HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I: Pembuatan Konstruksi Vaksin Isolasi DNA Glikoprotein Koi Herpers Virus Hasil yang diperoleh dari tahap pertama penelitian ini adalah fragmen DNA GP25 yang diisolasi dari isolat KHV lokal koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT Bogor) yang berukuran 1,8 kbp (Gambar 5a) dan fragmen DNA yang siap dipurifikasi (Gambar 5b) dan yang telah dipurifikasi (Gambar 5c).
1,8 kbp a)
1,8 kbp
b)
1,8 kbp c)
Gambar 5. Fragmen DNA GP25 yang diisolasi dari insang yang diduga kuat terinfeksi virus KHV (a); Fragmen GP25 KHV yang siap dipurifikasi (b); Fragmen DNA GP25 yang telah dipurifikasi (c) yang divisualisasikan di agarose dengan konsentrasi 0,7% dengan M adalah marker DNA (2log ladder, Biolabs, England)
Fragmen DNA GP25 yang telah dipurifikasi tersebut siap diligasikan dengan vektor pGEMT-Easy (pT-Easy) sehingga terbentuk pT-GP25 (Lampiran 1). Konstruksi baru yang terbentuk ini siap diintroduksikan ke bakteri E.coli DH5-α melalui proses transformasi. Transformasi pada E.coli Kompeten Hasil transformasi berupa koloni bakteri yang berwarna biru dan putih. Koloni biru adalah koloni yang membawa plasmid pT-Easy tanpa sisipan gen
35
glikoprotein. Koloni putih adalah koloni yang membawa plasmid pT-Easy dengan sisipan gen glikoprotein (Gambar 6).
Gambar 6. Hasil transformasi bakteri E.coli DH5α berupa koloni biru (b) dan koloni putih (p). Plasmid pT-Easy adalah plasmid yang mudah digunakan sebagai vektor kloning. Plasmid ini berukuran 3 kb dan mengandung penanda seleksi warna koloni yaitu warna biru untuk klon yang tidak membawa sisipan gen asing dan warna putih untuk klon yang membawa sisipan gen asing. Plasmid pT-Easy ini mengandung gen lacZ yang menyandi β-galaktosidase yang akan mengubah molekul 5-bromo-4-chloroindolyl-β-galactisidase (X-gal) yang ada di media dari tidak berwarna menjadi molekul yang berwarna biru.
Gen lacZ
ini diinduksi oleh IPTG (isopropylthiogalactoside). Apabila gen lacZ tersisipi oleh molekul DNA lain, maka lacZ tidak dapat diekspresikan. Sel yang mengandung plasmid ini tidak dapat mengubah X-gal menjadi berwarna biru.
Dengan
menambahkan IPTG dan X-gal pada media yang telah mengandung ampisilin, maka dapat dilakukan seleksi yaitu sel yang mengandung plasmid dan mempunyai sisipan pada daerah lacZ serta sel yang mengandung plasmid dan
tidak
mengandung sisipan pada daerah lacZ. Koloni yang berwarna biru mengandung plasmid yang tidak tersisipi gen GP25. Koloni yang berwarna putih mengandung sisipan gen GP25 pada situs SalI. Koloni yang berwarna putih inilah yang selanjutnya diverifikasi lebih lanjut dengan
36
metode
cracking
yaitu
dipecah
selnya
sehingga
plasmid
utuhnya
dapat
divisualisasikan di agarose 0,7% (Gambar 7).
Gambar 7. Fragmen DNA GP25 yang diverifikasi dengan metode cracking, tanda panah ( ) menunjukkan plasmid yang berukuran lebih besar daripada marker yaitu koloni biru (tanda + ). Plasmid yang berukuran lebih besar daripada marker tersebut adalah plasmid pT-Easy yang telah tersisipi gen asing. Plasmid marker koloni biru adalah pT-Easy yang mengalami self-ligation atau tersambung dengan ujung plasmidnya sendiri sehingga ukuran plasmidnya tetap 3 kbp. Plasmid yang berukuran lebih besar berarti mengandung sisipan gen asing. Plasmid yang telah diverifikasi menggunakan PCR dengan primer F-GP dan R-GP menghasilkan fragmen DNA yang berukuran 1,8 kbp (Gambar 8). Hasil ini mengkonfirmasi koloni putih hasil transformasi ini memang membawa plasmid pT-GP25.
2 kbp
1,8 kbp
Gambar 8. Fragmen DNA hasil verifikasi dengan menggunakan PCR. Tanda ( ) menunjukkan fragmen GP25 yang tersisip di pT-GP25 Koloni bakteri transforman yang berwarna putih teramplifikasi menghasilkan fragmen DNA berukuran 1,8 kbp. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri transforman tersebut mengandung plasmid yang tersisipi gen GP25. Bakteri transforman yang sudah diverifikasi dengan PCR tersebut selanjutnya disekuensing sehingga menghasilkan urut-urutan basa nitrogen (Gambar 9). Sekuen GP25 diawali dengan start codon (ATG) yang terdapat pada primer F-GP25 dan diakhiri dengan stop codon (TAA) yang terdapat pada primer R-GP.
37
Gambar 9.
Hasil pengurutan sekuen GP25. Huruf miring di awal urutan nukleotida adalah primer forward (F-GP), sedangkan huruf miring di akhir adalah urutan primer reverse (R-GP).
Urutan nukleotida hasil sekuensing yang dianalisis dengan software Genetix Version 7 menghasilkan kesejajaran GP25 virus KHV asal Jepang, Amerika Serikat dan Israel (Gambar 10).
