HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta. Koreksi ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan objek citra di lapangan, memudahkan penggabungan citra dengan sumber data lain agar tidak mengalami distorsi luas sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel (Jaya, 2002). Koreksi
geometrik
dilakukan
dengan
menggunakan
transformasi
polynomial dengan membandingkan RMSE. Nilai RMSE terkecil merupakan gambaran kesalahan paling kecil atau merupakan hasil koreksi geometrik keakuratan dengan kondisi permukaan bumi yang tinggi. Koreksi geometrik dilakukan pada semua citra yang digunakan pada penelitian ini.
Citra yang
menjadi acuan koreksi geometrik adalah citra Landsat ETM+ 15 Juli 2001, citra ini terlebih dahulu sudah dilakukan koreksi geometri dengan citra referensi yang sudah dikoreksi secara orthorektifikasi oleh USGS dan dipadu serasikan kembali dengan peta Rupabumi Indonesia skala 1 :25.000. Sistem koordinat yang digunakan dalam koreksi geometrik adalah Universal Transvers Mercator (UTM), zone 48 selatan (south UTM 48) dan koordinat geografis. Ketelitian koreksi geometri (RMSE) dengan menggunakan 18 titik Ground Control Point (GCP) pada masing-masing citra dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan posisi masing-masing titik lokasi pengambilan GCP selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6, penyebaran lokasi pengambilan titik GCP dapat dilihat pada Gambar 13. Lokasi pengambilan titik kontrol adalah obyek yang mudah dikenali dan relatif permanen seperti persimpangan jalan. Tabel 5. Ketelitian Geometri (RMS Error) dari Koreksi Geometri Citra Data Citra 15 Juli 2001 3 Desember 2000 29 April 2002 18 Juli 2002 31 Maret 2003
Metode Citra ke Citra Orthorektified hasil paduserasi dengan Peta RBI Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi Citra ke Citra 15 Juli 2001 terkoreksi
RMS error (pixel) 0,12 0,18 0,26 0,23 0,28
40
Gambar 13. Lokasi Pengambilan Titik Kontrol (GCP)
Interpretasi Penutup/Penggunaan Lahan secara Visual Identifikasi penutup/penggunaan lahan sawah dan tebu secara visual dilakukan dengan menggunakan data citra Landsat ETM+ multi temporal. Citra yang digunakan dalam identifikasi secara visual adalah citra Landsat ETM+ hasil fusi. Berdasarkan kenampakan warna pada citra kombinasi band 542 dan dengan bantuan peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 dan pengecekan lapangan maka dapat disusun kunci interpretasi kelas penutup/penggunaan lahan terutama untuk kelas sawan dan tebu. Kemampuan citra Landsat ETM+ untuk klasifikasi lahan berdasarkan tingkat kemudahan dalam melakukan interpretasi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu : identifikasi, delimitasi dan deleniasi. Perbedaan antara identifikasi, delimitasi dan delineasi dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Gambar 14 sawah dan tebu dapat didelineasi pada saat sawah dalam kondisi air dan tebu dalam keadaan vegetatif (citra 3 Desember 2000 dan citra 29 April 2002), kondisi sebaliknya terjadi pada citra tanggal 15 juli 2001 lahan sawah dalam kondisi vegetatif dan tebu dalam kondisi terbuka/pasca tebang. Citra tanggal 17 September 2001 tebu dan sawah dapat diidentifikasi tetapi batasnya
41
