HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan Lapangan Ketahanan Lima Genotipe Cabai tehadap Serangan Lalat Buah Percobaan pertama dilaksanakan di pertanaman cabai milik petani Megamendung. Pada percobaan ini digunakan lima genotipe cabai, yaitu F3 (12x10), F3 (10x14), Hot Pepper Tornado, Keriting 09, dan SP Hot 77. Hasil percobaan menunjukkan bahwa lalat buah paling banyak menyerang cabai SP Hot 77 dengan tingkat serangan mencapai 33% pada 10 minggu setelah tanam (MST) (Tabel 1). Serangan lalat buah pada cabai SP Hot 77 pada 10-12 MST paling tinggi dibandingkan dengan genotipe lain. Hal ini menunjukkan bahwa SP Hot 77 rentan terhadap serangan lalat buah. Cabai genotipe F3 (12 x 10), F3 (10 x 14), dan Keriting 09 cenderung lebih tahan terhadap serangan lalat buah, karena tingkat serangan lalat buah lebih rendah dibandingkan dengan pada Hot Pepper Tornado dan SP Hot 77. Tabel 1 Evaluasi lima genotipe cabai terhadap serangan lalat buah Genotipe F3 (12x10) F3 (10x14) Hot PepperTornado Keriting 09 SP Hot 77 a
Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MSTa 10 11 12 2,53b 1,25b 0,65b 5,44b 2,28b 5,79b 4,88b 1,11b 14,53a 4,93b 3,76b 3,02b 33,16a 16,54a 14,78a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Perbedaan ketahanan genotipe cabai terhadap serangan lalat buah dapat disebabkan oleh perbedaan morfologi buah cabai. Menurut Vos dan Duriat (1995) ada tiga tipe cabai yang dibedakan berdasarkan bentuk buah, yaitu cabai besar, cabai keriting, dan cabai rawit. Cabai yang digunakan pada penelitian ini juga menunjukkan morfologi buah yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 4. Cabai F3 (12 x 10) memiliki bentuk buah yang pendek dan tegak ke atas; cabai F3 (10 x 14) memiliki bentuk buah yang pendek dan tegak ke bawah seperti cabai
24 rawitt; Hot Peppper Tornaddo memiliki bentuk bu uah yang panjang p dann ramping seperrti cabai keeriting; Keeriting 09 memiliki m beentuk buahh cabai kerriting pada umum mnya yaitu panjang, raamping, dann berkerut; sedangkan s S Hot 77 m SP merupakan cabaii merah bessar yang meemiliki bentuuk buah pan njang dan besar (Gambbar 4).
Gam mbar 4 Benttuk umum buah cabai F3 (12x x10), F3 (10x14), Hot Pepper Tornnado, Keritiing 09, dan SP Hot 77 Penggaruh Gen notipe Cab bai yang Tahan dan Rentan n, serta Perlakuan Insek ktisida tehaadap Seran ngan Lalat Buah Percobaann kedua dilaaksanakan di d pertanam man cabai milik m petani K Katulampa (Gam mbar 5). Paada penelitiaan ini digunnakan cabaai SP Hot 77 7 sebagai ccabai yang rentaan terhadapp lalat buahh dan cabaai keriting 09 yang ceenderung leebih tahan terhaadap seranggan lalat buuah. Kedua jenis cabaii ini juga umum u digunnakan oleh masyyarakat, berrbeda dengaan cabai gennotipe F3 (12 ( x 10) daan F3 (10 x 14) yang masih berupa galur g pemuuliaan tanaaman cabai sehingga benih-beniihnya sulit diperroleh. Tingkat seerangan lalaat buah padda cabai SP Hot 77 dann keriting 009 berbeda sangaat nyata (P P < 0,001) pada p 8, 9, dan d 12 MST dan berbbeda nyata ((P < 0,05) padaa 7 dan 10 MST (Tabbel 2). Berddasarkan haasil uji lanjjut dengan uji selang bergaanda Duncaan diketahuii bahwa seraangan lalat buah pada cabai c besar SP Hot 77 nyataa lebih tinggi dibanddingkan denngan pada cabai keriiting 09 paada semua penggamatan (Taabel 3).
