IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Survei Konsumsi Pangan
Hasil dari survei konsumsi pangan dari lima daerah di Jakarta adalah data konsumsi pangan yang akan digunakan untuk menghitung nilai estimasi paparan bisfenol-A (BPA) pada kemasan botol susu polikarbonat. Survei konsumsi pangan ini juga memberikan informasi terkait sebaran responden. Selain itu, juga dapat memberikan informasi terkait cara penanganan botol susu polikarbonat yang dilakukan oleh responden. Rekapan hasil survei untuk daerah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara disajikan pada Lampiran 2, 3, 4, 5, dan 6.
4.1.1 Sebaran Responden Data informasi mengenai responden yang diambil dalam kegiatan survey konsumsi pangan pada penelitian ini dilakukan pengelompokan berdasarkan karakteristik dari responden yang terdiri dari pekerjaan responden, pendidikan responden. Selain itu dilakukan pengelompokan juga terhadap karakteristik bayi dari responden yang terdiri dari umur bayi, dan jenis kelamin pada bayi. Kriteria pengelompokan yang dipilih diharapkan dapat memberi gambaran sebaran penggunaan botol susu polikarbonat pada bayi. Pengelompokan-pengelompokan ini untuk mempermudah melihat seberapa besar penggunaan botol susu berbahan dasar polikarbonat. Informasi ini nantinya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk upaya pencegahan ataupun kebijakan yang lain sebagai bentuk kewaspadaan karena merujuk pada populasi yang paling berpotensi terkena paparan bisfenol-A (BPA).
4.1.1.1 Karakteristik Responden 4.1.1.1.1 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Tingkat pendidikan terutama pendidikan ibu berpengaruh terhadap kualitas tumbuh kembang anak. Menurut Khomsan (2002), orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih respon dalam mencari informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengasuhan anak. Namun, menurut Syarief dan Husaini (2000) dalam Fitrisia (2002) proporsi pemberian ASI pada ibu yang berpendidikan tinggi lebih rendah dibandingkan yang berpendidikan rendah. Berdasarkan hasil survey diperoleh sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan pada lima kota di Jakarta adalah sebagai berikut : a. Jakarta Barat, responden dengan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas sebesar 53%, SMA sebesar 47%, sedangkan SMP dan SD sebesar 0%. Hal ini memberikan gambaran bahwa tidak ditemuinya responden dengan tingkat pendidikan SMP dan SD yang menggunakan botol polikarbonat. b. Jakarta pusat, responden dengan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas sebesar 65%, SMA sebesar 30%, SMP sebesar 5%, dan SD sebesar 0%. c. Jakarta selatan, responden dengan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas sebesar 55%, SMA sebesar 27%, SMP sebesar 3% dan SD sebesar 15%.
14
d. Jakarta Timur, responden dengan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas sebesar 58%, SMA sebesar 42%, sedangkan SMP dan SD sebesar 0%. e. Selanjutnya, di kota Jakarta Utara responden berdasakan tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas dan SMA sebesar 40%, SMP sebesar 5% dan SD sebesar 4%. Hal ini memberikan gambaran bahwa kedua kelompok responden yang memiliki tingkat pendidikan diploma / sarjana ke atas dan SMA besarnya relative sama atau tidak memiliki selisih yang jauh. Secara keseluruhan dari responden memberi gambaran bahwa pengguna kemasan botol susu polikarbonat yang paling banyak ditemui berdasarkan taraf pendidikan adalah diploma / sarjana keatas sebesar 54%, SMA sebesar 37%, SMP sebesar 5%, dan SD sebesar 4%. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi peluang penggunaan botol polikarbonat dan akan semakin tinggi pula bayi terpapar BPA. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi tidak menjamin terlepas atau terbebas dari penggunaan botol susu polikarbonat dan terhindar dari bahaya resiko paparan zat berbahaya, tingkat pendidikan ternyata tidak berpengaruh terhadap penggunaan dan pemahaman akan bahaya kemasan polikarbonat. Oleh karena itu, upaya atau tindakan pencegahan seperti penyuluhan terkait bahaya BPA harus dilakukan disemua kalangan baik di kalangan pendidikan maupun masyarakat luas. Diagram sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di setiap kota dan diseluruh kota disajikan pada Gambar 4.
Persentase Tingkat Pendidikan (%)
120 100 80
40 53
65
55
54
58
60 Diploma / Sarjana keatas 40 20 0
SMA
40 27 47
30 5
3 15
37 42 15 5
SMP SD
5 4
Lokasi Gambar 4. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan
4.1.1.1.2 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan Jenis pekerjaan orang tua menentukan jumlah pendapatan yang diterima keluarga. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas dari botol susu yang digunakan. Kurangnya pendapatan akan berpengaruh terhadap jenis pangan yang dikonsumsi sertakualitas dari botol susu yang digunakan. Hasil survey menunjukan sebaran responden berdasarkan pekerjaan dari responden yang diambil di kota Jakarta Barat memberi gambaran bahwa penggunaan botol susu polikarbonat dikota
15
ini yang paling banyak adalah ibu rumah tangga sebesar 53%, sedangkan untuk pekerja sebesar 47%. Di kota Jakarta Pusat, Sebaran responden yang paling banyak ditemui adalah ibu rumah tangga sebesar 62%, sedangkan untuk pekerja sebesar 38%. Selanjutnya untuk sebaran responden yang diambil di Jakarta Selatan penggunaan botol susu polikarbonat yang paling banyak adalah pekerja sebesar 55%, sedangkan untuk ibu rumah tangga sebesar 45%. Kemudian untuk sebaran responden di Jakarta Timur penggunaan botol susu polikarbonat yang paling banyak adalah ibu rumah tangga sebesar 61%, sedangkan untuk pekerja sebesar 39%. Sebaran responden di kota Jakarta Utara memberikan gambaran bahwa penggunaan botol susu polikarbonat yang paling banyak adalah ibu rumah tangga sebesar 65%, sedangkan untuk pekerja 35%. Hal ini memberikan gambaran bahwa penggunaan botol susu polikarbonat relative lebih banyak digunakan oleh responden ibu rumah tangga dibandingkan oleh pekerja. Secara keseluruhan dari responden memberi gambaran bahwa