29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso Target penelitian dan pengambilan sampel adalah pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional, swalayan yang menjual bakso buatan pabrik dan pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya.
Pengumpulan sampel
dilakukan di 7 kecamatan terpilih di Kabupaten Tangerang dengan total sampel sebanyak 197 sampel . Sebaran jumlah pedagang dan banyaknya sampel bakso yang dikumpulkan dari setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso per kecamatan terpilih. No I
Wilayah/ Kecamatan Wil. Utara : 1.Kec. Teluknaga 2. Kec. Kosambi 3. Kec. Sepatan
Total Sampel
-
15 17 6
1 7
-
19 17 6
20 17 13
3
-
38
8
-
42
50
2 -
1 -
36 22 15
7 -
3 -
38 22 16
48 22 16
2
1
73
7
3
76
86
1
1
44
4
9
48
61
Jumlah III
1
1
44
4
9
48
61
Jumlah I+II+III
6
2
155
19
12
166
197
Wil. Tengah : 1. Kec. Curug 2. Kec. Balaraja 3. Kec. Tigaraksa Jumlah II
III
Banyaknya Sampel B1* B2* C*
1 2
Jumlah I II
Jumlah Pedagang bakso B1* B2* C*
Wil. Selatan : 1.Kec.Pondok Aren
Keterangan : B1* : Pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional B2* : Swalayan C* : Pedagang bakso rumahan (pedagang mie bakso)
Untuk wilayah Utara tidak ada sampel bakso yang diambil dari swalayan dikarenakan di wilayah tersebut tidak ada swalayan yang menjual bakso. Sampel bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan di swalayan diambil dari berbagai merek dan jenis bakso dijual sehingga tidak ada bakso dengan spesifikasi yang sama. Sedangkan bakso buatan rumahan berhasil dikumpulkan 166 sampel dari
30
155 pedagang. Hal tersebut karena beberapa pedagang yang memiliki beberapa kios bakso di
tempat yang berbeda.
Umur bakso buatan rumahan yang
disampling adalah antara 0 – 1 hari (bakso buatan hari itu dan kemarin). Pedagang bakso di Kabupaten Tangerang yang membuat bakso sendiri rata-rata perhari mengghabiskan daging sapi antara 2 kg – 50 kg /pedagang.
Jumlah
butiran bakso yang dihasilkan per kilo daging tergantung kepada ukuran bakso yang dibuat dan jumlah bahan tambahan yang digunakan. Hasil pemerian terhadap sampel bakso yang meliputi sifat fisik dan organoleptik yaitu warna, bau, tekstur, bentuk dan ukuran bakso ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso No
Pemerian
1.
Ukuran
2.
Bentuk
3. 4.
Bau Tekstur
5.
Warna
: Besar Sedang Kecil : Bulat Gepeng : Khas daging rebus : Padat kenyal Padat keras Lembek : Abu-abu Coklat muda Putih Krem Kuning
Jumlah 36 79 82 194 2 196 196 68 57 43 26 2
Ukuran bakso yang disampling dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu bakso ukuran kecil, ukuran sedang dan ukuran besar. Bakso kecil berukuran sebesar kelereng atau lebih besar, bakso sedang berukuran sebesar bola pingpong dan bakso besar berukuran sebesar bola tenis. Besar kecilnya bakso akan berpengaruh terhadap luasnya permukaan bakso yang kontak dengan lingkungan. Semakin kecil ukuran bakso semakin luas permukaannya yang kontak dengan lingkungan sehingga kemungkinan terkontaminasi oleh mikroba lebih besar . Bau bakso dominan bau daging rebus dengan bau lemak sapi serta bau bumbu terutama bawang putih. Tidak ada bau yang menyimpang seperti tengik,
31
asam atau busuk. Hal tersebut disebabkan sampel bakso yang diambil rata-rata berumur 1 hari.
Bau asam dan bau busuk disebabkan oleh kerja bakteri
pembentuk asam dan bakteri proteolitik.
Hasil penelitian Surjana (2001)
menunjukan bahwa mikroba yang tumbuh pada bakso sebagian besar merupakan bakteri asam laktat dan mulai terlihat pada hari ke-0 penyimpanan. Pada bakso kontrol bau asam muncul pada hari ke-2 penyimpanan dan bau busuk muncul pada hari ke-3 penyimpanan, sedangkan pada bakso yang diberi pangawet bau asam baru muncul pada hari ke-5 penyimpanan. Konsistensi dan tekstur bakso sampel adalah kenyal, kesat, tidak lengket dan tidak berlendir. Tekstur bakso yang kenyal, kesat dan kering bisa diperoleh bila ke dalam adonan bakso ditambahkan bahan tambahan makanan seperti Sodium Tripolyphosphate (STTP). Beberapa pembuat bakso masih menggunakan boraks untuk mendapatkan hasil yang sama.
