HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Miskin Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga provinsi dan 11 kabupaten, yaitu Provinsi Sumatera Utara (4 kabupaten/kota) , Provinsi Jawa Timur (5 kabupaten/kota) dan Provinsi Kalimantan Timur (2 kabupaten/kota). Dari sudut demografi, dua provinsi yang pertama, Sumatera Utara dan Jawa Timur merupakan provinsi urutan ke 2 dan ke 4 terbesar jumlah penduduk provinsi yang ada di Indonesia , sedangkan Kalimantan Timur berada pada urutan ke 19. Dilihat dari persentase banyaknnya penduduk miskin (fakir dan tidak fakir) di masing-masing wilayah provinsi, Sumatera Utara 14,91 persen, Jawa Timur 20,1 persen dan Kalimantan Timur 11,54 persen dari jumlah penduduk masing-masing provinsi. Bila dilihat dari urutan banyaknya jumlah penduduk miskin di masing-masing wilayah provinsi dibandingkan provinsi lainnya, Sumatera Utara merupakan urutan ke-4, Jawa Timur urutan ke-2 dan Kalimantan Timur merupakan urutan ke-19. Tabel 14: Angka Garis Kemiskinan Penduduk Fakir Miskin dan Miskin menurut Wilayah Kabupaten / Kota dalam Rp/Bln Provinsi Jatim
Kaltim Sumut
Kabupaten Blitar Lamongan Nganjuk Pasuruan Surabaya Balikpapan Samarinda Binjai Deli Serdang Langkat Medan
Garis Kemiskinan Fakir Miskin Miskin 80.598 96.950 90.700 108.008 79.135 99.459 99.537 112.247 118.614 120736 121.022 134.967 116.555 125.526 102.918 103.813 92.767 95.385 97.126 112.089 110.119 115.422
Sumber: BPS dan Despsos, 2002
BPS dan Departemen Sosial (2002) telah menetapkan besarnya angka garis kemiskinan (proverty line) di seluruh wilayah kabupaten atau kota yang ada
95
di Indonesia. Pada Tabel 14 disajikan besarnya angka garis kemiskinan masingmasing wilayah kabupaten dan kota yang menjadi wilayah penelitian. Berbagai pengukuran tentang kemiskinan sudah dilakukan para ahli (Tabel 1) namun masing-masing memiliki versi ukuran sendiri-sendiri. Pendekatan yang dilakukan oleh Sa jogya mungkin akan lebih relevan dalam mengukur kemiskinan karena pendekatan yang digunakan mampu mengantisipasi perkembangan atau perubahan yang terjadi di mana yang menjadi ukuran adalah ekuivalensi pengeluaran beras kg per tahun. Untuk masyarakat kota dikatakan miskin bila tinggkat pengeluaran ekuivalen dengan 480 kg per tahun, miskin sekali ekuivalen dengan 360 kg per tahun dan paling miskin ekuivalen dengan 270 kg per tahun. Untuk masyarakat desa dikatakan miskin bila tinggkat pengeluaran ekuivalen dengan 320 kg per tahun, miskin sekali ekuivalen dengan 240 kg per tahun dan paling miskin ekuivalen 180 kg per tahun. Pada pembahasan teoritik sudah dipaparkan bagaimana kriteria fakir misksin dan miskin. Pada Gambar 6 disajikan besarnya persentasi jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai fakir miskin dan tidak fakir di masingmasing kabupaten dan kota wilayah penelitian. Data ini menunjukkan bahwa angka kemiskinan di 11 wilayah masih relatif tinggi kecuali untuk Balikpapan, Samarinda, Deli Serdang dan Binjai. Daerah-daerah ini termasuk kota industri yang cukup berarti dalam perkembangan ekonomi. Selain itu, untuk beberapa daerah jumlah kelompok miskin lebih besar di bandingkan kelompok fakir miskin. Untuk wilayah seperti
Nganjuk, Lamongan, Blitar, dan Langkat
persentase jumlah fakir miskin lebih besar dibandingkan dengan masyarakat miskin, bahkan untuk Nganjuk dan Lamongan jumlah fakir miskin hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kelompok miskin. Ini menunjukkan bahwa daerah-daerah ini sebenarnya masih sangat rawan terhadap permasalahan ekonomi, kondisi ini sangat memprihatinkan. Daerah ini sebenarnya termasuk daerah kategori kota berkembang. Aktivitas kehidupan ekonomi di ketiga wilayah termasuk tinggi. Lalu lintas ekonomi tinggi, industri-industri berkembang dengan pesat, namun persentase jumlah penduduk miskin relatif tinggi bila dibandingkan jumlah penduduk setempat. Bila dilihat dari topografi termasuk daerah yang potensial dalam bidang pertanian dibandingkan dengan daerah lainnya.
96
Balikpapan Samarindah Surabaya
1,34
2,65
Fakir 3,18
4,75
1,55
Pasuruan
5,03
7,52
Blitar
9,7
Nganjuk
7,83
18,57
Langkat
11,57
Medan
Binjai
6,37
15,57
Lamongan
D. Serdang
Miskin
7,67
4,41
8,35
9,85
1,72
1,26
7,25
6,18
4,96
Sumber: Diolah dari BPS dan Despsos, 2004
Gambar 6: Persentase P enduduk Fakir Miskin dan Miskin menurut Wilayah Banyak faktor penyebab terjadinya kemiskinan ini, seperti banyaknya SDM yang potensial migrasi dari daerah ini ke berbagai daerah lainnya. Sistem pertanian yang tradisional sehingga tingkat produktivitas rendah. Sikap budaya masyarakat yang merasa puas dengan kondisi yang ada (status quo). Pada sisi lain, kepedulian para pengusaha atau kelompok mampu dalam penanganan permasalahan sosial masih belum terlihat. Perlu dicarikan upaya yang dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dengan kelompok miskin, sehingga tidak menggangu kondisi mayarakat yang sudah harmonis. Selain itu, menurut Sudibiyo dalam Dewanta (1995) kondisi seperti ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan dalam fungsi produksi. Karena itu perlu distribusi produksi yang lebih merata di dalam masyarakat tersebut. Tingkat partisipasi fakir miskin di dalam pendidikan masih tergolong rendah atau jauh dari harapan (Gambar 7). Masih banyak fakir miskin yang tidak tamat SD di ke tiga wilayah bahkan besarnya melebihi persentase kelompok tingkat pendidikan lainnya. Pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi persentase jumlah fakir miskin semakin menurun. Ini dapat terjadi karena faktor, seperti: faktor usia, beberapa di antara mereka sudah berusia lanjut, kedua , faktor
97
pendapatan atau tingkat kesejahteraan masyarakat relatif rendah, ketiga faktor wawasan yang dimiliki anggota, terbatasnya informasi, akses dan sumber-sumber lainnya menjadikan pola berpikir menjadi sempit, keempat faktor budaya yang kurang mendukung. Ada anggapan orang yang sekolah sama saja dengan orang yang tidak sekolah, sulit mencari pekerjaan. Ini akan mempengaruhi motivasi masyarakat terhadap pendidikan termasuk anak-anak mereka .
40
Sumut
Jatim
Kaltim
30
20
10
0 Tdk/Blm
Tdk Tmt SD
SD
SLTP
SLTA
Sumber: BPS dan Despsos, 2004
Gambar 7: Tingkat Partisipasi Masyarakat Miskin menurut Pendidikan Fakir miskin di tiga wilayah penelitian bekerja diberbagai sektor , antara lain ada di sektor pertanian, industri dan jasa. Namun banyak yang masih pengangguran. Pada Gambar 8 terlihat bahwa sebagian besar fakir miskin bekerja pada sektor pertanian. Fakta ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, di mana sebagian besar penduduk Indonesia bekerja disektor pertanian.
100
Sumut
Jatim
Kaltim
75
Sumut
75
Jatim
Kaltim
50
50 25
25 0
0 Bekerja
Pengangguran
Tani
Indust
Jasa
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 8: Persentase Masyarakat Miskin yang Berusia 15 tahun ke Atas menurut Angkatan Kerja dan Jenis Pekerjaan
98
Bila data di atas dianalisis lebih lanjut menunjukkan bahwa angka pengangguran di ke tiga wilayah masih relatif tinggi, mencapai 11 persen. Artinya dari setiap 100 orang fakir miskin 11 orang di antaranya belum bekerja. Fakir miskin di Sumatera Utara lebih banyak pengangguran dibandingkan dua wilayah lainnya. Ini terkait dengan lokasi-lokasi industri yang ada di ketiga wilayah masing-masing, terutama yang ada di Kalimantan Timur dan Jawa Timur. Berbagai industri kecil hingga besar tersedia di daerah ini. Bagaimana pun kehadiran industri ini sangat memengaruhi terhadap persentase jumlah pengangguran. Fakir miskin Sumatera Utara lebih banyak beker ja di sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lainnya. Sebaliknya, persentase fakir miskin Jawa Timur dan Kalimantan Timur lebih banyak bekerja di sektor industri dan jasa dibandingkan Sumatera Utara. Karena itu, kondisi ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam proses pemberdayaan fakir miskin, sehingga pemberdayaan tersebut dapat sesuai kebutuhan fakir miskin. Bila dilihat dari komposisi ini, upaya untuk menjadikan Indonesia menjadi negara industri masih jauh dari harapan baru berupa angan-angan, masih diperlukan puluhan bahkan ratusan tahun lagi untuk pembenahannya . 93,98 81,79 75,47
9,19 2,36 Milik Sendiri
Milik Orang tua
2,36
6,96
7,02 0,98 Lainnya
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 9: Persentase Rumah Tangga Miskin menurut Kepemilikan Rumah Pada umumnya keluarga fakir miskin memiliki rumah sendiri terutama untuk wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Timur, hanya sedikit yang menyewa atau kontrak. Mereka yang tidak memiliki rumah sendiri, sebagian tinggal
99
bersama orang tua, dan yang lainnya ada yang menumpang bersama orang lain atau tetangga, ada yang menempati rumah untuk dijaga, dan lain -lain (Gambar 9). Untuk Provinsi Sumatera Utara persentase fakir miskin yang bukan rumah milik sendiri masih relatif besar. Status kepemilikan rumah yang termasuk kategori rumah sendiri sangat beraneka ragam, sebagia n besar karena warisan dari orang tua, sebagian ada orang tua sudah memiliki tanah kemudian mewariskan kepada anak-anak dan membangun rumah masing-masing. Ada sebagian yang sudah milik sendiri karena hasil usahanya, namun kondisinya masih kurang layak, ada karena tanah garapan, dan lain-lain.
80,17
Sumut
Jatim
3,14
87,53
Kaltim
13,91 5,92
86,17
10,69
10,31
2,16
Tidak Layak Huni
Rawan Layak Huni
Layak Huni
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 10: Persentase Rumah Tangga menurut Kondisi Rumah Tidak
Layak Huni
Kondisi dan keadaan bagunan rumah tempat tinggal fakir miskin di ketiga wilayah sebagian besar tinggal di rumah layak huni, namun fakir miskin yang ada di Kalimantan Timur lebih besar persentase yang memiliki rumah kategori layak huni dibandingkan dengan wilayah lainnya. Ini menunjukkan kesejahteraan fakir miskin yang ada di Kalimantan Timur lebih tinggi dibandingakan dengan yang ada di daerah lainnya. Sebaliknya persentase fakir miskin yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang tinggal pada rumah yang tidak layak huni maupun yang rawan tidak layak huni lebih besar dibandingakan dengan dua provinsi lainnya. Bila diamati lebih jauh bahwa persentasi fakir miskin yang tinggal pada rumah yang tidak layak huni dan rawan tidak layak huni terjadi penurunan persentase
100
yang semakin kecil. Ini akan menjadi sasaran perhatian proses pemberdayaan wilayah masing-masing (Gambar 10).
Teknologi
1,6
Subsidi BBM
3,2
Sistem manajemen
1,6
Saran promosi
1,6
Peralatan Penjualan produk Pelatihan
11,3 1,6 8,1
Bantuan modal
71
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 11: Bentuk Kegiatan Badan Usaha dalam Penanganan Permasalahan Sosial
Usaha penanganan permasalahan sosial khususnya fakir miskin bukanlah hanya tugas Departemen Sosial saja, tetapi merupakan tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat, para pengusaha dan badan-badan usaha. Departemen Sosial selalu berupaya agar masyarakat mau berpartisipasi dalam penanganan fakir miskin. Sejauh mana keterlibatan para pengusaha dan berbagai badan usaha dalam penanganan fakir miskin disajikan pada Gambar 11. Partisipasi dunia usaha lebih banyak dalam bidang pemberian bantuan modal usaha, sedangkan jenis partisipasi lainnya persentasenya masih kecil. Masih minimnya angka partisipasi badan usaha dalam penanganan permasalahan sosial karena minimnya usaha sosialisasi dan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Mudahmudahan dengan hasil penelitian ini menjadi suatu masukan sehingga partisipasi masyarakat dunia usaha akan semakin besar. Selain badan usaha, berbagai organisasi kemasyarakat lokal juga terlibat dalam penanganan fakir miskin. Menurut Departemen Sosial (2004) ada berbagai
101
organisasi sosial yang terlibat dalam penanganan permasalahan sosial meliputi: Lembaga Swadaya Masyarakat / Organisasi Sosial, Pekerja Sosial Masyarakat, Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial, (Warga mampu setempat, Tokoh Adat / Tokoh Pemuda, PKK, (g) Aparat Desa / Kelurahan (Depsos, 2004). Sedangkan jenis bantuan yang diberikan oleh organisasi lokal (Depsos, 2004) meliputi pelayanan-pelayanan dalam bidang pengungsian, bantuan permaka nan, bantuan pelatihan dan keterampilan dalam berbagai bidang / sektor, konseling / bimbingan, akses ke pelayanan sosial / rujukan, penyediaan lapangan pekerjaan, pemberian beasiswa untuk berbagai jenjang dan tingkatan, bantuan barang perlatan kerja dan pemberian modal usaha usaha/uang. Dari data yang ada menunjukkan bahwa bantuan pelayanan yang paling banyak diberikan adalah dalam bidang konseling / bimbingan, akses kepelayanan umum, lapangan pekerjaan, serta pemberian bantuan peralatan dan barang.
Karakteristik Masyarakat Miskin
Jenis Kelamin . Jumlah anggota KUBE yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 224 orang. Dari jumlah ini diperoleh komposisi bahwa laki-laki sebesar 53,1 persen dan perempuan 46,9. Keterpilihan responden untuk dijadikan sampel (apakah laki-laki atau perempuan) dalam penelitian ini bukan karena faktor sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga, tetapi bahwa yang bersangkutan resmi terdaftar menjadi salah satu anggota atau menjadi pengurus Tabel 15: Jumlah Responden Menurut Kedudukan dalam KUBE dan Jenis Kelamin No 1. 2. 3. 4. 5.
Jabatan dalam KUBE Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Anggota Jumlah
Lk 31 2 20 5 61 119
Jenis Kelamin % Pr 26,05 26 1,68 0 16,81 18 4,20 10 51,26 51 100 105
Total % 24,76 0 17,14 9,53 48,57 100
Jlh 57 2 38 15 112 224
% 25,45 0,89 16,96 6,70 50,0 100
102
KUBE dengan kriteria berhasil. Dari gambaran data di atas jum lah laki-laki dan perempuan hampir seimbang. Ini menunjukkan bahwa perempuan banyak yang menjadi anggota KUBE. Dilihat dari sudut pandang jender, partisipasi wanita dalam KUBE cukup positif. Umur. Umur yang dimaksudkan di sini adalah usia anggota mulai dari lahir hingga penelitian dilakukan. Untuk melihat bagaimana komposisi usia anggota KUBE, dapat dilihat pada Gambar 12. Terlihat dari grafik bahwa sebagain besar anggota berusia 31-50 tahun. Bila dilihat dari rata-rata usia anggota adalah 39,98 tahun, sedangkan modus (paling sering muncul) adalah 40 tahun dan modenya (nilai tengah) adalah 40 tahun. Dari komposisi ini, usia anggota KUBE termasuk usia kategori produktif. Anggota masih memungkinkan untuk dioptimalkan. Mereka masih memiliki kemampuan fis ik dan semangat yang tinggi, kemuan dan idealisme.
Namun perlu pendapingan yang intensif yang dapat membimbing,
mengarahkan dan mendorong kemauanan dan semangat mereka.
36,2 31,3
=<20
21-30
31-40
41-50
51-60
61-70
>=71 17,4
6,3 3,6
4,9 0,4
Umur
Gambar 12: Persentase Komposisi Umur Anggota KUBE
Data menunjukkan bahwa umur anggota KUBE tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan KUBE. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena usia kategori ini sudah sama-sama dewasa, sudah sama-sama memiliki pa ndangan dan pemikiran ke depan, sehingga tidak ada perbedaan di antara kelompok umur ini. Sebagai implikasi dari pengujian ini, dalam proses pemberdayaan fakir miskin, tidak perlu harus membeda-bedakan atau menggolong-golongkan faktor usia
103
untuk mencapai suatu keberhasilan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh faktor lain seperti penyediaan modal usaha, pelayanan pendampingan, pelatihan, pemasaran, jaringan kerja dan lain-lain. PendidikanFormal. Tingkat pendidikan yang dimaksud di sini adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditamatkan hingga memperoleh ijazah tanda tamat belajar atau sertifikat yang disamakan dengan itu. Dari data yang ada diperoleh komposisi pendidikan anggota KUBE seperti Gambar 13. Secara umum bahwa tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi proses berpikir, cara bertindak dan bersikap seseorang termasuk dalam proses pe ngambilan keputusan yang dilakukan. Anggota KUBE yang berpendidikan rendah mungkin orientasi hidupnya hanya masa sekarang, bagaimana bisa makan hari ini, apa yang bisa dikerjakan hari ini, sehingga tidak sempat berpikir untuk hari esok apalagi untuk merencanakan apa yang harus dikerjakan dan terbaik untuk KUBE di hari esok. Proses-proses seperti ini akan mempengaruhi pemenuhan dan harapan hidup anggota KUBE. Bila anggota KUBE mempunyai target di hari esok untuk dicapai biasanya akan menjadi suatu motivator untuk bertindak dan berperilaku lebih proaktif.
33,9
33,9
21,9
8 2,2 Tadak Tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Lainnya
Gambar 13: Komposisi Pendidikan Formal Anggota KUBE
Pendidikan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang karena adanya proses pema haman yang semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi atau mendorong perilaku seseorang untuk bertindak. Dari hasil yang diperoleh,
104
terbukti bahwa pendidikan
anggota KUBE yang semakin tinggi cukup
mempengaruhi kualitas pengelolaan KUBE, pembinaan dan pengembangan KUBE. Kepemimpinan yang diterapkan semakin baik sekalipun masih terbatas. Jadi, intinya, pendidikan yang semakin tinggi akan memberikan wawasan dan proses berpikir yang semakin luas. Tetapi, tidak menjadi suatu jaminan bahwa tingkat pendidikan seseorang menjadi suatu faktor tunggal penentu keberhasilan, masih banyak faktor -faktor lain yang mempengaruhi yang harus dipertimbangkan. Perlu dicatat, apapun yang terkait dengan pendidikan, variabel pendidikan merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan KUBE. Tabel 16 : Komposisi Tingkat Pendidikan dan Umur Anggota KUBE Pendidikan
Umur =< 20 21-30
31-40
41-50 51-60 61-70
>=71
Total
Tdk tamat SD
0
1
3
5
2
7
0
18
SD
2
8
21
34
8
2
1
76
SLTP
2
10
17
18
0
2
0
49
SLTA
4
20
37
12
3
0
0
76
Lainnya
0
0
3
1
1
0
0
5
Total
8
39
81
70
14
11
1
224
Bila analisis lebih jauh hubungan komposisi pendidikan anggota KUBE dengan umur, sebagian besar anggota KUBE yang berusia 41 tahun ke atas adalah berpendidikan SD ke bawah, sedangkan anggota KUBE yang berusia lebih muda di bawah 41 tahu ke bawah pada umumnya berpendidikan SLTA. Kelompok usia ini merupakan generasi muda zaman sekarang yang masih memiliki semangat dan motivasi untuk melanjutkan pendidikan mereka. Namun masih ada beberapa anggota KUBE yang berusia muda (30 tahun) ke bawah hanya berpendidikan SD dan SLTP. Tentu ini sangat terkait dengan masalah ekonomi. mereka sangat memiliki keterbatasan dalam hal keuangan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan mere ka yang berusia 51 tahun ke atas situasi mereka saat itu sangat berbeda dengan situasi sekarang, di mana pendidikan bukan yang terutama (Tabel 16).
105
Pelatihan yang diikuti. Bila dilihat dari tingkat pendidikan formal anggota KUBE, dapat dikatakan masih tergolong rendah. Salah satu upaya yang dapat meningkatkan kemampuan anggota KUBE diharapkan dapat melalui pendidikan informal. Data menunjukkan bahwa 32,1 % anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan KUBE. Sebanyak 81,2 persen anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan, namun kurang berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan. Mereka mengikuti pelatihan dalam berbagai jenis pelatihan, seperti jahit, bordir, budidaya ikan hias, manejemen kelompok, perikan peternakan, da n lain-lain. Sebagian besar di antara mereka hanya mengikuti pelatihan 1 kali, beberapa di antaranya ada yang sudah pernah mengikuti dua dan tiga kali bahkan ada yang sudah pernah empat kali mengikuti pelatihan tapi persentasenya sangat kecil. Dari gambaran ini dapat diprediksi bagaimana kemampuan dan wawasan anggota KUBE di dalam pengembangan usaha yang dilakukan, sangat terbatas. Mereka hanya bekerja berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ada selama ini. Sudah barang tentu hal-hal yang sifatnya inovasi dalam berusaha menjadi kurang mendapat perhatian. Jenis pelatihan yang sudah pernah diikuti oleh anggota KUBE, (diurutkan berdasarkan banyak anggota KUBE yang mengikuti satu jenis pelatihan), antara lain:
pelatihan jahit menjahit, pelatihan peternakan, pelatihan pertanian,
keterampilan pengembangan usaha, pelatihan pembuatan kue, manajemen atau pengelolaan usaha, pelatihan pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS), pelatihan manajemen kelompok, pelatihan masak-memasak, pelatihan kursus kecantikan / salon, pelatihan pengembangan home industri, pelatihan perikanan, pelatihan okulasi (penangkar) rambutan, pelatihan pertukangan, pelatihan kursus mengetik, pelatihan adminstrasi KUBE, penataan keuangan. Ada berbagai jenis pelatihan yang pernah diikuti anggota KUBE namun persentasenya sangat kecil. Modal awal yang dimiliki. Modal dalam konsep ini meliputi dua hal yaitu modal awal yang dimiliki anggota KUBE itu sendiri dan bantuan yang diterima dari pihak luar, seperti dari pihak pemerintah atau organisasi lainnya. Modal awal adalah harta atau kekayaan yang dimiliki KUBE sendiri sebelum mendapat bantuan dari pihak luar. Modal awal yang dimiliki kelompok sangat bervariasi. Ada kelompok yang memiliki modal awal dan ada kelompok yang sama sekali
106
tidak memiliki modal awal, anggota hanya mengharapkan bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Dengan proses seperti ini, pembentukan KUBE ini bersamaan waktunya dengan datangnya bantuan dari pemerintah. Kenapa demikian, karena mereka adalah orang yang serba kekurangan, jangankan untuk modal awal untuk makan saja juga sangat kesulitan, namun di antara kelompok KUBE ada yang memiliki modal awal, tetapi sangat terbatas. Data menunjukkan, rata-rata modal awal yang dimiliki KUBE sebesar Rp 803.688,-, median Rp 500.000,-, sedangkan modenya Rp 0. (Tabel 17). Masih ada anggota KUBE yang sama sekali tidak memiliki modal awal dalam mendirikan KUBE. Selain modal awal yang dimiliki KUBE, kelompok juga menerima bantuan dari pihak luar, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah atau pihak lain. Besar bantuan yang diterima sangat bervariasi antara KUBE. Variasi pemberian bantuan yang diberikan pemerintah, sangat ditentukan pada ketersediaan anggaran yang sudah direncankan setiap tahunnya melalui anggaran APBN maupun APBD daerah masing-masing. Rata -rata besar bantuan yang diterima kelompok adalah + Rp 5.366.393,- per KUBE, dengan median Rp 5.000.000,- dan modenya Rp 5.000.000,- (Tabel 17). Tabel 17: Nilai Mean, Median, Mode, Minimum dan Maksimum dari Modal Awal, Bantuan yang D iterima Aspek
Modal Awal 1
Bantuan yang diterima
Modal (2+3)
2
3
803.688,52
5.366.393,44
6.170.081,97
500.000
5.000.000
5.375.000
Mode
0
5.000.000
5.000.000
Minimum
0
2.000.000
2.500.000
Maximum
3.000.000
15.000.000
17.500.000
Mean Median
4
Pola Penghasilan. Untuk melihat sejauh mana keberhasilan jenis usaha yang dikembangkan oleh KUBE, jenis usaha dikelompok dalam tiga kelompok. Pengelompokan ini didasarkan pada sifat penghasilan hasil produksi yang diperoleh, yaitu usaha yang bersifat harian-mingguan, bulanan -triwulan, dan semesteran-tahunan (Tabel 18). Jenis usaha yang dikembangkan sebagian besar
107
merupakan jenis usaha yang penghasilannya bersifat harian -mingguan , seperti: usaha bengkel, menjahit, bordir, berbagai macam dagangan (baju, kue, jualan nasi, pracangan, sembako), pembuatan krupuk/kripik, pembuatan rempeyek, pembuatan tahu/tempe, usaha simpan pinjam (uang dan barang), usaha ternak kepiting sangka, berbagai macam industri kerajinan (manik-maik, tenun, anyaman tikar, pembuatan wajan, dll.), nelayan dan keterampilan musik. Usaha yang sifat penghasilannya bulanan -triwulan, seperti: pembibitan bunga, usaha pertanian, okulasi rambutan, dan sayur mayur. Usaha yang sifat penghasilannya semesterantahunan , seperti: te rnak kambing, ternak sapi, dan perikanan. Untuk jelasnya dapat dilihat seperti Tabel 18.
Tabel 18: Pengelompokan Kube Berdasarkan Jenis Usaha Yang Dikembangkan PENGELOMPOKAN KUBE KUBE HARIAN
KUBE BULANAN
KUBE TAHUNAN
KUBE dengan penghasilan jenis usaha bersifat HARIANMINGGUAN
KUBE dengan penghasilan jenis usaha bersifat BULANANTRIWULAN
KUBE dengan penghasilan jenis usaha bersifat SEMESTERANTAHUNAN
Sasaran Pemberdayaan: Sasaran Pemberdayaan: (a) Fakir (a) Non Fakir (b) Non Fakir (b) Miskin. (c) Miskin
Sasaran Pemberdayaan: (a) Miskin
Jenis Kegiatan: • Dagang (klontong) • Jualan sayur mayur • Dagang kue • Dagang buah-buahan • Warung nasi • Jahit-menjahit, bordir, sulaman • Sablon, melukis • Ukiran • Sewa tenda • dll (59,02 %
Jenis Kegiatan: • Tanaman sayur -mayur • Tanaman Cabe • Perikanan • Ternak ikan • Tenak aya m, itik • Ternak burung • Ternak lebah • Tanaman padi • dll
Jenis Kegiatan: • Ternak kambing • Ternak sapi / lembu • Ternak kerbau • Tanaman Jeruk dan buah yang sejenis lainnya • Tanaman jagung • dll.
18,03 %
22,95 %
(
108
Dari penelitian yang dilakukan 59,02 persen termasuk kategori sifat penghasilan harian-mingguan , 18,03 kategori sifat penghasilan bulanan -triwulan dan 22,95 persen sifat penghasilan semesteran-tahunan. Terlihat bahwa jenis usaha yang sifatnya harian-mingguan lebih berhasil bila dibandingkan dengan jenis usaha yang bersifat bulanan-triwulan dan semesteran-tahunan, pada hal di lapangan ? dari segi jumlah? bantuan yang dialokasikan lebih banyak terhadap jenis usaha yang bersifat bulanan-triwulan dan semesteran-tahunan. Selain itu, jenis usaha yang bersifat harian-mingguan lebih responsif terhadap persoalan kehidupan masyarakat miskin, karena keuntungan yang diperoleh lebih cepat (bersifat harian) dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Keuntungan yang diperoleh akan dapat mengatasi permasalahan hidup yang dihadapi saat ini. Persoalan fakir miskin bukan persoalan bagaimana makan hari esok, tetapi bagaimana bisa makan hari ini (permasalahan masa kini). Pengembangan jenis usaha yang bersifat bulanan-triwuan dan semesterantahunan lebih tepat diarahakan pada masyarakat miskin (non fakir) dalam rangka pengembangan kualitas hidup masyarakat mis kin. Karena itu, pemilihan jenis usaha yang akan dikembangkan dalam KUBE harus lebih selektif sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran bukan kebutuhan pendamping atau aparat desa. Bagaimana distribusi jenis usaha KUBE menurut Provinsi dapat dilihat pada Tabel 19 Tabel 19: Distribusi Jenis Usaha KUBE menurut Provinsi Kategori (%)
Provinsi
Total
Harian
Bulanan
Tahunan
9 (40.9)
0 (0.0)
13 (59.1)
22 (100)
Kalimantan Timur
18 (69.2)
8 (30.8)
0 (0.0)
26 (100)
Sumatera Utara
8 (61.5)
4 (30.8)
1 (7.7)
13 (100)
35 (57.4)
12 (19.0)
14 (23.0)
61 (100)
Jawa Timur
Jumlah Ket: (
) persen wilayah
Sumber Penghasilan Utama. KUBE merupakan sumber mata pencaharian utama sebagaian besar anggota KUBE, sedangkan yang lainnya menjadikan KUBE sebagai sumber pendapatan sambilan, namun mereka tetap mengikuti kegiatan
109
dan pembinaan sebagai anggota KUBE. Dari segi waktu sebagian besar dihabiskan dengan kegiatan KUBE, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya (Gambar 14). KUBE sebagai sumber penghasilan utama atau tidak merupakan hal yang sangat strategis dan turut memberikan kontribusi dalam penentuan keberhasilan KUBE tersebut. Bila KUBE dijadikan sebagai sumber penghasilan utama keluarga, diyakini anggota KUBE akan berkonsentrasi secara penuh dalam pembinaan dan pengembangan, KUBE akan berhasil. Sebaliknya bila KUBE dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan, maka perhatian anggota terhadap KUBE akan berkurang dan aktivitas KUBE menjadi kurang maksimal dan pada akhirnya KUBE akan hilang. Banyak faktor yang harus disiapkan agar KUBE dapat menjadi sumber penghasilan utama anggota, seperti: modal yang cukup, sikap dan perilaku, keterampilan yang memadai, pasar yang mendukung, pelayanan pendampingan, dan lain -lain.
Dalam KUBE 59,8
Luar KUBE 56,7
40,2
Penghasilan Utama
43,3
Waktu paling banyak
Gambar 14: Penghasilan Utama dan Waktu yang Paling Banyak Dihabiskan untuk Bekerja.
Pemenuhan Kebutuhan dan Harapan. Pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan sejauh mana kebutuhan yang diinginkan sudah dapat diwujudkan, bagaimana rasionalitas kebutuhan dan harapan yang akan diwujudkan, bagaimana keterkaitan harapan/ keinginan dengan kehidupan sehari-hari, apakah kebutuhan dan harapan yang diinginkan relevan atau tidak dengan kenyataan yang ada. Terpenuhinya
110
kebutuhan dan harapan seseorang ukurannya sangat relatif. Mungkin untuk seorang anggota KUBE sudah terpenuhi, tetapi untuk orang lain belum terpenuhi. Yang menjadi ukuran terpenuhinya kebutuhan dan harapan anggota KUBE tersebut adalah ditentukan oleh anggota itu sendiri. Dari data yang ada menunjukkan bahwa 71,9 persen anggota KUBE mengatakan sebagian kecil kebutuhan dan harapan baru dapat terpenuhi, 27,2 anggota KUBE mengatakan sebagian besar sudah terpenuhi. Dari data terlihat pemenuhan kebutuhan atau harapan anggota KUBE masih belum terpenuhi, masih perlu usaha kerja keras. Pemenuhan kebutuhan dan harapan ini akan mempengaruhi motivasi anggota KUBE dan juga keberlanjutan KUBE, sebaliknya bisa menjadikan anggota kurang semangat dan akhirnya meninggalkan KUBE.
Pemenuhan kebutuhan sangat terkait dengan tingkat
pendapatan keluarga KUBE yang rata -rata hanya Rp 345.000 per orang perbulan. Tingkat pendidikan anggota KUBE termasuk kategori rendah rata -rata hanya SMP bahkan ada yang tidak tamat SD, demikian juga dengan keterampilan yang dimiliki masih sangat terbatas. Persepsi hidup berkelompok. Persepsi hidup berkaitan dengan pemahaman anggota terhadap tujuan kelompok, penilaian anggota terhadap tujuan kelompok, dan kesadaran anggota akan kehidupan berkelompok sebagai suatu kebutuhan. Pada umumnya
anggota KUBE sudah memiliki persepsi yang baik terhadap
hidup berkelompok. Sebanyak 63,4 persen anggota KUBE mempunyai persepsi dalam kategori sedang dan 30,8 persen berada dalam kategori sangat baik. Ini sangat relevan dengan motivasi anggota yang sebagian besar berada dalam kategori sedang. Pesepsi atau pemahaman seseorang sangat mempengaruhi tindakan yang diperbuatnya. Semakin baik persepsi seseorang terhadap suatu obyek, maka sikap dan tindakannya akan semakin baik. Hal ini juga terlihat dari kemauan dan dorongan anggota yang cukup tinggi dalam melakukan kegiatan. Dilihat dari aspek manajerial pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan kelompok cukup dilematis, mereka sulit diorganisir dalam kelompok dan kurang kemampuan manajerial dalam pengelolaan kelompok karena berbagai keterbatasan yang dimiliki, karena itu sebagian di antara mereka memilih
111
pemberdayaan dilakukan dalam bentuk individu. Namun manfaatnya , melalui pendekatan kelompok, mereka dapat saling membantu satu sama lain karena mereka memiliki pengalaman dan keterampilan yang berbeda-beda. Perbedaan yang ada perlu dijadikan sebagai kekuatan kelompok bukan sebagai kelemahan. Data menunjukkan sebagian besar anggota KUBE menyadari pentingnya hidup berkelompok dalam KUBE sebagai suatu kebutuhan. Anggota mengakui ba hwa dalam KUBE mereka dapat saling tolong menolong, saling membantu-membantu, saling bekerjasama dalam berbagai hal terutama dalam pengembangan usaha. Berangkat dari gambaran
ini, pendekatan KUBE yang didasarkan pada
pendekatan kelompok dapat dipertahankan, namun perlu disempurnakan sehingga dapat mengantisipasi berbagai keterbatasn yang dimiliki oleh anggota KUBE dan perkembangan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Motivasi anggota. Motivasi anggota di sini berkaitan dengan sejauh mana pemahama n anggota akan nilai dan makna hidup berkelompok bermanfaat bagi kehidupan anggota , bagaimana kemauan, dorongan dan usaha-usaha yang dilakukan anggota untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam KUBE. Data menunjukkan bahwa 74,6 persen motivasi anggota masih termasuk kategori sedang, 6,3 persen berada dalam kategori tinggi. Masih ada anggota KUBE yang memiliki motivasi dalam kategori rendah sekalipun persentasenya kecil. Motivasi ini sangat terkait dengan pemahaman seseorang terhadap eksistensi KUBE tersebut. Bagaimana dalam pa ndangan anggota KUBE dapat sebagai suatu solusi dalam mengatasi masalah dalam keluarga. Bilamana pemahaman terbatas, maka akan mempengaruhi motivasi untuk tergabung dalam KUBE tersebut. Pemahaman akan nilai dan makna kelompok juga sangat mempengaruhi terhadap motivasi anggota dalam KUBE dan juga terhadap dinamika kehidupan KUBE. Anggota yang memiliki pemahaman yang semakin positif terhadap nilai dan makna hidup dalam KUBE akan semakin memberikan apresiasi
yang
semakin bagus terhadap KUBE, sebaliknya pemahaman yang terbatas akan memberikan apresiasi yang terbatas terhadap KUBE dan akhirnya partisipasinya juga akan terbatas dalam KUBE. Ini suatu bentuk konsekwensi logis dari dua
112
variabel yang saling terkait. Karena itu, pemahaman makna KUBE yang sesungguhnya menjadi hal yang penting dalam kegiatan KUBE. Pemahaman anggota yang baik terhadap nilai dan makna hidup berkelompok juga akan menjadi dorongan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab anggota yang sudah diberikan. Anggota yang semakin memberikan pemahanan yang positif akan nilai dan makna hidup berkelompok akan semakin membangkitkan kemauan dan mendorong anggota KUBE untuk bergabung dalam KUBE. Melihat data yang ada, kemauan dan dorongan anggota KUBE dalam menjala nkan tugas dan tanggung jawabnya masih dalam kategori sedang. Karena itu, masih memerlukan pembinaan-pembinaan pendampingan sehingga motivasi mereka semakin meningkat.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Akhir -akhir ini pendekatan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat miskin menjadi sesuatu yang populer dan banyak diterapkan. Berbagai lembaga baik pemerintah maupun masyarakat mencoba menerapkan pendekatan ini dalam berbagai bentuk, tergantung dari tujuan yang akan dica pai. Dalam konsep pemberdayaan yang diterapkan Departemen Sosial terhadap fakir miskin dilakukan melalui pendekatan kelompok yang dikenal dengan Kelompok Usaha Bersama atau disingkat dengan KUBE. Melalui pendekatan KUBE, masyarakat miskin yang menjadi sasaran pelayanan dikelompokkan dalam kelompok-kelompok yang jumlahnya sesuai kebutuhan. Hasil lapangan menunjukkan besarnya kelompok ini sangat tergantung pada jenis usaha yang dilakukan, seperti usaha bengkel anggotanya terdiri dari 8-10 orang, usaha dagang anggotanya 5-10 orang, usaha simpan pinjam anggotanya bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang. Namun, secara umum anggota KUBE terdiri antara 8-15 orang,. Anggota satu KUBE diupayakan memiliki kesamaan latar belakang, seperti: berasal dari satu wilayah yang sama dengan alasan mobilitas mereka akan mudah dalam mengikuti kegiatan atau aktivitas bersama yang dilakukan. Keterampilan dan pengalaman yang hampir sama, seperti: bidang pertanian, perikanan, perdagangan, industri rumah tangga dan lain-lain. Berasal
113
dari satu daerah dan suku yang sama , bila memungkinkan masih ada hubungan keluarga atau persaudaraan. Kesamaan-kesamaan ini sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemberdayaan tersebut. Proses pembentukan KUBE. Proses pembentukan KUBE merupakan suatu hal yang penting karena sangat terkait dengan proses pengembangan selanjutnya. Proses pembentukan KUBE berkaitan dengan bagaimana proses munculnya ide pembentukan KUBE dan proses merealisasikan terbentuknya KUBE, frekuensi kehadiran dan intensistas pertem uan anggota dalam proses pembentukan KUBE, kesepakatan anggota yang dicapai dalam pembentukan KUBE, dan dasar hukum yang dijadikan acuan dalam pe mbentukan KUBE, seperti surat keputusan atau yang lainnya. Dari hasil pengujian yang dikategorikan pada 4 kategori, yaitu kurang, sedang dan baik diperoleh gambaran bahwa 56,3 persen proses pembentukan KUBE berada dalam kategori sedang, dan 38,4 persen KUBE berada dalam kategori kurang. Dari distribusi jawaban anggota, sebagian besar berada pada kategori sedang dan kurang. Dari kategori ini, dapat dikatakan bahwa proses pembentukan semua KUBE masih tergolong kurang memuaskan. Kurang dilakukan persiapanpersiapan sebelum KUBE dibentuk, seperti observasi, identifikasi dan need assessment terhadap kebutuhan anggota (modal, keterampilan yang dimiliki, pasar, perilaku anggota) , sumber dan potensi yang tersedia, kurang sosialisasi baik kepada anggota KUBE, tokoh masyarakat maupun kepada masyarakat setempat, bimbingan motivasi kepada Keluarga Binaan Sosial (KBS). Proses pembentukan KUBE harus menjadi bagian yang integral dari keseluruhan kehidupan KUBE yang pentingnya sama dengan aspek-aspek yang lainnya. Kenyataan di lapangan banyak KUBE yang dibentuk langsung oleh aparat desa atau tokoh masyarakat setempat dengan menunju k langsung siapa yang menjadi anggota KUBE tanpa proses seleksi yang objektif, termasuk penunjukkan pengurusnya . Kondisi seperti ini dapat terjadi karena keterbatasan pemahaman petugas lapa ngan dan anggota KUBE itu sendiri dan faktor penyelesaian administrasi yang harus segera diselesaikan. Pada sisi lain dalam proses ini, anggota KUBE yang terpilih merasa beruntung karena mereka diikutsertakan sebagai penerima bantuan, sehingga segala sesuatu yang disampaikan oleh aparat
114
desa tidak dapat ditolak oleh calon penerima bantuan, semua diikuti termasuk dalam pemilihan anggota dan pengurus KUBE. Pemilihan pengurus KUBE banyak ditentukan oleh aparat desa atau tokohtokoh masyarakat setempat. Dapat dikatakan bahwa partisipasi anggota menjadi relatif terbatas dalam proses pembentukan kepengurusan. Sebagai dampaknya, bila pembentukan kepengurusan KUBE tidak sesuai dengan tahapan, hasilnya di masa mendatang akan menjadi kurang maksimal, partisipasi anggota menjadi rendah, karena pimpinan yang ditunjuk bukan pilihan mereka. Dalam kondisi seperti ini ada dua hal, biasanya pimpinan yang ditunjuk adalah orang yang sesuai karena kemampuannya sudah diakui selama ini, tetapi kadang-kadang orang yang diangkat adalah bukan orang yang pas tetapi karena ada kepentingan pribadi yang ingin dicapai. Karena itu, proses pembentukan dan pemilihan pengurus KUBE di masa mendatang menjadi hal yang penting untuk menjadi perhatian, agar pelaksanaannya diserahkan pada anggota KUBE itu sendiri. Struktur KUBE yang diterapkan selama ini cukup sederhana, yaitu terdiri dari: Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Seksi-seksi yang menjalankan berbagai urusan menurut kebutuhan. Namun demikian dimungkinkan masing-masing KUBE dapat mengembangkan struktur KUBE sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pendekata n / Metode. Pendekatan atau metode di sini
berkaitan dengan
pendekatan-pendekatan yang dijadikan oleh pendamping sebagai media dalam pembinaan KUBE, seperti: pendekatan individu, kelompok, perpaduan antara pendekatan individu dan kelompok, pendekatan partisipatif, pendekatan yang bersifat demokratis dan pendekatan yang bersifat delegatif. Bagaimana gambaran penerapan metode pembinaan kelompok (individu, kelompok, perpaduan antara pendekatan individu dan kelompok, partisipatif, demokratis dan delegatif) disajikan seperti Tabel 20. Bila dibandingkan, penerapan antara berbagai metode atau pendekatan terlihat bahwa pendekatan individu dan kelompok lebih sering digunakan dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Metode pembinaan partisipasi dan demokratis berada dalam kategori sedang. Namun, untuk pendekatan yang bersifat delegatif terlihat masih terbatas, berada dalam kategori kurang dan dalam
115
kategori sangat terbatas. Ini menunjukkan bahwa campur tangan pihak luar masih tinggi. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti: pihak Tabel 20: Penerapan Pendekatan atau Metode Pembinaan Kelompok Penilaian
Pendekatan / metode pembinaan klp (%) Kelom Individu/ PartisiDemopok kelompok patif kratis 1.8 2.2 6.7 1.8
Sangat terbatas
Individu 4.9
Kurang
15.6
29.9
26.8
28.1
27.2
40.6
Sedang
62.5
50.4
58.9
52.7
58.9
44.6
Tinggi
17.0
17.9
12.1
12.5
12.1
7.6
100
100
100
100
100
100
Jumlah
Delega -tif 7.1
eksternal belum memahami apa makna KUBE yang sesungguhnya, bagaimana mereka harus berbuat dan bertindak terhadap KUBE dan juga pemahaman pendamping di dalam penerapana metode atau pendekatan masih terbatas. Sebaliknya, keterbatasan kemampuan
anggota dalam pengelolaan
KUBE juga turut mewarnai keberhasilan penerapa n metode dimaksud Tabel 21: Reaksi atau Tanggapan Anggota terhadap Metode yang Diterapkan Penilaian
Pendekatan (%) Ind ividu/ Partisikelompok patif 0 0
Individu 0
Kelom pok 0
Kurang menerima
9.8
.9
3.6
Menerima
65.6
62.5
Sangat menerima
24.6 100
Tidak menerima
Jumlah
Demokratis 0
Delega -tif 0.9
4.5
2.7
12.9
64.3
65.6
63.4
68.8
36.6
32.1
29.9
33.9
17.4
100
100
100
100
100
Bagaimana reaksi anggota KUBE terhadap metode atau pendekatan yang diterapkan disajikan dalam Tabel 21. Secara umum dapat dikatakan menerima. Hanya saja pendekatan delegatif terlihat lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Bahkan masih ada anggota KUBE yang tidak menerima pendekatan tersebut. Demikian juga dengan persentase kategori kurang menerima
116
masih lebih besar dibandingkan dengan persentase metode/pendekatan lainnya. Rendahnya reaksi anggota KUBE khususnya terhadap metode atau pendekatan delegatif yang diterapkan tidak terlepas dari masih rendahnya kepercayaan pendamping atau pihak eksternal terhadap kapabilitas anggota dalam mengelola KUBE, sehingga pendelegasian menjadi kurang optimal. Namun, secara umum bahwa pendekatan atau metode yang diterapkan cukup diterima oleh anggota, sebagai implikasinya metode ini dapat diterapkan di masa yang akan datang dalam pembinaan dan pengembangan KUBE tersebut. Jumlah anggota dan tingkat kehadiran. Jumlah anggota KUBE yang terdaftar cukup bervariasi mulai dari 5 orang hingga 10 orang. Tetapi, sebagian besar KUBE mempunyai anggota 10 orang, selebihnya sangat bervariasi. Ada 7 KUBE yang mempunyai anggota (yang terdaftar) hanya 5 orang, ada 7 KUBE lagi yang mempunyai anggota 6-10 orang dan 2 KUBE yang mempunyai anggota sebanyak 30 orang. Bila dilihat dari rata keanggotaan yang terdaftar adalah sebesar 12 orang. Sedangkan mode dan mediannya masing-masing 10 ora ng. KUBE yang mempunyai anggota 30 orang atau lebih biasanya bergerak dalam bidang usaha simpan pinjam. Modal atau bantuan yang diterima biasanya digunakan semuanya untuk modal simpan pinjam anggota dan masyarakat sekitarnya. Namun, prioritas pelayanan diberikan kepada anggota sendiri, dengan bunga yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan masyarakat biasa. Dilihat dari persentase keaktifan anggota, dapat digambarkan bahwa keaktifan relatif baik, median persentase kehadiran anggota adalah 90 persen dan modenya adalah 100 persen. Untuk lebih rinci, persentase keaktifan anggota dapat dilihat dari Gambar 15. Dari data ini dapat dikatakan bahwa keanggotaan KUBE cukup aktif. Keaktifan anggota sangat berkaitan dengan pemahaman anggota terhadap eksistensi KUBE, tempat tinggal anggota yang hampir berdekatan, dan KUBE sebagian besar dijadikan sebagai sumber penghasilan utama anggota. Selain itu, tingkat pendapatan yang diperoleh dari KUBE memberikan kepastian akan eksistensi mereka terhadap KUBE. Keatifan anggota yang dimaksud di sini adalah persentase kehadiran anggota dalam mengikuti pertemuan, diskusi dan rapat-rapat yang diadakan oleh KUBE.
