IV. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar
Biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT. Wellable Indonesia di daerah Lampung. Analisis biji jarak dilakukan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku serta karakteristik sifat fisikokimia yang digunakan dalam penelitian. Analisis bahan awal meliputi kadar air dan kadar minyak. Hasil analisis terhadap bahan baku biji jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis biji jarak pagar Analisis Nilai (%) Kadar Air 9.73 Kadar Minyak 40.55 Berdasarkan hasil analisis kadar air pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa biji jarak pagar mengandung kadar air sebanyak 9.73%. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan literatur, yakni 3.1-5.8% menurut Gubitz et al. (1999) serta kadar air 5% menurut Peace dan Aladesanmi (2008), dan 5.77% (Winkler et al. 1997). Kadar air biji jarak pagar didapatkan dengan pengujian metode oven basis basah. Biji jarak pagar dengan kandungan kadar air yang cukup tinggi ini tidak diberikan perlakuan untuk mengurangi kadar airnya, tetapi langsung diekstraksi untuk mendapatkan minyak jarak. Ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan mesin pres ulir (screw press). Kadar minyak biji jarak pagar didapatkan melalui pengukuran menggunakan ekstraksi pelarut soxhlet. Kadar minyak yang diperoleh sebesar 40.55%, hal ini tidak berbeda jauh dengan beberapa sumber yang menyebutkan kadar minyak biji jarak pagar berkisar antara 30-50% (Hambali et al. 2006). Kadar minyak yang cukup tinggi tersebut menunjukkan bahwa jarak pagar sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumber minyak nabati dalam produksi surfaktan Methyl Ester Sulfonate Acid (MESA). Namun, kadar minyak yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya dapat diekstraksi dengan baik, karena masih terdapat minyak yang tertinggal dalam bungkil dan kotoran yang mengendap sebagai hasil samping pengepresan. Tahapan selanjutnya setelah dilakukan analisis proksimat biji jarak pagar adalah ekstraksi / pengepresan biji jarak pagar untuk memperoleh minyak jarak. Pengepresan dilakukan dengan tiga kali ulangan menggunakan mesin screw press untuk mendapatkan hasil minyak jarak yang maksimal. Pada Gambar 12 ditunjukkan mesin screw press yang digunakan.
Gambar 12. Mesin screw press biji jarak pagar
17
Minyak jarak yang dihasilkan dari proses pengepresan kemudian diendapkan beberapa jam untuk memisahkannya dengan ampas atau kotoran yang tidak larut dalam minyak (fat insoluble). Secara alami akan terbentuk dua lapisan pada saat pemisahan, yaitu minyak di bagian atas, sedangkan ampas akan mengendap di bagian bawah. Cara pemisahan yang sederhana tersebut membuat cukup banyak minyak yang bercampur dan tertinggal di dalam ampas, sehingga tidak semua minyak hasil pengepresan dapat digunakan sepenuhnya untuk membuat metil ester pada tahap selanjutnya. Minyak jarak hasil pengepresan dan telah terpisah dari pengotor kemudian dianalisis sifat fisikokimianya. Analisis sifat fisikokimia dari minyak jarak pagar kasar sebelum diolah menjadi metil ester. Analisis yang dilakukan meliputi kadar abu, FFA, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, dan densitas. Hasil analisis minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 6.
