HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Gonad dan Produksi Telur Ikan Kerapu Batik
Perkembangan ovarium ikan kerapu batik,
dari hasil pengamatan
pendahuluan dapat dibagi empat berdasarkan tingkat perkembangan gonad (TKG), yang dicirikan dengan perkembangan oosit sebagai berikut : 1. Tingkat perkembangan gonad
satu (TKG I) : dicirikan dengan diameter
oosit(baka1 telur) berkisar 40 - 180 p, yang terbanyak ukuran oosit 40p (35%), kemudian oosit ukuran 90p (25 %), selanjutnya oosit ukuran 140p (20%) dan 180p (20%). Oosit pada stadium ini mempunyai lapisan sitoplasma sedikit dan terisi oleh susbstansi yang halus, tidak terlihat adanya vesikula, granular kuning telur, dan selaput membram sel (Gambar 2a).
Oosit stadium ini
dikategorikan oosit awal. Oleh Grant West (1990) menyebutnya sebagai stadium Chromatin nucleolar. 2. Tingkat perkembangan gonad dua (TKG 11) : dicirikan dengan diameter oosit berkisar 200 - 350 p; ukuran oosit terbanyak 200 p (45%), kemudian ukuran oosit 280 p (30%), dan oosit ukuran 350p (25%). Ukuran oosit makin membesar, karena inti dan sitoplasma mulai berkembang (Garnbar 2 b). Pada stadium ini membram sel mulai terlihat terpisah dan terdiri dari dua lapisan sel. Vesikula kuning telur mulai terlihat, dan pada akhir stadium ini vesikula kuning telur menutup sebagian besar sampai kedaerah inti. Pada stadium ini pembesaran sel mulai terjadi, namun belum terjadi akumulasi granular kuning telur, fase ini dikenalprevitelogenesis (Jalabert dan Zohar, 1982).
3 . Tingkat pematangan gonad tiga (TKG 111) : dicirikan dengan diameter oosit
350
-
550 p; ukuran oosit terbanyak 350p (40%), kemudian ukuran oosit
450p (30 %) dan ukuran oosit 550p (30%). Pada stadium ini oosit dikelilingi oleh dua lapis yaitu, sel lapisan dalam berbentuk kubus dan sel lapisan luar berbentuk memanjang. Peranan dari kedua sel tersebut, adalah mensintesis hormon steroid yang befingsi dalam penumpukan material kuning telur pada sel telur. Pada stadium ini oosit cepat membesar karena akumulasi granular kuning telur mulai dari inti dan menyebar hingga ke tepi sitoplasma(Gambar 2c).
Akhir stadium ini granular kuning telur hampir mengisi seluruh
sitoplasma. Inti sel masih ditengah, dan perkembangan diameter oosit sangat cepat, yang dikenal sebagai fase tumbuh oosit, stadium vitelogenesis (Jalaber dan Zohar, 1982). Grant West (1990) menyebutnya sebagai stadium
Vilellogenic (yolk). 4. Tingkat kematangan gonad empat (TKG IV): dicirikan dengan diameter oosit 560
-
700p, dengan ukuran oosit terbanyak 700p (70%), kemudian ukuran
oosit 650p (25 %) dan ukuran oosit 560p (5%). Ciri oosit stadium ini adalah kuning telur telah mengisi seluruh sitoplasma, juga ditemukan butir minyak (Gambar 2d). Inti oosit mulai menepi, mendekati lubang mikropil agar proses pembuahan dapat terjadi dengan mudah dan cepat. Berdasarkan ciri pada stadium ini, oleh Grant West (1990) menyebutnya sebagai stadium Ripe
(mature). Dalam hubungan dengan tingkat perkembangan gonad (TKG), pengaruh perlakuan menunjukkan perbedaan (Lampiran 14). Pada perlakuan E(3000 mg AMP) di bulan Oktober umurnnya tingkat kematangan gonad mencapai TKG 111,
35
dibanding perlakuan lainnya yang baru mencapai TKG I dan 11. Perlakuan E(3000 mg APM) pada bulan November tingkat perkembangan gonad semuanya mencapai TKG IV dengan ukuran diameter telur 700p (siap memijah), sedangkan perlakuan D (2250 mg APM), perlakuan C (1500 mg APM) dan perlakuan A (0 mg APM), pada umurnnya baru mencapai TKG 111, selanjutnya perlakuan B (750 mg APM) empat ekor induk tidak berisi telur, dan dua ekor induk lainnya mencapai TKG I1 dan TKG 111. Tabel 2. Perkembangan diameter masing perlakuan
sel telur populasi ikan uji pada masing-
D(2250 mg)
83,33+ 85.94
256,67+113.13
463,33+ 98.32
700f 0.000
700+ 0.00
E(3000 mg)
160+48.99
463,33k75.28
700+ 0.000
700+ 0.000
700k 0.000
Keterangan : APM
=
ascorbil phosphate magnesium, , Diameter telur dalam p (1/1000 mm).
=
mikron
Berkaitan dengan lebih cepatnya perkembangan sel telur, telah terjadi percepatan pemijahan pada perlakuan E (3000 mg APM), pada bulan November.
Hal ini karena hanya induk pada perlakuan E (3000 mg APM) yang memiliki oosit berdiameter rata-rata 7 0 0 ~ . Sedangkan sel telur dari induk perlakuan suplementasi 1500, 2250 mglkg pakan, masing-masing baru mencapai 446,67p dan 463,33p sedangkan perlakuan kontrol baru mencapai 396,6p (Tabel 2). Induk dengan diameter telur berkisar 350 - 5 5 0 ~ini termasuk kategori TKG I11 (belum matang).
Histologis Telur Berdiameter 40 - 180 p (TKG I)
Histologis Telur Berdiarneter 200 - 350 p (TKG 11)
Histologis Telur Berdiameter 350 - 550 p (TKG 111)
Histologis Telur Berdiameter 560 - 700 p (TKG IV)
Hasil penelitian Ishibashi et al. (1994) terhadap ikan Oplegnathus fasciatus
mencatat bahwa tidak ditemui oosit yang mencapai stadium
vitelogenesis pada ikan yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C biasa, dan jumlah induk yang mengandung oosit vitelogenesis meningkat dengan meningkatnya dosis vitamin C yang diberikan.
Dikemukakannya bahwa
rendahnya peningkatan prosentase oosit matang, diduga berkaitan dengan rendahnya kandungan hormon estradiol dan vitamin C ovarium.