25
Gambar 5 Kondisi petak percobaan di Katulampa pada percobaan II-2011 Tabel 2 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan II2011 Perlakuan Blok Varieats (Var) Insekstisida (Ins) Var*Blok Var*Ins a
Tingkat serangan lalat buah pada n MSTa 7 8 9 10 11 12 TN * TN TN ** * * ** ** * TN ** TN * TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN
*: nyata (5%), **: sangat nyata (1%), TN: tidak nyata.
Tabel 3 Tingkat serangan lalat buah pada dua genotipe cabai di Katulampa, Percobaan II-2011 Genotipe Keriting 09 SP Hot 77 a
Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MST a) 7 8 9 10 11 12 0,17b 0,94b 1,10b 1,25b 3,22a 1,71b 2,73a 5,53a 9,09a 4,59a 4,67a 9,85a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
26 Perlakuan insektisida berpengaruh nyata terhadap tingkat serangan lalat buah hanya pada 8 MST (Tabel 2 dan 4). Secara umum, tingkat serangan lalat buah pada perlakuan ekstrak serai wangi pada 8-12 MST lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain (Tabel 4). Walaupun demikian, hasil panen pada tanaman kontrol lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang diberi perlakuan insektisida (Tabel 5).
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan
insektisida botani maupun sintetik dapat menekan kehilangan hasil panen. Tabel 4 Pengaruh perlakuan insektisida terhadap tingkat serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan II-2011 Perlakuan insektisida Campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2% Ekstrak serai wangi 0,2% Spinosad 0,8 ml/l Imidakloprid 0,8 g/l Kontrol a
Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MST a) 7 8 9 10 11 12 0,00a
3,09b
6,16a
2,45a
3,08b
3,71a
0,56a 2,65a 0,75a 3,25a
7,26a 3,10b 1,65b 1,10b
7,54a 4,05a 5,25a 2,48a
4,10a 2,55a 1,53a 3,96a
7,26a 3,09b 1,65b 1,10b
7,69a 6,09a 5,13a 6,28a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Tabel 5 Pengaruh perlakuan insektisida pada hasil panen cabai pada di Katulampa, Percobaan II-2011 Perlakuan insektisida Campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2% Ekstrak serai wangi 0,2% Spinosad 0,8 ml/l Imidakloprid 0,8 g/l Kontrol a
Hasil panen (g/15 m2) ± SDa
Hasil panen (kg/ha)
1027,5 ± 591,9a
685,00
947,5 ± 544,5a 1070,0 ± 477,1a 1016,7 ± 495,5a 834,2 ± 436,2a
631,67 713,33 677,80 556,13
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
27
Pengaruh Mulsa, Insektisida, Tanaman Perangkap, Tanaman Penolak, dan Perangkap Lalat Buah terhadap Serangan Lalat Buah Percobaan ketiga dilaksanakan di pertanaman cabai milik petani di Katulampa sama seperti percobaan kedua. Pada percobaan ketiga ini dilakukan implementasi beberapa komponen pengendalian hama lalat buah berdasarkan percobaan sebelumnya. Beberapa komponen pengendalian yang diterapkan yaitu cabai keriting 09 sebagai salah satu tanaman tahan terhadap serangan lalat buah dijadikan sebagai tanaman produksi, cabai besar SP Hot 77 sebagai tanaman yang rentan terhadap serangan lalat buah dijadikan sebagai tanaman perangkap, dan penggunaan serai wangi sebagai tanaman penolak (Gambar 6).
a c
b
Gambar 6 Kondisi petak percobaan di Katulampa pada percobaan III-2011, cabai keriting 09 (a), cabai besar SP Hot 77 (b), dan serai wangi (c) Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan lalat buah pada cabai keriting sangat rendah bahkan mendekati 0.
Perlakuan mulsa dan insektisida serta
kombinasi kedua perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap serangan lalat buah pada cabai keriting (Tabel 6).
Tingkat serangan lalat buah pada
perlakuan dengan dua jenis mulsa dan kontrol sangat rendah (Tabel 7), demikian pula dengan perlakuan insektisida (Tabel 9).
Penggunaan mulsa tidak
memberikan pengaruh terhadap tingkat serangan lalat buah, tapi penggunaan
28 mulsa plastik perak-hitam dan jerami dapat menekan perkembangan hama trips (Tabel 8). Menurut Vos et al. (1995) pengaruh penggunaan mulsa plastik dan jerami terhadap lalat buah menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik dapat menekan kehadiran hama trips dan penyakit virus.
