HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Potensi Lahan Untuk Pemanfaatan Lahan Padi Penilaian potensi lahan merupakan kegiatan penilaian lahan berdasarkan karakteristik alamiah dari komponen-komponen lahan. Evaluasi lahan menggunakan peta sistem lahan/kesesuaian lahan untuk menemukan daerah yang cocok secara fisik untuk jenis pengembangan yang dipertimbangkan. Dengan menggunakan peta skala tinjau, evaluasi potensi fisik wilayah dilakukan dengan membagi lahan ke dalam dua kelas kesesuaian lahan yaitu sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat kesesuaian lahan padi adalah kualitas dan karakteristik tanah. Kualitas tanah diukur dari kondisi perakaran, temperatur, ketersediaan air, penyerapan unsur hara, ketersedian unsur hara, toksisitas dan kondisi permukaan, sedangkan karakteristik tanah ditinjau dari temperatur, suhu rata-rata, ketersediaan air (curah hujan dan lamanya bulan basah), kondisi perakaran (kondisi drainase, tekstur dan kedalaman tanah), penyerapan hara (kualitas KTK, tingkat keasaman), ketersediaan unsur hara (N, P2O5, K2O), kadar garam (salinitas) dan kondisi permukaan (kemiringan lereng, batuan permukaan, dan batuan singkapan) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Analisis kelas kesesuaian lahan dengan menggunakan metode FAO (1976) diperoleh hasil bahwa kabupaten Bone memiliki kelas kesesuaian lahan bervariasi. Secara aktual kesesuaian lahan di Kabupaten Bone memiliki kelas kesesuaian lahan S1 seluas 261.233 ha (57,45%) yang sebagian besar terdapat di Kecamatan Libureng, Lappariaja, Bengo, Lamuru, Cina, Sibulue, Barebbo, Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang, Tanete Riattang Timur, Cenrana, Amali, Ajangale, Tellu Siattinge, Palakka, dan Dua Boccoe. Kelas kesesuaian lahan S2 seluas 15.874 ha (3,49%) terdapat di Kecamatan Kahu dan Patimpeng. Kelas kesesuaian lahan S3 seluas 70.881 ha (15,59%) terdapat di Kecamatan Kajuara, Salomekko, dan Tonra. Kelas kesesuaian lahan N seluas 106.754 ha (23,48%) terdapat di Kecamatan Bontocani, Patimpeng, Libureng, Tellu limpoe, Ponre dan Bengo (Gambar 10 dan Tabel 10).
Gambar 10. Peta kelas kesesuaian lahan Kabupaten Bone
Tabel 10. Luas kelas kesesuaian lahan di Kabupaten Bone No 1 2 3 4
Kelas kesesuaian lahan S1 S2-l,w S3-l N-l Jumlah
Luas Ha % 261.234 57,45 15.879 3,49 70.882 15,59 106.755 23,48 454.747 100,00
Sumber : Hasil overlay peta
Faktor pembatas kelas kesesuaian lahan di Kabupaten Bone yaitu kemiringan lereng (l) dengan kondisi fisik wilayah yang sebagian berada pada kelerengan berombak sampai bergunung (lereng > 8 %) seluas 139.853 Ha atau 33 % dari luas wilayah kabupaten Bone, ketersediaan air (w) dimana curah hujan (mm) yang rendah dan tingkat kesuburan tanah (n) yang sedang dan rendah. Secara potensial faktor pembatas dengan tingkat kesuburan tanah rendah untuk kelas kesesuaian lahan padi masih dapat diatasi dengan usaha pemupukan, faktor pembatas dengan ketersediaan air dapat diatasi dengan usaha pembuatan sarana pengairan, dan faktor pembatas dengan kemiringan lereng dapat diatasi, namun untuk mengatasinya perlu modal tinggi sehingga perlu campur tangan pemerintah atau pihak swasta karena petani kurang mampu untuk mengatasinya. Berdasarkan kriteria penentuan lahan untuk padi sawah yang ditetapkan oleh Land Resource Evaluation and Planning II (1994) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), maka faktor kelerengan, iklim, ketinggian tempat dan sifat tanah menjadi sangat penting dalam menentukan apakah areal tersebut sesuai untuk padi atau tidak. Berdasarkan RTRW Kabupaten Bone, kawasan yang akan di cadangkan sebagai kawasan pengembangan padi adalah kawasan yang berada pada kawasan budidaya yaitu kawasan tanaman pangan lahan kering dan kawasan tanaman pangan lahan basah, sementara kawasan yang berada pada kawasan lindung perlu dipertahankan fungsi lindungnya. Kawasan yang akan dicadangkan sebagai kawasan pengembangan padi, dalam penggunaan dan pemanfaatannya harus berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dijadikan pedoman secara spasial yang bertujuan untuk efisiensi alokasi pemanfaatan lahan karena RTRW merupakan salah satu dokumen perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah. Mengingat rencana tata ruang merupakan matra keruangan dari rencana pembangunan daerah dan bagian dari pembangunan nasional, rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat umum sampai tingkat yang sangat rinci. keempat tingkatan (RTRW Nasional, RTRW Pulau Sulawesi, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten) mempunyai hubungan keterkaitan satu sama lain serta dijaga konsistensinya baik dari segi substansi maupun operasionalisasinya. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan masyarakat dapat berlangsung secara efisien dan dapat menciptakan keterpaduan dalam pencapaian tujuan pembangunan. Hasil overlay peta kelas kesesuaian lahan untuk padi (Gambar 10) dengan peta RTRW (Lampiran 4) diperoleh peta potensi luas areal pengembangan padi (Gambar 11). Hasil overlay peta diperoleh luas kawasan yang akan dicadangkan sebagai kawasan pengembangan padi berdasarkan RTRW Kabupaten Bone yaitu pada kawasan tanaman pangan lahan basah seluas 55.066 ha atau 12,11 % dan kawasan tanaman pangan lahan kering seluas 60.019 ha atau 13,20 % dari total luas wilayah kabupaten Bone seluas 454.747 ha. Sisanya seluas 339.662 ha tidak dinilai karena merupakan kelas kesesuaian N dengan faktor pembatas kelerengan, dan berdasarkan pola pemanfaatan ruang RTRW kabupaten Bone merupakan areal tambak, kawasan lindung, kawasan hutan produksi biasa, kawasan hutan terbatas, kawasan wisata, perkebunan, pemukiman, pertambangan, dan peternakan (Tabel 11 dan Gambar 11).
Tabel 11. Potensi luas areal pengembangan padi Kabupaten Bone Potensi luas areal pengembangan padi Kelas kesesuaian lahan Ha Tanaman pangan lahan basah, S1 42.295 Tanaman pangan lahan basah, S2-l,w 8.772 Tanaman pangan lahan basah, S3-l 3.999 Tanaman pangan lahan kering, S1 55.803 Tanaman pangan lahan kering, S2-l,w 756 Tanaman pangan lahan kering, S3-l 3.460 Jumlah 115.085
% 9,30 1,93 0,88 12,27 0,17 0,76 25,31
Sumber : Hasil overlay peta kelas kesesuaian lahan dan peta RTRW
Gambar 11. Peta potensi luas areal pengembangan padi
Pada Gambar 11 terlihat bahwa kelas kesesuaian lahan S3 pada kawasan tanaman pangan lahan basah dan lahan kering dijadikan kawasan pencadangan pengembangan padi karena kelas kesesuaian S3 dianggap masih dapat untuk dijadikan sebagai kawasan pengembangan padi, dengan faktor pembatas yaitu kelerengan yang berkisar 8 – 15%. Faktor pembatas kelerengan dianggap masih dapat diatasi, namun untuk mengatasinya memerlukan modal yang tinggi, sehingga perlu campur tangan pemerintah atau pihak swasta karena petani dianggap kurang mampu mengatasinya. Peta luas potensi pengembangan padi (Gambar 11) di overlay dengan peta penggunaan lahan tahun 2003 (Gambar 9) diperoleh peta areal potensi pengembangan padi pada penggunaan lahan eksisting (Gambar 12) seluas 49.937 ha atau 10,97 % dari total luas wilayah Kabupaten Bone. Areal potensi pengembangan padi seluas 115.085 ha setelah di overlay dengan peta penggunaan lahan tahun 2003 mengalami perubahan luasan menjadi seluas 49.937 ha (Tabel 12). Sisanya seluas 65.148 ha tidak diprioritaskan sebagai areal potensi pengembangan padi, karena berdasarkan penggunaan lahan eksisting, areal pengembangan padi yang seluas 65.148 ha sebagian terdapat pada kawasan pemukiman, perkebunan, hutan, empang/kolam, dan kebun campuran. Dalam penelitian ini areal potensi pengembangan padi pada penggunaan lahan eksisting diprioritaskan pada areal sawah, alang-alang/padang rumput, dan tegalan/ladang, hal ini sesuai dengan pendapat Irawan et al. (2003) bahwa usahatani padi dan palawija umumnya dilakukan pada lahan sawah, lahan tegalan atau ladang, dan lahan alang-alang (semak). Tabel 12. Areal potensi pengembangan padi pada penggunaan lahan tahun 2003 di Kabupaten Bone (Ha) Penggunaan lahan Sawah Alang2, padang rumput dan semak belukar Tegalan/ladang
S1 34.599
% 7,61
S2 8.469
% 1,86
S3 % N % Jumlah 95 0,02 644 0,14 43.807
4.625
1,02
105
0,02
0
0
0
0
4.730
1.400
0,31
0
0
0
0
0
0
1.400
Jumlah
40.624
8,94
8.574
1,88
95 0,02 644 0,14
49.937
Sumber : Hasil overlay peta kelas kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan tahun 2003
Gambar 12. Peta potensi pengembangan padi pada eksisting penggunaan lahan
Pada Gambar 12 terlihat bahwa penggunaan lahan berupa sawah dengan kelas kesesuaian lahan S3 yang terdapat di Kecamatan Kahu seluas 95 ha dan kelas kesesuaian lahan N terdapat di Kecamatan Bontocani, Kahu, dan Cina dengan luas total 644 ha, dengan faktor pembatas kelerengan dan curah hujan. Penggunaan lahan tersebut termasuk kedalam kategori areal yang potensial untuk padi karena lahan tersebut telah dijadikan sawah dan telah berproduksi. Berdasarkan Tabel 12 terdapat penggunaan lahan eksisting berupa alangalang (semak) dan tegalan seluas 6.130 ha atau 1,35 % dari total luas wilayah Kabupaten Bone yang dapat dijadikan kawasan pengembangan padi. Penggunaan lahan berupa alang-alang (semak belukar) dengen kelas kesesuaian lahan S1 terdapat di Kecamatan Kajuara (Desa Padaelo, Awang tangka, Polewali, Buareng, Malahae), Salomekko (Desa Teba, Pancaitana), Tanete Riattang Timur (Desa Panyula, Toro, Tibojong, Lonrae, Waetuo), Tanete Riattang Barat (Desa Majang, Bulutempe), Tanete Riattang (Desa Ta’, Bukaka, Palopo), Bengo (Desa Bulu allapporenge, Selli, Tungke, Samaenre, Walimpong), Ponre (Desa Turu adae), Lappariaja (Desa Waekecce, Lili Riattang), Libureng (Desa Mattiro deceng, Mario) dan Awangpone (desa Cakke Bone, Mallari). Penggunaan lahan berupa alang-alang (semak belukar) dengan kelas kesesuaian lahan S2 terdapat di Kecamatan Patimpeng (Desa Masago dan Batu Leppa), dan penggunaan lahan berupa tegalan/ladang kelas kesesuaian lahan S1 terdapat di Kecamatan Kajuara (Desa Waetuo dan Gona). Penggunaan lahan alang-alang dan tegalan yang penggunaannya berupa nonperkebunan dan non-hutan, serta mempunyai kelas kesesuaian lahan S1 dan S2 merupakan prioritas pertama dalam pengembangan padi. Penggunaan lahan berupa alang-alang (semak belukar) dan tegalan/ladang dapat dikonversi menjadi sawah, akan tetapi dalam pemanfaatannya perlu diketahui faktor pembatasnya agar dapat diketahui besarnya biaya yang akan digunakan, jangan sampai besarnya biaya produksi lebih tinggi daripada keluaran yang dihasilkan. Penggunaan lahan berupa areal perkebunan, kebun campuran dan hutan dengan kelas kesesuaian lahan S1 dan S2 untuk syarat tumbuh padi, untuk saat ini tidak dijadikan prioritas dalam pengembangan padi, karena dari sisi PDRB Kabupaten Bone, sub sektor perkebunan dan kehutanan mempunyai peranan yang penting dan potensi yang tinggi dari segi produksi dalam meningkatkan
