55 HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan, Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya dilakukan analisis untuk bisa menjawab satu per satu tujuan penelitian yang ingin dicapai. Berikut ini adalah uraian teoritis dan pembahasan hasil analisis yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Analisis Formula DAU
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 menghapuskan dua jenis transfer utama dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang selama ini dilakukan, yaitu Subsidi Daerah Otonom (SDO) atau Dana Rutin Daerah (DRD) dan transfer berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) atau Dana Pembangunan Daerah (DPD). Kedua transfer ini diganti dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Jumlah DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya 10 persen dari dana tersebut dialokasikan kepada provinsi dan sisanya 90 persen diberikan kepada kabupaten/kota. Besarnya DAU yang diterima oleh masing-masing daerah ditetapkan dengan Keputusan/Peraturan Presiden. Selanjutnya Menteri Keuangan menyalurkan DAU tersebut kepada masing-masing daerah setiap bulan sebesar 1/12 dari plafon DAU yang diterima masing-masing daerah. Tujuan pengalokasian DAU selain dalam kerangka otonomi pemerintahan di tingkat daerah juga dalam kerangka pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Meskipun kerap dinyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) tetapi distribusi SDA itu sendiri di antara provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia tidak merata. Oleh karena itu sumber perimbangan dana keuangan pusatdaerah yang berasal dari SDA juga akan menimbulkan ketidakmerataan antardaerah. Dalam konteks ini, DAU dimaksudkan untuk dapat memperbaiki pemerataan perimbangan keuangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil SDA tersebut. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur bahwa DAU dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Besarnya bobot daerah dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas celah fiskal, yaitu selisih antara
56 kebutuhan dan potensi fiskal daerah. Kebutuhan fiskal daerah dicerminkan oleh variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan penduduk miskin. Sementara potensi fiskal dicerminkan oleh variabel potensi industri, SDA, SDM, dan PDRB (lihat Gambar di bawah).
VARIABEL KAPASITAS FISKAL • X1 • X2 • X3 • X4 dst
KAPASITAS FISKAL • Potensi Industri • Potensi SDA • Potensi SDM • PDRB
KEBUTUHAN FISKAL • Jumlah Penduduk • Luas Wilayah • Keadaan Geografi • Penduduk Miskin
PP Dana Perimbangan
AMANAT UU 25/1999
FORMULA DAU VARIABEL KEBUTUHAN FISKAL
• • • •
Y1 Y2 Y3 Y4 dst
Gambar 10 Prosedur penyusunan formula DAU Sumber : Departemen Keuangan Meskipun formula dan pengalokasian DAU kepada daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 seperti dapat dilihat pada Gambar di atas, tetapi dalam pelaksanaannya formula dan alokasi DAU belum sepenuhnya dilakukan secara obyektif, adil dan transparan. Formula dan alokasi DAU masih dominan dipengaruhi oleh faktor nonekonomi, yakni political adjustment yang datang dari Panitia Anggaran DPR RI dan dari pemerintah daerah yang memiliki potensi fiskal yang tinggi. Oleh sebab itu pada bagian ini akan dilakukan analisis formula DAU yang digunakan selama tahun anggaran 2001-2005.
57 Formula DAU Tahun 2001
Dalam proses penyusunan formula DAU 2001 yang disepakati antara pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR RI mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut (Sidik et al. 2002): 1. Norma Hukum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Salah satu kaidah utama yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah bahwa DAU akan dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan fomula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi penerimaan daerah. 2. Besarnya DAU minimal sama dengan besarnya DRD dan DPD Pada tahun anggaran 2000 dan sebelumnya, seluruh pembiayaan untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat diberikan secara langsung dan diarahkan oleh pemerintah pusat dalam bentuk Dana Rutin Daerah (DRD) atau istilah sebelumnya Subsidi Daerah Otonom (SDO), dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) atau istilah sebelumnya Inpres. Oleh karena proses otonomi dimulai pada tahun 2001 maka sebagian besar pegawai pusat (pegawai Kanwil dan Kandep) akan menjadi pegawai daerah. Untuk itu bantuan DRD sepenuhnya akan didaerahkan pula dalam bentuk DAU. Oleh karena itu DAU minimal harus sama dengan DRD dan DPD yang diterima daerah tahun sebelumnya. 3. Formula didasarkan atas variabel yang datanya tersedia dan akurat Formula DAU harus memiliki variabel yang datanya terdapat di setiap daerah dan instansi yang kredibilitas seperti Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka formula DAU 2001 dapat dituliskan sebagai berikut: DAU = Faktor Penyeimbang (FP) + Faktor Lumpsum (FL) + Faktor Formula (FF) Faktor penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas fiskal daerah, pemerintah menjamin secara eksplisit bahwa setiap daerah tidak akan menerima DAU lebih rendah dari total DRD dan DPD. Mengingat tahun anggaran 2000 hanya berumur 9 bulan, maka dasar penghitungan yang dipakai adalah 4/3 kali
58 besarnya anggaran tahun 2000. Di samping fungsi di atas faktor penyeimbang juga diharapkan dapat mengatasi masalah pendanaan yang muncul akibat terjadinya transfer pegawai pusat ke daerah yang membawa konsekuensi pada belanja pegawai daerah. Transfer pegawai terjadi akibat dilikuidasinya beberapa Kanwil dan Kandep menjadi dinas daerah. Guna mengatasi beban tersebut pemerintah memperkirakan bahwa kenaikan 30% DRD dan 10% Inpres akan cukup memadai. Dasar penetapan angka tersebut adalah kenaikan DRD dan DPD tahun 1999/2000 dan 2000. Dengan demikian besarnya faktor penyeimbang adalah: FP = 1,3 DRD + 1,1 DPD Faktor Lumpsum pada intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN. Dalam praktiknya terjadi selisih hitung antara total DAU yang dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula. Mengingat selisih tersebut hanya Rp361 juta, maka jumlah tersebut dibagi rata untuk kabupaten/kota yang saat itu berjumlah 337, sehingga setiap kabupaten/kota menerima sekitar Rp1,1 juta. Variabel yang dipergunakan dalam Faktor Formula yang mencerminkan potensi penerimaan adalah sebagai berikut: 1. PDRB sektor SDA (primer) Sektor-sektor yang termasuk dalam SDA ini adalah sektor yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 untuk dibagihasilkan ke daerah, yaitu Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Minyak dan Gas. Variabel ini dipergunakan untuk memperlihatkan perbedaan potensi daerah kaya dengan miskin SDA. Indeks SDA Daerah = (PDRB sektor SDA Daerah / PDRB Daerah) (PDB sektor SDA Nasional/PDB Nasional)
2. PDRB sektor industri dan jasa lainnya (nonprimer) Variabel ini dipelukan untuk menunjukkan potensi penerimaan suatu daerah dari sumber-sumber yang berasal bukan dari bagi hasil SDA, seperti PAD maupun bagi hasil pajak PBB.
59
Indeks Industri Daerah = (PDRB sektor nonprimer Daerah / PDRB Daerah) (PDB sektor nonprimer Nasional/PDB Nasional)
3. Besarnya angkatan kerja Variabel ini untuk menunjukkan perbedaan potensi SDM yang dimiliki daerah. Daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memiliki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya dari bagi hasil PPh perorangan. Indeks SDM Daerah = (Angkatan Kerja Daerah / Populasi Daerah)
. (Angkatan Kerja Indonesia/Populasi Indonesia)
Variabel yang dipergunakan Kebutuhan Daerah adalah sebagai berikut: 1. Jumlah Penduduk Besarnya penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan. Indeks Penduduk =
Populasi Daerah . Rata-rata Populasi Daerah secara nasional
2. Luas Wilayah Daerah dengan penduduk yang tidak padat tetapi dengan memiliki cakupan wilayah yang luas membutuhkan pembiayaan yang besar. Indeks Luas Daerah
=
Luas Daerah . Rata-rata Luas Daerah secara nasional
3. Indek Harga Bangunan Indeks harga bangunan merupakan pencerminan dari kondisi geografis suatu daerah. Biaya konstruksi akan lebih mahal pada daerah pegunungan maupun daerah terpencil dibandingkan dengan daerah dataran atau perkotaan.
60
Indeks Harga Daerah =
Indeks Konstruksi Daerah . Rata-rata Indeks Konstruksi Daerah
4. Jumlah Penduduk Miskin Target pelayanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, makin banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah. Indeks Kemiskinan
=
Jumlah Penduduk Miskin Daerah . Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin nasional
Proses Penetapan variabel dan Formula DAU tahun 2001 dapat digambarkan sebagai berikut:
VARIABEL KAPASITAS FISKAL • PDRB Nonprimer • PDRB Primer • Angkatan Kerja
KAPASITAS FISKAL • Potensi Industri • Potensi SDA • Potensi SDM • PDRB
KEBUTUHAN FISKAL • Jumlah Penduduk • Luas Wilayah • Keadaan Geografi • Penduduk Miskin
PP Dana Perimbangan
AMANAT UU 25/1999
FORMULA DAU 2001 VARIABEL KEBUTUHAN FISKAL
• • • •
Jumlah Penduduk Luas Wilayah Indeks Harga Bangunan Jumlah Penduduk Miskin
Gambar 11 Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2001 Sumber : Departemen Keuangan
61 Selanjutnya, untuk menentukan bobot DAU suatu daerah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Melakukan perkiraan Kebutuhan Fiskal dengan menggunakan variabel-variabel: Kebutuhan Fiskal = Pengeluaran Daerah Rata-rata x
Indeks Pdkk + Indeks luas + Indeks Harga + Indeks Miskin 4
Pengeluaran daerah rata-rata adalah total nasional belanja daerah ditambah dengan pengeluaran DIK yang akan didaerahkan untuk tahun 2001 dibagi dengan jumlah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) Pengeluaran Daerah Rata-rata = Total Belanja Daerah Nasional + Dana DIK yang didaerahkan Jumlah Daerah
2. Melakukan perkiraan Kapasitas Fiskal dengan menggunakan variabel-variabel: Kapasitas Fiskal = Penerimaan Daerah Rata-rata x Indeks Industri + Indeks SDA + Indeks SDM 3
Penerimaan daerah rata-rata adalah total PAD ditambah dengan Bagi Hasil Pajak dibagi dengan jumlah daerah (provinsi atau kabupaten/kota). Penerimaan Daerah Rata-rata
=
PAD + Bagi Hasil Pajak Jumlah Daerah
3. Menetapkan kebutuhan DAU daerah dengan cara menghitung selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Kebutuhan DAU = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal 4. Menetapkan Bobot DAU Daerah dengan cara membandingkan kebutuhan DAU daerah yang bersangkutan terhadap total kebutuhan DAU.