Rendahnya
kandungan vitamin C ovarium tampaknya mempengaruhi konversi kolesterol ke bentuk estradiol. Hasil penelitian Azwar (1997) pada ikan nila, melaporkan bahwa kandungan kolesterol
ovarium ikan nila yang menerima pakan
suplementasi APM jauh lebih tinggi dibanding kandungan kolesterol ovarium yang menerima pakan tanpa suplementasi APM.
Ini mengindikasikan bahwa
kekurangan vitamin C akan menghambat konversi kolesterol ke estradiol. Waagbo et al. (1989) juga mencatat bahwa induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C, kadar vitelogenin dalam serum dibandingkan dengan induk yang menerima pakan yang vitamin C 2000 mglkg.
vitamin C pada ovarium
lebih rendah
dengan suplementasi berperan dalam reaksi
hidroksilasi biosintesis hormon steroid (Horning et al., 1984 dan Sandnes, 1984). Pendapat ini didukung oleh hasil pengamatan Halver dalam Waagboo et al. (1989) yang mencatat bahwa vitamin C diakumulasikan pada sel folikel yang mengitari sel telur. Pada jaringan ini terdapat sel teka yang berperan mensintesis hormon steroid reproduksi (Zohar, 1991), sehingga rendahnya vitamin C pada ovarium, seperti ditemui pada ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi askorbil phosphate magnesium akan menghambat sintesis estradiol. Marzuqi. . et al.
(1997) melaporkan bahwa pemberian L-ascorbil -2-phosphate magnesium sebesar (0.0, 0.05, 0.10, 0.15 %) dalam pakan induk udang windu (Penaeus monodon) menghasilkan peningkatan gonad somatik indeks (GSI) 1.08 - 1.28 % , dibandingkan dengan
kontrol hanya 1.0 %.
Selanjutnya dilaporkan bahwa
kandungan vitamin C dalam ovarium yang disuplementasi APM adalah 160
-
167.25 pglg, sedangkan induk yang tanpa disuplementasi dengan vitamin C, hanya 126.86 pglg Hasil penelitian ini selanjutnya menunjukkan bahwa pada bulan Desember terjadi pemijahan pada perlakuan suplementasi 1500 mg, 2250 mg dan 3000 mg karena semua induk mempunyai telur dengan diameter rata-rata 700p sehingga pada bulan tersebut semua induk memijah, sedangkan perlakuan kontrol (tanpa suplementasi) hanya empat ekor induk yang telurnya berdiameter 700p, sedang dua ekor lainnya mempunyai diameter kurang dari 700p, sehingga hanya 66,70 % induk yang mernijah (Tabel 3). Selanjutnya pada perlakuan B (750 mg APM) tidak terjadi pemijahan, karena hanya dua ekor induk yang berisi telur dengan diameter 200p dan 580p, sedangkan empat ekor induk lainnya tidak berisi telur. Pada perlakuan B (750 mg APM) ini dari empat ekor yang tidak berisi telur, dua ekor diantaranya berisi sperma, ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kelamin dari betina menjadi jantan (lampiran 13). Tabel 3 . Prosentase jumlah induk ikan kerapu batik yang memijah pada masingmasing perlakuan
Pada bulan Januari semua induk memijah pada perlakuan dengan suplementasi APM 1500 mg, 2250 mg dan 3000 mg. Demikian pula pada perlakuan kontrol (Tabel 3). Sedangkan perlakuan B (750 mg APM) tidak terjadi pemijahan, ini karena hanya ditemukan satu ekor induk yang berisi telur dengan diameter 580p sedang dari lima ekor induk lainnya; ditemukan tiga ekor induk berubah kelamin menjadi jantan (berisi sperma), sedang dua ekor induk lainnya tidak berisi telur (Lampiran 13). Dabrowski et al. (1995) yang mengamati induk ikan trout yang diberi pakan dengan askorbil phosphate magnesium 0, 30, 110, 220, 440 dan 780 mglkg pakan, mencatat bahwa kandungan testosteron plasma semakin tinggi dengan meningkatnya dosis yang disuplementasikan. Azwar et al. (2001) melaporkan bahwa
induk ikan bandeng (Chanos-chanos Forskal) yang menerima pakan
dengan suplementasi
askorbil phosphate
magnesium 1500 mglkg pakan
fi-ekuensi pernijahan lebih tinggi dibanding suplementasi 1000 mg dan kontrol (tanpa penarnbahan). Pada induk yang tanpa diberi vitamin C tidak ditemui ikan memijah pada musim pemijahan. Selanjutnya Waagbo et al. (1989) melaporkan bahwa estradiol induk ikan trout yang diberi pakan dengan suplementasi vitamin C 2000 mglkg pakan lebih tinggi dibanding induk kontrol. Kadar estradiol
induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C meningkat dari 76,3 menjadi 89,2 nM pada masa vitelogenesis, sedangkan induk kontrol
kadar
estradiol menurun dari 64,O menjadi 5 1,l nM. Hasil pengamatan terhadap produksi telur memperlihatkan bahwa jumlah total produksi telur tertinggi dicapai dari induk pada perlakuan E (3000 mg APM) yaitu 18.640.000 butir, kemudian disusul perlakuan C (1500 mg APM) dengan
selanjutnya perlakuan A (0 mg APM) dengan
jumlah telur 14.240.000 butir,
jurnlah telur 14.050.000 butir dan yang terendah adalah perlakuan D (2250 mg APM) dengan jumlah telur adalah 13.082.000 butir. Sedangkan induk perlakuan B (750 mg APM) tidak memproduksi telur (Tabel 4).
