25
HASIL DAN PEMBAHASAN Inisiasi L. invasa merupakan suatu genus dan spesies baru dari Ordo Hymenoptera, Famili Eulophidae dan Subfamili Tetastichinae (Mendel et al. 2004) dan masih sedikit informasi yang tersedia mengenai spesies pembuat puru ini. Hama yang diduga berasal dari Queensland, Australia ini telah banyak dilaporkan menyerang dan merusak tanaman eucalyptus di beberapa negara di Timur Tengah, Israel, Sri Lanka, Kenya dan Vietnam.
Selain itu hama ini
diketahui mempunyai tingkat serangan sebesar 30 – 100% dan dilaporkan telah menyebabkan outbreak/ledakan populasi di Gujarat, India.
Lalu lintas media
pembawa baik dalam bentuk bibit maupun hasil tanaman eucalyptus berpotensi terhadap masuknya L. invasa ke Indonesia.
Sejak tahun 2000 spesies ini
tercatat bersifat invasif pada tanaman eucalyptus di dunia. L. invasa pertama kali tercatat ditemukan di Timur Tengah pada tahun 2000.
Dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir persebarannya telah meluas ke lebih dari tiga puluh negara di dunia, namun sampai saat ini belum dilaporkan ditemukan di Indonesia. Area PRA ditentukan di wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan dokumen hasil AROPT milik Badan Karantina Pertanian, belum pernah dilakukan AROPT terhadap L. invasa di Indonesia. Berdasarkan informasi di atas dapat disimpulkan bahwa L. invasa merupakan hama yang dapat menjadi ancaman bagi pertanaman eucalyptus di dunia.
Persebarannya di lebih dari tiga puluh negara di dunia dalam waktu
kurang dari satu dekade berpotensi untuk masuk, menyebar dan menetap di wilayah Indonesia.
Importasi bibit dan hasil tanaman eucalyptus dari negara
yang tidak bebas L. invasa berpotensi menyebabkan introduksi L. invasa ke dalam wilayah Indinesia. Mengingat saat ini tanaman eucalyptus tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, serangan dan tingkat kerusakan L. invasa yang mencapai 100% berpotensi menyebabkan kerusakan pada tanaman eucalyptus di Indonesia. Penilaian Risiko Kategorisasi OPT Serangga pembuat puru L. invasa mempunyai nama umum blue gum chalcid, termasuk dalam filum Arthropoda, Klas Insecta, Ordo Hymenoptera,
26 Famili Eulophidae dan Subfamili Tetrastichinae. Bagian tanaman yang terserang L. invasa antara lain tulang daun, petiol, pucuk, ranting dan batang tanaman eucalyptus muda dan sangat jarang ditemukan menyerang pada batang tanaman eucalyptus dewasa.
Sampai saat ini belum dilaporkan adanya intersepsi L.
invasa di wilayah Indonesia (e-plaq system Barantan), dan belum terdaftar dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.
Penilaian Potensi Masuk
Bentuk Media Pembawa dan Tujuan Pemasukan Media Pembawa. L. invasa diketahui hanya menyerang tanaman dari genus Eucalyptus (Mendel et al. 2004, Mutitu et al. 2008, Thu et al. 2009, APF ISN 2011). Di antara beberapa jenis tanaman inang dari genus Eucalyptus, E. grandis merupakan media pembawa L. invasa yang seringkali dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Bentuk media pembawa yang dimasukkan dapat berupa bibit dan hasil tanaman baik untuk keperluan penanaman maupun sebagai bahan baku industri (Tabel 2). E. grandis diketahui mempunyai tingkat kerentanan tertinggi ke-dua setelah E. camaldulensis (Mutitu et al. 2008).
Kerusakan parah akibat serangan L.
invasa terjadi pada bibit dan tanaman muda, dan tingkat serangan semakin menurun dengan bertambahnya umur tanaman (Mendel et al. 2004, Thu et al. 2009). Pada bibit dan tanaman muda serangan umumnya terjadi hampir pada semua bagian tanaman seperti ranting, tunas, batang, percabangan, petiol, daun dan tulang daun. Sedangkan pada tanaman dewasa L. invasa puru lebih sulit ditemukan (La Salle et al. 2008). Data statistik Badan Karantina Pertanian selama 2 tahun terakhir (Tabel 2) menunjukkan bahwa Eucalyptus spp. yang dilalulintaskan umumnya dalam bentuk hasil tanaman mati yang belum diolah, media pembawa ada yang berasal dari negara tidak bebas L. invasa yaitu Australia, Uruguay, Perancis, Israel, Italia dan Cina. Pemasukan dalam bentuk bibit (tanaman hidup dan kultur jaringan) dilaporkan terjadi sebanyak dua kali pada tahun 2010. Bibit eucalyptus yang dimasukkan berasal dari Jepang dan Australia.
Bentuk tanaman eucalyptus
yang berbeda memiliki potensi risiko yang berbeda terhadap masuknya L. invasa ke wilayah RI.