pengguna kemasan botol susu polikarbonat yang paling banyak ditemui berdasarkan pekerjaanya adalah ibu rumah tangga sebesar 57%, sisanya adalah pekerja sebesar 43%. Hal ini mungkin disebabkan karena lebih mahalnya harga botol susu non BPA yang ada dipasaran dibandingkan dengan botol polikarbonat yang mengandung BPA, sehingga responden yang tidak memiliki pekerjaan akan cenderung lebih memilih botol susu yang harganya lebih murah. Selain itu, banyaknya penggunaan botol susu polikarbonat juga disebabkan oleh banjirnya penjualan botol susu polikarbonat di pasar. Berbeda halnya dengan botol susu non BPA, botol ini biasanya hanya dapat ditemukan di apotik atau pasar swalayan modern. Banjirnya penjualan botol susu polikarbonat di pasaran pun diakibatkan karena masih diperbolehkannya pembuatan botol susu polikarbonat menggunakan bahan tambahan BPA, asalkan kadarnya tidak melebihi 0,03 µg/ml (30 ppb) (Anonim, 2012)2. Diagram sebaran responden berdasarkan pekerjaan di setiap kota dan diseluruh kota disajikan pada Gambar 5
Persentase Pekerjaan (%)
120 100 38
80 53
39
35
61
65
55
43
60 Pekerja
40 62 20
47
45
57
Ibu rumah tangga
0
Lokasi . Gambar 5. Sebaran responden berdasarkan pekerjaan
16
4.1.1.2 Karakteristik Bayi 4.1.1.2.1 Sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin merupakan salah faktor yang digunakan dalam survey. Berdasarkan jenis kelamin, hasil survey bayi laki-laki di kota Jakarta Barat sebesar 56% dan perempuan sebesar 44%. Kota Jakarta Pusat, jenis kelamin laki-laki sebesar 55% dan perempuan 45%. Untuk sebaran responden yang memiliki bayi dengan jenis kelamin laki-laki di Jakarta Selatan sebesar 45% dan perempuan sebesar 55%. Kota Jakarta Timur sebaran responden jenis kelamin laki-laki sebesar 44% dan perempuan sebesar 56%, serta Jakarta Utara responden yang memiliki bayi dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 37% dan perempuan sebesar 63%. Ditinjau dari kelima kota tersebut, bayi yang paling banyak ditemui adalah bayi perempuan sebesar 52%, sedangkan laki-laki sebesar 48%. Data statistik tahun 2010 menunjukan bahwa tingkat persentase kelahiran bayi dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sebesar 51,22% dan 48,78% (Herdaru Purnomo, 2010). Perbandingan tingkat angka kelahiran bayi berdasarkan jenis kelamin dari data statistik tersebut tidak berbeda nyata dengan dengan data yang diperoleh dari hasil survey selama penelitian, akan tetapi karena rasio perbedaannya tidak terlalu besar antara tingkat kelahiran bayi jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang diperoleh dari survey dan perbandingan dari data statistik, maka perbedaan tersebut masih dianggap wajar karena mungkin saja ada peningkatan angka kelahiran bayi berjenis kelamin perempuan pada tahun 2012. Beberapa faktor yang mempengaruhi kelahiran bayi berdasarkan jenis kelamin diantaranya faktor makanan, faktor waktu, faktor penetrasi, faktor rangsangan, faktor persiapan istri, dan faktor posisi (Anonim. 2007) 3. Karena bayi dengan jenis kelamin perempuan meiliki jumlah persentase lebih besar maka bayi perempuan memiliki peluang resiko yang lebih tinggi terhadap paparan BPA dibandingkan bayi laki-laki. Sehingga perlu diwaspadai dan perlu upaya pencegahan dari orang tua bayi maupun penentu kebijakan untuk meminimalisir atau bahkan mengeliminir potensi resiko paparan BPA. Gambar 6 menunjukan diagram sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin disetiap kota dan diseluruh kota.
Persentase Jenis Kelamin (%)
120 100 80
44
45
55
56
63
52
60 40
Perempuan 56
20
55
45
44
37
48
Laki - laki
0
Lokasi Gambar 6. Sebaran bayi berdasarkan jenis kelamin
17
4.1.1.2.2 Sebaran bayi berdasarkan umur Berdasarkan umur, hasil survey menujukan sebaran responden yang memiliki bayi berdasarkan umur dari responden yang diambil di kota Jakarta Barat yang paling banyak adalah bayi dengan umur 19 – 24 dan 25 – 36 bulan sebesar 26%. Hal ini memberikan gambaran bahwa kedua kelompok bayi yang memiliki umur 19 – 24 dan 25 – 36 bulan besarnya relative sama atau tidak memiliki selisih yang jauh berbeda. Untuk kota Jakarta Pusat yang paling banyak adalah bayi dengan umur 19 – 24 bulan sebesar 28%. Selanjutnya untuk kota Jakarta Selatan yang paling banyak adalah bayi dengan umur 7 – 12 bulan sebesar 40%. Kemudian di kota Jakarta Timur yang paling banyak adalah bayi dengan umur ≤ 6 dan 13 – 18 bulan sebesar 22%. Dan yang terakhir di kota Jakarta Utara yang paling banyak adalah bayi dengan umur 19 – 24 bulan sebesar 33%. Secara umum, hasil survey di lima kota memberikan gambaran bahwa umur bayi terbanyak berada pada interval 19-24 bulan yaitu sebesar 23%. Karena pada jarak interval umur 19 – 24 bulan memiliki persentase yang terbesar diantara umur yang lainnya maka umur tersebut dianggap memiliki resiko yang paling rentan terhadap paparan BPA sehingga memiliki resiko bahaya yang paling tinggi. Bayi pada umur 19-24 bulan merupakan umur terjadinya peningkatan berat badan dan tinggi badan serta pertumbuhan otak telah mencapai 90-95% (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Menurut Tri Gozali (2008) interval umur 19 – 24 merupakan salah satu periode emas pertumbuhan otak pada bayi. Periode ini adalah tahap paling cepat dan paling kritis dalam perkembangan otak. Tahap ini terjadi pada trimester ketiga kehamilan dan selesai diantara ulang tahun kedua dan ketiga seorang anak. Di masa ini, pertumbuhan otak sangat rapuh akan konsekuensi yang merugikan dari malnutrisi. Penelitian menunjukan bahwa jika jumlah sel otak yang tepat tidak berkembang di masa ini, kecacatan pada otak akan terjadi secara permanen. Menurut Saal Vom et. al. (2005) bahaya terkonsumsinya BPA oleh bayi diantaranya adalah dapat mengganggu kerja kelenjar hormon yang dapat mempengaruhi perkembangan otak dari bayi. Oleh karena itu perlu diwaspadai dan perlu adanya upaya pencegahan dari orang tua bayi maupun penentu kebijakan untuk meminimalisir atau bahkan mengeliminir potensi resiko paparan BPA. Gambar 7 menunjukan diagram sebaran bayi berdasarkan umur disetiap kota dan diseluruh kota.
