HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biskuit Pakan Biskuit pakan merupakan inovasi bentuk baru produk pengolahan pakan khusus untuk ternak ruminansia. Pembuatan biskuit pakan menggunakan prinsip dasar pembuatan biskuit dalam bidang pangan karena adanya persamaan dalam proses pemanasan dan pencetakan. Penekanan dalam proses pencetakan biskuit pakan bertujuan untuk merekatkan bahan perekat molases dengan bahan pakan hijauan karena penekanan dilakukan untuk menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkat (Wati, 2010). Biskuit pakan yang diproduksi mempunyai bentuk tipis dan kompak sehingga dapat memudahkan dalam penanganan. Berdasarkan bahan kering pakan, bobot pengangkutan pakan hijauan berupa biskuit pakan dapat memuat lebih banyak sampai lima kali lipat daripada hijauan segar berupa rumput lapang. Hal ini karena berat biskuit pakan yang dihasilkan sekitar 20% dari berat bahan pakan yang digunakan dan juga karena proses pengempaan membuat massa jenis biskuit pakan menjadi lebih besar (0,44 g/cm3) daripada sebelum dicetak (0,18 g/cm3). Biskuit pakan yang digunakan pada penelitian mempunyai umur simpan yang lama, sehingga dapat mengatasi ketersediaan pakan khususnya hijauan pakan saat musim kemarau. Aisyah (2010) menyatakan bahwa biskuit pakan yang disimpan selama sembilan minggu tidak mengalami kerusakan fisik berupa warna dan aroma. Bentuk biskuit pakan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.
R1
R2
R3
Gambar 4. Biskuit Pakan Perlakuan R1 = biskuit 100% rumput lapang, R2 = biskuit 50% rumput lapang + 50% daun jagung, dan R3 = biskuit 100% daun jagung Karakteristik fisik pakan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi palatabilitas ternak, sehingga hal ini perlu diperhatikan. Yusmadi et al. (2008),
20
menyatakan bahwa sifat pakan yang dicerminkan oleh organoleptik seperti penampakan, bau, rasa, tekstur, dan temperaturnya dapat menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya. Karakteristik biskuit daun jagung dan rumput lapang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Biskuit Daun Jagung dan Rumput Lapang Biskuit Pakan
Warna
Aroma
Kepadatan
Tekstur
R1
Hijau Kecoklatan
Harum
Kompak
Kasar
R2
Hijau Kecoklatan
Harum
Kompak
Kasar
R3
Hijau
Harum
Remah
Kasar
Keterangan : R1 : 100% rumput lapang R2 : 50% rumput lapang + 50% daun jagung R3 : 100% daun jagung
Karakteristik fisik biskuit pakan setiap perlakuan secara umum memiliki warna hijau kecoklatan, aroma harum, tekstur kasar, dan bentuk kompak tetapi biskuit daun jagung pada perlakuan ketiga memiliki warna lebih hijau dan bertekstur halus (remah) dibandingkan biskuit perlakuan lainnya. Tekstur biskuit yang kasar menurut Retnani (2010), disebabkan terdapatnya kandungan serat yang tinggi. Kandungan zat makanan biskuit pakan dan konsentrat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Biskuit dan Konsentrat Pakan
BK (%)
Nutrien (%BK) Abu
PK
SK
LK
Beta-N
TDN*
Biskuit R1
89,60
10,42
12,89
41,34
0,21
35,14
52,57
Biskuit R2
87,20
9,79
14,51
31,90
0,20
43,60
54,69
Biskuit R3
87,60
8,84
16,12
29,45
1,04
44,55
57,03
Konsentrat
81,00
19,47
17,29
18,70
3,26
41,28
63,06
Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor (2010). PK = protein kasar, SK = serat kasar, LK = lemak kasar, Beta-N = bahan ekstrak tanpa nitrogen. Biskuit R1 = 100% rumput lapang, Biskuit R2 = 50% rumput lapang + 50% daun jagung, dan Biskuit R3 = 100% daun jagung. *TDN pakan dihitung dengan persamaan Hartadi et al. (1997): TDN biskuit pakan = 37.937-1.018(SK)4.886(LK)+0.173(Beta-N)+1.042(PK)+0.015(SK)2-0.058(LK)2 + 0.008(SK) (Beta-N) + 0.119(LK)(Beta-N)+0.038(LK)(PK)+0.003(LK)2(PK); TDN konsentrat = 22.822-1.44 (SK)-2.875(LK)+0.655(Beta-N)+0.863(PK)+0.02(SK)2-0.078(LK)2+0.018(SK) (Beta-N) +0.045(LK)(Beta-N)+0.085(LK)(PK)+0.02(LK)2(PK).