keduanya kurang jelas sehingga batas antara tebu dan sawah disebut terdelimitasi sedangkan citra pada 17 September 2001 antara tebu dan sawah bera sangat sulit dibedakan dengan kampung/pemukiman sehingga disebut teridentifikasi karena obyek disekitarnya mempunyai kenampakan yang mirip. Secara umum terdapat 4 kenampakan warna pada citra multi waktu yang digunakan yaitu merah keungguan, hijau, biru dan kemerahan. Dengan bantuan peta rupa bumi, data realisasi tanam dan pengecekan lapangan, kenampakan warna merah keungguan merupakan pemukiman, warna hijau merupakan vegetasi (sawah fase vegetasi, sawah fase generatif dan tebu fase vegetatif), kenampakan warna biru mengambarkan badan air (sawah dominasi air, sungai dan tambak) dan warna pink kemerahan mengambarkan kondisi tutupan lahan sawah dan tebu dalam kondisi bera. Berdasarkan kenampakan citra multi waktu yang digunakan penutupan kelas lahan sawah vegetatif dan tebu vegetatif hampir sama, sehingga akan mengalami kesulitan dalan melakukan pemisahan kelas seperti yang terlihat pada citra tanggal 31 Maret 2003 (Lampiran 6) dan kondisi yang hampir sama juga terlihat pada citra tanggal 17 September 2001 (Lampiran 3) dimana kondisi lahan sawah dan tebu dalam kondisi bera. Sawah
Sawah
Sawah
Tebu Tebu
Tebu Citra Tgl 3 Des 2000 - Sawah dominasi Air - Tebu Fase Vegetatif
Citra Tgl 15 Juli 2001 - Sawah fase vegetatif - Tebu kondisi bera/ tebang
pasca
Citra Tgl 17 Sept 2001 - Sawah fase bera - Tebu fase bera/ penyiapan tanam Sawah
Sawah Sawah
Tebu Citra Tgl 29 Apr 2002 - Sawah dominasi air&bera - Tebu fase vegetatif
Tebu Citra Tgl 18 Juli 2002 - Sawah fase vegetatif - Tebu fase bera
Tebu Citra Tgl 31 Mar 2003 - Sawah fase bera - Tebu fase vegetatif
Gambar 14. Kenampakan Fase Pertumbuhan Lahan Sawah dan Tebu pada Citra Landsat ETM+ 542 Berbeda Waktu Perekaman
42
Gambar 14 yang mengambarkan kemampuan citra Landsat ETM+ dalam identifikasi lahan sawah dan tebu pada berbagai penutupan lahan yang berbeda, dapat dinyatakan bahwa kemampuan citra Landsat dalam memetakan lahan sawah dan tebu sangat dipengaruhi oleh kondisi fase pertumbuhan tanaman padi sawah dan tebu. Pada kondisi lahan sawah dominasi air memungkinkan delineasi lahan sawah dan tebu dan objek penutupan lahan lainnya, sedangkan lahan sawah dan tebu dalam kondisi fase bera menyebabkan identifikasi tutupan lahan lain disekitarnya menjadi sulit. Pada lahan sawah dominasi vegetasi, tanaman tebu kondisi vegetatif dan kebun campuran akan sulit diidentifikasi karena kenampakan warnanya sama dengan warna hijau vegetasi padi. Berdasarkan kenampakan visual citra pada Lampiran 1-6 akan dilakukan interpretasi secara visual dengan cara simultan pada seluruh citra. Hasil interpretasi visual tutupan lahan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan luas penutup/penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Penutup/ Penggunaan Lahan Visual 1 2 3 4
Kelas Sawah Tebu Mungkin Sawah/Tebu Bukan Sawah/Tebu Total
Luas (Ha) 33.980 4.474 6.090 4.473 49.017
% 69% 9% 12% 9% 100,00%
Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil interpretasi secara visual menghasilkan luas lahan sawah di lokasi penelitian adalah 33.980 Ha yang sebaran terluas berada di Kecamatan Ciasem sedangkan luas lahan tebu 4.474 ha yang berada di kecamatan Purwodadi.
