23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis Senyawa Zn-Dibutilditiokarbamat Senyawa kompleks ditiokarbamat diperoleh dari reaksi antara ion logam Zn dengan senyawa ditiokarbamat. Komponen reaktan senyawa kompleks Zndialkilditokarbamat berdasarkan kajian retro-sintesis terdiri dari senyawa amina sekunder, karbon disulfida, dan ion logam Zn. Komponen reaktan senyawa Zndibutilditiokarbamat adalah dibutilamina dan karbon disulfida untuk membentuk dibutilditiokarbamat dan selanjutnya direaksikan dengan ZnCl2 untuk membentuk senyawa kompleks Zn-dibutilditiokarbamat dengan struktur seperti Gambar 10 dan Gambar 11.
Atom karbon Atom Hidrogen Atom Sulfur Atom Zn Atom Nitrogen
Gambar 10 Struktur Zn-dibutildithiokarbamat inti ganda (Zhang et al. 2003)
Atom karbon Atom Hidrogen Atom Sulfur Atom Zn Atom Nitrogen
Gambar 11 Struktur Zn-dibutilditiokarbamat dengan inti tunggal (Karlin 2005)
24
Senyawa kompleks terbentuk dari interaksi atom pusat sebagai asam Lewis dan ligan sebagai basa Lewis atau interaksi yang didasarkan pada teori HSAB (Hard and soft acid and bases) (Huheey 1978). Logam Zn sebagai atom pusat dan berdasarkan teori HSAB termasuk dalam kelompok “border line”, dan senyawa kompleks yang terbentuk memiliki tingkat stabilitas yang paling besar dibandingkan dengan logam lain dengan bilangan oksidasi 2+ berdasarkan “Irving-Williams Series”. Ligan dari senyawa kompleks Zn-dibutilditiokarbamat adalah dibutilditiokarbamat dengan atom sulfur (S) sebagai sumber basa lunaknya.
Atom
sulfur
dibandingkan
dengan
atom
oksigen
memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi membentuk senyawa kompleks dengan logam transisi termasuk didalamnya Zn (Huheey 1978, dan Messiler & Tarr 1998). Dalam pembentukan senyawa Zn-dibutilditiokarbamat (Gambar 12), dibutilditiokarbamat direaksikan dengan NaOH untuk meningkatkan reaktivitas atom sulfurnya dan mengikat klorida dari ZnCl2. Selain itu, penggunaan suasana basa (NaOH) meningkatkan reaktivitas atom nitrogen dibutilamina. Atom nitrogen dari dibutilamina dalam kondisi basa memiliki elektron bebas yang siap bereaksi, tetapi jika dalam kondisi asam atom nitrogen akan membentuk garam amina sehingga tidak reaktif. Ion logam Na termasuk jenis asam keras dan klorida termasuk jenis basa keras sehingga pembentukan NaCl lebih disukai dari pada pengikatan logam Na oleh atom sulfur. Atom sulfur dalam bentuk ditiokarbamat termasuk jenis basa lunak sehingga akan lebih cenderung melepaskan ion logam Na untuk membentuk senyawa kompleks dengan ion logam Zn.
Gambar 12 Reaksi pembentukan senyawa Zn-dibutilditiokarbamat.
Hasil perhitungan DFT metode BLYP/6-31G* menunjukkan ion Na dan Cl memiliki gap energi dan hardness yang besar sehingga dikategorikan sebagai
25
asam basa keras (Tabel 6). Sedangkan ion Zn dan ditiokarbamat (DTC) memiliki nilai hardness dan gap energi yang rendah sehingga diketogorikan sebagai borderline-soft. Oleh karena itu, pembentukan senyawa Zn-dialkilditiokarbamat cenderung terjadi dengan baik. Produk reaksi antara ZnCl2 (borderline-hard) dan NaDTC (hard-soft) yaitu NaCl (hard-hard) dan Zn-DTC (borderline-soft) memiliki gap energi HOMO asam (Na-LUMO yang lebih rendah dari pada ionion reaktanya).
Gap energi antara HOMO anion DTC dan LUMO ion Zn2+
sebesar 23.63 ev, HOMO ion Cl- dan LUMO ion Na+ sebesar 8.7 ev, serta HOMO ion Cl- dan LUMO ion Zn2+ sebesar 24.13 ev sehingga NaCl lebih cenderung terbentuk dalam reaksi tersebut.