Pemasukan dalam bentuk bibit dan tanaman hidup memiliki
potensi risiko tinggi terhadap masuknya L. invasa ke Indonesia (skor 3). Benih
27 (biji) dan bibit eucalyptus dalam bentuk kultur jaringan tidak memungkinkan untuk membawa L. invasa sehingga potensi risiko masuknya rendah (1). Sedangkan untuk pemasukan dalam bentuk hasil tanaman mati baik kayu eucalyptus gelondongan maupun kayu olahan, kecil kemungkinan membawa L. invasa. Hal tersebut disebabkan L. invasa jarang sekali menyerang pada tanaman dewasa dan terhadap kayu olahan yang diimpor telah diberi perlakuan pemanasan (kiln dry) terlebih dahulu sehingga potensi risiko terbawa menjadi rendah (skor 1). Frekuensi dan Volume Pemasukan Media Pembawa.
Volume dan
frekuensi pemasukan eucalyptus dalam bentuk hasil tanaman mati pada tahun Tabel 2 Volume dan frekuensi pemasukan bibit dan hasil tanaman Eucalyptus spp. selama dua tahun Komoditas Bibit Eucalyptus grandis
Negara asal
Frek
Vol (m3)
Frek
1
-
-
Jepang
(5.30 kg)
1
-
-
(6.43 kg)
2
Uruguay
5 564.47 129.37 525.56
36 2 6
5 967.68 1 236.99 239.91
43 8 4
Singapura
1 484.79
39
1 806.51
30
Brazil
2 118.99
25
1 171.28
14
Australia
-
-
17.80 119.98
3 1
Italia Kroasia Perancis
-
-
25.00 30.46 31.45
1 1 1
Cina
-
-
47.18
1
Israel
-
-
40.92
1
6 508.68 27.93
2 1
16 359.79
111
Sumber: e-plaq system Barantan
UPT tempat pemasukan - BBKP Soekarno Hatta - BBKP Soekarno Hatta
(1.13 kg)
PNG Jerman T o t a l
Vol (m3)/ (kg)
2011
Australia
T o t a l Eucalyptus spp. (hasil tanaman mati)
2010
-
-
10 735.16
109
1
- BBKP Tj. Priok - BBKP Surabaya - BKP Kelas I Semarang - BKP Kelas II Batam - BBKP Tanjung Priok - BBKP Surabaya - BKP Kelas I Semarang - BBKP Surabaya - BBKP Surabaya - BKP Kelas I Semarang - BBKP Tanjung Priok - BKP Kelas I Semarang - BBKP Surabaya - BBKP Surabaya
28 2010 adalah sebesar 16 359.79 m3 untuk 111 kali pemasukan, dan 10 735.16 m3 dalam 109 kali pada tahun 2011 (Tabel 2). Pemasukan dalam bentuk bibit dilaporkan berasal dari Australia dan Jepang masing-masing hanya terjadi sebanyak satu kali pada tahun 2010. Volume bibit asal Australia sebesar 1.13 kg dan dari Jepang sebesar 5.3 kg. Bibit dan tanaman muda eucalyptus berpotensi lebih besar membawa L. invasa dibanding pemasukan dalam bentuk benih, kultur jaringan dan hasil tanaman mati. Pemasukan bibit eucalyptus ke Indonesia dari negara yang tidak bebas L. invasa (Australia) hanya terjadi satu kali dengan volume yang terbatas, maka potensi masuk L. invasa masuk ke dalam kategori rendah (skor 1). Benih, bibit dalam bentuk kultur jaringan dan hasil tanaman mati juga memiliki potensi masuk yang rendah meskipun volume dan frekuensi pemasukan tinggi, karena L. invasa tidak diketahui dapat menyerang bagian tersebut (skor 1).
Kemungkinan OPT Bertahan Hidup Selama Transportasi dan Lolos dari Deteksi di Tempat Pemasukan.
Menurut Mendel et al. (2004) waktu
perkembangan yang dibutuhkan oleh L. invasa sejak telur diletakkan sampai muncul individu baru dari dalam puru adalah 132.6 hari pada suhu ruang di Israel, 126.2 dan 138.3 hari berturut-turut pada kondisi laboratorium dan lapangan di Iran (Hesami et al. 2006), 72 hari (ICFR 2011) dan 54 – 65 hari di India (Kavitha Kumari et al. 2010). Fase telur, larva dan pupa L. invasa dilalui di dalam jaringan tanaman, sehingga sangat memungkinkan untuk terbawa dan bertahan selama transportasi melalui jalur darat, laut dan udara melalui media pembawa berbentuk bibit maupun material vegetatif tanaman ataupun hasil tanaman hidup yang dipindahkan. Kemungkinan serangga dewasa dapat bertahan selama transportasi lebih kecil dibandingkan fase lainnya. Masa hidup imago yang terhitung singkat yaitu 6.5 hari jika diberi makan dengan madu dan air dan 3 hari tanpa makan (Mendel et al. 2004), dan ukuran tubuh yang relatif kecil menyebabkan L. invasa tidak memungkinkan aktif terbang dalam jarak jauh (APF ISN 2011).