Gambar 15. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Interpretasi Visual
43
44
Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Secara Digital
Pengambilan Training area Training area adalah sekumpulan piksel pada citra yang mewakili kelas penutupan lahan berdasarkan pola pengenalan yang telah ditentukan sebelumnya. Adalah sangat penting untuk memilih areal contoh yang dapat mewakili semua kelas yang akan diidentifikasi, tetapi hal ini tidak berarti bahwa areal contoh berjumlah besar dan menyebar pada seluruh citra. Beberapa areal contoh yang diketahui secara pasti akan lebih baik dari pada sejumlah besar areal contoh yang berasal dari informasi yang tidak diketahui kebenarannya (Smith dan Brown, 1997). Kegiatan ini didasarkan pada hasil interpretasi visual citra dan pengecekan lapangan yang telah dilakukan. Jumlah training area yang dibuat adalah sebanyak jumlah kategori atau kelas yang dapat didefinisikan pada masing-masing citra multitemporal yang digunakan. Jumlah training area yang digunakan dan sebarannya pada salah satu citra yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 16
Dalam proses selanjutnya penutup/penggunaan lahan tersebut
digabungkan menjadi 4 kelas yaitu kelas lahan sawah, kelas lahan tebu, kelas mungkin lahan sawah atau tebu, dan bukan lahan sawah atau tebu. Kelas sawah fase bera, fase air dan vegetatif dikelompokkan sebagai kelas lahan sawah, kelas tebu fase anakan, tebu vegetatif, tebu fase generative/masa tebang di kelompokkan menjadi kelas
lahan
dikelompokkan
tebu,
kelas
kedalam
kebun kelas
campuran, mungkin
kebun, sawah
tegalan/ladang, atau
tebu,
sedangkan
kampung/pemukiman dikelompokkan sebagai kelas bukan sawah dan tebu. Tabel 7. Jumlah Piksel dan Luas Training Area Kelas penutup lahan Fase Bera Fase Bera-1 Fase Vegetatif Fase Vegetatif-1 Fase Air Badan Air Tebu Kampung/Pemukiman Kampung/Pemukiman-1 Kebun Campuran Kebun Campuran-1
Jumlah piksel 63 113 346 37 484 344 247 69 62 146 356
semak
Luas (Ha) 5.67 10.17 31.14 3.33 43.56 30.96 22.23 6.21 5.58 13.14 32.04
45
Gambar 16. Area Contoh Lokasi Training Area pada Citra 3 Desember 2000 Untuk mengetahui kualitas training area yang baik dilakukan uji keterpisahan kelas (separability index). Uji seperabilitas training area menggunakan indek seperabilitas bhattacharya. Nilai Indeks ini berkisar 0 sampai 2, dimana nilai 0-1 mengindikasikan nilai seperabilitas kurang baik, nilai 1,0-1,9 cukup baik dan 1,9-2,0 sangat baik (PCI Help 2001). Hasil uji indek seperabilitas Bhattacharya menunjukkan bahwa training area yang diambil mengambarkan keterpisahan yang baik, sehingga dapat dilanjutkan pada tahap klasifikasi.
Klasifikasi Citra Multispektral Interpretasi citra Landsat ETM+ dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutup/penggunaan lahan pada citra yang dibantu dengan unsur-unsur interpretasi (Avery, 1992; Lillesand dan Kiefer, 1997). Metode klasifikasi citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi maximum likelihood (MLC) dan Back Propagation Neural Network (BPNN).
Proses
klasifikasi untuk mendapatkan luasan lahan sawah dan tebu dilakukan pada semua
46
citra multitemporal dengan proses pelaksanaannya dilakukan 2 tahap, dimana tahap pertama akan dilakukan klasifikasi pada masing-masing citra multitemporal dengan 5 waktu pengambilan untuk mendapatkan hasil sementara lahan sawah, tebu dan penggunaan lainnya, sedangkan tahap kedua adalah akan dilakukan proses overlay dengan pengabungan hasil klasifikasi pada tahap pertama sehingga akan memperoleh hasil klasifikasi baru, dimana lokasi tutupan yang dinyatakan sebagai sawah dan tebu pada citra yang digunakan akan tetap dipertahankan sebagai lahan sawah dan tebu, dengan skenario ini diharapkan mendapatkan data luas lahan sawah dan tebu serta sebarannya yang lebih akurat.
1.