62
Bobot DAU Daerah =
Kebutuhan DAU Daerah Total Kebutuhan DAU
5. Setelah bobot DAU setiap daerah diketahui, maka dapat dihitung besarnya alokasi DAU untuk setiap suatu kabupaten/kota atau suatu provinsi. Besarnya alokasi DAU ke suatu kabupaten/kota dihitung dengan mengalikan bobot kabupaten/kota bersangkutan dengan besarnya total dana DAU yang tersedia untuk kabupaten/kota. Total dana DAU untuk kabupaten/kota secara nasional adalah 90% dikalikan DAU Nasional, sedangkan total dana untuk provinsi adalah 10% dikalikan DAU provinsi. Besar DAU Nasional adalah 25% dari penerimaan dalam negeri netto APBN. Alokasi DAU suatu kabupaten/kota = 90% x DAU Nasional x bobot DAU Alokasi DAU suatu provinsi = 10% x DAU Nasional x bobot DAU DAU Nasional = 25% x Penerimaan Dalam Negeri Netto APBN
63 Langkah-langkah penetapan bobot DAU daerah secara ringkas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
KAPASITAS FISKAL ⎡ PAD + BHP ⎢ ⎣
n
x
KEBUTUHAN FISKAL
Industri + SDM + SDA 3
⎤ ⎥ ⎦
⎡ Rutin + Pembangunan + DIK ⎢ ⎣
n
x
Pdkk + Luas + Harga + Miskin ⎤ 4
⎥ ⎦
CELAH FISKAL DAERAH Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
BOBOTDAU DAUDAERAH DAERAH BOBOT
CelahCelah FiskalFiskal Daerah i Total Total Celah Celah Fiskal Fiskal
DAU PROVINSI
DAU KABUPATEN/KOTA
10% x DAU Nasional x Bobot DAU
90% x DAU Nasional x Bobot DAU
Gambar 12 Proses penetapan alokasi DAU tahun 2001 Sumber : Departemen Keuangan diolah
Dengan ditetapkannya kebijakan yang mengharuskan alokasi DAU yang diterima daerah minimal sama dengan penerimaan daerah tahun sebelumnya (holding harmless), konsekuensinya harus ada penyesuaian terhadap proporsi faktor penyeimbang dan faktor formula. Akibat dari kebijakan tersebut, sekitar 80% alokasi DAU ditentukan oleh faktor penyeimbang dan 20% oleh faktor formula. Hal ini berimplikasi langsung terhadap distribusi DAU menjadi tidak proporsional. Faktor pemerataan yang dicerminkan melalui faktor formula, proporsinya justru jauh lebih kecil dibandingkan dengan faktor penyeimbang (faktor politis). Berarti tujuan dari kebijakan alokasi DAU, yaitu
64 meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, secara umum belum sepenuhnya dilakukan pada tahun 2001. Formula DAU Tahun 2002
DAU tahun 2001 dengan model perhitungan seperti yang telah diuraikan di atas dialokasikan kepada daerah melalui Keppres Nomor 181 Tahun 2000. Pemerintah menyadari bahwa formula DAU 2001 masih terdapat beberapa kelemahan, guna menindaklanjutinya pemerintah bekerjasama dengan 4 universitas, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Andalas, dan Universitas Hasanuddin melakukan studi mengenai formula DAU 2002. Hasil kajian 4 universitas tersebut menjadi bahan rekomendasi Pemerintah dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) kepada DPR RI. Rekomendasi formula DAU 2002 hasil kajian keempat universitas tersebut untuk variabel Kapasitas Fiskal adalah: 1. Pendapatan Asli Daerah Mengingat pajak dan retribusi daerah sangat terkait dengan kegiatan sektor jasa, maka variabel ini merupakan penjumlahan nilai tambah bruto dari sektor yang berkaitan dengan jasa : sektor listrik, gas, air minum, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor perhubungan dan komunikasi, sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, serta sektor jasa-jasa lainnya. PAD (perkiraan) = βo + β1 PDRB Sektor Jasa 2. PBB dan BPHTB Meskipun kedua jenis pajak ini merupakan pajak pusat tetapi karena pembagiannya lebih dari 90% kembali ke daerah, maka kedua jenis pajak ini dimasukkan sebagai kapasitas fiskal daerah. 3. Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi PPh Orang pribadi dibagihasilkan kepada daerah sebesar 20%. Suatu daerah yang memiliki jumlah SDM yang besar akan memiliki potensi penerimaan yang lebih baik. 4. Bagi Hasil SDA Mengingat pertimbangan adanya ketidakpastian jumlah bagi hasil SDA yang akan diterima daerah serta untuk memberikan insentif daerah sebagai biaya perbaikan
65 lingkungan dan biaya sosial sebagai dampak eksploitasi SDA, maka bagi hasil SDA yang diperhitungkan dalam formula DAU hanya sebesar 75%. Sementara rekomendasi untuk variabel Kebutuhan Fiskal 2002 secara keseluruhan relatif sama dengan Kebutuhan Fiskal 2001, yaitu (1) Jumlah penduduk, (2) Luas Wilayah, (3) Indeks Harga Bangunan (4) Penduduk Miskin. Variabel kebutuhan fiskal dikelompokkan dalam variabel kependudukan dan variabel kewilayahan dengan masingmasing bobot yang sama sebesar 50%, dengan rincian: •
Indeks Kependudukan diberi bobot 0,4
•
Indeks Kemiskinan diberi bobot 0,1
•
Indeks Luas Wilayah diberi bobot 0,4
•
Indeks Harga Bangunan diberi bobot 0,1 Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangan kemampuan daerah
dalam pembiayaan beban pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya, aloksi DAU 2002 di samping menggunakan formula yang didasarkan celah fiskal, juga memperhitungkan Alokasi Minimal yang didasarkan atas besarnya kebutuhan belanja pegawai daerah dan lumpsum. Proporsi gaji PNS merupakan transfer dari sejumlah proporsi DAU yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah kebutuhan gaji daerah secara nasional. Lumpsum merupakan sejumlah proporsi DAU yang dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Dengan demikian formula DAU 2002 hasil kajian 4 universitas dan disetujui oleh Pemerintah, DPOD, dan DPR adalah sebagai berikut: DAUi = AMi + (BDi x DAUn) Bobot DAU daerah bersangkutan dihitung sebagai porsi celah fiskal daerah bersangkutan terhadap total celah fiskal yang ada: BDi = Celah Fiskal i/Total Celah Fikal
66 Penjelasan variabel adalah sebagai berikut: DAUi = DAU yang akan dialokasikan ke provinsi atau kabupaten/kota i DAUn = DAU yang akan dialokasikan ke seluruh provinsi atau kabupaten/kota setelah dikurangi Alokasi Minimal BDi
= Bobot Daerah provinsi atau kabupaten/kota
Bobot DAU dibentuk dari perhitungan celah fiskal yang didasarkan atas selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah. Celah Fiskal i = Kebutuhan Fiskal i – Kapasitas Fiskal i Variabel Kebutuhan Fiskal (KbF) dan Kapasitas Fiskal (KpF) dicerminkan oleh: Kebutuhan Fiskal i = TPR (0,4 IP i + 0,1 IW i + 0,1 IKR i + 0,4 IHB i) Penjelasan variabel adalah sebagai berikut: TPR
: Total Pengeluaran Rata-rata dalam APBD;
IP
: Indeks Jumlah Penduduk;
IW
: Indeks Luas Wilayah;
IKR
: Indeks Kemiskinan Relatif (poverty gap);
IHB
: Indeks Harga Bangunan; Kapasitas Fiskal i = PAD i + PBB i + BPHTB i + PPh i + SDA i
Penjelasan variabel adalah sebagai berikut: PAD
:
Pendapatan Asli Daerah Estimasi
PBB
:
Pajak Bumi dan Bangunan
BPHTB
:
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
PPh
:
Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Pasal 21
SDA
:
Sumber Daya Alam
67 Proses Penetapan variabel dan Formula DAU tahun 2002 dapat digambarkan sebagai berikut:
VARIABEL KAPASITAS FISKAL • PDRB Industri dan Jasa • Bagi Hasil SDA, PBB, BPHTB • PPh Orang pribadi
KAPASITAS FISKAL • Potensi Industri • Potensi SDA • Potensi SDM • PDRB
KEBUTUHAN FISKAL • Jumlah Penduduk • Luas Wilayah • Keadaan Geografi • Penduduk Miskin
PP Dana Perimbangan
AMANAT UU 25/1999
FORMULA DAU 2002 VARIABEL KEBUTUHAN FISKAL
• • • •
Jumlah Penduduk Luas Wilayah Indeks Harga Bangunan Indeks Kemisikinan Relatif
Gambar 13 Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2002 Sumber : Departemen Keuangan
Besarnya komposisi antara Alokasi Minimal dan formula Celah Fiskal adalah : •
Untuk Provinsi : 50% Alokasi Minimal (30% berdasarkan kebutuhan gaji, 20% Lumpsum) dan 50% Celah Fiskal.
•
Untuk Kabupaten/Kota : 60% Alokasi Minimal (50% berdasarkan kebutuhan gaji, 10% Lumpsum) dan 40% Celah Fiskal.
Formula DAU Tahun 2003-2005
Pada dasarnya variabel Kebutuhan Fiskal, variabel Kapasitas Fiskal dan variabel Alokasi Minimal yang dipergunakan untuk formula DAU tahun anggaran 2003 sampai 2005 tidak mengalami perbedaan dari formula DAU 2002. Perubahan terjadi hanya pada besarnya komposisi antar Alokasi Minimal dan Celah Fiskal. Pada formula DAU 2003 2005 komposisi Alokasi Minimal semakin berkurang dan komposisi Celah Fiskal semakin bertambah. Perbandingan komposisi antara Alokasi Minimal dan Celah Fiskal yang dipergunakan dalam perhitungan DAU selama tahun anggaran 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel berikut.
68
Tabel 12 Perbandingan perhitungan DAU tahun 2001-2005 Perhitungan DAU Uraian
Komponen DAU Alokasi Minimal (AM)
2001
2002
2003 Nasional
2004
2005
AM + CF
M + CF
AM + CF
AM + CF
AM + CF
DRD + DPD TA 2000
Lumpsum + α Gaji
Lumpsum + α Gaji
Lumpsum + α Gaji
Lumpsum + α Gaji
Provinsi Alokasi Minimal (Faktor Politis) Komposisi Celah Fiskal (Faktor Pemerataan)
80%
20%
20%Lumpsum
10%Lumpsum
5%Lumpsum
5%Lumpsum
30% α
30% α
30% α
30% α
Gaji
50%
Komposisi
Gaji
60%
Gaji
Gaji
65%
65%
Kab/Kota
Alokasi Minimal (Faktor Politis) Komposisi Celah Fiskal
80%
(Faktor
20%
10%Lumpsum
5%Lumpsum
5%Lumpsum
5%Lumpsum
50% α
45% α
40% α
40% α
Gaji
40%
Gaji
50%
Pemerataan) Sumber : Departemen Keuangan AM = Alokasi Minimal CF = Celah Fiskal DRD = Dana Rutin Daerah DPD = Dana Pembangunan Daerah
Gaji
55%
Gaji
55%
69
Beberapa evaluasi atas pelaksanaan mekanisme DAU selama tahun anggaran 2001-2005 dapat diberikan sebagai berikut: 1. Pengalokasian DAU belum sepenuhnya menunjukkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grants), terutama untuk menetralisir dampak yang ditimbulkan oleh jenis transfer yang lain seperti bagi hasil SDA dan bagi hasil pajak pendapatan perseorangan. Hal ini terlihat dari komposisi peranan Alokasi Minimal (faktor politis) dalam formula DAU yang relatif masih tinggi, tahun anggaran 2001 komposisi Alokasi Minimal sebesar 80% dan tahun anggaran 2005 menjadi 35% (provinsi) dan 45% (kabupaten/kota). Komposisi ini tentu akan menguntungkan daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi. Seharusnya daerah tersebut mendapatkan DAU yang kecil atau tidak mendapatkan sama sekali, tetapi dengan komposisi tersebut mereka mendapatkan minimal sebesar Alokasi Minimal ditambah Lumpsum. 2. Alokasi Minimal dalam formula DAU 2002-2005 merupakan komposisi formula DAU yang diperhitungkan untuk membiayai gaji pegawai negeri sipil. Pertimbangan pemerintah dan DPR RI tetap mempertahankan Alokasi Minimal karena gaji pegawai negeri wajib dibayar oleh negara dan ketersediaan sumber dananya harus dijamin oleh negara pula. Masalah belanja pegawai dinilai sangat krusial sebab bila terjadi sesuatu efeknya dapat mempengaruhi kondisi politis negara. 3. Dalam upaya mengoptimalkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan
keuangan
antardaerah
(equalization
grants),
pemerintah
telah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang merevisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Berdasarkan amanat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif (kebutuhan fiskal < kapasitas fiskal) dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar (minimal), yaitu gaji PNS yang harus dibayar daerah, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Selanjutnya dalam Pasal 108 diatur bahwa ketentuan tersebut akan berlaku efektif mulai tahun anggaran 2008.
70
Analisis Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah di Provinsi Banten
Dalam upaya mencapai tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, pemerintah bersama DPR RI senantiasa mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dipakai sebagai acuan formula DAU, yaitu agar formula DAU yang dipergunakan menghasilkan suatu indeks koefisien variasi penerimaan per kapita yang sekecil mungkin. Secara teknis indeks koefisien variasi penerimaan per kapita dapat dihitung dengan Williamson Index (Sidik et al. 2002). Guna mendukung sasaran pemerintah tersebut, pada bagian ini akan dianalisis mengenai peranan DAU sebagai transfer pemerataan kemampuan keuangan antardaerah di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005. Berdasarkan hasil pembahasan antara pemerintah dengan DPR RI, jumlah alokasi DAU nasional yang dianggarkan dalam APBN, DAU untuk seluruh provinsi, DAU untuk seluruh kabupaten/kota, dan DAU yang diterima kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005 adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 13. Pada tahun anggaran 2001, tahun pertama diberlakukannya mekanisme DAU, jumlah DAU yang dialokasikan dari APBN sebesar Rp60,516 triliun dengan rincian 10 persen untuk provinsi yang berjumlah 30 provinsi, yaitu sebesar Rp6,0516 triliun dan 90 persen untuk kabupaten/kota yang berjumlah 330 kabupaten/kota, sebesar Rp54,465 triliun. Sedangkan pada tahun anggaran 2005 jumlah DAU yang dialokasikan dari APBN meningkat menjadi sebesar Rp88,765 triliun dengan rincian untuk provinsi (32 provinsi) sebesar Rp8,8765 triliun dan untuk kabupaten/kota (434 kabupaten/kota) sebesar Rp79,889 triliun. Dari data di atas terlihat bahwa semenjak diberlakukannya mekanisme DAU jumlah daerah provinsi dan terutama kabupaten/kota cenderung terus meningkat.
