HASIL DAN PEMBAHASAN Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Performa Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu Perlakuan Peubah R0
R1
R2
R3
R4
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)
99,10a ±2,34
86,43b ±11,52
84,91b ±5,76
84,94b ±7,44
84,39b ±8,38
Produksi Telur Hen Day (%)
64,05a ±7,56
28,33c ±13,43
43,37b ±5,33
35,11bc ±6,68
28,91c ±9,67
1508,40a ±192,44
659,69c ±320,17
1042,40b ±134,55
804,06bc ±137,30
620,98c ±284,27
Berat Telur (g/butir)
55,40 ±1,00
54,27 ±1,80
55,53 ±1,16
53,30 ±2,06
53,38 ±1,31
Konversi Ransum (g/g)
3,24a ±0,94
8,67b ±5,31
5,88ab ±1,30
5,14ab ±0,63
5,70ab ±1,46
Massa Telur (g/ekor/6 minggu)
Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Konsumsi Ransum Konsumsi adalah ransum yang dimakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Konsumsi ransum ayam petelur dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah suhu lingkungan, bangsa, umur, jenis kelamin, imbangan zat-zat makanan dalam ransum, kecepatan pertumbuhan, tingkat produksi, bobot badan, palatabilitas dan tingkat energi metabolisme ransum (Wahju, 2004). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan ransum dengan penambahan 7,5% bungkil biji jarak pagar hasil fermentasi selama penelitian nyata (P<0,05) menurunkan konsumsi ransum dibandingkan dengan ransum kontrol. Rataan konsumsi ransum ayam selama 6 minggu penelitian berkisar antara 84,3999,10 g/ekor/hari.
18
Konsumsi ransum pada penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan standar konsumsi ransum menurut Hendrix (2007) bahwa konsumsi ayam petelur periode produksi umur 25-30 minggu berkisar 116-120 g/ekor/hari. Konsumsi ransum setiap minggu dari setiap perlakuan terlihat pada Gambar 4.
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)
120 100 80
R0 R1
60
R2 40
R3 R4
20 0 25
26
27
28
29
30
Umur (Minggu)
Gambar 4. Grafik Konsumsi Ransum Selama 6 Minggu Pengamatan Gambar 4 menunjukkan tidak terdapat fluktuasi konsumsi ransum yang signifikan dan cenderung terjadi peningkatan seiring dengan bertambahnya umur ayam. Konsumsi ransum pada ayam yang diberi perlakuan 7,5% BBJP lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Rendahnya konsumsi ransum pada penelitian ini dipengaruhi oleh lingkungan yaitu suhu. Rataan suhu kandang selama penelitian 26 ºC pada pagi hari, 30 ºC pada siang hari, dan 27 ºC pada sore hari. Menurut Amrullah (2004), suhu lingkungan yang optimum untuk ayam petelur yang sedang berproduksi yaitu berkisar 18,3-23,9 ºC. Tingginya suhu lingkungan diduga membuat ayam stres sehingga ayam lebih banyak mengkonsumsi air minum dibandingkan dengan ransum yang diberikan. Selain itu rendahnya konsumsi ransum ini diduga karena masih terdapat racun dan antinutrisi pada BBJP, racun dalam BBJP sangat berpengaruh terhadap penurunan konsumsi ransum ayam. Penurunan konsumsi ransum juga disebabkan kerusakan organ hati untuk mendetosifikasi racun, hal ini sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap racun (Sumiati et al., 2011).
