HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Identifikasi Kutudaun Hasil identifikasi kutudaun yang diperoleh dari pertanaman kacang panjang di Kelurahan Situ Gede, Kabupaten Bogor Barat, menunjukkan bahwa spesies tersebut adalah A. craccivora. Ciri-ciri penting A. craccivora yang diamati sesuai dengan kunci identifikasi Blackman dan Eastop (2000) yaitu imago kutudaun yang tidak bersayap berwarna hitam dengan panjang tubuh 1.53 mm. Panjang kauda 0.21 mm, berwarna hitam yang mengecil di bagian ujung dan terdapat beberapa rambut kecil yaitu 2-5 rambut pada satu sisi dan 3 rambut pada sisi lainnya. Panjang sifunkuli 0.38 mm, berwarna hitam dan berbentuk silinder yang mengecil di bagian ujungnya. Kepala tempat perlekatan antena tidak berkembang (weakly developed) (Gambar 2).
0.21 mm
1.53 mm
a
b
c
d
0.38 mm
Gambar 2 Preparat imago kutudaun (A. craccivora) tidak bersayap a. Imago, b. Kauda, c. Sifunkuli, d. Kepala tempat perlekatan antena tidak berkembang (lingkaran merah)
10 Pengaruh Kitosan terhadap Kejadian Penyakit, Periode Inkubasi dan Tipe Gejala Kejadian Penyakit. Kejadian penyakit menunjukkan keberadaan suatu patogen pada tanaman (Agrios 2005). Beberapa tanaman yang diberi perlakuan kitosan tidak menunjukkan gejala infeksi BCMV. Kejadian penyakit tanaman perlakuan menunjukkan lebih rendah dibandingkan tanaman kontrol. Diantara perlakuan kejadian penyakit terendah ditunjukkan pada perlakuan kitosan 0.9% (Tabel 1). Periode Inkubasi. Periode inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya virus hingga timbulnya gejala pertama pada tanaman (Boss 1990). Berdasarkan hasil penelitian, periode inkubasi yang diperoleh beragam pada masing-masing perlakuan. Periode inkubasi BCMV berkisar antara 5-10 HSI. Periode inkubasi BCMV pada tanaman yang diberi perlakuan kitosan cenderung lebih panjang dari kontrol tanpa perlakuan kitosan (Tabel 1). Gejala pertama kali terlihat pada 5 HSI yaitu pada perlakuan kitosan 0.1%, sedangkan gejala paling lama muncul pada perlakuan kitosan 0.5% (10 HSI). Tabel 1 Pengaruh perlakuan terhadap kejadian penyakit, periode inkubasi virus dan tipe gejala Perlakuan1 KP (n/N)2(%) Periode Inkubasi (HSI3) Tipe Gejala4 5 K0.1 6/10 (60) 5 Mr, Ms, Mb K0.3 1/95 (11) 8 Mr, Ms, Mb 5 K0.5 1/9 (11) 10 Mr, Ms, Mb K0.7 2/95 (22) 8 Mr, Ms, Mb K0.9 0/105 (0) -6 Tidak ada gejala 5 K1.0 6/9 (66) 7 Mr, Ms, Mb K+ 10/105 (100) 5 Mr, Ms, Mb, Md 5 K0/9 (0) Tidak ada gejala 1
2 3 4 5 6
K0.1: Kitosan 0.1%, K0.3: Kitosan 0.3%, K0.5: Kitosan 0.5%, K0.7: Kitosan 0.7%, K0.9: Kitosan 0.9%, K1.0: Kitosan 1%, K+: Kontrol tanpa perlakuan kitosan, K-: Kontrol sehat n: jumlah tanaman yang terinfeksi, N: jumlah tanaman yang diamati (KP = n/N x 100%) HSI: Hari setelah inokulasi Ket: Mr = mosaik ringan, Ms= mosaik sedang, Mb = mosaik berat, Md= malformasi daun N<10: tanaman uji mati oleh serangan busuk pangkal batang - = tidak ada
Tipe Gejala. Gejala merupakan ekspresi dari tanaman akibat adanya gangguan fungsi fisiologis baik disebabkan oleh patogen maupun kekurangan unsur hara. Adanya perbedaan konsentrasi kitosan yang digunakan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap ekspresi gejala BCMV. Tipe gejala BCMV yang muncul berupa mosaik ringan (pemucatan tulang daun), mosaik sedang (klorosis berwarna hijau muda), mosaik berat (mosaik kuning), dan malformasi daun (Gambar 2). Tipe gejala malformasi daun hanya ditunjukkan oleh kontrol tanpa perlakuan kitosan, sedangkan pada tanaman yang diberi perlakuan kitosan 0.1%, 0.3%, 0.5% 0.7% dan 1%, tipe gejala yang muncul berupa mosaik ringan, mosaik sedang dan mosaik berat.