71 Tabel 13 DAU Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 No.
Dana Alokasi Umum (Rp Miliar)
Wilayah 2001
2002
2003
2004
2005
A
Nasional
60.516,70 (Keppres 181/2000)
69.114,10 (Keppres 131/2001)
76.979,00 (Keppres 1/2003)
82.130,60 (Keppres 109/2003)
88.765,60 (Perpres 3/2004)
B
Total Provinsi (10 %)
6.051,67 (30 Prov)
6.911,41 (30 Prov)
7.697,90 (30 Prov)
8,213,06 (32 Prov)
8.876,56 (32 Prov)
C
Total Kab/Kota (90 %)
54.465,03 (330 K/K)
62.202,69 (348 K/K)
69.281,1 (370 K/K)
73.917,54 (410 K/K)
79.889,04 (434 K/K)
Wilayah Banten Total 1
Kab. Lebak
2
Kab. Pandeglang
3
Kab. Serang
4
Kab. Tangerang
5
Kota Cilegon
6
Kota Tangerang
1.123,75
1.250,53
1.491,15
1.593,48
1.729,80
198,31
205,52
247,27
264,40
288,40
225,23
235,52
268,90
284,43
300,72
244,31
260,52
327,76
346,94
372,52
259,48
306,60
367,01
401,15
448,77
49,89
84,26
94,11
95,54
105,29
146,53
158,11
186,10
201,02
214,10
Sumber : Departemen Keuangan Prov = jumlah provinsi
K/K = jumlah kabupaten/kota
72
Alokasi DAU untuk kabupaten/kota di Provinsi Banten pada tahun anggaran 2001 sebesar Rp1,123 triliun dan meningkat menjadi Rp1,729 triliun pada tahun 2005. Secara nominal Kabupaten Tangerang memperoleh DAU yang terbesar dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten, sedangkan Kota Cilegon memperoleh DAU yang terkecil. Pada tahun 2001 Kabupaten Tangerang menerima DAU sebesar Rp259,485 miliar dan meningkat menjadi Rp448,770 miliar pada tahun 2005. Kota Cilegon menerima DAU sebesar Rp49,891 miliar dan meningkat menjadi Rp105,298 miliar pada tahun 2005. 500 450 400
Rp Miliar
350 300 250 200 150 100 50 0 Kab. Lebak
Kab. Pandeglang
2001
Kab. Serang
2002
Kab. Tangerang
2003
2004
Kota Cilegon
Kota Tangerang
2005
Gambar 14 Perkembangan DAU di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005
Untuk menilai tingkat pemerataan kemampuan keuangan (fiskal) antardaerah dilihat dari angka Indeks Williamson. Semakin kecil angka Indeks Williamson (mendekati nol) semakin merata kemampuan keuangan antardaerah dan semakin besar angka Indeks Williamson (mendekati satu) semakin tidak merata. Mengingat DAU bukan merupakan satu-satunya sumber pembiayaan daerah, maka analisis kemampuan keuangan akan dihitung dari besarnya pendapatan APBD dan dari DAU yang diterima masing-masing daerah per kapita. Pendapatan APBD adalah semua penerimaan daerah yang berasal dari PAD, Dana Perimbangan, dan Penerimaan lain-lain. PAD terdiri atas Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba BUMD, dan lain-lain PAD. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil, DAU, dan DAK. Sedangkan Penerimaan lain-lain terdiri
73 atas penerimaan dari pusat di luar dana perimbangan, penerimaan dari provinsi, penerimaan dari kabupaten/kota lainnya. Kota Cilegon merupakan daerah dengan jumlah pendapatan APBD per kapita yang tertinggi selama tahun 2001-2005. Pada tahun 2001 pendapatan APBD per kapita Kota Cilegon sebesar Rp436.490 dan meningkat menjadi Rp738.240 per penduduk pada tahun 2005. Dengan data ini Kota Cilegon merupakan daerah yang paling potensial untuk memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dibandingkan kelima daerah lainnya. Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang merupakan daerah yang memiliki pendapatan APBD per kapita terkecil. Tahun 2001 pendapatan APBD per kapita Kabupaten Tangerang sebesar Rp185.611, Kabupaten Serang Rp204.604 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp267.235 (Kabupaten Tangerang), Rp274.668 (Kabupaten Serang). Kecilnya pendapatan APBD per kapita Kabupaten Serang antara lain karena telah berpisahnya wilayah kota Cilegon menjadi daerah otonom dan memiliki APBD sendiri, sehingga pendapatan Kabupaten Serang dari PAD menjadi jauh berkurang. Apabila dilihat dari DAU per kapita, Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memperoleh DAU per kapita terbesar pada tahun 2001, yaitu sebesar Rp220.571 per penduduk, sementara Kabupaten Tangerang adalah daerah yang menerima DAU per kapita terkecil, yaitu sebesar Rp102.235 untuk setiap penduduk. Pada tahun 2005 Kota Cilegon menerima DAU per kapita tertinggi (Rp319.376), dan yang terendah Kabupaten Tangerang (Rp139.063). Adapun pendapatan per kapita dan DAU per kapita kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005 dapat dilihat pada tabel berikut.
74 Tabel 14 Pendapatan APBD dan DAU per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2000 dan tahun 2001-2005 NO
DAERAH
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Y
Y
DAU
Y
DAU
Y
DAU
Y
DAU
Y
DAU
1
Kab. Lebak
122.525
247.817
220.571
233.028
200.107
278.800
236.838
277.766
234.257
303.562
254.306
2
Kab. Pandeglang
237.752
237.508
218.639
260.434
233.017
313.987
258.341
322.199
261.373
328.904
272.925
3
Kab. Serang
84.256
204.604
151.593
233.621
159.674
267.203
188.850
278.572
193.312
274.668
202.883
4
Kab. Tangerang
85.341
185.611
102.235
213.462
110.469
263.847
123.018
260.429
125.847
267.235
139.063
5
Kota Cilegon
216.335
436.490
173.501
668.411
284.887
732.947
304.466
711.739
290.701
738.240
319.376
6
Kota Tangerang
164.935
257.444
127.019
278.613
120.534
303.859
131.349
381.484
136.619
326.166
142.748
Sumber : Pemda dan Departemen Keuangan diolah Y = Pendapatan APBD/kapita
Selanjutnya dari data pendapatan APBD perkapita, DAU per kapita dan jumlah penduduk tahun 2000-2005 diperoleh hasil perhitungan Indeks Williamson untuk variabel pendapatan perkapita dan DAU per kapita (teknis perhitungan dapat dilihat pada Lampiran).
75 Tabel 15 Indeks Williamson atas Kapasitas Fiskal di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Tahun
Indeks Williamson Pendapatan APBD (Y)
DAU
2000 (pra d.f)
0,45
-
2001
0,23
0,31
2002
0,33
0,32
2003
0,29
0,32
2004
0,29
0,31
2005
0,28
0,30
Sumber : Pemda dan Departemen Keuangan diolah Berdasarkan data-data Indeks Williamson tersebut dapat diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1. Indeks Williamson untuk variabel Pendapatan APBD Nilai Indeks Williamson untuk variabel Pendapatan per kapita dalam APBD (PAD+ Bagi Hasil + DAU + DAK + Lain-lain Penerimaan) setelah berlakunya desentralisasi fiskal menjadi lebih kecil dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Pada tahun 2000 (pra desentralisasi fiskal) nilai Indeks Williamson sebesar 0,45 dan selama tahun 2001 - 2005 (desentralisasi fiskal) turun menjadi sebesar 0,23 – 0,33. Artinya setelah berlakunya desentralisasi fiskal pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di Provinsi Banten semakin membaik. 2. Indeks Williamson untuk variabel DAU Nilai Indeks Williamson untuk variabel DAU selama tahun 2001- 2005 relatif stabil berkisar 0,30 – 0,32. Dengan demikian DAU yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada kabupaten/kota di Provinsi Banten telah terdistribusi secara merata moderat. Artinya DAU per kapita yang dialokasikan kepada daerah di Provinsi
76 Banten belum merata sempurna, masih terdapat ketimpangan dengan ukuran sedang. Dari Tabel 14 terlihat bahwa ketimpangan terjadi karena Kota Cilegon mendapat DAU per kapita dua kali lebih besar dari Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. 3. Celah Fiskal Dari angka Indeks Williamson di atas dapat disimpulkan bahwa celah fiskal per kapita (kebutuhan fiskal - kapasitas fiskal) antardaerah di Provinsi Banten relatif sama. Dari gambaran umum wilayah Banten diketahui bahwa wilayah Banten tidak memiliki kegiatan penambangan Minyak Bumi dan Gas Alam, sehingga tidak ada daerah yang menerima pendapatan dari pos ini. Umumnya penerimaan dari sektor Migas relatif tinggi (seperti daerah Riau dan Kalimantan Timur), sehingga apabila dalam suatu provinsi hanya terdapat satu atau dua daerah yang memiliki penambangan Migas sedang aktifitas sektor ekonomi lainnya relatif sama, maka dapat dipastikan ketimpangan celah fiskal di provinsi itu akan tinggi. Secara grafis perkembangan Indeks Williamson Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 2001-2005 dapat dilihat pada Gambar 15.
0,5 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 Pendapatan DAU
Gambar 15
2000
2001
2002
2003
2004
2005
0,448957049
0,225392607
0,333125375
0,293131866
0,287568073
0,283717769
0,307623766
0,323531655
0,324779323
0,308845053
0,301564925
Perkembangan Indeks Williamson di wilayah Provinsi Banten tahun 2000-2005
77 Analisis Kinerja Pembangunan Daerah
Pengertian pembangunan daerah di masa lalu adalah kemampuan ekonomi daerah untuk menaikkan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi antara 5 sampai 7 persen atau lebih per tahun. Namun demikian, pengertian pembangunan mengalami perubahan karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasikan pada pertumbuhan ekonomi saja tidak bisa memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target pertumbuhan ekonomi per tahun telah tercapai. Oleh karena itu, Todaro (2000) menyatakan bahwa pembangunan daerah merupakan suatu proses multidimensi yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, kelembagaan dan juga terjadinya percepatan pertumbuhan
ekonomi,
membaiknya
distribusi
pendapatan,
serta
pengentasan
kemiskinan. Mengingat tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemerataan pembangunan antardaerah, maka pada bagian ini akan dilakukan analisis mengenai pembangunan daerah. Variabel-variabel pembangunan daerah yang akan dianalisis adalah variabel yang terkait dengan indikator ekonomi dan indikator sosial. Variabel indikator ekonomi terdiri atas PDRB dan APBD, sedangkan variabel sosial terdiri atas variabel kependudukan, ketenagakerjaan, dan kesejahteraan masyarakat.
Analisis Kinerja Perekonomian Daerah
Indikator dasar dalam menghitung pembangunan daerah yang telah banyak digunakan para ekonom adalah dengan menganalisis kinerja perekonomian daerah yang bersangkutan. Suatu daerah yang berkembang pasti akan diikuti dengan perkembangan aktifitas produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh penduduknya. Aktifitas perekonomian suatu daerah dalam satu tahun dicatat dalam suatu rekening yang disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dikatakan bruto karena pencatatannya belum memperhitungan unsur depresiasi dari alat-alat produksi (barang modal) yang dipergunakan untuk menghasilkan barang atau jasa. PDRB dicatat berdasarkan harga pasar (harga nominal), tetapi dalam upaya menghindari bias nilai PDRB dari unsur inflasi, maka dalam menghitung pertumbuhan ekonomi suatu daerah digunakan PDRB
78 yang dihitung berdasarkan harga konstan (saat ini BPS menggunakan tahun 2000 sebagai tahun dasar). Secara umum struktur perekonomian Banten selama tahun 2001-2005 didominasi oleh 3 lapangan usaha, yaitu (1) industri (lebih dari 50 persen), (2) Perdagangan, Hotel, Restoran (sekitar 18 persen), dan (3) pertanian (sekitar 9 persen). Lebih dari 77 persen perekonomian Banten berasal dari kontribusi ketiga sektor itu, sisanya sebesar 23 persen berasal dari aktifitas 6 sektor lainnya. Apabila dikelompokkan menurut letak geografinya, wilayah Banten terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Banten Utara dan Banten Selatan. Banten Utara terdiri atas Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang, sedangkan Banten Selatan terdiri atas Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Lebak 4%
Kota Tangerang 23%
Serang 20%
Kota Cilegon 25%
Kota Cilegon, 3,03%
Tangerang, 9,87%
Pandeglang 5%
Kab. Tangerang 23%
Lebak , 39,74%
Serang, 14,77%
Pandeglang, 38,39 %
Sektor Industri
Tangerang 11%
Kota Cilegon 3%
Serang 18%
Kota Tangerang 5%
Sektor Jasa-jasa
Kota Tangerang 24%
Lebak 33%
Pandeglang 30%
Kota Tangerang, 0,21%
Kota Cilegon 10%
Tangerang 12%
Sektor Pertanian
Lebak 22%
Serang 10%
Pandeglang 22%
Sektor Perdag, Hotel, Restoran
Gambar 16 Empat lapangan usaha tertinggi di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005
Sumber : BPS
79 Struktur perekonomian di Daerah Banten Selatan lebih dominan berasal dari sektor primer. Potensi kesuburan tanah pertanian, kekayaan tambang, dan keindahan wisata alam pantai menjadi tulang punggung perekonomian Lebak dan Pandeglang. Lebih dari 75 persen perekonomian kedua daerah itu berasal dari sektor pertanian (38 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (23 persen), dan jasa-jasa terutama pariwista (12 persen). Sementara struktur perekonomian Banten Utara didominasi sektor industri (sekitar 60 persen) kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran (sekitar 11 persen). Tabel 16 Proporsi rata-rata lapangan usaha di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Banten Selatan LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan, Penggalian Industri Listrik, Gas, Air Bangunan Perdag, Hotel, restoran Pengangkutan, Komunikasi Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
Lebak %
39,74 1,16 9,43 0,34 3,89 22,95 5,45 4,55 12,50 100
Banten Utara
Pandeglang %
Serang %
Tangerang %
38,39 0,11 11,80 0,73 4,15 23,16 5,34 4,32 11,99 100
14,77 0,06 50,33 4,12 6,47 10,76 3,13 3,09 7,28 100
9,87 0,08 56,05 6,19 1,86 12,33 6,96 2,45 4,21 100
Kota Cilegon %
3,03 0,09 63,28 10,10 0,45 11,05 8,65 2,05 1,31 100
Kota Tangerang %
0,21 0,00 56,04 1,41 1,66 25,88 11,01 1,72 2,07 100
Sumber : BPS diolah
Potensi sektor pertanian yang merupakan kegiatan utama bagi sebagian besar penduduk Banten terbagi dalam dua kawasan, yaitu pertanian lahan basah (padi sawah) dan lahan kering (padi ladang, palawija, sayuran, dan buah-buahan). Berdasarkan Renstra Banten 2002-2006, diketahui bahwa komoditas unggulan untuk Provinsi Banten adalah padi sawah, padi ladang, dan ubi jalar. Komoditas ini diproduksi di hampir seluruh wilayah Banten. Sedangkan komoditas sayuran unggulan adalah kacang panjang dan ketimun dengan sentra produksi di Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak. Komoditas buah-buahan yang menjadi unggulan adalah pisang, durian, dan mangga dengan sentra produksi di Kabupaten Serang dan Lebak. Sementara potensi industri di Propinsi Banten mencakup industri mesin, elektronik, tekstil, baja dan lainnya. Khusus untuk industri kecil, Banten memiliki potensi industri pangan, barang dari logam, kayu, genteng/batu
80 bata, gula aren, emping, kerupuk, bordir, dan aneka industri kerajinan rumah tangga lainnya.