21
Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering Domba mengkonsumsi makanan sesuai dengan tingkat kebutuhannya untuk dapat mencapai tingkat penampilan yang optimal. Hasil rataan konsumsi bahan kering harian domba pada penelitian berkisar antara 631,8-841,4 g/ekor/hari atau 3,6%–4,8% dari bobot badan dengan rasio hijauan berkisar antara 22%-28% dan konsentrat 72%-78%. Konsumsi tersebut menunjukkan bahwa rata-rata bahan kering yang dikonsumsi oleh ternak telah mencukupi kebutuhan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Haryanto dan Djajanegara (1993) bahwa kebutuhan bahan kering per ekor per hari untuk domba Indonesia dengan bobot badan 10-20 kg adalah 3,1%4,7% dari bobot badan untuk pertambahan bobot badan harian 50-100 g. Menurut NRC (1985) domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan BK 5% dari bobot badan atau berkisar antara 0,5-1,0 kg. Rataan konsumsi bahan kering pakan pada penelitian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi Bahan Kering Harian Domba Perlakuan
Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) Biskuit Pakan
Konsentrat
Total
R1
143,6±15,4
521,3±55,1
664,9±47,6a
R2
167,9±70,0
580,4±13,2
748,3±82,1ab
R3
230,5±12,4
581,6±2,1
812,1±14,2b
Keterangan : Superskrip a dan b pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) R1 : Biskuit (100% rumput lapang) + konsentrat R2 : Biskuit (50% rumput lapang + 50% daun jagung) + konsentrat R3 : Biskuit (100% daun jagung) + konsentrat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi bahan kering biskuit pakan dan konsumsi bahan kering konsentrat (P>0,05). Pada penelitian ini konsumsi bahan kering total ternak berbeda nyata (P<0,05). Rataan konsumsi bahan kering total domba yang paling tinggi dimiliki oleh R3 sebanyak 812,1±14,2 g/ekor/hari dan yang paling rendah adalah R1 sebanyak 664,9±47,6 g/ekor/hari. Konsumsi bahan kering total R1 berbeda nyata dengan R3, sedangkan R2 tidak berbeda nyata dengan R1 dan R3.
22
Perlakuan R3 memiliki nilai konsumsi BK total terbaik, hal ini karena kandungan nutrien terutama protein yang tinggi (Tabel 3) dalam kandungan biskuit daun jagung daripada perlakuan lainnya dan memiliki struktur pakan yang halus. Selain itu menurut Umiyasih dan Wina (2008), daun jagung mempunyai palatabilitas yang tinggi. Biskuit daun jagung dengan struktur pakan yang halus akan memudahkan mikroorganisme di dalam rumen untuk mencerna lebih cepat, sehingga rumen pun lebih cepat kosong, hal tersebut menyebabkan tingkat konsumsi pakan domba meningkat (Mulyaningsih, 2006). Tillman et al. (1991) menambahkan semakin banyak bahan yang dapat dicerna berarti lebih cepat aliran digesta dan menyebabkan tersedia kembali ruangan untuk penambahan pakan. Jumlah konsumsi bahan kering harian pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan
dengan
penelitian
yang
dilakukan
Arifiyanti
(2002)
dalam
penelitiannya menyatakan bahwa konsumsi bahan kering domba yang diberi pakan hijauan rumput lapang dan konsentrat adalah 646,0±12,8 g/ekor/hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian biskuit pakan sebagai sumber serat dapat menggantikan pemberian rumput lapang dalam ransum domba. Grafik konsumsi bahan kering total mingguan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering Total Mingguan
23