Tabel 6 Nilai Energi hasil perhitungan DFT metode BLYP dengan basis set 6-31G* Energi (ev) Ion/senyawa Gap HOMOHOMO LUMO Hardness Elektronegativitas LUMO ZnCl2 -11.85 -7.63 2.11 9.74 4.22 NaCl -4.93 -2.39 1.27 3.66 2.54 NaDTC -5.25 -1.54 1.855 3.395 3.71 ZnDTC -5.78 -0.75 2.515 3.265 5.03 Dibutilamina -4.37 1.67 3.02 1.35 6.04 CS2 -6.53 -2.5 2.015 4.515 4.03 + Na -36.6 -7.43 14.585 22.015 29.17 2+ Zn -28.86 -22.36 3.25 25.61 6.5 Cl 1.77 16.7 7.465 -9.235 14.93 F6.73 35.39 14.33 -21.06 28.66 OH 6.19 10.63 2.22 -8.41 4.44 NO3 2.03 5.8 1.885 -3.915 3.77 ClO4 -0.29 7.35 3.82 -3.53 7.64 ion DTC 1.27 3.82 1.275 -2.545 2.55 Reaksi pembentukan ditiokarbamat bersifat eksoterm, dari hasil pengamatan diperoleh data kenaikan suhu reaksi pada saat penambahan CS2. Suhu awal dibutilamina sebasar 27oC dan pada saat penambahan CS2 naik sampai mencapai 62oC selama 1 menit, kemudian suhu reaksi turun mencapai suhu kamar. Hasil perhitungan DFT metode B3LYP dengan basis set 6-3G** menunjukkan perubahan entalpi dan energi bebas Gibss bernilai negative (Tabel 7) sehingga reaksi bersifat eksoterm dan berjalan spontan. Demikian juga pada konversi dari
26
dibutiltiokarbamat ke Zn-dibutilditiokarbamat, entalpi dan energi bebas GIbss bernilai negatif yang menigindikasikan reaksi pembentukan bersifat eksoterm dan berjalan spontan. Tabel 7 Perubahan entalpi dan energi bebas Gibbs reaksi pembentukan ditiokarbamat dan Zn-dibutilditiokarbamat SENYAWA Eo (Kj/mol) H o (Kj/mol) G o (Kj/mol) Dibutilamina -974185 CS2 -2176505 Ditiokarbamata -3240406 Perubahan energy Zn-dibutilditiokarbamat Perubahan energy
-973465 -2176474 -3239518 -89578.2 -10997018.06 -10907439.85
-973582 -2176545 -3239688 -89561.6 -10997247.54 -10907685.94
Pembentukan senyawa kompleks dapat dijelaskan melalui teori ikatan valensi, orbital molekul dan teori medan ligan. Berdasarkan teori ikatan valensi, dijabarkan sebagai berikut: 4d
3d
4s
4p
Konfigurasi elektron logam Zn :
Konfigurasi electron ion Zn2+ :
Konfigurasi Zn-ditiokarbamat :
Sumbangan dari ligan (4 atom S)
Orbital ikatan yang terbentuk berupa sp3 sehingga berdasarkan teori ikatan valensi bentuk geometri senyawa kompleks Zn-dibutilditiokarbamat adalah tetrahedral. Berdasarkan Zhang et al (2003) dari hasil analisis kristalografi sinar X menunjukkan bahwa senyawa kompleks Zn-dibutilditiokarbamat memilki struktur tetrahedral. Panjang ikatan hasil analisis kristalografi sinar X antara atom S-C dalam struktur Zn-dibutilditiokarbamat sebesar 0.1704-0.1725 nm. Hasil perhitungan dengan DFT sebasar 1.691-1.692 nm (senyawa mono inti) dan 1.6831.743 nm (senyawa dua inti). Sudut ikatan antara S-C-S sebesar 117.8(5)o berdasarkan hasil kristolografi (Zhang et al 2003) dan hasil perhitungan DFT metode B3LYP dengan basis set 6-31G* sebesar 116.85o. Parameter struktur lain yang mengidentifikasi ligan ditiokarbamat adalah panjang ikatan C-N(R1,R2) berkisar 0.124-0.152 nm (Karlin 2005) dan hasil perhitungan DFT metode BLYP dan B3LYP basis set 6-31G* sebesar 0.1348 nm. Hal ini menunjukkan optimasi
27
geometri dari perhitungan DFT metode B3LYP dengan basis set 6-31G* mendekati hasil percobaan dan struktur yang diusulkan memiliki kesamaan. Sintesis senyawa Zn-dibutilditiokarbamat menghasilkan suatu kristal transparan dengan rendemen 90.01% (perhitungan lengkapnya ada di Lampiran 3). Rendemen yang diperoleh cukup besar dan selama proses sintesis dilakukan pada suhu kamar dibantu dengan pengadukan. Hal ini menunjukkan reaksi secara termodinamika dapat berlangsung secara spontan, walaupun berlangsung selama 8 jam dan untuk membentuk kristal dibutuhkan waktu yang lama sekitar 24 jam (menguapkan pelarutnya secara perlahan sehingga pembentukan kristalnya berjalan dengan baik). Suatu reaksi dinyatakan berlangsung secara spontan jika memiliki energi bebas Gibbs lebih kecil dari nol (G < 0). Hasil perhitungan termodinamika berdasarkan DFT metode B3LYP dengan basis set 6-31G* diperoleh nilai G reaksi pembentukan senyawa Zn-dibutilditiokarbamat lebih kecil dari nol yaitu sebesar -10907685.94 Kj/mol (Table 6). Sintesis senyawa Zn-dibutiladitiokarbamat diawali dari pembentukan ditiokarbamat melalui serangan nukleofilik dari atom nitrogen dibutilamina pada atom karbon dari karbon disulfida. Atom karbon pada karbon disulfida dapat mengalami muatan positif sementara karena adanya tarikan elektron dari kedua atom sulfurnya. Kondisi ini sesuai dengan visualisasi orbital HOMO dari dibutilamina dan CS2 hasil perhitungan DFT menggunakan metode B3LYP dengan basis set 6-31G* dengan perangkat lunak Spartan (Gambar 13). Bentuk orbital dari HOMO dibutilamina simetri dengan orbital LUMO dari CS2, dan sebaliknya orbital LUMO dari dibutilamina tidak simetri dengan orbital HOMO dari CS2 sehingga reaksi terjadi akibat serangan nukleofilik dari dibutilamina melalui atom nitrogennya.