Tabel 4. Produksi telur induk kerapu batik pada setiap perlakuan selama penelitian
Pedakuan Produksi telur T.mengapungT.mmgendsp Pembuahan Penetasan dosis (butir) @utir) @utjr) (%) O(%)
+
I A(0 mg)
,,,
,, ,,
,,,,, , ,
,,,,,,
, ,,,
,, ,,
,,
, , ,,,,,
1 14.050.000 10.814.141 3.235.859 96.50 76.00 0 0 0 0 0 B(750 mg) 12.643.888 1.596.112 91.25 95.50 C(l500 mg) 14.240.000 11.797.518 1.284.482 D(2250 mg) 13.082.000 98.50 93.00 E(3000 mg) 18.640.000 12.170.634 6.469.366 93.33 98.33 Keterangan : T. = telur = Perhitungan pembuahan telur didasarkan pada jumlah total telur (yang terdiri dari telur mengapung dan telur yang menendap) V = Perhitungan penetasan telur berdasarkan jumlah telur yang menetas dari telur yang mengapung
I +
1
Dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa ada pengaruh positif antara makin meningkatnya dosis suplementasi askorbil phosphate magnesium dengan meningkatnya produksi telur. Hubungan korelasi antara pemberian suplementasi APM dan produksi telur pada penelitian ini hanya r
=
0,335 (Lampiran 26 d)
hubungan korelasi menjadi rendah karena ada perlakuan suplementasi yang tidak menghasilkan telur, yaitu perlakuan suplementasi 750 mg APM. Masumoto et al. (1991) melaporkan bahwa induk ikan crucian carp yang diberi suplementasi vitamin C menghasilkan produksi telur lebih tinggi dibanding tanpa suplementasi vitamin C. Daya tetas telur ikan kerapu batik untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar 76 - 98,33 %. Pada perlakuan E (3000 mg APM) diperoleh rataan daya tetas mencapai 98,33 %, kemudian perlakuan C(1500 mg APM) diperoleh rataan daya tetas 95,50 %, selanjutnya perlakuan D (2250 mg APM)
1
diperoleh rataan daya tetas 93,OO % dan yang terendah ada pada perlakuan A (kontrol) diperoleh rataan daya tetas 76,OO %. Ada korelasi yang sangat positif antara
makin tinggi suplementasi APM dengan makin meningkatnya daya tetas
telur, hasil analisis statistik menunjukkan hubungan r
=
0,8325 (Lampiran 26 c)
Azwar (1997) melaporkan bahwa suplementasi ascorbil phosphate magnesium sangat nyata (P< 0.05) mempengaruhi daya tetas
telur ikan nila dengan
kecendrungan respons kuadratik, yang berarti peningkatan pemberian ascorbil phosphate magnesium tidak selalu diikuti dengan peningkatan daya tetas telur Rataan daya tetas telur meningkat dari 73,66 % mencapai maksimum 96.80% pada dosis ascorbil phosphate magnesium
2105,44 mg/kg pakan, kemudian
menurun mencapai 90,33 % pada dosis 3000 mg/kg.
Dari hasil penelitian
terbukti bahwa pemberian suplementasi ascorbil phosphate magnesium
pada
pakan induk kerapu batik dapat meningkatkan daya tetas telur. Rendahnya daya tetas telur dari induk yang menerima
pakan tanpa suplementasi vitamin C
berkaitan dengan rendahnya rataan kandungan vitamin C pada telur (Tabel 9). Ternyata bahwa rataan kadar vitamin C telur dari induk yang menerima pakan tanpa suplementasi ascorbil phosphate magnesium mencapai 157,53 pg/g dibanding dengan suplementasi ascorbil phosphate magnesium berkisar 275,15 555,58 pg/g. Soliman et al. (1986) mencatat bahwa daya tetas telur Oreochromis mossambicus yang menerima suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mencapai 89,33 % dengan kadar vitamin C pada telur adalah 201,83 pg/g, sedangkan induk tanpa suplementasi vitamin C hanya mencapai 54,25 % dan kadar vitamin C pada telur adalah 0 pg/g. Sadnes et al. (1984) mencatat bahwa 56 % induk ikan salmon (Oncorhynhus mykiss) yang menerima suplementasi
vitamin C 1000 mglkg pakan mempunyai daya tetas lebih dari 90 % dan kandungan vitamin C telur 3 1,O pg/g, sedangkan induk yang tidak menerima suplementasi vitamin C hanya 30 % dengan kandungan vitamin C pada telur 15 pg/g. Dabrowski dan Blom (1994) mencatat bahwa induk rainbouw trout (Oncorhynchus mykiss) yang menerima pakan dengan suplementasi asam ascorbat monophosphate 850 mg/kg pakan menghasilkan daya tetas telur 25,3 dengan kandungan vitamin C pada telur 316 pglg,
- 46,7 %,
sedangkan induk yang
menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C menghasilkan daya tetas telur 9,4
-
22,5 %, dengan kadar vitamin C pada telur hanya 82 pglg. Sandnes et al.,
(1984) yang mengamati ikan rainbow trout, mencatat bahwa 56 % induk yang menerima suplementasi vitamin C 1000 mg/kg pakan menghasilkan telur dengan daya tetas 90,OO % dan kandungan vitamin C telur 3 1,00 pg/g, sedangkan induk tanpa suplementasi vitamin C menghasilkan daya tetas telur 30,OO % dan kandungan vitamin C telur 15 pglg. Perubahan Panjang, Berat dan Jenis Kelamin Hewan Uji Selama Penelitian Hasil penelitian ini memperlihatkan terjadi peningkatan panjang dan berat ikan uji pada semua perlakuan (Lampiran 25 b,c).
Hal ini menunjukkan bahwa
pakan yang digunakan memberikan pengaruh yang sangat positif bagi peningkatan pertumbuhan(baik peningkatan bobot tubuh, maupun peningkatan panjang tubuh).
Pakan formulasi yang diberikan dalam percobaan ini
memberikan peningkatan pertambahan panjang absolut
sebesar 0, 71 - 2,6 cm
selama bulan September 2001 - Januari 2002. Peningkatan panjang tubuh; yang tertinggi terjadi pada perlakuan B (750 mg APM) sebesar 2,6 cm, sedangkan
yang terendah
sebesar 0,7 cm terjadi pada perlakuan D (2250 mg APM).
Peningkatan panjang tubuh, juga diikuti dengan peningkatan bobot tubuh yang terjadi pada semua perlakuan. Perlakuan B memperlihatkan peningkatan bobot absolut tertinggi yaitu 0,71 kg, sedangkan yang terendah terjadi pada perlakuan C ---
-
--
(1500 mg APM) yaitu 0,34 kg(Tabel5). Pada penelitian ini juga terjadi perubahan kelamin pada perlakuan B (750 mg APM) ; enam ekor induk betina berubah kelamin menjadi jantan sebanyak tiga ekor (50%).
