70
HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Pertumbuhan Penduduk dan Ekonomi Pulau Jawa serta Share-nya dalam Konteks Nasional dari Waktu ke Waktu Dinamika Pertumbuhan Penduduk Pulau Jawa Pertumbuhan penduduk dianggap sebagai faktor yang berperan penting dalam proses pembangunan. Dari data yang berhasil dihimpun oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dapat diketahui bahwa penduduk yang menghuni Pulau Jawa terus meningkat dari waktu ke waktu. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari tahun 1930 hingga kini, jumlah penduduk di Pulau Jawa terus bertambah, yaitu berjumlah sekitar 41.7 juta jiwa (tahun 1930) menjadi 134.4 juta jiwa (tahun 2008). Dari angka tersebut, dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu kurang dari delapan dekade, jumlah penduduk di Pulau Jawa meningkat lebih dari tiga kali lipat. Dari Tabel 5.1 juga dapat dilihat bahwa lebih dari separuh jumlah penduduk nasional mendiami Pulau Jawa, meskipun besarnya persentase jumlah penduduk Pulau Jawa terhadap total penduduk nasional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Berdasarkan data yang tercantum pada Tabel 5.1, dapat diketahui bahwa besarnya proporsi jumlah penduduk Pulau Jawa tahun 2008 mencapai sekitar 58.8% penduduk nasional. Besarnya persentase tersebut menunjukkan betapa kuatnya daya tarik Pulau Jawa sehingga sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah yang luasnya tidak lebih dari 7% luas daratan nusantara tersebut. Adapun dinamika pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa, luar Jawa dan nasional dari tahun 1930 hingga 2008 serta proporsinya secara grafis disajikan pada Gambar 5.1 (a) dan (b).
Tabel 5.1. Jumlah Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun 1930- 2008 (juta jiwa) Pulau
Jumlah Penduduk (juta jiwa) 1971 1980 1990 1995 2000
1930
1961
2005
2008
Jawa+Madura Luar Jawa Nasional
41.7 19.2 60.9
63.0 34.0 97.0
76.1 43.1 119.2
91.3 56.2 147.5
107.6 71.8 179.4
114.7 80.0 194.7
121.3 83.8 205.1
128.5 90.4 218.9
134.4 94.1 228.5
% Penduduk Jawa thd Nasional
68.5
64.9
63.8
61.9
60.0
58.9
59.1
58.7
58.8
% Penduduk Luar Jawa thd Nasional
31.5
35.1
36.2
38.1
40.0
41.1
40.9
41.3
41.2
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus), BPS.
71
100%
250 Jaw a+Madura
90%
Luar Jaw a
80%
Nasional
70% Propo rsi (% )
Popula si Penduduk (juta jiwa)
200
150
100
60% 50% 40% 30%
50
Tahun 0 1920
1930
1940
1950
1960
1970
1980
1990
2000
2010
20%
Luar Jaw a
10%
Jaw a
0% 1930 1961 1971 1980 1990 1995 2000 2005 2008 Tahun
2020
(a)
(b)
Gambar 5.1. (a) Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun 1930-2008 (juta jiwa); (b) Proporsi Jumlah Penduduk di Pulau Jawa dan Luar Jawa terhadap Nasional Tahun 1930-2008. Pulau Jawa mengalami peningkatan laju pertumbuhan penduduk hingga tahun 1980 (sebagaimana disajikan pada Tabel 5.2 di bawah ini). Dari tahun 1980-an hingga tahun 2000 besarnya laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa terus mengalami penurunan. Fenomena menurunnya laju pertumbuhan penduduk dalam periode waktu tersebut ternyata bukan hanya dialami oleh Pulau Jawa, tetapi terjadi juga di luar Jawa. Namun sejak tahun 2000 laju pertumbuhan penduduk baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa mengalami peningkatan kembali, dimana besarnya laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa cenderung mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan penduduk di luar Jawa maupun laju pertumbuhan penduduk nasional. Data trend laju pertumbuhan penduduk di Jawa, luar Jawa dan nasional disajikan secara grafis pada Gambar 5.2.
Tabel 5.2. Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun 1930-2008 Laju Pertumbuhan Penduduk per Tahun (Juta Jiwa) Pulau Jawa+Madura Luar Jawa Nasional
19301961
19611971
19711980
19801990
19901995
19952000
20002005
20052008
1.76 2.66 2.04
2.08 2.68 2.29
2.22 3.38 2.64
1.79 2.78 2.16
1.32 2.28 1.71
1.15 0.95 1.07
1.19 1.58 1.35
1.52 1.38 1.46
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus), BPS (diolah).
72
L aju Pertu m b u h an Pen d u d u k p er T ah u n (% )
4.00 Jaw a+Madura Luar Jaw a Nasional
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1930-1961
1961-1971
1971-1980
1980-1990
1990-1995 1995-2000 2000-2005 2005-2008 Tahun
Gambar 5.2. Dinamika Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun 1930-2008. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan per Kapita di Pulau Jawa Kuatnya daya tarik Pulau Jawa ternyata juga dibuktikan dari peranannya yang sangat signifikan terutama dilihat dari besarnya kontribusi PDRB yang disumbangkan terhadap total PDRB nasional. Dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.3, dapat diketahui bahwa pada tahun 2000 hingga 2007, Pulau Jawa secara konsisten menyumbangkan sekitar 60% dari total PDRB nasional, sedangkan sisanya (sekitar 40%) merupakan kontribusi PDRB dari luar Jawa (yang luas wilayahnya meliputi 93% luas daratan nusantara). 70.00
P e rs e n ta s e (% )
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00
Jaw a Luar Jaw a
10.00 0.00 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007 Tahun
Gambar 5.3. Persentase PDRB Pulau Jawa dan Luar Jawa terhadap PDRB Nasional Tahun 2000-2007 (dalam %). Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah secara sederhana dapat dilihat dari laju pertambahan nilai Gross Domestic Products (GDP) atau di Indonesia sering dikenal dengan istilah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data BPS yang ditampilkan secara grafis pada Gambar 5.4, dapat dilihat bahwa besarnya PDRB di Pulau Jawa terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana nilainya selalu lebih besar daripada PDRB di luar Jawa.
73
PDRB Tanpa Migas Harga Konstan 2000 (juta Rp)
2.00E+09 1.80E+09 1.60E+09 1.40E+09 1.20E+09 1.00E+09 8.00E+08 6.00E+08 Jaw a
4.00E+08
Luar Jaw a 2.00E+08
Nasional
Tahun 0.00E+00 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 5.4. Dinamika Pertumbuhan PDRB di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun 2000-2007 (juta rupiah).
PD R B p er K apita T anp a Mig as H arg a K o n stan 2000 (R up iah /kap ita)
9,000,000 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 Jaw a
3,000,000
Luar Jaw a 2,000,000
Nasional
1,000,000 Tahun
-
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Gambar 5.5. Dinamika Peningkatan PDRB per Kapita di Pulau Jawa, Luar Jawa dan Nasional Tahun 2000-2007. Ditinjau dari besarnya nilai PDRB per kapita seperti yang ditampilkan secara grafis pada Gambar 5.5, dapat diketahui bahwa PDRB per kapita di Pulau Jawa lebih tinggi dari PDRB per kapita di luar Jawa maupun nasional. Dari fakta tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di luar Jawa yang notabene PDRB per kapita-nya masih lebih rendah dari rata-rata PDRB per kapita nasional. Dari semua uraian di atas dapat diketahui bahwa Pulau Jawa memegang peranan yang sangat signifikan dalam konstelasi pembangunan nasional. Kuatnya magnet Pulau Jawa yang tercermin dari kondisi geobiofisik wilayahnya yang sangat
subur,
kondisi
sosial-budaya
yang
relatif
berkembang,
tingkat
perekonomian dan iklim usaha yang kondusif, membuat pulau ini berkembang dengan munculnya pusat-pusat pertumbuhan. Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Anwar (2004) yang menyatakan bahwa pendekatan
74
pembangunan nasional cenderung bersifat “Bias Jawa” (Java Bias) dan “Bias Perkotaan” (Urban Bias).
Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Masing-masing Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dari Waktu ke Waktu Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan. Beberapa alasan pentingnya aspek tersebut dalam pembangunan antara lain adalah untuk memacu perkembangan sosial-ekonomi dan mengurangi segala bentuk disparitas pembangunan antar wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu wilayah, dapat dilakukan dengan melihat pencapaian hasil pembangunan melalui indikator-indikator kinerja di bidang sosial-ekonomi maupun bidang-bidang lain dengan menggunakan berbagai metode analisis. Dalam penelitian ini, tingkat perkembangan wilayah dianalisis dengan dua metode, yaitu indeks diversitas entropy untuk melihat perkembangan atau keberagaman sektor-sektor perekonomiannya, serta tipologi Klassen untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan tingkat perkembangan ekonominya, khususnya dilihat dari kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya pendapatan per kapita di masing-masing wilayah.
Perkembangan Aktivitas Perekonomian Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
Wilayah
di
Masing-masing
Perkembangan aktivitas perekonomian di suatu wilayah dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversitasnya menggunakan konsep entropy. Adapun prinsip dari indeks diversitas entropy ini adalah semakin beragam aktivitas atau semakin luas jangkauan spasial suatu aktivitas, maka semakin tinggi nilai entropy suatu wilayah, yang berarti bahwa wilayah tersebut semakin berkembang. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Semakin besar nilai indeks entropy-nya, maka dapat diperkirakan bahwa sektor-sektor perekonomian dalam wilayah tersebut semakin berkembang
(beragam)
dengan
komposisi
yang
semakin
berimbang
(proporsional). Sebaliknya, semakin kecil nilai indeks entropy di suatu wilayah mencerminkan bahwa sektor perekonomian di wilayah tersebut tidak beragam. Biasanya pada wilayah tersebut hanya ada satu atau beberapa sektor perekonomian
yang
dominan,
sedangkan
sektor-sektor
lainnya
kurang
75
berkembang dengan baik. Dalam penelitian ini, indeks diversitas entropy dipakai untuk menganalisis tingkat perkembangan aktivitas ekonomi di masing-masing kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan data PDRB 9 sektor dari tahun
2000-2006.
Ringkasan
hasil
analisis
indeks
diversitas
entropy
perkembangan aktivitas perekonomian wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan data PDRB 9 sektor tahun 2000 hingga 2006 disajikan pada Tabel 5.3, sedangkan hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 5.3. Ringkasan Hasil Analisis Indeks Diversitas Entropy (IDE) dan Koefisien Variasi (CV) Sektor-sektor Ekonomi Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2000-2006 Provinsi
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
DKI Jakarta* Rata-rata IDE CV (%)
0.2089
0.2096
0.2106
0.2119
0.2132
0.2186
0.2196
48.5728
48.4895
48.4954
48.9896
49.0707
49.3152
49.3900
Jawa Barat Rata-rata IDE CV (%)
0.0549
0.0552
0.0554
0.0553
0.0552
0.0537
0.0536
73.1985
72.4420
72.3384
72.3168
72.1625
72.7449
73.4618
Jawa Tengah Rata-rata IDE CV (%)
0.0264
0.0263
0.0264
0.0262
0.0261
0.0267
0.0264
79.4896
79.8578
81.7062
82.6552
83.5780
78.5983
79.0271
DI Yogyakarta Rata-rata IDE CV (%)
0.0256
0.0256
0.0256
0.0256
0.0256
0.0259
0.0255
36.0553
36.3708
36.6461
36.9761
37.2901
37.4177
37.7070
Jawa Timur Rata-rata IDE CV (%)
0.0394
0.0393
0.0390
0.0388
0.0388
0.0387
0.0388
118.1339
118.8278
119.1348
119.2852
119.8538
117.9080
118.1092
Banten Rata-rata IDE
0.0578
0.0582
0.0586
0.0594
0.0598
0.0611
0.0614
56.1044
55.4007
55.5750
56.6090
56.8319
58.6190
59.6341
Total IDE (Jawa)
5.5218
5.5285
5.5327
5.5318
5.5313
5.5544
5.5521
Rata2 IDE kab/kota di Jawa
0.0480
0.0481
0.0481
0.0481
0.0481
0.0483
0.0483
118.5831
118.7555
119.1608
119.9015
120.6008
121.3484
122.1118
CV (%)
CV jawa (%)
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: * Khusus Provinsi DKI terdiri dari 5 kotamadya dan 1 kabupaten administratif. Rumus: IDE = −
n
n
∑ ∑ P lnP ; dan i =1 i =1
i
i
CV= (standar deviasi/rata-rata) x 100%.
Dari hasil analisis entropy sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 5.3, dapat diketahui bahwa nilai entropy total Pulau Jawa mengalami peningkatan dalam kurun waktu dari tahun 2000 hingga 2006 meskipun besarnya peningkatan nilai indeks tersebut tidak terlalu signifikan (yaitu sebesar 5.5218 di tahun 2000 menjadi 5.5521 di tahun 2006). Namun, hal tersebut mencerminkan bahwa sektor
76
perekonomian di Pulau Jawa mengalami perkembangan, khususnya dilihat dari keberagaman jenis aktivitasnya. Sementara itu, dilihat dari besarnya nilai indeks diversitas entropy masingmasing kabupaten/kota di tiap provinsi di Pulau Jawa, dapat diketahui bahwa kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta memiliki rata-rata nilai indeks diversitas entropy yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelima provinsi lainnya. Sedangkan dari besarnya nilai coefficient of variation (CV) pada tiap-tiap provinsi tahun 2000-2006, dapat dilihat bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki nilai CV yang paling besar (lebih dari 100%), yang kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah (sekitar 80%) dan Jawa Barat (sekitar 72%) (lihat Gambar 5.6.a dan b). 140.00
0.2500
R ata-rata ID E
DKI Jakarta Jawa Barat 0.1500
Jawa Tengah DI Yogyakarta
Jawa Timur 0.1000
Banten
0.0500
Coefficient of variation (CV)
120.00
0.2000
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.0000
0.00
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006 Tahun
2000
(a)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
(b)
Gambar 5.6. (a) Besarnya Rata-rata Indeks Diversitas Entropy (IDE) dan (b) Nilai Coefficient of Variation (CV) IDE Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2000-2006. Hal ini menunjukkan bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur memiliki tingkat perkembangan wilayah dengan keragaman yang sangat tinggi. Artinya, ada beberapa wilayah (kabupaten/kota) yang sektor perekonomiannya sangat berkembang, namun masih banyak juga wilayah lain dalam provinsi tersebut yang relatif kurang berkembang. Kondisi serupa juga dialami oleh Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat, meskipun dengan tingkat keragaman yang masih lebih rendah dibandingkan Provinsi Jawa Timur. Sedangkan bila ditinjau dari besarnya CV nilai rata-rata indeks diversitas entropy kabupaten/kota di Pulau Jawa (Tabel 5.3), dapat diketahui bahwa nilainya secara konsisten mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Fakta ini memperlihatkan adanya suatu bentuk disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa, khususnya ditinjau dari struktur perekonomian dan sektor-sektor pembentuknya.
Tahun
77
Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tipologi Klassen merupakan salah satu metode analisis ekonomi regional yang dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau mengelompokkan wilayah berdasarkan struktur pertumbuhan ekonominya. Pada penelitian ini, pengelompokan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan tipologi Klassen dilakukan berdasarkan indikator besarnya laju pertumbuhan ekonomi (Lampiran 2) dan besarnya PDRB per kapita di tiap kabupaten/kota (Lampiran 3) yang dibandingkan dengan ratarata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa. Dengan menggunakan matriks Klassen, seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa dapat dikelompokkan ke dalam 4 kuadran berdasarkan dua indikator tersebut, yaitu: wilayah maju (kuadran I), wilayah maju tapi tertekan (kuadran II), wilayah relatif terbelakang (kuadran III), dan wilayah berkembang cepat (kuadran IV). Pengelompokan ini bersifat dinamis, karena sangat tergantung pada perkembangan kegiatan pembangunan di masing-masing kabupaten/kota. Artinya, dari waktu ke waktu pengelompokan akan dapat berubah sesuai dengan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di kabupaten/kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, pengelompokan wilayah dengan tipologi Klassen dilakukan pada dua periode waktu yang berbeda, yaitu sebelum masa Otonomi Daerah dan setelah masa Otonomi Daerah. Hal tersebut bertujuan untuk membandingkan tingkat perkembangan wilayah pada masa sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. Dengan cara tersebut, maka dapat dilihat bagaimana pengaruh/dampak
diberlakukannya
kebijakan
Otonomi
Daerah
terhadap
kemandirian dan tingkat perkembangan di masing-masing wilayah, khususnya ditinjau dari perkembangan laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita penduduk di wilayah tersebut.
A. Sebelum Masa Otonomi Daerah Analisis tipologi Klassen pada masa sebelum diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah dilakukan dengan membandingkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di masing-masing kabupaten/kota dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di Pulau Jawa. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data PDRB tiap kabupaten/kota dan PDRB total di Pulau Jawa tahun 1986 s.d 1999 (untuk menghitung rata-rata
78
laju pertumbuhan ekonomi) serta data PDRB per kapita tahun 1999, baik di tiap kabupaten/kota maupun PDRB per kapita di Pulau Jawa. Gambar 5.7 berikut menyajikan hasil scatterplot tipologi Klassen kabupaten/kota di Pulau Jawa dalam empat kuadran berdasarkan kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan besarnya PDRB per kapita pada masa sebelum diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. Tipologi Klassen Kab/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (Th.1986-1999) dan PDRB per Kapita Tahun 1999 70,000,000
KOTA KEDIRI
60,000,000
PDRB per Kapita Th.1999 (Rp/jiwa)
KOTA JAKARTA PUSAT
50,000,000
Kuadran II
40,000,000
Kuadran I
30,000,000 KOTA JAKARTA UTARA* KOTA JAKARTA SELATAN
20,000,000 KOTA SURABAYA KOTA KOTA CIREBON MALANG JAKARTA TIMUR KOTAKOTA JAKARTA BARAT
10,000,000 KOTA BEKASI
0
-10,000,000 -6.0
BEKASI KOTA TANGERANG
KUDUS GRESIK KOTA SEMARANG SIDOARJO KOTA YOGYAKARTA KOTA BANDUNG PROBOLINGGO KOTAKOTA MAGELANG PURWAKARTA KOTA SURAKARTA TULUNGAGUNG CILACAP BOGOR KOTA MOJOKERTO KOTA PEKALONGAN KARAWANG KOTA PASURUAN BANDUNG TANGERANG SLEMAN KOTA SUKABUMI KOTA BOGOR KOTA SALATIGA KENDAL PROBOLINGGO KARANGANYAR KOTA MADIUN BANYUWANGI SEMARANG SERANG SUBANG SUMEDANG SUKOHARJO SUMENEP SITUBONDO MOJOKERTO KULON PROGOBOJONEGOROJEPARA GARUT JOMBANG MALANG MAGETAN LUMAJANG GUNUNG KIDUL KOTA BLITAR CIAMIS BLITAR BANTUL PASURUAN NGANJUK INDRAMAYU BOYOLALI TUBAN TASIKMALAYA KEDIRI KOTA TEGAL MADIUNCIANJUR JEMBER LAMONGAN PEKALONGAN TEMANGGUNG BATANG BANGKALAN PANDEGLANG LEBAK CIREBON SUKABUMI KUNINGAN KLATEN PATI PURWOREJO MAJALENGKA REMBANG BONDOWOSO PONOROGO NGAWI BANJARNEGARA MAGELANG DEMAK SRAGEN PAMEKASAN TRENGGALEK BLORA PACITAN WONOGIRI BREBES PEMALANG WONOSOBO PURBALINGGA BANYUMAS KEBUMEN TEGAL SAMPANG GROBOGAN
Kuadran III -4.0
-2.0
0.0
2.0
Kuadran IV 4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
14.0
16.0
18.0
20.0
Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Th.1986-1999 (%)
Gambar 5.7. Scatterplot Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Besarnya Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per Kapita) Sebelum Masa Otonomi Daerah (Periode 1986-1999) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa pada masa sebelum kebijakan Otonomi Daerah masing-masing adalah sebesar 6.04% dan Rp. 5,348,565,-/tahun, Berdasarkan kriteria nilai tersebut, maka sesuai hasil scatterplot (Gambar 5.7), dapat diketahui bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Pulau Jawa masuk dalam kategori kuadran 3. Untuk mempermudah mengetahui nama-nama kabupaten/kota yang masuk ke dalam masing-masing kategori, berikut disajikan hasil tipologi Klassen dalam empat kuadran (Gambar 5.8).
79
Kuadran I 14.81% Kota Kediri, Jak-ut, Jak-sel, Kab.Bekasi, Surabaya, Kota Cirebon, Kota Malang, Jak-tim, Kota Tangerang, Kudus, Gresik, Kota Semarang, Sidoarjo, Kota Bandung, Kota Probolinggo, Purwakarta
Kuadran II
Kuadran IV 18.52%
3.70%
Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Kota Yogyakarta, Kota Magelang
Kuadran III
Kota Surakarta, Tulungagung, Cilacap, Karawang, Bandung, Tangerang, Kota Sukabumi, Karanganyar, Kota Madiun, Semarang, Kota Bogor, Sukoharjo, Indramayu, Kota Tegal, Temanggung, Lebak, Banjarnegara, Wonogiri, Pemalang, Wonosobo
62.96% Bogor, Kota Bekasi, Kota Mjkerto, Kota Peklongan, Kota Pasuruan, Sleman, Kota Salatiga, Kendal, Probolinggo, Bywangi, Serang, Subang, Sumedang, Sumenep, Mjkerto, Stbondo, Klnprogo, Garut, Jombang, Malang, Magetan, Gnkidul, Lumajang, Kota Blitar, Blitar, Ciamis, Bantul, Pasuruan, Nagnjuk, Byolali, Tuban, Tskmalaya, Kediri, Cianjur, Madiun, Jember, Jepara, Bjnegoro, Pklongan, Lamongan, Batang, Bangkalan, Pandeglang, Cirebon, Skbumi, Pati, Klaten, Kuningan, Mjlngka, Prwrejo, Bndwoso, Rembang, Ngawi, Pnorogo, Sregen, Demak, Mgelang, Pamekasan, Trenggalek, Brebes, Pacitan, Blora, Purbalingga, Bnyumas, Kebumen, Tegal, Sampang, Grobogan
Keterangan: K1: Wilayah maju K2: Wilayah maju tapi tertekan K3: Wilayah relatif terbelakang K4: Wilayah berkembang cepat
Gambar 5.8. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dan Besarnya PDRB per Kapita pada Masa Sebelum Otonomi Daerah (Tahun 1986-1999) Hasil klasifikasi tipologi Klassen sebagaimana disajikan pada Tabel 5.4 menunjukkan perbandingan relatif kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita. Dari hasil tipologi Klassen tersebut dapat diketahui bahwa sebanyak 62.96% dari total
80
kabupaten/kota di Pulau Jawa3 termasuk ke dalam kuadran III, yang berarti bahwa sebagian besar wilayah kabupaten/kota pada masa sebelum Otonomi Daerah tergolong wilayah yang kurang berkembang (rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita pada wilayah dalam kuadran ini berada di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa). Sedangkan wilayah-wilayah yang tergolong dalam kuadran I (memiliki laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di atas rata-rata Pulau Jawa) berjumlah 16 kabupaten/kota (sekitar 14.81% dari jumlah total kabupaten/kota di Pulau Jawa). Apabila pengelompokan wilayah dibedakan berdasarkan klasifikasi kabupaten dan kota, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar kabupaten masuk dalam kategori kuadran III (75.61%), sedangkan sebagian besar kota masuk dalam kategori kuadran I (42.31%). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi perkotaan lebih berkembang dibandingkan dengan kabupaten. Karena kabupaten identik dengan kawasan perdesaan, maka hasil klasifikasi tipologi Klassen tersebut
mengindikasikan
dibandingkan
perdesaan.
mengindikasikan
bahwa Atau
adanya
kondisi dengan
bentuk
perkotaan perkataan
ketimpangan
lebih lain,
berkembang
hal
desa-kota.
ini
juga
Klasifikasi
kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan tipologi Klassen sebelum masa Otonomi Daerah (periode 1986-1999) pada masing-masing kuadran disajikan pada Tabel 5.4. Adapun pengelompokan wilayah dari hasil analisis tipologi Klassen disajikan secara spasial pada Gambar 5.9.