Serangga
dewasa L. invasa tidak bersifat merusak, karena aktivitas betina dewasa hanya memakan nektar pada bunga tanaman inangnya dan meletakkan telur kembali. Ukuran telur sangat kecil, berbentuk bulat, putih dan semi transparan dan sulit dideteksi dengan mata telanjang karena disisipkan di bawah jaringan tanaman (Mutitu et al. 2008). Telur selanjutnya berkembang menjadi larva yang berukuran
29 kecil, tanpa tungkai dan berkembang di dalam puru pada bagian tanaman yang terserang seperti tulang daun, petiol, batang dan ranting tanaman euclayptus muda, serta tanaman eucalyptus di pembibitan. Larva merupakan fase yang merusak karena aktivitas makannya pada jaringan tanaman terserang (Mendel et al. 2004). Larva aman terlindung di dalam puru dalam jangka waktu lebih kurang 4 bulan setelah telur diletakkan, sehingga larva tahan terhadap aplikasi pestisida (Doganlar 2005).
Pupa terbentuk di dalam puru, pada fase ini tidak terjadi
aktivitas makan sehingga tidak bersifat merusak. Siklus hidup L. invasa lebih panjang dari lama perjalanan menggunakan pesawat yaitu mencapai 138 hari. Fase telur, larva dan pupa dilalui di dalam jaringan tanaman memungkinkan OPT untuk bertahan selama transportasi. Pemeriksaan secara visual masih memungkinkan dilakukan apabila bibit atau tanaman
yang
dimasukkan
dan
terserang
L.
invasa
telah
memasuki
perkembangan puru tahap ke-dua sampai ke-lima karena puru telah jelas terbentuk.
Pada tahap awal perkembangan puru belum terbentuk, sehingga
pemeriksaan secara visual tidak efektif dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut
maka untuk pemasukan bibit atau tanaman eucalyptus hidup mempunyai risiko tinggi untuk membawa L. invasa (skor 3). Benih dan kultur jaringan tidak dapat membawa L. invasa maka potensi risiko bertahan selama transportasi rendah (skor 1). Hasil tanaman mati berupa kayu eucalyptus gelondongan dan kayu eucalyptus yang telah diberi perlakuan pemanasan umumnya diangkut menggunakan kapal.
Karena L. invasa diketahui tidak atau sangat jarang
menyerang batang tanaman eucalyptus dewasa, maka faktor lamanya perjalanan, suhu di dalam palka kapal dan kesulitan dalam mendeteksi L. invasa dapat diabaikan, sehingga potensi risiko untuk masuk ke wilayah RI rendah (skor 1).
Kemampuan Invasi. Australia merupakan negara asal L. invasa yang memiliki pertanaman eucalyptus sangat luas.
Australia mengekspor bibit
maupun hasil tanaman eucalyptusnya ke Indonesia. Penyebaran L. invasa telah meluas ke beberapa negara di Asia seperti India, Vietnam, Iran, Thailand, Cina, Kamboja, Israel, Yordania, Irak dan Sri Lanka.
L. invasa menyebabkan
kerusakan parah pada bibit dan tanaman muda E. camaldulensis dan E. urophylla di Vietnam bagian utara, tengah dan tenggara, dan saat ini semakin sulit untuk menemukan bibit tanaman sehat pada perkebunan baru. Serangga ini
30 juga menjadi masalah bagi bibit dan tanaman E. camaldulensis di Thailand dan Cina (Thu et al. 2009). Serangga ini seringkali dilaporkan sebagai spesies invasif yang
bersifat
merusak
dan
menimbulkan
serangan
yang
mengancam
perkebunan eucalyptus di negara di mana mereka masuk. Adanya lalu lintas media pembawa bibit maupun hasil tanaman eucalyptus baik hidup maupun mati memperbesar risiko masuk dan terbawanya L. invasa ke wilayah Indonesia. Data statistik Barantan (Tabel 2) menunjukkan beberapa negara tetangga Indonesia yang diketahui sebagai daerah sebar L. invasa seperti Australia dan Cina mengekspor media pembawa baik berupa bibit maupun hasil tanamannya ke wilayah RI. Lalu lintas manusia dan media pembawa dari negara yang tidak bebas L. invasa juga meningkatkan risiko masuknya hama ini ke dalam wilayah RI, sehingga potensi masuknya menjadi tinggi (skor 3).
Penyebaran OPT. L. invasa pertama kali dilaporkan ditemukan di luar daerah asalnya di Timur Tengah pada tahun 2000 dan selama sepuluh tahun terakhir hama ini diketahui telah menyebar di lebih dari tiga puluh negara di dunia. L. invasa saat ini telah tersebar di sepuluh negara di Asia dan negara tetangga seperti Australia, sehingga mempunyai potensi tinggi untuk masuk ke Indonesia (skor 3) (Tabel 3). Tabel 3 Persebaran L. invasa di dunia Benua Amerika Eropa Afrika
Asia Oceania
Negara (Tahun masuk) Amerika Utara: Florida (2008), Amerika Selatan: Brazil, Argentina, Uruguay Italia (2000), Spanyol (2003), Portugal (2003), Perancis (2005), Turki (2005), Syria, Yunani Uganda (2002), Kenya (2002), Tunisia (2004), Tanzania (2005), Algeria (2006), Afrika Selatan (2007), Ethiopia, Marocco, Mozambique, Zimbabwe India (2001), Vietnam (2002), Iran (2005), Thailand (2006), Cina (2010), Kamboja, Israel, Yordania, Irak, Sri Lanka Australia, New Zealand
Sumber : Aytar 2003, 2006; Mutitu 2003; Mendel et al. 2004; Branco et al. 2005; Kumar et al. 2007; Nyeko et al. 2007; Wiley 2008; Gaskill et al. 2009; Thu et al. 2009; Dhahri et al. 2010;, Karutnaratne et al. 2010.