Tabel 6 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan insektisida terhadap serangan lalat buah di Katulampa, Percobaan III-2011 Tingkat serangan lalat buah pada n MSTa 10 11 12 TN TN * TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN TN
Perlakuan Blok Mulsa Insektisida (Ins) Mulsa*Blok Mulsa*Ins a
*: nyata (5%), **: sangat nyata (1%), TN: tidak nyata.
Tabel 7 Perkembangan serangan lalat buah pada pertanaman cabai keriting dengan perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011 Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MSTa 10 11 12 0,13a 0,00a 0,03a 0,06a 0,28a 0,08a 0,13a 0,36a 0,05a
Mulsa Plastik Jerami Kontrol a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Tabel 8
Mulsa
a
Perkembangan populasi trips (Thrips sp.) pada pertanaman cabai keriting dengan perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011 Rata-rata populasi trips pada n MSTa 4
5
Plastik
0,4 a
0,4 a
Jerami
0,6 a
Kontrol
0,8 a
6
7
8
9
10
11
12
0,1 b
0,4 a
0,3 a
0,2 a
0,1 a
0,0 a
0,0 a
0,4 a
0,2 ab
0,5 a
0,8 a
0,5 a
0,1 a
0,1 a
0,0 a
0,4 a
0,5 a
0,5 a
0,8 a
1,2 a
0,3 a
0,1 a
0,1 a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
29
Tabel 9 Perkembangan serangan lalat buah pada pada pertanaman cabai keriting dengan perlakuan insektisida di Katulampa, Percobaan III-2011 Tingkat serangan lalat buah (%) pada n MSTa 10 11 12
Perlakuan Campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2% Ekstrak serai wangi 0,2% Spinosad 0,8 ml/l Imidakloprid 0,8 g/l Kontrol a
0,22a
0,00a
0,00a
0,00a 0,00a 0,32a 0,00a
0,00a 0,06a 0,29a 0,72a
0,08a 0,05a 0,00a 0,12a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Tabel 10 Hasil panen cabai pada petak perlakuan mulsa di Katulampa, Percobaan III-2011 Mulsa
Hasil panena (g/15 m2)
Hasil panen (kg/ha)
Plastik
188,41b 544,09a 383,19a
125,61 362,73 255,46
Jerami Kontrol a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Gambar 7 Perbedaan tinggi tanaman cabai dengan perlakuan mulsa plastik perak-hitam, mulsa jerami, dan tanpa mulsa
Tinggi tanaman (cm)
30 50 40 30 20 10 0 Plastik
Jerami
Tanpa mulsa
Jenis mulsa Gambar 8 Pengaruh penggunaan mulsa terhadap tinggi tanaman cabai di Katulampa, Percobaan III-2011 Hasil panen cabai pada petak perlakuan yang diberi mulsa jerami lebih tinggi dibandingkan perlakuan mulsa plastik perak-hitam (Tabel 10). Hal ini dapat terjadi karena pada saat percobaan dilakukan sedang musim kemarau dengan kondisi sinar matahari terik dan panas. Tanaman yang menggunakan mulsa plastik perak-hitam mengalami kekeringan, sehingga pertumbuhannya terhambat (Gambar 7). Tinggi tanaman cabai yang menggunakan mulsa plastik rata-rata 30 cm, sedangkan yang menggunakan mulsa jerami dan tanpa mulsa rata-rata 40 cm (Gambar 8). Menurut Hamdani (2009), efek aplikasi mulsa bergantung pada jenis bahan mulsa. Bahan yang dapat digunakan sebagai mulsa di antaranya sisa-sisa tanaman (serasah atau jerami) dan bahan plastik. Mulsa memberikan berbagai keuntungan baik dari segi fisik maupun kimia tanah. Secara fisik mulsa dapat menjaga suhu tanah lebih stabil dan dapat mempertahankan kelembapan di sekitar perakaran tanaman. Penggunaan mulsa akan memengaruhi suhu tanah dan mencegah radiasi langsung matahari. Penggunaan mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma, pemadatan tanah, dan erosi (Alviana & Susila 2009). Menurut Mahmood et al. (2002), mulsa jerami atau mulsa yang berasal dari sisa tanaman mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa plastik yang memiliki konduktivitas lebih tinggi. Serangan lalat buah pada cabai keriting sebagai tanaman produksi sangat rendah yaitu mendekati 0. Hal tersebut berbeda dengan serangan lalat buah pada
