HASIL DAN PEMBAHASAN Umur Simpan Penggunaan pembungkus bahan oksidator etilen dapat memperpanjang umur simpan buah pisang dibandingkan kontrol (Lampiran 1). Terdapat perbedaan pengaruh antara P2-P7 dalam mempengaruhi umur simpan buah (Tabel 1). Tabel 1. Umur Simpan Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan
P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
Umur Simpan (HSP) *)
9d 11bcd 12abc 13ab 14a 10cd 9d
Keterangan: *) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.
Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (tanpa oksidator etilen) (P1) dan perlakuan 6.75 g KMnO4 dalam serat nilon (P7) hanya mampu mempertahankan buah pisang hingga 9 hari penyimpanan. Buah pisang pada kedua perlakuan menunjukkan adanya gejala serangan penyakit antraknosa berupa noda bintik-bintik merah kecoklatan diseluruh permukaan buah pisang, terutama pada bagian tengah dan ujung buah (Lampiran 2). Menurut Eckert (1975) dalam Pantastico (1989), kebanyakan dari kerusakan-kerusakan pasca panen yang berat pada buah pisang adalah akibat pembusukan oleh jamur pada ujung tangkai buah, antraknosa, dan busuk tajuk. Gloesporium musarum sering menginfeksi luka-luka tangkai buah atau permukaan buah. Gejala ini disebut antraknosa. Gejala penyakit lain yaitu Crown end rot muncul saat 12 hari penyimpanan di sekitar bonggol dan pangkal buah pisang (Lampiran 3). Menurut Turner dalam Mitra (1997) Crown end rot dan antraknosa (Colletotrichum musae) merupakan patogen utama dalam pasca panen buah pisang.
22
Daya simpan buah terlama (14 hari penyimpanan) diperoleh pada perlakuan 2.25 g KMnO4 dalam serat nilon (P5) kemudian menyusul pada perlakuan 6.75 g KMnO4 dalam kain kassa (P4), 4.50 g KMnO4 dalam kain kassa (P3), 2.25 g KMnO4 dalam kain kassa (P2) dan 4.50 g KMnO4 dalam serat nilon (P6) berturut-turut selama 13, 12, 11 dan 10 hari penyimpanan tidak terdapat perbedaan nyata antara P5 dengan P4 dan P3. Hasil ini menunjukkan bahwa bahwa baik serat nilon maupun kain kassa dapat digunakan sebagai bahan pembungkus KMnO4 dengan pembawa berupa serbuk tanah liat untuk memperpanjang daya simpan buah pisang Raja Bulu.
Susut Bobot Penggunaan pembungkus bahan oksidator etilen sangat nyata menghambat penyusutan bobot buah pisang Raja Bulu pada 3 dan 6 HSP serta nyata pada 9 dan 12 HSP dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Lampiran 4). Bobot menyusut seiring dengan lamanya penyimpanan (Tabel 2). Tabel 2. Penyusutan Bobot Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
3 HSP 0.77d 0.95cd 1.63a 1.39ab 1.04bcd 1.23abc 1.54a
Susut Bobot (%) *) 6 HSP 9 HSP 1.63c 1.79c 2.80a 2.51ab 1.99bc 2.17abc 2.64ab
2.81b 2.69b 3.77a 3.42ab 2.94b 3.29ab 3.76a
12 HSP 4.04b 3.76b 4.77ab 4.19b 3.85b 6.92b 6.27a
Keterangan: *) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.
Awalnya (3-6 HSP) tampak perlakuan kontrol (P1) mengalami susut bobot terkecil, yaitu sebesar 0.77% pada 3 HSP - 1.63% pada 6 HSP (Tabel 2). Namun setelah 6 hari penyimpanan, perlakuan oksidator etilen dalam serat nilon P5 dan P6 memiliki susut bobot yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Setelah 12 hari penyimpanan, dari tiga perlakuan (P3-P5) yang masih bertahan, perlakuan P5 menunjukkan susut bobot yang terkecil, dan tidak terdapat perbedaan nyata dengan P3 dan P4.