Gambar 10. Hasil penyejajaran (allignment) parsial GP25 asal Indonesia dengan GP25 KHV asal Israel, Jepang dan Amerika Serikat Berdasarkan hasil analisis kemiripan (similarity) dengan menggunakan software BLAST 2.0 with gaps (WU-Blast 2; www.ebi.ac.uk) diketahui bahwa GP25 dari virus KHV asal Indonesia memiliki kemiripan yang tinggi (99%) dengan GP25 KHV asal Jepang, Amerika Serikat dan Israel (Gambar 11). Hanya ada tiga data (tiga isolat) di Bank Gen yang berkaitan dengan virus KHV. Perbedaan sekuen terletak pada urutan basa ke 69-71 dan 1630-1650. Ada perbedaan tiga basa dan sekitar 20 basa yang ada di GP25 KHV asal Indonesia yang tidak ada pada GP25 KHV asal ketiga negara yang lain. Selain itu ada juga sedikit perbedaan dimana ada basa nitrogen yang terdapat ketiga GP25 dari KHV asal Jepang, Amerika Serikat dan Israel, tetapi tidak terdapat pada GP25 asal Indonesia. Perbedaan ini akan menjadi kekhasan dari isolat KHV asal Indonesia yang membedakan dengan ketiga isolat asal negara lain. 38
Gambar 11. Hasil analisis kemiripan gen GP25 virus KHV asal Indonesia dengan virus KHV asal Jepang (strain TUMST1), Amerika Serikat ( strain KHVU), dan virus KHV asal Israel (strain KHV-I). Persentase kemiripan ditunjukkan oleh kolom Identity. Pembuatan Konstruksi Vaksin DNA Vektor dasar yang digunakan untuk ekspresi gen GP25 (gen imunogenik) adalah pActD6 (Alimuddin et al. 2005). Plasmid pAct yang mengandung gen ∆6desaturase- like (D6) ini terlebih dahulu
harus dieleminasi gen D6-nya melalui
proses digesti menggunakan enzim SalI sehingga dihasilkan dua fragmen yaitu pAct dan D6 (Gambar 12).
Plasmid pAct
yang berbentuk linier ini siap untuk
diligasikan dengan fragmen GP25. GP25 merupakan hasil digesti pTGP25 menggunakan enzim SalI sehingga terbentuk dua fragmen yaitu pT-Easy dan GP25 (Gambar 13).
Gambar 12. Hasil digesti pActD6 dengan enzim SalI menjadi pAct dan D6, pAct ini akan menjadi tulang punggung (backbone) pembuatan konstruksi pAct-GP25
Gambar 13. Hasil digesti pT-GP25 dengan enzim SalI menjadi pT-Easy dan gen glikoprotein (GP25); dimana D adalah fragmen hasil digesti sedangkan K adalah kontrol plasmid yang tidak didigesti.
39
Setelah pAct diligasi dengan gen GP25 dihasilkan plasmid pAct-GP25 dengan ukuran sekitar 8,8 kbp. Hasil pembuatan konstruksi vaksin DNA melalui transformasi berupa koloni yang berwarna putih. Koloni bakteri transforman yang telah diverifikasi dengan menggunakan metode cracking (seperti verifikasi pada transformasi pertama yang menggunakan plasmid pT-Easy) menghasilkan plasmid DNA yang dapat diseleksi untuk diuji lanjut (Gambar 14).
Gambar 14. Hasil verifikasi dengan metode cracking terhadap hasil transformasi ) tahap kedua yang menggunakan plasmid pAct. Tanda panah ( menunjukkan klon bakteri yang dipilih untuk diuji lanjut; tanda positif (+) menunjukkan marker yang berasal dari koloni biru. Kandidat koloni yang memenuhi syarat (tanda panah) yang telah diverifikasi dengan
metode
PCR
menggunakan
sepasang
primer
menghasilkan produk PCR sebesar 1,8 kbp (Gambar 15).
F-GP
dan
R-GP
Situs restriksi yang
digunakan hanya satu jenis sehingga arah ligasi memiliki dua macam kemungkinan. Kemungkinan arah ligasi tersebut adalah start codon terligasi dengan promoter atau start codon terligasi dengan bagian terminator (poly A), begitu juga sebaliknya dengan stop codon. Plasmid yang telah diuji orientasi dengan primer F-GP an R-T7 menghasilkan fragmen DNA yang berukuran 2,1 kbp, yaitu pada koloni nomor 6, 17 dan 20 (Gambar 16).
40
1,8 kbp
Gambar 15. Hasil verifikasi plasmid dengan metode PCR menggunakan primer F-GP dan R-GP. Tanda ( ) menunjukkan fragmen GP25 yang tersisip dip Act-GP25.
2,1 kbp (1,8 2 GP +0,3 Gambar 16. Terdapat 3 klon bakteri transforman yang memiliki orientasi ligasi yang benar yang ditunjukkan dengan adanya fragmen berukuran 2,1 kbp Orientasi ligasi yang benar akan menyambungkan promoter dengan start codon dan terminator/polyA bovine growth hormone dengan terminator (stop codon) (Gambar 17). Situs restriksi dalam peta tersebut sangat berguna dalam pembuatan konstruksi DNA vaksin baru dengan gen yang berbeda.
Gambar 17. Peta plasmid pAct-GP25. Act=promoter aktin; GP25=glikoprotein ORF 25; BGH=poly-A dari bovine growth hormone; E= Eco RI; S= Sal I; dan X= Xho I.