Grafik konsumsi bahan kering total mingguan menunjukkan bahwa konsumsi domba setiap perlakuan secara umum meningkat tetapi tidak di setiap minggunya, hal ini berlaku pada seluruh perlakuan. Meningkatnya konsumsi bahan kering dari minggu awal hingga minggu akhir turut dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan setiap domba, sesuai dengan pernyataan Elita (2006), bahwa semakin besar bobot badan maka kapasitas saluran pencernaan akan semakin meningkat sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah lebih banyak atau dengan kata lain konsumsinya akan meningkat. Menurunnya rataan konsumsi bahan kering total yang terjadi pada setiap perlakuan di minggu ke-2 karena saat itu ada ternak yang mengalami gangguan keropeng pada mulutnya (Orf) dan diare, lima hari kemudian ternak kembali sehat setelah diobati. Konsumsi Protein Kasar Protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi pertumbuhan, sehingga defisiensi protein dapat mengganggu pertumbuhan. Protein berfungsi sebagai zat pembangun atau pertumbuhan, zat pengatur dan mempertahankan daya tahan tubuh (Hasanah, 2006). Rataan konsumsi protein kasar total perhari dari masing-masing perlakuan berkisar dari 108,7±8,5 g/ekor/hari hingga 137,7±2,3 g/ekor/hari. Rataan nilai konsumsi protein kasar harian domba bisa dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Konsumsi Protein Kasar Harian Domba Perlakuan
Rataan Konsumsi Protein Kasar (g/ekor/hari) Biskuit Pakan
Konsentrat
Total
R1
18,5±2,0a
90,1±9,5
108,7±8,5a
R2
24,4±10,2a
100,4±2,3
124,7±12,3ab
R3
37,2±2,0b
100,6±0,4
137,7±2,3b
Keterangan : Superskrip a dan b pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) R1 : Biskuit (100% rumput lapang) + konsentrat R2 : Biskuit (50% rumput lapang + 50% daun jagung) + konsentrat R3 : Biskuit (100% daun jagung) + konsentrat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi protein konsentrat (P>0,05). Pada penelitian ini
24
konsumsi protein kasar biskuit pakan dan konsumsi protein kasar total ternak berbeda nyata (P<0,05). Hasil uji lanjut menunjukkan konsumsi protein kasar biskuit pakan R1 memberikan pengaruh yang sama dengan R2, sedangkan R3 memberikan pengaruh yang berbeda dengan R1 dan R2. Hasil uji lanjut menunjukkan konsumsi protein kasar total R3 memberikan pengaruh yang berbeda dengan R1, sedangkan R2 memberikan pengaruh yang sama dengan R1 dan R3. Hal ini disebabkan konsumsi BK dan kandungan PK pada pakan R3 lebih tinggi dari ketiga perlakuan. Purbowati et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi PK sejalan dengan konsumsi bahan keringnya, karena konsumsi nutrient tersebut dipengaruhi oleh konsumsi BK dan kandungan pakan tersebut. Arifin et al. (2007) menyatakan hal yang sama bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah konsumsi BK dan kandungan PK dalam ransum. Rataan konsumsi protein kasar harian domba pada penelitian ini telah mencukupi kebutuhan protein kasar domba jika berdasarkan Haryanto dan Djajanegara (1992) menyatakan bahwa, kebutuhan protein kasar untuk domba dengan bobot badan sebesar 10-20 kg dengan pertambahan bobot badan 50-100 g/ekor/hari membutuhkan protein kasar sebesar 73,7-135,8 g/ekor/hari, sedangkan hasil tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan NRC (1985), domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan protein 127-167 g/hari untuk pertumbuhan, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan protein domba lokal Indonesia berbeda dengan kebutuhan protein domba pada daerah temperate. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa atau potensi genetik ternak dan tingkat produksi, pertambahan bobot badan domba NRC (1985) yaitu 200-250 g/ekor/hari, sedangkan rata-rata pertambahan bobot badan dari penelitian ini 49,52±17,58 g/ekor/hari. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan (PBB) merupakan akibat dari membesar dan bertambahnya berat jaringan-jaringan tubuh. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas pakan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-zat makanan dari pakan yang diberikan. Hasil Pertambahan bobot badan harian domba penelitian ini berkisar antara 34,29-61,90 g/ekor/hari. Hasil pertambahan bobot badan penelitian ini tidak jauh 25
berbeda bila dibandingkan penelitian lain seperti yang dilaporkan oleh Rianto et al. (2006) dan Arifin et al. (2006). Rianto et al. (2006) yang menguji produktivitas domba dengan pakan hijauan dan konsentrat secara ad libitum mendapatkan hasil pertambahan bobot badan sebesar 44 gram/hari, sedangkan Arifin et al. (2006) pada penelitiannya dengan memberikan rumput gajah dan pakan tambahan kepada ternak domba menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 40,62 g/ekor/hari. Rataan nilai pertambahan bobot badan harian domba dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Perlakuan
Rataan (g/ekor/hari)
R1
34,29±19,88
R2
52,38±7,23
R3
61,90±14,09
Keterangan : R1 : Biskuit (100% rumput lapang) + konsentrat R2 : Biskuit (50% rumput lapang + 50% daun jagung) + konsentrat R3 : Biskuit (100% daun jagung) + konsentrat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian domba ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ketiga macam ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan mempunyai peningkatan yang sama. Hal ini terjadi karena faktor umur dan faktor genetik domba percobaan antara ketiga perlakuan adalah homogen serta adanya ternak yang mengalami sakit orf dan diare selama seminggu saat minggu kedua, sehingga zat makan yang dikonsumsi digunakan untuk proses penyembuhan. Menurut Tomaszewska et al. (1993) bahwa laju pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, lingkungan, dan genetik. Pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata mungkin juga terkait dengan kecernaan pakan yang sama, selain itu juga karena nilai gizi pakan yang dikonsumsi tidak jauh berbeda, sehingga ketersediaan zat-zat makanan untuk kebutuhan tubuh sama (Elita, 2006). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan (Hardianto, 2006). Kuantitas pakan yang dimaksud adalah seberapa banyak jumlah pakan yang dikonsumsi, sedangkan kualitas pakan berhubungan dengan tingkat nutrisi pakannya. Semakin tinggi tingkat konsumsi dan nutrisi pakannya, semakin tinggi pula pertambahan bobot badan hariannya. Pada penelitian ini terlihat bahwa 26
ternak yang mengkonsumsi pakan lebih banyak menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi bahan kering perlakuan R3 merupakan konsumsi tertinggi dibandingkan dengan R1, demikian pula halnya dengan konsumsi protein kasar pada perlakuan R3 lebih tinggi konsumsinya oleh ternak domba dibandingkan dengan ransum R1. Sehingga pertambahan bobot badan ternak domba yang diberi ransum perlakuan R3 menunjukkan PBB tertinggi yaitu 61,90±14,09 g/ekor/hari, sedangkan ransum perlakuan R1 menunjukkan PBB terendah yaitu 34,29±19,88 g/ekor/hari). Hal ini selain dipengaruhi oleh jumlah konsumsi bahan kering dan konsumsi protein kasar juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar pakan yang dikonsumsi. Perlakuan R1 memiliki kandungan serat kasar yang tinggi pada hijauannya yaitu rumput lapang sebesar 41,34% sehingga ternak domba kesulitan dalam mencerna pakan tersebut. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kandungan protein yang tinggi dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, sedangkan kandungan serat kasar yang tinggi dalam pakan akan menurunkan bobot badan. Rianto et al. (2006), dalam penelitiannya menyebutkan domba Ekor Tipis yang diberikan ransum dengan kandungan protein antara 8,11% dan 12,56% menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 26,49-44,46 g/ekor/hari dan pada penelitian Rianto et al. (2004), menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 31,52-83,15 g dengan menggunakan ransum yang memiliki kandungan protein antara 11,76% dan 14,99%. Ransum pada perlakuan R3 yaitu biskuit daun jagung memiliki kualitas baik sehingga pemberian biskuit daun jagung dan konsentrat dapat menyediakan berbagai zat nutrien yang dibutuhkan oleh ternak agar dapat berkembang secara optimal. Konversi Pakan Konversi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi untuk meningkatkan satu kilogram bobot badan, berdasarkan konversi pakan maka dapat diketahui tingkat efisiensi penggunaan pakan untuk pertumbuhan ternak sebagai konsekuensinya efisiensi produksi dapat diperhitungkan (Elita, 2006). Semakin kecil nilai konversi pakan, maka semakin efisien dimanfaatkan untuk menghasilkan bobot badan. Bila nilai konversi yang rendah tercapai maka keuntungan pendapatan yang diperoleh
27
peternak akan tinggi. Rataan nilai konversi pakan penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Konversi Pakan Perlakuan
Rataan
R1
26,65±19,55
R2
14,49±2,76
R3
13,68±3,70
Keterangan : R1 : Biskuit (100% rumput lapang) + konsentrat R2 : Biskuit (50% rumput lapang + 50% daun jagung) + konsentrat R3 : Biskuit (100% daun jagung) + konsentrat
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konversi pakan. Konversi pakan yang tidak berbeda nyata pada penelitian ini dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan domba yang tidak berbeda nyata juga. Sinaga dan Silalahi (2002) turut menyatakan hal serupa, yaitu salah satu faktor yang mempengaruhi nilai konversi pakan adalah pertambahan bobot badan harian ternak tersebut. Selain itu, konversi ransum pada ruminansia dipengaruhi oleh kualitas ransum, nilai kecernaan dan efisiensi pemanfaatan zat gizi dalam proses metabolisme di dalam jaringan tubuh ternak. Hasil rataan konversi pakan R2 dan R3 pada penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingkan hasil laporan Yunita (2008), dalam penelitiannya yang menyebutkan domba yang diberi ransum komplit dan rumput Brachiaria humidicola akan menghasilkan nilai rataan konversi pakan sebesar 16,67. Dengan demikian, biskuit pakan dapat digunakan sebagai sumber serat pada peternakan domba untuk menggantikan rumput segar. Bila dibandingkan dengan konversi pakan standar NRC (1985), konversi pakan ternak domba bernilai 4 maka rataan konversi pakan dalam penelitian ini masih terlalu tinggi. Menurut Yunita (2008), hal ini disebabkan oleh perbedaan iklim di Indonesia yang beriklim tropis dengan standar
NRC yang
didasarkan dengan iklim subtropis merupakan salah satu penyebab perbedaan standar nilai konversi pakan, kebutuhan nutrisi di daerah tropis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan subtropis.
28
Income Over Feed Cost (IOFC) Keuntungan ekonomis merupakan tujuan dari usaha penggemukan domba untuk mendapatkan efisiensi usaha yang lebih baik. Oleh karena itu analisis ekonomi sangat penting dalam usaha peternakan domba untuk mengetahui tingkat ekonomis dan efisiensi usaha. Salah satu analisis yang dapat digunakan adalah Income Over Feed Cost (IOFC) yaitu pendapatan yang diterima setelah dikurangi biaya pakan selama pemeliharaan. Biaya pakan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha penggemukan domba yang dapat mencapai sekitar 70% dari biaya produksi, sehingga pakan yang efisien akan memberikan keuntungan ekonomis yang besar. Komponen utama yang diperhatikan dari perhitungan ini adalah harga jual domba, harga beli bakalan dan biaya pakan. Biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama proses pemeliharaan ternak tidak diperhitungkan dalam sistem IOFC. Harga jual maupun harga beli domba yang