perekonomian Kabupaten Bone. Upaya pengembangan padi dengan perluasan lahan berdasarkan penggunaan lahan eksisting, perlu skala prioritas agar tidak mengorbankan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya terutama yang berbasis lahan. Upaya pencetakan sawah baru dengan penggunaan lahan seperti perkebunan, kebun campuran dan hutan, membutuhkan kajian yang komprehensif yang melibatkan dinas-dinas terkait dan perlu perencanaan yang matang untuk merubah penggunaan lahan saat ini yang bukan sawah menjadi ekosistem sawah. Perencanaan yang dilakukan secara komprehensif dalam memanfaatkan lahan dimaksudkan agar sumberdaya lahan dapat memberikan manfaat yang maksimal dan berkelanjutan. Menurut Sabiham (2005) ciri penggunaan lahan berkelanjutan adalah (1) penggunaan lahan yang berorientasi jangka panjang, (2) dapat memenuhi penggunaan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa yang akan datang, (3) pendapatan perkapita meningkat, (4) kualitas lingkungan dapat dipertahankan, (5) dapat mempertahankan produktivitas dan kemampuan lahan, dan (6) mampu mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Kelas kesesuaian lahan padi dicerminkan oleh kemampuan dan keadaan sumberdaya alam dan lingkungan yang baik sehingga dapat menghasilkan produk padi yang tinggi dan berkualitas. Hasil evaluasi kesesuaian lahan padi dapat dijadikan landasan dalam arahan pengembangan padi dengan pemanfaatan ketersediaan lahan potensial. Lahan yang sesuai dan potensial dijadikan kawasan pengembangan padi, berdasarkan kesesuaian secara spasial dan biofisik adalah lahan yang sesuai untuk padi kelas S1, S2 dan S3. Kelas kesesuaian N tidak termasuk areal yang potensial dalam penelitian ini dengan alasan bahwa menurut Djaenuddin et al. (2003) kelas kesesuaian N merupakan lahan dengan faktor pembatas yang berat, memerlukan modal yang tinggi untuk mengatasi faktor pembatas, sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah atau pihak swasta karena petani tidak mampu mengatasinya.
Keunggulan Komparatif Wilayah Sentra Produksi Padi Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan komparatif untuk suatu komoditas jika terjadi pemusatan komoditas dengan luas areal lahan yang tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yang dinilai pada satu titik tahun. Komoditas yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lahan sumberdaya lokal. Ukuran keunggulan komparatif yang dimaksud pada tulisan ini didasari atas nilai LQ (Location Question) dengan luas areal lahan komoditas pertanian tanaman pangan sebagai representasi sumberdaya lokal. Analisis LQ dapat digunakan sebagai indikator komoditas unggulan berdasarkan luas areal tanam menurut wilayah kecamatan yang ada. Menurut Hendayana (2003), areal panen merupakan resultante kesesuaian tumbuh tanaman dengan kondisi agroekologi yang secara implisit mencakup unsur-unsur (peubah) iklim, fisiografi dan jenis tanah. Hal ini menunjukkan bahwa secara agregat di wilayah kecamatan tersebut produksi tanaman menghasilkan surplus produksi yang memungkinkan untuk mengekspor surplus itu keluar wilayah dan akhirnya mampu mendatangkan pendapatan wilayah. Dalam aplikasi LQ menuju perolehan komoditas unggulan yang didasarkan pada aspek luas areal panen, didefinisikan bahwa LQ adalah rasio antara pangsa relatif luas areal panen komoditas padi pada tingkat wilayah terhadap total luas panen subsektor wilayah dengan pangsa relatif luas areal panen tanaman pangan pada tingkat nasional terhadap total luas areal panen subsektor nasional (Hendayana, 2003). Hasil analisis LQ tersebut menggambarkan pemusatan luasan areal usaha tani komoditas padi dibandingkan dengan total luasan kabupaten Bone. Secara lengkap hasil analisis LQ komoditas pertanian tanaman pangan di kabupaten Bone (Tabel 13). Berdasarkan nilai LQ komoditas tanaman pangan dapat dijelaskan bahwa nilai LQ yang lebih besar dari satu (LQ>1) merupakan basis utama untuk prioritas pengembangan wilayah yang berdasarkan pertanian tanaman pangan, sedangkan nilai LQ yang kurang dari satu (LQ<1) bukan merupakan basis dari komoditas pertanian tanaman pangan di suatu wilayah.
Tabel 13. Nilai LQ luas areal tanaman pangan Kabupaten Bone Padi Padi Ubi Ubi Kacang Kacang Jagung Kedelai Sawah Ladang kayu jalar tanah Hijau Kahu 0.33 0.40 0.32 0.00 0.02 1.21 1.23 1.44 Bontocani 0.19 0.62 0.43 0.50 0.00 0.00 1.38 1.80 Kajuara 0.65 0.43 0.41 0.00 0.01 1.27 1.38 3.25 Salomekko 0.79 0.57 0.89 0.84 0.00 1.04 3.31 4.26 Tonra 0.10 0.60 0.71 0.02 0.00 1.32 1.70 6.78 Patimpeng 0.68 0.60 0.51 0.35 1.23 0.00 0.02 4.93 Libureng 0.24 0.49 0.55 0.25 0.07 1.17 1.62 1.87 Mare 0.43 0.25 0.00 0.10 1.33 1.92 1.70 1.90 Sibulue 0.42 0.89 1.07 0.46 0.00 0.20 1.31 1.30 Cina 0.99 0.66 0.96 1.01 0.78 0.27 1.08 1.38 Barebbo 0.03 0.62 0.81 0.83 0.24 1.07 4.65 1.23 Ponre 0.67 0.52 0.09 2.23 1.41 1.03 2.64 1.54 Lappariaja 0.90 0.63 1.14 0.69 1.53 1.01 4.09 1.93 Lamuru 0.61 0.46 0.35 0.52 2.47 3.21 2.33 2.90 Tellulimpoe 0.91 0.09 0.76 1.20 1.02 1.76 1.01 1.88 Bengo 0.28 0.43 0.61 1.03 1.38 1.32 1.79 0.91 Ulaweng 0.56 0.34 0.87 1.05 0.15 0.07 0.74 2.99 Palakka 0.67 0.18 1.15 1.13 1.18 1.11 2.38 1.20 Awangpone 0.56 0.18 0.31 0.48 0.07 0.76 1.25 1.55 Tellu 0.91 0.57 0.68 0.02 0.02 0.08 1.00 1.63 siattinge Amali 0.17 0.35 0.07 0.00 0.99 4.24 3.04 2.59 Ajangale 0.65 0.46 0.52 0.00 1.04 2.29 1.60 2.19 Dua boccoe 0.42 0.74 0.71 0.27 0.00 0.40 1.03 1.42 Cenrana 0.09 0.23 0.21 0.78 0.00 0.07 1.37 2.33 T.R.Barat 0.38 0.21 1.09 2.41 7.14 4.34 4.33 2.35 Tanete 0.34 0.46 0.43 1.05 2.18 5.24 4.93 1.50 Riattang T.R.Timur 0.61 0.47 0.28 0.26 1.04 1.13 3.40 1.52 Kecamatan
Sumber : Dinas Pertanian tanaman pangan Kabupaten Bone tahun 2006 (Hasil olahan data)
Dilihat dari kisaran nilainya, nilai LQ untuk padi sawah pada 27 kecamatan berkisar antara 1,00 sampai paling tinggi yaitu 1,38. Dengan nilai LQ 1,38 artinya produksi padi sawah di wilayah tersebut tingkat konsentrasi areal panennya 1,38 kali lebih tinggi dibandingkan areal panen padi sawah kabupaten. Nilai LQ padi sawah paling tinggi terdapat di Kecamatan Bontocani. Sedangkan kisaran nilai LQ untuk padi ladang pada 27 kecamatan berkisar antara 1.04 sampai paling tinggi yaitu 2,41. Dengan nilai LQ 2,41 artinya produksi padi ladang di wilayah tersebut tingkat konsentrasi areal panennya 2,41 kali lebih tinggi dibandingkan areal panen padi ladang kabupaten. Nilai LQ padi ladang tertinggi terdapat di Kecamatan Tanete Riattang Barat. Hasil analisis LQ diperoleh bahwa kecamatan Bontocani dan Tanete
Riattang Barat memiliki nilai LQ tertinggi untuk padi sawah dan padi ladang. Kecamatan Kahu yang memiliki luas panen tertinggi seluas 10.716 ha akan tetapi memiliki nilai LQ lebih kecil, padahal secara empiris total lahan sawah di kecamatan Bontocani dan Tanete Riattang Barat relatif kecil dan tidak dominan dibanding kecamatan Kahu. Hal tersebut mengacu pada pengertian LQ yang merupakan pembagian antara luas lahan padi kecamatan dengan jumlah luas lahan subsektor tanaman pangan kecamatan terhadap pembagian luas lahan padi kabupaten dengan luas lahan subsektor tanaman pangan kabupaten. Nilai luas lahan padi kecamatan Bontocani dan Tanete Riattang Barat lebih tinggi dibandingkan luas tanaman pangan lainnya, maka hasilnya nilai LQ luas lahan padi di Kecamatan Bontocani dan Tanete Riattang Barat menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan kecamatan Kahu yang memiliki luas areal lahan tertinggi. Nilai LQ yang tinggi bukan mencerminkan luas areal panen yang luas, akan tetapi merupakan cerminan nilai relatif terhadap rasio antar pangsa komoditas dalam suatu wilayah. Berdasarkan hasil analisis LQ tanaman pangan pada Tabel 13, diperoleh indeks LQ komoditas unggulan tanaman pangan untuk tiap kecamatan (Tabel 14). Hasil analisis LQ pada Tabel 13 dan Tabel 14, menunjukkan bahwa padi sawah dan padi ladang merupakan komoditi tanaman pangan yang paling unggul di kabupaten Bone karena memiliki nilai LQ > 1 terbanyak yang artinya diusahakan hampir diseluruh kecamatan. Komoditas padi relatif tersebar merata di seluruh kecamatan di kabupaten Bone. Kecamatan-kecamatan tersebut meliputi kecamatan Kahu, Bontocani, Tonra, Libureng, Mare, Sibulue, Cina, Barebbo, Bengo, Palakka, Awangpone, Tellu Siattinge, Ajangale, Dua Boccoe, Cenrana, T.Riattang Barat, Tanete Riattang, dan Tanete Riattang Timur. Dalam rangka ketahanan pangan, maka perencanaan lahan diutamakan untuk tanaman pangan. Hasil analisis LQ berdasarkan luas lahan tanaman pangan di Kabupaten Bone, menunjukkan bahwa komoditas tanaman pangan khususnya padi sawah dan padi ladang yang memiliki nilai LQ > 1 paling banyak, dianggap memiliki keunggulan komparatif karena tergolong basis. Komoditas pertanian yang tergolong basis dan memiliki sebaran wilayah yang paling luas menjadi salah satu prioritas indikator komoditas unggulan. Hasil analisis LQ berdasarkan luas lahan sawah diperoleh nilai LQ > 1 terdapat di 18 kecamatan, sehingga ke 18 kecamatan tersebut dapat dicadangkan sebagai kawasan pengembangan padi (Gambar 13).
