HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Pakan Fermentasi Parameter kualitas fisik pakan fermentasi dievaluasi dari tekstur, aroma, tingkat kontaminasi jamur dan tingkat keasaman (pH). Dari kedua bahan pakan yang difermentasi, secara fisik gaplek dengan inokulum S. cereviasiae menunjukkan kualitas yang terbaik dari segi tekstur, aroma dan tidak timbulnya kontaminan seperti yang terjadi pada pakan dedak (Tabel 5). Pakan dedak masih menunjukkan adanya kontaminan yang timbul walaupun sebelumnya semua bahan sudah disterilisasi dan ditambah dengan inokulum S. cerevisiae. Tabel 5. Karakteristik Fisik Pakan Fermentasi dengan Inokulum S. cerevisiae Perlakuan Dedak 1 Dedak 2 Dedak 3
Tekstur Menggumpal Menggumpal Menggumpal
Aromaa + ++
Jamurb + + +
pH awal 5,97 5,90 5,85
pH akhir 5,43 5,40 5,40
Gaplek 1 Gaplek 2 Gaplek 3
Granula Granula Granula
++++ +++ ++
-
5,65 5,63 5,64
5,91 5,49 5,11
Keterangan : (a)aroma - = tidak harum; + = kurang harum; ++ = sedikit harum; +++ = harum; ++++ = sangat harum (b) jamur - = tidak berjamur; + = berjamur; ++ = banyak jamur; +++ = sangat banyak jamur
Derajat keasaman (pH) pada kedua bahan pakan tidak mengalami perubahan yang signifikan antara sebelum dan setelah fermentasi. Fermentasi menghasilkan produk alkohol yang mempunyai pH di atas 4. Berbeda dengan proses silase yang menghasilkan asam laktat yang menghasilkan pH di bawah 4. Berdasarkan hasil tersebut maka pakan yang digunakan untuk proses selanjutnya yaitu uji kecernaan dengan metode gas tes adalah gaplek. Kecernaan in Vitro Suplementasi mineral anorganik (PM) menurunkan (P<0,001) kecernaan bahan kering dibandingkan dengan tanpa suplementasi (P) sebesar 49,7%, sementara itu suplementasi mineral organik (PO) tidak menghasilkan perbedaan kecernaan (KCBK maupun KCBO) yang nyata dibandingkan dengan tanpa suplementasi (P). Hasil ini menunjukkan bahwa mineral organik lebih tersedia bagi proses pencernaan pascarumen daripada mineral anorganik. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Pott
et al., (1994) yang menyatakan bahwa ketersediaan biologis mineral organik (Znlisin dan Zn-metionin) lebih tinggi daripada ketersediaan biologis Zn dari sumber anorganik. Suplementasi mineral organik (PO) tidak memberikan pengaruh pada nilai kecernaan bahan organik. Berbeda dengan penelitian Prabowo et al. (1995) yang memperoleh hasil bahwa kecernaan bahan organik hasil suplementasi Zn-proteinat lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kecernaan bahan organik hasil suplementasi ZnSO4. Nilai kecernaan bahan organik berada pada kisaran 60,4463,7%. 70.00
63,95±8,50b 63,03±2,84b 61,32±5,49b 63,67±5,91 63,26±7,15 62,67±1,93 61,27±4,02
63,15±8,80b 60,20±4,07b 60,47±3,95b 63,64±7,41 60,55±3,20 60,44±4,25
kecernaan in vitro (%)
60.00 50.00 40.00
32,14± 13,57a
30.00 KCBO KCBK
20.00 10.00 0.00 P
PO
POA
PM
PMA
PA
PMO
perlakuan
Gambar 1. Nilai Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + mineral organik; POA = Ph + mineral organik + Azadirachta indica; PM = Ph + mineral anorganik; PMA = Ph + mineral anorganik + A. indica; PA = Ph + A .indica; PMO = Ph + monensin. Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,001).
Suplementasi hijauan sumber tanin dan kombinasinya dengan mineral organik maupun anorganik (PA, POA dan PMA) tidak memberikan pengaruh pada nilai kecernaan (KCBK maupun (KCBO). Hal ini diduga karena level pemberian tanin yang sangat sedikit sehingga tidak memberikan efek pada penurunan nilai kecernaan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Jayanegara et al., (2008d), pemberian tanin pada level 0,5 mg/ml dapat menurunkan kecernaan bahan organik. Respons berkurangnya kecernaan bahan organik memalui penambahan tanin sama halnya dengan berkurangnya produksi gas, yaitu tanin berinteraksi dan menghambat proses degradasi protein dan dan serat kasar (Makkar et al., 2007).