Bakso yang
menunjukkan adanya aktivitas bakteri pembusuk.
lembek dan berlendir
Lendir pada bakso tanpa
pengawet muncul pada hari pertama penympanan, sedangkan tekstur lembek dan mengelupas terjadi pada hari ke-2 (Surjana 2001).
Pemeriksaan Boraks Pemeriksaan kandungan boraks pada bakso
sebanyak 100 sampel yang
terdiri dari 17 sampel bakso buatan pabrik dan 83 sampel bakso buatan rumahan. Bakso yang positif mengandung boraks sebanyak 25 sampel (25%), terdiri dari 3 sampel (3%) bakso buatan pabrik dan 22 sampel (22%) bakso buatan rumahan . Pada Tabel 8 dapat dilihat tingkat kandungan boraks tertinggi yang terdeteksi adalah 4660,40 mg/kg dan terendah sebesar 5,56 mg/kg, dengan rata-rata 806,86 mg/kg dan keduanya. berasal dari bakso buatan rumahan. Jumlah boraks yang dipakai oleh para pedagang tersebut pada umumnya lebih rendah dari dosis boraks yang biasa dipakai oleh pembuat bakso komersial (pabrik bakso) yaitu 0,1 – 0,5 % (1 – 5 gram) per kg adonan, dan jauh lebih rendah dari dosis letal akut bila termakan oleh manusia , yaitu 2-3 gr pada bayi, 5-6 gr pada anak-anak dan 15-20 gr pada dewasa (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004). Sampel yang mengandung boraks di atas 1 gram/kg sebanyak 8 sampel (32%) dan di bawah 1 gram/kg sebanyak 17 sampel (68%). Walaupun dosis boraks yang ada pada sampel bakso
32
lebih rendah dari dosis letal, dari sisi keamanan pangan bakso yang mengandung boraks dalam jumlah banyak maupun sedikit merupakan bahan pangan yang tidak aman untuk dikonsumsi oleh manusia.
Tabel 8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus No.
Kode Sampel
Boraks (mg/kg) 82,68 29,56 11,86 4.660,40 701,61 31,08 57,54 13,84 5,65 18,21 59,75 67,46 6,63 3345,41 1804,56 31,38 1104,80 1046,30 2221,00 1247,41 1212,06 556,31 781,22 964,27 110,41
TPC
Coliform
E.coli
S. aureus
4
1 3,0x10 23 ** <3 < 1,0x10 B 22 2 2,0x105 ** 9 <3 < 1,0x10 B 33 3 6,0x104 <3 <3 < 1,0x10 B 42 4 5,0x105 ** 9 <3 < 1,0x10 C 09 5 4,3x105 ** <3 <3 < 1,0x10 C 12 6 2,1x104 <3 <3 < 1,0x10 C 28 7 6,6x104 4 <3 < 1,0x10 C 47 8 1,1x103 <3 <3 < 1,0x10 C 51 9 TBUD ** 1100 ** <3 < 1,0x10 C 53 10 1,1X105 ** <3 <3 < 1,0x10 C 57 11 1,8X104 <3 <3 < 1,0x10 C 59 12 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10 C 62 13 C 133 5,8X106 ** 9 <3 < 1,0x10 14 C 134 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10 15 C 137 1,9X106 ** <3 <3 >1,0x102 ** 16 C 143 1,1X107 ** 9 <3 < 1,0x10 17 C 151 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10 18 C 154 4,2X103 9 <3 < 1,0x10 19 C 155 TBUD ** <3 <3 < 1,0x10 20 C 161 1,2X105 ** <3 <3 < 1,0x10 21 C 165 TBUD ** > 2400 ** <3 < 1,0x10 22 C 167 4,1X105 ** <3 <3 < 1,0x10 23 C 168 TBUD ** 9 <3 < 1,0x10 24 C 172 TBUD ** 43 ** <3 < 1,0x10 25 C 198 1,7X105 ** 43 ** <3 < 1,0x10 Kode sampel B : Bakso buatan pabrik * Boraks hanya diperiksa pada 100 sampel Kode sampel C : Bakso buatan rumahan ** Diatas nilai SNI yang diperkenankan TBUD : Tidak Bisa Untuk Dihitung
Adanya boraks (asam borat) dalam sampel bakso dengan kadar yang bervariasi bukan berasal dari bahan baku yang digunakan seperti daging sapi, air es atau pati, namun adalah karena senyawa kimia tersebut dengan sengaja ditambahkan pada proses pembuatannya. Meskipun boraks (asam borat) secara luas terdapat di alam seperti pada tanah, batuan, tumbuhan, air laut, air tawar, daging hewan, air susu, udara dan lainnya, namun konsentrasinya relatif kecil. Kandungan asam borat dalam daging hewan adalah 0,05 – 0,6 mg/kg, biji-bijian 1 – 5 mg/kg sayuran hijau 2- 20 mg/kg buah segar 0,3 – 3 mg/kg, kacang > 14 mg/kg berat kering dan legume 25 -50 mg/kg (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004).
33
Kandungan asam borat dalam air minum untuk masyarakat di Kanada adalah 0,1 mg/L atau lebih rendah (Health Canada, 1991). Alasan yang menyebabkan para pembuat bakso menggunakan boraks pada produknya, yaitu untuk mendapatkan produk bakso yang kenyal, tidak lembek, kesat dan lebih tahan lama.
Pengetahuan yang terbatas tentang jenis bahan
tambahan makanan yang diijinkan dan
yang dilarang
mereka menggunakan boraks dalam produknya.
digunakan membuat
Pembuat bakso rumahan
biasanya mendapatkan boraks di tempat penggilingan daging yang juga menyediakan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk membuat bakso seperti bumbu-bumbu, pati, es batu, bahan tambahan makanan, serta mie dan sayuran. Beberapa jenis bahan tambahan yang biasanya disediakan di tempat penggilingan daging dinamakan sesuai dengan kegunaannya, seperti pemutih, pengembang, pengeras, pengenyal, dan sebagainya.
Dengan demikian
mereka tidak
mengetahui bahwa bahan yang mereka gunakan sebagai pengenyal kemungkinan adalah boraks.
Dalam hal ini yang perlu ditingkatkan
adalah pengawasan
terhadap peredaran bahan-bahan kimia yang dilarang tersebut mulai dari tingkat distributor, pedagang pengecer sampai ke pengguna akhir. Ketentuan tentang distribusi dan pengawasan bahan berbahaya ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006. Disamping itu perlu sosialisasi
yang lebih baik lagi kepada para pedagang dan
pelaku usaha
penggilingan daging tentang pemakaian bahan tambahan makanan pengganti boraks seperti STTP dan pengawet makanan seperti Na-karbonat, K-karbonat dan Ca-propionat (Winarno 1997)..
Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba Salah satu tujuan pemakaian boraks adalah untuk mencegah perkembangan mikroorganisme sehingga bakso yang mengandung borak akan lebih tahan lama disimpan. Pada tabel 8 terlihat bahwa bakso yang mengandung boraks ternyata masih mengandung cemaran mikroba yang tinggi seperti TPC, Coliform dan Staphylococcus aureus. Untuk melihat apakah keberadaan boraks dalam sampel bakso berpengaruh nyata terhadap cemaran mikroba, maka dilakukan uji Chi Square (χ2) pada tingkat kepercayaan 95%.
34
Tabel 9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap TPC _________________________________________________________ Faktor
≤105
Total Plate Count (TPC) . % >105 %
χ2
P
0,039
0,844
.
Boraks : - Positif
8
25,0
18
26,9
- Negatif 24 75,0 49 73,1 _______________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)
Tabel 10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform _________________________________________________________ Faktor
≤10
Coliform % >10
%
χ2
P .
21,1
0,864
0,352
Boraks : - Positif
18
29,5
8
- Negatif 43 70,5 30 78,9 _____________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)
Tabel 11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan Staphylococcus aureus _________________________________________________________ Faktor
≤102
Staphylococcus aureus % >102 %
χ2
P
3,007
0,083
.
Boraks : - Positif
24
30,0
2
0,5
- Negatif
56
70,0
17
89,5
_________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)
Hasil uji Chi Square pada tabel 9, 10 dan 11 menunjukkan bahwa boraks pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata terhadap TPC, jumlah Coliform dan Staphylococcus aureus (P > 0,05). Tujuan penambahan boraks ke dalam adonan bakso antara lain sebagai antimikroba sehingga diharapkan akan menekan perkembangbiakannya dan dapat memperpanjang masa simpan bakso pada suhu kamar.
