HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Program Pemberdayaan Wanita Pra dan Usia Lanjut Penelitian
ini
dilakukan
pada
lansia
yang
mengikuti
program
Pemberdayaan Wanita dan Usia Lanjut. Kegiatan ini diadakan bekerjasama dengan Yayasan Muslimah Yasmina, Agrianita, Departemen Gizi Masyarakat, Dikmas di Departemen Pendidikan Nasional dengan judul “Pemberdayaan Lansia”. Program tersebut diikuti oleh pra lansia dan lansia wanita yang berumur 45-85 tahun. Lansia yang mengikuti program tersebut berjumlah 65 orang terdiri dari kelompok pengajian ibu-ibu Agrianita dan kelompok pengajian ibu-ibu Desa Babakan. Namun contoh dalam penelitian ini terdiri atas 31 orang lansia yang telah memenuhi kriteria inklusi, yaitu 13 orang lansia dari Perumdos dan 18 orang lansia dari Desa Babakan. Kedua kelompok pengajian ini berada dalam binaan Agrianita Institut Pertanian Bogor. Kelompok pengajian ibu-ibu Agrianita terdiri dari istri pensiunan, dosen ataupun pegawai IPB. Sebagian besar anggota kelompok pengajian Agrianita bertempat tinggal di Perumahan Dosen dalam komplek lingkar kampus IPB. Ada juga ibu-ibu kelompok pengajian Agrianita yang tinggal di daerah Kota Bogor. Ibu-ibu kelompok pengajian Desa Babakan bertempat tinggal di daerah Babakan Raya yang tersebar antara RT 01, 02, 03, 04, dan 07. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh program pemberdayaan lansia ini yaitu: 1. Perawatan lansia, kegiatan ini mendidik lansia untuk merawat diri sendiri di usianya sekarang meliputi pengetahuan tentang makanan, gizi seimbang dan olahraga yang baik untuk menjaga kesehatan lansia 2. Kemandirian sosial, kegiatan ini meliputi penyuluhan tentang cara berkomunikasi yang baik kepada orang lain dan membuat social group seperti kelompok pengajian agar para lansia dapat berkomunikasi dan menjalin hubungan sosial yang baik dengan orang-orang sekitarnya. 3. Kemandirian ekonomi, dalam kegiatan ini lansia diajarkan untuk berkreatifitas seperti menyulam dan mendaur ulang sampah plastik. Tujuan
umum
dari
program
pemberdayaan
lansia
ini
adalah
meningkatkan kemandirian sosial ekonomi dari lansia, sedangkan tujuan khususnya adalah: meningkatkan kesehatan lansia; memperbaiki pola hidup yang baik; meningkatkan status gizi; dan meningkatkan keterampilan untuk
30
menunjang perekonomian. Outcome dari program pemberdayaan lansia tersebut adalah meningkatkan pendapatan lansia. Keadaan Sosial Ekonomi Usia Menurut
Depkes
(1991)
mengenai
pengelompokkan
lanjut
usia,
seseorang yang telah memasuki masa lanjut usia dini adalah yang telah berumur 55 tahun keatas. Contoh pada penelitian ini adalah 31 orang wanita lanjut usia yang berusia sama dengan atau diatas 55 tahun. Rentang usia contoh dalam penelitian ini berkisar antara 55 - 85 tahun. Rata-rata usia contoh adalah 64.5 ± 9.0 tahun dengan persentase lebih dari separuh contoh yaitu 61.3% adalah pada rentang usia 55-64 tahun, sedangkan sebanyak 38.7% berada pada rentang usia diatas atau sama dengan 65 tahun. Berdasarkan status ekonominya, contoh yang berstatus ekonomi tinggi dan rendah sebagian besarnya berusia 55-64 tahun yaitu masing-masing 56.3% dan 66.7% Pendidikan Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan. Menurut tingkat pendidikannya, sebagian besar contoh (35.5%) tamat SD, 25.8% tamat Perguruan Tinggi, 19.4% tamat SMA, 16.1% tidak sekolah, dan 3.2% tamat SMP. Berdasarkan status ekonomi nya, contoh yang berstatus ekonomi rendah sebagian besarnya hanya berpendidikan SD (56.3%) dan contoh yang berstatus ekonomi tinggi sebagian besarnya berpendidikan sampai ke perguruan tinggi (53.3%). Alasan contoh yang tidak bersekolah dan yang hanya menamatkan pendidikannya pada jenjang SD adalah belum terdapatnya fasilitas sekolah pada daerah tempat tinggalnya pada saat itu dan letak sekolahnya yang sangat jauh dari rumah contoh, serta karena kurangnya kesadaran contoh mengenai pentingnya pendidikan pada saat itu. Mereka lebih berorientasi untuk membantu penghidupan keluarga dengan ikut bekerja. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status ekonominya dapat dilihat pada tabel 4. Pekerjaan Status pekerjaan contoh menunjukkan sebagian besarnya sudah tidak bekerja atau pensiun karena faktor umur yang tidak memungkinkan mereka untuk bekerja lagi, dan hanya sebanyak 12.9% contoh yang masih bekerja. Berdasarkan status ekonominya, contoh yang berstatus ekonomi rendah hampir
31
seluruhnya sudah tidak bekerja atau pensiun (93.8%). Sama hal nya dengan contoh yang berstatus ekonomi rendah, sebagian besar contoh yang berstatus ekonomi tinggi juga sudah tidak bekerja lagi (80.0%). Menurut Hardinsyah dan Suhardjo (1987) tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan yang telah dijalani oleh seseorang, maka pekerjaan yang didapat akan semakin baik sehingga akan berpengaruh besar terhadap besar pendapatan yang diterimanya. Tabel 4 Sebaran contoh menurut keadaan sosial ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah
Tinggi
n
%
n
%
n
55-64 ≥ 65
9 7
56.3 43.8
10 5
66.7 33.3
Total
16
100.0
15
100.0
19 12 31
Total %
Usia (tahun) 61.3 38.7 100.0
Status Pernikahan Menikah Cerai Hidup Cerai Mati Total
7 1 8
43.8 6.3 50.0
9 0 6
60.0 0.0 40.0
16
100.0
15
100.0
Pendidikan Tidak Sekolah
5
31.3
0
0.0
SD SMP SMA PT
9 1 1 0
56.3 6.3 6.3 0.0
2 0 5 8
Total
16
100.0
Bekerja
1
Tidak Bekerja/Pensiun Total
16 1 14 31
51.6 3.2 45.2 100.0 16.1
13.3 0.0 33.3 53.3
5 11 1 6 8
15
100.0
31
100.0
6.3
3
20.0
12.9
15
93.8
12
80.0
4 27
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Pendapatan < 500 ribu
13
81.3
0
0.0
13
41.9
500 ribu - 1 juta 1 juta - 3 juta
3 0
18.8 0.0
1 14
6.7 93.3
4 14
12.9 45.2
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
≤ 4 orang 5 - 7 orang
4 12
25.0 75.0
12 3
80.0 20.0
51.6 48.4
> 7 orang
0
0.0
0
0.0
16 15 0
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
35.5 3.2 19.4 25.8
Pekerjaan 87.1
Besar Keluarga
0.0
32
Sebanyak 12.9% contoh yang masih bekerja memiliki jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Jenis pekerjaan contoh yang dilakukan adalah sebagai tukang cuci (25%), kepala wisma (25%), dosen (50.0%). Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan dan status ekonominya dapat dilihat pada tabel 4. Pendapatan per kapita perbulan Status ekonomi seseorang dapat dilihat dari pendapatannya perbulan. Rata-rata pendapatan perkapita contoh adalah sebesar Rp 887.441.00 ± 598769. Sebagian besar contoh (45.2%) memiliki pendapatan pada rentang 1 juta-3 juta, sebanyak 41.9% memiliki pendapatan kurang dari Rp 500.000.00 dan 12.9% memiliki pendapatan pada rentang Rp 500.000.00 - Rp 1.000.000.00. Berdasarkan pendapatannya, contoh dibedakan berdasarkan status ekonomi tinggi dan rendah. Menurut Sukandar (2007), salah satu ukuran status ekonomi adalah tingkat pendapatan total yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Kategori tersebut didapatkan dari hasil pengurangan pendapatan maksimal dan pendapatan minimal, lalu dibagi dua sehingga didapatkan hasil Rp 925 ribu. Contoh