Hal ini karena ikan kerapu mempunyai kemampuan untuk berubah
kelamin (Hemaphrodit protogeni), yang pada ukuran tertentu, seperti yang terjadi pada penelitian ini pada ukuran lebih panjang dari 51 cm dan berat tubuh lebih besar dari 3 kg berubah kelamin menjadi jantan sebanyak tiga ekor dari enam ekor induk betina (Lampiran 13). Tabel 5. Pertambahan panjang, berat rata-rata dan perubahan kelamin selama penelitian
I
I I
I
B(750 mg) C(1500 mg) D(2250 mg) E(3000 mg)
I
1
1 1 1
49,9 2,72 614 50.4 2,94 614 51,3 3,15 614 52,l 3,34 4/61 52,5 3,43 317' 49,9 2,71 614 50,2 2,89 614 50,7 3,03 614 51,l 3,17 614 51,3 3,05 614 49,9 2,32 614 50,2 2,53 614 50,4 2,67 614 50,5 2,77 614 50,6 2,77 614 48,7 2,18 614 49,2 2,35 614 49,6 2,51 614 49,7 2,59 614 50,O 2,64 614
I
Keterangan : APM = Ascorbil phosphate magnesium, PT= Panjang total, BR= Berat, cm = centi meter, Kg = kilogram. F= female(betina), M= Maleoantan), F/M = 614 (6 ekor betina I 4 ekor jantan) , * = berubah kelamin dari betina menjadi jantan
Slamet B dan Tridjoko (1997) melaporkan bahwa kerapu batik yang berukuran berat lebih besar dari 1,9 kg dan lebih panjang dari 44 cm ditemukan berkelamin jantan.
Demikian halnya ikan kerapu batik yang tertangkap di alam yang
1 / 1
I
berukuran berat lebih besar dari 2,7 kg dan lebih panjang dari 50 cm sering berkelamin jantan. Komposisi Kimia Telur dan Larva Hasil analisis komposisi kimia, menunjukkan bahwa telur-telur yang mengapung mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dari telur yang mengendap.
Pada setiap kali pemijahan dari jumlah total telur yang dihasilkan ,
selalu didapatkan dua tipe telur, yakni telur yang mengapung (floating) dan telur yang mengendap (sinking). Telur yang mengapung umumnya telur yang dibuahi dan dikategorikan telur yang bagus, sedangkan telur yang mengendap (sinking) dikategorikan telur jelek karena umumnya telur tak terbuahi juga ada telur yang perkembangan embrionya tidak sempurna dan berhenti berkembang sebelum menetas.
Ini mungkin disebabkan oleh faktor
nutrien bawaan yang kurang
terpenuhi pada saat perkembangan gonad, sehingga pada saat tiba waktu telur ini dikeluarkan dari induknya (dipijahkan), telur-telur ini mengendap
dan tidak
menetas. Dari hasil analisis didapatkan bahwa kandungan protein telur-telur yang mengapung selalu lebih tinggi, dibanding telur-telur yang mengendap. Pada telur yang mengapung, kandungan protein tertinggi terjadi pada perlakuan D(2250 mg APM) yakni 59,5% , kemudian disusul perlakuan C (1 500 mg APM) yakni 55,79%, selanjutnya perlakuan E (3000 mg APM) dengan nilai protein 55,23% dan yang terendah adalah perlakuan A (0 mg APM) yakni 53,15% (Tabel 6).
Tabel 6. Komposisi kimia telur pada masing-masing perlakuan
Parameter uji K. Air
(%)
78.01 77.12
-
77.68 78.13
K.Abu
(%)
1.35 2.05
-
0.86
2.09
0.82
1.40
0.78
2.68
K.Lemak
(%)
6.78 88.1
-
5.78
8.24
8.16 9.55
7.76
8.16
K. Protein
(%)
S . 1 5 44.37
1 KKarbohrat
/
-
- - -
55.79 47.18
79.68 79.29 78.90 78.51
59.5
46.41 55.23 45.38
(%) 29.13 35.92 25.36 29.65 27.18 33.12 28.03 33.36 Keterangan : A (0 mg) A P M g Pakan, B (750 mg) APM, C (1500mg) APM, D (2250mg) APM, E (3000mg) A P M g pakan. Mutu telur ; terdiri dari (T.mengapung dan T. tenggelam) T.M = Telur mengapung, T.T= Telur tenggelam
Ini menunjukkan bahwa
pemberian vitamin C dalam pakan akan ikut
mempengaruhi proses vitelogenesis, sehingga pada saat proses vitelogenesis berlangsung vitamin C ikut mempercepat pembentukan lipoprotein yang merupakan bahan baku pembentukan kuning telur. Penelitian Ishibashi et al. (1994) terhadap ikan japanese parrot (Oplegnathus fasciatus) memperlihatkan
bahwa ada peningkatan indeks gonad somatik dengan peningkatan dosis vitamin C yang diberikan. Ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, 3000 mg/kg memperlihatkan nilai IGS masing-masing 0.5, 0.9, 1.4, 2.2% untuk betina dan 0.4, 0.6, 0.5, dan 0.8% untuk induk jantan. Pengamatan secara mikroskopis terhadap ovarium juga memperlihatkan prosentase induk yang mencapai aktivitas vitelogenesis meningkat dengan penambahan dosis vitamin C, induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C tidak menunjukkan adanya oosit fase vitelogenesis sedangkan perlakuan suplementasi vitamin C 300, 1000, dan 3000 mg/kg pakan jurnlah induk yang ovariumnya mencapai stadium
vitelogenesis hingga matang adalah 20,40, 80%. Seperti diketahui bahwa komponen utama kuning telur adalah protein. Protein merupakan bahan utama pembentuk jaringan.
Jika protein tidak
mencukupi selama perkembangan embrio maka proses perkembangan embrio akan terganggu, atau akan menghasilkan larva yang abnormal. Hasil analisis komposisi kimia larva umur satu hari dan umur tiga hari menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan kandungan protein dan lemak pada
semua perlakuan dan sebaliknya terjadi penurunan yang sangat drastis kandungan karbohidrat (Tabel 7). Tabel 7. Komposisi kimia telur dan larva umur satu hari dan tiga hari .
P
...,,.
,
,, ,,,,,P
...... , ,
, ....,,
~r-'mtu hari tawa Wga hari
......-Perfakuan
Tdw
Parameter UII
60,30
- 58,62 62,22 62,17
6,34
- 62,42 60,23 61,50 - 6,19 6,99 6,48
6,52
6,78 5 0 7 5,78 8,16 7,76
10,62
-
12,151 10,3 11,82
11,92
-
K Proteln (%)
53,15 67,l 55,79 5 9 3 5523
64,03
65,04
- 64,59 64,41 65,21
KKarbhd(%)
29,1321,0925,3627,1828,03
10,3
- 64,76 64,96 65,23 - 6 5 4 6,6 6,lO
533
-
K. Atr
(%)
78,Ol 62,22 77,68 79,68 78,9
57,02
K.Abu
(%)
1,35 1,48 0,86 0,82 0,78
K Lemak (%)
Keterangan : A = 0 mg APMlkg pakan D = 2250mg APMlkg pakan
B = 750 mg APMlkg pakan, E = 3000 mg APMlkg pakan
7,67 6,19 6,41 11,32 12,3 13,16 6,26 5,72 4,80
C = 1500 mg APMlkg pakan * = gonad (bakal telur)
Hasil analisis total lemak pada telur didapatkan bahwa pada suplementasi ascorbil phosphate magnesium dalam pakan terjadi peningkatan lemak
pada
perlakuan D(2250 mg APM) yaitu 9,55%, kemudian perlakuan E(3000 mg APM) 7,76 %, sedangkan perlakuan A (0 ing APM=kontrol) kandungan lemak hanya 6,78 %. Vitamin C dapat mempengaruhi metabolisme lemak dan L-karnitin tubuh (Miyasaki et al. 1995) Vitamin C berperan dalam reaksi enzim hidroksilase mitokondrial dan hidrosilase sitosolik pada tahap I1 dan V jalur pembentukan karnitin (Feller dan Rudman, 1988).