12 Tabel 2 Pengaruh perlakuan terhadap NAE dan keparahan penyakit Penghambatan Keparahan Perlakuan1 NAE2 3 Penyakit (%)5 Penyakit K0.1 0.319 ± 0.231 a 2.2 ± 1.9 c 38.9 K0.3 0.148 ± 0.203 a 0.4 ± 1.3 a 88.9 K0.5 0.153 ± 0.217 a 0.4 ± 1.3 a 88.9 K0.7 0.278 ± 0.291 a 0.8 ± 1.7 ab 77.8 K0.9 0.186 ± 0.017 a 0.0 ± 0.0 a 100.0 K1.0 0.328 ± 0.288 a 1.7 ± 1.5 bc 52.8 K+ 1.442 ± 0.468 b 3.6 ± 0.8 d 0.0 K0.178 ± 0.020 a 0.0 ± 0.0 a 100.0 1
2
3 4
K0.1: Kitosan 0.1%, K0.3: Kitosan 0.3%, K0.5: Kitosan 0.5%, K0.7: Kitosan 0.7%, K0.9: Kitosan 0.9%, K1.0: Kitosan 1%, K+: Kontrol tanpa perlakuan kitosan, K-: Kontrol sehat Angka yang diikuti huruf mutu berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α=0.05) Keparahan penyakit pada 4 MSI Penghambatan penyakit: (Keparahan Penyakit Kontrol - Keparahan Penyakit Perlakuan) x 100% Keparahan Penyakit Kontrol
Pengaruh Kitosan terhadap Peubah Pertumbuhan Tanaman Tinggi. Perlakuan kitosan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan kitosan. Tanaman perlakuan yang terinfeksi BCMV cenderung tumbuh lebih baik dan secara visual tampak lebih baik dibandingkan tanaman kontrol tanpa perlakuan. Tanaman perlakuan yang terinfeksi BCMV tumbuh sebaik tanaman kontrol sehat (Gambar 4). Jumlah Daun. Jumlah daun yang dihasilkan oleh tanaman perlakuan yang terinfeksi BCMV lebih banyak dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan kitosan dan cenderung sama dengan jumlah daun tanaman kontrol sehat (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa kitosan dapat mempengaruhi pertumbuhan daun tanaman. Jumlah daun tanaman perlakuan berkisar antara 2-18 daun dengan penampakan visual yang terlihat lebih baik (Gambar 6). 250 2 MSI 4 MSI 6 MSI Tinggi Tanaman (cm)
200
b
b
b
b
b
b
ab b
b
b
b
a
b
ab
150
ab a
100 50
b
b
b
b
b
b
K0.1
K0.3
K0.5
K0.7
K0.9
K1.0
a
b
0 K+
Perlakuan
Gambar 4 Pengaruh kitosan terhadap tinggi tanaman
K-
14
Populasi Kutudaun/Tanaman (ekor)
400 Kontrol K0.1 K0.3 K0.5 K0.7 K0.9 K1.0
350 300 250 200 150 100 50
0 1
2
3 4 5 Pengamatan Hari ke-
6
7
Gambar 7 Pengaruh kitosan terhadap perkembangan populasi A. craccivora Preferensi Makan A. craccivora. Perlakuan kitosan berpengaruh terhadap tingkat preferensi makan A. craccivora (Gambar 8 dan 9). Tanaman tanpa perlakuan kitosan terlihat lebih disukai dibandingkan dengan tanaman yang diberi perlakuan kitosan. Konsentrasi kitosan antar perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap preferensi makan A. craccivora. Hal ini dapat disebabkan karena kitosan dapat menghambat aktifitas makan A. craccivora sehingga A. craccivora lebih memilih makan pada tanaman yang tanpa diberi perlakuan kitosan. Penghambatan makan kutudaun mempengaruhi kemampuan A. craccivora dalam menularkan BCMV, sehingga kejadian penyakit tanaman perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan. 8 Kontrol
Jumlah Kutudaun (ekor)
7 6
K0.3
K0.5
K0.7
K0.9
K1.0
c b
5 4
K0.1
bc ab ab
3 ab ab a
2
a b
a a
b ab ab ab ab ab ab
b
a
a a a b ab
ab ab b
a a
a
a b
a
1 0 1
2
4 6 Waktu Pengamatan (JSI)
8
Gambar 8 Pengaruh kitosan terhadap preferensi makan kutudaun pada tanaman
kacang panjang. JSI: jam setelah infestasi.