yang
berstatus
ekonomi
rendah
berada
pada
contoh
yang
berpendapatan dibawah Rp 925 ribu adalah sebanyak 51.6% dan contoh yang berstatus ekonomi tinggi berada pada contoh yang berpendapatan diatas Rp 925 ribu adalah sebanyak 48.4%. Sumber pendapatan yang diterima oleh contoh berasal dari pribadi baik dari uang pensiun atau pendapatan lain selain dari pekerjaan dan dari keluarga. Hal ini sejalan dengan pendapat Tucker dan Buranapin (2001) yaitu bahwa lansia sangat bergantung kepada kelurarganya dalam masalah ekonomi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pendapatan yang diterima (dari uang pensiun) atau tidak mempunyai pendapatan sama sekali. Sebaran contoh menurut pendapatan yang diterima dapat dilihat pada tabel 4. Besar Keluarga BPS (2001) mengemukakan bahwa berdasarkan jumlah atau besar anggota keluarga. keluarga dapat dibagi menjadi tiga kelompok. yaitu : keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Besarnya keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tidak ada contoh yang memiliki keluarga dalam kategori keluarga besar. Masing-masing contoh mempunyai kategori keluarga kecil sebanyak 51.6%, dan keluarga sedang
33
sebanyak 48.4%. Hal ini disebabkan karena sebagian besar contoh tinggal terpisah dari anaknya dan hanya tinggal sendiri atau berdua dengan suami. Berdasarkan status ekonominya, sebagian besar contoh yang berstatus ekonomi rendah mempunyai besar keluarga 5-7 orang sedangkan contoh dengan status ekonomi tinggi mempunyai keluarga ≤4 orang. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjur (1982) diacu dalam Sukandar (2007) yang menyatakan bahwa besar keluarga mempengaruhi uang yag diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa sebanyak 51.6% contoh masih berstatus menikah, 45.2% contoh berstatus cerai mati, dan hanya 3.2% contoh yang berstatus cerai hidup. Berdasarkan status ekonominya, sebanyak 50.0% contoh yang berstatus ekonomi rendah memiliki status cerai mati, sedangkan 60.0% contoh yang bersatus ekonomi tinggi memiliki status masih menikah. Hal ini sejalan dengan BPS (2004) yang menyatakan bahwa status perkawinan penduduk lansia pada umunya adalah menikah (61.2%). cerai mati (35.9%). cerai hidup (2.1%). dan belum kawin (0.7%). Pola Konsumsi Makan Pola konsumsi makan terdiri dari frekuensi makan meliputi makanan pokok. pangan hewani, pangan nabati, sayur, buah, dan air putih dalam seminggu serta tingkat konsumsi/kecukupan energi dan proteinnya. Menurut Sukandar (2007) frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizinya. Frekuensi Konsumsi Frekuensi konsumsi makan contoh yang didapatkan adalah frekuensi makan dari kelompok pangan dalam satu minggu dan dihitung berdasarkan golongan dan jenis makanan yang paling sering dikonsumsi contoh. Nasi adalah makanan yang paling sering dikonsumsi oleh contoh berstatus ekonomi rendah maupun tinggi karena nasi adalah jenis pangan yang menjadi makanan pokok untuk orang Indonesia. Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa konsumsi nasi pada contoh berstatus ekonomi rendah adalah sebanyak 20.1 kali/minggu, sedangkan pada contoh berstatus ekonomi tinggi sebanyak 21 kali/minggu. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata contoh mengkonsumsi nasi 2-3 kali dalam sehari. Frekuensi nya dapat dilihat pada tabel berikut.
34
Tabel 5 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi makanan pokok dan status ekonomi Rataan Frekuensi (kali/minggu) Jenis Pangan Rendah
Status Ekonomi Tinggi
Total
Nasi
20.1±1.4 14;21
21.0±0.0 21;21
20.5±1.7 14;21
Roti
5.8±1.8 2;7
6.0±1.5 4;7
5.9±1.6 2;7
Kentang
2.4±1.5 1;5
1.9±1.1 1;4
2.2±1.3 1;5
Ubi Jalar
2.1±1.0 1;4
1.9±1.0 1;4
2.0±1.0 1;4
Singkong
1.6±1.0
1.6±0.8
1.6±0.9
Makanan Pokok
1;4 1;3 1;4 Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata-rata±stdev beserta frekuensi minimal;maksimal
Tabel 6 menunjukkan bahwa jenis pangan hewani yang paling sering dikonsumsi contoh berstatus ekonomi tinggi adalah susu. Contoh yang berstatus ekonomi tinggi mengkonsumsi susu rata-rata dalam seminggu adalah sebanyak 7 kali. Data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata contoh menkonsumsi susu sebanyak 1 kali setiap hari. Contoh mengkonsumsi susu setiap hari karena menganggap susu penting untuk mencukupi kebutuhan gizi sehari-hari dan juga dapat menjaga kesehatan tulang mereka. Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2006) susu baik untuk dikonsumsi oleh semua usia terutama kelompok lansia karena mengandung zat-zat gizi yang penting untuk melengkapi kebutuhan zat gizi untuk menjaga kesehatan tubuh. Kandungan kalsium dan fosfor pada susu baik untuk menjaga kesehatan tulang serta menghindari terjadinya pengroposan. Pada contoh berstatus ekonomi rendah pangan hewani yang paling sering dikonsumsi adalah telur. Rata-rata konsumsi telur pada contoh berstatus ekonomi rendah adalah sebanyak 3.9 kali dalam seminggu. Alasan contoh sering mengkonsumsi telur karena harganya yang murah dan dapat dibuat berbagai hidangan masakan. Konsumsi telur ini baik karena mengandung protein yang penting untuk tubuh. Dalam 1 butir telur mengandung 7 gr protein (DKBM 2004).
35
Tabel 6 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi pangan hewani, nabati, dan ekonomi Rataan Frekuensi (kali/minggu) Jenis Pangan
Status Ekonomi Rendah
Tinggi
Total
2.6±2.4
1.3±1.3
2.0±2.0
0;7
0;4
0;7
Ayam
2.0±1.9 0;7
1.7±1.8 0;7
1.9±1.8 0;7
Telur
3.9±3.9 0;14
3.5±2.8 0;7
3.7±3.4 0;14
Ikan Asin
2.3±2.9
2.3±3.7
2.3±3.3
0;7
0;14
0;14
Daging Sapi
0.6±1.1 0;3
1.3±1.8 0;7
0.9±1.5 0;7
Susu
3.7±4.8 0;14
7.0±5.3 0;14
5.3±5.2 0;14
Tahu
4.3±1.8 1;7
5.2±1.2 3;6
4.7±1.6 1;7
Tempe
3.9±1.4 0;5
4.5±1.2 3;7
4.2±1.3 0;7
Oncom
1.8±1.3 0;3
0.7±1.4 0;5
1.2±1.5 0;5
Taucho
0.3±0.8 0;3
0.2±0.8 0;3
0.2±0.8 0;3
Kedelai Utuh
0.2±0.8 0;3
0.2±0.8 0;3
0.2±0.7 0;3
Pangan Hewani dan Nabati Ikan
Kacang Ijo
0.0±0.0 0.1±0.4 0.1±0.2 0;0 0;1 0;1 Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata-rata±stdev beserta frekuensi minimal;maksimal
Tahu dan tempe adalah pangan nabati yang paling sering dikonsumsi oleh keseluruhan contoh. Rata-rata frekuensi tahu dan tempe pada contoh berstatus ekonomi rendah adalah sebanyak 4.3 kali dan 3.9 kali dalam seminggu. Pada contoh yang berstatus ekonomi tinggi, rata-rata frekuensi konsumsi tahu dan tempe adalah sebanyak 5.2 kali dan 4.2 kali dalam seminggu. Contoh sering mengkonsumsi tahu dan tempe karena harganya yang murah dan selalu tersedia baik di pasar, warung, maupun pedagang keliling.