23
Penyusutan bobot buah selama penyimpanan disebabkan hilangnya kandungan air dalam buah sewaktu terjadi proses transpirasi buah selama masa penyimpanan. Respirasi dan transpirasi terus berlangsung setelah buah dipanen dari pohonnya, karena buah terpisah dari pohonnya maka terjadi pemutusan sumber air, fotosintat dan mineral sehingga buah bergantung pada cadangan air dan makanan dalam buah untuk melakukan respirasi dan transpirasi. Kehilangan substrat akibat respirasi yang tidak tergantikan menyebabkan kerusakan pada buah mulai terjadi (Santoso dan Purwoko,1995).
Warna Kulit Buah Perlakuan pembungkus bahan oksidator etilen tidak mempengaruhi indeks skala warna buah selama penyimpanan (Lampiran 4). Penggunaan bahan pembungkus tidak menunjukkan perbedaan dalam mempertahankan perubahan warna kulit buah dibandingkan kontrol hingga akhir penyimpanan (Gambar 8). Awalnya (3-6) HSP tampak perlakuan 4.5 g KMnO4 dalam kain kassa (P3) dapat mempertahankan perubahan warna lebih baik, dan tidak terdapat perbedaan nyata dengan P2, P4-P7 (Gambar 8). Namun pada (9-12) HSP semua perlakuan menunjukkan skala warna kulit buah yang sama. Diduga semua perlakuan mampu mengoksidasi etilen dengan efektif. Hal ini berakibat terhambatnya proses pematangan sehingga warna buah masih belum berubah selama penyimpanan. 3,50 3,00 (Skala)
2,50 2,00 1,50 1,00 0,50
0,00 3
6
9
12
Hari Setelah Perlakuan P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Gambar 8. Perubahan Warna Kulit Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Keterangan: *) perlakuan sama dengan keterangan perlakuan pada Tabel 1.
24
Selama proses penyimpanan terdapat perubahan indeks warna kulit buah. Perubahan warna ini diukur dengan nilai derajat kekuningan kulit buah dengan skala 1-8 yang berturut-turut dimulai dari hijau, hijau dengan sedikit kuning, hijau kekuningan, kuning lebih banyak dari hijau, kuning dengan ujung hijau, kuning penuh, kuning dengan sedikit bintik coklat dan kuning dengan bercak coklat lebih luas (Kader, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan indeks skala warna kulit buah pisang pada setiap perlakuan (Lampiran 5). Hal ini ditunjukkan oleh nilai skala (1-3) yaitu dimulai dari hijau saat pengamatan awal, hijau dengan sedikit
kuning
hingga
hijau
kekuningan
selanjutnya
menjadi
hijau
kekuninghitaman (Lampiran 5). Menurut Simmonds (1989) selama proses pematangan warna kulit pisang akan mengalami perubahan dari hijau gelap menjadi hijau terang dan terakhir berwarna kuning. Hal tersebut terjadi karena klorofil mengalami degradasi disertai menurunnya konsentrasi klorofil dari 50100 mg/kg pada kulit pisang hijau menjadi nol pada stadia matang penuh.
Kekerasan Kulit Buah Pembungkus bahan oksidator etilen tidak mempengaruhi kekerasan kulit buah pisang selama penyimpanan (Lampiran 6). Penggunaan bahan pembungkus tidak menunjukkan perbedaan dalam mempertahankan kekerasan kulit buah dibandingkan kontrol (Tabel 3). Hasil ini menunjukkan bahwa bahwa baik serat nilon maupun kain kassa dapat digunakan sebagai bahan pembungkus KMnO4 dengan pembawa berupa serbuk tanah liat untuk memperpanjang daya simpan buah pisang Raja Bulu. Secara umum kekerasan kulit buah pisang terus berkurang seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini menandakan semakin masaknya buah maka buah sedang menuju tercapainya waktu senesen. Berkurangnya kekerasan kulit buah ditunjukkan oleh angka skala penetrometer yang semakin besar (Tabel 3).