Maximum Likelihood Classification (MLC) Metode klasifikasi MLC merupakan metode klasifikasi yang umum digunakan
dalam klasifikasi citra. Metode ini mengelompokkan piksel yang belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata-rata dan matrik ragam peragam dari setiap pola spektral kelas informasi. Piksel-piksel citra dimasukan menjadi salah satu kelas yang memiliki probabilitas (peluang) paling tinggi Klasifikasi dengan metode ini membutuhkan sejumlah training area. Training area dibuat berdasarkan interpretasi visual yang dipadukan dengan pengecekan lapangan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), paling sedikit harus dikumpulkan sejumlah n + 1 pengamatan piksel untuk setiap pola latihan dimana n adalah jumlah saluran spektral. Namun pada prakteknya digunakan minimum sejumlah 10N sampai 100N piksel dengan penalaran lebih banyak piksel yang digunakan di dalam daerah latihan akan semakin besar nilai variannya sehingga akan semakin teliti hasilnya. Pada klasifikasi menggunakan metode kemungkinan maksimum (maksimum likehood classification), tidak diberikan treshold sehingga tidak ada piksel dalam citra yang tidak terklasifikasi. Tingkat kemungkinan dalam klasifikasi adalah sama untuk semua kelas dikarenakan analis tidak memiliki informasi yang menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi diantara kelas penutupan lahan. Hasil klasifikasi mengunakan metode klasifikasi MLC masing-masing citra Landsat ETM+ yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 17, sedangkan sebaran penutup/penggunaan lahan hasil klasifikasi masing-masing citra Landsat ETM+ multitemporal dapat dilihat pada Gambar 18-22. Peta Gambar 18-23
47
merupakan hasil klasifikasi sementara penggunaan lahan sawah dan tebu pada tiaptiap tanggal citra Landsat ETM+ yang digunakan dan merupakan hasil pengabungan keseluruhan kelas yang dipilih pada pengambilan training area.
Gambar 17.Hasil Klasifikasi Citra Menggunakan Metode Maximum Likelihood Tabel 8 dan Gambar 17 dapat dilihat bahwa luas lahan sawah masing-masing citra yang digunakan adalah pada citra tanggal 29 April 2002 menghasilkan luas lahan tertinggi yaitu 36.638 ha (68%), diikuti citra tanggal 3 Desember 2000 dengan luas 34.556 ha (70%), citra tanggal 15 Juli 2001 dengan luas 33.160 ha (68%), citra tanggal 18 Juli 2002 dengan luas 28.923 ha dan yang terendah pada citra 31 Maret 2003 dengan luas 24.335 ha. Tingginya luasan lahan sawah yang dihasilkan citra tanggal 29 April 2002 dan 3 Desember 2000, dikarenakan kondisi lahan sawah dalam keadaan dominan air sehingga lebih mudah dipisahkan dengan kelas penggunaan disekitarnya terutama dengan lahan tebu.
Luasan lahan tebu yang
tertinggi diperoleh pada citra tanggal 18 Juli 2002 dan 31 Maret 2003 dengan luasan masing-masing adalah 8.865 ha (18%) dan 8.745 ha (18%). Tingginya kelas lahan tebu ini diakibatkan pada citra tanggal tersebut secara umum lahan sawah dalam kondisi dominan vegetatif, sehingga sulit dipisahkan yang mengakibatkan banyak bias kelas (salah klasifikasi). Citra pada tanggal 31 Maret 2003 juga berkualitas kurang baik karena banyak informasi tertutup awan dan secara visual juga memberikan kenampakan yang relatif homogen.
48 Tabel 8. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Multitemporal dengan MLC Kelas Sawah Tebu MST BST Awan
03-12-2000 Luas (Ha) % 34,556 70% 5,590 11% 6,352 13% 2,519 5% 49,017 100%
Keterangan : MST : Mungkin Sawah atau Tebu BST : Bukan Sawah atau Tebu
15-7-2001 Luas (Ha) % 33,160 68% 6,756 14% 7,340 15% 1,761 4% 49,017 100%
29-04-2002 Luas (Ha) % 36,638 75% 4,738 10% 4,769 10% 2,872 6% 49,017 100%
18-07-2002 Luas (Ha) % 28,923 59% 7,706 16% 7,983 16% 4,406 9% 49,017 100%
31-03-2003 Luas (Ha) % 24,335 50% 8,661 18% 7,454 15% 4,976 10% 3,591 7% 49,017 100%
Gambar 18. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 3 Desember 2000.