19
Produksi Telur Hen Day (%) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap produksi telur hen day. Produksi telur hen day pada penelitian ini berkisar antara 28,91%-64,05%. Produksi telur hen day pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (R0). Penurunan produksi telur hen day pada ayam yang diberi perlakuan R1, R2, R3, dan R4 diduga karena adanya penurunan absorbsi zat makanan oleh usus karena kandungan racun berupa phorbolester dan curcin yang masih terdapat dalam bungkil biji jarak. Phorbolester menyebabkan iritasi kulit dan pemacu terjadinya tumor karena menstimulasi PKC (Protein Kinase C), yang mempengaruhi penyaluran sinyal dan perkembangan sel dan jaringan serta berbagai efek biologis yang kuat terhadap organisme (Goel et al., 2007). Kerusakan organ pencernaan pada ayam petelur menyebabkan ayam mengalami gangguan dalam metabolisme zat makanan yang dikonsumsi dari ransum. Hal ini dapat menurunkan/menghambat produksi telur dari ayam yang sedang dalam fase puncak produksi. Racun phorbolester yang terkandung dalam BBJP pada penelitian adalah 0,015 mg/g BBJP atau 0,0011 mg/g ransum. Penelitian Sumiati et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian 5% BBJP yang difermentasi dengan R. oligosporus dalam ransum menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan terhadap performa ayam kampung. Namun, pemberian 7,5% BBJP hasil fermentasi dalam ransum ayam petelur ISA-Brown penelitian ini menunjukan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) menurunkan produksi telur dan terjadinya kematian, hal ini menunjukan sensitifitas ayam petelur lebih terhadap phorbolester lebih tinggi dibandingkan dengan ayam kampung. Selain itu penurunan produksi telur juga disebabkam oleh curcin. Lin et al. (2003) menyatakan bahwa curcin dapat berfungsi sebagai pengikat dari glycoprotein (biomolekul yang merupakan gabungan dari protein dan karbohidrat) pada permukaan sel. Pengikatan glycoprotein oleh curcin menyebabkan ayam kekurangan protein karena terganggunya penyerapan protein oleh usus sehingga dapat mengganggu dan menurunkan produksi telur pada ayam. Produksi telur hen day dapat dilihat pada Gambar 5.
20
konsumsi ransum. Konsumsi energi dan protein pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 lebih rendah dibandingkan dengan R0 (Tabel 7). Energi dan protein yang dikonsumsi sangat dibutuhkan untuk mempertahankan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi pada ayam petelur, terutama untuk produksi telur. Tabel 7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis dan Protein Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu Perlakuan Peubah Konsumsi Energi (kkal/ekor/hari) Konsumsi Protein (g/ekor/hari)
R0
R1
R2
R3
R4
287,64a ±6,78 19,03a ±0,45
251,05b ±33,46 16,50b ±2,20
246,63b ±16,73 16,21b ±1,10
246,72b ±21,60 16,22b ±1,42
245,12b ±24,35 16,11b ±1,60
Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton. Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Konsumsi energi metabolis ayam petelur yang diberi 7,5% BBJP hasil fermentasi (R1, R2, R3, dan R4) berkisar antara 245,12-251,05 kkal/ekor/hari dan konsumsi protein berkisar antara 16,11-16,50 g/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein tersebut lebih rendah daripada rekomendasi Leeson dan Summers (2005), bahwa kebutuhan protein untuk ayam umur 18-32 minggu adalah 20 g/ekor/hari dan kebutuhan energi metabolis (EM) sebesar 260 kkal/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein pada ayam yang diberi ransum R0 lebih tinggi dari R1, R2, R3, dan R4. Sehingga produksi telur hen day dari ayam yang diberi ransum R0 lebih tinggi daripada R1, R2, R3 dan R4. Hal ini karena ayam pada R1, R2, R3 dan R4 tidak mampu mencukupi kebetuhan energi dan protein untuk produksi telur. Produksi Massa Telur (g/ekor) Produksi massa telur pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (R0). Produksi massa telur yang rendah pada perlakuan yang diberi ransum mengandung 7,5% BBJP hasil fermentasi ini disebabkan oleh racun phorbolester dan curcin yang merusak organ pencernaan ayam petelur dan mengganggu penyerapan zat makanan sehingga produksi massa