Jumlah Kutudaun (ekor)
15 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Kontrol b
K 0.1
K 0.3
K 0.5
K 0.7
K 0.9
K 1.0
c b
b b a
a a a
a a
b ab ab ab
a a a
a
a a a a
a
a a a a
a a a a a a
a
1
2
4 6 Waktu Pengamatan (JSI)
8
Gambar 9 Pengaruh kitosan terhadap preferensi makan kutudaun pada daun tanaman kacang panjang yang diletakkan pada baki. JSI: jam setelah infestasi.
Pembahasan Umum BCMV merupakan salah satu virus penting penyebab penyakit mosaik pada kacang panjang (Udayashankar et al. 2010), termasuk di Indonesia. Virus ini ditularkan oleh beberapa spesies kutudaun termasuk A. craccivora secara non persisten (Shukla et al. 1994). Penggunaan A. craccivora sebanyak 3 ekor dalam penelitian ini menunjukkan cukup efisien dalam menularkan BCMV, hal ini mengkonfirmasi laporan Susetio (2011). Keberhasilan kutudaun menularkan virus dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketepatan kutudaun menghisap cairan tanaman dari sel tanaman yang mengandung virus (Djikstra dan De Jager 1998). Perbedaan konsentrasi kitosan yang digunakan berpengaruh terhadap peubah pengamatan. Perlakuan kitosan mampu memperpanjang periode inkubasi. Periode inkubasi virus dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti inang, konsentrasi virus, lingkungan, sifat virus, dan kecepatan perkembangan virus dalam jaringan serta tingkat kerentanan tanaman terhadap infeksi virus (Walkey 1991; Susetio 2011). Diantara konsentrasi kitosan yang diuji, tanaman yang diberi perlakuan kitosan 0.9% tidak menunjukkan gejala, hal ini diduga karena kitosan mampu menekan infeksi dan multiplikasi virus serta mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus dalam tanaman (Pospieszny et al. 1991). Menurut Mukeshimana et al. (2003) gejala infeksi BCMV berupa mosaik, pemucatan tulang daun (vein clearing), penebalan tulang daun (vein banding), daun menggulung, malformasi daun, kerdil, dan polong serta biji yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman sehat. Dalam penelitian ini gejala infeksi BCMV yang muncul pada tanaman perlakuan berupa mosaik ringan hingga mosaik berat. Tipe gejala mosaik berat dan malformasi daun hanya muncul pada tanaman kontrol tanpa perlakuan kitosan yang diinokulasi BCMV. Menurut Agrios (2005) keparahan penyakit tergantung oleh umur tanaman saat terserang virus, tingkat virulensi virus serta keberadaan serangga sebagai vektor virus.
16 Secara umum, tanaman yang diberi perlakuan kitosan menunjukkan kejadian dan keparahan penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman kontrol tanpa perlakuan kitosan dan berkorelasi dengan akumulasi BCMV yang nyata lebih rendah (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa kitosan mampu menghambat infeksi BCMV. Penghambatan akumulasi BCMV ini kemungkinan karena nanopartikel kitosan dapat mengikat asam nukleat pada saat virus melakukan penetrasi dan menyebabkan kerusakan pada virus. Selain itu, kitosan juga mampu menonaktifkan sintesis mRNA (Rabea et al. 2003; Chirkov et al. 2006). Alternatif lain, penekanan BCMV mungkin disebabkan oleh kemampuan kitosan dalam menginduksi ketahanan sistemik kacang panjang seperti yang pernah dilaporkan terjadi pada kentang yang lebih tahan terhadap infeksi PVX setelah diberi kitosan (Chirkov et al. 2001). Penghambatan infeksi paling efektif berdasarkan periode inkubasi, kejadian dan keparahan penyakit serta akumulasi BCMV terdapat pada perlakuan kitosan dengan konsentrasi 0.9%, kemudian berturut-turut pada perlakuan kitosan 0.5%, 0.3%, 0.7%, 1%, dan 0.1%. Ramadhan (2011) melaporkan pada konsentrasi kitosan 1% mampu menghambat penyakit mosaik BCMV strain NL sebesar 67.6% dan 52.8% (BCMV-BlC) pada penelitian ini. Perbedaan strain BCMV yang digunakan dan cara penularan BCMV saat perlakuan kemungkinan berpengaruh terhadap penghambatan penyakit; efek penekanan BCMV oleh kitosan tergantung