Tabel 5.4.
Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Tipologi Klassen Sebelum Masa Otonomi Daerah (Periode 1986-1999)
Kuadran
Banyaknya Kabupaten
%
Banyaknya Kota
%
Banyaknya kab/kota
Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV Jumlah
5 0 62 15 82
6.10 0.00 75.61 18.29 100.00
11 4 6 5 26
42.31 15.38 23.08 19.23 100.00
16 4 68 20 *) 108
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: *) Sampai dengan tahun 1999 di Pulau Jawa terdapat 108 kab/kota.
3
Sampai dengan tahun 1999, di Pulau Jawa terdapat 108 kabupaten/kota.
Persentase terhadap Total (%) 14.81 3.70 62.96 18.52 100.00
81
Gambar 5.9. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Tipologi Klassen Sebelum Masa Otonomi Daerah Dilihat dari sebaran spasial kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan hasil tipologi Klassen sebelum masa Otonomi Daerah sebagaimana disajikan pada Gambar 5.9, dapat diketahui bahwa kabupaten/kota yang berada di kuadran I umumnya merupakan kabupaten/kota yang sebagian besar berada di kawasan metropolitan Jabodetabek (yaitu Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Kabupaten
Bekasi,
dan
Kota
Tangerang),
kawasan
metropolitan
Gerbangkertosusila (terutama Kabupaten Gresik, Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo), serta beberapa wilayah kabupaten/kota lain (Kota Bandung, Kabupaten Purwakarta, Kota Cirebon, Kota Semarang, Kota Probolinggo, dan Kabupaten Kudus), dimana secara geografis letak kabupaten/kota tersebut berada di Pantai Utara Jawa (Pantura). Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah yang berada di Pantai Utara Jawa lebih berkembang dibandingkan wilayah-wilayah yang berada di Pantai Selatan Jawa. Dari sebaran spasial tersebut juga dapat dilihat bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur di luar Kawasan Gerbangkertosusila, Kota Kediri dan Kota Malang didominasi oleh wilayah-wilayah yang tergolong dalam kuadran III, yaitu kabupaten/kota yang masuk dalam kategori wilayah relatif terbelakang/kurang berkembang. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur yang cukup tinggi, dimana bentuk ketimpangan tersebut tercermin dari adanya kesenjangan tingkat perkembangan wilayah antar kabupaten/kota.
82
B. Setelah Masa Otonomi Daerah Analisis tipologi Klassen pada masa setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah juga dilakukan dengan membandingkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di masing-masing kabupaten/kota dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya PDRB per kapita di Pulau Jawa. Data dalam analisis ini diambil pada periode waktu setelah diberlakukannya Otonomi Daerah (mulai tahun 2000). Adapun data yang digunakan adalah data PDRB di masing-masing kabupaten/kota dan PDRB total di Pulau Jawa tahun 2000 s.d 2007 (untuk menghitung rata-rata laju pertumbuhan ekonomi) serta data PDRB per kapita tahun 2007, baik di tiap kabupaten/kota maupun PDRB per kapita di Pulau Jawa. Gambar 5.10 dan 5.11 berikut menyajikan hasil scatterplot dan tipologi Klassen kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan kriteria rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan besarnya PDRB per kapita pada masa setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah.
Tipologi Klassen Kab/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (Th.2000-2007) dan PDRB per Kapita Tahun 2007 180,000,000 KOTA JAKARTA PUSAT
160,000,000
KOTA KEDIRI
PDRB per Kapita Th.2007 (Rp/jiwa)
140,000,000 120,000,000
Kuadran II
Kuadran I
100,000,000 80,000,000
KOTA JAKARTA UTARA* KOTA JAKARTA SELATAN
60,000,000 KOTA SURABAYA
40,000,000 20,000,000
KEPULAUAN SERIBU BANDUNG SERANG TASIKMALAYA
0 -20,000,000 -4.0
KOTA CILEGON KOTA JAKARTA TIMUR KOTA JAKARTA BARAT BEKASI KUDUS KOTA CIREBON KOTA TANGERANG KOTA MALANG SIDOARJO KOTA BANDUNG GRESIK KOTA SEMARANG KOTA YOGYAKARTA KARAWANG KOTACILACAP MOJOKERTO KOTASURAKARTA CIMAHI KOTA PROBOLINGGO PURWAKARTA KOTA BOGOR KOTA BEKASI TULUNGAGUNG KOTA MAGELANG KOTA PEKALONGAN KOTA MADIUN TASIKMALAYA KOTA BATU KOTA PASURUAN KOTA SUKABUMI BANYUWANGI PROBOLINGGO MOJOKERTO SLEMAN SITUBONDO LUMAJANG TUBAN SEMARANG MALANG KOTA TANGERANG BOGOR SUMEDANG BANDUNG BARAT SUKOHARJO KARANGANYAR KOTA BLITAR CIAMIS KENDAL MAGETAN BLITAR KOTA SALATIGA GARUT SUBANG KOTA TEGAL JOMBANG KOTA BANJAR SUMENEP BOJONEGORO PASURUAN NGANJUK KLATEN INDRAMAYU GUNUNG KULON BANTUL KIDUL PROGO JEMBER KOTA DEPOK KEDIRI MADIUN PURWOREJO SUKABUMI CIANJUR REMBANG CIREBON PEKALONGAN BOYOLALI NGAWI JEPARA MAJALENGKA LAMONGAN BATANG PATI PANDEGLANG KUNINGAN BANGKALAN PONOROGO BANJARNEGARA BREBES SRAGEN TEMANGGUNG BONDOWOSO MAGELANG LEBAK BANYUMAS PURBALINGGA WONOGIRI TRENGGALEK SAMPANG DEMAK PEMALANG PAMEKASAN PACITAN WONOSOBO KEBUMEN BLORA TEGAL GROBOGAN
Kuadran III -2.0
0.0
2.0
Kuadran IV 4.0
6.0
8.0
10.0
Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Th.2000-2007 (%)
Gambar 5.10. Scatterplot Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Besarnya Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB per Kapita) Setelah Masa Otonomi Daerah (Periode 2000-2007)
83
Kuadran I 8.62% Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Kota Cilegon, Jakarta Barat, Bekasi, Kudus, Kota Tangerang, Kota Bandung, Karawang, Kota Cimahi
Kuadran II
Kuadran IV 23.28%
12.07% Kota Kediri, Jakarta Selatan, Kota Surabaya, Jakarta Timur, Kota Cirebon, Kota Malang, Sidoarjo, Gresik, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Mojokerto, Cilacap, Kota Probolinggo, Purwakarta
Kuadran III
Kota Surakarta, Kota Bekasi, Kota Batu, Kota Sukabumi, Banyuwangi, Lumajang, Tuban, Semarang, Tangerang, Kota Bogor, Bandung Barat, Sukoharjo, Karanganyar, Kota Blitar, Kota Tegal, Jember, Kota Depok, Sukabumi, Rembang, Cirebon, Kuningan, Brebes, Banyumas, Purbalingga, Trenggalek, Tegal, Grobogan
56.03% Bogor, Kep.Seribu, Bandung, Tulungagung, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Tasikmalaya, Kota Madiun, Kota Pasuruan, Probolinggo, Sleman, Mojokerto, Situbondo, Malang, Sumedang, Kendal, Ciamis, Blitar, Magetan, Garut, Kota Salatiga, Subang, Kota Banjar, Jombang, Serang, Bojonegoro, Sumenep, Klaten, Pasuruan, Nganjuk, Indramayu, Bantul, Klprogo, Gnkidul, Kediri, Madiun,Prwrejo, Cianjur, Bylali, Ngawi, Pklongan, Jepara, Mjlengka, Lamongan, Pati, Batang, Pandeglang, Bangkalan, Pnorogo, Tskmalaya, Bjrnegara, Sragen,Temanggung, Bndwoso, Mglang, Lebak, Wnogiri, Sampang, Pemalang, Demak, Pacitan, Pamekasan, Wonosobo, Kebumen, Blora
Keterangan: K1: Wilayah maju K2: Wilayah maju tapi tertekan K3: Wilayah relatif terbelakang K4: Wilayah berkembang cepat
Gambar 5.11. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Kriteria Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dan Besarnya PDRB per Kapita pada Masa Setelah Otonomi Daerah (Tahun 2000-2007) Setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (terhitung sejak tahun 2000), mulai banyak kabupaten/kota di Pulau Jawa yang mengalami pemekaran wilayah. Kabupaten/kota hasil pemekaran wilayah tersebut (beserta kabupaten induknya) berdasarkan urutan terbentuknya adalah sebagai berikut: Kota Depok (Bogor), Kota Cilegon (Serang), Kepulauan Seribu (Jakarta Utara), Kota Cimahi
84
(Bandung), Kota Tasikmalaya (Tasikmalaya), Kota Batu (Malang), Kota Banjar (Ciamis), hingga yang terakhir kali terbentuk tahun 2006 adalah Kabupaten Bandung Barat (hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung). Dari kedelapan kabupaten/kota yang mengalami pemekaran, lima diantaranya merupakan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan sisanya merupakan kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur dan Banten. Kabupaten/kota pada kedua provinsi lainnya di Pulau Jawa (Provinsi Jawa Tengah dan DIY) sama sekali tidak terjadi pemekaran, baik pada masa sebelum maupun setelah Otonomi Daerah. Berbekal otoritas penuh dalam mengelola sendiri wilayahnya, kedelapan kabupaten/kota yang memisahkan diri dari kabupaten induk berkembang menjadi pusat pertumbuhan yang baru. Bahkan, ditinjau dari tingkat perkembangan wilayahnya, kabupaten/kota tersebut mampu menyaingi tingkat perkembangan wilayah kabupaten induknya. Dari hasil pengelompokan wilayah berdasarkan analisis tipologi Klassen seperti yang disajikan pada Gambar 5.11, dapat diketahui bahwa konfigurasi kabupaten/kota yang mengisi tiap-tiap kuadran dalam matriks Klassen mengalami perubahan. Perubahan konfigurasi tersebut dipengaruhi oleh pergeseran besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan besarnya rata-rata PDRB per kapita di Pulau Jawa. Pada masa sebelum Otonomi Daerah, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa adalah sebesar 6.04%, namun setelah Otonomi Daerah rata-rata laju pertumbuhan ekonominya turun menjadi 4.93%. Dilihat dari besarnya rata-rata PDRB per kapita di Pulau Jawa, telah terjadi peningkatan dari Rp 5.348.564,-/kapita (sebelum Otonomi Daerah) menjadi Rp 14.224.731,-/kapita (setelah Otonomi Daerah). Pada masa setelah Otonomi Daerah, besarnya laju pertumbuhan ekonomi di sebagian besar kabupaten/kota di Pulau Jawa mulai melambat, tidak sebesar laju pertumbuhan pada masa sebelum Otonomi Daerah (periode 1986-1999). Dari Gambar 5.11 dan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pada masa setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah, jumlah kabupaten/kota di Pulau Jawa yang termasuk ke dalam kuadran I (kategori wilayah maju) justru berkurang, dengan persentase yang hanya mencapai 8.62%. Namun, pada kondisi yang sama, jumlah kabupaten/kota yang semula terpolarisasi ke dalam kuadran III (kategori wilayah relatif terbelakang) juga berkurang, dengan persentase sebesar 56.03%. Hal ini berarti bahwa pada masa setelah Otonomi Daerah (saat campur tangan pemerintah pusat tidak lagi mendominasi), banyak kabupaten/kota yang
85
mengalami tingkat perkembangan yang cukup signifikan dengan kemandirian penuh dari wilayahnya masing-masing. Delapan
kabupaten/kota
yang
mengalami
pemekaran
wilayah
(sebagaimana yang telah disebutkan di atas), juga ikut merasakan dampak Otonomi Daerah. Dilihat dari pengelompokan wilayah hasil analisis tipologi Klassen (Gambar 5.11), dapat diketahui bahwa dari kedelapan wilayah yang memisahkan diri dari kabupaten induknya, 2 diantaranya (Kota Cilegon dan Kota Cimahi) termasuk ke dalam kuadran I (kategori wilayah maju), 3 wilayah (Kota Batu, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Depok) masuk dalam kuadran IV (kategori wilayah berkembang cepat), dan 3 wilayah sisanya (Kepulauan Seribu, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar) berada pada kuadran III (kategori wilayah relatif terbelakang). Sedangkan seluruh kabupaten induk dari kedelapan kabupaten/kota tersebut (kecuali Jakarta Utara) tergolong dalam kuadran III.
Tabel 5.5.
Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Tipologi Klassen Setelah Masa Otonomi Daerah (Periode 2000-2007)
Kuadran
Banyaknya Kabupaten
%
Banyaknya Kota
%
Banyaknya kab/kota
Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV Jumlah
3 4 58 21 86
3.49 4.65 67.44 24.42 100.00
7 10 7 6 30
23.33 33.33 23.33 20.00 100.00
10 14 65 27 *) 116
Persentase terhadap Total (%) 8.62 12.07 56.03 23.28 100.00
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: *) Sampai dengan tahun 2007 di Pulau Jawa terdapat 116 kab/kota (8 kab/kota mengalami pemekaran wilayah).
Dari Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pada masa setelah diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah, jumlah kabupaten/kota yang masuk dalam kuadran II (kategori wilayah maju tapi tertekan) dan kuadran IV (kategori wilayah berkembang cepat) bertambah banyak, yang ditandai dengan besarnya persentase yang semakin meningkat. Dilihat dari kategori pengelompokan wilayah berdasarkan klasifikasi kabupaten dan kota sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5.5, dapat diketahui bahwa sebagian besar kabupaten terpolarisasi di kuadran III dan IV dengan besarnya persentase masing-masing adalah 67.44% dan 24.42%. Sedangkan untuk wilayah kota jumlahnya relatif merata di masing-masing kuadran. Apabila perbedaan distribusi ini dibandingkan dengan masa sebelum Otonomi Daerah, maka dapat diketahui bahwa besarnya persentase jumlah
86
kabupaten yang terpolarisasi di kuadran III mengalami penurunan (berkurang), dan persentase jumlah kabupaten yang terpolarisasi di kuadran IV mengalami peningkatan. Namun demikian, pada masa setelah Otonomi Daerah, kuadran I masih didominasi oleh wilayah perkotaan (kota), sehingga hal ini juga mengindikasikan bahwa kawasan perkotaan di Pulau Jawa secara umum masih lebih berkembang dibandingkan dengan kabupaten. Untuk selengkapnya, daftar nama kabupaten/kota yang termasuk ke dalam masing-masing kuadran dapat dilihat pada Gambar 5.11. Sedangkan pengelompokan wilayah dari hasil analisis tipologi Klassen disajikan secara spasial pada Gambar 5.12.
Gambar 5.12. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Tipologi Klassen Setelah Masa Otonomi Daerah Dilihat dari sebaran spasial klasifikasi kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan hasil tipologi Klassen setelah masa Otonomi Daerah seperti yang disajikan pada Gambar 5.12, dapat diketahui bahwa kuadran I masih terkonsentrasi pada kabupaten/kota yang terletak di Pantai Utara Jawa (Pantura) meskipun konfigurasinya sedikit mengalami pergeseran. Dari Gambar 5.12 tersebut terlihat bahwa kuadran I didominasi oleh kabupaten/kota yang terletak di Kawasan Jabodetabek (Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Kabupaten Bekasi dan Kota Tangerang), Kota Cilegon, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Karawang, dan Kabupaten Kudus. Sedangkan beberapa kabupaten/kota di Kawasan Gerbangkertosusila yang pada masa sebelum Otonomi Daerah tergolong dalam kuadran I, pada masa setelah Otonomi Daerah tidak lagi berada di kuadran I, melainkan di kuadran II. Sementara itu, kabupaten/kota yang tergolong ke dalam kuadran IV letaknya secara spasial lebih tersebar di seluruh provinsi. Dan dapat diamati pula bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur sepertinya
87
menjadi lebih merata setelah masa Otonomi Daerah. Hal tersebut dapat disaksikan dari besarnya persentase jumlah kabupaten/kota yang mengisi tiap-tiap kuadran dan konfigurasinya secara spasial berdasarkan tipologi Klassen. Apabila dibandingkan antara masa sebelum dan setelah Otonomi Daerah (Tabel 5.6), maka dapat dilihat bahwa secara umum rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa pada masa sebelum Otonomi Daerah (1986-1999) relatif lebih tinggi dibandingkan pada masa setelah Otonomi Daerah (2000-2007), begitu pula dengan nilai maksimumnya.
Tabel. 5.6. Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), PDRB per Kapita dan Persentase Jumlah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dalam Tipologi Klassen pada Masa Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah Variabel Laju Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) (%/tahun) Rata-rata
Sebelum OTDA (1986-1999)
Setelah OTDA (2000-2007)
6.04
4.93
Minimum
-3.53
-2.41
Maksimum
18.36
8.21
5,348,565
14,224,731
PDRB per Kapita (Rp/tahun) Rata-rata Minimum Maksimum
1,220,150
3,436,540
59,292,867
163,094,130
Persentase Jumlah Kab/Kota dalam Tipologi Klassen (%) Kuadran I
14.81
8.62
Kuadran II
3.70
12.07
Kuadran III
62.96
56.03
Kuadran IV
18.52
23.28
Sumber: Hasil Analisis.
Hal ini dapat mencerminkan cukup tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi pada masa sebelum Otonomi Daerah. Namun, ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997-1998, maka secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi menurun drastis. Sehingga dampak dari terjadinya krisis ekonomi tersebut masih dapat dirasakan pada masa setelah Otonomi Daerah. Hal itulah yang menyebabkan besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa pada masa setelah Otonomi Daerah relatif lebih rendah dibandingkan pada masa setelah Otonomi Daerah, meskipun dilihat dari besarnya PDRB per kapita yang terjadi justru sebaliknya.
88
Dari perubahan konfigurasi wilayah hasil tipologi Klassen, dapat diketahui bahwa Otonomi Daerah cukup membawa dampak positif bagi beberapa kabupaten/kota di Pulau Jawa. Persentase jumlah kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kuadran I (kategori wilayah maju) berkurang dari 14.81% menjadi 8.62%, sementara jumlah kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kuadran III (kategori wilayah relatif terbelakang) berkurang, yaitu dari yang semula 62.96% menjadi 56.03%. Perubahan persentase dan sebaran kabupaten/kota pada kuadrankuadran tersebut disebabkan oleh pergeseran besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita secara relatif terhadap rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di Pulau Jawa. Pergeseran konfigurasi kabupaten/kota dalam tipologi Klassen pada masa setelah Otonomi Daerah juga dapat mencerminkan kemampuan recovery tiap-tiap wilayah untuk bangkit dari keterpurukan kondisi perekonomian pasca terjadinya krisis.
Dampak Diberlakukannya Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Struktur Perekonomian Wilayah di Masing-masing Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Ditinjau dari hasil analisis tipologi Klassen pada masa sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi pergeseran struktur perekonomian wilayah di masing-masing kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pergeseran struktur perekonomian wilayah tersebut terutama disebabkan karena berubahnya tingkat pencapaian kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB per kapita di masing-masing wilayah. Dengan diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah, ada wilayah-wilayah yang mampu mengoptimalkan potensi daerahnya sehingga dapat meningkatkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi serta PDRB per kapita masyarakatnya. Namun tak sedikit juga wilayah yang belum mampu memanfaatkan momentum dikeluarkannya kebijakan tersebut untuk menggali potensi di daerahnya sehingga tak kunjung berkembang/relatif terbelakang. Hal tersebut tercermin dari pergeseran struktur perekonomian wilayah di masing-masing kabupaten/kota yang dapat dilihat dari kategori kuadran-kuadran dalam tipologi Klassen. Merujuk pada ketentuan pembagian kuadran sebagaimana telah dijelaskan di bagian metode penelitian (Gambar 3.3), maka struktur pergeseran tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut (Gambar 5.13).
89
Struktur Pergeseran KUADRAN (sebelum OTDA)
KUADRAN (setelah OTDA)
1
1
2
2
4
4
Baik
A
++ o+ -+
Sedang
B
+o oo -o +-
Terbelakang
3
3
C
o--
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Baik - Baik Sedang - Baik Terbelakang - Baik
Baik - Sedang Sedang - Sedang Terbelakang - Sedang Baik - Terbelakang Sedang - Terbelakang Terbelakang - Terbelakang
Gambar 5.13. Struktur Pergeseran Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Pasca Diberlakukannya Kebijakan Otonomi Daerah Dengan merujuk pada struktur pergeseran kuadran hasil tipologi Klassen sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 5.13, maka klasifikasi kabupaten/kota di Pulau Jawa secara spasial dan tabular disajikan pada Gambar 5.14 dan Tabel 5.7.
Gambar 5.14. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Struktur Pergeseran Tipologi Klassen Pasca Otonomi Daerah Berdasarkan Gambar 5.14 tersebut terlihat bahwa wilayah-wilayah yang tergolong ke dalam kategori 1, 2, dan 3 terkonsentrasi di sekitar Kawasan Jabodetabek, Kota Bandung, Kota Cilegon, dan Kabupaten Kudus, yang pada umumnya berada di kawasan Pantura. Sedangkan kabupaten/kota yang tergolong ke dalam kategori 8 dan 9 pada umumnya merupakan wilayah-wilayah yang
90
letaknya jauh dari kota-kota besar. Dari gambar tersebut juga dapat diamati bahwa Jawa timur merupakan provinsi yang mempunyai kabupaten/kota
Tabel 5.7. Klasifikasi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan Struktur Pergeseran Tipologi Klassen Beserta Persentasenya Kategori
Jumlah Kabupaten 2 1 0 3 6 14 0 9 49 84
Total
2.38 1.19 0.00 3.57 7.14 16.67 0.00 10.71 58.33
Jumlah Kota 3 4 0 8 7 3 0 2 5
100.00
32
%
9.38 12.50 0.00 25.00 21.88 9.38 0.00 6.25 15.63
Total Kab/Kota 5 5 0 11 13 17 0 11 54
4.31 4.31 0.00 9.48 11.21 14.66 0.00 9.48 46.55
100.00
116
100.00
%
%
Sumber: Hasil Analisis.