Gambar 13. Peta basis pengembangan padi kabupaten Bone
Tabel 14. Keunggulan komparatif di tiap kecamatan di Kabupaten Bone berdasarkan nilai LQ luas lahan pertanian tanaman pangan. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kecamatan Kahu Bontocani Kajuara Salomekko Tonra Patimpeng Libureng Mare Sibulue Cina Barebbo Ponre Lappariaja Lamuru Tellu Limpoe Bengo Ulaweng Palakka
19 20 21 22 23 24 25
Awangpone Tellu Siattinge Amali Ajangale Dua Boccoe Cenrana T. R. Barat
26 27
T. Riattang T. R. Timur
Komoditas Tanaman Pangan Padi sawah, padi ladang dan Kacang tanah Padi sawah dan padi ladang Padi ladang, jagung, dan kacang tanah Padi ladang, kacang tanah dan kacang hijau Padi sawah, padi ladang dan kacang hijau Ubi jalar, kacang tanah Padi sawah, padi ladang dan kacang tanah Padi sawah, padi ladang, ubi kayu, ubi jalar Padi sawah, padi ladang, dan ubi jalar Padi sawah, Kedelai, kacang hijau Padi sawah, kedelai, kacang hijau Jagung, kacang hijau, kedelai, ubi jalar, ubi kayu Padi ladang, jagung, ubi jalar, kedelai, dan kacang hijau Jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau Padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah Padi sawah, padi ladang, Jagung, dan ubi kayu Jagung, ubi jalar Padi sawah, padi ladang, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang hijau Padi sawah dan padi ladang Padi sawah, Jagung Jagung, ubi kayu, ubi jalar Padi sawah, padi ladang, Kacang tanah, dan kacang hijau Padi sawah, jagung Padi sawah, padi ladang dan jagung Padi sawah, padi ladang, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, dan kacang hijau Padi sawah, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang hijau Padi sawah, kacang tanah, kacang hijau, kedelai
Sumber : Hasil olahan
Analisis Tipologi Kecamatan Berdasarkan Tingkat Perkembangan Wilayah untuk Pengembangan Padi Analisis tipologi wilayah didasarkan atas karakteristik dan pengelompokan kecamatan di wilayah studi dengan variabel-variabel untuk berbagai sumberdaya yang dimiliki. Tinggi rendahnya kualitas sumberdaya alam yang dimiliki suatu wilayah ditunjukkan oleh variasi dan besar kecilnya daya dukung alamiah wilayah tersebut. Analisis tipologi dilakukan di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bone. Penentuan tipologi sebagai prioritas pengembangan wilayah berdasarkan pertanian tanaman padi dimulai dengan melakukan perumusan indikator penentuan tingkat perkembangan wilayah, diantaranya dengan penyusunan variabel-variabel (nilai X) yang digunakan dalam analisis PCA. Variabel tersebut dirumuskan berdasarkan ketersediaan dan keterkaitan data yang terdapat pada data Kabupaten
Bone dalam Angka, data PODES kabupaten Bone, dan data-data yang berkaitan dengan luas lahan dan produksi padi dari Dinas tanaman pangan Kabupaten Bone. Hasil perumusan indikator yang menjadi kriteria penentuan wilayah yang akan dikembangkan sebagai wilayah pengembangan berdasarkan potensi pertanian padi sebanyak 26 variabel. Penyusunan variabel tersebut mengacu pada variabel yang digunakan oleh Pusat Studi Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang sama tetapi dilakukan modifikasi sesuai dengan analisis spasial agar perencanaan dan pengembangan wilayah sesuai dan berpedoman pada dokumen perencanaan yang telah disusun (Novarianty, 2007). Analisis spasial menurut Haining (1995) dalam Rustiadi et al. (2006) bertujuan untuk (1) mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruang geografis secara cermat dan akurat, (2) menjelaskan secara sistematik pada kejadian dan asosiasi antar kejadian objek dalam ruang sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi dan (3) meningkatkan kemampuan melakukan prediksi dan pengendalian kejadian di dalam ruang geografis. Menurut Fischer et al. (1996) dalam Rustiadi et al. (2006) tujuan dari analisis spasial ini adalah untuk memberikan kemudahan dan dasar bagi (1) peramalan dan penyusunan skenario, (2) analisis dampak terhadap kebijakan, dan (3) penyusunan kebijakan dan desain. Variabel-variabel yang dirumuskan berdasarkan aspek-aspek usaha tani secara umum yang berkaitan dengan luas areal lahan, jumlah rumah tangga tani, ketersediaan sarana pendukung usaha tani dan kelembagaan usaha tani yang dimodifikasi dengan menggunakan data areal potensial. Variabel yang digunakan merupakan hasil analisis penentuan areal potensial untuk padi dan analisis yang berkaitan dengan aspek ekonomi sosial dan sarana/prasarana penunjang produksi padi, secara lengkap 26 variabel yang digunakan disajikan dalam Tabel 15. Di dalam analisis terdapat 26 variabel yang digunakan dalam analisis PCA karena dinilai memiliki faktor atau komponen utama yang mengandung informasi (ragam) setara dengan informasi yang terkandung dalam satu variabel asal (Saefulhakim, 2004). Hasil analisis PCA yang diperoleh yaitu hasil scree plot nilai eigenvalue yang diperoleh dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software statistica 6.0, garis yang lebih curam dan berbeda secara kontras adalah grafik yang berada pada nilai > 1. Nilai variabel yang terdapat pada grafik scree plot > 1 terdapat 8 faktor, sehingga dalam analisis selanjutnya digunakan 8 faktor dari 26 variabel
yang digunakan untuk mengklasifikasikan kecamatan untuk prioritas pengembangan wilayah berdasarkan potensi pertanian padi. Grafik hasil scree plot nilai eigenvalue dapat dilihat pada Gambar 14. Tabel 15. Variabel penentu tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan padi. No Variabel 1 Proporsi Luas lahan untuk padi terhadap luas wilayah kecamatan (Ha) 2 Proporsi lahan sawah berpengairan terhadap luas sawah (%) 3 Proporsi sawah irigasi teknis dan semi teknis (%) 4 Konsumsi beras penduduk (konsumsi kap 120.75x kap x thn) 5 Intensitas Panen Padi sawah pertahun (x100) 6 Sumbangan produksi kecamatan terhadap produksi padi sawah kabupaten (%) 7 Produksi padi sawah per rumah tangga (ton/RT) 8 Presentase keluarga petani padi (%) 9 Proporsi pemilik lahan per lahan sawah (orang/ha sawah) 10 Proporsi pemilik sekaligus penggarap per lahan sawah (orang/ha sawah) 11 Proporsi penggarap/penyewa per lahan sawah (orang/ha sawah) 12 Proporsi buruh tani per lahan sawah (orang/ha sawah) 13 Presentase keluarga pertanian (%) 14 Produktivitas usaha tani padi (Ton/Ha) 15 Ratio luas areal lahan potensial thd jumlah kios sarana produksi pertanian (ha/unit kios) 16 Ratio luas areal potensial thd jumlah traktor (ha/unit traktor) 17 Ratio luas areal potensial thd jumlah sprayer (ha/unit) 18 Ratio luas areal potensial thd jumlah perontok padi (ha/unit) 19 Ratio luas areal potensial thd jumlah Huller (ha/unit) 20 Ratio luas areal potensial thd jumlah Rice Milling Unit (RMU) (ha/unit) 21 Ratio luas areal potensial thd jumlah pembersih gabah (ha/unit) 22 Ratio KUD thd jumlah petani padi (jumlah petani padi/KUD) 23 Ratio jumlah penyuluh pertanian terhadap jumlah petani padi (jumlah petani padi/penyuluh pertanian) 24 Proporsi kecamatan yang jalan utamanya dapat dilalui kendaraan roda 4 (%) 25 Ratio BPR/Bank umum terhadap jumlah petani (jumlah petani padi/BPR atau Bank umum) 26 Proporsi kecamatan yang jalan utamanya aspal (%) Sumber : Hasil olahan
Simbol X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26
Plot of Eigenvalues 9 8 7
Value
6 5 4 3 2 1 0 Number of Eigenvalues
Sumber : Hasil PCA
Gambar 14. Scree plot eigenvalues
Hasil analisis PCA terhadap 8 faktor terpilih mampu menjelaskan keragaman data sebesar 83,57 %. Ini merupakan nilai akar ciri (eigenvalue). Angka tersebut menunjukkan suatu deskripsi cukup baik karena nilai akar ciri tersebut berada di atas 65 %. Kedelapan faktor dari variasi variabel-variabel yang dianalisis menurut wilayah/kecamatan sudah dapat dijadikan indikator pengembangan wilayah berdasarkan potensi pertanian padi, yang secara rinci disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Nilai Eigenvalues kumulatif No