36
Tabel 7 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi sayur, buah, dan status ekonomi Rataan Frekuensi (kali/minggu) Jenis Pangan
Status Ekonomi Rendah
Tinggi
Total
Wortel
2.9±1.3 1;4
1.7±0.8 1;3
2.3±1.2 1;4
Bayam
2.3±1.0 1;4
2.5±1.3 1;4
2.4±1.1 1;4
Buncis
1.8±1.2 1;4
2.3±1.3 1;4
2.0±1.2 1;4
Ketimun
6.4±4.8 2;14
10.0±4.6 2;14
8.1±5.0 2;14
Kangkung
2.8±1.2
2.3±1.0
2.5±1.1
1;4
1;4
1;4
Pisang
2.3±1.1 1;4
1.7±0.9 1;4
2.0±1.0 1;4
Jeruk
1.9±1.2
2.5±1.1
2.2±1.2
1;4
1;4
1;4
Pepaya
2.6±1.4 1;7
2.7±1.8 1;7
2.6±1.6 1;7
Melon
2.0±1.1 1;4
1.8±1.0 1;4
1.9±1.0 1;4
Sayur dan Buah
Jambu Biji
1.8±0.9 1.5±0.8 1.6±0.9 1;3 1;4 1;4 Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata-rata±stdev beserta frekuensi minimal;maksimal
Berdasarkan tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa ketimun adalah jenis sayuran yang paling sering dikonsumsi oleh keseluruhan contoh. Contoh sering mengkonsumsi ketimun karena sering digunakan sebagai lalapan saat makan serta hampir selalu tersedia di warung ataupun pedagang keliling. Konsumsi ketimun baik untuk lansia karena bijinya mengandung banyak vitamin E yang berfungsi untuk mengambat penuaan. Kandungan seratnya yang tinggi juga berguna untuk melancarkan buang air besar dan air kecil, serta menurunkan kolesterol (Harmanto 2006). Pada penelitian ini, contoh berstatus ekonomi rendah mengkonsumsi ketimun rata-rata sebanyak 6.4 kali dalam seminggu, sedangkan contoh berstatus ekonomi tinggi mengkonsumsi ketimun sebanyak 10 kali dalam seminggu. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketimun dikonsumsi hampir setiap hari oleh keseluruhan contoh. Rata-rata konsumsi sayur pada
37
contoh adalah sebanyak 78.2 gr/hari. Hasil tersebut masih lebih rendah dibandngkan anjuran konsumsi sayur dalam sehari yaitu 150 g/hari (Depkes 1991). Konsumsi sayur penting karena sayur juga mengandung vitamin A dan vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas dan mengatasi efek dari stres. Buah yang sering dikonsumsi oleh contoh adalah pepaya baik yang berstatus ekonomi rendah maupun yang berstatus ekonomi tinggi. Contoh berstatus ekonomi rendah mengkonsumsi pepaya rata-rata sebanyak 2.6 kali dalam seminggu, sedangkan contoh berstatus ekonomi tinggi mengkonsumsi sebanyak 2.7 kali. Menurut contoh. pepaya adalah buah yang murah dan mudah untuk didapatkan. Buah pepaya baik untuk dikonsumsi oleh semua usia karena kandungan seratnya yang tinggi dan baik untuk pencernaan (Harmanto 2006). Buah juga banyak mengandung vitamin A dan vitamin C yang berfungsi sebagai antioksidan namun konsumsi rata-rata buah per/hari adalah 156.5 g/hari dan masih lebih rendah jika dibandingkan anjuran konsumsi buah yaitu 200 g/hari. Sebaiknya konsumi sayur dan buah pada contoh perlu ditingkatkan kuantitasnya agar mencapai banaknya konsumsi yang dianjurkan. Selain itu, pada saat terjadi stres, penggunaan vitamin antioksidan ini meningkat untuk melawan efek negatif yang terjadi pada tubuh sehingga tubuh memerlukan asupan vitamin A dan vitamin C yang tinggi. Tabel 8 Sebaran contoh menurut frekuensi konsumsi air putih dan status ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
<6 gelas 6-8 gelas
3 13
18.8 81.3
2 13
13.3 86.7
5 26
16.1 83.9
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Air Putih
Menurut WKNPG (2004) kebutuhan air bagi lansia adalah 1500 ml atau berkisar 6 gelas per hari. Jadi dengan mengonsumsi air <6 gelas per hari maka kebutuhan lansia akan air belum terpenuhi. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh yang berstatus ekonomi rendah yaitu sebanyak 81.3% mengkonsumsi air putih 6-8 gelas. Sama hal nya dengan contoh yang berstatus ekonomi tinggi sebagian besarnya yaitu 86.7% juga mengkonsumsi air putih 6-8
38
gelas. Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar contoh telah mengkonsumsi air putih dalam jumlah yang disarankan yaitu 6-8 gelas per hari. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Tingkat
kecukupan
energi
dan
protein
ditentukan
dengan
cara
membandingkan konsumsi pangan individu yang didapatkan dari hasil recall 1x24 jam dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) individu sehingga diperoleh rasio antara konsumsi dengan kecukupan yang dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan energi total contoh adalah 89.2% dan masih tergolong defisit sedangkan rata-rata tingkat kecukupan protein contoh sudah dalam kategori cukup yaitu 98.0% (Depkes 1996). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kecukupan energi sebagian besar contoh yang berstatus ekonomi rendah berada dalam kategori defisit (68.8%), sedangkan tingkat kecukupan energi contoh yang berstatus ekonomi tinggi tersebar pada kategori defisit (46.7%) dan cukup (46.7%). Pada tingkat kecukupan protein, sebagian besar contoh yang berstatus ekonomi rendah dan tinggi berada dalam kategori defisit yaitu masing-masing 56.3% dan 53.3%. Pada saat contoh diwawancarai mengenai asupan makanannya. contoh memang tidak memakan banyak makanan pada hari tersebut, sehingga rata-rata asupan energi dan protein contoh saat itu defisit. Tabel 9 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi, protein, dan status ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
Defisit (<90%) Cukup (90-119%)
11 5
68.8 31.3
7 7
46.7 46.7
18 12
58.1 38.7
Lebih (≥120%) Total
0
0.0
1
6.7
1
3.2
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Tingkat Kecukupan Protein Defisit (<90%)
9
56.3
8
53.3
18
58.1
Cukup (90-119%) Lebih (≥120%)
3 4
18.8 25.0
4 3
26.7 20.0
12 1
38.7 3.2
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat Kecukupan Vitamin A dan Vitamin C Tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C juga ditentukan dengan cara membandingkan konsumsi pangan individu yang didapatkan dari hasil recall
39
1x24 jam dengan Angka Kecukupan Vitamin A (AKA) dan Angka Kecukupan Vitamin C (AKC) individu sehingga diperoleh rasio antara konsumsi dengan kecukupan yang dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan vitamin A ratarata contoh adalah 142.2% dan sudah berada dalam kategori cukup sedangkan rata-rata tingkat kecukupan vitamin C contoh masih berada dalam kategori kurang yaitu 50.9% (Gibson 2005). Tabel 10 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, dan status ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
Kurang Cukup
3 13
18.8 81.3
2 13
13.3 86.7
5 26
16.1 83.9
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Vitamin C Kurang
13
81.3
10
66.7
23
74.2
3
18.8
5
33.3
8
25.8
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Vitamin A
Cukup Total
Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan vitamin A sebagian besar contoh yang berstatus ekonomi rendah dan tinggi berada dalam kategori cukup yaitu 81.3% dan 86.7%. Hal ini diduga karena makanan yang dikonsumsi sebagian besar contoh adalah makanan yang digoreng. Kandungan vitamin A pada 1 sdm minyak adalah 400 RE sehingga memberikan sumbangan kandungan vitamin A yang tinggi pada contoh. Pada tingkat kecukupan vitamin C. sebagian besar contoh yang berstatus ekonomi rendah dan tinggi berada dalam kategori kurang yaitu masing-masing 81.3% dan 66.7%. Hal tersebut diduga karena pada hari tersebut contoh tidak banyak mengkonsumsi buah dan sayuran yang mengandung vitamin C yang tinggi, sehingga tingkat kecukupan rata-ratanya masih tergolong kurang. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi. penyerapan (absorpsi) dan penggunaan zat makanan. Ada berbagai cara yang digunakan untuk menilai status gizi yaitu melalui konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 1995 diacu dalam Khomsan et al. 2007). Pada penelitian ini, status gizi diukur menggunakan metode antropometri yaitu dengan menghitung IMT (kg/m 2).