Suplementasi monensin (PMO) tidak memberikan pengaruh apapun pada kecernaan (KCBK maupun KCBO). Penelitian Siregar (1986) menunjukkan hal yang sama, pemberian kadar monensin yang berbeda pada ransum berbahan dasar jerami padi tidak menunjukkan adanya pengaruh pada kecernaan. Rust et al., (1978) menyatakan pengaruh monensin terhadap kecernaan bahan kering tergantung pada jenis atau kualitas ransum yang diberikan. Sapi yang mendapat ransum biji-bijian yang rendah kandungan proteinnya, pemberian monensin meningkatkan kecernaan bahan kering. Jumlah Protozoa Protozoa mempunyai sifat sebagai pemakan bakteri dan juga proteolisis sehingga dapat menurunkan efesiensi penggunaan nitrogen bagi inangnya. Protozoa juga berfungsi sebagai pencerna karbohidrat mudah larut seperti pati-patian yang banyak terdapat dalam konsentrat yang menjadi pakan utama pada sapi potong, namun protozoa juga bersifat merugikan karena sifatnya yang memangsa bakteri, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang sehingga laju degradasi pakan dan suplai protein mikroba akan berkurang pula (Soetanto, 2004). Rataan populasi protozoa pada penelitian ini tercantum pada Tabel 6. Suplementasi mineral organik (PO) tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah protozoa. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Adawiah et al., (2005) yang memberikan suplemen mineral organik pada ransum dalam rumen domba. Suplementasi A. indica sebagai hijauan bertanin (PA) tidak memberikan efek defaunasi. Hal ini diduga karena pemberian kadar tanin yang sangat sedikit sehingga tidak memberikan efek pada perlakuan. Tan et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan ekstrak tanin terkondensasi dari tanaman Leucaena mampu menurunkan populasi protozoa secara in vitro. Jumlah protozoa yang dihitung antara 2,68 x 1054,18 x 105 cfu/ml cairan rumen. Jumlah tersebut sama dengan kisaran normal rataan populasi protozoa pada berbagai ternak ruminansia yaitu 10 4-106 cfu/ml cairan rumen (Kamra 2005). Kamra (2005) menyatakan bahwa pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen dapat mengakibatkan turunnya aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang, peningkatan jumlah bakteri dan adanya peningkatan efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung serat tinggi.
Produksi Amonia (NH3) Setiap proses fermentasi asam amino dalam rumen akan selalu terbentuk amonia. Amonia tersebut merupakan sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroorganisme rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen merupakan keseimbangan antara jumlah yang diproduksi dengan yang digunakan oleh mikroorganisme dan yang diserap oleh rumen. Syahrir et al. (2008) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang rendah dalam cairan rumen dapat menggambarkan proses fermentasi yang berjalan baik sehingga amonia dimanfaatkan dengan baik. Rataan konsentrasi amonia yang dihasilkan secara in vitro ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Protozoa, Nilai Produksi Amonia (NH3), dan pH Perlakuan P PO POA PM PMA PA PMO Nilai P
Protozoa (105 cfu/ml) 2,68±1,61 4,18±1,07 3,65±1,05 2,98±1,58 3,15±1,41 3,10±0,93 3,15±1,12 0,525
NH3 (mg/100ml) 2,59±1,96 4,38±2,52 3,89±2,36 2,61±1,81 4,71±1,35 4,53±1,78 4,68±1,00 0,295
pH 6,57±0,06 6,64±0,12 6,67±0,38 6,63±0,20 6,73±0,17 6,67±0,16 6,62±0,07 0,872
Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + 3% mineral organik; POA = Ph + 3%mineral organik + 2%Azadirachta indica; PM = Ph + 2% mineral anorganik; PMA = Ph + 3% mineral anorganik + 2%A. indica; PA = Ph + 2% A. indica; PMO = Ph + 40 ppm monensin.
Suplementasi mineral organik (PO) dan kombinasinya dengan A. indica (POA) serta suplementasi monensi (PMO) tidak memberikan pengaruh terhadap produksi amonia. Produksi amonia yang dihasilkan sangat sedikit berkisar antara 2,59-4,71 mg/100 ml. Menurut Owens & Zinn (1988) produksi NH3 dalam rumen berkisar 7-12 mg/100 ml. Rendahnya produksi amonia yang dihasilkan diduga karena jumlah protein di dalam pakan dan suplemen sedikit. Prihandono (2001) menyatakan bahwa konsentrasi amonia mencerminkan jumlah protein ransum yang banyak di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum.