28
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 13 Visualisasi orbital HOMO dan LUMO dari dibutilamina (a), orbital LUMO CS2 (b), orbital LUMO dibutilamina (c), dan orbital HOMO dari CS2 (d) Keterangan: = atom karbon, = atom hidrogen, = atom sulfur Penggunaan HOMO dan LUMO untuk memprediksi tipe reaksi dan bagaimana berlangsungnya reaksi telah dilakukan oleh banyak peneliti misalnya Hehre (2003) mengilustrasikan reaksi sikloadisi Diels-Alder yang terjadi akibat interaksi antara orbital HOMO cis-1,3-butadiena dengan orbital LUMO dari etilena yang simetris (Gambar 14) dan tidak mungkin terjadi interaksi dari orbital HOMO dari etilena dan LUMO etilena lainnya karena tidak adanya simetri.
(a)
(b)
Gambar 14 Ilustrasi reaksi sikloadisi Diels-Alder berdasarkan pendekatan HOMO-LUMO (a) orbital simetris sehingga reaksi terjadi (b) orbital tidak simetris sehingga reaksi tidak terjadi.
29
Henre (2003) mengemukakan bahwa permukaan densitas elektron dapat dijadikan sebagai gambaran dari ukuran dan bentuk keseleruhan molekul. Nilai potensial elektrostatik, merupakan contoh yang dapat menunjukkan densitas elektron, dapat membedakan daerah yang kaya elektron (mengalami serangan elektrofilik) dan yang miskin elektron (mengalami serangan nukleofilik). Visualisasi potensial elektrostatik dari struktur dapat membedakan senyawa yang mudah mengalami serangan elektrolifik atau bereaksi dengan hidrogen, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 15 untuk senyawa trimetilamina, dimetileter, dan metilfluorida. Potensial elektrostatik dibutilamina hasil perhitungan DFT menggunakan metode B3LYP dengan basis set 6-31G* sebesar -83,68 kJ/mol dan divisualisakan pada Gambar 16. Potensial elektrostatik dibutilamina terpusat pada atom nitrogen yang menunjukkan adanya kumpulan elektron (adanya pasangan elektron bebas) dan menjadi pusat serangan elektrofilik dari karbon disulfida.
(a)
(b)
(c)
Gambar 15 Perbedaan potensial elektrostatik (a) dimetilamina, (b) dimetileter (c) metilfluorida 4
2’
2 3
1
1’
4’ 3’
Gambar 16 Potensial elektrostatik dibutilamina hasil perhitungan DFT menggunakan B3LYP dengan basis set 6-31G* Reaktivitas senyawa dapat juga dilihat dari nilai muatan parsialnya seperti dalam Fathalla et al 2001 yang mempelajari muatan parsial Mulliken dari 4Methyl-1-thioxo-1,2,4,5-tetrahydro[1,2,4]triazolo[4,3-a]quinazolin-5-one
untuk
mengidentifikasi regioselektivitas serangan elektrofilik. Muatan parsial Mulliken
30
terbesar pada senyawa dibutilamina terdapat pada atom nitrogen (Tabel 8). Oleh karena itu, serangan elektrofilik sangat mungkin terjadi pada atom nitrogen. Table 8 Muatan parsial dari dibutilamina hasil perhitungan DFT menggunakan metode B3LYP dengan basis set 6-31G* Muatan parsial Atom Mulliken Elektrostatik alamiah N -0.561 -0.718 -0.690 C1 -0.106 0.163 -0.248 C2 -0.258 -0.222 -0.463 C3 -0.250 0.103 -0.455 C4 -0.441 -0.497 -0.672 C1’ -0.106 0.163 -0.248 C2’ -0.258 -0.222 -0.463 C3’ -0.250 0.103 -0.455 C4’ -0.441 -0.497 -0.672
Sintesis Senyawa Zn-Diakilditiokarbamat Rantai Panjang Pola sintesis senyawa kompleks Zn-dibutilditiokarbamat digunakan untuk mensintesis senyawa kompleks Zn-dialkilditiokarbamat dengan alkil rantai panjang. Jenis alkil yang digunakan adalah rantai karbon 16 dan sumber alkil yang digunakan merupakan turunan dari asam lemak palmitat. Pada penelitian ini, bahan baku alkil yang digunakan adalah amina primer dari asam palmitat (heksadesilamina) dan asil klorida dari asam palmitat (palmitoil klorida). Tahapan yang dilakukan untuk membentuk dialkil dalam senyawa kompleks adalah: a. Pembentukan amida sekunder Amida dapat disintesis dengan berbagai cara misalnya mereaksikan halide asam dengan amina primer, ester dengan amina primer, dan anhidrida dengan amina primer. Dalam penelitian ini, amida sekunder rantai panjang disintesis dari amina dan asil klorida mengikuti reaksi Schotten-Baumann. Dalam metode ini, reaksi terjadi dalam suasana basa (NaOH) untuk menggerakkan kesetimbangan ke arah pembentukan amida. Skema pembentukan amida berdasarkan reaksi Schotten-Baumann terlihat pada Gambar 17.