25
Tabel 3. Perubahan Kekerasan Kulit Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
Kekerasan Kulit Buah (mm/50 g/5 detik) 6 HSP 12 HSP 32.40 69.43 30.47 133.67 35.13 96.33 51.80 75.57 36.17 97.10 34.43 116.43 31.90 143.67
Menurut Pantastico et al. (1989), penurunan kekerasan buah disebabkan oleh bertambahnya jumlah zat-zat pektat selama perkembangan buah. Saat buah matang, kandungan pektat dan pektinat yang larut meningkat sedangkan zat-zat pektat seluruhnya menurun. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pektin yang dilekatkan dalam dinding sel dan lamela tengah. Selanjutnya Sholihati (2004) menambahkan bahwa mekanisme penurunan kekerasan kulit buah terjadi sebagai akibat perombakan komponen penyusun dinding sel yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin, asam pektinat dan asam pektat sehingga buah semakin melunak.
Rasio Daging Buah dengan Kulit Buah dan Bagian Buah yang Dapat Di makan (Edible Part) Pembungkus bahan oksidator etilen tidak mempengaruhi rasio daging buah dengan kulit buah serta edible part selama penyimpanan (Lampiran 6). Penggunaan bahan pembungkus tidak menunjukkan perbedaan peningkatan rasio daging buah dengan kulit buah serta edible part buah dibandingkan dengan kontrol (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa bahwa baik serat nilon maupun kain kassa dapat digunakan sebagai bahan pembungkus KMnO4 dengan pembawa berupa serbuk tanah liat untuk memperpanjang daya simpan buah pisang Raja Bulu. Buah pisang pada awalnya mempunyai berat daging buah sangat rendah, sedangkan berat kulit buah sangat tinggi. Seiring dengan lamanya penyimpanan maka semakin masaknya buah pisang, berat daging buah semakin bertambah dan berat kulit buah semakin berkurang sehingga edible part buah pun semakin besar. Menurut Diennazola (2008), uji korelasi yang dilakukan antara rasio daging buah
26
dengan kulit buah terhadap edible part buah mempunyai korelasi positif. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh kandungan air daging buah yang semakin meningkat selama penyimpanan karena terjadinya perpindahan air dari kulit buah ke daging buah. Perpindahan air tersebut menyebabkan bobot kulit buah semakin berkurang dan bobot daging buah semakin bertambah. Tabel 4. Perubahan Rasio Daging Buah dengan Kulit Buah dan Bagian Buah yang Dapat Dimakan (Edible Part) Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
Daging Buah/Kulit Buah 6 HSP 12 HSP 0.73 0.61 0.78 0.73 0.75 0.72 0.89 1.01 0.87 0.83 0.81 0.77 0.90 0.73
Edible Part (%) 6 HSP 12 HSP 41.96 37.66 43.66 41.19 42.75 41.53 46.99 50.05 46.52 45.08 44.60 43.13 47.44 41.06
Menurut Simmond (1966) dalam Pantastico (1989), pengurangan kulit buah disebabkan oleh selulosa dan hemiselulosa dalam kulit buah yang pada pemasakan dirubah menjadi zat pati. Selanjutnya Lodh (1971) dalam Pantastico (1989) menambahkan bahwa peningkatan rasio daging buah dengan kulit buah disebabkan oleh perubahan kandungan gula pada kedua jaringan. Kandungan gula dalam daging buah meningkat lebih cepat karena adanya tekanan osmotik yang meningkat sehingga daging buah menyerap air dari kulit buah yang mengakibatkan perubahan perbandingan berat daging buah dengan kulit buah.
Padatan Terlarut Total (PTT) Pembungkus bahan oksidator etilen tidak mempengaruhi padatan terlarut total (PTT) selama penyimpanan (Lampiran 6). Penggunaan bahan pembungkus tidak menunjukkan perbedaan dalam mempertahankan padatan terlarut total (PTT) dibandingkan kontrol (Tabel 5). Hasil ini menunjukkan bahwa bahwa baik serat nilon maupun kain kassa dapat digunakan sebagai bahan pembungkus KMnO4 dengan pembawa berupa serbuk tanah liat untuk memperpanjang daya simpan buah pisang Raja Bulu.