Gambar 17 Lokasi lapangan usaha yang paling dominan di wilayah Provinsi Banten Dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi, semua daerah di Banten senantiasa mengalami pertumbuhan. Secara rata-rata angka pertumbuhan ekonomi di wilayah Banten sama dengan laju pertumbuhan nasional yang tingginya sekitar 4%-5%. Ini adalah indikator bahwa prospek perekonomian di wilayah Banten masih dapat berkembang dengan baik. Apabila diamati pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun pada setiap daerah, nampak pertumbuhan ekonomi daerah Banten bagian Utara (kecuali Serang) lebih baik dari Banten Selatan. Kota Cilegon adalah daerah yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya (7,23%), disusul Kota Tangerang (5,81%), Kabupaten Tangerang (5,69%), Pandeglang (4,91%), Serang (4,13%) dan terakhir Lebak (3,66%).
81
% 8 7.23
7 6
5.81
5.69 4.91
5
4.13
4
3.66
3 2 1 0 Lebak
Pandeglang
Serang
Tangerang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
Gambar 18 Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 Sumber : BPS diolah
Sektor yang paling tinggi pertumbuhannya di Kota Cilegon dan Kota Tangerang adalah sektor Keuangan, sedangkan sektor Pertanian dan sektor Pertambangan dan Penggalian merupakan sektor yang paling rendah pertumbuhannya. Ini dapat dimengerti karena kedua daerah itu merupakan daerah perkotaan di wilayah Banten. Salah satu ciri daerah perkotaan adalah rendahnya aktifitas pertanian dan tingginya aktifitas
sektor
keuangan dan jasa. Meskipun empat daerah lain merupakan daerah rural, yaitu Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, dan Kabupaten Tangerang tetapi pertumbuhan sektor Pertanian di daerah itu bukan merupakan sektor dengan pertumbuhan tertinggi, bahkan yang terendah (berkisar antara 2% - 4%). Dapat disimpulkan bahwa perkembangan aktifitas sektor Pertanian di keempat daerah itu sudah mencapai titik jenuh. Dengan demikian perlu ada kebijakan dari pemerintah daerah yang dapat meningkatkan produktifitas para petani, antara lain melalui kegiatan penyuluhan pertanian yang dapat meningkatkan pengetahuan para petani untuk bercocok tanam lebih efektif, bantuan kredit lunak, peraturan yang lebih ketat mengenai konversi lahan pertanian.
82
Tabel 17
Pertumbuhan rata-rata PDRB atas harga konstan 2000 di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005
LAPANGAN USAHA
Lebak (%)
Pandeglang (%)
Serang (%)
Tangerang (%)
Kota Cilegon (%)
Kota Tangerang (%)
1. Pertanian
2,74
3,72
2,91
4,31
1,37
2. Pertambangan dan Penggalian
7,33
4,56
3,41
4,36
5,46
3. Industri Pengolahan
4,81
3,84
3,38
4,97
7,34
3,97
4. Listrik, Gas, Air Bersih
8,86
5,80
4,19
5,73
6,57
4,14
5. Bangunan
3,62
7,00
5,58
6,79
3,54
4,76
6. Perdagangan, Hotel, Restoran
3,48
6,44
5,57
6,68
7,77
5,82
7. Pengangkutan dan Komunikasi
5,49
5,73
5,84
8,43
4,79
9,26
8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan
8,66
5,68
11,74
10,01
27,34
115,93
9. Jasa-jasa
3,18
5,46
4,44
8,34
7,18
5,27
3,66
4,91
4,13
5,69
7,23
5,81
Pertumbuhan ekonomi
3,07 -
Sumber : BPS diolah
Metoda lain yang dapat dipergunakan untuk mengetahui perkembangan daerah adalah dengan menganalisis sektor yang menjadi unggulan suatu daerah. Dengan diketahui sektor unggulan, sebaiknya pemerintah daerah mengembangkan sektor tersebut melalui kebijakan daerah seperti dukungan dana APBD atau kemudahan perizinan kepada investor. Sektor yang menjadi unggulan suatu daerah dapat dihitung dengan Location Quotient (LQ). Apabila LQ > 1 berarti sektor tersebut dapat dikategorikan
sebagai sektor unggulan. Hasil perhitungan nilai LQ dengan data dasar PDRB Atas Harga Konstan 2000 Tahun 2001-2005 tampak pada Tabel 18.
83
Tabel 18 LQ kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 Lebak
LAPANGAN USAHA
Pandeglang
Serang
Tangerang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
2001
2005
2001
2005
2001
2005
2001
2005
2001
2005
2001
2005
1. Pertanian
4,14
4,36
4,01
4,18
1,53
1,59
1,01
1,05
0,35
0,30
0,02
0,02
2.Pertambangan dan Penggalian
9,63
10,85
1,01
0,98
0,54
0,52
0,74
0,69
0,80
0,74
0,00
0,00
0,18
0,19
0,23
0,23
0,98
0,98
1,09
1,10
1,21
1,25
1,11
1,07
4. Listrik, Gas, Air Bersih
0,07
0,09
0,17
0,18
0,97
0,97
1,47
1,47
2,39
2,32
0,34
0,32
5. Bangunan
1,59
1,59
1,64
1,78
2,56
2,72
0,74
0,77
0,20
0,18
0,71
0,68
6.Perdagangan, Hotel, Restoran
1,31
1,28
1,28
1,33
0,59
0,62
0,68
0,70
0,63
0,63
1,47
1,45
7.Pengangkutan dan Komunikasi
0,70
0,69
0,70
0,66
0,40
0,39
0,87
0,89
1,19
1,00
1,36
1,42
8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan
2,35
1,54
2,31
1,30
1,68
1,21
1,34
0,86
0,80
0,87
0,10
0,96
9. Jasa-jasa
2,89
2,84
2,73
2,79
1,67
1,68
0,92
1,02
0,30
0,30
0,48
0,47
3. Industri
Sumber : BPS diolah Dari tabel di atas dapat diperoleh penjelasan mengenai sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif di masing-masing daerah sebagai berikut: 1. Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang memiliki enam sektor yang sama, yaitu (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) Bangunan, (4) Perdagangan, Hotel, Restoran, (5) Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan, (6) Jasa-jasa. Dari enam sektor unggulan itu yang menjadi sektor unggulan utama Kabupaten Lebak adalah adalah sektor Pertanian, dan sektor
Pertambangan dan Penggalian, sedangkan
Kabupaten Pandeglang adalah sektor Pertanian karena LQ dari sektor ini sangat tinggi. 2. Kabupaten Serang : Memiliki empat sektor, yaitu (1) Pertanian, (2) Bangunan, (3) Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan, (4) Jasa-jasa. Dari empat sektor unggulan itu yang nilai LQ tertinggi (LQ 2,72) adalah sektor Bangunan.
84 3. Kabupaten Tangerang : Memiliki empat sektor, yaitu (1) Pertanian, (2) Industri Pengolahan, (3) Listrik, Gas, Air Bersih (4) Jasa-jasa. Dari empat sektor unggulan itu yang nilai LQ tertinggi (LQ 2,72) adalah sektor Listrik, Gas, Air Bersih. 4. Kota Cilegon : Memiliki dua sektor, yaitu (1) Industri Pengolahan, (2) Listrik, Gas, Air Bersih. Sebagai daerah perkotaan aktifitas masyarakatnya cenderung bekerja di sektor manufaktur dan energi sehingga kedua sektor ini menjadi andalan perekonomian Kota Cilegon. 5. Kota Tangerang : Memiliki tiga sektor, yaitu (1) Industri Pengolahan, (2) Perdagangan, Hotel, Restoran, (3) Pengangkutan dan Komunikasi.
Bandara
internasional Soekarno-Hatta terletak di Kota Tangerang maka kontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan aktifitas perekonomian di Kota Tangerang cukup nyata, terlihat dari nilai PDRB Kota Tangerang yang tertinggi di wilayah Banten. Selanjutnya, untuk melihat perkembangan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Banten digunakan analisis dengan menggunakan indeks entropy.
Hasil
perhitungan memperlihatkan bahwa Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang merupakan daerah yang paling beragam kegiatan sektor usahanya (indeks entropy 0,700,80). Artinya sebagian besar sektor usaha di dua daerah itu dapat berkembang dengan baik. Sedangkan Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang adalah daerah yang kurang baik perkembangan perekonomiannya (indeks entropy 0,25-0,26). 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 2001 2002 2003 2004 2005
Lebak
Pandeglang
Serang
Tangerang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
0.26
0.26
0.49
0.73
0.46
0.75
0.26 0.25
0.26 0.25
0.48 0.48
0.73 0.73
0.47 0.47
0.76 0.79
0.25
0.25
0.48
0.74
0.48
0.79
0.25
0.25
0.47
0.74
0.48
0.80
Gambar 19 Perkembangan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001- 2005 Sumber : BPS diolah
85
Teknik analisis lain untuk menilai pengembangan daerah adalah dengan Shift Share Analysis (SSA). Berbeda dengan LQ yang menganalisis aktifitas perekonomian
pada satu titik tahun tertentu, dalam SSA dianalisis aktifitas perekenomian pada dua titik tahun. Selain itu, hasil analisis SSA lebih komprehensif karena dapat menjelaskan kinerja aktifitas perekonomian suatu daerah terhadap kinerja wilayah secara keseluruhan. Tabel berikut merupakan hasil SSA kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005. Tabel 19 SSA kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 Share
Propors. Shift
1. Pertanian
0,24
2. Pertambangan dan Penggalian
LAPANGAN USAHA
Differential Shift Lebak
Pan deglang
Serang
Tangerang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
-0,10
-0,03
0,02
-0,02
0,04
-0,09
-0,01
0,24
0,02
0,06
-0,07
-0,12
-0,08
-0,03
-
3. Industri Pengolahan
0,24
-0,04
0,00
-0,04
-0,06
0,01
0,12
-0,04
4. Listrik, Gas, Air Bersih
0,24
0,00
0,16
0,01
-0,07
0,00
0,04
-0,07
5. Bangunan
0,24
0,00
-0,09
0,07
0,00
0,06
-0,09
-0,04
6. Perdagangan, Hotel, Restoran
0,24
0,02
-0,12
0,02
-0,02
0,03
0,09
-0,01
7. Pengangkutan dan Komunikasi
0,24
0,11
-0,12
-0,10
-0,10
0,03
-0,15
0,07
8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan
0,24
1,04
-0,89
-1,03
-0,72
-0,82
0,35
19,46
9. Jasa-jasa
0,24
0,00
-0,11
-0,01
-0,06
0,13
0,07
-0,02
Sumber : BPS diolah Dari hasil analisis SSA sebagaimana pada tabel di atas dapat diperoleh penjelasan sebagai berikut: 1. Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 20012005 adalah sebesar 24 persen atau rata-rata 4,8 persen per tahun..
86 2. Sektor Pertanian, dan sektor Industri Pengolahan mempunyai laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di wilayah Banten. Laju pertumbuhan sektor Pertanian 10 persen lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di wilayah Banten sementara sektor Industri Pengolahan lebih rendah 4 persen. Sektor-sektor (1) Pertambangan dan Penggalian, (2) Perdagangan, Hotel, Restoran, (3) Pengangkutan dan Komunikasi, (4) Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan mempunyai laju pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total di wilayah Banten. Dalam hal ini, laju pertumbuhan sektor Pertambangan dan Penggalian 2 persen lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan total dan seterusnya. Sektor-sektor Gas, Listrik, dan Air Bersih, (2) Bangunan, (3) Jasa-jasa mempunyai laju pertumbuhan yang sama dengan laju pertumbuhan total. 3. Laju pertumbuhan sektor-sektor (1) Pertanian, (2) Bangunan (3) Perdagangan, Hotel, Restoran, (4) Pengangkutan dan Komunikasi, (5) Keuangan, Persewaan, Jasa (6) Jasa-jasa di Kabupaten Lebak mempunyai tingkat kompetitif lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Oleh karena itu pengembangan sektor tersebut kurang menguntungkan. Dalam hal ini tingkat pertumbuhan tenaga kerja sektor Pertanian 3 persen lebih rendah dibandingkan tingkat pertumbuhan sektor Pertanian secara umum di wilayah Banten. Sebaliknya sektor Pertambangan dan Penggalian, dan sektor Listrik, Gas, Air Bersih mempunyai keunggulan kompetitif yang relatif lebih besar. Dalam hal ini tingkat pertumbuhan tenaga kerja sektor Pertambangan dan Penggalian 6 persen lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan sektor Pertambangan dan Penggalian secara umum di wilayah Banten dan seterusnya.