40
Menurut WHO (1995) diacu dalam Mutingatun (2006), pengukuran status gizi menggunakan IMT masih memiliki kekurangan dalam hal ketelitian. Hal ini disebabkan karena perubahan komposisi tubuh yang berbeda-beda pada setiap individu akibat penuaan, namun sampai saat ini memang IMT yang masih dianggap paling akurat. Kategori status gizi dibagi menjadi empat bagian, yaitu Underweight (<18.5), normal (18.5-22.9), Overweight (23.0-27.5), dan obesitas (>27.5). Kategori IMT yang digunakan mengacu pada cut off point status gizi berdasarkan WHO (2005) dengan mempertimbangkan resiko terjadinya penyakit. Tabel 11 Sebaran contoh menurut status gizi dan status ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
Status Gizi Normal (18.5-22.9) Overweight (23.0-27.5) Obesitas (>27.5)
3 7 6
18.8 43.8 37.5
2 8 5
13.3 53.3 33.3
5 15 11
16.1 48.4 35.5
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Sebagian besar contoh memiliki status gizi overweigt yaitu 48.4%. 35.5% berstatus gizi obesitas, dan hanya 16.1% yang berstatus gizi normal. Hal ini disebabkan karena lansia berada pada fase penuaan yang mengalami kemunduran baik dari segi fisik, komposisi tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem katabolisme, sistem hormone, dan sistem ekskresi sehingga penyerapan zat gizi pun tidak optimal lagi untuk mempertahankan berat badan dan keadaan tubuh yang ideal (Wirakusumah 2002). Selain itu, menurut Forbes (1987) diacu dalam Ferro-Luzzi (1996) seseorang yang telah memasuki usia lanjut akan mengalami penurunan massa otot yang akan berbanding terbalik dengan proporsi lemak didalam tubuhnya sehingga cenderung akan mengalami peningkatan resiko terjadinya obesitas yang lebih lanjut akan mengalami peningkatan
resiko
terjadinya
penyakit
degeneratif.
Berdasarkan
status
ekonominya, contoh yang berstatus ekonomi rendah maupun tinggi sebagian besarnya berstatus gizi overweight yaitu masing-masing (53.3%) dan (43.8%). Berdasarkan hasil penelitian, hampir keseluruhan contoh yang diwawancarai tidak mempunyai pantangan dalam makan dan mempunyai nafsu makan yang baik dari semasa mereka muda hingga sekarang. Hal ini yang diduga yang menyebabkan sebagian besar contoh mempunyai status gizi lebih.
41
Tingkat Stres Gunarsa dan Gunarsa (1991) menyatakan bahwa stres diartikan sebagai suatu tekanan. dan ketegangan yang mempengaruhi seseorang dalam kehidupan. Pengaruh yang timbul dapat bersifat wajar ataupun tidak, tergantung dari reaksi terhadap ketegangan tersebut. Sarafino (1990) diacu dalam Smet (1994) juga menyatakan bahwa stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Hubungan antara rasa stress dengan sakit ditandai dengan proses pelepasan hormone, khususny hormon cortisol yang dilepas oleh rangsangan sistem kardiovaskuler. Jika pelepasan hormon ini sangat tinggi, maka dapat menyebabkan jantung berdebar-debar sangat kencang sehingga dapat menyebabkan kematian. Perasaan stres juga dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan fisiologis seperti asma, penyakit kepala kronis, arthritis (rematik), beberapa penyakit kulit, hipertensi, CHD (Chronic Heart Disease), dan juga kanker. Wilkinson dalam Furi (2006) menyebutkan bahwa tingkat stres seseorang dapat diketahui dengan memperhatikan gejala-gejala stres yang ditunjukkan. Tingkat stres contoh dalam penelitian ini sebagian besarnya berada pada kategori rendah yaitu sebesar 58.1% dan sisanya sebesar 41.9% berada pada kategori stres sedang. Menurut status ekonominya, contoh yang mempunyai status ekonomi rendah mempunyai tingkat stres yang rendah (62.5%). Begitu juga dengan contoh yang berstatus ekonomi tinggi sebagian besarnya mempunyai tingkat stres yang rendah (53.3%). Dalam penelitian ini tidak ada contoh yang berada pada tingkat stres tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata contoh tidak mempunyai banyak keluhan kesehatan dan tidak terlalu menjadikan yang ada di hidup mereka saat ini menjadi suatu beban yang dapat mengakibatkan stres. Sebaran contoh menurut tingkat stres dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh menurut tingkat stres dan status ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
Tingkat Stres Rendah
10
62.5
8
53.3
18
58.1
Sedang Tinggi
6 0
37.5 0.0
7 0
46.7 0.0
13 0
41.9 0.0
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
42
Status Kesehatan Status kesehatan yang diteliti terdiri atas riwayat kesehatan berupa keluhan penyakit yang dialami sebulan terakhir yaitu penyakit infeksi dan non infeksi, dan tempat berobat contoh. Penyakit infeksi adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri atau virus didalam tubuh, seperti diare, TBC, demam, flu. tifus (Sarafino 1990 diacu dalam Smet 1994). Contoh yang menderita penyakit infeksi dalam satu bulan terakhir sebanyak 16 orang dari 31 orang contoh dengan persentase (51.6%). Jenis penyakit infeksi yang dialami contoh paling banyak adalah flu (62.5%) dengan frekuensi rata-rata kambuh dalam sebulan terakhir 1.4 kali, sedangkan untuk diare adalah sebesar (43.8%) dengan frekuensi kambuh rata-rata 1.4 kali, dan demam sebesar (25.0%) dengan frekuensi rata-rata kambuh 1.3 kali. Hal ini sejalan dengan pendapat Arisman (2004) yang menyatakan bahwa penyakit yang sering dialami lansia diantaranya adalah gangguan pernapasan dan pencernaan karena adanya penurunan fungsi dari organ tubuh maupun metabolisme tubuh. Tabel 13 Sebaran contoh menurut penyakit infeksi, non infeksi, dan status ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah n
Tinggi
Total
%
n
%
N
%
Diare 2 Flu 6 Demam 4 Penyakit Non Infeksi
6.5 19.4 12.9
5 4 0
16.1 12.9 0.0
7 10 4
22.6 32.3 12.9
Sembelit Maag Hipertensi Hipotensi Jantung DM
25.0 50.0 68.8 0.0 6.3 18.8
3 2 4 3 0 1
20.0 13.3 26.7 20.0 0.0 6.7
7 10 15 3 1 4
22.6 32.3 48.4 9.7 3.2 12.9
Penyakit Infeksi
4 8 11 0 1 3
Rematik 3 18.8 0 0.0 3 9.7 Asam Urat 4 25.0 5 33.3 9 29.0 Wasir 1 6.3 1 6.7 2 6.5 Keterangan: satu contoh bisa menderita lebih dari 1 penyakit dan tidak semua contoh yang menderita penyakit
Penyakit non infeksi adalah penyakit-penyakit yang dapat berkembang selama kurun waktu yang lama, seperti penyakit jantung, kanker, stroke, asam
43