Cara Hidup dan Kemampuan Bertahan. Betina dewasa L. invasa tidak bersifat merusak dan hidup selama 3 – 6.5 hari untuk meletakkan telur. Fase telur, larva dan pupa terjadi di dalam jaringan tanaman.
Kerusakan pada
jaringan tanaman terjadi karena aktivitas makan larva dan akibat dilepaskannya
31 asam oksalat.
Asam oksalat menyebabkan kanker yang
selanjutnya
berkembang menjadi puru (Mendel et al. 2004). Doganlar (2005) melaporkan bahwa di Turki larva aman terlindung di dalam puru dalam jangka waktu lebih kurang 4 bulan setelah telur diletakkan, sehingga menjadikannya tahan terhadap aplikasi pestisida.
Namun Kavitha Kumari (2009) melaporkan bahwa
penyemprotan insektisida sistemik sejak awal dapat menekan perkembangan telur menjadi larva. Telur, larva dan pupa L. invasa berada di dalam jaringan tanaman sehingga berpotensi sebagai fase bertahan.
Oleh karena sebagian
besar hidupnya dilalui di dalam jaringan tanaman dan larva merusak jaringan tanaman dan media pembawa masih dapat dibebaskan dengan perlakuan maka potensi risiko L. invasa untuk masuk melalui media pembawa tergolong sedang (skor 2).
Penilaian Potensi Menetap Tipe Reproduksi dan Jumlah Individu Awal untuk Perkembangbiakan Populasi.
L.
invasa
dapat
berkembang
biak
secara
aseksual
atau
partenogenesis dengan tipe telitoki. Serangga betina dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi.
Satu individu betina menghasilkan 80 – 100 butir telur.
Tipe
perkembangan telitoki merupakan kelebihan yang dimiliki spesies pembuat puru ini. Mendel et al. (2004) juga melaporkan dalam satu tahun dapat terjadi dua sampai tiga generasi (multivoltinous) secara tumpang tindih di Israel.
Tipe
reproduksi telitoki cukup membutuhkan satu individu saja untuk membangun populasi. Potensi menetap L. invasa akan menjadi tinggi jika OPT ini berhasil masuk ke wilayah Indonesia (skor 3).
Persebaran Tanaman Inang.
L. invasa diketahui hanya menyerang
tanaman dari Famili Myrtaceae, yaitu dari Genus Eucalyptus. Dari total lebih dari 20 spesies eucalyptus yang diketahui dapat menjadi inang bagi L. invasa, terdapat 8 spesies yang sudah tersebar luas di wilayah Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua (Tabel 1). Tanaman eucalyptus merupakan tanaman industri yang tidak tumbuh di sembarang tempat, oleh karena itu meskipun sudah ditemukan hampir di seluruh wilayah RI, namun distribusi di tiap pulau masih terbatas.
Kemampuan
menyerang tanaman dalam satu famili dan daerah sebar yang masih terbatas
32 menyebabkan L. invasa berpotensi menetap di Indonesia dengan kategori risiko sedang (skor 2).
Kesesuaian Lingkungan. Saat ini L. invasa diketahui telah masuk dan berhasil menetap di beberapa negara di Asia yang memiliki iklim yang relatif sama dengan Indonesia yaitu Cina, India, Thailand dan Sri Lanka. Secara umum faktor abiotik mendukung perkembangan L. invasa di Indonesia.
OPT ini
diketahui berkembang baik pada negara beriklim tropis, sedangkan di negara empat musim hama ini melakukan aktivitas setelah periode musim dingin ketika suhu rata-rata maksimum meningkat di atas 20 °C.
Di Kenya dan Uganda
kejadian dan keparahan serangan hama lebih tinggi pada daerah yang lebih panas dan kering dibandingkan pada daerah yang dingin dan basah, di Pretoria tanaman eucalyptus di daerah panas diketahui lebih rentan terhadap serangan L. invasa dibanding daerah yang dingin. Sri Lanka, negara yang memiliki iklim panas sepanjang tahun diketahui dapat memberikan kondisi yang optimal bagi perkembangan serangga ini (Karutnaratne et al. 2010). Mendel et al. (2004) melaporkan bahwa populasi hama dapat berkembang baik pada kisaran suhu yang luas. ICFR (2011) menyatakan bahwa L. invasa memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang beragam. Sampai saat ini belum ada informasi mengenai keberadaan musuh alami L. invasa di Indonesia. Faktor abiotik dan biotik di Indonesia sesuai bagi perkembangan L. invasa, maka potensi menetap masuk ke dalam kategori risiko tinggi (skor 3).
