34
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Desa Desa Paberasan merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur. Batas-batas wilayah Desa Paberasan yaitu: Sebelah utara
: Desa Poja
Sebelah selatan : Desa Kacongan Sebelah timur
: Desa Beraji
Sebelah barat
: Desa Parsanga
Desa Paberasan memiliki luas permukiman 129 ha/m2, luas persawahan 192 ha/m2, dan luas perkebunan 157 ha/m2. Jumlah penduduk sebanyak 1806 orang laki-laki dan 1877 orang perempuan, dengan jumlah kepala keluarga 1090 KK. Jumlah balita yang ada di Desa Paberasan tahun 2008: Tabel 6 Sebaran balita di Desa Paberasan berdasarkan usia Usia (tahun)
Laki-Laki
Perempuan
0
22
38
1
22
24
2
24
37
3
25
34
4
27
38
5
20
24
Sumber: Profil Desa Paberasan
Terdapat 50 laki-laki dan 55 perempuan yang tamat SD, 52 laki-laki dan 70 perempuan yang tamat SMP, 60 laki-laki dan 62 perempuan yang tamat SMA. Terdapat 12 laki-laki dan 8 perempuan yang tamat D1, 20 laki-laki dan 25 perempuan yang tamat D2, 40 laki-laki dan 50 perempuan yang tamat D3, dan 30 laki-laki dan 35 perempuan yang tamat S1. Pada umumnya masyarakat Desa Paberasan memiliki pekerjaan sebagai petani dan buruh tani. Terdapat 370 lakilaki dan 150 perempuan yang bekerja sebagai petani, 395 laki-laki dan 300 perempuan yang bekerja sebagai buruh tani. Masyarakat yang bekerja sebagai PNS yaitu 132 laki-laki dan 10 perempuan. Masyarakat Desa Paberasan juga ada yang bekerja sebagai pedagang yaitu 200 orang laki-laki dan 10 perempuan. Berdasarkan profil puskesmas tahun 2010, jumlah posyandu di Desa Paberasan sebanyak 4 posyandu. Posyandu yang terdapat di desa tersebut semuanya tergolong posyandu madya. Posyandu Madya merupakan posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali per tahun, dengan rata-rata jumlah kader lima orang atau lebih, namun cakupan program utamanya (KB, KIA,
35
Gizi, dan Imunisasi) masih rendah, yaitu kurang dari 50% (Sulaeman A dkk 2010). Jumlah balita yang ditimbang di Desa Paberasan sebanyak 71.5%, balita yang naik berat badannya sebanyak 70%, balita yang BGM sebanyak 3.9%. Masih mencapai 64.3% ibu yang memberikan ASI eksklusif. Selain itu juga terkait dengan penggunaan garam beryodium, Desa Paberasan hanya 85.7% yang menggunakan garam beryodium (Profil Puskesmas Pamolokan 2010). Karakteristik Keluarga Pendapatan dan Besar Keluarga Sebagian besar (72.7%) contoh memiliki pendapatan per kapita >Rp.213.383. Keluarga yang memiliki pendapatan per kapita >Rp.213,383 tergolong keluarga tidak miskin berdasarkan batas garis kemiskinan. Pendapatan per kapita terendah sebesar Rp.120.000 dan pendapatan per kapita keluarga tertinggi sebesar Rp.875.000. Besar anggota keluarga juga perlu untuk diperhatikan karena merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan seseorang. Hal ini dilihat dari pola konsumsi dan luas hunian rumah dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal di dalamnya. Jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan perhatian ibu terhadap anak-anaknya semakin berkurang dan terhadap anggota keluarga yang lain, serta perhatian ibu terhadap dirinya sendiri (Sukarni 1989). Sebagian besar (63.6%) contoh termasuk dalam keluarga kecil dan tidak ada contoh yang termasuk dalam kategori keluarga besar. Berdasarkan Hurlock (1998) keluarga kecil adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga ≤4 orang. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dan besar keluarga. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dan besar keluarga Jumlah anggota keluarga
Total
Pendapatan per kapita (Rp/bulan)
≤Rp 213,383
>Rp 213,383
n
%
n
%
N
%
≤4
0
0
35
63.6
35
63.6
5-7
15
27.3
5
9.1
20
36.4
Total
15
27.3
40
72.7
55
100
Karakteristik Balita Umur dan Jenis Kelamin Balita Balita memerlukan perhatian yang sangat serius karena pada masa balita adalah masa tumbuh kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan secara fisik
36
dan perkembangan psikomotorik. Pada masa ini balita harus memiliki kondisi gizi yang baik. Keadaan gizi yang baik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan balita. Sebagian besar (29.1%) balita berada dalam rentang umur 13-24 bulan dan 49-60 bulan. Berdasarkan pengelompokan jenis kelamin, dapat diketahui 63.6% balita berjenis kelamin perempuan dan sisanya berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 36.4%. Berdasarkan data laporan desa, balita yang terdapat di desa tersebut sebagian besar adalah perempuan. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin balita: Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin Umur (Bulan)
13-24 25-36 37-48 49-60 Total
Jenis kelamin laki-laki n 6 2 3 9 20
Total perempuan
% 10.9 3.6 5.5 16.4 36.4
n 10 11 7 7 35
% 18.2 20.0 12.7 12.7 63.6
N 16 13 10 16 55
% 29.1 23.6 18.2 29.1 100
Sebaran contoh juga dapat dilihat berdasarkan umur dan jenis kelamin balita. Sebagian besar (20%) balita berjenis kelamin perempuan pada umur 2536 bulan dan sebagian kecil (3.6%) balita berjenis kelamin laki-laki pada rentang umur 25-36 bulan. Berdasarkan data laporan desa tahun 2008, balita yang terdapat di Desa Paberasan sebagian besar berada dalam rentang umur 25-36 bulan dan sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan. Karakteristik Ibu balita Umur Ibu Sebagian besar (94%) ibu berada dalam rentang umur 20-40 tahun. Namun terdapat ibu balita yang masih memiliki umur di bawah 20 tahun yaitu sebesar 1.8%. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan umur ibu: Tabel 9 Sebaran umur ibu Umur (Tahun)