Persentase Umur (%)
120
100 80 60
10 26 28 26 25
40
15
20
18
25
15
12
0
18
22
12 6
14 22
25
23 25 - 36 Bulan
33
40
24
20
19
19 - 24 Bulan 13 - 18 Bulan
17
25
22
25
12 5
16
7 - 12 Bulan ≤ 6 Bulan
Lokasi Gambar 7. Sebaran bayi berdasarkan umur
18
4.1.1.2.3 Sebaran bayi berdasarkan berat badan Berdasarkan berat badan, hasil survey menujukan sebaran responden yang memiliki bayi berdasarkan berat badan dari responden yang diambil di kota Jakarta Barat yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 35%. Untuk kota Jakarta Pusat yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 43%. Kemudian dari kota Jakarta Selatan bayi yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 7 – 9 kg sebesar 34%. Selanjutnya di kota Jakarta Timur bayi yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 44%. Dan yang terakhir untuk kota Jakarta Utara bayi yang paling banyak adalah bayi dengan berat badan 10 – 12 kg sebesar 45%. Secara keseluruhan dari responden yang diambil di lima kota Jakarta, memberikan gambaran bahwa responden yang memiliki bayi terbanyak adalah dengan interval berat badan 10 – 12 kg sebesar 40%. Karena memiliki persentase yang terbesar maka bayi yang memiliki berat badan 10 – 12 kg dianggap sebagai populasi yang paling rentan terhadap paparan BPA sehingga memiliki resiko bahaya yang paling tinggi. Bila ditinjau dari rumus perhitungan estimasi nilai paparan maka akan menunjukan bahwa seseorang yang memiliki berat badan lebih rendah maka resiko paparannya lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki berat badan lebih tinggi. Gambar 8 menunjukan diagram sebaran bayi berdasarkan berat badan disetiap kota dan diseluruh kota.
Persentase Berat Badan (%)
120 100 26
20
6
12
28
80 30
60
35
19
44 40
43 45
7 - 9 Kg
33
21
28
30
20 18 0
10 - 12 Kg
34
40
24 7
14 3
>13 Kg
25 2
13
4 - 6 Kg ≤ 3 Kg
Lokasi Gambar 8. Sebaran bayi berdasarkan berat badan
4.1.2 Sebaran Merk Botol Susu Polikarbonat yang Digunakan Responden Berdasarkan hasil survey diperoleh sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden pada lima kota di Jakarta adalah sebagai berikut: a. Jakarta Barat, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 88%, merk B sebesar 12%, sedangkan merk C dan D sebesar 0%. Hal ini memberikan gambaran bahwa tidak ditemuinya responden yang menggunakan botol polikarbonat dengan merk C dan D.
19
b. Jakarta pusat, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 82%, merk B sebesar 18%, sedangkan merk C dan D sebesar 0%. c. Jakarta selatan, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 85%, merk B sebesar 15%, sedangkan merk C dan D sebesar 0%. d. Jakarta Timur, responden menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk merk A sebesar 89%, merk B sebesar 8%, merk C sebesar 3%, sedangkan D sebesar 0%. e. Selanjutnya, responden yang diambil di kota Jakarta Utara menggunakan botol susu polikarbonat dengan merk A sebesar 72%, merk B sebesar 25%, merk D sebesar 3%, sedangkan untuk merk C sebesar 0%. Bila ditinjau secara keseluruhan dari banyaknya merk botol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden di lima kota Jakarta yang paling banyak digunakan adalah merk A sebesar 83%. Gambar 9 menunjukan diagram sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden disetiap kota dan diseluruh kota. Pemilihan responden dalam penggunaan botol susu polikarbonat dengan merk A ini sangatlah besar, dalam hal ini beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya persentase pemilihan merk A, diantaranya adalah merk botol susu yang sudah terkenal dimasyarakat luas akan kualitasnya, harga dari merk botol susu yang dapat terjangkau oleh masyarakat dari kalangan kelas ekonomi manapun, serta kemudahan dalam mendapatkannya. Menurut Rachmandianto (2010) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam pemilihan produk, diantaranya adalah kebudayaan, kelas social, kelompok referensi kecil, keluarga, pengalaman, kepribadian, sikap dan kepercayaan, dan konsep diri. Sedangkan dalam melakukan pembeliannya dikelompokan lagi menjadi empat berdasarkan tingkat keterlibatan diferensiasi merk, yaitu budget allocation (Pengalokasian budget), product purchase or not (Membeli produk atau tidak), store patronage (Pemilihan tempat untuk mendapatkan produk), dan brand and style decision (Keputusan atas merk dan gaya). Pengertian merk (merk) menurut American Marketing Association, didefinisikan sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Tujuan pemberian merk adalah untuk mengidentifikasikan produk atau jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh pesaing. Suatu produk yang menggunakan brand cenderung akan lebih menjamin produk mereka, sehingga dalam hal kemasan pun akan memilih kualitas yang lebih bagus. Dalam hal ini untuk menguji kualitas dari kemasan botol susu polikarbonat yang memiliki merk dapat dilakukan dengan menguji besarnya jumlah residu yang bermigrasi ke dalam pangan yang dikemas. Kemasan botol polikarbonat yang memiliki jumlah jumlah residu yang lebih tinggi dapat dikatakan kemasan yang memiliki kualitas yang rendah. Tidak mudah untuk menentukan jenis plastik yang baik untuk wadah atau kemasan pangan. Dipasaran diperkirakan banyak dijumpai bahan kemasan yang sebetulnya tidak cocok dengan jenis makanan yang dikemas. Setiap jenis makanan memiliki sifat yang perlu dilindungi, yang harus dapat ditanggulangi oleh jenis kemasan tertentu. Kesalahan material kemasan dapat mengakibatkan kerusakan bahan makanan yang dikemas. Selain dari hasil uji laboratorium, kualitas dari suatu kemasan, aman atau tidaknya wadah pelastik (food grade dan non-food grade) bisa diketahui dari simbol atau tanda khusus yang tertera di wadah plastik tersebut yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Simbol kemasan wadah pelastik berdasarkan keamanan penggunaannya Simbol
Nama Simbol
Arti Simbol
Food Grade
Bergambar gelas dan garpu yang artinya wadah tersebut aman digunakan untuk tempat makanan dan minuman
20
Tabel 1. Simbol kemasan wadah pelastik berdasarkan keamanan penggunaannya (lanjutan) Simbol
Nama Simbol
Arti Simbol
Non-Food Grade
Bergambar gelas dan garpu yang dicoret, Artinya tidak didesain sebagai wadah makanan ataupun minuman karena zat kimia yang terkandung didalamnya akan berbahaya bagi kesehatan
Microwave Save
Bergambar garis bergelombang yang menandakan bahwa wadah ini aman digunakan sebagai wadah penghangat makanan didalam microwave karena tahan terhadap suhu tinggi di dalam microwave
Non Microwave
Bergambar garis bergelombang dicoret, artinya wadah tidak boleh digunakan untuk menghangatkan makanan di dalam microwave karena tidak tahan suhu yang tinggi
Oven Save
Bergambar oven (kotak dengan dua garis horisontal) menandakan bahwa wadah ini aman digunakan sebagai wadah makanan untuk dihangatkan di dalam oven. Meski hanya terbuat dari plastik tapi wadah jenis ini tahan terhadap suhu yang tinggi
Non-Oven Save
Seperti simbol Oven Save yang dicoret yang artinya wadah tidak tahan terhadap suhu tinggi
Freezer Save
Bergambar bunga salju yang artinya wadah plastik ini aman sebagai wadah makanan dalam suhu
Non-Frezeer Save
Bergambar bunga salju yang dicoret menandakan bahwa wadah makanan ini tidak aman digunakan sebagai wadah makanan yang disimpan didalam lemari es atau freezer
Cut Save
Bergambar Pisau artinya wadah tersebut aman sebagai alas untuk memotong bahan makanan karena tahan terhadap gor esan
Non-cut save
Bergambar pisau yang dicoret yang artinya kebalikan dari Cut save
Dishwasher save
Bergambar gelas terbalik berarti wadah tersebut aman untuk dicuci didalam mesin pencuci
Non-dishwasher save
Bergambar gelas terbalik yang dicoret. Artinya wadah tersebut hanya boleh dicuci manual
Grill save
Bergambar pemanggang atau grill (tiga segitiga terbalik), artinya wadah aman digunakan untuk memanggang didalam suhu tinggi
Non-grill save
Bergambar pemanggang atau grill dicoret, artinya wadah tidak boleh digunakan untuk memanggang
Sumber : Ardhi Poernomo (2012)
21
Persentase Merk Botol (%)
120 100 12
18
3 8
15
3 16
25
80 60
D 40
88
82
89
85
72
83
C B
20
A
0
Lokasi Gambar 9. Sebaran merk botol susu polikarbonat yang digunakan oleh responden
4.1.3
Sebaran Responden Polikarbonat.