31
cabai besar sebagai tanaman perangkap, yang menunjukkan serangan lalat buah yang tinggi yaitu rata-rata 51,1% dan 50,41% pada 11 dan 12 MST. Menurut Hokkanen (1991), pengendalian hama dengan tanaman perangkap dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain (a) menggunakan spesies atau kultivar yang paling disukai oleh hama sasaran, (b) menggunakan spesies tanaman yang sama dengan tanaman utama yang diatur waktu tanamnya. Dalam upaya memaksimumkan upaya pengendalian lalat buah, dalam penelitian ini juga digunakan perangkap lalat buah dengan atraktan metil eugenol (Petrogenol 800 L). Hasil pemerangkapan diperoleh dua jenis lalat buah yaitu B. (B.) dorsalis kompleks dan B. (B.) umbrosa. B. (B.) dorsalis kompleks umum ditemukan pada cabai (White & Harris 1992), berbeda dengan B. (B.) umbrosa yang umum ditemukan pada pada kluwih dan nangka (White & Harris 1992; Siwi et al. 2006). Populasi lalat buah B. (B.) dorsalis kompleks jauh lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan B. (B.) umbrosa (Gambar 9). Hal ini dapat terjadi karena di lapangan inang B. (B.) dorsalis kompleks lebih banyak dibandingkan dengan B. (B.) umbrosa.
Selain cabai juga ditemukan jambu air, petai, dan
Populasi (ekor)
pepaya yang menjadi inang B. (B.) dorsalis kompleks (Siwi et al. 2006).
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
B. (B.) dorsalis kompleks B. (B.) umbrosa
7
8
9
10
11
12
Minggu setelah tanam (MST) Gambar 9 Jenis dan populasi lalat buah yang masuk ke dalam perangkap lalat buah di Katulampa, Percobaan III-2011
32 Buah cabai yang menunjukkan gejala terserang lalat buah di lapangan dibawa ke laboratorium untuk mengetahui jenis lalat buah dan musuh alaminya. Berdasarkan hasil identifikasi di laboratorium diketahui bahwa lalat buah yang menyerang tanaman cabai adalah B. (B.) carambolae (Gambar 10) dan B. (B.) papayae (Gambar 11). Kedua jenis lalat buah tersebut termasuk B. (B.) dorsalis kompleks yang sulit dibedakan satu dengan yang lain tanpa menggunakan alat bantu mikroskop. Sementara itu B. (B.) tau, B. (B.) umbrosa, B. (B.) cucurbitae, dan B. (B.) albistrigata mudah dikenali dari bentuk garis pita atau bercak cokelat atau hitam yang ada di bagian sayapnya (Muryati et al. 2007). Menurut (White & Harris 1992), metil eugenol dapat menarik lalat buah jantan Bactrocera spp., tetapi tidak untuk subgenus B. (Zeugodacus), dan beberapa kadang menarik subgenus Ceratitis (Pardalaspis).
Gambar 10 Lalat buah B. (B.) carambolae
Gambar 11 Lalat buah B. (B.) 32ntenn
33
Gambar 12 Parasitoid lalat buah Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae)
Berdasarkan hasil pemeliharaan buah cabai yang bergejala juga ditemukan parasitoid dari lalat buah. Hasil identifikasi di laboratorium menunjukkan bahwa parasitoid tersebut adalah Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) yang merupakan endoparasitoid larva-pupa (Gambar 12). Menurut White dan Harris (1992), larva dan pupa lalat buah dapat diserang oleh berbagai jenis parasitoid Hymenoptera, pada umumnya oleh spesies Opiinae (Braconidae), tetapi Chalcidoidea dan famili lain juga penting. Keberadaan parasitoid tersebut perlu dilestarikan sebagai bagian dari pengendalian hayati dalam PHT. Menurut Van Driesche dan Bellows (1996), parasitoid dari famili Braconidae umum digunakan sebagai agens hayati, khususnya untuk mengendalikan kutu daun dan berbagai hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera.