n
%
<20
1
1.8
20-40
52
94.5
41-65
2
3.6
Sebagian besar (94.5%) ibu berada dalam rentang umur 20-40 tahun. Menurut Papalia & old (1986), dalam rentang umur 20-40 tahun termasuk dalam
37
kategori dewasa awal. Orang tua muda terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak menggunakan pengalaman orang terdahulu. Pada umumnya orang tua muda lebih mementingkan kepentingannya sendiri dibandingkan kewajibannya untuk mengasuh dan mengurus anak. Hal ini menyebabkan secara kualitas dan kuantitas pengasuhan yang dilakukan kurang terpenuhi. Sebaliknya orang tua yang berumur lebih cenderung untuk melaksanakan kewajibannya dalam mengasuh anak semaksimal mungkin dan sepenuh hati (Hurlock 1998). Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan ibu berperan penting dalam proses tumbuh kembang anak. Sebagian besar (38.%) ibu adalah lulusan SD dan tidak ada ibu yang tidak pernah sekolah. Berikut ini disajikan tabel persentase tingkat pendidikan ibu: Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ibu Tingkat Pendidikan
n
%
Tidak tamat SD
1
1.8
SD
21
38.2
SLTP
18
32.7
SLTA
10
18.2
D3
1
1.8
S1
4
7.3
Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak
karena
tingkat
pendidikan
ibu
berpengaruh
terhadap
tingkat
pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). Ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah dalam menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Orang tua yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta cara pemberian makan yang sehat dan bergizi untuk anak (Soetjiningsih 1998). Pekerjaan Ibu Sebagian besar (61.8%) ibu adalah ibu rumah tangga. Para wanita yang sudah memiliki anak sebagian besar lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Hal ini bertujuan untuk mengurus anak di rumah dan melakukan pekerjaan rumah yang cukup menguras tenaga. Namun ada juga ibu yang
38
memilih untuk bekerja di luar rumah misalnya sebagai PNS, padagang, PRT, dan petani. Ibu yang sibuk bekerja biasanya menitipkan anak mereka kepada nenek atau saudaranya. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan pekerjaaan ibu: Tabel 11 Sebaran pekerjaan ibu Pekerjaan Tidak Bekerja Petani PNS Pegawai Swasta PRT Lain
n 34 9 1 5 1 5
% 61.8 16.4 1.8 9.1 1.8 9.1
Meningkatnya penghasilan keluarga yang berasal dari ibu yang bekerja akan memperbaiki konsumsi pangan seluruh anggota keluarga. Pada saat yang sama, ibu akan kehilangan waktu yang berharga bersama anak-anak mereka dalam memberi makan dan mengasuh anak-anaknya, terutama anak yang masih kecil (Khomsan 2004). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar ibu memilih untuk tidak bekarja dan mengurus anak mereka di rumah. Kondisi tersebut sangat berdampak positif terhadap anak-anak mereka karena ibu dapat meluangkan waktunya untuk mengurus keluarga khususnya anak-anak mereka yang masih kecil yang membutuhkan perhatian lebih dari orang tua khususnya dari seorang ibu. Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi merupakan salah satu perihal penting yang perlu diperhatikan karena berkaitan terhadap perubahan sikap dan perilaku gizi seseorang. Berikut ini tabel yang menyajikan persentase pengetahuan gizi ibu berdasarkan kategori yag telah ditentukan: Tabel 12 Persentase pengetahuan gizi ibu Tingkat pengetahuan gizi ibu
n
%
19
34.5
Sedang (skor 60-80%) Rendah (skor <60%)
19 17
34.5 30.9
Total Rata-rata±SD
55 68.82±16.44
100
Baik
(skor >80%)
Sebagian besar (34.5%) ibu masing-masing memiliki pengetahuan gizi baik dan sedang dan masih terdapat ibu yang memiliki pengetahuan gizi rendah
39
yaitu sebesar 30.9%. Menurut suhardjo (2003) dalam penyediaan makanan keluarga dalam hal ini dilakukan oleh ibu, banyak yang tidak memanfaatkan bahan makanan yang bergizi. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi. Semakin banyak pengetahuan gizi ibu maka akan semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang akan dipilih untuk dikonsumsi. Ibu yang tidak mempunyai cukup pengetahuan gizi maka akan cenderung memilih makanan yang paling menarik panca indera dan tidak mempertimbangkan dari aspek gizi makanannya (Sedioetama 200). Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar ibu memiliki pengetahuan gizi baik dan sedang. Ibu yang memiliki pengetahuan yang
baik
kemungkinan memilih dan
menyediakan makanan bagi anggota keluarga baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang memenuhi angka kecukupan gizi. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi rendah adalah ibu yang hanya lulusan SD, selain itu juga ibu yang kurang aktif dalam mengakses informasi terutama informasi kesehatan. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan aspek-aspek pengetahuan gizi ibu: Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan aspek-aspek pengetahuan gizi ibu Aspek Baik n
Pengetahuan gizi ibu Sedang % n %
Rendah n %
Jenis dan sumber zat gizi Fungsi dan akibat kekurangan zat gizi
6
10.9
15
27.3
34
61.8
35
63.6
11
20
9
16.4
Air Susu Ibu
22
40
18
32.7
15
27.3