Eigenvalue
1 2 3 4 5 6
4.393758 2.738102 1.741066 1.502241 1.123406 1.037505
% Total variance 29.29172 18.25401 11.60710 10.01494 7.48938 6.91670
Cumulative Eigenvalue 4.39376 7.13186 8.87293 10.37517 11.49857 12.53608
Cumulative % 29.29172 47.54573 59.15284 69.16777 76.65715 83.57385
Sumber : Hasil analisis PCA
Untuk memperoleh faktor utama, maka hasil analisis scree plot yang menunjukkan 8 faktor dapat dijadikan prioritas pengembangan wilayah berdasarkan pertanian padi. Hasil tersebut dianalisis lagi dengan menggunakan analisis faktor loadings. Berdasarkan analisis faktor loadings, masing-masing variabel dari 8 faktor memiliki penciri utama. Penciri utama dari faktor utama dipilih dari variabel yang
memiliki nilai faktor loadings > 0,65. Penggunaan nilai faktor loadings > 0,65 karena angka 0,65 memberikan makna bahwa variabel tersebut menerangkan komponen utama yang relatif dominan (lebih dari 65%). Komponen utama tersebut merupakan indeks komposit yang memiliki informasi yang hampir sama dengan variabel asal. Berdasarkan hasil analisis faktor loadings maka variabel yang memiliki nilai loading > 0.65 ada 6 faktor, yang dikategorikan sebagai faktor utama. Nilai faktor loadings masing-masing variabel dan 6 faktor utama dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Nilai faktor loading peubah penentu kecamatan untuk pengembangan padi. Variabel X1 X3 X5 X8 X10 X11 X12 X14 X15 X17 X18 X20 X21 X22 X26 Expl.Var Prp.Totl
Faktor 1 -0.300597 -0.052831 0.101223 0.060783 0.776085 0.885188 0.866366 -0.059704 -0.349661 0.150247 -0.133537 -0.748057 -0.698968 0.022487 0.129479 3.475195 0.231680
Faktor 2 0.848682 0.794217 0.487940 0.054811 -0.389463 -0.048776 -0.026971 0.828238 0.416718 0.092111 -0.009008 -0.054803 0.051055 0.009509 0.706803 3.120388 0.208026
Faktor 3 0.052194 -0.254157 -0.002278 0.042386 -0.119658 0.137601 0.139282 -0.245118 -0.773062 0.048131 0.060157 -0.058912 -0.013354 -0.969451 0.287776 1.811717 0.120781
Faktor 4 0.006110 -0.135243 -0.751095 0.040556 -0.142810 0.054704 0.196046 -0.040642 -0.025260 0.925104 -0.065489 -0.111175 0.192733 -0.033775 0.017631 1.559291 0.103953
Faktor 5 0.012459 0.093733 0.035940 0.959537 0.099186 0.073745 -0.005385 0.088079 -0.058018 0.062364 -0.119593 0.003132 0.139602 0.011743 -0.429727 1.179867 0.078658
Faktor 6 0.213046 -0.155427 0.197608 -0.116118 -0.025119 0.132923 -0.043636 0.026382 0.088965 0.055954 0.900358 0.410153 0.456711 -0.104693 -0.192827 1.389621 0.092641
Sumber : Hasil olahan PCA
Proses analisis PCA terhadap kecamatan-kecamatan di kabupaten Bone menghasilkan 6 faktor utama yang merupakan kombinasi linear dengan peubah aslinya yang bersifat saling bebas. Adapun keenam faktor utama tersebut adalah sebagai berikut : 1. Faktor utama 1 dengan penciri utama proporsi pemilik sekaligus penggarap perlahan sawah (X10), Proporsi penggarap/penyewa per lahan sawah (X11), proporsi buruh tani perlahan sawah (X12), ratio luas areal potensial terhadap jumlah RMU (X20), Ratio luas areal potensial terhadap jumlah pembersih gabah (X21). Faktor utama 1 berkorelasi positif dengan proporsi pemilik sekaligus
penggarap perlahan sawah, proporsi penggarap/penyewa per lahan sawah, dan proporsi buruh tani perlahan sawah, yang dijadikan sebagai penciri utama F1, sedangkan ratio luas areal potensial terhadap jumlah RMU dan ratio luas areal potensial terhadap jumlah pembersih gabah berkorelasi negatif. 2. Faktor utama 2 dengan penciri utama ratio luas lahan padi terhadap luas wilayah terhadap luas wilayah kecamatan (X1), Proporsi sawah irigasi teknis dan semi teknis (X3), produktivitas usaha tani padi (X14), proporsi kecamatan yang jalan utamanya aspal (X26). Faktor utama ini dapat dinamakan sebagai faktor yang berkaitan dengan wilayah yang memiliki luas areal padi, peranan pengairan dan aksesibilitas yang tinggi maka produktivitas usahatani padi akan naik. Faktor utama 2 berkorelasi positif dengan keempat variabel yang menjadi penciri utama faktor utama 2 (F2). 3. Faktor utama 3 berkorelasi negatif dengan penciri utama yaitu ratio luas areal lahan padi terhadap jumlah kios sarana produksi pertanian (X15), dan ratio KUD terhadap jumlah petani padi (X22). Berdasarkan penciri utama tersebut faktor utama 3 merupakan faktor yang berkaitan dengan ketersediaan sarana produksi pertanian dan jumlah KUD yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas. 4. Faktor utama 4 dengan penciri utama intensitas panen padi sawah per rumah tangga (X5), berkorelasi negatif dan ratio luas areal potensial terhadap jumlah sprayer (X17), berkorelasi positif. 5. Faktor utama 5 berkorelasi positif dengan presentase keluarga petani padi (X8), faktor ini dapat dinamakan sebagai faktor yang berkaitan dengan jumlah penduduk dan tenaga kerja. 6. Faktor utama 6 berkorelasi positif terhadap luas areal potensial terhadap jumlah perontok padi (X18), faktor ini menunjukkan bahwa ketersediaan sarana pendukung dalam meningkatkan produktivitas sudah dimanfaatkan secara optimal. Arti dari korelasi positif adalah faktor utama berbanding lurus dengan variabel penjelas, sedangkan arti dari korelasi negatif adalah faktor utama berbanding terbalik dengan variabel penjelas. Setelah diketahui variabel yang berpengaruh terhadap pengembangan wilayah berdasarkan pertanian tanaman padi, maka
dilakukan pengelompokan untuk membangun tipologi wilayah berdasarkan indeks komposit (faktor utama) yang terbentuk. Pengelompokkan dilakukan dengan membentuk tiga tipologi berdasarkan hasil analisis PCA pada Tabel 17 yang dianalisis secara deskriptif. Kriteria dalam menentukan faktor yang membedakan antar tipologi adalah dengan memperhatikan nilai koefisien > 0.65 dari hasil nilai faktor loadings yang dapat dilihat pada Tabel 18 dan Lampiran 5. Tabel 18. Kategori variabel penciri pada masing-masing tipologi berdasarkan perkembangan wilayah berbasis padi. Indeks Komposit F1, F2
Variabel Penciri Tipologi X10, X11, X12, X20, X21, I X1, X3, X14, X26
F3, F4
X15, X5, X17
II
F5, F6
X8, X18
III
Klasifikasi Wilayah berkembang Wilayah Cukup berkembang Wilayah belum berkembang
Sumber : Hasil analisis Tabel 14 dengan standar kriteria adalah nilai koefisien > 0.65
Tipologi I dicirikan oleh indeks komposit 1 dan 2 (F1,F2) yang sangat tinggi dklasifikasikan untuk prioritas pengembangan wilayah berdasarkan potensi pengembangan padi. Tipologi 1 wilayah berkembang berkaitan dengan luas lahan potensial, sarana irigasi, tenaga kerja, ketersediaan alat/mesin pertanian dan aksesbilitas. Faktor utama ini ditunjukkan oleh variabel berupa luas lahan potensial untuk padi, proporsi sawah beririgasi teknis dan semi teknis, proporsi pemilik sekaligus penggarap perlahan sawah, proporsi penggarap/penyewa, proporsi buruh tani perlahan sawah, produktivitas usaha tani, ratio luas areal potensial terhadap jumlah pembersih gabah, ratio luas areal potensial terhadap jumlah RMU dan proporsi kecamatan yang jalan utamanya aspal. Indeks komposit 3, 4 (F3 dan F4) merupakan tipologi II diklasifikasikan sebagai wilayah cukup berkembang untuk pengembangan padi. Tipologi II wilayah cukup
berkembang
berkaitan
dengan
intensitas
tanam
dan
ketersediaan
sarana/prasarana penunjang produksi padi. Akar ciri indeks ini adalah intensitas panen padi per tahun, ratio luas areal lahan potensial terhadap jumlah kios sarana produksi pertanian, ratio luas areal potensial terhadap jumlah sprayer, ratio KUD terhadap jumlah petani padi.