87 Dari hasil analisis SSA diperoleh informasi sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif (Differential Shift > 0) sehingga sektor-sektor tersebut dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, adalah sebagai berikut: Tabel 20 Sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Daerah
LAPANGAN USAHA
Kota Tangerang
Lebak
Pandeglang
Serang
Tangerang
1.Pertanian
-
V
-
V
-
-
2. Pertambangan dan Penggalian
V
-
-
-
-
-
3. Industri Pengolahan
-
-
-
V
V
-
4. Listrik, Gas, Air Bersih
V
V
-
-
V
-
5. Bangunan
-
V
-
V
-
-
6. Perdagangan, Hotel, Restoran
-
V
-
V
V
-
7. Pengangkutan dan Komunikasi
-
-
-
V
-
V
8. Keu, Persewaan, Jasa Perusahaan
-
-
-
-
V
V
9. Jasa-jasa
-
-
-
V
V
-
Sumber : BPS diolah
Kota Cilegon
88 Analisis Kinerja Keuangan Daerah
Analisis kinerja keuangan daerah (APBD) pada prinsipnya adalah pengukuran terhadap (1) derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, (2) derajat kemandirian suatu daerah. Musgrave (1984), menyatakan dalam mengukur derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah digunakan (1) rasio PAD terhadap total pendapatan daerah, (2) rasio Penerimaan Daerah Sendiri (PDS, yaitu PAD + bagi hasil pajak dan bukan pajak) terhadap total pendapatan daerah, dan (3) rasio antara sumbangan pemerintah pusat terhadap total pendapatan daerah. Nilai rasio variabel (1) dan (2) yang tinggi, dan rasio variabel (3) yang rendah mencerminkan kecilnya tingkat kebergantungan daerah terhadap transfer pusat dan sebaliknya. Sementara derajat kemandirian suatu daerah dilakukan dengan melakukan penghitungan terhadap: (1) rasio antara PAD terhadap total belanja, (2) rasio antara PAD terhadap belanja pegawai, (3) rasio antara PDS terhadap total belanja, serta (4) rasio antara PDS terhadap belanja pegawai (Halim, 2001). Jika nilai rasio keempat variabel tersebut rendah berarti tingkat kemandirian daerah tinggi, dan sebaliknya Selain kedua indikator itu, akan dianalisis pula rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio ini menggambarkan tingkat efisiensi kinerja pemerintah daerah. Suatu daerah yang efisien dicerminkan dari rendahnya nilai rasio tersebut. PDS yang terdiri dari PAD ditambah Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA termasuk variabel kemandirian daerah, karena Bagi Hasil merupakan pungutan yang ditarik oleh Pusat kemudian dibagikan kembali kepada daerah berdasarkan potensi daerah masing-masing (by origin). Pos Bagi Hasil terdiri atas PBB, PPh Orang Pribadi, BPHTB dan Bagi Hasil SDA. PDS termasuk dalam kelompok block grants karena penggunaan dana PDS sepenuhnya menjadi kewenangan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD atau PDS terhadap terhadap total belanja menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut. Adapun rasio-rasio indikator derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, serta indikator derajat kemandirian suatu daerah di wilayah Banten selama tahun 2001-2005 adalah sebagai berikut:
89 1. Rasio PAD terhadap Total Pendapatan Pada tahun 2001 secara rata-rata proporsi PAD terhadap total pendapatan APBD sebesar 13 persen dan meningkat menjadi 15 persen pada tahun 2005. Dari angka ini dapat diketahui bahwa peranan PAD di wilayah Banten dalam membiayai pembangunan daerah masih relatif kecil, dengan kata lain kontribusi pemerintah melalui transfer DAU masih tinggi. Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang merupakan daerah dengan derajat desentralisasi fiskal tertinggi (proporsi PAD hanya sebesar 3 - 6 persen), sedangkan Kota Cilegon merupakan daerah yang terendah (proporsi PAD sebesar 28 – 33 persen). 2. Rasio PDS terhadap Total Pendapatan Kontribusi rata-rata PDS terhadap total pendapatan APBD pada tahun 2001 sebesar 31 persen dan tahun 2005 menjadi 32 persen. Berhubung di wilayah Banten relatif tidak terdapat bagi hasil dari sektor Migas, maka sumber PDS selain dari PAD berasal dari PBB, PPh orang pribadi, dan BPHTB. Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang merupakan daerah dengan derajat desentralisasi fiskal tertinggi (kontribusi PDS sekitar 8 - 11 persen), sedangkan Kota Cilegon merupakan daerah terendah (kontribusi PDS sebesar 51 – 55 persen).
DAU 61%
Lainnya 5%
PAD 13%
PDS 31%
Tahun 2001
DAU 56%
Lainnya 10%
PAD 15%
PDS 32%
Tahun 2005
Gambar 20 Proporsi pos pendapatan terhadap total pendapatan APBD di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 Sumber : Pemda dan Departemen Keuangan diolah
3. Rasio DAU terhadap Total Pendapatan Rata-rata
sumber
penerimaan
APBD
kabupaten/kota
di
Provinsi
Banten
mengandalkan transfer dari Pusat dalam bentuk DAU. Pada tahun 2001 penerimaan APBD mereka sebesar 61 persen berasal dari DAU, tahun 2005 turun menjadi 56 persen. Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan daerah yang sangat
90 bergantung kepada DAU, lebih dari 80 persen sumber pendapatan APBD kedua daerah itu berasal dari DAU. Sedangkan kontribusi DAU yang paling rendah terdapat di Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Di kedua daerah itu kontribusi DAU berkisar 36 – 42 persen. Tabel 21 Proporsi pos pendapatan terhadap total pendapatan APBD di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 No
Daerah
1 Kab. Lebak Kab. 2 Pandeglang 3 Kab. Serang Kab. 4 Tangerang Kota 5 Cilegon
PAD/TP
PDS/TP
2001 2005
2001
0,03
0,11
0,03 0,14 0,14 0,28
Kota 6 Tangerang
0,18
Total Daerah
0,13
0,06 0,05 0,13 0,17 0,33 0,17 0,15
0,08 0,25 0,39 0,55 0,43 0,31
2005 0,10 0,08 0,25 0,40 0,51 0,47 0,32
DAU/TP
Penerimaan Lainnya/TP
2001 2005
2001
0,86
0,01
0,88 0,72 0,48 0,36 0,42 0,61
0,79 0,85 0,72 0,44 0,40 0,36 0,56
0,02 0,00 0,06 0,04 0,11 0,05
2005 0,05 0,02 0,03 0,15 0,07 0,17 0,10
Sumber : Dep. Keuangan dan Pemda diolah PAD=Pendapatan Asli Daerah PDS=Penerimaan Daerah Sendiri DAU=Dana Alokasi Umum TP=Total Pendapatan
4. Rasio PAD terhadap Belanja Daerah Total anggaran belanja daerah yang dibiayai dari PAD selama tahun 2001-2005 ratarata sebesar 14-15 persen, sementara untuk belanja pegawai sebesar 30 persen. Dari angka tersebut dapat diartikan bahwa tingkat kemandirian daerah di wilayah Banten secara rata-rata masih rendah.
91
PAD 14%
DAU 68%
PDS 34%
PAD 15%
DAU 57%
PDS 33%
2001
2005
Gambar 21 Proporsi pos pendapatan terhadap total belanja di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 Sumber : Departemen Keuangan diolah 5. Rasio PDS terhadap Belanja Daerah Proporsi jumlah PDS terhadap total belanja daerah selama tahun 2001-2005 relatif tidak mengalami perubahan, yaitu sebesar 33 – 34 persen, sedangkan untuk belanja pegawai mengalami penurunan dari 72 persen pada tahun 2001 menjadi 66 persen pada tahun 2005. Ada tiga daerah di Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Serang yang tingkat kemandiriannya sangat rendah karena dari total penerimaan daerah sendiri digunakan untuk membayar belanja pegawai pun masih belum mencukupi (Proporsi PDS terhadap Belanja Pegawai berkisar 11 – 41 persen). Tabel 22
No
Proporsi PAD dan PDS terhadap belanja daerah di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 Proporsi PAD Proporsi PDS Daerah TB BP TB BP TB BP TB BP 2001 2005 2001 2005
1 Kab. Lebak
0,03
0,06
0,06
0,11
0,12
0,19
0,10 0,17
2 Kab. Pandeglang
0,03
0,06
0,05
0,07
0,08
0,15
0,08 0,11
3 Kab. Serang
0,15
0,25
0,12
0,21
0,27
0,47
0,23 0,41
4 Kab. Tangerang 5 Kota Cilegon
0,16 0,37
0,37 1,06
0,19 0,32
0,46 0,68
0,44 0,72
1,03 2,06
0,45 1,12 0,50 1,08
6 Kota Tangerang Total Daerah
0,21 0,14
0,56 0,30
0,17 0,15
0,39 0,30
0,51 0,34
1,36 0,72
0,45 1,04 0,33 0,66
Sumber : Dep. Keuangan dan Pemda diolah TB : Total Belanja BP : Belanja Pegawai
92
6. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Dari hasil analisis rasio belanja pegawai terhadap total belanja menunjukkan bahwa sekitar 50 persen dari total belanja habis digunakan untuk belanja pegawai. Data ini menggambarkan bahwa tingkat efisiensi kinerja pemerintah daerah di wilayah Banten masih kurang optimal. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya belanja pegawai karena adanya pelimpahan aparat pusat yang berasal dari kantor wilayah (Kanwil) dan kantor departemen (Kandep) kepada daerah pada awal pelaksanaan otonomi daerah. 0,60 0,50
0,48
0,40
0,44
0,47
0,50
0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 22 Rasio rata-rata belanja pegawai terhadap total belanja di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005
Analisis Ketenagakerjaan
Situasi ketenagakerjaan di wilayah Banten selama tahun 2002-2005 relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan, jumlah pengangguran bertahan pada angka di atas 14 persen. Namun demikian tahun 2005 mulai menunjukkan arah yang lebih baik, paling tidak jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2004. Angka rata-rata pengangguran terbuka pada tahun 2005 mencapai 14,23 persen. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2002 (14,15 persen) tetapi lebih rendah dibandingkan angka tahun 2004 (14,31 persen). Di sisi lain, pada tahun 2005 jumlah penduduk yang bekerja bertambah 25.013 orang menjadi 3.314.836 orang dibanding 2004 (3.289.823 orang) atau bertambah 97.644 orang dibanding 2002 (3.217.192 orang). Seperti dapat dilihat pada
93 Tabel 9, jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) pada 2005 sebesar 6.139.367 orang, bertambah sebesar 408.303 orang dibandingkan dengan keadaan 2002. Sementara itu, jumlah angkatan kerja pada 2005 mencapai 3.864.831 orang, dan bila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja pada 2002 sebesar 3.747.252 orang, berarti ada penambahan sebesar 117.579 orang. 14,35
% 14,31
14,30 14,25
14,23
14,20
14,18
14,15
14,15
14,10 14,05 2002
2003
2004
2005
Gambar 23 Tingkat pengangguran di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2005 Tingkat pengangguran tertinggi berada di Kota Cilegon (rata-rata 18,38 persen) dan yang terendah berada di Kota Tangerang (rata-rata 12,95 persen). Secara keseluruhan, rata-rata tingkat pengangguran terbuka di wilayah Banten sebesar 14,22 persen, masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran terbuka nasional yang sebesar 10 - 11 persen. Tabel 23 Tingkat pengangguran di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2005 No. 1 2 3 4 5 6
Daerah Kabupaten Pandeglang Kabupaten Lebak Kab. Tangerang Kabupaten Serang Kota tangerang Kota Cilegon Total Daerah
Sumber : BPS diolah
2002 % 13,73 14,89 13,11 14,95 13,60 21,75 14,15
2003 % 12,54 11,65 13,52 16,33 15,70 16,52 14,18
2004 % 16,73 13,01 14,95 13,99 12,31 15,84 14,31
2005 % 13,36 17,31 12,26 18,86 10,20 19,39 14,23
Ratarata % 14,09 14,22 13,46 16,04 12,95 18,38 14,22
94 Analisis Kesejahteraan Penduduk
Pada akhirnya setiap daerah yang melaksanakan pembangunan akan menuju pada peningkatan kesejahteraan masyarakat luas atau pemerataan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi lebih berarti jika diikuti pemerataan atas hasil-hasil pembangunan. Berbagai kebijaksanaan ekonomi untuk menumbuhkan produksi akan lebih berarti jika dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Oleh karena itu orientasi pemerataan seharusnya menjadi muara dari seluruh kegiatan perekonomian suatu daerah dan negara (Triyanto 1990). Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan penduduk yang telah dicapai masingmasing daerah akan digunakan analisis Pendapatan per kapita, IPM (Indeks Pembangunan Manusia), dan Indeks Gini. Sementara untuk melihat pemerataan kesejahteraan penduduk antardaerah akan digunakan uji Indeks Williamson berdasarkan data pendapatan per kapita. Analisis Pendapatan Per Kapita
Analisis indikator kesejahteraan penduduk yang paling sederhana adalah dengan cara menghitung pendapatan per kapita, meski analisis ini dinilai banyak kelemahan tetapi secara internasional masih tetap digunakan oleh para peneliti. Angka pendapatan per kapita sekaligus dapat menggambarkan produktivitas per kapita suatu daerah, karena angka ini menunjukkan kemampuan yang nyata dari suatu daerah dalam menghasilkan output dan kenikmatan yang diperoleh setiap penduduk. 35.000.000 30.000.000 25.000.000 20.000.000 15.000.000 10.000.000 5.000.000 2001
2002
Kab. Lebak Kab. Tangerang
2003 Kab. Pandeglang Kota Cilegon
2004
2005
Kab. Serang Kota Tangerang
Gambar 24 Pendapatan per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Sumber : BPS diolah
95 Dari Gambar 23 menunjukkan pendapatan per kapita di wilayah Banten sangat beragam perbedaan itu sangat nyata antara daerah kota dengan daerah kabupaten. Secara rata-rata selama tahun 2001-2005 pendapatan per kapita Kota Cilegon Rp26.781.628, Kota Tangerang Rp13.782.561, Kabupaten Tangerang Rp4.897.634, Kabupaten Serang Rp4.265.134, Kabupaten Pandeglang Rp2.905.001, dan Kabupaten Lebak Rp2.932.418. Itu berarti secara nominal pendapatan per kapita di Kota Cilegon sembilan kali lebih tinggi dari pendapatan per kapita di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang, sementara pendapatan per kapita Kota Tangerang hampir lima kali lebih tinggi dari kedua daerah itu. Tabel 24 Pendapatan per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 No
Daerah
1
Kab. Lebak
2
Kab. Pandeglang
3
Kab. Serang
4
Kab. Tangerang
5
Kota Cilegon
6
Kota Tangerang Total Daerah
2001
2002
2003
2004
2005
Rata-Rata
3.167.988
2.866.292
2.918.363
2.809.076
2.900.374
2.932.418
2.697.800
2.888.573
2.932.995
2.950.768
3.054.870
2.905.001
4.208.051
4.302.999
4.216.091
4.256.048
4.342.480
4.265.134
5.110.437
4.886.497
4.747.592
4.727.834
5.015.811
4.897.634
25.067.768
26.102.606
26.791.958
27.039.797
28.906.012
26.781.628
14.530.615
13.538.378
13.401.463
13.433.996
14.008.354
13.782.561
6.562.529
6.448.510
6.430.400
6.416.507
6.721.258
6.515.841
Sumber : BPS diolah Untuk melihat tingkat pemerataan kesejahteraan penduduk di wilayah Banten digunakan Indeks Williamson. Hasil uji Indeks Williamson menghasilkan nilai yang stabil pada angka 0,8. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk antar kabupaten/kota di Provinsi Banten selama lima tahun berturut-turut (tahun 2001-2005) sangat timpang. Ketimpangan kesejahteraan antar daerah tersebut selain disebabkan oleh kondisi alam juga disebabkan dampak industrialisasi yang meningkatkan kesenjangan antara daerah industri yang terletak di Banten Utara
96 (Kabupaten Tangerang, Serang, Kota Cilegon, dan Tangerang) dengan daerah yang terletak di Banten Selatan (Kabupaten Lebak dan Pandeglang). Tabel 25 Indeks Williamson PDRB Per Kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Tahun
Indeks Williamson
2001
0,81
2002
0,81
2003
0,82
2004
0,83
2005
0,84
Analisis Gini Rasio
Untuk mengukur tingkat pemerataan pendapatan penduduk suatu daerah umumnya digunakan Gini Rasio. Angka Gini Rasio berkisar antara 0 sampai dengan 1, angka 0 berarti pemerataan pendapatan sangat sempurna dan angka 1 berarti ketimpangan sangat sempurna. Berdasarkan data pendapatan per kapita sebulan dari Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) BPS, maka angka Gini Rasio kabupaten/kota Provinsi Banten selama tahun 2001-2005 adalah sebagai berikut.