27
Secara umum nilai padatan terlarut total (PTT) mengalami penurunan pada semua perlakuan (Tabel 5). Nilai penurunan padatan terlarut total karena ketersediaan kandungan glukosa dan fruktosa dengan bantuan enzim-enzim yang terdapat di dalam buah pisang semakin berkurang. Menurut Kays (1991), penurunan kandungan gula terjadi akibat adanya proses peningkatan kandungan gula terlebih dahulu selama proses penyimpanan buah. Tabel 5. Kandungan Padatan Terlarut Total (PTT) Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
Padatan Terlarut Total (PTT) (0Brix) 6 HSP 12 HSP 15.83 10.67 16.00 10.83 14.67 12.33 16.67 13.83 16.83 11.12 16.50 13.33 17.33 12.50
Menurut Sholihati (2004) kandungan padatan terlarut total pada buah pisang adalah gula dan vitamin seperti vitamin A, B1, C. Menurut Lodh (1971) dalam Pantastico et al. (1989), kadar gula total pada saat stadium awal pertumbuhan buah pisang termasuk jenis gula pereduksi dan nonpereduksi yang sangat rendah. Semakin lamanya penyimpanan serta ditandai peningkatan kemasakan maka kandungan gula total meningkat cepat dengan timbulnya glukosa dan fruktosa. Kenaikan gula ini dapat digunakan sebagai petunjuk kimia padatan terlarut total (PTT) selama pemasakan.
Asam Tertitrasi Total (ATT) Pembungkus bahan oksidator etilen tidak mempengaruhi asam tertitrasi total (ATT) pada 6 HSP tetapi sangat nyata pada 12 HSP (Lampiran 6, Tabel 6). Hal ini diduga bahwa pada 12 HSP buah pisang mengalami proses pemasakan yang cepat. Penggunaan bahan pembungkus tidak menunjukkan perbedaan dalam mempertahankan asam tertitrasi total (ATT) dibandingkan kontrol (Tabel 6). Pada 12 HSP perlakuan yang mengalami nilai ATT terendah terdapat pada perlakuan 4.5 g KMnO4 dalam kain kassa (P3), dan tidak terdapat perbedaan nyata dengan
28
P2. Hal ini diduga bahwa nilai ATT yang rendah menunjukkan asam yang terkandung di dalam buah semakin sedikit. Secara umum asam tertitrasi total (ATT) mengalami penurunan pada semua perlakuan (Tabel 6). Menurut Pantastico et al (1989) menyatakan bahwa penurunan kandungan asam disebabkan oleh adanya asam yang direspirasikan atau dirubah menjadi gula. Tabel 6. Kandungan Asam Tertitrasi Total (ATT) Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
Asam Tertitrasi Total (ATT) (ml/100 gr bahan)*) 6 HSP 12 HSP 27.73 23.47a 21.87 17.60cd 23.47 16.00d 25.60 23.47a 23.47 20.27bc 26.67 20.27bc 27.20 20.80ab
Keterangan : *) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.
Selama proses pematangan kandungan asam organik buah meningkat. Kandungan asam organik yang tinggi mencapai batas maksimum saat kematangan penuh dan setelah itu akan menurun (Santoso dan Purwoko, 1995). Peningkatan keasaman selama proses pemasakan disebabkan oleh adanya biosintesis asam oksalat yang berlebihan pada saat buah masih hijau dan biosintesis asam malat yang dominan pada tingkat-tingkat kemasakan berikutnya (Wyman (1963) dalam Pantastico, 1989). Tabel 7. Rasio Padatan Terlarut Total (PTT) dengan Asam Tertitrasi Total (ATT) Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
6 HSP 0.58 0.73 0.65 0.67 0.72 0.62 0.65
Rasio PTT / ATT *) 12 HSP 0.46c 0.62abc 0.77a 0.59abc 0.56bc 0.66ab 0.60abc
Keterangan : *) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.