Tipologi III dengan indeks komposit 5 dan 6 (F5 dan F6) diklasifikasikan sebagai wilayah belum berkembang untuk pengembangan wilayah berdasarkan pertanian padi. Tipologi III merupakan komponen yang berhubungan dengan struktur rumah tangga tani dan ketersediaan alat pertanian. Indeks komposit ini terdiri dari variabel penciri berupa presentase keluarga petani, ratio luas areal potensial terhadap jumlah perontok padi. Tipologi wilayah berdasarkan faktor utama yang terbentuk, selanjutnya dianalisis kelompok (cluster analysis) dengan metode K-Means untuk mendapatkan kelompok kecamatan yang merupakan tipologi wilayah berkembang untuk pengembangan padi, tipologi wilayah cukup berkembang dan tipologi wilayah tidak berkembang untuk pengembangan padi. Berdasarkan 6 faktor utama yang diperoleh dari analisis PCA berdasarkan kemiripan karakteristik pada Tabel 18, didapatkan 3 tipologi kecamatan untuk pengembangan padi di Kabupaten Bone, dapat dilihat pada Tabel 19 dan Lampiran 6. Tabel 19. Tipologi wilayah berdasarkan pengelompokan kecamatan No
Berkembang Jumlah 2 Kecamatan 1 Kahu 2 Barebbo 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tipologi Cukup berkembang 10 Kecamatan Libureng Sibulue Cina Lappariaja Bengo Palakka Tellusiattinge Ajangale DuaBoccoe Awangpone
Belum berkembang 15 Kecamatan Bontocani Tonra Mare Patimpeng Ponre Lamuru Ulaweng Tanete Riattang Barat Tanete Riattang Tanete Riattang Timur Amali Tellulimpoe Kajuara Salomekko Cenrana
Sumber : Hasil Analisis CA
Pengelompokkan wilayah berdasarkan tipologi wilayah berkembang, wilayah cukup berkembang, dan
wilayah belum berkembang dimaksudkan untuk
memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan
berdasarkan skala prioritas, dimana tipologi wilayah berkembang merupakan prioritas ketiga suatu kecamatan yang akan dijadikan pengembangan padi, tipologi wilayah cukup berkembang sebagai prioritas kedua dan tipologi belum berkembang sebagai prioritas pertama. Berdasarkan hasil cluster analysis kecamatan dengan kategori wilayah berkembang yaitu kecamatan Kahu dan Barebbo, merupakan kecamatan yang memiliki areal lahan sawah paling luas dengan sistem irigasi teknis dan semi teknis, memiliki tenaga kerja yang banyak, ketersediaan alat/mesin pertanian yang lengkap, tingkat produksi tinggi, serta aksesbilitas yang lancar. Kecamatan dengan kategori wilayah cukup berkembang yaitu kecamatan Libureng, Sibulue, Cina, Lappariaja, Bengo, Palakka, Tellusiattinge, Ajangale, Duaboccoe, dan Awangpone. Kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang mempunyai luas lahan relatif tinggi, rata-rata sawahnya berpengairan dengan intensitas tanam dua kali dan ketersediaan sarana penunjang pertanian yang cukup lengkap, dan produksi pertanian yang tinggi. Wilayah-wilayah yang tergolong ke dalam tipologi berkembang dan cukup berkembang memiliki sistem produksi padi yang ada di wilayah tersebut relatif lebih produktif di bandingkan wilayah belum berkembang. Menurut Irawan (2003) kawasan yang layak dijadikan kawasan produksi beras adalah kawasan pertanian produktif yang mampu menghasilkan komoditas pangan secara efisien. Kawasan pertanian produktif tersebut memiliki lima faktor yang bekerja secara serentak dan terkait satu sama lain dalam mempengaruhi kinerja usahatani dan efisiensi produksi di setiap kawasan. Kelima faktor tersebut adalah (1) ketersediaan sumberdaya lahan, kualitas maupun kuantitas, (2) ketersediaan infrastruktur dan kelembagaan pertanian yang berkaitan dengan kegiatan produksi dan kegiatan pascapanen, (3) karakteristik rumah tangga tani seperti pengusaan lahan pertanian, (4) keterkaitan teknologi usaha tani, (5) kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan pengendalian harga komoditas dan harga sarana produksi. Kecamatan belum berkembang untuk pengembangan wilayah berdasarkan potensi tanaman padi yaitu kecamatan Bontocani, Mare, Tonra, Patimpeng, Ponre, Ulaweng, Amali, Tellu Limpoe, Kajuara, Salomekko, Lamuru, Cenrana, Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat, dan Tanete Riattang Timur. Kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang mempunyai luas lahan relatif rendah, hanya sebagian kecamatan yang memiliki sawah berpengairan, dan tingkat produksi padi relatif
rendah. Wilayah dengan tipologi belum berkembang dan mempunyai kelas kesesuaian lahan S3 dan N untuk lahan padi, penggunaannya lebih diarahkan untuk jenis komoditi atau penggunaan lain yang lebih sesuai dengan kondisi biofisik/kesesuaian lahan agar memberikan hasil yang lebih optimal. Berdasarkan hasil pemetaan analisis tipologi wilayah pada peta basis pengembangan padi (Gambar 13) diperoleh peta arahan pengembangan padi (Gambar 15) yang menunjukkan luas areal untuk arahan pengembangan padi seluas 49.322 ha atau 10,85 % dari total luas Kabupaten Bone seluas 454.747 ha (Tabel 20). Pada Tabel 20, terdapat wilayah arahan pengembangan padi yang penggunaan lahan saat ini (eksisting) merupakan areal sawah, dan hasil analisis LQ merupakan wilayah basis komoditas padi, namun hasil analisis tipologi termasuk wilayah belum berkembang dengan luas 8.562 ha (1,88 %), dan terdapat pula eksisting penggunaan lahan berupa areal sawah, namun hasil analisis LQ merupakan wilayah non basis komoditas padi, dan hasil analisis tipologi termasuk wilayah belum berkembang dengan luas 416 ha (0,10 %). Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun areal tersebut merupakan tipologi belum berkembang dan bukan wilayah basis padi akan tetapi merupakan eksisting sawah yang telah berproduksi. Areal sawah tersebut tetap dijadikan wilayah arahan pengembangan padi dengan peningkatan produksi hasil panen yang lebih diarahkan pada peningkatan sarana dan prasarana pertanian meliputi penambahan/perbaikan jaringan irigasi, pengembangan jalan usaha tani, peningkatan sumberdaya petani, penyediaan saprodi, pengembangan jasa alsintan, peningkatan SDM dan jasa permodalan. Karena mempertahankan sawah saat ini akan lebih baik dan mudah dibandingkan dengan upaya pencetakan sawah baru untuk memenuhi kebutuhan terhadap konsumsi beras. Upaya pencetakan sawah baru mengalami kendala, baik kendala kondisi biofisik lahan (kualitas maupun kuantitas), kendala teknis maupun masalah anggaran pembangunan di samping membutuhkan waktu yang lama untuk pemantapan ekosistem baru tersebut. Menurut Asyik (1996) dibutuhkan waktu 10 tahun untuk pemantapan ekosistem pada sawah baru.
Gambar 15. Peta arahan pengembangan padi
Tabel 20. Luas areal arahan pengembangan padi Keterangan
Kecamatan
Luas Ha
%
1)
Basis, sawah , berkembang Basis, sawah, cukup berkembang Basis, sawah, belum berkembang Non basis, sawah, cukup berkembang Non basis, sawah, belum berkembang Basis, potensial2), berkembang Basis, potensial cukup berkembang Basis, potensial, belum berkembang
Kahu dan Barebbo
9.256
2,40
24.513
5,39
8.562
1,88
2.046
0,45
Ponre
416
0,10
Kahu
61
0,01
2.770
0,61
1.698
0,37
49,322
10,85
Libureng, Palakka, Awangpone, Cina, Ajangale, dan Dua Boccoe Bontocani, Cenrana, Tanete Riattang Barat dan Tanete Riattang. Lappariaja
Libureng, Awangpone, dan Bengo Tanete Riattang Timur, Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang Jumlah
Sumber : Hasil overlay Keterangan : 1) Sawah : Penggunaan saat ini berupa sawah 2) Potensial: Penggunaan saat ini berupa bukan sawah (alang-alang dan tegalan)
Fungsi hubungan spasial yang dapat dianalisis dari hasil penelitian ini adalah kedekatan. Hubungan kedekatan wilayah untuk masing-masing tipologi secara umum menunjukkan bahwa tipologi wilayah yang berkembang dan cukup berkembang secara spasial konfigurasinya relatif saling berdekatan dibandingkan tipologi wilayah belum berkembang. Kecamatan yang termasuk ke dalam tipologi berkembang dan cukup berkembang saling bertetangga sedangkan tipologi yang belum berkembang membentuk pola yang menyebar, tidak terkonsentrasi pada bidang spasial, maka interaksi yang terjadi tidak setinggi pada tipologi berkembang dan cukup berkembang. Hubungan kedekatan secara spasial membuktikan bahwa berlakunya Hukum Geografi Pertama “Tobler” dimana wilayah yang bertetangga akan saling mempengaruhi dan berinterkasi (Rustiadi et al., 2006). Interaksi wilayah yang terjadi akan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang lebih jauh dan tidak bersebelahan. Kaitan interaksi spasial ini dengan kegiatan produksi padi adalah aglomerasi kegiatan produksi. Aglomerasi menguntungkan untuk mengurangi biaya transportasi karena pengaruh jarak. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap
terbentuknya sistem yang saling terkait dan akan memperkuat sistem perekonomian wilayah. Analisis Land Rent Usahatani Padi Land rent merupakan pendapatan bersih yang diterima dari sebidang tanah/lahan tiap meter persegi tiap tahun akibat dilakukannya suatu kegiatan pada bidang lahan tersebut (Barlowe, 1978). Pada usahatani padi sawah, pendapatan bersih petani berasal dari pendapatan kotor petani dikurangi biaya. Penghitungan biaya tergantung pada ; (1) financial analysis yaitu penghitungan biaya dilihat dari segi pengelola usaha, dan (2) economic analysis yaitu bila biaya ditinjau dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan (publik). Biaya dalam usahatani padi sawah yang dihitung terdiri dari biaya tenaga kerja (tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja di luar kelurga), pupuk, pestisida, pajak, benih dan alat-alat pertanian, sewa tanah walaupun petani tidak menyewa tanah (Rustiadi et al., 2006) Untuk mengetahui pendapatan petani di suatu wilayah maka dilakukan pendekatan terhadap rataan penerimaan bersih (land rent) per hektar per tahun dari penggunaan lahan untuk padi sawah. Berdasarkan hasil analisis land rent diperoleh hasil pendapatan bersih pertahun penggunaan lahan untuk padi sawah sekitar Rp17.431.700 /ha/thn untuk tipologi wilayah berkembang, Rp 6.847.800 /ha/thn untuk tipologi wilayah cukup berkembang, dan Rp 3.825.900 /ha/thn untuk tipologi wilayah belum berkembang pada padi ladang, untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai Land Rent usahatani padi masing-masing tipologi
Land rent (Rp/ha/thn)
Berkembang 17.431.700
Tipologi Cukup berkembang 6.847.800
Belum berkembang 3.825.900
Sumber : Hasil Olahan
Hasil analisis land rent pada Tabel 21 menunjukkan bahwa tipologi berkembang memiliki nilai land rent paling tinggi dibandingkan tipologi cukup berkembang dan belum berkembang, dan terdapat juga perbedaan nilai land rent yang dihasilkan dari komoditi padi pada masing-masing tipologi wilayah. Perbedaan