Analisis FFA Bilangan Asam Kadar Abu Densitas Bilangan Iod Bilangan Penyabunan
Tabel 6. Hasil analisis minyak jarak pagar Satuan Nilai % 32.09 mg KOH/g lemak 63.85 % 0.0020 gr/ml 0.9131 mg iod/g lemak 98.29 mg KOH/g lemak 197.60
Minyak jarak pagar yang dihasilkan memiliki nilai persentase FFA (asam lemak bebas) dan bilangan asam yang tinggi, yakni berturut-turut sebesar 32.09% dan 63.85 mg KOH/g lemak. Tingginya nilai FFA dan bilangan asam ini dapat dikarenakan oleh lamanya penyimpanan yang dialami biji jarak pagar. Dalam proses penyimpanan ini biji jarak pagar dapat mengalami proses hidrolisis karena adanya kandungan air dan enzim lipase sehingga dapat memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Terbentuknya asam lemak bebas tersebut maka akan meningkatkan jumlah asam lemak dalam minyak yang terhitung sebagai bilangan asam. Asam lemak bebas yang terdapat di dalam minyak jarak dapat membentuk sabun yang mengganggu proses pemisahan antara gliserol dan metil ester serta menurunkan rendemen metil ester yang dihasilkan, sehingga mengharuskan minyak jarak melalui proses esterifikasi terlebih dulu sebelum proses transesterifikasi. Hasil analisis terhadap densitas minyak jarak pagar sebesar 0.91311 gr/ml menunjukkan nilai yang tidak berbeda jauh dengan analisa yang dilakukan oleh Peace dan Aladesanmi (2008) sebesar 0.911 gr/ml. Nilai bilangan iod minyak jarak pagar yang didapat sebesar 98.29 mg iod/g lemak. Nilai tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan literatur yaitu sebesar 96.5 mg iod/g lemak (Hambali et al. 2006). Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap oleh 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren 1986). Lebih lanjut Sinaga (2006) menjelaskan bahwa jenis asam lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat dan linoleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh. Karakteristik bilangan penyabunan minyak jarak pagar hasil pengujian sebesar 197.6 mg KOH/g lemak, yang menunjukkan nilai lebih kecil dibandingkan pengujian yang dilakukan Peace dan Aladesanmi (2008) yaitu sebesar 198.5 mg KOH/g lemak. Bilangan penyabunan merupakan
18
miligram kalium hidroksida (KOH) yang diperlukan untuk menyabunkan 1 gram lemak atau minyak pada kondisi tertentu.
4.2
Analisis Metil Ester Jarak Pagar
Tahapan selanjutnya pada penelitian ini adalah produksi bahan baku utama untuk sulfonasi, yaitu metil ester. Metil ester dipilih sebagai bahan untuk sulfonasi karena kualitas metil ester sebagai bahan sulfonasi lebih baik, dimana sifat metil ester yang tidak mudah teroksidasi dibandingkan jika menggunakan trigliserida dan asam lemak sebagai bahan baku sulfonasi. Proses produksi metil ester dilakukan dengan dua tahap, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Hal ini dilakukan karena FFA minyak jarak pagar lebih dari 2% sehingga perlu dilakukan tahapan esterifikasi terlebih dahulu. Proses esterifikasi perlu dilakukan untuk mereaksikan asam lemak bebas menjadi metil ester. Bila asam lemak bebas tidak direaksikan menjadi metil ester maka asam lemak bebas tersebut akan mengganggu proses transesterifikasi karena bereaksi dengan katalis basa. Proses esterifikasi akan mereaksikan asam lemak bebas terlebih dahulu dengan metanol ditambah bantuan katalis asam. Tahapan selanjutnya adalah mengkonversi trigliserida dengan bantuan katalis basa. Proses produksi metil ester jarak pagar skala 100L/batch dapat dilihat pada Lampiran 14. Adapun hasil analisis sifat fisikokimia metil ester jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis metil ester jarak pagar Parameter Kadar air
Satuan
Nilai %
0.024
mg KOH/g lemak
0.44
mg Iod/g lemak
94.91
mg KOH/g lemak
198.12
Gliserol total
%
0.918
Kadar ester
%
97.70
Bilangan asam Bilangan iod Bilangan penyabunan
