di Indonesia sampai saat ini belum ada lagi laporan ilmiah yang telah di buktikan menyatakan bahwa konsumsi pangan transgenik menyebabkan gangguan pada kesehatan. Sehingga dapat dikatakan pada saat ini pangan transgenik belum berbahaya bagi kesehatan. Bahagiawati dan Herman (2008) mengatakan, bahwa produk bioteknologi merupakan suatu produk yang
paling hati-hati di kaji keamanannya terhadap lingkungan, manusia, dan hewan sebelum dilepas ke lapang. Selanjutnya dikatakan, bahwa saat ini perakitan produk bioteknologi tidak dibenarkan menggunakan gen yang berasal dari organisme yang menyebabkan alergi pada sekelompok orang. Tabel 13 Sebaran Petani berdasarkan Jawaban Setuju untuk Seriap Pernyataan Persepsi tentang Manfaat atau Kebolehan PRG. No Variabel Pernyatann Jombang Deli Serdane: Total n % n % n % 1 PaneanPRGmem~unvaikualitas 105 9.1 99 66.0 204 68.0 (rasa, aroma, wama tekstur) lebih baik Pangan PRG mempunyai nilai gizi lebih baik Pangan PRG mempunyai daya simpan yang lebih baik Pangan PRG mempunyai manfaat bagi kesehatan Ketika pemerintah akan melepas PRG, hendaknya ada informasi dan keterbukaan kebijakan Produktifitastanaman PRG lebih tinggi biia dibandingkan dengan tanaman lokal sejenis Tanaman PRG tahan terhadap serangan hama. Tanaman transgenik memiliki biaya produksi rendah dan keuntungan tinggi. Jumlah pemakaian pestisida pada tanaman PRG lebih hemat dibandingkan dengan tanaman lokal sejenis
-
. -
Berdasarkan hasil analisis juga dietahui bahwa mayoritas petani setuju jika tanaman PRG mempunyai produktifitas yang tinggi, biaya produktifitas yang rendah dengan jumlah pemakaian pestisida yang lebih hernat dan akan menghasilkan keuntungan yang tinggi bila dibandingkan dengan tanaman lokal sejenis. Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase jawaban petani dari masingmasing aspek pada Tabel 13.
Persepsi tentang Kerugian atau Kelemahan PRG
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri tentang keamanan hayati dan keamanan pangan produk pertanian hasil rekayasa genetika, dijelaskan
bahwa teknologi rekayasa genetika adalah segala upaya untuk mengadakan pembahan secara sengaja pada genom makhluk hidup dengan menambah, mengurangi danfatau mengubah susunan asli genom dengan menggunakan teknik DNA rekombian, yaitu suatu kombinasi DNA yang terbentuk secara in vifro dari fragrnen-fragmen DNA dari dua spesies organisme. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Republik lndonesia tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika disebutkan bahwa Rekayasa Genetika adalah organisme hidup, bagian-bagiannya danlatau hasil olahnya yang mempunyai susunan genetik baru dari hasil penerapan bioteknologi modem. Penggunaan satu organisme dengan menyisipkan pada organismelgen lain diduga tidak etis untuk dilakukan. Lebih lanjut, dalam SKB empat menteri tentang keamanan hayati dan keamanan pangan produk pertanian hasil rekayasa genetika, dijelaskan bahwa tanaman transgenik adalah tumbuhan yang dibudidayakan yang meliputi tanaman semusirn dan tanaman tahunan dan bagian-bagiannya hasil rekayasa genetika. Karena pemanfaatan PRG dalam bidang pertanian, pangan dan kesehatan masih baru, muncul berbagai kekhawatiran atas pemanfaatan PRG, seperti keamanan pangan dan kesehatan manusia, pengaruh terhadap lingkungan dan kekhawatiran secara etis. Dalam bagian ini akan di lihat tingkat kesetujuan petani terhadap pertanyaan yang menyangkut tentang kerugiankelemahan PRG dan dampak yang ditimbulkan PRG baik dari PRG yang mungkin telah beredar atau PRG yang akan segera dikembangkan dan diedarkan di wilayah Indonesia. Analisis persepsi petani tentang