Percobaan Laboratorium Hasil pengujian menunjukkan bahwa campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2% serta ekstrak serai wangi 0,2% paling sedikit dikunjungi oleh lalat buah (Tabel 11). Pada olfaktometer tabung-Y, jika bahan uji bersifat sebagai repelen, sebagian besar serangga akan bergerak memasuki kontrol, dan sebaliknya semua serangga akan bergerak memasuki lengan perlakuan bila bahan uji bersifat sebagai atraktan (Dadang & Prijono 2008). Berdasarkan hasil pembandingan masing-masing perlakuan dengan uji-t, diketahui bahwa ekstrak serai wangi
34 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan perlakuan lain tidak berbeda nyata (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak serai wangi berpotensi sebagai repelen. Mardiasih (2010) juga melaporkan bahwa serai wangi berpotensi sebagai senyawa deteren (penghambat peneluran). Pada perlakuan ekstrak serai wangi 0,25% jumlah imago lalat buah yang berkunjung hanya 7% dibandingkan perlakuan kontrol yang jauh lebih banyak yaitu sebanyak 18%. Hasil penelitian Wahyuningtyas (2004) menunjukkan bahwa minyak serai wangi pada konsentrasi 2,5% dapat menolak nyamuk Aedes aegypti Linnaeus. Menurut Barnard (2000) aplikasi serai wangi dapat dilakukan secara tunggal atau dikombinasikan dengan minyak lavender, cengkih, dan bawang putih. Minyak serai mengandung senyawa golongan aldehida yaitu sitronelal dan senyawa golongan alkohol yaitu geraniol. Minyak serai wangi jawa mengandung geraniol, d-sitronelal, dan sitronelal hingga 36%, sitral 0,2%, dan sisanya adalah senyawa isovaleraldehida, metil neptenon, d-sitronelal, isoamil alkohol, nerol, borneol, eugenol, geranil asetat, sitronelil asetat, sitronelil butirat, metil eugenol, disitroneloksida, alkohol-alkohol sekuiterpena, dipentena, dan l-limonena, serta seskuisitronelal (Ketaren 1986). Tabel 11 Rata-rata jumlah lalat buah betina B. (B.) carambolae yang mendatangi bahan uji dalam pengujian dengan olfaktometer tabung-Y Perlakuan Campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2% Ekstrak serai wangi 0,2% Spinosad 0,8 ml/l Imidakloprid 0,8 g/l Kontrol a
Jumlah lalat 15,6c 17,3bc 23,7a 20,7abc 23,0ab
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
35
Tabel 12 Ringkasan hasil uji-t dalam pengujian olfaktometer beberapa jenis insektisida terhadap rata-rata jumlah lalat buah betina B. (B.) carambolae yang datang
a
Pembandingan
N
Rataan
Nilai t
P > | t |a
A1 x A5
30
-2,67
0,056
A2 x A5
30
-3,54
0,024
A3 x A5
30
0,00
1,000
A4 x A5
30
1,41
0,230
A1 x A2
30
0,78
0,477
A1 x A3
30
-2,45
0,071
A1 x A4
30
-2,14
0,099
A2 x A3
30
-0,50
0,643
A2 x A4
30
-0,25
0,812
A3 x A4
30
A = 3,33 K = 6,67 B = 3,33 K = 6,67 C = 5,00 K = 5,00 D = 5,33 K = 4,67 A = 5,67 B = 4,33 A = 3,00 C = 7,00 A = 3,67 D = 6,33 B = 5,00 C = 5,33 B = 4,67 D = 5,33 C = 6,33 D = 3,67
1,57
0,192
Untuk H0: ragam sama Jika nilai P > | t | lebih besar dari 0,05 (5%) maka tidak berbeda nyata. A1: campuran ekstrak cabai jawa dan biji srikaya 0,2%, A2: ekstrak serai wangi 0,2%, A3: spinosad 0,8 ml/l, A4: imidakloprid 0,8 g/l, dan A5: kontrol.