49
50
Gambar 19. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 15 Juli 2001.
Gambar 20. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 29 April 2002.
51
52
Gambar 21. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 18 Juli 2002.
Gambar 22. Hasil Klasifikasi MLC Citra Landsat ETM+ 31 Maret 2003.
53
54
Setelah didapatkan masing-masing luasan lahan sawah dan tebu beserta sebarannya pada tahap pertama maka akan dilanjutkan pada tahap kedua yaitu pengabungan kelas hasil klasifikasi dari tahap pertama, tujuan pengabungan ini adalah untuk mendapatkan hasil akhir luas dan sebaran lahan sawah dan tebu dilokasi penelitian. Hasil akhir pengabungan kelas lahan sawah dan tebu dapat dilihat pada Gambar 23, sedangan luasan penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Luas Penutup/Penggunaan Lahan (Multistage) dengan Metode MLC No
Kelas
1 Sawah 2 Tebu 3 Kelas Lain Total
Hasil
Klasifikasi
Berjenjang
Luas (Ha)
%
38.415 6.593 4.009 49.019
78 % 14 % 8% 100 %
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa luas lahan sawah hasil klasifikasi MLC adalah adalah 38.415 ha (78%), tebu 6.593 ha (14%) dan sebagai kelas lain 4.009 ha (8%). Terdapat perbedaan luas antara klasifikasi MLC dan interpretasi lahan sawah dan tebu secara visual. Sebaran penggunaan lahan sawah dan tebu hasil penggabungan keseluruhan hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ multitemporal disajikan pada Gambar 23. Dari Gambar 23 menunjukkan bahwa lahan sawah dan tebu tersebar dibagian utara lokasi penelitian ini yaitu Kecamatan Ciasem dengan terpusat pada wilayah pengelolaan Perum Sang Hyang Seri, sedangkan lahan tebu terkonsentrasi di Kecamatan Purwadadi. Terkonsentrasinya lahan tebu di Kecamatan Purwadadi dikarena diwilayah ini terdapat HGU Tanaman Tebu PG Rajawali III, namun demikian sebaran lahan tebu ini juga masih tersebar secara spot-spot kecil di daerah lain, kemungkinan ini merupakan bias dari hasil klasifikasi yang memiliki kemiripan spektral dengan tebu terutama pada saat kondisi lahan tebu setelah tebang yang memiliki kemiripan dengan lahan terbuka, selain itu pada saat sawah dan tebu berada fase vegetatif memiliki kenampakan yang sangat mirip yang mengakibatkan sulit membedakan antara tebu dan sawah.
Gambar 23. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi MLC.
55
56
2.
Back Propagation Neural Network (BPNN) Klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN dilakukan dengan beberapa
tahap yaitu : - Tahap Creating Data Pada tahap ini dilakukan proses inisiasi untuk membentuk segmen baru neural network. Segment ini selanjutnya akan dilakukan proses training area pada tahapan training. Konfigurasi neural network terdiri dari tiga layer yaitu 1 input layer, 1 hiden layer dan 1 output layer. Komponen neural network terdiri dari hidden node, learning rate, momentum, minimum error, jumlah iterasi. Dalam penelitian ini konfigurasi neural network yaitu :
Input layer : Citra Landsat ETM+ (band1, 2, 3, 4, 5, dan 7)
Jumlah nodes hidden layer 5x dengan X=6 , dimana sebagai representatif jumlah dari input layer.
Nilai momentum momentum rate = 0 – 1
nilai pembelajaran (learning rate) = 0,1
maximum total error = 0,1
maksimum individual error = 0,1
Jumlah iterasi : 500, 1000, 2500, 5000 Berdasarkan hasil penelitian ini jumlah iterasi yang menghasilkan hasil
klasifikasi dengan akurasi lebih tinggi mulai dicapai pada jumlah iterasi 2500-5000 dan pada jumlah iterasi 10.000 tingkat akurasi mulai stabil dan terdapat kecendrungan tingkat akurasi mulai menurun.