97
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Lebak
Pandeglang
Serang
Tangerang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
2001
0.18
0.20
0.23
0.33
0.22
0.25
2002
0.15
0.14
0.24
0.23
0.22
0.16
2003
0.18
0.21
0.25
0.35
0.22
0.22
2004
0.19
0.22
0.27
0.26
0.25
0.27
2005
0.23
0.22
0.28
0.35
0.51
0.29
Gambar 25 Perkembangan Gini Rasio di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 Sumber : BPS diolah Dari hasil perhitungan di atas dapat diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1. Rata-rata Gini Rasio kabupaten/kota secara keseluruhan selama tahun 2001-2005 berkisar antara 0,19 sampai 0,31. Berarti distribusi pendapatan penduduk Banten selama tahun 2001-2005 merata sangat baik. 2. Apabila dilihat distribusi pemerataan pendapatan penduduk rata-rata per daerah (lihat Tabel 26) maka Kabupaten Lebak merupakan daerah yang paling baik distribusinya (0,19) dan Kabupaten Tangerang daerah yang paling timpang distribusinya (0,31). 3. Jika dilihat data tahunan, maka pada tahun 2002 Kabupaten Pandeglang adalah daerah
yang paling baik distribusi pendapatan penduduknya dengan Gini Rasio
sebesar 0,14, sedangkan pada tahun 2005 Kota Cilegon merupakan daerah yang paling tinggi ketimpangannya dengan Gini Rasio sebesar 0,51. Pola distribusi pendapatan masyarakat yang didasarkan pada hasil penghitungan Gini Rasio di atas barulah menggambarkan tingkat pemerataan pendapatan secara global. Sejauh mana atau berapa bagian yang diterima oleh kelompok berpendapatan terendah/miskin belum nampak jelas. Sehubungan dengan itu, ukuran yang dikembangkan oleh Bank Dunia memberikan gambaran lebih jelas mengenai masalah ketidakadilan melalui indikator yang disebut kemiskinan relatif (relative inequality).
98 Kemiskinan relatif diartikan sebagai ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat. Adapun kriteria kemiskinan relatif adalah (1) distribusi pendapatan sangat timpang jika 40 persen penduduk berpendapatan termiskin menerima kurang dari 12 persen dari total pendapatan, (2) distribusi pendapatan timpang moderat jika 40 persen penduduk berpendapatan termiskin menerima antara 12 sampai 17 persen dari total pendapatan, (3) distribusi pendapatan merata jika 40 persen penduduk berpendapatan termiskin menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan. Tabel di bawah ini adalah hasil perhitungan kemiskinan relatif kabupaten/kota di Banten selama tahun 2001- 2005. Tabel 26 Gini Rasio dan kemiskinan relatif di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 2001
Daerah
40% miskin
2002
GR
40% miskin
2003
GR
40% miskin
2004
GR
40% miskin
2005
40%
GR
40% miskin
GR
miskin ratarata
GR ratarata
Lebak
28,26
0,18
30,66
0,15
29,06
0,18
27,56
0,19
25,23
0,23
28,15
0,19
Pandeglang
27,89
0,20
32,51
0,14
26,76
0,21
25,85
0,22
26,52
0,22
27,91
0,20
Serang
25,77
0,23
24,84
0,24
25,95
0,25
23,86
0,27
23,47
0,28
24,78
0,25
Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang
20,45
0,33
22,48
0,23
19,48
0,35
23,35
0,26
18,79
0,35
20,91
0,31
27,13
0,22
24,86
0,22
27,13
0,22
24,54
0,25
12,45
0,51
23,22
0,28
24,88
0,25
30,39
0,16
26,40
0,22
24,81
0,27
20,53
0,29
25,40
0,24
Rata-rata
25,73
0,24
27,62
0,19
25,80
0,24
25,00
0,24
21,17
0,31
25,06
0,24
Sumber : BPS
Dari hasil perhitungan di atas dapat diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1. Rata-rata distribusi pendapatan berdasarkan versi Bank Dunia (jumlah pendapatan 40% penduduk termiskin) secara keseluruhan selama tahun 2001-2005 berkisar antara 21,17% sampai 27,62%. Karena angka tersebut di atas 17%, maka distribusi pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Banten termasuk dalam kategori merata sangat baik. 2. Apabila dilihat distribusi pemerataan pendapatan rata-rata per daerah, maka Kabupaten Lebak merupakan daerah yang paling baik distribusinya (28,15%) dan Kabupaten Tangerang daerah yang paling timpang distribusinya (20,91%).
99 3. Jika dilihat data tahunan, maka daerah yang paling baik distribusi pendapatannya adalah Kabupaten Pandeglang dengan porsi yang diterima oleh 40% penduduk termiskin sebesar 32,51% dari total pendapatan. Sedangkan yang daerah yang paling timpang distribusi pendapatannya adalah Kota Cilegon dengan porsi yang diterima oleh 40% penduduk termiskin sebesar 12,45% dari total pendapatan.
Analisis Indeks Pembangunan Manusia
IPM atau Human Development Index merupakan metoda penghitungan kesejahteraan penduduk yang dikembangkan oleh United Nations for Development (UNDP) sejak tahun 1990. IPM merupakan upaya terbaru dan paling komprehensif dalam menganalisis kualitas SDM suatu daerah (Todaro, 2000). Ada 3 indikator yang dipergunakan UNDP dalam menghitung IPM, yaitu (1) indikator harapan hidup, (2) indikator pendidikan, dan (3) indikator daya beli. Potret IPM di Banten tahun 2002-2004 adalah sebagai berikut. Tabel 27 Indeks Pembangunan Manusia di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2004 Kabupaten/Kota
Angka Harapan Hidup (tahun) 2002
Pandeglang
61,6
2004 62,4
Angka Melek Huruf (Persen) 2002 94,7
2004 94,8
Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 2002 5,9
Rata-rata Pengeluaran riil per kapita (000 Rp)
Peringkat Nasional
IPM
2004
2002
2004
2002
2004
2002
2004
6,3
586,9
615,7
63,2
66,2
264
300
615,4
61,6
65,8
297
317
Lebak
61,9
62,3
90,2
93,9
5,3
6,1
581,9
Tangerang
63,8
64,0
93,7
94,0
8,6
8,9
615,6
618,0
68,4
69,0
92
179
7,1
602,3
611,1
63,7
65,5
256
331
626,0
72,2
73,8
36
43
Serang
60,2
61,1
91,9
93,8
6,8
Kota Tangerang
67,2
68,0
96,9
98,0
10,1
10,2
615,1
Kota Cilegon
67,3
67,9
98,5
98,7
9,6
9,9
596,1
625,2
70,7
73,5
60
48
614,5
66,6
67,9
11
20
614,1
65,8
68,7
Banten
62,4
63,3
93,8
94,2
7,9
8,2
608,7
Nasional
66,2
67,6
89,5
90,4
7,1
7,2
591,2
Sumber : BPS Provinsi Banten
100 Indikator Harapan Hidup
Usia harapan hidup masyarakat Banten secara umum mengalami kenaikan dari 62,4 tahun pada tahun 2002 menjadi 63,3 tahun pada tahun 2004. Artinya peluang hidup penduduk Banten bertambah rata-rata 0,9 tahun. Dapat dikatakan rata-rata bayi yang lahir di Banten pada tahun 2004 diharapkan dapat hidup sampai usia sekitar 63,3 tahun. Bila dibandingkan dengan angka nasional pada tahun 2004 yang telah mencapai 67,7 tahun angka harapan hidup penduduk Banten relatif masih rendah, apalagi bila dibandingkan dengan angka ideal versi UNDP yang sebesar 85 tahun. Pada tingkat daerah, usia harapan hidup tahun 2004 tertinggi mencapai 68,0 tahun terdapat di Kota Tangerang kemudian Kota Cilegon mencapai 67,9 tahun. Angka itu berada diatas rata-rata penduduk Banten (63,3 tahun) maupun nasional (67,6 tahun). Tingginya usia harapan hidup di kedua kota itu karena daerah perkotaan memiliki sarana kesehatan yang memadai juga transportasi yang lancar sehingga memudahkan masyarakat mengakses fasilitas kesehatan yang ada, disamping tingginya pendapatan per kapita mereka. Daerah kabupaten lainnya masih di bawah rata-rata nasional, bahkan Pandeglang, Lebak dan Serang di bawah rata-rata usia harapan hidup penduduk Banten. Kenyataan ini didukung fakta bahwa di daerah ini masih kurangnya tenaga medis yang membantu proses kelahiran, kurangnya fasilitas kesehatan serta minimnya pendapatan mereka. 70 68
68,0
67,9
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Nasional = 67,6
66 64 62
64,0 Banten= 63,3 62,4
62,3
60
61,1
58 56 Pandeglang
Lebak
Tangerang
Serang
Gambar 26 Angka Harapan Hidup di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 Sumber : BPS diolah
101 Indikator Pendidikan
Indikator pendidikan terdiri atas angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk dewasa (15 tahun ke atas). Angka ideal melek huruf menurut UNDP adalah 100 persen dan rata-rata lama sekolah adalah 15 tahun atau tamat Diploma 3. Pada tahun 2004 sebanyak 94,2 persen penduduk dewasa Banten telah melek huruf. Artinya dari setiap 100 penduduk usia di atas 15 tahun masih terdapat 6 orang yang belum dapat membaca dan menulis. Angka itu lebih baik 3,8 persen dari angka nasional yang sebesar 90,4 persen, kenyataan itu menggambarkan bahwa masyarakat Banten sudah sadar untuk menyekolahkan anak-anaknya minimal sampai dapat membaca dan menulis. Pada tingkat daerah, persentase penduduk buta huruf terbanyak berada di Serang (6,2 persen), sementara yang terendah terdapat di Kota Cilegon (1,3 persen) dan Kota Tangerang (2 persen). Ketersediaan sarana pendidikan, kemudahan transportasi dan kondisi pendapatan yang baik merupakan beberapa faktor yang menyebabkan tingkat pendidikan di perkotaan lebih baik dibanding daerah kabupaten.