Pengujian kadar air metil ester jarak pagar menggunakan metode Karl Fischer. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kadar air di dalam metil ester jarak pagar sebesar 0.024%, yang berarti masih berada dalam batas SNI 04-7182-2006 yaitu maksimum 0.1%. Keberadaan air dalam metil ester dapat menyebabkan air bereaksi dengan ester membentuk asam lemak bebas. Air dapat terbentuk selama proses transesterifikasi melalui reaksi antara katalis NaOH atau KOH dengan metanol, atau bahkan dari proses pencucian untuk menghilangkan gliserol. Menurut Sheats dan MacArthur (2002) penggunaan metil ester sebagai bahan baku pembuatan Metil Ester Sulfonat sangat memfokuskan pada tingginya hidrogenasi dan kemurnian bahan baku, hal ini terkait dengan tingkat ketidakjenuhan dan distribusi rantai karbon didalamnya. Kandungan air dalam bahan dapat bereaksi dengan SO3 saat proses sulfonasi dan membentuk oleum (SO3 cair). Gas sulfur trioksida berlebih ditambah dengan asam sulfat dalam reaksi dapat menyebabkan desulfonasi surfaktan. Desulfonasi mempengaruhi degradasi surfaktan di kemudian hari dimana surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Menurut Rossen (2004) pada
19
surfaktan yang mengandung gugus ester, degradasi berlangsung lebih cepat dimana surfaktan akan terurai menjadi alkohol dan asam. Kedua produk hasil degradasi ini sangat bersifat tidak aktif permukaan. Analisis bilangan asam metil ester dilakukan untuk mengetahui tingkat konversi metil ester. Bilangan asam minyak jarak pagar sebesar 63.859 mg KOH/g lemak dapat turun menjadi 0.44 mg KOH/g lemak setelah dikonversi dalam bentuk metil ester jarak pagar, yang artinya proses esterifikasi berhasil mengurangi keasaman karena asam lemak bebas teresterfikasi menghasilkan metil ester. Nilai bilangan asam tersebut telah sesuai dengan SNI 04-7182-2006 yaitu maksimal 0.5 mgKOH/g lemak. Bilangan asam metil ester setelah proses transesterifikasi lebih rendah karena katalis basa akan memisahkan asam lemak bebas melalui mekanisme pembentukan sabun. Bilangan asam dapat meningkat sejalan dengan waktu penyimpanan karena terjadinya reaksi dengan udara atau air (Gerpen et al. 2004). Hasil analisis untuk bilangan iod metil ester jarak pagar didapatkan nilai sebesar 94.917 mg Iod/g lemak. Nilai tersebut telah sesuai dengan SNI 04-7182-2006 yaitu maksimal 115 mgKOH/g. Bahan baku metil ester yang memiliki bilangan iod tinggi akan sulit untuk dipucatkan dan warna produk yang dihasilkan cenderung warnanya lebih gelap.
4.3
Proses Sulfonasi dan Aging MESA
Proses utama dalam produksi surfaktan MESA adalah pada tahapan sulfonasi. Bahan baku utama dalam proses sulfonasi adalah metil ester jarak pagar dan gas SO3. Proses sulfonasi gas SO3 terhadap metil ester jarak pagar berlangsung secara cepat pada Singletube Falling Film Reactor (STFR). Falling Film Reactor ini berukuran tinggi 6 meter dengan diameter tube 25 mm. Proses sulfonasi menggunakan umpan metil ester jarak pagar yang dipanaskan pada suhu 100 oC, kemudian dipompakan naik ke head reactor dengan laju alir 75 ml/menit, kemudian masuk ke liquid chamber membentuk lapisan film dengan ketebalan tertentu. Pada jam ke-2 sulfonasi, produk MESA yang dihasilkan ditampung/diakumulasi pada reaktor aging sampai diperoleh volume 1.5 – 2 L. Tahapan selanjutnya setelah diperoleh produk MESA yang terakumulasi maka dilanjutkan dengan proses aging pada variasi kondisi proses suhu aging 80 ⁰C, 100 ⁰C, dan 120 ⁰C dan lama aging 30, 45, dan 60 menit serta dengan kecepatan pengadukan 150 rpm. Proses aging dilakukan pada campuran reaksi hasil sulfonasi pada reaktor sulfonasi (STFR) yang bertujuan untuk meningkatkan reaksi sulfonasi antara gas SO 3 dan metil ester jarak pagar untuk meningkatkan konversi metil ester jarak pagar menjadi MESA. Proses ini melibatkan penyusunan ulang (rearrengement) struktur molekul intermediet (RCHSO3HCOOSO3CH3) menjadi methyl ester sulfonic acid atau MESA (RCHSO3HCOOCH3). Proses aging dilakukan pada reaktor aging dengan ukuran diameter 20 cm dan tinggi 30 cm dengan kapasitas 6-8 liter. Reaktor aging dilengkapi dengan instalasi pengadukan dengan kecepatan pengadukan maksimum 280 rpm. Dalam penelitian ini proses aging dilakukan pada produk hasil sulfonasi (MESA) dari reaktor falling film (STFR) setelah proses sulfonasi berlangsung 2 jam kemudian dikumpulkan/diakumulasi sampai didapatkan kapasitas 1.5 – 2 liter MESA sehingga cukup untuk dilakukan pengadukan. Reaktor aging yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13.