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman cairan rumen yang diukur setelah proses inkubasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan. Suplementasi mineral organik (PO) dan A. indica (PA) sebagai hijauan sumber tanin serta kombinasinya (POA) tidak memberikan pengaruh terhadap pH. Hasil yang sama juga terjadi pada suplementasi monensin (PMO). Nilai yang pH dihasilkan antara 6,576,73 dan nilai ini masih berada pada kisaran normal pH cairan rumen yaitu 6,8-7. Menurut Dehority (2004), pH normal rumen sekitar 5,5-7,0 dengan pemberian rasio pakan normal.
Konsentrasi Gas Metana (CH4) Suplementasi mineral organik (PO) dan kombinasinya dengan hijauan bertanin (POA dan PA) dan juga penambahan monensin (PMO) tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) pada konsentrasi gas metana yang dihasilkan. Hasil ini diduga karena kadar tanin yang diberikan melalui penambahan hijauan A.
Konsentrasi Gas Metana (%)
indica sangat sedikit sehingga tidak mempengaruhi pada penurunan konsentrasi gas 18.00 16.00
14,47±0,10
14,73±0,47 15,93±0,03
14,39±0,57
15,69±1,59 15,05±0,09
13,02±1,56
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 P
PO
POA
PM
PMA
PA
PMO
Perlakuan
Gambar 2. Konsentrasi Gas Metana (CH4) Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + mineral organik; POA= Ph + mineral organik + Azadirachta indica; PM = Ph + mineral anorganik; PMA = Ph + mineral anorganik + A. indica; PA=Ph+A .indica; PMO = Ph + monensin.
metana. Penelitian Jayanegara et al., (2008c) menggunakan hay dan jerami yang disuplementasi Salix alba dengan kandungan total tanin 1,07% BK mampu menurunkan konsentrasi gas metana masing-masing sebesar 4,3% dan 6,1%. Hasil ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Carulla et al., (2005), Puchala et al., (2005) dan Jayanegara et al., (2008c) dengan menggunakan jenis
hijauan bertanin dan perlakuan dapat menurunkan emisi metana dari sistem fermentasi rumen secara in vitro. Penurunan emisi gas metana dengan mekanisme (1) tidak langsung melalui penghambatan pencernaan serat yang mengurangi produksi H2 (Tavendale et al., 2005) dan (2) secara langsung menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri metanogen. Tanin terkondensasi menurunkan gas metana melalui mekanisme pertama seperti gagasan Tavandale et al., (2005), sedangkan tanin yang mudah terhidrolisis lebih berperan pada mekanisme yang kedua (Jayanegara, 2008a). Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) Asam lemak terbang (VFA) merupakan produk utama yang dihasilkan oleh proses fermentasi dalam rumen. Nilai VFA juga merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen serta sebagai sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Produksi VFA yang utama yaitu asam asetat, propionat, dan butirat yang dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi produksi ternak ruminansia (McDonald et al., 2002). Peningkatan produksi VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan difermentasi oleh mikroba rumen. Table 7. Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) Perlakuan C3 38,05±3,33 48,06±5,22 36,10±7,16 39,90±3,38 45,30±0,86 38,55±0,82 41,47±1,74 0,14
VFA (mM) C4 17,93±1,28a 28,09±3,49b 18,77±3,24a 21,19±0,23a 25,89±1,25b 19,01±0,55a 20,36±0,30a 0,01
C2/C3 3,85±1,13 4,01±0,02 4,04±0,10 4,03±0,02 3,94±0,16 4,08±0,01 3,97±0,00 0,34
Total VFA 202,44±12,41 268,78±28,65 200,74±42,92 221,78±16,42 249,48±4,49 214,87±3,11 226,43±9,13 0,11
Keterangan: P=Pennisetum hybrid (Ph); PO=Ph+mineral organik; organik+Azadirachta indica; PM=Ph+mineral anorganik; anorganik+A. indica; PA=Ph+A .indica; PMO=Ph+monensin; C3=asam propionat; C4=asam butirat. Superskrip berbeda pada menunjukkan berbedasangat nyata (P<0,01)
POA=Ph+mineral PMA=Ph+mineral C2= asam asetat; kolom yang sama
P PO POA PM PMA PA PMO Nilai P
C2 146,46±7,81 192,63±19,93 145,87±32,52 160,68±12,81 178,29±4,10 157,31±2,84 164,61±7,08 0,15