strain virus dan cara penularan. Tingkat penekanan infeksi virus oleh kitosan bervariasi sesuai dengan berat molekul kitosan (Kulikov et al. 2006). Berat molekul kitosan yang rendah memiliki efek penghambatan yang lebih besar terhadap fitopatogen dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang tinggi (Hirano et al. 1989). Pada penelitian ini kitosan yang digunakan telah dicampur dengan Cu dan Zn dan unsur hara lainnya dengan berat molekul kitosan ≤ 3 kDa. Terikatnya unsur metal dilaporkan meningkatkan aktifitas biologi kitosan (Wang et al. 2005) dan tambahan unsur lainnya, berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman kacang panjang yang diberi perlakuan kitosan, secara visual menunjukkan tinggi tanaman, dan jumlah daun yang nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol tanaman sakit tanpa perlakuan kitosan. Tanaman yang diberi perlakuan kitosan mampu tumbuh lebih baik walaupun tanaman terinfeksi BCMV. Menurut Bautista et al. (2005) tanaman yang diberi perlakuan kitosan secara signifikan lebih terlihat segar, memiliki bobot kering yang lebih tinggi dan jumlah daun yang lebih banyak bila dibandingkan dengan tanaman sakit yang tidak diberi perlakuan kitosan. Kitosan juga berpengaruh terhadap vektor BCMV yaitu A. craccivora berupa penghambatan perkembangan populasi dan preferensi makan A. craccivora. Siklus hidup A. craccivora pada kondisi lingkungan yang sesuai berkisar antara 5-6 hari dengan rata-rata 5.5 hari (Kranz et al. 1978). Kutudaun dewasa dapat menghasilkan 2-20 keturunan setiap hari (Pracaya 2008). Berdasarkan hasil penelitian, perkembangan populasi kutudaun terus meningkat sejak hari pertama setelah diinfestasi imago kutudaun tidak bersayap. Populasi kutudaun meningkat tajam pada hari ke-5 (Gambar 7), hal ini dimungkinkan karena nimfa kutudaun telah berkembang menjadi serangga dewasa yang mampu menghasilkan keturunan kembali secara partenogenesis. Jumlah populasi kutudaun pada tanaman perlakuan nyata lebih rendah dibandingkan dengan
17 kontrol. Konsentrasi paling baik dalam menekan perkembangan populasi kutudaun adalah konsentrasi kitosan 0.9%. Kitosan mampu mempengaruhi proses ganti kulit pada kutudaun (Lehane et al. 1997; Badawy dan El-Aswad 2012) dan mempunyai efek antixenosis dan antibiosis serta mampu mengurangi periode prareproduksi, fekunditas harian dan lama hidup kutudaun (Saguez et al. 2005). Rendahnya populasi kutudaun pada perlakuan kitosan diduga dipengaruhi oleh efek antibiosis yang bisa menyebabkan kematian serangga dan kemampuan kitosan dalam menekan fekunditas harian. Pada penelitian ini, kutudaun memilih tanaman kontrol tanpa perlakuan dibandingkan tanaman dengan perlakuan kitosan. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan memiliki efek antixenosis (Gambar 8 dan 9) sehingga secara nyata mempengaruhi preferensi makan A. craccivora. Selain itu, kitosan juga mempunyai efek penghambat makan (anti-feedant) (Badawy dan El-Aswad 2012) dan aktifitas insektisida (Aphisidal) terhadap beberapa jenis kutudaun (Zhang et al. 2003). Rendahnya infeksi BCMV yang ditularkan oleh A. craccivora pada tanaman perlakuan (Tabel 1) diduga dipengaruhi juga oleh adanya efek penghambat makan (anti-feedant) yang ditunjukkan oleh kitosan. Sehingga hal ini kemungkinan besar mempengaruhi kemampuan A. craccivora dalam menularkan BCMV. Aplikasi kitosan yang berulang pada tanaman dilaporkan mampu menunjukkan aktifitas insektisida (Aphisidal) terhadap A. nerii (Badawy dan ElAswad 2012). Namun, dalam penelitian ini kitosan hanya sekali diaplikasikan/disemprot pada daun dan mortalitas kutudaun tidak diamati, sehingga efek insektisida (Aphisidal) tidak diketahui. Oleh karena itu dari data yang diperoleh, kitosan lebih menunjukkan efek penghambat makan (antifeedant), antixenosis dan antibiosis daripada efek insektisida (Aphisidal) terhadap A. craccivora.