100
98,7
99
98,0
98 97 96
94,8
95
93,9
94,0
94
Banten =94,2
93
93,8
92 91
Nasional = 90,4
90 Pandeglang
Lebak
Tangerang
Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Gambar 27 Angka Melek Huruf di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 Sumber : BPS diolah
102 Rata-rata lama sekolah pada tahun 2004 sebesar 8,2 tahun lebih lama dari tahun 2002 (7,9 tahun). Dapat diartikan bahwa secara rata-rata penduduk dewasa telah menyelesaikan SD tepatnya setingkat kelas 2 SLTP. Kondisi ini tentu sangat mendukung dengan program wajib belajar 9 tahun. Untuk indikator rata-rata lama sekolah Banten juga telah melebihi angka nasional yang besarnya 7,2 tahun. Tetapi jika dirinci menurut kabupaten/kota terlihat perbedaan derajat pendidikan yang cukup mencolok antara wilayah Utara dan Selatan Banten. Di wilayah Banten Utara penduduknya rata-rata telah menamatkan pendidikan SMP, terutama di Kota Tangerang, Kota Cilegon dan Kabupaten Tangerang yang dapat dilihat dari rata-rata lama sekolah di atas 9 tahun. Sedangkan di wilayah Banten Selatan, yaitu di Kabupaten Pandeglang dan Serang penduduknya ratarata hanya setingkat SD.
12
10,2
10
8,9
9,9
Banten = 8,2
8 6
7,1 6,3
Nasional = 7,2
6,1
4 2 0
Serang
Lebak Pandeglang
Tangerang
Kota Cilegon
Kota Tangerang
Gambar 28 Rata-rata Lama Sekolah di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 Sumber : BPS diolah
103 Indikator Daya Beli
Pengukuran indikator daya beli didekati dengan besarnya konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity). Rata-rata konsumsi per kapita penduduk Banten pada tahun 2001 sebesar Rp608,7 ribu meningkat menjadi Rp614,5 ribu pada tahun 2004. Sementara angka nasional pada tahun 2002 sebesar Rp614,1 ribu dan tahun 2004 Rp614,1 ribu. Pada tingkat daerah, wilayah Banten Utara terkecuali Serang daya beli masyarakat rata-rata berada di atas angka provinsi, sedangkan wilayah Banten selatan (Pandeglang dan Lebak) daya beli masyarakat masih relatif rendah sekitar Rp591 ribu.
630 626
625,2
625 618
620 615,7
615,4 Banten = 614,5
615
Nasional = 614,1 610
611,1
605 600 Pandeglang
Lebak
Tangerang
Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Gambar 29 Daya Beli Masyarakat di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 Sumber : BPS diolah
Indikator IPM
Angka IPM suatu daerah memperlihatkan jarak yang harus ditempuh untuk mencapai nilai ideal (100). Angka ini dapat diperbandingkan antar daerah di Indonesia, sehingga angka IPM yang diperoleh suatu daerah dapat menggambarkan kinerja pembangunan daerah. Hasil penghitungan IPM Banten pada tahun 2004 sebesar 67,9 dan berada pada peringkat ke-20 dari 34 provinsi. Pada tahun 2002 posisi Banten ada pada
104 peringkat ke-11 berarti dalam dua tahun provinsi-provinsi lain yang sebelumnya pada posisi bawah telah menunjukkan keseriusan dalam membangun sumber daya manusianya. Pada tingkat daerah, Kota Tangerang selalu meraih peringkat terbaik di Banten disusul Kota Cilegon pada peringkat kedua, kemudian Kabupaten Tangerang pada peringkat ketiga. Tiga daerah lainnya, Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Serang secara bergantian menduduki peringkat keempat sampai keenam. Secara nasional meskipun angka IPM Kota Tangerang pada tahun 2004 meningkat dari 72,2 (tahun 2002) menjadi 73,8 (tahun 2004) tetapi peringkatnya turun dari 36 (tahun 2002) menjadi 43 (tahun 2004). Berarti percepatan pembangunan manusia di kabupaten/kota lain yang sebelumnya berada di posisi bawah, lebih baik dari Kota Tangerang.
Peringkat Lokal 7 6 5 4 3 2 1 0 Kota Tangerang
Kota Cilegon
Tangerang
Pandeglang
Lebak
Serang
2002
1
2
3
5
6
4
2004
1
2
3
4
5
6
Gambar 30 Peringkat IPM di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2004 Sumber : BPS diolah
105 Status pembangunan manusia tahun 2004 untuk tingkat daerah di Provinsi Banten semua masuk dalam kategori menengah. Jika ukuran menengah menurut skala internasional dibagi lagi menjadi kelas menengah atas dan menengah bawah maka terdapat 4 daerah yang masuk dalam tingkat pembangunan menengah atas (IPM antara 66,00-79,99), yaitu Kabupaten Pandeglang, Tangerang, kota Tangerang dan Cilegon. Dua daerah masuk tingkat menengah bawah (IPM antara 50,00-65,99), yaitu kabupaten Lebak dan Serang. Berarti tidak ada daerah yang masuk dalam kelas pembangunan manusia rendah (IPM kurang dari 50,00).
76 74 72 70 68 66 64 62 60 58 56 54 Pandeglang
Lebak
Tangerang
Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
2002
63.2
61.6
68.4
63.7
72.2
70.7
2003
63.7
62.5
68.8
64.3
73.1
71.1
2004
66.2
65.8
69
65.5
73.8
73.5
Gambar 31 Perkembangan IPM di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2004 Sumber : BPS diolah Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Kesejahteraan Masyarakat : Estimasi dengan Metode Panel Data
Sebagaimana
telah
diuraikan
pada
bagian
sebelumnya
bahwa
dan
setelah
diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal sumber utama penerimaan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, DAU, dan DAK). Kedua jenis penerimaan tersebut, kecuali DAK, bersifat block grant artinya daerah memiliki kewenangan untuk mengelolanya berdasarkan prioritas daerah. Dengan
106 demikian, dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal sumber dana DAU, Bagi Hasil dan PAD merupakan jenis sumber dana yang sangat berpengaruh terhadap kinerja pembangunan daerah. Dengan pertimbangan tersebut, pada bagian ini akan dianalisis pengaruh DAU, Bagi Hasil dan PAD terhadap perkembangan perekonomian, dan tingkat distribusi pendapatan masyarakat kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 20012005. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal tersebut digunakan model ekonometrika dengan estimasi melalui metode panel data. Estimasi ini dilakukan dengan cara menyusun data dalam bentuk pooled, yaitu data yang mengkombinasikan data time series dan data cross section. Keuntungan menggunakan teknik panel data ini adalah
(Baltagi, 1995): 1.
mampu mengontrol heterogenitas individu.
2.
memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom, dan lebih efisien.
3.
mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.
Dalam analisis model panel data dikenal tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Pendekatan pooled least square digunakan untuk penerapan data yang berbentuk pool, sehingga didapat intersep dan slope yang konstan. Pendekatan model fixed effect digunakan jika penerapkan model tersebut hanya untuk cross-sectional unit yang tercakup dalam penelitian. Sementara spesifikasi random effect
digunakan jika cross-sectional unit yang digunakan dalam penelitian merupakan sample yang diambil dari populasi yang besar. Pada model fixed effect dan random effect setiap unit pengamatan akan memiliki intersep dan slope sendiri-sendiri (Baltagi, 1995). Mengingat seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten yang menjadi sample cross sectional dalam penelitian ini hanya berjumlah 6 daerah dan waktu pengamatan hanya 5
tahun (data tahunan), maka metode estimasi akan digunakan pendekatan fixed effect. Adapun model yang akan diestimasi adalah sebagai berikut:
107 Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap perkembangan perekonomian
ln(Entropyit) = β0 + β1ln(DAU it) + β2ln(Bagi Hasil it) + β3ln (PAD it) + eit
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan
ln(Gini Rasioit) = β0 + β1ln(DAU it) + β2ln(Bagi Hasil it) + β3ln (PAD it) + eit
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap perkembangan perekonomian
Untuk melihat pengaruh DAU, Bagi Hasil, dan PAD terhadap perkembangan perekonomian yang terjadi di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten, dilakukan estimasi dengan menggunakan metode panel data dengan model fix effect-cross section specific coeficient-cross section weighting.
Tabel 28
Ringkasan output hasil estimasi perkembangan perekonomian per daerah dengan fix effect-cross section specific coeficient-cross section weighting
No.
Daerah
1
Kab. Lebak
C
DAU
Bagi Hasil
PAD
-302,9505
0,081195
0,040777*
-0,061290**
0,2465
0,0679
0,0404
-0,059914**
0,013432***
-0,006019
0,0105
0,0033
0,4055
-0,046725***
0,054876*
-0,103887**
0,0002
0,0541
0,0239
0,002706
-0,011951***
0,021624
0,9193
0,0025
0,2391
-0,077155***
-0,057010***
0,144035***
0,0002
0,0003
0,0000
0,138182**
-0,015898
0,022107
0,0305
0,5091
0,6745
Probabilitas 2
Kab. Pandeglang
3,300611
Probabilitas 3
Kab. Serang
171,7610
Probabilitas 4
Kab. Tangerang
-61,80152
Probabilitas 5
Kota Cilegon
-99,46305
Probabilitas 6
Kota Tangerang
-398,1154
Probabilitas R-squared
0,999975
Prob(F-statistic)
0,000000
***,**,* signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, 10%
108 Nilai R-squared dari hasil estimasi sebesar 0,999975 berarti bahwa model di atas dapat menjelaskan keragaman dari perkembangan perekonomian sebanyak 99,99% sedangkan sisanya (0,01%) dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai probabilitas dari F-statistik yang bernilai 0,0000 memiliki arti bahwa pada tingkat signifikansi berapapun ketiga variabel akan mempengaruhi perkembangan perekonomian. Berdasarkan
hasil
estimasi
terhadap
perkembangan
ekonomi
dengan
menggunakan model fix effect-cross section specific coeficient-cross section weighting diperoleh intersep yang spesifik untuk setiap kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten. Nilai intersep yang diperoleh merupakan nilai otonomus dari perkembangan perekonomian di masing-masing daerah, sedangkan koefisien dari masing-masing variabel menunjukkan elastisitas perkembangan perekonomian di masing-masing daerah. Dari Tabel 28 terlihat bahwa DAU berpengaruh nyata di empat daerah, yaitu Kabupaten Serang, Kota Cilegon pada taraf nyata 1%, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang pada taraf nyata 5% sementara di dua daerah lainnya tidak berpengaruh nyata. Dari empat daerah yang berpengaruh nyata, hanya di Kota Tangerang yang memperlihatkan pengaruh DAU yang positif, yaitu setiap kenaikan 1% DAU akan menaikkan perkembangan keragaman perekonomian sebesar 0,138182%, sedangkan tiga daerah lainnya memperlihatkan pengaruh DAU yang negatif. Variabel Dana Bagi Hasil berpengaruh nyata di lima daerah, yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon pada taraf nyata 1%, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang pada taraf nyata 10%, sedangkan di Kota Tangerang tidak berpengaruh nyata. Di Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap perkembangan perekonomian, sementara di Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon pengaruhnya negatif. Untuk Kabupaten Serang nilai koefisien Dana Bagi Hasil sebesar 0,054876 menunjukkan bahwa setiap kenaikan Dana Bagi Hasil sebesar 1% akan mengakibatkan kenaikan perkembangan perekonomian sebesar 0,054876%. Variabel PAD berpengaruh nyata di tiga daerah, yaitu Kota Cilegon pada taraf nyata 1%, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang pada taraf nyata 5% sedangkan di tiga daerah lainnya tidak berpengaruh nyata. Pengaruh PAD terhadap perkembangan perekonomian bernilai positif hanya di Kota Cilegon dengan koefisien sebesar 0,144035
109 yang artinya setiap kenaikan PAD sebesar 1% akan menaikkan perkembangan perekonomian sebesar 0,144035%.
Interpretasi hasil estimasi model perkembangan perekonomian
Berdasarkan teori ekonomi hubungan perkembangan ekonomi, yaitu nilai entropy terhadap variabel DAU, Dana Bagi Hasil dan PAD secara umum adalah berbanding lurus atau berkorelasi positif. Artinya apabila terjadi peningkatan penerimaan daerah (APBD) dari sumber DAU, Dana Bagi Hasil dan PAD maka perkembangan perekonomian daerah (nilai entropy) akan meningkat pula, dan sebaliknya. Pertimbangannya adalah dengan bertambahnya DAU, Dana Bagi Hasil dan PAD berarti kemampuan keuangan daerah yang akan dialokasikan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, termasuk pelayanan untuk meningkatkan keragaman perekonomian akan meningkat. Penyimpangan dari berlakunya teori ekonomi itu seperti nilai DAU yang negatif di Kabupaten Serang, Kota Cilegon, dan Kabupaten Pandeglang dapat diartikan bahwa dengan adanya alokasi DAU cenderung mendorong ketiga daerah tersebut menjadi kurang kreatif dalam melakukan keragaman perekonomian Hal itu terjadi karena dalam formula yang dipergunakan dalam pengalokasian DAU, variabel perkembangan perekonomian (yang tercermin dari PDRB) adalah bagian dari variabel Kapasitas Fiskal yang merupakan faktor pengurang. Artinya dengan membiarkan perekonomian daerah tidak berkembang (PDRB rendah), maka jumlah DAU yang akan diterima cenderung akan meningkat. Selanjutnya, mengingat Provinsi Banten tidak memiliki bagi hasil dari sektor Migas, maka penerimaan Dana Bagi Hasil berasal dari bagi hasil sekor pajak (PBB, BPHTB dan PPh orang pribadi). Dengan demikian, pengaruh Dana Bagi Hasil yang negatif di Kabupaten Tangerang dan Kota Cilegon dapat diartikan bahwa setiap kenaikan tarif ketiga jenis pajak tersebut dapat mengurangi minat para pengusaha untuk melakukan investasi di kedua daerah itu. Sementara, pengaruh PAD yang negatif di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang dapat diartikan bahwa kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diterapkan di kedua daerah itu kurang mendukung kegiatan dunia usaha. Dengan kata lain, apabila perekonomian di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang ingin
110 berkembang, maka kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus dievaluasi, misalkan penurunan tarif pajak daerah, penyederhanaan perizinan usaha dan lain-lain.