41
pAct-GP25 (8,8 kbp) pT-GP25 pTGP (5,8 (5,8 kbp) kbp)
Gambar 18. Perbandingan ukuran fragmen pT-GP yang berukuran 5,8 kb (3 kbp pT-Easy+1,8 kbp GP25) dan pAct-GP25 yang berukuran 8,8 kbp (3 kbp pBlueScript+3,7mBA+1,8 GP+0.3 BGH). M adalah marker DNA. Plasmid pAct-GP25 inilah yang dijadikan vaksin DNA untuk mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus KHV pada ikan mas maupun koi. Aktivitas plasmid sebagai vaksin ini perlu dibuktikan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai vaksin. Gen glikoprotein yang merupakan bahan aktif dari vaksin DNA ini berukuran 1,8 kbp atau tepatnya 1824 bp. Ukuran protein yang ditranslasi oleh sekuen gen ini setara dengan 66,94 kDa (1 bp = 36,7 Da). Imunogenisitas suatu antigen ditentukan oleh ukuran molekulnya. Vaksin DNA untuk lymphocystis disease virus (LCDV) pada ikan flounder mengandung bahan aktif gen imunogenik berukuran 800 bp atau setara dengan 29,36 kDa (Zheng et al. 2006). Bahan aktif ini terbukti imunogenik walaupun ukuran molekulnya lebih kecil dari bahan aktif vaksin DNA untuk KHV. Vaksin DNA KHV memiliki peluang dari sisi imunogenisitasnya.
Imunogenisitas
tidak semata-mata ditentukan oleh ukuran molekulnya akan tetapi juga ditentukan oleh faktor virulen. Faktor virulen adalah faktor yang bertanggung jawab terhadap sifat sakit. Tidak semua faktor virulen bersifat imunogenik. Oleh karena itu untuk membuktikan imunogenisitas dari antigen perlu dibuktikan lebih lanjut. Tahap II: Uji Ekspresi Efektivitas vaksin DNA dapat dilihat dari aktivitas promoternya.
Aktivitas
promoter β-aktin dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengekspresikan gen yang dibawa serta dalam konstruksinya. Dalam penelitian ini uji aktivitas promoter dilakukan dalam mengekspresikan gen GFP (green fluorescent protein) dan GP25. Ekspresi gen GFP dengan level relatif tinggi terdeteksi pada semua jaringan yang dianalisis, yaitu ginjal (G), insang (I), limpa (L) dan otot (O) pada jam ke-24
42
(Gambar 19 A). Hal ini menunjukkan bahwa promoter β-aktin ikan medaka Jepang dapat aktif pada ikan mas. Ekspresi gen GFP masih terdeteksi seminggu setelah injeksi dilakukan (Gambar 19 B), meskipun tingkat ekspresinya lebih rendah dibandingkan dengan pada jam ke-24. Hal ini menunjukkan bahwa pAct-GFP dapat bertahan dan promoter β-aktin ikan medaka Jepang aktif pada otot, insang dan ginjal sampai seminggu setelah injeksi.
0,5 kbp 0,5 kbp 0,2 kbp Gambar 19.Ekspresi gen GFP pada ginjal (G), insang (I), limpa (L), dan otot (O) ikan mas pada jam ke-24 (A) dan seminggu (B) setelah injeksi dengan pAct-GFP. Ekspresi gen β-aktin sebagai kontrol internal terdeteksi pada semua jaringan (C). K+: kontrol positif plasmid pAct-GFP, K-: kontrol negatif tanpa cetakan DNA. 1,8 kbp 0,2 kbp Gambar 20.Ekspresi gen GP25 pada otot yang tidak diinjeksi (O-) dan otot yang diinjeksi (O+), insang (I), limpa (L) dan ginjal (G) pada hari keempat belas (setelah dua minggu) setelah injeksi. Ekspresi gen β-aktin sebagai kontrol internal terdeteksi pada semua jaringan dengan level yang relatif sama (C). Angka di sebelah kanan gambar merupakan ukuran DNA produk PCR. Selanjutnya, hasil analisis RT-PCR pada ikan mas yang telah diinjeksi dengan pAct-GP25 menunjukkan bahwa ekspresi gen GP25 dapat terdeteksi setelah 14 hari injeksi pada semua jaringan yang diamati. Hal ini sejalan dengan sifat promoter β-aktin yang dapat aktif pada semua jaringan; bersifat ubiquitos (Volkaert et al. 1994).
Perbedaan tingkat ekspresi antara gen GFP dan GP25
43
diduga berhubungan dengan sensitivitas primer untuk melekat pada cDNA cetakan dan ukuran fragmen DNA target PCR. Secara umum, target produk PCR yang berukuran lebih kecil akan lebih mudah diamplifikasi dibandingkan dengan DNA yang lebih besar. Panjang DNA target PCR dengan primer GP25 sekitar 1,8 kbp, sementara gen GFP sekitar 0,6 kbp. Hasil ekspresi gen tersebut menunjukkan bahwa promoter β-aktin bersifat aktif. Promoter ini dapat mengekspresikan gen GFP dan gen GP25. Ekspresi gen dari vaksin DNA dalam waktu singkat (short-term expression) sudah cukup untuk membangkitkan respons imun. Respons imun dimulai oleh sel-sel APC (antigen presenting cells) yaitu sel-sel dendrit maupun makrofag setelah vaksinasi dengan vaksin DNA (Tonheim et al. 2008). Vaksin DNA berupa plasmid masuk ke dalam sel dan mengalami baik transkripsi maupun translasi di dalam sitoplasma (Rawat et al. 2007). Sel-sel APC yaitu makrofag dan sel-sel dendrit berisi plasmid DNA yang kemungkinan akan ditranskripsi dan ditranslasi sehingga menghasilkan protein imunogenik, menyembunyikan adanya infeksi patogen intraseluler (cytosolic pathway) dan berikutnya mempresentasikan antigen berupa protein asing di permukaan sel. Presentasi dilakukan oleh molekul MHC kelas I (Tonheim et al. 2008). Sistem imun menggunakan dua jalur untuk mengeleminasi antigen intraseluler dan ekstraseluler.
Antigen endogeneous diproses di jalur sitosolik
(cytosolic pathway) dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I.
Antigen
eksogeneous diproses di jalur endositik (endocytic pathway) (Rawat et al. 2007). Sel-sel APC dapat mengambil antigen terlarut (peptida) yang dilepas oleh sel yang lain misalnya myosit.