berdasarkan
Proses
Sterilisasi
Botol
Susu
Proses sterilisasi botol susu polikarbonat perlu diperhatikan, karena dengan proses sterilisasi yang salah dapat mengakibatkan terlepasnya BPA dari kemasan botol susu ke dalam pangan. Berdasarkan hasil survey diperoleh sebaran responden berdasarkan proses sterilisasi botol susu pada lima kota di Jakarta adalah sebagai berikut: a. Jakarta Barat, responden merebus botol sebesar 59%, merendam dengan air panas sebesar 20%, menggunakan steamer sebesar 12%, dan dengan cara dituang desinfektan sebesar 9%. b. Jakarta pusat, responden merebus menggunakan air sebesar 80%, merendam dengan air panas sebesar 12%, menggunakan steamer sebesar 5%, dan dengan cara dituang desinfektan sebesar 3%. c. Jakarta selatan, responden merebus menggunakan air sebesar 82%, merendam dengan air panas sebesar 12%, menggunakan steamer dan dituang desinfektan sebesar 3%. d. Jakarta Timur, responden merebus menggunakan air sebesar 77%, merendam dengan air panas sebesar 13%, menggunakan steamer sebesar 10%, sedangkan untuk yang dituang desinfektan sebesar 0%. Hal ini memberikan gambaran bahwa tidak ditemuinya responden yang mensterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara dituang dengan desinfektan. e. Selanjutnya, responden yang diambil di kota Jakarta Utara memberikan gambaran sebaran dari proses sterilisasi botol susu, diantaranya yaitu dengan cara direbus menggunakan air sebesar 77%, direndam dengan air panas sebesar 13%, dan menggunakan steamer sebesar 10%, sedangkan untuk yang dituang desinfektan sebesar 0%. Bila ditinjau secara keseluruhan proses sterilisasi yang paling banyak dilakukan oleh responden adalah dengan cara direbus sebesar 75%. Gambar 10 menunjukan diagram sebaran responden berdasarkan cara sterilisasi botol susu polikarbonat disetiap kota dan diseluruh kota. Menurut Sandra Biedermann-Brem dan Grob (2009) beberapa proses yang dapat mengakibatkan terlepasnya BPA dari kemasan botol susu polikarbonat ke dalam pangan, diantaranya yaitu :
22
1. Botol bayi disterilkan dengan air berada di dalamnya, biasanya menggunakan microwave. Pada proses ini, botol bayi tersterilisasi bersamaan dengan air mendidih di dalamnya. Biasanya sterilisasi dengan cara ini memakan waktu 5 menit. Proses sterilisasi semacam ini akan menyebabkan lepasnya bisfenol-A dari botol bayi sebanyak 3-10 µg/L. Konsentrasi bisfenol-A yang lepas dari botol bayi besarnya tergantung dari lamanya sterilisasi, semakin lama waktu sterilisasi semakin banyak Bisfenol-A yang terlepas. 2. Air dididihkan di luar botol (dengan cara mendidihkannya menggunakan panci selama 10 menit), kemudian air mendidih itu dituang ke dalam botol bayi. Proses semacam ini akan menyumbang bisfenol-A sebanyak 6 µg/L. 3. Konsentrasi lepasnya bisfenol-A tertinggi didapat dengan cara mendidihkan air di dalam botol, tetapi air tersebut telah dididihkan sebelumnya. Proses ini akan menyumbang bisfenol-A sebanyak lebih dari 100 µg/L. 4. Mencuci botol bayi menggunakan mesin pencuci piring (dishwasher) akan membebaskan bisfenolA sebanyak kurang lebih 10 µg/L 5. Menyiapkan susu bayi dengan cara biasa juga turut menyumbangkan pelepasan bisfenol-A. Misalkan proses penyiapannya seperti ini, air dididihkan di dalam panci lalu dimasukkan ke dalam botol kemudian ditambahkan air minum biasa secukupnya. Proses ini menyumbang pelepasan bisfenol-A tidak lebih dari 0.5 µg/L. Dari hasil penelitian Sandra Sandra Biedermann-Brem dan Grob bila dibandingkan dengan hasil survey yang telah dilakukan di kota Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara memberikan gambaran bahwa masyarakat di kota tersebut masih belum memahami proses sterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara yang benar, sehingga dalam hal ini perlu diadakannya penyuluhan mengenai informasi proses sterilisasi botol susu polikarbonat dengan cara yang benar dari instansi yang terkait agar resiko paparan BPA dapat diminimalisir. Beberapa tips yang dapat dilakukan agar pelepasan BPA dapat ditekan seminimal mungkin, diantaranya yaitu (Anonim, 2010)4 : 1. Jangan memanaskan air di dalam botol polycarbonat untuk menyiapkan susu formula. 2. Hindari mengisi air panas langsung ke dalam botol bayi (botol polikarbonat). 3. Dalam mencuci botol bayi gunakan cairan sabun yang memang khusus diperuntukkan untuk peralatan bayi, jangan gunakan sembarang sabun karena cairan sabun yang keras akan memicu lepasnya bisfenol-A dari botol bayi. 4. Gunakan air sabun hangat dan juga sponge dalam mencuci botol bayi, hal tersebut dapat mencegah pelepasan bisfenol-A. Jika anda ingin menggunakan sikat dalam mencuci, maka gunakanlah sikat yang halus agar gesekan yang terjadi dengan botol bayi ketika mencuci tidak sampai menyebabkan lepasnya bisfenol-A. 5. Bilaslah botol bayi dengan sempurna setelah selesai dicuci, apabila perlu lakukan berulang kali. Hindari pemanasan susu di dalam botol polikarbonat pada suhu yang tinggi, karena suhu yang tinggi memudahkan terjadinya pelepasan bisfenol-A dari strktur dinding botol.
23
Persentase Cara Sterilisasi (%)
120 100 80
9 12
3 5 12
3 3 12
8
10
3 8
14
13
14
20 60 Dituang Desinfektan 40
80
82
78
59
77
75
Menggunakan steamer Direndam air panas
20
Direbus
0
Lokasi Gambar 10. Sebaran responden berdasarkan cara sterilisasi botol susu
4.1.4
Sebaran Responden Berdasarkan Proses Penyiapan Susu Formula Kedalam Botol Susu Polikarbonat
Dari survey konsumsi pangan juga diperoleh sebaran responden berdasarkan proses penyiapan susu formula kedalam botol susu polikarbonat. Hasil yang diperoleh untuk wilayah Jakarta Barat, 100% responden memilih penyiapan susu formula dilakukan dengan cara langsung dibuat didalam botol susu. Begitu juga dengan hasil survey di Jakarta Pusat, hanya 5% responden memilih penyiapan susu formula dibuat di gelas, dan 95% langsung dibuat didalam botol susu. Hasil survey di Jakarta Selatan, 97% penyiapan susu formula dilakukan dengan cara langsung dibuat di dalam botol susu, sedangkan 3% responden susu formula dibuat di dalam gelas. Hasil survey untuk wilayah Jakarta Timur sebanyak 94% dan 90% untuk Jakarta Utara menyiapkan susu formula dengan cara dibuat langsung di dalam botol susu, sedangkan sisanya penyiapan susu formula dibuat terlebih dahulu di dalam gelas. Bila ditinjau secara keseluruhan bahwa responden yang melakukan penyiapan susu formula dengan cara yang terbanyak adalah dengan cara langsung dibuat didalam botol susu polikarbonat sebesar 95%, sedangkan untuk penyiapan susu formula yang terlebih dahulu dibuat digelas hanya sebesar 5%. Bila dilihat dari besarnya persentase penyiapan susu formula dengan cara langsung dibuat kedalam botol susu polikarbonat memberikan gambaran bahwa masih banyak masyarakat di wilayah DKI Jakarta yang belum paham mengenai cara penyiapan susu formula kedalam botol susu polikarbonat dengan benar, sehingga hal ini akan mengakibatkan tingginya tingkat resiko bahaya terpaparnya bayi oleh BPA. Besarnya persentase sebaran responden berdasarkan cara penyiapan susu formula kedalam botol susu polikarbonat disetiap kota dan diseluruh kota dapat dilihat pada Gambar 11.
24
Persentase Cara Penyiapan Susu Formula (%)
102 100 3
98
5
10
94 92 90 88
5
6
96
100 97 95
95
94 90
86
Terlebih dahulu dibuat digelas Langsung dibuat di botol susu
84
Lokasi Gambar 11. Sebaran responden berdasarkan cara penyiapan susu formula kedalam botol susu
4.1.5 Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Penyimpanan Botol Susu Bayi Tempat penyimpanan botol susu bayi penting untuk diperhatikan. Penyimpanan botol yang sembarangan dapat menyebabkan adanya kontaminasi bakteri dan kuman. Hasil survey memberikan gambaran bahwa sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi untuk kota Jakarta Barat antara lain untuk yang disimpan di dalam tempat tertutup sebesar 76%, sedangkan untuk yang disimpan ditempat terbuka sebesar 24%. Di kota Jakarta Pusat, sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi persentasenya sebesar 77% untuk yang disimpan ditempat tertutup, sedangkan untuk yang disimpan ditempat terbuka sebesar 23%. Selanjutnya sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi untuk kota Jakarta Selatan besar persentasenya adalah untuk yang disimpan ditempat tertutup sebesar 85%, sedangkan untuk yang ditempat terbuka sebesar 15%. Kemudian untuk kota Jakarta Timur sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi besar persentasenya, yaitu untuk yang disimpan ditempat tertutup sebesar 64%, sedangkan untuk yang ditempat terbuka sebesar 36%. Dan yang terakhir sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi untuk kota Jakarta Utara besar persentasenya adalah untuk yang disimpan ditempat tertutup sebesar 67%, sedangkan untuk yang ditempat terbuka sebesar 33%. Bila ditinjau secara keseluruhan dari responden di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara memberikan gambaran bahwa sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi yang paling banyak adalah yang menyimpan botol susu bayi ditempat tertutup, yaitu sebesar 74%. Dilihat dari besarnya persentase sebaran responden yang memilih tempat tertutup untuk tempat penyimpanan susu bayi maka hal ini memperlihatkan bahwa sudah tingginya tingkat kesadaran dari masyarakat mengenai masalah higienitas dari botol susu bayi. Walaupun tempat penyimpanan botol susu bayi tidak menjadi faktor penentu dari besar atau kecilnya jumlah paparan BPA, akan tetapi kebersihan dari tempat penyimpanan botol susu sendiri perlu di perhatikan karena bila lingkungan tempat penyimpanan botol susu kotor maka botol susunya pun akan
25
Persentase Tempat Penyimpanan Botol Susu (%)
terkontaminasi oleh bakteri dan kuman yang ada disekitarnya. Dan hal ini dapat menjadi sumber penyakit untuk bayi yang menggunakan botol tersebut. Beberapa penyakit yang dapat menyerang bayi bila kebersihan tempat peyimpanan botol susu tidak terjaga diantaranya yaitu diare yang disebabkan oleh kuman seperti S. Aureus, E. Colli, dan Pseudomonas. Besarnya persentase sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi disetiap kota dan diseluruh kota dapat dilihat pada Gambar 12. 120 100 24
23
76
77
15
80
36
33
26
64
67
74
60 40
85
Tempat Terbuka Tempat Tertutup
20 0
Lokasi Gambar 12. Sebaran responden berdasarkan tempat penyimpanan botol susu bayi
4.1.6
Waktu Kontak Kemasan Botol Susu Polikarbonat Dengan Susu Formula
Lama kontak botol susu polikarbonat dengan susu formula perlu untuk diperhatikan. Adanya kontak yang terlalu lama antara kemasan botol polikarbonat dengan susu formula dapat mengakibatkan kenaikan jumlah migrasi BPA masuk ke dalam susu formula yang dikemas. Hasil survey yang telah dilakukan pada lima kota di Jakarta memberikan informasi lama waktu kontak kemasan botol susu polikarbonat dengan susu formula. Lama waktu kontak ini mengindikasikan seberapa besarnya resiko yang akan memapari karena semakin lama kontak antara kemasan botol susu polikarbonat dengan susu formula yang dikemasnya maka residu BPA yang masuk ke dalam susu formula akan semakin tinggi. Lamanya waktu kontak antara kemasan botol susu polikarbonat dengan susu formula dari hasil survey dapat dilihat pada Tabel 2, dengan rata-rata lama waktu kontak dari keseluruhan kota sebesar 16,74 menit. Besarnya lama waktu kontak ini dapat digunakan sebagai acuan dalam uji komposit susu formula yang dikemas botol susu polikarbonat untuk perlakuan seperti pada kondisi lapang. Semakin lama waktu kontak antara kemasan botol susu polikarbonat dengan susu formula yang dikemas maka semakin tinggi pula nilai migrasi BPA yang masuk kedalam susu formula yang dikemas, artinya residu BPA yang mengkontaminasi susu formula juga semakin banyak dan resiko paparannya pun juga semakin tinggi. Besarnya paparan tergantung dari migrasi BPA yang masuk ke dalam susu formula. Selain lamanya waktu kontak, faktor lain seperti suhu dan cara sterilisasi botol pun sangat berpengaruh terhadap besar paparan. Informasi mengenai suhu dan cara