Dari hasil klasifikasi berdasarkan struktur pergeseran kuadran pada tipologi Klassen yang ditampilkan pada Gambar 5.14 dan Tabel 5.7 tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah yang termasuk ke dalam kategori 1, jumlahnya hanya 5 kabupaten/kota (sekitar 4.31%), yaitu 2 kabupaten dan 3 kota. Sedangkan kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kategori 9 jumlahnya paling banyak, yaitu 54 kabupaten/kota (atau sekitar 46.55% dari total jumlah kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa). Dari 54 kabupaten/kota yang tergolong ke dalam kategori 9 tersebut, 49 diantaranya merupakan wilayah kabupaten dan 5 lainnya merupakan wilayah kota. Dominansi wilayah kabupaten dalam konfigurasi tersebut menunjukkan bahwa secara umum, wilayah-wilayah kabupaten di Pulau Jawa mengalami tingkat perkembangan yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah kota (perkotaan). Dari Tabel 5.7 tersebut juga dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah kabupaten tergolong ke dalam kategori 9, yaitu sekitar 58.33%. Artinya, sebagian besar wilayah-wilayah tersebut tidak mengalami pergeseran tipologi Klassen, yaitu tetap berada pada kuadran III, meskipun secara relatif besarnya rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita mengalami pergeseran dari masa sebelum dan setelah Otonomi Daerah. Namun, nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada wilayah-wilayah tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan rata-rata PDRB per kapita Pulau Jawa.
91
Terhitung sudah lima tahun sejak dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hasilnya, beberapa kabupaten/kota memang berhasil mengalami peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita di wilayahnya. Namun begitu, tidak sedikit pula wilayah-wilayah yang pada kenyataannya belum dapat memanfaatkan momentum dikeluarkannya kebijakan Otonomi Daerah untuk menggali potensi dan mengelola sumberdaya yang ada di wilayahnya secara maksimal, sehingga tingkat perkembangan wilayah-wilayah tersebut relatif rendah (lambat), dengan laju pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB per kapita yang masih berada di bawah rata-rata Pulau Jawa. Beberapa dari kabupaten/kota yang tingkat perkembangannya masih relatif rendah tersebut diantaranya adalah wilayah-wilayah yang mengalami pemekaran (dalam hal ini adalah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar). Sebagian daerah mengartikan bahwa otonomi harus dilakukan dengan pemekaran wilayah. Padahal pemekaran wilayah yang terjadi tidak selalu memberikan hasil yang positif. Pemekaran merupakan strategi yang tepat untuk beberapa daerah, terutama daerah yang mempunyai luas wilayah sangat besar, dan didukung oleh sumberdaya yang cukup baik. Namun harus diingat bahwa pemekaran wilayah bukanlah ‘obat’ bagi penyelesaian segala permasalahan yang dihadapi oleh daerah-daerah tertinggal. Dari sekian banyak daerah otonom baru, hanya beberapa saja yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Selebihnya masih sangat bergantung pada bantuan dari pemerintah. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa pembangunan ekonomi daerah memerlukan upaya yang keras dan perencanaan yang baik. Membangun infrastruktur ke kantong-kantong kawasan produksi sangat dibutuhkan untuk mengangkat ekonomi masyarakat. Namun tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang baik maka semuanya akan sia-sia. Oleh karena itu, pelaksanaan Otonomi Daerah perlu dievaluasi kembali karena sejauh ini banyak daerah yang dimekarkan dalam implementasinya ternyata belum siap untuk otonom, malah hanya menyebabkan pemborosan APBD dan APBN saja. Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Namun, adanya latar belakang demografi, geografi, infrastruktur dan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya yang berbeda, maka salah satu konsekuensi dari pelaksanaan Otonomi Daerah
92
adalah keberagaman daerah dalam hal kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan antar daerah, timbulnya konflik dan kemungkinan disintegrasi bangsa.
Disparitas Regional di Pulau Jawa Disparitas pembangunan antar wilayah bukan hanya menjadi isu penting yang terjadi antara Jawa dan luar Jawa, namun juga di dalam Pulau Jawa itu sendiri. Sesuai dengan hipotesis yang dikembangkan di dalam penelitian ini, disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa diduga dapat bersumber dari (1) disparitas antar provinsi; (2) disparitas antara kawasan metropolitan dan non metropolitan; (3) disparitas antara Kawasan Jabodetabek dan non Jabodetabek; (4) disparitas antara kabupaten dan kota (perkotaan); (5) disparitas antara kawasan pesisir dan non pesisir; dan (6) disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan pesisir Jawa bagian Selatan. Dalam penelitian ini, akan dibuktikan kebenaran dari hipotesis yang dibangun tentang dugaan adanya disparitas pada keenam bentuk pembagian wilayah (sebagaimana telah disebutkan di atas), serta dikaji mana di antara keenam bentuk disparitas yang mempunyai derajat disparitas terbesar sebagai penyebab ketidakmerataan pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. Kajian ini terutama difokuskan untuk melihat trend besarnya tingkat disparitas yang terjadi pada masa sebelum dan setelah Otonomi Daerah.
1. Disparitas Antar Provinsi Pulau Jawa terdiri dari 6 provinsi4, yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur dan Banten. Ditinjau dari jumlah penduduknya (Tabel 5.8), dapat diketahui bahwa dari tahun 1986 hingga 2007 jumlah penduduk masing-masing provinsi di Pulau Jawa mengalami peningkatan, dimana penduduk paling banyak menghuni Provinsi Jawa Barat, yang kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Provinsi DIY adalah provinsi dengan jumlah penduduk paling sedikit di Pulau Jawa. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta dengan luas wilayah yang relatif sempit merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (terpadat di Indonesia). Secara grafis, dinamika pertumbuhan jumlah penduduk masing-masing provinsi di Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 5.15.
4
Pulau Jawa sebelumnya terdiri dari 5 provinsi. Namun, sejak tahun 2000, Banten memisahkan diri dari provinsi induk (Jawa Barat).
93
Tabel 5.8. Jumlah Penduduk per Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (jiwa) Tahun
DKI Jakarta
Jawa Barat*
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
Jumlah
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
7,578,565 7,927,999 8,705,600 9,316,300 8,347,083 8,725,049 8,723,416
31,721,169 34,986,368 37,408,822 40,843,975 35,453,747** 37,581,957** 40,329,050**
27,197,434 28,417,036 29,202,565 29,739,137 31,255,990 31,880,632 32,380,284
2,859,810 2,908,232 2,922,371 3,055,396 3,121,701 3,211,181 3,434,533
31,078,213 32,060,457 33,762,049 34,365,750 35,319,050 36,638,914 36,895,561
8,380,987 9,024,662 9,423,370
101,063,796 106,300,092 112,001,407 117,320,558 121,878,558 127,062,395 131,186,215
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus), BPS. Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran.
45,000,000
J u m la h Pen d u d u k (jiw a )
40,000,000 35,000,000 30,000,000 DKI Jakarta
25,000,000
Jawa Barat Jawa Tengah
20,000,000
DIY Jawa Timur
15,000,000
Banten
10,000,000 5,000,000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.15. Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Tabel 5.9. Persentase Jumlah Penduduk Masing-masing Provinsi terhadap Jumlah Penduduk Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
DKI Jakarta
Jawa Barat*
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
7.55 7.46 7.77 7.94 6.85 6.87 6.65 7.30
31.58 32.91 33.40 34.81 29.09** 29.58** 30.74** 31.73
27.08 26.73 26.07 25.35 25.65 25.09 24.68 25.81
2.85 2.74 2.61 2.60 2.56 2.53 2.62 2.64
30.94 30.16 30.14 29.29 28.98 28.84 28.12 29.50
6.88 7.10 7.18 7.05
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS (diolah). Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran.
94
Dari besarnya persentase rata-rata jumlah penduduk masing-masing provinsi terhadap jumlah penduduk total di Pulau Jawa tahun 1986-2007 (Tabel 5.9), dapat diketahui bahwa 31.73% penduduk Pulau Jawa menghuni Provinsi Jawa Barat, 29.50% di Provinsi Jawa Timur, 25.81% di Provinsi Jawa Tengah, 7.30% di Provinsi DKI Jakarta, 7.05% di Provinsi Banten, sedangkan penduduk dengan persentase paling kecil (2.64%) berdomisili di Provinsi DIY. Dilihat dari besarnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk (Tabel 5.10), dapat diketahui bahwa Provinsi Banten (sebagai provinsi yang baru terbentuk pada tahun 2000) memiliki rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.83% per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk di provinsi induknya (Jawa Barat) menempati urutan pertama, yaitu sebesar 2.21% per tahun. Dalam kasus ini, Provinsi DKI Jakarta menempati urutan ketiga dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.01% per tahun, sedangkan ketiga provinsi lainnya (Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) masing-masing memiliki laju pertumbuhan penduduk sebesar 0.88%, 0.86% dan 0.89% per tahun. .
Tabel 5.10. Laju Pertumbuhan Penduduk Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
DKI Jakarta
Jawa Barat*
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007
1.15 3.27 1.75 -1.61 1.51 0.00
2.57 2.31 2.30 2.27** 2.00** 1.83**
1.12 0.92 0.46 1.70 0.67 0.39
0.42 0.16 1.14 0.72 0.96 1.74
0.79 1.77 0.45 0.92 1.25 0.18
2.56 1.10
1.46 1.79 1.19 1.30 1.42 0.81
Rata-rata
1.01
2.21
0.88
0.86
0.89
1.83
1.33
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS (diolah). Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran (tidak memperhitungkan Provinsi Banten).
Besarnya nilai PDRB masing-masing provinsi di Jawa juga dapat menunjukkan adanya disparitas pembangunan antar wilayah di pulau tersebut. Dari Tabel 5.11, dapat diamati bahwa dari tahun 1986 hingga 2007 total PDRB masing-masing provinsi di Pulau Jawa mengalami peningkatan. Namun, besarnya PDRB Provinsi DKI Jakarta (yang notabene wilayahnya hanya meliputi sebagian kecil dari total luas wilayah Pulau Jawa) merupakan kontributor PDRB yang
95
tertinggi dan paling mendominasi. Sedangkan provinsi-provinsi lainnya (dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang lebih besar) juga berkontribusi, namun dengan nilai PDRB yang lebih rendah dibandingkan Provinsi DKI Jakarta. Secara grafis, dinamika pertumbuhan PDRB masing-masing provinsi di Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 5.16 di bawah ini.
Tabel 5.11. Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanpa Migas Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (Juta Rupiah) Tahun
DKI Jakarta
Jawa Barat*
Jawa Tengah
Jawa Timur
DIY
Banten
Total (Jawa)
1986
106,097,276
88,975,629
48,630,485
7,720,269
95,790,186
-
347,213,845
1990
153,517,315
110,276,488
63,369,763
9,439,030
126,722,646
-
463,325,242
1993
192,945,920
146,289,725
81,169,888
11,305,397
157,629,778
-
589,340,708
1997
261,372,980
226,162,636
104,982,774
14,463,983
211,239,380
-
818,221,753 758,191,463
2000
226,504,721
171,432,926**
101,205,220
13,559,853
198,108,411
47,380,332
2003
262,173,023
200,035,422**
110,889,265
15,387,722
221,369,215
55,210,456
865,065,103
2007
329,833,000
252,844,820**
135,334,540
18,307,860
266,524,010
69,835,960
1,072,680,190
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 1986-2007 (BPS). (Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan telah distandarisasi). Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran (tidak memperhitungkan Provinsi Banten).
350,000,000 DKI Jakarta Jawa Barat
300,000,000
Jawa Tengah
P D R B (juta r upia h)
DIY 250,000,000
Jawa Timur Banten
200,000,000
150,000,000
100,000,000
50,000,000
0
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.16. Dinamika Pertumbuhan PDRB Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Tabel 5.12 berikut ini menampilkan besarnya persentase kontribusi PDRB masing-masing provinsi terhadap nilai PDRB total di Pulau Jawa tahun 19862007. Dari Tabel 5.12, dapat diketahui bahwa kontribusi PDRB yang disumbangkan oleh Provinsi DKI Jakarta adalah sebesar 31.33%. Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah masing-masing menyumbangkan 26.30%,
96
24.46% dan 13.30%. Sedangkan dua provinsi dengan persentase kontribusi PDRB terendah adalah Provinsi Banten (6.38%) dan DIY (1.89%).
Tabel 5.12. Persentase Besarnya Kontribusi PDRB Masing-masing Provinsi terhadap Nilai PDRB Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
DKI Jakarta
Jawa Barat*
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
30.56 33.13 32.74 31.94 29.87 30.31 30.75 31.33
25.63 23.80 24.82 27.64 22.61** 23.12** 23.57** 24.46
14.01 13.68 13.77 12.83 13.35 12.82 12.62 13.30
2.22 2.04 1.92 1.77 1.79 1.78 1.71 1.89
27.59 27.35 26.75 25.82 26.13 25.59 24.85 26.30
6.25 6.38 6.51 6.38
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah. Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran.
Tabel 5.13. Laju Pertumbuhan Ekonomi Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
DKI Jakarta
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
11.17 8.56 8.87 -4.45 5.25 6.45 5.98
Jawa Barat* 5.99 10.89 13.65 -1.39** 5.56** 6.60** 6.88
Jawa Tengah
DIY
Jawa Timur
Banten
Total (Jawa)
7.58 9.36 7.33 -1.20 3.19 5.51 5.30
5.57 6.59 6.98 -2.08 4.49 4.74 4.38
8.07 8.13 8.50 -2.07 3.91 5.10 5.27
5.51 6.62 6.07
8.36 9.07 9.71 -2.45 4.70 6.00 5.90
Sumber: PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah. Keterangan: *) Sejak tahun 2000 Provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran, terbagi menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. **) Setelah pemekaran (tidak memperhitungkan Provinsi Banten).
Dilihat dari besarnya laju pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi di Pulau Jawa dari tahun 1986 hingga 2007 (Tabel 5.13), dapat diketahui bahwa dari tahun ke tahun besarnya laju pertumbuhan ekonomi pada masing-masing provinsi berfluktuatif. Namun, pada tahun 1997-2000 semua provinsi di Pulau Jawa mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi hingga nilainya negatif. Hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat itu, sehingga hampir seluruh wilayah di nusantara turut terkena dampak dari krisis tersebut, tidak terkecuali Pulau Jawa (Tabel 5.13).
97
Ditinjau dari besarnya PDRB per kapita di masing-masing provinsi (Gambar 5.17), dapat terlihat bahwa Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, jauh lebih unggul dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa dan trend perkembangannya dari tahun ke tahun terus meningkat tajam. Sedangkan kelima provinsi lainnya memiliki PDRB per kapita yang masih berada di bawah rata-rata PDRB per kapita Pulau Jawa. 40,000,000
PDRB per kapita (Rp/th)
35,000,000
30,000,000 DKI Jakarta
25,000,000
Jawa Barat Jawa Tengah
20,000,000
DIY Jawa Timur
15,000,000
Banten Jawa
10,000,000
5,000,000
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.17. Perkembangan Besarnya PDRB per Kapita di Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Apabila keenam provinsi di Pulau Jawa diperbandingkan satu dengan lainnya, terutama dari segi luas wilayah, jumlah penduduk dan besarnya kontribusi PDRB yang disumbangkan, maka dapat dilihat bahwa disparitas pembangunan antar wilayah yang terjadi di Pulau Jawa (dalam hal ini disparitas antar provinsi) lebih disebabkan karena dominansi Provinsi DKI Jakarta yang memegang pengaruh kuat dalam perekonomian di Pulau Jawa (Gambar 5.18). 100%
7.7
7.1
6.4
29.5
26.3
90% 80% 70%
38.6 2.6
Proporsi
60% 50% 40%
2.3
1.9
Banten
13.3
Jaw a Timur DIY
25.8 24.5
25.6
31.7
20%
0%
Jaw a Barat DKI Jakarta
30%
10%
Jaw a Tengah
31.3
25.2 0.5 % Luas
7.4 % Penduduk
% PDRB
Param eter
Gambar 5.18. Proporsi Luas Wilayah, Rata-rata Jumlah Penduduk dan Besarnya Kontribusi PDRB Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun
98
1986-2007 Besarnya Derajat Disparitas Antar Provinsi dengan Indeks Williamson dan Indeks Theil Entropy Disparitas pembangunan antar wilayah dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan indeks Theil entropy dan indeks Williamson. Hasil analisis disparitas antar provinsi dengan metode indeks Williamson menggunakan data PDRB per kapita tiap provinsi di Pulau Jawa tahun 1986-2007 (sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.14 dan Gambar 5.19), menunjukkan bahwa pada tahun 1986, besarnya derajat disparitas antar provinsi di Pulau Jawa mencapai angka yang cukup tinggi, yaitu 0.769. Angka tersebut berangsur-angsur menurun hingga tahun 1993 (0.657), namun kembali meningkat sampai dengan tahun 2000 (hingga mencapai 0.736). Namun demikian, pada masa setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (mulai tahun 2000), besarnya derajat disparitas antar provinsi di Pulau Jawa menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun.
Tabel 5.14. Besarnya Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Disparitas Antar Kab/Kota Prov.DKI Jakarta Prov.Jawa Barat Prov.Jawa Tengah Prov.DIY Prov.Jawa Timur Prov.Banten Disparitas antar provinsi di P.Jawa
Indeks Williamson 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.251 0.383 0.627 0.344 0.908 *)
0.305 0.379 0.593 0.351 1.008 *)
0.358 0.402 0.685 0.351 1.049 *)
0.447 0.548 0.733 0.404 1.223 *)
0.444 0.671 0.694 0.389 1.173 0.625
0.563 0.636 0.658 0.435 1.152 0.645
0.552 0.611 0.711 0.393 1.165 0.650
0.769
0.666
0.657
0.684
0.736
0.712
0.707
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: *) Kab/kota di Provinsi Banten masih termasuk dalam Provinsi Jawa Barat.
Dari Gambar 5.19 dapat disaksikan bahwa di antara keenam provinsi yang ada di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan derajat disparitas yang paling tinggi. Angka tersebut meningkat tajam dari tahun 1986 hingga tahun 1997, yaitu dari 0.908 menjadi 1.223, dimana pada tahun 1997 Provinsi Jawa Timur mengalami kondisi yang paling timpang selama periode waktu tersebut. Namun, tingginya derajat disparitas di Provinsi Jawa Timur tersebut kemudian berangsur-angsur turun pasca diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah. Sedangkan provinsi dengan derajat disparitas yang relatif rendah dibandingkan provinsi-provinsi lainnya adalah Provinsi DIY.
99
Setelah OTDA
Sebelum OTDA
1.400
1.223 1.173
1.200
1.152
1.165
1.049 1.008
Indeks Williamson
1.000
0.908
0.800 0.769
0.600
0.657 0.627 0.383
0.736
0.684
0.694 0.671
0.712 0.658 0.636
0.402
0.548
0.379
0.351
0.351
0.447
0.707 0.711
0.563
0.444
DKI Jakarta Jawa Barat
0.611
0.593
0.400 0.344
0.733 0.685
0.666
0.552
Jawa Tengah DIY Jawa Timur B anten
0.435
0.404
0.389
1997
2000
0.393
0.358
A ntar pro vinsi
0.305
0.200
0.251
0.000 1986
1990
1993
2003
2007
Tahun
Gambar 5.19. Dinamika Perubahan Derajat Disparitas Antar Kabupaten/Kota Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Dengan indeks Theil entropy, besarnya derajat disparitas (disparitas total) dapat didekomposisikan menjadi dua, yaitu disparitas antar provinsi (between province) dan disparitas (antar kabupaten/kota) dalam provinsi (within province). Hasil analisis disparitas antar provinsi dengan menggunakan indeks Theil entropy menunjukkan bahwa besarnya disparitas total yang terjadi di Pulau Jawa memiliki kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu, yaitu sebesar 0.154 pada tahun 1986, menjadi 0.214 di tahun 2007 (sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.15 dan Gambar 5.20).
Tabel 5.15. Besarnya Disparitas Antar Provinsi dan Disparitas Antar Kabupaten/Kota dalam Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Disparitas/ Provinsi Antar Provinsi Antar Kab/Kota Dalam Provinsi
Indeks Theil Entropy 1986 0.098
1990 0.127
1993 0.118
1997 0.110
2000 0.111
2003 0.114
2007 0.121
0.056
0.063
0.069
0.090
0.090
0.096
0.092 0.017
DKI Jakarta
0.005
0.008
0.011
0.015
0.015
0.018
Jawa Barat
0.009
0.008
0.009
0.019
0.017
0.018
0.018
Jawa Tengah
0.007
0.008
0.010
0.011
0.010
0.010
0.009
DI Yogyakarta
0.000
0.000
0.000
0.001
0.001
0.001
0.000
Jawa Timur
0.035
0.039
0.039
0.045
0.042
0.042
0.040
*)
*)
*)
*)
0.006
0.007
0.008
0.154
0.190
0.187
0.200
0.202
0.210
0.214
Banten Disparitas Total
Sumber: Hasil Analisis Keterangan: *) Banten masih termasuk dalam Provinsi Jawa Barat.
100
Sebelum OTDA
Setelah OTDA
0.250
0.190
Indeks Theil Entropy
0.200
0.200
0.202
0.110
0.111
0.090
0.090
0.214
0.210
0.187
0.154
0.150 0.127 0.118
0.121
0.114
0.098
0.100 0.096
0.092
0.069
0.050
0.056
A ntar Provinsi
0.063
A ntar Kab/Kota dalam P rovinsi Ketimpangan Total
0.000 1986
1990
1993
1997
2000
2007 Tahun
2003
Gambar 5.20. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antar Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Ditinjau dari besarnya persentase dekomposisi indeks Theil entropy (lihat Tabel 5.16), dapat diketahui bahwa sumber disparitas yang berasal dari disparitas antar provinsi menyumbangkan persentase lebih besar dibandingkan disparitas antar
kabupaten/kota
dalam
provinsi.
Namun,
apabila
dilihat
pola
kecenderungannya dari tahun ke tahun, dapat diketahui bahwa persentase dekomposisi indeks Theil entropy yang berasal dari disparitas antar provinsi nilainya menurun hingga tahun 2003, namun pada tahun 2007 angka tersebut kembali menunjukkan adanya peningkatan (Gambar 5.21).
Tabel 5.16. Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy Berdasarkan Disparitas Antar Provinsi dan Disparitas Antar Kabupaten/Kota dalam Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Dekomposisi Disparitas Indeks Theil Entropy (%)
Disparitas/ Provinsi Antar Provinsi
1986 1)
Antar Kab/Kota 1) Dalam Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat
1997
2000
2003
2007
66.90
63.11
55.14
55.21
54.46
56.74
36.20
33.10
36.89
44.86
44.79
45.54
43.26
9.12
12.07
15.72
16.23
17.09
18.92
18.36
2)
15.52
13.37
13.14
20.67
18.68
18.78
19.44
12.41
12.53
14.03
12.58
11.01
10.85
10.25
2)
DI Yogyakarta Banten
1993
63.80
2)
Jawa Tengah Jawa Timur
1990
2)
2)
Disparitas Total
2)
0.77
0.64
0.63
0.59
0.60
0.63
0.54
62.18
61.39
56.48
49.92
46.27
43.62
43.29
*)
*)
*)
*)
6.35
7.20
8.12
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: 1) Persentase terhadap disparitas total. 2) Persentase terhadap disparitas antar kabupaten/kota dalam provinsi. *) Banten masih termasuk dalam Provinsi Jawa Barat.