Dari tabel di atas, sampel yang mengandung boraks dan cemaran
mikrobanya di bawah SNI 01-3818-1995 Coliform dan 30% untuk Staphylococcus
hanya 25% untuk TPC, 29,5% untuk aureus, sedangkan yang cemaran
35
mikroba di atas SNI adalah 26,6% untuk TPC, 21,1% untuk Coliform dan 10,5% untuk Staphylococcus aureus. Hal tersebut mungkin disebabkan jumlah boraks yang diberikan terlalu sedikit sehingga tidak mampu menghambat perkembangan mikroorganisme. Boraks bila dilarutkan dalam air akan menjadi asam borat, suatu senyawa asam lemah yang mempunyai kemampuan sebagai antiseptika. Boraks dan asam borat bukan merupakan bahan tambahan makanan yang diizinkan sehingga dosis pemakaiannya sebagai pengawet pada makanan tidak diketahui. Asam borat sebagai antiseptika yang sering digunakan sebagai obat pencuci mata (boorwater) adalah larutan asam borat 3%, sedangkan talcum powder mengandung 5% boron. Mekanisme kerja boraks atau asam borat sebagai pengawet adalah karena asam akan menurunkan pH sel bakteri, sehingga untuk tetap mempertahan pH konstan dalam sel, bakteri diperlukan energi yang banyak, akibatnya energi yang tersedia untuk sintesa komponen-komponen sel berkurang, oleh karena itu pertumbuhan sel menjadi sangat lambat, bahkan berhenti sama sekali pada pH yang sangat rendah.
Pada kecepatan pertumbuhan yang sangat lambat maka
persediaan energi untuk mempertahankan hidup sangat terbatas, akibatnya sel-sel menjadi mati karena reaksi-reaksi pengasaman di dalam sel (Fardiaz 1992).
Cemaran Mikroba Cemaran mikroba pada makanan dapat berasal dari kontaminasi primer, yaitu
bahan baku pangan tersebut sebelum dipanen atau disembelih,
dan pencemaran dari luar (kontaminasi sekunder). Sumber pencemaran antara lain hewan, tanaman, tanah, air, udara, manusia, limbah dan peralatan (Sanjaya
et al.
2007).
Bakso daging adalah bahan pangan
yang telah
mengalami proses perebusan sebelum dijual atau digunakan. Selayaknya bakso mengandung cemaran mikroba yang relatif rendah karena sebagian besar mikroba mesofilik yang berasal dari bahan mentah tersebut telah mati pada proses perebusan. Daging sapi sebagai bahan baku pembuatan bakso setelah 5 jam pemotongan memiliki nilai TPC 1,9 x 108 dan setelah diolah dan direbus menjadi bakso nilai TPC-nya sebesar 4,1 x 102 (Surjana
2001).
Lamanya proses
perebusan butiran adonan bakso pada pedagang bakso sektor informal di Kota
36
Bogor berlangsung 2 tahap, yaitu tahap pertama direbus dalam air panas dan tahap kedua direbus dalam air tawas. Lama perebusan selama 15 – 25 (Anindita 2003). Hasil pemeriksaan cemaran mikroba pada sampel bakso yang meliputi TPC, cemaran Coliform, cemaran E. coli, cemaran Samonella sp dan cemaran Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 12. Total Plate Count sampel bakso 67,5% diatas SNI, bakteri Coliform 40,8% di atas SNI dan Staphylococcus aureus 25% di atas SNI, sedangkan E. coli dan Salmonella sp 0% di atas SNI.
Tabel 12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan. Jenis Sampel Bakso
Jml smpl
1.
Bakso buatan rumahan (C)
166
TPC (>1x105) Jml % 114 68,7
2.
Bakso buatan pabrik di pasar tradisional (B1 )
19
11
57,9
2
10,5
6
31,6
0
0,0
0
0,0
12
8
66,6
3
27,3
3
27,3
0
0,0
0
0,0
197
133
67,5
80
40,8
49
25,0
0
0,0
0
0,0
No.