Berdasarkan tabel di atas, terdapat 10.9% ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik terkait dengan aspek jenis dan sumber zat gizi, 63.6% ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik terkait fungsi dan akibat kekurangan zat gizi, dan terdapat 40% ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik terkait aspek air susu ibu. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi ibu terkait dengan sumber dan jenis zat gizi: Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi ibu (Sumber dan jenis zat gizi) Pertanyaan
Benar
Salah
n
%
n
%
Sumber kalsium dan fosfor
32
58.2
23
41.8
Sumber protein hewani
40
72.7
15
27.3
Menu 3B
36
65.5
19
34.5
Sumber zat besi
22
40.0
33
60.0
4
7.3
51
92.7
29
52.7
26
47.3
Sumber zat pembangun Zat gizi pendukung pertumbuhan anak
40
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur pengetahuan gizi ibu yaitu pertanyaan terkait dengan sumber dan jenis zat gizi. Terdapat enam pertanyaan yang terkait dengan indikator tersebut. Pertanyaan yang banyak dijawab dengan benar yaitu pertanyaan tentang sumber protein hewani yaitu sebesar 72.7% ibu yang menjawab dengan benar. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar ibu balita mengetahui bahwa ikan merupakan sumber protein. Informasi tersebut mereka dapatkan dari iklan-iklan di televisi atau media massa lainnya. Sedangkan pertanyaan yang paling banyak dijawab salah adalah pertanyaan tentang sumber zat pembangun yaitu sebesar 92.7% ibu yang menjawab salah. Berdasarkan hasil penelitian, banyak ibu yang menjawab bahwa zat gizi yang merupakan zat pembangun adalah nasi dan kentang. Karena menurut mereka nasi dan kentang merupakan sesuatu yang sering dikonsumsi seseorang untuk memberikan rasa kenyang. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan indikator pengetahuan gizi terkait dengan manfaat dan akibat kekurangan zat gizi: Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi ibu (manfaat dan akibat kekurangan zat gizi) Pertanyaan Benar Salah
Fungsi zat besi Akibat kekurangan yodium Akibat kekurangan vitamin A Masalah gizi kurang diindonesia Penyebab anak kurang gizi Manfaat konsumsi tablet besi selama masa kehamilan Manfaat garam beryodium Pencegah dehidrasi Manfaat kalsium Akibat makanan dan minuman tidak bersih
n 20.0 52.0 45.0
% 36.4 94.5 81.8
n 35.0 3.0 10.0
% 63.6 5.5 18.2
38.0 35.0
69.1 63.6
17.0 20.0
30.9 36.4
33.0 51.0 47.0 53.0
60.0 92.7 85.5 96.4
22.0 4.0 8.0 2.0
40.0 7.3 14.5 3.6
53.0
96.4
2.0
3.6
Indikator lain yang digunakan untuk mengukur pengetahuan gizi ibu yaitu pertanyaan terkait dengan manfaat dan akibat kekurangan zat gizi. Pertanyaan yang digunakan terkait dengan hal tersebut terdiri dari sepuluh pertanyaan. Pertanyaan yang paling banyak dijawab benar oleh ibu balita adalah pertanyaan tentang manfaat kalsium dan akibat makanan dan minuman tidak bersih yaitu masing-masing sebesar 96.4% ibu balita yang menjawab benar. Sedangkan pertanyaan yang banyak dijawab dengan salah yaitu pertanyaan tentang fungsi
41
zat besi. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan indikator pengetahuan gizi terkait dengan Air Susu Ibu (ASI): Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi (Air Susu Ibu) Pertanyaan Cairan kolostrum Usia awal pemberian ASI Periode ASI eksklusif Periode pemberian ASI
Benar n 27.0 49.0 47.0 44.0
Salah % 49.1 89.1 85.5 80.0
n 28.0 6.0 8.0 11.0
% 50.9 10.9 14.5 20.0
ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan yang paling cocok untuk bayi serta memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan makanan yang dibuat oleh manusia. Air susu ibu sangat menguntungkan yaitu dilihat dari segi gizi, kesehatan, maupun dari segi sosial ekonomi (Suhardjo 1989b). ASI eksklusif merupakan ASI yang diberikan kepada bayi, sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan tanpa makanan dan minuman selain ASI. Pemberian ASI eksklusif sangat bermanfaat, karena ASI merupakan makanan yang paling sempurna untuk bayi, bahkan sangat mudah dan murah memberikannya kepada bayi. ASI juga dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi sehingga bayi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Dinkes DKI Jakarta 2002). Berdasarkan hasil penelitian, pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan benar yaitu pertanyaan tentang usia awal pemberian ASI. Terdapat 89.1% ibu balita yang menjawab dengan benar pertanyaan tersebut. Banyak ibu balita yang sudah mengetahui hal tersebut dan sebagian ibu sudah menerapkan hal tersebut kepada anak-anak mereka. Sebagian besar ibu balita telah memberikan ASI kepada anak mereka sejak anak mereka baru lahir, namun ada juga ibu balita yang tidak memberikan ASI mereka setelah anak mereka lahir. Hal tersebut disebabkan karena ASI yang tidak keluar, sehingga ibu menangani hal tersebut dengan memberikan susu formula kepada anaknya. Alasan lain ibu memberikan susu formula kepada anak mereka yaitu karena adanya ibu yang sibuk bekerja, sehingga anak mereka diasuh oleh saudara atau neneknya. Terdapat pertanyaan yang banyak dijawab salah yaitu pertanyaan tentang cairan kolustrum. Cairan kolustrum ini belum popular atau belum banyak dikenal oleh orang awam. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan ibu balita, sebagian besar dari mereka sudah memberikan cairan kolustrum kepada anak mereka yang baru lahir.