101
Sebelum OTDA
80.00
66.90
70.00
63.11
63.80
60.00
Persentase (%)
Setelah OTDA
55.14
55.21
44.86
44.79
56.74 54.46
50.00 40.00 30.00
45.54 43.26
36.89
36.20 33.10
20.00
A ntar P ro vinsi
10.00
A ntar Kab/Ko ta dalam P ro vinsi
0.00 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.21. Grafik Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy Berdasarkan Disparitas Antar Provinsi dan Disparitas Antar Kabupaten/Kota dalam Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
2. Disparitas Antara Kawasan Metropolitan/Megapolitan di Pulau Jawa dan Kawasan Non Metropolitan (Rest of Java/ROJ) Disparitas pembangunan antar wilayah yang terjadi di Pulau Jawa diduga juga diakibatkan oleh munculnya kawasan metropolitan/megapolitan yang kemudian berkembang pesat menjadi pusat-pusat pertumbuhan di Pulau Jawa. Kawasan metropolitan/megapolitan tersebut antara lain: 1) Kawasan Jabodetabek (Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kabupaten dan Kota Bekasi); 2) Kawasan Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi); 3) Kawasan Kedungsepur (Kabupaten Kendal, Kabupaten Semarang/Ungaran, Kabupaten Demak, Kabupaten Grobogan, Kota Semarang, dan Kota Salatiga); 4) Kawasan Kartamantul (Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul); dan 5) Kawasan Gerbangkertosusila (Kabupaten Gresik, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten dan Kota Mojokerto, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Lamongan). Dalam penelitian ini, dilakukan pembandingan untuk melihat besarnya disparitas pembangunan antar wilayah, khususnya antara kawasan metropolitan/megapolitan di Pulau Jawa dengan kawasan lain sisanya (rest of Java/ROJ). Ditinjau dari jumlah penduduknya (Tabel 5.17), dapat diketahui bahwa dari waktu ke waktu jumlah penduduk baik di kawasan metropolitan maupun di kawasan non metropolitan di Pulau Jawa mengalami peningkatan. Pada tahun 1986, penduduk kawasan metropolitan di Pulau Jawa jumlahnya sekitar 32 juta
102
jiwa, sedangkan sisanya (yang menghuni kawasan non metropolitan) jumlahnya mencapai 69 juta jiwa. Pada kondisi tahun 2007, jumlah penduduk kawasan metropolitan di Pulau Jawa telah meningkat menjadi sekitar 46 juta jiwa, sedangkan penduduk kawasan non metropolitan (sisanya/ROJ) berjumlah 84 juta jiwa. Dari data tersebut, nampak bahwa besarnya jumlah penduduk di kawasan non metropolitan adalah dua kali lipat dari jumlah penduduk di kawasan metropolitan. Secara grafis, dinamika pertumbuhan jumlah penduduk di kawasan metropolitan dan non metropolitan di Pulau Jawa (ROJ) dapat dilihat pada Gambar 5.22.
Tabel 5.17. Jumlah Penduduk Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (jiwa) Tahun
Metropolitan
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
Non Metropolitan
32,012,531 34,292,716 37,480,661 40,259,723 41,736,227 44,389,456 46,769,034
Jumlah
69,051,265 72,007,376 74,520,745 77,060,835 80,445,655 82,672,939 84,417,181
101,063,796 106,300,092 112,001,407 117,320,558 122,181,882 127,062,395 131,186,215
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS.
90,000,000 80,000,000
Jumlah Penduduk (jiwa)
70,000,000 60,000,000 50,000,000 40,000,000 30,000,000
Metropolitan
20,000,000
Non Metropolitan 10,000,000 0
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.22. Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Dari besarnya persentase rata-rata jumlah penduduk baik di kawasan metropolitan maupun di kawasan non metropolitan di Pulau Jawa (ROJ) tahun 1986-2007 (Tabel 5.18), dapat diketahui bahwa kawasan metropolitan dihuni sekitar 33.78% penduduk Pulau Jawa, sedangkan penduduk Jawa sisanya (66.22%) menghuni kawasan non metropolitan (ROJ).
103
Tabel 5.18.
Persentase Jumlah Penduduk Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan terhadap Jumlah Penduduk Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Metropolitan
Non Metropolitan
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
31.68 32.26 33.46 34.32 34.16 34.94 35.65 33.78
68.32 67.74 66.54 65.68 65.84 65.06 64.35 66.22
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas. Statistik Indonesia, BPS (diolah).
Ditinjau dari besarnya laju pertumbuhan penduduk (Gambar 5.23), dapat diketahui bahwa dari tahun ke tahun, besarnya laju pertumbuhan penduduk baik di kawasan metropolitan maupun di kawasan non metropolitan di Pulau Jawa (ROJ) berfluktuatif, dimana proporsi penduduk metropolitan secara relatif terus meningkat. 3.50 M etropo litan Non M etro po litan
Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
3.00
Total (Jawa)
2.50 2.00
1.50 1.00
0.50 0.00 1986-1990
1990-1993
1993-1997
1997-2000
2000-2003
2003-2007
Tahun
Gambar 5.23. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Dari besarnya nilai PDRB di masing-masing kawasan juga menunjukkan adanya disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. Dari Tabel 5.19 dapat dilihat bahwa kawasan metropolitan yang jumlah penduduknya hanya separuh dari jumlah penduduk kawasan non metropolitan, justru menyumbangkan PDRB dua kali lipat lebih besar dari kawasan non metropolitan. Dari fakta ini, dapat diamati besarnya pengaruh kawasan-kawasan metropolitan tersebut dalam sistem perekonomian di Pulau Jawa, terutama terkait dengan peranan strategisnya sebagai pusat-pusat pertumbuhan.
104
Tabel 5.19. Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanpa Migas Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (Juta Rupiah) Tahun
Metropolitan
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
204,120,925 280,520,848 364,975,234 531,890,663 474,603,021 549,496,647 686,648,760
Non Metropolitan 143,092,919 182,804,394 224,365,474 286,331,090 283,588,442 315,568,456 386,031,430
Jumlah 347,213,844 463,325,242 589,340,708 818,221,753 758,191,463 865,065,103 1,072,680,190
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 1986-2007. Keterangan: *Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000.
Gambar 5.24 di bawah ini menampilkan secara grafis dinamika pertumbuhan PDRB baik di kawasan metropolitan maupun kawasan non metropolitan di Pulau Jawa (ROJ) dari tahun 1986 hingga tahun 2007, dimana pertumbuhan PDRB kawasan metropolitan selalu lebih tinggi dibandingkan kawasan non metropolitan (ROJ). 800,000,000 700,000,000
PDRB (juta rupiah)
600,000,000 500,000,000 400,000,000 300,000,000 200,000,000
Metropolitan Non Metropolitan
100,000,000 0
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.24. Dinamika Pertumbuhan PDRB Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Gambar 5.25 berikut ini menampilkan besarnya persentase kontribusi PDRB masing-masing kawasan terhadap nilai PDRB total di Pulau Jawa tahun 1986-2007. Dari Gambar 5.25, dapat diamati bahwa besarnya persentase kontribusi PDRB yang disumbangkan oleh kawasan metropolitan semakin meningkat dari tahun ke tahun, dimana persentase rata-ratanya mencapai 62.34%, sedangkan rata-rata persentase kontribusi PDRB yang disumbangkan kawasan non metropolitan terhadap PDRB total di Pulau Jawa hanya sekitar 37.66%.
105
100.00 90.00 80.00
41.2
39.5
38.1
35.0
37.4
36.5
36.0
58.8
60.5
61.9
65.0
62.6
63.5
64.0
1993
1997
2000
2003
2007Tahun
Persentase (%)
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00
Non Metropolitan Metropolitan
0.00
1986
1990
Sumber: PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia (BPS), diolah.
Gambar 5.25. Persentase Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan terhadap Nilai PDRB Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Dari besarnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing kawasan dari tahun 1986-2007 (Tabel 5.20), dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonomi di kawasan metropolitan lebih tinggi dibandingkan kawasan non metropolitan dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 6.46% dan 5.07%.
Tabel 5.20. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Metropolitan
Non Metropolitan
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
9.36 10.04 11.43 -3.59 5.26 6.24 6.46
6.94 7.58 6.90 -0.32 3.76 5.58 5.07
8.36 9.07 9.71 -2.45 4.70 6.00 5.90
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
Diamati dari besarnya PDRB per kapita di masing-masing kawasan sebagaimana tersaji pada Gambar 5.26, dapat diketahui bahwa PDRB per kapita di kawasan metropolitan jauh lebih tinggi dibandingkan besarnya PDRB per kapita di kawasan non metropolitan. Meskipun tingginya nilai PDRB per kapita belum dapat menggambarkan besarnya personal income, namun hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di kawasan metropolitan lebih tinggi dibandingkan kawasan non metropolitan.
106
16,000,000 M etro po litan 14,000,000
No n M etro po litan
PDRB per kapita (Rp/th)
Jawa 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 -
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.26. Perkembangan PDRB per Kapita di Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Gambar 5.27 berikut ini mendeskripsikan perbandingan antara kawasan metropolitan dan kawasan non metropolitan di Pulau Jawa (ROJ), terutama dilihat dari parameter luas wilayah, jumlah penduduk dan besarnya kontribusi PDRB yang disumbangkan. 100% 90% 37.7
80% 70%
Proporsi
60%
66.2 83.5
50% 40% 62.3
30% 20% 10%
Non Metropolitan Metropolitan
33.8 16.5
0% % Luas
% Penduduk
% PDRB
Param eter
Gambar 5.27. Proporsi Luas Wilayah, Rata-rata Jumlah Penduduk dan Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Dari Gambar 5.27 di atas, dapat dilihat bahwa disparitas pembangunan antar wilayah yang terjadi di Pulau Jawa antara kawasan metropolitan dan non metropolitan (ROJ) disebabkan oleh kuatnya pengaruh kawasan metropolitan sebagai penggerak dalam perekonomian di Pulau Jawa. Sebab, kawasan metropolitan dengan luas wilayah yang hanya mencapai 16.54% dan berpenduduk sekitar 33.78% dari total penduduk Pulau Jawa, ternyata berkontribusi menyumbangkan PDRB lebih dari 60%. Sementara, kawasan non metropolitan yang luas wilayahnya mencapai 83.46% dan dihuni oleh 66.22% penduduk Pulau Jawa ternyata hanya menyumbangkan kurang dari 40% total PDRB Jawa.
107
Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan dengan Indeks Williamson dan Indeks Theil Entropy Hasil analisis disparitas antara kawasan metropolitan dan non metropolitan di Pulau Jawa (ROJ) dengan metode indeks Williamson (Tabel 5.21), menunjukkan bahwa dari tahun 1986 hingga 2000 besarnya derajat disparitas antar kawasan secara konsisten mengalami peningkatan (dari 0.346 menjadi 0.422). Pada tahun 2003 angka tersebut relatif tetap, sehingga tidak mengalami pergeseran dari posisi semula (0.422). Namun, pada tahun 2007 disparitas antar kedua kawasan tersebut sedikit berkurang, yang ditandai dengan menurunnya derajat disparitas (yaitu dari yang semula 0.422 menjadi 0.410). Secara grafis, dinamika perubahan besarnya derajat disparitas antara kawasan metropolitan dan non metropolitan disajikan pada Gambar 5.28.
Tabel 5.21. Besarnya Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 19862007 Menggunakan Indeks Williamson Disparitas Antar Kab/Kota
1986
1990
Indeks Williamson 1993 1997 2000
2003
2007
Kawasan metropolitan/ megapolitan
0.744
0.871
0.847
0.850
0.937
1.034
1.047
Kawasan non metropolitan/ Rest of Java
0.775
0.853
0.885
1.048
0.976
0.951
0.951
Disparitas antara kawasan metropolitan vs non metropolitan
0.346
0.370
0.369
0.412
0.422
0.422
0.410
Sumber: Hasil Analisis.
Sebelum OTDA
1.200
Setelah OTDA 1.048
1.034
1.000 0.871
0.885
Indeks Williamson
0.937
0.800
1.047
0.976
0.775
0.853
0.847
0.951
0.951
0.850
0.744
0.600 0.412
0.400
0.346
0.370
0.422
0.422
0.410
0.369 Kawasan metro po litan/ megapo litan Kawasan no n metro po litan/ Rest o f Java
0.200
M etro po litan vs No n M etro po litan
0.000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.28. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson
108
Disparitas antara kawasan metropolitan dan non metropolitan yang dianalisis dengan indeks Theil entropy menunjukkan bahwa besarnya derajat disparitas total yang terjadi di Pulau Jawa memiliki nilai yang sama persis dengan disparitas total pada saat membicarakan disparitas antar provinsi. Bedanya, jika pada disparitas antar provinsi sumber disparitas terbesar berasal dari disparitas antar kawasan (between groups), namun pada disparitas antara kawasan metropolitan dan non metropolitan (ROJ), sumber disparitas yang lebih tinggi disumbangkan dari disparitas dalam kelompok (within groups), sebagaimana disajikan secara tabular dan grafis pada Tabel 5.22 dan Gambar 5.29.
Tabel 5.22. Besarnya Disparitas Antara Kawasan Metropolitan vs Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Indeks Theil Entropy
Disparitas/ Kawasan
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Antar Kawasan
0.0674
0.0729
0.0732
0.0847
0.0728
0.0733
0.0719
Antar Kab/Kota Dalam Kawasan
0.0866
0.1170
0.1135
0.1154
0.1309
0.1367
0.1417
Metropolitan
0.0614
0.0892
0.0846
0.0830
0.0926
0.0997
0.1069
Non Metropolitan
0.0252
0.0278
0.0289
0.0324
0.0383
0.0370
0.0348
0.1540
0.1899
0.1867
0.2001
0.2037
0.2100
0.2136
Disparitas Total
Sumber: Hasil Analisis.
Sebelum OTDA
0.250
Setelah OTDA 0.200
0.190
Indeks Theil Entropy
0.200
0.204
0.210
0.214
0.187
0.154
0.150
0.100
0.131 0.117
0.113
0.073
0.073
0.137
0.142
0.115
0.087 0.073
0.073
0.072
0.085
0.050
0.067
Antar Kawasan (metro politan vs ROJ) Antar Kab/Kota dalam Kawasan Ketimpangan To tal
0.000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.29. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Metropolitan vs Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Dilihat dari besarnya persentase dekomposisi indeks Theil entropy pada kawasan metropolitan dan non metropolitan (ROJ) tahun 1986-2007 (Tabel 5.23),
109
dapat diketahui bahwa sumber disparitas yang berasal dari disparitas antar kawasan (between regions) memiliki persentase yang lebih rendah dibandingkan disparitas dalam kawasan (within regions). Hal ini berarti bahwa derajat disparitas antar kabupaten/kota dalam masing-masing kawasan mempunyai nilai yang lebih besar (dominan) dibandingkan dengan disparitas antar kedua kawasan tersebut, dimana disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan metropolitan berkontribusi lebih besar dalam menyumbangkan disparitas within regions dibandingkan disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan non metropolitan (Gambar 5.30).
Tabel 5.23. Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 19862007 (dalam %) Dekomposisi Disparitas Indeks Theil Entropy (%)
Disparitas/ Kawasan Antar Kawasan
1)
Antar Kab/Kota 1) Dalam Kawasan Metropolitan
2)
Non Metropolitan Disparitas Total
2)
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
43.78
38.40
39.22
42.31
35.74
34.89
33.66
56.22
61.60
60.78
57.69
64.26
65.11
66.34
70.91
76.20
74.54
71.92
70.74
72.93
75.47
29.09
23.80
25.46
28.08
29.26
27.07
24.53
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: 1) Persentase terhadap disparitas total. 2) Persentase terhadap disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan. Setelah OTDA
Sebelum OTDA 70.00 61.60
60.00
60.78
56.22
64.26
65.11
35.74
34.89
66.34
57.69
Persentase (%)
50.00
40.00
43.78
42.31 38.40
39.22
30.00
33.66
20.00 A ntar Kawasan (metropo litan vs ROJ)
10.00
A ntar Kab/Ko ta dalam Kawasan
0.00 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.30. Grafik Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Metropolitan dan Non Metropolitan di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
110
3. Disparitas Antara Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek Kawasan metropolitan terbesar di Pulau Jawa, bahkan di Indonesia saat ini adalah Kawasan Jabodetabek. Menurut UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, kawasan metropolitan merupakan kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya satu juta jiwa. Kawasan Jabodetabek tumbuh dan berkembang dengan Jakarta sebagai kawasan perkotaan inti, sedangkan kawasan di sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) berfungsi sebagai hinterland-nya. Besarnya pengaruh Kawasan Jabodetabek bagi perkembangan Pulau Jawa, bahkan mengingat peranannya yang begitu strategis dalam konstelasi pembangunan nasional, memperkuat dugaan bahwa salah satu penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Pulau Jawa adalah semakin terpolarisasinya pembangunan di kawasan tersebut. Alasan itulah yang menyebabkan mengapa disparitas antara Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek juga dikaji dalam penelitian ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Kawasan Jabodetabek merupakan kawasan metropolitan yang terdiri dari gabungan beberapa kawasan perkotaan (dengan inti dan plasma) yang memiliki keterkaitan fungsional. Bahkan, karena populasi penduduk di kawasan ini yang jumlahnya lebih dari sepuluh juta jiwa, maka Jabodetabek bukan lagi disebut kawasan metropolitan, melainkan kawasan megapolitan. Tabel 5.24 dan Gambar 5.31 berikut ini menyajikan secara rinci data dan dinamika pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa tahun 1986-2007.
Tabel 5.24. Jumlah Penduduk Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (jiwa) Tahun 1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
Jabodetabek
Non Jabodetabek
15,392,096 16,563,089 18,696,185 20,997,337 21,316,943 22,616,078 24,398,393
85,671,700 89,737,003 92,745,051 96,323,221 100,864,939 104,446,317 106,787,822
Jumlah 101,063,796 106,300,092 111,441,237 117,320,558 122,181,882 127,062,395 131,186,215
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS.
111
120,000,000
Jumlah Penduduk (jiwa)
100,000,000
80,000,000
Jabodetabek
60,000,000
Non Jabodetabek 40,000,000
20,000,000
0
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.31. Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Besarnya persentase rata-rata jumlah penduduk pada masing-masing kawasan tahun 1986-2007 (Tabel 5.25), menunjukkan bahwa rata-rata jumlah penduduk yang menghuni Kawasan Jabodetabek adalah sekitar 17.05% dari total penduduk Pulau Jawa, sedangkan sisanya (82.95%) tinggal di luar Jabodetabek. Sementara itu, ditinjau dari besarnya laju pertumbuhan penduduk (Tabel 5.26), dapat diamati bahwa dari tahun ke tahun besarnya laju pertumbuhan penduduk, baik di Kawasan Jabodetabek maupun di Kawasan Non Jabodetabek berfluktuatif. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa besarnya laju pertumbuhan penduduk di Kawasan Jabodetabek selalu lebih tinggi dibandingkan di Kawasan Non Jabodetabek, dengan nilai laju pertumbuhan rata-rata masing-masing adalah sebesar 2.30% dan 1.10%.
Tabel 5.25. Persentase Jumlah Penduduk Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek terhadap Jumlah Penduduk Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jabodetabek
Non Jabodetabek
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
15.23 15.58 16.78 17.90 17.45 17.80 18.60 17.05
84.77 84.42 83.22 82.10 82.55 82.20 81.40 82.95
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas. Statistik Indonesia, BPS (diolah).
112
Tabel 5.26. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jabodetabek
Non Jabodetabek
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
1.90 4.29 3.08 0.51 2.03 1.97 2.30
1.19 1.12 0.96 1.57 1.18 0.56 1.10
1.30 1.61 1.32 1.38 1.33 0.81 1.29
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS (diolah).
Besarnya nilai PDRB di masing-masing kawasan (Tabel 5.27) dan dinamika pertumbuhannya dari tahun 1986-2007 (Gambar 5.32) menunjukkan adanya disparitas pada kedua kawasan tersebut, dimana Kawasan Jabodetabek dengan jumlah penduduk sekitar 17% dari total penduduk Jawa, berkontribusi lebih dari dua pertiga bagian PDRB yang disumbangkan oleh Kawasan Non Jabodetabek yang notabene dihuni oleh jumlah penduduk yang jauh lebih banyak.
Tabel 5.27. Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanpa Migas Atas Dasar Harga Konstan* Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (Juta Rupiah) Tahun
Jabodetabek
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
Non Jabodetabek
134,845,404 185,800,580 242,104,290 356,785,990 319,198,056 370,645,459 469,870,330
212,368,440 277,524,662 347,236,418 461,435,763 438,993,407 494,419,644 602,809,860
Jumlah 347,213,844 463,325,242 589,340,708 818,221,753 758,191,463 865,065,103 1,072,680,190
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 1986-2007. Keterangan: *Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan telah distandarisasi. 700,000,000
P D R B ( ju t a ru p ia h )
600,000,000
500,000,000
400,000,000
300,000,000
Jabodetabek
200,000,000
Non Jabodetabek 100,000,000
0
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.32. Dinamika Pertumbuhan PDRB Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
113
Dari Tabel 5.28 dapat dilihat bahwa besarnya persentase kontribusi PDRB yang disumbangkan oleh Kawasan Jabodetabek semakin meningkat dari tahun ke tahun, dimana persentase rata-ratanya mencapai 41.77%. Sebaliknya, besarnya persentase kontribusi PDRB Kawasan Non Jabodetabek semakin lama cenderung makin menurun dengan persentase rata-rata sebesar 58.23%.
Tabel 5.28. Persentase PDRB Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek terhadap PDRB Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jabodetabek
Non Jabodetabek
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
38.84 40.10 41.08 43.61 42.10 42.85 43.80 41.77
61.16 59.90 58.92 56.39 57.90 57.15 56.20 58.23
Sumber: PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia. Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
Dari besarnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing kawasan dari tahun 1986-2007 (sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.29 di bawah ini), dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonomi di Kawasan Jabodetabek lebih tinggi dibandingkan Kawasan Non Jabodetabek dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 6.66% dan 5.39%. Hal ini semakin memperkuat dugaan akan besarnya dominansi Kawasan Jabodetabek terhadap pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Adapun dinamika perubahan laju pertumbuhan ekonomi di Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek tahun 1986-2007 disajikan secara grafis pada Gambar 5.33.
Tabel 5.29. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jabodetabek
Non Jabodetabek
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
9.45 10.10 11.84 -3.51 5.37 6.69 6.66
7.67 8.37 8.22 -1.62 4.21 5.48 5.39
8.36 9.07 9.71 -2.45 4.70 6.00 5.90
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
114
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
14.00
Jabodetabek
12.00
Non Jabodetabek 10.00
Total (Jaw a)
8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1986-1990
1990-1993
1993-1997
1997-2000
2000-2003
2003-2007
-2.00
Tahun -4.00
Gambar 5.33. Dinamika Perubahan Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek Tahun 1986-2007 Ditinjau dari besarnya nilai PDRB per kapita sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.34, dapat diketahui bahwa perkembangan PDRB per kapita di Kawasan Jabodetabek memiliki kecenderungan yang terus meningkat, dan nilainya jauh meninggalkan PDRB per kapita di Kawasan Non Jabodetabek. 25,000,000 Jabodetabek Non Jabodetabek Jaw a
PDRB per kapita (Rp/th)
20,000,000
15,000,000
10,000,000
5,000,000
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.34. Perkembangan Nilai PDRB per Kapita di Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Gambar 5.35 berikut ini mendeskripsikan perbandingan antara Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Non Jabodetabek, khususnya dilihat dari parameter luas wilayah, jumlah penduduk dan besarnya kontribusi PDRB yang disumbangkan. Dari Gambar 5.35, dapat dilihat bahwa Kawasan Jabodetabek dengan luas wilayah yang sangat sempit (kurang dari 5% total luas Pulau Jawa) dan ditinggali oleh sekitar 17% penduduk pulau tersebut, ternyata berperan sangat penting dalam sektor perekonomian karena menyumbangkan hampir separuh bagian dari PDRB total di Pulau Jawa. Sedangkan separuh bagian lagi merupakan kontribusi PDRB dari Kawasan Non Jabodetabek yang luas wilayahnya meliputi 95% total luas Pulau Jawa dan dihuni oleh sekitar 83% penduduk pulau tersebut.