Sel-sel APC tersebut selanjutnya memprosesnya dan
mempresentasikannya melalui molekul MHC kelas II yang ada di permukaan sel. Sel TCR (T cell receptor) mengenali peptida yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I dan kelas II masing-masing melalui molekul CD8+ yang ada di Tcell (cytotoxic T cell) dan CD4+ dari T cell (T helper) (Tonheim et al. 2008). Jalur sitosolik berperanan dalam membangkitkan respon kekebalan seluler, sedangkan jalur endositik berperanan dalam membangkitkan respons kekebalan humoral.
44
Tahap III: Uji Tantang Skala Laboratorium Uji Tantang I: RPS dan Aktivitas Sel Darah Putih Hasil uji tantang terhadap ikan yang telah divaksinasi menggunakan vaksin DNA penyandi glikoprotein KHV dipresentasikan oleh kelangsungan hidup ikan dalam persen (Gambar 21). Grafik tersebut menunjukkan dinamika kelangsungan hidup ikan berdasarkan nilai kelangsungan hidup. Vaksinasi menggunakan dosis 12,5 µg (dalam 100µl PBS) pada suhu 24 oC menghasilkan kelangsungan hidup terbaik yaitu sebesar 96,7% sampai 30 hari setelah uji tantang. Nilai kelangsungan hidup ini cukup tinggi sehingga dosis ini memenuhi syarat untuk digunakan dalam memvaksinasi ikan.
Gambar 21. Grafik kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan virus KHV Vaksinasi dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif karena semua ikan perlakuan mengalami kematian total setelah uji tantang termasuk ikan kontrol positif.
Kontrol negatif yang tidak divaksinasi maupun tidak diuji tantang hidup
100%.
Kondisi kematian ikan yang divaksinasi dengan dosis 2,5 µg/100µl
mendahului kematian ikan kontrol dengan selisih waktu dua hari. Selisih waktu ini diduga karena vaksinasi dilakukan dengan injeksi. Injeksi memungkinkan terjadinya cekaman pada ikan.
Ikan kontrol positif yang tidak divaksinasi (tidak diinjeksi)
mengalami kematian lebih lambat dibanding dengan ikan yang divaksinasi dengan dosis paling rendah yaitu 2,5 µg/100µl. Kondisi ini diduga terkait dengan adanya cekaman pada ikan yang diinjeksi.
45
Kematian ikan kontrol terjadi pada hari ke-17 setelah uji tantang dengan virus KHV. Jarak waktu uji tantang dan kematian ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Rosenkranz et al. (2008) dimana jarak waktu uji tantang secara perendaman dengan KHV adalah 7-11 hari.
Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan strain ikan mas yang digunakan sehingga berpengaruh pada tingkat resistensi ikan terhadap virus KHV. Penelitian uji tantang vaksin DNA ini menggunakan ikan mas strain wildan. Ikan strain ini merupakan ikan mas yang lebih tahan terhadap KHV dibanding dengan strain lain. Oleh karena itu ikan ini lebih tahan terhadap KHV dibanding dengan ikan mas yang digunakan oleh Rosenkranz et al. (2008) yang tidak menyebutkan strain ikan mas yang digunakan dalam uji infeksi dengan perendaman. Sedangkan kematian ikan yang divaksin dengan dosis 7,5 µg relatif lebih lama dibanding yang divaksin dengan dosis 2,5 µg maupun dengan ikan penelitian Rosenkranz et al. (2008).
Hal ini disebabkan
karena vaksinasi yang diberikan berpengaruh terhadap kinerja sistem imun ikan dalam menghadapi infeksi KHV. Dosis virus yang digunakan (dengan pengenceran 10-5) juga berpengaruh terhadap jarak waktu antara uji tantang dan kematian ikan. Nilai kelangsungan hidup relatif atau relative percent survival (RPS) merupakan nilai yang menggambarkan tingkat kelangsungan hidup ikan dengan perhitungan yang melibatkan persentase kematian ikan perlakuan dengan ikan kontrol setelah diuji tantang (Tabel 4).
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
perlakuan vaksinasi dengan dosis 12,5 µg/100 µl menghasilkan nilai RPS sebesar 96,7 %. Nilai RPS yang sudah dibandingkan dengan mortalitas ikan kontrol ini termasuk tinggi karena lebih dari 50%. Dosis 12,5 µg/100 µl merupakan dosis yang memenuhi syarat untuk menghasilkan RPS sebesar 96,7%. Tabel 4. Kelangsungan hidup relatif ikan pasca uji tantang tahap I No 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Kontrol Vaksinasi dosis 2,5 µg/100 µl Vaksinasi dosis 7,5 µg/100 µl Vaksinasi dosis 12,5 µg/100 µl
Mortalitas (%) 100 100 100 3,3
RPS (%) 0 0 96,7
46
Aktivitas Sel Darah Putih Leukosit Total Pengamatan terhadap jumlah total rata-rata leukosit dalam darah ikan mas pada perlakuan yang berbeda, menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu 127.000 sel/mm3 pada hari ke 42 setelah ikan divaksinasi. Nilai terendah terdapat pada perlakuan A yaitu 27.200 sel/mm3, pada hari ke 49 (seminggu setelah uji tantang).
Secara umum jumlah leukosit total mengalami
peningkatan setelah vaksinasi, tidak terkecuali kontrol. Jumlah total rata-rata leukosit dalam darah ikan mas merupakan nilai tengah jumlah sel darah putih ikan contoh (Gambar 22).