Penilaian Potensi Menyebar Kemampuan Menyebar Segera Setelah Menetap. Sampai saat ini belum diketahui seberapa cepat L. invasa mampu menyebar secara alami. Namun, spesies ini diketahui telah menetap dan menyebar di beberapa negara di Mediterania (Mendel et al. 2004, Doganlar 2005), dan dari utara ke selatan Afrika, Brazil, India dan Asia Tenggara (La Salle et al. 2008) dalam waktu kurang dari satu dekade, dan cara penyebaran yang paling memungkinkan adalah dengan bantuan manusia. L. invasa mampu menyebar secara aktif maupun pasif. Imago berpindah dari satu area ke area lain dengan cara terbang. Ukuran imago yang kecil tidak memungkinkan serangga ini untuk melakukan pergerakan secara aktif dalam jarak jauh, namun dapat menyebar cepat dengan bantuan
33 angin maupun transportasi udara.
Dalam satu dekade terakhir serangga ini
diketahui telah menyebar di banyak negara hampir di seluruh benua. Introduksi L. invasa ke area baru umumnya disebabkan oleh lalu lintas atau pergerakan tanaman maupun material vegetatif tanaman. Pergerakan tersebut tidak luput dari campur tangan manusia, yaitu melalui lalu lintas material tanaman terinfeksi yang di dalamnya mengandung telur, larva maupun pupa L. invasa. Oleh karena itu perlu dihindari perpindahan material tanaman dari area terinfestasi ke area bebas, dan sebelum bibit dipindahkan ke area lain sebaiknya dilakukan pemeriksaan terlebih dulu (ICFR 2011). L. invasa mampu menyebar secara aktif terbang dalam jarak dekat dan pasif melalui perpindahan tanaman inangnya serta tidak diketahui dapat bersifat kontaminan, sehingga masuk kedalam kategori risiko sedang (skor 2).
Ketersediaan Musuh Alami. Spesies yang diketahui berperan sebagai pengendali biologi L. invasa sampai saat ini hanya berasal dari kelompok parasitoid (Tabel 4).
Dari tujuh spesies parasitoid tersebut belum diketahui
keberadaannya di Indonesia. Karena L. invasa merupakan spesies asing asal luar negeri dan belum ada informasi mengenai musuh alaminya di Indonesia maka OPT ini berpotensi tinggi untuk menyebar di Indonesia (skor 3). Tabel 4 Musuh alami L. invasa dan persebarannya Spesies parasitoid Megastigmus sp. (Hymenoptera: Torymidae) Aprostocetus sp. (Hymenoptera: Eulophidae) Aprostocetus gala (Hymenoptera: Eulophidae) Quadrastichus mendeli (Hymenoptera: Eulophidae) Selitrichodes krycery (Hymenoptera: Eulophidae) Parallelaptera sp. (Hymenoptera: Mymaridae) Telenomus sp. (Hymenoptera: Scelionidae)
Daerah sebar
Fase terparasit
Italia, Turki, Israel, India
larva, pupa
Italia, Turki, Israel, India
larva, pupa
India
larva, pupa
Australia (Queensland), Israel Australia (Queensland), Israel India
Larva
India
Larva -
Sumber : Noyes 2007; Kim et al. 2008; La Salle et al. 2008; Protasov et al. 2008; Gupta dan Poorani 2009; Kavitha Kumari 2009.
34 Kesulitan Dilakukan Eradikasi.
Sampai saat ini belum diperoleh
informasi mengenai tindakan yang efektif untuk mengendalikan L. invasa. Pengendalian yang dilakukan antara lain dengan penerapan karantina yang ketat, penggunaan klon bibit yang tahan dan pengendalian biologi menggunakan musuh alami. Pengendalian kultur teknis dilakukan melalui sanitasi lahan, dengan cara monitoring, pemangkasan dan pemusnahan bagian tanaman terserang yang ditemukan di lapangan (untuk tingkat serangan ringan di pembibitan atau pada tanaman muda). Kasus yang terjadi di Karnataka, India L. invasa mampu menghancurkan seluruh tanaman di pembibitan dan tanaman eucalyptus muda bahkan OPT ini menyebabkan outbreak di Gujarat dalam waktu yang relatif singkat. Seluas 25 juta ha pertanaman eucalyptus (80% dari total pertanaman) di India telah terserang L. invasa (Kavitha Kumari 2009). Saat ini L. invasa telah menetap dan menyebar dengan cepat di lebih dari tiga puluh negara di dunia, dan sampai saat ini belum diperoleh informasi mengenai keberhasilan mengenai proses eradikasi terhadap OPT ini. Hal ini menunjukkan bahwa sulit dilakukan eradikasi untuk L. invasa sehingga potensi menyebar tinggi (skor 3).
Penilaian Potensi Menimbulkan Masalah Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Potensi Kerugian yang Ditimbulkan.
Jhala et al. (2010) melaporkan
bahwa berdasarkan hasil survey selama tahun 2008 presentase serangan L. invasa terhadap bibit dan tanaman eucalyptus muda sebesar 13.63 – 100% dan telah menyebabkan outbreak pada bibit eucalyptus di Gujarat, India. Perkiraan kerugian ekonomi dilakukan terhadap data PT Inti Indo Rayon, perusahaan yang bergerak di bidang pulp and paper dari bahan tanaman eucalyptus. Berdasarkan data dari Maturana (2005) tercatat perkiraan rata-rata volume bubur kertas layak panen selama lima tahun terakhir adalah sebesar 536 983.29 ton/tahun, dengan luas
areal
tanam
perkebunan
eucalyptus
sebesar 5 000 ha.