kerugian dan kelemahan PRG diperoleh dari hasil jawaban petani berdasarkan pertanyaan yang diajukan, yang terdiri dari kesesuaian teknologi PRG dengan ajaran agama dan nilai budaya di masyarakat, bahayaikemgian dari tanaman PRG bagi kesehatan manusia dan keragaman hayati, uji keamanan produk PRG sebelum diedarkan, pelabelan produk PRG, dan konsurnsi produk pangan dan nonpangan PRG. Pada tabel 14, terlihat hasil analisa persepsi petani tentang pernyataan teknologi rekayasa genetika (PRG) bertentangan dengan ajaran agama dan tidak ethis untuk diterapkan, diperoleh persentase jawaban tidak setuju dari petani sebanyak 33,3%. Hal ini berarti petani setuju bahwa dalam penerapan teknologi
rekayasa genetika telah melalui pengujian dari berbagai pihak sehingga dapat dikatakan aman dari segi agama (kehalalan produk). Demikian pula bila dilihat dari jawaban petani pada pemyataan tanaman PRG akan mengganggu, merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, 45.3% petani memberikan jawaban tidak setuju, hasil jawaban ini diduga karena petani belum mendengar terjadinya wabah penyakit yang diakibatkan oleh pangan PRG.
Sebanyak 43.6% petani pun
menjawab tidak setuju untuk pemyataan tanaman PRG akan mengganggu, merugikan atau membahayakan bagi lingkungan (keragaman hayati). Bila dilihat hasil persentase jawaban petani dari dua pemyataan tentang apakah tanaman PRG akan mengganggu, m e ~ g i k a natau membahayakan bagi kesehatan manusia dan
lingkungan, nampak jelas bahwa mayoritas petani
menerima teknologi penyisipan gen ini dengan baik sepanjang hasil dari teknologi tersebut tidak mengganggu dan membahayakan makhluk hidup lain dan keragaman hayatilekosistem. Hasil penelitian lapang terbatas di Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa pertanaman kapas Bt tidak berpengaruh terhadap organisme bukan sasaran, sehingga aman terhadap organisme berguna yang berada di air dan tanah (Bahagiawati & Herman 2008). Hal ini karena produk bioteknologi merupakan suatu produk yang paling hati-hati dikaji keamanannya terhadap lingkungan, manusia, dan hewan sebelum dilepas ke lapang. Peredaran pangan di Indonesia harus melalui uji keamanan terlebih dahulu, aturan ini jelas tercantum pada Undang Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan pada PP nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. Demikian pula halnya dengan pangan PRG, peredarannya haruslah melalui uji keamanan terlebii dahulu. Dalam UU RI nomor 7 tentang Pangan pun telah dijelaskan dan diatur bagaimana produksilpenggunaan bahan baku pangan dan bahan tarnbahan pangan yang digunakan dalam kegiatantproduksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib untuk terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia. Jika ditinjau hasil jawaban yang diberikan oleh petani tentang uji keamanan pangan dan pakan, pada dasamya semua petani mengharapkan tanaman PRG yang akan diedarkan harus melalui tahap pengujian keamanan terlebih dahulu. Dari hasil analisa persepsi petani untuk pernyataan PRG yang
diperuntukkan bagi manusia, harus melalui uji keamanan sebelum dikonsumsi, sebanyak 66.4 % petani menjawab setuju, begitu pula hasil analisa persepsi petani
untuk pemyataan PRG yang diperuntukkan bagi temak @&an), harus melalui uji keamanan sebelum diedarkan, sebanyak 66.2% petani petani menjawab setuju (Tabel 14). Demikian pula halnya dengan pelabelan bahan pangan, ketentuan dan penjelasan tentang label pangan pun tercantum pada UU No.7 tentang pangan. Pelabelan pangan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan kepada pihak lain temtama konsumen mengenai jenis pangan, kandungan gizi dan jenis bahan tambahan yang digunakan dalam kegiatanlproduksi pangan tersebut. Pelabelan mempakan informasi penting bagi konsumen, sebagai dasar untuk memutuskan pilihannya, meskipun berdarnpak kepada sedikit bertambahnya nilai jual di tingkat konsumen (Bermawie et al. 2003). Dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pasal35 menyatakan bahwa untuk tanaman produk rekayasa genetika harus diberi label sebagai tanaman rekayasa genetika. Hasil analisis pada kategori pelabelan pangan, sebagian besar petani memberikan jawaban sangat setuju (65.8 %). Tabel 14 Sebaran Petani berdasark~Jawaban Setuju untuk Setiap Pemyataan Persepsi tentang Kemgian atau Kelemahan PRG. No 1
2
3 4
5
6 7
Variabel Pernyatann Teknologi rekayasa genetika (PRG) berteutangan dengan ajaran agama dan tidak ethis untuk diterapkan Tanaman PRG akan menggangu, merugikan atau membahayakan bagi kesehatan manusia Tanaman PRG akan menggangu, memgikan atau membahayakan bagi lingkungan (kemgaman hayati) PRG yang diperuntukkan bagi manusia, h m s melalui uji keamanan sebelum diedarkan untuk dikonsumsi PRG yangdipemtukkanbagi temak (pakan), h m s melalui uji keamanan sebelum diedarkan. Pangan yang mempakan PRG h m s mencantumkan label pada kemasannya PRG tidak aman dikonsumsi karenamenggunakan gen dari makhluk hidup lain
Jombang n % 51 34.0
Deli Serdang n %
Total
99
66.0
100
% 33.3
82
54.7
122
81.3
136
45.3
72
48.0
124
82.7
131
43.6
149
99.3
150
100.0
199
66.4
150
100.0
148
98.7
199
66.2
148
98.7
148
98.7
197
65.8
13
8.7
86
57.3
66
22.0
n
Kebijakan pemerintah dalam peredaran, pelepasan d m pemanfaatan produk PRG hams di sebar luaskan pada segenap lapisan masyarakat, tidak hanya tertulis dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah saja. Pemerintah hendaknya bersikap tegas dalam menentukan apakah akan bersikap mendukung (pro) terhadap teknologi rekayasa genetika atau sebaliknya (kontra). Mardiana, (2007) mengungkapkan perlunya tindak lanjut komitmen Indonesia setelah menandatangani protokol Cartagena. Dimana salah satu hal penting yang diatur didalam Protokol Cartagena yaitu transparansi dan keterbukaan dalam memberikan informasi pada masyarakat, sehingga masyarakat tahu dan dapat menentukan pilihan untuk menggunakan atau tidak Produk Rekayasa Genetika Masih adanya pendapat yang pro dan kontra terhadap permasalahan tanaman transgenik, terutarna antar kalangan ilmuwan dan masyarakat luas, diarapkan bisa diselesaikan dengan memberi pengetahuan yang seluas-luasnya kepada masyarakat sehingga mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk bersikap (Bermawie et al. 2003). Hubungan antara Pendidikan dengan Pengetahuan dan Persepsi Petani tentang PRG Pendidikan mempakan suatu proses perubahan tingkah laku menuju kepada perilaku yang lebih baik. Seseorang dapat menambah pengetahuannya melalui pendidikan yang dilaluinya. Pengetahuan akan suatu objek baru akan membentuk suatu persepsi terhadap objek tersebut apabila pengetahuan tersebut disertai dengan kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek. Disamping itu, pendidikan yang lebih tinggi diarapkan dapat membentuk persepsi yang positif terhadap berbagai perubahan. Tingkat pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan formal akan berpengaruh terhadap sikap dan tindakan seseorang, karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai sesuatu hal. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan memberikan pengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. Menurut Sumarwan (2003), tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berfikir, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah.