3. Bakso buatan pabrik di pasar swalayan (B2 ) Jumlah
Coliform (>1x101) Jml % 75 44,2
S.aureus (>1x102) Jml % 40 24,1
E. coli ( >3 ) Jml % 0 0,0
Salmonella ( positif) Jml % 0 0,0
Tingginya TPC pada B 1 , B 2 maupun C merupakan gambaran tingginya populasi
mikroorganisme
aerobik
mesofilik
pada
sampel
Mikroorganisme mesofilik akan mati pada proses perebusan
tersebut.
bakso pada air
mendidih. Keberadaan mikroorganisme dalam bahan pangan berkaitan dengan keberadaan mikroorganisme tersebut pada bahan mentah, atau berkaitan dengan penanganan
yang tidak higienis pada waktu pengolahan, penyimpanan dan
distribusi, atau dapat pula berkaitan dengan daya tahan mikroorganisme selama proses pengolahan dan penyimpanan (Lukman 2004). Pada bakso yang telah mengalami proses perebusan,
cemaran mikroba bukan
berasal dari
mentah, melainkan berasal dari kontaminasi setelah bakso matang, kontaminasi dari tangan, pakaian, wadah tempat penyimpanan,
bahan seperti
udara, debu,
sayuran, kemasan pembungkus, botol minuman dan sebagainya. Untuk mencegah
37
kontaminasi dan perkembangan mikoorganisme pada bakso setelah perebusan adalah dengan menerapkan sanitasi dan higiene pada proses pengemasan, penyimpanan , distribusi dan penjualan dan
penerapan sistem rantai dingin
selama distribusi dan penyimpanan. TPC pada bakso di swalayan lebih tinggi dibandingkan dengan bakso dari pasar tradisional antara lain karena di swalayan
bakso disimpan dalam waktu
yang cukup lama pada temperatur tempat penyimpanan yang dingin tetapi tidak beku (± 10 0C). Pada temperatur dingin mikroorganisme mesofilik menjadi tidak aktif atau dihambat pertumbuhannya. Disamping itu show case yang terbuka dimana pembeli mengambil sendiri baksonya dapat menambah kontaminasi dari tangan pemberi dan lingkungan sekitarnya. umumnya
Bakso di pasar tradisional pada
habis terjual dalam waktu satu hari, sehingga walaupun tingkat
kontaminasinya lebih tinggi tetapi mikroorganisme belum berkembang terlalu banyak
Pertumbuhan mikroorganisme berbanding lurus dengan pertambahan
waktu. Pada kondisi ideal satu sel bakteri akan tumbuh menjadi 2 sel setiap 15 30 menit. Nilai TPC pada sampel bakso yang bervariasi mungkin dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran bakso.
Nilai TPC bakso ukuran kecil 63,4% diatas SNI,
bakso ukuran sedang 77,2% di atas SNI dan bakso ukuran besar 58,8% di atas SNI (Tabel 13). Perentase bakso ukuran kecil dan sedang yang memiliki nilai TPC di atas SNI, lebih tinggi dibandingkan dengan persentase bakso berukuran besar. Hal tersebut karena sampel bakso kecil dan bakso sedang yang akan diuji per berat sampel yang ditentukan, diambil dalam bentuk butiran utuh tanpa pemotongan, sedangkan sampel bakso ukuran besar harus mengalami pemotongan untuk mendapatkan berat yang ditentukan. Besar kecilnya bakso berpengaruh terhadap luas permukaan bakso yang kontak dengan lingkungan. Semakin kecil bakso semakin luas permukaannya yang kontak dengan lingkungan sehingga semakin tinggi kemungkinannya mengalami kontaminasi. Sampel bakso ukuran kecil dan sedang memiliki luas permukaan yang kontak dengan lingkungan (yang terkontaminasi) yang lebih besar sehingga nilai TPC-nya lebih tinggi dibandingkan dengan bakso berukuran besar.
38
Tabel 13. Nilai Total Plate Count (TPC) bakso berdasarkan ukurannya Persentase (%)
82
TPC >1x105 (sampel ) 52
Sedang
79
61
77,2
Besar
36
21
58,8
No
Ukuran Bakso
1.
Kecil
2. 3.
Bakteri Coliform menunjukkan bahwa
Jumlah sampel
pada bakso buatan rumahan kontaminasi
63,4
yang cukup tinggi
dapat berasal dari manusia dan dari
lingkungan.
Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia
dan hewan.
Selain itu ditemukan juga di tanah, air dan tumbuhan yang
terkontaminasi oleh feses. Bakso buatan rumahan terkontaminasi Coliform dari debu atau bahan mentah seperti sayuran karena pada umumnya disimpan pada tempat terbuka dan bercampur dengan bahan lain. Persentase Staphylococcus aureus terbesar terdapat pada bakso pabrik yang dijual di pasar tradisional. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya intensitas kontak bakso dengan kulit atau tangan penjual dan pembeli yang tidak bersih, karena di pasar tradisional bakso diambil langsung menggunakan tangan telanjang.