Gambar 22. Kecenderungan jumlah leukosit total ikan mas pada masing-masing perlakuan vaksinasi dosis 2,5 µg/100µl (A); dosis 7,5 µg/100µl (B); dosis 12,5 µg/100µl (C) dan tanpa vaksinasi (K). Jumlah leukosit dalam darah ikan adalah 3390-14200 sel/mm3 (Salasia et al. 2001). Jumlah leukosit terendah terdapat pada perlakuan A dan tertinggi pada perlakuan B berada di atas nilai normal. Kondisi ini menunjukkan bahwa ikan sedang merespons sesuatu, misalnya patogen. Hal ini dapat dilihat dari tren jumlah leukosit pasca vaksinasi yang cenderung meningkat sampai menjelang uji tantang. Sekalipun demikian ikan percobaan tidak menunjukkan
gejala klinis yang
mengindikasikan bahwa ikan tersebut sakit. Jumlah leukosit ikan kontrol yang lebih rendah dibanding ikan perlakuan
menunjukkan bahwa ikan kontrol maupun
perlakuan berada dalam kondisi yang sama. Hal ini disebabkan karena jumlah leukosit tersebut masih berada dalam kisaran normal. Kecenderungan jumlah leukosit total pasca vaksinasi meningkat dan puncaknya pada hari ke-42 menjelang uji tantang. Dari grafik total leukosit tersebut dapat dilihat terdapatnya gap antara ikan kontrol dan ikan perlakuan.
Gap ini 47
kemungkinan disebabkan oleh aktifnya gen penyandi glikoprotein dari virus KHV yang tersisip dalam vaksin DNA yang diinjeksikan ke tubuh ikan perlakuan. Aktifnya gen ini mendorong terjadinya translasi glikoprotein. Glikoprotein dengan jumlah yang semakin meningkat ini mendorong tubuh ikan untuk mengenali glikoprotein sebagai antigen.
Tubuh ikan merespons melalui meningkatnya produksi sel-sel
darah putih atau leukosit untuk menghadapi infeksi glikoprotein sebagai representasi virus KHV. Dalam penelitian sebelumnya tentang ekspresi gen dapat dibuktikan bahwa gen glikoprotein yang tersisip dalam vaksin DNA terbukti bersifat aktif dan terekspresi pada hari ke-14 setelah vaksinasi. Transkripsi gen yang berulang mengakibatkan banyaknya glikoprotein yang dihasilkan. Secara umum tren penurunan jumlah leukosit pada ikan perlakuan maupun ikan kontrol setelah uji tantang menunjukkan bahwa leukosit tersebut diduga aktif dan keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi. hanya menghitung jumlah leukosit dalam saluran darah. leukosit seharusnya terjadi segera setelah infeksi.
Penelitian ini
Peningkatan jumlah
Peningkatan jumlah leukosit
yang berfungsi dalam kekebalan seluler ini terjadi segera setelah sampai beberapa hari setelah infeksi, dan seminggu kemudian akan menurun.
Peran kekebalan
selanjutnya diambil alih oleh kekebalan humoral yaitu oleh antibodi. Aktivitas Fagositosis Pengamatan terhadap aktivitas fagositosis dalam darah ikan mas pada perlakuan yang berbeda, menunjukkan nilai yang berfluktuasi. Secara umum aktivitas fagositosis ikan kontrol lebih rendah dibanding dengan ikan yang divaksinasi baik sebelum maupun setelah uji tantang. Apabila dibandingkan dengan kedua perlakuan yang lain, maka perlakuan C yaitu vaksinasi dengan dosis 12,5 µg/100 µl memiliki tren penurunan aktivitas fagositosis yang lebih tajam setelah hari ke-63 dibanding dengan perlakuan yang lain. Namun demikian penurunan aktivitas fagosiosis ini berbanding terbalik dengan kelangsungan hidup ikan. Kelangsungan hidup ikan pada perlakuan C adalah 96,67% selama satu bulan setelah uji tantang.
48
Inde ks Fagositik
Persen
A
30 25 20 15 10 5 0
B C K
21
28
35
42
49
56
63
70
Hari k e-
Gambar 23. Aktivitas fagositosis pada perlakuan vaksinasi dengan dosis 2,5 µg/100µl (perlakuan A), 7,5 µg/100µl (perlakuan B), 12,5 µg/100µl (perlakuan C) dan tanpa vaksinasi (perlakuan K). Kondisi paradoks ini kemungkinan disebabkan karena ada kekebalan seluler lain yang aktif selain aktivitas fagositosis
maupun
kekebalan humoral yaitu
antibodi. Hal ini menunjukkan bahwa dosis vaksinasi terbesar yaitu 12,5µg/100 µl berpengaruh terhadap aktivitas kekebalan seluler yang ada di sistem sirkulasi. Kemungkinan besar aktivitas fagositosis berlangsung di tempat terjadinya infeksi sehingga sel-sel
leukosit yang ditemukan di pembuluh darah dan melakukan
aktifitas fagositosis lebih rendah dibanding perlakuan A, B maupun kontrol. Hal ini juga sejalan dengan aktivitas kekebalan humoral yang diperankan oleh limfosit B. Kresno (2001) menjelaskan bahwa limfosit yang teraktivasi berdiferensiasi dari sel kognitif yang mengenal antigen menjadi sel efektor yang berfungsi menyingkirkan antigen.
Sel T-sitolitik yang berdiferensiasi mempunyai granula
sitoplasmik lebih banyak yang mengandung protein yang berfungsi melisiskan sel sasaran. Limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Sel plasma umumnya tidak terdapat dalam sirkulasi tetapi hanya terdapat dalam organ limfoid dan pada tempat-tempat terjadinya respons imun. Oleh karena itu perlakuan C yaitu vaksinasi dengan dosis 12,5 µg/100 µl dapat meningkatkan peranan kekebalan seluler di jaringan yang terinfeksi. Hal ini didukung oleh data kelangsungan hidup ikan pada perlakuan C yang mencapai 96,7 % sampai satu bulan setelah uji tantang dibandingkan dengan perlakuan A dan B dengan dosis
49
vaksinasi 2,5 dan 7,5 µg yang mengalami kematian total 2-3 minggu setelah uji tantang.