115
100% 90% 80%
58.2
Proporsi
70% 60%
83.0 95.0
50%
Non Jabodetabek Jabodetabek
40% 30%
41.8
20% 10%
17.0 5.0
0%
% Luas
% Penduduk
% PDRB
Parameter
Gambar 5.35. Proporsi Luas Wilayah, Rata-rata Jumlah Penduduk dan Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek dengan Indeks Williamson dan Indeks Theil Entropy Hasil indeks Williamson dalam menganalisis disparitas antara Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek (sebagaimana yang disajikan pada Tabel 5.30) menunjukkan bahwa dari tahun 1986-2007 besarnya derajat disparitas antar kawasan mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu signifikan (dari 0.482 di tahun 1986 menjadi 0.551 di tahun 2007). Dari Gambar 5.36 yang menyajikan dinamika perubahan besarnya derajat disparitas antar kedua kawasan tersebut secara grafis, dapat diketahui bahwa disparitas antar kabupaten/kota di Kawasan Jabodetabek nilainya lebih kecil dibandingkan disparitas di Kawasan Non Jabodetabek.
Tabel 5.30. Besarnya Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 19862007 Menggunakan Indeks Williamson Disparitas Antar Kab/Kota
Indeks Williamson 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Kawasan Jabodetabek
0.542
0.681
0.686
0.733
0.765
0.863
0.852
Kawasan Non Jabodetabek
0.801
0.875
0.901
1.043
0.995
0.957
0.993
Disparitas Antara Kawasan Jabodetabek vs Non Jabodetabek
0.482
0.527
0.505
0.505
0.555
0.556
0.551
Sumber: Hasil Analisis.
116
Sebelum OTDA
1.200
Setelah OTDA 1.043 0.995
1.000
Indeks Williamson
0.875 0.801
0.733
0.800
0.600
0.400
0.957
0.993
0.901
0.681
0.686
0.527
0.505
0.765 0.863
0.852
0.556
0.551
0.542
0.482
0.555 0.505
Jabo detabek No n Jabo detabek
0.200 Jabo detabek vs No n Jabo detabek
0.000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.36. Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Indeks Theil entropy hasil analisis disparitas di Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek menunjukkan bahwa besarnya derajat disparitas antar kawasan (between regions) mempunyai nilai yang relatif tetap dari tahun 1986 hingga 2007, yaitu sebesar 0.072. Sedangkan besarnya derajat disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (within regions) memiliki nilai yang lebih tinggi dengan kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Secara rinci besarnya disparitas antara Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek yang didekomposisikan menjadi disparitas antar kawasan (between regions) dan disparitas dalam kawasan (within regions) menggunakan indeks Theil entropy dapat diamati pada Tabel 5.31 dan ditampilkan secara grafis pada Gambar 5.37 berikut ini.
Tabel 5.31. Besarnya Disparitas Antara Kawasan Jabodetabek vs Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Disparitas/ Kawasan
Indeks Theil Entropy 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Antar Kawasan
0.0712
0.0754
0.0714
0.0767
0.0719
0.0733
0.0725
Antar Kab/Kota Dalam Kawasan
0.0828
0.1145
0.1158
0.1234
0.1318
0.1367
0.1411
Jabodetabek
0.0288
0.0550
0.0534
0.0525
0.0601
0.0678
0.0742
Non Jabodetabek
0.0540
0.0596
0.0624
0.0710
0.0717
0.0690
0.0669
0.1540
0.1899
0.1872
0.2001
0.2037
0.2100
0.2136
Disparitas Total
Sumber: Hasil Analisis.
117
Sebelum OTDA
0.250
0.190
Indeks Theil Entropy
0.200
Setelah OTDA 0.200
0.204
0.210
0.214
0.137
0.141
0.187
0.154
0.150
0.100
0.115
0.116
0.071
0.075
0.071
1986
1990
1993
0.123
0.132 A ntar Kawasan (jabodetabek vs non jabodetabek) A ntar Kab/Kota dalam Kawasan
0.083
Ketimpangan Total 0.077
0.072
0.073
0.073
1997
2000
2003
2007
0.050
0.000 Tahun
Gambar 5.37. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Jabodetabek vs Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Ditinjau dari besarnya persentase dekomposisi indeks Theil entropy pada Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek tahun 1986-2007 (Tabel 5.32), dapat diketahui bahwa pada mulanya (kondisi tahun 1986) sumber disparitas yang berasal dari disparitas antar kawasan (between regions) dan disparitas dalam kawasan (within regions) memiliki proporsi yang hampir sama dalam menyumbangkan disparitas. Namun, seiring berjalannya waktu, derajat disparitas yang berasal dari disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan cenderung menunjukkan dominansinya, sehingga persentase disparitas dalam kawasan (within regions) semakin meningkat dari tahun ke tahun, yang berdampak pada semakin berkurangnya proporsi disparitas antar kawasan (between regions), sebagaimana ditampilkan secara grafis pada Gambar 5.38.
Tabel 5.32. Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (dalam %) Dekomposisi Disparitas Indeks Theil Entropy (%)
Disparitas/ Kawasan Antar Kawasan
1)
Antar Kab/Kota 1) Dalam Kawasan Jabodetabek
2)
Non Jabodetabek Disparitas Total
2)
1986 46.24
1990 39.69
1993 38.13
1997 38.31
2000 35.28
2003 34.88
2007 33.96
53.76
60.31
61.87
61.69
64.72
65.12
66.04
34.80
47.99
46.14
42.52
45.62
49.56
65.20
52.01
53.86
57.48
54.38
50.44
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: 1) Persentase terhadap disparitas total. 2) Persentase terhadap disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan.
52.60 47.40 100.00
118
Sebelum OTDA
Setelah OTDA
70.00 60.31
61.87
61.69
38.13
38.31
64.72
65.12
35.28
34.88
66.04
60.00 53.76
Persen tase (% )
50.00 46.24
40.00 39.69
30.00
20.00
33.96
A ntar Kawasan (jabodetabek vs non jabodetabek) A ntar Kab/Kota dalam Kawasan
10.00
0.00 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.38. Grafik Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Jabodetabek dan Non Jabodetabek di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 4. Disparitas Antara Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) Salah satu perbedaan mendasar antara kawasan kabupaten dan kota (perkotaan) adalah jenis kegiatan utama pada kawasan kabupaten biasanya tidak jauh dari pengembangan pertanian maupun kegiatan berbasis pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan di kawasan kota (perkotaan), jenis kegiatan utama yang berkembang adalah sektor jasa (keuangan), industri dan perdagangan. Perlunya kajian yang memperbandingkan antara kawasan kabupaten dan kota (perkotaan), termasuk menganalisis bentuk-bentuk disparitas antara kedua kawasan tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa besarnya pengaruh dan tingkat pencapaian pembangunan pada kedua kawasan tersebut tidaklah sama. Di Pulau Jawa (sampai dengan tahun 2007) sedikitnya terdapat 116 wilayah administrasi yang terdiri dari 84 kabupaten dan 32 kota. Ditinjau dari jumlah penduduknya (Tabel 5.33), dapat diamati bahwa jumlah penduduk pada kedua kawasan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1986, jumlah penduduk di kawasan kota (perkotaan) di Pulau Jawa sekitar 16 juta jiwa, sedangkan di kawasan kabupaten jumlahnya enam kali lipat lebih banyak (sekitar 84 juta jiwa). Kondisi pada tahun 2007, jumlah penduduk di kawasan kota (perkotaan) sudah bertambah menjadi 27 juta jiwa, sedangkan di kawasan kabupaten jumlahnya mencapai 103 juta jiwa. Dinamika pertumbuhan penduduk di masing-masing kawasan tahun 1986-2007 disajikan pada Gambar 5.39.
119
Tabel 5.33.
Jumlah Penduduk Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (jiwa) Tahun
Kabupaten
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
Kota
84,354,872 88,972,440 91,904,286 94,277,000 98,530,156 100,785,295 103,693,915
Jumlah
16,708,924 17,327,653 20,097,120 23,043,558 23,651,726 26,277,100 27,492,299
101,063,796 106,300,092 112,001,407 117,320,558 122,181,882 127,062,395 131,186,215
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS.
120,000,000
J um la h Penduduk (jiwa )
100,000,000
80,000,000
Kota 60,000,000
Kabupaten
40,000,000
20,000,000
-
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.39. Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
100.00 90.00
Persentase Penduduk (%)
80.00 70.00 60.00
83.5
83.7
82.1
80.4
80.6
79.3
79.0
50.00 Kabupaten
40.00
Kota
30.00 20.00 10.00
16.5
16.3
17.9
19.6
19.4
20.7
21.0
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.00 Tahun
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas. Statistik Indonesia, BPS (diolah).
Gambar 5.40. Persentase Jumlah Penduduk Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) terhadap Jumlah Penduduk Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%)
120
Dari besarnya persentase jumlah penduduk pada masing-masing kawasan pada tahun 1986-2007 (sebagaimana dapat diamati pada Gambar 5.40), menunjukkan bahwa rata-rata jumlah penduduk yang menghuni kawasan kota (perkotaan) adalah sekitar 18.77% dari total penduduk Pulau Jawa, sedangkan sisanya (81.23%) tinggal di kawasan kabupaten. Sementara itu, ditinjau dari besarnya laju pertumbuhan penduduk (lihat Tabel 5.34 dan Gambar 5.41), dapat diamati bahwa dari tahun ke tahun besarnya laju pertumbuhan penduduk, baik di kawasan kota (perkotaan) maupun di kawasan kabupaten berfluktuatif. Namun, yang perlu diketahui di sini adalah bahwa besarnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk di kawasan kota (perkotaan) di Pulau Jawa jauh lebih tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk di kawasan kabupaten, dengan nilai masing-masing adalah 2.61% dan 1.02%.
Tabel 5.34. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun 1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
Kabupaten 1.37 1.10 0.65 1.50 0.76 0.72 1.02
Kota 0.93 5.33 3.67 0.88 3.70 1.16 2.61
Total (Jawa) 1.30 1.79 1.19 1.38 1.33 0.81 1.30
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS (diolah).
6.00 Kota Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
5.00
Kabupaten Total (Jaw a)
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00 1986-1990
1990-1993
1993-1997
1997-2000
2000-2003
2003-2007
Tahun
Gambar 5.41. Dinamika Perubahan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kawasan Perkotaan (Kota) dan Kabupaten di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
121
Disparitas pembangunan antara kawasan kabupaten dan kota (perkotaan) di Pulau Jawa akan semakin tampak pada saat membandingkan besarnya PDRB yang dihasilkan di masing-masing kawasan. Dari Tabel 5.35 dapat diketahui bahwa pada tahun 1986, besarnya PDRB yang disumbangkan oleh kawasan kota (perkotaan) masih lebih rendah dibandingkan PDRB kawasan kabupaten. Namun, pesatnya pembangunan dan berkembangnya perekonomian di kawasan perkotaan di Pulau Jawa dari waktu ke waktu menyebabkan kondisi yang terjadi sekarang justru kebalikannya. Data pada Tabel 5.35 menunjukkan bahwa mulai tahun 1997, nilai PDRB yang disumbangkan oleh kawasan kota (perkotaan) di Pulau Jawa sudah lebih tinggi dari porsi yang disumbangkan oleh kawasan kabupaten. Secara grafis, dinamika pertumbuhan PDRB di kawasan kabupaten dan kota (perkotaan) di Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 5.42.
Tabel 5.35. Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanpa Migas Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (Juta Rupiah) Tahun
Kabupaten
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
188,836,420 237,627,979 295,267,126 389,450,781 369,965,609 408,778,182 505,535,110
Kota
Jumlah
158,377,424 225,697,263 294,073,582 428,770,973 388,225,854 456,286,921 567,145,080
347,213,844 463,325,242 589,340,708 818,221,753 758,191,463 865,065,103 1,072,680,190
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 1986-2007. (Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan telah distandarisasi). 600,000,000
PDRB (juta rupiah)
500,000,000
400,000,000
300,000,000
200,000,000 Kota 100,000,000
Kabupaten
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.42. Dinamika Pertumbuhan PDRB Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
122
Gambar 5.43 berikut ini menampilkan besarnya persentase kontribusi PDRB masing-masing kawasan terhadap nilai PDRB total di Pulau Jawa tahun 1986-2007. 100.00
Persentase Kontribusi PDRB (%)
90.00 80.00 70.00
54.4
51.3
50.1
47.6
48.8
47.3
47.1
60.00 Kabupaten
50.00
Kota 40.00 30.00 20.00
45.6
48.7
49.9
52.4
51.2
52.7
52.9
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
10.00 0.00 Tahun
Sumber: PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia (BPS), diolah.
Gambar 5.43. Persentase Kontribusi PDRB Kawasan Kabupaten dan Perkotaan (Kota) terhadap Nilai PDRB Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Dari Gambar 5.43 dapat diketahui bahwa besarnya persentase kontribusi PDRB yang disumbangkan oleh kawasan kota (perkotaan) pada mulanya sedikit lebih rendah dibandingkan kawasan kabupaten. Namun, trend yang terjadi dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa besarnya persentase kontribusi PDRB kawasan kota (perkotaan) mempunyai kecenderungan yang semakin meningkat, sedangkan fenomena yang terjadi pada kawasan kabupaten justru kebalikannya. Dari besarnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing kawasan dari tahun 1986-2007 (Tabel 5.36 dan Gambar 5.44), dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan (kota) di Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan kawasan kabupaten dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 6.82% dan 5.04%.
Tabel 5.36. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Kabupaten
Kota
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
6.46 8.09 7.97 -1.67 3.50 5.92 5.04
10.63 10.10 11.45 -3.15 5.84 6.07 6.82
8.36 9.07 9.71 -2.45 4.70 6.00 5.90
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
123
14.00 Kota
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
12.00
Kabupaten 10.00
Total (Jaw a)
8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1986-1990
1990-1993
1993-1997
1997-2000
2000-2003
2003-2007
-2.00 Tahun
-4.00
Gambar 5.44. Dinamika Perubahan Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Perkotaan (Kota) dan Kabupaten di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Tingginya nilai PDRB per kapita di kawasan perkotaan (kota) di Pulau Jawa dibandingkan dengan PDRB per kapita di kawasan kabupaten seperti yang terlihat pada Gambar 5.45 juga menunjukkan adanya suatu disparitas antara kedua kawasan tersebut. Dari grafik yang disajikan pada Gambar 5.45 dapat diamati bahwa kawasan perkotaan berkembang lebih baik dibandingkan dengan kawasan kabupaten, sehingga hal ini berdampak pula pada pencapaian nilai PDRB per kapita di kedua kawasan yang cukup timpang. 25,000,000
PDRB per kapita (Rp/th)
Kota Kabupaten 20,000,000
Jaw a
15,000,000
10,000,000
5,000,000
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007Tahun
Gambar 5.45. Perkembangan Besarnya PDRB per Kapita di Kawasan Perkotaan (Kota) dan Kabupaten di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Perbandingan antara kawasan kabupaten dan kota (perkotaan) di Pulau Jawa terutama ditinjau dari luas wilayah, jumlah penduduk dan besarnya persentase PDRB yang dihasilkan (lihat Gambar 5.46), menunjukkan adanya suatu disparitas pembangunan antara kedua kawasan tersebut.
124
100% 90% 80% 49.5
Proporsi
70% 60%
81.2 95.3
50%
Kabupaten
40%
Kota
30%
50.5
20% 10%
18.8 4.7
0%
% Luas
% Penduduk
% PDRB
Param eter
Gambar 5.46. Proporsi Luas Wilayah, Rata-rata Jumlah Penduduk dan Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Dari Gambar 5.46 dapat diketahui bahwa kawasan kota (perkotaan) yang luasnya hanya meliputi sebagian kecil total luas Jawa dan dihuni sekitar 18.8% penduduk, pada kenyataan menyumbangkan PDRB dengan proporsi bagian yang sama dengan PDRB yang disumbangkan oleh kawasan kabupaten, bahkan ada kecenderungan bahwa besarnya persentase tersebut semakin meningkat.
Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) dengan Indeks Williamson dan Indeks Theil Entropy Indeks Williamson hasil analisis disparitas antara kawasan kabupaten dan kota (perkotaan) di Pulau Jawa (Tabel 5.37) menunjukkan bahwa dari tahun 19862007 besarnya derajat disparitas antar kawasan menunjukkan kecenderungan yang relatif tidak berubah, yaitu sekitar 0.56. Namun, dari Tabel 5.37 dapat dilihat bahwa besarnya derajat disparitas antar kota lebih tinggi dibandingkan dengan disparitas antar kabupaten.
Tabel 5.37. Besarnya Disparitas Antara Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Indeks Williamson Disparitas Antar Kabupaten Antar Kota Disparitas Antara Kabupaten vs Kota
Sumber: Hasil Analisis.
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.498 0.673
0.517 0.801
0.549 0.807
0.613 0.869
0.722 0.932
0.689 1.094
0.683 1.088
0.555
0.580
0.566
0.593
0.599
0.581
0.575
125
Sebelum OTDA
Setelah OTDA
1.200 1.094
1.088
0.722
0.689
0.683
0.599
0.581
0.575
0.932
1.000
Indeks Williamson
0.869 0.801
0.807
0.800 0.673 0.613
0.600
0.555
0.580
0.566 0.593
0.400
0.498
0.517
0.549
Antar Kabupaten Antar Kota
0.200
Kabupaten vs Kota
0.000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.47. Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada Kawasan Kabupaten dan Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Bahkan dari kenampakan grafis yang disajikan pada Gambar 5.47, dapat diamati bahwa disparitas antar kota mempunyai kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan disparitas antar kabupaten juga mengalami peningkatan (dari tahun 1986 hingga 2000) meskipun dengan derajat disparitas yang lebih rendah dari disparitas antar kota, namun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 nilai indeks tersebut berangsur-angsur turun. Indeks Theil entropy hasil analisis disparitas antara kawasan kabupaten dan kawasan kota (perkotaan) di Pulau Jawa menunjukkan bahwa disparitas antar kawasan (between regions) cenderung semakin melebar (periode tahun 19862007), sedangkan besarnya derajat disparitas dalam kawasan (within regions) semakin lama semakin menurun. Pada tahun 2007, besarnya derajat disparitas antara kawasan kabupaten dan kawasan kota (perkotaan) di Pulau Jawa memiliki nilai yang sama, yaitu 0.107 (lihat Tabel 5.38 dan Gambar 5.48).
Tabel 5.38. Besarnya Disparitas Antara Kawasan Kabupaten vs Kota di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Indeks Theil Entropy
Disparitas/ Kawasan
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Antar Kawasan
0.0999
0.1225
0.1143
0.1151
0.1098
0.1082
0.1066
Antar Kab/Kota Dalam Kawasan
0.0541
0.0674
0.0724
0.0850
0.0938
0.1018
0.1069
Kabupaten
0.0240
0.0246
0.0257
0.0325
0.0329
0.0319
0.0314
Kota
0.0301
0.0428
0.0467
0.0525
0.0609
0.0699
0.0756
0.1540
0.1899
0.1867
0.2001
0.2037
0.2100
0.2136
Disparitas Total
Sumber: Hasil Analisis.
126
Sebelum OTDA
0.250
Setelah OTDA
0.200
Indeks Theil Entropy
0.190
0.200
0.204
0.115
0.110
0.214
0.210
0.187
0.154
0.150 0.123
0.114
0.108
0.100
0.107
0.100
0.107
0.102 0.094 0.085
0.050
0.072
0.067
A ntar Kawasan (Kab vs Kota)
0.054
A ntar Kab/Ko ta dalam Kawasan Ketimpangan Total
0.000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Year
Gambar 5.48. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Kabupaten vs Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Besarnya persentase dekomposisi indeks Theil entropy pada kawasan kabupaten dan kota (perkotaan) di Pulau Jawa tahun 1986-2007 (sebagaimana hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 5.39) menunjukkan bahwa pada mulanya (kondisi tahun 1986) disparitas yang bersumber dari disparitas antar kawasan (between regions) memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan disparitas dalam kawasan (within regions), dimana nilainya masing-masing sebesar 64.87% dan 35.13%. Namun, seiring berjalannya waktu, besarnya persentase disparitas antar kawasan berangsur-angsur mengalami penurunan. Sebaliknya, persentase antar kabupaten/kota dalam kawasan secara konsisten meningkat, hingga pada tahun 2007 besarnya persentase disparitas baik antar maupun dalam kawasan memiliki persentase yang nyaris sama, yaitu sekitar 50% (Gambar 5.49).
Tabel 5.39. Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Kabupaten vs Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Disparitas/ Kawasan Antar Kawasan
1)
Antar Kab/Kota 1) Dalam Kawasan Kabupaten Kota
2)
2)
Disparitas Total
Dekomposisi Disparitas Indeks Theil Entropy (%) 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
64.87
64.50
61.21
57.51
53.93
51.52
49.93
35.13
35.50
38.79
42.49
46.07
48.48
50.07
44.31
36.49
35.43
38.25
35.10
31.35
55.69
63.51
64.43
61.75
64.90
68.65
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: 1) Persentase terhadap disparitas total. 2) Persentase terhadap disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan.
29.36 70.64 100.00
127
Sebelum OTDA 70.00
64.87
Setelah OTDA
64.50 61.21 57.51
60.00
53.93 51.52
49.93
Persentase (%)
50.00 48.48
50.07
46.07
40.00
42.49 38.79
30.00
35.13
35.50
Antar Kaw asan (Kab vs Kota)
20.00
Antar Kab/Kota dalam Kaw asan
10.00
0.00 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Gambar 5.49. Grafik Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Kabupaten vs Kota (Perkotaan) di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 5. Disparitas Antara Kawasan Pesisir dan Non Pesisir Secara formal definisi kawasan pesisir tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam keputusan tersebut, kawasan pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut: ke arah darat kawasan pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi tersebut juga menunjukkan bahwa tidak terdapat garis batas nyata kawasan pesisir. Batas kawasan hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat, pada tempat yang landai garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknya untuk wilayah pantai yang terjal. Mengacu pada definisi sebagaimana yang diuraikan di atas, maka di dalam penelitian ini pengkategorian kawasan pesisir adalah kabupaten/kota yang wilayahnya (atau sebagian wilayahnya) berbatasan langsung dengan laut dan mempunyai garis pantai. Sedangkan kabupaten/kota yang tidak memenuhi kriteria tersebut dikategorikan dalam kawasan non pesisir. Perlunya mengkaji dan membandingkan bentuk-bentuk disparitas antara kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa dalam penelitian ini adalah adanya dugaan bahwa karakteristik wilayah merupakan salah satu faktor yang
128
mempengaruhi
terjadinya
disparitas
antar
wilayah,
sebagaimana
yang
diungkapkan oleh Murty (2000) yang membenarkan bahwa karakteristik wilayah yang tampak dari perbedaan distribusi sumberdaya alam, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya menjadi faktor-faktor utama penyebab disparitas pembangunan. Dilihat dari jumlah penduduknya (Tabel 5.40 dan Gambar 5.50), dapat diamati bahwa jumlah penduduk pada kedua kawasan terus mengalami peningkatan dari tahun 1986 hingga tahun 2007, dimana jumlah penduduk di kawasan pesisir lebih banyak dibandingkan dengan di kawasan non pesisir.