Gambar 24. Tahap Creating Data Neural Network.
57
- Tahap Training Pada Tahap ini dilakukan training area untuk BPNN. Training area yang digunakan pada proses training area neural netwok ini sama juga yang digunakan pada metode klasifikasi MLC. Pada tahap ini akan dimasukkan nilai momentum, learning rate. Pada penelitian ini momentum rate yang digunakan adalah pada kisaran tertinggi 0,9 dengan learning rate 0,1.
Nilai momentum digunakan untuk
mempercepat proses pembelajaran dan membantu mengurangi oscillation antar iterasi dan memungkinkan pembelajaran yang tinggi pada hal spesifik tanpa risiko non konvergensi.
Dalam proses training ini mensyaratkan lima parameter yaitu
momentum rate, learning rate, maximum total error, maximum individual errror dan jumlah iterasi (100, 500, 1000, 2500, 5000 dan 10000). Konfigurasi dapat dilihat Gambar 25.
Gambar 25. Konfigurasi Tahap Training Area untuk Klasifikasi Neural Network.
- Tahap Klasifikasi Fungsi klasifikasi citra multispektral menggunakan metode BPNN. Klasifikasi ini dapat dibatasi untuk piksel di bawah ukuran tertentu. Jika ukurannya tidak ditentukan, maka setiap piksel pada citra akan diklasifikasikan. Dalam klasifikasi model
BPNN ini terdapat 3 parameter yaitu null class, most likely classe image dan mode resampel.
resampel mode dipilih harus sama dengan MLC yaitu nearest
neighbourhood.
58
Gambar 26. Proses Klasifikasi Backpropagation Neural Network (BPNN). Hasil klasifikasi penutup/penggunaan lahan dengan mengunakan metode BPNN dengan akurasi terbaik dapat dilihat pada Gambar 27-33. Berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ multitemporal yang digunakan dengan menggunakan metode klasifikasi BPNN dihasilkan luas penutup/Penggunaan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 27. Sebaran penutup/penggunaan lahan hasil klasifikasi masing-masing citra Landsat ETM+ multitemporal dapat dilihat pada Gambar 28-32
Gambar 27. Hasil Klasifikasi Citra menggunakan Metode BPNN
59
Dari Tabel 10 dan Gambar 27 dapat dilihat bahwa hasil klasifikasi lahan sawah tertinggi diperoleh pada citra tanggal 15 Juli 2001 dan 29 April 2002 sebesar 33.130 (68%) dan 33.156 ha (68%). Hasil yang diperoleh dengan menggunakan BPNN mendekati hasil secara visual. Luas lahan tebu tertinggi diperoleh pada citra 29 April 2009 dengal luas 9.800 (20%) dan luasan terkecil diperoleh pada citra 18 Juli 2002 dengan luasannya 4.814 ha (10%). Hasil luasan tebu pada citra tanggal 18 Juli 2001 juga hampir mendekati hasil interpretasi secara visual.
60 Tabel 10. Luas Penutup/Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Multitemporal dengan BPNN Kelas Sawah Tebu MST BST Awan
03-12-2000 Luas (Ha) % 30,900 63% 6,327 13% 9,483 19% 2,307 5% 49,017 100%
Keterangan : MST : Mungkin Sawah atau Tebu BST : Bukan Sawah atau Tebu
15-7-2001 Luas (Ha) % 33,130 68% 6,688 14% 6,124 12% 3,075 6% 49,017 100%
29-04-2002 Luas (Ha) % 33,156 67% 9,804 20% 4,261 9% 1,796 4% 49,017 100%
18-07-2002 Luas (Ha) % 32,333 66% 4,814 10% 7,025 14% 4,845 10% 49,017 100%
31-03-2003 Luas (Ha) % 28,830 59% 8,875 18% 6,240 13% 1,621 3% 3,451 7% 49,017 100%
Gambar 28. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 3 Desember 2000.
61
62
Gambar 29. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 15 Juli 2001.
Gambar 30. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 29 April 2002.
63
64
Gambar 31. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 18 Juli 2002.