Informasi tingkat kerusakan akibat serangan L. invasa di Kenya mencapai 20% pada pembibitan dan 4% pada tanaman di bawah 5 tahun (KEFRI 2007). Berdasarkan informasi tersebut dapat dihitung perkiraan kerugian yang terjadi di pembibitan dapat mencapai 15 milyar rupiah, sedangkan pada tegakan mencapai 284 milyar rupiah, sehingga total kerugian mencapai 299 milyar rupiah untuk luas area tanam 5 000 ha (lampiran 3). Kerugian yang ditimbulkan akibat serangan OPT ini diperkirakan sebesar 8.3% (skor 3).
35 Potensi Menimbulkan Kehilangan Pasar.
Sejak tahun 1990-an
beberapa spesies Eulophidae menjadi spesies invasif di mana pun serangga ini masuk ke suatu wilayah. L. invasa awalnya tidak dikenal sampai tahun 2000 serangga ini telah menunjukkan kemampuan menyebar alami yang luar biasa di area mana pun serangga ini masuk (Kavitha Kumari 2009).
L. invasa
menyebabkan kerusakan parah pada bibit dan tanaman muda E. camaldulensis dan E. urophylla di Vietnam bagian utara, tengah dan tenggara, dan saat ini semakin sulit untuk menemukan bibit tanaman sehat pada perkebunan baru. Serangga ini juga menjadi masalah pada bibit dan tanaman E. camaldulensis di Thailand dan Cina (Thu et al. 2009). Perkembangan hama yang cukup intensif dapat mengakibatkan terjadinya outbreak pada tanaman eucalyptus, khususnya tanaman muda (TPCP 2005). OPT ini juga dilaporkan menyerang dan merusak 25 juta anakan eucalyptus di area pembibitan 2 indutri kertas dan rayon terbesar di Karnataka, India. Tunas muda pada bibit eucalyptus dan tanaman eucalyptus muda menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi serangga ini. Serangan yang berat dapat merusak seluruh tanaman apabila tidak segera dilakukan tindakan pengendalian (Jacob et al. 2007). Hasil suvey menunjukkan selama tahun 2008 persentase serangan L. invasa terhadap bibit dan tanaman eucalyptus muda mencapai 13.63 – 100% dan menyebabkan outbreak di Gujarat, India (Jhala et al. 2010). L. invasa lebih merusak pada tanaman di pembibitan dan tanaman muda hingga menyebabkan kematian, serangan makin menurun seiring bertambahnya umur tanaman. Sampai saat ini Indonesia masih dapat memenuhi kebutuhan bibit eucalyptus untuk skala nasional dan belum pernah mengekspor bibit eucalyptus ke negara lain. Namun tidak tertutup kemungkinan suatu saat Indonesia akan mengekspor bibit eucalyptus ke negara lain. Apabila L. invasa berhasil masuk, menetap dan menyebar di wilayah Republik Indonesia, maka akan mempersulit Indonesia untuk memasarkan komoditas eucalyptusnya.
Negara pengimpor
akan memperketat persyaratan karantina terhadap eucalyptus yang akan dimasukkan ke negaranya.
Tidak hanya itu, hal tersebut juga dapat
mengakibatkan penolakan terhadap eucalyptus dan produk eucalyptus asal Indonesia. Hasil kayu tanaman eucalyptus umumnya diekspor dalam bentuk bubur kertas. Serangan L. invasa dapat menurunkan produksi kayu eucalyptus namun masih bisa diolah menjadi bubur kertas dan masih dapat dipasarkan.
36 Berdasarkan informasi di atas maka potensi menimbulkan kehilangan pasar masuk ke dalam kategori tinggi (skor 3). Potensi OPT sebagai Vektor Penyakit Tanaman.
Belum diketahui
informasi yang menyatakan bahwa L. invasa adalah vektor dari penyakit tanaman, sehingga tergolong kategori potensi risiko rendah (skor 1). Potensi Menimbulkan Biaya Tambahan Akibat Pengendalian. Sampai saat ini belum diketahui pengendalian yang efektif untuk L. invasa.
Namun
dalam rangka pencegahan, upaya pengendalian dilakukan sejak awal masa tanam, antara lain dengan sanitasi lahan, penggunaan klon resisten, karantina yang ketat, memangkas dan memusnahkan bagian tanaman terserang di pembibitan (jika serangan terbatas). Untuk menghindari kehilangan hasil yang lebih besar maka dilakukan pengendalian kimia dengan aplikasi insektisida sistemik sebanyak 2 kali (Jhala et al. 2010) atau 4 kali (Kavitha Kumari 2009). Pengendalian kimiawi di pembibitan dengan menggunakan insektisida sistemik (Carbofuran 3G 1g/tanaman dan dua kali aplikasi imidaclorpid 0.008% per tanaman) diperkirakan membutuhkan biaya tambahan sebesar lebih dari enam milyar rupiah untuk kebutuhan bibit 5 000 ha (Lampiran 4). Upaya pengendalian dengan cara karantina, penggunaan varietas tahan, kultur teknis dan kimiawi ini berpotensi tinggi menimbulkan biaya tambahan (skor 3). Potensi Menimbulkan Kerusakan Lingkungan. Apabila L. invasa masuk dan menetap di Indonesia, maka spesies asing ini akan menjadi kompetitor bagi OPT lain yang mengambil manfaat dari tanaman eucalyptus.
