HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Perubahan Konsetrasi N-NH3 Fermentasi pakan di dalam rumen ternak ruminansia melibatkan aktifitas mikroba rumen. Aktifitas fermentasi tersebut meliputi hidrolisis komponen bahan organik dan menghasilkan VFA (vollatile fatty acid), N-NH3 (amonia), dan gas. Nilai VFA dan N-NH3 filtrat hasil fermentasi yang mengambarkan karakteristik pola fermentasi bahan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan konsentrasi VFA dan N-NH3 pada Media Fermentasi Pakan dengan Perlakuan Berbeda (In vitro) Perlakuan P1
mM-VFA 135,36 ± 26,57
mM N-NH3 14,40 ± 6,02
P2
91,20 ± 27,02
16,39 ± 7,21
P3
80,40 ± 39,88
15,92 ± 5,58
P4
103,96 ± 28,65
18,06 ± 7,46
Keterangan: P1= ransum basal + cr organik 3ppm, P2 = ransum basal + cr inorganik 3 ppm, ransum basal + co organik 3 ppm, P4 = ransum basal + co inorganik 3 ppm
P3 =
Amonia (N-NH3) merupakan sumber nitrogen utama yang digunakan untuk sintesis protein mikroba (Sakinah, 2005). Urea tidak dapat menggantikan protein pakan, urea hanya mampu mensuplai nitrogen untuk sintesis asam amino komponen molekul protein. Selama pembentukan protein, mikroba disamping memerlukan sumber nitrogen juga memerlukan komponen lain seperti kerangka karbon dan hidrogen yang berasal dari karbohidrat mudah terfermentasi (Sutardi 1977). Sehubungan dengan hal tersebut Suryadi (1993) menyatakan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan urea dengan ukuran tinggi untuk memperoleh utilisasi yang optimum yaitu ketersediaan energi yang cukup dan mudah tersedia serta perlunya unsur mikro yang cukup. Pola perubahan konsentrasi N-NH3 dalam media fermentasi pakan dengan perlakuan berbeda dengan lama fermentasi 1 jam sampai dengan 48 jam ditunjukkan dalam Gambar 5.
20
Konsentrasi N-NH3 (mM)
35 30
25 20
P1
15
P2
10
P3 P4
5 0 1
3
5
7
24
48
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 5. Konsentrasi N-NH3 pada media fermentasi pakan dengan perlakuan berbeda dengan lama fermentasi 1 sampai 48 jam. Selama proses inkorporasi NH3 (amonia) ke dalam tubuh mikroba yang akan digunakan sebagai komponen protein tubuhnya membutuhkan energi, sehingga apabila mikroba rumen kekurangan energi maka daya menyerap amonia menjadi terbatas dan berakibat kepada terakumulasinya N-NH3 pada cairan rumen (Jayanegara et al., 2006).
Menurut Arora (1995) sumber energi yang mudah
digunakan oleh mikroba rumen berasal dari gula terlarut (monosakarida) yang terlarut dalam cairan rumen. Semakin tinggi penggunaan karbohidrat mudah terfermentasi (readily available carbohydrate/RAC) akan mengurangi konsentrasi amonia dalam media karena untuk pertumbuhannya mikroba menggunakan amonia (Laconi, 1998). Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi N-NH3 mengalami fluktuasi selama periode pengamatan selama 48 jam. Puncak produksi maksimal N-NH3 pada rumen terjadi pada jam ke-2 dan 4 setelah pemberian pakan berlangsung (Wohlt et al., 1976). Produksi maksimal N-NH3 pada semua perlakuan terjadi pada jam pengamatan ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa mineral Cr dan Co baik dalam bentuk organik maupun inorganik kurang berperan dalam meningkatkan laju degradasi NNH3 yang berasal dari pakan dan penggunaan N-NH3 dalam mensintesis protein mikroba. Walaupun tidak diberi pakan sumber protein murni, fermentasi bahan pakan mampu mempertahankan nilai konsentrasi N-NH3 pada cairan rumen, kecuali pada perlakuan P2 dan P4 sehingga hal ini berarti bahwa penambahan mineral Cr ataupun Co dalam bentuk inorganik tidak memiliki keefektifan yang baik dalam 21
menekan konsentrasi N-NH3.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa degradasi
protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba (McDonald et.al., 2002). Namun hal ini berarti bahwa Cr organik dan Co organik mampu meningkatkan penggunaan NH3 oleh mikroba rumen untuk disintesis menjadi asam amino dan diinkorporasikan ke dalam protein mikroba. Pada pengamatan konsentrasi N-NH3 (Tabel 2) diperoleh infomasi bahwa tidak terjadi perbedaan konsentrasi N-NH3 pada perlakuan yang diberikan baik penambahan mineral organik maupun inorganik. Berdasarkan Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa produksi N-NH3 yang dihasilkan masih dalam kisaran normal dengan nilai 14-18 mM walaupun tidak diberi pakan sumber protein murni. Menurut Wohlt et al. (1976) konsentrasi optimum N-NH3 dalam rumen memiliki nilai kisaran antara 6-21 mM. Kadar N-NH3 dalam kajian ini menunjukkan bahwa urea diduga sebagai penyumbang N-NH3 terbesar dalam media cairan rumen selain N-NH3 yang berasal dari pakan yang digunakan. Berdasarkan Tabel 2, dapat diperoleh informasi bahwa pada kondisi tersebut penambahan Cr ataupun Co dalam pakan masih efektif untuk menstimulasi penggunaan N-NH3 guna proses sintesis protein mikroba hingga kadar urea ransum hingga 3 %. Kondisi seperti ini menyatakan bahwa produksi dan konsentrasi N-NH3 tidak dipengaruhi oleh keberadaan mineral Cr atau Co baik dalam bentuk organik maupun inorganik.