20
Gambar 13. Reaktor aging dan instalasi pengaduknya
4.4
Pengaruh Suhu dan Lama Proses Aging
4.4.1
Viskositas MESA
Viskositas atau kekentalan dari suatu cairan merupakan sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran molekul dan gaya antar molekul. Proses penambahan gugus sulfonat pada proses sulfonasi yang kemudian disempurnakan pada proses aging membuat MESA cenderung memiliki ukuran molekul yang lebih besar, sehingga viskositas MESA akan lebih tinggi dibandingkan dengan metil esternya. Viskositas dapat dinyatakan sebagai tahanan aliran fluida yang merupakan gesekan antara molekul-molekul cairan satu dengan yang lain. Suatu jenis cairan yang mudah mengalir dapat dikatakan memiliki viskositas yang rendah dan sebaliknya bahan-bahan yang sulit mengalir memiliki viskositas yang tinggi. Besaran viskositas berbanding terbalik dengan perubahan temperatur. Kenaikan temperatur akan melemahkan ikatan antar molekul suatu jenis cairan sehingga akan menurunkan nilai viskositasnya. Sulfonasi gas SO3 terhadap bahan organik merupakan reaksi eksotermis yang melibatkan sejumlah transisi dan modifikasi sifat fisik viskositas MESA (Moretti et al. 2001). Ukuran molekul yang besar dapat menyebabkan viskositas cairan lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran molekul yang kecil. Menurut Takeuchi (2008) viskositas yang tinggi disebabkan adanya gaya tarik menarik antarmolekul yang besar dalam cairan, molekul yang besar, rantai molekul yang tidak teratur, serta suhu, sehingga molekul menjadi lebih sukar bergerak dan cenderung berkoagulasi. Pada tahapan ini, MESA yang semakin viskos (kental) menunjukkan tingkat konversi yang makin tinggi. Adanya penambahan gugus SO3 pada gugus karboksil, akan mengaktivasi Cα sehingga akan mudah diserang oleh SO3 selanjutnya. Demikian pula dengan semakin lama sulfonasi memungkinkan pengikatan SO3 pada ikatan rangkap lain. Hal tersebut di atas menyebabkan meningkatkan konsentrasi molekul dan total solid sehingga MESA makin kental. Viskositas MESA pasca aging berkisar antara 130.5 – 345 cP. Data viskositas MESA pasca aging dapat dilihat pada Tabel 8.
21
Tabel 8. Hasil analisis suhu dan lama aging terhadap viskositas MESA Suhu (oC)
80
100
120
Perlakuan Lama Aging (menit) 30
Viskositas (cP) 340.0
45
342.5
60
345.0
30
280.0
45
285.5
60
292.5
30
130.5
45
138.25
60
152.5
Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama aging terhadap viskositas MESA dilakukan analisis ragam. Tingkat kepercayaan yang dipakai adalah 95% (α = 0.05). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas MESA. Interaksi kedua perlakuan tersebut pun tidak memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas MESA.
4.4.2
Nilai pH MESA
Nilai pH merupakan derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu bahan. Menurut Bodner dan Pardue (1989) nilai pH berkisar antara 0-14. Kisaran nilai pH dari 0-6 menunjukkan bahwa suatu larutan bersifat asam, sedangkan nilai pH 8-14 menunjukkan bahwa suatu larutan bersifat basa, dan larutan dengan nilai pH 7 menunjukkan bahwa larutan bersifat netral. Koefisien pH tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut, bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional. Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen (Fessenden dan Fessenden 1995). Pengukuran pH MESA yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan alat pH meter Schott Instruments handylab pH11/Set. Gas SO3 sebagai reaktan pada proses sulfonasi bersifat asam kuat, sehingga produk MESA yang dihasilkan bersifat asam. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh pH MESA berkisar antara 1.2 sampai 2.1. Hal ini menunjukkan bahwa MESA yang dihasilkan masih bersifat asam, yang dikarenakan MESA belum melalui tahap netralisasi pada proses pemurnian. Data nilai pH MESA selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9.
22
Tabel 9. Hasil analisis suhu dan lama aging terhadap nilai pH MESA Suhu (oC)
80
100
120
Perlakuan Lama Aging (menit) 30
pH 1.8
45
1.6
60
1.2
30
1.9
45
1.7
60
1.5
30
2.1
45
1.95
60
1.7
Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama aging terhadap nilai pH MESA dilakukan analisis ragam atau analisis varians dengan rancangan percobaan acak kelompok, dengan tingkat kepercayaan yang dipakai adalah 95% (α = 0.05). Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH MESA, demikian pula dengan interaksi suhu dan lama aging tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH MESA. Nilai pH MESA yang tidak berbeda nyata diduga karena faktor suhu aging dengan taraf 80 o C, 100 oC, dan 120 oC dan juga lama aging dengan taraf 30, 45, dan 60 menit tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kandungan ion hidrogen di dalam substansi MESA. Ion hidrogen berperan dalam sifat asam suatu senyawa. Arrhenius merumuskan zat asam adalah suatu molekul yang didalamnya mengandung setidaknya satu atom hidrogen yang dapat terdisosiasi di dalam air (Lower 1996). Produk MESA dengan kisaran nilai pH seperti tersebut diatas dikategorikan bersifat asam, hal ini karena jumlah ion hidrogen dari MESA yang terdisosiasi di dalam air lebih banyak dibandingkan ion hidroksida (OH-).