117
61.6
%
22.8 9.4
6.3
40-56,3
56,4-72,6
72,7-88,9
89-100
% Tingkat Kehadiran
Gambar 15: Persentase Kehadiran dalam Pertemuan
Bantuan yang Diterima. Dalam pemberdayaan fakir miskin, Departemen Sosial maupun Dinas Sosial setempat selalu memberikan bantuan modal usaha, namun besarnya sangat bervariasi. Data menunjukkan tidak ada KUBE yang tidak menerima bantuan. Bantuan yang diterima ada yang berupa barang, ada yang berupa uang dan ada yang berupa barang dan uang sekaligus. Bantuan uang yang diterima sifatnya hanya berupa dukungan terhadap bantuan barang yang diberikan, seperti bantuan uang untuk pembuatan kandang ternak kambing, ayam atau babi atau ternak lainnya. Ada bantuan uang untuk membantu pendirian kios, dan lain-lain, namun jumlahnya kecil. KUBE lebih menginginkan bantuan uang dibandingkan
dengan
bantuan
barang,
karena
anggota
KUBE
dapat
mengembangkan bantuan uang sesuai kebutuhan mereka. Bantuan barang yang diterima sangat bervariasi, ada yang berupa peralatan masak untuk jualan nasi, peralatan pembuatan kue, peralatan pembuatan tempe dan tahu, peralatan pembuatan kripik, krupuk, peralatan mesin jahit, bordir, peralatan industri tenun, peralatan pembuatan manik-manik, peralatan pertanian seperti handtractor, bibit, peralatan okulasi, handsprayer, platik untuk pembibitan. Ada bantuan barang berupa ternak sapi, kambing, babi, bibit ikan, ada berupa barang-barang sembako, barang-barang dagangan kebutuhan dapur, ada berupa peralatan bengkel sepeda motor, mobil. Sebagian ada berupa kapal penangkap ikan dan ada yang berupa peralatan industri rumah tangga. Bantuan yang diberikan selalu diupayakan sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman penerima
118
bantuan, tetapi pada kenyataan sulit terpenuhi. Bila dikonversi besar bantuan barang yang diterima dengan uang diperoleh gambaran seperti Gambar 16. %
67,2
21,3 8,2
3,3
Rp
2-5.25 juta
5.26-8.50 juta
8.51-11.75 juta
11.76-15 juta
Gambar 16: Besar Bantuan yang Diterima
Rata-rata bantuan yang diterima anggota KUBE adalah Rp 5.366.393, median sebesar Rp Rp 5 juta, dan modenya sebesar Rp 5 juta. Bila dilihat dari hasil perhitungan rata -rata terlihat bahwa bantuan yang diterima masih relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah anggota 10 orang per kelompok. Kondisi ini sangat sesuai dengan bantuan plafon yang diberikan oleh Departemen Sosial selama ini yaitu Rp 5 juta per kelompok. Besar bantuan yang dibutuhkan anggota KUBE sangat bervariasi. Ada anggota yang membutuhan di bawah Rp 5 juta dan ada yang membutuhkan di atas 5 juta. Selama ini variasi kebutuhan seperti ini belum
terjawab.
Pendekatan
pemberian
bantuan
sangat
universal atau
disamaratakan. Jenis usaha apa saja yang dikembangkan oleh KUBE besar bantuannya adalah sama yaitu Rp 5 juta. Generalisasi dalam konsep ini kurang tepat bila dilihat dari kebutuhan dan latar belakang jenis usaha yang dikembangkan KUBE. Kesesuaian bantuan yang diberikan dengan yang dibutuhkan juga merupakan hal yang prinsip. Bila mana suatu bantuan yang diharapkan tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan tentu akan mempengaruhi kinerja . Demikian juga dengan ketidaksesuaian besar bantuan dengan kebutuhan yang diharapkan, akan terjadi hasil suatu rencana yang berbeda. Perbedaan seperti ini sering terjadi karena kemampuan pemerintah sangat terbatas dala m pemberian bantuan. Bantuan yang diberikan hanya berupa stimulan, yang berfungsi sebagai
119
pendorong, pendukung atau penguat bagi modal kelompok yang sudah ada sebelumnya. Namun, kenyataan di lapangan, masih ada kelompok yang sama sekali belum memiliki modal awal. Dengan demikian konsep bantuan stimulan menjadi kurang tepat (Gambar 17). Sekalipun jenis bantuan yang diberikan lebih sesuai dibandingkan dengan besar bantuan yang diterima oleh KUBE, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa baik jenis maupun besar bantuan masih kurang sesuai dengan kebutuhan anggota. Perlu dilakukan need assesment yang mendalam terhadap kebutuhan anggota KUBE sebelum bantuan diberikan. Penyamarataan jenis dan besar bantuan adalah sesuatu yang kurang pas dalam konsep pemberdayaan
fakir
miskin.
Mungkin
persoalan-persoalan
penyelesaian
administrasi perlu dirancang untuk mengikuti pencapaian target fungsional yang menjadi prioritas utama dalam konsep pemberdayaan KUBE. Adalah menjadi keliru bilamana target penyelesaian admin istras i menjadi tujuan utama sementara target fungsional dinomorduakan. Sebagai implikasi dari fakta ini, maka di masa mendatang jenis dan besarnya bantuan perlu dipertimbangkan secara masakmasak sebelum bantuan tersebut diberikan sehingga ada kesesuaian antara jenis dan besar bantuan dan kebutuhan anggota KUBE.
%
68,3 59,4
Jenis
Besar
34,8 23,7 8
0
4,9
0,9
Tidak sesuai
Kurang
Cukup
Sangat sesuai
Gambar 17: Kesesuaian dan Besar Bantuan yang Diberikan
Di balik fakta di atas, ada hal yang menggembirakan dari hasil penelitian yaitu bahwa proses penerimaan bantuan mulai dari pengusulan hingga keluarnya bantuan prosesnya sangat mudah dirasakan
anggota dan tidak berbelit-belit.
120
Karena itu, untuk masa mendatang, mungkin prosedur yang ada selama ini minimal harus dipertahankan namun perlu disempurnakan sehingga semua anggota dapat merasakannya secara mudah. Pendampingan. Aspek pendamping dalam proses pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan kelompok menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Menurut penulis bahwa memberikan perhatian yang terlalu banyak pada aspek pendamping untuk memacu keberhasilan KUBE adalah menjadi sesuatu yang kurang tepat. Terbukti dari kenyataan yang terjadi selama ini, bahwa pemberdayaan yang dilakukan pemerintah sangat menekankan pada eksistensi pendamping, seperti peningkatan keterampilan dan kemampuan pendamping, tetapi kurang menekankan pada aspek anggota KUBE itu sendiri. Anggota diminta untuk membentuk dan beraktivitas dalam kelompok, sementara kemampuan mereka untuk mengelola kelompok sangat terbatas. Untuk pengelolaan KUBE akhirnya diserahkan pada pendamping dengan harapan pendamping akan mentransfer keilmuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki pada anggota. Tetapi harapan tersebut tidak terlaksana, yang terjadi, perubahan pada struktur pemerintahan berubah dari se ntralisasi me njadi desentralisasi (otonomi daerah) dan proses pendampingan menjadi hilang karena orientasi otonomi oleh masing-masing daerah menjadi berubah. Dampak dari proses ini banyak kelompok-kelompok binaan pemerintah khususnya Departemen Sosial menjadi hilang. Berangkat dari pengalaman ini, maka penekanan yang berlebihan pada proses pendampingan adalah kurang tepat, pelepasa n pendamping juga kurang tepat mengingat keterbatasan anggota KUBE, tetapi keseimbangan di antara keduanya, proses pendampingan dan unsur kelompok itu sendiri. Pendampingan yang dimaksud dalam konsep ini tidak selalu pendamping secara formal yang disediakan atau ditunjuk oleh Departemen Sosial atau Dinas Sosial setempat, tetapi pendamping selama ini dapat berupa aparat desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, atau tokoh petani setempat, yang dihormati dan disegani serta memiliki wawasan yang luas tentang kehidupan bermasyarakat serta memiliki pengaruh terhadap anggota masyarakat, kemauan dan komitmen untuk membantu KUBE baik dari segi waktu, tenaga maupun pikiran.
121
Fasilitator
57,1
Katalisator
Dinamisator
58,5
52,2
33,9
1,3
4,5
25,9
23,7
17,9
14,3
9,4
1,3
Sangat terbatas
Kurang
Cukup
Sangat baik
Gambar 18: Peranan Pendamping sebagai Fasilitator, Katalisator dan Dinamisator Ada beberapa peranan yang ditampilkan oleh pendamping, yaitu peranan sebagai fasilitator, katalisator dan dinamisator (Gambar 18). Berkaitan dengan peranan pendamping tersebut diharapkan pendamping tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tetapi memfasilitasi terciptanya kebutuhan besama. Peranan pendamping sebagai fasilitator, katalisator dan dinamisator masih perlu ditingkatkan sebagian besar hanya berada pada kategori sedang. Khusus peranan sebagai katalisator masih perlu mendapat perhatian. Bila dibandingkan dengan dua peranan pendamping lainnya, peranan sebagai katalisator berada pada kondisi kurang. Pada kategori kurang dan kategori sangat baik, keduanya menunjukkan bahwa peranan ini kurang dijalankan. Ini sangat sinkron dengan kondisi faktual jaringan kerja yang terjadi dalam KUBE sekarang. Peranan sebagai dinamisator relatif lebih baik dibandingkan dengan dua peranan lainnnya. Kehadiran seorang pendamping secara emosional dapat berfungsi sebagai dinamisator, apalagi pendamping mampu memotivasi anggota KUBE maka fungsi ini benar -benar akan dirasakan oleh anggota KUBE. Sebagai fasilitator, pendamping masih sulit untuk membedakan dengan peranan sebagai pengambilan keputusan (decision maker). Data menunjukkan bahwa banyak pendamping yang terlibat dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan-keputusan kelompok, yang seharusnya adalah kewenangan dari anggota KUBE. Ini menunjukkan bahwa pendamping kurang memahami peranan yang seharusnya dijalankan. Perlu
122
diberikan pelatihan dan pembinaan kepada pendamping tentang tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang harus dijalankan sebagai pendamping KUBE. Kebebasan yang diberikan. Kebebasan berkaitan dengan bagaimana kebebasan anggota dalam pembentukan dan kepengurusan KUBE, bagaimana kebebasan KUBE dalam penentuan jenis usaha yang dikelola, bagaimana kebebasan KUBE dalam pengelolaan usaha. Ada filosofi yang mengatakan bahwa kebebasan akan menghasilakan kreasi baru dan mempercepat terjadinya perubahan. Karena dengan kebebasan akan muncul ide atau metode-metode baru. Tetapi, apakah demikian halnya dengan kehidupan KUBE, kebebasan yang terjadi dapat mempercepat perubahan usaha yang dikelola KUBE. Sebagian besar (61,12 persen) anggota mengakui sangat bebas dalam membentuk dan menentukan kepengurusan KUBE. Sedangkan dalam penentuan jenis usaha ekonomis produktif dan pengelolaan usaha sebagian besar KUBE berada dalam kategori bebas. Dilihat dari fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa anggota KUBE relatif bebas dalam pengembangan KUBE. Hanya kebebasan anggota KUBE kurang didukung dengan kemampuan dan kreativitas anggota KUBE, sehingga kebebasan mereka menjadi tidak terlihat, mereka hanya puas dengan status quo yang ada selama ini. Perlindungan / Protek si. Perlindungan atau proteksi yang dimaksud di sini adalah pelayanan perlindungan terhadap harga, pelayanan perlindungan terhadap mutu, pelayanan perlindungan terhadap daya saing dan pelayanan perlindungan terhadap penyediaan modal. Dari pandangan ekonomi pasar, bilamana usaha sudah mapan, pelayanan perlindungan tidak perlu diberikan. Pemberian pelayanan perlindungan menunjukkan bahwa jenis usaha tersebut belum mampu bersaing di pasaran, apalagi pelayanan perlindungan tersebut diberikan secara terus menerus. Karena itu, dalam pengujian ini, bila pelayanan perlindungan masih dijalankan berarti menunjukkan suatu kelemahaman atau penurunan kemampuan, tetapi sebaliknya, bila pelayanan perlindungan tidak diberikan berarti jenis usaha tersebut dianggap mampu bersaing di pasaran dan berada pada posisi kuat.
123
Sebanyak 57,1 persen KUBE tidak mendapat pelayanan perlindungan, 37,5 persen KUBE masih mendapat perlindungan tetapi terbatas. Ini menunjukkan bahwa harga produk KUBE sudah mampu bersaing dan harga ditentukan oleh pasar. Terlihat adanya suatu kemandirian dalam KUBE. Tetapi dapat dibayangkan bagaimana KUBE harus bersaing dalam mekanisme pasar dengan hanya mengandalkan cara -cara tradisional, sementara pihak lain sudah menerapkan teknologi canggih. Penerapan teknologi baru dalam KUBE menjadi hal yang serius untuk dipikirkan di masa-masa yang akan datang. Untuk tahun 2005 Departemen Sosial sudah mulai melakukan uji coba penerapan teknologi tepat guna dalam KUBE bekerja sama dengan 5 perguruan tinggi (U SU, UNPAD, UNBRA, UNDIP dan UNHAS). Perlindungan mutu berkaitan dengan penetapan standar yang harus diikuti dalam menghasilkan suatu produk. Standarisasi dalam KUBE masih belum tersentuh. Konse ntrasi perhatian anggota KUBE masih pada produksi. P asar produk sangat terkait dengan mutu yang dihasilkan. Sulit bagi KUBE untuk bersaing dipasaran bila mutu kurang bagus. Tetapi, mutu belum menjadi prioritas, masih apa adanya. Ini terkait dengan akses pasar KUBE yang masih berada pada tingkat lingkungan dan lokal sehingga tidak menuntut perlindungan mutu yang harus ketat. Untuk beberapa produk seperti okulasi rambutan, pembuatan wajan, industri tenun, keterampilan manik -manik sudah mulai menerapkan perlindungan mutu sekalip un dalam kondisi yang terbatas, yaitu kontrol yang dilakukan dalam masa proses produksi, tetapi persentasi mereka masih kecil. Hasil yang kurang memenuhi standar tidak dipasarkan secara bebas, tetapi melalui pemasaran khusus.
Lingkungan Sosial KUBE
Norma / Nilai Budaya. Norma dan nilai budaya berkaitan dengan bagaimana keterkaitan KUBE dengan kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat, bagaimana dukungan nilai dan norma masyarakat terhadap KUBE. Apa yang dimaksud dengan keterkaitan di sini ser ing sekali suatu usaha yang dikembangkan KUBE bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat,
124
misalnya pemerintah sudah melarang mengembangkan ternak ayam di Kota Medan karena daerah kota tidak layak lagi untuk pengembangan ternak ayam dan dapat menggangu terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar, tetapi ada saja anggota KUBE yang tetap mengembangkan ternak ayam karena nilai bisnisnya sangat menguntungkan dan strategis. Usaha seperti ini kurang sesuai dan kurang didukung oleh nilai dan norma masyarakat. Pengertian keterkaitan di sini tidak selalu diartikan bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat tetapi dapat juga diartikan sebagai kesesuaian usaha yang dikembangkan oleh KUBE dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat, misaln ya usaha industri tenun Sasirangan di Kalimantan Timur dengan kebutuhan masyarakat setempat akan hasil tenunan tersebut saling membutuhkan. Bagaimana keterkaitan KUBE dengan norma dan nilai budaya masyarakat, sebanyak 74,6 persen KUBE berada pada kategori cukup terkait, 17,9 persen KUBE berada pada kategori sangat terkait. Ini berarti bahwa usaha ekonomis produktif KUBE yang dikembangkan sangat relevan dengan budaya masyarakat, dan bahkan ? mungkin?
dapat membantu masyarakat sekitarnya dalam
memenuhi kebutuhan mereka. Hal yang sama juga terlihat dengan keterkaitan terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebagian besar anggota KUBE mengata kan relatif terkait bahkan ada yang mengatakan sangat sesuai. Dari fakta-fakta di atas dapat dikatakan bahwa usaha -usaha ekonomis produktif yang dikembangkan oleh KUBE cukup relevan dengan nilai dan norma masyarakat yang ada. Kondisi-kondisi seperti ini merupakan suatu bentuk dukungan nyata dari nilai dan norma yang ada dan akan menjadikan KUBE menjadi tetap eksis, dukungan masyarakat juga akan mengalir dan pada akhirnya KUBE menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat. Selain keterkaitan budaya juga perlu dukungan masyarakat terhadap KUBE. Dukungan masyarakat di sini adalah bagaimana masyarakat memberikan penguatan-penguatan terhadap usaha yang dijalankan oleh KUBE, misalnya: adanya usaha-saha dari tokoh-tokoh masyarakat atau anggota masyarakat itu sendiri untuk membeli produk-produk yang sudah dihasilkan oleh KUBE tetapi bukan sebaliknya menjadi menjauhi. Dukungan masyarakat terhadap KUBE
125
sebagian besar berada pada kategori sedang dan sangat tinggi. Dukungan ini perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan sehingga KUBE dapat lebih maju. Keterkaitan dengan Tokoh Formal dan Informal. Hubungan yang terjalin antara KUBE dengan tokoh formal dan informal mempunyai arti yang penting bagi KUBE. Kehadiran tokoh formal dan informal tidak mengikat seperti halnya seorang pendamping yang ditunjuk secara resmi, yang berkewajiban untuk hadir dalam KUBE secara rutin. Seorang pendamping yang ditunjuk secara resmi untuk mendapingi KUBE tidak dianggap sebagai tokoh formal dan informal tetapi disebut sebagai pendamping. Sebanyak 64,3 persen KUBE mempunyai hubungan yang relatif kuat dengan tokoh formal dan informal dan 15,6 persen KUBE berada dalam kategori kuat. Terlihat hubungan yang relatif baik dengan tokoh formal dan informal. Hubungan itu terjadi pada umumnya secara informal, misalnya kemauan untuk berkunjung ke lokasi KUBE, bila ada pertemuan-pertemuan dengan masyarakat selalu menyinggungnya sebagai bentuk suatu pembinaan. U ntuk beberapa KUBE yang tidak memiliki pendamping, bila ada terjadi masalah dalam KUBE biasanya anggota KUBE selalu berkonsultasi dengan tokoh formal dan informa l yang berpengaruh di daerah tersebut baru mengambil keputusan. Keterlibatan mereka ini sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap warga masyarakatnya. Keterkaitan tokoh-tokoh formal dan informal seperti ini sangat diperlukan dalam rangka memberikan dukungan terhadap anggota KUBE, dengan demikian anggota KUBE merasa percaya diri bahwa mereka mendapat dukungan dari pemimpinnya. Sebaliknya kepedulian dan komitmen para tokoh formal dan informal sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan KUBE. Kepedulian dan komitmen para tokoh formal dan informal berada dalam kategori sedang. Terlihat kepedulian dan komitmen dari beberapa tokoh formal dan informal, seperti datang berkunjung ke KUBE pada saat penelitian dilakukan, responsif terhadap kehadiran peneliti, terbuka terhadap eksistensi KUBE, sharing tentang berbagai cara pembinaan KUBE, dan lain-lain. Namun jumlahnya masih terbatas. Sebagian ada di antara tokoh yang membantu pembinaan admintrasi KUBE.
126
Keterlibatan yang terlalu jauh juga dapat menimbulkan masalah dalam KUBE. Tokoh formal dan inf ormal tidak perlu terlibat terla lu jauh dalam prosesproses yang ada dalam internal KUBE, seperti dalam proses pengambilan keputusan kelompok. Mereka cukup berperan
memfasilitasi, memantau,
memberikan saran-saran, dorongan, perhatian dan bantuan materil bila mungkin. Keterlibatan tokoh masyarakat berada pada kategori sedang bahkan ada yang mengatakan sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Akses terhadap lembaga keuangan. Akses terhadap lembaga keuangan berkaitan dengan pelayanan perbankan yang tersedia bagi kelompok-kelompok seperti KUBE, kejelasan akan informasi tentang pelayanan, keterjangkauan terhadap pelayanan, kemudahan untuk mendapatkan pelayanan, bagaimana pemanfaatan pelayanan untuk kepentingan KUBE. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 64,7 persen akses KUBE terhadap pelayanan perbankan berada dalam kategori kurang atau terbatas, 18,8 persen akses tidak ada sama sekali. Akses pelayanan perbankan dapat berupa akses pelayanan yang disediakan oleh bank-bank umum, atau bank perkreditan rakyat, atau lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti LKM (lembaga Keuangan Mikro) yang beroperasi di masyarakat. Pemerintah sudah menyediakan berbagai skim atau kredit pinjaman lunak yang ditujukan bagi pengusaha kecil atau sektor riil seperti KUBE sela ma ini, namun kelompok ini belum tersentuh oleh pelayanan tersebut kecuali bantuan yang diberikan oleh Departemen Sosial atau Dinas Sosial setempat. Alasan mereka tidak menggunakan pelayanan perbankan karena sangat tradisional, yaitu takut dipidana bilamana pinjaman tidak sanggup dikembalikan. Sebagian ada yang mengatakan tidak pernah tahu tentang pelayanan tersebut. Kalau ke rentenir bunga telalu tinggi, tidak sanggup untuk mengembalikan. Keuntungan tidak sesuai dengan besar pinjaman. Sehingga modal mereka menjadi sangat terbatas.
Keterbatasan pemanfaatan ini sangat terkait dengan tingkat
kemampuan dan pendidikan mereka yang terbatas dan juga keterbatasan dalam harta yang dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan pinjaman.
127
Pada sisi lain, kondisi kehidupan yang kurang menguntungkan dan legitimasi kelompok miskin yang diberikan oleh lembaga perbankan atau masyarakat umum terhadap kelompok ini cukup mewarnai tingkat kesulitan mereka dalam mengakses pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh perbankan. Kesulitan di sini berkaitan dengan persyaratan adminstrasi dan agunan yang harus disiapkan. Sementara mereka tidak memiliki harta kekayaan yang dapat diagunkan sebagai jaminan peminjaman uang. Peluang Pasar. Peluang pasar ini berkaitan dengan nilai bisnis usaha ekonomis produktif
(UEP)
yang
dikembangkan,
daya
saing,
kualitas
produksi,
keterjangkauan pasar, dan peluang pasar. Adanya peluang pasar mengakibatkan saingan yang lainnya menjadi terkalahkan, sebaliknya bila peluang pasar tidak ada usaha KUBE menjadi ambruk dan mungkin akan mati. Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa peluang pasar KUBE 62,9 persen peluang pasar KUBE berada pada kategori sedang, dan 33 persen berada pada kategori tinggi. Dari data ini bahwa peluang pasar KUBE relatif bagus, tetapi masih pe rlu ditingkatkan. Diperlukan kreativitas untuk membaca pengalaman-pengalaman pasar yang sudah ada selama ini sehingga penguasaan pasar dapat lebih optimal. Adanya peluang pasar KUBE yang termasuk dalam kategori sedang tidak terlepas dari cakupan KUBE di da lam pemasaran hasil usaha yang masih bersifat tingkat lokal belum mencapai tingkat global, sehingga daya saing tidak terlalu tinggi. B ila pemasaran hasil usaha sudah masuk pada tingkat global persaingan semakin kuat, KUBE akan kalah bersaing dengan yang lain, karena mutu produk yang hasilkan kurang memenuhi standar. Namun, peluang pasar (lokal dan lingkungan) yang sudah dicapai oleh KUBE selama ini perlu dipertahankan bila mungkin ditingkatkan sampai tingkat global. Pasar yang dimaksud dalam hal ini berkaitan dengan kemudahan memasarkan hasil produksi ke pusat pasar yang dapat dilihat dari segi transportasi, jarak tempat produksi ke pasar apakah jauh atau dekat. Pasar di sini tidak selalu berarti pasar formal seperti yang biasa dilihat yang merupakan kumpulan orang-orang untuk melakukan transaksi barang-barang kebutuhan. Pasar di sini dapat juga berupa pasar kaki lima, warung yang ada diperkam-
128
pungan, transaksi terjadi di tempat produksi (pembeli datang ke tempat produksi) dan pasar-pasar sejenis, namun dapat menjadi kegiatan transaksi hasil produksi. Kualitas produk KUBE sudah relatif bagus. Bahkan ada beberapa produk seperti penangkar rambutan sudah menerapkan standar mutu yang harus dijual. Bilamana bibit rambutan yang dihasilkan mau dijual tidak memenuhi standar d, bibit tersebut tidak dipasarkan, karena akan mempengaruhi terhadap pemasaran berikutnya . Kualitas produk berkaitan dengan mutu produk yang dihasilkan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Mutu tidak selalu yang berkualitas tinggi, tetapi mutu berkaitan dengan kemampuan daya beli dan kebutuhan pelanggan atau pembelinya. Karena itu, dalam menciptakan produk KUBE harus memperhatikan kebutuhan pelanggan. Jaringan kerja sama . Jaringan kerjasama atau kemitraan kerja yang dimaksud adalah
ada
tidaknya
hubungan/jalinan
kerja sama
yang
menggambarkan
keterkaitan kegiatan dengan pihak luar yang dapat membawa keuntungan dan manfaat pada KUBE, bagaimana kemampuan KUBE dalam mengidentifikasi lembaga yang dapat menjadi mitra KUBE, kemampuan untuk menjalin, mempertahankan dan mengembangkan relasi kerja sama dalam berbagai bidang kegiatan, seperti: perencanaan usaha, penyediaan bibit unggul, penerapan teknologi, pemasaran hasil usaha, manfaatan jaringan terhadap KUBE dan prospek jaringan di masa-masa mendatang. Suatu usaha yang sudah berkiprah lama dan mempunyai modal yang cukup biasanya mempunyai jaringan kerjasama yang cukup luas. Jaringan ini sangat bermanfaat baik dalam penyediaan modal, pemasaran hasil usaha, pengembangan teknologi dan kerja sama lainnya. Jaringan kerjasama atau kemitraan dalam KUBE yang sedang diteliti, belum dimanfaatkan secara optimal dan belum sesuatu yang menentukan dalam KUBE tetapi sudah mulai berkembang (Gambar 19). Dari data dapat dikatakan bahwa jaringan kerjasama KUBE masih belum dapat diandalkan sebagai suatu komponen yang dapat menentukan keberhasilan KUBE. Lemahnya pengembangan jaringan KUBE berkaitan dengan kemampuan anggota KUBE yang serba terbatas terutama untuk berhubungan dengan dunia luar. Pada sisi lain produk yang dihasilkan masih
129
sangat tradisional belum mampu memenuhi standar atau kriteria umum. Diperlukan usaha kerja keras untuk membenahinya terutama dari pihak pendamping. Dilihat dari kondisi pasar sekarang ini, tidaklah sulit untuk membangun suatu jaringan kerjasama, karena di satu sisi pihak pengusaha besar juga membutuhan mitra kerja pada posisi hilir yang dapat memproduksi dan memasarkan berbagai hasil usaha. Yang terutama sekarang ini bagaimana KUBE mampu membaca peluang yang ada.
%
63,8
15,6
14,3
6,3
Tidak ada
Kurang
Sedang
Baik
Gambar 19: Jaringan Kerjasama / Kemitraan Kerja yang Terbentuk
Ketersediaan sumber daya . Sumber daya meliputi segala sesuatu baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang dapat dimanfaatkan oleh KUBE untuk mencapai tujuan KUBE, seperti: lahan, perlatan, dana, tenaga, dukungan sosial, bahan baku, dan lain-lain Ketersediaan sumber daya yang diukur dalam penelitian ini meliputi bagaimana akses KUBE terhadap pemanfaatan sumbersumber yang ada, bagaimana ketersediaan informasi
tentang sumber daya,
ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan, kesempatan kelompok untuk mendapatkan sumber daya dan bagaimana kemudaha n kelompok untuk mendapatkan sumber daya. Sumber daya ini merupakan input bagi KUBE. Sebanyak 50 persen KUBE mengatakan sumber daya tersedia dengan kategori terbatas, 42 persen mengatakan sumber daya sangat minim atau sangat terbatas. Keterbatasan ini akan mempengaruhi terhadap kinerja KUBE. Produktivitas akan berkurang karena input terbatas.
130
Akses yang tersedia bagi KUBE untuk memanfaatkan berbagai sumber menjadi hal yang menentukan. A kses terhadap berbagai sumber daya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal, yaitu adanya kemampuan internal anggota KUBE seperti kemampuan untuk mengidentifikasi ketersediaan sumber yang dapat dimanfaatkan, kemampuan untuk mengolah, kemampuan melakukan bargaining, kemamuan untuk memulihkan kembali, dan lain-lain. Faktor eksternal berkaitan dengan peluang-peluang yang diberikan oleh lingkungan dalam proses pemanfaatan sumber, seperti pemanfaatan lahan kosong, kesempatan pemasaran hasil usaha dalam swalayan, dalam pameran-pameran tertentu. Bagaimana akses KUBE terhadap sumber-sumber yang ada , data menunjukkan sebagian besar berada pada kategori rendah (42,4 persen) dan tidak ada akses sama sekali (29,9 %). Dari hasil ini, dapat dikatakan bahwa KUBE belum terintegrasi dengan lingkungannya secara baik. Diperlukan usaha -usaha kerja keras. Akses yang diperoleh KUBE sangat terkait dengan ketersediaan informasi. Sebagian besar KUBE (52,2 %) sudah mendapatkan informasi tentang sumbersumber dalam kategori sedang atau cukup lumayan, kemudian disusul dengan kategori rendah. Tidak ada anggota KUBE yang tidak mendapatkan sumber informasi. Berangkat dari data ini, terlihat bahwa persoalan yang sesungguhnya bukan persoalan eksternal tetapi lebih pada persoalan internal, yaitu kemampuan internal anggota KUBE dalam mengolah sumber daya. Sebagai implikasinya diperlukan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan anggota KUBE, selain itu proses pendampingan menjadi hal yang penting. Berkaitan dengan ketersediaan sumber daya, sebagian besar KUBE (71,4 %) memiliki sumber daya dengan kategori sedang, kemudian pada kategori rendah. Tetapi ada 10,3 persen
KUBE berada dalam kategori tinggi dalam
ketersediaan sumber. Bila dilihat dari fakta ini,
KUBE memiliki sumber daya
yang dapat dimanfaatkan. Tinggal bagaimana KUBE memanfaatkannya secara maksimal. Dalam pemanfaatan sumber daya, sebagian besar KUBE (50 %) berada dalam kategori rendah, kemudian kategori se dang. Fakta ini menunjukkan bahwa KUBE harus bekerja lebih keras dalam pemanfaatan sumber daya yang ada.
131
Dilihat dari kesempatan KUBE dalam pemanfaatan sumber, sebagaian besar berada dalam kategori sedang bahkan ada dalam kategori tinggi sebesar 7,6 persen. Dari dua fakta yang terakhir ini dapat dikatakan bahwa KUBE mempunyai peluang besar dalam pemanfaatan sumber daya, tetapi perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan anggota KUBE seperti melalui pelatihan, pembinaan, dan pendampingan yang lebih intensif. Ancaman. Acaman di sini berkaitan dengan acaman ketersediaan bahan baku untuk produksi, ancaman pencurian hasil usaha dan ancaman pemutusan hubungan kerja. Bahan baku merupakan hal yang penting dalam kegiatan usaha, bila bahan baku tidak tersedia usaha bisa macet bahkan mati. Tidak sedikit usaha yang bangkrut karena bahan baku sulit didapat. Banyak faktor yang menyebabkan bahan baku sulit diperoleh, antara lain: harus didatangkan dari daerah lain, harganya mahal, seperti rumput di musim kemarau untuk makanan ternak, ada karena penyakit. Bagimana kesulitan anggota KUBE di dalam penyediaan bahan baku. Data menunjukkan bahwa acaman bahan baku kadang-kadang sulit kadangkadang mudah didapat. Dari gambaran di atas dapat diprediksi bahwa anggota KUBE masih kesulitan dalam penyediaan bahan baku, mereka harus bekerja ekstra keras agar bahan baku tersedia dengan cukup. Selain ancaman di atas, ancaman terhadap jaringan kerja juga dapat terjadi. Jaringan kerja atau kemitraan KUBE yang sudah terbentuk selama ini masih belum optimal diperlukan usaha kerja keras untuk membangun suatu jaringan kerja yang saling menguntungkan. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas jaringan kerja KUBE yang ada selama ini, antara lain: kualitas produksi yang dihasilkan KUBE masih belum memenuhi standard mutu konsumen, seperti ijin produksi, label nama, lebel halal, kemasan, dan lain -lain; produksi masih terbatas karena sistem kerja KUBE masih bersifat tradisional sehingga sulit untuk memenuhi permintaan konsumen; KUBE merupakan kelompok marginal yang kurang diperhitungkan oleh para pengusaha karena status kemiskinan yang melekat pada diri mereka; para pengusaha menganggap bahwa bermitra dengan KUBE hanyalah menuntut suatu tanggung jawab untuk membina dan membantu KUBE. Melihat kondisi ini upaya membangun jaringan kerja menjadi sesuatu hal
132
yang penting dan prioritas yang harus diwujudkan oleh KUBE dan pendamping, sehingga kegiatan KUBE dapat lebih optimal.
Dinamika Kehidupan KUBE Dalam pembahasan ini dinamika kehidupan KUBE berkaitan dengan bagaimana pencapaian tujuan, bagaiaman struktur kelompok apakah ada secara lengkap, bagaiaman pelaksanaan fungsi tugas kelompok, bagaimana pembinaan kelompok, bagaiaman kekompakan kelompok, bagaiamana ketegangan kelompok yang ada, bagaimana keefektifan kelompok, bagaimana kepemimpinan yang diterapkan dalam kelompok dan bagaimana kepuasan yang dirasakan oleh anggota KUBE. Tujuan KUBE . Dari beberapa tujuan KUBE yang diidentifikasi, secara umum dapat dirumuskan yaitu: usaha dapat berjalan langgeng dan lanc ar, meningkatnya pendapatan anggota KUBE, meningkatkan kesejahteraan anggota KUBE, anakanak dapat meneruskan pendidikannya jangan sampai ada yang putus sekolah, modal KUBE dapat meningkat, adanya kerjasama yang baik di antara sesama anggota KUBE. Sebagia n KUBE tidak mempunyai tujuan, sebagian sudah ada, tetapi tidak dijadikan acuan dalam proses kegiatan yang dilakukan. Sebagian kecil KUBE sudah menjadikan tujuan sebagai acuan dalam kegiatan yang dilakukan, ada sebagian benar -benar sudah dijadikan acuan da lam kegiatan KUBE (Gambar 20). Bila dilihat dari hasil ini, anggota KUBE kurang memperhatikan tujuan KUBE, mereka lebih menitikberatkan pada hasil. Ukuran pendapatan yang diperoleh merupakan segala -galanya, bila pendapatan meningkat KUBE dianggap sebagi sesuatu yang berhasil. Keterbatasan kemampuan anggota menjadikan rumusan tujuan KUBE tidak ada. Karena itu kehadiran pendamping sangat diperlukan untuk membimbing anggota KUBE tersebut. Tujuan ini perlu dipahami karena akan mempengaruhi terhadap motivasi anggota KUBE. Kejelasan rumusan tujuan KUBE juga menjadi suatu hal yang menentukan. Bila tujuan KUBE rasional, ada kemungkinan pencapaiannya,
133
mungkin anggota akan termotivasi untuk mencapainya, tetapi sebaliknya bila tidak rasional mungkin hanya sebagai angan-angan saja dan tidak ada usaha untuk mencapainya. Hasil menunjukkan bahwa rumusan tujuan kelompok masih kurang jelas, perlu dirumuskan kembali dan disepakati oleh anggota semuanya. Selain itu, tujuan perlu disosialisasikan kepada semua anggota KUBE secara terus-menerus hingga anggota KUBE dapat memahami secara benar.
Sebagian besar tercapai
9,4 68,3
Sebagian kecil tercapai Belum dijadikan acuan Tidak ada tujuan
17 5,4
Gambar 20: Pencapaian Tujuan Kelompok
Selain tujuan kelompok harus jelas, tujuan kelompok juga harus sesuai dengan tujuan individu, jangan sampai terjadi perbedaan. Bila terjadi perbedaan tujuan individu dengan tujuan kelompok biasanya anggota menjadi kurang termotivasi untuk mencapainya. Data menunjukkan bahwa tujuan kelompok KUBE relevan dengan tujuan individu, tidak terlihat perbedaan yang jauh. Bagaimana pun kondisinya sosialisasi tujuan kelompok perlu dilakukan secara terus-menerus. Struktur Kelompok . Struktur kelompok berkaitan dengan ada tidaknya struktur KUBE dan bagaimana penerapannya, bagaimana pembagian tugas di antara anggota, bagaimana hubungan struktural yang terjadi di antara anggota, dan bagaimana pemahaman anggota terhadap struktur yang ada. Diperoleh gambaran bahwa ada KUBE yang belum lengkap struktur organisasinya, hanya ada ketua saja. Sebagian ada yang sudah lengkap tetapi kurang dijalankan, sebagian ada yang sudah lengkap termasuk bagian-bagiannya dan pelaksanaan tugas-tugas sudah berjalan sesuai dengan struktur yang ada .
134
Bagaimana keberadaan struktur KUBE saat ini. Sebagian besar KUBE sudah memilki struktur kelompok, namun belum diterapkan dalam pelaksanan tugas. Struktur yang ada dalam KUBE cenderung hanya merupakan dokumen saja, belum dijalankan menurut struktur yang ada. Khusus mengenai administrasi, banyak tugas -tugas yang dikerjakan hanya oleh beberapa orang yang aktif dalam KUBE, seda ngkan yang lainnya sebagai pengikut saja. Tetapi tidak dapat disalahkan kenapa harus demikian, bila dilihat dari tingkat pendidikan anggota sangat terbatas, mereka tidak memahami soal administrasi atau pe mbukuan, mereka lebih memilih untuk bekerja menyelesaikan tugas-tugas operasional daripada menyelesaikan tugas administrasi. Diperlukan pelatihan-pelatihan yang intensif sehingga anggota mampu melakukan tugas masing-masing yang menjadi tanggung jawabnya. Keberhasilan penerapan suatu struktur kelompok tidak saja hanya ditentukan oleh lengkap tidaknya struktur kelompok, tetapi bagaimana pemahaman dari anggota yang tergabung dalam struktur tersebut. Terlihat dari data di atas bahwa anggota kelompok masih belum sepenuhnya memahami keberadaan struktur KUBE yang ada. Diperlukan sosialisasi tentang arah dari struktur kelompok yang ada. Dilihat dari kondisi ini, bahwa penerapan struktur kelompok belum seperti yang diharapkan masih diperlukan pembenahanpembenahan. Perlu adanya pembinaan yang secara khsusus yang ditujukan untuk penataan struktur kelompok KUBE. Fungsi Tugas Kelompok . Fungsi tugas kelompok berkaitan dengan fungsi dalam menyampaikan informasi, fungsi dalam koordinasi, fungsi penjelasan bilamana ada tugas atau permasalahan yang perlu dijelaskan, fungsi pemecahan masalah (problem solving). Kenyataan di lapangan fungsi-fungsi ini sebagian besar berpusat pada ketua saja kurang terdistribusi pada anggota. Sebanyak 56,3 persen pelaksanaan fungsi tugas berada pada kategori sedang dan 30,8 persen berada pada kate gori sangat baik. Dari hasil ini terlihat bahwa pelaksanaan fungsi tugas KUBE sudah berjalan dengan baik. Keberhasilan ini tentu tidak terlepas dari interaksi di antara anggota KUBE yang relatif aktif. Banyak kesamaan latar belakang kehidupan di antara anggota seperti daerah asal,
135
suku, tempat tinggal, pengalaman. Akibatnya banyak pertemuan-pertemuan intensif yang terjadi di antara mereka, seperti pengajian, hajatan, dan lain-lain. Semua ini menjadi sarana informal yang mempertemukan di antara sesama anggota KUBE. Pelaksnaan fungsi tugas tidak hanya dijalankan pada pertemuan formal yang sudah dijadwalkan dalam KUBE, tetapi dalam pertemuan informal seperti pengajian atau pertemuan lainnya pelaksanaan fungsi tugas tetap berjalan, seperti penyampaian informai, koordinasi tugas, penyelesaian masalah-masalah bila ada, dan lain -lain. Karena intensifnya pertemuan-pertemuan informal seperti ini dalam pengembangan
KUBE, maka bagi seorang pendamping KUBE pertemuan
informal perlu menjadikannya sebagai sarana pertemuan menjadi bagian yang integral dari pembinaan KUBE, di samping pertemuan formal yang sudah terjadwal. Pembinaan dan Pengembangan Kelompok. Pembinaan dan pengembangan kelompok berkaitan dengan penumbuhan dan pengembangan partisipasi anggota, penyediaan fasilitas yang digunakan KUBE, pelaksanaan berbagai aktivitas KUBE, sosialisasi kegiatan, penciptaan hubungan di antara anggota KUBE, serta penentuan standar d kerja yang harus dijalankan. Hasil pengukuran penelitian yang dikelompokkan pada tiga kategori: kurang, sedang dan tinggi menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan dan pengembangan KUBE 62,5 persen masih berada dalam kategori sedang dan 38,4 berada dalam kategori kurang. Pembinaan dan pengembangan kelompok dapat dilakukan oleh pengurus kelompok atau penda mping kelompok atau instansi pemerintah terkait. Masa transisi yang dihadapi KUBE seja k tahun 1997 hingga sekarang ini memang merupakan masa-masa krisis, terutama karena diterapkannya otonomi daerah. Terjadi proses pengalihan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sementara pemerintah daerah belum siap menerima limpahan atau pengalihan yang ada, baik dari segi SDM apalagi dari segi pendanaan. Dari segi SDM sangat terbatas jumlah SDM yang dapat memahami konsep-konsep penanganan permasalahan sosial, dari segi sarana juga mengalami hal yang sama dan keterbatasan alokasi dana untuk permasalahan sosial.
136
Di satu sisi, apresiasi pemerintah daerah terhadap program-program eks pemerintah pusat sepeti KUBE relatif kurang mendapat perhatian, terutama dari segi pendanaan. Program -program sosial seperti ini dianggap sebagai program yang konsumtif yang hanya menghabiskan dana. Pendamping yang ada selama ini sudah ditarik menjadi pegawai pemda yang kewenangan pengendaliannya ada pada pemerintah daerah, sebagian ada yang pindah tugas ke daerah asal masingmasing. Sementara pemerintah pusat sangat memiliki keterbatasan untuk menja ngkau kelompok-kelompok KUBE tersebut, baik dari segi dana maupun tenaga. Karena kondisi ini dapat dikatakan bahwa pembinaan terhadap KUBE praktis menjadi terbatas. Agar pembinaan dan pengembangan KUBE tetap berjalan lancar, usaha sosialisasi program-program yang bernuansa sosial kepada pemerintah daerah perlu dilakukan, sehingga pemerintah daerah memberikan apresiasi yang baik terhadap program-progam sosial, termasuk KUBE. Karena bagaimana pun, pemberdayaan kelompok ini merupakan asset bangsa yang tidak kalah pentingnya dengan kelompok-kelompok lainnya. Mereka mempunyai peranan penting dalam pembangunan bangsa ini. Kekompakan kelompok. Bila kekompakan tercipta biasanya rencana kegiatan akan mudah dilakukan, sebaliknya bila perpecahan atau ketidakenakan dalam kelompok terjadi kegiatan sulit dikoordinasikan. Kesamaan persepsi dan pemahaman di antara kelompok sangat mempengaruhi kekompakan, bila pemahaman berbeda tentulah kekompakan kelompok akan sulit dibangun. Kekompakan kelompok bukanlah suatu usaha yang mudah dilakukan, namun diperlukan kerja keras dari pimpinan untuk melakukannya. Kekompakan kelompok berkaitan dengan identifikasi keanggotaa n KUBE, perwujudan kesatuan dan persatuan kelompok, homogenitas keanggotaan KUBE, kerjasama anggota yang terbentuk, dan keharmonisan hubungan di antara anggota kelompok.
Kesamaan latar belakang anggota dapat dijadikan sebagai modal
dalam membina dan mengembangkan kekompakan anggota KUBE. Hasil pengukuran penelitian yang dikelompokkan pada tiga kategori: kurang, sedang dan baik menunjukkan bahwa sebagaian besar (73,2 %) kekompokan kelompok
137
berada pada kategori sedang kemudian diikuti kategori sangat baik, sedangkan persentase yang lainnya kecil. Berangkat dari fakta ini dapat dikatakan kekompokan kelompok sudah mulai bagus namun perlu ditingkatkan. Diperlukan upaya -upaya yang dapat lebih mempererat kekompakan anggota KUBE. Bila dilihat dari latar belakang kehidupan anggota KUBE seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya ,
mereka memiliki banyak persamaan seperti:
pengalaman, suku, daerah asal, tempat tinggal, jenis usaha. B iasanya semakin banyak persamaan latar belakang kekompakan kelompok semakin tinggi. Namun dalam kasus ini terjadi suatu situasi yang terbalik. Terlihat adanya sedikit kemunduran dalam kekompakan kelompok. Perubahan kehidupan modernisiasi yang terjadi sekarang banyak mempengaruhi kehidupan kelompok KUBE. Karena terjadinya perubahan terjadi pergesaran dalam interaksi di antara sesama anggota KUBE. Terkait dengan pergeseran kekompakan kelompok tersebut, maka identifikasi anggota perlu dilakukan sehingga antara yang satu dengan yang lainnya saling kenal dan saling memahami. Identifikasi ini tidak hanya menyangkut anggota KUBE itu sendiri, tetapi termasuk keluarganya istri atau suami dan anak-anaknya dan anggota keluarga yang lainnya. Diharapkan melalui identifikasi akan terjadi pengenalan kepribadian yang semakin dalam di antara sesama keluarga anggota KUBE, dengan demikian di antara sesama KUBE tumbuh kekompakan yang semakin baik. Ketegangan kelompok . Ketegangan kelompok sangat banyak dipengaruhi oleh persaingan internal dan eksternal yang terjadi di antara sesama anggota kelompok dan antara KUBE baik yang positif maupun yang negatif, konflik yang terjadi di antara anggota KUBE, kebebasan yang ada dalam kelompok, tantangan dan peluang yang ada dan sanksi yang diterapkan. Perlu disadari bahwa ketegangan yang terjadi dalam kelompok adalah hal yang biasa dan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan kelompok, tetapi ketegangan yang berkelanjutan adalah hal yang tidak biasa dan harus diatasi, karena dapat menghancurkan kelompok. Sebanyak 78,6 persen anggota KUBE merasakan adanya ketegangan dalam kategori cukup berpengauh. Dilihat dari fakta ini, dapat dikatakan bahwa
138
ketegangan yang terjadi dalam kelompok cukup berpengaruh dalam kehidupan KUBE. Ketegangan kelompok sangat berkiatan dengan kekompakan kelompok. Tidak mungkin tercipta kekompakan kelompok kalau ketegangan kelompok tinggi. Tetap tidak juga menjadi jaminan ketegangan kelompok yang rendah menjadikan kekompakan kelompok menjadi tinggi. Ketegangan kelompok berbeda dengan kekompakan kelompok. Ketegangan kelompok bisa muncul bisa tidak. Ketegangan kelompok dapat seperti api dalam sekam, tidak muncul ke permukaan. Kalau kekompakan kelompok jelas bisa dilihat dan ada dipermukaan. Ketegangan kelompok sangat mempengaruhi kehidupan KUBE. Karena itu, ketegangan kelompok harus dihindari sehingga tidak sampai menimbulkan dampak yang lebih buruk. Ketegangan kelompok dapat terjadi karena masalah-masalah internal di antara sesama kelompok dan masalah eksternal di antara sesama anggota KUBE. Masalah seperti ini dapat terjadi karena persaingan, karena salah paham, kare na pekerjaan, karena masalah pribadi dan lain-lain. Persaingan ini dapat bersifat positif dan negatif. Tekanan yang terjadi dalam kelompok juga dapat mempengaruhi ketegangan kelompok, seperti pencapaian target-target tertentu yang harus dicapai, ketatnya peraturan yang harus ditaati dan beratnya sanksi yang harus diterima bilamana melakukan kesalahan. Semuanya menjadi sumber ketegangan dalam KUBE. Namun, sumber-sumber ketegangan seperti ini relatif sulit ditemukan dalam KUBE, karena mereka pada umumnya (tidak semuanya KUBE) hidup dalam suasana informal yang bebas dari keterikatan seperti halnya dalam perusahaan yang waktu bekerjanya sangat ketat. Karena kondisi yang demikian, maka ketegangan kelompok relatif tidak ada . Namun perlu dicatat, bahwa sifat keinformalan KUBE yang terlalu tinggi dapat menjadikan produktivitas KUBE menjadi menurun. Keefektifan Kelompok. Keefektifan kelompok berkaitan dengan sejauh mana hasil atau produktivtas yang dihasilkan oleh KUBE, bagaimana semangat kerja dan kesungguhan anggota dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bagaimana keberhasilan anggota dalam mencapai kebutuhan pribadi masing-
139
masing. Produktivitas yang dihasilkan oleh KUBE dapat bersifat sosial dan ekonomi. Hasil pengukuran penelitian yang dikelompokkan dalam empat kategori: tidak, kurang, sedang dan tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar keefektifan kelompok KUBE berada pada kategori sedang, kemudian diikuti persentase kategori tinggi. Dari gambaran ini keefektifan KUBE dapat dikatakan masih banyak terkait dengan rutinitas belum pada hal-hal yang bersifat inovatif. Sebagaimana yang sudah disinggung di atas bahwa keefektifan kelompok berkaitan dengan hasil atau produktivitas yang sudah dihasilkan oleh kelompok. Tetapi bila dilihat hasil atau produktivitas KUBE, keberhasilan efektifitas KUBE lebih terlihat pada aspek sosial dari pada aspek ekonomi. Ini dapat terjadi karena beberapa variabel ekonomi belum dapat diwujudkan seperti: pengguliran, tabungan, pengelolaan IKS, pengembangan jenis usaha belum dilaksanakan sebagai mana mestinya. Bila dilihat sejauh mana efektivitas
KUBE, data
menunjukkan bahwa 78,1 persen ektivitas KUBE berada pada kategori sedang, sedangkan sisanya berada pada tiga kategori lainnya secara merata. Dari distribusi persentasi ini dapat dikatakan bahwa efektivitas KUBE cukup lumayan, tetapi masih perlu ditingkatkan lagi. Peningkatkan produktivitas dapat dilakukan dengan mengoptimalkan semua sumber daya yang ada pada KUBE. Selain hasil atau produktiv itas yang dilihat sebagai indikator dari efektivitas kelompok, semangat dan kesungguhan anggota juga merupakan hal yang penting dalam membangun efektivitas kelompok. Sebanyak 65,6 persen anggota menunjukkan semangat dan kesungguhan dalam mewujudkan tujuan kelompok berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori rendah dan tinggi. Tingginya semangat dan kesungguhan anggota biasanya sangat terkait dengan pencapaian tujuan yang ingin dicapai oleh anggota KUBE. Bila tujuan semakin terpenuhi maka semangat dan kesungguhan anggota akan semakin tinggi. Sejauh mana keberhasilan anggota dalam pencapaian kebutuhan pribadinya. Data menunjukkan bahwa 70,1 persen anggota KUBE pemenuhan kebutuhan pribadinya berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori tinggi. Fakta ini menggambarkan bahwa tujuan pribadi anggota KUBE sangat relevan dengan tujuan KUBE yang ingin dicapai. Menurut Slamet (2001)
140
suatu kelompok akan semakin ekfektif bilamana tujuan kelompok semakin relevan dengan tujuan individu. Kepemimpinan. Kepemimpinan yang diterapkan di sini meliputi: gaya kepemimpinan yang diterapkan, peranan sebagai pengurus maupun sebagai anggota yang ditampilkan, tanggung jawab yang dijalankan, pelimpahan wewenang kepada anggota dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, kekuasaan yang dijalanakan dan persuasi yang diterapkan dalam menjalankan kepemimpinan tersebut. Adalah wajar dalam suatu kepemimpinan ada yang merasa senang dan ada yang kurang senang dalam kepemimpinan yang diterapkan. Tergantung bagaimana orang mempersepsi kepe mimpinan tersebut. Gaya kepemimpinan ya ng diterapakan sangat mempengaruhi terhadap kinerja kelompok. Pengukuran gaya kepemimpinan ini bergerak pada dua kontinum dari gaya kepemimpinan yang bersifat otoriter hingga gaya kemepimpinan yang demokratis. Data menunjukkan bahwa 72,8 anggota KUBE mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan mengarah pada gaya kepemimpinan yang bersifat demokratis , tetapi 19,2 persen mengatakan mengarah pada gaya kepemimpinan yang bersifat otoriter. Dilihat dari kehidupan demokrasi yang ada sekarang, gaya kepemimpinan ini merupakan gaya kepemimpinan yang paling ideal. Didasarkan pada keberhasilan KUBE yang sudah dicapai selama ini, gaya kepemimpinan demokratis patut dipertahankan, namun perlu disesuaikan dengan perubahan yang t erjadi. Terkait dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan, peranan pengurus dalam mengelola KUBE masih terbatas, demikian juga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pengurus. Para pengurus kurang proaktif dalam pelayanan dan pelaksana an tugas-tugas. Kekuasaan yang dijalanakan ketua masih dominan. Agar kehidupan KUBE menjadi lebih baik, kekuasaan pengurus KUBE perlu diseimbangkan dengan kondisi kelompok, sehingga tidak terkesan mendominasi KUBE. Di dalam menjalankan kekuasaan sebagai pengurus, pengurus perlu menerapakan pendekatan persuasif dalam kepemimpinan. Pelimpahan wewenang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan kelompok. Pelimpahan wewenang merupakan suatu bentuk kepercayaan
141
atas kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas dan tangung jawab yang diberikan. Tidak mungkin semua pekerjaan harus ditangani oleh pimpinan atau ketua, tetapi harus didelegasikan kepada orang lain yang ada dalam kelompok tersebut. Karena itu, pelimpahan wewenang merupakan suatu proses yang harus berlangsung dalam kelompok. Data menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang dalam KUBE masih sangat terbatas. Namun, bagaimana pun kondisi ini tidak terlepas dari tingkat kemampuan SDM yang ada, yang masih termasuk kategori lemah. Untuk mengatasi hal ini diperlukan pelatihan-pelatihan praktis kepada anggota yang berkaitan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh KUBE. Kepuasan sebagai Anggota KUBE. Tentu sebagai anggota KUBE ada keuntungan yang diharapkan. Sulit bagi seseorang untuk masuk menjadi anggota kalau tidak ada keuntungan yang diharapkan. Bagaimana perasaan anggota atas hasil keuntungan yang diperoleh dari KUBE yang dikelompokkan dalam empat kategori: tidak puas, kurang puas, puas dan sangat puas menunjukkan bahwa 65,6 persen anggota berada dalam kategori puas, dan 18,3 persen berada dalam kategori sangat puas. Dari data ini terlihat bahwa pada umumnya anggota KUBE ada rasa kepuasan atas keuntungan yang diperoleh, namun belum maksimal. Keuntungan di sini tidak hanya dalam bentuk uang yang diperoleh tiap bulannya, tetapi juga dalam bentuk penambahan modal (investasi) , seperti ternak yang tadinya hanya 1 ekor sekarang sudah 3-5 ekor sapi. Mereka belum pernah menjualnya, tetapi mereka puas atas hasil tersebut dan melihatnya itu sebagai keuntungan. Bila dilihat dari tingkat pendapatan keluarga hanya Rp 747.522,- per keluarga dengan jumlah tanggungan antara 3-4 orang. Kepuasan anggota KUBE sangat berkaitan dengan keberadaannya dalam KUBE. Tentu orang yang merasa puas akan berusaha untuk meneruskan KUBE agar tetap ada, tetapi orang yang merasa kurang puas akan mengundurkan diri dari KUBE. Sejauh mana keinginan anggota KUBE untuk meneruskan kelompok yang sudah ada. Sebagain besar anggota KUBE mengatakan sangat menginginkan KUBE tetap ada. Keinginan ini sangat terkait dengan eksistensi KUBE sebagai sumber penghasilan utama sebagian besar anggota KUBE.
142
Sejalan dengan tingkat kepuasan sebagai anggota KUBE, tentu harus diikuti dengan tingkat partisipasi sebagai anggota KUBE. Data menunjukkan bahwa partisipasi anggota berada dalam kategori sedang, masih diperlukan pembenahan-pembenahan Kondisi ini dapat terjadi karena kegiatan KUBE bukan merupakan mata pencaharian utama semua anggota KUBE, sebagian di antara mereka (40,2 %) menjadikan kegiatan KUBE sebagai kegiatan sampingan. Agar keberhasilan KUBE lebih maksimal, maka kegiatan-kegiatan KUBE harus dirancang sehingga menjadi sumber mata pencaharian utama semua anggota. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadi KUBE sebagai sumber mata pencaharian utama, seperti: memperbesar modal usaha, memberikan pelatihanpelatihan yang sesuai jenis usaha anggota, membuka jaringan dengan berbagai pihak, mengintegrasikan KUBE dengan teknologi tepat guna, melakukan pemasaran secara intensif. Menjadikan KUBE sebagai sumber penghasilan utama anggota akan menjadikan KUBE semakin eksis.
Tingkat Keberhasilan KUBE Aspek Sosial Kerjasama sesama anggota. KUBE sebagai salah satu bentuk usaha bersama, salah satu aspek yang menjadi cirinya adalah adanya kerjasama di antara sesama anggota. Kerjasama di sini adalah bagaimana mereka saling bersama (sharing), diskusi, tukar pendapat atau berinteraksi bilamana ada hal yang akan dicapai atau dalam istilah populernya koordinasi di antara anggota, bagaimana anggota membagi tugas dalam penyelesaian pekerjaan yang harus dijalankan, bagaimana penyelesaian tugas bilamana menemui kesulitan, bagaimana anggota KUBE saling menghargai antara sesama pengurus, sesama anggota dan antara anggota dengan pengurus .
Ssebagian besar (72,3 %) KUBE menunjukkan kerjasama
anggota berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori sangat tinggi. Berangkat dari data ini dapat dikatakan bahwa filosofi usaha bersama KUBE sudah dijalankan. Koordinasi bisa diwujudkan dalam bentuk diskusi, sharing atau saling tukar pendapat di antara sesama anggota. Koordinasi merupakan suatu wujud dari
143
bentuk kerjasama di antara anggota KUBE. Tentu banyak yang didiskusikan atau dibicarakan berkaitan dengan tugas yang akan dilakukan. Bila tugas dijalankan secara sendiri-sendiri tanpa koordinasi dengan anggota yang lainnya menunjukkan bahwa kerjasama di antara sesama anggota belum berjalan dengan baik. Data menunjukkan bahwa koordinasi di antara sesama anggota sebagaian besar berada dalam kategori sedang. Bila dilihat dari aspek ini, koordinasi dalam KUBE sudah mulai berjalan dengan baik, tetapi masih perlu ditingkatkan. Sebagai suatu kelompok tentu di dalamnya ada pembagian tugas, pembagian tugas hendaknya merata dari satu orang hingga semua anggota terdistribusi secara merata. Namun beberapa kasus kelompok ditemukan bahwa pelaksanaan kegiatan atau tugas-tugas KUBE hanya dibebankan pada beberapa orang saja, sementara anggota yang lainnya tidak dilibatkan. Bagaimana pembagian tugas dalam KUBE yang sedang diteliti. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (50,4 %) KUBE pembagian tugasnya berada dalam kategori kurang, kemudian disusul dengan kategori sedang dan sangat baik dengan persentase yang relatif sama. Bila dilihat dari hasil ini, pembagian tugas dalam KUBE masih belum merata, masih banyak KUBE yang tugas -tugasnya hanya dikerjakan oleh satu orang. Ini sangat terkait dengan hasil yang menunjukkan bahwa KUBE belum merupakan pekerjaan utama bagi semua anggota KUBE. Kesulitan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan KUBE. Kesulitan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi sesuatu yang harus dihadapi dan diatasi. Suatu KUBE diharapkan anggotanya dapat saling bekerja sama bila menghadapi kesulitan dalam penyelesaian tugas. Hasil menunjukkan 83,9 persen KUBE berada dalam kategori sedang dalam penyelesaian tugas bila ada kesulitan. Budaya kerjasama di antara sesama anggota KUBE bukanlah sesuatu hal yang baru, tetapi sudah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, karena mereka sejak usia dini sudah ditanamkan nilai-nilai kerjasama bagaimana saling membantu di antara sesama. Kondisi seperti ini sudah membudaya dalam kehidupan anggota KUBE,
proses pendampingan
hanya tinggal mengarahkan anggota sehingga bentuk kerjasama tersebut semakin terarah. Tetapi diperlukan pemahaman pendamping yang mendalam tentang budaya atau kebiasaan hidup anggota KUBE tersebut.
144
Kesediaan memberikan pertolongan. Salah satu filosofi KUBE adalah saling tolong menolong antara yang kuat dengan yang lemah, antara yang mampu dengan yang tidak mampu, antara yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan, antara yang terampil dengan yang tidak terampil, antara yang muda dengan yang tua sehingga konsep saling tolong menolong benar-benar dapat terwujud dalam kehidupan KUBE. Kesediaan anggota KUBE dalam memberikan pertolongan kepada orang lain, meliputi: kepedulian anggota terhadap anggota dan orang lain, sikap penerimaan terhadap orang lain, dan kesungguhan anggota untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Sebagian besar (73,2 %) anggota KUBE menunjukkan sikap kesediaan memberikan pertolongan anggota KUBE kepada orang lain dalam kategori sedang, dan sisanya pada kategori sangat baik. Fakta ini menunjukkan bahwa sikap membantu di antara sesama anggota KUBE sudah mulai membudaya. Bagi seorang pendamping fakta ini menjadi entry point dalam pengembangan kebersamaan kehidupan KUBE tersebut. Kesediaan memberikan pertolongan kepada orang lain diawali karena adanya sikap kepedulian terhadap orang lain. Sikap kepedulian tidak terbentuk dengan begitu saja dalam waktu yang singkat, tetapi terbentuk bersamaan dengan pola pembentukan kehidupan seseorang dalam lingkungannya sejak kecil hingga dewasa. Sikap kepedulian merupakan sikap keterpanggilan dan ungkapan hati seseorang untuk memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Data menunjukkan 84,8 persen kepedulian anggota KUBE berada dalam kategori sedang, dan yang lainnya pada kategori sangat baik. Sikap kepedulian seperti ini menjadi hal yang penting dalam KUBE, seorang pendaping dapat memanfaatkan kondisi ini di dalam upaya mempererat hubungan di antara anggota dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam KUBE termasuk persoalan-persoalan yang bersifat individual, sehingga benar-bear filosofi KUBE sebagai suatu bentuk kerjasama dapat teruji. Sikap kepedulian terhadap orang sangat berkaitan dengan sikap penerimaan terhadap orang lain. Kepedulian seseorang akan menimbulkan sikap penerimaan terhadap orang lain. Namun ada sikap penerimaan yang berpura-pura dan ada sikap tulus yang muncul dari hati yang tulus. Suatu sikap penerimaan yang didasarkan pada rasa kepedulian biasanya merupakan sikap penerimaan
145
yang tulus. Bagaimana sikap penerimaan anggota terhadap orang lain, data menunjukkan bahwa sebagian besar (84,4 %) berada dalam kategori seda ng sedangkan yang lainnya berada pada kategori sangat baik. Bila dikaitkan dengan sikap kepedulian dari anggota KUBE yang pada umumnya berada pada kategori sedang, maka dapat dikatakan bahwa sikap penerimaan ini merupakan sikap penerimaan yang tulus dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Kesungguhan dalam memberikan pertolongan kepada orang lain juga sangat terkait dengan sikap kepedulian dan sikap penerimaan terhadap orang lain. Kesungguhan seseorang dalam memberikan pertolongan kepada orang biasanya karena dilandas i oleh adanya sikap kepedulian dan sikap penerimaan yang tulus dari orang tersebut. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (83,5 %) kesungguhan anggota KUBE dalam memberikan pertolongan berada dalam kategori sedang, dan yang lainnya berada dalam kategori sangat baik. Dari pengujian ketiga sub variable ini dapat dijelaskan bahwa kesediaan anggota dalam memberikan pertolongan kepada orang lain cukup membanggakan. KUBE sebagai suatu wujud kelompok diharapkan dapat saling membantu mengatasi berbagai masalah di antara sesama anggota bahkan di luar anggota sekalipun. Dengan demikian KUBE tidak saja hanya menjadi milik KUBE itu sendiri tetapi menjadi miliki bersama masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, KUBE akan mendapat dukungan dari masyarakat termasuk dari tokoh-tokoh masyarakat. Kemampuan Mengatasi Masalah. Kemampuan mengatasi masalah tidak terbentuk hanya seketika akan tetapi dibangun oleh suatu proses dan beberapa faktor penting, seperti tingkat pendidikan, pengalaman yang dimiliki, pelatihan yang diikuti, kematangan sikap emosional atau kedewasaan yang dimiliki, sarana dan prasarana yang dimiliki, termasuk seberapa seringnya seseorang dihadapkan pada berbagai persoalan-persoalan dan tantangan dalam hidupnya. Berkaitan dengan faktor-faktor tersebut, sejauh mana kemampuan anggota KUBE dalam mengatasi masalah yang muncul dalam KUBE yang dikategorikan dalam empat kelompok: tidak mampu, kurang mampu, sedang dan sangat tinggi menunjukkan bahwa 78,1 persen anggota memiliki kemampuan dalam kategori sedang, dan 17,9 memiliki kemampuan kategori sangat tinggi.
Dari data terlihat bahwa
kemampuan anggota KUBE dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul
146
dalam KUBE relatif cukup, tetapi masih perlu ditingkatkan, sehingga permasalahan dalam KUBE dapat segera teratasi tidak sampai membawa pengaruh negatif terhadap KUBE. Selain kemampuan individual, dituntut adanya kerjasama di antara anggota. Diperoleh gambaran bahwa sebagian besar anggota KUBE mengatakan bahwa kerjasama dalam KUBE sudah relatif baik. Tidak ada anggota KUBE yang mengatakan kerjasama sama tidak ada. Terlihat dari data bahwa kerjasama di antara sesama anggota KUBE sudah relatif baik. Kerjasama seperti ini dapat tercipta karena intensitas interaksi informal di antara anggota KUBE relatif tinggi. Namun, apapun alasannya sikap kerjasama seperti ini perlu dibina dan dipertahankan, tidak hanya dalam mengatasi masalah tetapi juga dalam menyelesaikan tugas-tugas lainnya. Partisipasi anggota terhadap KUBE. Tingkat partisipasi anggota sangat menentukan dalam keberhasilan pengembangan KUBE. Bentuk partisipasi anggota yang dilakukan dalam kegiatan KUBE, meliputi: ada tidaknya pertemuan yang diadakan KUBE secara rutin, persentase rata-rata kehadirian anggota dalam pertemuan, masukan atau saran-saran yang diberikan anggota dalam setiap pertemuan, bagaimana keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan kelompok, bagaimana keterlibatan anggota dalam pelaksanaan hasil keputusan yang sudah disepakati, bagaimana tindak lanjut terhadap keputusan dan saransaran yang disampaikan oleh anggota. Seberapa be sar partisipasi anggota dalam kegiatan KUBE, Data menunjukkan bahwa 63,8 persen tingkat partisipasi anggota KUBE berada dalam kategori sedang dan 32,1 persen berada dalam kategori sangat tinggi. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka partisipasi anggota dalam kegiatan KUBE. Jenis usaha yang dikembangkan anggota KUBE relatif sesuai dengan keterampilan dan latar belakang kehidupan yang dimiliki anggota. Selain itu, usaha yang dikembangkan berada di sekitar lingkungan mereka, sehingga tidak membutuhkan jasa transportasi yang memberatkan. Dari sudut penghasilan sebagian besar penghasilan utama anggota berasal dari KUBE. Tentu ini akan mempengaruhi terhadap kehadiran anggota dalam kegiatan KUBE. Hasil
147
pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar anggota KUBE dalam satu kelompok masih ada hubungan atau ikatan persaudaraan. Bagaimana pun ikatan-ikatan persaudaraan seperti ini akan mempengaruhi terhadap kehadiran mereka dalam KUBE. Pada sisi lain posisi tempat tinggal anggota yang hampir berdekatan juga menjadi faktor pendorong tingginya partisipasi anggota dalam kegiatan KUBE. Keberanian menghadapi risiko. Keberanian merupakan unsur penting dalam kehidupan. Namun keberanian perlu didasarkan pada aturan yang ada, bukan keberanian tanpa dasar. Diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang logis dalam menjalankan suatu tindakan sehingga hasilnya lebih maksimal. Suatu tindakan yang dilakukan tidaklah selalu berhasil, kadang kala berhasil dan kadang kala kurang be rhasil. Suatu tindakan hasilnya tidak selalu dapat diperkiran berhasil atau tidak tetapi dituntut untuk dilakukan. Dalam kondisi seperti ini diperlukan keberanian melaksanakan tindakan tersebut. Tugas kita adalah mengendalikan risiko yang mungkin muncul sehingga keberhasilan menjadi maksimal, tetapi bukan malah sebaliknya menghidari kegiatan tersebut untuk tidak dilaksanakan, namun keberanian-keberanian seperti ini sangat diperlukan dalam KUBE. Ada beberapa indikator yang digunakan dalam pengukuran keberanian dalam menghadapi risiko, yaitu: keberanian untuk memulai jenis usaha baru, keberanian pengembangan usaha dan kesiapan diri untuk menerima kegagalan yang mungkin terjadi. Data menunjukkan bahwa 79,5 persen anggota KUBE memiliki sikap keberanian mengha dapi risiko dalam kategori sedang, kemudian 12,5 persen dalam kategori kurang. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa sikap keberanian anggota KUBE dalam menghadapi risiko yang mungkin timbul masih perlu ditingkatkan melalui pembinaan-pembinaan yang terus menerus. Banyaknya jenis usaha yang dikembangkan oleh KUBE pada umumnya hanya satu jenis usaha, ada sekitar 30 persen KUBE yang jenis usahanya bertambah satu setelah KUBE berjalan, beberapa di antaranya ada yang bertambah lebih dari satu tetapi persentasenya kecil. Pertambahan jenis usaha yang dimaksud dalam hal ini, adalah pertambahan jenis usaha yang lebih produktif, dan mampu bertahan secara terus menerus. Tujuan pertambahan jenis
148
usaha lebih jauh adalah bahwa KUBE diharapkan dapat menyerap tenaga kerja terutama anggota KUBE sehingga KUBE dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan utama. Bila jenis usaha hanya satu dan hanya mampu menyerap beberapa orang anggota sebagai tenaga kerja, bagaimanapun KUBE seperti ini akan menjadi kurang efektif, dan akhirnya KUBE akan menjadi penghasilan sampingan. Bagaimana keberanian KUBE dalam pengembangan usaha, data menunjukkan hanya 30,7 persen KUBE yang berani memulai jenis usaha baru dalam kategori sedang, sedangkan yang lainnya berada dalam kategori buruk. Didasarka n pada fakta ini, maka KUBE perlu diberikan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pemanfaatan peluang-peluang baru yang berkaitan dengan penambahan jenis usaha baru. Kurang lebih sama dengan penambahan jenis usaha baru, keberanian dalam pengembangan usaha juga masih kurang menggembirakan, namun demikian terlihat adanya perkembangan yang lebih baik. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (63,4 %) KUBE memiliki keberanian dalam pengembangan usaha dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori kurang. Dalam aspek kesiapan untuk menerima kegagalan yang mungkin terjadi, hasil menunjukkan bahwa 82,1 persen KUBE berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori kurang. Dilihat dari kedua pengujian ini disarankan masih perlu
pembekalan-pembekalan
yang
berkaitan
dengan
keberanian
dan
peningkatkan keterampilan pengembangan jenis usaha KUBE tersebut. Perencanaan Usaha. Perencanaan usaha merupakan salah satu bagian dan unsur penting dalam pengembangan usaha KUBE. Namun, seringkali komponen ini dilupakan, karena dianggap hanya sebagai pemborosan belaka. Kebiasaan yang terjadi selama ini, adalah orang hanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya sehingga unsur perencanaan diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dilakukan dan hanya menghamburhamburkan uang. Pada hal
dengan perencanaan usaha berbagai pembaharuan-
pembaharuan dalam KUBE dapat dilakukan. Perencanaan
usaha
sangat
terkait
dengan
kemampuan
dalam
mengidentifikasi kebutuhan yang harus dipenuhi, dalam menganalisis masalah
149
dan kebutuhan, dalam merencanakan pemanfaatan sumber-sumber yang ada, dalam mengolah sumber-sumber yang ada, pemanfaatan limbah hasil produksi, dalam menjaga kelestarian lingkungan dan daya dukung sumber lingkungan. Kemampuan anggota KUBE yang berkaitan dengan beberapa aspek di atas masih terbatas demikian juga dengan pendidikan masih relatif rendah. Data menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun anggota KUBE yang pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan perencanaan. Kem ampuan mereka dalam perencanaan sebagian besar hanya terbangun karena faktor pengalaman yang ada selama ini. Bila dilihat bagaimana distribusi frekwensi kemampuan perencanaan usaha yang dikategorikan pada empat kelompok: tidak ada kemampuan, kurang mampu, mampu, dan sangat mampu
menunjukkan bahwa 82,1 persen KUBE
mempunyai kemampuan dalam kategori mampu, 10,3 persen berada dalam kategori sangat mampu. Berangkat dari fakta ini, perencanaan usaha yang dilakukan oleh KUBE relatif lebih baik namun masih perlu ditingkatkan karena masih adanya anggota yang mengatakan kurang. Bila dicermati lebih mendalam, anggota KUBE perlu diberikan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan perencanaan-perencanaan praktis, seperti bagaimana mengidentifikasi kebutuhan, teknik menggali potensi dan sumber, menganalisis masalah dan kebutuhan, pengenalan lingkungan, dan lain-lain yang terkait dengan perencanaan, karena kemampuan anggota sebagian besar berada dalam kategori sedang. Pemanfaatan Sumber. Sumber yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan KUBE. Sebagai suatu bentuk usaha kelompok, KUBE sangat memerlukan sumber-sumber yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pengembangan usaha. Sumber memiliki keterbatasan, diperlukan kemampuan untuk mengelolanya sehingga sumber dapat mendukung terhadap pengembangan usaha KUBE yang dilakukan. Indikator pemanfaatan sumber yang dijadikan dalam penelitian ini meliputi: bagaimana kemampuan dalam mengidentifikasi kebutuhan, kemampuan dalam mengolah sumber-sumber yang ada, pengelolaan dan pemanfaatan limbah, kelestarian lingkungan, daya dukung
150
lingkungan. Data menunjukkan bahwa 86,2 persen KUBE mampu memanfaatkan atau mengelola sumber dengan kategori cukup, kemudian diikuti dengan kategori sangat maksimal. Selanjutnya akan diuraikan lebih rinci bagaimana pelaksanaan indikator pemanfaatan sumber tersebut. Agar pemanfaatan sumber dapat lebih optimal, maka diperlukan kemampuan mengidentifikasi kebutuhan. Kemampuan mengidentifikasi adalah kemampuan untuk menggali, mengenali dan memilah-milah mana kebutuhan yang
diperlukan
dan
mana
yang
tidak
diperlukan. Bila
kemampuan
mengidentifikasi kebutuhan kurang maka pemanfaatan sumber akan menjadi kurang optimal. Pemanfaatan sumber hendaknya sesuai dengan kebutuhan sehingga sumber dapat bertahan lama. Data menunjukkan bahwa kemampuan anggota KUBE dalam mengidentifikasi 67,4 persen baru pada taraf kategori sedang, kemudian disusul dengan kategori kurang. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya diperlukan kemampuan untuk mengolah sumber agar dapat lebih bermanfaat. Bila mana ada keseimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan dalam mengolah dan memanfaatan sumber yang ada, KUBE akan dapat bertahan lama, tetapi sebaliknya KUBE akan sulit berkembang. Data menunjukkan hanya 59,8 KUBE yang dapat mengolah sumber-sumber dengan baik dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori kurang. Pemanfaatan sumber juga berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan limbah hasil usaha. Pemanfaatan limbah yang kurang baik dapat merusak lingkungan dan pada akhirnya akan merusak sumber daya lingkungan yang ada, Karena itu diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan sumber yang ada dengan pemanfaatan limbah hasil produksi. Mungkin bila dibandingkan limbah hasil produksi KUBE dengan limbah hasil industri besar tidak berarti apa -apa. Tetapi bila jumlah KUBE sudah banyak akan menjadi berarti sekali. Data menunjukkan bahwa 76,8 persen pemanfaatan limbah KUBE berada dalam kategori sedang, kemudian kategori kurang dan sangat baik. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah KUBE sudah mulai baik. Pemanfaatan limbah pada umumnya dilakukan secara daur ulang melalui pembusukan sebagian ada yang dibakar dijadikan sebagai pupuk untuk tanaman, sebagian ada yang ditanam.
151
Sebagai
dampak
dari
pemanfaatan
sumber
yang
ada,
tentu
konsekwensinya akan terjadi gangguan keseimbangan ekosistem. Kelestarian lingkungan menjadi terganggu. Di dalam pemanfaatan sumber, diperlukan kemampuan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan sehingga sumber yang ada dapat mendukung terhadap pengembangan usaha. Bagaimana kelestarian lingkungan dalam kaitan pemanfaatan sumber yang dilakukan. Data menunjukkan bahwa 81,7 persen kelestarian lingkungan KUBE berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori sangat baik. Dari hasil ini terlihat adanya kelestarian lingkungan yang relatif baik dalam kaitan dengan pemanfaatan sumber-sumber tersebut. Kurang lebih sama dengan kelestarian lingkungan, daya dukung sumber lingkungan juga merupakan hal yang penting dalam pengembangan sumber. Karena itu perlu dilakukan need assesment yang mendalam terhadap daya dukung sumber lingkungan sebelum KUBE dibentuk dan jenis usaha KUBE ditentukan, apakah sumber -sumber lingkungan yang ada sudah mampu memberikan kondisi keberlanjutan terhadap jenis usaha yang dipilih. Daya dukung sumber lingkungan yang kurang akan mengakibatkan KUBE sulit berkembang. Data menunjukkan 86,6 persen KUBE memiliki sumber daya lingkungan dalam kategori sedang, kemudian dalam kategori sangat baik. Dilihat dari fakta ini, persoalan daya dukung lingkungan relatif tidak menjadi hambatan utama dalam pengembangan usaha. Didasarkan hasil pengujian dan analisis di atas , anggota KUBE masih memerlukan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan identifikasi, pengolahan dan pemanfaatan sumber, pengelolaan dan pemanfaatan limbah
sehingga
pengembangan usaha KUBE dapat lebih maksimal. Inovasi Usaha. Inovasi usaha berkaitan dengan pemahaman anggota terhadap makna pembaharuan, kemampuan KUBE dalam penerapan inovasi, keaktivan untuk mendapatkan informasi inovasi-inovasi baru, kemauan untuk memulai inovasi baru, kemampuan dalam pengembangan usaha baru, kesiapan untuk menerima kegagalan yang mungkin terjadi se bagai dampak dari usaha pembaharuan yang dilakukan. Sejauh mana gambaran inovasi usaha yang
152
dilakukan oleh KUBE, data menunjukkan bahwa 68,3 persen KUBE menerapkan inovasi pada sebagian kecil unit produksi dan 28,6 persen KUBE sudah menerapakan inovasi pada sebagian besar unit produksi. Dari data dapat dikatakan bahwa KUBE kurang melakukan inovasi dalam pengembangan usaha, masih jauh dari harapan. Perlu sosialisasi inovasi usaha yang lebih intensif sehingga pemahaman anggota KUBE terhadap pentingnya inovasi usaha menjadi berubah. Keberhasilan dalam pemanfaatan inovasi ini sangat terkait dengan sejauh mana pemahaman anggota terhadap inovasi. Dari data yang ada dapat dikatakan bahwa anggota KUBE
masih kurang memahami
tentang inovasi, apa manfaatnya, bagaimana konsepnya, apa yang harus diterapkan, dan lain-lain. Kenyataan ini memang dapat dilihat di lapangan, di mana sebagian besar KUBE masih menggunakan cara-cara tradisional dan manual dalam proses produksi. Anggota KUBE tidak melihat itu sebagai suatu masalah yang perlu dipersoalkan dan dirubah, tetapi suatu kebiasaan yang memang sudah dilakukan selama ini. Berkaitan dengan kondisi itu, perubahan sikap anggota KUBE menjadi unsur yang penting dalam penerapan inovasi, kemudian diikuti dengan penerapan teknologi tepat guna yang dapat mempercepat proses produksi sehingga KUBE mampu bersaing dalam pasar. Aspek Ekonomi Perkembangan Modal. Modal dalam konsep ini meliputi tiga hal yaitu modal awal anggota KUBE itu sendiri, bantuan yang diterima dari pihak luar, dan modal akhir yang berupa modal awal ditambah bantun dari luar dan hasil pengembangan usaha selama ini. Pada kolom 4 Tabel 22 terlihat seberapa besar modal yang dimiliki KUBE untuk menjalankan usahanya sekarang ini. Modal ini merupakan modal penjumlahan modal awal yang dimiliki KUBE ditambah bantuan yang diterima dari berbagai pihak. Rata -rata modal KUBE dimaksud adalah Rp 6.170.081, median Rp 5.375.000,- dan mode Rp 5.000.000,- Sedangkan modal akhir yang dimiliki KUBE hingga penelitian ini dilakukan diperoleh gambaran seperti Tabel 22 kolom 5. Rata-rata modal akhir KUBE adalah Rp 18.138.360,-
153
median Rp 15.000.000,- dan modenya Rp 12.000.000. Dari data ini terlihat kenaikan modal rata -rata 193,54 persen dari modal awal. Tetapi perlu dipahamai bahwa semua perhitungan ini hanya berdarsarkan perhitungan-perhitungan nominal, tidak termasuk perhitungan penyusutan-penyusutan dan pengaruh inflasi dan pengaru-pengaruh lainnya. Untuk lebih jelasnya bagaimana perkembangan modal dapat dilihat pada Tabel 22. Hasil pengola han menunjukkan rata -rata kenaikan modal usaha KUBE sudah mencapai 193 persen atau terjadi kenaikan sebesar + 2 kali lipat (Gambar 21). Dari data ini terlihat bahwa kenaikan modal usaha KUBE sudah terjadi sekitar 1,5 kali lipat dari modal semula. Dari kenaikan modal ini dapat dikatakan sangat membanggakan. Bila dilihat dari tingkat pendapatan
anggota perbulan
masih relatif rendah sekitar Rp 345.000,- tetapi sudah di atas garis kemiskinan. Perkembangan modal yang baik harus diikuti dengan pertambahan tingkat pendapatan baik juga. Tabel 22: Nilai Mean, Median, Mode, Minimum dan Maksimum dari Modal Awal, Bantuan yang diterima, Modal Akhir dan Persetase Kenaikan Modal Aspek 1
Mean
Modal Awal
Bantuan yang diterima
Modal (2+3)
Modal Akhir
%
2
3
4
5
6
803. 688,52
5.366.393,44
6.170.081,97
18.138.360,66
193,54
500.000
5.000.000
5.375.000
15.000.000
155,10
Mode
0
5.000.000
5.000.000
12.000.000
100
Minimum
0
2.000.000
2.500.000
3.000.000
20
Maximum
3.000.000
15.000.000
17.500.000
50.000.000
900
Median
Dalam pola pengembangan usaha khususnya yang berkaitan dengan jenis usaha semesteran-tahunan terlihat adanya investasi modal yang perputaran nilai ekonominya sangat lambat, seperti pada ternak sapi, kerbau, kambing. Mereka bisa memiliki sapi hingga 4 ekor unt uk satu KK sebagai pengembangan dari KUBE. Tetapi sapinya baru mendapat nilai jual setelah 2-3 tahun bahkan sampai 5 tahun. Selama proses ini anggota tidak memiliki pendapatan apa -apa dari KUBE, tetapi mencari pendapatan diluar KUBE sebagai pekerjaan sambilan.
154
Dalam proses seperti ini terjadi peningkatkan investasi yang tidak dinikmati anggota KUBE secara langsung, tetapi dinikmati setelah beberapa tahun kemudian. Pada hal persoalan mereka terjadi saat ini, seperti: biaya untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
%
78,6
14,3
20.0-240
120.1-460
1,8
5,4
460.1-680
680.1-900
% Tk Kenaikan Modal KUBE
Gambar 21: Persentase Pertambahan Modal Usaha KUBE
Bila dikaitkan lama KUBE berdiri dengan tingkat perkembangan modal dan tingkat pendapatan anggota dari usaha KUBE, terlihat hubungan yang nyata di mana masing-masing nilai p = 0,001 dan p = 0,000 pada pengujian TS 0,05 untuk dua sisi. Artinya KUBE yang semakin lama menunjukkan adanya peningkatkan pertambahan modal dan pendapatan anggota yang cukup berarti. Untuk melihat berapa lama KUBE sudah berdir i disajikan dalam Gambar 22.
17
4
12
5
14
Jumlah tahun
6
5
7
5
8 10
1
12
1 4
14 16
1
21
1
Jumlah KUBE
Gambar 22: Lama KUBE Berdiri
155
Pengguliran. Salah satu ciri khas KUBE adalah adanya pengguliran. Penguliran merupakan bentuk pelaksanaan dari filosofi KUBE yaitu adanya kepedulian di antara sesama dan adanya rasa saling tolong-menolong antara kelompok mampu dengan kelompok yang kurang mampu. Data menunjukkan bahwa ada sebagian KUBE yang sudah melakukan pengguliran tetapi ada sebagian yang macet kemudian berhenti dan ada yang kurang lancar tetapi masih tetap jalan. Tetapi yang paling mengejutkan adalah sebagian besar belum melakukan pengguliran. Faktor penyebab pengguliran usaha belum dilakukan karena pendapatan yang diperoleh anggota KUBE belum mampu untuk melakukan pengguliran, sebagian besar baru mampu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian anggota ada yang kurang mengetahui bahwa bantuan yang diterima akan digulirkan dan bentuk penggulirannya bagaimana. Agar pengguliran ini dapat berjalan lancar di masa mendatang, mensosialisasikan
maka
peranan
pengguliran
pendamping
mulai
dari
sangat
sosialisasi
diperlukan awal
untuk
pembentukan
kelompok, pemberian bantuan hingga selama proses pendampingan KUBE. Dengan adanya pengguliran, secara tidak langsung akan menjadi alat kontrol terhadap KUBE yang sedang dijalankan. Namun waktu pelaksanaan pengguliran perlu dipertimbangkan sehingga tidak sampai memberatkan anggota KUBE.
Lancar Kurang lancar Macet/berhenti
0 8,5 32,6 58,9
Tidak ada
Gambar 23: Pengguliran Bantuan
Pendapatan Pendapatan merupakan sesuatu hal yang sangat diharapkan dari KUBE sebagai konsekwensi dan usaha yang sudah dikembangkan. Selain itu, persoalan-persoalan ekonomi keluarga diharapkan dapat diatasi melaluai
156
pendapatan yang diperoleh dari KUBE. Data menunjukkan rata-rata pendapatan anggota KUBE per bulan adalah Rp 345.500, modus Rp 300.00, median Rp 300.000,-, minimum Rp 0 dan maksimum Rp 1.100.000,-. Pendapatan ini merupakan pendapatan yang nominal belum termasuk perhitungan-perhitungan defaluasi yang mungkin menyebabkan nilai mata uang menjadi bertambah. Selain itu, pendapatan ini belum termasuk rata -rata nilai investasi pemeliharaan ternak sapi oleh beberapa KUBE yang hasilnya baru dapat dihitung setelah beberapa tahun. Pendapatan ini murni adalah pendapata n yang diperoleh dari hasil usaha KUBE yang diperoleh setiap bulannya (Gambar 24). Bila dibandingkan dengan pendapatan keluarga perbulan diperoleh hasil rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp 747.522,-, median Rp 700.000,- dan modus Rp 600.000,-, pendapatan minimum adalah Rp 200.000,- dan pendapatan maksimum Rp 1.700.000,- (Gambar 24). Bila dikaitkan dengan jumlah rata -rata tanggungan keluarga antara 3-4 orang sebagaimana terlihat pada Tabel 23. Dari data ini, bila dihitung rata-rata besarnya pendapatan per orang bulan dalam keluarga adalah sekitar antara Rp 186.880 – Rp 249.174,-,. Dari hasil ini dapat disimak bahwa pendapatan anggota KUBE sudah berada di atas garis fakir miskin dan miskin seperti yang sudah dipaparkan pada Tabel 14 sebelumnya.
747.522
345.000
Pdptn kel
Pdptn dr KUBE
300.000
300.000
Median
Modus
Gambar 24: Besarnya Pendapatan Keluarga dan Anggota KUBE Tanggungan keluarga yang termasuk di sini adalah banyaknya anggota keluarga baik anak kandung, saudara, anak angkat atau pihak lain yang menjadi beban dan tanggung jawab keluarga untuk menghidupi setiap hari.
Data
157
menunjukkan bahwa tanggungan keluarga relatif besar, dengan rata-rata (mean) tanggungan keluarga 3-4 orang per keluarga, sedangkan mediannya 4 dan modusnya 4, seperti terlihat pada Tabel 23. Hasil ini sangat sinkron dengan ratarata jumlah anggota keluarga yang sudah dijelaskan di atas. Dari komposisi ini, dapat dikatakan masih kuatnya hubungan ikatan keluarga di antara meraka. Terlihat dari jumlah tanggungan keluarga selain istri dan anak kandung sendiri juga ada beberapa keluarga dekat yang menjadi tanggungan keluarga. Tabel 23: Pendapatan Anggota dan Besarnya Tanggungan Keluarga Pendapatan Keluarga (Rp)
Jumlah Tanggungan (orang) Total
Antara
Rata-rata
1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
11-12
0-250.000
228.571,43
7
0
0
0
0
0
7
251.000-500.000
423.142,86
22
47
1
0
0
0
70
501.000-750.000
632.065,22
12
21
12
1
0
0
46
751.000-1.000.000
896.491,23
6
36
12
2
1
0
57
1.001.000-1.250.000
1.132.608,70
0
15
6
1
1
0
23
1.251.000-1.500.000
1.405.263,16
0
8
6
4
0
1
19
1.501.000-1.700.000
1.650.000,00
0
0
1
1
0
0
2
747.522,32
47
127
38
9
2
1
224
Tabungan. Tabungan merupakan hasil penyisihan sebagian dari biaya kebutuhan keluarga untuk kepentingan hari esok. Diharapkan anggota KUBE dapat menabung sesuai dengan kemampuannya. Bagaimana pola menabung bagi anggota KUBE untuk jangka waktu satu bulan ke depan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar anggota KUBE masih kesulitan dalam menambung. Tetapi sebagian di antara anggota KUBE sudah ada yang menabung walaupun dalam jumlah yang terbatas. Tentu kondisi ini tidak terlepas dari tingkat pendapatan anggota KUBE yang relatif masih rendah. Mereka baru dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi keluarga. Persoalan menabung mungkin merupakan prioritas yang berikut.
158
Sangat tersedia
2,7
Tersedia
13,8
Sangat minim
27,1
Tidak ada
55,5
Gambar 25: Ketersediaan Tabungan untuk Jangka Wakt u 1 bulan Banyaknya jenis usaha. Banyaknya jenis usaha yang bertambah hingga penelitian ini dilakukan diperoleh gambaran seperti Tabel 24. Sebagian besar KUBE hanya mampu mengembangkan jenis yang sudah ada sejak awal hingga penelitian dilakukan, sebagian ada yang mampu mengembangkan 1 hingga 4 jenis usaha di luar jenis usaha awal yang sudah dikembangkan selama ini namun persentasenya kecil. Dari kondisi ini dapat dilihat bagaimana kemampuan mereka dalam mengembangkan jenis usaha, mereka kurang melihat pe rkembangan dan peluang pasar yang ada, wawasan mereka terbatas , inovasi yang dikembangkan sangat terbatas, mereka sangat terbiasa dengan pola-pola lama yang sudah dilakukan selama ini. Sebagai dampaknya,
banyak anggota KUBE yang
menjadikan KUBE sebagai penghasilan sampingan bukan penghasilan utama. Tabel 24: Banyaknya Jenis Usaha dan Pertambahan Jenis Usaha Banyaknya Jenis Usaha yang dikelola Tdk ada 1 2 3 4 Total
Persentase KUBE Pada awalnya 0 96,7 3,3 0 0 100
Yang bertambah 70,5 19,7 3,3 1.6 4,9 100
Ket
Pengelolaan Hasil Keuntungan. Pengelolaan hasil keuntungan merupakan hal yang sensitif dalam kegiatan KUBE bila dikelola tidak jujur. Namun, bila dikelola
159
secara jujur dan transparan, pengelolaan menjadi hal yang biasa dan tidak perlu dirahasiakan atau ditutup-tutupi. P engelolaan keuntungan yang dilakukan oleh KUBE menunjukkan bahwa 67,4 persen KUBE menunjukkan pengelolaan keuangan dengan kategori kurang baik, kemudian diikuti persentase kategori relatif baik sebesar 13,4. Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hasil keuntungan KUBE masih jauh dari yang diharapkan. Terlihat persentase anggota yang cukup lumayan yang mengatakan bahwa pengelolaan sangat buruk dan kurang. Kenyataan ini dapat diterima, karena pada saat dilakukan wawancara di lapangan banyak KUBE yang tidak dapat menunjukkan laporan pertanggung jawaban keuangan administrasi pembukuan. Kalaupun ada pembukuannya tidak teratur, pengisian tidak rutin. Ada tiga hal penting yang dapat dilihat dari kondisi ini yaitu, pertama , kemampua n anggota KUBE dalam pengadministrasian keuangan sangat terbatas, kedua
ada unsur kesengajaan untuk tidak
mengadminis-trasikan karena adanya kepentingan yang bersifat individual, ketiga proses pendampingan kurang berjalan lancar sehingga pengawasan sangat lemah. Untuk beberapa KUBE, pengelolaan bentuk lain adalah ada penyisihan pembagian keuntungan yang tidak dibagikan secara langsung tetapi pembangian keuntungan dikembalikan menjadi modal KUBE, seperti: dalam usaha ternak sapi. Untuk jangka waktu tertentu, sapi bantuan yang diberikan oleh pemerintah dibesarkan oleh beberapa anggota hingga diperkirakan dapat membelikan anak sapi untuk sejumlah anggota kelompok ditambah 1 KUBE (untuk menjadi modal KUBE) untuk dipelihara masing-masing. Sapi yang menjadi milik kelompok menjadi warisan KUBE. Biasanya sapi ini dijadikan menjadi sapi induk. Sapi ini dipelihara oleh salah satu anggota KUBE dan seperempat dari sapi ini menjadi bagian dari yang memelihara sebagai jasa pemeliharaan, demikian seterusnya untuk anak yang berikutnya . Semua keturunan dari sapi ini menjadi milik KUBE. Khusus untuk usaha ekonomis produktif yang bersifat semesteran-tahunan, seperti ternak sapi, kerbau, kambing yang dibantu oleh pemerintah kurang dapat dinikmati langsung oleh anggota KUBE karena jangka waktu produksi yang terlalu lama. Sampai penelitian dilakukan masih banyak ternak sapi yang belum pernah dijual sama sekali, tetapi dipelihara dan dijadikan menjadi sapi induk. Ada anggota KUBE yang sudah mempunyai ternak sapi hingga 5 ekor has il bantuan
160
pemerintah dan belum pernah dijual sama sekali. Penghitungan keuntungan seperti ini agak sulit dilakukan dibandingkan dengan usaha sembako yang keuntungannya dapat diperoleh setiap hari dan dapat dihitung. Bagaimana kejujuran dalam pembagian keuntungan usaha KUBE, sebagain besar anggota mengatakan kurang adil. Sebagian mengatakan kurang dan ada anggota yang mengatakan sangat buruk. Bila dilihat dari persentase pembagian keuntungan relatif adil. Pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS). IKS merupakan salah satu ciri khas kegiatan KUBE. Dari data yang ada menunjukkan bahwa tidak semua KUBE menjalankan IKS, dari data yang diperoleh hanya 42,9 persen KUBE yang menerapakan IKS, sisanya sama sekali tidak ada kegiatan IKS. Tetapi sayangnya malah lebih banyak KUBE yang tidak menyelenggarakan IKS dibandingkan dengan
yang
menyelenggarakan
IKS.
Ini
adalah
suatu
kondisi
yang
memprihatinkan yang perlu mendapat perhatian di masa-masa mendatang. Karena dengan IKS anggota KUBE akan dapat saling tolong menolong bilamana mereka mengalami kesulitan atau ada hal-hal penting yang harus diselesaikan. Banyaknya KUBE yang tidak memiliki IKS disebabkan oleh beberapa faktor seperti: pendapata n yang rendah, kurangnya informasi, pengetahuan dan pemahaman anggota KUBE tentang manfaat IKS, besarnya tanggungan keluarga, kurangnya pemahaman pendamping tentang IKS. Sejauhmana keberhasilan pengelolaan dana IKS dikategorikan dalam empat kelompok: tidak ada IKS, macet atau berhenti, kurang lancar dan lancar. Data menunjukkan bahwa hanya 3,1 persen KUBE yang memiliki IKS dengan kategori lancar, 57,1 persen KUBE sama sekali tidak ada IKS dan 34,8 persen IKS macet atau berhenti. Seberapa besar dana IKS yang sudah dijalankan oleh KUBE, hasil menunjukkan bahwa rata -rata besarnya IKS KUBE adalah Rp 4.187,- dengan mediannya Rp 1.750,- sedangkan modusnya adalah Rp 1.000,-. IKS yang terkecil adalah Rp 500,- dan yang terbesar adalah Rp 20.000,-. Dari fakta ini dapat dilihat bagaimana eksistensi IKS dalam KUBE dan sejauh mana peranan IKS dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh anggota KUBE. Dapat dikatakan pengelolaan IKS masih kesulitan, belum berarti apa -apa. Bagaimana
161
pendapat anggota tentang besarnya dana IKS yang sudah dijalankan selama ini. Sebagian besar anggota mengatakan bahwa dana IKS relatif sesuai karena pendapatan anggota relatif rendah. Bila dibandingkan dengan nilai keuangan sekarang, dana IKS ini tidak berarti apa-apa. Namun, makna yang terkandung dalam konsep IKS yang sesungguhnya perlu dikedepankan bukan masalah nilai nominal uang yang harus disetorkan. IKS merupakan sarana wadah ikatan dan wadah tolong menolong di antara anggota KUBE.
Kelompok sebagai Media Pemberdayaan
KUBE adalah singkatan dari Kelompok Usaha Bersama, KUBE merupakan salah satu dari bentuk kelompok di mana anggota KUBE terdiri antara 7 hingga 15 orang dan bahkan ada yang mencapai 30 orang. Dalam disertasi ini, kelompok atau KUBE menjadi fokus penelitian. Menurut Gibson (1984) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kelompok, seperti: adanya kebutuhan, adanya kedekatan dan daya tarik kelompok, tujuan ekonomi baik, dan adanya keuntungan yang ekonomi yang diharapkan dari KUBE. Bila dilihat dari kenyataan lapangan, KUBE terbentuk karena dua hal, yaitu: (a) kepentingan ekonomi dan (b) kepentingan sosial. Kepentingan ekonomi berkaitan dengan pendapatan yang diharapakan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan kepentingan sosial berkaitan dengan usaha tolong-menolong yang dapat dikembagkan dalam rangka mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh anggota KUBE. Aspek kedua ini menjadi penting, karena keberhasilan ekonomi tidak dapat dicapai hanya karena faktor phyisical capital, human capital saja tetapi karena adanya kondribusi social capital sekitar 20% (Fukuyama, 2001). Dalam proses pembentukan kelompok, ada kelompok yang terbentuk karena dimotori oleh aparat desa atau tokoh masyarakat yang perduli dengan kehidupan kelompok miskin dan ada juga karena insiatif sendiri dari masyarakat karena mereka memiliki komitmen yang kuat. Mereka ingin saling tolongmenolong. Namun, kelompok seperti ini jarang ditermukan di lapangan, sebagian besar kelompok yang ada terbentuk karena dimotori oleh aparat desa atau tokoh
162
masyarakat setempat bahkan beberapa kepengurusan yang ada terbentuk karena penunjukan langsung dari aparat atau tokoh masyarakat setempat. Dari kenyataan yang ada, pada umumnya anggota KUBE adalah orang yang serba memiliki keterbatasan, baik pengetahuan, wawasan, pendidikan, pemilikan harta benda, komunikasi, interaksi dan berbagai hal lainnya. Karena itu, untuk memotivasi kelompok ini, maka setiap KUBE disarankan ada 2 % dari anggota KUBE yang dapat sebagai motivator dalam kelompok namun masih tetap dalam kategori miskin, diterima oleh anggota dan berasal dari kominitas anggota. Diharapakan mereka ini akan menjadi motivator dan dinamisator kelompok, mulai dari perencanaan usaha kelompok, keuangan kelompok, transaksi-transaksi yang mungkin ada, hingga pemasaran hasil usaha. Dalam merumuskan keputusan yang berkaitan dengan kepenitngan kelompok, biasanya kelompok mengadakan pertemuan untuk membicarakan berbagai hal. Pertemuan dapat bersifat formal dan bersifat informal. Untuk pertemuan yang bersifat formal, pertemuan biasanya dipimpin oleh ketua kelompok dan dihadiri oleh pendamping. Untuk pertemuan yang bersifat informal, pertemuan diadakan tanpa harus dipimpin oleh ketua, kadang-kadang tanpa dihadiri oleh semua anggota. Pertemuan berlangsung secara tidak resmi dan kadang-kadang pertemua tidak disengaja. Pertemuan dapat berlangsung di tempat bekerja sambil bekerja, dapat berlangsung dipinggir sawah atau di mana saja yang mungkin dilakukan. Forum seperti ini biasanya lebih efektif dibandingkan dengan pertemuan formal. Hasil pertemuan yang disepakati biasanya sangat mengikat terhadap kelompok. Pertemuan ini biasanya tidak dihadiri oleh pendamping hanya berupa laporan yang disampaikan kepada pendamping. Kemampuan dan keterampilan anggota KUBE pada umumnya relatif terbatas, namun di antara anggota ada yang mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya, ada yang memiliki pengalaman dan wawasan yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya, ada yang lebih dewasa dibandingkan yang lainnya, ada yang lebih cepat berpikir dibandingkan yang lainnya, ada yang suka terhadap perubahan dibandin gkan yang lainnya, ada yang lebih potensial dibandingkan dengan yang lainnya, dan lain-lain. Potensi-potensi seperti ini dijadikan sebagai sumber dalam
kelompok dalam rangka pengembangan kelompok tersebut.
163
Namun bila potensi tersebut tidak tersedia dalam kelompok biasanya melalui rekomendasi pendamping sumber didatangkan dari luar kelompok. Dalam pemanfaatan sarana, di antara anggota kelompok ada yang memiliki rumah (sekalipun terbatas) untuk dijadikan sebagai tempat untuk bekerja dan untuk berjualan, ada yang memiliki sepeda untuk transportasi, ada yang memiliki tanah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, dan lainlain. Pada intinya KUBE selalu berusaha untuk memanfaatkan sumber-sumber yang dimiliki oleh anggota kelompok sendiri. Hanya saja, sarana dan prasaran yang dimiliki kualitasnya sangat terbatas. Persoalan lain yang dihadapi oleh anggota KUBE adalah sebagian besar anggota KUBE tidak memiliki modal. Karena keterbatasan ini, biasanya mereka meminta bantuan dari pihak lain, sebagian ada da ri pengusaha, sebagian ada dari perorangan / anggota masyarakat yang perduli, sebagian ada dari organisasi, dan lain-lain. Namun sebagian besar berasal dari pihak pemerintah. Bantuan yang diterima biasanya sangat terbatas karena hanya bersifat bantuan stim ulan (pendukung). Karena bantuan yang sangat terbatas, di mana bila dikelola sendiri tidak akan berarti apa -apa, karena itu pengelolaan bantuan tersebut dihimpun melalui kelompok sehingga modal yang ada menjadi lebih berarti. Misalnya, dana bantuan 1 juta per keluarga yang akan diberikan untuk 15 aggota KUBE dapat dihimpun untuk membeli satu hand tranctor yang dapat dimanfaatkan oleh semua anggota KUBE secara bergantian. Dalam konsep ini, kelompok sebagai media sangat berarti dalam proses pemberdayaan tersebut. Untuk pengembangan usaha yang dilakukan, anggota KUBE biasanya memanfaatkan sumber -sumber yang tersedia di antara anggota, seperti tenaga musiman yang dibutuhkan. Biasanya mengutamakan dan memanfaatkan anggota keluarga yang ada. Tetapi bila sumber tersebut tidak tersedia dalam kelompok biasanya didatangkan dari luar kelompok. Demikian juga dalam pemanfaatan sumber daya alam, anggota kelompok selalu mengutamakan sumber daya alam yang dimiliki masing-masing kelompok, tetapi bila tidak tersedia baru didatangkan dari luar kelompok. Dilihat dari proses pembinaan dan proses pendampingan pendekatan kelompok dalam proses pemberdayaan lebih efektif dan efisien dibandingkan
164
dengan pendekatan individual baik dari segi biaya, tenaga maupun waktu, di mana tenaga satu orang pendamping dapat melayani sekaligus berberapa orang anggota KUBE daripada harus melayani orang per orang. Selain itu, di antara mereka dapat saling membantu antara satu dengan orang lain. Anggota yang satu akan menjadi contoh, motivator dan supervisor terhadap yang lainnya tanpa harus diperintah. Dalam pendekatan seperti ini ada proses peniruan terhadap perilaku seseorang yang dianggap positif. Kelompok akan menjadi media pertemuan, tempat berkumpul dan curhat di antara anggota. Didasarkan pada pendekatan kelompok ini, maka proses pemberdayaan KUBE berlangsung di antara , oleh dan untuk anggota KUBE itu sendiri. Intervensi hanya dilakukan bila mana sumbersumber yang tersedia dalam kelompok tidak mencukupi atau tidak tersedia untuk memenuhi kebutuhan kelompok.
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Suatu Sintesis Hasil Kajian Pada bagian ini akan dipaparkan konsep pemberdayaan fakir miskin yang didasarkan pada sintesis hasil penelitian dan temuan-temuan studi literatur dan hasil penelitian sebelumnya. Banyak pendekatan dan konsep yang ditawarkan kepada kelompok miskin mulai dari pemberian bantuan hingga pelatihan yang bersifat jangka panjang, nanum konsep ini merupakan model spesifik yang ditujukan untuk pemberdayaan kelompok miskin khususnya mela lui pendekatan KUBE.
Visi dan Misi Pemberdayaan Fakir Miskin Eksistensi fakir miskin adalah suatu fakta yang tidak dapat dihindari tetapi harus dihadapi dan diatasi, keberadaan kelompok ini harus diterima sebagaimana kelompok masyarakat lainnya. Ada yang memandang bahwa eks istensi fakir miskin hanya sebagai sampah dari kehidupan masyarakat, sering merusak keindahan kehidupan dan sering mengganggu terhadap kehidupan kelompok masyarakat lainnya, karena itu tidak perlu diberdayakan. Namun, ada yang me-
165
mandang bahwa fakir miskin mempunyai arti dan peranan penting
dalam
kehidupan seperti layaknya kelompok masyarakat lainnya. Dengan mereka banyak pekerjaan kelas bawah yang tidak mungkin dikerjakan oleh kelas atas dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu, adalah menjadi hak mereka untuk dapat hidup secara wajar dan layak sebagaimana warga lainnya. Karena itu, pem pemberdayaan harus tetap diberikan kepada mereka sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar dan tanpa harus mengganggu dengan kelompok lainnya. Konsep pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan perlu semakin disempurnakan. Pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan KUBE merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan fakir miskin. Ada pertanyaan yang sangat hakiki yang patut dilemparkan berkaitan dengan pendekatan KUBE, yaitu “Kenapa harus melalui KUBE?”. Ada berberapa filosofi yang dapat dilihat melalui pendekatan KUBE (Depsos, 2004). Pertama, KUBE merupakan tempat perkumpulan orang yang dikategorikan kurang mampu. Dalam KUBE mereka saling berkomunikasi dan berhubungan satu sama lain dan membicarakan banyak hal yang berkaitan denga kehidupan mereka. Kedua, anggota KUBE mempunyai latar belakang yang berbeda dan penuh keterbatasan, seperti: wawasa n, pengetahuan, pendidikan, keterampilan, modal dan kepemilikan lainnya. Dengan perbedaan pengalaman dan keterbatasan ini, diharapkan mereka akan saling mengisi satu dengan lainnya , saling bantu membantu dan tolong menolong satu sama lain. Ketiga, KUBE merupakan sarana kerjasama , artinya melalui KUBE mereka akan kerjasama dalam menyelesaikan pekerjaan. Kerjasama ini berlangsung secara terus menerus untuk waktu jangka panjang dan tidak hanya waktu jangka pendek. Nilai ini sangat sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, yaitu kerjasama dan saling tolong menolong. Keempat, KUBE merupakan sarana sharing modal usaha dalam rangka pengembangan usaha ekonomis produktif. Persoalan yang terjadi selama ini adalah modal usaha anggota masyarakat sangat kecil. Melalui KUBE diharapkan modal yang dimiliki perorangan atau seharusnya ditujukan kepada individu dapat dihimpun menjadi modal kelompok sehingga menjadi lebih besar. Kelima, KUBE merupakan sarana pengembangan usaha ekonomis produktif . Disadari bahwa
166
usaha -usaha kesejahteraan sosial tidak dapat berdiri sendiri atau berarti apa -apa tanpa disiplin lain seperti ilmu ekonomi. Karena itu, usaha -usaha sosial perlu diintegrasikan atau dipadukan dengan pengembangan usaha ekonomis produktif yang dapat meningkatkan pendapata n anggota KUBE. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahab (1994) yang mengatakan bahwa terdapat empat strategi pengentasan kemiskinan, yaitu (a) strategi pertumbuhan (the growth strategy), (b) strategi kesejahteraan (the welfare strategy), (c) strategi yang tanggap kebutuhan masyarakat (the responsive strategy), (d) strategi terpadu atau menyeluruh (the holistic strategy). Keenam, bahwa KUBE berlandaskan pada semangat “dari”, “oleh” dan “untuk semua”. Artinya bahwa KUBE harus dibangun atas kemampuan anggota, semangat dan kemauan anggota dan keuntungannya adalah untuk mereka. Karena itu ukurannya menjadi sangat relatif. Ketujuh, bahwa KUBE merupakan sarana untuk memandirikan anggota tidak harus tergantung pada orang lain. Kedelapan, melalui KUBE harus dapat mewujudkan fungsi sosial anggota KUBE, yang meliputi 3 hal, yaitu: (a) meningkatknya kemampuan anggota KUBE dalam memenuhi kebutuhan hidup yang diperlukan; (b) meningkatkan kemampuan anggota KUBE dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya; (c) meningkatnya kemampuan anggota KUBE dalam menampilkan peranan-penanan sosialnya dalam masyarakat. Dengan konsep seperti di atas, pendekatan KUBE dipandang sebagai pendekatan yang lebih efektif dan efisien dalam pemberdayaan masyarakat miskin tersebut. Berkaitan dengan filosofi dan model yang ditawarkan, maka yang menjadi visi pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan KUBE adalah “terewujudnya kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan sosial fakir miskin” (Depsos, 2005). Kesejahteraan sosial yang dimaksud adalah situasi dan kondisi baik lahir maupun psikis yang memungkinkan fakir miskin mewujudkan keberfungsian sosialnya. Kondisi tersebut hanya dapat dicapai bila mana fakir miskin memiliki kemandirian dalam segala bidang kehidupan. Kemandirian hanya dapat terwujud bilamana kualitas hidup fakir miskin semakin baik. Kualitas hidup yang dimaksud adalah segala kemampuan yang dimiliki oleh fakir miskin yang memungkikan terwujudnya keberfungsian sosial fakir miskin secara baik.
167
Terkait dengan rumusan visi di atas , ada beberapa misi pemberdayaan fakir miskin yang harus diwujdukan, yaitu: (a) mendayagunakan potensi dan sumber kesejahteraan sosial dalam pemberdayaan fakir miskin; (b) meningkatkan pendapatan anggota KUBE; (c) meningkatkan jaringan kerja dan kemitraan KUBE yang semakin baik ; (d) meningkatkan akses KUBE terhadap berbagai sumber dalam rangka pengembangan KUBE. Kemandirian KUBE adalah kemampuan KUBE dalam pengelolaan dan pengembangan KUBE
mulai dari penyediaan modal hingga pemasaran hasil
usaha tanpa harus tergantung pada pihak lain. Kemandirian (autonomy) menurut konsep Kant adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip yang diyakini sendiri, mampu mengatur diri sendiri, menentukan diri sendiri, mengarahkan diri sendiri, bebas dari kehendak orang lain, hak untuk mengikuti kemauannya se ndiri (Kant dalam Sumardjo, 1999). Kemandirian di sini bukan berarti sikap menutup diri terhadap dunia luar, tidak meminta tolong pada orang lain, atau haram menggunakan bantuan orang lain melainkan dengan rendah hati menerima masukan atau saran-saran atau pertolongan dari orang lain dan aturan-aturan yang terkait dengan itu. Namun keputusan akhir berada pada kemandirian KUBE tersebut. Jelas bahwa dalam konsep ini harus menghindari pemaksanaan. Peningkatkan pendapatan diarahkan pada peningkatan keuangan anggota KUBE yang
mampu
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
seluruh
keluarga.
Peningkatkan pendapatan ini harus menjadi kegiatan utama anggota KUBE bukan menjadi kegiatan sampingan seperti yang banyak ditemukan di lapangan. Penempatan KUBE sebagai pekerjaan sampingan, menjadikan pengelolaan KUBE menjadi kurang optimal. Karena itu upaya -upaya pembaharuan dalam KUBE perlu terus dilakukan yang berkaitan dengan bidang pengelolaan usaha, penerapan teknologi tepat guna, perluasan pemasaran dan jaringan kerja, penyelenggaraan pelatihan praktis yang terkait dengan bidang usaha yang dikembangkan. Peningkatan jaringan kerja dan kemitraan KUBE diarahkan pada peningkatan hubungan KUBE yang saling menguntungkan dan berlangsung langgeng dengan berbagai pihak, seperti dalam penyediaan bibit unggul, penyediaan modal, penyediaan bimbingan teknis, peningkatan kemampuan atau pelatihan-pelatihan yang terkait, ahli teknologi, pengawasan mutu, pemasaran
168
hasil, dan bidang lainnya . Sedangkan peningkatan akses KUBE terhadap sumber diarahkan pada semakin terbukanya kesempatan KUBE untuk memanfatkan berbagi fasilitas-failitas yang ada baik yang diberikan pemerintah maupun masyarakat dalam rangka pengembangan KUBE. Peningkatan akses ini dapat berupa pengurangan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi tetapi kurang diperluakan, penyediaan pelayanan yang secara khusus ditujukan kepada KUBE, atau peningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota KUBE berkaitan dengan pemanfaatan sumber tersebut.
Kedinamisan KUBE KUBE sebagai suatu wujud kelompok, maka dinamika kehidupan KUBE menjadi salah satu unsur penting untuk dikaji. Dinamika kehidupan KUBE sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan lebih lanjut. Dinamika kehidupan KUBE bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis dan selalu berubah-ubah tergantung dari interaksi, stimulus dan respon yang terjadi dalam KUBE tersebut. Masri (1984), Jenkins (Mardikanto, 1992), dan Slamet (2001) mengatakan bahwa kedinamisan kelompok pada intinya adalah bentuk kekuatan-kekuatan kelompok baik yang bersifat internal dan eksternal yang mengatur perilaku anggota kelompok dan perilaku kelompok untuk bertindak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kelompok dalam rangka memajukan kelompoknya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Menurut Slamet (2001) ada 9 unsur dinamika kelompok sebagaimana yang sudah dipaparkan pada tinjauan pustaka sebelumnya. Kedinamisan KUBE dapat dilihat sebagai input dan output. Sebagai input, kedinamisan KUBE akan menjadi titk masuk (entri point) dan ukuran kekuatan dalam proses pemberdayaan tersebut, sedangkan sebagai output seberapa besar tingkat kedinamisan KUBE tersebut menjadi kekuatan kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin diwujdukan. Berangkat dari pengertian di atas, kedinamisan kehidupan KUBE menjadi hal yang penting dalam proses pemberdayaan KUBE.
169
Akan sulit bagi seorang pendamping dalam melakukan pemberdayaan bilamana kedinamisan KUBE kurang dipahami secara mendalam. Karena itu, menjadi penting untuk menterjemahkan dinamika kehidupan KUBE ke dalam bentuk pengelompokan yang dapat menjelaskan kedinamisan KUBE secara tepat. Pengelompokan ini diberi nama “Konsep Pengelompokan Dinamika Kelompok” (Group Dynamic Grouping Concept). Konsep Pengelompoka n Dinamika Kelompok Aspek Sosial / (afektif, kognitif, psikom otorik)
Y2 = 53,510 + 0,326 Y 1
86,1 INOVATIF (6,6 %)
(Inovatif: 80-100 % :)
79,6 AKTIF (85,2)
(Nilai: 60-79 %)
73.1
(Nilai: 25-59 %)
INKLUSI (8,2 %)
60 Persiapan
80 Pra-Dinamis
100 Dinamis
Kedinamisan KUBE
Gambar 26: Konsep Kedinamisan KUBE Dalam pengelompokan ini, skore nilai kedinamisan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan terhadap 44 butir pertanyaan dengan skala ordinal 4 kategori terlebih dahulu ditransfer terhadap nilai kedinamisan yang bergerak dari nilai 25 (sebagai nilai terendah) hingga 100 (nilai terbesar) dengan proses sebagai berikut: nilai skore pengamatan yang diperoleh dibagi nilai skore
170
maksimum yang seharunya diperoleh kemudian dikali seratus persen. Dari hasil perhitungan ini diperoleh skore nilai kedinamisan dari masing-masing KUBE. Nilai skore kedinamisan dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (a) nilai skore kedinamisan dengan nilai antara 25 hingga 59, diberi nama kedinamisan INKLUSI; (b) nilai nilai skore kedinamisan dengan nilai 60 hingga 79, diberi nama kedinamisan AKTIF; (c) nilai skore kedinamisan dengan nilai 80 hingga 100, diberi nama kedinamisan INOVATIF . Kedinamisan KUBE merupakan dampak dari tindakan yang timbul dari perilaku-perilaku anggota KUBE, karena itu pengkategorian kedinamisan KUBE ini sangat relevan bila dikaitkan dengan kualitas perilaku (pendekatan Bloom) anggota KUBE yang meliputi aspek afektif, kognitif dan psikomotorik yang secara sederhana dilihat sebagai aspek sosial. Secara skematis bagaimana pengelompokan kedinamisan KUBE disajikan pada Gambar 26 dan hasil pengujian persamaan disajikan pada Lampiran 3g.
90.00
Y1
80.00
70.00
60.00
50.00
65.00
70.00
75.00
80.00
Y21
Gambar 27: Hubungan Dinamika Kehidupan Kelompok dengan Keberhasilan Aspek Sosial KUBE
Dari grafik terlihat sulitnya kelompok untuk masuk pada kategori KUBE inovatif. KUBE pada umumnya hanya dapat berada pada kategori aktif. Tetapi bilamana KUBE dapat masuk pada kategori KUBE inovatif, KUBE akan lebih cepat
berkembang karena
masuknya
inovasi
yang
dapat
mempercepat
171
produktivitas, dibandingkan pa da saat KUBE berada pasa masa aktif yang cenderung hanya menerapkan cara-cara tradisional yang sudah ada selama ini. Bila dilihat bagaimana pola bentuk hubungan antara dinamika kehidupan kelompok dengan keberhasilan aspek sosial yang dilakukan melalui pengujian rank Spearman dapat dilihat seperti Gambar 27. Adapun kriteria dari masing-masing pengelompokan dapat dilihat seperti pada Tabel 25. Tabel 25: Kriteria Pengelompokan Kedinamisan Kelompok. KEDINAMISAN INKLUSI
KEDINAMISAN AKTIF
KEDINAMISAN INOVATIF
Skore: 25-59
Skore 60-79
Skore: 80-100
Kriteria: • KUBE dengan struktur organisasi, keanggotaan sudah terbentuk • Intensitas pertemuan terbatas • Produksi sudah mulai berjalan tetapi masih bersifat rutin • Pendapatan sudah ada tetapi relatif terbatas • Jaringan kerja mulai dirintis • UKS belum berjalan lancar
Kriteria: • Aspek kelembagaan (struktur, keanggota, pembukuan, program) sudah berjalan • Intensitas pertemuan sedang • Produksi sudah lancar • Pendapatan sudah meningkat • UKS sudah mulai berjalan • Jaringan kerja sudah mulai berjalan • Inovasi sudah mulai diperkenalkan
Kriteria: • Aspek kelembagaan sudah berjalan baik • Intensitas pertemuan tinggi • P oduksi tinggi • P endapatan stabil dan relatif besar • UKS berjalan baik • Jaringan kerja lancar • Inovasi usaha tinggi
Didasarkan pada konsep pengkategorian kedinamisan KUBE di atas, sebanyak 85,2 persen KUBE berada pada kategori aktif (Gambar 26). Peubahpeubah yang dijadikan indikator dalam pengukuran kedinamisan KUBE mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Slamet (2001) yaitu: tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas kelompok, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, ketegangan kelompok, keefektivan kelompok, kepemimpinan yang
172
diterapkan dalam kelompok dan bagaimana kepuasan yang dirasakan oleh anggota KUBE. Hasil ini sangat relevan dengan kenyataan-kenyataan lapangan di mana ditermukan hanya ada beberapa KUBE yang termasuk kategori inovatif dan kategori inklusi.
Keberhasilan KUBE Tingkat keberhasilan KUBE merupakan sesuatu hal yang perlu dikaji untuk melihat sejauh mana keberhasilan KUBE. Keberhasilan KUBE dalam penelitian ini dilihat dari dua aspek yaitu keberhasilan yang berkaitan dengan aspek sosial dan keberhasilan yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Sejak tahun 1983 hingga sekarang Departemen Sosial sudah menjadikan KUBE sebagai suatu pendekatan dalam rangka menangani permasalahan fakir miskin. Diperkirakan semenjak tahun 1983 hingga tahun 2003 sudah sekitar + 35.000 KUBE yang diberdayakan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air , hanya saja keberhasilannya kurang membanggakan (Balatbangsos, 1998 dan 1999). Banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi dan keberhasilan KUBE. Selama masa kurun waktu 1983 hingga tahun 1997 proses pemberdayaan yang dilakukan terhadap fakir miskin kurang mencerminkan kebutuhan kelompok sasaran. Beberapa kelemahan yang dapat diidentifikasi, antara lain: (a) Jumlah kelompok diwajibkan harus 10 KK dan tidak boleh kurang dan tidak bole h lebih. Ini sangat terkait dengan perta nggung jawaban administrasi yang harus diselesaikan. (b) Modal yang diberikan harus dalam bentuk barang karena harus dilakukan melalui pengadaan pihak ketiga dan besar bantuan sudah given . (c) Jenis bantuan kurang mencerminkan kebutuhan kelompok sasaran, et tapi lebih pada pertanggung jawaban administrasi yang sudah dianggarkan. (d) Memberikan tekanan yang lebih besar pada proses pendampingan, sementara pelatihan kepada anggota KUBE sangat terbatas, (e) Diterapkannya otonomi daerah, sementara apresiasi sebagian pemerintah daerah terhadap hal-hal yang sifatnya non-PAD kurang mendapat perhatian - karena dianggap sebagai sektor yang konsumtifsehingga perhatian terhadap KUBE menjadi sangat terbatas. Karena faktor-faktor ini banyak terjadi kegagalan terhadap KUBE dan tidak sedikit yang gulung tikar.
173
Untuk me lihat gambaran bagaimana tingkat keberhasilan KUBE baik aspek sosial maupun aspek ekonomi disajikan berikut ini. Kriteria jawaban responden dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: tidak berkembang, kurang berhasil, sedang dan sangat berhasil. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 95,1 persen keberhasilan KUBE berada pada kategori kurang berhasil, dan hanya 4,9 persen keberhasilan KUBE berada dalam kategori cukup. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa KUBE belum dapat dikategorik berhasil. Bila ditelusuri lebih mendalam faktor penyebab ketidakberhasilan ini lebih banyak dikarenakan faktor aspek ekonomi belum berjalan sesuai dengan yang diharapakan (akan bahas lebih lanjut). Sedangkan faktor aspek sosial relatif lebih baik sekalipun hanya pada tingkat keberhasilan kategori cukup. Nampaknya, proses pemberdayaan dalam bidang aspek ekonomi masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Untuk melihat gambaran perbandingan keberhasilan masing-masing aspek (KUBE, Sosial dan Ekonomi) disajikan pada Gambar 28. Selanjutnya, untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilan masing-masing aspek sosial dan aspek ekonomi dipaparkan berikut ini.
95,1
95,1
91,8
KUBE Sosial Ekonomi
4,9
0
3,3
Tidak berhasil
Kurang berhasil
0
4,9
0
Sedang
4,9
Sangat berhasil
Gambar 28: Tingkat Keberhasilan KUBE Pengelompokan aspek sosial dan aspek ekonomi dalam anlisis ini tidak bertujuan untuk mendikotomikan antara aspek sosial dan aspek ekonomi. Namun, hanya bertujuan untuk mempertajam analissis bagaimana tingkat keberhasilan dari masing-masing kedua aspek tersebut. Kedua aspek ini dipandang sebagai satu
174
kesatuan yang mempunyai hubungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, seperti dua sisi mata uang yang menyatu. Aspek sosial tidak akan dapat berlajalan dengan baik bila tidak didukung dengan aspek ekonomi yang kuat, seperti usaha yang berkembang, pendapatan yang meningkat, tabungan, dan lainlain. Sebaliknya, aspek ekonomi tidak akan berarti apa-apa bila tidak didukung dengan kegiatan-kegiatan sosial yang baik, seperti kerjasama di antara mereka, keperdulian, rasa tolong-menolong, keperdulian, tingkat pendidikan anak dalam keluarga yang semakin meningkat dan lain-lain. Karena itu,
pengembangan
kedua aspek ini perlu disejajarkan, tidak menempatkan salah satu menjadi yang terpenting. Pemisahan kedua aspek ini akan menjadikan pemberdayaan KUBE menjadi tidak optimal. Bagaimana eksistensi dan keberhasilan aspek sosial dan aspek ekonomi dijasikan pada analisis berikut ini. Keberhasilan Aspek Sosial Pengukuran aspek sosial ini berkaitan dengan pengembangan sikap dan perilaku yang berkaitan dengan pendekatan Bloom terhadap tiga aspek perilaku manusia yang meliputi: ranah afektif, ranah kognitif dan ranah psikomotorik. Didasarkan pada pendekatan ini, aspek sosial yang diukur pada KUBE juga berkaitan langsung dengan tiga ranah dimaksud. Adapun indikator-indikator yang diukur dalam aspek sosial meliputi: bagaimana kerjasama yang terjadi di antara sesama anggota, bagaimana kesediaan anggota dalam memberikan pertolongan, bagaimana kemampuan dalam mengatasi masalah, bagaimana tingkat partisipasi anggota, bagaimana keberanian mengahadapi risiko, bagaimana kemampuan dalam perencanaan usaha, bagaimana pemanfaatan sumber yang dilakukan, dan bagaimana inovasi usaha yang sudah dikembangkan. Dalam pengukuran ini tidaklah mudah mengklasifikasikan semua indikator yang disebutkan dalam penggolongan Bloom. Karena itu, dalam pembahasan ini penggolongan indikator tidak dilakukan secara individual tetapi pembahasannya dilakukan secara global. Dari hasil yang diperoleh, sebanyak 3,3 persen berada dalam kategori kurang berhasil, dan 91,8 persen keberhasilan aspek sosial KUBE berada dalam kategori sedang dan hanya 4,9 % persen berada dalam kategori sangat berhasil. Dilihat dari data ini dapat dikatakan bahwa keberhasilan aspek sosial KUBE masih perlu
175
ditingkatkan. Diperlukan usaha-usaha kerja keras untuk le bih meningkatkan keberhasilan aspek sosial. Pencapaian keberhasilan aspek sosial merupakan hal yang penting dalam proses kehidupan KUBE karena KUBE merupakan usaha kerja sama dari sekelompok orang yang di dalamnya bagaimana mereka harus saling tolong menolong, saling perduli satu sama lain, dan saling bantu membantu dalam berbagai kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Usaha kerja sama ini bukanlah hanya mengejar target pencapaian keberhasilan aspek ekonomi tetapi kesetaraan dengan keberhasilan aspek-aspek sosial. Tabel 26: Tingkat Keberhasilan Aspek Sosial KUBE menurut Provinsi Propinsi Jawa Timur
Kategori(%) Sangat Rendah 0 (0.0)
Kurang
Sedang
Tinggi
Total
8 (36.4)
14 (63.6)
0 (0.0)
22 (100)
Kalimantan Timur
0 (0.0)
15 (57.7)
11 (42.3)
0 (0.0)
26 (100)
Sumatera Utara
0 (0.0)
6 (46.2)
7 (53 .8)
0 (0.0)
13 (100)
Jumlah
0 (0.0)
29 (47.5)
32 (52.5)
0 (0.0)
61 (100)
Ket: (
) = persen wilayah
Secara umum gambaran keberhasilan aspek sosial sudah dipaparkan di atas, selanjutnya bagaiamana gambaran keberhasilan aspek sosial menurut wilayah provinsi. Pengkajian ini merupakan hal yang penting untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilan KUBE di masing-masing wilayah karena akan dijadikan sebagai bahan acuan dalam pengembangan KUBE di masing-masing wilayah. Hasil menunjukkan bahwa KUBE yang ada di Provinsi Jawa Timur merupakan KUBE yang paling berhasil dibandingkan dua wilayah provinsi lainnya, kemudian diikuti dengan Sumatera Utara dan Kalimantan Timur. Kondisi ini dapat terjadi karena tingkat homogenitas masyarakat sangat tinggi (yang pada umumnya adalah masyarakat Jawa) bila dibandingkan dengan dua provinsi lainnya yang lebih heterogen dan juga budaya kehidupan masyarakat sehari-hari lebih senang hidup bersama. Kalimantan Timur banyak dipengaruhi ole h migrasi penduduk yang datang dan ke luar daerah tersebut sehingga lebih heterogen. Sejauh mana keberhasilan KUBE di masing-masing wilayah disajikan dalam Tabel 26.
176
Keberhasilan Aspek Ekonomi Aspek ekonomi sebenarnya merupakan mean atau alat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi anggota KUBE. Tidak berarti bahwa aspek ekonomi menjadi hal yang nomor dua dalam kehidupan KUBE. KUBE tanpa aspek ekonomi tidak berarti apa-apa, demikian juga KUBE tanpa aspek sosial juga tidak berarti apa-apa, keduanya memiliki fungsi yang sangat berarti dalam kehidupan anggota KUBE tersebut. Aspek sosial dan ekonomi harus dilihat dalam arti kesejajaran yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya. Ada beberapa indikator yang digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek ekonomi, yaitu: bagaimana perkembangan modal usaha KUBE, bagaimana pengguliran yang sudah dilakukan, seberapa besar tingkat pendapatan anggota dan hasil usaha yang dikembangkan oleh KUBE, bagaimana ketersediaan tabungan keluarga, bagaimana perkembangan jenis usaha, bagaimana pengelolaan hasil keuntungan yang dilakukan, bagaimana pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) KUBE. Tabel 27: Tingkat Keberhasilan Aspek Ekonomi KUBE menurut Provinsi Propinsi
Kategori (%)
Jawa Timur
Sangat Rendah 18 (81.8)
Kalimantan Timur Sumatera Utara Jumlah
Kurang
Sedang
Tinggi
Total
4 (18.2)
0 (0.0)
0 (0.0)
22 (100)
24 (92.3)
2 (7.7)
0 (0.0)
0 (0.0)
26 (100)
9 (69.2)
4 (30.8)
0 (0.0)
0 (0.0)
13 (100)
51 (83.6)
10 (16.4)
0 (0.0)
0 (0.0)
61 (100)
Ket: ( ) persen wilayah
Data menunjukkan bahwa 95,1 persen keberhasilan aspek ekonomi KUBE berada dalam kategori tidak berkembang, dan hanya 4,9 persen yang berada dalam kategori kurang berhasil, sedangkan pada kategori sedang dan sangat berhasil sama sekali tidak ada. Dari kumulatif jawaban anggota KUBE dapat dikatakan bahwa aspek ekonomi KUBE belum berhasil. Tetapi bila dianalisis lebih jauh, rendahnya tingkat keberhasilan aspek ekonomi diakibatkan bahwa beberapa peubah seperti aspek pengguliran usaha, tabungan perkembangan jenis
177
usaha, pengelolaan IKS belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Tetapi peubah seperti perkembangan usaha dan pendapatan terlihat perkembangan keberhasilan yang sangat berarti terhadap kehidupan KUBE dan anggota KUBE tersebut (Gambar 24). Keberhasilan aspek ekonomi yang sudah dipaparkan di atas masih jauh dari yang diharapkan. Selanjutnya akan dipaparkan bagaimana tingkat pencapaian keberhasilan
aspek
ekonomi
KUBE
di
masing-masing
provinsi.
Data
menunjukkan KUBE yang ada di Provinsi Suamatera Utara sedikit lebih berhasil dibandingkan dengan dua provinsi lainnya, kemudian diikuti oleh KUBE yang ada di Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Perbedaan ini
tidak dapat dilihat
sebagai keberhasilan karena semua KUBE di ketiga wilayah berada pada kategori sangat rendah dan kurang (Tabel 27).
Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kehidupan KUBE Berbagai faktor yang diduga sebagai faktor -faktor penentu keberhasilan dinamika kehidupan KUBE, adalah: karakteristik individu anggota KUBE, pola pemberdayaan yang diberikan kepada KUBE, dan aspek lingkungan sosial. Hubungan di antara peubah-peubah ini mempnyai pengaruh langsung terhadap dinamika kehidupan KUBE tersebut. Karena itu dilakukan pengujian terhadap pengaruh langsung dari ketiga peubah terhadap dinamika kehidupan KUBE tersebut. Selain itu peubah ini ada yang pengaruhnya besar dan ada yang pengaruhnya kecil. Peubah ini berada dalam keadaan kontimum. Untuk melihat sejauhmana hubungan di antara peubah ini dilakukan pengujian lebih lanjut.
Hipotes is 1 : Karaktersitik individu anggota KUBE (X1) berpengaruh nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y 1) Sebelum dilakukan pengujian analisis lintasan pengaruh sub peubah karakteristik individu anggota KUBE (X1) terhadap peubah dinamika kehid upan KUBE (Y 1), terlebih dahulu dilakukan pengujian hubungan antara sub peubah untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara masing-masing peubah.
178
Didasarkan pada pengujian statistik rank Spearman pada TS 0,05 untuk dua sisi terlihat adanya hubunga n yang nyata di antara sub berikut terhadap dinamika kehidupan kelompok yaitu: varibael pendidikan formal, pelatihan yang diikuti, modal awal yang dimiliki, pola penghasilan, sumber penghasilan utama, kebutuhan / harapan, persepsi tentang kehidupan berkelompok dan motivasi anggota menjalankan KUBE. Sedangkan peubah jenis kelamin dan umur tidak terlihat hubungan yang berarti dengan dinamika kehidupan KUBE. Untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara peubah disajikan dalam Tabel 28. Jumlah laki-laki dan perempuan yang menjadi responden dalam penelitian hampir seimbang. Dalam pengujian tidak terlihat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan peubah dinamika kehidupan kelompok. Antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu jauh berbeda dalam pemikiran, apalagi pendidikan mereka hanya sebatas SLTA. Mungkin yang lebih bisa dibedakan adalah aspek kekuatan fisik, tetapi aspek-aspek tersebut kurang berpengaruh dalam kegiatan KUBE, karena itu dalam konsep pemberdayaan KUBE perempuan dan laki-laki sama.
Umur adalah usia anggota KUBE mulai dari lahir hingga penelitian dilakukan. Bila dilihat dari komposisi umur anggota KUBE (Gambar 12) pada umumnya berusia antara 21 hingga 50 tahun. Bila dikaitkan dengan kegiatan KUBE, jenjang usia seperti ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kegiatan KUBE. Kegiatan mereka sangat tradisional tidak menuntut pemikiran atau kedewasaan atau kematangan berpikir, yang lebih dituntut adalah kemampuan fisik. Pengalaman yang ada selama ini sudah cukup. Karena itu, tidak terlihat suatu hubungan yang nyata antara peubah umur dengan komponen karakteristik KUBE dan dinamika kehidupan kelompok. Hubungan tersebut terlihat dalam hubungan negatif. Implikasi hasil penelitian ini, tidak perlu memberikan tekanan yang berlebihan dalam KUBE yang berkaitan dengan umur dalam batas 16 tahun hingga 78 tahun. Pendidikan formal yang dimaksudkan di sini adalah jenjang pendidikan
terakhir yang ditamatkan hingga memperoleh ijazah tanda tamat belajar atau sertifikat yang disamakan dengan itu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
179
pendidikan anggota KUBE mempunyai hubungan yang nyata dengan dinamika kehidupan KUBE. Bila dilihat dari komposisi pendidikan
anggota KUBE
(Gambar 13) sebagian besar mereka hanya berpendidikan SD dan SLTA, bahkan ada yang sama seka li tidak tamat SD. Sedangkan pendidikan SMP hanya sedikit sekali tidak sebanding dengan SD maupun SLTA. Perbedaan jenjang kelompok pendidikan ini mungkin turut mempengaruhi hubungan diantara peubah tersebut. Selain itu, bila ditelusuri lebih jauh anggota KUBE yang berpendidikan SLTA pada umumnya adalah mereka yang berusia muda, yang semangat dan idealismenya masih tinggi. Mereka lebih berorientasi ke masa depan. Demikian halnya dengan pelatihan juga mempunyai hubungan yang nyata dengan karakteristik KUBE, aspek internal dan dinamika kehidupan KUBE. Data menunjukkan bahwa 81,2 persen anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan, bahkan ada di antara anggota yang sudah mengikuti pelatihan sampai tiga kali. Hanya saja pelatihan yang diikuti oleh anggota KUBE
ada yang
berkaitan langsung dan ada yang kurang berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan. Belum pernah ada anggota KUBE yang mengikuti pelatihan yang berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan. Keikutsertaan mereka dalam mengikuti pelatihan karena adanya kesempatan di luar KUBE. Bagaimanapun keikutsertaan mereka dalam diklat ini akan turut mempengaruhi cara berpikir dan wawasan mereka didukung dengan pengalaman-pengalaman yang sudah ada selama ini. Didasarkan pada uraian di atas, aspek pendidikan dan pelatihan patut dipertimbangkan dalam pengembangan KUBE mulai dari proses pembentukan KUBE hingga pengembangan lebih lanjut. Mungkin tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa modal menjadi salah satu faktor terpenting dalam pengembangan usaha. Demikian juga halnya dalam KUBE, bila tidak ada modal sulit untuk mengembangkan jenis usaha ekonomis produktif yang sedang digeluti. Modal yang dimilki oleh KUBE (Tabel 22) cukup berarti bagi KUBE sekalipun masih relatif kecil. Karena modal awal dan bantuan yang diterima oleh KUBE menjadikan pengembangan modal KUBE menjadi sangat berarti. Terjadi peningkatkan yang sangat nyata (Gambar 21). Hal lain juga dapat dilihat dari tingkat pendapatan
anggota terjadi peningkatan yang
berarti. Berbagai faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas KUBE
180
yang cukup berarti. Sebagai implikasi dari pengujian ini, maka penambahan modal KUBE dalam rangka peningkatkan dinamika kehidupan KUBE menjadi faktor yang menentukan dan perlu dilakukan Dilihat dari pola penghasilan, sifat kegiatan usaha yang dikembangkan KUBE dan dalam kaitannya dengan permasalahan fakir miskin, jenis usaha ekonomis produktif KUBE dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu: (a) KUBE Harian, (b) KUBE Bulanan, (d) KUBE Tahunan (Tabel 18). Dari penelitian yang dilakukan 59,02 persen termasuk kategori sifat penghasilan harianmingguan, 18,03 kategori sifat penghasilan bulanan-triwulan dan 22,95 persen sifat penghasilan semesteran-tahunan. Jenis usaha yang bersifat penghasilan haria n-mingguan sangat relevan dengan permasalahan fakir miskin yang berkaitan dengan bagaimana pemenuhan hidup hari ini dan bukan bagaimana hari esok. Sebagai dampaknya KUBE menjadi lebih dinamis, di mana persoalanpersoalan ekonomi keluarga dapat lebih teratasi. Kebutuhan dan harapan seseorang sangat mempengaruhi terhadap perilaku yang ditampilkan. Menurut Steer (1996) kebutuhan dapat menjadi motivasi penguat
untuk
berperilaku
bagi
seseorang
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhannya. Tuntutan akan pemenuhan kebutuhan dan harapan keluarga dapat menjadi pendorong yang memaksa anggota KUBE untuk tetap menjalankan program -progam KUBE dan tetap menjadi anggota KUBE. Selain itu, hasil yang sudah dicapai melalui KUBE selama ini dapat menjadi penguat terhadap eksistensinya dalam KUBE. Pada sisi lain sulitnya mencari lapangan pekerjaan di luar KUBE karena keterbatasan kemampuan dan keterampilan juga menjadi faktor yang mempengaruhi eksistensi mereka tetap dalam KUBE. Tuntutan kebutuhan dan harapan yang harus dipenuhi, mendorong mereka untuk tetap mengembangkan dan mempertahankan KUBE. Persepsi berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang makna dari suatu obyek. Persepsi seseorang sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan seseoang, seperti tingkat pendidikan, pengalaman, wawasan, dan lain-lain. Persepsi seseorang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak. Jadi, semakin tinggi pemahaman anggota KUBE terhadap eksistensi KUBE akan semakin mendorong anggota KUBE untuk terlibat dalam pengembangan KUBE. Berbagai
181
upaya aka n dilakukan dalam mempertahankan KUBE tersebut. Keterbatasn kemampuan dan wawasan mereka dalam mempersepsi dan menga nalisis eksistensi KUBE membuat mereka menjadi bernilai positif terhadap KUBE, sehingga semakin mendekatkan mereka dengan kehidupan KUBE. Dari hasil pengujian yang dilakukan terlihat hubungan antara persepsi anggota KUBE dengan dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha.
Tabel 28 : Koefisien Korelasi antara Karaktersitik Indivdu Anggota KUBE (X1) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) Peubah
Koefisien Korelasi (Y1) r
p (2-tailed)
Jenis Kelamain (X1.1)*
43,214
,630
Umur (X1.2)*
54,464
,207
Pendidikan Formal (X1.3)
,542(**)
,000
Pelatihan yang diikuti (X1.4)
,567(**)
,000
Modal awal yang dimiliki (X1.5)
,545(**)
,000
Pola Penghasilan (X1.6)
,396(**)
,002
Sumber Penghasilan Utama (X1.7)
,380(**)
,002
Kebutuhan / Harapan (X1.8)
,563(**)
,000
Persepsi tentang hidup berkelompok (X1.9)
,459(**)
,000
Motivasi anggota (X1.10)
,416(**)
,000
Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1)
,343( **)
,006
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *Correlation is significant at the 0.05 level (2- tailed)
Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas ; * dilakukan melalui pengujian Chi Square. Hampir sama dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan di atas, motivasi seseorang juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Winkel (1991) mengatakan bahwa motivasi sangat mempengaruhi perilaku seseorang bahkan lebih lanjut dikatakan bahwa motivasi seseorang sangat menentukan efektivitas suatu tindakan dan perilaku seseorang. Motivasi seseorang dapat meningkatkan komitmen dalam penyelesaian tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Terlihat hubungan yang nyata antara motivasi yang dimiliki oleh anggota KUBE dengan
182
dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan KUBE. Unsur motivasi menjadi aspek yang penting dalam pengembangan KUBE. Berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan motivasi anggota KUBE seperti: menghidupkan kembali pelayanan pendamping yang sudah berjalan selama ini, mengadakan pelatihan-pelatihan praktis, penambahan sarana dan prasarana kerja, penambahan modal dan lain-lain. Dari hasil pengujian di atas terlihat bahwa pada umumnya peubah karateristik individu anggota KUBE (kecuali sub peubah jenis kelamin dan umur anggota KUBE) mempunyai hubungan yang nyata dengan peubah dinamika kehidupan kelompok, di mana nilai p yang dihasilkan hampir mendekati nilai 0, bahkan untuk sub peubah terlihat hubungan yang nyata pada pengujian TS 0,01. Tetapi untuk sub peubah jenis kelamin dan umur tidak terlihat hubungan yang berarti. Artinya bahwa sub peubah jenis kelamin dan umur dapat diabaikan dalam proses pemberdayaan KUBE tersebut (Lampiran 2a).
R2 =0,710
(X1 ) Karakteristik Ind Anggota KUBE
(Y 1) Dinamika Kehidupan KUBE
Peubah Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1-Y1): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pendidikan formal (0,16) Modal awal yang dimiliki (0,14) Pelatihan yang diikuti (0,13) Kebut uhan / harapan (0,12) Motivasi anggota (0,12) Sumber Penghasilan Utama (0,11) Persepsi ttg kehidupan berklp (0,10) Pola penghasilan (0,09)
Gambar 29: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karaktiristik Individu Anggota KUBE (X1 ) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1)
183
Untuk melihat lebih jauh seberapa besarnya koefisien betha dari masingmasing sub peubah terhadap dinamika kehidupan KUBE, dilakukan analisis lintasan pada TS 0,05. Dari hasil pengujian yang dilakukan diperoleh nilai p = 0,000, dengan R 2 = 0.710. Pada pengujian ini beberapa sub peubah harus dikeluarkan karena kurang nyata dan mendukung terhadap persamaan, yaitu sub peubah jenis kelamin dan umur. Dengan nilai R2 = 0.71 berarti sub prediktor peubah X1 mampu menjelaskan peubah Y 1 sebesar + 71 persen, sedangkan sisanya 29 persen dijelaskan oleh peubah lain diluar X1 (Lampiran 3f). Hasil pengujian menunjukkan beberapa sub peubah karakteristik anggota KUBE yang dapat dipertahankan dan mendukung terhadap persamaan adalah pendidikan formal, modal awal yang dimiliki, pelatihan yang diikuti, motivasi anggota, pola penghasilan, sumber penghasilan utama, kebutuhan / harapan, persepsi tentang kehidupan berkelompok. Dua sub variabel lainnya (jenis kelamin dan umur) dikeluarkan dari persamaan karena kurang mendukung terhadap persamaan. Secara skematis pengujian peubah dimaksud digambarkan seperti Gambar 29. Bila dilihat hasil pengujian Gambar 298, terlihat distribusi nilai yang cukup berarti. Nilai yang ada tidak semata-mata hanya dilihat dalam arti kuantitatif, tetapi lebih dari itu. Ini tidak berarti bahwa peubah yang mempunyai nilai lebih besar lebih
berarti dibandingkan yang lainnya. Nilai hanya
menggambarkan kontribusi yang mungkin diberikan, semua peubah ini harus dilihat secara utuh, tidak dilihat secara individual dan semua peubah perlu mendapat perhatian dalam proses pemberdayaan. Peubah pendidikan formal perlu mendapat perhatian, bukan tujuan untuk menyekolahkan kembali para anggota KUBE, tetapi dalam proses pembentukan kelompok, komposisi tingkat pendidikan formal anggota patut dipertimbangkan, sehingga tidak semuanya berpendidikan SD atau sama sekali tidak sekolah. Demikian dengan modal, sebenarnya persoalan internal anggota KUBE pada umumnya adalah modal dan keterampilan yang sangat terbatas bahkan sama sekali tidak ada. Karena itu, penyediaan modal perlu diikuti dengan pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan jenis usaha yang dikembangkan. Jenis usaha yang dikembangkan perlu disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Dari
184
hasil penelitian ini terlihat bahwa penyediaan modal perlu diikuti dengan pelatihan
keterampilan,
pemberian
modal
perlu
diikuti
dengan
proses
pendampingan. Banyak orang mempertanyakan, “apakah lebih utama modal (uang dan peralatan) daripada pendampingan atau keterampilan dalam proses pemberdayaan fakir miskin?”. Dalam penelitian ini tidak diartikan demikian, tetapi pemberian modal perlu diikuti dengan pendampingan (yang sudah dimulai sejak
awal)
dan
peningkatan
keterampilan
(sesuai
jenis
usaha
yang
dikembangkan), pemberian motivasi, penumbuhan komitmen dan penyamaan persepsi akan eksistensi KUBE, pengembangan usaha perlu terus dilakukan agar KUBE menjadi sumber penghasilan utama. Jenis usaha yang dikembangkan perlu disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan para anggota KUBE (KUBE Harian, Bulanan dan Tahunan ). Dalam konteks ini, tidak melihat pengembangan suatu peubah menjadi hal yang terpenting dari yang lainnya. Pengembangan peubahpeubah ini tidak diartikan secara sendiri-sendiri tetapi sesuatu yang integral yang harus dikembangkan secara bersama-sama dalam proses pemberdayaan tersebut.
Hipotes is 2 : Pola Pemberdayaan (X2) berpengaruh nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y 1) Sebelum dilakukan pengujian analisis lintasan pengaruh lebih jauh dari sub peubah pola pemberdayaan (X 2) terhadap peubah dinamika kelompok (Y1), akan dilakukan pengujian hubungan antara sub peubah pola pemberdayaan dengan dinamika kehidupan KUBE untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara masing-masing. Didasarkan pada pengujian rank Spearman pada TS 0,05 untuk dua sisi terlihat adanya hubungan yang nyata di antara sub peubah pola pemberdayaan terhadap dinamika kehidupan kelompok yaitu: proses pembentukan KUBE, pendekatan / metode yang dilakukan, jumlah anggota KUBE, bantuan yang diterima, pendampingan, kebebasan yang diberikan, perlindungan / proteksi (Tabel 29). Terkait dengan proses pembentukan KUBE, hasil penelitian tidak hanya ditujukan pada KUBE yang akan dibentuk, tetapi juga terhadap KUBE yang sudah
terbentuk
yang
memerlukan
pembenahan
dan
pengembangan-
185
pengembangan lebih lanjut. Namun dalam penelitian ini, proses pembentukan KUBE menjadi suatu proses yang sangat mempunyai arti dalam perjalanan KUBE tersebut. Bila proses pembentukan KUBE kurang demokratis biasanya sangat berdampak pada perkembangan kehidupan KUBE selanjutnya Karena itu, dalam proses pembentukan KUBE berbagai hal perlu dipertimbangkan, seperti latar belakang kehidupan anggota, keterampilan, suku, tempat tinggal, dan lain -lain perlu disesuaikan dengan keinginan anggota. Anggota kelompok lebih memilih kesamaan di antara berbagai variabel tersebut. Namun kenyataan seperti ini sulit ditemukan
di
lapangan
sekaligus.
Karena
adanya
administrasi pemberdayaan bagi masyarakat
pertanggungjawaban
miskin yang akan segera
direalisasikan, sehingga pembentukan KUBE tidak lagi mempertimbangkan asalusul kesamaan latar belakang tetapi lebih pada pertimbangan jumlah kelompok. Sehingga terbentuklah KUBE dengan latar belakang yang beragam. Untuk mengantisipasi perbedaan latar belakang ini, pada awalnya jenis usaha dikembangkan hanya satu, setelah dalam perjalanan KUBE usaha dikembangkan sesuai dengan keterampilan dan pengalaman yang dimiliki oleh anggota KUBE, namun pembinaan anggota KUBE tetap dalam kelompok. Pengembangan jenis usaha sangat banyak diwarnai oleh keterampilan dan pengalaman (skill ability) yang dimiliki anggota KUBE, tetapi bukan karena modal yang cukup atau dalam rangka pengembangan usaha. Ada
beberapa
pendekatan
atau
metode
yang
diterapkan
dalam
pemberdayaan fakir miskin (Tabel 20). Reaksi anggota terhadap metode tersebut pada umumnya sangat positif, khususnya terhadap metode yang bersifat demokratis, dan gabungan di antara pendekatan kelompok dan individu. Terlihat hubungan yang nyata antara peubah pendekatan yang diterapkan dengan peubah dinamika kehidupan kelompok. Dalam pendekatan yang dilakukan baik dalam proses sosialisasi, pemberian bantuan, pendampingan dan pembinaan-pembinaan selalu diupayakan melalui demokratisasi atau lebih dikenal dengan pendekatan musyawarah. Terlihat hubungan antara jumlah anggota kelompok dengan tingkat kedinamisan KUBE. Namun, melalui pengujian analisis jalur peubah jumlah anggota kelompok dikeluarkan dari persamaan karena kurang memberikan
186
kontribusi yang berarti. Bila dilihat dari komposisi anggota KUBE cukup bervariasi mulai dari 5 orang hingga 100 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas besarnya jumlah anggota suatu KUBE sangat tergantung pada jenis usaha yang dikembangkan. Bila jenis usaha yang dikembangkan bergerak dalam usaha simpan pinjam misalnya memerlukan jumlah anggota di atas 30 orang, karena dalam proses seperti ini ada akumulasi modal yang cukup berarti. Bila jenis usaha bergerak dala m bidang dagang (jualan) membutuhkan anggota antara 7 hingga 15 orang. Namun perlu dipahami, bahwa jumlah anggota yang sedikit atau banyak bukanlah suatu faktor jaminan keberhasilan KUBE, namun yang lebih penting adalah bagaimana kemauan dan komitmen dari anggota untuk terlibat dalam kegiatan yang dilakukan. Komitmen dan kemauan bukanlah sesuatu yang dibawa lahir tetapi sesuatu yang dapat dipelajari dan ditingkatkan. Sekalipun kemampuan seseorang terbatas atau pendidikannya rendah, bila ada kemauan dan komitmen pada orang tersebut, faktor -faktor lainnya dapat diatasi. Semua itu adalah proses belajar. Bila kemauan dan komitmen didukung oleh tingkat pendidikan dan pelatihan yang memadai akan lebih sempurna. Terlihat dari hasil bahwa persentase kehadiran anggota KUBE berada dalam kategori sangat baik sementara tingkat pendidikan mereka relatif rendah. Dilihat dari data ini, mereka lebih mengedepankan kemauan dan komitmen dalam menjalanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam pengujian ini terlihat ada hubungan antara tingkat kehadiran dengan dinamika KUBE. Bantuan yang diberikan kepada KUBE sangat dirasakan manfaatnya oleh KUBE. Ada sebagian KUBE yang tidak memiliki modal awal, mereka hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah. Tetapi dengan bant uan yang diberikan KUBE dapat lebih eksis. Namum konsep bantuan yang dimaksud dalam hal ini adalah kesesuaian bantuan dengan kebutuhan KUBE yang diharapkan, baik dari segi jumlah maupun jenis. Bantuan yang diberikan sebagian besar cukup sesuai, namun masih ada yang mengatakan kurang sesuai dan ada juga yang mengatakan sangat sesuai. Perlu dipahami bahwa konsep bantuan yang diberikan sasarannya hanya bersifat stimulan, atau bersifat merangsang atau mendorong modal yang sudah dimiliki KUBE atau anggota KUBE, sehingga KUBE dapat menjadi lebih dinamis atau lebih cepat berkembang. Tetapi bila dikaji lebih jauh, konsep
187
stimulan yang ditujukan kepada KUBE kelompok fakir miskin sebenarnya kurang tepat sasaran, karena kenyataannya kelompok fakir miskin adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki. Kelompok ini merupakan kelompok masyarakat yang
serba tidak memiliki atau serba keterbatasan, sehingga konsep bantuan
stimulan kurang tepat ditujukan pada kelompok ini. Konsep ini sangat tepat bila ditujukan pada mereka yang dikategorikan sebagai kelompok non fakir miskin atau kelas mene ngah ke atas. Eksistensi pendamping dalam KUBE sangat diperlukan. Terkait dengan latar belakang kemampuan anggota KUBE yang sangat terbatas dan juga dalam rangka pengembangan KUBE di masa-masa mendatang, eksistensi seorang pendamping sangat diperlukan. Ada hubungan yang nyata antara pelayanan pendampingan dengan dinamika kehidupan KUBE. Ada minimal tiga peranan yang harus ditampilkan oleh pendamping dalam proses pendampingan (Gambar 18). Dalam kaitan proses pendampingan, pendamping harus dapat berperan sebagai fasilitator dan dinamisator dan sebagai katalisator. Peranan-peranan ini sudah ditampilkan sekalipun masih belum optimal, dan perlu ditingkatkan. Kebebasan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan kreativitas, tetapi perlu didukung oleh kemampuan yang cukup. Kebebasan di sini berkaitan mulai dari proses pembentukan KUBE hingga pengembangan KUBE. Hilangnya proses pendampingan selama kurun waktu masa krisis ekonomi telah mendewasakan KUBE untuk mampu bertahan, tetapi sebaliknya telah berdampak negatif terhadap sebagian besar KUBE yang kurang mampu dan bahkan sebagian KUBE ada yang sudah mati. KUBE yang diteliti merupakan KUBE yang mampu bertahan menghadapi berbagai rintangan dan tantangan yang terjadi selama ini. Dalam masa itu terlihat kebebasan KUBE karena proses pendampingan tidak ada, pengembangan KUBE sangat tergantungan hanya pada KUBE itu sendiri. Tetapi nampaknya kebebasan ini hanya berdampak terhadap hal-hal yang bersifat internal KUBE, seperti pengambilan keputusan, pemilihan pengurus, penentuan jenis usaha. Terhadap hal- hal yang sifatnya eksternal, seperti: persaingan pasar, pemanfaatan sumber daya, atau pengembangan jaringan kerjasama belum terlihat hasil yang menggembirakan hasilnya belum berarti.
188
Keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh KUBE menjadikan perlunya diberikan perlindungan. Tetapi pemberian perlindungan yang terus menerus juga merupakan suatu hal yang kurang baik dalam suatu bentuk usaha. Perlindungan yang diberikan terhadap KUBE selama ini terbukti sudah dapat meningkatkan dinamika kehidupan KUBE, termasuk juga dalam hal akumulasi modal yang dimiliki, tingkat pendapat, kemampuan dalam pemasaran. Dalam pengujian ini terlihat hubungan negatif, yang berarti bahwa bila perlindungan diberikan secara terus menerus, maka karakteristik KUBE dan dinamika kehidupan KUBE menjadi kurang berkembang dan sebaliknya. Semua ini mencerminkan dampak dari pemberian perlindungan kepada KUBE. Untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara sub peubah penelitian yang sudah dipaparkan di atas, disajikan dalam Tabel 29. Dari pengujian Tabel 29 terlihat pada umumnya sub peubah mempunyai hubungan yang nyata dengan dinamika kehidupan KUBE. Terlihat hubungan tersebut relatif tinggi, di mana nilai p hampir mendekati 0 bahkan sebagian sama dengan 0. Tetapi untuk pengujian proses pembentukan KUBE dan perlindungan / proteksi yang diberikan terlihat nilai p relatif besar. Ini menunjukkan bahwa hubungan tidak terlalu kuat. Tabel 29
: Koefisien Korelasi antara Pola Pemberdayaan (X1) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y 1) Aspek
Koefisien Korelasi (Y1) r
p (2-tailed)
Proses pembentukan KUBE (X1.1)
.292(*)
,024
Pendekatan / metode (X1.2)*
.341(**)
,007
Jumlah anggota (X1.3)
,350(**)
,005
Bantuan (uang dan peralatan) (X1.4)
,502(**)
,000
Pendampingan (X1.5)
,399(**)
,001
Kebebasan yang diberikan (X1.6)
,334(**)
,009
Perlindungan / proteksi terhadap KUBE (X1.7)
,255(*)
,047
Pola pemberdayaan (X2)
,380(**)
,002
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *Correlation is significant at the 0.05 level (2- tailed).
Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas
189
Selanjutnya akan dilakukan analisis lintasan untuk menentukan peubahpeubah mana yang mendukung dan seberapa bes ar koefisien betha dari masingmasing sub peubah terhadap persamaan yang akan dibangun. Dari pengujian yang dilakukan pada TS 0,05 diperoleh hasil nilai p = 0.000 dengan R2 = 0,721. Beberapa sub peubah yang dikeluarkan karena kurang nyata dan kurang mendukung terhadap pengujian yaitu peubah perlindungan atau proteksi yang diberikan. Persamaan ini cukup kuat di mana vaiabel pola pemberdayaan dapat memberikan kontribusi sebesar 72,1 persen terhadap dinamika kehidupan kelompok (Lampiran 2b). Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan terlihat ada sub peubah yang harus dikeluarkan yaitu sub peubah perlindungan atau proteksi karena kurang mendukung terhadap persamaam sekalipun terlihat hubungan yang nyata dalam pengujian hubungan yang disajikan pada Tabel 29. Beberapa sub peubah yang mendukung terhadap persamaan (Lampiran 3d), meliputi: proses pembentukan KUBE, pendekatan atau metode yang diterapkan, jumlah anggota dan tingkat kehadiran, bantuan yang diterima (uang dan perlatan), pendampingan dan kebebasan yang diberikan. Secara skematis pengujian peubah
dimaksud
digambarkan seperti Gambar 30.
R2=0,721
(X2 ) Pola Pemberdayaan
Y1 Dinamika kehidupan KUBE
Peubah Pola Pemberdayaan (X2-Y1 ): 1. 2. 3. 4. 5.
Bantuan (uang & peralatan) (0,24) Pendampingan (0,22) Proses pembentukan KUBE (0,15) Kebebasan yngg diberikan (0,14) Pendekatan / metode (0,13)
Gambar 30: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Pola Pemberdayaan KUBE (X2) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1)
190
Dari hasil pengujian pada Gambar 30 terlihat suatu distribusi nilai yang relatif berbeda di antara peubah yang ada. Namun demikian, nilai yang ada tidak hanya dilihat semata -mata dari anrti kuantitatif, tetapi lebih pada makna eksistensi dari peubah tersebut dalam konteks proses pemberdayaan. Hasil menunjukkan bahwa nilai peubah bantuan (uang dan peralatan) lebih besar dibandingkan dengan peubah yang lainnya. Tetapi, ini tidak berarti bahwa peubah bantuan lebih penting dari peubah pendampingan atau peubah lainnya, tetapi lebih menekankan pada eksistensi dari peubah dalam proses pemberdayaan KUBE. Komposisi nilai ini hanya menggambarkan bahwa semua peubah-peubah ini memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap proses pemberdayaan KUBE. Peubah yang memberikan kontribusi terbatas seperti: perlindungan atau proteksi sudah dikeluarkan dari komponen karena memberikan kontribusi yang terbatas. Bantuan sosial tidak berarti apa-apa bila tidak didukung dengan proses pendampingan yang intensif, proses pembentukan KUBE yang demokratis, pemberian otonomi dalam pengelolaan KUBE dan pendekatan pendampingan yang tepat, dan sebaliknya. Tidak ada peubah yang lebih penting tetapi, semua peubah menjadi bagian yang integral dari pola pemberdayaan KUBE. Semua peubah ini tidak berarti apa -apa bila penerapannya dilakukan secara individual dan proses pemberdayaan akan menjadi sia -sia. Karena itu, agar KUBE dapat lebih berhasil, maka peubah-peubah ini perlu mendapat perhatian yang integratif.
Hipotes is 3 : Lingkungan Sosial (X3) berpengaruh nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y2) Secara garis besar ada dua aspek yang mempengaruhi kehidupan kelompok, yaitu aspek yang bersifat internal dan aspek yang bersifat eksternal.
Menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamaluddin (2002) terhadap 5 kelompok masyarakat di Kabupaten Donggali Sulawesi Tengah menunjukkan masih kuatnya pengaruh internal dan eksternal terhadap kehidupan kelompok. Pengaruh internal dan eksternal tidaklah selalu sama tetapi sangat tergantung pada intensitas hubungan di antara kedua peubah terhada p kelompok. Terkait dengan hasil penelitian tersebut, di bawah ini akan dilakukan pengujian pengaruh peubah lingkungan sosial terhadap dinamika kehidupan KUBE.
191
Selain nilai, norma dan budaya yang berlaku dalam masyarakat yang harus diikuti oleh KUBE, KUBE juga memiliki nilai dan norma yang harus ditaati. Nilai dan norma dapat bersifat tertulis dan tidak tertulis. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa mereka sebagian besar tidak memiliki aturan yang tertulis, tetapi terbangun oleh aturan-aturan yang tidak tertulis yaitu kebiasan-kebiasaan yang sudah disepakati oleh semua anggota selama ini. Aturan seperti ini sangat ampuh karena dibangun atas kesepakatan bersama bukan karena paksaan, sehingga kepatuhan mereka terhadap aturan kelompok menjadi tinggi. Sanksi yang diterapkan sebagian besar berupa teguran saja. Dampaknya terhadap dinamik a kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha KUBE sangat berarti. Tidak ada suatu kelompok masyarakat yang terlepas dari nilai atau norma atau budaya yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan norma atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat dijadikan sebagai acuan dalam bertindak dan berperilaku. Demikian juga halnya dengan KUBE, nilai dan norma atau kebiasaan yang ada di lingkungan masing-masing menjadi acuan dalam pengembangan usaha yang dijalankan. Bagaimana gambaran hubungan KUBE dengan masyarkat sekitarnya, hasil pengujian yang dilakukan terlihat hubungan yang nyata antara peubah nilai, norma dan
budaya masyarakat dengan dinamika kehidupan masyarakat.
Pengujian ini sangat sinkron dengan kenyataan-kenyataan yang ditemukan di lapangan yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat. Biasanya suatu KUBE yang kurang sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat setempat, tidak akan bertahan lama dan akan bubar. Beberapa KUBE mampu bertahan hingga 20 tahun, ini menunjukkan bahwa KUBE sangat mendukung terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, dan sebaliknya KUBE sangat didukung oleh nilai, norma dan budaya yang ada. Krisis yang terjadi beberapa tahun lalu sangat mempengaruhi kehidupan KUBE kemudian diikuti dengan pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan KUBE harus mampu mandiri tanpa tergantung pada pihak lain. Selama masa sebelum krisis yang menjadi mediator atau penghubung antara KUBE dengan tokoh masyarakat adalah pendamping. Terlihat hubungan yang sangat harmonis antara KUBE dengan tokoh masyarakat yang secara fungsional juga berperan sebagai pembina di lapangan. Pada saat itu keberhasilan KUBE cukup
192
menggembirakan. Tetapi selama kurun waktu krisis berlangsung proses pendampingan sangat minim dan hampir tidak ada. Dibalik peristiwa sejarah KUBE tersebut tercermin adanya suatu proses kemandirian KUBE yang semakin dewasa karena tidak harus selalu bergantung pada pendamping atau tokoh masyarakat. Sebagai dampaknya hubungan di antara KUBE dengan masyarakat menjadi terbatas bahkan sempat terputus. Didasarkan pada kenyataan ini, maka KUBE perlu diintegrasikan dengan tokoh masyarakat setempat yang merupakan pengawas dan pembina fungsional di lapangan sehingga eksistensi KUBE semakin baik di masa yang akan datang. Dapat dikatakan bahwa akses KUBE terhadap lembaga keuangan sangat minim. Lembaga keuangan dimaksud tidak selalu bank umum, tetapi yang terkait dengan pelayanan keuangan dan dapat dijadikan sebagai sumber modal usaha dalam rangka pengembangan usaha KUBE, seperti: Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Banyak faktor yang menyebabkan pemanfaatan akses ini kurang maksimal, seperti keterbatasan informasi, pengetahuan yang terbatas terhadap liku-liku perbankan, harta milik yang tidak ada untuk dijadikan agunan, pelayanan perbankan sangat jauh (kurang terjangkau) dari lokasi KUBE, bunga terlalu tinggi, posisi marginalisasi KUBE yang selalu terpinggirkan dan lain-lain. Namun beberapa di antara KUBE sudah memanfaatkan akses perbankan dan hasilnya cukup optimal, pengembangan usaha yang dijalankan cukup bagus . Bila dilihat dari hubungan ini, maka di masa mendatang perlu mengintegrasikan KUBE dengan lembaga keuangan seperti LKM, BPR, dan lain-lain yang ada di lingkungan masyarakat setempat yang aksesnya sangat dekat dengan masyarakat KUBE. Dilihat dari eksistensi lembaga ini dalam masyarakat, lembaga seperti ini dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat menyediakan kebutuhan akan pelayanan keuangan bagi KUBE tersebut. Ada hubungan yang nyata antara peluang pasar dengan dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha. Peluang pasar merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam kegiatan usaha termasuk dalam KUBE. Bila dilihat sasaran peluang pasar KUBE memang harus diakui masih bersifat lokal atau pasar yang ada di lingkungan masyarakat sekitar. Namun karena merupakan kebutuhan masyarakat sehari-hari sehingga pemasarannya menjadi lancar. Ada kesesuaian
193
antara hasil produksi dengan kebutuhan masyarakat. Pemasaran seperti super market, mall, swalayan masih belum terjangkau, banyak faktor yang menjadi kendala, seperti: kualitas produk, modal, kemasan, ijin produksi, dll. Bila dilihat dari peluang, KUBE perlu diintegrasikan dengan pasar-pasar besar seperti yang disebutkan di atas, tetapi perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan juga bimbingan pendamping yang intensif. Suatu jaringan kerja atau sering disebut kemitraan sangat diperlukan dalam KUBE. Melalui jaringan ini berbagai hal dapat diatasi, seperti penyediaan bahan baku, proses produksi, pemasaran, pelatihan dan lain-lain. Jaringan yang dimaksud di sini tidak berarti harus jaringan dengan pengusaha besar, tetapi jaringan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak sekalipun hanya pada tingkat lingkungan atau lokal. Hasil menunjukkan bahwa jaringan kerja KUBE berada pada kategori cukup. Berbagai hasil produksi KUBE sebagian sudah ada yang dipasarkan pada tingkat global dan wilayah provinsi dan sebagian ada yang masih tingkat lokal dan lingkungan. Namun yang terpenting dari jaringan kerja ini adalah bagaimana kedua belah pihak dapat saling menguntungkan dan berjalan langgeng, tetapi bukan ditentukan oleh global, wilayah atau tingkat lokal. Terlihat hubungan yang nyata antara peubah ketersediaan sumber daya dengan peubah dinamika kehidupan kelompok. KUBE sebagai suatu bentuk usaha kelompok memerlukan sumber daya yang harus dimanfaatkan. Sumber daya dapat berupa dukungan sosial, lahan, bahan baku, dana, dan lain -lain. Agar KUBE semakin dinamis harus memiliki sumber daya yang cukup. Ketersediaan sumber daya berarti juga harus dapat dijangkau oleh KUBE secara mudah. Mungkin secara geografis tersedia dengan cukup namun sulit dijangkau. Dari data yang dihasilkan dapat dikatakan bahwa ketersediaan sumber daya masih relatif terbatas. Ancaman juga merupakan hal yang serius dalam KUBE. Namun tidak terlihat hubungan yang nyata atara sub peubah ancaman dengan dinamika kehidupan kelompok dan keberlanjutan KUBE. Ancaman yang dimaksud berkaitan dengan acaman ketersediaan bahan baku, persaingan pasar, pencurian hasil usaha dan pemutusan jaringan kerja. Ancaman tidaklah harus selalu bernuansa negatif, tetapi juga dapat bernuansa positif tergantung bagaimana
194
mensikapinya. Bagi seseorang yang berpikiran positif ancaman ini akan menjadi sumber kehati-hatian, sumber kewaspadaan bahkan menjadi suatu tantangan terhadap usaha yang dikembangkan. Bagi yang berpikiran negatif, ancaman dijadikan sebagai penghambat bagi usaha yang dikembangkan. Namun apakah anggota KUBE orang yang berpikiran postif atau negatif. Dilihat dari hasil pengujian tidak ada hubungan di antara peubah ancaman dengan dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha, berarti ancaman tidak selalu berarti negatif dalam pikiran anggota KUBE tetapi dapat berarti positif. Untuk melihat keeratan dan keterkaitan di antara peubah penelitian disajikan dalam Tabel 30.
Tabel 30 : Koefisien Korelasi antara Lingkungan Sosial (X3) dan D inamika Kehidupan KUBE (Y2) Aspek
Koefisien Korelasi (Y1) r
p (2-tailed)
Norma / nilai budaya (X3.1)
,457(**)
,000
Keterkaitan Kelompok dengan Tokoh Masyarakat (formal dan informal) (X3.2)*
,432(**)
,001
Akses terhadap lembaga keuangan (X3.3)
,253(*)
,049
Peluang pasar (X3.4)
,495(**)
,000
Jaringan kerja (X3.5)
,435(**)
,001
Ketersediaan sumber daya (X3.6)
,423(**)
,001
-, 007
,957
,294(*)
,022
Ancaman yang ada terhadap KUBE (X3.7) Lingkungan Sosial (X3) ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *Correlation is significant at the 0.05 l evel (2- tailed).
Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas
Dari hasil pengujian terlihat beberapa sub peubah sangat berhubungan nyata dengan dinamika kehidupan KUBE, tetapi sub peubah akses terhadap lembaga keuangan mempunyai hubungan yang relatif kecil dibandingkan dengan peubah yang lainnya yang ditunjukkan dengan nilai p yang relatif besar namun masih tetap berhubungan. Satu di antara sub peubah tidak berhubungan sama sekali dengan dinamika kehidupan KUBE, yaitu sub peubah ancaman yang ada (Lampiran 2c ).
195
X3 Lingkungan Sosial KUBE
R2=0,621
Y1 Dinamika Kehidupan KUBE
Peubah Lingkungan Sosial (X3-Y1): 1. 2. 3. 4. 5.
Peluang pasar (0,23) Norma / nilai Budaya (0,21). Keterkaitan KUBE dengan tokoh (formal & informal) (0,15) Jaringan kerja (0,13) Ketersediaan sumber daya (0,12)
Gambar 31: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Lingkungan Sosial KUBE (X3) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1) Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan pada TS 0,05 diperoleh nilai p = 0.001 dengan R2 = 0,621 (Lampiran 3e). Dua peubah yang dikeluarkan karena kurang nyata dan kurang mendukung terhadap persamaan yaitu akses terhadap lembaga keuangan dan ancaman yang ada. Beberapa sub peubah yang mendukung terhadap persamaan, meliputi: norma / nilai budaya, keterkaitan kelompok dengan tokoh formal dan informal, peluang pasar, jaringan kerja dan ketersediaan sumber daya. Seberapa besar koefisien betha dari masingmasing sub peubah terhadap persamaan yang ada disajikan dalam (Gambar 31). Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya, lingkungan sosial merupakan variabel yang cukup memberikan kontribusi terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Melalui pengujian yang disajikan dalam Gambar 31 terlihat beberapa peubah yang mempunyai kontribusi dalam mempengaruhi keberhasilan KUBE. Nilai dari masing-masing peubah tidak semata-mata hanya dilihat dalam arti kuantitatif, tetapi lebih dari itu yaitu bahwa peubah yang ada merupakan satu keutuhan yang utuh dalam proses pemberdayaan tersebut. T idak berarti bahwa di antara ke lima variabe l, peluang pasar lebih penting dari variabel lainnya sekalipun mempunyai nilai yang lebih tinggi. Kelima peubah ini harus dilihat secara utuh, bahwa variabel yang satu mendukung vaiabel yang lainnya. Peluang pasar misalnya tidak berarti apa-apa bila tidak didukung ketersediaan sumber,
196
sebaliknya ketersediaan sumber yang banyak kalau tidak didukung dengan peluang pasar atau nilai dan norma masyarakat tidak berarti apa. Karena itu menjadi penting untuk melihat secara utuh kelima variabel bukan melihatnya secara individual dalam kaitannya dengan nilai yang diperolehnya. Nilai yang ada lebih mempunyai makna bahwa variabel tersebut memberikan kontribusi dalam pengembangan KUBE. Dua peubah yang kurang memberikan kontribusi adalah peubah ancaman dan akses terhadap lembaga keuangan sudah dikeluarkan karena kurang memberikan kontribusi yang berarti dalam proses pemberdayaan.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan KUBE
KUBE merupakan salah satu bentuk kelompok. Keberlanjutan dari suatu kelompok sangat banyak ditentukan oleh dinamika kehidupan kelompok. Menurut Masri (1984) dinamika kelompok merupakan bentuk kekuatan kelompok yang menggerakkan kelompok. Berkaitan dengan itu ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keberlanjutan KUBE.
Hipotes is 4 : Dinamika kehidupan KUBE (Y1) berpengaruh nyata terhadap tingkat keberhasilan KUBE (Y2)
Dari hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa semua sub peubah dinamika kehidupan KUBE mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keberlanjutan KUBE. Untuk melihat seja uh mana keeratan hubungan di antara peubah disajikan pada Tabel 16. Selanjutnya akan diuraikan kondisi hubungan antara sub peubah dengan keberlanjutan KUBE dimaksud. Tujuan KUBE merupakan unsur penting dalam KUBE. Tujuan KUBE akan mengarahkan ke mana KUBE akan bergerak. Menurut Cartwright (1968) tujuan kelompok merupakan hasil yang ingin dicapai. Sangat jelas bahwa tujuan kelompok merupakan sesuatu yang diinginkan dan akan dicapai. Selain itu tujuan kelompok juga merupakan kesepakatan bersama yang diinginkan. Apakah KUBE memiliki tujuan seperti apa yang digambarkan di atas. Ada sebagian KUBE yang
197
tidak memiliki tujuan, ada sebagian yang sudah memilik i tujuan tetapi tidak dijadikan acuan dalam bekerja , dan ada sebagian yang sudah benar-benar dijadikan acuan dalam bekerja. Sejauh mana pencapaian tujuan KUBE dapat dilihat seperti Gambar 20. Bila dilihat dari proses pencapaian tujuan dan keberhasilan yang dicapai oleh KUBE, rumusan tujuan tidak menjadi unsur yang terpenting bagi anggota. Mereka lebih berorientasi pada hasil dari pada tujuan, seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari KUBE. Sangat sedikit sekali KUBE yang memiliki rumusan tujuan yang lengkap dan disosialisasikan kepada anggota. Implikasi dari kondisi ini, agar KUBE lebih terarah di masa mendatang, perwujudan dari tujuan ini menjadi salah satu tugas penda mping yang harus diwujudkan. Mungkin kalau rumusan tujuan dikemas lebih baik dan disosialisikan pada anggota maka hasilnya akan lebih optimal. Menurut Gerungan (1981) struktur kelompok merupakan
susunan
hirarkhis mengenai hubungan-hubungan di antara anggota kelompok yang terbentuk. Struktur kelompok dapat bersifat formal dan informal. Data menunjukkan bahwa sebagian KUBE sama sekali tidak ada struktur akan tetapi yang ada hanya ketua saja, sebagain ada struktur tetapi tidak dijalankan sesuai dengan perannya, sebagian sudah ada dan sudah dijalankan sebagaimana mestinya. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa mereka lebih berorientasi pada hubungan struktur informal, di mana penerapan aturan lebih bersifat fle ksibel, pembagian tugas lebih bersifat bebas, norma dan sanksi kurang tegas. Namun demikan, secara moral dalam pelaksanaan tugas mereka sangat bertanggung jawab dan sangat komitmen dengan pekerjaannya yang sudah diberikan kepadanya. Dilatarbelakangi tingkat pendidikan anggota KUBE yang terbatas, mereka kurang memahami hubungan hirarkhis dalam KUBE seperti halnya dalam kelompok pada umumnya, tetapi mereka lebih berorientasi pada penyelesaian tugas dan tanggung jawab masing-masing, tanpa harus dikomando. Suatu KUBE agar dapat hidup langgeng he ndaklah fungsi tugas dijalankan dengan baik. Menurut Soedijanto (1980) fungsi tugas adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kelompok sehingga kelompok dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. KUBE merupakan suatu kelompok yang mempunyai banyak tugas yang harus dilaksanakan dan dikoordinasikan. Data menunjukkan bahwa
198
pelaksanaan fungsi tugas KUBE sudah relatif berjalan dengan baik. Proses pelaksanaan fungsi tugas dalam KUBE sangat terkait dengan hubungan struktural informal yang terjadi dalam KUBE. Pelaksanaan fungsi tugas seperti perencanaan, penyampaian informasi, koordinasi pemecahan masalah berlangsung dalam hubungan-hubungan informal, tidak dilakukan dalam hubungan formal seperti mengadakan pertemuan yang resmi seperti kelompok biasanya. Memang bila disadari, pada tingkat pendidikan seperti anggota KUBE rasanya sulit untuk melakukan hubungan-hubungan formal karena keterbatasan kemampuan dalam pengelolaan KUBE. Hubungan informal yang sudah terbentuk sejak awal hingga akhir merupakan sarana yang paling tepat dalam pelaksanaan fungsi tugas tersebut. Mungkin bagi seorang pendamping hubungan informal ini perlu dikemas sehingga dapat lebih bermakna bagi KUBE. Agar kelompok dapat berkembang dengan baik, harus diikuti dengan pembinaan-pembinaan. Inti dari suatu pembinaan kelompok adalah bagaimana agar kelompok dapat hidup dan berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada (Miles: 1959). Terkait dengan tujuan pembinaan maka pembinaan dapat dilakukan oleh orang yang memahami tentang kehidupan KUBE. Banyak pihak yang melakukan pembinaan terhadap KUBE mulai dari pejabat pemerintah pusat hingga ke aparat desa. Pembinaan seperti ini lebih bersifat eksternal. Selain pembinaan yang bersifat eksternal ada juga pembinaan yang bersifat internal yang dilakukan oleh penguru-pengurus KUBE sendiri. Data menujukkan bahwa pembinaan yang dilakukan kepada KUBE masih relatif kurang. Hal ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi krisis yang terjadi pada masa sebelum otonomi daerah hingga sekarang ini. Sedangkan menurut hasil wawancara di lapangan pembinaan internal yang dilakukan oleh KUBE diintegrasikan dengan kegiatankegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungan masing-masing, seperti: pengajian, arisan-arisa n dan lain-lain. Pertemuan seperti ini sangat efektif dalam pembinaan anggota KUBE, berbagai hasil disampaikan dalam pertemuan, seperti: penyampaian informasi, pembahasan masalah, penyampaian laporan keuangan dan lain-lain. Sarana pertemuan ini menjadi salah satu alternatif penting dalam proses pembinaan anggota KUBE.
199
Latar belakang kehidupan yang dimiliki oleh anggota KUBE sangat mempengaruhi terhadap intensitas kekompakan anggota KUBE. Banyak kesamaan latar belakang kehidupan anggota KUBE, seperti asal daerah, tempat tinggal, suku, dan lain-lain yang menjadi pengikat kesatuan dan persatuan kelompok. Dalam proses pembentukan kelompok unsur-unsur ini memang merupakan prasyarat yang harus diikuti sebelum KUBE dibentuk. Sebagai dampaknya hubungan di antara anggota menjadi kuat. Kekompakan KUBE sangat tercermin dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mereka, seperti: keikutsertaan dalam pengajian, arisan, hajatan, tolong menolong dalam suasana dukacita, pinjam meminjam uang bilamana dalam kesulitan, dan lain-lain. Nuansa kekompakan ini terlihat secara alami bukan karena dipaksakan, sehingga hubungan informal di antara mereka sangat kuat. Selain itu, nua nsa kekompakan ini sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan mereka karena terintegrasi dengan aktivitas-aktivitas kehidupan mereka. Ketegangan kelompok merupakan salah satu ciri khas dari suatu kelompok. Menurut Slamet (2001) ketegangan kelompok dapat bersifat intenal dan bersifat eksternal. Ketegangan sangat diperlukan dalam suatu kelompok agar kelompok tersebut menjadi dinamis. Tetapi ketegangan harus diatasi sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap kelompok. Bila anggota KUBE tidak mampu mengatasinya, ketegangan kelompok dapat menjadi sumber kehancuran KUBE. Bila dilihat dari aktivitas KUBE yang dite liti dapat dikatakan aktivitas relatif stabil, tidak terlihat perubahan-perubahan yang berarti yang dapat menjadikan anggota KUBE menjadi sibuk, semuanya berjalan dengan rutinitas. Pada sisi lain, hubungan di antara mereka bersifat informal dan bebas. Berbagai faktor ini mengakibatkan ketegangan dapat dihindari secara alami. Bila dilihat dari sumber ketegangan yang bersifat eksternal atau pihak yang berkepentingan dengan KUBE relatif terbatas, kalaupun ada kepentingan mereka tidak sampai menganggu hubungan di antara mereka. Dengan kondisi kehidupan seperti ini, maka proses ketegangan relatif dapat dicegah dan bila muncul dapat diatasi. Dalam kehidupan berkelompok kepemimpinan merupakan unsur yang penting. Melalui proses kepemimpinan semua unsur-unsur yang ada dalam kelompok akan digerakkan dan diarahkan untuk mencapai tujuan yang sudah
200
ditentukan. Kepemimpinan sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan Bagaimana kepemimpinan yang diterapkan dalam KUBE sehingga dapat membawa KUBE berhasil atau dapat bertahan hingga saat ini. Bila dilihat dari kemampuan latar belakang pendidikan anggota sebagian besar hanya tamat SD dan SLTA, dapat dibayangkan bagaimana gaya kepemimpinan yang diterapkan sementara pelatihan yang diikuti sangat terbatas. Beberapa KUBE sudah menerapakan kepemimpinan yang cukup bagus, namum sebagian masih sangat terbatas. Dari hubungan yang terjadi di antara KUBE, kepemimpinan yang diterapkan lebih mengarah pada kepemimpinan kolektif
yang bersifat
interpersonal. Komando atau penugasan-penugasan sangat jarang dilakukan, tetapi sudah berjalan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Hal-hal yang perlu dikoordinasikan dilakukan secara informal. Anggota KUBE bekerja atas rutinitas tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Tabel 31
: Koefisien Korelasi antara Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Tingkat Keberhasilan Sosial KUBE (Y21) dan Tingkat Keberhasilan Ekonomi KUBE (Y22)
Aspek
Koefisien Korelasi Y22
Y21
Y2
Tujuan Kelompok (Y1.1) Stuktur Kelompok (Y1.2) Fungsi Tujuan Kelompok (Y1.3) Pembinaan Kelompok (Y1.4) Kekompakan Kelompok (Y1.5)
,472(**)
p (2tailed) ,000
,480(**)
,000
,357(**)
,005
,434(**)
,001
,460(**)
,000
,375(**)
,003
,426(**)
,001
,702(**)
,000
,535(**)
,000
,703(**)
,000
,516(**)
,000
,488(**)
,000
,448(**)
,000
Ketegangan Kelompok (Y1.6) Keefektifan Kelompok (Y1.7) Kepemimpinan Kelompok (Y1.7) Kepuasan Anggota (Y1.8) Dinamika kehidupan KUBE (Y1)
,556(**)
,000
-,151
,240
-,174
,175
,457(**)
,000
,395(**)
,002
,464(**)
,008
,535(**)
,000
,436(**)
,000
,575(**)
,000
,418(**)
,000
,527(**)
,001
,416(**)
,001
,480(**)
,000
,323(**)
,011
,556(**)
,000
r
,351(**)
p (2tailed) ,006
,534(**)
p (2tailed) ,000
r
r
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas
Kepuasan anggota merupakan unsur penting dalam kelompok. Bila anggota tidak dapat puas dari kegiatan KUBE, dia akan menarik diri. Kepuasan
201
dapat dilihat dari dua hal, yaitu: pertama: kepuasan yang bersifat materi, terlihat adanya peningkatkan pendapatan yang diperoleh dari keikutsertaannya sebagai anggota KUBE. Ini merupakan hal yang penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga. Bila pendapatan tidak ada, diyakini anggota KUBE akan bubar, mereka harus mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga. Kedua, kepuasan yang bersifat non materi, seperti: hubungan yang sudah terjalin dengan akrab di antara anggota KUBE, perhatian, kegiatan tolong menolong, pertemuanpertemuan keagamaan dan lain-lain. Semua ini menjadikan anggota tetap eksis sebagai anggota KUBE. Kondisi seperti ini bagaimana pun akan mempengaruhi terhadap
dinamika
kehidupan
KUBE
dan
akan
tetap
berupaya
untuk
mempertahankan KUBE sebagai bagian dari kehidupan mereka. Untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara peubah disajikan pada Tabel 31.
R2= 0,715
Y1 Dinamika Kehidupan KUBE
Y2 Keberhasilan KUBE
Peubah Dinamika Kehidupan KUBE (Y1-Y2): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pembinaan kelompok (0,21) Kepuasan anggota (0,15) Keefektifan kelompok (0,12) Kepemimpinan (0,11) Tujuan kelompok (0,10) Fungsi tugas kelompok (0,09) Kekompakan kelompok (0,09)
Gambar 32: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) terhadap Tingkat Keberhasilan KUBE (Y 2). Bila disimak hubungan di antara peubah terlihat bahwa hampir semua sub variabel dinamika kehidupan KUBE mempunyai hubungan yang nyata terhadap tingkat keberhasilan aspek sosial (Lampiran 2d dan 2e). Hubungan terlihat sangat nyata di mana nilai p sama dengan 0. Hal yang sama juga terlihat terhadap tingkat keberhasilan aspek ekonomi, tetapi beberapa sub peubah menunjukkan hubungan
202
yang tidak terlalu nyata seperti tujuan kelompok. Ada satu peubah yang tidak mempunyai hubungan sama sekali yaitu sub peubah ketegangan kelompok.Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan pada TS 0,05 untuk dua sisi diperoleh nilai p = 0,000, dengan R2 = 0,715. Dua sub peubah yang dikeluarkan karena kurang nyata dan kurang mendukung terhadap persamaan yaitu struktur kelompok dan ketegangan kelompok (Lampiran 3f). Untuk melihat lebih jauh seberapa besar koefisien betha masing-masing sub peubah dinamika kehidupan kelompok terhadap peubah tingkat keberhasilan KUBE disajikan dalam Gambar 32. Sama halnya dengan pengujian-pengujian lainnya, Gambar 32 juga menunjukkan besarnya kontribusi masing-masing peubah terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Namun, kembali diingatkan nilai yang diperoleh masingmasing peubah tidak hanya diartikan dalam arti kuantitatif semata-mata, tetapi lebih dari pada itu bahwa masing-masing peubah memiliki arti dan kontribusi yang sangat berarti dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin tersebut. Selain itu, masing-masing peubah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam proses pemberdayaan KUBE. Pemberdayaan yang hanya menekankan pada salah satu aspek saja akan menjadikan proses pemberdayaan menjadi tidak gagal. Pembinaan kelompok (sekalipun mempunyai nilai yang lebih besar) kalau tidak didukung variabel lainnya seperti: rumusan tujuan yang jelas, fungsi tugas yang jelas, kepemimpinan yang baik
tidak berarti apa -apa. Masing-masing peubah
harus dibangun secara bersama -sama, tidak ada peubah yang mempunyai arti yang lebih penting dari yang lainnya. Ada satu peubah yang kurang memberikan kontribusi nyata terhadap proses kedinamisan kelompok yaitu peubah ketegangan kelompok, sehingga dikeluarkan dari persamaan yang ada. Artinya sekalipun peubah ini diatasi kurang memberikan kontribusi yang berarti dalam proses pemberdayaan tersebut.
Faktor Utama Penentu Keberhasilan KUBE Salah satu tujuan yang ingin diungkapakan dalam penelitian ini adalah “Mengidentifikasi faktor utama penentu keberhasilan KUBE”. Tidak sedikit
203
KUBE yang gagal atau kurang berhasil bahkan mati sama sekali. Sudah sejak lama KUBE diterapkan sebagai salah satu pendekatan pemberdayaan terhadap kelompok masyarakat miskin, tetapi dari berbagai data dan fakta yang ada sangat banyak KUBE yang kurang berhasil. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan KUBE tersebut. Karena itu, pengungkapan tujuan ini menjadi penting, apa faktor-faktor utama penentu keberhasilan KUBE tersebut. Dalam upaya pengungkapan tujuan ini, peneliti mencoba menganalisis dan menguji berbagai hubungan di antara peubah yang sudah dituangkan dalam kerangka pemikiran (Gambar 1) yang merupakan sintesa pemikiran, teori dan kenyataan-kenyataan yang ditemukan di lapangan. Kemudian peubah yang mempunyai skor tinggi
dan arah pengaruh serta hubungan yang relatif sama
diyakin secara teoritis dan logis terkait dengan konsep dikelompokkan menjadi satu faktor . Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, ada mempengaruhi keberhasilan KUBE. Lima faktor utama
8 faktor
yang
yang mempengaruhi
keberhasilan disebut faktor eksistensi KUBE, meliputi: (a) aset (asset), (b) kemampuan
(ability),
(c)
kemasyarakatan
(community),
(d)
komitmen
(commitment), dan (e) pasar (market). Kelima faktor ini diberi nama dengan konsep pemberdayaan “ABCCM”. Tiga faktor lainnya yang mempengaruhi kedinamisan KUBE, disebut faktor
kedinamisan KUBE,
meliputi:
(a)
pendampingan (guide), (b) jaringan kerjasama (networking), dan (c) inovasi (innovation). Kenapa lima faktor pertama (ABCCM) dikatakan sebagai faktor eksistensi KUBE, karena faktor-faktor ini diyakini sebagai prasyarakat berdirinya KUBE. Bilamana KUBE harus berdiri, maka modal (assest) harus ada, kemampuan harus ada, pemahaman terhadap kemasyarakatan harus ada, komitmen harus ada, dan begitu juga dengan pasar harus ada. Salah satu di antara lima faktor ini tidak ada, diyakini KUBE tersebut akan bubar dan hilang atau mati, sehingga faktor ini diberi nama faktor eksistensi KUBE. Tiga faktor lainnya dikatakan sebagai faktor kedinamisan KUBE. Bila ketiga faktor ini ada, maka KUBE akan dinamis dan semakin dinamis. Kehadiran pendamping sangat diperlukan untuk menggerakkan aktivitas KUBE, tetapi perlu
204
dilandasi adanya komitmen dari anggota KUBE. Demikian juga halnya dengan jaringan kerja dan inovasi. Adanya jaringan kerja dan inovasi dalam KUBE akan menjadikan KUBE semakin dinamis. Karena posisi yang demikian, maka faktor ini disebut sebagai faktor kedinamisan KUBE.