26
sterilisasi botol pun dapat diperoleh dari survey yang dilakukan dengan cara bertanya kepada responden. Tabel 2. Waktu kontak kemasan botol susu polikarbonat dengan susu formula Lokasi
Waktu Kontak (menit)
Jakarta Barat
13.65
Jakarta Pusat
18.00
Jakarta Selatan
18.33
Jakarta Timur
17.14
Jakarta Utara
16.58
Rata-rata
16.74
C. Hugnes dan F. vom Saal (2005) melakukan studi penentuan migrasi BPA dari beberapa kemasan botol susu polikarbonat menggunakan air. Pengujian migrasi ini menggunakan perlakuan waktu selama 24 jam, serta suhu pada suhu ruang dan suhu 80 oC. Hasil uji pada perlakuan suhu dan waktu yang diperoleh, antara lain untuk ke empat sampel botol susu yang disimpan pada suhu ruang menunjukan bahwa tidak terdektesinya migrasi BPA pada air air yang dikemasnya, sedangkan untuk ke empat botol susu yang yang disimpan pada suhu 80oC terdektesi bahwa ada BPA yang termigrasi dari kemasan botol susu ke air yang dikemasnya. Besarnya BPA yang termigrasi untuk merk A ssebesar 5,64 µg/ml, merk B sebesar 7,08 µg/ml, merk C sebesar 6,26 µg/ml, dan merk D sebesar 6,41 µg/ml. Dari hasil pengujian ini menunjukan bahwa semakin tinggi suhu dan lama waktu kontak maka residu BPA yang bermigrasi ke pangan pun semakin banyak.
4.1.7 Hubungan Tingkat Pendidikan Responden Dengan Perilaku Responden Dalam Memilih Merk Botol Susu, Proses Sterilisasi Botol Susu, dan Proses Penyiapan Susu Formula Tingkat pendidikan akan menentukan besar kecilnya penggunaan pendapatan keluarga serta berpengaruh terhadap pengetahuan yang dimiliki. Faktor pendidikan ibu sangat mempengaruhi dalam penentuan gizi anak baik segi kualitas maupun kuantitasnya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan menimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari. Salah satu faktor yang berhubungan dengan pendidikan yaitu didalam melihat tingkat kesadaran dari responden dalam memahami resiko bahaya paparan BPA dari botol polikarbonat. Pengujian ini perlu dilakukan untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku responden dalam memilih merk botol polikarbonat, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula. Untuk mencari hubungan antar variable ini digunakan uji hipotesis asosiatif dengan alat pengujian dalam perhitungannya menggunakan korelasi Kendal Tau. Menurut D.A. De Vaus (2002) Uji korelasi Kendal Tau adalah uji statistik yang ditujukan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variable berskala ordinal dengan jumlah sampel ≥30. Kemudian untuk mempermudah perhitungannya digunakan software SPSS (Statistical Products and Solution Services). Hasil dari perhitungan uji korelasi Kendal Tau menggunakan SPSS dapat dilihat pada Tabel 3.
27
Tabel 3. Hasil perhitungan uji korelasi Kendal Tau menggunakan SPSS 1 merk botol susu
Tingkat pendidikan Kendall's tau_b
Tingkat Pendidikan responden
Correlation Coefficient
1.000
.358**
-.568**
-.312**
.
.000
.000
.000
183
183
183
183
.358**
1.000
-.204**
-.014
Sig. (2-tailed)
.000
.
.004
.854
N
183
183
183
183
-.568**
-.204**
1.000
.413**
Sig. (2-tailed)
.000
.004
.
.000
N
183
183
183
183
-.312**
-.014
.413**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.854
.000
.
N
183
183
183
183
Sig. (2-tailed) N
Merkbotol susu
Proses sterilisasi botol susu
Proses penyiapan susu formula
Proses sterilisasi Proses penyiapan botol susu susu formula
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
** Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).
Hipotesis awal (H0) dari pengujian ini adalah tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula. Sedangkan hipotesis bandingan (H1) untuk pengujian ini adalah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula. Berdasarkan hasil keluaran SPSS di atas menunjukan untuk korelasi variable tingkat pendidikan responden dengan variable merk botol susu memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0.358 yang memiliki arti hubungan korelasinya lemah dan signifikan pada level 0,000 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 1% (H0 ditolak dan H1 diterima). Selanjutnya untuk korelasi variable tingkat pendidikan responden dengan variable proses sterilisasi botol susu memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0.568 yang memiliki arti hubungan korelasi kuat dengan hubungan yang terbalik dan signifikan pada level 0,000 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 1% (H0 ditolak dan H1 diterima). Kemudian korelasi variable tingkat pendidikan responden dengan variable proses penyiapan susu formula memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0.312 yang memiliki arti hubungan korelasi lemah dengan hubungannya yang terbalik dan signifikan pada level 0,000 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 1% (H0 ditolak dan H1 diterima). Bila ditinjau secara keseluruhan dari ketiga variable yang dicari korelasinya dengan variable tingkat pendidikan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula.
28
4.1.8
Hubungan Pekerjaan Responden Dengan Perilaku Responden Dalam Memilih Merk Botol Susu, Proses Sterilisasi Botol Susu, dan Proses Penyiapan Susu Formula.
Status pekerjaan ibu merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Masuknya wanita dalam dunia kerja akan mengubah peran ibu dalam mengasuh anak. Turut sertanya ibu bekerja untuk mencari nafkah khususnya ibu yang masih menyusui anaknya menyebabkan bayi tidak dapat menyusui dengan baik dan teratur. Oleh karena itu, susu sapi atau formula merupakan salah satu jalan keluar dalam memenuhi asupan gizi anak. Dalam hal ini, sangat perlu diperhatikan perilaku responden dengan melihat pekerjaan responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu , dan penyiapan susu formula. Dari hasil analisis uji Kendal Tau menggunakan SPSS untuk mencari hubungan antara pekerjaan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula didapatkan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil perhitungan uji korelasi Kendal Tau menggunakan SPSS 2 Jenis Merk Proses sterilisasi pekerjaan botol susu botol susu Kendall's tau_b
Jenis Pekerjaan
Correlation Coefficient
1.000
-.357**
.627**
.245**
.
.000
.000
.001
183
183
183
183
-.357**
1.000
-.204**
-.014
Sig. (2-tailed)
.000
.