Gambar 32. Hasil Klasifikasi BPNN Citra Landsat ETM+ 31 Maret 2003.
65
66
Hasil akhir luas dan penyebaran penggunaan lahan sawah, tebu, MST dan BST dengan menggunakan metode BPNN melalui proses tahap kedua (overlay union) dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan sebaran penutup/penggunaan lahan hasil pengabungan semua citra melalui proses tahap kedua disajikan pada Gambar 33. Tabel 11. Luas Penutup/Penggunaan (Multistage) dengan BPNN No
Lahan
Kelas
1 Sawah 2 Tebu 3 Kelas Lain Total
Hasil
Klasifikasi
Berjenjang
Luas (Ha)
%
38.040 5.525 5.452 49,017
78% 11% 11%
Sumber : Hasil olahan
Berdasarkan Tabel 11 luas lahan sawah sebesar 38.040 ha (78 %), tebu 5.525 ha (11%) dan kelas lainnya 5.452 ha (11%), sedangkan Gambar 33 memperlihatkan sebaran lahan sawah hampir di seluruh lokasi cakupan penelitian ini terutama wilayah utara lokasi penelitian (Kecamatan Ciasem) yang merupakan salah satu sentra padi sawah yang di kelola oleh Perum Sang Hyang Seri dimana luas lahan sawah yang dikelola oleh Perum Sang Hyang Seri seluas lebih kurang 3200 ha. Lahan tebu berada di kecamatan Purwadadi, dimana pada di lokasi tersebut terdapat perkebunan tebu yang PG Rajawali dengan kepemilikan HGU lebih Kurang 5000 ha. Dari Gambar 33 juga memperlihatkan bahwa sebaran lahan sawah dan tebu mirip dengan kenampakan obyek pada citra visual dan juga hasil klasifikasi MLC. Hasil klasifikasi BPNN juga menghasilkan efek salt and pepper tetapi relatif lebih sedikit dibandingkan hasil klasifikasi MLC.
Gambar 33. Peta Sebaran Lahan Sawah dan Tebu Hasil Klasifikasi BPNN.
67
68
Pengujian Hasil Klasifikasi 1.
Akurasi Hasil Klasifikasi Metode Maximum Likelihood (MLC) Pengujian akurasi dilakukan menggunakan titik-titik pengamatan di lapangan
yang telah diketahui penutup/penggunaan lahannya dan sebagian sudah dipilih sebagai referensi dalam pengambilan training area. referensi adalah 669 titik.
Jumlah titik sebagai data
Pada citra Landsat ETM+ multitemporal klasifikasi
dengan 4 kelas penutup/penggunaan lahan menghasilkan nilai overall accuracy ratarata sebesar 77,91 % dan kappa accuracy 0,559. Hasil akurasi dapat dilihat pada Tabel 12 sedangkan matrik kesalahan (confusion matrix) dari hasil klasifikasi dengan MLC dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 12. Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Metode MLC untuk Masing-masing Citra Landsat ETM+ No
Kelas
3-12-2000
15-03-2001
29-04-2002
18-07-2002
31-03-2003
UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) 1 2 3 4
Sawah Tebu MST BST
91.63 60.00 27.27 85.11
90.04 59.26 44.44 55.56
90.17 61.18 29.33 77.42
93.29 64.20 40.74 33.33
93.23 47.76 58.62 84.85
95.45 79.01 31.48 38.89
95.85 51.49 26.73 77.19
85.06 64.20 50.00 61.11
80.24 32.63 32.00 35.09
81.07 38.27 29.63 27.78
OA (%) 78.92 79.07 77.13 66.52 82.21 Kappa 0.577 0.561 0.574 0.341 0.628 Keterangan : MST = Kelas Mungkin Sawah/Tebu. BST = Kelas Bukan Sawah/Tebu UA = User Accuracy, PA = Producer Accuracy, OA = Overall Accuracy
Tabel 12 dapat dilihat bahwa menggunakan metode MLC, nilai akurasi tertinggi didapat pada citra tanggal 29 April 2002 dengan nilai 82,21% dan terendah diperoleh pada citra tanggal 31 Maret 2003 dengan nilai 66,52%.