S. aureus hidup secara
komensal pada kulit, rambut, rongga hidung dan tenggorokan pada lebih dari 50% orang sehat (Whitt et al. 2002).
Penyebab lainnya adalah lingkungan
pasar yang tidak bersih dan tempat berjualan yang terbuka dan bersatu dengan komoditi lainnya. S. aureus berpotensi menghasilkan toksin pada makanan yang dapat menyebabkan keracunan (food poisoning).
Pengolah makanan dapat
menjadi sumber kontaminasi pada kasus keracunan makanan oleh S. aureus (Carmo et al. 2003). Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba Hasil pemeriksaan cemaran mikroba seperti yang ditampilkan Tabel 12 di atas
mengindikasikan bahwa bakso sangat rawan tehadap kontaminasi oleh
mikroorgnisme.
Kesalahan dalam penanganan pada pra produksi, pada saat
produksi dan pasca produksi memberikan andil terhadap tingkat kontaminasi tersebut. Aspek yang harus diperhatikan dalam setiap tahapan produksi tersebut
39
adalah penerapan
faktor-faktor sanitasi dan higiene untuk menjamin bahan
pangan tersebut aman sejak dari pra produksi sampai dikonsumsi oleh manusia (safe from farm to table). Penerapan faktor sanitasi dan higiene pada pedagang bakso rumahan sejak dari proses produksi sampai pasca produksi diuji asosiasinya terhadap cemaran mikroba yaitu terhadap TPC dan Coliform (Tabel 14).
Tabel 14. Uji Chi Square hubungan penanganan higiene dan sanitasi terhadap TPC pada pembuatan bakso rumahan. __________________________________________________________________ Faktor
≤105
1. Pencucian bahan baku a. Ya 23 b. Tidak 18 2. Baso didinginkan a. Ya 39 b. Tidak 2 3. Disimpan pada wadah tertutup a. Ya 14 b. Tidak 27 4. Disimpan pd lemari es a. Ya 15 b. Tidak 25 5. Penyimpanan terpisah a. Ya 25 b. Tidak 16
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.
TPC % >105
. %
χ2
P
.
22,3 40,9
80 26
77,7 59,1
6,921*
0.021
28,5 20,0
98 8
71,5 80,0
0,332
0,564
25,0 29,7
42 64
75,0 70,3
0,376
0,540
19,2 36,8
63 43
80,8 63,2
5,615*
0,018
61,0 15,1
16 90
39,0 30,945* 0,000 84,9___________________
Pada tabel 14 terlihat bahwa pencucian bahan baku, penyimpanan pada suhu dingin dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap total cemaran mikroba (TPC). Jumlah mikroorganisme pada produk akhir
ditentukan oleh jumlah mikrooorganisme awal (bahan baku). Proses
pencucian
bahan baku daging
bertujuan untuk mengurangi
jumlah
mikroorganisme awal. Daging hewan setelah proses pemotongan mengandung bakteri mesofilik aerobik 103-105/cm2 dan bakteri Enterobacteriaceae (E.coli) < 10/cm2. (Grau
1986) dan pencucian dengan air bersih akan mengurangi
kontaminan tersebut. Penggunaan air pencuci yang tidak layak atau kotor akan meningkatkan cemaran mikroba sehingga total mikroorganisme awal semakin banyak.
Jumlah sel mikroorganisme yang tinggi akan meningkatkan
40
ketahanannya terhadap panas pada proses perebusan. Diduga bahwa mekanisme perlindungan sel terhadap panas di dalam suatu populasi sel yang tinggi disebabkan karena sel memproduksi komponen pelindung, diantaranya protein yang diketahui mempunyai sifat pelindung terhadap panas (Fardiaz 1992). Penyimpanan pada lemari es berpengaruh nyata terhadap TPC, dimana bakso yang disimpan pada lemari es TPC-nya tinggi (80,8%). dimungkinkan bila suhu lemari es lebih tinggi dar 4oC.
Hal tersebut
Suhu adalah faktor
ekstrinsik terpenting yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Pada suhu rendah mikroba tidak mati, tapi dihambat pertumbuhannya. Penyimpanan bahan makanan pada suhu dingin (tidak beku) akan mengawetkan mikroba yang telah ada pada bahan makanan tersebut sebelumnya. Suhu lemari es yang baik adalah antara 0oC – 4oC, dimana pada suhu tersebut mikroba tidak tumbuh tetapi masih tetap hidup.