4.4.3
Densitas MESA
Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan sebagai hasil dari massa per satuan volume. Efek temperatur pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti perubahan temperatur. Densitas umumnya dikaitkan dengan viskositas dimana cairan lebih padat maka viskositasnya lebih tinggi, hal ini tentunya berkorelasi dengan kandungan total padatan pada bahan. Densitas yang diukur pada penelitian ini merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 25 oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Data densitas MESA pasca aging dapat dilihat pada Tabel 10.
23
Tabel 10. Hasil analisis suhu dan lama aging terhadap densitas MESA Suhu (oC)
Perlakuan Lama Aging (menit) 30
80
100
120
Densitas (g/ml) 1.0312
45
1.0306
60
1.0298
30
0.9999
45
1.0062
60
1.0026
30
0.9553
45
0.9549
60
0.9541
Densitas terendah diperoleh dari MESA pada taraf suhu 120 oC dan lama aging 60 menit, dengan nilai rata-rata 0.9541 g/ml. Densitas tertinggi dimiliki oleh MESA pada taraf suhu 80 oC dan lama aging 30 menit. Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa densitas MESA menunjukkan nilai yang cenderung stabil pada satu taraf suhu yang sama, hanya saja pada taraf suhu 100 oC densitas MESA yang dihasilkan mengalami fluktuasi mulai dari menit 30 ke menit 45 yang mengalami kenaikan, kemudian nilai densitas kembali turun pada menit ke 60. Fluktuasi nilai densitas ini dapat menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi belum dapat menghasilkan MESA dengan nilai densitas yang stabil. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena mekanisme pembentukan MESA dalam reaktor sulfonasi selama periode tersebut belum sempurna, belum mencapai kesetimbangan. Dalam periode tertentu, hasil reaksi masih dalam bentuk senyawa intermediet yang masih dapat mengalami restrukturisasi melepaskan gugus SO 3 yang dapat mengurangi nilai densitas. Dari Tabel 10 tersebut juga dapat dilihat bahwa ada kecenderungan semakin tinggi suhu yang digunakan dalam proses aging, maka akan semakin kecil densitas MESA yang dihasilkan. Kenaikan suhu aging berpengaruh terhadap gaya kohesi (tarik menarik) antar molekul pada cairan dimana dengan meningkatnya suhu aging akan mengurangi gaya kohesi dan meningkatkan perubahan molekul di dalamnya termasuk melemahnya ikatan C-S sehingga SO3 terlepas yang mengakibatkan massa per satuan volume berkurang yang menyebabkan densitas menurun. Hasil analisis ragam (α=0.05) menunjukkan bahwa suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap densitas MESA, begitupun dengan interaksi suhu dan lama aging yang tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis ragam terhadap densitas MESA dapat dilihat pada Lampiran 7.