Gambar 24. Fagositosis yang dilakukan oleh limfosit (a), monosit (b), neutrofil (c). Huruf F dan tanda panah menunjukkan tonjolan yang berisi benda asing yang telah difagositosis oleh sel-sel fagosit. Fagosit adalah bagian paling kuat (most powerful) dan paling penting dari sistem pertahanan tubuh yang dapat beroperasi segera (tanpa penundaan) dalam melawan invasi mikroorganisme setelah melintasi permukaan tubuh dan masuk ke dalam tubuh (Mims et al., 2001). Aktivitas fagositosis ini mengalami peningkatan setelah vaksinasi dengan vaksin DNA dan mengalami penurunan menjelang uji tantang dengan virus KHV. Peningkatan ini menunjukkan adanya tantang dengan aktivitas fagositosis.
korelasi antara vaksinasi dan uji
Pola peningkatan persentase aktivitas
fagositik ini mencerminkan fungsi peningkatan total leukosit maupun persentase selsel leukosit masing-masing pada limfosit, monosit dan neutrofil. Proses fagositosis terhadap bakteri Staphylococcus aureus menunjukan terjadinya tahapan dari proses fagositosis. Pada proses tersebut meliputi tahap kemotaksis, tahap pelekatan, tahap penelanan dan tahap pencernaan (Tizard 1988). Penelitian ini tidak membedakan aktivitas masing-masing sel fagosit dalam memfagositosis
benda
asing
termasuk
mikroorganisme.
Sebagai
bahan
perbandingan, Overlanda et al. (2009) membuktikan adanya aktivitas fagositosis yang berbeda antara sel B (limfosit) dan neutrofil.
Sel B memiliki kemampuan
fagositosis (phagocytosis activity) yang lebih tinggi dibanding neutrofil pada ikan salmon dengan sampel yang diambil dari ginjal depan (head kidney), sedangkan kapasitas fagositosis (phagocytosis capacity) sel B lebih rendah dibanding neutrofil . Kemampuan fagositosis sel B lebih rendah dibanding dengan neutrofil pada ikan
50
cod dengan sampel yang diambil dari ginjal depan dan pembuluh darah tepi, sedangkan kapasitas fagositosis sel B lebih besar dibanding dengan sel neutrofil.
Uji Tantang II: RPS dan Keamanan Vaksin Dalam uji tantang I maupun uji tantang II, semua ikan mas yang tidak divaksin dan tidak diuji tantang dengan KHV hidup hingga akhir penelitian (kontrol negatif). Sementara itu, kelangsungan hidup ikan mas yang divaksin dengan dosis 12,5 (SR 70,0%) dan 7,5 µg pada suhu 25 oC sebelum diuji tantang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis 2,5 µg dan kontrol positif (SR 23,3%) (Gambar 25).
Gambar 25. Grafik kelangsungan hidup ikan setelah diuji tantang dengan virus KHV Dari Gambar 25 terlihat bahwa ikan kontrol positif dan perlakuan A (vaksinasi dosis 2,5µg) mengalami kematian pada hari ke-12 setelah uji tantang, sedangkan ikan perlakuan B dan C (vaksinasi dengan dosis 7,5 dan 12,5 µg) terjadi pada hari ke-13 dengan uji tantang. Apabila dibandingkan dengan uji tantang I maka kematian ikan kontrol dan perlakuan A pada uji tantang II lebih cepat 3 hari. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan dosis virus yang digunakan. Uji tantang I menggunakan virus KHV yang diencerkan dengan perbandingan 1:100000, sedangkan uji tantang II menggunakan virus KHV dengan pengenceran 1:1000. Virus KHV pada uji tantang II lebih tinggi konsentrasinya dibanding dengan uji tantang I.
51
Apabila dikaitkan dengan aktivitas promoter β-aktin yang digunakan dalam vaksin DNA ini maka ekspresi gen terjadi 24 jam setelah vaksinasi dan masih terekspresi 2 minggu setelah vaksinasi. Kontrol ikan yang tidak diinjeksi dengan GP25 menunjukkan tidak adanya ekspresi GP25 pada jaringan maupun organ yang diamati.
Ikan kontrol yang tidak divaksinasi dengan GP25 juga menghasilkan
kelangsungan hidup yang rendah yaitu sebesar 23,3%. Dosis 12,5 µg/100 µl menghasilkan kelangsungan hidup sebesar 70%. Nilai kelangsungan hidup relatif atau relative percent
survival (RPS) yang diperoleh pasca uji tantang cukup
bervariasi (Tabel 4). Tabel 4. Kelangsungan hidup relatif ikan pasca uji tantang II dengan virus KHV No 1. 2. 3. 4.
Perlakuan Kontrol (K) Vaksinasi dosis 2,5 µg/100 µl (A) Vaksinasi dosis 7,5 µg/100 µl (B) Vaksinasi dosis 12,5 µg/100 µl (C)
Mortalitas (%) 76,67 63,33 36,67 30
RPS (%) 17,4 52,2 60,9
Hasil ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ikan yang divaksinasi dengan dosis 12,5 µg/100µl mampu memproduksi glikoprotein KHV di tubuh ikan. Protein ini dikenali tubuh sebagai antigen KHV sehingga ikan dapat mengaktifkan respons
imun.
kelangsungan
Aktifnya hidup
ikan
respons yang
imun
direpresentasikan
divaksinasi dengan
dibandingkan dengan dosis lain yang lebih rendah. mengonfirmasi
bahwa
GP25
bersifat
imunogenik
dosis
oleh
tingginya
12,5
µg/100µl
Kondisi ini sekaligus dan
meningkatkan kekebalan ikan mas terhadap infeksi KHV.
ekspresinya
dapat
Vaksin DNA yang
mengandung GP25 ini dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi KHV pada ikan mas. Vaksin ini dapat direkomendasikan untuk langkah pencegahan dalam mengelola kesehatan ikan mas yang dibudidayakan. Nilai RPS yang tertinggi dihasilkan dari vaksinasi menggunakan dosis 12,5 µg/100 µl. Nilai ini mencapai 60,9%. Nilai RPS tersebut lebih besar dari 50% yang berarti lebih banyak ikan yang hidup dibanding dengan ikan yang mati. Dosis 7,5 µg/100 µl menghasilkan nilai RPS sebesar 52,2%. Nilai RPS ini juga lebih tinggi dari nilai standar minimal RPS.