urat, hipertensi, dll (Sarafino 1990 diacu dalam Smet 1994). Dalam penelitian ini, contoh yang mempunyai keluhan penyakit non infeksi adalah 25 orang dari 31 orang contoh dengan persentase (80.6%). Penyakit non infeksi yang paling banyak diderita oleh contoh adalah hipertensi (60.0%), maag (40.0%), asam urat (36.0%), sembelit (28.0%), DM (16.0%), rematik dan hipotensi masing-masing (12.0%), wasir (8.0%), dan penyakit jantung (4.0%). Hal ini sejalan dengan pendapat Schlenker (2000) yang menyatakan bahwa hipertensi atau penyakit darah tinggi merupakan penyakit kardiovaskular yang seringkali berhubungan dengan penuaan dan menyerang pria maupun wanita, sehingga hipertensi menjadi masalah kesehatan yang umum bagi rata-rata kaum lansia. Berdasarkan penelitian, dari keseluruhan contoh dapat dilihat bahwa pada contoh yang berstatus ekonomi rendah banyak yang menderita sakit hipertensi yaitu sebanyak 68.8%. Contoh yang berstatus ekonomi rendah banyak yang
mengkonsumsi ikan
asin
yang
mengandung
natrium tinggi dan
menambahkan penyedap rasa makanan kedalam setiap makanannya. Hal ni yang diduga menyebabkan contoh menderita hipertensi. Pada contoh yang berstatus ekonomi tinggi, banyak yang menderita penyakit asam urat yaitu sebanyak 33.3%. Pada saat wawancara, diketahui bahwa contoh sering mengkonsumsi sayuran yang berwarna hijau seperti daun singkong, bayam, kangkung, dan sawi hijau. Contoh sering membeli sayuran tersebut karena paling sering tersedia di pedagang keliling. Selain itu, contoh juga sering mengkonsumsi makanan yang mempunyai kadar purin tinggi seperti kacangkacangan dan jeroan. Hal tersebut yang diduga menyebabkan contoh tersebut banyak menderita asam urat. Tabel 14 Sebaran contoh menurut tempat berobat dan status ekonomi Status Ekonomi Variabel
Rendah
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
Dokter Puskesmas Beli Obat Warung
9 6 1
56.3 37.5 6.3
13 1 1
86.7 6.7 6.7
22 7 2
71.0 22.6 6.5
Total
16
100.0
15
100.0
31
100.0
Tempat Berobat
Tempat berobat contoh jika mengalami keluhan penyakit dalam penelitian ini terbagi atas tiga tempat yaitu ke dokter, puskesmas, dan di warung. Sebanyak lebih
dari
separuh
contoh
(71.0%)
memilih
berobat
ke
dokter,
ke
44
Puskesmas/Poliklinik (22.6%), dan beli obat di warung (6.5%). Berdasarkan status ekonominya contoh yang berstatus ekonomi rendah maupun tinggi banyak yang memilih berobat ke dokter. Alasan contoh memilih untuk berobat ke dokter karena lebih terjamin pemeriksaannya (54.5%), jika penyakit sudah parah (36.4%), dan karena kemudahan akses (9.1%). Hubungan Antar Variabel Hubungan Keadaan Sosial Ekonomi dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Tabel 15 memperlihatkan bahwa contoh dengan tingkat kecukupan energi dalam kategori defisit sebagian besarnya berumur 55-64 tahun (66.7%). Selain itu, pada tingkat kecukupan dalam kategori cukup tersebar rata pada kelompok umur 55-64 tahun dan ≥65 tahun, yaitu masing-masing 50.0%. Pada contoh dengan tingkat kecukupan yang lebih seluruhnya berada pada contoh yang berumur 55-64 tahun (71.4%). Berdasarkan hasil wawancara, contoh yang berumur diatas 65 tahun telah mengalami penurunan nafsu makan sehingga konsumsinya pun lebih rendah dibandingkan yang berumur 55-64 tahun. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa contoh dengan tingkat kecukupan energi yang defisit didominasi oleh contoh yang berpendidikan SD (38.9%). Pada contoh dengan tingkat kecukupan dalam kategori cukup tersebar rata pada contoh yang berpendidikan SD (33.3%), SMA (33.3%), dan PT (33.3%). Contoh dengan tingkat kecukupan energi yang lebih seluruhnya berada pada contoh yang berpendidikan SMA (100.0%). Berdasarkan uji Pearson tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara usia dengan tingkat kecukupan energi dan menurut uji Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kecukupan energi. Contoh dengan tingkat kecukupan energi dalam kategori defisit, cukup, dan lebih didominasi oleh contoh yang tidak bekerja yaitu masing-masing 94.4%. 75.0%, dan 100.0%. Hal ini diduga karena memang hampir seluruh contoh sudah tidak bekerja lagi, dan hanya sedikit contoh yang masih bekerja. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa sebagian besar contoh (75.0%) dengan tingkat kecukupan energi yang kurang banyak terdapat ada contoh yang berpendapatan < Rp 500 ribu, sedangkan pada contoh dengan tingkat kecukupan energi yang cukup dan lebih sebagian besarnya berada pada rentang pendapatan per kap Rp 1 juta - Rp 3 juta yaitu masing-masing 58.3% dan 100.0%. Berdasarkan uji
45
Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status pekerjaan dan pendapatan dengan tingkat kecukupan energi. Tabel 15 Sebaran contoh menurut keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Variabel
Defisit
Cukup
Lebih
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
55-64 ≥ 65
12 6
66.7 33.3
6 6
50.0 50.0
1 0
100.0 0.0
19 12
61.3 38.7
Total Pendidikan
18
100.0
12
100.0
1
100.0
31
100.0
Tidak Sekolah SD SMP SMA PT
5 7 1 1 4
27.8 38.9 5.6 5.6 22.2
0 4 0 4 4
0.0 33.3 0.0 33.3 33.3
0 0 0 1 0
0.0 0.0 0.0 100.0 0.0
5 11 1 6 8
16.1 35.5 3.2 19.4 25.8
Total
18
100.0
12
100.0
1
100.0
31
100.0
Tidak Bekerja Bekerja
17 1
94.4 5.6
9 3
75.0 25.0
1 0
100.0 0.0
27 4
87.1 12.9
Total Pendapatan
18
100.0
12
100.0
1
100.0
31
100.0
< 500 ribu 500 ribu - 1 juta 1 juta - 3 juta
10 2 6
55.6 11.1 33.3
3 2 7
25.0 16.7 58.3
0 0 1
0.0 0.0 100.0
13 4 14
41.9 12.9 45.2
Total Besar Keluarga (orang)
18
100.0
12
100.0
1
100.0
31
100.0
≤ 4 orang 5 - 7 orang
9 9
50.0 50.0
7 5
58.3 41.7
0 1
0.0 100.0
16 15
51.6 48.4
> 7 orang
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Total
18
100.0
12
100.0
1
100.0
31
100.0
Usia (tahun)
Pekerjaan
Contoh dengan tingkat kecukupan energi dalam kategori defisit tersebar rata pada contoh yang mempunyai besar keluarga ≤4 orang dan 5-7 orang masing-masing (50.0%). Pada contoh dengan tingkat kecukupan energi dalam kategori cukup didominasi oleh contoh dengan besar keluarga ≤4 orang (58.3%), sedangkan contoh degan tingkat kecukupan yang lebih seluruhnya mempunyai besar keluarga 5-7 orang (100.0%). Berdasarkan uji Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara besar keluarga dengan tingkat kecukupan energi.
46
Pada tabel 15 dapat dilihat bahwa contoh dengan tingkat kecukupan protein dalam kategori deficit, cukup, maupun lebih sebagian besarnya berumur 55-64 tahun yaitu masing-masing 58.8%, 57.1%, dan 71.4%. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa contoh dengan tingkat kecukupan protein yang defisit didominasi oleh contoh yang berpendidikan SD (35.3%). Pada contoh dengan tingkat kecukupan dalam kategori cukup didominasi oleh contoh dengan tingkat pendidikan PT yaitu 42.9% dan pada contoh dengan tingkat kecukupan yang lebih banyak terdapat pada contoh yang berpendidikan SMA (42.9%). Berdasarkan uji Pearson tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara usia dengan tingkat kecukupan protein dan menurut uji Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kecukupan protein. Contoh dengan tingkat kecukupan energi dalam kategori deficit, cukup, dan lebih didominasi oleh contoh yang tidak bekerja yaitu masing-masing 88.2%, 71.4%, dan 100.0%. Hal ini diduga karena memang hampir seluruh contoh sudah tidak bekerja lagi, hanya sedikit contoh yang masih bekerja. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa contoh dengan tingkat kecukupan protein yang defisit dan lebih didominasi oleh contoh dengan besar pendapatan < Rp 500 ribu yaitu masing-masing 47.1% dan 42.9%. sedangkan pada contoh dengan tingkat kecukupan yang sedang didominasi oleh contoh dengan besar pendapatan Rp 1 juta - Rp 3 juta yaitu sebesar 57.1% Berdasarkan uji Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status pekerjaan dan pendapatan dengan tingkat kecukupan protein. Contoh dengan tingkat kecukupan protein dalam kategori defisit dan lebih didominasi oleh contoh yang mempunyai besar keluarga ≤4 orang yaitu masingmasing 52.9% dan 57.1%, sedangkan contoh dengan tingkat kecukupan protein yang cukup banyak terdapat pada contoh yang mempunyai besar keluarga 5-7 orang yaitu 57.1%. Berdasarkan uji Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara besar keluarga dengan tingkat kecukupan protein. Berdasarkan uji yang telah dilakukan tidak terdapat hubungan antara keadaan sosial ekonomi contoh dengan atau konsumsi tingkat kecukupan energi dan protein, hal ini diduga karena contoh mengkonsumsi makanan tergantung dari selera dan ketersediaan makanan saat itu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sukandar (2007) yang menyatakan bahwa pola konsumsi makan dipengaruhi
47
oleh banyak faktor, diantaranya ketersediaan pangan, pola sosial budaya, harga, selera dll. Tabel 16 Sebaran contoh menurut keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kecukupan protein Tingkat Kecukupan Protein Variabel
Defisit
Cukup
Lebih
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
55-64 ≥ 65
10 7
58.8 41.2
4 3
57.1 42.9
5 2
71.4 28.6
19 12
61.3 38.7
Total Pendidikan
17
100.0
7
100.0
7
100.0
31
100.0
Tidak Sekolah SD SMP SMA PT
4 6 1 1 5
23.5 35.3 5.9 5.9 29.4
1 1 0 2 3
14.3 14.3 0.0 28.6 42.9
0 4 0 3 0
0.0 57.1 0.0 42.9 0.0
5 11 1 6 8
16.1 35.5 3.2 19.4 25.8
Total
17
100.0
7
100.0
7
100.0
31
100.0
Tidak Bekerja Bekerja
15 2
88.2 11.8
5 2
71.4 28.6
7 0
100.0 0.0
27 4
87.1 12.9
Total Pendapatan
17
100.0
7
100.0
7
100.0
31
100.0
< 500 ribu 500 ribu - 1 juta 1 juta - 3 juta
8 2 7
47.1 11.8 41.2
2 1 4
28.6 14.3 57.1
3 1 3
42.9 14.3 42.9
13 4 14
41.9 12.9 45.2
Total Besar Keluarga (orang)
17
100.0
7
100.0
7
100.0
31
100.0
≤ 4 orang 5 - 7 orang
9 8
52.9 47.1
3 4
42.9 57.1
4 3
57.1 42.9
16 15
51.6 48.4
> 7 orang
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Total
17
100.0
7
100.0
7
100.0
31
100.0
Usia (tahun)
Pekerjaan
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Tabel 17 memperlihatkan bahwa tingkat kecukupan energi seluruh contoh yang berstatus gizi normal berada dalam kategori defisit (100.0%), sebagian besar contoh yang berstatus gizi overweight juga berada pada tingkat kecukupan energi yang defisit (53.3%). Rata-rata contoh yang berstatus gizi obesitas tingkat kecukupan energi nya defisit dan cukup yaitu masing-masing 45.0%. Berdasarkan uji Pearson tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi contoh.
48
Tabel 17 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi. protein dengan status gizi Status Gizi Variabel
Normal
Overweight
Obesitas
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Defisit (<90%) Cukup (90-119%)
5 0
100.0 0.0
8 7
53.3 46.7
5 5
45.5 45.5
18 12
58.1 38.7
Lebih (≥120%) Total
0
0.0
0
0.0
1
9.1
1
3.2
5
100.0
15
100.0
11
100.0
31
100.0
Tingkat Kecukupan Protein Defisit (<90%)
5
100.0
8
53.3
4
36.4
17
54.8
Cukup (90-119%) Lebih (≥120%)
0 0
0.0 0.0
4 3
26.7 20.0
3 4
27.3 36.4
7 7
22.6 22.6
Total
5
100.0
15
100.0
11
100.0
31
100.0
Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat kecukupan protein seluruh contoh yang berstatus gizi normal berada dalam kategori defisit (100.0%). Sama hal nya dengan contoh yang bersatus gizi overweight sebagian besar tingkat kecukupan proteinnya defisit (53.3%). Pada contoh yang berstatus gizi obesitas tingkat kecukupan proteinnya tersebar dalam kategori defisit (36.4%) dan lebih (36.4%). Berdasarkan uji Pearson, tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan protein dan status gizi contoh. Berdasarkan hasil perhitungan, tingkat kecukupan energi rata-rata contoh masih tergolong defisit namun hampir keseluruhan contoh berstatus gizi lebih. Hal ini diduga karena status gizi seseorang yang sekarang adalah akumulasi kebiasaan makan dari dulu, sehingga konsumsi seseorang hanya pada hari tersebut tidak langsung berpengaruh terhadap status gizi nya. Sukandar (2007) juga menyatakan bahwa pada dasarnya keadaan gizi ditentukan oleh konsumsi pangan dan kemampuan tubuh dalam menggunakan zat gizi tersebut. Contoh pada penelitian ini adalah kelompok lansia yang telah mengalami penurunan di fungsi dan metabolisme tubuh, sehingga penyerapan zat gizi pun tidak optimal lagi untuk mempertahankan berat badan dan keadaan tubuh yang ideal (Wirakusumah 2002). Selain itu, pada penelitian ini recall yang dilakukan adalah 1x24 jam sehingga diduga memberikan hasil yang kurang representatif. Menurut Supariasa et al. (2001) apabila recall hanya dilakukan 1x24 jam maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu.
49
Hubungan Keadaan Sosial Ekonomi dengan Tingkat Stres Tabel 18 menunjukkan bahwa contoh dengan tingkat stres yang rendah banyak yang berusia 55-64 tahun yaitu sebesar 66.7%. Sama halnya dengan contoh dengan tingkat stres yang sedang sebagian besarnya berusia 55-64 tahun yaitu sebesar 53.8%. Contoh dengan tingkat stres yang rendah dan sedang sebagian besarnya mempunyai pendidikan SD yaitu masing-masing 38.9% dan 30.8%. Tabel 18 Sebaran contoh menurut keadaan sosial ekonomi dengan tingkat stres Tingkat Stres Variabel
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
N
%
55-64
12
66.7
7
53.8
0
0.0
19
61.3
≥ 65 Total
6
33.3
6
46.2
0
0.0
12
38.7
18
100.0
13
100.0
0
0.0
31
100.0
Pendidikan Tidak Sekolah
2
11.1
3
23.1
0
0.0
5
16.1
SD SMP
7 1
38.9 5.6
4 0
30.8 0.0
0 0
0.0 0.0
11 1
35.5 3.2
SMA PT
3 5
16.7 27.8
3 3
23.1 23.1
0 0
0.0 0.0
6 8
19.4 25.8
Total
18
100.0
13
100.0
0
0.0
31
100.0
16 2
88.9 11.1
11 2
84.6 15.4
0 0
0.0 0.0
27 4
87.1 12.9
18
100.0
13
100.0
0
0.0
31
100.0
< 500 ribu
8
44.4
5
38.5
0
0.0
13
41.9
500 ribu - 1 juta 1 juta - 3 juta
3 7
16.7 38.9
1 7
7.7 53.8
0 0
0.0 0.0
4 14
12.9 45.2
Total Besar Keluarga (orang) ≤ 4 orang
18
100.0
13
100.0
0
0.0
31
100.0
8
44.4
8
61.5
0
0.0
16
51.6
5 - 7 orang > 7 orang
10 0
55.6 0.0
5 0
38.5 0.0
0 0
0.0 0.0
15 0
48.4 0.0
Total
18
100.0
13
100.0
0
0.0
31
100.0
Usia (tahun)
Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Total Pendapatan
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa contoh dengan tingkat stres yang rendah dan tinggi sebagian besarnya tidak bekerja yaitu masing-masing 88.9% dan 84.6%. Sebagian besar contoh dengan tingkat stres rendah maupun sedang mempunyai rentang pendapatan Rp 1-3 juta.