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan
Untuk melihat pengaruh DAU, Bagi Hasil, dan PAD terhadap distribusi pendapatan yang terjadi di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten, dilakukan estimasi dengan menggunakan metode panel data dengan model fix effect-cross section specific coeficient-cross section weighting.
Tabel 29 Ringkasan output hasil estimasi distribusi pendapatan per daerah dengan fix effect-cross section specific coeficient-cross section weighting No. 1
Daerah Kab. Lebak
C
DAU
Bagi Hasil
PAD
-3499,647
1,848307
-0,169712
-0,476514
0,1038
0,5664
0,2325
5,321529**
0,490331
-1,992805*
0,0404
0,2182
0,0557
0,344318***
-0,251563*
0,453310**
0,0000
0,0732
0,0410
4,340809*
-0,034344
-2,739049*
0,0532
0,8461
0,0575
2,389067***
-4,633771***
0,435727
0,0059
0,0000
0,4923
3,297095***
0,897850***
-3,366137***
0,0000
0,0000
0,0000
Probabilitas 2
Kab. Pandeglang
-10662,63
Probabilitas 3
Kab. Serang
-1547,924
Probabilitas 4
Kab. Tangerang
-4578,695
Probabilitas 5
Kota Cilegon
4173,862
Probabilitas 6
Kota Tangerang
-2514,456
Probabilitas R-squared
0,999991
Prob(F-statistic)
0,00000
***,**,* signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, 10%
111 Nilai R-squared sebesar 0,999991 menunjukkan bahwa estimasi tersebut dapat menjelaskan keragaman yang terjadi dalam model sebesar 99,99% sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hal ini didukung dengan nilai Prob(Fstatistic) sebesar 0,0000 yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan ketiga variabel penjelas dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang nyata terhadap distribusi pendapatan. Berdasarkan hasil estimasi dengan fix effect-cross section specific coeficientcross section weighting diperoleh intersep yang spesifik untuk setiap daerah di wilayah
Provinsi Banten. Nilai intersep yang diperoleh merupakan nilai otonomus dari tingkat distribusi pendapatan di masing-masing daerah, sedangkan koefisien dari masing-masing variabel menunjukkan elastisitas distribusi pendapatan terhadap masing-masing variabel. Dari Tabel 29 terlihat bahwa variabel DAU berpengaruh positif secara nyata di empat daerah, yaitu Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kota Tangerang pada taraf nyata 1%, Kabupaten Pandeglang pada taraf nyata 5%, dan Kabupaten Tangerang pada taraf nyata 10%, sementara di Kabupaten Lebak tidak berpengaruh nyata. Koefisien DAU di Kota Cilegon sebesar 2,389067 yang berarti setiap kenaikan 1% DAU akan menaikkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 2,389067%. Variabel Dana Bagi Hasil berpengaruh negatif secara nyata di dua daerah, yaitu Kota Cilegon pada taraf nyata 1%, dan Kabupaten Serang pada taraf nyata 10%. Berpengaruh positif secara nyata hanya di Kota Tangerang pada taraf nyata 1%, sedangkan di tiga daerah lainnya tidak berpengaruh nyata. Untuk Kabupaten Serang nilai koefisien Dana Bagi Hasil sebesar -0,251563 menunjukkan bahwa setiap kenaikan Dana Bagi Hasil sebesar 1% akan memperbaiki distribusi pendapatan sebesar 0,251563%. Variabel PAD berpengaruh nyata di empat derah, yaitu Kota Tangerang pada taraf nyata 1%, Kabupaten Serang pada taraf nyata 5%, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang pada taraf nyata 10%. Variabel PAD berpengaruh negatif di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang sedangkan di Kabupaten Serang pengaruhnya positif. Koefisien PAD di Kabupaten Pandeglang sebesar -1,992805 menunjukkan bahwa setiap kenaikan PAD sebesar 1% akan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan sebesar 1,992805 %.
112 Interpretasi hasil estimasi model distribusi pendapatan masyarakat
Berdasarkan teori ekonomi hubungan distribusi pendapatan masyarakat, yaitu nilai Gini Rasio terhadap variabel DAU, Dana Bagi Hasil dan PAD adalah berbanding terbalik atau memiliki korelasi negatif. Artinya apabila terjadi peningkatan variabel DAU, Dana Bagi Hasil dan PAD maka akan diikuti dengan membaiknya distribusi pendapatan masyarakat, yaitu menurunnya nilai Gini Rasio (mendekati angka 0). Pertimbangannya adalah dengan bertambahnya DAU, Dana Bagi Hasil dan PAD berarti kemampuan keuangan daerah yang akan dialokasikan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, termasuk untuk alokasi yang terkait dengan kebijakan yang dapat memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat akan meningkat. Perbaikan distribusi pendapatan dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal daerah, seperti peningkatan anggaran belanja daerah untuk sektor publik (bukan belanja pegawai) dan pemberian subsidi untuk masyarakat miskin. Nilai DAU yang positif di Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Tangerang dapat diartikan bahwa dengan adanya alokasi DAU telah memperburuk distribusi pendapatan masyarakat di lima daerah itu. Hasil estimasi panel data tersebut mendukung analisis kinerja keuangan daerah yang memperlihatkan lebih dari 60 persen sumber penerimaan DAU dialokasikan untuk membiayai kegiatan rutin daerah terutama belanja pegawai. Artinya alokasi DAU sebagian besar hanya dinikmati oleh anggota DPRD, pejabat dan aparatur daerah yang jumlahnya sedikit sedangkan sebagian kecil dari DAU dinikmati oleh publik yang jumlahnya banyak. Kondisi ini tentu akan memperlebar gap distribusi pendapatan antarmasyarakat. Demikian pula pengaruh Dana Bagi Hasil dan PAD yang positif dapat diartikan bahwa alokasi kedua dana tersebut lebih banyak dinikmati oleh sekelompok orang, terutama anggota DPRD dan pejabat daerah. Sebab tunjangan, honor dan insentif anggota DPRD dan pejabat daerah bersumber dari Dana Bagi Hasil dan PAD.
113 Implikasi Strategi Pembangunan Provinsi Banten
Melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000, status Karesidenan Banten yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Banten. Lahirnya Provinsi Banten tidak dapat dipisahkan dari latar belakang perjuangan pembentukannya, yaitu upaya pengentasan dari kemiskinan, ketertinggalan, dan ketimpangan yang terjadi antara kabupaten/kota di wilayah Banten. Lahirnya Provinsi Banten bersamaan dengan mulai dilaksanakannya kebijakan desentralisasi fiskal sehingga daerah diberi peluang lebih untuk membangun daerahnya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi, dan kehendak stakeholders di daerah dalam kerangka koordinasi yang harmonis dengan pemerintah pusat. Hasil analisis pada bagian sebelumnya memperlihatkan bahwa tujuan pembentukan Provinsi Banten sampai tahun 2005 belum tercapai secara optimal, indikatornya antara lain (1) tingginya ketimpangan pembangunan antara Banten Utara dengan Banten Selatan, (2) tingginya tingkat pengangguran, (3) rendahnya tingkat kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan daerah. Sementara itu, potensi sumber daya yang dimiliki Provinsi Banten berdasarkan data kondisi fisik, ekonomi dan faktor-faktor eksternal menunjukkan kekuatan yang sangat tinggi. Apabila sumberdaya itu dikelola dengan strategi yang tepat maka tujuan pembentukan Provinsi Banten dapat dicapai dengan lebih baik lagi. Beberapa kekuatan dari sumberdaya yang dimiliki Provinsi Banten tersebut antara lain adalah: 1. Letak lokasi geografis yang strategis Provinsi Banten terletak di ujung Barat Pulau Jawa yang menghubungkan dengan bagian Barat Indonesia. Keunggulan komparatif yang dimiliki Banten adalah letak geografis yang strategis dengan tiga arah mata angin yang berbatasan langsung dengan laut. Tiga wilayah yang berbatasan dengan laut tersebut adalah wilayah Barat berhadapan dengan Selat Sunda, wilayah Utara berhadapan dengan Laut Jawa, dan wilayah Selatan dengan Samudera Indonesia. Keadaan suatu wilayah yang dikelilingi oleh laut merupakan keuntungan tersendiri bagi prospek pengembangan kehidupan perekonomian, pariwisata, dan perdagangan lintas pulau. Dengan posisi strategis seperti itu, Provinsi Banten memiliki potensi untuk membangun dan mengembangkan pelabuhan-pelabuhan yang akan menjadi tujuan masuknya arus barang atau perdagangan serta wisatawan antar
114 daerah maupun antar negara. Dengan demikian, dalam menghadapi era perdagangan bebas, Provinsi Banten sangat diuntungkan karena memiliki gerbang antar pulau dan antar negara. Selain itu, letak Provinsi Banten yang berdampingan dengan DKI Jakarta memiliki keuntungan tersendiri. Jakarta sebagai ibu kota negara memerlukan input tenaga kerja
dan
raw
material
yang
cukup
besar
guna
menunjang
pertumbuhan
perekonomiannya. Dilihat dari aspek biaya transportasi, Provinsi Banten tentu memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan provinsi lain yang letaknya jauh dengan Jakarta. 2. Ketersediaan infrastruktur pendukung bagi sektor industri dan jasa Kabupaten/Kota Tangerang, Serang, dan Cilegon telah memiliki prasarana dan sarana pendukung bagi sektor industri dan jasa, hal itu merupakan daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di wilayah Banten. Selain itu, merupakan peluang pasar juga bagi wilayah penghasil produk primer atau bahan baku, khususnya bagi Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang aktifitas utama perekonomiannya adalah sektor primer (pertanian dan hasil alam lainnya). 3. Memiliki sarana perhubungan yang vital dan strategis Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta dan pelabuhan-pelabuhan laut yang terletak di Provinsi Banten, terutama Pelabuhan Merak, adalah gerbang keluar masuk arus barang dan jasa serta wisatawan mancanegara. Keduanya adalah sarana transportasi vital tidak saja untuk wilayah Banten melainkan untuk seluruh wilayah Indonesia. Sarana perhubungan ini menjadikan Banten sebagai wilayah penting dalam lalu lintas barang dan penumpang serta perdagangan dalam skala nasional dan iternasional. Dalam upaya mengoptimalkan kekuatan yang dimiliki tersebut, pada era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal saat ini, Pemerintah Daerah dapat mengambil langkahlangkah strategis dengan dukungan pendanaan dari APBD secara mandiri berdasarkan prioritas daerah. Ada beberapa langkah yang penulis usulkan sebagai alternatif perbaikan strategi pembangunan Provinsi Banten di masa yang akan datang, yaitu: 1. Perwujudan good governance Aparatur Pemerintah Daerah yang berwibawa, profesional, bersih, berorientasi terhadap pelayanan masyarakat, merupakan faktor penting yang sangat menentukan
115 efektivitas fungsi-fungsi pemerintah dan keberhasilan pembangunan secara keseluruhan. Guna mendukung perwujudan good governance, maka belanja daerah untuk peningkatan kualitas aparatur daerah serta penegakan supremasi hukum perlu mendapat prioritas oleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Banten pada pembahasan APBD tahun berikutnya. 2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Dalam menghadapi era perdagangan bebas, serta mengejar ketertinggalan Provinsi Banten dari provinsi lainnya yang telah maju, kualitas sumberdaya manusia merupakan aset penentu utama. Pada dasarnya, kualitas sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh pendidikan, kesehatan, dan penguasaan iptek. Oleh karena itu anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan perlu mendapat perhatian oleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Banten pada pembahasan APBD tahun yang akan datang. 3. Terwujudnya sinergi pembangunan antar kabupaten/kota Adanya dikotomi pembangunan antara wilayah Utara dengan Selatan membutuhkan strategi khusus dalam penanganan masalah-masalah pembangunan. Oleh karena itu mensinergikan keragaman potensi daerah merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan Provinsi Banten. Melalui pensinergian keragaman potensi Kabupaten/Kota, percepatan pembangunan tidak hanya ditujukan untuk yang tertinggal tetapi untuk seluruh Kabupaten/Kota. Pembangunan yang merata tidak berarti daerah yang sudah lebih dahulu menikmati kemajuan, harus memperlambat atau dihambat laju pertumbuhannya, tetapi justru perlu disinergikan untuk dapat memberikan kemudahan, aksesibilitas, fasilitasi, atau bentuk kontribusi lainnya kepada daerah yang masih tertinggal agar dapat mempercepat pembangunan dan pertumbuhan daerahnya. Misalkan sebagai daerah industri, kebutuhan barang primer (pertanian dan hasil alam lainnya) untuk masyarakat Kota Tangerang dan Kota Cilegon dipasok dari Kabupaten Lebak atau Pandeglang. Sebaliknya kebutuhan barang industri masyarakat Lebak dan Pandeglang dipasok dari Cilegon atau Tangerang.
116
4. Perluasan area perdagangan Mengingat letak geografis Provinsi Banten yang sangat strategis, maka peluang perluasan perdagangan antar provinsi bahkan antar negara sangat terbuka lebar. Agar komoditi yang diperjualbelikan dapat bersaing dengan kompetitor, maka peningkatan kualitas komoditi dengan memberikan penyuluhan kepada para petani dan pelaku ekonomi lainnya harus menjadi prioritas Pemerintah Daerah.