.004
.854
N
183
183
183
183
.627**
-.204**
1.000
.413**
Sig. (2-tailed)
.000
.004
.
.000
N
183
183
183
183
.245**
-.014
.413**
1.000
Sig. (2-tailed)
.001
.854
.000
.
N
183
183
183
183
Sig. (2-tailed) N Merk botol susu
Proses sterilisasi botol susu
Proses penyiapan susu formula
Proses senyiapan susu formula
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
** Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).
Hipotesis awal (H0) dari pengujian ini adalah tidak terdapat hubungan antara pekerjaan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula. Sedangkan hipotesis bandingan (H1) untuk pengujian ini adalah terdapat hubungan antara pekerjaan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula. Berdasarkan hasil output SPSS di atas menunjukan untuk korelasi variable pekerjaan responden dengan variable merk botol susu memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0.357 yang memiliki arti hubungan korelasi lemah dengan hubungannya yang terbalik dan signifikan pada level 0,000 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 1% (H0 ditolak dan H1 diterima). Selanjutnya untuk korelasi variable pekerjaan responden dengan variable proses sterilisasi botol susu memiliki nilai koefisien korelasi
29
sebesar 0.627 yang memiliki arti hubungan korelasi kuat dan signifikan pada level 0,000 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 1% (H0 ditolak dan H1 diterima). Kemudian korelasi variable pekerjaan responden dengan variable proses penyiapan susu formula memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0.245 yang memiliki arti hubungan korelasi lemah dan signifikan pada level 0,000 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 1% (H0 ditolak dan H1 diterima). Bila ditinjau secara keseluruhan dari ketiga variable yang dicari korelasinya dengan variable pekerjaan responden maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan responden dengan perilaku responden dalam memilih merk botol susu, proses sterilisasi botol susu, dan proses penyiapan susu formula.
4.1.9 Hubungan Antara Umur dan Berat Badan Bayi Terhadap Konsumsi Pangan Secara umum untuk bayi yang sehat seiring bertambahnya umur dan berat badan, konsumsi pangan bayi pun akan semakin bertambah dikarenakan kebutuhan asupan nutrisinya yang ikut bertambah. Oleh karena itu, tentu saja untuk setiap rentang umur dan berat badan bayi yang berbeda jumlah paparan bisfenol-Anya pun akan berbeda karena hal ini dipengaruhi oleh konsumsi pangannya. Semakin banyak pangan yang dikonsumsi, maka paparan bisfenol-A pun akan semakin tinggi. Untuk itu perlu dilakukan uji korelasi antara umur dan berat badan bayi terhadap konsumsi pangan bayi untuk mengetahui apakah benar ada hubungan antara ketiga variable tersebut, yang akan berpengaruh terhadap besar paparan bisfenol-A. Dari hasil analisis uji Kendal Tau menggunakan SPSS untuk mencari hubungan antara umur bayi dan konsumsi pangan terhadap berat badan bayi didapatkan hasil yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil perhitungan uji korelasi Kendal Tau menggunakan SPSS 3 Umur bayi (Bulan) Kendall's tau_b
Correlation Coefficient Umur bayi (Bulan)
1.000
.657**
.123
.
.000
.050
183
183
183
.657**
1.000
.199**
Sig. (2-tailed)
.000
.
.002
N
183
183
183
Correlation Coefficient
.123
.199**
1.000
Sig. (2-tailed)
.050
.002
.
N
183
183
183
Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient
Berat badan bayi (Kg)
Konsumi pangan (L/hari)
Konsumi pangan (L/hari)
Berat badan bayi(Kg)
**. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Uji korelasi yang pertama adalah umur bayi dengan konsumsi pangan. Hipotesis awal (H0) dari pengujian ini adalah tidak terdapat hubungan antara umur dan berat badan bayi terhadap konsumsi pangan. Sedangkan hipotesis bandingan (H1) untuk pengujian ini adalah terdapat hubungan antara umur dan berat badan bayi terhadap konsumsi pangan. Berdasarkan hasil output SPSS di atas
30
menunjukan untuk korelasi variable umur bayi dengan konsumsi pangan memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0.123 yang memiliki arti hubungan korelasinya sangat lemah dan signifikan pada level 0.050 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 5% (H0 ditolak dan H1 diterima). Selanjutnya untuk korelasi variable berat badan bayi dengan konsumsi pangan memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0.199 yang memiliki arti hubungan sangat lemah dan signifikan pada level 0,002 yang berarti asosiasi kedua variable signifikan pada tingkat taraf 5% (H0 ditolak dan H1 diterima) Dari besarnya nilai signifikansi kedua variable yang telah diuji korelasi maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara umur dan berat badan bayi terhadap konsumsi pangan. Dalam hal ini hubungan yang terjadi adalah berbanding lurus dengan semakin tinggi umur dan berat badan bayi maka konsumsi pangannya pun akan semakin banyak.
4.1.10 Estimasi Nilai Paparan Bisfenol-A Hasil survey konsumsi pangan yang dilakukan di kota Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara menunjukan bahwa rata-rata berat makanan yang dikemas botol polikarbonat yaitu sebesar 133 mL, konsumsi pangan rata-rata sebesar 6 L/orang/hari, sedangkan berat badan rata-rata bayi yang mengkonsumsi susu formula yang dikemas botol polikarbonat adalah 10 kg. dari data tersebut kemudian dilakukan perhitungan estimasi nilai paparan senyawa bisfenol-A dari kemasan botol polikarbonat ke pangan yang dikemasnya. Dalam estimasi nilai paparan ini, kadar zat kimia dalam pangan yang dalam hal ini adalah residu bisfenol-A yang diasumsikan besarnya sama dengan batas aman yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI dan EN-14350, yaitu sebesar 0,03 mg/L. Estimasi nilai paparan ini juga menggunakan asumsi bahwa telah terjadi migrasi 100% senyawa bisfenol-A masuk ke dalam pangan untuk menunjukan kasus terburuk dari resiko yang paling besar yang diterima dari senyawa bisfenol-A yang masuk ke dalam pangan yang dikonsumsi. Hasil estimasi dari survei yang dilakukan di lima kota DKI Jakarta memberi gambaran bahwa nilai paparan senyawa bisfenol-A sebesar 0,0023 mg bisfenol-A/kg berat badan/hari. Besarnya nilai paparan senyawa bisfenol-A dari lima kota DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 6. Estimasi nilai paparan bisfenol-A Berat makanan rata-rata (mL)
Konsumsi pangan (L/orang/hari)
Berat badan bayi (kg)
Nilai paparan (mg bisfenol-A/kg berat badan/hari
Jakarta Barat
136
0.78
10
0.0024
Jakarta Pusat
129
0.75
11
0.0021
Jakarta Selatan
135
0.82
9
0.0028
Jakarta Timur
133
0.71
9
0.0023
Jakarta Utara
133
0.63
11
0.0017
Rata-rata
133
0.74
10
0.0023
Lokasi
Dari hasil estimasi nilai paparan senyawa bisfenol-A sebesar 0,0023 mg bisfenol-A/kg berat badan/hari masih dibawah nilai Tolerable Daily Intake (TDI) bisfenol-A yang sebesar 0,05 mg bisfenol-A/kg berat badan/hari, artinya masih di bawah nilai asupan maksimum harian yang ditoleransi sementara atau dengan kata lain masih aman. Akan tetapi hal ini belum sepenuhnya aman karena nilai paparan senyawa bisfenol-A yang didapatkan berasal dari asumsi-asumsi yang telah ditetapkan sebelumnya dan belum sesuai dengan kondisi riil di lapang, sehingga bila dilakukan pengujian lagi yang sesuai dengan kondisi riil di lapang hasil estimasi paparannya mungkin akan berbeda.