4.4.4
Bilangan Asam MESA
Bilangan asam merupakan jumlah miligram basa yang diperlukan untuk menetralisasi asam lemak bebas dalam 1 gram bahan. Basa yang digunakan dalam hal ini adalah NaOH. Produk MESA bersifat asam karena masih mengandung campuran SO3, dimana gas SO3 merupakan salah
24
satu gugus pembentuk asam kuat, sehingga banyaknya gugus SO 3 yang terikat pada suatu bahan akan meningkatkan bilangan asam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bilangan asam MESA jarak pagar berkisar pada 10.55 – 19.78 mg KOH/g MESA. Tabel 11 menunjukkan grafik hubungan suhu dan lama proses aging terhadap bilangan asam MESA. Tabel 11. Hasil analisis suhu dan lama aging terhadap bilangan asam MESA Perlakuan Bilangan Asam (mg KOH/g MESA) o Suhu ( C) Lama Aging (menit)
80
100
120
30
18.46
45
18.85
60
19.78
30
10.55
45
12.17
60
13.09
30
13.23
45
13.70
60
14.29
Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama proses aging terhadap bilangan asam dilakukan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan yang dipakai adalah 95% (α = 0.05). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu aging berpengaruh nyata terhadap bilangan asam MESA, sedangkan perlakuan lama aging maupun interaksi suhu dan lama aging tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bilangan asam MESA. Hasil analisis ragam selengkapnya disajikan pada Lampiran 8. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa taraf suhu aging 80 oC berbeda nyata dengan taraf suhu 100 oC, sedangkan taraf suhu 120 oC menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan taraf suhu 80 oC dan 100 oC. Dari grafik bilangan asam dapat diketahui bahwa adanya kecenderungan semakin tinggi suhu menyebabkan bilangan asam menurun. Hal ini diduga pemanasan pada suhu tinggi menyebabkan ikatan antar molekul makin lemah sehingga SO 3 mudah terlepas, demikian pula pada suhu tinggi terjadi sedikit penggumpalan MESA dengan densitas tinggi yang kemudian mengendap pada bagian bawah reaktor. Proses aging yang dilakukan dengan menggunakan pemanasan dan pengadukan memungkinkan terjadinya proses penyusunan ulang (rearrangement) molekul MESA dan pelepasan SO3 dari gugus karboksil, terjadinya pelepasan SO3 yang terikat pada ikatan rangkap internal pada asam lemak, dan sisa SO3 yang masih terdapat pada permukaan gas/cair akan mudah bereaksi dengan metil ester serta sisa SO3 yang terakumulasi dari proses sulfonasi akan terlepas. Berkurangnya jumlah SO3 yang terdapat dalam MESA menyebabkan bilangan asam menurun pula.
25
4.4.5
Bilangan Iod MESA
Bilangan iod merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengatur banyaknya ikatan rangkap dalam suatu bahan. Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodine yang terserap dalam 100 gram minyak atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada komposisi asam lemak penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan bagaimana banyaknya ikatan rangkap tidak jenuh (Ketaren 1986). Banyaknya ikatan rangkap ini diukur dengan melihat berapa miligram iodine yang diikat dalam ikatan rangkap per gram sampel (AOAC 1995). Bilangan iod ini diukur untuk melihat berapa banyak ikatan rangkap dalam asam lemak yang berkurang akibat bereaksi dengan reaktan SO3. Bilangan iod dari MESA yang dihasilkan berkisar antara 22.48 – 38.19 mg Iod/g MESA. Nilai tersebut menunjukkan adanya penurunan bilangan iod dari semula metil ester yaitu sebesar 94.917 mg Iod/g minyak. Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa dalam setiap taraf suhu terjadi penurunan bilangan iod seiring dengan semakin lamanya waktu proses aging. Semakin menurunnya bilangan iod, berarti semakin banyak jumlah ikatan rangkap metil ester yang diadisi oleh SO3 yang kemudian terbentuk molekul-molekul surfaktan dengan gugus sulfonat.
Gambar 14. Grafik hubungan suhu dan lama aging dengan bilangan iod MESA Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama aging terhadap nilai bilangan iod MESA maka dilakukan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama proses aging berpengaruh nyata terhadap nilai bilangan iod MESA. Interaksi antara suhu dan lama aging tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai bilangan iod MESA. Hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor lama aging menunjukkan bahwa lama aging 45 menit dan 60 menit tidak berbeda nyata tetapi keduanya berbeda nyata dengan lama aging 30 menit. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap nilai bilangan iod MESA dapat dilihat pada Lampiran 9. Semakin lama proses aging maka akan menurunkan bilangan iod MESA, sedangkan faktor suhu menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan maka akan menurunkan bilangan iod MESA. Hal ini dikarenakan proses sulfonasi yang dilanjutkan dengan proses aging akan semakin sempurna dengan peningkatan suhu reaksi. Proses yang baik akan memperbanyak reaksi antara molekul SO3 dengan ikatan rangkap metil ester yang berarti akan menurunkan jumlah iodine yang dapat terserap oleh surfaktan MESA yang dihasilkan.
26
Jungermann (1979) mengemukakan bahwa ikatan rangkap pada metil ester merupakan salah satu tempat terjadinya reaksi sulfonasi.