42
Perilaku Keluarga Sadar Gizi Perilaku keluarga sadar gizi perlu diterapkan oleh setiap keluarga. Terdapat lima perihal yang termasuk dalam perilaku keluarga sadar gizi yaitu: menimbang berat badan secara rutin tiap bulan, mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam, mengkonsumsi garam beryodium, memberikan ASI eksklusif, dan memberikan suplemen gizi kepada anggota keluarga. Berikut ini persentase perilaku keluarga sadar gizi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan: Tabel 17 Perilaku keluarga sadar gizi Perilaku Kadarzi Baik
(skor >80%)
Sedang (skor 60-80%)
n
%
42
76.4
13
23.6
Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar keluarga berperilaku keluarga sadar gizi baik, tidak terdapat keluarga yang memiliki perilaku keluarga sadar gizi yang rendah. Terdapat contoh yang pendidikan terakhir ibu adalah lulusan SD namun dapat menerapkan perilaku Kadarzi baik. Terdapat beberapa hal yang ditemukan dari hasil wawancara yang diduga terkait dengan hal tersebut yaitu adanya faktor ekonomi, ketersediaan pangan di daerah tersebut, dan pengalaman orang terdahulu. Berikut ini disajikan tabel perilaku keluarga sadar gizi pada masing-masing indikator Tabel 18 Perilaku keluarga sadar gizi pada masing-masing indikator Perilaku Kadarzi
Baik
Sedang
Rendah
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Penimbangan berat badan
18
32.7
36
65.5
1
1.8
55
100
Konsumsi makanan beragam
23
41.8
32
58.2
0.0
55
100
Konsumsi garam beryodium
50
90.9
4
7.3
1
1.8
55
100
Air susu ibu Suplementasi zat gizi pada balita dan ibu hamil/nifas
51
92.7
2
3.6
2
3.6
55
100
49
89.1
4
7.3
2
3.6
55
100
Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar (65.5%) contoh berperilaku Kadarzi baik terkait dengan penimbangan berat badan secara rutin. Terkait dengan indikator Air Susu Ibu, sebagian besar (92.7%) contoh telah berperilaku baik. Terkait dengan konsumsi garam beryodium, terdapat 90.9% contoh yang
43
telah berperilaku baik. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan indikator Kadarzi terkait dengan penimbangan berat badan: Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan perilaku Kadarzi (penimbangan berat badan) Pertanyaan
Penimbangan ibu hamil Penimbangan balita Pengecekan KMS Pemeriksaan kesehatan
Baik n 33 21 15 42
% 60.0 38.2 27.3 76.4
sedang n 20 34 34 13
% 36.4 61.8 61.8 23.6
Rendah n 2 0 6 0
% 3.6 0.0 10.9 0.0
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur perilaku Kadarzi yaitu penimbangan berat badan. Terdapat empat pertanyaan yang terkait dengan indikator tersebut. Sebagian besar (76.4%) contoh sudah mencapai kategori baik dalam membawa anggota keluarga ke bidan/dokter/puskesmas ketika anggota keluarga ada yang sakit. Sedangkan perilaku penimbangan rutin balita tiap bulan masih 38.2% contoh yang mencapai kategori baik. Pemeriksaan kesehatan dapat dikategorikan baik apabila setiap terdapat anggota keluarga yang sakit selalu membawanya ke bidan//dokter/puskesmas, dan penimbangan balita tiap bulan dapat dikategorikan baik apabila contoh rutin tiap bulan menimbang berat badan ke posyandu. Perubahan berat badan menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan kesehatan yaitu mengikuti perkembangan kesehatan dan pertumbuhan balita. Kegunaan dari pemantauan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, mencegah memburuknya keadaan gizi (Dinkes DKI Jakarta 2002). Masih terdapat ibu balita yang malas untuk membawa anaknya ke posyandu, hal tersebut disebabkan karena tempat posyandu yang susah dijangkau yaitu jauh dari tempat tinggal mereka. Namun ada juga balita yang jarang ditimbang karena saat hari penimbangan sedang tidak ada di rumah yaitu terkadang orang tuanya membawa anaknya berkunjung ke rumah saudara atau kakek nenek mereka. Perilaku yang jarang dilakukan oleh ibu balita yaitu melihat ulang KMS setelah menimbang di posyandu yaitu masih ada yang tergolong rendah. Menurut Roedjito (1989), KMS merupakan sebuah kartu tebal yang dapat dilipat yang dapat digunakan untuk menggunakan garis pertumbuhan anak dari 0 sampai 5 tahun. Penggunaan KMS yang paling penting adalah untuk membandingkan dan menilai pertumbuhan berat anak dalam jangka waktu
44
tertentu. Terdapat 10.9% contoh yang masih tergolong rendah dalam pengecekan KMS. Hal tersebut terjadi karena masih ada ibu balita yang ternyata tidak mempunyai KMS karena ada sebagian dari mereka yang KMSnya hilang, atau dibawa oleh kader posyandu. Beraneka ragam pangan yang dikonsumsi memenuhi tri guna makanan yaitu makanan sebagai sumber tenaga (karbohidrat, lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat pengatur (vitamin, mineral). Selain itu beraneka ragam makanan yaitu makan sebanyak 2-3 kali sehari yang terdiri dari empat macam kelompok bahan makanan. Kelompok bahan makanan tersebut adalah 1) makanan pokok, sebagai sumber zat tenaga seperti beras, jagung, umbi, singkong, mie; 2) lauk pauk, sebagai sumber gizi pembangun seperti ikan, telur, ayam, daging, tempe, kacang-kacangan, tahu; dan 3) sayuran dan buahbuahan, sebagai sumber zat pengatur seperti bayam, kangkung, wortel, buncis, kacang panjang, sawi, dan singkong, daun katuk, pepaya, pisang, jeruk, semangka, nanas (Dinkes DKI Jakarta 2002). Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan indikator Kadarzi yang terkait dengan konsumsi makanan beragam: Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan perilaku Kadarzi (konsumsi makanan beragam) Pertanyaan Baik Sedang Rendah
Konsumsi ibu Konsumsi ayah Konsumsi balita Ketersediaan sayuran Ketersediaan buah-buahan Konsumsi buah-buahan
n
%
n
%
n
%
40 41 29 17 5 8
72.7 74.5 52.7 30.9 9.1 14.5
14 13 12 37 44 43
25.5 23.6 21.8 67.3 80.0 78.2
1 1 14 1 6 4
1.8 1.8 25.5 1.8 10.9 7.3
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, frekuensi makan ayah masih mencapai 74.5% contoh yang termasuk dalam kategori baik, sedangkan frekuensi makan balita masih mencapai 52.7% contoh yang tergolong dalam katerogi baik. Frekuensi makan seseorang dapat dikatakan baik apabila seseorang makan tiga kali dalam sehari. Terdapat 9.1% contoh yang setiap hari terbiasa menyediakan buah-buahan di rumah. Terdapat 25.5.% balita yang tidak tentu frekuensi makannya dalam sehari. Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu balita, ternyata terdapat balita yang bahkan tidak pernah makan nasi sampai berumur 14 bulan. Asupan hanya diperoleh dari susu dan biskuit yang biasa dikonsumsi.
45
Mengkonsumsi
makanan
yang
beragam
sangat
baik
untuk
keberlangsungan hidup. Hal ini disebabkan karena fungsi dari makanan yang beragam yaitu untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja dan terhindar dari penyakit kekurangan gizi. Akibat dari tidak mengkonsumsi makanan yang beragam, maka akan terjadi gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh khususnya pada balita (Dinkes DKI Jakarta 2002). Konsumsi garam beryodium merupakan indikator ketiga yang digunakan untuk melihat perilaku Kadarzi. Yodium adalah sejenis mineral yang terdapat di dalam tanah maupun di air dan merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (GAKI 2007). Garam beryodium adalah garam yang telah ditambah zat iodium yang diperlukan oleh tubuh (Dinkes DKI Jakarta 2002). Fungsi iodium dalam tubuh manusia adalah untuk membentuk hormon tiroksin yang diperlukan oleh tubuh yang bermanfaat dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai dewasa. Adapun pangan sumber iodium yaitu ikan, kerang-kerangan dan rumput laut (Depkes RI 2008) Penanggulangan gondok endemik dilakukan dengan pelarutan iodium dan iodisasi garam konsumsi. Untuk produksi garam beryodium telah dilakukan iodisasi yang berasal dari garam yang dikeluarkan dari stok nasional (Suhardjo 2008). Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan indikator Kadarzi yang terkait dengan konsumsi garam beryodium: Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan perilaku Kadarzi (konsumsi garam beryodium) Pertanyaan
Baik
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
Pemilihan garam beryodium
50
90.9
4
7.3
1
1.8
Penggunaan garam beryodium
50
90.9
5
9.1
0
0.0
Ketersediaan garam beryodium
50
90.9
5
9.1
0
0.0
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu balita, sebagian besar sudah mengetahui akibat dari kekurangan yodium. Oleh karena itu sebagian besar keluarga sudah menggunakan garam beryodium. Namun masih terdapat beberapa keluarga yang kadang tidak memperhatikan ketika membeli garam. Hal ini disebabkan karena terdapat ibu yang belum mengetahui manfaat dari garam beryodium sehingga ibu tidak selalu membeli garam yang beryodium. Beberapa ibu balita berpendapat bahwa garam beryodium kurang terasa asinnya sehingga
46
terkadang ibu memilih garam yang tidak beryodium. Garam beryodium merupakan garam yang telah ditambah zat yodium yang diperlukan oleh tubuh. Pada kemasan biasa ditulis “garam beryodium”. Kegunaan garam beryodium yaitu mencegah terjadinya penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Akibat tidak menggunakan/memasak dengan garam beryodium, yaitu terjadinya penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) yang ditandai dengan membesarnya kelenjar gondok di daerah leher, sehingga mengurangi daya tarik seseorang. Pertumbuhan anak tidak normal yang disebut kretin/kerdil. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan perilaku konsumsi garam beryodium keluarga baik dari segi pemilihan, penggunaan, maupun ketersediaannya 90.9% contoh yang mencapai kategori baik. Masih rendahnya pemberian ASI eksklusif di masyarakat. Air Susu Ibu (ASI) eksklusif merupakan tidak memberikan makanan dan minuman lain selain ASI pada bayi umur 0-6 bulan. Kegunaan memberikan ASI eksklusif, yaitu : ASI merupakan makanan bayi
yang
paling
sempurna,
murah dan mudah
memberikannya pada bayi. ASI saja dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal pada bayi sampai berumur 6 bulan. ASI yang pertama keluar disebut kolustrum berwarna kekuningan, dan mengandung zat kekebalan untuk mencegah timbulnya penyakit. Oleh karena itu harus diberikan kepada
bayi
dan
jangan
sekali-sekali
dibuang.