L- karnitin merupakan komponen yang
terdapat dalam jantung, otot kerangka, hati dan beberapa jaringan lain. Komponen ini berperan dalam transpor asam lemak ke dalam mitokondria, dimana asam-asam lemak tersebut akan dioksidasi yang diperlukan oleh sel-sel dan jaringan lainnya (Hughes., 1981 dalam Piliang 2000).
Karnitine disintesis
dari lisin dan metionine oleh dua enzim hidroksilase, dimana kedua enzim tersebut mengandung ferro dan L- asam ascorbik. Defisiensi L-asam ascorbik, dapat menurunkan produksi karnitine dan akan menyebabkan akumulasi trigliserida dalam darah, kelelahan dan penyakit scurvy (Piliang., 2000). Dengan optimalnya vitamin C dalam tubuh ikan, maka ketersediaan karnitine sebagai carrier cukup, sehingga meningkatkan
efisiensi penggunaan lemak tubuh.
Penambahan vitamin C bentuk ascorbil phosphate magnesium dalam pakan ikan rainbow trout dapat meningkatkan kadar total L- karnitin di otot dan hati (Miyasaki et al. 1995). Hasil analisis komposisi kimia larva umur
satu hari dan tiga
hari
menunjukkan peningkatan kandungan protein dan lemak, dibandingkan dengan hasil analisa kimia telur, (Tabel 7). Hal ini berhubungan dengan dimulainya pembentukan jaringan pada saat telur-telur menetas, seperti terbentuknya kepala, terbentuknya abdomen dan ekor yang terjadi pada saat telur-telur baru menetas, pada hari kedua terbentuk saluran pencernaan, terbentuknya mata(tetapi belum befingsi), terbentuknya sirip dada, terjadinya penebalan pada rangka utama. Pada hari ke tiga saluran pencernaan sudah terbentuk dengan sempurna dan telah siap dihngsikan, demikian pula mata telah befingsi dengan baik. Pada saat ini cadangan energi berupa kuning telur telah habis, karena telah digunakan dalam pembentukan jaringan, hingga jaringan tersebut befingsi. Cadangan energi yang sisa adalah oil globule (butir minyak), yang dihngsikan oleh larva sebagai sumber energi dalam metabolisme dan mengejar makanan. Jika dalam waktu tertentu larva belum memperoleh makanan maka, oil globule akan dimanfaatkan terus. Makin lama larva hidup dengan mengandalkan energi cadangan (endogenous),
menunjukkan kualitas telur. Heming dan Budington (1989) yang mengemukakan bahwa ukuran telur mempunyai hubungan
erat dengan kesehatan larva dan
panjang pasca larva, karena ukuran telur merupakan refleksi dari komposisi kimia kuning telur yang dipengaruhi oleh keadaan nutrisi pakan induk dan kondisi induk.
Pengamatan Quattro dan Weeks (1991) terhadap telur ikan genus
Poecilzopsis mencatat bahwa ada hubungan yang kuat antara ukuran diameter telur dengan ketersediaan energi telur.
Menurut Rana (1985) pasca larva
Oreochromis mosambicus yang dihasilkan dari telur yang berukuran besar, hidup lebih tahan tanpa makan, dibandingkan pascalarva yang dihasilkan dari telur berdiameter lebih kecil. Watanabe et al. (1985) mencatat bahwa ukuran larva "red sea bream" yang dihasilkan dari induk yang
menerima pakan dengan
kandungan protein 43 % lebih panjang dari pada lama yang dihasilkan dari induk yang diberi pakan dengan kadar protein 33 %. Sandnes et al. (1984) yang mengamati pengaruh asarn askorbit terhadap reproduksi ikan rainbouw trout (Oncorhynchus mykiss) mencatat bahwa rataan diameter telur yang dihasilkan oleh induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1000 mglkg pakan tidak berbeda nyata dibanding dengan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C, walaupun rataan diameter telur cendrung lebih besar yaitu 4,93 mm, dibanding perlakuan kontrol 4,91 mm. We dan Tuan. (1988) mencatat bahwa perbedaan bobot telur ikan tilapia, terutama disebabkan oleh jumlah material kuning telur.
Kuantitas kandungan protein dan lipida telur
sangat mempengaruhi kualitas telur, lipida telur akan cepat menurun pada saat perkembangan embrio dan larva (Halver, 1989). Lipida yang terdapat pada telur
ke
dapat langsung digunakan sebagai sumber energi, dapat pula dikonversi struktur membram sel, atau senyawa lainnya (Watanabe., 1988).
Hasil analisis komposisi asam lemak menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi asam lemak dari telur ke larva umur satu hari dan tiga hari (Tabel 8). Analisis asam lemak pada telur, khususnya jenis omega 6
(E
6) , pada
perlakuan A (0 mg APM) diperoleh angka terendah 12.85 % dari total lemak talc jenuh, sedangkan yang tertinggi terjadi pada perlakuan D (2250 mg APM) dengan nilai 21.56% dari total lemak tak jenuh
Untuk asam lemak jenis omega 3
(E
3)
diperoleh nilai yang terendah pada perlakuan suplementasi 750 mg APM/kg pakan yaitu 38.07 % dari total lemak tak jenuh, sedangkan yang tertinggi terjadi pada perlakuan C (1500 mg APM), dengan nilai 45.02 % dari total lemak tak jenuh. Pada stadia larva terjadi penurunan prosentase asam lemak jenis (omega 6 dan omega 3)
Tabel 8. Komposisi asam lemak telur dan larva (umur satu hari dan tiga hari) stadta
h a 1 hari
Tab
(
,,A FT.
I
Asam Lemak
c.
#
E
A . . . ,u . 1 .3 , . , A,..