Suhu lebih tinggi dari 4oC sampai 60oC
merupakan zona yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri sehingga makanan tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam pada suhu tersebut. Kondisi tersebut dapat lebih buruk lagi bila penyimpanan dalam lemari es tersebut dicampur dengan bahan-bahan lain seperti sayuran mentah, minuman botol dan sebagainya yang dapat menyebabkan kontaminasi silang. Tabel 15. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap cemaran Coliform pada pembuatan bakso rumahan. _______________________________________________________________ Faktor
≤10
1. Pencucian bahan baku a. Ya 55 b. Tidak 23 2. Baso didinginkan a. Ya 75 b. Tidak 3 3. Disimpan pada wadah tetutup a. Ya 22 b. Tidak 27 4 Disimpan pd suhu dingin a. Ya 38 b. Tidak 39 5. Penyimpanan terpisah a. Ya 32 b. Tidak 46
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.
%
Colifom >10
. %
χ2
P .
53,4 52,3
48 21
46,6 47,7
0,016
0,900
54,7 30,0
62 7
45,3 70,0
2,291
0,130
39,3 29,7
34 64
60,7 70,3
6,892*
0,009
48,7 57,4
40 29
51,3 42,6
1,087
0,297
78,0 43,4
9 60
22,0 14,254* 0,000 56,6__________________
41
Pada tabel 15 terlihat bahwa penyimpanan pada wadah tertutup dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap Coliform. Bakso yang disimpan pada tempat terbuka mengandung Coliform yang tinggi. Hal tersebut mudah dimengerti karena bakso yang disimpan pada wadah atau tempat terbuka mudah terkontaminasi mikroba dari debu, udara, atau bahan lainnya. Penyimpanan produk pangan jadi atau matang yang tidak dipisahkan dengan bahan lain, terutama bahan mentah, seperti sayuran, daging mentah dan ikan mentah, beresiko terjadi kontaminasi oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan mentah tersebut.
Bakteri Coliform banyak terdapat pada bahan mentah
terutama yang tidak dicuci dengan baik dengan air yang bersih. Kasus food borne disease yang disebabkan oleh mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi pada saat penyimpanan telah sering dilaporkan.
Untuk mencegah hal tersebut
dianjurkan untuk menyimpan makanan jadi dalam wadah tertutup dan terpisah dalam lemari pendingin.
Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) Penerapan Good
Manufacturing Practice (GMP) atau Good
Hygienic
Practice (GHP) pada pembuatan, penjualan , penyimpanan dan penyediaan bakso di Kabupaten Tangerang secara umum nampaknya belum dilaksanakan oleh para produsen , pedagang dan konsumen. Pada tingkat pedagang eceran di pasar tradisional terlihat bahwa penanganan bakso yang dijual tidak memperhatikan aspek higiene dan sanitasi, seperti tempat berjualan yang bercampur dengan komoditi lain, tempat penyimpanan terbuka dan tidak dingin, mengambil bakso dengan tangan telanjang, pembeli ikut memegang produk serta pedagang tidak menggunakan pakaian yang khusus.
Pada pedagang mie bakso penerapan
higiene dan sanitasi juga belum dilaksanakan dengan baik.. Penyimpanan bakso di gerobag atau pada keranjang terbuka dan bercampur dengan bahan lain seperti sayuran dan mangkok bakso, penggunaan kuah bakso yang tidak mendidih, air pencuci mangkok tidak mengalir serta penggunaan bahan tambahan berbahaya seperti boraks merupakan gambaran belum dilaksanakannya GMP
42
Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Higiene personal merupakan bagian yang penting karena manusia adalah reservoar juga vektor bagi mikroorganisme dan dapat menjadi sumber kontaminasi bagi produk pangan. Pada suatu usaha/ industri pengolahan pangan pengertian personal bukan hanya orang yang bekerja di bagian produksi saja, tetapi juga mencakup semua orang yang berada di tempat tersebut termasuk manager, mekanik dan pengunjung, sehingga aturan higiene personal harus diterapkan pada setiap orang (Holah et al. 2003). Penjamah makanan (food handler) harus bertanggung jawab terhadap kesehatan pribadinya dan kebersihan dirinya sedang perusahaan (manajer) harus bertanggungjawab agar masyarakat terhindar dari praktek yang tidak higienis yang dapat menyebabkan penyakit masyarakat. Higiene personal merupakan suatu tahapan dasar yang harus dilaksanakan untuk menjamin produksi makanan yang aman. Higiene personal yang harus diterapkan pada tempat pembuatan dan penjualan bakso adalah kebiasaan menjaga kebersihan diri dan berperilaku dan bekerja sesuai peraturan, yaitu: 1.