Keluarga
tidak
perlu
mengeluarkan biaya untuk makanan bayi 0-6 bulan. Dengan ASI mempererat ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi. Oleh karena itu pemberian ASI eksklusif dijadikan salah satu indikator dalam mengukur perilaku Kadarzi. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan indikator Kadarzi yang terkait dengan konsumsi ASI: Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan perilaku Kadarzi (konsumsi ASI) Pertanyaan
Baik
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
Pemberian ASI eksklusif
46
83.6
7
12.7
2
3.6
Pemberian ASI dalam sehari
43
78.2
10
18.2
2
3.6
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat 83.6% ibu yang telah memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Namun masih terdapat 3.6% ibu yang tidak pernah memberikan ASI eksklusif. Akibat tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi, yaitu: Bila bayi umur 0-6 bulan diberi makanan lain
47
selain ASI, dapat terjadi gangguan alat pencernaan. Bayi tidak mempunyai ketahanan tubuh untuk mencegah penyakit. Bila bayi diberikan susu botol sering terjadi mencret, kemungkinan bayi tidak cocok dengan susu bubuk atau cara membuatnya tidak bersih, dan pengeluaran biaya rumah tangga lebih banyak. Mengurangi ikatan cinta kasih antara ibu dan anak. Berdasarkan frekuensi pemberian ASI dalam sehari, terdapat 78.2% ibu yang telah memberikan ASI dalam sehari lebih dari 8 kali, namun terdapat 3.6% ibu yang tidak pernah memberikan ASI dalam sehari. Hal tersebut disebabkan karena ASI yang tidak keluar sehingga sejak lahir telah diberikan susu formula. Tindakan yang perlu dilakukan bila ibu belum memberikan ASI saja pada bayi mulai umur 0-6 bulan, yaitu: memberikan pendidikan gizi atau pengetahuan tentang pentingnya memberikan ASI saja pada bayi mulai umur 0-6 bulan. Mempersiapkan ibu agar dapat menyusui bayinya segera setelah melahirkan dengan menganjurkan makan-makanan bergizi yang dapat meningkatkan ASI, misalnya kacang-kacangan, sayuran hijau, ikan, telur dan buah-buahan. Mulai umur 6 bulan bayi dapat diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI. Indikator kelima yang digunakan untuk mengukur perilaku Kadarzi yaitu terkait dengan suplementasi zat gizi pada balita dan ibu hamil/nifas. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan konsumsi suplemen zat gizi pada balita dan ibu hamil/menyusui: Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan perilaku Kadarzi (konsumsi suplemen zat gizi pada balita dan ibu hamil/menyusui) Pertanyaan
Pemberian tablet besi pada masa kehamilan Konsum tablet besi pada masa kehamilan Pemberian kapsul vitamin A pada masa nifas Konsumsi vitamin A pada masa nifas Pemberian vitamin A pada balita Konsumsi vitamin A pada balita
Baik
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
32
58.2
17
30.9
6
10.9
37
67.3
7
12.7
11
20.0
18
32.7
22
40.0
15
27.3
14
25.5
24
43.6
17
30.9
36
65.5
19
34.5
0
0.0
48
87.3
5
9.1
2
3.6
Berdasarkan tabel diatas, terdapat 87.3% contoh yang konsumsi vitamin A balita sudah tergolong baik. Konsumsi vitamin A dapat dikatakan baik apabila
48
balita selalu mengkonsumsi kapsul vitamin A setiap mendapatkan kapsul tersebut. Tidak ada balita yang tidak pernah mendapatkan kapsul vitamin A dari posyandu, namun masih ada balita yang tidak selalu mendapatkan kapsul vitamin A dari posyandu. Hal tersebut disebabkan karena saat jadwal pemberian vitamin A balita tidak melakukan kunjungan posyandu. Terdapat 30.9% ibu yang konsumsi vitamin A pada masa nifas masih tergolong rendah. Konsumsi vitamin A pada masa nifas dapat tergolong rendah apabila ibu balita tidak pernah mengkonsumsi vitamin A saat masa kehamilan/nifas. Status Gizi Balita Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Dalam masyarakat cara pengukuran status gizi yang paling sering dilakukan dengan menggunakan metode antropometri. Pada anak-anak indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Berikut ini disajikan tabel penilaian status balita: Tabel 24 Status gizi balita Indeks BB/U
Total rata-rata±SD Min TB/U
Total rata-rata±SD Min BB/TB
Total rata-rata±SD Min
Status gizi gizi buruk gizi kurang gizi baik gizi lebih
n 1 6 48 0
sangat pendek pendek normal tinggi
16 18 20 1 55
sangat kurus kurus normal gemuk
1 5 39 10 55
% 1.8 10.9 87.3 0.0 100 -1.03±1.02 -3.96 29.1 32.7 36.4 1.8 100 -2.31±1.79 -5.52 1.82 9.09 70.91 18.18 100 0.47±1.94 -4.3
49
Pengukuran status gizi balita menggunakan indeks BB/U mencerminkan masalah gizi akut kronis. Sebagian besar (87.3%) balita memiliki status gizi baik, masih terdapat 10.9% balita yang memiliki status gizi kurang dan 1.8% balita yang memiliki status gizi buruk. Besarnya angka gizi kurang dan gizi buruk yang ada menunjukkan adanya masalah kesehatan karena melebihi cut of point yang telah ditentukan. Berdasarkan Kepmenkes No.902/XVIII/2002 yaitu angka gizi buruk dapat dikatakan suatu masalah apabila melebihi cut of point 0.5% gizi buruk. Balita yang memiliki status gizi buruk adalah balita yang susah makan dan menderita penyakit infeksi. Balita yang memiliki status gizi buruk adalah balita yang pendidikan terakhir ibunya adalah SD. Orang tua yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta cara pemberian makan yang sehat dan bergizi untuk anak (Soetjiningsih 1998). Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat
pemahamannya
terhadap
perawatan
kesehatan,
hygiene,
dan
kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). Balita dengan status gizi buruk diduga disebabkan karena ibu balita memiliki pendidikan yang masih rendah, sehingga belum mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta cara pemberian makan yang sehat dan bergizi untuk anak. Namun terdapat balita yang memiliki status gizi baik dengan pendidikan terakhir ibu adalah SD. Hal tersebut bisa saja terjadi karena ibu balita lebih aktif dalam mengakses informasi, salah satunya dengan cara aktif mengikuti kegiatan penyuluhan sehingga lebih banyak ilmu yang didapat dari hasil penyuluhan yang dilakukan saat kegiatan posyandu dilakukan. Indeks TB/U menggambarkan masalah gizi kronis. TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Berdasarkan indeks TB/U, sebagian besar (36.4%) balita memiliki status gizi normal namun masih terdapat 29.1% balita yang memiliki status gizi sangat pendek dan sebesar 32.7% balita yang memiliki status gizi pendek. Hal tersebut dapat dikatakan masalah kesehatan karena sudah melebihi cut of point yang telah ditentukan. Berdasarkan Kepmenkes No.902/XVIII/2002 yaitu persentase status gizi pendek dan sangat pendek dapat dikatakan suatu masalah apabila melebihi cut of point 2.5%. Ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan zat gizi dapat menyebabkan masalah gizi yaitu salah satunya terhambatnya pertumbuhan tinggi badan yang tidak optimal sehingga tidak sesuai dengan anak-anak lain seusianya. Stunting merefleksikan proses
50
kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan atau kesehatan yang subnormal. Menurut Supariasa 2001, pertumbuhan tinggi badan relatif sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek dan erat kaitannya dengan kondisi status sosial ekonomi. Pengukuran status gizi menggunakan indeks BB/TB mencerminkan status gizi pada saat ini. Berdasarkan indeks BB/TB, sebagian besar (70.9%) balita memiliki status gizi normal, masih terdapat 1.8% balita yang memiliki status gizi sangat kurus dan 9.09% balita yang memiliki status gizi kurus. Kondisi tersebut dapat dikatakan suatu masalah kesehatan karena sudah melebihi cut of point yang telah ditentukan berdasarkan Kepmenkes No.902/XVIII/2002 yaitu persentase status gizi sangat kurus dan kurus dapat dikatakan suatu masalah apabila melebihi cut of point 1%. Menurut Dorice M. dalam Sarwono Waspadji (2004), status gizi optimal adalah keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Hubungan antar variabel Hubungan pengetahuan gizi ibu dengan perilaku keluarga sadar gizi Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan uji spearman, terdapat hubungan nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan perilaku Kadarzi (p<0.05). Terdapat hubungan positif antara pengetahuan gizi ibu dengan perilaku Kadarzi. Semakin baik pengetahuan gizi ibu maka akan semakin baik pula perilaku Kadarzi. Hal ini sejalan dengan pernyataan khomsan 2007 yaitu tingkat pengetahuan seseorang yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu dan perilaku Kadarzi. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu dan perilaku Kadarzi Perilaku Kadarzi
Tingkat pengetahuan gizi ibu Baik
Baik Sedang Total
Sedang
Total
Rendah
n
%
n
%
n
%
N
%
16
29.1
15
27.3
9
16.4
40
72.7
3
5.5
4
7.3
8
14.5
15
27.3
19
34.5
19
34.5
17
30.9
55
100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 29.1% contoh yang memiliki pengetahuan gizi ibu dan perilaku Kadarzi yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa ibu balita telah menerapkan dengan baik pengetahuan yang
51
dimiliki. Menurut Soediatama (1996) dalam khomsan (2009), semakin baik pengetahuan gizi maka akan semakin memperhatikan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Orang yang semakin baik pengetahuan gizinya, lebih banyak mempergunakan pertimbangan rasional dan pengetahuannya sebagai dasar sebelum mengkonsumsi makanan tertentu. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, secara keseluruhan tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita yang diukur dengan menggunakan indeks BB/U (p=0.40), indeks TB/U (p=0.27) dan BB/TB (p=0.08). Status gizi tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan gizi saja, terdapat beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap status gizi balita yaitu terdapat penyakit infeksi, kurangnya perhatian ibu terhadap anak, dan anak yang tidak mau makan (Anderson 1995). Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan manelan dan mencerna makanan. Parasit dalam usus, seperti cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh dalam memperoleh makanan dan dengan demikian menghalangi zat gizi ke dalam arus darah. Keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi (Suhardjo dkk 1988). Menurut Suhardjo 2008, dalam penyediaan makanan keluarga dalam hal ini dilakukan oleh seorang ibu, banyak yang tidak memanfaatkan bahan makanan yang bergizi, hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi. Semakin baik pengetahuan gizinya, semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk dikonsumsinya. Kondisi status gizi yang baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
terjadinya
pertumbuhan
fisik,
perkembangan
otak,
dan
kemampuan kerja untuk mencapai tingkat kesehatan optimal (Depkes RI 2003). Dengan pengetahuan gizi yang baik, seorang ibu dapat memilih dan memberikan makan bagi balita baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang memenuhi angka kecukupan gizi. Asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi dapat mempengaruhi status gizi. Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita yang diukur dengan indeks BB/TB.