Menurut
Laconi
(1998) faktor yang
mempengaruhi konsentrasi N-NH3 adalah karbohidrat dalam pakan. Pola Perubahan Konsentrsi VFA (Volatille Fatty Acid) VFA (volatille fatty acid) merupakan sumber energi yang berasal dari proses pencernaan fermentatif karbohidrat dalam rumen ternak ruminansia. Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat, asam isobutirat, asam 2-metil butirat, dan asam iso-valerat (Forbes dan Frances,1993). Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati,1998) dan aktivitas mikroba serta mencirikan banyaknya produksi VFA (Church, 1979). Hasil pengukuran konsentrasi VFA pada periode pengamatan 1 hingga 48 jam setelah fermentasi ditunjukkan pada Gambar 6.
22
180 Konsentrasi VFA (mM)
160 140 120 100
P1
80
P2
60
P3
40
P4
20 0 1
3
5
7
24
48
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 6. Konsentrasi VFA pada media fermentasi pakan dengan perlakuan berbeda dengan lama fermentasi 1 sampai 48 jam. Berdasarkan Gambar 6 dan Tabel 1 diperoleh informasi bahwa pada pengamatan rataan konsentrasi VFA dapat dinyatakan setiap perlakuan memberikan pengaruh yang cukup berbeda. Berdasarkan Tabel 2, diperoleh informasi bahwa P1 memiliki konsentrasi VFA yang cenderung lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 135,36 + 26,57 mM. Ransum P1 merupakan perlakuan pakan yang ditambahkan dengan Cr organik sebesar 3 ppm. Tinginya nilai VFA pada perlakuan tersebut diperkirakan disebabkan karena adanya suplementasi unsur Cr yang merupakan mineral essensial bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006). Menurut Burton (1995) unsur Cr akan membentuk senyawa GTF (glucose tolerance factor) jika Cr berikatan dengan 2 asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation (glutamat, glisin, dan sistein). GTF berperan dalam peningkatan asupan glukosa ke dalam sel mikroba yang akan mempengaruhi aktifitasnya, sehingga diduga bahwa semakin tinggi asupan glukosa oleh bakteri maka akan meningkatkan aktifitasnya juga begitupun sebaliknya semakin rendah asupan glukosa maka semakin rendah pula aktifitas dari mikroba rumen. Kondisi tersebut berkaitan dengan perlakuan P2 yang memberikan hasil lebih rendah dari P1 yaitu sebesar 91,20 + 27,02 mM. Perlakuan P2 merupakan pakan dengan suplementasi Cr anorganik ke dalam pakan. Komponen Cr anorganik yang diberikan dalam bentuk senyawa CrCl3, menurut Cefalu dan Hu (2004) Cr dalam bentuk trivalen (Cr3+) merupakan kromium anorganik yang tidak beracun namun sulit diserap, oleh karena itu aktifitas mikroba dalam cairan rumen akan menurun 23
karena sifat dari mineral anorganik yang sulit diserap dibandingkan dengan mineral organik. Kobalt merupakan salah satu mineral esensial bagi ruminansia, yaitu sebagai kofaktor dalam sintesis vitamin B12 oleh mikroba rumen. Vitamin B12 memiliki dua fungsi yang berbeda , yaitu methycobalamin digunakan oleh enzim methionin syntase untuk
mengubah
homosistein
menjadi
metionin
sedangkan
5-
deoxyadenosylcobalamin digunakan oleh enzim methymalonyl-CoA mutase dalam konversi methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Norris,2002). Succinyl-CoA adalah suatu intermediet produksi asam propionat (Hobson dan Stewart, 1997). Perlakuan P3 memberikan hasil konsentrasi VFA paling rendah yaitu sebesar 80,40 + 39,88 mM. Perlakuan P3 merupakan perlakuan penambahan mineral Co organik ke dalam pakan dan Co organik yang digunakan mengandung Rhizopus sp. Menurut Darana (1995) Rhizopus sp. dapat menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat menghambat beberapa jenis bakteri rumen. Selanjutnya Jayanegara et al. (2006) menyatakan bahwa Rhizopus sp. memiliki zat antagonistik terhadap bakteri yang menyebabkan adanya hambatan dalam penyerapan monosakrida oleh bakteri rumen, penghambatan tersebut kemungkinan terjadi pada bakteri pensintesis vitamin B 12. Pada perlakuan P4 yaitu penambahan mineral Co anorganik dalam bentuk senyawa CoCl memberikan hasil yang lebih baik dari P3 yaitu sebesar 103,96 + 28,65 mM hal ini disebabkan karena Co dalam bentuk anorganik tidak mengandung senyawa yang dihasilkan oleh Rhizopus sp. yang dapat menghambat aktifitas mikroba rumen seperti pada mineral Co organik. Perlakuan P1 dan P3 memiliki kesamaan perlakuan yang diberikan yaitu penambahan mineral mikro dalam bentuk organik, namun terdapat perbedaan diantara keduanya hal tersebut karena penambahan Cr dapat membentuk GTF yang diduga mampu membantu meningkatkan penyerapan energi oleh mikroba untuk menjalankan aktivitasnya walaupun terdapat zat antagonistik yang dihasilkan oleh Rhizopus sp.