29
Pembungkus bahan oksidator etilen tidak mempengaruhi rasio padatan terlarut total (PTT) dengan asam tertitrasi total (ATT) pada 6 hari setelah perlakuan (HSP) tetapi nyata pada 12 HSP (Lampiran 6, Tabel 7). Penggunaan bahan pembungkus dapat mempertahankan padatan terlarut total (PTT) dengan asam tertitrasi total dibandingkan kontrol (Tabel 7). Pada 12 HSP perlakuan yang mempunyai nilai rasio PTT/ATT tertinggi terdapat pada perlakuan 4.5 g KMnO4 dalam kain kassa (P3), dan tidak terdapat perbedaan nyata dengan P2, P4, P6-P7. Hal ini diduga bahwa nilai rasio PTT/ATT yang tinggi dapat digunakan untuk memprediksi waktu panen. Menurut Winarno dan Aman (1981) semakin matangnya buah maka kandungan gulanya meningkat, tetapi kandungan asamnya menurun. Hal ini mengakibatkan rasio gula dan asam akan mengalami perubahan yang drastis. Selanjutnya Setijorini (2000) menambahkan bahwa penurunan asam organik selama penyimpanan disebabkan oleh adanya penggunaan substrat respirasi. Menurut Sugiarto et al. (1991) yang paling penting dalam menentukan selera konsumen adalah rasio gula/asam atau keseimbangan antara rasa manis dan asam, jika semakin tinggi nilai rasio PTT/TAT maka buah menunjukkan rasa semakin manis.
Kandungan Vitamin C Pembungkus bahan oksidator etilen tidak mempengaruhi kandungan vitamin C selama penyimpanan (Lampiran 6, Tabel 8). Penggunaan bahan pembungkus tidak menunjukkan perbedaan dalam mempertahankan kandungan vitamin C dibandingkan kontrol (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian KMnO4 dapat memperpanjang daya simpan buah pisang Raja Bulu, dan penggunaan kain kassa tidak berbeda dengan serat nilon. Secara umum kandungan vitamin C mengalami peningkatan pada semua perlakuan (Tabel 8). Setiap perlakuan memiliki pola peningkatan yang berbeda terhadap kandungan vitamin C. Menurut Miller et al. (1945) dalam Pantastico (1989) selama pertumbuhan dan perkembangan buah, kandungan vitamin C mengalami perubahan dengan pola yang tidak teratur. Menurut Winarno (1997) vitamin C merupakan vitamin yang mudah rusak dan mudah teroksidasi.
30
Tabel 8. Kandungan Vitamin C Buah Pisang Raja Bulu (Musa sp. AAB Group) Selama Penyimpanan Perlakuan P1 = Kontrol (tanpa oksidator etilen) P2 = Kain kassa; 2.25 g KMnO4 P3 = Kain kassa; 4.5 g KMnO4 P4 = Kain kassa; 6.75 g KMnO4 P5 = Serat nilon; 2.25 g KMnO4 P6 = Serat nilon; 4.5 g KMnO 4 P7 = Serat nilon: 6.75 g KMnO4)
Kandungan Vitamin C (mg/100 gr bahan) 6 HSP 12 HSP 45.03 53.97 35.63 38.93 39.43 42.73 39.43 53.03 41.77 59.13 40.37 57.73 36.60 50.70
Kandungan vitamin C merupakan parameter penting dalam kualitas buah pisang. Menurut Sobir dalam Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2009) nilai kandungan vitamin C pada buah pisang mencapai 10.74 mg/100 g bahan dengan pemenuhan kecukupan per hari per orang sebesar 17.9%. Selanjutnya Prabawati et al. (2009) menambahkan bahwa kandungan vitamin C pada buah pisang merupakan neutransmitter dalam kelancaran fungsi otak bersama dengan mineral kalium, fosfor dan kalsium, magnesium, besi, vitamin B, B6 dan seretonin.