52
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita Status gizi balita
Indek BB/U Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Total Indek TB/U Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Total Indek BB/TB Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Total
Tingkat pengetahuan gizi ibu Baik Sedang Rendah n % n % n %
Total N
%
0 2 17 19
0 3.6 30.9 34.5
1 1 17 19
1.8 1.8 30.9 34.5
0 3 14 17
0 5.5 25.5 30.9
1 6 48 55
1.8 10.9 87.3 100
3 9 6 1 19
5.5 16.4 10.9 1.8 34.5
8 2 9 0 19
14.5 3.6 16.4 0.0 34.5
5 7 5 0 17
9.1 12.7 9.1 0.0 30.9
16 18 20 1 55
29.1 32.7 36.4 1.8 100
1 1 16 1 19
1.8 1.8 29.1 1.8 34.5
0 2 14 3 19
0 3.6 25.5 29.1 58.2
0 2 9 6 17
0 3.6 16.4 20 40
1 5.0 39.0 10 55
1.8 9.1 70.9 18.2 100
Berdasarkan tabel di atas, terdapat 29.1% contoh yang memiliki tingkat pengetahuan gizi ibu baik dengan status gizi balita normal (indeks BB/TB). Hal ini membuktikan bahwa ilmu dan pengetahuan yang didapat diterapkan dengan baik untuk mengurus keluarga dan anak mereka. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan lebih mengerti dalam menyediakan makanan untuk anggota keluarga dengan mempertimbangkan dari aspek gizinya. Namun terdapat juga contoh yang memiliki pengetahuan gizi baik dengan status gizi balita yang sangat kurus. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, hal tersebut terjadi karena balita yang susah makan sehingga balita kekurangan zat gizi. Hubungan Perilaku Kadarzi dengan Status Gizi Balita Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah keluarga yang berperilaku gizi seimbang, mampu mengenali dan mengatasi masalah gizi setiap anggota keluarga (Depkes RI 2008). Perilaku gizi seimbang yaitu pengetahuan, sikap dan praktek keluarga yang mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu dalam keluarga. Status gizi adalah keadaan kesehatan individu yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi.
53
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji spearman, tidak terdapat hubungan antara perilaku Kadarzi dengan status gizi balita yang diukur dengan menggunakan indeks BB/U (p=0.89), indeks TB/U (p=0.09), dan berdasarkan indeks BB/TB (p=0.79). berdasarkan hasil penelitian,didapat contoh yang mengalami penyakit infeksi, pola makan yang tidak teratur, dan kurang perhatian orang tua. Status gizi balita sangat sentitif yang dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu praktek makan, perhatian, dan infeksi (Anderson 1995). Berikut ini disajikan tabel sebaran contoh berdasarkan perilaku Kadarzi dan status gizi balita: Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan perilaku Kadarzi dan status gizi balita Status gizi
Indek BB/U gizi buruk gizi kurang gizi baik gizi lebih Total Indek TB/U sangat pendek Pendek Normal Tinggi Total Indek BB/TB sangat kurus Kurang Normal Gemuk Total
Perilaku Kadarzi Baik Sedang n % n
Total %
n
%
1 4 35 0 40
1.8 7.3 63.6 0.0 72.7
0 2 13 0 15
0.0 3.6 23.6 0.0 27.3
1 6 48 0 55
1.8 10.9 87.3 0.0 100.0
12 12 16 0 40
21.8 21.8 29.1 0.0 72.7
4 6 4 1 15
7.3 10.9 7.3 1.8 27.3
16 18 20 1 55
29.1 32.7 36.4 1.8 100.0
0 3 31 6 40
0.0 5.5 56.4 10.9 72.7
1 2 8 4 15
1.8 3.6 14.5 7.3 27.3
1 5 39 10 55
1.8 9.1 70.9 18.2 100
Berdasarkan tabel di atas terdapat 61.8% contoh yang memiliki perilaku Kadarzi yang baik dengan status gizi balita yang normal (indeks BB/TB). Namun terdapat juga keluarga yang memiliki perilaku Kadarzi yang baik dengan status gizi balita yang kurus. Hal ini disebabkan karena ada faktor lain yang juga berperan dalam mempengaruhi status gizi balita. Menurut Depkes RI (2001), banyak faktor yang mempengaruhi status gizi antara lain: kesediaan pangan, mutu makanan, cara pengolahan, pola asuh anak, kesediaan air bersih dan sanitasi, kesadaran masyarakat untuk menggunakan sarana kesehatan.