Sebaliknya
penambahan Co organik tidak dapat menghasilkan
senyawa yang mampu menyeimbangkan zat antagonistik yang dihasilkan oleh Rhizopus sp. sehingga terjadi penghambatan penyerapan monosakarida atau gula terlarut pada cairan rumen yang nantinya akan digunakan oleh mikroba rumen untuk aktivitasnya. Oleh karena itu perlakuan penambahan mineral Cr organik
24
menghasilkan konsentrasi VFA total lebih besar daripada Co organik, walaupun keduanya merupakan senyawa organik. Kecernaan Bahan Kering dan Organik Kecernaan pakan menunjukkan bagian pakan yang terserap dan dinyatakan dalam persentase
(McDonald et al., 2002). Kecernaan melalui metode in vitro
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer (Selly, 1994). Kecernaan biasanya diukur dalam dua bentuk yaitu kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO). Nilai koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) Ransum yang Disuplementasi Cr dan Co Perlakuan
KCBK (%)
KCBO (%)
P1
73,00 ± 2,10
75,29 ± 2,19
P2
65,29 ± 2,72
67,40 ± 3,65
P3
66,24 ± 1,85
69,98 ± 2,67
P4
68,40 ± 0,93
70,19 ± 1,04
Keterangan : P1= ransum basal + Cr organik 3 ppm, P2 = ransum basal + Cr inorganik 3ppm, P3 = ransum basal + Co organik 3 ppm, P4 = ransum basal + Co inorganik 3 ppm.
Terdapat variasi koefisien cerna bahan kering dan bahan organik pada setiap perlakuan yang diberikan. Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 3 koefisien cerna bahan kering dan bahan organik pada P1 menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan pada perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena terdapatnya struktur GTF yang dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi pakan. Perlakuan P2, P3 , dan P4 mempunyai nilai KCBK dan KCBO yang tidak terlalu jauh antara setiap perlakuan tersebut. Pada Tabel 3 diperoleh informasi bahwa tinggi rendahnya nilai KCBK akan mempengaruhi nilai KCBO, artinya jika terjadi kenaikan nilai pada KCBK pada perlakuan tersebut makan akan diikuti kenaikan nilai KCBO pula. Menurut Tilley dan Terry (1963) tinggi rendahnya nilai KCBK akan mempengaruhi tinggi rendahnya KCBO pakan selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan 25
bahan kering dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik karena sebagian besar komponen penyusun bahan kering terdiri atas bahan organik. Sutardi (1980) menyatakan bahwa kecernaan pakan diatas nilai 60% merupakan nilai kecernaan pakan yang tinggi. Data pada Tabel 3 menunjukkan hasil bahwa pakan yang digunakan pada perlakuan memiliki kecernaan yang tinggi dimana hasilnya menunjukkan nilai diatas 60%. Hal ini diduga karena adanya bantuan kemampuan peningkatan fermentasi pakan oleh kapang Rhizopus sp. terutama pada perlakuan P1 dan P3. Tingginya nilai KCBK dan KCBO pada perlakuan P1 konsisten dengan tingginya kadar konsentrasi VFA yang dihasilkan dan rendahnya kadar konsentrasi N-NH3 cairan media fermentasi. Hal tersebut membuktikan bahwa penambahan Cr organik yang dibuat melalui fermentasi kedelai dengan Rhizopus sp. dalam pakan, bermanfaat dalam meningkatkan fermentasi pakan dalam rumen.
26