Tabel 5.40. Jumlah Penduduk Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (jiwa) Tahun
Pesisir
Non Pesisir
Jumlah
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
56,471,247 60,165,328 62,710,373 64,418,626 67,301,637 70,077,372 71,232,244
44,592,549 46,134,764 49,291,034 52,901,932 54,576,921 56,985,023 59,953,971
101,063,796 106,300,092 112,001,407 117,320,558 121,878,558 127,062,395 131,186,215
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS. 80,000,000
Jum la h P enduduk (jiwa )
70,000,000
60,000,000
50,000,000
40,000,000
30,000,000
Pesisir Non Pesisir
20,000,000
10,000,000
-
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.50. Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Besarnya persentase rata-rata jumlah penduduk di masing-masing kawasan dari tahun 1986-2007 (Tabel 5.41), menunjukkan bahwa proporsi jumlah penduduk di kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa tidak jauh berbeda, dengan nilai rata-rata masing-masing adalah sebesar 55.44% dan 44.56% (dalam hal ini jumlah penduduk di kawasan pesisir sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan non pesisir).
129
Tabel 5.41. Persentase Jumlah Penduduk Kawasan Pesisir dan Non Pesisir terhadap Jumlah Penduduk Total Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Pesisir
Non Pesisir
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
55.88 56.60 55.99 54.91 55.22 55.15 54.30 55.44
44.12 43.40 44.01 45.09 44.78 44.85 45.70 44.56
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas. Statistik Indonesia, BPS (diolah).
Sementara itu, dilihat dari besarnya laju pertumbuhan penduduknya (Tabel 5.42), dapat diamati bahwa dari tahun ke tahun (periode 1986-2007) perubahan laju pertumbuhan penduduk bersifat sangat dinamis. Namun, dari nilai rataratanya dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir Jawa masih lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk di kawasan non pesisirnya, dimana masing-masing nilainya sebesar 1.17% dan 1.47%.
Tabel 5.42. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (dalam %) Tahun 1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
Pesisir 1.64 1.41 0.68 1.49 1.37 0.41 1.17
Non Pesisir 0.86 2.28 1.83 1.06 1.47 1.30 1.47
Total (Jawa) 1.30 1.79 1.19 1.30 1.42 0.81 1.30
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS (diolah).
Dari besarnya PDRB di masing-masing kawasan (Tabel 5.43), dapat dilihat bahwa PDRB yang disumbangkan oleh kawasan non pesisir di Pulau Jawa masih lebih tinggi dibandingkan dengan PDRB kawasan pesisir, dimana pada tahun 1986 besarnya PDRB kawasan pesisir adalah sekitar 167 juta rupiah dan PDRB kawasan non pesisir sebesar 179 juta rupiah. Sedangkan pada tahun 2007, PDRB yang dihasilkan pada kedua kawasan telah mengalami peningkatan menjadi senilai 492 juta rupiah dan 580 juta rupiah masing-masing untuk kawasan pesisir dan non pesisir. Dinamika Pertumbuhan PDRB Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 disajikan pada Gambar 5.51.
130
Tabel 5.43. Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanpa Migas Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (Juta Rupiah) Tahun
Pesisir
Non Pesisir
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
167,548,057 219,075,723 274,614,403 370,775,812 355,805,759 399,591,271 492,190,760
179,665,787 244,249,519 314,726,305 447,445,941 402,385,704 465,473,832 580,489,430
Jumlah 347,213,844 463,325,242 589,340,708 818,221,753 758,191,463 865,065,103 1,072,680,190
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 1986-2007. (Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan telah distandarisasi).
700,000,000
PDRB (juta rupiah)
600,000,000
500,000,000
400,000,000
300,000,000
200,000,000
Pesisir Non Pesisir
100,000,000
-
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.51. Dinamika Pertumbuhan PDRB Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Dari segi persentase kontribusi PDRB-nya (Tabel 5.44), dapat disaksikan bahwa kawasan non pesisir menyumbangkan porsi bagian yang lebih besar terhadap PDRB total Pulau Jawa (yaitu sekitar 53.36%), sedangkan sisanya (46.64%) disumbangkan oleh kawasan pesisir. Hal inilah yang menjadi salah satu sumber penyebab disparitas antara kedua kawasan tersebut.
Tabel 5.44. Persentase Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Pesisir dan Non Pesisir terhadap PDRB Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Pesisir
Non Pesisir
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
48.26 47.28 46.60 45.31 46.93 46.19 45.88 46.64
51.74 52.72 53.40 54.69 53.07 53.81 54.12 53.36
Sumber: PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
131
Besarnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing kawasan (Tabel 5.45 dan Gambar 5.52) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di kawasan non pesisir memiliki rata-rata yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kawasan pesisir, dengan nilai masing-masing sebesar 6.20% dan 5.57%.
Tabel 5.45. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Pesisir
Non Pesisir
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
7.69 8.45 8.75 -1.35 4.10 5.79 5.57
8.99 9.62 10.54 -3.36 5.23 6.18 6.20
8.36 9.07 9.71 -2.45 4.70 6.00 5.90
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
Dari Tabel 5.45 dapat diketahui bahwa besarnya laju pertumbuhan ekonomi baik di kawasan pesisir maupun non pesisir pada periode tahun 19972000 nilainya negatif. Hal ini terkait dengan terjadinya krisis yang menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi pada kedua kawasan tersebut menurun drastis, dimana kawasan non pesisir mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dibandingkan kawasan pesisir. 12.00 Pesisir Laju Pertum buhan Ekonom i (% )
10.00
Non Pesisir Total (Jaw a)
8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1986-1990
1990-1993
1993-1997
1997-2000
2000-2003
2003-2007
-2.00 Tahun -4.00
Gambar 5.52. Dinamika Laju Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Ditinjau dari besarnya nilai PDRB per kapita (Gambar 5.53) dapat dilihat bahwa PDRB per kapita di kawasan non pesisir masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai PDRB per kapita di kawasan pesisir, meskipun laju pertumbuhan PDRB per kapita pada kedua kawasan tersebut relatif sama.
132
12,000,000 Pesisir Non Pesisir
10,000,000 PDRB per kapita (Rp/th)
Jaw a 8,000,000
6,000,000
4,000,000
2,000,000
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.53. Perkembangan Besarnya PDRB per Kapita di Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Apabila digambarkan dengan diagram, maka perbandingan antara kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa ditinjau dari segi luas wilayah, jumlah penduduk dan proporsi sumbangan PDRB yang diberikan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 5.54. Dari Gambar 5.54 dapat dilihat bahwa kawasan non pesisir yang luasnya 31.43% dan jumlah penduduknya 44.56% dari total penduduk Pulau Jawa, faktanya memberikan kontribusi PDRB yang sedikit lebih besar dari PDRB yang disumbangkan oleh kawasan pesisir, bahkan ada kecenderungan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. 100% 90% 31.4 80%
44.6 53.4
Proporsi
70% 60% 50%
Non Pesisir 40%
Pesisir
68.6 30%
55.4 46.6
20% 10% 0% % Luas
% Penduduk
% PDRB
Param eter
Gambar 5.54. Proporsi Luas Wilayah, Rata-rata Jumlah Penduduk dan Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Pesisir dan Non Pesisir dengan Indeks Williamson dan Indeks Theil Entropy Hasil analisis disparitas antara kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa dengan indeks Williamson (Tabel 5.46) memperlihatkan bahwa dari periode
133
tahun 1986-1997 besarnya indeks tersebut secara konsisten mengalami peningkatan. Namun, mulai tahun 2000 nilainya berangsur-angsur menurun.
Tabel 5.46. Besarnya Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Indeks Williamson
Disparitas Antar Kabupaten/Kota Kawasan Pesisir Kawasan Non Pesisir Disparitas Antara Kawasan Pesisir vs Non Pesisir
1986 0.892 1.055
1990 1.038 1.162
1993 1.020 1.166
1997 1.092 1.267
2000 1.114 1.350
2003 1.101 1.453
2007 1.161 1.421
0.132
0.175
0.188
0.220
0.180
0.194
0.186
Sumber: Hasil Analisis.
Dari Tabel 5.46 tersebut dapat diamati bahwa disparitas antar kabupaten/kota baik di dalam kawasan pesisir maupun kawasan non pesisir menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Namun, besarnya indeks disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan non pesisir relatif selalu lebih tinggi dibandingkan disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan pesisir. Secara grafis, dinamika perubahan besarnya derajat disparitas antara kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa menggunakan indeks Williamson dapat diamati pada Gambar 5.55. Sebelum OTDA
Setelah OTDA
1.600 1.453
1.421
1.350
1.400 1.267
1.200
1.162
1.166
1.038
1.020
Indeks Williamson
1.055
1.000 0.800
1.092
1.114
1.101
1.161
0.892 Kawasan P esisir
0.600
Kawasan No n P esisir P esisir vs No n P esisir
0.400 0.200
0.132
0.175
0.188
1986
1990
1993
0.220
0.180
0.194
2000
2003
0.186
0.000 1997
2007 Tahun
Gambar 5.55. Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Hasil analisis disparitas antara kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa dengan indeks Theil entropy menunjukkan bahwa disparitas antar kawasan (between regions) bukan menjadi sumber utama penyebab disparitas antar wilayah
134
di kawasan ini, sebab nilainya tidak dominan (sangat kecil). Sedangkan yang berkontribusi menyumbangkan disparitas terbesar adalah disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (Tabel 5.47 dan Gambar 5.56).
Tabel 5.47. Besarnya Disparitas Antara Kawasan Pesisir vs Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Indeks Theil Entropy
Disparitas/ Kawasan
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Antar Kawasan
0.0051
0.0076
0.0077
0.0080
0.0060
0.0070
0.0062
Antar Kab/Kota Dalam Kawasan
0.1489
0.1823
0.1790
0.1921
0.1957
0.2030
0.2074
Pesisir
0.0541
0.0667
0.0633
0.0715
0.0706
0.0770
0.0780
Non Pesisir
0.0948
0.1156
0.1157
0.1206
0.1251
0.1260
0.1295
0.1540
0.1899
0.1867
0.2001
0.2017
0.2100
0.2136
Disparitas Total
Sumber: Hasil Analisis.
Besarnya persentase dekomposisi indeks Theil entropy pada kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa tahun 1986-2007 (lihat Tabel 5.48), menunjukkan bahwa besarnya persentase disparitas baik antar kawasan (between regions) maupun dalam kawasan (within regions) dari tahun ke tahun relatif tetap (perubahannya tidak begitu signifikan). Namun, hal yang menarik di sini adalah bahwa besarnya disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan menjadi sumber utama penyebab disparitas di kawasan tersebut. Hal tersebut dapat diamati dari hasil analisis dengan indeks Theil entropy yang menunjukkan bahwa besarnya persentase disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (within regions) secara konsisten selalu lebih besar dari 95% selama periode waktu dari tahun 1986-2007 (Gambar 5.57). Sebelum OTDA
Setelah OTDA
0.250 0.210 0.200 0.190
0.200
Indeks Theil Entropy
0.203 0.192 0.154
0.182
0.214
0.202
0.187 0.207
0.196
0.179
0.150 0.149
A ntar Kawasan (pesisir vs non pesisir) A ntar Kab/Kota dalam Kawasan
0.100
Ketimpangan Total
0.050 0.005
0.008
0.008
0.008
0.006
0.007
0.006
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.000 Tahun
Gambar 5.56. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Pesisir vs Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy
135
Tabel 5.48. Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Pesisir dan Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Dekomposisi Disparitas Indeks Theil Entropy (%)
Disparitas/ Kawasan Antar Kawasan
1)
Antar Kab/Kota 1) Dalam Kawasan Pesisir
2)
Non Pesisir
2)
Disparitas Total
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
3.30
4.00
4.13
4.01
2.97
3.33
2.89
96.70
96.00
95.87
95.99
97.03
96.67
97.11
36.33
36.57
35.35
37.23
36.07
37.91
37.59
63.67
63.43
64.65
62.77
63.93
62.09
62.41
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: 1) Persentase terhadap disparitas total. 2) Persentase terhadap disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan. Sebelum OTDA
Setelah OTDA
120.00
100.00
P ersentase (% )
96.70
96.00
95.87
95.99
97.03
96.67
97.11
80.00
60.00 A ntar Kawasan (pesisir vs non pesisir)
40.00
A ntar Kab/Kota dalam Kawasan
20.00 3.30
4.00
4.13
4.01
2.97
3.33
2.89
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.00
Tahun
Gambar 5.57. Grafik Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Pesisir vs Non Pesisir di Pulau Jawa Tahun 1986-2007
6. Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Pesisir Jawa Bagian Selatan Berdasarkan hasil analisis disparitas antara kawasan pesisir dan non pesisir di Pulau Jawa (pada pembahasan sebelumnya), yang menunjukkan bahwa disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (within regions) menjadi sumber disparitas terbesar dengan persentase lebih dari 95%, maka kajian tentang disparitas tersebut ditelaah lebih lanjut dengan menganalisis disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan. Pengklasifikasian kedua kawasan tersebut dilakukan dengan mengkategorikan kawasan pesisir di Jawa berdasarkan letak geografisnya di Utara dan Selatan. Dilihat dari jumlah penduduknya (sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 5.49), dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di kawasan pesisir Jawa bagian Utara lebih banyak dibandingkan di kawasan pesisir Jawa bagian Selatan.
136
Tabel 5.49. Jumlah Penduduk Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 (jiwa) Tahun
Jawa Utara
Jawa Selatan
Non JU-JS
Jumlah
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
40,851,833 43,298,102 45,761,833 47,418,295 48,555,868 51,123,657 51,845,317
25,037,961 25,898,056 26,618,790 27,162,231 28,145,316 28,842,100 29,137,133
35,174,001 37,103,934 39,620,784 42,740,032 45,480,698 47,096,638 50,203,765
101,063,796 106,300,092 112,001,407 117,320,558 122,181,882 127,062,395 131,186,215
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS.
Dari Tabel 5.49 dapat dilihat bahwa pada tahun 1986, saat penduduk di kawasan pesisir Jawa bagian Utara berjumlah 40.8 juta jiwa, penduduk di kawasan pesisir Jawa bagian Selatan hanya berjumlah sekitar 25.0 juta jiwa. Pada kondisi tahun 2007, jumlah penduduk pada kedua kawasan mengalami peningkatan, dimana pada kawasan pesisir Jawa bagian Utara jumlahnya menjadi 51.8 juta jiwa, sedangkan di kawasan pesisir Jawa bagian Selatan sekitar 29.1 juta jiwa. Untuk mengetahui dinamika pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan, maka secara grafis dapat diamati pada Gambar 5.56 berikut ini. 60,000,000
Jumlah Penduduk (jiwa)
50,000,000
40,000,000
30,000,000
20,000,000
Jaw a Utara Jaw a Selatan
10,000,000
Non JU-JS 0
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.58. Dinamika Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Berdasarkan persentase jumlah penduduknya, dapat diketahui bahwa dari tahun 1986-2007 nilai persentase pada kedua kawasan tidak banyak mengalami perubahan. Dari data yang ada menunjukkan bahwa rata-rata penduduk di kawasan pesisir Jawa bagian Utara lebih tinggi dibandingkan di kawasan pesisir
137
Jawa bagian Selatan dengan nilai persentase masing-masing adalah sebesar 40.28% dan 23.43%, sedangkan sisanya (36.30%) merupakan penduduk yang menghuni wilayah di luar kedua kawasan tersebut (non Jawa Utara-Jawa Selatan). Adapun persentase jumlah penduduk di masing-masing kawasan dari tahun 19862007 dapat diamati pada Tabel 5.50. Sedangkan dari besarnya laju pertumbuhan penduduk antara kedua kawasan (Tabel 5.51), dapat dilihat bahwa rata-rata laju pertumbuhan penduduk di kawasan pesisir Jawa bagian Utara lebih tinggi dibandingkan di kawasan pesisir Jawa bagian Selatan, dengan nilai rata-rata masing-masing adalah sebesar 1.20% dan 0.76%.
Tabel 5.50. Persentase Jumlah Penduduk Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Kawasan Pesisir Jawa Bagian Selatan terhadap Jumlah Penduduk Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jawa Utara
Jawa Selatan
Non JU-JS
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
40.42 40.73 40.86 40.42 39.74 40.24 39.52 40.28
24.77 24.36 23.77 23.15 23.04 22.70 22.21 23.43
34.80 34.90 35.38 36.43 37.22 37.07 38.27 36.30
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas. Statistik Indonesia, BPS (diolah).
Tabel 5.51. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Kawasan Pesisir Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jawa Utara
Jawa Selatan
Non JU-JS
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
1.50 1.90 0.90 0.80 1.76 0.35 1.20
0.86 0.93 0.51 1.21 0.83 0.26 0.76
1.37 2.26 1.97 2.14 1.18 1.65 1.76
1.30 1.79 1.19 1.38 1.33 0.81 1.30
Sumber: Sensus Penduduk (SP) dan Supas (Survei Penduduk Antar Sensus). Statistik Indonesia, BPS (diolah).
Besarnya PDRB yang dihasilkan di masing-masing kawasan tahun 19862007 (sebagaimana disajikan pada Tabel 5.52), menunjukkan bahwa PDRB yang dikontribusikan oleh kawasan pesisir Jawa bagian Utara jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumbangan PDRB dari kawasan pesisir Jawa bagian
138
Selatan. Adapun dinamika pertumbuhan PDRB pada kedua kawasan dari tahun 1986 hingga 2007 dapat disaksikan pada Gambar 5.59.
Tabel 5.52. Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanpa Migas Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 (Juta Rupiah) Tahun
Jawa Utara
Jawa Selatan
Non JU-JS
Jumlah
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007
212,604,216 287,636,055 365,377,465 499,479,428 457,489,896 524,841,947 650,353,600
47,893,341 61,293,014 74,265,637 93,520,246 92,941,533 99,147,667 120,648,450
86,716,287 114,396,173 149,697,606 225,222,079 207,760,035 241,075,489 301,678,140
347,213,844 463,325,242 589,340,708 818,221,753 758,191,463 865,065,103 1,072,680,190
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia 1986-2007. (Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan telah distandarisasi).
700,000,000
Jaw a Utara 600,000,000
Jaw a Selatan
PDRB (juta rupiah)
Non JU-JS 500,000,000
400,000,000
300,000,000
200,000,000
100,000,000
-
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.59. Dinamika Pertumbuhan PDRB Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Sementara itu, dilihat dari besarnya persentase kontribusi PDRB yang disumbangkan oleh masing-masing kawasan, dapat diketahui bahwa kawasan pesisir Jawa bagian Utara memberikan kontribusi yang lebih tinggi terhadap PDRB total Pulau Jawa dibandingkan dengan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan. Tabel 5.53 menunjukkan bahwa rata-rata persentase kontribusi PDRB kawasan pesisir Jawa bagian Utara adalah sebesar 61.14%, sedangkan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan hanya menyumbangkan sekitar 12.29% dari total PDRB Pulau Jawa.
139
Tabel 5.53. Persentase Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan terhadap Nilai PDRB Total di Pulau Jawa Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jawa Utara
Jawa Selatan
Non JU-JS
1986 1990 1993 1997 2000 2003 2007 Rata-rata
61.23 62.08 62.00 61.04 60.34 60.67 60.63 61.14
13.79 13.23 12.60 11.43 12.26 11.46 11.25 12.29
24.97 24.69 25.40 27.53 27.40 27.87 28.12 26.57
Sumber: PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
Ditinjau dari besarnya laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing kawasan (sebagaimana disajikan pada Tabel 5.54 dan Gambar 5.60), dapat dilihat bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di kawasan pesisir Jawa bagian Utara (5.85%) lebih tinggi dibandingkan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan (4.66%).
Tabel 5.54. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 (%) Tahun
Jawa Utara
Jawa Selatan
Non JU-JS
Total (Jawa)
1986-1990 1990-1993 1993-1997 1997-2000 2000-2003 2003-2007 Rata-rata
8.82 9.01 9.18 -2.80 4.91 5.98 5.85
6.99 7.05 6.48 -0.21 2.23 5.42 4.66
7.98 10.29 12.61 -2.58 5.35 6.28 6.65
8.36 9.07 9.71 -2.45 4.70 6.00 5.90
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 1986-2007 (BPS), diolah.
14.00 Jaw a Utara Jaw a Selatan Non JU-JS Total (Jaw a)
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 1986-1990
1990-1993
1993-1997
1997-2000
2000-2003
2003-2007
-2.00 -4.00
Tahun
Gambar 5.60. Dinamika Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007
140
Dari perbandingan nilai PDRB per kapita antar kedua kawasan (Gambar 5.61), dapat diketahui bahwa kawasan pesisir Jawa bagian Utara memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan. Isu pengembangan wilayah di Kawasan Jawa Selatan yang relatif lebih tertinggal dibandingkan dengan Jawa Utara, ternyata juga berdampak pada tingkat pencapaian nilai PDRB per kapita di kedua kawasan tersebut yang tidak sama. 14,000,000 Jaw a Utara Jaw a Selatan Non JU-JS Jaw a
PDRB per kapita (Rp/th)
12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007 Tahun
Gambar 5.61. Perkembangan Besarnya PDRB per Kapita di Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Gambar 5.62 berikut mendeskripsikan perbandingan antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan, terutama dilihat dari proporsi luas wilayah, jumlah penduduk dan besarnya kontribusi PDRB yang diberikan terhadap Pulau Jawa. 100% 90%
25.9
26.6
36.3
80%
Proporsi
70% 60%
12.3 32.1
Non JU-JS
23.4
50%
Jaw a Selatan Jaw a Utara
40%
61.1
30% 20%
42.1
40.3
% Luas
% Penduduk
10% 0% % PDRB
Parameter
Gambar 5.62. Proporsi Luas Wilayah, Rata-rata Jumlah Penduduk dan Besarnya Kontribusi PDRB Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Dari Gambar 5.62, dapat diamati bahwa dari segi luas wilayah dan banyaknya
jumlah
penduduk
yang
menghuni
masing-masing
kawasan,
perbandingan antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan Selatan tidak terlalu
141
menunjukkan kondisi yang timpang. Namun, bila perbandingan antara keduanya diamati dari besarnya proporsi PDRB yang disumbangkan terhadap total PDRB Pulau Jawa, maka dapat dilihat adanya disparitas pada kedua kawasan tersebut (dalam hal ini kawasan pesisir Jawa bagian Utara berkontribusi menyumbangkan 61.14% PDRB Pulau Jawa, sedangkan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan hanya sekitar 12.29%).
Derajat Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Pesisir Jawa Bagian Selatan Disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan Selatan yang dianalisis dengan indeks Williamson (Tabel 5.55) menunjukkan bahwa dari tahun 1986 hingga 2007, besarnya derajat disparitas antar kedua kawasan secara relatif cenderung meningkat, yaitu dari 0.371 menjadi 0.461.