2.
Akurasi Hasil Klasifikasi Back Propagation Neural Network (BPNN) Hasil pengujian akurasi klasifikasi dengan menggunakan metode BPNN
berdasarkan titik referensi lapangan dilihat pada Tabel 12, sedangkan matrik kesalahan dapat dilihat pada Lampiran 8.
69
Tabel 13. Akurasi Klasifikasi Penutup/Penggunaan Lahan dengan Metode BPNN untuk Masing-masing Citra Landsat ETM+ No
Kelas
3-12-2000
15-03-2001
29-04-2002
18-07-2002
31-03-2003
UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) UA (%) PA (%) 1 2 3 4
Sawah Tebu MST BST
89.16 87.72 31.34 85.71
94.37 61.73 38.89 66.67
90.33 54.84 30.36 85.29
95.02 62.96 31.48 40.28
86.29 68.18 60.61 84.44
98.05 55.56 37.04 52.78
89.31 62.69 27.78 73.58
92.21 51.85 37.04 54.17
89.02 44.35 37.14 39.19
79.00 62.96 48.15 40.28
OA (%) 82.96 80.12 78.77 70.40 83.11 Kappa 0.636 0.576 0.556 0.456 0.612 Keterangan : MST = Kelas Mungkin Sawah/Tebu. BST = Kelas Bukan Sawah/Tebu UA = User Accuracy, PA = Producer Accuracy, OA = Overall Accuracy
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat hasil uji akurasi klasifikasi BPNN memberikan hasil overall accuracy tertinggi pada citra 29 April 2002 yaitu 83,11 % dan kappa 0,612, dengan sedangkan terendah pada citra 31 Maret 2003 dengan nilai overall accuracy 70,40 % dan nilai kappa sebesar 0,456.
Perbandingan Akurasi Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN Perbandingan hasil uji akurasi klasifikasi MLC dan BPNN pada hasil klasifikasi secara berjenjang (multistage) pada citra multi temporal dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Perbandingan Hasil Klasifikasi MLC dan BPNN No 1 2
Metode Maximum Likelihood (MLC) Back propagation Neural network (BPPN)
Overal accuracy 83.26 % 84.30 %
Kappa 0,5999 0.6404
Tabel 14 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi BPNN memiliki nilai akurasi lebih tinggi dibandingkan dengan klasifikasi MLC. Berdasarkan overall accuracy dan nilai kappa pada Tabel 14 terlihat bahwa hasil klasifikasi menggunakan metode klasifikasi BPNN menghasilkan nilai overall accuracy 84,30 % dan nilai Kappa 0,64 sedangkan hasil klasifikasi dengan MLC menghasilkan nilai overall accuracy 83,26 % dan nilai kappa 0,60. Perbandingan hasil klasifikasi berdasarkan hasil intrepretasi visual, MLC dan BPNN terhadap luasan lahan sawah dan tebu maka hasil klasifikasi dengan metode BPNN memberikan hasil yang relatif lebih baik dibandingkan dengan hasil
70
klasifikasi berdasarkan MLC. Hasil pengabungan kelas pada tahap kedua, klasifikasi MLC dan BPNN juga masih menunjukkan efek salt and paper tetapi BPNN relatif sedikit. Perbandingan luasan penutup/penggunaan lahan hasil klasifikasi visual dan digital dapat dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34. Perbandingan Luas Masing-masing Kelas Hasil Klasifikasi Gambar 34 menunjukkan perbedaan luas hasil klasifikasi yang dihasilkan dengan menggunakan metode MLC dan BPNN terhadap hasil interpretasi visual pada kelas sawah dan tebu sangat besar. Luas lahan sawah pada interpretasi secara visual adalah 33,893 ha, sedangkan MLC 38.416 ha dan BPNN 38.040 ha, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara MLC dan BPNN terhadap luas lahan sawah yang dihasilkan. Luas lahan tebu secara visual 4.473 ha, sedangkan MLC dan BPNN masing-masing 6,593 ha dan 5.525 ha.