31
o
Amida 2
o
Amida 2
Gambar 17 Skema pembentukan amida berdasarkan reaksi SchottenBaumann
Dalam pembentukan amida pada Gambar 17 menghasilkan ekivalen asam yang dapat bereaksi dengan amina primer yang dapat bereaksi membentuk garam ammonium, yang menyebabkan amina tersebut tidak bereaksi dengan asil kloridanya dan rendemennya akan berkurang. Garam ammonium dapat dikonversi ke dalam bentuk amina bebasnya kembali dengan penambahan basa sehingga dapat bereaksi dengan asil kloridanya. Dalam penelitian ini, NaOH digunakan sebagai sumber basa dan kelebihan NaOH dapat dengan mudah dihilangkan dengan air. Rendemen hasil sintesis amida sekunder dari palmitoilklorida dan palmitat sebesar 97.76%. Sintesis amide menggunakan asilklorida dan amina primer menghasilkan rendemen yang besar karena reaktivitas dari atom karbonil dan gugus pergi yang baik dari klorida. Reaktivitas atom karbon karbonil pada asil klorida lebih besar dibandingkan dalam bentuk anhidridanya. Kondisi ini disebabkan oleh sifat elektronegativitas dari klorida yang besar dan menyebabkan atom karbon memilki kutub positif yang memudahkan serangan nukleofilik dari atom nitrogen amina. Selain itu, klorida merupakan gugus pergi yang baik
32
sehingga pada saat ada serangan nukleofilik terhadap atom karbon, klorida dengan mudah akan lepas dari ikatan karbonil. Kemudahan serangan nukleofilik diharapkan dapat meningkatkan rendemen amida yang disintesis melalui jalur asil klorida. Serangan nukleofilik ini digambarkan dengan hasil perhitungan DFT yang menunjukkan adanya kecocokan simetri orbital HOMO dari atom nitrogen senyawa amina primer dan LUMO dari atom karbon karbonil dari asilklorida (Gambar 18). Serangan nukleofilik dari atom nitrogen juga dapat dilihat dari hasil perhitungan DFT (Gambar 19) yang menunjukkan perubahan posisi dari dua atom hidrogen dari amina dan atom oksigen dan klorida dari senyawa asil pada saat keadaan transisi. Posisi atom-atom tersebut membentuk pola tetrahedral.
(a) LUMO asilklorida
(c) HOMO asilklorida
(d) LUMO amina primer (b) HOMO amina primer Gambar 18 Orbital molekul HOMO-LUMO dari amina primer dan asilklorida hasil perhiungan DFT metode B3LYP dengan basis set 6-31G* Profil energi pembentukan terhadap jarak ikatan hasil perhitungan DFT (Gambar 19) menunjukkan bahwa proses pembentukan amida menggunakan asil klorida dan amina primer bersifat eksoterm, yaitu energi produk lebih rendah dari pada energi reaktan. Mekanisme pembentukan amida sekunder terjadi melalui serangan nukleofilik dari atom nitrogen ke atom karbon karbonil asil klorida. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya muatan elektrostatik atom nitrogen menjadi positif pada kondisi transisi (Gambar 19).
33
Gambar 19 Profil energi pembentukan amida sekunder dari amina primer dan asilklorida ( muatan, energi) b. Pembentukan dipalmitilamina Amina sekunder diperoleh melalui reduksi amida menggunakan reduktor LiAlH4 karena LiAlH4 merupakan reduktor yang kuat dibandingkan dengan reduktor lainnya seperti NaBH4. Pemilihan reduktor sangat penting, karena gugus alkil yang panjang dari amida dapat mengurangi kemampuan reduksi dari reduktor. Rendemen hasil sintesis yang diperoleh sebesar 46.66% dan rendemen yang diperoleh kecil karena adanya pengaruh rantai yang terhadap reaktivitas LiAlH4 dalam mentransfer elektron. Kemampuan reduksi LiAlH4 dijelaskan melalui pendekatan EHOMO dan ELUMO dari amida dan LiAlH4. Reduksi amida menjadi amina melalui serangan nukleofilik atom hidrogen dari LiAlH4 pada karbon karbonil. Elektron dari ikatan C=O bergerak ke atom oksigen untuk menghasilkan zat antara berupa senyawa kompleks logam alkoksida. Logam alkoksida merupakan gugus pergi yang baik dan menghasilkan ion iminium yang sangat reaktif terhadap serangan nukleofilik dari atom hydrogen dari LiAlH4 sehingga terbentuk amina
34
sekunder. Serangan nukleofilik dari atom hidrogen LiAlH4 pada atom karbonil terbukti dengan kesesuaian orbital HOMO dari LiAlH4 dengan orbital LUMO dari amida (Gambar 20). Mekanisme pembentukan amina melalui reduksi amida (Brukner 2002) diperlihatkan pada Gambar 21.