50
Pada contoh dengan tingkat stres yang rendah banyak yang mempunyai besar keluarga 5-7 orang (55.6%), sedangkan contoh dengan tingkat stres yang sedang banyak yang mempunyai besar keluarga ≤4 orang (61.5%). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991). salah satu faktor penyebab stres (stresor) adalah perubahan suasana yang pesat yaitu usia, pekerjaan, bertambahnya biaya hidup, dll. Namun berdasarkan uji Spearman, tidak terdapat hubungan yang signfikan (p>0.05) antara keadaan sosial ekonomi yang diteliti dengan keadaan stres contoh. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa contoh tidak terlalu mejadikan keadaan sosial ekonominya menjadi masalah yang berarti didalam hidup mereka, hal tersebut yang diduga menyebabkan keadaan sosial ekonomi contoh tidak berpengaruh terhadap tingkat stresnya. Hubungan Tingkat Kecukupan Vitamin A dan Vitamin C dengan Tingkat Stres Berdasarkan tabel 19 dapat dilihat bahwa contoh yang mempunyai tingkat stres yang rendah dan sedang mempunyai tingkat kecukupan vitamin A dalam kategori cukup yaitu masing-masing 77.8% dan 92.3%. Sedangkan pada tingkat kecukupan vitamin C, sebagian besar contoh yang memilik tingkat stres rendah maupun sedang memilik kecukupan dalam kategori kurang yaitu masingmasing 77.8% dan 69.2%. Tabel 19 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dengan tingkat stres Tingkat Stres Variabel
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
N
%
n
%
n
%
n
%
Kurang Cukup
4 14
22,2 77,8
1 12
7,7 92,3
0 0
0,0 0,0
5 26
16,1 83,9
Total
18
100,0
13
100,0
0
0
31
100,0
Kurang Cukup
14 4
77,8 22,2
9 4
69,2 30,8
0 0
0,0 0,0
23 8
74,2 25,8
Total
18
100,0
13
100,0
0
0,0
31
100,0
Vitamin A
Vitamin C
Vitamin A dan vitamin C berfungsi sebagai antioksidan yang penting untuk mencegah degenerasi sel yang dapat mempercepat penuaan dan menjaga tubuh agar tetap sehat. Menurut Martianto (1994) stres yang terjadi dapat mengakibatkan
terjadinya
ketidaseimbangan
tubuh
seperti
terkurasnya
pemakaian zat-zat gizi yang dipergunakan tubuh utuk melawan stres tersebut.
51
Vitamin A dan C khususnya diperlukan tubuh untuk mendukung kerja kelenjar adrenal dalam menghasilkan hormon untuk melawan stress, sehingga konsumsi vitamin sumber antioksidan ini penting untuk ditingkatkan walaupun contoh dalam penelitian ini tidak ada yang mempunyai stres tinggi. Menurut uji Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dengan tingkat stres yang dialami contoh Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Stres Berdasarkan tabel 20 dapat dilihat bahwa separuh contoh dengan tingkat stres yang rendah berstatus gizi overweight (50.0%). sedangkan contoh dengan tingkat stres sedang banyak terdapat pada contoh dengan status gizi overweight dan obesitas masing-masing 46.2%. Tabel 20 Sebaran contoh menurut status gizi dengan tingkat stres Tingkat Stres Variabel
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
N
%
Normal Overweight
4 9
22.2 50.0
1 6
7.7 46.2
0 0
0.0 0.0
5 15
16.1 48.4
Obesitas Total
5
27.8
6
46.2
0
0.0
11
35.5
18
100.0
13
100.0
0
0
31
100
Status Gizi
Berdasarkan uji Spearman terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara status gizi dengan tingkat stres contoh. Alat ukur untuk menggambarkan tingkat stres didasarkan pada adanya keluhan kesehatan yang ditimbulkan akibat stres tersebut. Hal ini diduga karena status gizi dapat mempengaruhi keluhan kesehatan yang sekarang dialami oleh contoh, sehingga status gizi orang tersebut dapat berpengaruh terhadap tingkat stresnya. Selain itu, menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991), faktor yang dapat menyebabkan stres salah satunya adalah harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak dapat menerima keadaan dalam dirinya. Diduga bahwa contoh kurang bisa menerima penampilan fisiknya yang gemuk, sehingga dapat menambah beban pikirannya yang akan menyebabkan stres. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi, Protein, Vitamin A, dan Vitamin C dengan Penyakit Non Infeksi Menurut Astawan & Wahyuni (1989) status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang.