22
telur menurun. Produksi massa telur R2 lebih baik dibandingkan dengan R1, R3 dan R4. Produksi massa telur setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6. 1600
Massa Telur (g/ekor)
1400 1200 1000
R0
800
R1 R2
600
R3
400
R4
200 0 24
25
26
27
28
29
30
Umur (Minggu)
Gambar 6. Grafik Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Pengamatan Produksi massa telur pada saat ayam berumur 25 minggu masih rendah, lalu semakin meningkat seiring dengan bertambahya umur ayam (Gambar 6). Secara umum produksi massa telur ayam yang mendapat ransum dengan penambahan 7,5% BBJP hasil fermentasi (R1, R2, R3, dan R4) lebih rendah daripada kontrol (R0). Pada perlakuan R2 terjadi peningkatan produksi massa telur yang cukup signifikan pada saat ayam memasuki umur 27 minggu dibandingkan dengan R1, R3 dan R4, bahkan perlakuan R2 mampu menyamai produksi massa telur kontrol pada saat ayam memasuki umur 30 minggu. Hal ini diduga karena enzim selulase yang disuplementasi pada R2 yang mampu menghidrolisis serat kasar dan dapat membantu ayam dalam menyerap zat makanan, sehingga ayam mampu berproduksi secara maksimal. Berat Telur (g/butir) Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan 7,5% BBJP dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan berat telur selama penelitian. Rataan bobot telur pada penelitian ini berkisar 53,30-55,53 g/butir. Rataan tersebut tidak berbeda jauh dengan pernyataan Hendrix (2007) bahwa untuk ayam petelur strain ISA-Brown yang berumur 25-30 minggu memiliki berat telur antara
23
55,30-58,10 g/butir. Masih adanya bobot telur yang rendah didukung oleh rendahnya konsumsi ransum sehingga protein yang diserap untuk pembentukan telur juga rendah. Menurut Amrullah (2004) bahwa ukuran dan berat telur dipengaruhi oleh banyaknya protein yang dikonsumsi dan besarnya ukuran kuning telur. Protein ransum yang digunakan dalam pembentukan telur berkisar 55%-60% dari total protein yang dikonsumsi. Menurut Leeson dan Summers (2001), ukuran berat telur ayam dipengaruhi oleh protein, asam amino (terutama methionin), genetik, dan ukuran tubuh. Berat telur ayam selama penelitian disajikan dalam Gambar 7.
Rataan Berat Telur (g/butir)
70 60 50
R0
40
R1
30
R2
20
R3
10
R4
0 24
25
26
27
28
29
30
Umur (Minggu)
Gambar 7. Grafik Berat Telur Selama 6 Minggu Pengamatan Gambar 7 menunjukan berat telur pada penelitian ini tidak beda jauh dengan standar berat telur menurut Hendrix (2007), dari gambar terlihat terjadi peningkatan berat telur dari minggu ke-25 sampai minggu ke-30. Amrullah (2004) menyatakan bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah besar sejalan dengan bertambahnya umur ayam dan perkembangan saluran reproduksi. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada R4. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kombinasi suplementasi enzim fitsae dan selulase pada perlakuan R4, bahwa fitase ini mampu menghidrolisis asam fitat, dan selulase dapat mendegradasi serat kasar yang terdapat dalam ransum yang mengandung 7,5% BBJP. Traylor et al. (2001), menyatakan bahwa suplementasi fitase efektif memperbaiki penggunaan dan ketersediaan Ca dan P,
24
sehingga Ca dan P ini dapat memperbaiki berat telur, karena Ca dan P mampu diserap dalam proses pembentukan telur.
Konversi Ransum Konversi ransum merupakan perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan berat telur yang dihasilkan. Ukuran efisiensi pada ayam petelur dilihat berdasarkan jumlah produksi telur yang dicapai. Semakin rendah konversi ransum, maka efisien ternak tersebut dalam mengubah ransum untuk mengasilkan produksi semakin tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan 7,5% BBJP hasil fermentasi dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap konversi ransum. Rataan konversi ransum ayam petelur umur 25-30 minggu berkisar antara 3,24-8,67 (Tabel 6) dan grafik setiap minggunya terlihat pada Gambar 6. Konversi ransum terendah terdapat pada perlakuan R0, sedangkan perlakuan R2, R3, dan R4 memiliki konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R1. Hal ini diduga karena rendahnya produksi telur harian pada perlakuan R1. Konversi ransum yang tinggi menunjukkan rendahnya efisiensi penggunaan ransum. Tingginya nilai konversi ransum dapat terjadi karena adanya curcin yang mengikat glycoprotein. Pengikataan glycoprotein mengakibatkan ayam tidak mampu berproduksi secara maksimal meskipun telah mengkonsumsi ransum dalam jumlah
Konversi Ransum
besar. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
R0 R1 R2 R3 R4 24
25
26
27
28
29
30
Umur (Minggu)
Gambar 8. Grafik Konversi Ransum Selama 6 Minggu Pengamatan
25
Gambar 8 menunjukan nilai konversi ransum mengalami penurunan selama pengamatan. Konversi ransum R2, R3 dan R4 tidak berbeda nyata dengan konversi R0, nilai konversi R0 berdeda nyata (P<0,05) lebih rendah daripada R1 (Tabel 6). Rendahnya konversi ransun R2, R3, dan R4 ini karena adanya suplementasi enzim dalam ransum yaitu enzim selulase dan fitase. Enzim fitase bermanfaat untuk mereduksi senyawa asam fitat dalam pakan, sehingga pemanfatan mineral terutama fosfor lebih optimal dalam tubuh ternak monogastrik (Greiner et al., 1997). Mortalitas Mortalitas ayam diperoleh dengan membandingkan antara jumlah ayam yang mati dengan jumlah ayam awal pemeliharaan. Mortalitas selama penelitian disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Angka Mortalitas Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu Umur (Minggu)
Perlakuan R0
R1
R2
R3
R4
25
-
2
-
1
1
26
-
-
2
-
-
27
-
-
-
1
-
28
-
-
1
1
2
29
-
3
-
3
1
30
-
-
-
2
-
Total (ekor)
0
5
3
8
4
(%)
0
15,15
7,89
24,24
11,11
Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton
Angka mortalitas dari perlakuan R1, R2, R3, dan R4 berturut-turut adalah 15,15, 7,89, 24,24, dan 11,11%. Pemberian ransum kontrol (R0) tidak menyebabkan kematian pada ayam. Terjadinya kematian pada ayam yang diberi 7,5% BBJP ini karena masih adanya racun phorbolester dalam BBJP. Phorbolester memiliki toksisitas yang cukup tinggi meskipun dalam konsentrasi yang rendah. Konsumsi phorbolester dari ayan petelur disajikan pada Tabel 9.
26
Tabel 9. Konsumsi Phorbolester Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu
R0
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 99,10
Kandungan BBJP Ransum (%) 0
Kandungan Phorbolester (µg/g)* 0
Konsumsi Phorbolester (µg/ekor/hari) 0
R1
86,43
7,5
15,28
99,05
R2
84,91
7,5
15,28
97,31
R3
84,94
7,5
15,28
97,34
R4
84,39
7,5
15,28
96,71
Perlakuan
Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2 :Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton. *Kandungan phorbolester dalam 1 gram BBJP fermentasi (Sumiati et al., 2010)
Konsumsi Phorbolester R1, R2, R3 dan R4 berturut-turut adalah 99,05, 97,31, 97,34 dan 96,71 µg/g. Phorbolester mempunyai sifat karsinogen, pencahar, dan mengakibatkan iritasi kulit, mabuk, muntah serta diare yang dapat menyebabkan kematian pada tikus, ayam dan domba (Goel et al., 2007). Selain disebabkan oleh phorbolester, kematian ini diduga karena masih adanya curcin yang tersisa dalam BBJP. Menurut Wardoyo (2007), curcin dalam BBJP dapat mengikat molekul gula (karbohidrat) pada dinding sel atau membran kemudian merubah fisiologi membran tersebut hingga mengakibatkan penggumpalan, mitosis, atau perubahan biokimia lain dalam sel sehingga mengakibatkan pendarahan usus (enteritis), kerusakan hati, pendarahan ginjal (hiperemi), dan pembesaran kapiler darah pada ginjal (kongesti). Mortalitas tertinggi terdapat pada saat ayam berumur 29 minggu. Menurut hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB kematian ayam yang terjadi pada penelitian karena marek dan infeksi saluran pencernaan, kebengkakan hati dan limpa. Infeksi saluran pencernaan mengakibatkan ayam mengalami kesulitan dalam menyerap zat makanan, selain itu rusaknya hati menyebabkan ayam tidak mampu menetralisir racun dan akhirnya ayam mati. Infeksi saluran pencernaan yang terjadi diduga karena racun yang dikonsumsi terakumulasi didalam tubuh dari pakan yang telah dikonsumsi selama beberapa minggu. Menurut Makkar dan Becker (1997), curcin tidak menyebabkan toksisitas dalam jangka pendek, tetapi jika bergabung dengan toksin lain seperti phorbolester maka efek toksik akan meningkat dengan terakumulasinya racun yang dikonsumsi. 27