EPA (mg)
3,15 1,91 1,79 0,90 1,67 0,55
DHA (mg)
0,14 3,75 0,18 0,95 0,12 0,17
,
,
Larva 3 hari C . O
E
I -
0,40 1,22 0.17 0,69 2,64 0,77
-
-
-
1,35 2,69
-
= 0 mg APMlkg pakan , B = 750 mg APMlkg pakan, C = 1500 mg APMlkg pakan = 2250 mg APMlkg pakan, E = 3000 mg APMlkg pakan E 6 = asam lemak di ikatan rangkap atom C nomor 6(0mega 6) E 3 = asam lemak di ikatan rangkap atom C nomor 3(0mega 3) EPA = Ecosapentanoidacid (C:20:5n-3)
Keterangan : A D
DHA = Docosaheksanoidacid (C22:6n-3) = tak dapat dianalisis karena sampel tidak cukup
-
Hasil analisis asam lemak tak jenuh ganda EPA
pada stadia telur,
diperoleh data pada perlakuan (2250 mg APM) merupakan yang terendah dengan nilai 0.90 mg sedangkan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol dengan nilai 3.15 mg. Data yang diperoleh pada asam lemak ikatan rangkap jenis DHA, diperoleh angka yang tendah pada perlakuan 3000 mg APM dengan nilai 0.12 mg DHA, sedangkan yang tertinggi terjadi pada perlakuan 750 mg APM dengan nilai 3.75 mg DHA (Tabel 8). Hasil analisis komposisi asam lemak menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi asam lemak dari telur ke larva umur satu hari dan ke larva umur tiga hari.
Hal ini disebabkan oleh penggunaan asam lemak untuk
pembentukan membram sel. Sejalan dengan itu maka pembentukan sel-sel secara cepat bagi menopang terbentuknya jaringan-jaringan yang khas; seperti terbentuknya saluran pencernaan, terbentuknya sirip dada, terbentuknya mata, mulut dan lain-lain. Ini semua memerlukan asam lemak yang merupakan bahan baku pembentukan membram sel, sehingga sel-sel dapat kokoh, h a t dan tetap dalam identitasnya. Terjadinya penurunan asam lemak ini, disamping disebabakan
kebutuhan untuk intergrasi membram sel, juga disebabkan oleh pemakaian sebagai sumber energi.
Pada penelitian Mokoginta (1992) yang mengamati
perkembangan larva ikan lele(C1arias batrachus) mencatat rasio lipida polar dan lipida non polar semakin meningkat sejak awal embriogenesis yang menunjukkan bahwa lipida non polar (netral) berperanan penting sebagai sumber energi.. Hasil penelitian M a r (1997) pada ovarium ikan nila (Oreochromis sp) pada TKG IV, mencatat bahwa induk yang menerima pakan suplementasi APM mempunyai kandungan lemak non polar yang lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol. Miyasaki et al. (1995) menyatakan bahwa vitamin C dapat mencegah terjadinya metabolisme lemak yang abnormal, seperti berkurangnya asam lemak rantai panjang dan terganggunya lemak tubuh selama tidak makan. Kandungan
N-3
HUFA khususnya EPA dan DHA pada telur lebih tinggi dibandingkan larva umur satu hari dan tiga hari (Tabel 8). Hal ini karena fungsinya sebagai "homeovzscous" dimana larva akan mengubah komposisi phospholipid membrannya dalam merespons perubahan kondisi lingkungan seperti suhu,
telah dilaporkan oleh
Hazel (1984 dalam NRC, 1993) adaptasi terhadap suhu lingkungan yang lebih tinggi,
proporsi
phosphatidylethanoalamine
menurun
sedangkan
phosphatidylcholine meningkat. Perubahan rasio kedua komponen fosfolipid membram tersebut dapat digunakan sebagai suatu indikator adaptasi yang baik terhadap perubahan lingkungan. Peranan n-3 HUFA juga sangat penting dalam proses osmoregulasi ikan laut. Furuita et a/. (1999) telah mencoba uji toleransi terhadap salinitas tinggi hingga 65 ppt terhadap larva ikan Japanese flounder (Paralichtys olivaceus), dan mendapatkan kelangsungan hidup yang tinggi , jika ikan diberi pakan yang mengandung DHA sebanyak 3 %. Furuita et al. (1996)
melaporkan bahwa defisiensi DHA pada awal perkembangan larva dapat menyebabkan tidak normalnya fungsi visual dan penerjemahan neural lainnya dalam tingkah laku. Juga dilaporkan bahwa DHA sangat penting bagi larva ikan "yellowtail" untuk perkembangan otak dan retina, dan ikan ini sangat mengandalkan
mata dan otaknya untuk mengidentifikasi, memburu dan
menangkap mangsa. Kandungan Vitamin C dan Ratio Hidroksi prolinffrolin pada Telur dan Larva Hasil analisis kandungan vitamin C pada telur serta larva umur satu hari dan larva umur tiga hari, menunjukkan bahwa kandungan vitamin C lebih tinggi pada telur,
kemudian menurun setelah telur menetas menjadi larva.
Ini
membuktikan bahwa vitamin C yang diberikan melalui pakan induk akan diakumulasikan oleh induk pada saat pembentukan telur dan dimanfaatkan saat perkembangan larva (Tabel 9). Tabel 9. Kandungan vitamin C (pglg bobot basah) telur dan larva umur satu dan tiga hari. .
. . ...... :j.:j.. . . . ..... .. . . / . ...........>
..
.....:./...
. . M...................'.......... . . . . . ...... .
................ ............................ . . . . . . . . ~................... .................................................................................. .. ..:.. ,.. ..:..:...:....: .. ..;: . .:.:.;........................................................ . ::.: :.::--:~;::.li;:II;:I::.;:jjjj:.. ;:I I;.:I,.I,: " ;............... ~ , ; , I ; . :,~. .B. .j .$. .#. #. )~. .~. .:.: j ; s , ~ k$ sj rm jj;;-l.'jl"$:j:jF :?:I; j ;;:;;l; ................ ........................................... .............. .............. .............. ........................................................ .............. ........................ . .................................. .............. . . . . ... . ......................................... .:,::,,:::,:::;::::::::::::;:: 8 iiii:~.i.$fi@~~lji&@M w g AM lii.g#SPfl.c@&m g?.. .;. ; ..j.i;. i;.!.i.i.i.i...m;.ij.i;.i; ~ ..j..j..j ...........@?"' .................................. .:............. ...................... ......... . .-.,: :mgArn ;:::::i$#Rhg ;j;::~;:~~mg ................. ...... .................. /
/
.:
.....I...........