Masing-masing dosis ini memungkinkan untuk
dijadikan sebagai dosis standar untuk vaksinasi. Namun demikian pemilihan dosis
52
yang akan digunakan harus mempertimbangkan nilai efisiensi yang melibatkan perhitungan dari sisi ekonomi. Setelah dilakukan analisis data RPS pada uji tantang II dengan ANOVA dan diuji lanjut dengan uji BNT (beda nyata terkecil) didapatkan hasil bahwa minimal ada sepasang perlakuan yang berbeda pengaruhnya (F hit > F tabel).
Untuk
mengetahui perlakuan yang berbeda pengaruhnya maka dilakukan uji lanjut BNT (beda nyata terkecil). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa perlakuan A berbeda pengaruhnya dengan perlakuan B dan C. Sedangkan, perlakuan B memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan C (Lampiran 6). Metode transfer vaksin melalui injeksi plasmid juga harus dipertimbangkan. Tahapan isolasi plasmid mengambil porsi biaya yang paling mahal dibanding dengan tahap kultur bakteri. Oleh karena itu harus ada alternatif metode transfer vaksin dengan memangkas tahapan isolasi plasmid. Aplikasi ini memungkinkan pemberian vaksin dalam bentuk bakteri konstruksi. Uji tantang tahap pertama dilakukan dengan memberikan virus KHV dari 1 gram insang terinfeksi KHV yang dencerkan dengan PBS dengan pengenceran 1:100000 atau 10-5. Uji tantang tahap kedua dilakukan dengan memberikan virus KHV yang diencerkan dengan perbandingan 1:1000, lebih pekat dibanding dengan uji tantang tahap pertama. Uji tantang ini sebaiknya dengan menggunakan TCID50 atau LD50. Namun karena sifat virus KHV yang tergantung suhu maka standarisasi infeksi virus dengan TCID50 atau LD50 ini memerlukan waktu yang cukup sehingga standar yang dihasilkan dapat digunakan sebagai patokan untuk uji tantang. Waktu uji tantang yang berbeda berkaitan erat dengan perbedaan suhu air (Lampiran 7). Suhu air yang berbeda diduga berpengaruh pada tingkat virulensi virus. Virulensi virus yang berbeda tiap uji tantang menghasilkan keragaman pola kematian ikan percobaan seperti yang digambarkan pada grafik baik pada uji tantang tahap pertama maupun uji tantang tahap kedua. Nilai RPS baik pada uji tantang tahap pertama yaitu sebesar 96,7% (pada dosis vaksin 12,5 µg) dan tahap kedua sebesar 52,2% dan 60,9% untuk dosis vaksin masing-masing 7,5 dan 12,5 µg cukup memenuhi syarat untuk digunakan sebagai penentu keberhasilan vaksinasi. Nilai RPS tersebut lebih besar dari 50% seperti pada uji tantang vaksin DNA dengan virus SVCV dari Amerika Utara (spring
53
viremia of carp virus) pada ikan koi yang dilakukan oleh Emmenegger & Kurath (2008). Uji vaksinasi yang menghasilkan nilai 50-80% tersebut dinyatakan sebagai uji vaksinasi yang berhasil dilakukan. Nilai RPS tersebut juga lebih tinggi dibanding dengan hasil uji tantang vaksin DNA pada ikan mas terhadap virus SVCV. Nilai RPS hasil uji tantang tersebut sebesar 48% untuk vaksin DNA yang menggunakan gen lengkap (full length) glikoprotein (Kanellos et al. 2006). Hasil RPS yang berbeda antara uji tantang tahap pertama dan uji tantang tahap kedua disebabkan perbedaan dosis virus yang digunakan dalam uji tantang. Dosis virus yang berbeda
menyebabkan jumlah partikel virus juga berbeda.
Perbedaan hasil uji tantang ini juga dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat virulensi virus KHV. Virus KHV adalah virus yang tingkat virulensinya tergantung musim. Pada musim hujan virus ini akan bersifat lebih ganas. Adanya pergeseran musim yang disebabkan oleh adanya perubahan iklim global diduga berpengaruh terhadap tingkat virulensi virus.
Kondisi ini juga berpengaruh dalam penentuan
dosis standar virus yang digunakan dalam uji tantang. Pada penelitian pendahuluan didapatkann dosis LD50 (lethal dose 50) untuk virus KHV yang diencerkan dengan perbandingan 1:107. Dosis ini terbukti tidak dapat digunakan pada waktu uji tantang ikan yang telah divaksinasi dengan vaksin DNA. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini bukan ikan klon. Ikan bukan klon memungkinkan terjadinya variasi hasil uji tantang sebagai akibat dari level respon imun yang berbeda antar ikan. Ikan klon maupun ikan SPF (specific pathogen free) khusus untuk ikan mas belum tersedia secara komersial. Hal ini menjadi kendala dalam pengadaan ikan uji untuk penelitian vaksin. Keamanan Vaksin Vaksin kemungkinan.