31
Hal-hal yang mempengaruhi nilai paparan senyawa bisfenol-A, diantaranya besarnya porsi dan frekuensi konsumsi, kadar residu bisfenol-A yang bermigrasi ke pangan, dan berat badan. Pada Lampiran 2, 3, 4, 5, dan 6 menunjukan bahwa porsi dan frekuensi pangan berbanding lurus dengan nilai paparan, artinya semakin besar porsi dan frekuensi konsumsi pangan yang dikonsumsi maka nilai paparannya pun semakin tinggi dan sebaliknya. Kadar residu juga berbanding lurus dengan nilai paparan, akan tetapi dalam memprediksi kasus terburuk digunakan satu nilai kadar residu yaitu nilai yang paling tinggi untuk menunjukan kualitas kemasan yang paling rendah. Berbeda dengan berat badan, seseorang yang memiliki berat badan yang lebih tinggi maka nilai paparannya malah semakin rendah. Besarnya kadar residu senyawa bisfenol-A yang masuk ke pangan tergantung dari tingkat migrasinya. Hasil survei juga dimaksudkan untuk memberi informasi terkait faktor yang berpengaruh terhadap migrasi senyawa bisfenol-A ini terutama mewakili kondisi riil di lapangan, diantaranya waktu lama kontak, merk botol susu polikarbonat yang digunakan, proses sterilisasi botol susu polikarbonat, dan proses penyiapan susu formula. Sedangkan informasi terkait terkait pendidikan dan pekerjaan responden, umur, dan jenis kelamin bayi secara langsung memang tidak berpengaruh terhadap estimasi nilai paparan. Akan tetapi secara tidak langsung mungkin mempengaruhi tingkat kesadaran dalam memahami resiko bahaya paparan BPA dari botol polikarbonat, serta mempengaruhi tingkat konsumsi dari bayi, yang tentunya besarnya konsumsi akan mempengaruhi paparan yang diterima. Berdasarkan studi terkait uji paparan migrasi bisfenol-A yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang dirangkum pada Tabel 6. Dari tabel terlihat bahwa nilai residu berbanding lurus dengan lama waktu kontak dan suhu, semakin lama waktu kontak dan semakin tinggi suhu maka residu yang bermigrasi ke pangan juga semakin besar. Walaupun waktu kontak rata-rata hasil penelitian ini adalah 17,74 menit, namun hal ini merupakan informasi yang penting untuk mengetahui lama kontak riil dilapangan, sehingga dapat dijadikan pembanding dengan studi lain yang pernah dilakukan. Pada dasarnya migrasi bisfenol-A pada botol susu polikarbonat tidak dapat 100% dihilangkan, akan tetapi dengan melakukan penanganan yang benar besarnya migrasi bisfenol-A dapat ditekan dan dikurangi seminimal mungkin. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi besarnya bisfenol-A yang bermigrasi, diantaranya yaitu : 1. Jangan memanaskan cairan di dalam botol polikarbonat untuk menyiapkan susu formula. 2. Hindari mengisi cairan panas langsung kedalam botol polikarbonat. Sebaiknya didinginkan terlebih dahulu di dalam gelas hingga hangat, selanjutnya baru dimasukan kedalam botol polikarbonat. 3. Dalam mencuci botol bayi gunakan cairan sabun yang memang khusus diperuntukkan untuk peralatan bayi, jangan gunakan sembarang sabun karena cairan sabun yang keras akan memicu lepasnya bisfenol-A dari botol bayi. 4. Gunakan air sabun hangat dan juga sponge dalam mencuci botol bayi, hal tersebut dapat mencegah pelepasan bisfenol-A. Jika ingin menggunakan sikat dalam mencuci, maka gunakanlah sikat yang halus agar gesekan yang terjadi dengan botol bayi ketika mencuci tidak sampai menyebabkan lepasnya bisfenol-A. 5. Bilaslah botol bayi dengan sempurna setelah selesai dicuci, apabila perlu lakukan berulang kali. 6. Hindari pemanasan susu di dalam botol polikarbonat pada suhu yang tinggi, karena suhu yang tinggi memudahkan terjadinya pelepasan bisfenol-A dari strktur dinding botol.
32
Tabel 7. Hasil uji paparan migrasi bisfenol-A dari beberapa peneliti Kondisi Pengujian
Konsentrasi BPA
Sumber
Formula susu bayi pada kemasan kaleng 6 sampel formula
Rata-rata 5.3 ppb, maks 17 ppb
14 sampel formula
Rata-rata 5 ppb, maks 13 ppb
EWG 2007a FDA 1997
Botol diuji pada suhu 25°C hingga 80°C 25°C selama 5 jam
Tidak terdeteksi (<2 ppb)
Hanai 1997
25°C selama 72 jam
Tidak terdeteksi (<5 ppb)
FDA 1996
40°C selama 24 jam
Tidak terdeteksi (<2 - 5 ppb)
50°C
Tidak terdeteksi (<10 ppb)
FCPSA 2005 Simouneau 2000
70°C selama 1 jam, digunakan juga air dan minuman berasam sebagai simulasi pangannya
Tidak terdeteksi (<1 ppb) - 5.1 ppb
CSL 2004
80°C selama 30 detik dan 2 menit
Tidak terdeteksi (<1 ppb) - 2.5 ppb
D'Antuono 2001
80°C selama 24 jam
4 - 10 ppb, rata-rata 7 ppb
Environment California 2007
Botol diuji pada suhu >95°C 95°C selama 30 menit
Tidak terdeteksi (<0.5) to 0.75 ppb
Sun 2000
95°C selama 30 menit
Tidak terdeteksi (<0.05) to 3.9 ppb
Miyamoto 2006
100°C selama 30 menit, lalu dilakukan penyimpanan selama 72 jam
Tidak terdeteksi (<5 ppb)
FDA 1996
0.11 - 17 ppb, rata-rata 7 ppb dengan botol yang dicuci selama periode pengujian
Brede 2003
100°C lalu didinginkan
3 to 55 ppb
Hanai 1997
100°C lalu didinginkan, lalu dipanaskan kembali 40°C
Tidak terdeteksi (<10) to 50 ppb
Earls 2000
100°C selama 1 jam
Sumber : http://www.ewg.org/node/25572
33