'
;
;.,:
/
:,,,,
Telur
157,53H,61 555,58H,74 320,30H135 275,151,49
Larva 1 hari
130167H,67
250,95H,141 233,63M,95 368,78*1,81
Larva 3 hari
111,19*1,11
216,31f1,51 208,17N,82 21 1,48Q,72
376,82H,59
Induk ikan kerapu yang menerima pakan dengan suplementasi APM lebih tinggi, mempunyai telur dengan kandungan vitamin C yang lebih tinggi dibanding dengan yang tanpa disuplementasi; seperti terlihat pada perlakuan E (3000 mg APM) kandungan vitamin C pada telur mencapai 3 76,82 pglgram berat basah, sedangkan perlakuan A (0 mg APM) kandungan vitamin C pada telur
hanya 157,53pg /gram. Pada larva umur satu hari untuk perlakuan E (3000 mg APM), kandungan vitamin C nya 368,78p.g /gram dan untuk larva umur tiga hari kandungan vitamin C nya adalah 2 11,48 &gram,
dibandingkan dengan
perlakuan A (0 mg APM), pada larva umur satu hari, kandungan vitamin C nya 130,67 pg/gram dan untuk larva umur tiga hari kandungan vitamin C nya 111,19 pg/gram. Terlihat berbedaan kandungan vitamin C yang sangat besar antara perlakuan E (3000 mg APM) dibanding perlakuan kontrol (0 mg APM) pada semua stadia (Tabel 9).
Ini membuktikan bahwa vitamin C memang sangat
dibutuhkan dalam perkembangan embrio dan larva, seperti untuk pembentukan kolagen yang merupakan komponen utama pada kulit dan jaringan ikat serta zatzat pembentuk tulang dan gigi dan merupakan bahan dasar zat-zat yang terdapat diantara sel-sel. Defisiensi vitamin C dapat menyebabkan terganggunya sintesis kolagen yang menimbulkan penyakit (Piliang., 2000). Sintesis kolagen meliputi proses hidroksilasi prolin secara enzimatik untuk membentuk suatu komponen stabil yaitu matriks ekstra seluler. Demikian pula halnya dengan proses hidroksilasi lisin untuk pembentukan glikosilasi dan proses penganyaman seratserat kolagen. Kebutuhan asam askorbit sangat spesifik yaitu untuk melindungi enzim-enzim hidroksilasi dengan cara oksidasi ion-ion ferro dan kelompok thiol. Beberapa kolagen dapat terbentuk tanpa adanya L-asam ascorbit, namun seratserat yang terbentuk tidak normal dan jumlahnya pun sedikit (Piliang, 2000). Secara umum diketahui bahwa asam ascorbit befingsi untuk sintesis kolagenkolagen yang rusak, dengan demikian merangsang
pembentukan jaringan
pengikat yang diperlukan untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak serta mempercepat pertumbuhan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penambahan APM dalam pakan, turut meningkatkan rasio hidroksi prolidprolin(HP/P),
dibanding
perlakuan yang tidak dilakukan penambahan. Seperti terlihat pada perlakuan A(0 mg APM); kandungan HPP masih terdeteksi yaitu 0,135 pada telur, sedang pada penambahan vitamin C sebesar 3000 mg APM, diperoleh rasio H P P 0,710 pada sampel telur, selanjutnya dengan penambahan vitamin C 2250 mg APM diperoleh 0,56 dan dengan penambahan vitamin C 1500 mg APM, diperoleh rasio HP/P 0,46 (Tabel 10). Tabel 10. Rasio hidroksi prolidprolin telur dan larva (umur satu dan tiga hari)
Telur
0,135&0,007
Larva 1 hari
0,29kO,014
0,445f0,007 0,54+0,014 0,625M,007
Larva 3 hari
0,205&0,007
0,34M,014 0,445&0,007 0,52M,014
0,28kO,014
0,465&0,007 0,56M,014 0,71&0,014
Rasio hidroksi prolidprolin pada perlakuan 3000 mg APM pada stadia larva umur satu hari adalah 0,625, sedangkan pada perlakuan kontrol hanya 0,29. Ini memperlihatkan perbedaan yang cukup besar antara perlakuan E (3000 mg APM) dengan perlakuan kontrol (0 mg APM). Dalam hubungannya dengan pembentukan kolagen, maka salah satu cara untuk mendeteksi adalah dengan melihat hasil pengukuran terhadap prolin dan hidroksi prolin serta rasio antara keduanya.
Kalau rasio hidroksi prolidprolin tinggi maka peluang terjadinya
pembentukan kolagen akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Penambahan APM juga memperlihatkan rasio hidroksi prolidprolin(HP/P) lebih tinggi, dibanding yang tidak dilakukan penambahan.
Sato, Miyasaki dan Yoshinaka (1991)
mencatat hasil percobaannya mengunakan ikan rainbow trout berukuran 650 grlekor yang diberi pakan dengan penambahan vitamin C dalam bentuk L-
askorbil-2-phosphate magnesium dan asam askorbat masing-masing 100, 200, 500 dan 2000 mglkg pakan
selama
15 minggu menghasilkan rasio
hidroksiprolidprolin di kulit dan tulang masing-masing 0.65, sedang ikan yang menerima
pakan
tanpa
penambahan
vitamin
C
menghasilkan
rasio
hidrosiprolin/prolin sebesar 0.48. Sato, Hatano dan Yoshinaka (199 1) melaporkan hasil percobaanya mengunakan
vitamin C (L-askorbil-2-phosphate dan asam
askorbat) dan dosis vitamin C dalam pakan adalah 100, 500 dan 2000 mglkg pakan pada ikan rainbow trout, diperoleh hasil bahwa rasio hidroksi prolinlprolin di kulit dan tulang lebih tinggi 0.69 dibanding tanpa penambahan vitamin C yang hanya sebesar 0.46. Penurunan rasio hidroksiprolidprolin
dari telur ke larva
umur satu hari dan larva umur tiga hari, memperlihatkan terjadinya peningkatan aktifitas biosintesis kolagen untuk menopang struktur tubuh dari larva yang baru menetas. Sedangkan tingginya rasio hidroksiprolidprolin pada pakan yang diberi suplementasi vitamin C
menunjukkan bahwa
vitamin C dibutuhkan dalam
sintesis kolagen. Prolin merupakan bahan baku untuk sintesis hidroksiprolin yang merupakan komponen utama penyusun formasi kolagen. Menurut Dabrowski dan Blom (1994) ada korelasi antara kandungan vitamin C dalam telur dengan perkembangan embrio dan kekurangan vitamin C pada telur akan memberikan
efek
yang
merugikan
bagi
perkembangan
embrio.