Tabel 5.55. Besarnya Disparitas Antar Kabupaten/Kota pada Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Pesisir Jawa Bagian Selatan Tahun 19862007 Menggunakan Indeks Williamson 1986
1990
Indeks Williamson 1993 1997 2000
2003
2007
Kawasan Jawa Bagian Utara Kawasan Jawa Bagian Selatan
0.993 0.229
1.146 0.314
1.151 0.398
1.238 0.387
1.232 0.296
1.325 0.319
1.331 0.366
Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Utara vs Jawa Selatan
0.371
0.381
0.376
0.406
0.467
0.476
0.461
Disparitas Antar Kab/Kota
Sumber: Hasil Analisis.
Gambar 5.63 berikut menampilkan secara grafis dinamika perubahan besarnya derajat disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan. Sebagaimana data yang terdapat pada Gambar 5.63 dapat diketahui bahwa antar kabupaten/kota dalam kawasan pesisir Jawa bagian Utara mempunyai derajat disparitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan. Dari Gambar 5.63 memperlihatkan bahwa indeks disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan pesisir Jawa bagian Utara dari tahun 1986 hingga 2007 cenderung terus meningkat. Sedangkan besarnya derajat disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan pesisir Jawa bagian Selatan meningkat dari tahun 1986-1993. Tahun 1997 hingga 2000, angka tersebut mengalami penurunan, namun mulai tahun 2000 sampai dengan 2007 besarnya derajat disparitas di kawasan tersebut secara konsisten kembali menunjukkan peningkatan.
142 Sebelum OTDA
Setelah OTDA 1.325
1.400 1.238 1.146
1.200
1.331
1.232
1.151
0.993
Indeks Williamson
1.000 Kawasan Jawa B agian Utara Kawasan Jawa B agian Selatan
0.800
Jawa Utara vs Jawa Selatan
0.600
0.400
0.371
0.381
0.376
0.406
0.398
0.387
0.467
0.476
0.296
0.319
2000
2003
0.366
0.314
0.200
0.461
0.229
0.000 1986
1990
1993
1997
2007 Tahun
Gambar 5.63. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara dan Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Williamson Hasil analisis indeks Theil entropy yang digunakan dalam menghitung disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dengan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan menunjukkan bahwa disparitas total pada kedua kawasan tersebut terus meningkat dari tahun 1986 hingga 2007 (Tabel 5.56).
Tabel 5.56. Besarnya Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara vs Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Indeks Theil Entropy
Disparitas/ Kawasan
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Antar Kawasan
0.0395
0.0410
0.0416
0.0456
0.0414
0.0436
0.0445
Antar Kab/Kota Dalam Kawasan
0.1258
0.1672
0.1648
0.1763
0.1811
0.1918
0.1972
Jawa Utara
0.1237
0.1647
0.1621
0.1732
0.1783
0.1896
0.1942
Jawa Selatan
0.0021
0.0025
0.0027
0.0032
0.0029
0.0021
0.0030
Disparitas Total
0.1653
0.2082
0.2064
0.2219
0.2225
0.2354
0.2417
Sumber: Hasil Analisis.
Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa besarnya derajat disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (within regions) jauh lebih tinggi dibandingkan disparitas antar kawasan (between regions). Dalam hal ini, besarnya disparitas dalam kawasan (within regions) memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara besarnya derajat disparitas antar kawasan (between regions) relatif tetap (tidak banyak mengalami perubahan), seperti tersaji pada Gambar 5.64.
143
Sebelum OTDA
0.300
Setelah OTDA
0.250
Indeks Theil Entropy
0.150
0.222
0.176
0.181
0.235
0.242
0.192
0.197
0.206
0.208
0.200 0.165
0.222
0.167
0.165
A ntar Kawasan (jawa utara vs jawa selatan)
0.126
A ntar Kab/Ko ta dalam Kawasan
0.100
Ketimpangan To tal
0.050 0.039
0.041
0.042
0.046
0.041
0.044
0.044
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.000
Tahun
Gambar 5.64. Dinamika Perubahan Besarnya Derajat Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara vs Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Menggunakan Indeks Theil Entropy Ditinjau dari besarnya persentase dekomposisi indeks Theil entropy pada kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan Selatan tahun 1986-2007 (Tabel 5.57) dapat dilihat bahwa disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan memberikan sumbangan terbesar terhadap disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan Selatan, dengan persentase rata-rata sekitar 80% dan mempunyai kecenderungan terus meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan disparitas antar kawasan (between regions) rata-rata hanya berkontribusi menyumbangkan kurang dari 20% terhadap disparitas total antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan kawasan pesisir Jawa bagian Selatan.
Tabel 5.57. Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara vs Selatan Tahun 1986-2007 (%) Dekomposisi Disparitas Indeks Theil Entropy (%)
Disparitas/ Kawasan Antar Kawasan
1986
1)
Antar Kab/Kota 1) Dalam Kawasan Jawa Utara
2)
Jawa Selatan Disparitas Total
2)
1990
1993
1997
2000
2003
2007
23.87
19.68
20.16
20.53
18.59
18.53
18.39
76.13
80.32
79.84
79.47
81.41
81.47
81.61
98.31
98.50
98.35
98.21
98.42
98.88
98.47
1.69
1.50
1.65
1.79
1.58
1.12
1.53
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: 1) Persentase terhadap disparitas total. 2) Persentase terhadap disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan.
Secara rinci, persentase dekomposisi disparitas antara kedua kawasan tersebut tahun 1986-2007 dengan indeks Theil entropy ditampilkan pada Gambar 5.65 berikut ini.
144
Sebelum OTDA
Setelah OTDA
90.00 80.00 80.32
Persentase (%)
70.00
79.84
79.47
81.41
81.47
81.61
76.13
60.00 50.00
A ntar Kawasan (jawa utara vs jawa selatan)
40.00
A ntar Kab/Ko ta dalam Kawasan
30.00 20.00
23.87
19.68
20.16
20.53
1990
1993
1997
18.59
18.53
2000
2003
18.39
10.00 0.00 1986
2007 Tahun
Gambar 5.65. Grafik Persentase Dekomposisi Indeks Theil Entropy pada Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara vs Jawa Bagian Selatan Tahun 1986-2007 Sumber Utama Disparitas Regional di Pulau Jawa Berdasarkan Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil Entropy Dari hasil analisis dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil entropy sebagaimana yang telah diuraikan pada bahasan sebelumnya, maka dapat dibandingkan besarnya derajat disparitas pada masing-masing pembagian kawasan. Dari hasil rekapitulasi besarnya derajat disparitas antar kawasan yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson (lihat Gambar 5.66), maka dapat diketahui bahwa disparitas antar provinsi merupakan sumber utama disparitas regional di Pulau Jawa dengan derajat disparitas terbesar (dibandingkan dengan kelima bentuk disparitas pada kawasan lainnya). Dilihat dari dinamika perubahan besarnya derajat disparitas antar provinsi pada Gambar 5.66 tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada tahun 1986 indeks Williamson yang menghitung besarnya disparitas antar wilayah nilainya 0.585. Pada masa sebelum diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (hingga tahun 2000), besarnya derajat disparitas antar provinsi menunjukkan trend yang terus meningkat, hingga mencapai nilai 0.736. Namun, mulai tahun 2000 (setelah diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah), hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks tersebut secara konsisten mengalami penurunan, dimana pada tahun 2007 nilainya menjadi 0.707. Dinamika perubahan besarnya derajat disparitas regional pada masing-masing bentuk disparitas antar wilayah di Pulau Jawa dapat disaksikan pada Gambar 5.66 berikut ini.
145
Sebelum OTDA
0.800
0.736
0.712
0.707
0.581
0.575
0.555
0.556
0.551
0.467
0.476
0.684
0.700 0.585
0.600
0.666
0.657
0.580
0.566
0.593
Setelah OTDA
0.599
A ntar pro vinsi
Indeks Williamson
0.555
0.500
0.505 0.527
0.505
0.482
0.406 0.381
0.400
0.300 0.308
0.402
0.388
0.374 0.330
0.175
0.188
Kawasan P esisir vs No n P esisir Kawasan P esisir Jawa Utara vs Jawa Selatan
0.315
0.200
Kawasan Jabo detabek vs No n Jabo detabek Kabupaten vs Ko ta
0.417 0.371
0.100
0.461
0.376
Kawasan M etro po litan vs No n M etro po litan
0.220 0.180
0.194
0.186
0.132
0.000 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Sumber: Hasil Analisis
Gambar 5.66. Rekapitulasi Besarnya Derajat Disparitas Antar Wilayah di Pulau Jawa (yang Dihitung dengan Indeks Williamson) Di urutan kedua penyebab disparitas terbesar dalam pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa, terdapat disparitas antara kawasan kabupaten vs kota dengan nilai indeks yang cukup tinggi. Karena wilayah kabupaten identik dengan kawasan perdesaan, dengan kegiatan utama berbasis pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam, maka disparitas antara kabupaten dan kota memiliki kesamaan karakteristik dengan disparitas antara desa-kota. Kawasan perdesaan memiliki segala keterbatasan, termasuk rendahnya akses terhadap pelayanan umum dan fasilitas/infrastruktur. Sementara itu, kota selalu ditunjang dengan keberadaan fasilitas/infrastruktur yang lengkap dan memadai, sehingga kawasan tersebut muncul sebagai pusat-pusat pertumbuhan karena banyaknya penduduk yang memadati kawasan tersebut. Selain itu, tumbuh dan berkembangnya kota menjadi kawasan yang maju juga disebabkan karena peranannya sebagai pusat segala aktivitas bisnis, ekonomi, perdagangan, dan jasa. Berkembangnya aktivitas di perkotaan menyebabkan aliran modal dan investasi banyak dilarikan ke kawasan tersebut. Hal-hal itulah yang menyebabkan semakin melebarnya disparitas yang terjadi antara kawasan desa dan kota. Disparitas antara Kawasan Jabodetabek dan non Jabodetabek menempati urutan ketiga penyebab disparitas regional di Pulau Jawa. Dari hasil analisis dengan menggunakan indeks Williamson sebagaimana ditampilkan pada Gambar 5.66, dapat diketahui bahwa dari tahun 1986-2007 disparitas antara Kawasan
146
Jabodetabek dengan kawasan non Jabodetabek justru memiliki kecenderungan yang terus meningkat, meskipun pada titik pengamatan terakhir (tahun 2007) nilai indeksnya sedikit mengalami penurunan. Fenomena terjadinya disparitas antara Kawasan Jabodetabek dan non Jabodetabek yang semakin melebar dari waktu ke waktu, pada hakekatnya justru membahayakan perekonomian dan pembangunan nasional. Hal ini mencerminkan dominansi perekonomian di Indonesia yang dikuasai oleh kawasan Jakarta dan sekitarnya. Sehingga, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah disparitas antar kawasan tersebut. Sebab, apabila suatu saat terjadi pergolakan ekonomi yang menyebabkan guncangnya perekonomian di Kawasan Jabodetabek, maka hampir dapat dipastikan bahwa sistem perekonomian nasional juga akan lumpuh karena besarnya pengaruh dan peranan Jabodetabek dalam konstelasi pembangunan di Indonesia. Dari hasil analisis disparitas (sebagaimana telah diuraikan di atas), dapat diamati bahwa pada masa sebelum diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah (dari tahun 1986 hingga tahun 2000), besarnya indeks Williamson yang menghitung berbagai bentuk disparitas intra-regional di Pulau Jawa secara umum mengalami peningkatan. Namun, sejak diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah, besarnya derajat disparitas pada berbagai bentuk kawasan tersebut secara konsisten mengalami penurunan. Hal tersebut dapat memperlihatkan fakta bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah yang mulai diberlakukan sejak tahun 1999/2000 dapat menekan melebarnya tingkat disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. Penelitian ini dapat membuktikan peranan Otonomi Daerah dalam mengurangi besarnya derajat disparitas antar wilayah di Pulau Jawa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sjafrizal (2008), yang menyatakan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan salah satu cara dalam upaya penanggulangan disparitas pembangunan. Dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah, maka aktivitas pembangunan daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakkan karena ada wewenang yang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya wewenang tersebut, maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan dapat lebih dioptimalkan. Bila hal tersebut dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan disparitas pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi.
147
Hasil dekomposisi disparitas dengan menggunakan indeks Theil entropy (Gambar 5.67.a dan b), dapat menunjukkan kontribusi disparitas antar kawasan (between regions) dan disparitas dalam kawasan (within regions) pada keenam bentuk disparitas regional di Pulau Jawa. Dari Gambar 5.67 (a) dapat diamati bahwa persentase disparitas antar kawasan (between regions) tertinggi terdapat pada disparitas antar provinsi, sedangkan pada disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (within regions), persentase tertinggi diduduki oleh disparitas dalam kawasan pesisir dan non pesisir (Gambar 5.67.b). Sebelum OTDA
70.00
60.00
Setelah OTDA
Setelah OTDA
66.90 64.87 63.80
63.11 64.50
57.51
56.74 55.21
61.21 55.14
50.00
Sebelum OTDA
120.00
54.46
53.93
46.24
51.52 39.69
38.13
40.00 40.91
36.72
35.91
38.31
35.28 33.08
30.00 23.87 20.16
19.68
49.93
39.59
20.53
20.00
18.59
34.88
33.96
32.11
31.10
18.53
18.39
10.00 3.30
4.00
4.13
4.01
2.97
3.33
2.89
Persentase Indeks Theil Entropy Dalam Kawasan (Within Regions) (%)
Persentase Indeks Theil Entropy Antar Kawasan (Between Region) (%)
80.00
100.00
96.70
80.00
76.13
59.09
96.00
95.87
95.99
97.03
96.67
80.32
79.84
79.47
81.41
81.47
64.09
60.00 60.31
63.28 61.87
36.20
67.89
64.72
65.12
81.61
68.90 66.04
60.41 48.48
50.07
44.86 35.50
38.79
45.54 42.49
35.13
66.92
46.07
53.76 40.00
61.69
97.11
36.89
44.79
43.26
P ro vinsi
33.10
M etro politan - No n M etropo litan Jabo detabek - No n Jabo detabek
20.00
Kabupaten - Ko ta P esisir - No n P esisir P esisir Jawa Utara - Jawa Selatan
0.00
0.00 1986
1990
1993
1997
Tahun
2000
2003
2007
1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
Tahun
Sumber: Hasil Analisis
(a)
(b)
Gambar 5.67. Rekapitulasi Persentase Derajat Disparitas (a) Antar Kawasan (Between Regions) dan (b) Dalam Kawasan (Within Regions) pada Berbagai Bentuk Disparitas Regional di Pulau Jawa (dengan Indeks Theil Entropy) Dilihat dari hasil rekapitulasi besarnya derajat disparitas dalam kawasan (within regions) pada Gambar 5.67.b di atas, dapat diketahui bahwa bentuk disparitas di kawasan pesisir dan non pesisir memiliki nilai indeks dengan persentase tertinggi (lebih dari 90%). Namun sayangnya, Gambar 5.67.b tersebut tidak dapat memberikan informasi yang lebih detil mengenai sumber utama penyebab disparitas dalam kawasan (within regions), apakah berasal dari disparitas dalam kawasan pesisir atau disparitas dalam kawasan non pesisir. Sehingga untuk mengetahui hal tersebut, perlu dilakukan analisis secara lebih spesifik dengan cara mendekomposisikan besarnya disparitas dalam kawasan (within regions) pada bentuk disparitas di kawasan pesisir dan non pesisir menjadi disparitas dalam kawasan pesisir dan disparitas dalam kawasan non pesisir (lihat
148
Gambar 5.68). Dalam kasus ini, hasil analisis menunjukkan bahwa disparitas dalam kawasan non pesisir memiliki persentase lebih besar dalam kontribusinya menyumbangkan disparitas within regions pada bentuk disparitas antara kawasan pesisir-non pesisir, yaitu mencapai lebih dari 60%, sedangkan sisanya disumbangkan oleh bentuk disparitas dalam kawasan pesisir. Melihat kenyataan tersebut, maka upaya mengatasi masalah disparitas dalam kawasan non pesisir juga perlu diprioritaskan. 70 60
63.67
63.43
64.65
62.77
63.93
62.09
62.41
37.91
37.59
Persentase (%)
50 40 30
36.33
36.57
35.35
37.23
36.07
20 P esisir
10
No n P esisir
0 1986
1990
1993
1997 Tahun
2000
2003
2007
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: Besarnya persentase diukur terhadap disparitas dalam kawasan (within regions)
Gambar 5.68. Persentase Besarnya Derajat Disparitas Dalam Kawasan Pesisir dan Disparitas Dalam Kawasan Non Pesisir Disparitas Antar Provinsi sebagai Bentuk Disparitas Regional di Pulau Jawa dengan Derajat Terbesar Hasil perbandingan besarnya derajat disparitas yang dilakukan pada keenam bentuk pembagian kawasan di Pulau Jawa dengan menggunakan indeks Williamson menunjukkan bahwa disparitas antar provinsi merupakan bentuk disparitas regional di Pulau Jawa dengan derajat disparitas terbesar. Dengan menggunakan indeks Theil entropy, dapat didekomposisikan besarnya disparitas yang bersumber dari disparitas antar provinsi (between province) maupun disparitas dalam provinsi (within province). Dari masing-masing nilai tersebut, kemudian dapat ditelusuri wilayah-wilayah mana yang menjadi sumber penyebab disparitas yang terjadi. Tabel 5.58 dan 5.59 berikut menyajikan nilai indeks yang dikontribusikan oleh masing-masing provinsi di Pulau Jawa terhadap besarnya disparitas antar provinsi (between province) dan disparitas dalam provinsi (within province).
149
Tabel 5.58. Indeks Disparitas Antar Provinsi (Between Province) yang Dikontribusikan oleh Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Provinsi DKI Jakarta
Disparitas Antar Provinsi (Between Province) 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.1759
0.2146
0.2045
0.1931
0.1911
0.1954
0.2045
Jawa Barat
-0.0226
-0.0335
-0.0320
-0.0277
-0.0247
-0.0247
-0.0272
Jawa Tengah
-0.0397
-0.0398
-0.0382
-0.0379
-0.0379
-0.0374
-0.0368
D.I Yogyakarta
-0.0023
-0.0026
-0.0026
-0.0030
-0.0028
-0.0027
-0.0032
Jawa Timur
-0.0130
-0.0116
-0.0139
-0.0142
-0.0117
-0.0133
-0.0134
*)
*)
*)
*)
-0.0026
-0.0030
-0.0028
0.0982
0.1271
0.1178
0.1103
0.1114
0.1144
0.1212
Banten Disparitas Antar Provinsi
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: *) Banten masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Tabel 5.59. Indeks Disparitas Dalam Provinsi (Within Province) yang Dikontribusikan oleh Masing-masing Provinsi di Pulau Jawa Provinsi DKI Jakarta
Disparitas Dalam Provinsi (Within Province) 1986
1990
1993
1997
2000
2003
2007
0.0051
0.0076
0.0108
0.0146
0.0154
0.0181
0.0170
Jawa Barat
0.0086
0.0084
0.0091
0.0186
0.0169
0.0180
0.0180
Jawa Tengah
0.0069
0.0079
0.0097
0.0113
0.0099
0.0104
0.0095
D.I Yogyakarta
0.0004
0.0004
0.0004
0.0005
0.0005
0.0006
0.0005
Jawa Timur
0.0347
0.0386
0.0389
0.0448
0.0418
0.0417
0.0400
*)
*)
*)
*)
0.0057
0.0069
0.0075
0.0557
0.0629
0.0689
0.0898
0.0904
0.0956
0.0924
Banten Disparitas Dalam Provinsi
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: *) Banten masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Dari Tabel 5.58 dapat diketahui bahwa DKI Jakarta merupakan satusatunya provinsi yang menyebabkan tingginya disparitas antar provinsi di Pulau Jawa. Bahkan dilihat dari dinamika perubahan besarnya indeks dari waktu ke waktu, dapat diamati bahwa besarnya indeks disparitas yang dikontribusikan oleh Provinsi DKI Jakarta cukup fluktuatif, dan semenjak masa Otonomi Daerah nilainya meningkat secara konsisten. Sedangkan dari data yang ditunjukkan pada Tabel 5.59 dapat dilihat bahwa besarnya nilai indeks disparitas dalam provinsi (within province) di Pulau Jawa terutama disebabkan oleh Provinsi Jawa Timur (0.040), Jawa Barat (0.018), dan DKI Jakarta (0.017), yang berarti bahwa disparitas antar kabupaten/kota dalam provinsi tersebut cukup lebar. Di satu sisi, dikeluarkannya kebijakan Otonomi Daerah memang memberikan kesempatan pada masing-masing daerah untuk mengelola sendiri daerahnya, termasuk juga menggali segala potensi yang dimilikinya. Namun di
150
sisi lain, bagi daerah-daerah yang belum siap untuk otonom, hal ini justru berdampak pada tersendatnya proses pembangunan karena masih tingginya tingkat ketergantungan daerah-daerah tersebut pada bantuan dan campur tangan Pemerintah Pusat. Karena alasan itulah, tingkat perkembangan daerah-daerah yang demikian mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain yang dapat memanfaatkan momentum diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah untuk memajukan wilayahnya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Pulau Jawa Seperti apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dalam penelitian ini dilakukan uji terhadap beberapa variabel yang diduga menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa. Menurut hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini, faktor-faktor tersebut adalah pertumbuhan ekonomi (PDRB), jumlah penduduk, tingkat perkembangan wilayah, persentase luas penggunaan lahan, ketersediaan dan kelengkapan infrastruktur serta kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB total. Landasan yang dipakai dalam memilih faktor-faktor tersebut didasarkan pada hasil studi literatur dan tinjauan pustaka penelitian-penelitian terdahulu yang mengkaji tentang penyebab terjadinya disparitas regional di berbagai wilayah. Pengujian secara statistik untuk melihat signifikansi variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa dilakukan dengan model ekonometrika spasial. Alasan digunakannya model ini terkait dengan hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian, bahwasanya terdapat keterkaitan antar wilayah di Pulau Jawa. Sehingga, ketika ada fenomena terjadinya disparitas regional (antar wilayah) di Pulau Jawa, maka disparitas tersebut bukan hanya berasal dari wilayahnya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di wilayah sekitarnya. Dan model ekonometrika spasial sengaja dipilih karena model tersebut dapat mengakomodir bentuk-bentuk keterkaitan antar wilayah. Dalam penelitian ini, bentuk keterkaitan yang diuji adalah keterkaitan antar wilayah berdasarkan jarak geografis (jarak eucledian garis lurus centroid wilayah kabupaten/kota). Dengan mengakomodir hubungan keterkaitan antar wilayah berdasarkan jarak geografis (centroid), dapat diketahui bahwa model ekonometrika spasial untuk
menduga
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
disparitas
151
pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa memiliki nilai R2 sebesar 98.62% (Tabel 5.60). Tingginya nilai persentase dari koefisien determinasi tersebut mampu menunjukkan seberapa kuat pengaruh keterkaitan spasial antar wilayah terhadap besarnya disparitas yang terjadi di Pulau Jawa. Dapat dilihat pula bahwa model ekonometrik ini sangat signifikan dalam menggambarkan keterkaitan antar wilayah dimana dari hasil uji F model ini memiliki nilai p < 0.05. Dengan demikian, hasil analisis ini dapat membuktikan terujinya hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian.