Tabel 32: Hasil Pengujian Faktor Eksistensi dan Kedinamisan KUBE Aspek
Pengujian Antara
Singkatan
Hasil Pengujian
Peubah
Peubah
Korelasi Uji (p) Lintasan
Faktor Eksitensi KUBE Aset (Asset)
A
• Modal awal yang dimiliki (X 1.5 ) • Bantuan yang diterima (X 2.4) • Akses t erhadap lembaga keuangan (X 3.3 )
Y1
.000 .000 .049
0.14 0.24 0.03
Kemampuan (Ability)
B
• Pendidikan (X1.3 ) • Pelatihan (X1.4)
Y1
.000 .000
0.16 0.13
Kemasyarakatan (Community)
C
• Norma/nilai budaya masyarakat (X 3.1) • Keterkaitan dengan tokoh masyarakat
Y1
.000 .001
0.21 0.15
.001 .000
0.12 0.10
.000 .002
0.12 0.11
Y1
.000 .001
0.23 0.12
Komitmen (Commitment)
Pasar (Market)
(formal& informal) (X 3.2 )
C
• Motivasi anggota (X1.10) • Persepsi tentang kehidupan
berkelompok (X 1.9)
Y1
• Kebutuhan / harapan (X1.8 ) • Sumber penghasilan utama (X1.7)
M
• Peluang pasar (X 3.4) • Ketersediaan sumber daya (X3.6)
Faktor Kedinamisan KUBE Pendamping
• Pendamping (X2.5)
Y1
.001
0.22
Jaringan
• Jaringan (X3.5 )
Y1
.001
0.13
Inovasi
• Inovasi (X 21.8)
Y2
.000
0.17
Ket: Y 1 = Dinamika Kehidupan Kelompok; Y2 = Keberhasilan Kelompok; p = probabilitas
Namun, perlu dipahami bahwa semua faktor ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus terintegrasi dengan faktor lainnya. Modal atau aset kelompok tidaklah berarti apa -apa bila tidak didukung oleh komitmen atau kemampuan anggota atau inovasi dalam KUBE, sebaliknya komitmen tidak berarti apa-apa bila modal tidak tersedia. Kemampuan atau keterampilan tidak berarti apa bila tidak didukung dengan ketersediaan modal atau pasar, semua itu akan berarti sia -sia bila masingmasing aspek tidak saling mendukung satu sama lain. Semua faktor ini akan bersinergi bila masing-masing dapat berfungsi dengan baik. Didasarkan pada
205
urgensi dari kelima faktor ini, maka peneliti memberi nama menjadi Konsep Pemberdayaan “ABCCM”. Selanjutnya, bagaimana hubungan di antara konsep, peubah dan hasil pengujian yang dilakukan disajikan dalam Tabel 32. Kemudian akan dipaparkan bagaimana konsep dari
masing-mas ing faktor pada uraian
berikut.
Aset (Asset -A). Aset yang dimaksud di sini adalah kepemilikan modal, baik berupa uang atau barang yang dapat dijadikan sebagai modal kerja termasuk bagaimana akses KUBE terhadap lembaga keuangan. Besarnya aset yang dinilai adalah besarnya modal yang dapat dioperasionalisasikan dan berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan KUBE. Ife (1995) melihat bahwa dalam proses pemberdayaan ada dua konsep penting, yaitu power and disadvantage. Empowerment giving power to individual or group, allowing them to take power into their own hands, distributing power from the ‘haves’ to the ‘have not’, and so on. Salah satu bentuk power yang dimaksud dalam konsep empowerment adalah ‘power over economic activity’. Hal yang senada juga diungkapkan para pengikut Marx yang mengakui bahwa ‘kekuatan ekonomi’ sebagai faktor penting dalam proses pemberdayaan (Pranarka dan Moeljarto dalam Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Hasil pengujian pada TS 0,05 untuk dua sisi yang dilakukan terhadap hubungan antara modal awal yang dimiliki KUBE, bantuan modal yang diterima dan akses KUBE terhadap lembaga keuangan dengan dinamika kehidupan KUBE diperoleh hasil dengan nilai p yang nyata, demikian juga hasil pengujian analisis lintasan diperoleh besar koef isien seperti Tabel 32. Ini berarti, semakin tinggi modal yang dimiliki KUBE, maka kedinamisan KUBE diyakini akan semakin bertambah. Ini menunjukkan bahwa aset merupakan faktor penting atau faktor utama yang patut diperhitungkan dalam kehidupan KUBE. Karena itu, agar KUBE dapat berkembang dengan baik harus didukung dengan kepemilikan aset. Sejauh mana gambaran kepemilikan modal KUBE dapat dilihat seperti pada Tabel 22. Data menunjukkan bahwa kepemilikan modal KUBE masih belum merata terlihat dari modus dan rata-rata kepemilikan modalmasih jauh berbeda. Konsep disadvantage (ketidakberuntungan) merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari proses pemberdayaan, di mana pemberdayaan bertujuan meningkatkan power dari orang yang kurang beruntung (disadva ntage).
206
Menurut Ife (1995) if, as has been suggested, empowerment is about increasing the power of the disadvantaged, it is necessary to look not only at what constitutes power, but also at the nature od disadvantaged. Ada tiga konsep yang berkaitan denga n disadvantage
yaitu (a) primary
structural
disadvantage,
yaitu
ketidakberuntungan stuktural (mendasar) yang terjadi karena class, gender, dan race atau ethnicity; (b) other disadvantaged group, yaitu kelompok yang kurang beruntung karena suatu kondisi ter tentu seperti: penurunan kemampuan fisik dan kemampuan intelektual (usia lanjut), kelompok gay atau lesbian; (c) personal disadvantaged, yaitu ketidakberuntungan yang dialami seseorang karena berbagai hal, seperti: penindasan, pemerkosaan, penggusuran, te rjadinya bencana, dan lainlain. Kelompok ini menurut Ife perlu diberdayakan sehingga memiliki power. Kepemilikikan aset dapat juga berupa kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada KUBE untuk dapat mengakses keperluan atau kebutuhan keuangan pada lembaga keuangan seperti Bank Umum, LKM, BPR, Koperasi atau lembaga keuangan lainnya, atau berupa bantuan dan jaminan dari pihak lain. Aset tidak harus selalu ketersediaan uang tunai, tetapi aset dapat berupa akses, jaminan atau dalam bentuk-bentuk lain yang dapat memperlancar pengembangan usaha yang dijalankan KUBE.
Kemampuan (Ability-B). Salah satu ciri khas KUBE adalah adanya kelompok dan adanya pengembangan usaha ekonomis produktif yang diharapkan dapat menjadi pusat kegiatan dan sumber pendapatan anggota KUBE. Karena itu, dalam rangka pengelolaan KUBE dan pengembangan usaha diperlukan adanya keterampilan, pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang dapat dijadikan dasar dalam bekerja. Karena alasan yang demikian maka sangat wajar bila bantuan yang diberikan ke pada KUBE harus didasarkan pada keterampilan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki anggota. Bantuan yang kurang sesuai dengan jenis keterampilan yang dimiliki anggota KUBE akan menjadi sia-sia. Dari data yang ada menunjukkan bahwa 18.8 persen anggota KUBE tidak pernah mengikuti pelatihan. Sebagian besar di antara anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan bahkan ada yang sudah 4 kali, tetapi pelatihan yang diikuti kurang sesuai dengan jenis usaha yang dikembangkan. Mereka mendapat
207
pelatihan karena adanya kesempatan mengikuti pelatihan di luar KUBE. Hal yang mengherankan adalah berkaitan dengan pengembangan suatu usaha yang bernuansa ekonomis produktif. Mereka mengembangkan usaha ekonomis produktif hanya didasarkan pada pengalaman-pengalaman semata. Jenis pelatihan yang diikuti sangat beragam, namun yang terbesar adalah jenis pelatihan di bidang pembuatan kue, jahit-menjahit, latihan di bidang pertanian, pelatihan di bidang PKK, dan pembekalan-pembelakan pada saat bantuan diberikan. Kondisi ini sanga t berkaitan erat dengan tingkat keberhasilan KUBE
yang dilihat dari
pendapatan anggota KUBE yang rata-rata hanya Rp 747.522,- per bulan dengan jumlah tanggungan 3-4 orang (Gambar 24). Melalui hasil pengujian terlihat bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara tingkat pendidikan anggota KUBE dan pelatihan yang diikuti anggota KUBE dengan kedinamisan kehidupan KUBE, baik melalui pengujian hubungan yang dilakukan melalui rank Spearman maupun analisis lintasan diperoleh hasil seperti Tabel 32. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pelatihan yang diikuti oleh perserta perlu dijadikan acuan dalam pembentukan KUBE dan pemberian jenis bantuan. Karena itu, menjadi penting bahwa setiap pembentukan KUBE, 20 % dari jumlah anggota KUBE diharapakan adalah orang yang memiliki tingkat pendidikan minimal SMP, sudah pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan jenis usaha yang dikembangkan atau memiliki pengalaman dalam bidang pengembangan jenis usaha ekonomis produktif yang dipilih. Dari pengalaman-pengalaman di lapangan ditemukan adanya pengalihan jenis usaha terhadap jenis usaha lain di luar jenis yang sudah dikembangkan selama ini (berdasarkan pengalaman anggota KUBE) karena adanya jenis bantuan yang harus diterima dan harus dipertanggung jawabkan secara administratif. Ini menunjukkan bahwa bantuan yang diterima kurang sesuai dengan kebutuhan dan keterampilan yang dimiliki anggota KUBE. Secara otomatis pengalihan seperti ini akan mengakibatkan pengalihan keterampilan
anggota KUBE. Kenyataannya,
pemberdayaan seperti ini tidak dapat bertahan lama dan akhirnya menjadi hilang atau mati. Karena itu, dalam proses pemberian bantuan, identifikasi dan penilaian kebutuhan (need assesment) terhadap keterampilan dan pengalaman calon penerima bantuan menjadi hal yang urge n.
208
Kemasyarakatan (Community-C). Konsep kemasyarakatan yang berkaitan dengan KUBE adalah bagaimana anggota KUBE harus memahami hal-hal yang berkiatan dengan kondisi kehidupan lingkungannya yang di dalam penelitian ini dilihat dari dua aspek yaitu; pertama, bagaimana keterkaitan KUBE dengan nilai, norma dan budaya masyarakat dan sebaliknya bagaimana dukungan nilai dan norma masyarakat terhadap KUBE. Kedua , bagaimana keterkaitan KUBE dengan tokoh formal dan informal masyarakat dan juga sebaliknya bagaimana keterkaitan tokoh formal dan informal masyarakat dengan KUBE. Dalam konsep Sanders (1958) community dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu (a) ecology, bahwa community merupakan suatu sistem yang terorganisir oleh batasa n wilayah, (b) demography, bahwa community memiliki sejumlah penduduk yang beraneka ragam dan terdiri dari beberapa lapisan dan gaya hidup, (c) culture, bahwa community memiliki nilai dan norma yang terintegrasi dengan masyarakatnya, (d) personality, bahwa community memiliki mekanisme sosialisasi untuk membentuk kepribadian anggotanya sesuai simbol-simbol yang dimilikinya. Terkait dengan konsep ini, maka eksistensi KUBE dalam masyarakat harus terintegrasi secara utuh dengan konsep community. Kehadiran KUBE dalam masyarakat harus melihat secara ekologis, apakah sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut mampu untuk mendukung jenis usaha ekonomis produktif yang dikembangkan. Sulit bagi KUBE untuk dapat bertahan bila sumber-sumber tidak tersedia . Pelu reidentifikasi dan penilaian kebutuha n jenis usaha lain yang lebih sesuai dengan kondisi wilayah, sehingga nanti KUBE dapat bertahan lama untuk jangka panjang. KUBE harus mempelajari latar belakang dan karakter penduduk setempat. Dari pendekatan ekonomi, penduduk setempat adalah menjadi sasar an utama pemasaran hasil produksi yang dikembangkan. Karena itu, pengenalan terhadap latar belakang dan karakter masyarakat setempat menjadi hal yang sangat penting. Selain itu, kehidupan KUBE akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penduduk setempat, mungkin akan dijadikan sebagi mitra, mungkin akan dijadikan sebagai sahabat, penduduk mungkin akan menjadi sumber modal usaha, mungkin akan menjadi pendamping KUBE, dan mungkin sebagian masyarakat ada yang melihat bahwa eksistensi KUBE adalah sebagai saingan (kompetitor)
209
berat terhadap usaha yang dikembangkan masyarakat. Kondisi ini patut dipelajari secara ha ti-hati sehingga eksistensi KUBE dapat diterima secara utuh oleh masyarakat dan bahkan mendapat dukungan dari masyarakat. Suatu community selalu memiliki culture atau kebiasaan-kebiasaan serta nilai dan norma yang disepakati bersama yang mengatur perilaku anggotanya. Kebiasaan ini dapat berupa aturan tertulis dan tidak tertulis. Secara moral semua warga dihimbau untuk mengikutinya, bila ada warga yang tidak mematuhinya biasanya akan dikucilkan. Eksistensi KUBE dalam suatu community harus benarbenar mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Usaha ekonomis produktif yang dikembangkan KUBE hendaknya harus sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kultur juga berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum formal yang berlaku dalam masyarakat. KUBE tidak boleh didirikan di wilayah tanah yang sudah dilarang oleh pemerintah. KUBE tidak boleh didirikan di wilayah yang sudah dilarang oleh pemerintah. Bagaimanapun KUBE seperti ini aka n hilang bila waktu penggusuran sudah tiba. Bahwa community memiliki simbol-simbol yang sudah menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut. Kehadiran KUBE dalam community hendaknya mendukung terhadap eksistensi dari simbol-simbol yang ada. Masyarakat Minang misalnya memiliki rumah yang khas bila dibandingkan dengan masyarakat umum lainnya. Alangkah baiknya bila jenis usaha KUBE yang dikembangkan adalah jenis usaha yang berkaitan dengan produksi pembuatan peralatan rumah-rumah Minang, seperti ukiran dinding bila KUBE yang dikembangkan masih berorientasi lingkungan (belum berorientasi global). Masyarakatnya adalah mayoritas muslim, adalah sangat tepat dan bija ksana bila dikembangkan jenis usaha yang berkaitan dengan pembuatan kopiah, tenunan kain sarung, dan lain-lain yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim. Terlihat keterkaitan yang erat antara peubah norma dan nilai budaya masyarakat dan peubah keterkaitan KUBE dengan tokoh masyarakat formal dan informal dengan tingkat kedinamisan kehidupan KUBE. Keterkaitan peubah cukup berarti, terlihat dari nilai pengujian baik pengujian korelasi maupun analisis lintasan (Tabel 32). Didasarkan pada pengujian ini, maka aspek kemasyarakatan
210
(community) menjadi hal yang penting dalam pembentukan dan pengembangan KUBE.
Komitmen (Commitment-C). Commitment merupakan unsur penting dalam kehidupan apalagi dalam bidang usaha. KUBE merupakan organisasi sukarela, di mana anggotanya bisa saja keluar bilamana yang bersangkutan sudah tidak melihat KUBE sebagai sesuatu yang kurang menguntungkan dan bila KUBE sudah berhasil dia berusaha untuk masuk kembali. Atau dengan segaja dia terdaftar sebagai anggota namun tidak menunjukkan sikap yang baik atau kurang berpartisipasi dalam kegaitan KUBE. Banyak kenyataan yang terjadi seperti itu. Diharapkan orang yang menjadi anggota KUBE benar-benar memiliki komitmen yang tinggi untuk bergabung dengan KUBE, dan harus berusaha sekuat tenaga untuk memajukan dan mengembangkan KUBE sehingga dapat berhasil. Menurut Hradesky (1995) the first requirement for culture change is all-out organization commitment to the company, with the goal being economic survival of the commpany. Jelas sekali bahwa yang terutama harus ada komitmen di antara anggota KUBE, bila tidak KUBE akan sulit berkembang. Adanya suatu tekad yang kuat untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Komitmen yang dima ksud dalam penelitian ini meliputi: motivasi yang dimiliki anggota untuk bergabung dalam KUBE, persepsi tentang kehidupan berkelompok, pemenuhan kebutuhan dan harapan anggota, dan sumber penghasilan utama anggota yang diperoleh dari KUBE. Semua peubah ini sangat mempengaruhi komitmen anggota untuk bergabung dalam KUBE tersebut. Melalui pengujian baik korelasi maupun analisis lintasan terlihat hubungan dan pengaruh dari peubah-peubah di atas dengan dinamika kehidupan KUBE (Tabel 32). Ini menunjukkan bahwa aspek komitmen dari seseorang anggota KUBE merupakan aspek penting dan sangat menentukan dalam KUBE. Untuk itu, pembinaan dan peningkatan motivasi anggota, peningkatan pemahaman anggota tentang KUBE, pemenuhan kebutuhan dan harapan anggota serta menjadikan KUBE sebagai sumber penghasilan utama menjadi aspek yang sangat penting.
Pasar (Market -M). Market atau pasar merupakan unsur penting dalam eksistensi KUBE. Pasar yang dimaksud di sini adalah peluang yang dimiliki
211
KUBE dalam memasarkan hasil usaha , bagaimana ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatan KUBE. Hasil pengujian hubungan dan anlisis lintasan menunjukkan bahwa peluang pasar dan ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh KUBE sangat mempunyai hubungan dan pengaruh dengan dinamika kehidupan KUBE (Tabel 32). Analisis lintasan menunjukkan bahwa peluang pasar memiliki nilai koefisien betha sebesar 0,23 yang berarti bahwa peubah dapat memberikan kontribusi sebesar + 23 persen dalam menentukan kedinamisan KUBE tersebut. Tetapi peluang pasar perlu didukung dengan ketersediaan sumber daya yang dapat dima nfaatkan oleh KUBE. Bila sumber daya tidak tersedia sedangkan pasar memberi peluang, akan sulit untuk meningkatkan produksi dan pemasaran akan menjadi macet. Pendirian-pendirian KUBE yang ada selama ini kurang mempertimbangkan pasar. Dari data yang ada bahwa akses KUBE terhadap pasar sebagian besar baru pada tingkat lingkungan dan tingkat lokal, hanya sebagian kecil yang sudah mencapai tingkat wilayah dan tingkat global. Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan. Ini dapat terjadi karena pendirian KUBE tidak mempertimbangkan kondisi pasar, keterjangkaun pasar dan lain sebaginya. Pasar memiliki konsep tersendiri. Pasar perlu mempertimbangkan beberapa hal: (a) sasaran/konsumen, KUBE perlu mempelajari siapa konsumen, lapisan masyarakat ke berapa, apa kebutuhannya, jenis barang apa yang diperlukan, (b) mutu, bagaimana mutu yang harus dibuat oleh KUBE. Indikator mutu adalah kepuasan pelanggan. Mutu tidak selalu harus berkualitas tinggi, tetapi mutu sesuai dengan kebutuhan konsumen atau sesuai dengan kemampuan konsumen. (c) produksi dan keuntungan , seberapa banyak barang yang harus diproduksi, sehingga tidak melebihi permintaan pasar. Barang yang diproduksi harus mendapatkan keuntungan, (d) pesaing, bagaimana saingan yang ada, apakah KUBE mampu bersaing atau mengalahkan pesaing atau malah sebaliknya. Semua aspek ini harus dipertimbangkan secara masak-masak sebelum KUBE memilih jenis
usaha
produktif
yang
dikembangkan.
Kemampuan
KUBE
untuk
mempertimbangkan semua ini akan menjadi salah satu faktor keberhasilan KUBE.
212
Didasarkan pada hasil pengujian statistik dan analisis yang sudah dijelaskan di atas, maka faktor -faktor di atas merupakan faktor yang sangat menentukan eksistensi KUBE dan bila KUBE mau eksis, kelima faktor harus dipenuhi. Kelima faktor merupakan prasya rat pokok berdirinya (eksisnya) KUBE. Bila faktor dapat dipenuhi KUBE akan tetap eksis, tetapi sebaliknya bila tidak dilakukan dengan baik, KUBE akan hancur dan pemberdayaan yang diberikan akan sia -sia. Didasarkan pada urgensi dari kelima faktor di dalam eksistensi KUBE, maka peneliti menyebutnya menjadi Konsep Pemberdayaan “ABCCM”. Secara skematis digambarkan seperti Gambar 33.
“KONSEP PEMBERDAYAAN ABCCM” l
l
Aset (Asset-A)
Kemampuan (Ability-B)
l
Kemasyarakatan (Community-C)
EKSISTENSI KUBE
l
Pasar (Market-M)
l
Komitmen (Commitment-C)
Gambar 33: Unsur Konsep Pemberdayaan “ABCCM”
Penerapan konsep ini sangat situasional, tidak ada suatu titik masuk pada faktor tertentu. Penerapannya dapat dimulai dari aspek kemasyarakatan bilamana kompenen aset atau pelatihan atau faktor lainnya sudah dimiliki oleh KUBE, demikian seterusnya. Jadi, sangat tergantung pada kondisi dan situasi dari KUBE tersebut. Karena itu dalam penerapannya diperlukan penilaian yang seksama terhadap kelima faktor dimaksud.
213
Sebagaimana yang sudah disinggung, di luar faktor di atas masih ada 3 faktor lain yang mempengaruhi kedinamisan
KUBE, yaitu (a) pendamping
(guide), (b) jaringan kerjasama (network ing), dan (c) inovasi (innovation). Untuk jelasnya dipaparkan berikut ini.
Pendampingan (Guide). Ada polemik tentang perlu tidaknya pendamping dalam kelompok. Ada yang mengatakan bahwa pendamping tidak dipe rlukan dalam kelompok, karena anggota kelompok jauh lebih berpengalaman di banding pendamping. Ada juga yang berkomentar bahwa seorang pendamping sangat dibutuhkan dalam kelompok, mengingat kemampuan anggota kelompok sangat minim baik dari segi tingkat pendidikan, pengetahuan, wawasan maupun keterampilan. Pada pengujian TS 0,05 untuk dua arah baik pada pengujian hubungan maupun analisis lintas terlihat hubungan yang nyata antara hadirnya pendamping dalam KUBE dengan dinamika kehidupan KUBE (Tabel 32), demikian juga dalam hubungan dengan besarnya peningkatkan modal dan tingkat pendapatan anggota KUBE terlihat hasil di mana p masing-masing sebesar 0,001 dan 0,034. Semua pengujian menunjukkan bahwa eksistensi pendamping dalam KUBE sangat diharapakan dalam mendorong kedinamisan KUBE. Karena itu kehadiran pendamping dalam KUBE sangat diharapakan. Namun, eksistensi pendaping secara terus -menerus juga akan menimbulkan ketergantungan KUBE dan tidak akan memandirikan KUBE tersebut. Bilamana KUBE sudah sampai pada tingkat inovatif (Gambar 26) maka peranan pendamping dapat dikurangi guna memberikan kebebasan berkreasi pada anggota KUBE. Ada yang berpandangan bahwa anggota KUBE kurang memiliki kemampuan dalam manajerial atau kepemimpinan kelompok karena pada umumnya pendidikan dan wawasan mereka relatif rendah, tetapi mereka harus disatukan dalam kelompok. Karena itu, menurut mereka bahwa pendekatan individual merupakan alternatif paling tepat karena mereka memerlukan bimbingan yang bersifat individual, sehingga mereka lebih bisa. Namun, karena interaksi di antara anggota yang relatif tinggi, pendekatan kelompok masih lebih efektif dibandingkan pendekatan individu. Karena itu, Moeljarto dalam Prindjono dan Pranarka (1996) mengatakan:
214
Fungsi pendamping sangat krusial dalam membina aktivitas kelompok. Pendamping bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok sebagai fasilitator (pemandu), komunikator (penghubung), atau pun dinamisator (penggerak). Dengan adanya pendamping ini, kelompok diharapkan tidak ter gantung pada pihak luar, namun dapat dibantu untuk tumbuh dan berfungsi sebagai suatu kelompok kegiatan yang mandiri. Dari pendapat di atas terlihat betapa pentingnya kehadiran seorang pendamping dalam kelompok. Karena urgensinya kehadiran pendamping, maka pendamping harus memulai tugasnya sejak awal mulai dari pembentukan kelompok hingga kelompok diharapkan dapat mandiri. Proses yang diterapkan selama ini, pendamping ditunjuk setelah KUBE terbentuk. Ini sesuatu yang terbalik dari proses yang seharusnya. Seorang pendamping KUBE harus mampu melakukan peranan seperti yang dikemukakan oleh Ife (1995), yaitu: (a) Facilitative roles , pendamping harus mampu membangun semangat kelompok, sebagai mediator dan negosia tor, memberikan dukungan kepada anggota kelompok, membangun kesepakan di antara anggota kelompok, memfasilitasi kegiatan kelompok. (b) Educational roles, pendamping harus mampu membangkitkan kesadaran anggota, mampu mengorganisir kelompok, mampu memanfaatkan keterampilan yang dimiliki anggota dan sumber -sumber yang ada, mampu berperan sebagai pemberi informasi, dan mampu menjadi pelatih. (c) Representational roles, mampu menggali dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada, mampu melakukan advocay, mampu memanfaatkan media untuk kepentingan kelompok, mampu menjadi penghubung, mampu menjalin relasi atau network ing dengan berbagai pihak, mampu berbagi pengalaman dan pengetahuan. (d) Technical roles, mampu mengumpulkan dan menganalisis data, mampu menggunakan teknologi, mampu membuat laporan kegiatan, mampu memimpin dan mengelola (manage) kegiatan, mampu mengontrol kegiatan. Selain peranan di atas pendamping harus memilik pengetahuan, keterampilan dan wawasan yang luas, memiliki komitmen untuk membantu, kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan tugasnya. Bila dilihat dari peranan dan tugas-tugas di atas, pendamping menurut kriteria Ife harus benar-benar orang yang kualifait: memiliki pengetahuan,
215
keterampilan, wawasan dan pengalaman yang luas dan menguasai kehidupan KUBE. Dengan peranan-peranan seperti di atas, kekhawatiran akan kemampuan anggota KUBE akan dapat teratasi. Tetapi, perlu digaris bawahi, peranan seperti di atas hendaknya tidaklah mengurangi kreativitas anggota dan pengembangan KUBE.
Jaringan kerjasama (Networking). Jaringan kerja merupakan unsur penting dalam konsep pengembangan usaha KUBE. Jaringan merupakan konsep kerjasama yang ‘saling menguntungkan’ di antara KUBE dengan pihak lain. Jaringan diciptakan untuk tujuan yang sangat luas. Jaringan kerjasama diharapkan dapat mengatasi kelemahan atau kekura ngan yang ada pada masing-masing pihak yang terlibat. Hasil pengujian hubungan maupun analisis lintasan menunjukkan bahwa ada hubungan dan pengaruh yang nyata antara jaringan kerjasama dengan dinamika kehidupan kelompok. Artinya bahwa KUBE yang memiliki ja ringan dan sudah berjalan dengan baik memiliki tingkat kedinamisan KUBE yang tinggi. Hubungan juga terlihat dengan tingkat keberhasilan KUBE dalam pemupukan modal usaha dan tingkat pendapat anggota KUBE per bulan, diperoleh hasil yang nyata, yaitu masing-masing nilai p = 0,020 dan p=0,031. KUBE yang mempunyai jaringan menunjukkan tingkat kedinamisan KUBE yang tinggi dan peningkatkan modal dan pendapatan anggota yang lebih besar dibandingkan dengan anggota KUBE yang kurang mengembangkan jaringan. Didasarkan pada analisis ini, maka jaringan merupakan aspek yang perlu dikembangkan. Dalam konsep Homan (1999) a principal aim of a network is to have as many people with similar interests get to know, trust, and commit to help each other as possible . Dari pandangan Homan di atas, bahwa networking diciptakan untuk tujuan saling membantu di antara sesama yang saling berkepentingan. Tidak ada pihak yang mau dirugikan tetapi mengharapkan saling menguntungkan dari jaringan kerja sama yang dibangun. Lebih lanjut Hotman mengatakan: in addition to the emphasis placed on building personal relationships and sharing resources, networks stress the importance of circulating information . Dari konsep ini bahwa dalam jaringan kerja terjadi saling tukar sumber-sumber dan saling tukar informasi yang saling menguntungkan.
216
Bila dikaitkan dengan kehidupan KUBE, penerapan konsep jaringan sangat tepat. Konsep jaringan dapat dibangun mulai dari awal pembentukan KUBE, proses produksi, pemanfaatan sumber, pemasaran, hingga evaluasi dampak kegiatan terhadap kehidupan anggota KUBE. Dalam pembentukan awal KUBE, jaringan kerjasama dapat dija dikan sebagai wahana bimbingan teknis dalam rangka pembentukan kelompok yang sesuai dengan bidang tugas yang akan dikembangkan di masa yang akan datang. Dalam bidang proses produksi dapat berperan sebagai sub kerja atau produsen dalam menghasilkan berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan besar. Dalam bidang pemasaran, jaringan kerja merupakan hal yang sangat menguntungkan, di mana hasil-hasil produksi KUBE dapat dengan mudah dipasarkan melalui jaringan kerja yang sudah terbentuk, seperti: pemasaran hasil usaha dalam mall, swalayan, dan lainlain. Praktek-praktek seperti ini sangat banyak dilakukan oleh pengusahapengusaha besar dalam mengembangka n usaha , namun jaringan di antara mereka belum bersifat permanen. Agar pencapaian tujuan jaringan kerjasama dapat lebih optimal, menurut Dosher dalam Homan (1999) ada empat kunci utama network , yaitu: (a) communication likages and information channels for the exchange of needs and resources, (b) participant support systems and resources sharing , (c) a means for coordination, cooperation, collaboration, person and program actualization, training, and capacity building, (d) a means for collective actions. Dari konsep empat fungsi network di atas, jelas bahwa konsep ini sangat tepat untuk dikembangkan dalam KUBE dengan segala kompleksistas yang ada dalam KUBE. Melalui pengembangan jaringan, KUBE akan dapat berkembang lebih cepat. Bentuk jaringan pengembangan KUBE yang dilakukan selama ini di sajikan pada Gambar 34. Terlihat dalam gambar bagaimana hubungan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat miskin dalam pengembangan KUBE. Pemerintah berfungsi sebagai pengatur kebijakan dalam penanganan masyarakat miskin, nampak peraturan-peraturan yang dikeluarkan belum berpijak sepenuhnya pada masyarakat miskin, banyak kebijakan yang dikeluarkan kurang memperhatikan kondisi faktual kelompok miskin, seperti kenaikan harga BBM yang terjadi akhir-akhir ini, kenaikan tarif dasar listik, dan lain-lain. Kebijakan,
217
peraturan dan perijinan dalam pengembangan dunia usaha, sudah terlihat suatu kondisi yang relatif lebih bagus, tetapi SDM yang ada kurang mendukung kebijakan yang ada, sehingga terjadi penyelewengan-penyelewengan. Pemberian ijin pengembangan usaha sebenarnya diarahkan untuk dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja kelompok-kelompok miskin termasuk KUBE sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Pemerintah
Kebijakan, peraturan ƒ Perijinan ƒ
Lingkungan kondusif Transparansi Koordinasi daerah Dukungan
Dunia Usaha
‚ • ‚ ‚
• ‚ • •
‚ ‚ ‚ ‚
Kesempatan kerja Keadilan sosial Kesetaraan Jaminan sosial
Masyarakat Miskin (KUBE)
Sumber: Depsos, 2004
Pelatihan Permodalan Pemasaran Pendampingan Ket:
‚ Kebijakan berpihak pada masyarakat
ƒ ‚ ‚ ‚
Pekerjaan Pengembangan Usaha Keterampilan Pendapatan
ƒ Kuat ‚ Lemah • T idak ada
Gambar 34: Pelaksanaan Kemitraan
Melalui kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dunia usaha memiliki peluang besar dalam pengembangan usaha, tetapi lingkungan sosial yang ada masih kurang kondusif, terlihat dari berbagai kasus kerusuhan yang terjadi di mana -mana. Bagaimanapun kondisi ini sangat mempengaruhi investasi badan usaha. Transparansi dunia usaha masih tertutup tentang kondisi usaha yang dikelola. Koordinasi badan usaha dengan pemerintah daerah masih terbatas hanya dalam bidang tertentu seperti pelaksanaan kegiatan, dalam hal
218
perencanaan yang bersifat strategis dalam kaitannya dengan pena nganan masyarakat miskin belum terlihat hasilny. Dengan demikian, bahwa dukungan dunia usaha terhadap pemerintah daerah masih belum optimal. Keberpihakan badan usaha dengan kelompok miskin khususnya KUBE masih lemah terlihat pada Gambar 11. Keterlibatan dunia usaha sebagian besar hanya difokuskan pada penyediaan dana bantuan. Dalam bidang seperti pelatihan, pemasaran, dan pendampingan terhadap KUBE masih terbatas. Diperlukan regulasi yang dapat memaksa badan usaha sehingga mereka menjadi lebih peduli dalam mengembangkan kemitraan dengan kelompok masyarakat miskin. Kesempatan kerja yang diperoleh masyarakat miskin melalui pemerintah masih sangat terbatas. Gambar 8 menunjukkan sebagian besar hanya pada sektor pertanian khususnya pertanian tradisional. Ini membuktikan bahwa usaha pemerintah dalam industrialisasi pertanian masih belum dimulai. Kelompok masyrakat miskin masih berkerja secara tradisional. Dalam hal perwujudan keadilan sosial masih belum terealisasikan, banyak kelompok miskin yang diberlakukan seadanya, seperti penggusuran, ketidakadilan dalam bidang hukum, dan lain-lain. Sebenarnya kondisi keberadaan kelompok masyrakat miskin menjadi tanggung jawab pemerintah yang dapat diberikan melalui sistem jaminan sosial. Didasarkan pada fakta-fakta ini dapat dikatakan bahwa kesetaraan di antara pemerintah dengan kelompok miskin masih jauh dari harapan. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi kelompok miskin sudah mulai terlihat, namum dalam sistem upah atau penggajian yang ditawarkan masih relatif kecil, banyak upah/gaji di bawah upah minimum regional apalagi nasional. Kemitraan dalam pengembangan usaha masih terbatas, tetapi beberapa badan usaha sudah mulai merintis khususnya dalam bidang pemasaran. Demikian juga dalam bidang pengembangan keterampilan masih terbatas (Gambar 11).
Inovasi (Innovation). Teknolgi yang dimaksud adalah inovasi-inovasi yang dilakukan oleh KUBE dalam rangka meningka tkan produktivitas kirerja. Dalam konsep Rogers (1983) inovasi is an idea, practice, or object that is perceived as new to an individual or another unit of adoptions. Berangkat dari konsep ini, inovasi tidaklah selalu harus diartikan sebagai yang rumit dan berteknologi tinggi,
219
tetapi sesuatu hal yang baru baik oleh seseorang maupun oleh suatu kelompok organisasi. “Baru ” dalam konsep inovasi adalah sesuatu yang berbeda dari caracara yang sudah dipraktekkan sebelumnya, namun diarahkan pada hal-hal yang lebih praktis, produktif, simpel atau sederhana, efektif dan efisien dan lebih produktif. Apakah KUBE sudah melakukan inovasi dalam produktivitas usaha yang dikembangkan. Penerpan inovasi dalam KUBE masih sangat terbatas sekali, hanya terlihat pada bebe rapa unit produksi saja. Tentu ini tidak terlepas dari tingkat pendidikan anggota KUBE yang pada umumnya adalah SLTA ke bawah (Gambar 7). Akibat minimnya penerapan inovasi sehingga pengembangan KUBE juga menjadi terbatas. Dalam pengembangan usaha, anggota KUBE hanya mengandalkan proses-proses manual yang sudah sangat akrab dengan kehidupan selama ini. Mereka sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan mereka. Dari pengujian hubungan maupun analisis lintasan pada TS 0.05 untuk dua sisi terlihat hubungan yang nyata antara KUBE yang sudah menerapkan inovasi dengan tingkat keberhasilan KUBE (Tabel 32). Hal yang sama juga terlihat hubungan dengan pemupukan modal dan tingkat pendapatan anggota. Melalui pengujian diperoleh hasil masing p = 0,043 (pemupukan modal) dan p = 0,016 (tingkat pendapat anggota perbulan). Salah satu kelemahan KUBE dibandingkan dengan pendekatan kelompok pemberdayaan masyarakat lainnya adalah bahwa KUBE belum terintegrasi dengan teknologi tepat guna yang sudah ada sekarang ini. Ketiadaan inovasi ini mengakibatkan hasil produksi KUBE kurang mampu bersaing di pasar, terutama dari segi mutu. Agar KUBE dapat lebih berhasil, maka faktor utama eksistensi KUBE perlu didukung dengan faktor-faktor kedinamisan KUBE seperti yang sudah dijelaskan di atas. Faktor-faktor tersebut merupakan bagian yang integral dari pengembangan KUBE secara menyeluruh. Secara skematis, faktor-faktor keberhasilan KUBE dimaksud disajikan dalam Gambar 35. Selanjutnya untuk melihat peubah-peubah mana yang menjadi dasar penilaian faktor eksistensi dan kedinamisan KUBE serta seberapa besar hasil pengujian dari tiap peubah disajikan dalam Tabel 32.
220
l l
Aset
Kemampuan
Kemasyarakatan
l l
Pasar
KEDINAMISAN KUBE l l
Komitmen
Pendamping
l l
Inovasi
Jaringan
Gambar 35: Faktor Penentu Keberhasilan KUBE
Model Pemberdayaan yang Efektif bagi Penanganan Masyarakat M iskin Model yang dimaksud di sini adalah hubungan keterkaitan antara berbagai peubah yang dirumuskan dalam bentuk persamaan linier yang dapat dijadikan sebagai alat untuk meramalkan kejadian atau peristiwa yang akan terjadi dalam KUBE di masa yang akan datang sebagai akibat dari perlakuan yang diberikan. Hubungan keterkaitan peubah-peubah dan besarnya koefisien lintas dari model dimaksud disajikan pada Tabel 33. Selanjutnya akan dipaparkan model analisis lintasan hubungan di antara peubah-peubah penelitian dimaksud. P eneliti terlebih dahulu mengelompokkan model tersebut dalam dua tahapan, yaitu (a) tahap pertama model analisis lintasan hubungan karakteristik individu anggota KUBE (X1) dan pola pemberdayaan KUBE (X2), dan lingkungan sosial (X3) terhadap dinamika kehidupan KUBE
221
(Y1), (b) tahap kedua , model analisis lintasan hubungan dinamika kehidupan KUBE (Y1) terhadap tingkat keberhasilan KUBE (Y1). Pengaruh karakteristik individu anggota (X1 ), pola pemberdayaan (X 2) dan lingkungan sosial KUBE (X3) terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y1) Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan terhadap hubungan linier antara karakteristik individu anggota KUBE (Y1), pola pemberdayaan (X2) dan lingkungan sosial (X2) terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y1) diperoleh nilai p = 000 dan R2 = 0.704. Hasil menunjukkan ketiga peubah diterima dalam persamaan. Adapun persamaan yang dihasilkan adalah: Y1 = 6 1,474 + 0,497 X1 + 0,546 X 2 + 0 ,300 X3, Nilai R 2 = 0.704 mengandung arti bahwa dinamika kehidupan KUBE (Y 1) dapat dijelaskan sebesar 70,4 persen oleh peubah: karakteristik individu anggota KUBE (Y 1), pola pemberdayaan (X2 ) dan lingkungan sosial (X3 ), sedangkan sisanya sebesar 30 persen ditentukan oleh faktor lainnya di luar persamaan (Lampiran 3a). Terkait dengan pengujian ini dan pengujian sebelumnya beberapa sub peubah yang dikeluarkan dari model karena kurang mendukung model yang dibangun. Ada pun peubah yang mendukung dan yang kurang mendukung terhadap model disajikan dalam Gambar 36. Pengaruh dinamika kehidupan kelompok (Y1) dengan tingkat keberhasilan KUBE (Y2) Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan terhadap hubungan linier antara aspek dinamika kehidupan kelompok (Y1) dengan peubah tingkat keberhasilan KUBE (Y 2) diperoleh nilai p = 0,000 dengan R2 = 0,715 (Lampiran 3f). Ini berarti bahwa peubah dinamika kehidupan KUBE mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Adapun persamaan yang dihasilkan adalah: Y 2 = 64,345 + 0,659 Y 1.1 + 0,627 Y 1.3 + 2,145 Z 1.4 + 0,479 Y 1.5 + 1,249 Y 1.7 + 0,913 Y 1.8 + 1,579Y 1.9. Nilai R2 = 0,715 mengandung arti bahwa peubah tingkat keberhasilan KUBE (Y2) dapat dijelaskan sebesar 71,5 persen oleh peubah prediktor: dinamika kehidupan kelompok (Y1). Sedangkan 28,50 persen lainnya ditentukan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Didasarkan pada hasil pengujian ini dan analisis pengujian sebelumnya beberapa sub peubah dikeluarkan dari model karena kurang mendukung persamaan (Gambar 36).