LUMO amida
HOMO amida
LUMO LiAlH4 HOMO LiAlH4 Gambar 20 Orbital HOMO dan LUMO dari LiAlH4 dan amida
Gambar 21 Skema reduksi amida sekunder menjadi amina sekunder
35
c. Pembentukan senyawa Zn-dialkilditiokarbamat Sintesis senyawa Zn-dipalmitilditiokarbamat dilakukan seperti sintesis Zn-dibutilditiokarbamat, dan rendemen yang diperoleh sebesar 66.49%. suatu reaksi terjadi jika memiliki simetri orbital yang sesuai dan tingkat energi HOMO-LUMO yang mirip (Miessler & Tarr 1998). Hasil perhitungan DFT dengan metode BLYP basis set 6-31*G menunjukkan jarak EHOMO ZnCl2 dan EHOMO Na-dialkilditiokarbamat semakin pendek dengan semakin pendeknya rantai alkil dari Na-dialkilditiokarbamat (Gambar 22). Senyawa/ion/unsur yang memiliki tingkat energi HOMO yang lebih besar akan berfungsi sebagai donor elektron, dan sebaliknya. Oleh karena itu, Na-Dialkilditiokarbamat berfungsi sebagai donor elektron (basa Lewis) dan ZnCl2 sebagai penerima elektron (asam Lewis). 0 -1
Energi (ev)
-2 -3 EHOMO
-4
ELUMO
-5 -6 -7 -8
Senyawa
Gambar 22 Profil energi HOMO-LUMO dari ZnCl2 dan Nadialkilditiokarbamat (alkil = C4, C6, C8, C12, dan C16) Dalam kaitannya dengan teori HSAB, gugus ditiokarbamat merupakan basa lunak dan sedangkan ion klorida bersifat basa keras. Kation Na merupakan asam keras dan kation Zn2+ termasuk borderline. Hasil perhitungan DFT terhadap ion-ion dalam reaksi pembentukan Zndialkilditiokarbamat
ditampilkan
pada
Tabel
9
dan
Zn2+
dan
dialkilditiokarbamat memiliki nilai gap EHOMO dan EHOMO yang lebih mirip serta lebih kecil dari ion Na dan klorida. Demikian juga nilai
36
hardness dari Zn dan dialkilditokarbamat memiliki nilai yang mirip serta lebih kecil dari ion Na dan Cl. Hasil perhitungan tersebut memberikan gambaran bahwa ion Na dan klorida bersifat asam basa keras karena memilki nilai hardness dan gap EHOMO-ELUMO yang besar (Miessler & Tarr 1998). Dan ion Zn2+ dan dialkilditiokarbamat akan cenderung mudah bereaksi membentuk senyawa baru, sedangkan ion Na akan lebih cenderung bereaksi dengan ion klorida karena memiliki karakter asambasa keras. Tabel 9 Nilai EHOMO, ELUMO, Gap energi, dan Hardness Hasil perhitungan DFT metode BLYP dengan basis set 6-31G* EHOMO ELUMO Gap Hardness Komponen Ion E (ev) (ev) (ev) (ev) (ev) + Na -4410.16 -36.6 -7.43 29.17 14.585 2+ Zn -48385.4 -28.86 -22.36 6.5 3.25 Cl -12523.4 1.77 16.7 14.93 7.465 Dibutilditiokarbamat -32796.2 -4.44 -1.37 3.07 1.535
Penentuan Struktur a. Senyawa Zn-dibutilditiokarbamat Identifikasi keberhasilan sintesis senyawa Zn-dibutilditiokarbamat dipantau menggunakan FTIR dan HPLC. Hasil pengukuran FTIR menunjukkan adanya perubahan puncak dari spektrum dibutilamina, dibutilditiokarbamat, dan Zn-dibutilditiokarbamat. Puncak penting yang menunjukkan adanya perubahan struktur (Zhang et al. 2003 dan ) adalah puncak serapan 3300 cm-1 (ulur N-H), 1100 cm-1 adanya S-H, 1640-1550 cm1
(tekuk N-H), 1000 cm-1 adanya kompleks S-M. Spektrum hasil pengukuran
dengan FTIR (Lampiran 4) menunjukkan perbedaan antara dibutilamina, dibutiltiokarbamat dan Zn-dibutilditiokarbamat. Hilangnya puncak serapan pada bilangan gelombang 331.78 cm-1 (vibrasi N-H) dan munculnya puncak serapan pada bilangan gelombang 929.69, 956.69 dan 1010.70 cm-1 (vibrasi C-S,S). Berdasarkan hasil perhitungan DFT dan simulasi dalam perangkat lunak Spartan bahwa perbedaan mendasar spektrum Zn-DTC dan Na-DTC serta
37
Dibutilditiokarbamat adalah puncak yang tajam di bilangan gelombang 1100 cm-1. Puncak serapan tunggal dan kuat pada bilangan gelombang ini menunjukkan vibrasi dari C-S,S yang bebas (tidak terkompleks). Spektrum IR