ini karena jumlah intensitas pertanaman sawah yang berbeda, jarak dan kemudahan transportasi. Pada tipologi berkembang, intensitas tanam dua sampai tiga kali, karena terdapat irigasi teknis sehingga produksi tinggi, sebagian besar penduduknya adalah petani sawah sehingga jarak rumah petani ke sawah dekat, dan transportasi lancar karena jalan sebagian aspal dan sebagian diperkeras sehingga dapat dilalui kendaraan. Hal ini sesuai dengan pendapat Barlowe (1978) dalam Rustiadi et al. (2006), hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya tanah diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan, sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi, sehingga sektor-sektor tersebut berada dikawasan strategis. Pada tipologi cukup berkembang intensitas tanam dua kali karena menggunakan irigasi semi teknis dan sederhana, bentuk pemukiman memanjang mengikuti jalan sehingga jarak rumah penduduk ke sawah agak jauh, sedangkan pada tipologi belum berkembang intensitas tanam petani hanya sekali setahun karena merupakan sawah tadah hujan, sebagian besar penduduknya adalah PNS dan pedagang sehingga bertani hanya merupakan pekerjaan sampingan, bentuk pemukiman sudah mengelompok sehingga jarak rumah petani ke sawah cukup jauh. Nilai land rent usahatani padi sawah pada wilayah tipologi belum berkembang memiliki nilai land rent yang relatif lebih rendah di bandingkan land rent nonpertanian, sehingga alih fungsi lahan merupakan bentuk konsekuensi logis nilai land rent dari suatu lokasi. Menurut Rustiadi et al. (2006) pada umumnya kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai land rent yang lebih tinggi mampu menggeser kegiatan-kegiatan yang mempunyai land rent lebih rendah. Nilai land rent yang lebih tinggi mempunyai posisi tawarnya (bargaining position) lebih kuat, sehingga timbul suatu land rent gradient dan akan berpengaruhi terhadap dinamika penggunaan tanah. Biasanya aktifitas industri mempunyai nilai land rent yang paling besar, menyusul kemudian perdagangan, pemukiman, pertanian internal, pertanian eksternal dan kehutanan. Land rent suatu lahan merupakan gabungan dari nilai yang diperoleh dari (1) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang tanah seperti kesuburan dan topografi, sehingga mempunyai keunggulan produktivitas dari lahan (ricardiant rent), (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasi (location rent), dan (3) nilai
perlindungan terhadap lingkungan (environment rent). Secara teoritis dalam hukum pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent yang lebih rendah keaktifitas-aktifitas yang memiliki land rent lebih tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lapangan tekanan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Bone disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan lahan untuk fasilitas pemukiman dan pembangunan publik. Kecamatan yang mengalami tekanan alih fungsi lahan terbesar di Kecamatan Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang Timur, dan Tanete Riattang termasuk kategori wilayah tipologi belum berkembang dan merupakan ibukota Kabupaten Bone. Pada lahan dengan land rent usahatani padi dengan kategori berkembang dan cukup berkembang tidak menutup kemungkinan akan terjadi alih fungsi lahan kebentuk penggunaan lain, karena jumlah penduduk yang semakin bertambah sehingga akan terjadi ketimpangan antara permintaan dan penawaran yang merupakan suatu indikasi bahwa lahan dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (Scarcity). Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa alih fungsi lahan yang terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Bone banyak terdapat pada lahan yang bersertifikat, sesuai dengan Anwar (2000) menyatakan bahwa kelangkaan sumberdaya lahan tersebut bukan hanya disebabkan oleh terbatasnya persediaan secara fisik, tetapi juga oleh kendala kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan, dalam kaitannya dengan hak-hak akses (property right) atas lahan yang dapat menjadi suatu kendala dalam pemanfaatannya, sebagai akibat dari terlalu banyaknya pengaturan-pengaturan pemerintah yang menyangkut lahan, sehingga ketersediaan lahan untuk digunakan menjadi semakin langka. Kelangkaan lahan tersebut akan berimplikasi terhadap melambungnya harga lahan itu sendiri, yang dapat dibedakan berdasarkan (1) nilai intrisrik yang terkandung dalam sebidang lahan seperti kesuburan dan topografinya, sehingga mempunyai keunggulan produktivitas dari lahan lain (ricardiant rent); (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent); (3) nilai perlindungan terhadap lingkungan (environment rent) Menurut Rustiadi et al. (2006) perkembangan penduduk yang disertai dengan usaha-usaha manusia dalam meningkatkan kesejahteraannya seringkali justru
mengakibatkan semakin buruknya daya dukung wilayah, yang seringkali semakin diperburuk dengan adanya berbagai konflik penggunaan lahan yang semakin tajam. Sumberdaya lahan menjadi semakin penting seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dengan laju yang masih tinggi serta akibat dari berkembangnya kegiatan perekonomian. Keadaan ini membawa konsekuensi semakin besarnya tekanan permintaan (demand) akan lahan untuk berbagai keperluan yang semakin beragam seperti untuk perluasan lahan pertanian, perkebunan, hutan produksi, pemukiman/perumahan,
pertambangan
maupun
untuk
lokasi
kegiatan
perdagangan/bisnis dan industri serta keperluan pembangunan infrastruktur (jalan, irigasi, dan prasarana publik lainnya). Menurut Departemen Pertanian (2005b) terdapat sekitar 16 Peraturan Pemerintah/Inpres/Kepres/ Kepmen untuk mengatur dan mengurangi laju konversi lahan. Namun belum ada data empiris yang menunjukkan bahwa dokumen tersebut cukup efektif mengatur dan mengendalikan konversi lahan. Permasalahannya terletak pada pengawasan dan konsistensi penerapan hukum, apalagi dengan adanya UU Otonomi Daerah. Oleh karena itu, dukungan kebijakan pemerintah kepada pelaku agribisnis padi, baik masyarakat (petani) maupun swasta, akan mempercepat peningkatan investasi. Kebijakan yang perlu diberikan kepada petani meliputi: 1) pemberian insentif untuk mencegah fragmentasi lahan, 2) penerapan secara konsisten peraturan tentang konversi lahan sawah produktif, 3) kemudahan akses sumber modal bagi petani produsen, 4) perluasan akses sumber informasi inovasi dan teknologi produksi bagi petani produsen, 5) peningkatan pelayanan dan pengaturan penyuluhan pertanian, 6) peningkatan akses terhadap informasi pasar melalui dukungan terhadap infrastruktur pasar, 7) peningkatan kemampuan manajemen usaha agribisnis, 8) penerapan hukum dan perundang-undangan melalui pemberian hukuman dan penghargaan (punishement dan reward system).
Analisis SWOT Dalam menyusun suatu strategi pengembangan wilayah berdasarkan potensi pertanian tanaman padi perlu dilakukan analisa yang mendalam. Pada penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat), yaitu analisis potensi/kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman/kendala. Analisis ini diawali dengan inventarisasi dan klasifikasi terhadap permasalahan/kelemahan dan kelebihan/kekuatan baik secara internal usahatani padi di wilayah kabupaten Bone, maupun secara eksternal yang berasal dari lingkungan di luar kabupaten Bone. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah (1) input stage (analisis data input), (2) matching stage (analisis pencocokan), (3) decision stage (analisis pengambilan keputusan). (
1
)
A
n
a
l
i
s
i
s
D
a
t
a
I
n
p
u
t
Proses analisis dimulai dengan pendalaman atau identifikasi lingkungan strategis, kemudian dilanjutkan dengan analisis faktor internal dan faktor eksternal. Proses analisis akan menghasilkan beberapa asumsi atau peluang strategis untuk mendapatkan faktor-faktor kunci keberhasilan Faktor Internal : 1.
Kekuatan (Strength) a. Luas areal arahan pengembangan padi seluas 49.322 ha. b. Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa terdapat 18 kecamatan (Kahu, Bontocani, Tonra, Libureng, Mare, Sibulue, Cina, Barebbo, Bengo, Palakka, Awangpone, Tellu Siattinge, Ajangale, Dua Boccoe, Cenrana, Taneta Riattang Barat, Tanete Riattang, dan Tanete Riattang Timur) yang merupakan wilayah basis produksi padi (LQ > 1). c. Hasil analisis tipologi wilayah menunjukkan bahwa pada tipologi wilayah berkembang (kecamatan Kahu dan Barebbo) memiliki tingkat sarana dan prasarana pertanian yang lengkap dan lahan sawah yang luas. d. Sumberdaya manusia yang bekerja di sektor pertanian relatif besar. e. Terdapat 2.267 kelompok tani yang terdiri dari kelas pemula sebanyak 821 kelompok, kelas lanjut sebanyak 918 kelompok, kelas madya sebanyak 431 kelompok dan kelas utama sebanyak 97 kelompok. f. Pembuatan panganan (kue) tradisional
2. Kelemahan (Weakness)
a. Hasil analisis tipologi wilayah menunjukkan bahwa pada tipologi wilayah belum berkembang (kecamatan Mare, Ponre, Bontocani, dll), memiliki sarana dan prasarana pertanian yang kurang lengkap. b. Mahalnya harga pupuk dan kurangnya modal c. Lemahnya posisi tawar petani dalam kepastian harga d. Kurangnya tenaga penyuluh dari dinas pertanian e. Sistem usahatani di beberapa wilayah masih bersifat tradisional f. Belum adanya keterkaitan dengan sektor komoditas lain g. Tingginya permintaan lahan untuk pemukiman dan kegiatan non pertanian h. Kompetisi lahan sawah dengan areal perkebunan dan areal tanaman pangan lainnya Faktor Eksternal : 1. Peluang (Opportunity) a. Potensi kerjasama kemitraan dengan pedagang dan stakeholder masih terbuka b. Kemampuan daya serap pasar terhadap komoditas padi di Kabupaten Bone baik tingkat lokal maupun nasional cukup tinggi. c. Kabupaten Bone merupakan salah satu lumbung padi di Propinsi Sulawesi Selatan. d. Budaya masyarakat untuk terus mengolah dan menjaga lahan pertanian padi sebagai sumber penghidupan. e. Semakin berkembangnya sistem informasi yang mendukung pengembangan dan tata niaga padi. f. Munculnya teknologi baru 2. Ancaman (Threats) a. Terdapatnya beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan sebagai produsen padi b. Negara dan propinsi pesaing memiliki kualitas dan kuantitas produksi padi lebih baik c. Impor beras dari luar negeri Faktor internal dan faktor eksternal dibuat dalam bentuk matrik SWOT. Masing-masing kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh sektor pertanian padi di Kabupaten Bone diberi bobot penilaian sesuai dengan tingkat kepentingannya (Tabel 22). Pemberian bobot merupakan penilaian dari peneliti melalui hasil analisis fisik yang dilakukan sebelumnya, pengamatan lapangan, wawancara dan pemberian kuisioner dengan para petani padi, dan diskusi dengan para stakeholder yang terkait dengan pertanian.