Belum
diketahuinya musuh alami hama ini tidak dapat diperkirakan penekanan perkembangan OPT oleh musuh alami. Populasi hama ini kemungkinan akan meningkat dan menekan populasi kompetitornya sehingga tidak cukup makanan bagi musuh alami kompetitornya yang selanjutnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di alam.
Upaya pengendalian dengan penggunaan
insektisida juga berdampak negatif bagi lingkungan dan komponen penyusun agroekosistem, sehingga akan menyebabkan hilangnya beberapa komponen agroekosistem yang berdampak akan terjadinya resistensi dan resurgensi hama. Potensi risiko L. invasa untuk menimbulkan kerusakan lingkungan masuk ke dalam kategori risiko sedang (skor 2).
37 Potensi Menimbulkan Masalah Sosial pada Masyarakat.
Serangan L.
invasa mengancam 97% tanaman eucalyptus di Sri Lanka (Karutnaratne 2010) dan menyebabkan outbreak di India pada tahun 2008 (Jhala et al. 2010), sehingga menyebabkan kehilangan hasil hingga gagal panen dan berakibat pada penurunan nilai ekonomi komoditi. Estimasi kehilangan hasil akibat serangan L. invasa untuk luas area tanam 5 000 ha adalah sebesar 8.3% dengan nilai 299 milyar rupiah per tahun. Hal tersebut dapat berimbas pada pengurangan tenaga kerja. Permasalahan ini akan mengganggu kehidupan ekonomi petani, pekerja, karyawan yang bekerja di perkebunan maupun di pabrik bidang industri kertas. Penurunan pendapatan atau hilangnya sumber mata pencaharian juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah anak putus sekolah dan masalah perceraian. Aplikasi pestisida yang kurang tepat dan tidak sesuai anjuran juga dapat menimbulkan
masalah
kesehatan,
seperti
keracunan
bahkan
hingga
menyebabkan kematian. Dampak negatif ini dapat dirasakan oleh orang yang bekerja langsung dengan pestisida maupun masyarakat di sekitar perkebunan. Potensi L. invasa menimbulkan masalah sosial tergolong ke dalam kategori tinggi (skor 3). Ringkasan hasil penilaian potensi risiko masuk, menetap, menyebar dan menimbulkan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial oleh L. invasa terhadap bentuk pemasukan tanaman eucalyptus yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5, 6, 7 dan 8.
Berdasarkan hasil penilaian potensi masuk diketahui bahwa
pemasukan eucalyptus dalam bentuk bibit dan tanaman hidup mempunyai risiko tinggi untuk dapat membawa L. invasa. Sedangkan pemasukan dalam bentuk benih/biji, kultur jaringan dan hasil tanaman mati (kayu gelondongan dan/atau kayu yang telah diberi perlakuan panas) masuk kedalam kategori potensi risiko sedang dalam membawa L. invasa masuk ke dalam wilayah RI (Tabel 5). Tabel 6 menjelaskan hasil penilaian potensi menetap dan menyebar L. invasa di Indonesia tergolong ke dalam potensi risiko tinggi. Tabel 7 menunjukkan bahwa L. invasa dinilai mempunyai potensi yang tinggi untuk menimbulkan dampak di bidang ekonomi, lingkungan dan sosial di Indonesia.
Hasil akhir penilaian
menunjukkan bahwa setiap pemasukan media pembawa eucalyptus baik dalam bentuk benih/biji, kultur jaringan, bibit, tanaman hidup dan hasil tanaman mati mempunyai potensi risiko tinggi untuk dapat masuk, menetap, menyebar dan menimbulkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan (Tabel 8).