Hasil
percobaannya mencatat bahwa selama perkembangan embrio 37 % cadangan vitamin C telur digunakan. Dalam percobaan ini rataan vitamin C yang digunakan dalam perkembangan embrio dan larva dari induk yang menerima pakan dengan suplementasi askorbil phosphate magnesium berkisar 25.95 % hingga 40.42 % sedangkan pada kontrol kandungan vitamin C larva tidak terdeteksi.
Kekurangan vitamin C cenderung melemahkan struktur tubuh (Goodman., 1994) dan akibatnya pertumbuhan larva menjadi tidak normal. Rendahnya persentase larva yang abnormal yang dihasilkan oleh induk ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi vitamin C, menunjukkan bahwa vitamin C berperan dalam sintesis kolagen yang berguna untuk menopang pertumbuhan yang normal bagi larva. Azwar (1997) melaporkan percobaannya dengan menggunakan ikan nila bahwa penambahan APM berpengaruh sangat nyata dalam menekan ke abnormalan larva. Persentase larva abnormal menurun dari 16.74 % pada pakan kontrol, menjadi hanya 0.54 % pada pakan yang di suplementasi APM.
Percobaan
Soliman et a1 (1986) mencatat bahwa induk ikan Oreochromis mossambicus yang menerima pakan tanpa suplementasi
vitamin C, perkembangan larva
abnormalnya mencapai 56.9 % sedangkan induk yang menerima pakan dengan penambahan vitamin C 1250 mglkg pakan hanya menghasilkan larva yang abnormal sebesar 1.28 %.
Daya tahan Hidup Larva dengan Mengandalkan energi cadangan (Survival Activity Index) Hasil pengamatan terhadap ketahanan hidup larva tanpa mengandalkan energi dari lux, memperlihatkan bahwa makin tinggi kandungan vitamin C pada larva, maka makin tinggi pula ketahanan hidup larva (Tabel 11). Ketahanan hidup larva rata-rata yang diberi vitamin C 3000mg APM mencapai
4,86 hari,
kemudian yang diberi vitamin C 2250 mgAPM mencapai 4,33 hari, selanjutnya yang diberi 1500 mg APM ketahanan hidup mencapai rata-rata 4,40 hari sedangkan yang tanpa penambahan vitamin C (0 mgAMP) hanya dapat bertahan hidup rata-rata selama 3,00 hari. Ketahanan hidup ini sangat berhubungan dengan
cadangan energi bawaan berupa kuning telur dan butir minyak.
Sedangkan
cadangan energi bawaan ini proses pembentukamya sangat dipengaruhi oleh nutrien induk. Tabel 11. Kemampuan hidup Larva tanpa diberi makan (survival activity index) pada setiap perlakuan ................................................................................................................................................................................................................................ :,:,.,...:. ?.... .... . g....................... : : .:::'.'. >.................................................................................................... ; $ ~ ~ @ & ~............................................. ~a j~: j i ........................... $ $ $ ~ ~ ~ ~..................... ~fQii~& : j j i.'.": I :....... i:jjj:jiI:jij:jj~: .................... : m ....,,:.:; ................................................................................................................. .............. .'....~'....... .. .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . .]#f&<<$ :;.,;.>::;:b@@$jj&p . . . . . . . . . . $. . .f . $. $ ~ $ j ~ ~ ~. . ~. . .: . $. . .~. .;. .~. .~. . ~ . . .~. .~. . .~. .&. . .&. .~. . ~ . . .c. .:. .i . ;. .;. .j .$. . $ . . .; . ;. .;. .; . $ . . .$. .~. . ~ . . .<. .$. . .~. .~. . $. . . . .
#@@##$@h@zg&Kjj<
$Ji$4wm@#$!?m
A(0 mg)APM
(
2.
]a#g(mm
32
3, 3, 4
3.0 f 0,707
C(1500 mg) APM
3, 5, 5
4, 5
4.4 0,894
D(2250 mg) APM
3,6 ,4
3,5,5
4.33f 1,211
5, 6, 5
5
B(750 mg) APM
E(3000 mg) APM
5, 2, 5
Ketahanan hidup larva
*
4.86
+ 1,254
awal sangat ditentukan oleh cadangan energi
bawaan berupa kuning telur dan butir minyak, yang dipersiapkan oleh induk mulai saat vitelogenesis sampai telur matang (siap dipijahkan).
Jika dalam
perkembangan oosit (telur), induk mengalami kekurangan nutrien, maka proses perkembangan vitelogenesis (penumpukan kuning telur) akan mengalami gangguan, sehingga telur yang dihasilkan sering tidak menetas. Pada penelitian ini didapatkan bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara perlakuan yang disuplementasi APM dengan daya tahan hidup larva yang mengandalkan cadangan energi bawaan berupa kuning telur dan butir minyak, hubungan korelasinya (r selama
=
0,9058) pada (Lampiran 25) dengan lama hidup rara-rata
4.33 - 4.86 hari, sedangkan
yang tanpa suplementasi APM hanya
bertahan hidup rata-rata 3,00 hari. Masumoto et al. (1991) mencatat bahwa penambahan vitamin C dalam pakan induk, dapat meningkatkan
fekunditas,
diameter telur, dan ketahanan hidup larva serta mengurangi abnormalitas larva.
Selanjutnya dikatakan bahwa status nutrien pada masa embrionic sangat ditentukan oleh nutrien induk, sebab kecukupan nutrien pada masa embrionic, hanya ditransfer oleh induk selama masa vitelogenesis. Nutrien induk tidak hanya mensupport perkembangan vitelogenesis, tetapi juga mensupport perkembangan embrio hingga menetas menjadi larva, dan sampai larva dapat mencari makanannya sendiri. Peningkatan ketahanan hidup larva, sangat berkaitan dengan ketersediaan energi bawaan.
Ada kecendrungan bahwa ikan yang menerima
suplementasi APM sebagai sumber vitamin C kandungan energi telurnya lebih tinggi.
Hasil penelitian Azwar (1997) mencatat bahwa ikan nila yang menerima
pakan yang disuplementasi APM yang cukup menghasilkan telur yang relatif lebih besar dibandingkan dengan induk ikan nila yang menerima pakan tanpa suplementasi APM. Pengamatan Quattro dan Weeks (1991) terhadap telur ikan genus Poeciliopsis mencatat bahwa ada hubungan yang h a t antara ukuran diameter telur dengan ketersediaan energi telur.