Tabel 22. Penilaian tingkat kepentingan SWOT S1 S2
S3
S4 S5
S6 W1
W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8 W9 O1 O2 O3 O4 O5 O6 T1 T2
Alternatif Strategi Luas areal arahan pengembangan padi seluas 49.322 ha. Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa terdapat 18 kecamatan (Kahu, Bontocani, Tonra, Libureng, Mare, Sibulue, Cina, Barebbo, Bengo, Palakka, Awangpone, Tellu Siattinge, Ajangale, Dua Boccoe, Cenrana, Taneta Riattang Barat, Tanete Riattang, dan Tanete Riattang Timur) yang merupakan wilayah basis produksi padi (LQ > 1). Hasil analisis tipologi wilayah menunjukkan bahwa pada tipologi wilayah berkembang (kecamatan Kahu dan Barebbo) memiliki tingkat sarana dan prasarana pertanian yang lengkap dan lahan sawah yang luas. Sumberdaya manusia yang bekerja disektor pertanian relatif besar. Terdapat 2.267 kelompok tani yang terdiri dari kelas pemula sebanyak 821 kelompok, kelas lanjut sebanyak 918 kelompok, kelas madya sebanyak 431 kelompok dan kelas utama sebanyak 97 kelompok. Pembuatan panganan (kue) Hasil analisis tipologi wilayah menunjukkan bahwa pada tipologi wilayah belum berkembang (kecamatan Mare, Ponre, Bontocani, dll), memiliki sarana dan prasarana pertanian yang kurang lengkap. Mahalnya harga pupuk dan kurangnya modal Lemahnya posisi tawar petani dalam kepastian harga Kurangnya tenaga penyuluh dari dinas pertanian Sistem usahatani di beberapa wilayah masih bersifat tradisional Belum adanya keterkaitan dengan sektor komoditas lain Ketersediaan bibit unggul yang bermutu rendah Tingginya permintaan lahan untuk pemukiman dan kegiatan non pertanian Kompetisi lahan sawah dengan areal perkebunan dan areal tanaman pangan lainnya Potensi kerjasama kemitraan dengan pedagang dan stakeholder masih terbuka Kemampuan daya serap pasar terhadap komoditas padi di Kabupaten Bone baik tingkat lokal maupun nasional cukup tinggi. Kabupaten Bone merupakan salah satu lumbung padi di Propinsi Sulawesi Selatan. Budaya masyarakat untuk terus mengolah dan menjaga lahan pertanian padi sebagai sumber penghidupan. Semakin berkembangnya sistem informasi yang mendukung pengembangan dan tata niaga padi. Munculnya teknologi baru Terdapatnya beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan sebagai produsen padi Negara dan propinsi pesaing memiliki kualitas dan kuantitas produksi padi yang lebih baik Impor beras dari luar negeri
T3 Sumber : Hasil olahan data primer
Bobot 5 4
4
5 4
4 5
4 4 5 4 4 3 5 4 5 4 4 3 4 4 4 4 4
(2) Analisis Pencocokan Langkah berikutnya adalah tahap pencocokan. Dengan menggunakan strategi silang, tahap pencocokan dengan matrik SWOT dihasilkan beberapa asumsi strategis sebagai bahan untuk pencapaian kemungkinan alternatif strategi pengembangan padi di Kabupaten Bone. Strategi dan hasil pencocokan tersebut selanjutnya dilakukan proses penetapan “Asumsi alternatif strategi”. Matrik tahap pencocokan dapat dilihat pada Lampiran 7. Sesuai matrik SWOT diperoleh berbagai asumsi alternatif strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangan padi di Kabupaten Bone yaitu: Strategi Strenght-Opportunity, yaitu memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang, dengan strategi yang mungkin dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Memanfaatkan potensi wilayah, SDM, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan padi 2. Mengolah padi → beras menjadi produk panganan yang bernilai ekonomi tinggi 3. Meningkatkan pola kemitraan antara petani, pedagang dan stakeholder 4. Meningkatkan kemampuan lembaga penelitian dalam mengembangkan teknologi baru Strategi Weakness-Opportunity, yaitu meminimalkan kelemahan untuk mencapai dan memanfaatkan peluang yang ada, dengan strategi yang mungkin dapat dilakukan adalah : 1. Membangun sarana prasarana pendukung pertanian dan menyediakan pupuk murah 2. Meningkatkan sistem kelembagaan 3. Peningkatan penerapan teknologi budidaya dan sistem informasi melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia 4. Mencegah alih fungsi lahan dengan cara meningkatkan struktur pendapatan masyarakat melalui peningkatan output dan kualitas produksi Strategi Strengths-Threats, yaitu strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk mengurangi ancaman, dengan strategi alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Melaksanakan kerjasama teknologi dan peningkatan kualitas SDM dengan kabupaten produsen padi lainnya.
2. Meningkatkan kapasitas penyuluhan yang efektif dan efisien sebagai sarana
informasi petani Strategi Weakness-Threats, yaitu merupakan taktik untuk bertahan yang diarahkan mengurangi kelemahan-kelemahan internal serta menghindar dari ancaman-ancaman lingkungan, dengan strategi alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah mengoptimalkan sumberdaya manusia guna meningkatkan kualitas produksi padi. (3) Analisis Pengambilan Keputusan Langkah terakhir adalah langkah pengambilan keputusan, dalam memilih keputusan yang terbaik untuk diterapkan, maka setiap alternatif strategis diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya, kemudian diberi rangking. Pemberian rangking merupakan penilaian dari peneliti. Dari keterkaitan alternatif antar berbagai kepentingan unsur maka dapat dilakukan perangkingan. Pemberian rangking tersebut berdasarkan point yang tertinggi (Tabel 23). Tabel 23. Pemilihan analisis prioritas yang diunggulkan Alternatif Strategi
1. Memanfaatkan potensi wilayah, SDM, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan padi 2. Mengolah beras menjadi produk panganan yang bernilai ekonomi tinggi 3. Meningkatkan pola kemitraan dengan petani, pedagang dan stakeholder 1. Membangun sarana prasarana pendukung pertanian, dan menyediakan pupuk murah 2. Meningkatkan sistem kelembagaan 3. Peningkatan penerapan teknologi budidaya dan sistem informasi melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia
Keterkaitan (S1,2,3,4,5,6 O1,2,3,4,5,6)
Kepentingan 49
Rangking 1
(S1,2,4,6 O1,4,6)
30
6
(S1,2,4,5 O1,2,3,4,5,6)
41
2
(W1,2,5,7 O1,2,3,4,5,6)
39
3
(W2,3,4,5,8 O1,2,4)
34
4
(W4,5 O1,2,3,4,5,6)
32
5
Sumber : Hasil olahan
Berdasarkan Tabel 23 pemilihan alternatif kebijakan untuk pengembangan padi yang diprioritaskan adalah alternatif yang menempati posisi rangking tertinggi dan
mempunyai pengaruh yang tinggi yaitu rangking 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Langkah awal yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bone adalah dengan memanfaatkan potensi wilayah, sektor basis, SDM, dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan padi serta melakukan pengalokasian dana untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Secara rinci, usulan kegiatan yang dapat menunjang pelaksanaan setiap urutan strategi tersebut adalah sebagai berikut : Strategi pertama, memanfaatkan potensi wilayah yang sesuai, sektor basis, SDM, dan kebijakan pemerintah yaitu memanfaatkan potensi daerah yang sesuai untuk pengembangan padi dan sumber daya petani. Tujuan yang ingin dicapai adalah memanfaatkan potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani dengan sasaran utama adalah meningkatkan luas tanam, produksi dan pendapatan petani padi. Potensi daerah, khususnya potensi lahan untuk pengembangan padi di Kabupaten Bone, memiliki kelas kesesuaian lahan S1, S2, dan S3 seluas 49.322 ha. Potensi ini perlu dikelola dan diberdayakan lebih intensif sehingga mampu meningkatkan produksi yang optimal. Usulan kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain : 1. Melakukan analisis kesesuaian lahan dalam skala lebih detail 1 : 50.000 2. Pengadaan dan perbanyakan serta penyebaran bibit padi unggul oleh pemerintah daerah untuk ditanam 3. Pembuatan kebun bibit pada kecamatan dengan tipologi wilayah berkembang 4. Pembinaan dan pelatihan penangkar bibit unggul 5. Penyusunan peraturan daerah tentang sistem kepemilikan lahan 6. Meningkatkan kualitas petani padi dalam penanganan panen dan pemasaran 7. Perluasan areal lahan sawah pada wilayah dengan kelas kesesuaian lahan S1, S2, dan S3 pada lahan yang saat ini merupakan alang-alang dan tegalan. Strategi kedua adalah meningkatkan pola kemitraan dan menjalin kerjasama antara petani dan stakeholder sebagai upaya pengembangan padi. Tujuan dari strategi ini adalah mengoptimalkan kerjasama petani, pedagang dan kerjasama antar instansi sehingga terwujud pengembangan padi secara terintegrasi dengan sasaran utama terwujudnya koordinasi antar instansi dalam mendukung pengembangan padi. Usulan kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain : 1. Melakukan koordinasi antar instansi terkait (Bappeda, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Pemda Kabupaten) dalam mengembangkan komoditas padi 2. Melakukan temu kemitraan antara petani dan pedagang 3. Melakukan kerjasama perdagangan padi antara kelompok tani dengan pengusaha
4. Melakukan promosi, negoisasi dan kerjasama dengan investor swasta yang dituangkan dalam suatu kontrak kerjasama. 5. Pembangunan klinik dan sub terminal agribisnis padi beserta petugasnya. Strategi ketiga adalah membangun dan meningkatkan sarana prasarana pendukung pertanian dan menyediakan pupuk murah. Tujuan dari strategi ini adalah membangun dan memperbaiki fasilitas pendukung pertanian guna meningkatkan produksi dengan sasaran utama meningkatkan fasilitas panen, pasca panen dan distribusi padi. Usulan kegiatan yang dapat dilaksanakan adalah : 1.