38 Tabel 5
Hasil penilaian potensi risiko masuk L. invasa terhadap bentuk pemasukan eucalyptus yang berbeda Hasil penilaian
Parameter yang dinilai
Bentuk media pembawa dan tujuan pemasukan media pembawa Frekuensi dan volume pemasukan media pembawa Bertahan selama transportasi dan lolos deteksi Kemampuan Invasi Penyebaran OPT Cara hidup bertahan Total skor
dan
kemampuan
Kategori potensi risiko masuk
Benih /biji
Kultur jaringan
Bibit/ tanaman hidup
Hasil tanaman mati
1
1
3
1
1
1
1
1
1
1
3
1
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
11
11
15
11
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang
Kategori potensi risiko masuk: Skor: 6 – 9 = rendah; 10 – 13 = sedang; 14 – 18 = tinggi
Tabel 6
Hasil penilaian potensi risiko menetap dan menyebar L. invasa ke Indonesia Parameter yang dinilai
Skor
Potensi menetap • Tipe reproduksi dan jumlah individu awal untuk perkembangan populasi • Distribusi tanaman inang • Kesesuaian lingkungan Total skor Kategori potensi risiko menetap
3 2 3 8 Tinggi
Potensi menyebar • Kemampuan untuk menyebar segera setelah menetap (melalui media pembawa maupun menyebar secara independen) • Ketersediaan musuh alami • Kesulitan dilakukan eradikasi Total skor Kategori potensi risiko menyebar Kategori potensi risiko menetap dan menyebar: Skor: 3 – 4 = rendah; 5 – 6 = sedang; 7 – 9 = tinggi
2 3 3 8 Tinggi
39 Tabel 7 Hasil penilaian potensi L. invasa dalam menimbulkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan Parameter yang dinilai
Skor 3 3 1
• • • •
Potensi kerugian yang ditimbulkan Potensi menimbulkan kehilangan pasar Potensi sebagai vektor bagi penyakit tanaman Potensi menimbulkan biaya tambahan akibat pengendalian Total skor Kategori potensi menimbulkan dampak ekonomi Potensi menimbulkan dampak ekonomi
3 10 Tinggi 3 2
Potensi menimbulkan kerusakan lingkungan
3
Potensi menimbulkan masalah sosial pada masyarakat
8
Total skor
Tinggi
Kategori konsekuensi masuk Kategori potensi menimbulkan dampak ekonomi dan konsekuensi masuk: Skor: 3 – 4 = rendah; 5 – 6 = sedang; 7 – 9 = tinggi
Tabel 8 Ringkasan hasil penilaian potensi risiko L. invasa masuk, menetap, menyebar dan menimbulkan kerugian ekonomi di Indonesia terhadap bentuk pemasukan eucalyptus yang berbeda Potensi risiko yang dinilai
Benih/biji
2 2 -------------------------------------------------------------------------
Potensi masuk Potensi menetap Potensi menyebar Konsekuensi masuk Total skor Kategori tingkat risiko
Bibit/ tanaman hidup
Kultur jaringan
3 3 3
Hasil tanaman mati
3 2 -------------------------------------------------------------------
11
11
12
11
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Kategori penilaian potensi risiko keseluruhan: Skor: 4 – 6 = rendah; 7 – 9 = sedang; 10 – 12 = tinggi
Pengelolaan Risiko Prinsip pengelolaan risiko adalah untuk mencapai tingkat aman yang diperlukan dan dibenarkan dalam mengidentifikasi sejumlah opsi yang selanjutnya
dipilih
sebagai
cara
dalam
mengurangi
mempertimbangkan sumber daya yang ada. Nomor: Tindakan
09/Permentan/OT.140/2/2009 Karantina
Tumbuhan
dengan
Peraturan Menteri Pertanian
tentang
terhadap
risiko
Persyaratan
Pemasukan
dan
Media
Tatacara Pembawa
40 Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina ke dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia
menjelaskan
bahwa
setiap
media
pembawa
yang
dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib memenuhi persyaratan karantina tumbuhan dan dapat dikenakan kewajiban tambahan yang ditetapkan berdasarkan hasil AROPT yang dinilai memiliki potensi besar untuk mengakibatkan terjadinya penyebaran organisme pengganggu tumbuhan. Berdasarkan hasil penilaian risiko diketahui bahwa L. invasa mempunyai potensi risiko tinggi untuk masuk melalui media pembawa khususnya dalam bentuk bibit atau tanaman eucalyptus.
Sesuai dengan Pasal 4 dalam Permentan No.
09/Permentan/OT.140/2/2009, bahwa persyaratan karantina tumbuhan wajib dikenakan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia meliputi: 1. Dilengkapi sertifikat kesehatan tumbuhan dari negara asal dan negara transit; 2. Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; 3. Dilaporkan dan diserahkan kepada Petugas Karantina Tumbuhan di tempat-tempat
pemasukan
untuk
keperluan
tindakan
karantina
tumbuhan. Selain Persyaratan wajib karantina tumbuhan juga dikenakan kewajiban tambahan berupa persyaratan teknis dan/atau kelengkapan dokumen.
Untuk
pemasukan media pembawa dalam bentuk benih/bibit dikenakan persyaratan kelengkapan dokumen berupa Surat Ijin Pemasukan dari Menteri Pertanian sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor:
38/Permentan
/OT.140/8/2006 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih.
Kewajiban
tambahan berupa persyaratan teknis dapat dilakukan di negara asal dan/atau di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Persyaratan teknis yang harus
dilakukan di negara asal antara lain: 1. Media pembawa berasal dari area yang bebas OPTK (pest free area) atau tempat produksi yang bebas dari OPTK (pest free production site); 2. Media pembawa berasal dari produsen yang teregistrasi; 3. Media pembawa diberi perlakuan dengan insektisida sitemik berbahan aktif
imidaclorpid,
thiamethoxam,
carbofuran,
rogor,
atau
monocrothophos; 4. Media pembawa harus bebas dari tanah, kompos dan kotoran lainnya; 5. Volume pemasukan media pembawa dibatasi;
41 6. Media pembawa dikemas sedemikian rupa sehingga menjamin tidak terjadi re-infestasi L. invasa; 7. Dilakukan verifikasi (jika diperlukan). Persyaratan teknis terhadap pemasukan bibit atau tanaman eucalyptus di Indonesia adalah dengan memonitoring bibit atau tanaman eucalyptus yang dimasukkan ke wilayah RI.
Untuk mengurangi risiko masuknya L. invasa ke
Indonesia, bibit eucalyptus yang dimasukkan sebaiknya dalam bentuk benih (true seed) atau kultur jaringan.