beberapa
senyawa
yang
berkaitan
dengan
pembentukan
Zn-
dialkilditiokarbamat berdasarkan hasil perhitungan DFT dan pengukuran dengan alat FTIR terlampir (Lampiran 4 dan 7). Intensitas pada bilangan gelombang tiap gugus fungsi dari vibrasi molekul merupakan hal yang karakteristik pada suatu molekul. Uji statistik (uji t) terhadap rasio intensitas dan bilangan gelombang dari senyawa Zndibutilditiokarbamat antara hasil pengukuran dan perhitungan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Selain itu, data rasio intensitas terhadap bilangan gelombang menunjukkan sebaran (pola sebaran) yang tidak berbeda (Gambar 23). Pola rasio intensitas dan bilangan gelombang yang memiliki puncak-puncak spesifik antara hasil pemgukuran dan perhitungan memiliki kemiripan sehingga hasil perhitungan dapat digunakan sebagai identifikasi.
Individual Value Plot of (I/bil)exp, (I/bil) DFT 0.16 0.14 0.12
Data
0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 (I/bil)exp
(I/bil) DFT
Gambar 24 Sebaran data rasio intensitas terhadap bilangan gelombang hasil pengukuran FTIR spectrometer dan perhitungan DFT metode B3LYP dengan basis set 6-31G* Identifikasi lain adalah analisis HPLC yang dilakukan untuk memastikan keberhasilan sintesis Zn-dibutilditiokarbamat, waktu retensi yang berbeda menunjukkan senyawa yang berbeda pada kondisi analisis yang
38
sama. Hasil analisis HPLC dengan kolom C18, detektor UV (254 nm) dan eluen metanol:air (95:5) menunjukkan adanya perbedaan waktu retensi antara dibutilamine (tR=4.092 menit) dan Zn-dibutilditiokarbamat hasil pemurnian dengan melarutkannya dalam metanol (tR=6.942 menit) (Gambar 24). Dalam proses pemurnian tersebut, senyawa Zn-dibutilditiokarbamat terlarut dalam pelarut metanol yaitu adanya peak pada tR=6.917 menit (Gambar 25) yang
Detector A (254nm) F0.6MeOH:air/95:5 zn-dibutil 230210
0.14
0.12
4.092
0.10
0.08
0.06
0.04
0.12
0.10
0.08 Volts
Name Retention Time
6.942 (Zn-dibutilditiokarbamat)
Detector A (254nm) F0.6MeOH:air/95:5 dibutylamin 230210c
0.14
(Dibutilamina)
Volts Absorbansi unit (mAu)
menunjukkan adanya senyawa Zn-dibutilditiokarbamat.
0.06
0.04
0.02
0.02
0.00
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minutes
Gambar 24 Kromatogram HPLC senyawa dibutilamina dan Zn-dibutilditiokarbamat 0.7
Detector A (254nm) F1MeOH:ai r/95:5 fase larut meoh zn-butil
Name Retention Time
0.6
0.6
0.5
0.5
3.275
8.417
0.2
7.525
6.917 6.117
5.367
4.133
0.1
3.558
2.467 2.667 2.808
0.2
0.3
4.958
0.3
0.1
0.0
0.0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Minutes
Gambar 25 Kromatogram HPLC fraksi metanol hasil purifikasi senyawa Zndibutilditiokarbamat
10
Volts
0.4
4.525
0.4
3.750 3.992
Volts Absorbansi unit (mAu)
0.7
39
b. Senyawa Zn-dipalmitilditiokarbamat Identifikasi keberhasilan sintesis dilakukan dengan FTIR & HPLC. Nilai puncak serapan pada spektrum FTIR menunjukkan adanya perbedaan dari setiap tahapan reaksi mulai dari amina primer, amida sekunder, amina sekunder dan Zn-dialkilditiokarbamat (Lampiran 5 dan 6). Perbedaan spektrum
FTIR
dari
heksadesilamina,
N-heksaldesilpalmitoilamida,
dipalmitilamina, dan Zn-dipalmitilditiokarbamat diringkas pada Tabel 10. Hasil
analisis
dengan
HPLC
menggunakan
kolom
C18
eluen