4.4.6
Kadar Bahan Aktif MESA
Kadar bahan aktif merupakan salah satu nilai mutu kinerja surfaktan. Kadar bahan aktif menunjukkan jumlah kandungan bahan aktif permukaan yang terkandung dalam surfaktan. Semakin banyak kadar bahan aktif dalam surfaktan maka diharapkan akan semakin baik kinerja surfaktan. Berdasarkan penelitian ini kadar bahan aktif berkisar antara 5.59-14.83%. Hasil analisis kadar bahan aktif MESA dapat dilihat pada Tabel 12. Kadar bahan aktif dapat ditunjukkan dari jumlah gugus SO3 yang terikat dalam struktur MESA. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengukur bahan aktif surfaktan adalah dengan metode visual melalui teknik titrasi dua fasa menggunakan surfaktan kationik sebagai penitran. Semua titrasi surfaktan berdasarkan pada reaksi antagonis dimana surfaktan ionik bereaksi dengan surfaktan yang memiliki muatan yang berlawanan untuk membentuk garam yang tidak larut air (pasangan ion) (Matesic-Puac et al. 2005). Menurut Myers (2006) bahan aktif pada MESA berupa gugus sulfonat yang terikat pada rantai karbon asam lemak MESA. Bahan aktif ini akan berfungsi sebagai polar head atau bahan yang lebih cenderung larut air (hidrofilik). Pada surfaktan anionik gugus ion anionik adalah bahan aktif yang diukur. Analisis kadar bahan aktif yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode Epthone. Menurut Stache (1995) prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif menggunakan cetylbipiridinum bromide, yang merupakan salah satu jenis surfaktan kationik. Indikator yang digunakan adalah methylen blue. Campuran surfaktan dengan indikator ditambahi klroform sehingga tercipta dua fasa kloroform di bagian bawah dan fasa larutan surfaktan dan methylen blue yang berada di bagian atas. Pada permulaan, warna biru tua berada pada lapisan kloroform, kemudian selama titrasi warna biru akan bergerak menuju lapisan cairan (larutan surfaktan dalam akuades) secara perlahan. Perpindahan warna terjadi secara cepat pada akhir titrasi. Akhir titrasi dicapai ketika warna kedua lapisan memiliki intensitas yang hampir sama. Bila titrasi diteruskan maka fasa kloroform akan menjadi lebih pucat lalu lama-kelamaan akan menjadi bening. Tabel 12. Hasil analisis suhu dan lama aging terhadap bahan aktif MESA Perlakuan Bahan Aktif (%) Suhu (oC) Lama Aging (menit) 30 9.34 80
100
120
45
10.6
60
14.82
30
9.69
45
11.81
60
13.78
30
5.59
45
10.21
60
11.73
27
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa lama reaksi memberikan pengaruh positif terhadap kadar bahan aktif MESA. Kadar bahan aktif yang semakin tinggi menunjukkan bahwa molekul surfaktan yang terbentuk semakin banyak. Menurut Syam et al. (2009) lama reaksi memberikan pengaruh pada reaksi karena memberikan peluang pencampuran dan pelarutan. Semakin banyak molekul SO3 yang terlarut, maka semakin tinggi pula reaksi dengan metil ester akibatnya adalah semakin banyak surfaktan yang terbentuk. Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama aging terhadap kadar bahan aktif MESA dilakukan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu dan lama aging serta interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar bahan aktif MESA. Hasil analisis ragam pengaruh suhu dan lama aging terhadap bahan aktif MESA dapat dilihat pada Lampiran 10.
4.5
Netralisasi MESA
Produk MESA kemudian dinetralisasi dengan NaOH 50% untuk menghasilkan MES, selain itu juga karena asam pada MESA bersifat tidak stabil sehingga harus dinetralkan. Tahapan netralisasi dilakukan dengan titrasi menggunakan larutan NaOH 50%. Titik akhir titrasi ditentukan dengan adanya perubahan warna MESA dari hitam menjadi coklat dan indikator kertas pH menunjukkan warna pH netral antara 6-8. Pada titik tersebut artinya MESA telah berubah menjadi MES karena telah berada pada kondisi netral. Apabila netralisasi tidak dilakukan maka MESA akan menjadi kental dan cenderung memadat tanpa dipanaskan. Ketika proses netralisasi harus dihindarkan pada pH yang ekstrim dalam netralisasi untuk menghindari hidrolisis MES menjadi disalt. Menurut Roberts et al. (2008) pada pH 3-9.5 hidrolisis berlangsung lambat, sementara pH MESA hasil penelitian rata-rata berkisar pada pH 1-2 sehingga memungkinkan terjadi hidrolisis asam yang akan merubah gugus COOCH3 pada MES menjadi COOH. Sementara jika pH terlalu alkali melebihi 9.5 maka hidrolisis merubah COOCH3 pada MES menjadi COONa. Nilai pH MES yang disyaratkan oleh Chemiton dan Ballestra yaitu pada kisaran 6-8. Hasil pengukuran nilai pH MES yang dilakukan pada penelitian ini berada pada kisaran 6.34-7.09. Gambar 15 merupakan grafik hasil pengukuran nilai pH MES.