52
Analisis hubungan variabel dengan status kesehatan adalah dengan skor atau banyaknya penyakit non infeksi yang diderita oleh contoh. Hal tersebut terkait dengan penyakit non infeksi dan biasanya bersifat kronis, yang diderita oleh seseorang dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga adanya penyakit non infeksi tersebut dapat menunjukkan status kesehatannya (Smet 1990 diacu dalam Sarafino 1994). Tabel 21 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi dan protein dengan penyakit non infeksi Tidak Sakit
Variabel
Banyaknya Menderita Penyakit Non Infeksi 1 2 3 4 penyakit penyakit penyakit penyakit
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Tk.Energi Defisit Cukup Lebih
1 3 1
20.0 60.0 20.0
5 3 0
62.5 37.5 0.0
5 3 0
62.5 37.5 0.0
6 1 0
85.7 14.3 0.0
1 2 0
33.3 66.7 0.0
18 12 1
58.1 38.7 3.2
Total
5
100.0
8
100.0
8
100.0
7
100.0
3
100.0
31
100.0
Defisit Cukup Lebih
1 1 3
20.0 20.0 60.0
6 1 1
75.0 12.5 12.5
5 1 2
62.5 12.5 25.0
4 3 0
57.1 42.9 0.0
1 1 1
33.3 33.3 33.3
17 7 7
54.8 22.6 22.6
Total
5
100.0
8
100.0
8
100.0
7
100.0
3
100.0
31
100.0
Tk.Protein
Dari tabel 21 dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh yang menderita 1,2, dan 3 macam penyakit memiliki tingkat kecukupan energi yang defisit yaitu masing-masing 62.5%, 62.5%, dan 85.7%. Pada contoh yang tidak sakit dan memiliki 4 macam penyakit sebagian besarnya memilki tingka kecukupan energi dalam kategori cukup. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa contoh dengan 1,2, dan 3 macam penyakit berada dalam kategori tingkat kecukupan protein yang defisit, contoh dengan 4 macam penyakit tersebar rata pada tigkat kecukupan protein defisit, cukup, maupun lebih masing-masing 33.3%. sedangkan contoh yang tidak sakit sebagian besarnya berada ada tingkat kecukupan protein yang lebih (60.0%). Menurut Supariasa et al. (2001) kebiasaan mengkonsumsi makanan yang berlebihan dapat mempengaruhi status giz seseorang yang lebih lanjut dapat berpengaruh pada keadaan kesehatannya. Berdasarkan uji Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan jenis banyaknya penyakit non infeksi yang diderita contoh. Hal ini diduga karena perhitungan tingkat kecukupan energi dan protein yang didapat adalah jumlah asupan contoh dalam
53
1 hari saat di recall, sedangkan penyakit non infeksi yang dimiliki contoh adalah penyakit yang telah lama diderita. Hal tersebut yang diduga menyebabkan tingkat kecukupan energi dan protein tidak berhubungan dengan penyakit non infeksi yang dialami contoh. Tabel 22 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dengan penyakit non infeksi Tidak Sakit
Variabel
Banyaknya Menderita Penyakit Non Infeksi 1 2 3 4 penyakit penyakit penyakit penyakit
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang Cukup
2 3
40,0 60,0
0 8
0,0 100,0
2 6
25,0 75,0
0 7
0,0 100,0
1 2
33,3 66,7
5 26
16,1 83,9
Total
5
100,0
8
100,0
8
100,0
7
100,0
3
100,0
31
100,0
Vitamin C Kurang Cukup Total
4 1
80,0 20,0
7 1
87,5 12,5
5 3
62,5 37,5
5 2
71,4 28,6
2 1
66,7 33,3
23 8
74,2 25,8
5
100,0
8
100,0
8
100,0
7
100,0
3
100,0
31
100,0
Vitamin A
Berdasarkan tabel 22 dapat dilihat bahwa contoh yang tidak sakit, memiliki 1, 2, 3, dan 4 penyakit sebagian besarnya berada pada tingkat kecukupan vitamin A yang kurang. Begitu juga dengan kecukupan vitamin C, sebagian besar contoh yang tidak sakit, memiliki 1, 2, 3, dan 4 penyakit berada pada tingkat kecukupan yang kurang. Harmanto (2006) menyatakan bahwa, konsumsi sayur dan buah penting untuk tubuh karena mengandung berbagai macam vitamin dan mineral yang penting untuk menjaga kesehatan karena mengandung antioksidan untuk mencegah degenerasi sel dan mengandung serat yang baik untuk mencegah terjadinya penyakit degenerative. Namun menurut uji Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dengan banyaknya penyakit non infeksi yang diderita oleh contoh. Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Non Infeksi Dalam penelitian ini. contoh yang tidak sakit sebagian besarnya bersatus gizi overweight (60.0%). Sama hal nya dengan contoh yang mempunyai 1.2. dan 3 penyakit sebagian besarnya juga berstatus gizi overweight. Pada contoh yang mempunyai 4 penyakit. didominasi oleh contoh yang berstatus gizi obesitas.
54
Tabel 23 sebaran contoh menurut status gizi dengan penyakit non infeksi Tidak Sakit
Variabel
Banyaknya Menderita Penyakit Non Infeksi 1 2 3 4 penyakit penyakit penyakit penyakit
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Obesitas
0 3 2
0.0 60.0 40.0
3 4 1
37.5 50.0 12.5
1 4 3
12.5 50.0 37.5
1 3 3
14.3 42.9 42.9
0 1 2
0.0 33.3 66.7
5 15 11
16.1 48.4 35.5
Total
5
100.0
8
100.0
8
100.0
7
100.0
3
100.0
31
100.0
Status Gizi Normal Overweight
Menurut uji Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status gizi dengan banyaknya penyakit non infeksi yang dialami contoh. Hal ini diduga karena memang sebagian besar contoh dalam penelitian ini mempunyai status gizi yang lebih baik yang tidak sakit maupun sakit. Selain itu juga diduga karena kelemahan pengukuran status gizi menggunakan metode antropometri. Menurut Arisman (2004) pengukuran menggunakan antropometri memiliki kelemahan dalam pengukuran sampel yang berusia diatas 55 tahun karena seluruh aspek fisik, biologis, dan mental lansia telah mengalami penurunan disebabkan oleh penurunan metabolisme tubuh dengan adanya faktor usia yang telah lanjut. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok umur lansia tidak dapat disamakan dengan kelompok umur lainnya, dimana untuk mengukur status gizi lansia diperlukan pengukuran dengan metode lain seperti secara klinis atau biokimia. Menurut beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa status gizi berhubungan dengan penyakit yang diderita lansia, namun tidak berhubungan dengan skor/banyaknya penyakit yang diderita. Hubungan Tingkat Stres dengan Penyakit Non Infeksi Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa contoh yang tidak memiliki keluhan penyakit, 1, dan 2 macam keluhan penyakit sebagian besarnya mempunyai tingkat stres yang rendah, sedangkan yang mempunyai 3 dan 4 penyakit memiliki tingkat stres yang sedang. Berdasarkan uji Spearman, terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat stres contoh dengan banyaknya penyakit yang dimilikinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sarafino (1990) diacu dalam Smet (1994) bahwa stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Stres yang dialami oleh seseorang tidak hanya dapat menyebabkan timbulnya keluhan kesehatan, namun juga dapat memperparah keadaan keluhan (penyakit) yang dideitanya. Gunarsa dan Gunarsa (1991) juga
55
menyebutkan bahwa stres pada zaman modern ini disebabkan banyaknya perubahan yang harus dihadapi yang menuntut kemampuan untuk beradaptasi dan penyesuaian yang pesat. Hal ini tidak mudah dilalui oleh setiap orang sehingga usaha, kesulitan, kegagalan dalam mengikuti perubahan dapat menimbulkan beraneka ragam keluhan. Tabel 24 sebaran contoh menurut tingkat stres dengan penyakit non infeksi Tidak Sakit
Variabel
Banyaknya Menderita Penyakit Non Infeksi 1 2 3 4 penyakit penyakit penyakit penyakit
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
4 1 0
80.0 20.0 0.0
6 2 0
75.0 25.0 0.0
5 3 0
62.5 37.5 0.0
3 4 0
42.9 57.1 0.0
0 3 0
0.0 100.0 0.0
18 13 0
58.1 41.9 0.0
5
100.0
8
100.0
8
100.0
7
100.0
3
100.0
31
100.0
Tingkat Stres Rendah Sedang Tinggi Total
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Non Infeksi Faktor yang mempegaruhi status kesehatan diketahui dengan melakukan uji Regresi Linear berganda. Pada penelitian ini faktor yang diduga berpengaruh terhadap status kesehatan adalah tingkat kecukupan energy, status gizi, serta tingkat stres contoh. Persamaan garisnya adalah sebagai berikut: y = 0.18 +0.034x1 + 0.116x2 + 0.004x3 y = Banyaknya penyakit non infeksi x1 = Tingkat Kecukupan Energi (TKE) x2 = Status gizi (IMT) x3 = Tingkat stres Uji Regresi Linear yang dilakukan menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap banyaknya penyakit non infeksi (kronis) contoh adalah tingkat stresnya. Gunarsa dan Gunarsa (1991) menyebutkan bahwa stres pada zaman modern ini disebabkan banyaknya perubahan yang harus dihadapi yang menuntut kemampuan untuk beradaptasi dan penyesuaian yang pesat. Hal ini tidak mudah dilalui oleh setiap orang sehingga usaha, kesulitan, kegagalan dalam mengikuti perubahan dapat menimbulkan beraneka ragam keluhan fisik maupun psikologis. Sarafino (1990) diacu dalam Smet (1994) juga menyebutkan bahwa stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Dari uji regresi linear yang dilakukan didapatkan nilai R2 sebesar 0.37. hal ini berarti bahwa faktor-faktor
56
yang diteliti dapat menjelaskan pengaruh sebesar 37% terhadap penyakit non infeksi yang Astawan & Wahyuni (1989) juga menyebutkan bahwa kesehatan sempurna seringkali sulit dicapai seseorang karena berbagai masalah kehidupan kerapkali menekan kesehatan biologis, fisik, dan mental. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesehatan lansia sangat rentan, disamping karena fungsi organ tubuh yang telah mengalami penurunan dan juga beban hidup yang kerap kali menekan mental.