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan korelasi Spearman's, menunjukkan bahwa variabel pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan variabel pengetahuan dengan nilai p=0.001. Diduga latar belakang pendidikan petani mempengaruhi cara pandang dan pemahamannya akan PRG, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuan atau pemahamannya tentang PRG atau semakin mudah dalam menerima informasi tentang PRG. Akan tetapi variabel
pendidikan tidak
mempunyai hubungan yang erat dengan variabel persepsi (p=0.879).
Persepsi
petani tentang PRG tidak dipengaruhi tingkat pendidikannya yang rendah atau tinggi. Diduga persepsi petani terhadap PRG didasarkan pada asumsi bahwa dengan teknologi baru dianggap akan meningkatkan produktifitas pertanian dan layak untuk diterima Tabel 15. Hasil Uji Hubungan Pendidikan, Pengetahuan dan Persepsi Petani I
Pendidikan
I Koefisien Korelasi
I
I
1.000
I
1
Sig N
Pengetahuan Koefisien Korelasi Sig N
Persepsi
*
Koefisien Korelasi Sig
N
= Kolemsi signifikanpada taraf
300 0.195* 0.001 300 0.009 0.879 300
1.000 300 0.083 0.153 300
1.000 300
0.05
Harapan Petani terhadap PRG dan Pertanian di Indonesia Penyediaan pangan pada waktu yang tepat dalam jumlah yang cukup, sehat, bergizi, aman, dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, masih merupakan masalah utama bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia Kekurangan pangan yang terjadi secara meluas di suatu negara dapat menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa kelangkaan pangan, terutarna beras, yang menyebabkan melonjaknya harga-harga pada tahun 1966 dan 1998 sangat berpengaruh terhadap terjadinya krisis ekonomi, sosial, dan politik, dan berujung pada jatuhnya rezim pemerintahan saat itu (Suryana 2002).
Wajarlah jika sejak awal kemerdekaan Indonesia selalu berupaya keras untuk meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Sampai saat ini, baik secara psikologis maupun politik kebijakan peningkatan produksi pangan di Indonesia masih merupakan isu yang sangat penting dan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan (Amang & Sapuan 2000). Meskipun berbagai upaya keras telah dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan, namun pencapaian peningkatan produksi belum marnpu mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan, baik karena laju pertumbuhan penduduk, peningkatan konsumsi per kapita, maupun pesatnya perkembangan industri pakan dan pangan olahan (Swastika et al. 2007). Akibatnya, sampai saat
ini Indonesia masih sangat tergantung pada impor pangan (beras, jagung, dan kedelai). Jika tidak dilakukan terobosan yang berarti, maka di masa mendatang ketergantungan pada impor akan makin berat, baik dari sisi pengeluaran devisa maupun dari sisi makin tipisnya pasokan komoditas pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, terobosan untuk meningkatkan produksi secara signifikan harus terus diupayakan. Tabel 16 . Harapan petani terhadap Peredaran dan Perkembangan PRG
I No. I
Pcrnyataan
Jumlah
I
Kabupaten
75
100.0
I
Kabupaten Deli
77
100.0
)
Total
152
100.0
Hasil analisis menunjukkan, sebanyak 30.3% menyatakan PRG terutarna produk pangan bisa diedarkan jika mampu memberikan kualitas hasil yang tinggi, harga benih yang murah dan mudah diperoleh. Selanjutnya, sebanyak 18.4% petani berharap dengan adanya PRG dapat meningkatkan produktifitas pertanian di Indonesia. Harapan yang diberikan oleh petani di duga karena selama ini petani selalu berada dalam posisi yang semakin lemah dan kurang mendapatkan keuntungan. Biaya produksi pertanian yang semakin tinggi tidak disertai dengan peningkatan pendapatan petani karena harga jual gabah dari petani pun semakin kecil, sedangkan petani hanya bergantung dari sektor pertanian.