Pembahasan Umum Lalat buah yang menyerang cabai di pertanaman cabai petani di Megamendung dan Katulampa, Bogor adalah B. (B.) carambolae dan B. (B.) papayae. Menurut Muryati et al. (2007), kedua jenis lalat buah tersebut termasuk B. (B.) dorsalis kompleks yang sulit dibedakan satu dengan yang lain tanpa menggunakan alat bantu mikroskop. Perbedaan ketahanan genotipe cabai terhadap serangan lalat buah dapat disebabkan oleh faktor morfologi, genetik, dan kimiawi. Menurut Agarwal dan
36 Kapoor (1984) lalat buah sering menggunakan stimuli visual untuk mendeteksi tanaman inang baik dari segi ukuran tanaman, permukaan, pola, dan warna. Proses penentuan inang melibatkan indera penglihatan, mekanik, olfaktori, dan gustatori (Honda 1995). Betina lalat buah mencari tempat peletakan telur dengan reseptor pada tarsi, probosis, antena, dan ovipositor yang memiliki peranan penting dalam penentuan inang. Permukaan, ukuran, warna, dan zat kimia alami dari tempat peneluran menjadi pertimbangan lalat buah sebelum meletakkan telurnya. Rambut taktil pada ovipositor membantu lalat buah untuk membedakan permukaan yang keras atau lunak untuk peletakan telur (oviposisi). Kesesuaian inang pada akhirnya ditentukan oleh kemoreseptor yang terletak pada ovipositor. Lalat buah betina juga mendeteksi kehadiran larva lalat buah pada inang dengan kemoreseptor pada ovipositor. Lalat buah memiliki feromon penanda oviposisi (oviposition marking), sehingga buah yang sudah ada telurnya tidak akan diteluri lagi (Agarwal & Kapoor 1984). Faktor kimiawi juga memiliki peranan penting dalam ketahanan tanaman terhadap serangga. Menurut Dadang dan Prijono (2008), senyawa-senyawa sekunder tanaman memiliki peran penting bagi serangga dalam proses penemuan inang. Bau dari senyawa volatil beberapa tanaman dapat menjadi atraktan bagi lalat buah, seperti bau dari senyawa volatil yang dihasilkan pada saat bunga mekar akan menarik lalat buah jantan (Agarwal dan Kapoor 1984). Selain faktor morfologi, genetika, dan kimiawi, ketahanan tanaman juga dipengaruhi oleh suhu, panjang hari, kimia tanah, kandungan air dalam tanah, dan metabolisme tanaman secara internal (Smith 1989). Tanaman yang tahan terhadap serangan lalat buah yaitu cabai Keriting 09 dapat dijadikan sebagai tanaman produksi, sedangkan tanaman yang rentan yaitu cabai SP Hot 77 sebagai tanaman perangkap. Penggunaan varietas tahan dan tanaman perangkap menjadi bagian dari teknik pengendalian secara kultur teknis. Menurut Hokkanen (1991), pengendalian hama dengan tanaman perangkap dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain (a) menggunakan spesies atau kultivar yang paling disukai oleh hama sasaran, (b) menggunakan spesies tanaman yang sama dengan tanaman utama yang diatur waktu tanamnya. Proses pemilihan inang menjadi bagian penting bagi lalat buah, Kogan (1994) menyatakan bahwa lima
37
fase dalam proses pemilihan inang yaitu (1) penemuan habitat inang, (2) penemuan inang, (3) pengenalan inang, (4) penerimaan inang, dan (5) kesesuaian inang. Inang menjadi tempat hidup, bertelur, makan, dan berkembang bagi lalat buah. Karena itu inang yang dipilih harus memenuhi kebutuhan lalat buah untuk hidup dan berkembang di dalam buah. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa parasitoid yang menyerang lalat buah di pertanaman cabai Megamendung dan Katulampa, Bogor adalah Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) yang merupakan endoparasitoid larva-pupa (Flint & Dreistatd 1998). Menurut Van Driesche dan Bellows (1996), parasitoid dari famili Braconidae umum digunakan sebagai agens hayati, khususnya untuk mengendalikan kutu daun dan berbagai hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera. Karena itu keberadaan parasitoid ini harus dilestarikan sebagai bagian dari pengendalian hayati. Penggunaan mulsa menjadi salah satu teknik pengendalian secara mekanis/fisik. Menurut Alviana dan Susila (2009), penggunaan mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma, pemadatan tanah, erosi, dan mempertahankan kelembaban di sekitar perakaran. Dari segi fisik, mulsa dapat menjaga suhu tanah lebih stabil, memperbaiki struktur tanah, dan mencegah radiasi langsung matahari (Hamdani 2009). Hasil penelitian Vos et al. (1995) menunjukkan bahwa mulsa plastik perak-hitam dapat meningkatkan kesehatan tanaman cabai sehingga biaya pengendalian berkurang dan hasil produksi cabai meningkat. Menurut Hamdani (2009), efek aplikasi mulsa ditentukan oleh jenis bahan mulsa. Bahan yang dapat digunakan sebagai mulsa di antaranya sisa-sisa tanaman (serasah atau jerami) dan bahan plastik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mulsa tidak berpengaruh terhadap tingkat serangan lalat buah, tetapi dapat menekan perkembangan populasi hama lain seperti trips. Hasil penelitian Vos et al. (1995) juga menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan mulsa plastik dan jerami terhadap lalat buah tidak konsisten, tetapi penggunaan mulsa plastik dapat menekan kerusakan akibat serangan hama trips dan epidemi virus. Pada penelitian ini hasil panen dan tinggi tanaman cabai pada petak perlakuan mulsa jerami lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan mulsa plastik.