Mengalokasikan anggaran APBD untuk pertanian
2.
Pembangunan dan pemeliharaan sarana pengairan dan drainase
3.
Pembangunan dan pemeliharaan pabrik penggilingan padi
4.
Pembangunan dan pemeliharaan gudang penyimpanan padi
5.
Pembangunan dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian
6.
Perbaikan jalan (jalan negara, propinsi dan kabupaten)
7.
Pembukaan dan perbaikan jalan pedesaan
8.
Pembangunan jalan dan jembatan untuk membuka daerah terisolir yang masuk dalam kawasan budidaya
9.
Pembukaan jalan usahatani padi di kawasan budidaya
10. Memfasilitasi petani untuk mendapatkan pupuk murah Strategi keempat adalah meningkatkan sistem kelembagaan. Tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan kemampuan sistem kelembagaan terkait dengan pengembangan padi dengan sasaran utama meningkatkan pelayanan lembaga keuangan, kemampuan lembaga petani dan penyuluhan serta kelembagaan pemasaran. Adapun usulan kegiatan yang dapat dilaksanakan adalah : 1. Pembinaan dan penguatan serta pemberdayaan kelompok tani dalam hal budidaya dan pasca panen padi 2. Fasilitasi pembentukan kelompok kolaborasi petani dan pengusaha (pengusaha pupuk, pengusaha produk olahan, dan pedagang) berupa gabungan kelompok tani 3. Pembinaan sub terminal agribisnis padi daerah 4. Pengadaan Bank (pemerintah/swasta) atau koperasi simpan pinjam dengan bunga rendah 5. Pembinaan jaringan informasi dan perdagangan untuk pengembangan padi (antar daerah, antar propinsi, dan antar negara) Strategi kelima adalah peningkatan penerapan teknologi budidaya dan sistem informasi melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia untuk mendukung
pengembangan tataniaga padi, dengan tujuan utama adalah meningkatkan sistem pelaksanaan kegiatan dan pelayanan dalam pengembangan padi. Sasaran yang dicapai dari strategi ini adalah terciptanya sumberdaya manusia yang handal dalam pengembangan padi. Langkah yang dapat diambil adalah dengan melakukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk pengembangan padi, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai usulan kegiatan antara lain : 1. Pelatihan petani dan aparat penyuluh dalam budidaya padi dan pascapanen padi 2. Pelatihan petani dan aparat penyuluh dalam penerapan teknologi alat pertanian dan sistem informasi 3. Menempatkan 4-5 orang tenaga penyuluh pada tiap kecamatan 4. Meningkatkan kapasitas tenaga penyuluh sebagai sarana informasi petani 5. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, khusus untuk pengembangan klinik dan sub terminal agribisnis padi 6. Pelatihan dan magang calon petugas klinik dan sub terminal agribisnis padi 7. Melakukan berbagai penelitian sehingga diperoleh teknologi budidaya padi spesifik yang mampu mempersingkat masa tunggu panen dan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi padi Strategi keenam adalah mengolah beras menjadi produk panganan bernilai ekonomi tinggi untuk meraih peluang pasar. Tujuan dari strategi ini adalah mengkaji dan memanfaatkan peluang pasar produk panganan daerah, dengan sasaran utama memberikan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Adapun langkah konkrit yang dapat diambil adalah sebagai berikut : 1. Pelatihan dan pembinaan pembuatan aneka ragam produk panganan tradisional 2. Pengadaan outlet khusus untuk menjual panganan tradisional 3. Memfasilitasi, membina, dan mengembangkan pemasaran produk panganan dengan promosi melalui pameran, website pemerintah daerah dan kegiatankegiatan yang menunjang promosi.
Rekomendasi Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi Pertanian Padi Pengembangan padi sangat terkait dengan masalah kesejahteraan masyarakat dari sisi ekonomi dan ketahanan pangan dari sisi produksi. Strategi kebijakan untuk pengembangan pertanian padi perlu memperhatikan subsektor yang mempunyai kontribusi besar dan basis ekonomi wilayah serta memperhatikan peruntukan lahan atau rencana tata ruang yang ada. Hasil overlay peta (Gambar 15) menunjukkan bahwa dari 27 kecamatan di kabupaten Bone terdapat 16 kecamatan yang merupakan kawasan prioritas pengembangan padi antara lain Kecamatan Kahu, Barebbo, Libureng, Awangpone, Ajangale, Dua Boccoe, Palakka, Lappariaja, Bontocani, Ponre, Cina, Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang Timur, Cenrana, dan Bengo seluas 49.322 ha. Pada penelitian ini prioritas pengembangan padi didasarkan pada wilayah yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1. Merupakan kelas kesesuaian lahan S1, S2, dan S3, berupa lahan tanaman basah dan lahan tanaman kering pada RTRW dan berupa sawah, alang-alang dan tegalan pada penggunaan lahan saat ini (eksisting). 2. Merupakan wilayah basis komoditas padi, berupa nilai analisis LQ > 1 3. Berdasarkan hasil analisis tipologi wilayah yang didasarkan pada tingkat perkembangan wilayah (infrastruktur, SDM, SDA, dan kelembagaan), berupa tipologi wilayah berkembang, cukup berkembang, dan belum berkembang Ada dua faktor yang dipertimbangkan dalam memproyeksi pengembangan padi yaitu dengan perluasan areal lahan dan peningkatan produksi. Dengan mempertimbangkan daya dukung sumberdaya diberbagai daerah, upaya peningkatan produksi padi seyogyanya lebih diarahkan kepada peningkatan produktivitas sumberdaya lahan dengan memanfaatkan inovasi teknologi. Perluasan areal sebaiknya perlu dipertimbangkan secara matang mengingat opportunity cost sangat tinggi dan daya dukung lahan makin menurun. Perluasan areal lahan tanam difokuskan pada lahan-lahan yang memiliki sumber air yang cukup dengan kendala produksi seminimal mungkin. Peningkatan produksi difokuskan pada peningkatan IP (Indeks panen), peningkatan IP dimungkinkan dengan penggunaan varietas berumur genjah, persemaian sistem culik, dan tanam bibit muda, dan juga diarahkan ke sentrasentra produksi pada daerah yang umumnya telah tersedia jaringan irigasi, jalan
usahatani, lantai jemur, dan pasar sehingga mudah menerapkan usaha dan sistem agribisnis (Departemen Pertanian, 2005b). Kawasan prioritas yang akan dicadangkan untuk pengembangan padi dengan perluasan lahan tanam terdapat di Kecamatan Kahu, Bengo, Awangpone, Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang Timur, Tanete Riattang, dan Libureng. Kawasan yang akan dicadangkan untuk pengembangan padi dengan peningkatan produksi sebagian terdapat di Kecamatan Kahu, Barebbo, Lappariaja, Libureng, Cina, Palakka, Ponre, Cenrana, Awangpone, Dua Boccoe, Bontocani, Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat dan Ajangale. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Rekomendasi arahan pengembangan padi di Kabupaten Bone Keterangan Basis, sawah1), berkembang Basis, sawah, cukup berkembang
Basis, sawah, belum berkembang Non basis, sawah, cukup berkembang Non basis, sawah, belum berkembang Basis, potensial2), berkembang
Kecamatan Kahu dan Barebbo Libureng, Palakka, Awangpone, Cina, Ajangale, dan Dua Boccoe Bontocani, Cenrana, Tanete Riattang Barat dan Tanete Riattang. Lappariaja
9.256
Arahan pengembangan Peningkatan 2,40 produksi
24.513
5,39
Peningkatan produksi
8.562
1,88
Peningkatan produksi
2.046
0,45
Ponre
416
Kahu
61
Libureng, Awangpone, dan Bengo Tanete Riattang Basis, potensial, Timur, Tanete belum berkembang Riattang Barat, Tanete Riattang Jumlah Basis, potensial cukup berkembang
Luas Ha %
Peningkatan produksi Peningkatan 0,10 produksi Perluasan areal 0,01 sawah
2.770
0,61
Perluasan areal sawah
1.698
0,37
Perluasan areal sawah
49.322 10,85
Sumber : Hasil overlay Keterangan : 1) Sawah : Penggunaan saat ini berupa sawah 2) Potensial: Penggunaan saat ini berupa bukan sawah (alang-alang dan tegalan)
Tabel 24 menunjukkan bahwa 16 kecamatan tersebut merupakan kawasan yang potensial untuk dijadikan sebagai wilayah pengembangan padi di Kabupaten
Bone. Namun perlu dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: (1) investasi yang mungkin tinggi; (2) kelanggengan fungsi lahan pertanian yang baru dibuka; (3) ketersediaan tenaga kerja pertanian; (4) dampak lingkungan atau perubahan ekosistem, degradasi lingkungan dan sebagainya; dan (5) masih adanya alternatif peningkatan produksi padi melalui peningkatan produktivitas dan IP (Departemen Pertanian, 2005b). Rekomendasi pengembangan wilayah berdasarkan potensi pertanian padi diharapkan dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan penggunaan lahan untuk pengembangan padi di Kabupaten Bone, yang bertujuan untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan ketahanan pangan. Diharapkan prioritas pengembangan wilayah dengan pendekatan potensi pertanian tanaman pangan khususnya padi akan memberikan masukan dan dampak yang positif bagi masyarakat dan Pemerintah daerah kabupaten Bone.