Pegawai yang sakit atau yang diduga sakit atau yang baru sembuh dari sakit menular tidak diperbolehkan menangani langsung pangan.
2.
Pegawai yang menangani makanan harus menjaga kebersihan diri (mandi, mencuci rambut).
3.
Memakai pakaian kerja, penutup rambut, masker, alas kaki yang bersih.
4.
Selama bekerja kerja, tangan harus dicuci setelah menggunakan toilet, menangani sampah atau bahan-bahan yang kotor, menangani bahan mentah, memegang uang, merokok, batuk atau bersin.
5.
Bila mempunyai luka harus ditutup dengan plester yang kedap air.
6.
Kuku tangan harus senantiasa pendek dan bersih.
7.
Selama menangani bahan pangan, pekerja harus meninggalkan kebiasaan yang dapat mencemari bahan pangan seperti meludah, merokok, menggigit kuku, menyentuh hidung, wajah, mulut, telinga, rambut serta batuk dan bersin di depan makanan.
43
Tempat pembuatan, penjualan dan penyimpanan bakso di pasar dan di pedagang mie bakso harus selalu dalam kondisi bersih, bebas bau, debu dan asap, tidak dekat tempat sampah, lantai bersih, kering dan tidak becek, penerangan memadai, sistem drainase baik dan tidak ada hama (lalat, kecoa, semut, tikus, kucing). Bahan baku bakso harus aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), air bersih dan layak minum serta bahan tambahan makanan (BTM) yang diperkenankan. Sarana dan peralatan untuk pembuatan bakso harus mudah dibersihkan dan disanitasi, bahan kuat, tidak korosif dan tidak toksik. Tempat penjualan dan penyimpanan bakso juga harus bersih, tidak untuk menyimpan bahan mentah dan barang lainnya dan harus bersuhu dingin atau beku. Sarana transportasi dari pasar ke rumah harus pada bersuhu dingin, bersih, tidak beracun dan tertutup. Kemasan yang dipergunakan harus bersih, baru dan tidak mengandung bahan beracun berbahaya. Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, maka setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, karena hal tersebut merupakan dasar bagi terciptanya mutu dan keamanan pangan asal hewan.
Higiene dan sanitasi adalah bagian penting dari sistem keamanan
pangan terpadu dengan kaitan yang erat kepada pelaksanaan peraturan, HACCP, GMP dan pengedalian hama. Higiene dan sanitasi adalah syarat mutlak untuk HACCP dan ditujukan untuk mengurangi bahaya-bahaya secara mikrobilogi, kimiawi dan fisik pada suatu unit usaha pangan. Program sanitasi yang paling efektif akan sia-sia bila para pekerja tidak mengikuti tatacara produksi yang baik, justru akan mencipatakan kontaminasi.
Sebaliknya, program sanitasi yang
tangguh, campur tangan dari semua bagian dan dipadukan dengan sistem jaminan keamanan pangan, akan meningkatkan keamanan pangan (Cramer 2006). Sesuai
dengan
Peraturan
381/Kpts/OT.140/10/2005 (Ditkesmavet
Menteri
pertanian
Nomor
2006). tentang Pedoman Sertifikasi
Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan, bahwa setiap usaha pangan asal hewan wajib memiliki NKV, dan untuk mendapatkan NKV, unit usaha tersebut harus memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Bagi unit usaha yang belum dapat diberikan NKV dilakukan pembinaan paling lama 5 (lima) tahun oleh
44
dinas Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan sampai terpenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi, dan selanjutnya wajib memiliki NKV.
Dinak Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan harus
mengikuti ketentuan yang berlaku. Untuk unit usaha pangan asal hewan, penerapan higiene dan sanitasi secara bertahap, terecana dan berkesinambungan harus dimulai. Penerapan higiene dan sanitasi pada industri pengolahan pangan berskala besar telah dilaksanakan di Indonesia,
namun untuk industri skala
rumah tangga , tahapan-tahapan tersebut belum dilaksanakan. Apabila peraturan atau sistem NKV dapat diterapkan dengan baik pada praktek budidaya maupun pengolahan pangan asal hewan di Indonesia, maka akan meningkatkan keamanan pangan asal hewan di Indonesia.