38 Hal ini dapat terjadi karena pada saat percobaan dilakukan sedang musim kemarau dengan kondisi sinar matahari terik dan panas. Tanaman yang menggunakan mulsa plastik perak-hitam mengalami kekeringan, sehingga pertumbuhannya terhambat. Menurut Mahmood et al. (2002), mulsa jerami atau mulsa yang berasal dari sisa tanaman mempunyai konduktivitas panas rendah sehingga panas yang sampai ke permukaan tanah akan lebih sedikit dibandingkan dengan tanpa mulsa atau mulsa plastik yang memiliki konduktivitas lebih tinggi. Pemantauan hama dilaksanakan setiap minggu dengan mengamati tingkat serangan lalat buah dan jumlah lalat buah yang terperangkap dalam perangkap beratraktan. Selain untuk pemantauan hama, penggunaan perangkap beratraktan juga menjadi salah satu upaya pengendalian secara mekanis. Dari hasil pemerangkapan diperoleh dua jenis lalat buah yaitu B. (B.) dorsalis kompleks dengan rata-rata populasi yang terperangkap sebanyak 30 ekor dan B. (B.) umbrosa dengan rata-rata populasi kurang dari 5 ekor. Populasi B. (B.) dorsalis kompleks lebih banyak dibandingkan B. (B.) umbrosa, karena inang B. (B.) dorsalis kompleks lebih banyak ditemukan di lapangan seperti cabai, jambu air, petai, dan papaya, sedangkan inang dari B. (B.) umbrosa adalah nangka dan cempedak (Kalshoven 1981; Siwi et al. 2006). Pemantauan hama menjadi acuan dalam pengendalian hama secara kimiawi menggunakan insektisida. Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh insektisida dengan aplikasi penyemprotan menunjukkan hasil yang tidak konsisten atau tidak berpengaruh secara nyata. Menurut Dadang dan Prijono (2008), pengujian insektisida botani dapat memberikan hasil yang beragam tergantung pada jenis bahan uji, faktor dalam serangga, dan faktor lingkungan. Cara penanganan bagian tumbuhan dan cara ekstraksi dapat mempengaruhi keefektifan insektisida botani. Faktor dalam serangga yang dapat mempengaruhi hasil pengujian adalah spesies, strain, fase perkembangan, umur, jenis kelamin, dan ukuran. Penggunaan insektisida yang tidak berpengaruh nyata juga berkaitan dengan habitat atau tempat perlindungan dari lalat buah. Telur dan larva berada di dalam buah, pupa berada di dalam tanah, dan imago lalat buah bebas terbang di udara, sehingga pengaruh racun kontak tidak berpengaruh secara nyata. Menurut Dadang dan Prijono (2006) faktor lingkungan juga mempengaruhi keefektifan insektisida,
39
sehingga bahan aktif insektisida mudah terdegradasi. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain cahaya matahari, curah hujan, dan keberadaan mikroorganisme yang mempengaruhi metabolisme senyawa bioaktif. Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium, serai wangi berpotensi sebagai repelen lalat buah. Menurut Mardiasih (2010) ekstrak serai wangi menunjukkan aktivitas penghambatan peneluran lalat buah lebih besar dibandingkan dengan ekstrak daun Cerbera odollam dan Azadirachta indica. Hasyim et al. (2006) melaporkan bahwa berdasakan hasil analisis GC-MS diketahui adanya kandungan sitral dan neral pada serai wangi yang memberikan efek penolakan terhadap betina B. (B.) tau dan B. (B.) carambolae. Potensi serai wangi sebagai repelen lalat buah, menjadi dasar dalam penggunaan serai sebagai tanaman penolak di lapangan. Menurut Smith (1989) tanaman yang menunjukkan antixenosis mungkin memproduksi senyawa repelen, yang menyebabkan serangga pergi dari tanaman yang memproduksi bau tersebut. Dalam hal penerimaan bau yang dikeluarkan oleh tanaman inang, serangga mengandalkan sistem olfaksi yang diatur oleh organ indera kutikular yang dikenal sebagai sensila basikonika yang terletak di antena. Dengan adanya serai wangi di lapangan, senyawa volatil yang dihasilkan oleh tanaman penolak akan selalu tersedia tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat mendegradasi bahan aktif insektisida botani. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disusun pengendalian hama terpadu (PHT) lalat buah pada tanaman cabai dengan komponen pengendalian sebagai berikut, penggunaan tanaman cabai yang tahan sebagai tanaman produksi, tanaman cabai yang rentan sebagai tanaman perangkap, serai wangi sebagai tanaman penolak (repelen), perangkap beratraktan untuk pemantauan hama dan pengendalian mekanis, serta konservasi musuh alami yaitu parasitoid Opius sp. Keefektifan penggunaan tanaman perangkap, tanaman penolak, dan perangkap lalat buah dapat dilihat dari rendahnya tingkat serangan lalat buah pada cabai Keriting 09 sebagai tanaman produksi di pertanaman cabai petani di Katulampa pada percobaan III 2011. Tingkat serangan lalat buah pada cabai Keriting 09 di percobaan III hampir mendekati 0 atau tidak ada serangan, berbeda dengan percobaan I dan II yang masing-masing mencapai 4,93% dan 3,22%. Hal
40 ini menunjukkan jika cabai Keriting 09 ditanam secara monokultur tanpa adanya tanaman perangkap, tanaman penolak, dan perangkap lalat buah, maka pertanaman cabai akan tetap mengalami penurunan hasil panen, akibat serangan lalat buah. Pada percobaan ketiga digunakan serai wangi sebagai tanaman penolak (repelen) dan perangkap lalat buah dengan metil eugenol sebagai atraktan. Adanya dua teknik pengendalian yang berbeda, diharapkan adanya sinergisme dalam upaya pengendalian hama lalat buah di lapangan. Pertama lalat buah yang datang akan tertarik dengan bau dari metil eugenol, kemudian masuk ke dalam perangkap lalat buah. Jika ada lalat buah yang tidak tertarik, maka lalat buah diharapkan menghindari tanaman produksi dengan adanya serai wangi sebagai tanaman penolak. Selain serai wangi, dapat digunakan serai sayur (Cymbopogon citratus) sebagai alternatif tanaman penolak (repelen). Menurut Gunawan et al. (2009) ekstrak serai sayur memiliki kandungan zat aktif yang sama dengan serai wangi yaitu sitronela, citronelol, dan geraniol yang memiliki efek repelen terhadap serangga. Akan tetapi serai sayur memiliki efektivitas repelensi yang lebih rendah dibandingkan dengan serai wangi. Serai sayur banyak digunakan masyarakat sebagai bumbu masakan, sehingga petani akan memperoleh nilai tambah jika menanam serai sayur sebagai tanaman penolak. Jika perangkap lalat buah dan tanaman penolak tidak mampu untuk menghalangi serangan lalat buah ke tanaman produksi, ada cabai besar SP Hot 77 sebagai tanaman perangkap bagi lalat buah. Berdasarkan hasil percobaan II dan III, tingkat serangan lalat buah pada cabai SP Hot 77 lebih besar dibandingkan cabai Keriting 09, yaitu masing-masing mencapai 33,16% dan 9,85%. Jika cabai besar SP Hot 77 dijadikan sebagai tanaman perangkap, serangan lalat buah mencapai 51,10%, sedangkan pada cabai Keriting 09 sebagai tanaman produksi mendekati 0. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan cabai besar SP Hot 77 sebagai tanaman perangkap efektif digunakan dalam pengendalian lalat buah. Selain cabai besar SP Hot 77, dapat digunakan tanaman lain yang mengandung metil eugenol untuk menarik lalat buah, seperti tanaman dari genus Ocimum spp. dan Melaleuca spp. (Kardinan 1998).