Tabel 5.60. Nilai R2 dan Hasil Uji F terhadap Model Ekonometrika dengan Mempertimbangkan Keterkaitan Spasial Antar Wilayah di Pulau Jawa Dependent Variabel Multiple R 2 Multiple R 2 Adjusted R F P
Y 0.993073 0.986193 0.982315 254.2806 0.00
Sumber: Hasil Analisis.
Adanya keterkaitan antar wilayah di Pulau Jawa, sebagaimana hasil yang diperoleh dari analisis ini, dapat juga membuktikan teori bahwa suatu variabel yang diamati pada suatu titik lokasi, memiliki hubungan keterkaitan dengan variabel yang sama pada titik-titik lokasi unit analisis lainnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Saefulhakim (2008), bahwa di dalam teori Ilmu Wilayah, fenomena keterkaitan/ketergantungan antar lokasi seperti ini diformalisasikan dalam berbagai konsep, antara lain: (1) interaksi spasial (spatial interaction), (2) difusi spasial (spatial diffusion), (3) hirarki spasial (spatial hierarchies), dan (4) aliran antar daerah (interregional spillover). Kekuatan-kekuatan pengendali (driving forces) dari berbagai fenomena keterkaitan ini bisa terdiri atas beberapa faktor, antara lain: (1) sistem geografi fisik sumberdaya alam dan lingkungan, (2) sistem ekonomi, (3) sistem sosial budaya, dan (4) sistem politik. Variabel yang diamati pada dua lokasi yang bertetangga, berdekatan, terkait, atau bermitra, dapat memiliki keterkaitan secara spasial (spatial autocorrelationship) yang lebih kuat, dibandingkan dengan variabel yang diamati pada dua lokasi yang tidak pada kondisi-kondisi tersebut. Dari hasil analisis model dapat diketahui pula bahwa variabel nilai PDRB (W_pdrb), jumlah penduduk (W_pddk), PDRB per kapita (W_pdrb_kap),
152
besarnya indeks diversitas entropy (W_ide), besarnya persentase luas lahan permukiman dan ruang terbangun (W_%_pmk_tbgn), besarnya nilai differential shift sektor primer (W_DS_1), dan besarnya indeks perkembangan wilayah (W_ipg) memiliki keterkaitan secara spasial (berdasarkan kedekatan jarak geografis antar wilayah dengan konsep jarak eucledian garis lurus centroid). Hasil analisis model menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut secara signifikan mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa, dimana masing-masing variabel tersebut memiliki nilai p < 0.05 (Tabel 5.61).
Tabel 5.61. Nilai Koefisien (β) dan Tingkat Signifikasi Variabel Penjelas (Explanatory Variables) X dan WX terpilih dari Hasil Pengujian Model dengan Mempertimbangkan Keterkaitan Spasial Antar Wilayah di Pulau Jawa R = 0.9931
2
R = 0.9862
Variabel Intercept Ln (W_pdrb) Ln (W_pdrb_kap) Ln (W_pddk) Ln (W_ide) Ln (W_%_pmk_tbgn) Ln (W_DS_1) Ln (W_ipg)
2
Adjusted R = 0.9823 Beta (ß)
St.Err.ß
(t)
-15.3887 2.02274 0.50106 -0.20457 -1.36809 0.25910 -0.08255 -0.23892
0.475154 0.074893 0.095416 0.532667 0.084639 0.018686 0.050225
-0.77863 4.25703 6.69032 -2.14402 -2.56838 3.06125 -4.41756 -4.75699
p_level 0.438262 0.000051* 0.000000* 0.034758* 0.011884* 0.002914* 0.000028* 0.000008*
Sumber: Hasil Analisis. Keterangan: * Berpengaruh nyata pada p < 0.05 Keterangan: W_pdrb W_pddk W_pdrb_kap W_ide W_%_L_pmk W_DS_1 W_ipg
: : : : : : :
nilai PDRB di wilayah sekitarnya. jumlah penduduk/populasi di wilayah sekitarnya (jiwa) besarnya PDRB per kapita di wilayah sekitarnya (juta rupiah/jiwa) indeks diversitas entropy di wilayah sekitarnya persentase luas permukiman terhadap luas lahan total (%) di wilayah sekitarnya nilai differential shift sektor primer hasil SSA di wilayah sekitarnya indeks perkembangan wilayah di wilayah sekitarnya
Hasil permodelan ekonometrika spasial (Tabel 5.61) menunjukkan bahwa variabel-variabel yang secara nyata mempengaruhi terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa adalah variabel-variabel yang memiliki keterkaitan spasial antar wilayah, sedangkan faktor-faktor internal (yang bersumber dari wilayahnya sendiri) justru tidak berpengaruh secara signifikan. Nilai koefisien (β) yang bertanda positif dari variabel nilai PDRB, PDRB per kapita, serta persentase luas lahan permukiman terhadap luas lahan total (dimana ketiganya merupakan faktor yang bersumber dari pengaruh keterkaitan dengan wilayah di sekitarnya)
153
menunjukkan bahwa peningkatan nilai dari ketiga variabel tersebut (di wilayah sekitarnya) akan berdampak pada semakin besarnya derajat disparitas yang dikontribusikan oleh masing-masing kabupaten/kota terhadap disparitas total di Pulau Jawa. Sedangkan tanda negatif pada nilai koefisien (β) variabel jumlah penduduk, besarnya indeks diversitas entropy, nilai differential shift sektor primer, dan nilai indeks perkembangan wilayah (dimana ketiga variabel tersebut merupakan faktor yang bersumber dari pengaruh keterkaitan dengan wilayah di sekitarnya), menyatakan bahwa peningkatan besaran/nilai dari keempat variabel tersebut akan mengurangi besarnya derajat disparitas yang dikontribusikan oleh masing-masing kabupaten/kota terhadap disparitas total di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari permodelan ekonometrika spasial, maka dapat diketahui bahwa model tersebut mampu membuktikan hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini. Faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap disparitas regional di Pulau Jawa adalah:
•
Pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan PDRB per kapita di wilayah sekitarnya Besarnya PDRB merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi
yang mencerminkan aspek potensi dan proses kegiatan ekonomi yang diukur dari nilai tambah yang dihasilkan perekonomian di suatu wilayah. Dalam beberapa penelitian di berbagai wilayah (seperti yang dilakukan Tambunan, 2001; Farid dan Irawan, 2007) dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi besarnya tingkat disparitas yang terjadi antar wilayah. Sehingga dalam penelitian ini, salah satu hipotesis yang dikembangkan juga mengacu pada hasil-hasil penelitian tersebut, yaitu bahwasanya pertumbuhan ekonomi (yang bisa digambarkan dari besarnya nilai PDRB dan PDRB per kapita) menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa. Dalam hal ini, variabel nilai PDRB dan PDRB per kapita dikalikan dengan matriks kontiguitas spasial berdasarkan jarak geografis (centroid), karena diasumsikan bahwa besarnya kedua variabel tersebut mempunyai hubungan keterkaitan secara spasial dengan variabel yang sama di wilayah lain. Hasil analisis model ekonometrika spasial menunjukkan bahwa variabel PDRB (W_pdrb) dan PDRB per kapita (W_pdrb_kap) di wilayah sekitarnya berpengaruh signifikan terhadap tingkat disparitas yang terjadi di Pulau Jawa. Hal
154
ini berarti bahwa hasil uji terhadap kedua variabel dalam model tersebut dapat membuktikan kebenaran hipotesis yang dibangun. Nilai koefisien (β) dari kedua variabel tersebut (baik W_pdrb maupun W_pdrb_kap) menunjukkan nilai positif yaitu masing-masing sebesar 2.02274 dan 0.50106 (berdasarkan uji t-statistik nilai ini signifikan). Nilai positif pada koefisien tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi PDRB (W_pdrb) dan PDRB per kapita (W_pdrb_kap) di wilayah
sekitarnya
berbanding
lurus
dengan
besarnya
disparitas
yang
dikontribusikan oleh wilayahnya sendiri terhadap disparitas total di Pulau Jawa. Besarnya nilai koefisien (β) variabel PDRB (W_pdrb) yang jauh lebih tinggi dibandingkan variabel PDRB per kapita (W_pdrb_kap) memperlihatkan pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDRB) yang begitu kuat dalam menyumbangkan tingkat disparitas yang terjadi antar wilayah di Pulau Jawa. Dari hasil analisis ini, dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kabupaten/kota di Pulau Jawa selama ini cenderung tidak berkualitas. Dikatakan tidak berkualitas karena pertumbuhan ekonomi (growth) tersebut tidak disertai dengan dorongan pemerataan (equity) spasial terhadap wilayah sekitarnya. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan PDRB per kapita suatu kabupaten/kota cenderung berimplikasi signifikan terhadap semakin melebarnya disparitas antar wilayah di Pulau Jawa.
•
Persentase luas lahan permukiman dan ruang terbangun Perkembangan kawasan perumahan dan permukiman di suatu daerah
cenderung tidak menimbulkan spill over atau spread effect yang positif secara spasial bagi wilayah di sekitarnya. Sebaliknya, perkembangan kawasan perumahan dan permukiman yang tercermin dari variabel persentase luas lahan permukiman dan ruang terbangun (W_%_pmk_tbgn) di wilayah sekitarnya merupakan salah satu faktor yang signifikan meningkatkan disparitas antar wilayah di Pulau Jawa.
•
Keberimbangan struktur ekonomi dan keunggulan kompetitif sektor primer di wilayah sekitarnya Keberimbangan struktur ekonomi suatu wilayah yang tercermin dari
keberimbangan sektoral suatu wilayah (sectoral balance) berimplikasi positif terhadap keberimbangan spasial (spatial balance). Indeks diversitas entropy (W_ide) merupakan suatu indeks yang digunakan untuk mengukur tingkat
155
perkembangan sistem (dalam hal ini adalah wilayah). Dalam penelitian ini indeks diversitas entropy dihitung dengan menggunakan data PDRB per sektor di masing-masing wilayah. Sistem atau wilayah dikatakan berkembang apabila proporsi atau kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB wilayah semakin berimbang yang secara teknis dapat ditunjukkan dengan nilai Indeks Diversitas Entropy (IDE) wilayah yang tinggi. Di pulau Jawa, kabupaten dengan IDE yang lebih tinggi dicirikan dengan berkembangnya sektor-sektor sekunder dan tersier suatu daerah. Pada model ekonometrika spasial ini, variabel nilai indeks diversitas entropy di wilayah sekitarnya (W_ide) juga diuji karena sesuai dengan hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini, tingkat perkembangan wilayah merupakan salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap disparitas regional di Pulau Jawa. Besarnya koefisien dari variabel (W_ide) ini menunjukkan nilai yang negatif, yaitu sebesar -1.36809, yang berarti bahwa peningkatan perkembangan struktur ekonomi wilayah di wilayah sekitarnya dapat menurunkan besarnya kontribusi derajat disparitas yang disumbangkan oleh masing-masing wilayah terhadap disparitas total di Pulau Jawa. Hal ini diduga akibat adanya fenomena spill over. Semakin tingginya tingkat perkembangan di suatu wilayah, maka wilayah-wilayah di sekitarnya akan dapat merasakan dampak/kemanfaatan dari perkembangan wilayah tersebut. Contohnya, bila suatu wilayah mengalami tingkat perkembangan di bidang industri manufaktur, maka wilayah tersebut akan membutuhkan input dan faktor produksi yang lebih besar, baik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, tenaga kerja, maupun sarana produksi lainnya dari wilayah-wilayah di sekitarnya. Dengan adanya hubungan saling membutuhkan ini, maka akan terjalin keterkaitan antar wilayah yang saling memperkuat, sehingga dapat berimplikasi menciptakan spread effect di Pulau Jawa. Keunggulan kompetitif di wilayah sekitarnya
sektor primer terbukti
berpengaruh secara signifikan menurunkan disparitas regional di Pulau Jawa. Berdasarkan model ekonometrika spasial yang dikembangkan di dalam studi ini, keunggulan kompetitif sektor diproksikan dengan memanfaatkan variabel differential shift sektor wilayah sekitarnya (W_DS_1). Nilai differential shift diperoleh dari hasil analisis shift share, dengan menggunakan data PDRB per sektor seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa.
156
Hasil uji variabel ini dalam pemodelan ekonometrika spasial menunjukkan bahwa dilihat dari besarnya nilai differential shift berdasarkan pengelompokan tiga sektor utama PDRB (sektor primer, sekunder, dan tersier), maka dapat diketahui bahwa hanya nilai differential shift sektor primer yang terbukti berpengaruh signifikan. Sektor primer meliputi sektor pertanian (termasuk di dalamnya sektor perkebunan, sektor perikanan, sektor peternakan, sektor kehutanan, dll), serta sektor pertambangan dan penggalian. Nilai koefisien dari variabel ini adalah sebesar -0.08255, dimana tanda negatif tersebut menunjukkan bahwa semakin berkembangnya sektor primer (meliputi sektor pertanian dan turunannya) di wilayah sekitarnya akan dapat mengurangi tingkat disparitas regional di Pulau Jawa. Artinya, apabila wilayahwilayah lain di sekitarnya masih mengalami perkembangan di sektor-sektor primer, maka hal tersebut dapat berpeluang menciptakan pemerataan. Namun, apabila wilayah-wilayah di sekitarnya telah memasuki tahap perkembangan sektor-sektor industri manufaktur, maka hal ini dapat berpotensi memperlebar tingkat disparitas regional yang terjadi di Pulau Jawa. Dengan demikian, maka hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat diterima karena telah teruji kebenarannya.
•
Perkembangan fasilitas pelayanan (infrastruktur) wilayah Perkembangan fasilitas pelayanan wilayah merupakan salah satu hal
penting dalam menilai keberhasilan proses pembangunan yang telah dicapai. Beberapa hasil penelitian, seperti yang diungkapkan oleh Rahman (2009), dapat diketahui bahwa tingkat ketersediaan dan kelengkapan infrastruktur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah. Variabel
indeks
perkembangan
infrastruktur
wilayah
(W_ipg)
penghitungannya dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah dan kelengkapan infrastruktur diuji dalam permodelan ini. Besarnya nilai indeks perkembangan infrastruktur wilayah diperoleh dari hasil analisis skalogram fasilitas pelayanan (infrastruktur), dimana tingkat perkembangan wilayah ditentukan berdasarkan kelengkapan dan jumlah fasilitas/infrastruktur, baik terkait dengan fasilitas pelayanan
pendidikan,
kesehatan,
sosial,
jasa
pemerintahan,
maupun
157
perekonomian, dengan mempertimbangkan faktor aksesibilitas dalam menjangkau fasilitas-fasilitas tersebut. Dari hasil pemodelan ekonometrika spasial dalam penelitian ini, variabel ini memiliki nilai koefisien sebesar -0.23892 dengan nilai p-level < 0.05. Hal ini mengandung arti bahwa variabel ini secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat disparitas regional yang terjadi di Pulau Jawa, dimana tanda negatif pada koefisien tersebut menunjukkan hubungan yang tidak searah (berbanding terbalik). Artinya, apabila tingkat perkembangan di wilayah sekitarnya semakin tinggi, misalnya dengan semakin banyaknya jumlah dan jenis fasilitas serta semakin mudahnya akses dalam menjangkau berbagai fasilitas tersebut (misalkan dengan dibangunnya jalan, jembatan, dsb), maka akan berpeluang mengurangi tingkat disparitas regional di Pulau Jawa. Sebab, semakin tingginya tingkat perkembangan wilayah di wilayah sekitarnya dapat menciptakan spill over untuk wilayahnya sendiri, sehingga wilayah tersebut juga dapat menikmati manfaat dari adanya perkembangan tersebut. Hal ini dapat dipahami, sebab wilayah yang berfungsi sebagai pusat pelayanan memiliki peranan yang sangat penting, terutama bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Suatu pusat pelayanan yang berorde tinggi pada umumnya mempunyai jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang lebih banyak dari wilayah yang berorde lebih rendah. Dengan demikian pusat yang berorde lebih tinggi melayani pusat-pusat lain yang berorde lebih rendah.
•
Pertumbuhan jumlah penduduk/populasi di wilayah sekitarnya Penduduk merupakan salah satu faktor yang diduga mempengaruhi
terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. Peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk di suatu wilayah mempunyai hubungan keterkaitan dengan peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah lainnya, Dari hasil model ekonometrika spasial yang dikembangkan dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa dari keenam variabel yang terkait dengan penduduk atau sumberdaya manusia, hanya ada satu variabel yang secara statistik signifikan dalam mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa, yaitu variabel jumlah penduduk di wilayah sekitarnya (W_pddk). Satu hal yang menarik dari hasil model adalah bahwa koefisien (β) dari variabel
158
tersebut menunjukkan nilai negatif, yaitu sebesar -0.20457. Artinya, peningkatan jumlah penduduk di wilayah sekitarnya dapat menurunkan tingkat disparitas antar wilayah. Aliran penduduk antar daerah bersifat merespon ketimpangan atau adanya ”gap” pertumbuhan interregional sehingga cenderung menciptakan keseimbangan dan pemerataan. Dengan demikian faktor yang menyebabkan spread effect di Pulau Jawa bukan berasal dari interregional atau sectoral linkages struktur ekonomi melainkan lebih disebabkan oleh adanya pola aliran/pergerakan penduduk.
Sintesis dan Alternatif Upaya Mengurangi Tingkat Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Pulau Jawa Disparitas pembangunan antar wilayah meskipun merupakan fenomena universal yang hampir selalu terjadi pada suatu wilayah, namun pada tingkat yang lebih lanjut dapat berimplikasi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan bahkan memicu terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, upaya mengurangi tingkat disparitas regional merupakan salah satu aspek penting dalam kebijakan pembangunan guna mewujudkan pemerataan dan mendistribusikan hasil-hasil pembangunan. Menurut Hadi (2001), pemerataan pembangunan (equity) bukan berarti identik dengan persamaan pembangunan (equality), tetapi lebih ke arah mewujudkan adanya keseimbangan yang proporsional antara kemajuan satu wilayah dengan wilayah lainnya, sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah masing-masing. Melihat dinamika pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi (baik dari sisi PDRB maupun PDRB per kapita) di Pulau Jawa, dapat diketahui bahwa trend-nya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal serupa juga dapat diamati dari tingkat perkembangan aktivitas perekonomian wilayah di masing-masing kabupaten/kota di Pulau Jawa yang secara keseluruhan mengalami peningkatan (berdasarkan hasil analisis indeks diversitas entropy). Sementara itu, hasil analisis dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil entropy berhasil membuktikan hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian tentang dugaan adanya disparitas regional pada keenam bentuk disparitas berdasarkan pengelompokan-pengelompokan wilayah di Pulau Jawa. Dari keenam bentuk disparitas yang ada, dapat diketahui bahwa disparitas antar provinsi memiliki derajat disparitas antar kawasan (between regions) yang paling tinggi dibandingkan kelima bentuk disparitas yang lain. Sedangkan derajat
159
disparitas dalam kawasan (within regions) tertinggi terdapat pada bentuk disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan non pesisir. Apabila dilakukan pendekomposisian kembali pada bentuk disparitas dalam kawasan, dapat diketahui bahwa penyebab utama tingginya tingkat disparitas tersebut terutama diakibatkan oleh kesenjangan antar kota dalam kawasan non pesisir. Namun demikian, dilihat dari dinamika perubahannya dari waktu ke waktu, dapat diketahui bahwa besarnya indeks pada seluruh bentuk disparitas cenderung meningkat pada masa sebelum diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah, sedangkan pada masa setelah Otonomi Daerah nilai indeks tersebut berangsurangsur mengalami penurunan. Dengan demikian, secara umum kebijakan Otonomi Daerah mampu menekan semakin melebarnya disparitas regional di Pulau Jawa, dan hal ini sekaligus membuktikan kebenaran hipotesis kedua yang dikembangkan dalam penelitian ini. Hipotesis ketiga yang dibangun dalam penelitian ini juga berhasil dibuktikan dari hasil pemodelan ekonometrika spasial yang menunjukkan adanya keterkaitan antar wilayah di Pulau Jawa. Sehingga ketika telah diketahui bahwa terdapat disparitas regional (antar wilayah) di Pulau Jawa, maka disparitas tersebut bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor dari wilayahnya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di wilayah sekitarnya. Namun bentuk keterkaitan tersebut tidak selalu bersifat positif (saling memperkuat), namun dapat juga bersifat negatif. Hal ini dibuktikan dari besarnya nilai koefisien (β) untuk setiap variabel yang diuji dalam model ekonometrika spasial. Selain itu, pemodelan ekonometrika spasial yang dilakukan dalam penelitian ini juga berhasil menguji beberapa variabel yang diduga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil model, faktor-faktor yang secara signifikan cenderung menciptakan disparitas pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa adalah meningkatnya PDRB dan PDRB per kapita di wilayah sekitarnya, serta meningkatnya persentase luas lahan permukiman dan ruang terbangun terhadap luas lahan total di wilayah sekitarnya. Sedangkan faktor-faktor yang cenderung berimplikasi terhadap pemerataan (spread effect) adalah pertumbuhan penduduk di wilayah sekitarnya yang diduga berasal dari adanya pola aliran/pergerakan penduduk; berkembangnya sektor-sektor primer di wilayah sekitarnya, serta meningkatnya nilai indeks diversitas entropy dan indeks perkembangan wilayah di wilayah sekitarnya yang diduga dapat menciptakan spill
160
over bagi wilayah lain, sehingga wilayah tersebut dapat menikmati manfaat dari tingkat perkembangan wilayah di sekitarnya. Dengan demikian, maka hipotesis terakhir yang dikembangkan dalam penelitian ini juga dapat diterima, karena variabel-variabel yang diduga menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas regional di Pulau Jawa secara statistik telah teruji signifikansinya sesuai dengan hasil yang diperoleh dari model ekonometrika spasial. Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana dapat dirumuskan alternatif upaya-upaya dalam mengurangi tingkat disparitas pembangunan antar wilayah yang terjadi di Pulau Jawa, antara lain: (1) Mendorong bentuk-bentuk pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dalam menciptakan keberimbangan struktur ekonomi wilayah dan keberimbangan antar wilayah; (2) Meningkatkan pengembangan sektor-sektor primer yang cenderung menciptakan pemerataan; (3) Mendorong terjadinya spread effect dengan pola pergerakan/aliran penduduk; dan (4) Lebih meningkatkan pembangunan infrastruktur/fasilitas pelayanan dan meningkatkan aksesibilitas dalam upaya memajukan tingkat perkembangan wilayah. Bertolak dari penelitian ini, tidak dapat dipungkiri bahwasanya potensi sumberdaya alam serta aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi tersebar secara tidak merata dan tidak seragam. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya interaksi spasial yang optimal, sehingga keterkaitan antar wilayah dapat berlangsung secara dinamis. Diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah seharusnya dijadikan sebagai suatu peluang untuk memajukan wilayahnya sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing. Namun, perlu diingat bahwa pada prinsipnya, fungsi kemandirian atau otoritas/wewenang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tidak boleh diartikan dengan bekerja sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya kerjasama, baik dalam hal peningkatan keterpaduan antar sektor perekonomian dalam pembangunan, maupun dalam menjalin struktur hubungan antar wilayah yang sinergis, sehingga tercipta keterkaitan antar wilayah (interaksi spasial) yang saling memperkuat. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, maka bukanlah hal yang mustahil untuk mencapai paradigma baru pembangunan, yaitu terwujudnya keseimbangan antara pertumbuhan (eficiency), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability).