HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan adanya sisa hasil gerekan yang menempel pada bagian lubang gerek (Gambar 1). Serangan yang berat menyebabkan batang patah sehingga aliran makanan terhambat. Menurut Hsu et al. (1988 dalam Saenong dan Alfons 2009) gerekan yang dilakukan O. furnacalis akan mengurangi pergerakan air dari tanah ke bagian atas daun karena rusaknya jaringan tanaman. Tanaman melakukan respon dengan menutup stomata sebagian, sehingga pengambilan CO2 melalui stomata menurun yang berakibat terhadap penurunan tingkat fotosintesis. Kehilangan hasil terbesar ketika kerusakan terjadi pada fase reproduktif (Kalshoven 1981).
Gambar 1 Gejala gerekan O. furnacalis: (a) gejala gerekan yang masih baru, terlihat sisa gerakan yang masih menempel pada lubang gerek, (b) gejala gerekan yang sudah lama, terlihat sisa gerekan sudah tidak menempel pada lubang gerek
Hasil pengamatan menunjukkan tingkat serangan O. furnacalis yang tinggi yaitu pada tanaman jagung berumur 50 hari sebesar 52%, sedangkan tingkat serangan yang rendah yaitu pada saat umur tanaman jagung 60 hari sebesar 0% dan 6.7% (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat serangan O. furnacalis tertinggi terjadi pada saat tanaman masih muda. Menurut Nafus dan Schreiner (1987) imago O. furnacalis mulai meletakkan telur pada tanaman berumur 2 minggu, dan puncak peletakkan telur terjadi pada saat stadia pembentukan malai sampai keluarnya bunga jantan. Akan tetapi, analisis korelasi antara umur tanaman dengan tingkat serangan O. furnacalis menunjukkan nilai korelasi Pearson -0.062 (P = 0.938). Hal ini menunjukkan bahwa umur tanaman tidak berkorelasi terhadap tingkat serangan O. furnacalis. Hal tersebut diduga karena pengamatan tidak dilakukan secara berkala setiap minggunya mulai dari tanaman masih muda sampai tanaman tua. Apabila memperhatikan faktor varietas tanaman, data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat serangan O. furnacalis yang tinggi yaitu pada
6 tanaman jagung dengan varietas Hawaii di Desa Cikarawang sebesar 52%. Akan tetapi, tanaman jagung dengan varietas Hawaii di Desa Babakan dan Desa Neglasari tingkat serangannya rendah sebesar 6.7%. Tanaman jagung tidak diserang oleh O. furnacalis di Desa Mekarsari, sedangkan di Desa Cihideung Hilir dan Situ Gede, serangan O. furnacalis mencapai berturut-turut 24% dan 44%; di tiga desa ini varietas yang ditanam oleh petani tidak diketahui namanya. Hal dapat memberikan petunjuk bahwa kemungkinan ketahanan varietas tersebut berbedabeda pada setiap lokasi yang berbeda. Analisis korelasi antara varietas tanaman dengan tingkat serangan O. furnacalis menunjukkan nilai korelasi Pearson -0.585 (P = 0.128). Hal ini menunjukkan bahwa varietas tanaman tidak berkorelasi terhadap tingkat serangan O. furnacalis. Menurut Yasin (2005) sampai saat ini belum tersedia varietas yang mempunyai ketahanan yang cukup tinggi terhadap O. furnacalis.
Tabel 1 Tingkat serangan O. furnacalis pada berbagai umur dan varietas tanaman, serta frekuensi pemberian insektisida Frekuensi Umur pemberian Tingkat Lokasi tanaman Varietas insektisida serangan (%) (hari) (kali) Kec. Darmaga Babakan 60 Hawaii 1b 6.7 a Neglasari 60 Hawaii 0 6.7 Cikarawang 50 Hawaii 0a 52 Kec. Tenjolaya Situ Daun 70 Golden 1c 36.7 c Cikupa 50 SG 1 40 Cinangneng 70 Hawaii 1c 28.3 Kec. Ciampea Cihideung Hilir 55 Tidak diketahui 1c 24 Cihideung Udik 60 IPB 2 1b 6.7 Bojong Jengkol 60 TM 2d 32 Kec. Rancabungur Pasir Gaok 50 Hibrida P2 1c 8.3 Mekarsari 60 Tidak diketahui 0a 0 b Bantar Kambing 60 Hawaii 1 17.3 Kec. Bogor Barat Situ Gede 60 Tidak diketahui 3e 44 Bubulak 70 Hawaii 1b 21.3 Semplak 55 MT 0a 10.7 a
Tidak diberi insektisida granular Pemberian insektisida granular pada saat menanam benih jagung c Pemberian insektisida granular pada saat muncul pucuk d Pemberian insektisida granular pada saat penanaman benih dan muncul pucuk e Pemberian insektisida granular pada saat penanaman benih, muncul puncuk, dan umur tanaman 6 minggu b
7
Apabila memperhatikan faktor frekuensi pemberian insektida, data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat serangan O. furnacalis yang tinggi yaitu pada pertanaman jagung yang tidak diberi insektisida sebesar 52%. Tingkat serangan O. furnacalis yang rendah yaitu pada tanaman jagung yang tidak diberi insektisida sebesar 0% dan 6.67%, serta tanaman jagung yang hanya diberi insektisida pada saat penanaman benih saja sebesar 6.67%. Secara umum, insektisida yang digunakan oleh petani dalam pengendalian O. furnacalis adalah insektisida granular berbahan aktif Karbofuran. Berdasarkan hasil penelitian Asikin et al. (2005) cara aplikasi insektisida granular berbahan aktif Karbofuran melalui pucuk (2-3 butir/tanaman/aplikasi) atau kurang lebih 250-300 g/ha dalam pengendalian O. furnacalis cukup efektif dan efisien. Akan tetapi, analisis korelasi antara penggunaan insektisida dengan tingkat serangan O. furnacalis menunjukkan nilai korelasi Pearson 0.564 (P = 0.322). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan insektisida tidak berkorelasi terhadap tingkat serangan O. furnacalis. Hal tersebut bisa dikarenakan oleh beberapa faktor seperti dosis insektisida yang diberikan tidak tepat, insektisida yang digunakan sudah lama atau kadaluarsa, penyimpanan insektisida tidak dalam keadaan tertutup, serta setelah aplikasi insektisida turun hujan sehingga menyebabkan insektisida granular tersebut jatuh ke tanah dan tidak terserap oleh tanaman. Sampel tanaman jagung yang terserang O. furnacalis pada umumnya memiliki lubang gerek pada bagian batang sebanyak 1-3 lubang. Namun, ada pula sampel tanaman yang memiliki 5 lubang gerek. Hasil penelitian Abdullah dan Rauf (2011) menunjukkan di Desa Cihideung Hilir (Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor) umumnya ditemukan 5-8 lubang gerek dengan rataan sekitar 7 lubang gerek per tanaman jagung. Di dalam 1 lubang gerek pada umumnya ditemukan larva atau pupa O. furnacalis, namun ada pula lubang gerek yang sudah kosong. Hal ini karena serangga tersebut sudah berubah menjadi imago, atau larva sudah berpindah tempat dan membuat lubang gerek yang baru. Populasi O. furnacalis dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan itu adalah musuh alami yang meliputi parasitoid, predator, dan patogen (Nonci 2004). Musuh alami tersebut sudah lama dimanfaatkan dalam upaya pengendalian hama. Patogen biasanya berasal dari golongan mikroorganisme seperti bakteri, cendawan, nematoda, dan virus. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah sampel serangga yang diamati yaitu sebanyak 60 ekor yang diperoleh dari dalam lubang gerekan pada bagian batang sampel tanaman. Sebanyak 51 sampel serangga (85%) yang diamati mampu berkembang dan bertahan hidup sampai imago. Sebanyak 3 sampel serangga (5%) yang diamati mati pada saat stadia larva yang diduga akibat serangan patogen namun penyebab spesifiknya tidak teridentifikasi. Sebanyak 6 sampel serangga (10%) yang diamati mati pada saat stadium pupa yang diduga akibat serangan patogen namun penyebab spesifiknya tidak teridentifikasi (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa, musuh alami sudah ada di lapang namun jumlahnya masih sangat sedikit sehingga belum mampu menekan jumlah serangan O. furnacalis.
8 Tabel 2 Keberadaan serangga yang berasal dari dalam lubang gerek Tanaman Tanaman Tanaman sampel 1a sampel 2a sampel 3a Lokasi 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Kec. Darmaga Babakan xb xb Neglasari Cikarawang xb xc xc Kec. Tenjolaya Situ Daun Cikupa Cinangneng Kec. Ciampea Cihideung Hilir xc Xc c c Cihideung Udik x x Bojong Jengkol Kec. Rancabungur Pasir Gaok Mekarsari Bantarkambing Kec. Bogor Barat Situ Gede Bubulak Semplak a
Lubang gerek pada setiap sampel tanaman Larva yang mati dan tidak teridentifikasi penyebabnya c Pupa yang mati dan tidak teridentifikasi penyebabnya Ada serangga di dalam lubang gerek Tidak ada serangga di dalam lubang gerek b
Siklus Hidup O. furnacalis yang diberi Pakan Buatan Pada umumnya dalam pemeliharaan atau perbanyakan O. furnacalis menggunakan bagian tanaman jagung sebagai makanannya. Akan tetapi, pada saat tertentu persediaan makanan tersebut bisa terbatas dan cukup sulit didapatkan dalam jumlah yang banyak. Adapun alternatif makanan lain yang bisa digunakan yaitu pakan buatan. Nutrisi yang diperoleh oleh O. furnacalis dari pakan buatan sama halnya seperti yang diperoleh dari tanaman jagung. Selain itu, pakan buatan bisa digunakan dalam waktu yang cukup lama sehingga tidak perlu sering diganti. Hasil penelitian Guanghong et al. (2002) menunjukkan bahwa ulat grayak Spodoptera exigua yang dipelihara dan diberi pakan buatan memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih lama, serta jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina lebih banyak. Telur. Telur O. furnacalis berukuran ± 0.90 mm, diletakkan secara berkelompok berbentuk menyerupai sisik ikan dengan ukuran yang berbeda-beda. Pada waktu diletakkan telur berwarna bening, kemudian berubah menjadi putih kekuningan, dan ketika akan menetas berubah menjadi kehitaman (Gambar 2).
9 Warna hitam tersebut menandakan kepala calon larva. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata masa inkubasi telur selama 4 hari (Tabel 3). Menurut Nonci dan Baco (1991) rata-rata masa inkubasi telur selama 3.6 hari (Tabel 4). Telur O. furnacalis menetas 3-5 hari setelah diletakkan (Granados 2000 dalam Nonci 2004). Di laboratorium, jumlah telur beragam dari 2 sampai 200 butir (Kalshoven 1981).
Gambar 2 Telur O. furnacalis: (a) telur awal diletakkan berwarna bening (b) telur berubah warna menjadi putih kekuningan (c) telur berubah warna menjadi kehitaman menjelang menetas Tabel 3 Siklus hidup O. furnacalis yang diberi makan pakan buatana Stadia Kisaran stadia (hari) n (ekor) ± SD (hari) Telur 4 4±0 20 Larva Instar I 3-6 3.65 ± 0.88 20 Instar II 2-5 2.44 ± 0.86 18 Instar III 2-7 2.61 ± 1.20 18 Instar IV 2-7 2.89 ± 1.28 18 Instar V 5-11 7.19 ± 1.42 16 Total 15-23 18.25 ± 2.30 16 Pupa 6-8 7.13 ± 0.5 16 Imago 9-15 12.31 ± 1.92 16 a
Suhu basah 28 oC, suhu kering 30 oC, dan kelembapan 83% = rata-rata hidup, SD = standar deviasi, n = jumlah sampel serangga
10 Tabel 4 Siklus hidup O. furnacalis yang diberi bagian tanaman jagungab Stadia Kisaran stadia (hari) (hari) Telur 3-4 3.60 Larva Instar I 3-5 3.30 Instar II 3-5 3.70 Instar III 3-5 3.80 Instar IV 3-4 3.40 Instar V 3-7 4.70 Pupa 7-9 8.50 Imago 2-7 3.50 a b
Sumber: Nonci dan Baco (1991) Suhu 26.60-31.60oC dan kelembapan 71.90-84.50%
Larva. Larva terdiri dari lima instar dengan lama stadia yang berbeda-beda, perubahan setiap instar ditandai dengan adanya proses ganti kulit dan terlepasnya kapsul kepala (Gambar 3b). Larva yang baru keluar dari telur tubuhnya berwana putih bening dengan kepala berwarna hitam (Gambar 3a). Hasil pengamatan menunjukkan larva instar I berlangsung antara 3-6 hari dengan rata-rata 3.65 hari, larva instar II antara 2-5 hari dengan rata-rata 2.44 hari, larva instar III antara 2-7 hari dengan rata-rata 2.61 hari, larva instar IV antara 2-7 hari dengan rata-rata 2.89 hari, dan larva instar V antara 5-11 hari dengan rata-rata 7.19 hari (Tabel 3). Stadia larva antara 15-23 hari dengan rata-rata 18.25 hari.
Gambar 3 Larva O. furnacalis: (a) larva instar I yang baru keluar dari dalam kelompok telur (b) kulit dan kapsul kepala yang terlepas dari tubuh larva (c) larva yang baru berganti kulit
11 Pupa. Sebelum menjadi pupa, O. furnacalis mengalami masa prapupa selama satu sampai tiga hari. Selama periode ini, larva menjadi lebih pendek dan berwarna keputihan dan kemudian berganti kulit menjadi pupa. Pupa yang baru terbentuk berwarna krem, kemudian berubah menjadi kuning kecoklatan dan menjelang imago keluar berwarna coklat tua. Hasil pengamatan menunjukkan lama stadia pupa antara 6-8 hari dengan rata-rata 7.13 hari (Tabel 3). Menurut Nonci dan Baco (1991) rata-rata lama stadia pupa adalah 8.5 hari (Tabel 4). Pada umumnya ukuran pupa betina lebih besar dari pupa jantan (Gambar 4a). Pupa jantan dapat dibedakan dari pupa betina, yaitu pada ruas terakhir abdomen pupa betina terdapat celah yang berasal dari satu titik, sedangkan pada pupa jantan terdapat celah yang bentuknya agak bulat (Gambar 4b dan Gambar 4c).
Gambar 4 Pupa O. furnacalis: (a) pupa betina ukurannya lebih besar dari pupa jantan, (b) tanda pupa jantan yang diberi tanda lingkaran putih, (c) tanda pupa betina yang diberi tanda lingkaran putih
Imago. Imago lebih aktif pada malam hari dan tertarik terhadap cahaya. Hasil pengamatan menunjukkan lama stadia imago berlangsung antara 9-15 hari dengan rata-rata 12.31 hari (Tabel 3). Menurut Nonci dan Baco (1991) rata-rata lama stadia imago adalah 3.5 hari (Tabel 4). Perbedaan rata-rata lama hidup stadia imago yang cukup jauh diduga karena pemberian pakan buatan dan larutan madu dapat memperpanjang lama hidup imago. Menurut Nelly dan Buchori (2008) larutan madu 10% adalah pakan yang paling baik bagi imago karena kandungan glukosa yang terdapat pada madu mampu memberi energi bagi imago sehingga
12 dapat memperpanjang lama hidupnya. Imago jantan dapat dibedakan dengan imago betina dari ukuran dan warnanya. Ukuran imago betina lebih besar dari imago jantan dan warna sayap imago jantan lebih terang (coklat) dari imago betina (Gambar 5). Selain itu, ruas terakhir abdomen imago betina berbeda dengan ruas terakhir abdomen jantan (Nonci 2004).
Gambar 5 Imago O. furnacalis: (a) sebelah kiri imago betina dan sebelah kanan imago jantan dengan ukuran yang lebih kecil, (b) sebelah kiri imago betina dan sebelah kanan imago jantan dengan warna yang lebih gelap