methanol:propanol (95:5) dengan detektor UV (254 nm) diperoleh pemisahan yang baik antara dipalmitilamina dan Zn-dipalmitilditiokarbamat. Waktu retensi (tR) 0.500 menit menunjukkan senyawa dipalmitilamina dan tR=0.750 menit menunjukkan senyawa Zn-dipalmitilditiokarbamat (Gambar 26). Table 10 Ringkasan puncak serapan IR dari reaktan sampai produk dalam sintesis Zn-dialkilditiokarbamat Bilangan C16H35N C15H31CONH34C16 C16H33N Zn- dialkil Tipe vibrasi o geombang (amida 2 ) C16 H34 DTC (cm-1) (amina 2o) 3301 Ada Ada Ada Tidak ada N-H 1639-1645 ada Ada Tidak ada Tidak ada N-H & C=O 1544-1555 ada Ada Ada Tidak ada C-H & N-H amina 2o 950-1100 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada C-S,S
40
Detector A (254nm) kolom C 18 Amine 2 Palm Palm+Zn Palm (070110)
Name Retention T ime
0.08
0.06
4.758 4.867
4.133 4.225
3.392
2.142
2.717
0.02
2.533
0.02 2.367
0.04
1.658
0.04
0.00
0.00
-0.02 0.0
-0.02
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Minutes
Gambar 26 Kromatogram dipalmitilamina dan Zn-dipalmitilditiokarbamat Perkiraan Aplikasi Senyawa Kompleks Aktivitas lubricant boundary additive berfungsi mengurangi friksi dan wear dengan menjaga adanya boundary antara dua permukaan yang saling kontak dan membentuk sabun atau kompleks antara senyawa aditif dengan oksida logam. Proses pembentukan lapisan senyawa Zn-dialkilditiokarbamat pada permukaan logam dapat dilihat pada Gambar 26. Proses ini dianalogikan dengan model yang pertama kali diusulkan oleh Marina et al (1998) dan Ohmae N (2005) dalam proses pembentukan lapisan Zn-DialkilDitiofosafat (ZDDP) di permukaan logam (Gambar 27). Mekanisme yang terjadi dalam proses tribokimia merupakan reaksi kimia sehingga dapat dijelaskan melalui pendekatan teori HSAB. System tribokimia yang baik diperoleh pada saat kestabilan reaksi dalam proses dicapai melalui penggunaan additive yang mampu bereaksi dengan asam lunak dan asam keras. Martin et al. (2000) menggunakan pendekatan chemical hardness untuk menjelaskan efek sinergis dari system Mo-ditiokarbamat (antifriksi yang sangat baik, µ=0.05, antiwear yang kurang baik) dan Zn-ditiofosfat (antiwear yang sangat baik, antifriksi kurang baik µ=0.15). Dalam system biner tersebut, Zn-DTP akan bereaksi dengan oksida besi (reaksi asam-basa keras) dalam status sebagai
4.5
5.0
Volts
0.750
0.06
0.500
Volts unit (mAu) Absorbansi
0.08
41
antiwear dan Mo-DTC membentuk MoS2, MoO3, dan karbamat akibat friksi. MoS2 berfungsi sebagai antifriksi melalui pembetukan tribofilm single sheet. Penjelasan kuantitatif terjadinya reaksi kimia dapat diukur menggunakan chemical hardness, elektronegativitas absolute, dan softness (Miessler & Tarr 1998). Ukuran kuantitatif diatas digunakan untuk memprediksi reaktivitas aditif pelumas sebagai antifriksi dan antiwear.
Gambar 27 Reaksi asam-basa tribokimia Zn-Ditiofosfat, proses pembentukan Fe/Zn fosfat yang lambat (reaksi asam basa keras), dan proses pembentukan FeSx yang cepat (reaksi asam basa lunak) (Ohmae N et al 2005) Senyawa Zn-dialkilditiobamat memiliki gugus reaktif seperi Zn, sulfur dan nitrogen. Kajian aktivitas aditif pelumas melalui kimia kuantum didasarkan pada elektronegativitas (Erdemir et al. 2005), chemical hardness (Erdemir et al. 2005), potensial ionisasi (Erdemir et al. 2005), softness, potensial elektrostatik, pembentukan lapis tipis dan degradasi aditif (Anderson 2009, Hipler et al. 2005, dan Monasse & Montmitonnet 2008), dan interaksi antara oksida logam dengan aditif (Adam et al. 2001). Beberapa Zn-dialkilditiokarbamat hasil sintesis memilki nilai parameter reaktivitas berdasarkan perhitungan DFT dengan metode B3LYP menggunakan basis set 6-31G* diperlihatkan pada Tabel 11.