Gambar 15. Grafik nilai pH MES Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama aging terhadap nilai pH MES dilakukan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05). Analisis ragam yang dilakukan
28
menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama aging serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH MES. Hasil analisis ragam selengkapnya disajikan pada Lampiran 11. Selain nilai pH, analisis MES juga dilakukan pada bilangan iod. Bilangan iod MES berada pada kisaran 22.06-38.91 mg iod/g MES. Dari Tabel 13 dapat dilihat data hasil pengukuran bilangan iod MES. Tabel 13. Hasil analisis suhu dan lama aging terhadap bilangan iod MES Perlakuan Bilangan Iod (mg iod/g MES) o Suhu ( C) Lama Aging (menit)
80
100
120
30
37.47
45
25.65
60
23.89
30
36.86
45
34.01
60
30.27
30
38.91
45
23.53
60
22.06
Untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama aging terhadap nilai bilangan iod MES, selanjutnya dilakukan analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor suhu dan lama aging berpengaruh nyata terhadap bilangan iod MES, namun interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Data bilangan iod MES dan hasil analisis ragam bilangan iod MES disajikan pada Lampiran 12. Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa bilangan iod MES pada lama aging 30 menit berbeda nyata dengan bilangan iod pada perlakuan lama aging 45 dan 60 menit. Adapun bilangan iod hasil uji Duncan pada faktor suhu 100 oC berbeda nyata dengan bilangan iod pada faktor suhu 80 oC dan 120 oC. Hasil Uji Duncan faktor perlakuan lama aging terhadap bilangan iod MES dapat dilihat pada Lampiran 12d. Produk MES yang dihasilkan juga diukur kadar bahan aktifnya. Kadar bahan aktif MES pasca aging berkisar antara 5.91 – 15.51%, dan data kadar bahan aktif MES selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil analisis ragam dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa suhu dan lama aging tidak berpengaruh nyata terhadap kadar bahan aktif MES. Hasil analisis ragam selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13.
29
Tabel 14. Hasil analisis suhu dan lama aging terhadap bahan aktif MES Perlakuan Bahan Aktif (%) Suhu (oC) Lama Aging (menit) 30 10.77 80
100
120
45
13.06
60
15.51
30
10.24
45
12.48
60
14.57
30
5.91
45
10.79
60
12.40
Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa pada suhu aging 80 oC, bahan aktif MES cenderung lebih tinggi dibandingkan pada suhu aging 100 oC maupun 120 oC. Hal ini diduga karena proses netralisasi mampu meningkatkan bahan aktif MES pada MESA pasca aging suhu 80 oC. Produk MESA dalam kondisi asam bersifat tidak stabil, netralisasi diperlukan untuk menghindari hidrolisis menjadi sulfonated fatty acid, demikian pula pada produk sulfatasi pada pH rendah dapat terkonversi menjadi asam sulfat dan unsulfatted fatty alcohol (Foster dan Rollock 1997). Proses netralisasi itu sendiri bukan merupakan hal yang simpel seperti halnya netralisasi asam basa, namun perlu pengontrolan yang ketat terhadap pengadukan, penambahan bahan dan temperatur sehingga diperoleh MES dengan bahan aktif tinggi. Sedangkan dalam penelitian ini masih dalam taraf penetralan hingga pH 6-8, sehingga bahan aktif yang diperoleh masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Hovda (1993) proses netralisasi sulfonic acid untuk menghasilkan MES dengan bahan aktif tinggi cukup sulit karena ketidakstabilan MES pada suhu dan pH tinggi. Penambahan metanol dapat mengurangi pembentukan disalt, namun apabila pH turun dibawah 6 maka efek penambahan metanol pun akan turun. Selain itu, penambahan metanol juga menyebabkan penurunan suhu sehingga efek metanol dalam menurunkan disalt turut berkurang. Pemilihan pH dan temperatur yang tepat hanya akan memerlukan metanol 20- 30% untuk proses netralisasi.
30