DNA
yang
diberikan
ke
ikan
akan
mengalami
beberapa
Beberapa kemungkinan tersebut adalah: a) DNA akan masuk
(uptake) ke dalam sel yang ada di lokasi injeksi; b) DNA akan tertinggal di bagian luar sel (ekstraseluler); c) DNA akan didegradasi oleh enzim endonuklease di jaringan tempat injeksi, dan d) DNA terdistribusi melalui darah ke jaringan lain (Gillund et al. 2008).
54
Apabila vaksin DNA tersebut terdistribusi ke jaringan lain dan terekspresi maka vaksin DNA tersebut akan mentranslasikan glikoprotein virus KHV. Glikoprotein virus harus dipastikan tidak menginfeksi inangnya sendiri sehingga inangnya, dalam hal ini ikan. membentuk badan inklusi.
Jaringan ikan yang terinfeksi virus biasanya
Badan inklusi ini dapat dijadikan penanda status
kesehatan ikan yang terkait dengan keamanan vaksin (Ellis 1988). Meskipun target yang diharapkan dari pemberian vaksin DNA ini adalah munculnya respon imun pada ikan yang divaksin, akan tetapi aspek keamanan vaksin DNA tersebut bagi ikan harus diperhatikan.
Vaksin DNA GP25 yang
diberikan ke ikan selama lebih dari tiga bulan tidak mengalami kematian.
Dari
pemeriksaan jaringan pada jaringan otot, insang, limpa dan ginjal tidak menunjukkan adanya kelainan (Lampiran 8 dan 9). Jaringan otot dan insang ikan yang telah divaksinasi tidak menunjukkan kelainan patologis (Lampiran 8). Kelainan yang dimaksud adalah munculnya badan inklusi yang menandai adanya infeksi virus pada sel/jaringan. Insang yang merupakan salah satu indikator adanya ganggunan infeksi KHV tidak mengalami hiperplasia. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang membawa fragmen gen virus KHV tersebut tidak membahayakan insang ikan mas. Kematian massal ikan yang terinfeksi KHV disebabkan oleh hiperplasia yang menyebabkan jumlah sel epitel meningkat sehingga terjadi penempelan antar lamella dan antar filamen insang. Kondisi ini menyebabkan ikan mengalami kesulitan dalam bernafas untuk mengambil oksigen dari media air. Jaringan limpa yang divaksinasi juga tidak menunjukkan tanda-tanda mengalami kelainan, demikian juga dengan jaringan ginjal (Lampiran 9). Tidak ditemukan kelainan berupa vakuolisasi epitel, inflamasi renal tubular, intranuclear inclusion body dan epithelial cytopathic effect. Kondisi jaringan di atas meneguhkan bahwa vaksin DNA yang diberikan tidak berbahaya bagi ikan yang divaksinasi. Data pendukung keamanan vaksin adalah semua ikan yang divaksinasi dengan GP25 sebanyak 12,5 µg tidak mengalami kematian dalam pengamatan selama dua bulan. Aspek yang telah dibahas di atas merupakan aspek keamanan dari sisi hewan yang divaksin.
Aspek keamanan yang lain yang harus dilihat adalah
keamanan bagi consumer (pengonsumsi) dan lingkungan (Lorenzen & LaPatra
55
2005).
Melalui uji coba terhadap sukarelawan yang mengonsumsi beberapa
milligram vaksin DNA didapatkan hasil bahwa tidak ada efek negatif yang muncul pada sukarelawan tersebut (Liu 2003).
Vaksin DNA berupa plasmid yang
diinjeksikan ke ikan terbukti tidak mengalami integrasi dengan DNA genom (Kanellos et al. 1999). Perdebatan tentang ikan yang divaksin menjadi GMO (genetic modified organinism) atau tidak maka hal ini perlu ditelaah lebih dalam lagi. The British Agriculture and Environmental Biotechnology Commission dan Danish
Medical
Authorities memberi batasan bahwa selama DNA asing tidak terintegrasi ke DNA genom maka tidak diklasifikasikan sebagai GMO.
Sedangkan Norwegian
Directorate for Nature Management mempertimbangkan selama ada DNA asing dalam tubuh binatang maka binatang tersebut termasuk GMO (Lorenzen & LaPatra 2005). Pendapat yang pertama dibantah oleh hasil penelitian Kanellos et al. (1999). Pendapat yang kedua bertentangan dengan fakta bahwa banyak binatang ternak yang mengonsumsi pakan/tanaman hasil rekayasa genetika yang termasuk GMO. Binatang ternak tersebut pada akhirnya akan dikonsumsi oleh manusia. Fakta yang lain adalah bahwa penduduk Indonesia menggemari tempe dan tahu yang berbahan baku kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai tersebut maka pemerintah melakukan impor kedelai dari luar negeri yang merupakan GMO. Mengenai keamanan lingkungan maka yang dikhawatirkan adalah terjadinya up take vaksin DNA yang merupakan plasmid oleh bakteri liar di alam. Secara teori, up take ini memungkinkan untuk terjadi walaupun tidak dengan mudah.
Yang
dikhawatirkan adalah terjadinya transfer plasmid yang mengandung penanda resisten terhadap Ampisilin maupun antibiotik yang lain.
Namun berdasarkan
paparan Horn (2005) disebutkan bahwa tidak terjadi transfer gen (DNA plasmid) pada mikro flora normal yang ada pada ikan yang telah diberi vaksin DNA. Plasmid yang sudah masuk ke tubuh ikan akan diuptake sel dan selebihnya akan didegradasi oleh enzim endonuklease (Tonheim et al. 2008). Berdasarkan kelebihan maupun kekurangan masing-masing vaksin maka perlu dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai dampak positif dan negatif dari vaksin DNA tersebut. Pemilihan harus dilakukan berdasarkan manfaat terbesar
56
yang dapat diberikan oleh vaksin termasuk vaksin DNA dengan meminimalisasi resiko yang ditimbulkan. Minimalisasi resiko terhadap lingkungan dapat dilakukan dengan vaksinasi secara terkontrol.
57