42
Tabel 11 Nilai Chemical hardness, elektronegativitas absolute, dan softness dari Zn-DTC, Zn-DTP dan Mo-DTC yang dihitung berdasarkan DFT B3LYP dengan basis set 6-31G* ElektroneChemical EHOMO ELUMO gativitas Softness No Senyawa Hardness (ev) (ev) absolute (ev) (ev) (ev) 1 Zn-dibutilditiokarbamat -0.62 6.55 3.585 -2.965 0.279 2 Zn-diheksilditiokarbamat -0.61 6.56 3.585 -2.975 0.279 3 Zn-Dioktilditiokarbamat -0.60 6.57 3.585 -2.985 0.279 4 Zn-Didesilditiokarbamat -0.59 6.58 3.585 -2.995 0.279 5 Zn-Dilaurilditiokarbamat -0.59 6.58 3.585 -2.995 0.279 6 Zn-Dipalmitilditiokarbamat -0.12 5.71 2.915 -2.795 0.343 7 Zn-Dioktadesilditiokarbamat -0.12 5.71 2.915 -2.795 0.343 8 Zn-Dioleilpalmitilditiokarbamat -0.61 6.59 3.6 -2.99 0.278 9 Zn-Dioleilstearilditiokarbamat -0.6 6.6 3.6 -3.00 0.277 10 Zn-dibutilditiofosfat -3.38 1.43 2.405 0.975 0.416 11 Zn-diheksilditiofosfat -3.37 1.45 2.41 0.96 0.415 12 Zn-dioktilditiofosfat -3.36 1.46 2.41 0.95 0.415 13 Zn-didesilditiofosfat -3.35 1.46 2.405 0.945 0.416 14 Zn-dilaurilditiofosfat -3.32 1.54 2.43 0.89 0.412 15 Zn-dipalmitilditiofosfat -3.33 1.52 2.425 0.905 0.412 16 Mo-Dibutilditiokarbamat -4.12 3.89 4.005 0.115 0.2497 17 Mo-diheksilditiokarbamat -2.28 3.08 2.83 -0.25 0.353 Senyawa Zn-DTP dan Mo-DTC sudah dikenal sebagai aditif pelumas (antiwear dan antifriksi) yang baik. Mo-DTC merupakan antifriksi yang sangat baik dan lebih baik dibandingkan Zn-DTP. Mo-DTC yang termasuk salah satu superlubricity (Erdemir
& Martin 2007) karena memiliki kemampuan
menurunkan koefisien friksi sampai lebih kecil dari 0.05. Dan dari segi parameter kuantitatif, Mo-DTC dengan panjang rantai yang sama memiliki nilai elektronegativitas yang lebih rendah dibandingkan dengan Zn-DTP. Hal ini menunjukkan nilai elektronegativitas yang semakin rendah akan meningkatkan antivitas anti friksi yang lebih baik (Erdemir et al. 2005) dan berdasarkan Martin et al. (2000) Mo-DTC memiliki aktivitas antifriksi yang lebih baik dari Zn-DTP. Nilai elektronegativitas absolute Zn-DTC lebih rendah dibandingkan Mo-DTC sehingga kemampuan antifriksinya diperkirakan lebih baik dibandingkan MoDTC. Pada Zn-DTC rantai C16 terjadi fenomena nilai elektronegativitas meningkat lagi tetapi nilai hardness yang menurun. Fenomena ini dapat dihubungkan dengan kemampuannya sebagai antiwear dan sekaligus antifriksi
43
yang lebih baik dari lainnya. Selain itu, nilai elektronegativitas Zn-DTC rantai C16 dan C18:1 turun tetapi nilai hardness meningkat lagi. Demikian juga pada Zn-DTC rantai C18 dan C18:1, sehingga adanya rantai tak jenuh menyebabkan peningkatan kemampuan antifriksi tetapi mengurangi kemampuan antiwear-nya. Kemampuan antiwear dari Zn-DTP lebih baik dibandingkan Mo-DTC, hal ini disebabkan gugus fosfat dari Zn-DTP bersifat basa keras dan wear yang terjadi akibat friksi seperti Fe2O3 bersifat asam keras sehingga Zn-DTP dapat menjaga kesetimbangan dari proses tribokimia. Ukuran kuantitatif (dalam hal ini nilai hardness) dari Zn-DTP lebih rendah dibandingkan Mo-DTP dengan panjang rantai alkil yang sama. Oleh karena itu, senyawa dengan nilai hardness yang lebih rendah memiliki kemampuan antiwear yang lebih baik. Nilai hardness Zn-DTC berada diantara Zn-DTP dan Mo-DTC, sehingga senyawa Zn-DTC memiliki kemampuan antifriksi dari Mo-DTC dan kemampuan antiwear dari Zn-DTP. Pengaruh panjang rantai terhadap kemampuan antifriksi juga dilakukan oleh Minami (2009), dan memperlihatkan bahwa panjang rantai dalam kation imidazolium menurunkan koefisien friksi yang berarti senyawa tersebut memiliki kemampuan antifriksi yang lebih baik (Gambar 28). Hasil perhitungan DFT menunjukkan semakin panjang rantai alkil semakin turun nilai hardness dan elektronegativitasnya (Gambar 29).
Gambar 28 Pengaruh panjang rantai dalam kation imidazolium terhadap friksi (Minami 2009)
44
12 10
Energi (ev)
8 6 Hardness Elektronegativitas
4 2 0 C2
C4
C6
C8
Panjang Rantai Alkil
Gambar 29 Pengaruh panjang rantai alkil dari kation imidazolium terhadap nilai hardness & elektronegativitas hasil perhitungan DFT metode B3LYP dengan basis set 6-31G*