Suplementasi mineral organik (PO) dan kombinasi mineral anorganik+A. indica menaikkan produksi asam butirat masing-masing sebesar 56,7% dan 44,4%. Sementara itu, tidak ada perbedaan produksi total VFA pada semua perlakuan. seperti yang dinyatakan oleh McDonald et al., (2002) bahwa produksi VFA total diantaranya dapat dipengaruhi oleh jenis dan bentuk makanan yang diberikan serta populasi dan aktivitas mikroba percerna karbohidrat, produksi VFA yang normal
rata-rata adalah 70-150 mM, sementara pada penelitian ini dihasilkan VFA total berkisar antara 200,74-268,78 mM. Tingginya nilai rataan produksi VFA pada semua perlakuan diduga karena gaplek mengandung karbohidrat yang fermentabel seperti pati dan gula. Menurut Ranjhan (1980), karbohidrat yang mudah difermentasi sangat cepat difermentasi dalam rumen, sedangkan selulosa dan hemiselulosa lebih lambat. Produksi Gas Gas test adalah sebuah metode uji alternatif yang dapat dipilih untuk mengukur kecernaan pada hewan ruminansia dengan hasil relatif lebih cepat serta tidak memerlukan hewan percobaan. Kelebihan metode ini selain dapat menghitung kecernaan bahan juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi termetabolis (EM) serta dapat pula untuk menghitung produksi asam lemak terbang (VFA) yang merupakan asam lemak penentu produksi dan kualitas susu dan daging (Jayanegara dan Sofyan,
produksi gas (ml)
2008b). 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 0
5
10 P
15 PO
20
25
30
35
waktu inkubasi jam kePOA PM PMA
40 PA
45
50
PMO
Gambar 3. Kurva Produksi Gas selama 48 Jam Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + mineral organik; POA = Ph + mineral organik + Azadirachta indica; PM = Ph + mineral anorganik; PMA=Ph+mineral anorganik + A. indica; PA = Ph + A .indica; PMO = Ph + monensin.
Kurva produksi gas selama 48 jam waktu inkubasi terdapat pada Gambar 3. Produksi gas semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu inkubasi. Gas yang dihasilkan pada metode ini berasal dari fermentasi substrat secara langsung (CO 2 dan CH4) dan berasal dari produksi gas secara tidak langsung melalui mekanisme buffering VFA yakni berupa gas CO2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat yang diproduksi
selama proses fermentasi (Getachew et al., 1998). Produksi gas yang semakin
melambat menandakan laju produksi gas in vitro semakin berkurang dengan bertambahnya waktu inkubasi karena substrat yang difermentasi juga semakin berkurang. Produksi gas selama inkubasi 48 jam menunjukkan perlakuan dengan suplementasi mineral organik + A. indica (POA) lebih rendah dibandingkan dengan tanpa suplementasi (P). Sementara itu suplementasi A. Indica (PA) tidak mempengaruhi. Hal ini menunjukkan bahwa efek tanin pada penurunan produksi gas hanya bekerja apabila dikombinasikan dengan mineral organik. Suplementasi mineral organik (PO) dan monensin (PMO) tidak memberikan pengaruh terhadap produksi gas selama inkubasi 48 jam. Hasil yang sama ditunjukkan pada produksi gas maksimum (koefisien a+b). Suplementasi mineral organik + A.indica (POA) menurunkan produksi gas maksimum pakan kontrol (P) dari 45,37 menjadi 41,55 ml. Keberadaaan tanin dapat mengurangi produksi gas dalam sistem fermentasi in vitro karena interaksi tanin dengan komponen-komponen pakan yang berkontribusi terhadap produksi gas, khususnya protein dan serat (Makkar et al., 2007). Terhambatnya degradasi protein dan serat mengakibatkan terhambatnya produksi gas yang merupakan hasil samping dari proses fermentasi nutrien pada pakan. Respons yang serupa didapatkan oleh Getachew et al. (2008) yang melaporkan bahwa penambahan tanin dalam bentuk asam tanat dan asam galat menurunkan laju produksi gas in vitro. Sementara itu Hervas et al. (2000) melaporkan bahwa penambahan asam tanat menurunkan produksi gas maksimum (koefisien a+b). Pada penelitian ini suplementasi tanin hanya berpengaruh terhadap produksi gas maksimum hanya jika dikombinasikan dengan mineral organik (POA).