222
X1 Karakteristik Ind. Angg 0,11 (h) 0,13 (d) 0,27 (a)
0,04 (f)
R = 0,683
Y1 R = 0,704 Dinamika Kehidupan KUBE e = 0,30
X2 Pola Pemberdayaan KUBE 0,31 (b)
0,34 (g)
Y2 Keberhasilan KUBE e = 0,32
0,07 (i) 0,07 (e) 0,25 (c) 0,03 (j)
X3 Lingkungan Sosial Gambar 36: Hasil Pengujian Analisis Lintasan Pemberdayaan Masyarakat melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Penjelasan: Karakteristik Anggota KUBE (X 1) 1. Pendidikan formal (0,16) 2. Modal awal yang dimiliki (0,14) 3. Pelatihan yg diikuti (0,13) 4. Kebutuhan / harapan (0,12) 5. Motivasi anggota (0,12) 6. Sumber Penghasilan Utama (0,11) 7. Persepsi ttg kehidupan berklp (0,10) 8. Pola penghasilan (0,09) 9. Jenis kelamin (0,002) * 10. Umur (0,004) *
Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1) 1. Pembinaan kelompok (0,21) 2. Kepuasan anggota (0,15) 3. Keefektifan kelompok (0,12) 4. Kepemimpinan (0,11) 5. Tujuan kelompok (0,10) 6. Fungsi tugas kelompok (0,09) 7. Kekompakan kelompok (0,09) 8. Ketegangan kelompok (0,02) * 9. Struktur kelompok (0,01) * Tingkat Keberhasilan KUBE (Y 2)
Pola Pemberdayaan (X 2) 1. Bantuan (uang & peralatan) (0,24) 2. Pendampingan (0,22) 3. Proses pembentukan KUBE (0,15) 4. Kebebasan yg diberikan (0,14) 5. Pendekatan / metode (0,13) 6. Perlindungan / proteksi (0,003 * 7. Jumlah anggota (0,01).* Lingkungan Sosial (X3) 1. Peluang pasar (0,23) 2. Norma / nilai Budaya (0,21). 3. Keterkaitan KUBE dengan tokoh (formal & informal) (0,15) 4. Jaringan kerja (0,13) 5. Ketersediaan sumber daya (0,12) 6. Akses terhadap lembaga keuangan (0,03) * 7. Ancaman (0,02) *
Ket: * dikeluarkan dari persamaan
Aspek Sosial (Y2.1) 1. Kerjasama sesama anggota 2. Kesediaan memberikan pertolongan 3. Kemamp mengatasi masalah 4. Tingkat partisipasi anggota 5. Keberanian menghadapi risiko 6. Perencanaan usaha 7. Pemanfaatan sumber 8. Inovasi usaha Aspek Ekonomi (Y 2.2) 1. Perkembangan modal 2. Pengguliran (Revolvin Fund) 3. Pendapatan 4. Tabungan 5. Banyaknya jenis usaha 6. Pengelolaan hasil keuntungan 7. Pengelolaan IKS
223
Berdasarkan hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan terhadap peubah-peubah dan sub-sub peubah, semua peubah utama dapat diterima oleh model, sedangkan beberapa sub peubah harus dikeluarkan karena kurang mendukung terhadap model atau persamaan yang dihasilkan. Adapun model dan peubah akhir yang mendukung terhadap pengujian model akhir yang dihasilkan disajikan pada penjelasan Gambar 36. Untuk melihat sebesar pengaruh langsung (direct effect), tidak langsung (indirect effect) dan pengaruh total dari masing-masing variabel independen terhadap peubah dependen maka dilakukan perhitungan nilai koefisien. Pengaruh langsung adalah besarnya nilai hubungan yang diperoleh dari hubungan di antara kedua peubah. Pengaruh tidak langsung adalah besarnya nilai hubungan yang diperoleh dari keterkaitan dengan variabel lain (intervening variabel) yang diprediksi mempengaruhi
hubungan langsung di antara kedua variabel.
Perhitungan pengaruh tidak langsung dilakukan dengan mengalikan setiap nilai hubungan yang diperoleh dari masing-masing peubah yang dilalui. Pengaruh total adalah penjumlahan nilai hubungan yang diperoleh dari pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Untuk menentukan besarnya pengaruh langsung, tidak langsung dan pengaruh total dari masing-masing peubah, terlebih dahulu ditentukan jalur atau lintasan yang akan dilalui, dalam penelitian ini dirumuskan seperti Gambar 36. Didasarkan pada Gambar 36 diperoleh jalur dan besarnya nilai lintasan pengaruh langsung dan tidak langsung serta pengaruh total seperti pada Tabel 33. Melalui analisis jalur yang dilakukan (Tabel 33) menunjukkan ba hwa peubah karakteristik individu anggota KUBE (X1), pola pemberdayaan yang diberikan (X2) dan lingkungan sosial (X3) memberikan pengaruh langsung yang cukup berarti terhadap kehidupan dinamika KUBE terlihat dari hasil pengujian masing-masing memberikan kontribusi sebesar X1 = 0,27, X2 = 0,31, dan X3 = 0 ,25, sedangkan pengaruh tidak langsung dari hubungan dengan peubah lain hanya sebesar masing-masing X1 = 0,05, X2 = 0,05, dan X3 = 0,04. Ini menunjukkan bahwa peubah karakteristik individu anggota KUBE (X1), pola pemberdayaan yang diberikan (X2) dan lingkungan sosial (X3) memberikan kontribusi yang besar
dalam
mengembangkan
kedinamisan
kehidupan
KUBE
tersebut.
224
Kondtribusi terbesar diberikan oleh pola pemberdayaan yang diberikan, kemudian karakteristik individu anggota KUBE dan lingkungan sosial. Tabel: 33 Jalur lintasan dan besarnya koefisien lintas pengaruh langsung dan tidak langsung serta pengaruh total Peubah
Pengaruh
Dependen Independen Langsung 1
Y1
Y2
Ket:
Tidak langsung
Total (3 + 4)
2
3
4
5
X1
a = 0,27
0,32
X2
b = 0,31
X3
c = 0,25
X1
h = 0,11
X2
i = 0,07
X3
j = 0,03
Y1
g = 0,34
d.b + d.e.c + f.c + f.e.b = 0,05 d.a + d.f.c + d.f.e.b + e.c + e.f.a + e.f.d.b = 0,05 e.b + e.d.a + f.a + f.d.b = 0,04 a.g + d.b.g + d.i + d.e.c.g + d.e.j + f.c.g + f.j + f.e.b.g = 0,12 b.g + d.a.g + d.h + d.f.c.g + d.f.j + d.f.e.b.g + e.c.g + e.j + e.f.a.g + e.f.h + e.f.d.b.g = 0,14 c.g + e.b.g + e.i + e.d.a.g + e.d.h + f.a.g + f.h + f.d.b.g = 0,11 0
0,36 0,29 0,23 0,21 0,14 0,34
X1 = Karakteristik individu anggota, X 2 = Pola pemberdayaan, X3 = Lingkungan sosial; Y1= Dinamika kehidupan KUBE; Y2= Tingkat keberhasilan KUBE;
Sebagai implikasi dari pengujian ini, maka dalam proses pemberdayaan kelompok miskin, pengembangan karakter istik individu anggota KUBE dan pembinaan lingkungan sosial merupakan faktor penting dan cukup berarti. Penekanan hanya pada pemberian bantuan atau pendampingan yang berlebihan menjadikan proses pemberdayaan tersebut menjadi kurang berhasil, tetapi harus keseimbangan di antara ketiganya, yaitu (a) pola pemberdayaan yang diberikan, kemudian (b) karakteristik individu anggota KUBE dan (c) lingkungan sosial. Bagaimana pengaruh karakteristik individu anggota KUBE (X1), pola pemberdayaan (X2) dan lingkungan sosial (X 3) terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Hasil menunjukkan bahwa ketiga peubah memberikan pengaruh langsung yang relatif kecil, terlihat dari nilai pengujian yang diperoleh masing-masing X1 = 0,11, X2 = 0,07, dan X3 = 0 ,03. Peubah yang lebih banyak memberikan kontribusi adalah karakteristik individu anggota KUBE sebesar 0,11. Ketiga peubah ini memberikan pengaruh tidak langsung yang cukup berarti melalui dinamika
225
kehidupan KUBE yaitu masing-masing sebesar X1 = 0,12, X2 = 0,14, dan X3 = 0 ,11. Terlihat bahwa pengaruh tidak langsung yang diberikan melalui dinamika kehidupan KUBE lebih besar dari pengaruh langsung masing-masing peubah. Sedangkan kontribusi dinamika kehidupan KUBE terhadap tingkat keberhasilan KUBE adalah sebesar 0,34. Ini berarti bahwa eksistensi kelompok dalam hal ini KUBE sangat berperan besar dalam proses keberhasilan KUBE tersebut. Sebagai implikasi dari penelitian maka: (a) eksistensi keberadaan KUBE merupakan hal yang penting dalam proses pemberdayaan untuk dipertahanakan, (b) perlu pembenahan-pembenahan terutama yang berkaitan dengan pembinaan kelompok, kepuasan kelompok, keefektifan kelompok, kepemimpinan kelompok, tujuan kelompok, fungsi tugas dan kekompakan kelompok. Selanjutnya, didasarkan pada hasil pengujian hubungan dan pengaruh di antara peubah dan analisis berbagai fakta serta kerangka berpikir model pemberdayaan yang disusun, maka disusun model pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan KUBE
yang dianggap lebih efektif dalam proses
pemberdayaan masyarakat miskin tersebut (Gambar 37). Suatu model harus memiliki minimal dua kriteria seperti apa yang diungkapkan oleh Yollies (1996) yaitu bahwa model harus (1) dynamic, artinya model harus responsif dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan baik untuk perubahan yang bersumber dari dalam maupun yang bersumber dari luar. Hubungan-hubungan di antara berbagai faktor yang ada dalam model harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Kegagalan model untuk dapat menyesuaikan terhadap perubahan mengakibatkan keterandalan model menjadi diragukan. Kedua, model harus memiliki (2) probability, artinya model harus memberikan peluang bagi pengembangan sistem yang lebih maksimal, seperti pengembangan SDM, inovasi, peningkatkan pendapatan, dan lain-lain. Sebagai suatu sifat dari model, ada beberapa kekuatan dan kelemahan model yang dihasilkan. Kekuatan: (1) Model mudah diterapkan oleh
anggota KUBE. Mekanisme atau proses-
proses yang ada pada model ini merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari
226
anggota KUBE. Beberapa komponen yang ada dalam model bahkan sudah pernah diterapkan oleh anggota KUBE, tetapi kurang diberikan tekanan yang berarti. (2) Sistem yang ada pada model ini relatif sederhana, yang dimulai dari identidikasi kebutuhan, pembentukan kelompok, pemberian dukungan modal dan
pelatihan
sesuai
tuntutan
kebutuhan
masyarakat,
pelayanan
pendampingan, produksi, pemasaran hingga pembagian hasil keuntungan. (3) Model terkait dengan matapencaharian utama anggota KUBE, sehingga sangat berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggota KUBE. (4) Model menuntut kerja sama kelompok, baik dalam modal, produktivitas, pembinaan, dan hal-hal lainnya. Budaya seperti ini sangat sesuai dengan budaya masyarakat Indoensia yang masih memiliki nilai- nilai kegotong royongan dan tolong-menolong di antara sesama. Kelemahan: (1) Model menekankan pada pendekatan kelompok baik dalam usaha maupun dalam pembinaan-pembinaan, pada hal sering masih dihadapkan pada kemampuan manajerial atau kepemimpinan anggota KUBE yang minim, sehingga mengakibatkan berkurangnya kedinamisan kelompok atau menjadi kurang optimal. (2) Model ini menuntut kemandirian anggota tanpa harus tergantung pada pihak luar, tetapi kemampuan dan keterampilan anggota KUBE sangat terbatas, karena mereka sebagian besar berasal dari kelompok yang kurang mampu. (3) Model ini masih mengharapkan intervensi dari luar untuk jangka waktu tertentu, baik yang menyangkut modal, pendampingan, penerapan teknologi tepat guna, produktivitas, pemasaran. Ini terkait dengan kemampuan dan keterampilan anggota KUBE yang terbatas. (4) Masih rendahnya komitmen anggota KUBE untuk melakukan atau mengikuti kegiatan kelompok.
227
PERSIAPAN KONDISI AWAL Kondisi permasalahan kemiskinan Potensi dan sumber daya Kebijakan dan perundangundangan yang ada • Eksistensi pendamping
1
KOMUNIKASI PROGRAM • • • • •
Reorientasi partisipastif kehidupan kelompok miskin Penyadaran program pada kelompok sasaran, keluar dan masyarakat Penilaian bersama kebutuhan ABCCM Mengidentifikasi kelompok sasaran (fakir dan miskin) Identifikasi dan pemberdayaan pendamping 2
PEMBENTUKAN KUBE
3
• • •
•
• • • • • •
PELAKSANAAN
PENGEMBANGAN
PELAKSANAAN “ABCCM”
INOVASI USAHA
Identifikasi dan penetapan bersama jenis usaha (KUBE Harian, Bulan, Tahunan) Pelatihan sesuai kebutuhan (ability) Pengembangan sikap dan perilaku (commitment) Reorientasi nilai kemasyarakatan/ etika sosial (community) Identifikasi Pasar (market). 4 Pemberdayaan LKM Pengembangan dukungan modal (asset).
OPERASIONALISASI USAHA • • •
Pemberdayaan struktur sesuai tujuan Pendam pingan Identifikasi jaringan kerja 5 sama • Pengelolaan IKS • Pengembangan kedinamisan KUBE (inklusi, aktif, inovatif)
Gambar 37: Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan KUBE
• • • • • •
Pengembangan kelompok Pengembangan jenis usaha Pengembangan pasar 6 Peningkatkan produktivitas 7 Inovasi usaha Reidentifikasi kedinamisan kelompok • Pemberian bantuan penguatan.
KEBERHASILAN • •
Aspek Sosial Aspek Ekonomi
7
228
Pengembangan model ini dilihat dari dua sisi, ya itu pengembangan yang berkaitan dengan aspek sosial dan pengembangan yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Pengembangan aspek sosial KUBE berkaitan dengan pengembangan keberfungsian sosial keluarga, yang meliputi: (a) pengembangan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga sehari-hari, seperti: makan, pakaian, rumah, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, (b) pengembangan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah-masalah yang ada, seperti keterbatasan biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain-lain (c) pengembangan kemampuan keluarga dalam menampilkan peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat,
seperti
kerjasama
sesama
anggota,
kesediaan
memberikan
pertolongan, keberanian menghadapi risiko, perencanaan usaha, perencanaan usaha, kemampuan dalam inovasi usaha , dan lain-lain. Sedangkan pengembangan aspek ekonomi KUBE berorientasi pada pengembangan usaha bisnis, yang meliputi: (a) pengembangan usaha yang lebih maju, adanya pertambahan jenis usaha yang dapat menerap lebih banyak tenaga kerja , semua anggota KUBE dapat bekerja dalam usaha yang dikembangkan, tetapi tidak hanya sebagian dan bahkan dapat mempekerjakan orang lain di luar anggota KUBE, dan lain-lain, (b) adanya peningkatkan pendapatan atau keuntungan dari usaha yang dikembangkan, ada pertambahan modal, ada pengguliran, dan lain-lain, (c) anggota mampu dan memiliki sikap untuk menabung dari pendapatan yang diperoleh, IKS berjalan lancar, dan lain -lain. Selain itu pemberdaaan KUBE harus diarahkan pada pengembangan semangat KUBE yang meliputi: (a) intelektual, yaitu pengembangan pengetahuan dan keterampilan anggota KUBE sesuai dengan kapasitas dan sumber-sumber yang dimiliki, yang dapat dilakukan melalui pelatihan, pembinaan dan pendampingan, (b) spritual, yaitu pengembangan keimanan untuk dapat mensyukuri setiap rejeki yang diterima melalui KUBE, dan agar senantiasa menyadari bahwa segala sesuatu adalah pemberian Tuhan yang sewaktu-waktu dapat diambil, dan merupakan amanah yang harus dimanfaatan untuk kesejahteraan keluarga, (c) emosional, yaitu pengembangan kesadaran akan pentingnya kerja sama, hidup tolong menolong sebagai sarana dalam mewujudkan kesejahteraan bersama tersebut.
229
Strategi Penerapan Model Pemberdayaan KUBE
Model yang sudah dihasilkan perlu diterapkan agar lebih berhasilguna dalam rangka penanganan permasalahan kemiskinan tersebut. Namun perlu dipahami, banyak model yang dapat diterapkan dalam penangan masalah kemiskinan. Ini hanyalah salah satu model dari sekian banyak model yang mungkin diterapkan terhadap kelompok miskin. Adapun yang menjadi ciri khas dari model ini adalah: (a) landasan modelnya adalah ABCCM Empowerment Concept, (b) pemberdayaan tersebut dilakukan melalui kelompok yang terdiri dari 5 hingga 20 orang anggota , (c) sasaran dan jenis usaha adalah: kelompok fakir: dengan sifat penghasilan harian, kelompok non fakir: dengan sifat penghasilan harian dan bulanan, kelompok miskin : dengan sifat penghasilan harian, bulanan dan tahunan, (d) pemberian bantuan didasarkan pada jenis usaha (harian, bulanan atau tahunan) yang dikembangkan dan kedinamisan kelompok (inklusi, aktif dan inovatif), ada pelayanan pendampingan, (e) untuk kelompok fakir ada 20 persen anggota kelompok yang bukan termasuk kategori fakir tetapi kategori miskin sebagai motor kelompok untuk mengatasi ke terbatasan kemampuan kelompok fakir, (f) tidak ada pengguliran bagi KUBE yang termasuk KUBE kelompok fakir, (g) ada LKM yang dapat mempermudah akses KUBE terhadap kebutuhan modal usaha, (h) keberhasilan diukur dari dua hal yaitu aspek sosial dan ekonomi. Penerapan model ini dilakukan secara bertahap, mulai dari tahap awal pemahaman akan eksistensi kemiskinan hingga tahap evaluasi keberhasilan. Karena itu maka disusun langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan yang dianggap sebagai rangkaian untuk melaksanaka n tahapan berikutnya . Adapun tahapan dimaksud adalah: pertama, perlunya melakukan analisis yang seksama tentang kondisi dan permasalahan kemiskinan secara umum. Apakah kondisi yang ada perlu melakukan pemberdayaan atau tidak bagaimana penerapan kebijakan yang sudah ada, bagaimana keberadaan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan kemiskinan. Berkaitan dengan itu, perlu dilakukan analisis terhadap sumber daya yang ada. Bagaimana kemampuan ekonomi yang ada, bagaimana partisipasi masyarakat, bagaimana tingkat kemampuan kelompok sasaran, dan
230
lain-lain. Agar program ini lebih berjalan lancar perlu dikaji eksistensi pendampingan yang relevan dengan proses pendampingan. Kedua, suatu program hendaknya diawali dengan suatu proses komunikasi program , sehingga kelompok sasaran, keluarga dan masyarakat mengetahui apa program yang ada di lingkungan mereka. Langkah ini sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari kelompok sasaran dan masyarakat setempat. Berkaitan dengan hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi yang bersifat partisipatif terhadap kondisi faktual atau kehidupan kelompok sasaran apa yang terjadi di masyarakat. Pemahaman ini akan menjadi bahan atau modal dalam proses komunikasi program tersebut. Komunikasi program dapat dilakukan melalui pertemuan langsung atau tatap muka dengan kelompok sasaran atau melalui media massa. Dengan demikian masyarakat mengetahui program yang sesungguhnya. Bila komunikasi program sudah dilakukan dan partisisipasi kelompok sasaran sudah muncul, selanjutnya dilakukan penilaia n bersama terhadap kebutuhan kelompok yang berkaitan dengan ABCCM, yaitu: aset (A) yaitu besar modal yang dibutuhkan, keterampilan (B) yaitu jenis pelatihan apa yang diperlukan, tentu sesuai jenis usaha yang dikembangkan, kemasyarakatan (C) yaitu yang berkaitan dengan nilai dan budaya masyarakat setempat, komitmen (C) yaitu sikap, kesungguhan dan kemauan yang dituntut dari kelompok sasaran untuk menjalankan bantuan yang diberikan, pasar (M) yaitu bagaimana peluang pasar yang ada bilamana usaha dikembangkan. Hasil menunjukkan bahwa kelima aspek ini mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap keberhasilan KUBE. Bila ke lima aspek sudah dilakukan kemudian diidentifikasi, apakah kelompok termasuk kategori fakir, non fakir atau miskin. Ini perlu dilakukan dalam rangka penentuan jenis usaha yang dikembangkan. Pada saat yang sama perlu dilakukan identifikasi dan pemberdayaan pendamping yang akan ditugaskan dalam KUBE. Ketiga, pembentukan KUBE perlu dilakukan secara demokratis dengan pendekatan bottom up . Proses pembentukan KUBE bukan hal yang mudah. Bila pembentukan kelompok dilakukan secara demokratis, partisipasi anggota akan lebih baik. P embentukan kelompok hendaknya diserahkan pada anggota KUBE itu sendiri (bottom up) yang meliputi: penentuan struktur KUBE, pengurus KUBE, penentuan jenis usaha, pihak luar hanya berperan sebagai fasilitator untuk
231
memperlancar proses pembentukan KUBE tersebut. Jumlah anggota yang disarankan sangat tergantung pada jenis usaha yang dikembangkan oleh anggota KUBE, namun demikian jumlah berkisar antara 5-20 orang. Untuk mengantisipasi keterbatasan-keterbatasan yang ada pada anggota KUBE, maka 20 persen dari jumlah anggota KUBE dapat dimasukkan anggota masyarakat umum yang memiliki kemampuan lebih namun masih tetap termasuk kategori masyarakat miskin atau mendekati miskin. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pemilihan siapa yang menjadi anggota kelompok, yaitu: (a) berdasarkan pengalaman dan keterampilan anggota, (b) wilayah tempat tinggal yang berdekatan, (c) latar belakang daerah asal, agama, suku. Namun semua ini sangat tergantung pada kebutuhan kelompok sasaran tersebut. Keempat, setelah kelompok terbentuk dengan sepakat, maka selanjutnya adalah pelaksanaan ABCCM yang diawali dengan identifikasi dan penetapan jenis usaha yang akan dikembangkan. Ini penting dilakukan sehingga bantuan yang diberikan tidak sia-sia tetapi dapat berkembang dengan baik. Bilamana penetapan jenis usaha sudah dilakukan maka selanjutnya adalah pelaksanaan pelatihan sesuai dengan jenis usaha yang dikembangkan. Dalam proses pelatihan ini maka perlu diintegrasikan dengan pembentukan team building yang berkaitan dengan pembentukan sikap dan perilaku kelompok sasaran dan pembekalan nilai-nilai dan budaya kemasyarakatan. Tim building ini akan menjadi landasan
dalam
memperkuat kesatuan dan kekompakan kelompok tersebut. Hal yang penting dalam tahap ini adalah identifikasi pasar yang menjadi pemasaran hasil usaha. Bila ini tidak tersedia, usaha yang dilakukan akan menjadi sia -sia. Jadi usaha yang dikemba ngkan diharapakan dapat sesuai dengan kebutuhan pasar. Dari penelitian yang dilakukan bahwa akses terhadap modal menjadi persoalan yang serius dalam pengembangan usaha KUBE, karena itu perlu pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dapat pempercepat akses pengembangan dukungan modal terhadap KUBE. LKM yang dimaksud di sini merupakan lembaga keuangan yang lahir dan dibentuk dari inisiatif masyarakat mampu setempat dan KUBE yang ada di daerah tersebut. Selain fungsi penyedaiaan modal bagi KUBE, LKM juga dapat berfungsi sebagai sarana pemasaran bagi hasil
produktivitas KUBE.
Berkaitan dengan eksistensi LKM tersebut, maka LKM dapat berfungsi menjadi
232
tempat penyimpanan sementara bantuan modal yang seharusnya diberikan kepada kelompok sasaran hingga diguna kan seluruhnya, karena kenyataannya tidak semua KUBE membutuhkan bantuan yang sama tetapi sangat tergantung pada jenis usaha yang dikembangkan. Pada saat seperti ini, sisa bantuan yang belum dimanfaatkan oleh KUBE dapat dikelola LKM untuk dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok lainnnya yang belum mendapat
bantuan. Bila semua
komponen ini sudah dilakukan maka tahap selanjutnya dalam pemberian bantuan yang disalurkan melalui LKM. Kelima, tahap selanjutnya adalah operasionalisasi usaha sesuai dengan bidang tugas yang sudah disepakati. Dalam pelaksanaan tugas ini diperlukan pendampingan yang terus menerus. Hal ini penting dilakukan dalam rangka mengantisipasi keterbatas an pelaksanaan tugas yang masih relatif baru, sehingga dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Proses pendampingan
ini
sekaligus
dapat
menjadi
kontrol
terhadap
semua
penyimpangan-penyimpangan yang secara segaja dilakukan. Bila usaha sudah mulai berjalan lancar, maka pendamping perlu melakukan identifikasi jaringan yang dapat me njadi mitra kerja sama dalam pengembangan usaha, kemudian menindaklanjuti dalam bentuk kerjasama yang lebih konkrit. Karena usaha dan produksi KUBE sudah berjalan lancar, maka pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) perlu dilakukan. IKS adalah sumbangan yang harus disetorkan oleh anggota kepada KUBE untuk mendanai kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh KUBE. Besarnya IKS sangat ditentukan oleh kesepakatan di antara anggota KUBE. Bila kegiatan dan produktivitas KUBE sudah berjalan dengan lancar, maka perlu dilakukan bagaimana tingkat kedinamisan KUBE. Ini penting dilakukan untuk menentukan bagaiamana tindakan intervensi yang harus diberikan kepada KUBE sehingga KUBE dapat lebih berhasil. Keenam, diharapakan KUBE tidak stagnan atau berada pada kondisi stabil apalagi menjadi mati, tetapi dapat berkembang lebih cepat, karena itu diperlukan usaha -usaha pembaharuan yang dapat mempercepat perkembangan KUBE tersebut. Pembaharuan-pembaharuan terhadap kelompok perlu dilakukan yang berkaitan dengan reorganisasi pengurus, rumusan tujuan kelompok, sasaran atau pelanggan. Demikian juga dalam pengembangan jenis usaha perlu dilakukan dari
233
satu bidang usaha menjadi beberapa jenis usaha, dan bila mungkin memanfatakan tenaga kerja yang tersedia di luar KUBE. Terkait dengan itu, pengembangan pasar perlu dilakukan, karena keberhasilan pasar merupakan salah satu kunci keberhasilan pengembangan usaha. Pasar hendaknya diarahkan pada pasar yang menjadi kebutuhan orang banyak bukan hanya segelintir orang. Pasar juga hendaknya
dapat
menekan
harga
seminimal
mungkin
sehingga
dapat
memperlancar pemasaran. Bila pasar sudah terbuka luas, maka produktivtas perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pasar, dengan tetap mempertahankan bahakan meningkatkan mutu produksi. Agar produktivitas dan mutu dapat lebih meningkat, maka perlu dilakukan inovasi-usaha terhadap semua unit-unit produksi. Dengan proses seperti ini produktivitas akan bisa dicapai dan kebutuhan pasar dapat terpenuhi. Keberhasilan satu faktor biasanya akan mempengaruhi faktor lainnya, dan pada akhirnya semua faktor akan menjadi bersinergi membentuk kedinamisan KUBE hingga sampai pada taraf kedinamisan inovatif. Bila kondisi seperti ini sudah dicapai maka perlu dilakukan reidentifikasi kedinamisan KUBE untuk melihat sejauh mana kedinamisan KUBE sudah dicapai dan bagaiamana bentuk intervensi yang harus dilakukan pada KUBE. Mungkin dalam kondisi seperti ini KUBE sangat memerlukan bantuan dana penguatan, di sini fungsi LKM dapat berperan dalam penyediaan dana tersebut. Ketujuh , pada tahap terakhir ini dilakukan tahap evaluasi untuk melihat sejauhmana keberhasilan aspek sosial dan aspek ekonomi. Aspek sosial berkaitan dengan: bagaimana ker jasama di antara sesama anggota KUBE, bagaimana kesediaan memberikan pertolongan, bagaimana kemampuan mengatasi masalah yang mungkin terjadi, bagaimana perencanaan usaha yang dilakukan, bagaimana pemanfaatan sumber yang dilakukan dan bagaimana inovasi yang dilakukan. Sedangkan keberhasilan aspek ekonomi dilihat dari: bagaimana perkembangan modal yang diterima, pengguliran yang dilakukan (untuk kelompok non fakir dan miskin), bagaimana tingkat pendapatan anggota (apakah di atas garis kemiskinan), bagaimana perkembangan jenis usaha yang dikelola, bagaimana pengelolaan hasil keuntungan dan bagaimana pengelolaan IKS. Secara skematis langka h-langkah penerapan model digambarkan seperti Gambar 37.
234
Dalam penerapan model ini ada kerangka model strategi yang turut dipertimbangkan dalam pelaksanaan model yang terdiri dari berberapa aspek, meliputi: kondisi awal, input, proses, output, outcome dan impact. Kondisi awal merupakan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan menjadi dasar berpijak dalam proses pemberdayaan tersebut. Input berkaitan dengan hal- hal yang perlu diintegrasikan ke dalam proses pember dayaan, karena faktor ini merupakan bagian yang integral dari pemberdayaan tersebut. Proses berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dalam pemberdayaan. Ada 3 tahapan yang harus dilakukan, yaitu tahap awal, tahap pelaksanaan dan tahap pengembangan pemberdayaan. Output, outcome dan impact merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan. Apabila output ini dapat dicapai, maka proses pemberdayaan dapat dikatakan berhasilan. Output berkaitan dengan tujuan atau keluaran yang diinginkan dan akan dic apai sebagai hasil dari awalnya pemberdayaan. Outcome berkaitan dengan pengaruh dari proses pemberdayaan yang
dilakukan,
seperti
teratasinya
permasalahan
ekonomi
keluarga,
meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota, meningkatnya kepedulian dan tanggung jawab keluarga, dan lain-lain. Impact berkaitan dengan dampak lebih jauh yang dihasilkan dari proses pemberdayaan biasanya berkaitan dengan hal-hal yang lebih mendasar, seperti peningkatan kesejahteraan, peningkatan pendidikan anak, peningkatan aksesibilitas, perubahan status, dan lain-lain. Secara skematis kerangka model strategi pemberdayaan ini disajikan pada Tabel 34.
235
Tabel 34: Kerangka Model Strategi Pemberdayaan Masyarakat melalui KUBE Kondisi Awal § Kondisi permasalahan kelompok sasaran § Potensi dan sumber daya sosial § Kebijakan dan peraturan yang ada § Antisipasi perubahan kondisi sosial. § Identifikasi pendamping.
Input
Proses
Output
Outcome
Impact
§ Reorientasi partisipatif terhadap kehidupan kelompok miskin § Komunikasi program pd kelompok sasaran, keluarga dan masyarakat § Penilaian bersama kebutuhan 5 faktor utama eksistensi KUBE (ABCCM Concept: asset, ability, community, commitment, market § Identifikasi kelompok sasaran (fakir, non fakir dan miskin) § Identifikasi jenis usaha kelompok sasaran (harian, bulanan, triwulan) § Pengembangan aspek afektif, kognitif, psikomotorik. § Penetapan dan pemberdayaan pendamping
Tahap awal § Pelalatihan sesuai jenis usaha (abilityc) § Pengembangan komitmen (commitment) § Pengembangan aspek sosial (community). § Pembentukan kelompok § Pengembangan dukungan modal usaha (asset)
§ Terwujudnya struktur organisasi / manajemen KUBE yang produktif § Terlwujudnya konsep eksistensi (ABCCM) dalam penentuan kelompok sasaran § Terwujudnya konsep kedinamisan KUBE (pendamping, network, inovasi) § Meningkatnya pendapatan anggota KUBE § KUBE dinamis inovatif § KUBE semakin produktivtas § Perluasan jaringan / interdependensi KUBE § Pemasaran lancar § Pengelolaan hasil keuntungan berjalan dengan baik § Bertambahnya jenis usaha.
§ Permasalahan sosial dan ekonomi keluarga dapat teratasi § Meningkatnya keberdayaan/ kemandirian anggota KUBE dalam berusaha § Meningkatkan kepedulian, kerjasama dan tanggung jawab anggota KUBE § Berkembangnya kembali keberfungsian sosial anggota KUBE § Penguliran berjalan dengan lancar § Adanya tabungan anggota.
§ Meningkatnya kesejahteraan anggota KUBE § Meningkatnya aksesibilitas anggota terhadap berbagai sumber § Meningkatnya tingkat pendidikan anak anggota KUBE § Meningkatnya posisi tawar KUBE / tidak dilihat sebagai kelompok marginal. § Hilangnya ketergantungan pada bantuan sosial
Tahap Pelaksanaan: § Pengembangan usaha § Pendampingan § Pengembangan jaringan § Pengembangan IKS § Identifikasi kedinamisan kelompok (inclusi, aktif, inovatif) Tahap Pengembangan § Pengembangan kelompok. § Pengembangan jaringan § Pengembangan pasar (market). § Inovasi Usaha § Reidentifikasi kedinamisan kelompok (inclusi, aktif, inovatif)
236
Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Penyuluhan bagian dari pemberdayaan yang tidak dapat dipisahkan, penyuluhan dan pemberdayaan saling mendukung sa tu sama lain. Penyuluhan berkaitan dengan upaya pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan (Asngari dan Soedijanto dalam Yustina dan Sudrajat, 2003). Sedangkan pemberdayaan - sebagaimana yang sudah dibahas dalam kerangka teoritikmerupakan (a) upaya pemberian power (Ife, 1995) kepada kelompok sasaran yang dapat dilakukan melalui dua hal (Pranarka dan Vidhyandika, 1996) yaitu yang berkaitan dengan pemberian dan pengalihan kekuasaan, kekuatan, kemampuan dan materi (asset) kepada kelompok sasaran, dan (b) berkaitan dengan proses menstimuli, mendorong atau memotivasi kelompok sasaran sehingga memiliki semangat dalam mengatasi hidupnya. Karena itu, akan sulit mencapai keberhasilan suatu proses pemberdayaan bila tidak diikuti dengan kegiatan penyuluhan. Adanya pemberian fasilitas lainnya berupa materi dalam proses pemberdayaan, dapat dikatakan bahwa pemberdayaan merupakan penyuluhan plus. Bahkan dalam program-program tertentu, ada program penyuluhan yang disertai dengan pemberian berbagai fasilitas atau paketpaket tertentu, yang dimaksud untuk mempercepat dan mendorong terjadinya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diinginkan. Proses ini disebut sebagai penyuluhan di mana yang menjadi titik beratnya adalah proses pengubahan perilaku bukan pada aspek penyediaan fasilitas. Penyediaan fasilitas hanya berupa penunjang mempercepat tejadinya perubahan. Didasarkan pada ulasan di atas, penyuluhan merupakan unsur penting dalam pemberdayaan. Pemberdayaan yang hanya menitikberatkan pada penyediaan fasilitas tanpa diawali dengan proses pengubahan sikap dan perilaku mengakibatkan tujuan pemberdayaan tidak akan optimal. Secara skematis di bawah ini disajikan bagaimana hubungan antara penyuluhan dan pemberdayaan dalam proses pemberdayaan tersebut (Gambar 38). Proses penyuluhan dan pemberdayaan yang diberikan pada KUBE selama ini lebih menitikberatkan pada penyediaan fasilitas penunjang, terutama dalam penyediaan modal usaha, sarana kerja, dan pendampingan. Sedangkan proses
237
pengembangan perilaku yang menyangkut aspek: sikap, pengetahuan dan keterampilan sangat minim sekali. Pelatihan-pelatihan yang diberikan pada KUBE dengan nomenklatur “pembekalan” sangat terbatas, baik dalam hal kurikulum, tenaga pengajar, ketersediaan fasilitas pembelajaran, jumlah jam pelatihan yang dilaksanakan, untuk beberapa kegiatan hampir tidak ada. Data menunjukkan hanya 32,1 % anggota KUBE yang sudah pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan KUBE. Sebanyak 81,2 % anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan, tetapi pelatihan yang dilaksanakan oleh pihak lain bukan pelatihan yang berkaitan dengan jenis usaha yang dikembangkan melalui KUBE. Pada hal secara adminstratif, tersedia alokasi anggaran yang ditujukan dalam rangka pelaksanaan pelatihan tersebut.
PEMBERDAYAAN
PENYULUHAN Pengubahan: § § §
Sikap Pengetahuan Keterampilan
Diikuti dengan pengembangan fasilitas: dukungan modal usaha dukungan kredit dukungan sumber daya dukungan aksesilitas lain dalam pengembangan usaha pelayanan pendampingan pengembangan pemasaran pengembangan jaringan dan lain-lain.
KEBERDAYAAN KELOMPOK SASARAN
Gambar 38: Hubungan antara Penyuluhan dan Pemberdayaan
238
Akibat minimnya pelatihan yang diikuti, dampaknya dapat dilihat dari bagaimana persepsi anggota tenta ng kehidupan kelompok, bagaimana motivasi anggota untuk tergabung dalam KUBE hasilnya masih belum membanggakan. Hanya 30,8 % anggota KUBE yang memiliki persepsi tentang kelompok dalam kategori sangat baik dan 63,4 % berada dalam kategori sedang . Sedangkan dalam hal motivasi, hanya 6,3 % anggota KUBE yang memiliki motivasi dalam kategori tinggi dan 74,6 % dalam kategori sedang. Tentu hasil ini sangat terkait dengan proses pelatihan yang diadakan. Bila ditelusuri lebih jauh bagaimana hubungan antara pelatihan yang diikuti dengan perkembangan modal KUBE dan pendapatan anggota KUBE diperoleh hubungan yang positif dengan nilai p masing-masing 0,000 dan 0,000. Ini menunjukkan bahwa anggota KUBE yang sudah mengikuti pelatihan cenderung memiliki modal dan tingkat pendapatan yang lebih besar. Hasil pengujian analisis lintasan juga menunjukkan bahwa pelatihan memberikan kontribusi sebesar 0,14 terhadap kedinamisan kehidupan KUBE. Didasarkan pada data ini, aspek pengubahan perilaku (sikap, pengetahuan dan keterampilan) melalui pelatihan merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam KUBE, dan hendaknya pelatihan ini tidak diberikan hanya sekali saja tetapi sesuai kebutuhan, perkembangan dan perubahan yang terjadi. SDM yang ditugaskan sebagai pelatih juga harus didasarkan pada profesionalisme penyuluhan, memiliki pengalaman, wawasan dan komitmen terhadap penyuluhan, kurikulum yang diterapkan perlu dirancang dan dipersiapkan sesuai kebutuhan lapangan, jam pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan anggota KUBE, sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Pelatihan yang dilaksanakan perlu didukung dengan pemberian jaminan biaya hidup yang merupakan kompensasi keikutsertaan mereka sebagai peserta pelatihan. Implikasi terhadap Ilmu Penyuluhan Pembangunan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat perlu mengutamakan atau mengedepankan perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan kemudian diikuti dengan penyediaan sarana penunjang lainnya, seperti bantuan modal, sarana dan prasarana, akses terhadap pelayanan perbankan, akses terhadap kredit dan lain-lain.