digunakan berdasarkan harga yang berlaku di peternakan lokasi penelitian. Harga bakalan domba yang digunakan untuk penggemukan yaitu Rp. 23.000,- /kg bobot hidup dan harga jual untuk domba finish adalah Rp. 27.000,- /kg bobot hidup. Harga domba berdasarkan harga yang berlaku di Mitra Tani Farm 2010. Harga domba saat dijual bertepatan dengan kenaikan harga domba di pasaran karena permintaan yang tinggi menjelang hari raya Idul Adha. Penelitian ini menggunakan dua jenis pakan yaitu biskuit dan konsentrat, harga untuk semua jenis biskut pakan adalah Rp. 2.000,-/kg dan Rp. 1.500,-/kg untuk konsentrat. Harga biskuit pakan yang sama pada ketiga perlakuan karena limbah tanaman jagung (daun jagung) yang didapat hanya menghabiskan biaya untuk pengangkutan seperti halnya biaya untuk mendapatkan rumput lapang. Harga biskuit pakan lebih mahal dari konsentrat, sehingga belum efisien untuk usaha penggemukkan domba. Bobot badan rata-rata bakalan yang digunakan pada R1, R2 dan R3 berturutturut antara lain 17,73 kg, 17,5 kg dan 17,5 kg. Bobot badan rata-rata pada akhir periode pemeliharaan R1, R2 dan R3 antara lain 20,13 kg, 21,17 kg, dan 21,83 kg. Rata-rata konsumsi pakan setiap perlakuan selama pemeliharaan yaitu, R1 mengkonsumsi 11,22 kg biskuit dan 45,05 kg konsentrat, R2 mengkonsumsi 13,48
29
kg biskuit dan 50,16 kg konsentrat, R3 mengkonsumsi 18,42 kg biskuit dan 50,26 kg konsentrat. Biaya pakan terendah yang dikeluarkan selama penggemukan domba adalah R1. Rendahnya biaya pada R1 dikarenakan konsumsi pakan domba selama pemeliharaan 70 hari pada perlakuan R1 adalah yang paling rendah dibandingkan perlakuan R2 dan R3. Besarnya keuntungan yang diperoleh dengan perhitungan IOFC pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Nilai Income Over Feed Cost (IOFC) Selama Penggemukan Perlakuan
Harga Jual/Domba
Harga Beli/ Domba
Biaya Pakan
IOFC
--------------------Rp/ekor/lama penggemukan--------------------
R1
543.600±68.203
407.867±48.957
90.022±6.031
45.712±32.929
R2
571.500±49.956
402.500±49.450
102.195±12.800 66.805±13.012
R3
589.500±43.207
402.500±23.086
11.2237±2.225
74.763±29.397
Keterangan : R1 : Biskuit (100% rumput lapang) + konsentrat R2 : Biskuit (50% rumput lapang + 50% daun jagung) + konsentrat R3 : Biskuit (100% daun jagung) + konsentrat
Faktor yang mempengaruhi nilai IOFC antara lain jumlah konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan yang tinggi akan menghasilkan harga jual yang tinggi pula (Hardianto, 2006). Data menunjukkan di antara tiga perlakuan tersebut dapat dikatakan R3 memberikaan hasil yang paling menguntungkan dibandingkan dengan R1 dan R2. Perlakuan R3 memiliki rataan IOFC lebih besar bila dibandingkan perlakuan lainnya, yaitu sebesar Rp. 74.763,/ekor/lama penggemukan atau Rp. 29.905,-/ekor/bulan, sedangkan perlakuan R1 sebesar Rp. 45.712,-/ekor/lama penggemukan atau Rp. 18.285,-/ekor/bulan. Hal ini karena tingginya jumlah konsumsi harian R3 sejalan dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan setiap ekor ternak. Sebaliknya pada R1 mempunyai nilai IOFC yang paling rendah, hal ini karena jumlah konsumsi harian pakannya adalah yang paling rendah dan pertambahan bobot badan ternaknya juga adalah yang paling rendah. Pertambahan bobot badan yang baik dan diikuti dengan konversi pakan yang baik serta biaya pakan yang minimum akan mendapatkan keuntungan yang maksimum. Pertambahan bobot badan sangat mempengaruhi nilai IOFC karena 30
didukung pula oleh harga jual domba yang meningkat di pasaran. Selain itu harga dan konsumsi pakan juga sangat menentukan nilai IOFC, sehingga sangat penting untuk mencari kesesuaian antara harga pakan dengan pertambahan bobot badan.
31